01.pdf - Google Drive

7 downloads 31 Views 84KB Size Report
Saya akan membiayai sekolahmu sampai SMA bahkan kalau mungkin ... seperti dicampakkan dari langit sap tujuh. Hancur. Pag
Aku di Persimpangan Cerpen Oleh : Parngadi* Siapa yang tak ingin menikmati bintang, kala langit jernih ? Bintang-bintang bertaburan di seluruh ujung langit seperti dulu. Yang hampir bisa kunikmati setiap malam. Setiap sudut langit adalah taburan cahaya dengan kerlap-kerlip bintang, seperti kerlingan Dewi Kejora. Rembulan masih tersenyum mesra seperti dulu. Rembulan itu juga tersenyum lepas, bagaikan kekasih hati sewindu tidak ketemu. Aku ternyata sudah sangat rindu pada senyuman itu. Senyuman tanpa pamrih, tanpa batas keinginan dan kemauan. Malam ini kita ketemu lagi, dengan gelora cinta tanpa kemunafikan. Setelah nafsu dan keangkuhan selalu menjajahku. Setelah keinginan dan kemauan mengisi jiwaku. Setelah hariku tertindas oleh keserakahan, kerakusan. Malam ini rembulan itu ingin kulukis kembali dalam diriku, yang akan kunikmati di kala kesunyian mendera. Di kala sepi menguasahi hati. Di kala bahagia menjelma tanpa kata. Seperti dulu. Ya, seperti dulu. Ketika diriku bukan siapa-siapa, ketika diriku tidak di mana-mana, dan ketika diriku bukan apa-apa. Kedamaian itu selalu menyelimuti diriku, kebahagiaan itu selalu menemaniku, keceriaan itu selalu memagariku, keimanan itu selalu menuntunku, di kala sedih, di kala sakit, di kala sepi, di kala bahagia, di kala bencana, di kala lupa, di kala merintih pedih. Namun kemana sekarang ? Semua meninggalkanku. Yang ada tinggal, kerakusan, keserakahan, kepuasan, kebencian, ke-iri-an, kedholiman. Sudah lama aku benci kepada diriku sendiri yang kehilangan jati diri. Sudah lama aku tak mengenal diriku sendiri, namaku, anakku, istriku, ayahku, ibuku, asalku. Yang sering kuingat hanya diskotik dengan sajian minumannya, wanita cantik dengan ranjang pelayanannya, mobil mewah dengan kenyamanannya, melihat musuh jika jatuh dari karirnya. Dan malam ini. Kucumbu lagi dengan rembulan itu, seperti dulu. Ketika aku hanya anak desa penggembala kerbau. Hanya modal cambuk dan seruling, seruling yang selalu meniupkan melodi kesederhanaan. Meniupkan harmoni kejujuran. Menyenandungkan nyanyian kedamaian. Aku hanya seorang buruh penggembala, tidak pernah punya kerbaunya. Saat ini, ketika aku mampu membeli kerbau sebanyak mungkin, tapi kenapa aku tak mampu menggembalakan diriku sendiri ? Telah lama aku makan hak-hak rakyat kecil, merampas hak-hak orang lain, menipu teman seiring, menggunting dalam lipatan, semuanya jadi samar antara yang hak dan yang batil. Dulu ketika anak-anak, rembulan itu hampir selalu kulihat setiap malam, ketika aku pergi mengaji di rumah mbah Rohani. Dulu rembulan itu selalu kupandangi, ketika ronda di desa. Malam ini aku ingin menikmati wajahnya sepuas-puasnya. *** Kisah tentang aku. Menurut catatan di belakang almari, namaku adalah Wariso. Lahir pada hari Rabu Wage. Neton-nya kalau tidak salah tiga belas. Kalau tahun Masehi tepatnya, empat belas agustus tahun sembilan belas tujuh delapan. Masa kecil hidupku di sekitar kerbau, mencari rumput, menggembala, dan memandikan kerbau. Jadi buruh jujur yang tak pernah tahu apa korupsi, ngakali, ngenthit atau sejenisnya. Atau memang tidak ada barang yang bisa enthit. Tak tahulah.

Dan barangkalai ngenthit kerbau terlalu besar, dan gampang ketahuan. Tapi memang tak terbersit sedikitpun untuk melakukan curang. Sedangkan juraganku, pak Paimo juga orang yang jujur. Sebagaimana orang desa pada umumnya, saya diperlakukan seperti anaknya sendiri. Dan walaupun aku tidak sekolah, saya belajar membaca dan berhitung sama anak pak Paimo, Munali. Karena Munali sangat senang naik ke punggung kerbau, dan sebagai gantinya saya diajari membaca dan menulis. Satu hal yang paling menyedihkan dalam hidupku adalah ketika Munali anak Paimo meninggal. Waktu itu kelas enam SD. Karena dari Munali-lah, aku banyak belajar baca tulis. Malam kita mengaji bersama-sama, bermain bersama. Bersama Wahyu, Nawawi, Agus, Wawan. Kami menamakan diri “ anak rembulan “ . Terutama di musim kemarau; berangkat mengaji, pulang mengaji, dan bermain petak umpet di bawah cahaya rembulan. Rembulan dan bintang bagiku seperti sudah menjadi sahabat yang menyatu dalam kehidupan anak-anak desa. Maka kematian Munali karena sakit demam berdarah, betul-betul memukul jiwaku. Orang yang selalu mengajariku dengan kesabaran itu telah pergi. Suatu hari pak Paimo memanggilku, maka aku bergegas untuk menghadapnya. “ So, aku mau ngomong, “ kata pak Paimo di pagi itu. “ Ada apa pak ya ? Kok nampak begitu penting ? “ tanyaku. Karena biasanya pak Paimo kalau ngomong hanya di kandang kerbau atau pada waktu makan. “ Begini, So. Sudah tiga bulan Munali meninggalkan kita. Kemarin pak Setiono Kepala Sekolah SD ke rumah menawari bagaimana kalau yang menggantikan Ujian-nya Munali itu kamu ? Di SD itu muridnya kan hanya tiga belas, sedangkan nama Munali sudah masuk nominasi ujian. Kata pak Setiono nanti dibantu kok. “ “ Pak Paimo, saya cuma penggembala. “ “ Wariso, nanti saya tidak berhenti di situ. Kamu tahu kan Munali satu-satunya anakku ? Kamu saya anggap anakku sendiri. Saya akan membiayai sekolahmu sampai SMA bahkan kalau mungkin sampai lulus kuliah. “ Terperanjat aku mendengarnya. Aku tidak pernah berfikir sejauh itu. Jangankan kuliah, sekolah SD saja tak terpikirkan. “ Kamu mau kan, So ? “ Belum sempat kujawab pak Paimo sudah melempar pertanyaan lagi. “ Aku tidak pernah sekolah, tiba-tiba harus ikut ujian ? Apa saya bisa ? “ tanyaku dalam kebingungan. “ Munali sering cerita bahwa kamu sebenarnya anak yang pintar. Bukankah dia sering mengajarimu ? Apalagi semua guru bersedia membantumu. “ Tak terasa aku mengangguk. Dan inilah betul-betul menjadi awal perubahan masa depanku. “ Kata pak Setiyono nanti namamu jadi Munali, karena nama itulah yang disetor jadi nominasi ujian. “ lanjut pak Paimo kemudian. Sejak itu sejarah hidupku berubah. Nama lahirku Wariso menjadi Munali. Pak Paimo menyekolahkan saya sampai SMA, bahkan ketika aku diterima di Universitas Brawijaya melalui jalur penelusuran minat dan bakat (PMDK) di bidang manajemen. Wariso alias Munali ada gelar SE di belakangnya. Munali, SE. Semuanya berlalu begitu cepat dan seperti mimpi. Ketika ada perekrutan

karyawan bank melalui bursa kerja kampus, aku salah satu orang yang lulus seleksi. Jauh dari kesan penggembala kerbau di masa kecilku. Pak Paimo sangat bangga atas semua prestasiku. Sebagai anak saya juga tak lupa akan jasa-jasanya. Selalu kusempatkan pulang berkunjung di hari-hari libur, dengan segala baktiku. Tepat setelah ulang tahunku yang ke tigapuluh sembilan, aku diangkat menjadi Branch Manager sebuah bank terbesar di negeri ini. Dengan posisi inilah kami hampir mengenal semua pejabat dan pengusaha di kota ini. Semua perkenalan ini begitu cepat membuat perubahan hidupku. Kenal berarti sebuah peluang. Karena setiap transaksi pinjaman, membuka usaha baru berarti uang. Dan itu membuat hidupku melimpah dengan harta, dikerumuni banyak wanita, disanjung bak seorang raja. Harta membuatku lupa. Sudah hampir tiga tahun aku sudah tidak mengerjakan sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadlan dan kewajiban lainnya. Mungkin yang aku lakukan cuma senang memberikan sedekah. Namun aku sendiri tak pernah mengukur, apa yang aku lakukan karena ingin sanjuangan atau memang ikhlas. Aku juga tidak menghitung, berapa wanita yang menemaniku untuk memuaskan nafsu. Aku juga lupa berapa jenis merk minuman keras yang mengendap di lambungku. Yang jelas kedudukan, harta dan pergaulan telah menyeretku ke persimpangan jalan. Sebuah jalan hidup, sebuah jalan yang dibangun dari titik minus. Suratan takdir telah menyeretku menjadi manusia elit, yang jauh dari kesan anak desa dan penggembala kerbau. Tapi semuanya justru membuat jiwaku kering kerontang. Aku jadi orang kapitalis. Dengan uang semuanya bisa aku beli. Itulah semboyan angkuh yang mulai bersemayam pada diriku. Dan itulah yang menjadi awal hidupku lupa diri. *** Sudah tiga malam ini aku menangis, nyaris tiada henti. Dari beranda rumah tingkatku kutatap samar wajah rembulan, karena air mata terkuras tak terbendung. Setelah lama aku bersimpuh di atas sajadah, dengan derai tetes air mata. Tetesan airmata penyesalan, ketakutan akan kematian segera menimpaku. Karena sekujur hatiku berlumuran dosa. Karena, seonggok tubuhku sudah diliputi oleh nafsu berbalut najis. Aku sangat benci terhadap diriku sendiri. Aku jijik dengan yang aku dapat, karena semuanya mengantarkanku ke persimpangan jalan. Di persimpangan itu, aku harus memilih satu jalan di antara antara ribuan jalan. Dan hampir semua jalan itu telah kulalui, semuanya hanya fana. Semuanya hanya bermuara pada kepuasan. Sedang puas itu hanya sementara. Ibarat minum air laut dalam kehausan, semakin banyak minum semakin haus. Terbayang olehku, kesakitan yang luar bisa. Malaikat maut menungguku, kemudian mencabut nyawaku dengan kasar. Sementara aku membayangkan, di alam akherat kelak aku sudah tak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan. Karena diriku terlalu hina di hadapan Allah. Aku cuma budak nafsu. Hasil tes darah tiga hari yang lalu, betul-betul membuyarkan bayangan hidupku. Tapi sekaligus, menyadarkanku. Tentang hidup. Di suatu saat aku merasa menjadi orang paling miskin dan malang di dunia. Di suatu saat aku di sanjung selangit. Di suatu saat pula, aku dikerumuni banyak wanita cantik. Semuanya hanya karena harta. Tapi saat ini, seperti dicampakkan dari langit sap tujuh. Hancur

lebur segala asa, bersemparasan segala niat, luluh lantak segala harapan. Hanya dengan beberapa kalimat. “ Maaf pak, berdasarkan hasil diagnosis kami, bapak positif terjangkit virus HIV.” kata dokter yang merawatku. Kalimat itu seperti ujung tombak yang menghunjam jantungku. Mata berkunang, pandangan samar. Seperti di dunia lain. Melayang segala rasa dan angan entah kemana. Sudah tiga hari aku minta pulang ke rumah mewahku, yang sekali-kali dirawat dokter. Hampir tiap detik dalam kelelahan aku sholat taubat dan membaca istighfar sampai tak terasa. Kumencaba menyusuri hidup, sebuah progress yang luar biasa secara harta dan jabatan. Namun dari sisi moral merosot sampai titik nadir. Dan sebagai puncaknya adalah terjangkitnya penyakit yang ditakuti semua orang. AIDS. Sebuah penghargaan, hukuman, ataupun akibat yang pantas terjadi orang seperti saya. Aku ingin seperti dulu. Seorang Wariso penggembala kerbau, yang miskin dan sederhana. Aku ingin mengaji dan bermain di bawah rembulan, dengan beberapa lembar uang ribuan yang sudah cukup puas untuk sekedar beli jajan. Seandainya. Tapi hanya seandainya hasil tes darah itu keliru, atau Allah memberikan aku kesembuhan. Aku akan membuat Yayasan Wariso. Biar selalu ingat nama asliku. Nama katrok yang justru menjadi jaminan untuk hidup sederhana. Yayasan itu bergerak di bidang beasiswa pendidikan yang tidak mampu. Karena begitu banyak anak di negeri ini yang otaknya blilian tapi secara ekonomi tidak mampu untuk meneruskan sekolah. Seandainya aku masih diberi waktu. Tapi semuanya juga seandainya. Aku juga ingin mempunyai istri yang sholihah, yang turut membibingku ketika aku di persimpangan jalan. Ribuan jalan yang menawarkan, kemewahan, kesenangan, kebahagian yang sifatnya semu. Kalau tidak bisa dibilang sekedar pemuas nafsu. Nafsu yang batasannya adalah hanya puas. Sedang puas itu hanya sementara. Sementara itu fana. Dan tidak bisa dibertanggungjawab pada nilai agama, moralitas maupun sosial budaya. Tapi semuanya sudah terlanjur aku lakukan. Aku kilaf dengan kemewahan yang aku dapat, aku terlena dengan jabatan yang aku sandang. Bagi seorang kesatria harus berani mengakui sebuah kesalahan. Dan dalam Islam salah satunya adalah bertaubat. Taubatan nasuha, itulah kata yang diajarkan ustadz di kampung. Sebuah penyesalan yang totalitas, dan disertai dengan janji dan tindakan untuk berbuat baik. Di tengah khusuk sholat handphone yang kuletakkan di atas meja berdering tiada henti. “ Asslamu ‘alaikum pak Munali. Saya dr. Hanafi. Maaf malam–malam mengganggu.” “ Ada apa dokter ? “ tanya penasaran. “ Allah telah memberikan keajaiban pada bapak. Doa-doa bapak untuk bertaubat terkabul. Allah memberi waktu pada bapak untuk lebih banyak berbuat baik. Hasil tes darah ulang menunjukkan bapak negatif. Bapak tidak terjangkit virus HIV…..,” jelas suara di seberang. Kubuang telpon di tanganku. Aku tidak mendengarkan penjelasan lebih lanjut. Aku sujud syukur dengan bersimbah air mata. Entah berapa lama, aku tak peduli lagi. Malang, 11 September 2010 http://www.smpm9gondanglegi.co.cc/