1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi ...

32 downloads 12600 Views 1MB Size Report
Pada era globalisasi dan modern sekarang ini, gaya hidup atau life style ...... Globalisasi membawa dampak besar tehadap perubahan dan perkembangan.
1 BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Pada era globalisasi dan modern sekarang ini, gaya hidup atau life style

merupakan hal yang sangat penting dan kerap menjadi ajang untuk menunjukkan identitas diri. Berbagai macam cara dilakukan orang-orang untuk bisa menunjukkan jati dirinya masing-masing, baik itu dari segi cara berpakaian, pola hidup, bahkan sampai ke perilaku seksual yang akhir-akhir ini semakin menyimpang dari etika dan norma yang ada. Perubahan sosiokultural yang menyertai kemajuan ekonomi di Indonesia lima tahun terakhir ini dapat dilihat dari berkembangnya berbagai gaya hidup dan diferensiasi sosial sebagai fungsi dari perkembangan ekonomi dan industrualisasi. Ada beberapa kontradiksi ideologis berkaitan dengan perkembangan gaya hidup tersebut di dalam masyarakat. Para pendukung Marxisme misalnya, melihat pembentukan diferensiasi sosial dan gaya hidup adalah sebagai akibat dari model relasi produksi kapitalisme yang menyimpan konflik sosial di dalamnya. Sementara para pemikir non Marxis (misalnya Durkheim, Parsons, Williamson) melihat diferensiasi dan terbentuknya gaya hidup tersebut sebagai suatu yang positif dalam perkembangan masyarakat. Gaya hidup menurut mereka, merupakan satu bentuk kreativitas yang diperlukan bagi kemajuan sosial dan kultural (Piliang, 2004: 303). Kontradiksi tersebut juga telah mulai muncul di Indonesia seiring dengan perkembangan berbagai gaya hidup kahir-akhir ini. Kecenderugan tersebut tampaknya

2 akan tetap mewarnai perkembangan gaya hidup di masa mendatang, yang akan lebih bersifat plural, beragam, dan mengambang bebas. Dapat terlihat bahwa di dalam suatu pergaulan dibutuhkan aturan-aturan atau norma-norma yang terjadi atas kesepakatan bersama dan bertujuan untuk mengindari halhal yang bersifat negatif. Lingkungan yang pertama kali memperkenalkan individu kepada aturan yang berlaku di masyarakat adalah lingkungan keluarga. Keluarga biasanya membimbing kita kepada penyelarasan terhadap norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat dengan tujuan menghindari penolakan sosial dikarenakan mengenal aturan-aturan atau norma-norma sosial yang terdapat di masyarakat. Aturanaturan atau norma-norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat tertentu akan menjadi suatu kebiasaan, apalagi bila didukung oleh lingkungan yang setiap hari memberi contoh. Dengan sadar atau tidak sadar kelompok lainnya akan meniru kebiasaan tersebut. Orientasi seksual yang berkaitan dengan perasaan dan konsep diri. bagi kebanyakan orang, orientasi seksual terjadi pada masa remaja. Orientasi seksual juga terbagi kedalam beberapa golongan, pertama homoseksual, yaitu ketertarikan terhadap sesama jenis, kedua adalah heteroseksual, yaitu tertarik dengan jenis kelamin yang berbeda, ketiga adalah biseksual, yaitu tertarik dengan kedua jenis kelamin. Orang-orang yang dianggap homoseksual disebut gay (laki-laki) dan lesbian (perempuan). Homoseksual adalah kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai jenis kelamin yang sejenis atau identitas gender yang sama. Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Istilah yang sudah umum dikenal masyarakat adalah homoseksual sesama laki-laki

3 disebut gay, sedangkan homoseksual sesama perempuan disebut lesbian/lesbi. Dalam penelitian

ini,

penulis

akan

membahas

tentang

lesbian/lesbi

(anonim, accessed, Dec. 14 2009). Kesamaan hobi atau aktivitas dapat menyebabkan terbentuknya komunitas. Pada masa sekarang ini mudah sekali dijumpai komunitas-komunitas yang terbentuk berdasarkan hobi dan aktivitas, sebagai contoh komunitas eksekutif muda yang lebih suka berkumpul di kafe, komunitas perkumpulan modifikasi motor, dan lain-lain. Di samping itu, komunitas yang terbentuk atas kesamaan orientasi seksual pun juga ikut terbentuk, sebagai contoh adanya komunitas lesbian dan gay. Komunitas ini sering berkumpul dan berinteraksi untuk mengembangkan jaringan komunikasinya sebagai orang-orang dengan kesamaan orientasi seksual. Lesbian adalah istilah perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian juga adalah seorang perempuan yang memiliki ikatan emosional-erotis dan seksual terutama dengan perempuan atau yang melihat dirinya terutama sebagai bagian dari sebuah komunitas yang mengidentifikasikan diri lesbian yang memiliki ikatan emosional-erotis dan seksual dengan perempuan, dan yang mengidentifikasikan dirinya seorang lesbian (Adhiati. 2007:26). Dalam lesbian dikenal istilah-istilah untuk membedakan apakah lesbian tersebut selaku laki-laki yang disebut butch, selaku perempuan yang disebut femme, bisa sebagai laki-laki atau perempuan disebut andro dan bukan laki-laki ataupun perempuan yang disebut no lebel. Biasanya yang berperan sebagai butch dapat dilihat/dibedakan dari cara berpakaiannya yang cenderung seperti laki-laki. Bahkan mereka sudah merasa seperti

4 laki-laki baik dalam berpakaian maupun bertingkah laku. Sedangkan femme biasanya seperti perempuan-perempuan pada umumnya yang berpenampilan feminin, suka berdandan dan tampak seperti perempuan normal. Andro dalam berpakaian lebih fleksibel, tergantung dari peran yang dilakoni pada saat itu, apakah dia sebagai perempuan atau laki-lakinya. Untuk lesbian no lebel biasanya tidak mempunyai cirri khas tertentu dalam berpakaian. Lesbian terpolarisasi menjadi beberapa kelompok, baik menjadi kelompok feminis saja, kelompok lesbian saja, kelompok perempuan biasa saja, atau bahkan hanya menjadi kelompok lesbian yang mengasingkan diri dari masyarakat dan mempunyai kehidupan yang tertutup (atau yang disebut dengan the lesbian in the closet) (Brooks. 2009:56). Negara Amerika, gerakan feminis pun kemudian terpecah menjadi fraksi-fraksi sesuai dengan bagaimana para feminis dan setiap fraksinya memandang kepentingan atau urgensi gerakan itu sendiri. Itu berarti bahwa hal tersebut bergantung pada bagaimana mereka meliahat dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan dalam masyarakat Amerika. Di antara seluruh fraksi yang ada, kaum feminis lesbian di Amerika yang lahir di akhir tahun 1960-an sebagai bagian dari kaum feminis radikal menjadi fraksi yang radikal dan kritis dalam menyikapi perkembangan gerakan feminis dan dalam cakupan yang lebih luas perkembangan demokrasi Amerika secara keseluruhan (Adiathi. 2007: 5). Feminisme lesbian merupakan sebuah ideologi terapan yang berasal dari dua ideologi yang telah berkembang terlebih dahulu, yaitu feminisme dan lesbianisme. Ideologi tersebut menjadi landasan bagi para penggeraknya, yaitu kaum feminis lesbian, untuk mewujudkan idealisme dan mencapai tujuan-tujuan dalam pergerakannya. Ideologi feminisme bersandar pada oposisi dialektis terhadap seluruh ideologi-ideologi dan

5 praktik-praktik penderitaan (misogyny). Sedangkan sebagai sebuah teori, feminisme bersifat holistik dan memusatkan perhatian pada hakikat penindasan global kaum perempuan (woman’s global oppression) dan subordinasinya terhadap laki-laki.Melalui teori dan praktik yang bersifat sosiopolitis, feminisme bertujuan untuk membebaskan seluruh perempuan dari supremasi laki-laki dan eksploitasi yang mengikutinya. Sementara itu, lesbianisme lebih dilihat sebagai sebuah katagori seksual, yaitu female homosexuality, yang memfokuskan istilah-istilah sexual behaviour dan sexual identification dalam penggunaannya. Sebagai bagian dari feminisme, lesbianisme lebih dilihat sebagai sebuah homo erotic desire di antara perempuan, atau secara luas lebih diartikan sebagai pengalaman kaum perempuan yang secara khusus melibatkan ikatan sosial, emosional dan erotis dari para perempuan. Dalam hal ini lesbianisme dilihat sebagai katagori politis yang lebih mementingkan woman identified experience daripada sekedar isu genital sexuality. Pada mulanya feminisme lesbian bersifat universal yang bisa eksis diberbagai tempat di seluruh belahan dunia. Namun dalam perkembangannya, feminisme lesbian yang berkembang di satu tempat menjadi unik dan berbeda dibandingkan dengan feminisme lesbian yang berkembang di tempat lain. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam perkembangannya gerakan feminisme lesbian sangat bergantung pada manusia dan kebudayaan setempat, yang berarti juga sangat bergantung pada kondisi tempat itu sendiri baik dari segi sosial, politik, ekonomi, hukum maupun budaya (Rueda, dkk. 2007:15). Feminisme lesbian di Amerika yang telah berkembang selama beberapa dekade telah mewarnai kehidupan masyarakatnya. Dalam hal ini tinjauan sejarah menjadi sarana yang signifikan untuk memahami lebih jauh perkembangan feminisme lesbian di

6 Amerika. Tinjauan sejarah ini dimaksud untuk melihat perkembangan feminisme lesbian secara keseluruhan, yaitu keterkaitan antara satu hal dengan hal yang lainnya (Adhiati. 2007:39-41). Sebagian kota besar khususnya di Bali yang memiliki beragam masyarakat menganut gaya hidup bermacam-macam. Tidak dapat dipungkiri, komunitas gay dan lesbian telah hadir di dalam masyarakat. Komunitas gay dan lesbian dapat dikatakan sebagai penganut paham liberalisme hedonis (paham keduniawian). Dikatakan seperti itu karena dulu biasanya lebih mudah menemukan komunitas gay dan lesbian di tempattempat hiburan malam. Sebagai contoh adalah gaya hidup mereka yang kini dapat ditemukan di klub-klub malam yang menjadi wadah tempat pertemuan mereka. Hal seperti itu sudah sangan lumrah dan dianggap tidak tabu lagi oleh sebagian besar kaum lesbian tersebut, sehingga mereka menjadi lebih mudah untuk menjalin ikatan antar sesama. Namun kali ini tidak hanya di tempat hiburan malam atau tempat tertutup, mereka sering kali hadir dan membaur dengan masyarakat seperti di tempat-tempat yang umum dijadikan sebagai pusat aktivitas melepaskan kepenatan masyarakat, yaitu kafe, mall atau plaza. Penganut homoseksual di Indonesia pada umumnya, dan di Bali pada khususnya tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya. Meskipun komunitas homoseksual yang hidup di Indonesia dan khususnya di Bali belum sebebas di negara barat mayoritas menganut norma timur dan agamis. Sementara di beberapa negara di barat, homoseksual baik gay maupun lesbian sudah bisa diterima sebagai pilihan hidup. Contohnya di Provinsi Basque, Spanyol yang mengizinkan warganya untuk menikah dengan sesama jenisnya. “Undang-Undang baru di Basque itu memberikan persamaan hak bagi pasangan hidup

7 bersama tanpa menikah untuk mengadopsi anak, pengenaan pajak serta perawatan kesehatan, membuat mereka setara dengan pasangan yang menikah secara resmi” ( Majalah Bisnis Indonesia. 2003:80). Adanya pengaruh dari barat mengenai kebebasan homoseksual sebagai pilihan hidup mempengaruhi keterbukaan komunitas homoseksual di Indonesia khususnya di Bali. Terbukanya komunitas homoseksual di Bali dapat dilihat dari adanya perkumpulanperkumpulan atau komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi khusus bagi kaum homoseksual dalam hal ini lesbian. Sebagai suatu kominitas yang berbaur dengan masyarakat lainnya, ternyata kaum homoseksual sulit dibedakan dengan masyarakat yang heteroseksual secara sepintas. Tetapi kaum homoseksual khususnya lesbian memiliki cirri khas tersendiri apabila kita melihatnya lebih jauh. Ciri khas secara fisik yang mereka miliki terlihat dari gaya mereka berkomunikasi atau atribut dan aksesori yang mereka gunakan. Ada masyarakat yang menerima keberadaan mereka, tapi pada umumnya masyarakat belum bisa menerima keberadaan mereka secara langsung. Di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya masih banyak yang menganggap kaum homoseksual khususnya lesbian itu sebagai penyimpangan seksual dan streotip negatif terhadap homoseksual, hal ini disebut homophobia. Penyimpangan yang dimaksud adalah adanya kelainan dalam hal seksual, di mana seharusnya laki-laki tertarik terhadap lawan jenisnya yaitu perempuan dan begitu pula seharusnya perempuan pun tertarik terhadap laki-laki, namun dalam hal ini terjadi kelainan yaitu dimana perempuan memiliki ketertarikan terhadap sesama perempuan dan tidak tertarik terhadap lawan jenisnya yaitu

8 laki-laki dan begitu juga laki-laki memiliki ketertarikan terhadap laki-laki dan tidak tertarik terhadap perempuan. Dengan melihat kondisi yang masih ”abu-abu” di dalam masyarakat dalam penerimaan terhadap keberadaan komunitas mereka, maka komunitas lesbian khususnya yang berada di Kuta mulai melakukan aksi-aksi/kegiatan-kegiatan positif yang bermanfaat bagi masyarakat. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka ada, dan juga mempunyai kegiatan yang positif, sehingga keberadaan komunitas mereka tidak lagi di pandang negatif oleh masyarakat.

1.2

Rumusan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan

yang dijadikan acuan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana eksistensi komunitas lesbian yang terpinggirkan di Kuta? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan komunitas lesbian yang terpinggirkan di Kuta tersebut eksis? 3.. Apa dampak dan makna eksistensi bagi komunias lesbian yang terpinggirkan di Kuta?

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan penelusuran mengenai bagaimana sebenarnya penyimpangan seksual tersebut, dalam hal ini lesbian dapat terjadi, dan sejauh mana mereka dapat diterima di masyarakat terutama di kawasan Kuta yang sangat

9 keterogen, serta menganalisis adanya keterkaitan antara era kekinian dengan semakin banyaknya populasi kaum lesbian.

1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

Untuk

mengetahui

eksistensi

yang

dilakukan

komunitas

lesbian

yang

terpinggirkan di Kuta. 2.

Untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan komunitas lesbian yang terpinggirkan di Kuta eksis.

3.

Untuk menginterpretasikan dampak dan makna eksistensi bagi komunitas lesbian yang terpinggirkan di Kuta.

1.4

Manfaat Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan : 1.

Dapat menambah khasanah, pengetahuan dalam hal adanya eksistensi komunitas lesbian yang terpinggirkan di Kelurahan Kuta.

2.

Hasil penelitian dapat dipakai sebagai referensi peneliti selanjutnya.

10 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi kita semua terutama orang tua dan komunitas lesbian khususnya agar dapat menghindari dan bahkan mengurangi terjadinya penyimpangan seksual yang sudah terjadi. Sehingga bermanfaat dalam menjaga kesinergisan antara kaum lesbian dengan masyarakat, agar dapat diterima selayaknya komunitas-komunitas yang lain.

11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1

Kajian Pustaka Beberapa kajian pustaka yang dijadikan acuan dasar menelaah permasalahan ini

diantaranya, Pitana (1994) dalam bukunya yang berjudul “ Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali”, tulisan ini membahas bahwa Pulau Bali diibaratkan gadis cantik yang ayu, memikat dan dirindukan banyak orang dipelosok dunia. Tidak mengherankan bila si gadis “doperkosa” dengan berbagai macam kepentingan. Semua itu terjadi tentu akibat dari gelombang globalisasi yang menghantam dari waktu ke waktu dan dari hari ke hari. Gigi globalisasi itu bermata dua, mata yang satu menyemburkan jamu, bedak dan gincu sehingga si gadis menjadi menawan. Tetapi mata yang satu lagi menyemburkan bisa, sehingga si gadis menjadi keracunan, kemasukan virus, sehingga kulit tubuhnya yang indah dan mulus itu menjadi bercak-bercak bernoda. Persamaan dengan penelitian ini adalah, globalisasi yang berpengaruh terhadap pergeseran nilai budaya dari masa ke masa, di satu sisi bisa berdampak positif terhadap perkembangan jaman, tapi disisi lain bisa juga berdampak negatif karena mengkikis nilai budaya ketimuran kita. Perbedaannya adalah disini globalisasi dicap merusak dan menimbulkan efek yang kurang baik bagi nilai budaya. Rahmat (1997), dalam tulisannya “Generasi di Tengah Arus perkembangan Informasi”, tulisan ini membahas tentang pengaruh teknologi informasi komunikasi mutakhir pada perubahan perilaku sosial generasi muda. Menurutnya salah satu bentuk

12 ketegangan dari kemelut yang terjadi akibat penetrasi media adalah hancurnya nilai-nilai tradisional dan merembesnya nilai-nilai modernitas yang distruktif. Sementara media teknologi informasi komunikasi sarat dengan muatan rangsangan seksual, perilaku agresif, konsumerisme dan sekuralisme ikut mewarnai gaya hidup. Karena tanpa disadari isi media-pun mempengaruhi struktur kognitif dan efektif kita. Persamaannya dengan penelitian, kapitalisme membawa muatan modernisme dengan salah satu bentuk gaya hidup yang dipresentasikan oleh komunitas lesbian. Perbedaannya adalah teknologi komunikasi yang mutakhir tidaklah semata-mata yang menjadi alat penghubung/alat komunitaki antar sesama lesbian dalam komunitas tersebuat Sarlito (1997), dalam bukunya yang berjudul “Gaya Hidup Kawula Muda Masa Kini”, menurutnya pergeseran itu bahkan sekarang sudah setingkat dengan orientasi menghilangkan nilai-nilai, norma-norma, orientasi pada gaya hidup yang menyimpang. Ketika uang menjadi simbol kekuasaan yang baru, semua hal dinilai bertumpu kepada materi, sehingga tidak heran kalau status, prestasi dan prestise-pun dianggap bisa dibeli, kalau dulu orang bisa mendapatkan uang karena status, sekarang orang mendapatkan status karena uang. Persamaannya dengan penelitian ini adalah bahwa budaya barat ini mengkultuskan uang, uang bisa menguasai segalanya termasuk dalam nilai, moral, maupun norma, martabat individu dan kelompok strata sosial masyarakat. Seperti apa yang kerap terjadi dalam komunitas lesbian, jika seorang butch, andro atau femme mempunyai banyak uang, walaupun dari segi fisik tidak terlalu menonjol, maka mereka akan “dikerumuni” oleh penggemar-penggemar yang ingin mendekat entah itu sebagai teman bahkan sebagai orang spesial. Pandangan ini identik dengan kapitalis, yang mottonya adalah tempat suciku pasar, agamaku adalah uang. Perbedaannya adalah

13 dalam budaya komunitas lesbian tidak mengkultuskan uang, karena uang merupakan simbol atau sarana dalam prosesi interaksi individu antar individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok sebatas simbol. Syarifah (2006) dalam bukunya “ Kebersetubuhan Perempuan dalam Pornografi”, dalam buku tersebut diatas membahas tentang bentuk pornografi jaman modern melalui pornoaksi, penggambaran aksi gerakan tubuh, penonjolan bagian-bagian tubuh yang dominan memberi rangsangan seksual, sampai dengan aksi ini dipertontonkan payudara dan alat fital yang tidak disengaja, maupun yang disengaja untuk memancing pembangkitan nafsu seksual yang melihatnya. Pornomedia dalam konteks media masa, pornografi, pornoteks, pornosuara, dan pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan dengan karakter media yang menyiarkan porno itu. Dengan demikian, konsep pornomedia, termasuk menimbulkan histeria seksual dimasyarakat, meliputi realitas porno yang diciptakan oleh media, ditayangkan di televisi, cerita porno yang disiarkan di radio, provider telepon yang menjual jasa suara rayuan porno, dan lain sebagainya. Dalam konteks penelitian dengan kajian tersebut terdapat persamaan dengan penelitian penulis seperti menonjolkan bagian-bagian tubuh, dengan memamerkan perut, paha melalui mode kekinian seperti baju dan rok mini. Akhirnya akan memancing rangsangan seksualitas, dan biasanya yang berpenampilan seperti itu tergolong para femme atau lesbian yang berpenampilan feminin. Perbedaannya adalah faktor wahana medianya, komunitas lesbian biasanya berada di lingkungan sosial yang tertutup untuk kalangan atau komunitas itu saja. Sedangkan dalam Syarifah, di samping secara langsung

14 dalam masa kini seperti media sarana telepon. Media cetak, media suara, media televisi dan sebagainya. Relevansinya dengan penelitian ini adalah antara gigolo dan komunitas lesbian sama-sama menghalalkan sesk bebas demi kepuasan dia dan pasangannya. Perbedaannya adalah jika gigolo selain mencapai kepuasan seksual juga berorientasi untuk mendapatkan imbalan berupa uang, dan bahkan dijadikan mata pencahariannya. Namun bagi komunitas lesbian, bukanlah uang yang menjadi tujuannya, tetapi kepuasan seksual secara lahiriah dan bathiniah, serta menentang kodrati perempuan, mengumbar nafsu seksual murahan melalui praktek-praktek menarik hati para butch atau femme dengan daya tariknya melalui cara berpakaian dan sebagainya. Susilo (Tesis, 2006) dalam tulisannya berjudul “T-shirt sebagai Refrensi Gaya Hidup Remaja Kota Medan”, dalam tulisan tersebut membahas tentang penampilan Tshirt sebagai gaya hidup, senantiasa merefleksikan dirinya sendiri menjadi identitas idola, yaitu refresentasi ideologi konstruksi budaya, asosiasi simbol status sosial, kelas sosial, budaya ber-merk dan ber-lebel pada diri sendiri sebagai fantasi dari ilusi kedustaan. Jadi dihubungkan

dengan

kajian

dalam

bentuk

persamaannya

adalah

sama-sama

mengaplikasikan dalam bentuk tampilan, komunitas lesbian bisa kita bedakan antara butch atau femme biasanya dari cara berpakaian mereka. Biasanya yang butch akan berpenampilan tomboy dan bergaya seperti laki-laki, sedangkan yang femme tampil dengan pakaian yang lebih feminin, dan tampak sama seperti tampilan-tampilan perempuan lain pada umumnya. Perbedaannya adalah kalau remaja Kota Medan membutuhkan pengakuan status, kelas dalam strata sosial masyarakat dengan cara berpakaian ber-merk dan ber-lebel, lain halnya dengan komunitas lesbian dimana cara

15 berpakaian mereka untuk menunjukkan identitas mereka, apakah mereka itu butch atau femme. Triana Adhiati dalam bukunya yang berjudul Gerakan Feminis Lesbian, Studi Kasus Politik Amerika 1990-an (2007), tidak semua kaum lesbian itu feminis atau bahkan sebaliknya. Feminisme lesbian bagi sebagian kaum lesbian hanya merupakan pilihan. Buku ini juga menunjukkan bahwa perjuangan kaum feminis lesbian di Amerika tahun 1990-an jelas merupakan kebangkitan kaum feminis lesbian dari keruntuhan perjuangan sebelumnya, dimana kebangkitan tersebut menjadi dasar bagi kaum feminis lesbian untuk mentransformasikan bentuk dan pola perjuangannya agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Amerika, yaitu dengan mengubah gerakan sosial separatis menjadi gerakan sosial politik praktis. Persamaannya adalah di mana sedari dulu kaum feminis baik itu komunitas lesbian itu sendiri telah berjuang untuk dapat diterima di masyarakat sebagaimana masyarakat lainnya, perbedaannya adalah kalau di Amerika kaum feminis lesbian berjuang agar dapat juga diterima dalam dunia politik, di indonesia khususnya di Bali, perjuangan komunitas lesbian baru sebatas agar mereka diterima dan mendapat perlakuan yang sama dengan masyarakat lainnya dengan cara tetap eksis. Ann Brooks dengan bukunya Posfeminisme dan Cultural Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensip (2009), dalam buku ini membahas tentang feminisme barat, selama beberapa tahun yakin tentang pembedaan seks/gender, “anlisis patriarkhi”, isu perbedaan seksual yang disoroti sebagai sebuah tidak diartikulasikan secara memadai didalam teori feminis. Persamaan dengan tulisan ini adalah dimana perbedaan seksual atau gender masih sangat menjadi sorotan dan perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan

16 masih sangat sulit, perbedaannya kalau kala itu yang diperjuangkan oleh kaum feminis adalah kesetaraan, komunitas lesbian di Kuta adalah menunjukkan bahwa komunitas mereka ada dan ingin diakui keberadaannya dan dapat diterima oleh masyarakat layaknya yang lain. Marisa Rueda, dkk dalam bukunya Feminisme untuk pemula (2007), dalam buku ini membahas tentang kaum feminis lesbian memunculkan tantangan dalam bentuk perbedaan dalam hal relasi perempuan dengan keluarga inti heteroseksual yang didominasi laki-laki. Serta sejarah dan perlawanan-perlawanan para feminis lesbian di berbagai negara. Persamaan dengan tulisan ini adalah bagaimana relasi atau hubungan antara komunitas lesbian dengan keluarganya, perbedaannya adalah dalam buku itu relasi yang dibahas juga termasuk relasi terhadap keluarga yang didominasi oleh kaum lakilaki, sedangkan komunitas lesbian di Kuta lebih ke relasi dengan keluarga dan masyarakat itu sendiri. Riant Nugroho dalam bukunya Gender dan Administrasi Publik, Studi tentang Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Paca Reformasi 1998-2002 (2008), membahas tentang gender pada abad ke-18 justru diartikan sebagai kelompok homoseksual. Rendahnya kualitas kesetaraan gender dalam administrasi publik Indonesia dihipotesiskan berpengaruh terhadap kulitas kesetaraan gender secara nasional. Persamaannya adalah adanya gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan gender untuk kaum feminis, perbedaannya adalah pada saat itu gender pada saat itu diidentikkan dengan homoseksual, tapi sekarang komunitas lesbian ingin diakui ke-eksisannya secara tersendiri terlepas dari kesetaraan gender tersebut.

17 Hamzah B. Uno dalam bukunya Orientasi baru dalam Psikologi Pembelajaran, dimana dalam buku ini membahas tentang alternatif pendekatan pembelajaran ditinjau dari sudut pandang psikologi, dimana terdapat pendekatan secara perilaku (behaviour approach), pendekatan kognitif (cognitive approach) dan pendekatan terapan (applied approach). Persamaan dengan tulisan ini adalah dimana dalam dalam psikologi terdapat pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu mendaptkan pengakuan yang sama dari masyarakat, sedangkan perbedaannya adalah dimana terkadang teori pendekatan-pendekatan tersebut dalam prakteknya tidak dapat diterapkan, sehingga komunitas lesbian tetap belum dapat diterima di masyarakat. Sedangkan Ti-Grace Atkinson menggambarkan bahwa lesbianisme dalam sudut pandang kaum feminis menjadi alat untuk menaikkan harkat kaum perempuan secara keseluruhan, karena lesbianisme itu sendiri menunjukkan perlawanan terhadap tekanan yang dialami oleh kaum perempuan melalui jati diri atau identitasnya. Lebih jauh Atkitson berpendapat bahwa lesbianisme bukan hanya sekedar isu, tetapi merupakan pilihan bagi kaum perempuan baik secara individu maupun kelompok untuk memperjuangkan berbagai kepentingan dalam hidupnya. Persamaannya dengan tulisan ini adalah, sama-sama menunjukkan perlawanan terhadap tekanan yang dialami oleh kamum perempuan melalui jati diri atau identitasnya. Sedangkan perbedaannya adalah di dalam tulisan diatas lesbianisme dianggap sebagai alat untuk menaikkan harkat kaum perempuan, sedangkan komunitas lesbian di Kuta memperjuangkan kesetaraanya adalah untuk mendapat pengakuan yang sama. Selanjutnya, pemahaman tentang kaum feminis lesbian tidak akan pernah bisa berhasil dengan baik apabila tidak disertai dengan pengertian yang memadai tentang latar

18 belakang yang memotivasi kaum feminis lesbian untuk melawan perlakuan diskriminatif yang selama ini mereka terima.

2.2

Konsep Konsep merupakan suatu kerangka berfikir untuk mengarah pada gambaran dari

suatu kejadian atau fakta dan gejala. Hal demikian bermaksud untuk menyamakan persepsi terhadap istilah yang digunakan, juga untuk menghindari kesalahpahaman antara yang dimaksud oleh penulis dengan pembaca. Konsep juga merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena sosial yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian atau peristiwa, keadaan, kelompok maupun individu tertentu. Melalui berbagai konsep diharapkan bisa menyederhanakan pemikiran untuk beberapa kejadian yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan (Hadi.1999/2000: 17). Berikut konsep-konsep yang berhubungan dengan eksistensi komunitas lesbian yang terpinggirkan di Kelurahan Legian sebagai kajian dari studi kajian budaya, antara lain :

2.2.1

Komunitas Lesbian Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi

lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal

19 dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak". Adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi dalam suatu daerah tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1995). Konsep komunitas dalam perspektif ilmu sosial dan antropologi mempunyai arti yang dapat menyempit dan meluas, walaupun disepakati bahwa faktor ikatan wilayah adalah merupakan inti dari konsep komunitas. Lesbian adalah seorang perempuan yang memiliki ikatan emosional-erotis dan seksual terutama dengan perempuan atau yang melihat dirinya terutama sebagai bagian dari sebuah komunitas yang mengidentifikasikan diri lesbian yang memiliki ikatan emosional erotis dan seksual dengan perempuan dan yang mengidentifikasikan dirinya seorang lesbian (Adhiati,2007). Lesbian adalah perempuan-perempuan yang hidup dan bercinta secara mandiri dari laki-laki (Rueda, dkk, 2007). Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian adalah seorang yang penuh kasih. Pada saat ini kata lesbian digunakan untuk menunjukkan kaum gay wanita (Wikipedia bahasa Indonesia). Lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita. Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan di ikuti kata Lesbia, namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian. Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya dan agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena

20 semakin zaman terus berkembang orang-orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian (Kartono, 2009 : 249).

2.2.2 Eksistensi Adalah keberadaan, wujud yang tampak dari suatu benda yang membedakan antara suatu benda dengan benda yang lain ( Tim Prima Pena, 2006:103) Eksistensi juga merupakan keadaan berkat kesadarannya manusia mampu melampaui situasi-situasi yang melingkarinya, mampu mengatasi apa yang faktum dan daktum lengkap dalam proses yang transendensi melampaui pagar-pagar yang membatasi alam pengukungnya ( Sutrisno, 2005: 355 ).

2.2.3 Terpinggirkan Kemunduran perlahan dalam menyatunya kelas-kelas atau kategori pekerjaan utama. Dapat dikatakan juga bahwa terdapat reduksi reduksi kepercayaan (Chirs Barker,2008). Berasal dari kata dasar pinggir yang artinya tepi, kemudian menjadi peminggir(an) yang artinya perbatasan (negeri dan sebagainya), penduduk di perbatasan. Pinggiran berarti tepi, perbatasan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1995)

2.2.4 Kuta Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta Tengah, Kabupaten Badung merupakan salah satu kelurahan dari 5 kelurahan yang ada di Kecamatan kuta Tengah, Kabupaten Badung. Kuta masih berada dikawasan daerah periwisata yang terkenal dengan pantainya yang berpasir putih, dan ombaknya yang menarik untuk berselancar. Sebagian besar wilayah

21 pemanfaatannya sebagai pemukiman umum penduduk serta akomodasi pariwisata/hotel, pertokoan dan perdagangan. Dengan nuansa religius yang sangat kental dalam kehidupan sosial budaya yang tinggi disertai budaya yang bermacam-macam, hotel, restaurant dan cafe, art shop, penyewaan kendaraan bemotor dan lainnya membawa Kuta menjadi tujuan wisata dunia (Profil Kelurahan Kuta 2008).

2.2.5 Komunitas Lesbian yang Terpinggirkan Yang dimaksud dengan Komunitas Lesbian yang Tepinggirkan merupakan suatu komunitas yang terbentuk berdasarkan persamaan orientasi seksual, persamaan tujuan dan gaya hidup. Dimana komunitas lesbian tersebut masih belum bisa diterima secara untuh oleh masyarakat maupun negara. Keberadaan komunitas lesbian yang dianggap suatu penyimpangan, melanggar norma agama serta menentang kodrat yang menyebabkan belum bisanya komunitas tersebut diterima sepenuhnya oleh masyarakat dan negara. Keberadaan komunitas lesbian yang terpinggirkan tersebut masih dianggap seperti suatu “penyakit menular” yang harus dihindari. Dengan gaya berpakaian seorang butch yang dipandang aneh oleh masyarakat, serta pencitraan mereka (komunitas lesbian) yang kurang baik di mata masyarakat, menyebabkan adanya penolakan pengakuan dari masyarakat pada umumnya. Indikator terbentuknya komunitas lesbian yang terpinggirkan adalah sebagai berikut: 1. Dikarenakan adanya kesamaan orientasi seksual. 2. Adanya kesamaan gaya hidup

22 3. Adanya kesamaan tujuan yaitu ingin agar keberadaan komunitas lesbian dapat diterima masyarakat. Dengan kesamaan tersebut di atas, seseorang (lesbian) mempunyai ikatan emosional yang kuat antar satu dengan lainnya, yang mempunyai perasaan senasib, kesamaan orientasi seksual, dan memperjuangkan hal yang sama yaitu perjuangan untuk mendaptkan pengakuan di masyarakat, negara dan hukum. Maka terbentuklah komunitas lesbian ini dengan harapan dan tujuan agar kelak perjuangan mereka untuk dapat diterima oleh masyarakat umum dan negara sebagai bagian dari mereka tanpa adanya perbedaan seperti sekarang ini (anonim, accessed, Marc, 15, 2009).

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Hegemoni Gramsci menilai bahwa hegemoni adalah suatu situasi fraksi (golongan, kumpulan orang-orang) kelas penguasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan persrtujuan secara sadar. Dengan demikian hegemoni ada dua jenis yakni hegemoni sebagai paksaan dan hegemoni sebagai kerelaan. Tiga istilah pokok mengidentifikasi bidang-bidang yang berbeda, tetapi saling berhubungan, dalam suatu formasi sosial yang membentuk landasan bagi konseptualisasi hegemoni. Ketiga istilah ini yang telah disebut di atas adalah : perekonomian, negara dan masyarakat sipil. Gramsci memberikan penekanan pada negara atau masyarakat politik dan masyarakat sipil, sehingga membedakan karyanya dengan karya-karya para penulis marxisme terkemuka yang lain. Penekanan ini tidak mengabaikan perekonomian tetapi

23 berfungsi untuk membantu marxisme supaya tidak menjadi suatu bentuk ekonomisme, yaitu pandangan bahwa landasan ekonomi menentukan pelbagai superstruktur seperti agama, politik, seni, hukum atau pendidikan. Orisinalitas

konsep

Gramsci

tentang

hegemoni

terutama

berasal

dari

keterpisahannya dari pendekatan marxisme yang dogmatis, suatu pendekatan yang melihat marxisme hanya sebagai suatu teori tentang kelas-kelas yang ditentukan secara ekonomi dan tindakan-tindakan mereka. Menurut Gramsci, usaha kelompok dogmatis untuk mengubah marxisme menjadi suatu skema ilmiah yang mekanistis, deterministis, dan positivistik menyebabkan suatu penekanan yang berlebihan terhadap bidang ekonomi dan analisis kelas yang diderivasi dalam bidang tersebut yang berkaitan dengan “hubungan dengan sarana produksi”. Bentuk marxisme ini mengasumsikan bahwa begitu perubahan dalam kepemilikan sarana ekonomis bagi produksi, distribusi dan pertukaran telah tercapai, tidak akan ada lagi hambatan-hambatan yang berat bagi suatu masyarakat benar-benar demokratis dan bebas. Menurut pendapat Gramsci asumsi ini keliru, karena hal itu mengabaikan bidang-bidang pokok lainnya dalam masyarakat, yaitu negara dan lembaga-lembaga masyarakat. (Bcock, 25).

2.3.2 Teori Dekonstruksi Derrida menggungkapkan dekonstruksi adalah pembongkaran sebuah teks untuk mencari tahu dan menunnjukkan asumsi-asumsi yang dipegang oleh teks tersebut. Secara lebih khusus dekonstruksi berarti melakukan pembongkaran atas oposisi-oposisi biner hirarkis, seperi tulisan/tuturan, realitas/penampakan, alarm/budaya, akal/kegilaan dan lain-lain, yang berfungsi menjamin kebenaran dengan menapikkan pasangan yang lebih

24 inferior dalam masing-masing oposisi biner (Barker, 2005). Derrida mengartikan dekonstruksi dengan pembongkaran, pelucutan, penghancuran, penolakan dan berkaitan dengan penyempurnaan arti semula. Fokus Derrida adalah bahasa dan dekonstruksi atas hubungan langsung (immediacy) atau identitas antara kata dan makna. Derrida menerima argumen dari Saussure bahwa makna tidak berasal dari acuannya kepada sebuah dunia objek, melainkan dihasilkan oleh hubungan-hubungan antar penanda. Derrida mengatakan konsekuensi dari permainan penanda ini menyebabkan makna tidak pernah bisa tetap, makna tidak pernah identik dengan dirinya sendiri, karena muncul pada konteks yang berbeda-beda, tanda tidak memiliki makna yang mutlak sama. Konteks yang berbeda akan memberikan kata yang berbeda dan juga makna yang berbeda. Makna tidak pernah sama dari satu konteks ke konteks yang lain (Ritzer, 2006: 206). Sebuah kata akan membawa banyak makna, termasuk gaung (echoes) atau jejak-jejak (traces), makna lain berasal dari kata-kata tang lain dan dalam konteks yang lain pula (Barker, 2005: 24-25). Derrida cenderung melihat makna yang bersifat kontekstual, relatif dan interpretatif, sehingga tidak dimungkinkan adanya konvensi atau konsesus bersama dibaliknya. Derrida mengemukakan konsep yang dikenal dengan konsep difference yang berarti menangguhkan sekaligus membedakan. Derrida juga mengatakan bahwa difference merupakan sebuah struktur dan sebuah pergerakan yang tak dapat dibayangkan dengan dasar pertentangan kehadiran/ketidak hadiran, dan merupakan permainan sistematik dari perbedaan, ataupun jejak-jejak perbedaan, dari spacing (espacement) dengan mana unsure-unsur mengacu ke satu sama lainnya (Sturrock, 2004: 268).

25 Konsep difference menyiratkan bahwa sebuah relasi tanda melintas kesana-kemari tanpa henti di dalam sebuah ruang interpretasi yang sangat terbuka, dinamis tanpa pernah berhenti dalam sebuah titik konsensus yang disebut dengan makna atau kebenaran abadi. Al-Fayyadl (2005: 100) mengungkapkan bahwa konsep difference yang digunakan Derrida menawarkan ketidakadaan aturan dan konsensus, ketidak stabilan kode, ketidak mungkinan makna, ketidak adaan otoritas dan tanggung jawab. Difference mengandung segala sesuatu kondisi ketidak pastian/ ketidak adaan putusan karena tidak ada satu klaim kebenaran akhir (logos) yang dapat diterima. Dengan demikian maka tidak ada satu makna akhirpun yang dihargai, disebabkan oleh semuanya dianggap mempunyai kecenderungan logosentrisme. Derrida menolak diterminasi logosentris (kebenaran tunggal/makna tunggal), makna produktivitas dan kreativitas dalam bahasa dapat ditingatkan khususnya produktivitas dan kreativitas dalam bahasa. Difference dipergunakan untuk menjelaskan proses bebas permainan penanda yaitu berupa pergerakan atau interaksi dari diterminasi diri dari fondasi-fondasi metafisis dan logosentris (Piliang, 2003: 222-223). Menurut Kuta Ratna (2005: 250-252) dekonstruksi juga dapat diartikan dengan pengangguran atau penurunan intensitas konstruksi itu sendiri. Dalam mendekonstruksi strukturalisme misalnya kegiatan yang dilakukan terus-menerus dalam mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsur-unsur dominan tidak mendominasi unsur-unsur yang lain. Dekonstruksi dimaksudkan adalah semacam pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah menyusun kembali kedalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakekat obyek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

26 Agar

dekonstruksi

benar-benar

menciptakan

dinamika,

kreativitas

dan

produktivitas tafsiran yang berguna bagi kemajuan manusia, maka sebuah perlakuan baru terhadapnya diperlukan. Dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi (reconstruction) yang berarti menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi. Rekonstruksi disini dapat ditafsirkan sebagai proses penataan ulang secara terus-menerus struktur juga didekonstruksi terus-menerus. Teori ini sangat tepat digunakan untuk menganalisa tentang bentuk, fungsi dan hakekat makna dari eksistensi komunitas lesbian yang terpinggirkan di Kelurahan Kuta.

2.3.3 Teori Feminisme Adalah bidang teori dan politik yang mengandung berbagai perspektif dan preskripsi yang saling bersaing dalam rangka melakukan tindakan. Namun secara umum, kita bisa mengatakan feminisme berpendapat bahwa seks bersifat fundamental dan tidak dapat direduksi menjadi poros organisasi sosial, yang pada zamannya, telah menyubordinasikan perempuan di bawah laki-laki. Jadi feminisme pada intinya menaruh perhatian pada seks sebagai prinsip pengatur hehidupan sosial dimana relasi gender sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan (Barker,2008) Teori Feminisme adalah tentang perlawanan terhadap pembagian kerja di suatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang berkuasa dalam ranah publik, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang, pemerintahan, sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah di rumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga (Rueda, dkk. 2007: 3).

27 Teori Feminis Kontemporer adalah produk dari pergolakan epistemologis yang telah menjadi karakteristik bagi dirinya sendiri sebagaimana area disiplin lainnya, seperti ilmu sosial humaniora (Brooks,2009: 38). Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada wanita. Sebagai teori yang terpusat pada wanita, ada tiga hal yang menjadi sasaran, diantaranya : 1. Situasi dan pengalaman wanita dalam masyarakat, 2. Wanita dijadikan sentral yang artinya mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang wanita terhadap sunia sosial, 3. Perjuangan demi kepentingan wanita yang mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk wanita ( Ritzer, 2004: 403-404). Teori feminis lahir dari adanya gerakan feminis yaitu gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dengan laki-laki ( Sumiari, 2004: 57 ). Diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi wanita dibandingkan lakilaki di masyarakat timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeleminasi dan menemukan formula kesetaraan hak wanita dengan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia ( Ibid, 2004: 58). Senada dengan hal tersebut, sebagaimana diungkapkan juga oleh Kutha Ratna ( 2004: 84 ), tujuan feminis adalah keseimbangan dan interelasi gender. Terkait dengan tujuan tersebut, Hubies ( 1997:20-21 ), dalam Sumiari ( 2004:59 ) memberikan rincian tujuan gerakan feminis sebagai berikut : 1.

Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia.

28 2.

Menolak setiap perbedaan antar umat manusia yang dibuat atas dasar jenis kelamin.

3.

Menghapus semua hak istimewa atau pun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.

4.

Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang lakilaki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.

2.3.4 Teori Semiotik Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan pemaknaan. Ilustrasi “klasik” argumen semiotik dikaitkan dengan pengaturan dan regulasi warna dalam kode budaya lampu lalu lintas. Warna adalah perubahan spektrum cahaya yang kita klasifikasikan dengan warna seperti merah, hijau, coklat kekuningan dan selanjutnya. Tentu saja, tidak ada alasan universal mengapa tanda “merah” harus mengacu kepada warna tertentu, hubunganhubungan tersebut bersifat arbitrer. “Warna” yang sama dapat ditampilkan dengan tanda ‘rojo’. Sudah menjadi sentral dalam Saussure bahwa merah memiliki makna dalam kaitannya dengan perbedaan antara mereah, hijau, coklat kekuningan, dan lain-lain. Tanda-tanda ini kemudian ditata kedalam suatu urutan yang membentuk makna melalui konvensi budaya pemakaian mereka di dalam konteks tertentu. Jadi, lampu lalu lintas menggunakan “merah untuk menandakan berhenti, dan hijau untuk menandai jalan. Ini adalah kode budaya sistem lalu lintas yang kadang-kadang memapankan hubungan antara warna dengan makna. Tanda menjadi kode alamiah. Transparansi makna (‘kita’ tahu

29 kapan harus berhenti dan kapan harus jalan) adalah suatu hasil pembiasaan budaya, yang efeknya adalah menyembunyikan praktik pengodean budaya. Kontribusi Saussure adalah mempelajari suatu arena linguistik yang didefinisikan secara sempit. Namun, dia memperkirakan kemungkinan adanya ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Ini karena objek budaya mengungkapkan makna, dan semua praktik budaya tergantung kepada makna yang dibangun oleh tanda. Walhasil, kebudayaan dikatakan bekerja seperti bahasa dan semua praktik budaya terbuka bagi analisis semiotik. Karena itu, Barthes (1967, 1972) mengambil pendekatan Saussure, melakukan modifikasi dan menerapkannya kepada praktik budaya pop dengan suatu

penglihatan

untuk

menunjukkan

membentuk makna (Barker, 2004: 71-72).

bagaimana

peristiwa-peristiwa

tersebut

30 2.4 Model Penelitian

Gambar: 2.1 Bagan

Komunitas Lesbian

-

-

Gaya hidup modern Kurang perhatian dari keluarga Pengaruh lingkungan

Eksistensi komunitas lesbian

Masyarakat Kuta

Eksistensi Komunitas Lesbian yang Terpinggirkan di Kuta

Faktor-faktor yang menyebabkan eksistensi komunitas lesbian

- Adat istiadat - Modernisasi

Dampak dan makna eksistensi komunias lesbian

Penjelasan Gambar: ↔

: hubungan 2 arah. Unit yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi.



: hubungan 1 arah. Unit yang satu mempengaruhi terjadinya unit yang lain.

31 Penjelasan Model Globalisasi membawa dampak besar tehadap perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat. Dampak yang diakibatkan bisa saja positif bagi masyarakat namun bisa juga berdampak negatif, dan ini merupakan dua hal yang selalu berdampingan, tergantung kepada bisa tidaknya masyarakat tersebut memilah-milah mana yang pantas ditiru dan mana yang tidak. Dampak ini berpengaruh juga terhadap kebudayaan daerah tersebut, yang tentu saja tidak bersifat statis, namun kebudayaan tersebut dinamis berubah mengikuti perkembangan zaman seiring adanya perubahan pola perilaku masyarakat. Adanya perubahan dan perkembangan di dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebudayaan sebagai pembawa arus utama (mainstream) yang menjadi sebuah kebudayaan dominan dalam masyaraktnya. Pesatnya arus informasi dari luar sebagai dampak dari adanya globalisasi membawa pengaruh dalam perkembangan kebudayaan, sehingga nilai-nilai budaya yang sifatnya global, baik berasal dari Barat maupun lokal sedikit banyak telah merubah gaya hidup dan perilaku kaum remaja khususnya perempuan (lesbian). Globalisasi sendiri merupakan sebuah proses kebudayaan dimana ada kecenderungan wilayah-wilayah di dunia menjadi satu dalam format sosial, ekonomi dan politik. Dalam proses ini, seolah-olah tidak ada lagi wilayah di dunia ini yang dapat menghindari proses globalisasi. Budaya tanding (counter culture) lesbian muncul dalam budaya besar dengan sebuah komunitas selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, budaya lesbian bukanlah suatu gejala sosial yang lahir begitu saja. Eksistensi komunitas lesbian di tengah-tengah

32 masyarakat dengan segala kekhasannya dan pola perilaku yang dimiliki telah menjadikannya sebagai budaya/gaya hidup baru dalam sebuah budaya besar masyarakat. Kelurahan Kuta yang merupakan wilayah yang memiliki kebudayaan yang sangat heterogen, dan di sana terdapat bermacam-macam kebudayaan baik lokal maupun budaya Barat yang telah menjadi satu. Kelurahan kuta merupakan daerah tujuan wisata yang sangat terkenal baik di dalam negeri maupun mancanegara, yang merupakan daerah urban yang terdapat di pusat pariwisata Kabupaten Badung yang telah terbawa arus globalisasi yang diriingi oleh pariwisata. Munculnya eksistensi komunitas lesbian di Kelurahan Kuta sebagai bentuk perlawanan yang lahir dari masyarakat yang terpinggirkan dengan kondisi masyarakat urban. Komunitas ini sebagai simbol perlawanan dan eksistensi mereka dalam menunjukkan simbol kebebasan dari segala macam aturan dan norma ke-Timuran yang serba mengikat. Mereka mencoba melepaskan diri dari suatu bentuk kemapanan, identitas sosial. Mereka ingin menampilkan sesuatu yang baru dan lain yang diyakini sebagai sebuah gaya hidup.

33 BAB III METODE PENELITIAN

3.1

Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif (Moleong,

2001:2). Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini, mengacu kepada pendapat Straus dan Corbin (2003:5) yang mengemukakan bahwa : “Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui. Demikian pula metode kualitatif dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif”. Adapun alasan lain mengapa digunakan pendekatan kualitatif, juga mengacu kepada pendapat Schwartz dan Jacobs (Bruce at al, 1991: 235) yang mengemukakan bahwa

penelitian kualitatif dapat memahami perilaku sosial karena penelitian ini

“menemukan “definisi situasi” dari perilaku-yakni persepsinya, dan interpretasinya tentang realitas dan bagaimana ini mempengaruhi perilakunya” . Sesuai dengan sifat pendekatan kualitatif yang mempunyai fleksibilitas yang tinggi, dengan mengikuti pola pemikiran yang bersifat empirical inductive, segala sesuatu dalam penelitian ini ditentukan dari hasil akhir pengumpulan data yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya di lapangan.

Maka, penelitian ini mempunyai karakter

eksploratori, yang menekankan proses daripada produk.

34 3.2

Lokasi Penelitian Peneliti akan mengambil lokasi penelitian di Kelurahan Kuta, pertimbangan

penulis mengambil daerah Kuta sebagai lokasi penelitian adalah 1.

Daerah Kuta penduduknya sangat heterogen antara masyarakat lokal, wisatawan domestik dan wisatawan asing dengan berbagai gaya hidup (life style) mereka masing-masing.

2.

Hubungan antara masyarakat lokal, pendatang dan wisatawan asing cenderung cuek, tidak seperti di daerah-daerah lain, karena adanya kecenderungan hubungan bisnis antara pembeli dan penjual.

3.

Di samping itu di kawasan Kuta banyak terdapat tempat hiburan malam yang identik dengan tempat berkumpulnya kaum lesbian, jadi peneliti akan dapat lebih mudah untuk mencari informasi dan data-data yang dianggap perlu.

3.3

Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, jenis data yang dipergunakan adalah data kualitatif. Sumber

data dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari informan dan observasi langsung ke lapangan, dimana peneliti melakukan penelitian dengan terlibat langsung dalam kehidupan sosial komunitas lesbian. Peneliti ikut secara langsung dalam kegiatankegiatan yang dilakukan komunitas lesbian, namun keberadaan peneliti dalam hal ini menekankan pada pengalaman sebagai pihak luar/orang luar (outsider experrience) dan pengalaman sebagai orang dalam dengan melibatkan segala emosi dan perasaan untuk mendapatkan data yang lebih mendalam (Spradley,1997: 105-128).

35 Di samping data primer, digunakan juga data sekunder sebagai penunjang yakni data yang diperoleh dari penelitian perpustakaan (library research) berupa dokumendokumen, buku-buku (literature), laporan hasil penelitian, makalah dan artikel dalam surat kabar yang berkaitan dengan objek penelitian yang akan mendukung data dilapangan.

3.4

Teknik Penentuan Informan Berkenaan dengan penelitian Eksistensi Komunitas Lesbian yang Terpinggirkan

yang akan dilaksanakan di Kuta, selain menggali data dari sumber kepustakaan, juga data diambil dari informan. Informan yang dimaksud adalah informan yang mengetahui kondisi tentang informasi mengenai komunitas lesbian tersebut, ada beberapa informan yang bisa diwawancarai, yaitu June, Flo dan Ogut dkk. Penentuan informan dilakukan secara purposive dan snow balling. Pemilihan mereka sebagai informan adalah karena mereka dianggap sebagai perwakilan dari komunitas lesbian yang terdiri dari berbagai kalangan dan mempunyai latar belakang yang berbeda, dan mereka dianggap sebagai orang yang disegani dan paling luas jaringannya di dalam komunitas tersebut.

3.5

Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat (instrumen) yaitu pedoman

wawancara. Nawawi (1995: 69) mengemukakan bahwa dalam pengumpulan data diperlukan alat (instrumen) yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. Menurut Nawawi (1995: 74) dalam melakukan observasi munculnya gejala-gejala dalam variabel penelitian harus segera

36 dicatat, meskipun dengan cara paling sederhana. Catatan yang paling sederhana itu disebut anekdot, karena bentuknya sekedar lembaran-lembaran kertas putih atau sebuah buku catatan. Selama penelitian di lapangan, data akan dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam, dibantu dengan kamera sebagai alat dokumentasi dan buku catatan (note book) untuk mencatat aspek-aspek yang perlu dicatat.

3.6

Teknik Pengumpulan Data Penelitian kualitatif umumnya menggunakan tiga teknik pengumpulan data yakni;

(1) wawancara mendalam (indepth interview), (2) observasi, dan (3) studi kepustakaan. Ketiga teknik ini digunakan dengan harapan dapat memperoleh seperangkat informasi dan data yang memadai. a.

Teknik Observasi Teknik yang digunakan ini diharapkan dapat menarik inferensi tentang makna dan pemahaman yang tidak terucap (tacit understanding) yang tidak didapatkan baik pada wawancara ataupun dokumentasi.

b.

Teknik Wawancara Wawancara yaitu cara pengumpulan data dengan mengadakan wawancara mendalam melalui informan kunci yang memahami situasi dan kondisi onjek penelitian. Teknik wawancara yang dipergunakan adalah wawancara tidak berstruktur yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung, informasi yang diperoleh slanjutnya dicatat dan direkam.

37 c.

Teknik Kepustakaan untuk mencari data-data, memperluas wawasan dan lebih mendalami materi, dilakukan di berbagai perpustakaan terutama perpustakaan S2 Kajian Budaya. Sedangkan dokumentasai digunakan sebagai bukti pendukung yang akan dianalisis sesuai dengan fokus penelitian.

3.7

Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan sepanjang berlangsungnya penelitian dan dilakukan terus

menerus dari awal sampai akhir penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Analisis dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Reduksi data, yaitu proses pemilahan,pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. 2. Penyajian data, yaitu menyajikan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan atau penyederhanaan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk yang disederhanakan dan selektif yang mudah dipahami. 3. Menarik kesimpulan yaitu, kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang terhadap catatan lapangan, yakni menguji kebenaran dan validitas, makna-makna yang muncul dalam lokasi penelitian. Setelah memiliki landasan kuat, simpulannya kuat dan menjadi lebih rinci sehingga menjadi simpulan terakhir (Milles, 1992: 16-19).

38 3.8

Teknik Penyajian Hasil Penelitian Data yang telah dianalisis kemudian disajikan secara formal dan informal. Metode

secara informal yaitu teknik penyajian secara narasi, yaitu merangkai dan menyusun informasi

yang

memberikan

kemungkinan

adanya

penarikan

simpulan

atau

penyederhanaan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk sederhana, selektif dan mudah dipahami.. Sedangkan metode secara formal dimaksud penyajian hasil analisis dengan menggunakan bagan-bagan, tabel-tabel atau pun tanda-tanda tertentu. Laporan penelitian dituangkan ke dalam 8 bab.

39 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kelurahan Kuta adalah satu kelurahan yang ada di kecamatan Kuta Tengah, daerah yang memiliki potensi, namun sangat kompleks. Untuk mengetahui gambaran umum daerah Kuta berikut akan diuraikan tentang kondisi daerah ini serta potensipotensi yang dimiliki.

4.1

Letak Geografis Kedudukan kawasan Kuta secra geografis terletak pada posisi 08’ 36’ 20” 50’ 80’

Lintang Selatan (LS) dan 155’ 5’ 0” – 115 14’ 30’ Bujur Timur (BT). Letak Kelurahan Kuta tergolong sangat strategis sebagai daerah pariwisata, karena selain berimpitan dengan bandara internasional Ngurah Rai juga di sekitarnya terdapat sarana yang amat mendukung dalam kegiatan kepariwisataan. Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta Tengah, Kabupaten Badung merupakan salah satu kelurahan dari 3 kelurahan yang ada di Kecamatan Kuta Tengah, Kabupaten Badung, yang terletak 3 km dari pusat pemerintahan Kecamatan, Kelurahan Kuta masih berada di kawasan Daerah Pariwisata yang terkenal dengan pantainya berpasir putih dan ombaknya yang menarik baik untuk berselancar serta panorama alam matahari terbenam (Sun set) yang menjadi obyek daya tarik wisatawan baik domestik maupun manca negara. Jalur lalu lintas menuju kelurahan Kuta dan Denpasar baik dan cukup lancar dengan jarak kurang lebih 12 km dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit begitu pula dengan jarak Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung yang berada di Sempidi

40 kecamatan Mengwi sampai ke Kuta berjarak kurang lebih 14 km. Kecamatan Kuta sejak 17 September tahun 1999 dimekarkan menjadi tiga kecamatan, yakni (1) Kecamatan kuta Utara yang meliputi Kelurahan Dalung, Kelurahan Canggu, Kelurahan Kerobokan Kaja, kelurahan Kerobokan, dan Kelurahan Kerobokan Kelod. (2) Wilayah Kecamatan Kuta Tengah meliputi: Kelurahan Seminyak, Kelurahan Legian, Kelurahan Kuta, Kelurahan Tuban, Kelurahan Kedonganan dan Kelurahan Jimbaran. (3) Wilayah Kecamatan Kuta Selatan meliputi: Kelurahan Pecatu, Kelurahan Ungasan, Kelurahan Benoa, dan Kelurahan Tanjung Benoa. Pada mulanya Kelurahan kuta dinamakan Desa Kuta, yang terdiri dari tiga desa adat, yaitu Desa Adat Kuta, Desa Adat Legian, dan Desa Adat Seminyak. Masing-masing desa adat tersebut memiliki beberapa banjar dinas. Desa Adat kuta terdiri dari tujuh banjar dinas, yaitu (1) Jaba kuta, (2) Buni Kuta, (3) Tegal Kuta, (4) Pande Kuta, (5) Pengabetan Kuta, (6) Temacun kuta, dan (7) Pelasa kuta. Desa Adat Legian terdiri dari tiga banjar dinas, yaitu: (1) Legian Kelod, (2) Legian Tengah, dan (3) Legian Kaja. Desa Adat Seminyak terdiri dari dua banjar dinas, yaitu (1) Seminyak, dan (2) Basangka. Dengan pemekaran tersebut, sehingga Kelurahan kuta yang semula luas datarannya mencapai 1.293 hektar kini menciut menjadi 723 hektar. Dilihat dari batas wilayah kelurahan Kuta kecamatan Kuta Tengah, Kabupaten Badung, kelurahan Kuta berbatasan dengan: 1.

Di Sebelah utara: kelurahan Legian, kecamatan Kuta

2.

Di Sebelah timur: kelurahan Pemogan, kecamatan Denpasar Selatan

3.

Di Sebelah selatan: kelurahan Tuban, kecamatan Kuta

4.

Di Sebelah barat: samudra Indonesia

41 Dilihat dari posisi ketinggian, Kelurahan Kuta berada pada ketinggian kurang lebih 500 meter dari permukaan laut. Wilayah Kelurahan Kuta, kecamatan Kuta Tengah, kabupaten Badung sebagian besar wilayah pemanfaatannya sebagai jalur hijau, pekuburan, pertokoan/perdagangan dan sawah. Dari data yang ada, luas kelurahan Kuta 2642,75 ha. Dalam pemanfaatan tanahnya dalam setahun terakhir ini dapat diuraikan sebagai yang termuat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1. Luas dan Penggunaan Lahan di Kuta Luas Areal No. Pemanfaatan Ha 1 Jalur hijau 4 2 Perkuburan 0.2 3 Pertokoan/Perdagangan 1752 4 Pasar Desa 4 5 Tanah Sawah 55 6 Pekarangan 234 7 Tegalan 430 8 Perkebunan Rakyat 104.75 9 Hutan 9 10 Lain-lain 50 Jumlah 2642.95 Sumber : Monografi Kelurahan Kuta, 2008

Persentase 0.51 0.07 66.29 0.51 2.08 8.85 16.27 3.96 0.3 1.22 100

Tabel 4.1. di atas menunjukkan bahwa luas wilayah yang dimiliki dimanfaatkan sebagai pertokoan/perdagangan 1.752 ha (66,29%) yang merupakan penggunaan lahan paling luas. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik wilayah Kuta yang cocok digunakan untuk pertokoan/perdagangan dimana merupakan daerah tujuan wisata dan sama sekali tidak produktif untuk persawahan, karena tidak terdapat sumber air untuk kepentingan pengairan. Berikutnya tegalan 430 ha, pekarangan 234 ha, perkebunan 104,75 ha, tanah

42 sawah 55 ha, lain, lain 50,0 ha, hutan 9 ha, pasar 4 ha dan pemanfaatan tanah yang luasnya paling kecil adalah tanah kuburan hanya 0,2 ha dari keseluruhan wilayah kelurahan Kuta. Dilihat dari iklim, Kelurahan Kuta beriklim tropis, curah hujan yang turun ratarata pertahun 2000-3000 mm, sedangkan suhu rata-rata minimum 320C dan maximum 340C. Dengan curah hujan yang banyak dan udara yang masih sejuk dan bersih serta tingkat pencemaran yang relatif masih sangat kecil sangat menunjang dan mendukung kehidupan flora dan fauna di Kelurahan Kuta, terbukti dengan masih banyaknya tumbuhan yang hidup subur, begitu pula burung, hewan dan sejenisnya bisa hidup di wilayah Kelurahan Kuta yang baik.

4.2

Sejarah Kuta Sejarah Kuta tidak bisa lepas semenjak jayanya kerajaan Majapahit dengan

patihnya yang terkenal Gajahmada, yang mengadakan invasi untuk menaklukan Bali yang saat itu masih menjadi kerajaan yang berdaulat. Untuk melabuhkan perahu dan pasukannya, Gajahmada memilih sebuat tempat di selatan pantai Kuta yang sekarang. Begitu banyaknya perahu yang berlabuh di tempat itu, masyarakat kemudian menyebutnya sebagai pasih perahu. Pasih dalam bahasa Bali berarti ‘laut’ sehingga pasih perahu bisa diartikan sebagai ‘lautan perahu’. Lokasinya terbentang dari Pantai kuta hingga Tuban. Barang kali didasari maksud untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Bali, Gajahmada kemudian memberikan nama pada pelabuhan kecil tempat pasukannya mendarat sama dengan nama pelabuhan di Jawa yakni Tuban untuk pelabuhan kecil di

43 bagian selatan dan Canggu untuk di bagian utara. Pada perkembangan selanjutnya, nama kedua pelabuhan kecil ini menjadi nama desa di kedua tempat itu sampai sekarang. Sementara di antara kedua pelabuhan kecil itu diberi nama Kuta yang berarti ‘benteng’. Ketika Kuta dikuasai kerajaan Mengwi skitar abad ke-18, daerah ini lebih terkenal dengan sebitan Kuta Mimba. Mimba yang berarti alas atau hutan. Memang ketika itu, Kuta masih merupakan daerah hutan yang sangat lebat. Namun, begitu Mengwi dihancurkan oleh kerajaan Badung yang berakibat Kuta juga dikuasai oleh kerajaan ini, tambahan nama Mimba dihilangkan. Selanjutnya daerah ini pun dikenal dengan nama Kuta saja (Profil Pembangunan Kelurahan Kuta, Sujaya: 2004:9). Pada perkembangan selanjutnya, Kuta akhirnya menjadi pintu masuk utama para pedagang-pedagang Belanda maupun pedagang dari negeri lainnya. Ditunjang oleh adanya hubungan politik raja-raja Bali dengan pemerintah kerajaan Belanda, Kuta akhirnya berkembang menjadi pelabuhan sekaligus pusat perdagangan yang cukup besar di bawah kekuasaan raja Badung. Sesungguhnya, pada masa itu Badung terdapat dua pelabuhan yakni: Pelabuhan Kuta dan pelabuhan Tuban yang terletak di bagian selatan. Hanya, karena letaknya strategis, pelabuhan Kuta lebih ramai dan lebih terkenal. Meski begitu kedua pelabuhan ini tetap berfungsi dengan baik. Situasi pelabuhan Kuta sempat tidak aman manakala datang utusan Belanda, Kapten J.S Wetters. Saat itu, perdagangan budak terjadi begitu besar. Belanda mencari budak dari orang-orang Bali untuk dijadikan calon-calon serdadu. Hal ini memicu keresahan para budak di Bali. Perairan Kuta pun kerap diwarnai aksi perampokan, pembajakan, bahkan penyelundupan candu ke Jawa. Seiring dengan perkembangan Kuta, perekonomian Badung juga mengalami kemajuan yang pesat. Jalan-

44 jalan perdagangan yang menghubungkan Kuta dengan Tabanan, mengwi dan Gianyar diperbaiki. Kuta sudah menjadi ‘mesin uang’ yang penting bagi kerajaan Badung pada masa itu. Kini Kuta merupakan sebuah kelurahan dengan 12 lingkungan atau banjar dinas. Selain itu, Kelurahan kuta ditopang Desa Adat Kuta dengan 13 banjar adat. Pada awalnya, Kuta merupakan sebuah kesatuan pemerintahan desa. Seiring dengan perkembangannya yang pesat, Kuta diubah oleh pemerintah menjadi sebuah pemerintahan kelurahan sekitar pertengahan tahun 80-an. Wilayahnya ketika itu termasuk Legian dan Seminyak. Namun pada bulan Oktober 1998, karena dirasakan masalah yang semakin kompleks, Kelurahan Kuta dipecah menjadi tiga, masing-masing Kelurahan Kuta dengan wilayah seluas Desa Adat Kuta serta Lingkungan Abianbase, Kelurahan Legian dengan wilayah seluas Desa Adat Legian, dan Kelurahan Seminyak dengan wilayah seluas Desa Adat Seminyak dan Lingkungan Bangsakasa yang secara adapt masuk wilayah Desa Adat Kerobokan. Meski begitu, ketiga wilayah ini masih tetap dianggap dalam satu kawasan yakni kawasan wsata Kuta, sering dikenal dengan sebutan “Segitiga Emas Samigita” (Seminyak, Legian dan Kuta). Sampai saat ini banyak pihak mengakui, Kuta melampaui seluruh tempat tujuan wisata di Bali dan bahkan Indonesia. Dibandingkan berbagai tempat tujuan wisata di luar negeri pun Kuta tetap sangat kompetitif dan bahkan memiliki nilai lebih. Itulah sebabnya dalam sejarah kepariwisataan di Bali, Indonesia, Asia-Pasifik, Asia, maupun dunia, nama Kuta adalah jaminan. Masyarakat Kuta mulai mengembangkan proses adaptasinya melalui usaha-usaha yang bersifat individual atau bersifat kekeluargaan. Jenis usaha yang dikembangkan

45 berupa hotel, homestay, pension, restoran, souvenirshop, stage (panggung) warung dan toko (Geria: 1995: 10). Demikian pesatnya perkembangan pariwisata Kuta sehingga kini Kuta menyerupai “Kota Pariwisata” antara penduduk asli, pendatang, wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara berbaur menjadi suatu masyarakat yang memiliki corak dan karakteristik tersendiri, yaitu masyarakat Bali yang “menginternasionalkan”, Kuta sudah menjadi global village yang dihuni oleh multietnik dan multi budaya.

4.3

Keadaan Penduduk Penduduk merupakan modal pembangunan namun saat ini penduduk tidak saja

menjadi subjek pembangunan sekaligus menjadi objek pembangunan. Pada sisi lain penduduk juga dapat sebagai penggerak pembangunan yang efektif, sedangkan apabila tidak dikendalikan jumlah dan kualitas penduduk, dapat menjadi beban pembangunan suatu daerah. Penduduk adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah (Mantra, 2003:3). Pengertian ini penting untuk memperoleh data penduduk yang nyata dalam suatu daerah tertentu. Jumlah penduduk suatu daerah akan ditentukan oleh tingkat kelahiran, kematian dan tingkat perpindahan penduduk atau migrasi (Mantra, 2003:82). Jumlah penduduk Kelurahan Kuta kecamatan Kuta Tengah setiap tahun ada peningkatan. Sedangkan luas wilayah tetap kepadatan penduduk terus meningkat apalagi penduduk musiman terus bertambah banyak datang, dan akan menjadi kendala yang besar apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat. Penduduk mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan pembangunan disegala bidang sehingga penduduk merupakan sumber daya manusia tidak saja merupakan tenaga

46 pelaksana dalam pembangunan tetapi sekaligus menikmati hasil pembangunan. Dengan peranan yang demikian penting maka kualitas dan kuantitas penduduk mempunyai fungsi yang menentukan bagi hasil pembangunan untuk mengetahui potensi sumber daya manusia. Adapun jumlah penduduk kelurahan Kuta menurut usia pada tahun 2008 : Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Kelurahan Kuta Menurut Usia Kelompok Pendidikan Kelompok No. Umur Jumlah (tahun) (orang) 1 00 – 03 1010 2 04 - 06 701 3 07 – 12 568 4 13 -15 771 5 16 – 18 2171 6 19 – 26 2171 7 27 – 40 2078 8 41 – 56 1474 9 57 – atas 446 Jumlah 11390 Sumber : Monografi Kuta, 2008

Persentase (%) 8.75 6.15 5 6.7 19 19 18.2 13 4 100

Keadaan penduduk kelurahan Kuta dilihat dari segi agama yang dipeluknya tercatat bahwa pemeluk agama Hindu yang menduduki jumlah paling banyak dibandingkan pemeluk agama lainnya. Pemeluk gama Hindu berjumlah 7.302 orang, agama Islam 1.682 orang, agama Budha 878 orang, Kristen 861 orang, dan pemeluk agama yang paling sedikit adalah Katholik 806 orang. Penduduk di kelurahan Kuta dilihat dari segi agama yang dianutnya adalah bersifat heterogen yakni terdiri atas pemeluk agama Hindu, Islam, Budha, Kristen, Katholik. Kelima agama itu hidup berdampingan dan saling menghormati. Ini menandakan bahwa toleransi dan kerukunan antar pemeluk agama cukup tinggi (Profil Kelurahan Kuta, 2008).

47 Dalam rangka melaksanakan upacara keagamaan masing-masing agama mempunyai tempat ibadah tersendiri. Secara keseluruhan tempat ibadah di kelurahan Kuta berjumlah 14 buah yang terdiri atas tempat ibadah agama Hindu yang disebut Pura 8 buah dan tempat ibadah untuk pemeluk agama Islam yang disebut Masjid 4 buah. Penduduk yang beragama Kristen dan Budha masing-masing memiliki 1 buah tempat ibadah. Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat kelurahan Kuta, telah

dibangun

berbagai

sarana

atau

fasilitas

kesehatan.

Fasilitas

kesehatan

keseluruhannya berjumlah 7 buah. Terdiri atas rumah sakit umum 2 buah, rumah sakit bersalin 1 buah, poliklinik atau balai pelayanan masyarakat 2 buah, apotik atau depot obat 2 buah. Hal ini menandakan bahwa pemerintah kabupaten Badung besar perhatiannya akan kesehatan bagi seluruh warganya, terlebih di kelurahan Kuta yang terletak diwilayah pariwisata. Disamping pembangunan sarana seperti tersebut diatas. Agar pelayanan kesehatan dapat berjalan lancar diperlukan tenaga kesehatan (medis). Tercatat banyaknya tenaga kesehatan di kelurahan Kuta adalah 36 orang yang terdiri dari tenaga dokter 7 orang, tenaga perawat 14 orang, tenaga bidan 14 orang. Dalam upaya mengatasi lajunya pertumbuhan penduduk, maka Kelurahan Kuta telah melaksanakan program keluarga berencana (KB). Adapun jumlah peserta akseptor KB secara keseluruhan sebanyak 3.122 orang. Alat kontrasepsi yang terbanyak dipakai dikalangan masyarakat adalah KB Mandiri (1.230 orang), IUD (842 orang), suntik (715 orang), PIL (167 orang), MOW (133 orang), Kondom (13 orang) dan MOP hanya (5 orang). Data tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat di kelurahan Kuta akan arti pentingnya KB cukup tinggi.

48 Dalam upaya meningkatkan kecerdasan masyarakat, di Kelurahan Kuta telah dibangun lembaga pendidikan mulai tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Lebih jelasnya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Lembaga Pendidikan dari TK sampai SLTA Jenjang No. pendidikan

Negeri Swasta Gedung Guru Murid Gedung Guru Murid

Kelompok bermain TK Sekolah Dasar 8 85 SLTP 2 54 SMU/SLTA 2 61 Akademi Institut/Sekolah Tinggi/Universitas Jumlah 12 200 Sumber : Monografi kelurahan Kuta, 2008 1 2 3 4 5 6 7

2028 639 823 -

3 8 2 2 -

47 87 48 27 -

503 864 1473 1167

3490

14

209

4007

Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa masyarakat Kuta menamatkan sekolahnya hanya sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, belum ada masyarakat Kuta yang melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi seperti Akedemi dan Universitas.

4.4

Sosial Budaya dan Agama Di Bali lembaga tradisional yang sampai kini tetap eksis, antara lain desa adat,

banjar dan subak. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi, dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Khayangan Tiga (Kayangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harga kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah

49 tangganya sendiri (Pitana, 2000: 62). Mengingat Peraturan Daerah nomor 06 tahun 1986 tentang kedudukan fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum dalam Propinsi Bali sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga dipandang perlu diganti, maka Pemerintah Daerah propinsi Bali mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2001 tentang desa pekraman, yang isinya: “suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli, hak asal usul yang bersifat istimewa bersumber pada agama Hindu, bersumber kebudayaan Bali, berdasarkan Tri Hita Karana, mempunyai Khayangn Tiga/Khayangan Desa. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa pekraman adalah keanekaragaman,partisipasi, otomoni asli, demokratisasi dan pembedayaan krama desa” Peraturan ini dinyatakan mulai berlaku sejak diundangkannya yaitu 21 Maret 2001 dan sampai saat ini istilah desa pekraman tetap digunakan termasuk di Kelurahan Kuta. Beberapa parahyangan terdapat di Desa Adat Kuta terdiri dari Pura Puseh, Pura Bale Agung, dan Pura Dalem, serta Pura Merajapati. Selain itu ada pula Pura Penataran, pura Penyarikan, dan Pura Segara. Pura Segara terletak ditepi pantai dan merupakan tempat persembahyangan bagi para nelayan. Kini kaum nelayan beralih fungsi, tidak sebagai nelayan penangkap ikan di laut, tetapi mereka mendirikan organisasi jukung wisata yang berfungsi untuk mengangkut wisatawan dalam rekreasi di laut. Dengan demikian keberadaan Pura Segara kini diempon oleh krama Desa Adat Kuta (Pitana: 2000: 63). Selain Pura, ada juga sarana ibadah lainnya seperti Masjid, Gereja, Vihara, seperti tabel berikut ini

50 Tabel 4.4 Sarana Ibadah di Kelurahan Kuta NO

JENIS SARANA IBADAH

JUMLAH

1. Pura 2. Masjid 3. Gereja Kristen 4. Gereja Katholik 5. Vihara Sumber : Profil Kelurahan Kuta th 2008

KONDISI RUSAK/BAIK Baik Baik Baik Baik Baik

10 3 1 1 1

Pemeliharaan Pura Segara dan Pura Pesanggaran pada mulanya hanya dilakukan oleh kaum nelayan saja, kini telah berkembang kepada desa adat. Hal ini berarti Desa Adat Kuta secara keseluruhan bertanggung jawab penuh terhadap keberadaan pura tersebut. Peralihan mata pencaharian masyarakat Kuta dari nelayan menjadi ‘abdi wisata’, berpengaruh terhadap pemeliharaan pura. Perubahan itu kearah yang positif, karena yang bertanggung jawab terhadap keberadaan pura yang tidak hanya bekas keluarga nelayan, melainkan sebuah krama desa Kuta. Oleh karena itu, pemeliharaan tempat-tempat persembahyangan di wilayah Desa Adat Kuta yang dilakukan oleh krama desa adat menambah daya tarik wisatawan yang berkunjung di Kuta. Tabel 4.5 Jumlah Penduduk menurut Agama yang Dianut NO

AGAMA

1. Hindu 2. Islam 3. Kristen 4. Katholik 5. Budha Sumber : Profil Kelurahan Kuta, th 2008

JUMLAH (ORANG) 7727 1320 285 240 331

PENGANUT

51 Desa Adat Kuta mempunyai tanah laba pura seluas 47 are. Tanah itu dimanfaatkan sebagai pasar seni dan pasar senggol. Setiap pedagang yang berdagang di pasar seni dikenakan pungutan oleh desa adat, dan hasilnya diperuntukan bagi kepentingan desa adat. Pengelolaan tanah laba pura menjadi pasar seni ternyata telah menjadi sumber pendapatan bagi Desa Adat Kuta. Keuntungan yang diperoleh dari pasar seni itu telah dimanfaatkan oleh desa adat untuk meningkatkan pembangunan desa adat dan untuk kesejahteraan krama desa adat Keberadaan tanah Desa Adat Kuta sebagian ada yang diperuntukan bagi kepentingan umum, seperti lapangan terbuka yang dapat dipergunakan pada saat ada kegiatan Pitra Yadnya. Penyediaan tanah untuk kepentingan umum dimaksudkan agar setiap ada kegiatan upacara diselenggarakan oleh desa adat dapat dipusatkan di atas tanah tersebut. Dengan demikian, walaupun tanah di wilayah Desa Adat Kuta mempunyai nilai ekonomi tinggi, tetapi sebaiknya tetap disediakan tanah untuk kepentingan sosial religius, sebab keberadaan tanah yang berfungsi sosial religius itu menunjukkan terpenuhinya kepentingan bersama seluruh warga desa adat. Kesenian yang terdapat di Desa Adat Kuta terdiri dar berbagai jenis. Keberadaan kesenian itu ada pasang surutnya, saat ini kesenian itu tampak tidak ada,namun pada saat tertentu akan bangkit dengan sendirinya bila mana telah dibutuhkan sedangkan enis tarian yang berkaitan dengan kegiatan upacara keagaamaan tetap hidup dan berkembang dengan dinamika masyarakat Kuta yang semakin maju. Partisipasi krama Desa Adat kuta dalam melakukan berbagai kegiatan cukup tinggi. Pada kegiatan upacara adat dan agama dilakukan secara gotong royong. Setiap ada kegiatan upacara persembahyangan di pura, krama desa melaksanakan dengan penuh

52 kesungguhan, dan tampak ada upaya untuk mewujudkan pelaksanaan upacara agar berjalan dengan tertib, yang ditandai oleh tata cara berbusana, tata cara persembahyangan bersama, serta berbagai jenis peralatan dan sesajen yang ditata rapi. Hal itu terkesan adanya usaha krama desa untuk melaksanakan berbagai kegiatan upacara secara hidmat. Desa Adat kuta mempunyai awig-awig tertulis yang menjadi pedoman berperilaku bagi warga desa adat masing-masing. Dengn terjadinya perkembangan masyarakat yang pesat yang disebabkan oleh pengaruh pariwisata, maka awig-awig tertulis itu dirasakan tidak memadai. Oleh karena itu, kepentingan-kepentingan desa adat yang memerlukan pengaturan secara khusus diatur di dalam perarem-perarem yang disepakati olek krama desa melalui paruman desa adat. Setiap tiga bulan Desa Adat Kuta melaksanakan paruman prajuru yang terdiri dari 30 orang ditambah utusan dari banjar-banjar sebanyak 13 orang bertempat di Pura Desa. Pada setiap banjar penyelenggaraan paruman prajuru banjar yang berlangsung sebulan sekali. Paruman itu membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh krama desa, umumnya paruman yang sifatnya rutin tersebut membahas tentang pertanggung jawaban keuangan desa adat, perencanaan pembangunan, serta pelaksanaan kegiatan upacara. Apabila terdapat kasus-kasus yang memerlukan penanganan segera, bendesa adat bersama prajuru desa adat lainnya mengadakan rapat untuk menyelesaikannya. Kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan krama desa adat dapat diselesaikan dalam rapat prajuru desa adat, tetapi bilamana terjadi kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik, hal itu diteruskan kepada pihak yang berwajib, dan prajuru desa membantu proses penyelesaiannya.

53 Masa jabatan prajuru desa 5 tahun, setelah itu dapat dipilih kembali. Pemilihan prajuru desa adapt dilakukan secara demokratis, untuk mendapatkan calon prajuru desa adat yang baik. Kenyataan menunjukkan bahwa pemilihan prajuru desa adat dapat berjalan lancar, walaupun tanggung jawab prajuru desa cukup berat, dan bersifat pengabdian, namun karena kesadaran tinggi, krama desa yang dipilih sebagai prajuru menerima tugas itu dengan senang. Oleh karena itu, prajuru desa tampak bergairah memikul tugas tersebut dan melaksanakan berbagai kegiatan dengan bersemangat. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pada tingkat rendah di bawah camat terdapat desa dan kelurahan. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak berlaku lagi. Namun demikian, sampai saat ini ternyata pemerintah terendah di bawah camat masih berdasarkan UU No. 5 tahun 1979, dapat dilihat dalam tabel 4.6 jumlah desa dan kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Kuta.

54 Tabel 4.6 Desa/Kelurahan dan Desa Adat yang berada di Wilayah Kuta KECAMATAN DESA DINAS/KELURAHAN Kuta Utara

DESA ADAT

1. Desa Dalung

a. Desa Adat Dalung b. Desa Adat Tuka c. Desa Adat Padang Luwih 2. Desa Canggu Desa Adat Canggu 3. Desa Tibu Beneng a. Desa Adat Tandeng b. Desa Adat Berawa c. Desa Adat Padonan 4. Kelurahan Kerobokan Kaja Desa Adat Kerobokan 5. Kelurahan Kerobokan Desa Adat Kerobokan 6. Kelurahan Kerobokan Kelod Desa Adat Kerobokan Kuta Tengah 1. Kelurahan Seminyak Desa Adat Seminyak 2. Kelurahan Legian Desa Adat Legian 3. Kelurahan Kuta Desa Adat Kuta 4. Kelurahan Tuban a. Desa Adat Tuban b. Desa Adat Kelan 5. Kelurahan Kedonganan Desa Adat Kedonganan Kuta Selatan 1. Kelurahan Jimbaran Desa Adat Jimbaran 2. Kelurahan Bualu a. Desa Adat Bualu b. Desa Adat Peminge c. Desa Adat Kampial 3. Kelurahan Tanjung Benoa a. Desa Adat Tengkulung b. Desa Adat Tanjung Benoa 4. Desa Ungasan a. Desa Adat Kutuh b. Desa Adat Ungasan 5. Desa Pecatu Desa Adat Pecatu Sumber: Kuta Cermin Retak Pariwisata Bali, Tahun 2002 Lembaga sosial yang masih tetap berfungsi sampai saat ini adalah gotong royong, yang tidak hanya dilaksanakan oleh warga desa, tetapi juga oleh para pendatang yang berusaha di kawasan Kuta, seperti pedagang acung berperan serta dalam kegiatan gotong royong membersihkan kotoran-kotoran yang ada di tepi pantai tempat mereka mencari nafkah. Di samping itu desa adapt mempunyai lembaga keamanan yang disebut pecalang. Tugas utama pecalang adalah untuk memelihara ketentraman dan ketertiban di wilayah Desa Adat Kuta.

55 Pembangunan manusia seutuhnya merupakan cita luhur yang patut direalisasikan melalui pendidikan mental spiritual baik lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan masyarakat. Penduduk Kelurahan Kuta yang heterogen dari budaya telah menampakkan adanya keseimbangan perilaku dalam arti menghormati satu sama lain dengen berpedoman pada jiwa kebersamaan. Penghayatan kehidupan beragama tidak terlepas dari ketersediaan prasarana ibadah sesuai dengan kebutuhannya. Dari jumlah pemeluk agama di Kelurahan Kuta, agama Hindu merupakan agama mayoritas. Agama Hindu yang berkembang di Kelurahan Kuta lebih oleh adat dan kebudayaan Bali dan begitu pula sebaliknya, agama Hindu membentuk adat kebiasaan dan budaya masyarakat. Namun, secara fundamental, agama Hindunya sendiri tetap ajeg sebagaimana asalnya. Disitulah letal kekhasan Hindu Bali dengan yang lainnya misalnya Hindu India. Seiring dengan pesatnya industri pariwisata dimana di Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata yang banyak diminati para wisatawan terutama wisatawan asing, interaksi sosial makin intensif bahkan cenderung liberal. Sektor perdagangan hotel dan restoran merupakan sektor unggulan di Kuta dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi. Pembangunan bidang kepariwisataan yang telah dicanangkan pemerintah beserta masyarakat merupakan langkah yang tepat dengan dukungan kemasan pariwisata budaya. Dalam menyikapi tantangan global upaya pembangunan pariwisata diarahkan pada pembangunan pariwisata budaya berwawasan lingkungan yang dijiwai agama Hindu, dengan mengembangkan objek daya tarik wisata yang dikemas dalam paket wisata kota (city tour) serta meningkatkan peran aktif masyarakat.

56 Disadari bahwa industri pariwisata merupakan industri yang sangat rentan terhadap gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan baik secara regional, nasional maupun internasional, sedikit banyak menimbulkan gesekan-gesekan dengan akar budaya setempat. Dalam hal ini Kelurahan Kuta yang banyak penduduk pendatangnya dirasakan kurang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakat serta mengendalikan pola-pola perilaku warganya sehingga muncul penyimpangan dan penyakit sosial. Seperti kriminalitas yang kompleks, penggunaan obat-obatan terlarang, perkembangan pornografi, dan budaya seksual yang vulgar. Namun demikian, diyakini bahwa para pelaku penyimpangan sosial tersebut pada umumnya bukan anggota masyarakat Kelurahan Kuta melainkan pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Masyarakat Hindu di Kelurahan Kuta tampak dominan dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial, sehingga secara sadar diyakini membentuk pola perilaku yang menjelma menjadi beberapa sifat dan karakter masyarakat Kelurahan Kuta yang memiliki makna individu maupun kolektif, antara lain 1.

Terbuka dalam arti selalu siap membuka pintu untuk menyongsong kehadiran manusia asing dan kebudayaan lain.

2.

Ramah dan luwes dalam menghadapi perbedaan kelompok, hirarki jarak, dan persaingan antar kelompok

3.

Jujur yang dilandasi oleh keyakinan makna ontologis dari hukum karma

4.

Kreatif dalam menciptakan budaya dan seni

5.

Kolektif yang melahirkan sifat toleransi dan gotong royong

6.

Kosmologis yakni sangat memperhatikan keseimbangan sebagaimana tercermin dalam Tri Hita Karana

57 7.

Religius yang dapat dilihat dengan ritual agama yang dinamakan panca yadnya, moderat, yaitu tidak radikal namun tidak juga lembek. Budaya di Kelurahan Kuta yang dijiwai oleh agama Hindu karena mayoritas

penduduknya Hindu. Agama Hindu adalah suatu agama yang bertujuan agar penganut atau pemeluknya dapat mencapai kedamaian rohani serta kesejahteraan hidup jasmani. Dengan tiga kerangka dasar ajaran meliputi tatwa (filsafat), susila (etika), ritual (upacara). Ketiganya tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang harus dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh. Termasuk dalam tatwa yaitu lima dasar keyakinan hakiki agama Hindu yang disbut Panca Sradha, yang berarti lima dasar keyakinan (kepercayaan), yakni : 1.

Percaya kepada Sang Hyang Widi Wasa

2.

Percaya kepada atma (percaya pada roh)

3.

Percaya kepada karma phala

4.

Percaya kepada reinkarnasi (adanya kehidupan kembali)

5.

Percaya akan adanya moksha (moksa). Dari kelima dasar keyakinan atau kepercayaan tersebut, yang merupakan dasar

yang paling sederhana dapat dipahami adalah karma phala, karena merupakan balasan dari hasil perbuatan, kalau perbuatan yang sifatnya melanggar diyakini akan mendatangkan pahala buruk, begitu pula sebaliknya. Bagi masyarakat Bali umumnya, karma phala dirasakan objektif dapat mengendalikan bahkan mengerem perbuatan yang melanggar hukum, baik hukum agama, dan hukum adat. Di Kelurahan Kuta desa/banjar adat memiliki peran dan kedudukan yang strategis dalam memelihara, menegakkan dan memupuk adat istiadat yang berlaku di desa adatnya

58 yang diterima secara turun temurun dari para leluhurnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan desanya, terutama yang berhubungan untuk menegakkan adat, kewajiban warga (krama, desa/banjar) terhadap wilayah pemukimannya, terhadap sesama warga desa, terhadap agamanya serta larang-larangannya dan keharusankeharusan yang semestinya dipatuhi oleh krama desa, semuanya itu ditentukan oleh warga desanya sendiri dalam bentuk aturan-aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Aturan tersebut dinamakan awig-awig. Terbentuknya kesatuan adat dalam suatu kelompok sosial tertentu mengarah pada pembentukan ketahanan sosial. Kondisi ini terbentuk karena adanya proses komunikasi diantara anggota kelompok sosial dengan adat yang cenderung sama. Pola interaksi merupakan reaksi dari setiap anggota sosial terhadap rasa kebersamaan, sehingga keberadaannya kuat. Sebagaimana diungkapkan oleh N. Rupaka (1982: 125), bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam hubungannya antara satu dengan lainnya berada dalam hubungan interaksi yang berulang dan tetap. Yang terpenting adalah reaksi yang timbul akibat dari interaksi itu yang menyebabkan tindakan manusia itu bertambah luas serta dalam reaksinya itu ada kecendrungan untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain serta lingkungannya. Di lingkungan masyarakat Kelurahan Kuta dapat ditemukan berbagai aktivitas kesatuan adat yang sama. Hal ini terjadi karena adanya satu tujuan kesatuan adat yang mengatur kehidupan individu dan kelompok sosialnya. Dengan banyaknya ikatan adat masyarakat, Kelurahan Kuta sudah mampu menunjukkan rasa kesatuannya dan sekaligus tujuannya. Koentjaraningrat dalam Astika (1984: 130) menyatakan bahwa suatu kesatuan sosial yang dapat berkembang menjadi warga satu komunitas mempunyai perasaan

59 kesatuan sehingga menjadi satu kesatuan. Kesatuan dan persatuan yang tumbuh di lingkungan adat mendukung perwujudan ketahanan sosial di antara anggota masyarakat, dan antar kelompok masyarakat.

4.5

Sejarah Umum Lesbian Lesbian adalah istilah untuk peremuan penyuka sesama jenis. Lesbianisme adalah

salah satu bentuk penyimpangan seksual disebabkan adanya partnerseks yang abnormal. Yaitu dimana seorang wanita mendapatkan kepuasan seksual dengan melakukan hubungan seks dengan wanita yang lain (anonim, accessed, Dec, 5. 2010).

Lesbian adalah wanita atau perempuan yang secara seksual lebih tertarik kepada sejenisnya daripada lelaki. Wanita heterosekual hanya tertarik pada lelaki saja. Yang disebut biseksual bisa tertarik baik pada wanita maupun lelaki. Masalah seksual bisa sangat kompleks dan jarang bagi seorang untuk hanya tertarik saja kepada satu gender seratus persen dalam hidupnya. Tak tertutup kemungkinan suatu saat sangat tertarik pada lelaki tapi pada saat yang lain amat tertarik pada wanita atau sebaliknya. Perasaanperasaan seksual ini tidaklah bersifat konstan, dapat berubah sewaktu-waktu. Bahkan amat mungkin seorang ABG (anak baru gede) adalah lesbian atau biseksual tapi ketika dewasa menjadi heteroseksual, begitu pun sebaliknya (anonim, accessed, Nov. 3, 2010).

Lesbian adalah seorang wanita yang memiliki emosi secara seksual dan erotis memiliki ikatan yang penting dengan wanita lain atau yang melihat dari mereka sebagai pusat keterlibatan dengan komunitas yang teridentifikasi sebagai lesbian (Crawford & Unger, 2000: 347).

60 “Homoseksualitas di kalangan wanita disebut cinta lesbis atau lesbianisme. Seperti yang Kartini Kartono dalam buku Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual ungkapkan bahwa lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita.” (Kartono, 2009 : 249) “Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan di ikuti kata Lesbia, namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian. Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya dan agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena semakin zaman terus berkembang orang orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lesbian adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya; wanita homoseks.” Sekian abad hubungan antar kaum hawa ini jarang sekali terjadi dan bisa dimaklumi karena hubungan antar kaum lesbian ini lebih bisa tersimpan dengan rapat dan rapi daripada kaum gay. Bisa jadi karena kaum feminisme lebih pintar mengeksplorasi cinta yang mereka dapatkan. Terkadang apa yang dirasakan kaum hawa tidak mudah di terjemahkan oleh kaum adam. Karena wanita dianugrahi sifat dasar yang lembut dan sensitifitas yang cukup tinggi. Secara historis berbagai bangsa dan budaya telah memperlakukan hubungan seks yang sama secara berbeda, dan juga memiliki standar yang berbeda untuk pria dan wanita hubungan seks yang sama. Misalnya dalam budaya Yahudi hubungan seks yang sama antara laki-laki dilarang dimana hubungan antara perempuan merupakan masalah moral kecil. kebudayaan Yunani pada umumnya tidak menganggap hubungan seks sama

61 dengan jelas sesat olah ide hubungan seks sama yang menyimpang tidak menang dalam beberap acara. Banyak negara telah mengabaikan hubungan seks yang sama secara umum terlepas dari jenis kelamin yang terlibat. Namun, pertimbangan politik tertentu telah mempengaruhi kebijakan tersebut. Selama masa perang diharapkan selalu ada keinginan yang luar biasa bagi para pejuang berbadan sehat. Bahkan saat ini dengan banyak negara menghadapi penurunan penduduk di sana adalah sikap yang berlaku terhadap hubungan seks yang sama seperti mencegah masa depan bangsa. Pada saat yang sama banyak negara menutup mata terhadap hubungan ini terutama ketika, banyak seperti yang dilakukan

Sappho,

orang-orang

yang

melibatkan

anak-anak

telanjang

(anonim, accessed Sept. 28, 2010).

Kekeliruan umum dalam memahami homoseksualitas di Indonesia masih sangat kuat. Meskipun tuduhan bahwa homoseksualitas itu sama dengan “penyakit mental” “kelainan jiwa” dan beberapa keliruan lainnya sebenarnya telah lama dianulir. Pada tahun 1973 American Psychiatric Association (APA) menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa. Kemudian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 17 Mei 1990 secara resmi mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Sehingga 17 Mei dijadikan momentum peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO), hari melawan kebencian terhadap homoseksual.

Di Indonesia sendiri, dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 1983, (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) tahun 1993, pada point F66 menyebutkan bahwa, orientasi seksual

62 (homoseksual, heteroseskuan, biseksual) jangan dianggap sebagai sebagai gangguan. PPDGJ I-III Depkes ditetapkan sebagai acuan profesi kesehatan jiwa dan akademisi di seluruh Indoensia. Sehingga tuduhan oleh orang atau kelompok bahwa homoseksual selalu dikaitkan dengan gangguan jiwa ataupun penyakit hanya sebuah asumsi dan tuduhan yang tidak beralasan.

Tidak ada yang mengetahui darimana akar perkembang lesbian di Kuta, beberapa sumber mengatakan lesbian lahir di Kuta seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman yang terus berubah. Perkembangan teknologi pun menjadi salah satu penyebab penyebarannya, dimana kemampuan teknologi saat ini sangat menjamin orang untuk mendapatkan informasi dengan mudah. Kuta dikenal sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal hingga ke manca negara. Dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen, dan ditambah dengan pengaruh budaya barat yang mulai masuk ke dalam pergaulan sehari-hari warga Kuta itu sendiri, maka pada saat itulah komunitas lesbian mulai muncul. Menurut informan yang saya kenal, untuk wilayah Bali pada umumnya dan Kuta pada khususnya, komunitas homoseksual (gay dan lesbian) berada dalam suatu yayasan perkumpulan yang bernama Gaya Dewata. Dalam yayasan Gaya Dewata ini, berkumpul komunitas-komunitas gay, lesbian dan waria. Sedangkan untuk lesbian yang sudah terdaftar dalam yayasan tersebut berjumlah lima belas (15) orang. Mereka memiliki struktur organisasi dan donatur yang berasal dari dalam bahkan luar negeri. Dalam yayasan Gaya Dewata ini, memiliki berbagai kegiatan yang bersifat positif. Selain sebagai salah satu cara untuk bisa eksis, juga agar para anggotanya mendapatkan ketrampilan yang bisa dijadikan bekal dalam

63 kehidupannya sehari-hari. Salah satu kegiatan yayasan Gaya Dewata ini adalah mengadakan penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS ke masyarakat-masyarakat. Selain untuk memberikan pengetahuan tentang HIV/AIDS kepada masyarakat yang masih awam, juga bertujuan agar komunitas mereka dapat diterima oleh masyarakat. Pada awalnya masyarakat menolak keberadaan yayasan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, dengan beraneka kegiatan positif yang dilakukan oleh yayasan Gaya Dewata tersebut, lambat laun komuitas ini mulai diakui keberadaannya. Bahkan tidak jarang yayasan tersebut diminta untuk ikut ambil bagian dalam beraneka kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Bukan hanya di dunia nyata komunitas lesbian mempunyai wadah, dalam dunia maya pun komunitas ini memiliki wadah perkumpulan yang berada di bawah Institut Pelangi Perempuan (IPP). IPP merupakan sebuah organisasi yang melakukan pemberdayaan bagi kelompok lesbian muda, sebuah asosiasi yang mewadahi kelompok, group, organisasi, ataupun individu yang fokus terhadap isu lesbian, gay, biseksual dan transeksual/transgender (LGBT) diseluruh dunia yang sekretariatnya di Brussel, Belgia. Dimana IPP dapat diakses melalui alamat www.satupelangi.com Selain itu perkumpulan komunitas lesbian di dunia maya juga dapat kita temui di Sepoci Kopi. Sepoci Kopi merupakan majalah online lesbian pertama di Indonesia, disini juga menampung para komunitas lesbian dan merupakan wadah dimana mereka dapat saling bertukar pikiran biasanya melalui pengalaman-pengalaman dan membahas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Dalam Sepoci Kopi juga sangat sering mengulas buku-buku yang berkaitan/membahas tentang komunitas lesbian tersebut. Sepoci Kopi dapat diakses melalui www.sepocikopi.com.

64 Komunitas lesbian Kuta adalah sebuah komunitas yang terbentuk karena adanya kebutuhan untuk saling bersama dan berbagi. Dikarenakan komunitas tersebut adalah minoritas dan bukan mayoritas. Maka kecenderungan yang timbul adalah untuk berkumpul bersama. Untuk melakukan semua kegiatan tersebut dibutuhkan sebuah tempat pertemuan/kumpul yang strategis da dapat memberikan kenyamanan. Untuk komunitas lesbian itu sendiri, di Kuta tersebar diberbagai tempat. Umumnya akan lebih mudah ditemui di tempat-tempat hiburan malam sperti bar, cafe, pub dan tempat-tempat karaoke. Namun biasanya mereka mempunyai tempat-tempat khusus untuk berkumpul, seperti di rumah salah seorang anggota komunitas tersebut, dan biasanya rutin dilaksanakan.

4.5.1 Sejarah Komunitas Lesbian di Amerika Sepanjang tahun 50-an dan tahun 60-an, kaum lesbian di Amerika mengalami tekanan yang luar biasa di mana kehidupan mereka diisolasi dan dipisahkan dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Mereka diperlakukan seperti itu karena dianggap sebagai deviant (penyimpangan) ataupun pendosa yang tidak layak hidup di tengah masyarakat. Karena tudingan itulah maka kaum lesbian seperti juga gay (homoseksual laki-laki) banyak menutup diri dan hidup dengan identitas yang bukan sesungguhnya. Tudingan-tudingan ataupun prasangka negatif yang dirasakan sebagai tekanan oleh kaum homoseksual, khususnya kaum lesbian, telah mengundang berbagai reaksi dari kalangan aktivis pada masa itu.salah satu reaksi terhadap tekanan tersebut adalah mengecam tindakan-tindakan yang menyudutkan posisi kelompok-kelompok tersebut. Seperti yang di tulis oleh Lorraine Hansberry, a Black Lesbian- dalam suratnya kepada

65 “The Leader” “ homosexual persecution and condemnation has its roots not only social ignorance, but a philosophically active anti-feminist dog-ma” (Boykin, 2000). Namun di tengah tekanan yang dirasakan oleh kaum homoseksual di Amerika pada masa itu, tepatnya pada tahun 1955, sekelompok lesbian di San Francisco mendirikan sebuah kelompok sosial “The Daugthers of Bilitis” (DOB) yang dipimpin oleh Del Martin, seorang aktivis lesbian yang menjadi Presiden DOB pertama. Sementara itu pasangannya, Phyllis Lyon, menjadi editor pertama dari surat kabar yang diterbitkan oleh kelompok itu. DOB menyelenggarakan pertemuan sekali dalam sebulan khusus mendiskusikan hal-hal yang berkenaan dengan lesbianisme. Melalui DOB, para aktivis lesbian berusaha untuk mendidik rakyat Amerika agar bisa keluar dan homophobia yang selama ini menghantui kehidupan mereka (Davis, 1991: 260). Berdirinya DOB tidak menandakan kelahiran feminisme lesbian di Amerika, karena kelompok tersebut hanya merupakan kelompok sosial yang secara eksklusif menangani masalah-masalah yang meliputi kehidupan kaum lesbian terutama para anggotanya. Namun bukan berarti DOB tidak berpengaruh pada perkembangan feminisme lesbian di Amerika. Seiring dengan berdirinya NOW akhir Oktober 1964 yang menandakan lahirnya gerakan perempuan gelombang kedua yang sering disebut dengan women’s liberation movement (women’s lib), banyak dari kaum lesbian yang mulai menyadari arti kemandirian secara ekonomi dan terlepas dari ketergantungan terhadap suami atau kaum laki-laki. Mereka sebagian (di antaranya anggota DOB) kemudian bergabung dengan NOW yang memang mempunyai penekanan gerakan pada isu-isu pemberdayaan (employment issues) (Davis, 1991: 261).

66 Bagi kaum lesbian Amerika, memilih untuk tetap terisolasi dari mainstream of contemporary culture bukan merupakan sesuatu yang buruk, karena dengan hidup dalam lingkungan homogen bisa memperkuat ke-lesbian mereka, tetapi memilih untuk tetap terisolasi

dari

kebudayaan

lesbiannya

(lesbian

culture)

akan

mengakibatkan

berkurangnya kesempatan untuk menunjukkan strength and power dari lesbian itu sendiri kepada masyarakat luas (Evans, 1980: 229). Women’s Lib di tahun 60-an terinspirasi dan terpicu oleh Civil Rights Movement yang memang sedang marak terjadi di Amerika, bahkan menggema di seluruh dunia. Ini berarti keberanian sebagian kaum lesbian untk out of the closet dan bergabung dengan gerakan perempuan pada umumnya pun terpicu oleh Civil Rights Movement. Civil Rights Movement yang menekankan pada tuntutan pembebasan hak-hak asasi manusia bagi mereka yang merasa tertekan atau bahkan tertindas menjadi ikon gerakan dari liberation groups pada masa itu, termasuk kaum lesbian. Sementara itu, kaum homoseksual (baik gay maupun lesbian) sudah lama sejalan dengan the New Left yang muncul sebagai reaksi balik dari kondisi Amerika di akhir tahun 1950-an. Orang-orang New Left dengan pemikiran kirinya sepakat dengan pernyataan bahwa “strict role definitions of masculinity and feminity in America society were a piece with the rigidities and repressions of American society” (Unger, 1974: 156). Dengan demikian kaum homoseksual yang memang mendapat tekanan pada saat itu pun merasa terdukung oleh pemikiran-pemikiran yang disosialisasikan oleh orang-orang New Left. Oleh karena itulah kemudian kaum homoseksual mulai menampakkan keberaniannya dengan menentang hinaan dan diskriminasi yang selama ini mereka

67 rasakan. Namun, menurut Irwin Unger, hal tersebut juga dibarengi dengan penyesalan mereka atas prasangka-prasangka yang muncul seiring dengan gerakan tersebut. Prasangka-prasangka itu timbul karena di antara para aktivis New Left, kaum lesbianlah yang paling menunjukkan militansinya dalam memperjuangkan kebebasan kaumnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 196-an menunjukkan telah terjadinya proses reformasi dalam kehidupan kaum lesbian di Amerika. Secara umum kehidupan lesbian pun berubah dari apa yang telah mereka alami di tahun-tahun sebelumnya. Sebagian dari kaum lesbian di Amerika semakin menampakkan diri menjadi aktivis-aktivis gerakan yang secara terbuka terus menggaungkan eksistensi kaum lesbian di tengah masyarakat Amerika. Seiring dengan aktifnya mereka dalam gerakan feminis, mereka semakin menyadari inti dari tekanan dan penindasan yang mereka rasakan selama ini, yaitu adanya supremasi laki-laki, baik di dalam keluarga, di tengah masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Dominasi laki-laki selama ini telah mengakibatkan subordinasi kaum perempuan seperti The Second Class After Men. Bagi kaum lesbian khususnya, hal ini merupakan suatu penderitaan yang menyadarkan mereka bahwa mereka harus berjuang untuk menghapus penderitaan tersebut. Mereka harus bersatu dengan kaum perempuan biasa untuk merombak supremasi laki-laki. Untuk itulah kaum lesbian lebih memilih bergabung dengan organisasi feminis daripada organisasi homoseksual, Gay Liberation Front (GLF) misalnya.

68 4.5.2 Sejarah Komunitas Lesbian di Eropa Pada tahun 1636 John Cotton mengusulkan hukum untuk Massachusetts Bay membuat seks antara dua perempuan (atau dua orang) suatu pelanggaran besar, tapi hukum tidak berlaku . Itu akan telah membaca, "kekotoran yang tidak alami, harus dihukum dengan kematian, apakah sodomi, yang merupakan persekutuan duniawi manusia dengan manusia, atau wanita dengan wanita, atau persetubuhan dua laki-laki, yang merupakan persekutuan duniawi manusia atau wanita dengan binatang atau ayam. Ini mungkin keyakinan hanya untuk lesbianisme dalam sejarah Amerika . Pada tahun 1779 Thomas Jefferson mengusulkan hukum yang menyatakan bahwa, "Setiap orang harus bersalah karena pemerkosaan, poligami, atau sodomi dengan pria atau wanita dan harus dihukum, jika seorang pria, dengan pengebirian, jika seorang perempuan, dengan memotong tulang rawan thro hidungnya lubang diameter satu setengah inci setidaknya. Pada tahun 1800 istilah "Boston Pernikahan" digunakan untuk menggambarkan hubungan berkomitmen antara dua perempuan yang tidak menikah yang biasanya mandiri secara finansial dan sering berbagi rumah. Referensi lesbian pertama yang diketahui dalam sejarah Mormon terjadi pada 1856, ketika seorang pria Salt Lake mencatat dalam buku hariannya bahwa seorang wanita Mormon mencoba merayu seorang gadis muda 1900-1950. Dalam sejarahnya di masa lalu, keberadaan kaum lesbian di Barat (Eropa) bukan hanya dilarang oleh masyarakat dan institusi agama, tetapi juga dilarang secara hukum dan di kriminalkan oleh negara. Dengan dasar pembenaran atau interpretasi dari teks Injil atau ajaran Kristiani (kisah Sodom dan Gomora), kaum lesbian dianggap sebagai kaum yang berdosa dan dikutuk oleh Tuhan sehingga harus dimusnahkan. Karena itu seseorang

69 yang diketahui sebagai seorang homoseksual (lesbian) akan dihukum sampai mati oleh keluarganya atau oleh masyarakat sekitar dan juga oleh negara sesuai dengan UndangUndang atau hukum yang diberlakukan pada masa itu. Terjadi di Belanda pada tahun 1730-an, dimana kaun lesbian mengalami banyak sekali kekerasan baik dari keluarga, masyarakat, instuisi agama dan negara. Pada tahun 1960-an kaum lesbian (hampir seluruh Eropa) secara tegas menuntut kesamaan hak dengan warga negara lainnya tanpa membedakan orientasi seksualnya. Amsterdam, pada tanggal 4 Mei 1970 Aksi Kelompok gay Muda Amsterdam (Amsterdamse Jongeren Aktiegroep Homoseksualiteit) melakukan aksi peringatan nasional untuk para korban meninggal akibat kekerasan yang dialami korban homoseksual. Peringatan ini dilakukan di Bundaran Dam (tugu peringatan perang dunia ke II yang mengorbankan nyawa ribuan orang secara sia-sia yang terletak di jalan Damrak pusat kota Amsterdam) namun polisi membubarkan aksi ini dan menangkap beberapa aktivis dengan tuduhan telah mengganggu ketertiban umum. Pada bulan Mei 1979, dicetuskan dari ide anggota Center for Culture and Recreation sebuah organisasi lesbian yang didirikan pertama kali di Amsterdam tahun 1946 untuk mendirikan sebuah monument peringatan bagi kaum homoseksual yang bekerja sama dengan kelompok gay dari Partai Sosialist Pasifist (The Gay Group of The Pasifist Socialist Party). Ide ini mendapat dukungan dari kelompok gay dan lesbian, baik dari individu maupun kelompok yang terdiri dari 7152 group lesbian dan gay juga dukungan dan antusiasme dari dunia internasional. Untuk merealisasikannya, dilakukan pencarian dana dengan membentuk Komite Pencarian Dana (Fund Raising Committee) yang beranggotakan para aktivis gay dan lesbian, politisi, seniman dan aktivis

70 keagamaan. Setelah delapan tahun menggalang dana, dana yang terkumpul sebesar 180.000 Euro. Dana tersebut diperoleh dari sumbangan individu, organisasi lesbian dan gay, serta kegiatan-kegiatan seperti festival seni di musim semi, festival paradiso tahun 1980, festival homomonu-month pada Oktober 1981, pementasan Nigth Before Day Break pada bulan Desember 1986. Serta sumbangan dari Parlemen Belanda sebesar 45.500 Euro ketika kontruksi monumen sudah mulai dipasang, bahkan Perdana Menteri pun memberikan konstribusi yang sangat besar dalam pembangunan monumen ini (Admin, accessed, Dec. 20, 2010).

4.5.3 Sejarah Komunitas Lesbian di Asia

Di Indonesia, Lesbianisme rupanya berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Kalau dulu, perempuan lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya. Lihat saja, grup-grup lesbian yang bertebaran di Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya.

Saskia Wieringa telah menulis soal lesbian dengan judul “Globalisasi, Cinta Kedekatan dan Pembungkaman di Kelas Pekerja Komunitas Butch/Femme di Jakarta” (2005). Studi ini tidak menyoroti persoalan kekerasan terhadap lebian, namun lebih fokus pada cinta dan erotisme. Menurutnya, sejak Indonesia membuka koridor demokrasi tahun 1998, relasi hubungan seksual sejenis juga semakin terbuka. Akan tetapi keterbukaan ini berada di dalam tingkat komunitas dan bukan pada tingkat nasional yang justru ingin

71 menguatkan kembali

moralitas tradisional,

yang gencar

diusung oleh Islam

fundamentalis.

Studi Wieringa sangat menarik karena menggambarkan kedinamisan hubungan perempuan (butch dan femme) dalam situasi dimana beberapa anggota bersedia diwawancarai adalah juga aktifis dan anggota KPI (Koalisi Perempuan Indonesia). Menarik juga untuk diperhatikan bahwa perempuan memiliki “roh” laki-laki (butch) dan perempuan yang memiliki “roh” feminin yang berada dalam konstruksi peran gender yang dibentuk sendiri (self creation) (Jancokan, accessed, Okt. 12, 2010 ).

Pada tahun 1982 lahir organisasi gay dan lesbian pertama di Indonesai dan Asia bernama Lambda Indonesia, yang menerbitkan bulletin “Gaya Hidup Ceria (1982-1984. Melalui Lambda Indonesia yang berkantor di Surabaya, beberapa lesbian di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya mulai mengorganisir diri. Di Jakarta misalnya, beberapa aktivis lesbian yang menjadi kontak person Lambda Indonesia mulai melakukan penggalangan anggota. Pertemuan pertama kali dilakukan di rumah salah seorang artis terkenal pada masa itu yang lesbian tetapi tidak come out kepada publik. Namun Lambda Indonesia hanya bertahan 6 bulan, diakibatkan lemahnya sumber daya manusia dan ekonomi yang menjadika organisasi mereka tidak kuat.

Pada tahun 1984, masih di Jakarta oleh beberapa aktivis lesbian Jakarta mendirikan organisasi bernama SAPHO, dengan dukungan dana dari pejabat (gay, namun tidak come out) dan beberapa mahasiswa fakultas psikologi Universitas Indonesia. SAPHO mempunyai misi melakukan penguatan psikologis (terutama self esteem) khusus

72 kepada individu lesbian sehingga mereka mempunyai kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Rais Nur dalam tulisannya tentang “ Lesbian di Negara Malaysia” mengungkapkan bahwa pada bulan Desember 1994 sebuah surat kabar besar Malaysia memuat judul utama: “Teman membunuh lesbian dibebaskan”. Menurut surat kabar tersebut, “ seorang pekerja pabrik membunuh teman kostnya karena ia anggap temannya itu mencoba merayunya, ia dibebaskan oleh tujuh laki-laki yang menerima alasan pembunuhan tersebut untuk membela diri”. Kasus ini oleh pemerintah Malaysia dijadikan momentum untuk mengkampanyekan anti lesbiansme dengan dukungan para ulama. Mereka bahkan juga menghubungkannya dengan homoseksualitas, aborsi dan narkoba. Pemerintah dan tokoh-tokoh agama menyebutkan praktek lesbian menghancurkan ketahanan keluarga. Kampanye ini sejalan dengan upaya untuk membela “Nilai Asia”. Lesbianisme memang tidak secara tegas dilarang di Malaysia. Bagian pasal 377D dari undang-undang KUHAP Malaysia, hanya memuat pelarangan “perbuatan ketidaksopanan”, alasan ini dianggap cukup kuat untuk melarang lesbian. Akta 1955 memuat pelarangan tindakan yang melanggar moralitas publik, akta ini dipakai untuk membinasakan pekerja seks dan transeksual dan kini juga bisa dipakai untuk melarang lesbianisme. Iran sejak tahun 1991, pelarangan lesbian sangat tegas dan masuk dalam hukum Islam (sharia). Untuk memenuhi kebutuhan ini maka konstitusi Iran diubah karena tekanan kaum fundamentalis. Parlemen Iran menyetujui hukum Qisas (retribusi) yang melarang tindakan sodomi dengan hukum cambuk. Kaum lesbian di Iran menghadapi begitu banyak pelecehan seksual dan kekerasan bukan saja oleh negara akan tetapi juga

73 dari keluarga mereka dan komunitas mereka. Karena organisasi lesbian dilarang, maka mereka yang mengalami kekerasan dan intimidasi tidak dapat melaporkan kasus-kasus mereka.

74 BAB V EKSISTENSI KOMUNITAS LESBIAN YANG TERPINGGIRKAN DI KELURAHAN KUTA

5.1

Memperkuat Identitas dalam Kelompok Lesbian Identifikasi dapat diartikan sebagai metode, yang dipergunakan orang untuk

mengambil alih cirri-ciri lain dan menjadikan bagian yang tak terpisahkan dari kepribadiannya. Seseorang akan belajar mereduksikan ketegangannya dengan cara bertingkah laku seperti tingkah laku orang lain. Freud mempergunakan istilah identifikasi yaitu

apa

yang

ditiru

seseorang akan

menjadi

bagian dari kepribadiannya

(Hall & Lindsey, 1997: 47-48). Ada dua macam golongan homoseksual, yaitu homoseksual tertutup (covert homosexual) dan homoseksual terbuka (overt homosexual). Homoseksual tertutup (covert homosexual) adalah, homoseksual yang menyimpan rapat-rapat kehidupannya dan tidak ingin membagi denga keluarga atau lingkungan sekitar didasari oleh berbagai macam alasan. Sedangkan homoseksual terbuka (overt homosexual) adalah, homoseksual yang terbuka dan mengakui bahwa dirinya adalah seorang homoseksual dan tidak ragu membaginya

dengan

keluarga

dan

lingkungan

sekitar

(Damson, dkk, 2006: 423) Identifikasi dapat diartikan sebagai metode, yang dipergunakan orang untuk mengambil alih ciri-ciri orang lain dan menjadikan bagian yang tidak terpisahkan dari kepribadiannya. Seseorang akan belajar mereduksikan ketegangannya dengan cara beringkah laku seperti orang lain. Freud mempergunakan istilah identifikasi yaitu apa

75 yang

ditiru

seseorang

akan

menjadi

bagian

dari

kepribadiannya

(Hall & Lindsey, 1997: 47-48). Kritikus periklanan, Sut Jhally, menunjukkan bagaimana citraan periklanan komersial telah menyebar ke wilayah-wilayah budaya popular lainnya dan dia membahas dampak-dampaknya bagi pembentukan identitas individual dan sosial (Sut Jhally,1990). Diri (self) merupakan pusat dari dunia sosial setiap orang. Pengertian konsep diri (self-concept) menurut Baron & Byrne, adalah : “An organized collection of beliefs and self-perception about one-self”. Maka dapat diartikan bahwa, konsep diri merupakan kepercayaan

dan

persepsi

seseorang

mengenai

dirinya

sendiri/kelompok

(Byrne, 1995:160). Identitas diri atau konsep diri seseorang diperoleh melalui interaksinya dengan orang lain, dimulai dari anggota keluarga dan meluas menuju interaksi dengan orang lain selain keluarga. Dengan kata lain, manusia berinteraksi terhadap lingkungannya dengan mengendalikan dirinya yang direalisasikan melalui adanya konsep diri. Konsep diri mempengaruhi cara seseorang beringkah laku dimana tingkah laku ini merupakan hasil yang diterima oleh orang lain sebagai akibat dari adanya interaksi sosial. Media yang sekarang telah tersedia dan memudahkan masyarakat pada umumnya dan komunitas lesbian pada khususnya untuk mengetahui perkembangan dunia luar. Sebut saja internet, dari sanalah sebuah wadah yaitu private channel di temui di komunitas lesbian. Private channel inilah yang menghubungkan kaum lesbian dan menjadikannya sebuah komunitas. Tidak hanya dalam kota, namun dari seluruh penjuru Indonesia berkumpul di dalamnya. Tentunya tidak semua perempuan dapat masuk dan berbincang-bincang disana, ada hal-hal spesifik yang akan dipertanyakan oleh operator

76 (OP) yang bertugas di dalamnya, sehingga orang yang tidak berkepentingan dan bukan anggota tidak dapat berinteraksi di channel tersebut. Sikap seperti ini ditunjukan untuk menghindari orang yang tidak berkepentingan masuk, seperti laki-laki iseng yang seenaknya masuk dan berpura-pura menjadi seorang lesbian. Pihak pengelola private channel tersebut tidak hanya mewadahi komunitas lesbian ini berkomunikasi, tetapi juga mempertemukan mereka dalam sebuah acara yang disebut gathering. Tidak ada jangka waktu yang pasti berapa kali gathering tersebut dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun. Private channel ini bertugas menyebarkan undangan via email dan topik yang ditulis dalamnya, sehingga setiap anggota komunitas yang masuk ke dalam private channel ini mendapatkan informasi secara langsung dan dapat

menanyakan

langsung

kepada

operator

yang

sedang

bertugas

(Herliani, 2008: 51-52). Selain itu di dunia maya pun komunitas lesbian ini sudah eksis melalui komunitas Institut Pelangi Perempuan (IPP) dan majalah online Sepoci Kopi. Dimana Sepoci Kopi didirikan oleh dua perempuan yang peduli dengan gerakan lesbian, Alex dan Lakhsmi pada Januari 2007 berbasis weblog di www.sepocikopi.blogspot.com. Tulisan-tulisan awalnya adalah opini pribadi yang ditulis di waktu luang, namun ternyata berkembang menjadi esai-esai yang menelurkan gagasan kritis dan revolusioner, yang pada kemudian hari menjadi sangat berpengaruh. Tulisan-tulisan tersebut dilanjutkan oleh beberapa penulis lesbian lainnya yang terus menerus menapaktilas pada keluasan topik tak terbatas mulai dari budaya, gaya hidup, sampai humaniora. Idealisme dan semangat yang hidup di dalam tulisan-tulisan tersebut berkembang di benak pembaca yang semakin semakin lama

77 semakin banyak. Rumah kecil itu dinamai Sepoci Kopi sebab kopi dipercayai sebagai zat yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh serta menyegarkan kelelahan fisik. Sejak tahun 2008, Sepoci Kopi memiliki tim redaksi tetap terdiri dari editor profesional, jurnalis, pengamat budaya, dan para penulis yang sangat serius merumahkan bahasa, membangun kekuatan komunitas lesbian dunia maya, serta memelihara kesadaran tentang aksentuasi dan pemberian citra positif terhadap kaum lesbian. Weblog pun memperluas daya jelajahnya, melahirkan sub-sub kategori lain yang menyentuh aneka isu. Empat blog-satelit bernama Say It Out Loud, Community And Traveling, Camilan Sepoci Kopi, dan the Planet mengudara Sepoci Kopi dalam orbitnya. Untuk di Kuta sendiri, komunitas lesbian yang berada di bawah payung Yayasan Gaya Dewata kini mulai menunjukkan ke eksisan mereka dalam. Data yang tercatat di yayasan Gaya Dewata, jumlah lesbian yang terdata oleh yayasan sebanyak 15 orang, namun masih ada beberapa komunitas-komunitas yang tidah terdata di yayasan karena mereka enggan diketahui identitasnya sebagai seorang lesbian. Ke-eksisan komunitas lesbian di Kuta terlihat dari aktifnya mereka berkumpul di klub-klub malam dan cafe-cafe malam untuk sekedar hangout dengan sesama mereka, bahkan tidak sedikit dari mereka bekerja di klub-klub malam dan café-cafe tersebut. Beberapa tempat hiburan malam tempat mereka sering berkumpul seperti Face Bar, Mixwell, Dejavu, La Vi Da. Biasanya mereka lebih gampang dijumpai di tempat tersebut. Tidak ada hari-hari khusus untuk mereka berkumpul, namun biasanya pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu akan lebih ramai berkumpul komunitas lesbian tersebut.

78 Sampai saat ini, komunitas lesbian masih sulit untuk di identifikasi. Untuk merahasiakan identitas mereka tersebut, maka digunakanlah beberapa aksesoris khusus agar dapat dikenali oleh orang-orang sesama komunitas lesbian lainnya. Adapun aksesoris yang dipergunakan, bukan sekedar aksesoris yang sering dipergunakan kaum heteroseksual kebanyakan, tetapi berupa aksesoris khusus yang menjadi simbol komunitas lesbian tersebut, seperti anting yang dipakai di telinga sebelah kiri, cincin di jari kelingking sebelah kiri, gelang rantai perak di tangan kanan. Seperti penuturan Ogut, seorang butch yang berusia 29 tahun, yang selalu menggunakan aksesoris berupa cincin di jari kelingking sebelah kiri mengenai identifikasi : “Kaum lesbian kini jarang yang memakai aksesoris di badan mereka, hal ini guna menutupi identitas mereka. Di dalam komunitas lesbian, cara kita mengidentifikasi komunitas kita mudah saja, apalagi untuk mengidentifikasi seorang butch. Misalnya saja ada perempuan yang dadanya sedikit menonjol, namun dengan potongan rambut pendek dengan model laki-laki dan kemeja serta aksesoris laki-laki yang digunakannya. Sudah pasti 100% adalah butch”. Menurut penuturan June, seorang butch berusia 28 tahun yang juga menggunakan aksesoris berupa anting-anting di telinga sebelah kiri untuk menunjukan identitasnya sebagai seorang butch dalam komunitas lesbian : “Dalam keseharian, mereka jarang menggunakannya (aksesoris), namun kalau lagi ada gathering (acara kumpul sesama komunitas lesbian) aksesoris seperti wajib hukumnya untuk digunakan. Seiring dengan masyarakat yang mulai sadar dengan keberadaan kaum kita (komunitas lesbian), juga banyak yang mengteahui tentang simbol yang dipakai oleh komunitas lesbian, seperti aksesorisnya. Maka kebanyakan kaum lesbian sekarang ini lebih memilih aman dengan menggunakan pada saat-saat tertentu saja”.

79 Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kebanyakan dari kaum lesbian saat ini tidak menggunakan aksesoris sebagai kebutuhan primer. Komunitas lesbian tersebut lebih menempatkan sebuah aksesoris sebagai alat untuk mengidentifikasikan dirinya menjadi kebutuhan pelengkap, khususnya jika diadakan pertemuan dengan sesama komunitas, ((gathering,) dapat dlihat pada foto 13 lampiran 4), seperti yang tampak pada foto 1 pada lampiran 4 yang menampilkan seorang butch yang mempergunakan aksesoris berupa sebuah gelang perak di tangan kanannya. Fenomena ini sesuai dengan teori semiotika Saussure bahwa merah memiliki makna dalam kaitannya dengan perbedaan antara mereah, hijau, coklat kekuningan, dan lain-lain. Tanda-tanda ini kemudian ditata kedalam suatu urutan yang membentuk makna melalui konvensi budaya pemakaian mereka di dalam konteks tertentu. Jadi, lampu lalu lintas menggunakan “merah untuk menandakan berhenti, dan hijau untuk menandai jalan. Ini adalah kode budaya sistem lalu lintas yang kadang-kadang memapankan hubungan antara warna dengan makna. Tanda menjadi kode alamiah. Transparansi makna (‘kita’ tahu kapan harus berhenti dan kapan harus jalan) adalah suatu hasil pembiasaan budaya, yang efeknya adalah menyembunyikan praktik pengodean budaya. Dalam peng-aplikasian di dalam komunitas lesbian, menunjukkan bahwa komunitas lesbian kini tidak semata-mata mempergunakan aksesoris yang mereka pakai untuk mengidentifikasi kelompok mereka. Karena sekarang mulai rancu jika hanya mempergunakan aksesoris untuk menentukan seseorang tersebut komunitas lesbian atau bukan. Diakibatkan para heteroseksual pun kini mulai mempergunakan aksesoris yang kerap sama digunakan oleh komunitas lesbian, sehingga perlu lebih teliti lagi dalam mengidentifikasi apakah seseorang tersebut termasuk komunitas lesbian atau bukan.

80 Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Giddens yang mengungkapkan bahwa identitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif, kewajiban, sanksi, yang pada kolektivitas tertentu, membentuk peran. Pemakaian tanda-tanda yang terstandardisasi, khususnya yang terkait dengan atribut badaniah, umur dan gender, merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat. Sekalipun ada begitu banyak variasi lintas budaya yang dapat dicatat (Giddens, 1984: 282-283). Singkatnya, identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan anda dengan orang lain (Weeks, 1990: 89). Cara komunitas lesbian mengidentifikasikan/ menunjukan identitas mereka sebagai seorang lesbian yang khususnya berlabel butch lebih mudah dibandingkan mengidentifikasikan seorang femme. Mengapa demikian? Dikarenakan seorang butch itu biasanya memakai barang-barang yang biasanya dipakai oleh laki-laki. Perempuan yang berdandan layaknya seorang perempuan heteroseksual dan berdiri di samping butch akan mendapatkan panggilan femme. Pengalaman berbeda dituturkan ibu Dewi, pekerja media di salah satu harian post di Bali, seputar pengalamannya dalam kesehariannya sebagai ibu rumah tangga yang memiliki seorang anak lesbian. Menurutnya, penting bagi remaja gay atau lesbian untuk bergabung dalam sebuah support group, seperti IPP (Institut Pelangi Perempuan). IPP sebagai sebuah organisasi yang memberikan pemberdayaan dan penguatan bagi kelompok lesbian muda di Indonesia dan memperjuangkan hak seksualitas lesbian bisa dijadikan kelompok pendamping bagi mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan keseharian mereka sebagai kelompok minoritas, terutama bagi mereka yang tidak mendapat dukungan dari keluarga.

81 Sepertinya di kalangan remaja saat ini sedang trend untuk menjadi lesbian. Bahkan ada istilah “kalau tidak lesbi maka tidak keren”, dan biasanya mereka adalah pelajar-pelajar tingkat SMP dan SMA. Demam mengikuti trend lesbian ini kian marak dan lebih gampang menjumpai mereka, karena mereka lebih terbuka dengan identitas mereka sebagai seorang lesbian, bahkan terkesan mempublikasikannya baik itu dengan cara mengubah nama panggilan atau mengubah nama mereka dengan istilah-istilah di dunia lesbian pada situs-situs pertemanan seperti facebook, twitter, yahoo dan lain-lain. Mereka lebih berani menunjukkan identitas diri mereka sebagai lesbian dibandingkan dengan komunitas lesbian yang lebih senior. Mungkin karena menurut mereka menjadi seorang lesbian hanyalah sebuah ke-isengan masa remaja semata, hanya untuk dapat masuk ke dalam komunitas yang mereka anggap menyenangkan dan mereka anggap gaul dan nanti pada akhirnya kehidupan mereka akan berjalan normal kembali. Kalau menjadi heterosexual adalah suatu hal yang dipandang biasa, sudah seharusnya dan normal, namun menjadi lesbian atau gay bukanlah suatu hal yang mudah. Stigma terhadap homoseksualitas dan lesbian sangatlah kuat dalam masyarakat. Homoseksual atau lesbian masih dicap oleh masyarakat yang menentangnya sebagai suatu bentuk penyimpangan atau ketidak normalan. Bahkan pandangan yang lebih parah lagi adalah bahwa homosekualitas dan lesbianisme dianggap sebagai penyakit seperti penyakit kurap yang bisa diobati dan disembuhkan. Padahal apabila direnungkan lebih jauh, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah manusia yang sama, yang membedakan hanyalah orientasi seksualnya saja. Ibaratnya ada orang yang menyukai nasi, dan ada yang menyukai roti. Apakah ini berarti yang menyukai roti itu menyimpang atau tidak normal? “Masih banyaknya anggapan

82 yang demikian, ditambah sikap sebagian masyarakat yang masih homofobi, maka perempuan lesbian di Indonesia harus sangat hati-hati dan cerdik dalam berkegiatan dan berjuang” (Juliani Wahjana, accessed Dec, 12, 2010).

5.2

Kehidupan dalam Bermasyarakat Fenomena mencuatnya wacana homoseksualitas, baik gay maupun lesbianisme,

akhir-akhir ini, lewat berbagai forum dan media merupakan sebuah bagian dari politik identitas kelompok untuk mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari kelompok dominan. Pandangan negatif dan diskriminatif masyarakat atas mereka yang 'menjadi' kaum homoseks disebabkan kesesatan informasi di mana kaum homoseks (gay dan lesbian) melulu hanya berpikir dan membicarakan masalah seks. "Kaum lesbian yang saya temui umumnya pintar dan memiliki andil dalam masyarakat dan kehidupannya. Jadi, tidak melulu berpikir soal seks saja. Keberadaan kelompok lesbian di Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dan penerimaan sepenuhnya dari masyarakat, walaupun sebagian sudah dapat menerima. Mereka kerap mendapatkan beragam bentuk ketidakadilan, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi yang terjadi baik itu dalam rumah, sekolah, tempat bekerja, tempat ibadah dan masyarakat sekitar. Namun dengan perlakuan seperti yang tersebut di atas komunitas lesbian melakukan perlawan dengan berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan. Untuk melihat sejarah gerakan ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode sebelum reformasi (1980-2000), dan sesudah reformasi (2000-2008). Perjuangan lesbian yang dilakukan pada tahun 1980-an baik secara individu masih berkutat bagaimana memunculkan eksistensi lesbian kepada masyarakat.

83 Sedangkan dalam komunitas, aktivitas mereka masih ekslusif walau lahir beberapa organisasi lesbian yang didukung oleh individu-individu yang tergerak karena adanya penindasan terhadap kaum lesbian dan gerakan sosial (misalnya mahasiswa, perempuan, HIV/AIDS dan HAM) namun hal ini pun baru sebatas menangani masalah-masalah kehidupan kaum lesbian, seperti persoalan-persoalan psikologis, relasi dan keluarga. Pada tahun 1980-an, perjuangan memunculkan identitas lesbian diawali dengan hebohnya perkawinan lesbian pertama pd 19 April 1981 dimana pasangan lesbian bernama Jossie (25 tahun) dan Bonnie (22 tahun), come out kepada media dan publik dengan melangsungkan pernikahan disebuah cafe yang berlokasi di daerah Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan dihadiri oleh 120 undangan. Berita pernikahan tersebut diliput berbagai media ibukota, diantaranya oleh majalah Tempo edisi Mei 1981 dan majalah minguan nasional Liberty edisi Juni 1981. Keberanian Jossie dan Bonnie, tentu saja memunculkan banyak kritik dan hujatan dari berbagai kalangan di masyarakat yang menganggapnya sebagai tidak pantas dan penyimpangan seksual. Bagi komunitas lesbian yang terdapat di Kuta, hubungan dalam bermasyarakat sangatlah penting, sebab mereka walau bagaimanapun tetap berada di lingkungan masyarakat yang heterogen dalam kehidupan setiap harinya, baik itu di rumah, di tempat belajar, tempat kerja, semua merupakan lingkungan masyarakat yang heterogen. Dan seajuh ini komunitas lesbian yang berada di Kuta belum pernah mempunyai masalah dengan masyarakat di sekitar lingkungan mereka berada. Baik masyarakat maupun komunitas lesbian yang terdapat di Kuta hidup saling berdampingan seperti para heteroseksual lainnya. Namun komunitas lesbian yang terdapat di Kuta tentunya tidak fulgar dalam memperkenalkan identitas mereka sebagai

84 seorang lesbian. Hanya pada saat mereka berkumpul, terutama di tempat-tepat hiburan malam maka mereka akan menunjukkan identitas mereka sebagai komunitas lesbian. Dapat dilihat pada foto 2 lampiran 4, yang menunjukkan kaum heteroseksual yang berbaur dengan kaum lesbian dalam suatu acara pementasan hiburan.

5.2.1 Kehidupan Sehari-hari Seperti heteroseksual pada umumnya, dalam kehidupan sehari-hari komunitas lesbian pun sama di pagi hari. Dari mulai bersekolah bagi mereka yang masih pelajar, bekerja bagi mereka yang sudah bekerja. Setiap hari hal-hal rutin pun mereka lakukan sama seperti masyarakat heteroseksual lainnya. Tidak ada rasa canggung bagi mereka untuk tetap beraktifitas sesuai dengan kegiatan mereka masing-masing. Mereka tetap berosialisasi dengan lingkungan di tempat mereka masing-masing, baik itu lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan bekerja. Selepas dari melakukan kegiatan rutin sehari-hari, komunitas ini biasanya akan menyempatkan diri untuk berkumpul dengan sesama komunitasnya. Hanya untuk sekedar berkumpul sambil bercerita mengenai kegiatan hari ini, sambil diselingi senda gurau antar sesama mereka. Soelah-olah saat berkumpul tersebut mereka jadikan waktu kebebasan mereka untuk lebih berekspresi, karena tentunya dengan sesama komunitas mereka akan lebih bebas tanpa harus menyembunyikan identitas diri mereka masingmasing. Biasanya komunitas lesbian ini akan memilih tempat-tempat hiburan malam sebagai tempat mereka berkumpul. Karena biasanya di tempat hiburan malam mereka akan bisa lebih bebas dan leluasa, karena biasanya tidak akan ada yang memperhatikan

85 mereka secara khusus, seingga mereka tidak merasa terusik saat berkumpul dengan sesama komunitasnya. Seperti pengakuan Ogut yang berperan sebagai seorang butch yang berusia 29 tahun dalam lingkungan komunitas lesbian tentang kehidupannya sehari-hari : “Saya pada dasarnya tipikal rang yang supel dalam bergaul. Kalau sedang berada dalam lingkungan heteroseksual, saya akan bersikap seperti perempuan pada umunya tanpa menunjukkan identitas saya, biarkanlah mereka yang menilainya sendiri. Namun apabila saya sedang berada dalam komunitas saya (komunitas lesbian) maka saya tidak akan canggung/ragu untuk menunjukkan identitas saya sebagai serang butch. Hal ini tentunya membuat saya lebih nyaman dalam bersikap, karena tidak perlu berpura-pura dan apa adanya”.

Menurut June, yang juga berperan sebagai seorang butch dan berusia 28 tahun dalam komunitas lesbian seperti berikut : “Saya sendiri, karena saya lebih banyak mengambil sikap laki-laki, dan memang sebelum saya mengetahui adanya label di dalam dunia lesbian, saya sudah seperti ini. Nyaman dengan menempatkan diri sebagai laki-laki. Di dalam komunitas lesbian, butch adalah seorang kepala rumah tangga, seperti dalam lingkungan heteroseksual pada umumnya. Biasanya sebagai seorang laki-laki, harus mengayomi istri, dan itu juga yang terjadi pada seorang butch dalam komunitas lesbian. Tidak hanya bersikap, penampilannya pun layaknya laki-laki pada umumnya”. Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa dalam kehidupannya sehari-hari mereka dapat menempatkan diri/meposisikan diri, dimana dan bagaimana seharusnya mereka bersikap. Karena mereka pun tidak semata-mata hanya berada dalam lingkungan komunitas lesbian, tetapi juga tetap bergaul dengan lingkungan heteroseksual. Hal ini dilakukan untuk dapat saling menghormati satu sama lainnya. Dapat dilihat pada foto 3 lampiran 4, dimana menunjukkan kehidupan sehari-hari komunitas lesbian. Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa dimanapun meraka berada, dalam kondisi dan lingkungan apapun, mereka harus tetap dapat menyesuaikan diri terhadap

86 lingkungan sekitar dalam bersikap. Hal ini sesuai dengan teori feminisme Nicholson yang berpendapat bahwa seks dan gender adalah konstruksi sosial dan budaya yang tidak dapat dijelaskan dalam konteks biologi atau direduksi menjadi fungsi kapitalisme. Pemikiran anti-esensialis ini menyatakan bahwa feminitas dan maskulinitas bukan merupakan katagori universal dan abadi melainkan konstruksi diskursif. Jadi, feminitas dan maskulinitas merupakan cara untuk mendeskripsikan dan mendisiplinkan subjek manusia. Dengan demikian, feminisme pascakulturalis memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan tentang konstruksi budaya subjektivitas per se, termasuk berbagai maskulinitas dan feminitas yang mungkin ada. Feminitas dan maskulinitas, yang merupakan soal bagaimana laki-laki dan perempuan dipresentasikan, diyakini sebagai arena perjuangan politik berkelanjutan dalam menemukan makna. Berdasarkan penekanan pada kebudayaan, representasi, bahasa, kekuasaan dan konflik, feminisme pascakulturalis memiliki pengaruh tama di dalam cultural studies. Keadaan tersebut meliputi psikoanalisis pascakulturalis, yang telah ditarik untuk mengaitkan ’sisi dalam’ dan ’sisi luar’ konstruksi gender (Nicholson, 1984).

5.2.2 Kehidupan di Tempat Bekerja Dalam lingkungan tempat bekerja, biasanya mereka masih menyembunyikan identitas diri mereka bahwa mereka adalah seorang lesbian. Hal ini dilakukan untuk menghindari pendiskriminasian atau pandangan yang kurang menyenangkan dari rekan kerja mereka sendiri. Namun tidak jarang mereka mempunyai rekan kerja yang dianggap dekat, yang mengetahui identitas dirinya bahwa dia adalah seorang lesbian. Rekan kerjanya tersebut dapat menerima hal itu sebagai hak asasi untuk memilih orientasi

87 seksual masing-masing. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan rasa nyaman bagi komunitas lesbian dalam bekerja. Karena walaupun dalam lingkungan bekerja, masih ada orang/rekan kerja yang memahami mereka sebagai seorang lesbian. Namun ada juga yang sangat tertutup dengan sesama temannya dalam lingkungan tempat bekerja. Mereka sama sekali tidak ingin diketahui identitas seksualnya oleh siapapun di tempat mereka bekerja. Dengan maksud agar kelak dikemudian hari tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti dijauhi oleh teman-teman wanita di lingkungan kerja, atau diremehkan dan dianggap tidak pantas untuk bekerja disana, padahal mereka mampu. Dengan demikian mereka lebih memilih untuk tetap menyembunyikan rapat-rapat identitas diri mereka sebgai seorang lesbian di lingkungan tempat mereka bekerja. Berbeda halnya bagi mereka yang bekerja di tempat-tempat hiburan malam, biasanya mereka tidak akan menyembunyikan lagi identitas diri mereka sebagai seorang lesbian, karena dalam dunia malam, gay dan lesbian dianggap sudah biasa dan keberadaan mereka diakui dan diterima dengan baik. Mungkin karena tujuan mereka ke tempat-tempat hiburan malam adalah untuk sama-sama mencari hiburan untuk sekedar melepaskan diri dari penatnya rutinitas sehari-hari dan lingkungan pekerjaan yang membosankan. Tidak ada yang mempermasalahkan apa orientasi seksual mereka, yang terpenting adalah sama-sama saling menghibur dan tidak saling mengganggu satu sama lain. Karena bagaimanapun, lingkungan tempat kerja yang nyaman akan membuat mereka sebagai komunitas lesbian merasa nyaman. Kenyamanan ini tentunya diharapkan berupa dukungan dari rekan kerja. Dengan tidak mempermasalahkan identitas diri

88 mereka sebagai seorang lesbian tapi melihat dari kemampuan kerja mereka, tentunya hal ini akan sangat diharapkan oleh semua komunitas lesbian yang sudah bekerja. sehingga mereka dapat bekerja secara maksimal tanpa harus memikirkan hal-hal lain seperti takut ketahuan atau pun takut akan penolakan rekan kerja begitu mengetahui identitas mereka bahwa mereka adalah seorang lesbian. Seperti pengakuan June berusia 28 tahun yang dalam komunitas lesbian berperan sebagai seorang butch tentang bagaimana dia dalam lingkungan tempat dia bekerja : “Kalau saya lebih melihat-lihat keadaan, lebih menempatkan diri lah. Sikap maskulin saya keluarkan kalau saya sedang berada dalam lingkungan komunitas. Tapi kalau saya sedang berada dalam lingkungan bekerja, saya tetap menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan orang-orang sekitar. Dalam artian lingkungan heteroseksual pada umumnya”.

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa seorang butch pun akan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkngan tempat dia bekerja. Hal ini dilakukan untuk dapat menciptakan suasana kerja yang nyaman, tanpa adanya intimidasi atau pandanganpandangan yang kurang menyenangkan dari rekan kerjanya, akibat orientasi seksualnya yang berbeda. Dapat dilihat pada foto 4 lampiran 4, yang menggambarkan lingkungan kerja seorang lesbian pada tempat hiburan malam. Dari fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkungan setempat sangat perlu dilakukan agar dapat diterima oleh lingkungan tersebut. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Relph yang mengungkapkan bahwa mereka bisa membedakan ruang dan tempat berdasarkan alasan bahwa tempat merupakan fokus dari pengalaman manusia, memori, hasrat, dan identitas. Jadi tempat adalah kostruksi diskursif yang menjadi target identifikasi atau investasi emosional (Relph, 1976).

89 5.3

Gaya Hidup Komunitas Lesbian di Kuta Lesbianisme di Indonesia rupanya berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial

kemasyarakatan. Kalau dulu, perempuan lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya. Lihat saja, grup-grup lesbian yang bertebaran di Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya. Lantas pertanyaannya, apakah Lesbianisme saat ini menjadi gaya hidup? Dahulu, komunitas lesbian masih sangat sulit dilihat dan dicari keberadaannya, biasanya mereka sangat sulit ditemui dan tidak mau terbuka kepada semua orang kecuali dengan sesama komunitasnya. Mereka masih sangat menyembunyikan identitas diri mereka dari keluarga dan masyarakat umum. Sekarang, seiring dengan perubahan jaman ke era yang lebih modern, begitu pula dengan cara berfikir manusianya yang semakin maju, komunitas lesbian mulai berani memperlihatkan jati diri mereka. Biasanya mereka terbuka terhadap identitasnya pada saat berkumpul dengan komunitasnya di tempattempat hiburan malam. Pada saat itu mereka merasa merdeka dan bebas untuk mengekspresikan diri dan gaya mereka tanpa ada yang akan mengganggu. Dalam pengertian umum, gaya hidup berarti karakteristik seseorang yang dapat diamati, yang menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Karakteristik tersebut berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objekobjek yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya, cara berpakaian, cara makan, cara berbicara, kebiasaan di rumah, kebiasaan di kantor, kebiasaan belanja, pilihan teman, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata ruang, tata rambut, tata busana, dan sebagainya. Gaya hidup, dengan demikian, merupakan kombinasi dan totalitas dari cara, tata,

90 kebiasaan, pilihan serta objek-objek yang mendukungnya, yang pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu. Karena gaya hidup merupakan totalitas dari objek-objek dan perilaku-perilaku sosial yang berkaitan dengan objek tersebut, maka dapat dikatakan bahwa gaya hidup itu dapat menghasilkan kombinasi objek-objek dan sebaliknya, kombinasi objek-objek dapat membentuk gaya hidup. Oleh karena itu, perbincangan tentang gaya hidup tidak dapat dipisahkan

dari

perbincangan

tentang

objek,

khususnya

objek

estetik

yang

membentuknya. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam menyoroti gaya hidup. Akan tetapi, dua pendekatan tampaknya lebih menonjol, yaitu pendekatan ideologis dan pendekatan sosiokultural. Pendekatan ideologis mengingatkan kita pada analisis sosial Marxisme. Menurut pandangan Marxisme, gaya hidup dilandasi oleh satu ideology tertentu yang menentukan bentuk dan arahnya. Cara berpakaian, gaya makan, jenis bacaan dikatakan merupakan ekspresi dari cara kelompok masyarakat mengaitkan hidup mereka dengan kondisi eksistensi mereka, yang kombinasinya membentuk kelas sosial mereka. Gaya hidup masyarakat tertentu, dan dengan demikian ia merupakan satu bentuk ideologi kelas (Piliang, 2004: 302-303). Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Dalam interaksi sehari-hari kita dapat menerapkan suatu gagasan mengenai gaya hidup tanpa perlu menjelaskan apa yang kita maksud, dan kita benarbenar tertantang serta mungkin sulit menemukan deskripsi umum mengenai hal-hal yang merujuk kepada gaya hidup. Oleh Karen itu gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka

91 melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain (Chaney, 1996: 40). Sebuah gaya mungkin saja dapat digunakan sebagai penjejak dengan cara gampangan untuk mengenali perbedaan kehidupan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Seolah lewat gaya hidupnya, suatu kelompok sosial dapat diidentifikasi kehadirannya. Padahal tidak sesederhana itu kejadiannya. Sebuah gaya hidup dapat mewujud dengan menembus berbagai kelompok sosial, sehingga menjadikan gaya hidup sebagai

perangkat

untuk

mengenali

satu

kelompok,

bisa

menjerumuskan

(Ibrahim, 1997: 206). Seperti layaknya pusaran siklus mode atau fashion, pencarian gaya pun terus berputar bersama waktu dan kehidupan seseorang. Karena itu, bagaimana kita memilih gaya hidup dan apa makna gaya hidup itu bagi kita, akan terus menjadi salah satu isu psikologis yang penting hingga di masa-masa yang akan datang. Karena pilihan suatu gaya hidup tertentu, baik dilakukan dengan sadar atau tidak, akan dengan kuat sekali menentukan bentuk masa depan individu. Gaya hidup itu akan menentukan suatu tatanan, serangkaian prinsip atau kriteria pada setiap pilihan yang dibuat individu itu dalam hidupnya sehari-hari (Chaney, 1996: 23). Sebenarnya gaya hidup komunitas lesbian ini tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya, mereka pun sehari-hari ada yang bekerja, kuliah, bahkan ada yang menjadi ibu rumah tangga. Namun yang membuat mereka nampak berbeda adalah apabila mereka sedang berkumpul dengan komunitasnya. Bagi lesbian yang masih remaja atau istilahnya ABG (anak baru gede), mereka tetap seperti biasa bersekolah atau kuliah di pagi hari. Dalam lingkungan sekolah atau kuliahnya tersebut, mereka bergaul seperti

92 biasa dengan lingkungannya, berbaur dengan yang lainnya. Selepas dari kegiatan rutinnya sebagai seorang pelajar, pada sore atau malam harinya biasanya mereka akan berkumpul dengan komunitasnya. Lain halnya dengan yang anggota komunitas yang sudah bekerja atau bahkan berumah tangga. Bagi yang bekerja biasanya intensitas mereka untuk berkumpul dengan komunitasnya lebih terbatas, namun setiap weekend mereka pasti akan menyempatkan diri untuk berkumpul dan begabung. Dan bagi yang sudah berumah tangga, sehari-hari mereka akan memerankan tugasnya sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab terhadap anak dan keluarganya, namum apabila ada kesempatan untuk berkumpul dengan komunitasnya tersebut, maka dia akan kembali menjadi dirinya sebelum berkeluarga. Mengekspresikan dirinya dengan bebas dalam komunitas tersebut yang selama ini dia tutupi di dalam rumah tangganya. Biasanya hal ini bisa terjadi karena di dalam rumah tangganya terjadi sesuatu, seperti mempunyai suami yang super sibuk dan jarang di rumah, sehingga sang istri (yang adalah seorang lesbian) bisa dan mempunyai kesempatan untuk kembali berkumpul dengan komunitasnya. Fenomena hubungan sejenis lesbian memang bukan hal yang baru dalam gaya hidup masyarakat metro modern. Meskipun keberadaannya masih terbilang sangat rahasia karena hubungan lesbian sangat sulit untuk dideteksi. Lesbian terlatar belakangi dari banyak hal, misalnya karena bentukan orang tua yang menginginkan mereka tumbuh menjadi lelaki, pengaruh lingkungan serta karakteristik yang memaksa mereka tumbuh menjadi gadis tomboy dan pada akhirnya membawa mereka lebih dekat dengan pribadi maskulin.

93 Komunitas lesbian yang terdapat di Kuta kini cenderung sudah berani membuka diri, mereka sudah berani tampil namun masih terbatas dalam dunia malam. Keberadaan komunitas ini akan lebih mudah dijumpai di berbagai hiburan malam tempat khususnya di Kuta. Komunitas lesbian ini biasanya mempunyai beberapa tempat untuk berkumpul di hari-hari tertentu. Gaya hidup mereka tergolong glamour, mereka sangat suka kumpulkumpul di tempat hiburan malam walau hanya untuk sekedar ngobrol sambil diselingi dengan minum-minum (minuman beralkohol) dan rokok. Menurut informan yang saya wawancarai, tidak sedikit dari komunitas lesbian ini berasal dari keluarga mampu bahkan kaya, biasanya mereka yang akan mengeluarkan uang apabila sedang kumpul-kumpul. Namun ada juga yang berasal dari kalangan biasa, dan biasanya mereka tidak terlalu sering bisa ikut kumpul-kumpul hanya sekedar untuk ngobrol atau minum-minum dikarenakan harus bekerja. Namun biasanya hal ini disiasati dengan berpindah kumpul-kumpul ke tempat kerja salah satu orang dalam komunitas tersebut, karena banyak dari komunitas lesbian tersebut bekerja di tempat hiburan malam seperti cafe, pub dan tempat-tempat dugem (dunia gemerlap malam). Seperti pernyataan Kay, seorang butch yang berusia 30 tahun tentang gaya hidupnya di dunia malam: “Kalau saya biasanya suka pergi buat dugem sama teman-teman saya, biasanya kami pergi beramai-ramai antara 4-5 orang. Nyaman aja kalau kita ramai-ramai dugemnya. Biasanya kita pesan minuman beralkohol sambil ngobrol-ngobrol, diselingi bercanda antar satu sama lainnya, dan tentu saja ditemani sebatang rokok untuk lebih menghangatkan suasana. Biasanya kita pulang kalau sudah ada yang capek, atau malah sampai subuh baru kita pulang, semua tergantung situasi”.

Uangkapan informan di atas menggambarkan bahwa kehidupan malam komunitas lesbian memang identik dengan dunia gemerlap. Mereka merasa lebih nyaman untuk

94 berkumpul di tempat-tempat hiburan malam untuk sekedar ngobrol dan berkumpul bersama sesama komunitas. Dan biasanya hal ini mereka lakukan bergerombol beberapa orang. Gaya hidup dunia malam komunitas lesbian mengarah ke hedonis, dimana sematamata untuk mencari kesenangan belaka. Fenomena di atas menunjukkan bahwa gaya hidup komunitas lesbian boleh dibilang mengarah ke gaya hidup modern, hedonis, yang bertujuan untuk mencari kesenangan. Namun tentunya kehidupan seperti ini diimbangi dengan modal yang kuat. Hal ini sejalan dengan teori gaya hidup dari Piliang yang mengemukakan tentang gaya hidup sebagai berikut, dalam pengertian umum, gaya hidup berarti karakteristik seseorang yang dapat diamati, yang menandai sistem nilai serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Karakteristik tersebut berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang dan objek-objek yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya cara berpakaian, cara makan, cara pilihan teman, pilihan restoran, pilihan hiburan, tata ruang, tata rambut, tata busana, dan sebagainya. Gaya hidup, dengan demikian merupakan kombinasi dan totalitas dari cara, tata, kebiasaan, pilihan serta objek-objek yang mendukungnya, yang pelaksanaannya dilandasi oleh sistem kepercayaan tertentu. Karena gaya hidup merupakan totalitas dari objek-objek dan perilaku-perilaku sosial yang berkaitan dengan objek tersebut, maka dapat dikatakan bahwa gaya hidup itu dapat menghasilkan kombinasi objek-objek dan sebaliknya, kombinasi objek-objek dapat membentuk gaya hidup. Oleh karena itu perbincangan tentang gaya hidup tidak dapat dipisahkan

dari

perbincangan

tentang

membentuknya (Piliang, 2004: 302).

objek,

khususnya

objek

estetik

yang

95 5.3.1 Gaya Berpakaian Ketika perkembangan trend fashion, model busana, rancangan pakaian, gaya kostum di tanah air mencapai titik yang mengesankan dan sekaligus menggelisahkan, ketika jalan-jalan dihiasi dengan iklan yang menawarkan model terkini, shopping mall dan pusat perbelanjaan dipenuhi dengan display model mutakhir, etalase took, outlet dan butik dipajang busana dengan corak. Warna dan model yang sengaja dirancang untuk merangsang cita rasa dan memikat perhatian segmen konsumen. Tak ayal, diperlukan pandangan yang elegan untuk membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang peran dan makna busana atau pakaian bagi pemakai dan orang yang memandangnya. Berbicara tentang pakaian sesuangguhnya berbicara tentang sesuatu yang sangat erat dengan diri kita. Tak heran, kalau dalam kata-kata Thomas Carlyle, pakaian menjadi ”perlambang jiwa” (emblems of the soul). Pakaian bisa menunjukan siapa pemakainya. Dalam kata-kata tersohor dari Eco, ” I speak through my clothes”. (Aku berbicara lewat pakaianku). Pakaian yang kita kenakan membuat pernyataan tentang diri kita. Bahkan jika kita bukan tipe orang yang terlalu peduli soal busana kita, orang yang bersua dan berinteraksi dengan kita tetap akan menafsirkan penampilan kita seolah-olah kita sedang membuat suatu pesan. Pernyataan ini membawa kita pada fungsi komunikasi dan nonkomunikasi dari pakaian yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam suasana formal maupun informal (Ibrahim, 2007: 241-242). Dalam abad gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap urusan penampilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Urusan penampilan atau presentasi diri ini sudah lama menjadi perbincangan sosiolog dan kritikus budaya. Erving Goffman, misalnya dalam The Presentatiom of Self in Everyday Life (1959),

96 mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan treatikal yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan dramaturgi (dramaturgical approach). Yang dia maksud adalah bahwa kita bertindak seolah-olah di atas sebuah panggung. Bagi Goffman, berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari. Penampilan itu justru mengalami estetitasi, “estetitasi kehidupan sehari-hari”. Dan, bahkan gerakan tubuh/diri pun justru mengalami estetisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya maka kamu ada” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan. Dalam ungkapan Chaney, “penampakan luar” menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih penting dari pada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting dari pada fungsi. Gaya menggantikan substansi, kulit akan mengalahkan isi. Pemasaran penampakan luar, penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi bisnis besar gaya hidup (Chaney:1996: 15-16). Secara umum memang lesbian berpenampilan tidak berbeda dengan perempuan lainnya. Namun banyak juga lesbian yang memiliki penampilan maskulin, tomboy, yang sering disebut dengan butch/butchie. Pada kelompok butch ini, ada kemungkinan besar penampilan maskulinnya, dengan celana panjang dan baju sportif pria, belum dapat diterima dengan baik oleh sebagian masyarakat. Di dalam wawancara “Flaming Lesbian Fashion”, para lesbian suka mengenakan pakaian yang dapat membuat mereka berada di dua dunia. Misalnya dijelaskan, ada

97 lesbian (biasanya yang berperan sebagai butchi)yang memakai dildo (penis terbuat dari karet/plastik) untuk merasakan menjadi “pria” sungguhan. Demikian pula dalam kehidupan seksual dimana playfulness (cara berpakaian lesbian yang suka mencoba berbagai macam pakaian) terlihat jelas. Seorang lesbian memang berorientasi seks dengan teman sejenis, akan tetapi ia juga bisa siap melakukan hubungan seksual dengan laki-laki. Bahkan seorang lesbian dapat pula mengganti alat kelaminnya dengan penis dan memainkan peran laki-laki. Kebebasan untuk memilih atau mondar-mandir di dua dunia inilah yang membuat cara berada ini lebih arif untuk memahami dunia-dunia lain (Halberstam, 1999: 126). Menurut pengamatan saya dan hasil wawancara dengan informan, begitu pula dengan komunitas lesbian di Kuta, untuk lesbian yang berperan sebagai butch, mereka biasanya akan berpenampilan layaknya laki-laki, dengan pakaian yang umum dipakai laki-laki serta didukung dengan model rambut pendek bahkan cepak ala laki-laki. Tidak jarang mereka juga menghiasi tubuhnya dengan tatto-tatto di tangan atau kaki mereka. Untuk lesbian yang berperan sebagai femme, mereka berpenampilan seperti perempuan pada umumnya, bahkan tidak tampak adanya perbedaan dengan perempuan lainnya yang heteroseksual. Mereka biasanya tampil lebih anggun, dengan menggunakan pakaian wanita seperti rok, celana pendek/panjang model perempuan. Untuk lesbian yang berperan sebagai andro, mereka biasanya berubah-ubah penampilan, sesuai dengan situasi dan peran yang ingin dilakoni dalam komunitas lesbian. Mereka sesekali bisa tampil sporty dengan dandanan casual ala laki-laki, namun tidak jarang juga mereka tampil feminin dengan dandanan perempuan.

98 Berikut istilah-istiah dalam komunitas lesbian untuk menentukan orientasi mereka dalam komunitas tersebut : 1. Butch atau butchy, biasanya dilabelkan pada pasangan yang lebih dominan dalam hubungan seksual. Butch lebih digambarkan sebagai sosok yang tomboy, agresif, aktif, melindungi dan biasanya berlaku sebagai laki-laki. 2. Femme, kata Femme digunakan dalam komunitas transgender (gender yang berpindah-pindah, misalnya dulu laki-laki lalu menjadi perempuan). Kata ini berasal dari bahasa Perancis yang berarti as a women, tapi oleh banyak kalangan diganti menjadi pemale. Lalu berubah jadi Femme yang digambarkan sebagai sosok yang sangat peminin (kewanitaan). Dengan memakai baju seperti wanita dan berprilaku sebagai wanita. Dalam hubungan lesbian, femme ini berperan sebagai sang wanita. 3. Andro, dilabelkan pada orang yang diwaktu-waktu tertentu bisa berperan sebagai butchy atau femme.

Menurut pengakuan June, lesbian yang berlael butch berusia 28 tahun mengenai gaya berpakaian dia selama ini : “Dari awal saya merasa adalah butch, dari pertama masuk ke dalam komunitas lesbian ada beberapa pandangan yang diberikan oleh senior saya. Bahwa butch itu berperilaku dan berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya. Dari yang saya kenakan di dalam sampai luarnya semua merupakan pakaian dan asesoris yang biasa dipergunakan oleh laki-laki, dan ini membuat saya nyaman”.

Begitu juga menurut pengakuan Kay, yang juga berlabel butch dalam komunitas lesbian yang berusia 30 tahun :

99 “Label itu ibarat baju. Kalau kita memakai baju anak-anak pastinya kita akan menyesuaikan tingkah laku seperti anak-anak pada umumnya. Akan sangat aneh apabila kita berpakaian anak-anak namun mempunyai jenggot putih sampai ke dagu. Tidak mempunyai label yang jelas dalam komunitas lesbian ibaratnya bepergian tidak mengenakan baju”. Ungkapan di atas menggambarkan bahwa, yang terjadi pada komunitas lesbian khususnya butch, yang mendefinisikan diri mereka adalah sebagai seseorang yang berperan sebagai laki-laki, sehingga terdapat beberapa tuntutan dalam prilaku dan gaya berpakaian/penampilan selayaknya laki-laki dalam kehidupannya di dalam lingkup komunitas lesbian. Dapat dilihat pada foto 5 dan lampiran 4, yang menunjukkan gaya berpakaian sehari-hari seorang butch, dan foto 6 lapiran 4, yang menunjukkan gaya bucth dalam berpakaian pada saat akan beribadah. Kondisi tersebut ini sesuai dengan teori dekonstruksi dari Kuta Ratna, dekonstruksi juga dapat diartikan dengan pengangguran atau penurunan intensitas konstruksi itu sendiri. Dalam mendekonstruksi strukturalisme misalnya kegiatan yang dilakukan terus-menerus dalam mengurangi intensitas oposisi biner, sehingga unsurunsur dominan tidak mendominasi unsur-unsur yang lain. Dekonstruksi dimaksudkan adalah semacam pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah menyusun kembali kedalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakekat obyek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin (2005: 250-252). Dengan menunjukkan bahwa dalam komunitas lesbian pun dikenal budaya patriarkhi, dimana peran butch dalam komunitas lesbian berperan sebagai laki-lakinya, sehingga sorang butch mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pasangannya yaitu femme. Tidak hanya dari segi penampilan, pakaian dan tingkah laku, namun tanggung

100 jawab pun layaknya seperti laki-laki pada kehidupan heteroseksual. Hal ini sejalan dengan pendapat Nicholson yang mengungkapkan bahwa perbedaan seks-gender kini menjadi subjek kritik. Dikatakan bahwa identitas seksual bukanlah suatu refleksi atas kondisi alamiah melainkan soal representasi. Perbedaan antara seks sebagai biologi dan gender sebagai konstruksi budaya telah runtuh karena secara prinsipil tidak ada seks yang tidak bersifat kultural. Tubuh yang berjenis kelamin selalu siap direpresentasikan sebagai hasil dari diskursus regulatif. Dalam pandangan ini tubuh tidak musnah, melainkan kian menjadi variabel ketimbang sesuatu yang konstan, tidak lagi mampu membuktikan klaim tentang perbedaan laki-laki/perempuan di sepanjang perjalanan sejarah. Namun selalu saja ada elemen-elemen yang secara potensial penting dalam konteks bagaimana perbedaan

laki-laki/perempuan

dimainkan

oleh

suatu

masyarakat

(Nicholson, 1995: 43-44). Sebutan untuk lesbian sebenarnya masih ada dan cukup diketahui oleh orangorang diluar komunitasnya, dan dari penelitian tersebut peneliti mengetahui istilah lines dan lesbiola juga dipakai untuk menyebut para lesbian yang keberadaannya tidak ingin diketahui atau untuk mengelabui orang-orang yang berada disekitanya agar pembicaraan mereka tidak dimengerti. Oleh karena itu komunitas ini lebih menghargai bila seseorang menyebutkan istilah tersebut dibandingkan dengan sebutan lesbian sendiri. Istilah tersebut hingga saat ini belum diketahui darimana datangnya kata itu muncul.

5.3.2 Kehidupan Malam Biasanya komunitas ini melakukan perkenalan lewat jejaring sosial di internet seperti Facebook yang sekarang memang sedang banyak di gandrungi orang, Friendster,

101 Twitter, Blog, dan MiRC serta situs pribadi untuk komunitasnya. Semua itu mereka lakukan utnuk tetap dapat menjaga ke eksistensian komunitasnya di dunia maya. Untuk di dunia nyata sendiri, komunitas ini senang untuk ”unjuk gigi” di depan masyarakat dengan sering ”nongkrong” di tempat-tempat ramai. Di Kuta ini khususnya, komunitas ini biasanya ”nongkrong” di Face Bar, Mixwell, La Vida Loca, Dejavu, Embargo, menjadi tempat biasa mereka kumpul untuk sekedar ngobrol atau sharing dengan temanteman di komunitasnya tersebut. Hampir setiap tempat hiburan malam menjadi tempat bagi komunitas ini, karena mereka dengan berada ditempat ramai seperti itu kemungkinan keberadaan mereka di Kuta dapat diterima dengan baik. Biasanya komunitas ini sering keluar dan berkumpul setiap Sabtu malam atau malam Minggu, bila hari-hari biasa (Senin sampai Jumat) tempat-tempat yang disebutkan diatas tersebut tidak terlalu ramai. Dengan munculnya di sana mereka sudah berani menampakkan diri dan tidak menghiraukan pandangan orang lain. Seperti pengakuan June berusia 28 tahun yang berlabel butch dalam komunitas lesbian, bercerita mengenai kehidupan malamnya: “Berhubung saya bekerja di salah satu tempat hiburan malam di wilayah Kuta, jadi setiap malam dunia saya ya bergelut dengan kehidupan malam. Biasanya selepas kerja, kalau anak-anak sedang berkumpul saya akan langsung bergabung. Mereka suka ngumpul di tempat saya bekerja, jadi saya lebih gampang untuk bergabung selepas kerja, terkadang kita berpindah-pindah dari tempat hiburan satu ke tempat yang lainnya, tergantung acara sih”

Berikut juga pengakuan Noey, seorang butch yang berusia 25 tahun, menceritakan tentang kehidupan malamya:

102 “Biasanya saya sama teman-teman mempunyai hari-hari tertentu untuk sekedar hang out dan ngumpul di tempat hiburan malam. Kita biasanya mgumpul saat weekend, biasanya sih lebih sering hari Jumat dan Sabtu. Biasanya kita ngumpul dengan membawa pasangan masing-masing, untuk sekedar ngobrol ditemani minuman beralkohol dan rokok. Biasanya setelah lewat tengah malam kita pindah tempat, dalam semalam bisa pindah sampai dua kali. Untuk mengganti suasana aja sih”

Menurut pengakuan Anna yang berusia 25 tahun dimana dalam komunitas lesbian tidak menentukan label untuk dirinya : “Kalau saya biasanya pergi dugem (dunia gemerlap) hari Kamis dan Sabtu. Kamis kan nada Ladie’s Night, jadi buat kita perempuan bebas masuk. Kalau Sabtu biasanya acara yang diadakan tempat-tempat hiburan malam bagus-bagus, dan biasanya hari sabtu ramai, jadi kesempatan juga untuk sekedar cuci mata atau mencari kenalan baru. Biasanya saya dugem sampai pagi, tapi tergantung acara juga, kalau menurut saya kurang menarik ya saya pulang lebih awal, biasanya juga tergantung teman-teman, semakin ramai yang ngumpul jadi semakin asik.

Ungkapan informan-informan di atas menyatakan bahwa, kehidupan malam mereka tidak jauh-jauh dari tempat hiburan malam yang dijadikan sebagai tempat untuk berkumpul dengan sesama komunitas lesbian. Mereka lebih memilih tempat hiburan malam untuk berkumpul dikarenakan di tempat-tempat hiburan malam tidak ada yang menghiraukan/memandang aneh terhadap keberadaan komunitas mereka. Namun tidaklah setiap malam mereka pergi ke tempat-tempat hiburan malam tersebut. Biasanya pada saat weekend dan pada hari-hari tertentu saja. Mereka biasanya datang tidak sendiri, tetapi bersama beberapa orang dan akhirnya berkumpul/bergabung bersama di tempat yang telah ditentukan oleh komunitas mereka. Dapat kita lihat pada foto 7 lampiran 4, yang menunjukkan komunitas lesbian yang sedang berkumpul di sebuah tempat hiburan malam.

103 Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa hingga saat ini tempat yang dianggap nyaman untuk berkumpul oleh komunitas lesbian adalah di tempat-tempat hiburan malam. Karena di tempat tersebut keberadaan mereka diterima dengan baik. Selain itu, di tempat hiburan malam mereka lebih bebas dalam mengekspresikan diri mereka tanpa harus menyembunyikan identitas dan orientasi seksual mereka. Hal ini senada dengan pernyataan Giddens yang menggambarkan ruang dan tempat adalah konteks kehadiran-ketidakhadiran, di mana tempat ditandai oleh hubungan tatap muka dan ruang ditandai dengan relasi antar liyan yang absen. Ruang mengacu kepada suatu ide abstrak, suatu ruang hampa atau mati yang diisi oleh berbagai tempat manusia yang bersifat konkret dan spesifik. Jadi rumah adalah tempat di mana saya bertemu dengan keluarga saya secara teratur, sementara e-mail atau surat menjaga kontak antara orangorang yang tidak hadir di berbagai tempat. Dalam suatu argumen yang mirip, Seamon (1979) memandang tempat yang disebut rumah sebagai produk kehadiran fisik dan ritual sosial. Namun, pembedaan kehadiran-ketidakhadiran, meskipun sugestif, tampak sedikit kasar, karena tempat memiliki cangkupan makna metaforis yang lebih kaya ketimbang yang dicakup oleh kehadiran. Kita bisa membedakan ruang dan tempat berdasarkan alasan bahwa tempat merupakan fokus dari pengalaman manusia, memori, hasrat, dan identitas. Jadi tempat adalah konstruksi diskursif yang menjadi target identifikasi atau infestasi emosional (Relph. 1976).

104 BAB VI FAKTOR PENYEBAB EKSISTENSI KOMUNITAS LESBIAN DI KELURAHAN KUTA

6.1

Faktor Biologis

61.1

Genetik dan hormonal Ada beberapa ahli yang menyatakan kaum homoseksual (gay dan lesbian) itu

adalah keturunan. Yang menyatakan setiap manusia adalah carrier atau pembawa dari kromosom X dan kromosom Y, sehingga faktor genetik yang berperan tergantung kepada banyaknya masing-masing jumlah kromosom manakah yang lebih dominant diantara keduanya. Seperti diketahui, kromosom Y mewakili perempuan dan kromosom X mewakili laki-laki. Jika sejak lahir seorang wanita memiliki kromosom X lebih banyak dalam dirinya, maka orang tersebut cenderung diantara keduanya. Jika sejak lahir seorang perempuan memiliki kromosom X lebih banyak dalam dirinya, maka perempuan tersebut cenderung dan dapat menjadi seorang homoseksual, yang tentunya juga didukung oleh pemicu yang dapat menjadikan dirinya sebagai homoseksual, begitupun sebaliknya terhadap laki-laki. Seperti pengakuan informan Ogut yang berlabel butch dalam komunitas lesbian berikut, yang secara fisik adalah seorang perempuan, namun dalam beberapa bagian tubuhnya terdapat sesuatu yang bisanya terdapat dalam tubuh laki-laki : “Sejak kecil saya menyadari bahwa saya mempunyai ketertarikan kepada seorang perempuan. Sampai akhirnya saya tumbuh menjadi seorang “laki-laki” dewasa dan bukan perempuan dewasa. Postur tubuh saya bisa anda lihat, perempuan mana yang mempunyai badan seperti ini. Saya sering merasa kalau saya ini seorang laki-laki yang terjebak di dalam tubuh seorang perempuan. Bagian dalam tubuh saya dipenuhi dengan bulu termasuk dada. Wajah saya ditumbuhi rambut-

105 rambut halus yang laki-laki miliki dengan istilah jenggot. Malu pada diri sendiri sempat lama saya rasakan, sampai akhirnya penerimaan itu saya dapatkan setelah saya bertemu dengan komunitas dan yang mempunyai masalah yang sama dengan saya dan mempunyai orientasi seksual dengan sesama jenis. Saya pribadi selain bercerita dengan keluarga, juga lebih banyak cerita kepada komunitas. Karena kita mempunyai kesamaan latar belakang, sehingga menimbulkan kenyamanan saat bercerita tentang masalah apapun. Jadi keterbukaan itu secara otomatis timbul dan akan tergali kesamaan-kesamaan lainnya yang menjadikan kami semakin dekat dan makin meningkatkan intensitas pertemuan kami ”.

Ogut mengaku bahwa dia cukup terbuka dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya terhadap kondisi fisik yang dialaminya. Sang kakak mengetahui bahwa Ogut adalah seorang lesbian, begitupun dengan sang ayah, walaupun belum secara terangterangan mengatakannya. Tetangga mereka juga mengetaui bahwa Ogut mempunyai orientasi seksual sesama jenis atau lesbian, dan mereka dapat menerima hal tersebut. Dapat kita lihat pada foto 8 lampiran 4, yang menunjukkan ciri fisik ogut yang lebih dominan ke laki-laki. Keadaan tersebut di atas sebenarnya sudah memenuhi azas hak asasi manusia dalam hal memilih dan menentukan orientasi seksual masing-masing. Dukungan dan penerimaan dari keluarga tentunya dapat membangun suasana yang harmonis dalam keluarga tersebut karena adanya saling keterbukaan satu sama lain. Fenomena tersebut sesuai dengan teori identitas diri dari Hall yang mengemukakan bahwa, subjek memiliki identitas yang berlainan pada kurun waktu yang berbeda-beda. Identitas yang tidak terpusat di sekitar diri yang koheren. Yang ada di dalam diri kita adalah identitas yang kontradiktif, mengarah kepada titik yang berbeda, sehingga identifikasi kita terusmenerus berubah. Jika kita merasa bahwa kita memiliki suatu identitas terpadu sejak lahir sampai mati, itu semua hanya karena kita membangun suatu kisah yang melenakan atau kisah diri tentang kita sendiri (Hall, 1992b: 277).

106 6.1.2 Pengalaman dan Reinforcement Positif Biasanya menjelang usia dewasa pengalaman lelaki homoseksual sering dijumpai, dan jika individu yang dimaksud menikmati pengalaman tersebut, maka kebiasaan itu akan terus berlanjut. Pengalaman yang dimaksud bisa dengan mimpi akil balik pertama yang dialami semua laki-laki. Biasanya dalam mimpi tersebut laki-laki tersebut bermimpi membayangkan perempuan, tetapi bagi laki-laki homoseksual, mereka malah sebaliknya. Dalam mimpi tersebut seorang homseksual bermimpi bermesraan dengan sesama jenisnya. Salah satu informan penulis yang bernama Noey, seorang perempuan berusia 25 tahun, bercerita tentang bagaimana awal mulanya dia menjadi seorang lesbian. Awal mula Noey menyukai perempuan pada saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), namun Noey sendiri belum tahu tentang perasaan yang dia rasakan. Sepengetahuannya, Noey hanya menyadari bahwa dirinya tomboy. Sampai akhirnya pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Noey menemukan pasangannya yang ternyata straight (heteroseksual). Ketika menginjak bangku Universitas, Noey mulai mencari komunitas dengan orientasi seksual yang sama dengan dirinya. Kiprahnya terjun dalam komunitas lesbian diawali dari ajakan seorang teman yang kebetulan gay. Dari sinilah awal mula Noey mulai bergabung dengan komunitas lesbian tersebut: “Saya diajak ke Bandung sama teman yang kebetulan gay, lalu dia memperkenalkan saya dengan yang namanya dunia maya. Dari sanalah saya menemukan sebuah private channel khusus lesbian. Dan jadilah saya seperti sekarang ini, dan pergaulan saya pun berkembang sampai saat ini hingga keseluruh pelosok Indonesia, tidak hanya sebatas di Bandung saja”.

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa faktor pergaulan dan teman sangat berperan penting dalam membentuk identitas diri seseorang. Terutama bagi seseorang

107 yang masih dalam proses pencarian jati diri. Sebab pergaulan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam hal tersebut. Karena seorang remaja yang masih berada dalam proses pencarian jati diri akan lebih percaya terhadap pergaulan dan pengalaman yang dia alami sendiri, dan akan dijadikan sebagai pengalaman pertama yang tidak dilupakan. Hingga saat ini Noey aktif dalam sebuah LSM yang bergerak di dalam dunia lesbian. Dapat kita lihat pada foto 9 lampiran 4, dimana seorang butch bersama dua orang temannya sedang bersantai, dengan seringnya mereka berinteraksi bisa saja menimbulkan perasaan suka satu sama lain. Fenomena di atas menyebutkan bahwa faktor pergaulan dan pengalaman memberikan peran yang besar dalam proses pembentukan identitas seseorang, Apakah dia akan menjadi seorang heteroseksual atau menjadi seorang homoseksual. Senada dengan teori identitas diri Giddens yang mengemukakan bahwa, identitas diri terbangun oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri sendiri, sehingga terbangun sutu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: Apakah yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak ? Dan ingin jadi siapa? Individu berusaha untuk mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren dimana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Giddens, 1991: 75). Jadi identitas diri bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki oleh individu. Sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya (Giddens, 1991: 53).

108 6.1.3 Kondisi Negatif dari Heteroseksual Perintah atau larangan orang tua kepada anak perempuannya untuk mengadakan suatu pendekatan terhadap lawan jenisnya bisa dijadikan alasan mengapa seseorang memilih menjadi homoseksual dari pada heteroseksual. Karena sejak kecil mereka terbiasa dengan peraturan itu, menjadikan hal tersebut menjadi salah persepsi bagi anak yang menerimanya. Sebagai contoh : jika masih bersekolah, anak perempuan selalu dilarang oleh orang tuanya untuk berteman dengan teman laki-lakinya, karena dianggap dapat mengganggu prestasinya di sekolah. Ini menjadikan mereka akan terbiasa bergaul dengan kawannya yang hanya perempuan, dan merasa tidak nyaman jika mempunyai teman dekat laki-laki. Salah satu informan berikut, yang bercerita tentang pengalamannya di masa lalu tentang pergolakan yang terjadi di dalam dirinya sendiri dalam menentukan orientasi seksualnya. Berikut pengakuan Dipta, yang dalam komunitas lesbian berperan sebagai seorang butch : “Dulu saya pernah beberapa kali berhubungan denga laki-laki dengan tujuan mengetahui jati diri saya. Pertanyaan itu sering ada di hati kecil saya, bahwa sebenarnya saya ini lesbian atau biseksual. Karena ketertarikan pada kaum adam ini juga ada di dalam diri saya. Namun setelah beberapa kali menjalani, tidak ada istilahnya ‘getaran’ saat saya berhubungan badan dengan laki-laki. Namun saat saya berhubungan dengan perempuan, baru saya menyadari bahwa ‘getaran’ yang selama ini saya cari ada disana. Di dalam diri seorang perempuan”. Informan di atas menyatakan bahwa, proses pencarian jati diri pada remaja akhir, yaitu pada umur delapan belas sampai dua puluh tahun ini mengalami proses identity comparison sebelumnya. Bahwa informan tersebut mengalami keraguan pada identitas dan jati dirinya dalam hal seksualitas yang dialaminya. Lalu dilakukanlah sebuah perbandingan berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya, yaitu saat informan

109 melakukan hubungan badan dengan lawan jenis dan sesama jenisnya. Sehingga informan mengetahui bahwa orientasi seksualnya lebih mengarah kepada sesama jenisnya dan bukan lawan jenisnya. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa, dalam masa pencarian identitas diri, seseorang akan selalu mencoba mencari tau dengan berbagai cara, termasuk bercermin terhadap pengalaman hidup yang telah dijalani. Hingga dia menemukan rasa nyaman dan tidak ada perasaan terpaksa dalam menjalani sesuatu, maka pada saat itulah dia menemukan identitas dirinya yang sebenarnya. Serupa dengan teori identitas diri dari Giddens yang menyatakan bahwa identitas diri terbangun oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membangun suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: Apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa? Individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren, dimana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Giddens, 1991: 53).

6.2

Faktor Keluarga

Pada dasarnya homoseksual atau lesbianisme merupakan bentuk kompensasi peralihan objek akibat penderitaan sosial yang dialami dalam kehidupannya. Beberapa kasus menunjukkan bahwa anak-anak korban perceraian juga bisa berakibat ke arah penyimpangan ini. Istri korban kekerasan rumah tangga juga memiliki kemungkinan untuk menjadi pelaku lesbianisme. Tercatat bahwa lesbianisme maupun homoseksual tidak berhubungan dengan tingkat strata ekonomi maupun jenjang pendidikan.

110 Anggapan lainnya berkaitan dengan homoseksualitas yaitu bahwa menjadi lesbian atau gay itu seolah-olah adalah trend atau mode pakaian yang bisa dipakai dan dilepas kapan saja pemiliknya menghendaki. Padahal hidup sebagai lesbian bukanlah suatu kehidupan yang mudah dan enak, di tengah masyarakat ini. Stigma dan tekanan masyarakat justru menyebabkan banyak perempuan lesbian mencoba mengingkari dirinya sendiri, dalam arti mengingakri seksualitas dan orientasi seksual mereka.

Dalam struktur masyarakat patriarki ini, heterosekualitas telah menjadi standar, patokan atau norma untuk mengukur yang lainnya, sehingga apabila yang lain itu tidak sesuai dengan standar tersebut, maka disebutlah sebagai menyimpang atau salah. Keadaan tersebut juga dijadikan dasar pembenaran bagi pemberian stigma terhadap lesbianisme dan bahkan tindak kekerasan terhadap mereka. Dari informan, didapatkan fakta bahwa banyak diantara komunitas lesbian yang mengalami kekerasan dari keluarganya yang tidak menerima keadaan tersebut.

Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka jatuh ke masalah ini. Umumnya, faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi lesbian bisa disebabkan oleh pengalaman hidup. Misalnya, peran ayah dalam rumah tangga yang kerap menyakiti ibunya. Atau, dirinya sendiri mungkin pernah disakiti oleh kalangan laki-laki. Keadaan tersebut dapat membangkitkan jiwa lesbianisme. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh faktor hormonal. Hormon laki-lakinya lebih kuat daripada hormon perempuan.

Pola keluarga yang berperan cukup penting dan berandil besar dalam proses perkembangan seorang anak. Seperti tipe ibu yang cenderung terlalu melindungi dan sangat protekif, menjadikan anak tidak dapat berkembang secara utuh. Ditambah lagi

111 dengan yang selalu menolak kehadiran seorang anak dan selalu menjadi musuh. Kedua tipe orang tua itu membentuk menjadikan kepribadian anak pemalu, takut terbuka, penyendiri

dan

mereka

cenderung

tidak

menyukai

aktivitas

menantang

(Herliani, 2008:32).

Orangtua harus mengadopsi pola asuh di zaman modern. Yakni dengan memberikan kebebasan, namun tetap dampingi. Orangtua harus memposisikan diri sebagai teman, harus tahu perkembangan zaman sekarang dan jangan merasa paling benar. Bila anak merasa nyaman di rumah, kemungkinan untuk melakukan orientasi seksual sangat kecil sekali (Lily, accessed Jan, 2, 2011).

Banyak homoseksual (lesbian dan gay) yang berjuang pada satu titik di kehidupan mereka dengan krisis yang berhubungan dengan menjaga kerahasiaan mengenai orientasi seksual mereka dan problem-problem yang merupakan konsekuensi dari keputusan yang mereka ambil, bagaimana coming out kepada keluarga mereka, dan konsekuensi dari coming out tersebut (Greene & Herek, 1994: 6-7). Rhoads mengatakan bahwa, bersikap terbuka (coming out) kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya tetap menjadi salah satu tantangan terbesar bagi lesbian dan gay saat mereka mencoba membuka identitasnya (Kelly, 2001: 387).

Ketika seorang lesbian hendak berterus terang kepada orang tuanya mengenai orientasi seksual mereka yang berbeda, ini tentu saja menjadi hal yang paling emosional dalam diri mereka. Kebanyakan secara umum keluarga mereka menolak untuk menerima perbedaan orientasi seksual anak mereka dikarenakan malu, takut ditolak oleh keluarga besar, teman, agama dan lingkungan mereka sendiri. Tapi tidak jarang juga dimana

112 keluarga menerima dan berusaha berdamai dengan perbedaan orientasi seksual yang dialami anaknya, dan tetap mendukung anaknya tersebut.

Seperti contoh kasus salah satu informan bernama Flo seorang butch lesbian berumur 25 tahun yang menceritakan mengenai kondisi negatif yang di dapatkan dari mamanya : “Saya sering melihat mama pergi dengan laki-laki lain selain papa. Kejadian itu terjadi ketika saya dalam masa pencarian jati diri yaitu setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) menuju ke Sekolah Menengah Umum (SMU). Saya melihat kejadian ini dengan mata kepala saya sendiri, dan tidak sepantasnya seorang wanita bersuami bersikap seperti itu”.

Kondisi negatif seperti kasus yang dialami Flo ini membuatnya kehilangan sosok seorang ibu. Rasa kecewa, marah dan perasaan bersalah setiap kali Flo melihat wajah sang ayah disimpannya dalam-dalam. Kondisi negatif dari heteroseksual inilah yang menjadi alasan Flo dalam menentukan orientasi seksualnya sebagai seorang lesbian. Dari kejadian tersebut di atas dapat kita lihat bahwa faktor pengalaman hidup yang dialami seseorang akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam masa depanya. Karena apa yang selama ini dialami, tentu akan membekas dan selalu tersimpan dalam memori anak tersebut, sehingga akan selalu diingat dan dapat menimbulkan trauma dan dapat mempengaruhi prilaku dari sang anak tersebut. Kondisi tersebut senada dengan pendapat Hall yang menyatakan bahwa pandangan tentang perempuan menyatu dengan pencerahan, suatu gerakan filosofis yang diasosiasikan dengan gagasan bahwa nalar dan rasionalitas membentuk basis bagi kemajuan manusia. Subjek pencerahan didasarkan atas suatu konsepsi tentang pribadi manusia sebagai individu yang sepenuhnya terpusat dan menyatu, yang didukung oleh kapasitas nalar, kesadaran dan

113 tindakan, yang pusatnya terdiri dari inti dalam. Pusat esensial dari diri adalah identitas pribadi (Hall, 1992b: 275). Begitu pula dengan Abelle, seorang perempuan berusia 29 tahun ini mengaku hubungannya dengan keluarga baik-baik saja, meskipun tidak terlalu dekat. Walaupun demikian, Abelle mengaku sekarang sudah jauh lebih dekat dengan kakak laki-lakinya. Kedekatan ini terjalin sejak ibu mereka meninggal dunia. Seorang ibu bagi Abelle adalah penopang dalam kehidupannya. Sehingga dia sangat merasa kehilangan sosok seorang yang dia kagumi. Abelle mulai dekat dengan kakaknya, karena Abelle menyadari sang kakak butuh figur seorang ibu. Sejak saat itulah dian menjadi seorang butch yang memposisikan dirinya menjadi penopang dalam kehidupan hubungannya dengan pasangannya. Dapat kita lihat pada foto 10 lampiran 4, yang menunjukkan penerimaan keluarga terhadap perbedaan orientasi seksual yang dialami oleh anaknya.

6.3

Faktor Lingkungan Adanya konformitas atau suatu “tekanan” yang tidak kelihatan dari lingkungan

sekitar yang memaksa seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan di tengah masyarakat pada umumnya bertujuan agar seseorang merasa lebih diterima oleh kelompok ketika bertingkah laku dan bersikap sesuai dengan lingkungan disekitar. Adapun komunitas lesbian yang menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan tujuan agar dapat dengan mudah bersosialisasi dengan kaum heteroseksual, namun ada pula kaum lesbian yang memilih sikap untuk membuka diri. Keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis (homoseks) menjadi erat. Seperti teman dekat mereka lesbi, dan karena mereka sudah

114 merasa merasa nyaman dengan sahabat perempuan itu, maka apa yang dilakukan teman lesbian itu ke dirinya tanpa sadar akan terbawa perasaan sahabat dan menjadikannya lesbian (Wimpie Pangkahila, accessed Jan, 12, 2011). Seperti penuturan Ogut, seorang karyawan sebuah pabrik swasta yang berusia 29 tahun merupakan seorang butch : “Dengan kita tidak menunjukkan kalau kita ini lesbian saja, orang lain, lingkungan dan keluarga bisa menilai siapa kita. Jadi alasan apa yang harus saya berikan untuk bilang ‘tidak, saya bukan lesbian’. Selama kita tidak menganggu lingkungan sekitar, mereka nyaman-nyaman saja dengan kehadiran saya dengan orientasi seksual saya yang berbeda ini. Kami pun akan tetap menjaga dan menghormati peraturan atau norma yang berlaku di lingkungan tempat kami bersosialisasi”.

Sama seperti pengakuan Anna, 25 tahun, seorang pegawai perusahaan swasta mengenai pengalamannya. Dalam komunitas lesbian, Anna tidak menentukan label sebagau butch ataupun femme : “Saya mempunyai teman yang sangat dekat dengan saya di kantor, Lantaran sama-sama single kami kerap sekali menghabiskan waktu bersama-sama mulai dari menonton film, ke pub, atau tempat lainnya. Bergandeng tangan, berangkulan sudah menjadi hal biasa. Akan tetapi ketika teman saya menginap dirumah, saya pasrah saat teman saya tersebut menggerayangi badan saya. Meskipun tak melakukan hal yang berlebihan akan tetapi saya sangat menikmati hal tersebut”.

Informan di atas menggambarkan bahwa, komunitas lesbian juga menyadari bahwa komforsitas (suatu tekanan yang tidak kelihatan dari lingkungan sekitar memaksa seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan di tengah-tengah masyarakat bertujuan agar seseorang diterima oleh kelompok) yang berada di tengahtengah masyarakat sangatlah penting. Selain dapat memudahkan komuniitas lesbian baik secara individual maupun kelompok dapat bergabung dengan kelompok lain secara

115 sosial, juga dapat menyelaraskan kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik. Keadaan di atas menunjukkan bahwa dalam komunitas lesbian pun tetap perlu bermasyarakat, karena bagaimanapun dalam kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan kita akan selalu memerlukan sosialisasi dan bermasyarakat demi menjaga kerukunan hidup bersama-sama. Serupa dengan pernyataan Hall dalam teori identitas diri yang mengungkapkan bahwa identitas tidak membangun dirinya sendiri atau berada di dalam diri, melainkan aspek yang seluruhnya kultural, karena terbangun melalui proses akulturasi. Diri yang disosialisasikan inilah yang disebut Hall dengan subjek sosiologis, di mana inti dari subjek tidak bersifat otonom ataupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan significant others, yang memperantarai subjek kepada nilai, makna, simbol kebudayaan dari dunia tempat ia hidup (Hall, 1992b: 275).

Menurut Lily seorang psikolog, orientasi seksual lebih besar dipengaruhi lingkungan, meskipun setiap orang memiliki gen feminin dan maskulin dalam dirinya. Sebab, pada dasarnya setiap orang terlahir dengan kapasitas yang sama untuk bisa menyukai sesama maupun lawan jenisnya. Bentuk rasa sukanya pun bervariasi. Mulai rasa suka yang netral sifatnya rasa kekaguman, sampai yang menjurus pada hubungan asmara atau didasarkan pada kebutuhan seksual alternatif.

6.3.1 Pergaulan

Lesbian adalah wanita atau perempuan yang secara seksual lebih tertarik kepada sejenisnya daripada lelaki. Perempuan heterosekual hanya tertarik pada lelaki saja. Yang disebut biseksual bisa tertarik baik pada wanita maupun lelaki. Masalah seksual bisa

116 sangat kompleks dan jarang bagi seorang untuk hanya tertarik kepada satu gender saja seratus persen dalam hidupnya. Tak tertutup kemungkinan suatu saat sangat tertarik pada lelaki tapi pada saat yang lain amat tertarik pada wanita atau sebaliknya. Perasaanperasaan seksual ini tidaklah bersifat konstan, dapat berubah sewaktu-waktu. Bahkan amat mungkin seorang remaja adalah lesbian atau biseksual tapi ketika dewasa menjadi heteroseksual, begitu pun sebaliknya.

Biasanya menjelang usia dewasa, pergaulan seseorang akan semakin luas, tidak terbatas dalam satu kalangan saja. Jika dalam masa tersebut seseorang khususnya perempuan sering bergaul dan mempunyai banyak teman dari kalangan lesbian, diawali dari rasa ingin tahu yang sangat besar akan pergaulan lesbian tersebut dan ingin mencoba. Mereka akan menikmati pengalaman pertama mereka tersebut, maka kebiasaan itu bisa saja terus berlanjut. Pengalaman yang dimaksud bisa saja dengan mereka mencoba-coba untuk berpacaran dengan seorang lesbian berdasarkan rasa ingin tahu bagaimana rasanya berhubungan dengan sesama perempuan. Bahkan ada pula yang dengan sengaja menjalin hubungan dengan lesbian karena ingin menikmati seks yang aman, karena jika berhubungan seks tidak akan mungkin menyebabkan kehamilan.

Seperti pengalaman Noey (nama samaran) seorang lesbian yang berumur 25 tahun berlabel butch ini mengungkapkan penyebab dirinya menjadi seorang lesbian: “Pada masa awal kuliah saya banyak mempunyai teman gay. Saya di bawa masuk kedalam pergaulan komunitas guy tersebut, hingga akhirnya saya diperkenalkan dengan dunia maya yaitu internet. Disana terdapat private channel khusus lesbian, dimana didalamnya banyak sekali perempuan yang orientasi seksualnya kepada sesama perempuan. Karena penasaran saya mencoba terjuan kedalamnya, pertama masuk ke channel itu saya agak ragu. Namun melihat teman-teman saya enjoy dengan kehidupan yang dijalaninya dengan orientasi seksual sesama jenis,

117 sayapun mencobanya. Alhasil inilah saya, sangat menikmatinya sampai sekarang.”

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa, lingkungan pergaulan juga berperan penting dalam tumbuh kembang seseorang dalam menentukan hidup bukan hanya orientasi seksualnya saja. Lingkungan yang mendukung dan kenyamanan yang dirasakan akan membuat seseorang menjalani apa yang menjadi pilihan. Dalam kasus ini, Noey telah menyadari keadaan orientasi seksualnya yang pada awalnya agak ragu, namun keberadaan teman-temannya yang juga mempunyai orientasi seksual sesama jenis membulatkan tekadnya untuk terjun ke dalam dunia lesbian. Dapat kita lihat pada foto 11 lapiran 4, yang menunjukkan pergaulan antara komunitas gay dan lesbian dapat terjalin dengan baik satu sama lainnya. Kondisi di atas menunjukkan bahwa penentuan identitas diri sangatlah penting, karena hal itu merupakan sebuah pilihan yang mau tidak mau akan dipilih oleh setiap orang. Dalam perjalanan menentukan identitas tersebut, ada banyak faktor yang bisa mempengaruhinya salah satunya adalah lingkungan. Sesuai dengan pernyataan Gillespie yang menyatakan bahwa, perbedaan di dalam komunitas mencegah adanya dentifikasi seenaknya terhadap subjek tertentu dengan suatu identitas yang tetap dan identitas yang ditakdirkan. Jadi, seorang gadis Asia Inggris bisa jadi mengidentifikasikan dirinya dengan ke-Asia-annya untuk berpendapat bahwa pakaian tradisional harus dihormati atau untuk menyatakan bahwa orang Asia tidak terwakili di televisi. Posisi subjek perempuan muda ini melibatkan artkulasi yang diambil dari berbagai diskursus dan tempat. Dia tidak hanya terlibat dalam perubahan identifikasi, namun juga menampilkan satu identitas hibrida yang berasal dari berbagai sumber global yang beragam. Jadi identitas tidak

118 pernah murni ataupun tetap tetapi terbentuk di persilangan umur, kelas, gender, ras dan bangsa (Gillespie, 1995: 161).

6.3.2 Pekerjaan Selain pergaulan, lingkungan pekerjaan juga mempunyai peran yang besar dalam pembentukan jati diri seseorang, dalam hal ini orientasi seksual mereka. Jika seseorang berada dalam lingkungan heteroseksual, maka mereka biasanya secara otomatis akan tetap menjadi serang heteroseksual. Lain halnya jika dalam suatu lingkungan kerja terdapat kaum homoseksual (gay dan lesbian), dengan seringnya mereka berinteraksi pada saat bekerja, sedikit tidaknya bisa mempengaruhi mereka yang awalnya heteroseksual menjadi seorang homoseksual (gay dan lesbian). Faktor seringnya mereka berinteraksi/bergaul dengan kaum homoseksual dalam hal ini lesbian, sedikit demi sedikit mereka mulai dikenalkan dengan dunia homoseksual (gay dan lesbian). Mungkin akan menimbulkan rasa keingintahuan, apa dan bagaimana sebenarnya homoseksual (gay dan lesbian) tersebut. Sehingga mereka terbawa dan mulai menikmatinya. Seperti misalnya kalau mereka bekerja di salon-salon kecantikan dan tempat-tempat hiburan malam, dimana di tempat bekerja seperti inilah yang biasanya terdapat kaum homoseksual (gay dan lesbian) yang terbuka dan tidak menutupi identitas seksual mereka. Karena biasanya di ligkungan kerja seperti disebutkan tadi, yang dipentingkan adalah kemampuan bekerja dan keahlian. Seperti pengakuan June usia 28 tahun, yang berperan sebagai seorang butch dalam komunitas lesbian dan bekerja pada salah satu tempat hiburan malam di kawasan Kuta :

119 “Setiap harinya saja bekerja mulai pukul sebelas malam sampai pagi. Karena tempat kerja saya merupakan salah satu tempat dugem yang bayak didatangai oleh para remaja-remaja ABG (anak baru gede). Bukan hanya para remaja yang kerap dugem di tempat saya bekerja, bule-bule (wisatawan asing) pun ada banyak, dan tidak ketinggalan komunitas saya, yaitu komunitas lesbian. Jadi dalam bekerja saya tidak pernah menutupi identitas diri saya sebagai seorang butch, karena lingkungan sekitar dan tempat saya bekerja tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut’.

Ungkapan di atas menyatakan bahwa, lingkungan pekerjaan yang mendukung akan membuat rasa nyaman dalam bekerja, terutama bagi komunitas lesbian, sehingga dia tidak perlu menutupi identitas dirinya dalam bekerja. Tentu akan menciptakan rasa nyaman bagi seorang lesbian, karena biasanya di lingkungan kerja yang dominan heteroseksual, komunitas lesbian masih kurang bisa diterima keadaannya secara terangterangan, di luar individu-individu dari seorang lesbian yang masih bisa menutupi jati dirinya pada saat bekerja. Fenomena tersebut di atas menyatakan bahwa faktor lingkungan yang nyaman tentunya akan dapat menciptakan suasana kerja yang nyaman pula bagi semua orang, bukan hanya bagi komunitas lesbian. Hegemoni sesuatu di dalam lingkungan tentu akan memberikan pengaruh yang besar dalam lingkungan tersebut, khususnya lingkungan pekerjaan. Komunitas sebagai kaum minoritas di dalam lingkungan bekerja tentunya juga ingin menciptakan suasana kerja yang kondusif dalam bekerja. Sesuai dengan teori hegemoni Gramsci yang mengemukakan bahwa hegemoni dapat dipahami dalam konteks strategi dimana pandangan dunia dan kekuasaan kelompok sosial panutan (apakah mereka berupa kelas, seks, etnik atau nasionalitas) dipelihara. Namun, ini harus dilihat dalam konteks relasional dan secara inheren tidak stabil. Hegemoni adalah tempat tinggal sementara dan serangkaian aliansi antar kelompok sosial yang dimenangkan dan tidak

120 diberikan. Lebih jauh, dia perlu terus-menerus dimenangkan lagi, dinegosiasikan ulang, sehingga kebudayaan menjadi lahan konflik dan perjuangan mencapai makna. Hegemoni bukan suatu entitas statis, melainkan serangkaian diskursus dan praktik yang terus berubah, yang secara intrinsik menyatu dengan kekuatan sosial. Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai proses berkelanjutan pembentukan dan penggulingan keseimbangan yang tidak stabil, antara kepentingan kelompok-kelompok fundamental dan kepentingan kelompok subordinat, keseimbangan dimana kepentingan kelompok dominan hadir, namun hanya pada batas-batas tertentu (Gramsci, 1968: 182).

6.4

Faktor Psiko-sosial Homoseksual, di antaranya gay dan lesbian, adalah hal yang normal dan alamiah.

Pernyataan tersebut disampaikan dr. Lukas Mangidaan, ini diperkuat secara resmi oleh Persatuan Psikolog Indonesia semenjak 1982. Psikiater dari Universitas Indonesia tersebut, dalam diskusi bulanan yang diselenggarakan Institut Pelangi Perempuan (IPP) di Sekretariat Yayasan Jurnal Perempuan, Sabtu (14/10), juga menyatakan begitu pentingnya bagi seorang homoseksual menerima, mengerti dan memahami keberadaan orientasi seksual mereka. Karena, lanjutnya, selain dapat membentuk psikologi yang lebih sehat bagi diri mereka sendiri tapi juga akan membantu dalam proses pemahaman dan penerimaan orang tua ketika mereka harus terbuka mengenai keberadaan orientasi seksual yang dimiliki (Kamilia Manaf, accessed, Nov. 2, 2010). Berbagai macam budaya membuat berbagai macam faktor sosial budaya juga. Bagaimana perilaku yang diterapkan oleh masyarakat juga berpengaruh. Penekanan sosial juga membuat terjadinya insiden seseorang menjadi homoseksual (gay dan

121 lesbian). Para ahli berpendapat bahwa orientasi seksual mulai terbentuk sejak usia dini melalui hubungan dan interaksi yang kompleks atau secara biologis, psikologis dan faktor-faktor sosial (Sarwono, 1995: 35-37). Seperti pengakuan dari Bella berusia 26 tahun, seorang pemilik business handicraft yang dalam komunitas lesbian berperan sebagai femme : “Saya cenderung tertutup masalah kehidupan pribadi, apalagi orientasi seksual saya kepada keluarga ataupun lingkungan saya. Semua itu saya lakukan untuk menjaga kehidupan sosial saya. Sebagai seorang wiraswasta dan wanita yang hidup di tengah-tengah keluarga yang dididik secara agamis, saya tidak mau mengecewakan orang tua saya”. Lain halnya dengan pengalaman yang pernah dialami June berusia 28 tahun, dimana dalam komunitas lesbian dia berperan sebagai seorang butch : “Ketika saya masih duduk di bangku SMU adalah pertama kalinya saya merasakan suatu perasaan kenikmatan seksual dengan seorang teman perempuan saya di sekolah. Kejadiannya pada saat saya secara tidak sengaja melihat tubuh teman saya tersebut saat berada di ruang ganti selama pelajaran olahraga. Saya menganggap cewek atau wanita lain sangat cantik. Padahal saya sendiri sudah punya kekasih”.

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa, kaum/komunitas lesbian juga menyadari bahwa bertingkah laku dan berada di tengah-tengah masyarakat sangatlah penting. Agar memudahkan komunitas lesbian tersebut baik secara individu maupun kelompok bergabung dengan kelompok sosial lainnya. Kejadian di atas menyiratkan bahwa, komunitas lesbian pun perlu bergaul dengan masyarakat luas. Karena keseharian mereka tidak akan bisa lepas dari masyarakat yang sangat heterogen. Untuk itu sangatlah perlu menjaga hubungan baik dengan sesama masyarakat. Senada dengan pernyataan Barker, yang menyatakan bahwa manusia terbentuk sebagai individu dalam proses sosial dengan menggunakan materi-materi yang

122 dimiliki bersama secara sosial. Biasanya ini dipahami sebagai sosialisasi atau akulturasi. Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi orang sebagaimana yang kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bahasa, konsep kedirian dan identitas tidak akan dapat kita mengerti. Tidak ada elemen transedental atau historis terkait dengan bagaimana seharusnya menjadi seseorang. Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan budaya karena alasan-alasan berikut: 1.

Pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan budaya. Sebagai contoh: individualisme adalah cirri khas masyarakat modern.

2.

Sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik budaya, berkarakter sosial. Hasilnya, apa yang dimaksud dengan perempuan, anak, orang Asia atau orang tua dibangun secara berbeda-beda konteks budaya yang berbeda (Barker, 2004: 171-172). Selain itu menurut Dipta berusia 23 tahun, yang dalam komunitas lesbian

berperan sebagai butch mengatakan : “Di dalam suatu komunitas lesbian, kita para anggota dapat bebas bercerita. Masalah yang dihadapi kebanyakan masalah pasangan dan tidak mungkin kita bercerita kepada kaum heteroseksual, karena mereka tidak pernah menghadapi konflik yang terjadi antara perempuan dengan perempuan di khususkan ke dalam hubungan yang lebih spesifik”.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa, di dalam komunitas lesbian, keterbukaan itu akan secara otomatis terjadi dengan didasari kesamaan orientasi seksual. Dari satu kesamaan yang mendasar tersebut akan mengawali kesamaan-kesamaan lainnya, juga akan muncul rasa nyaman dengan seiringnya intensitas pertemuan yang semakin sering. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor kedekatan dan kenyaman dapat terbentuk oleh adanya rasa persamaan/senasib, intensitas bertemu dan rasa percaya

123 antar satu sama lainnya dalam komunitas lesbian. Keadaan tersebut senada dengan pernyataan Giddens yang berpendapat bahwa beragamnya narasi diri bukan semata-mata hasil dari makna bahasa yang terus berubah, melainkan juga menjadi konsekuensi bagi begitu banyaknya dan diversifikasi hubungan sosial, konteks dan arena interaksi. Sebagai contoh, dibandingkan dengan para petani abad ke-18, manusia modern memiliki cakupan hubungan, ruang dan tempat interaksi yang jauh lebih luas. Termasuk ruang dan hubungan kerja, keluarga dan sahabat, namun juga sumber global di televisi, e-mail dan wisata. Peningkatan dan diversifikasi konteks dan ruang interaksi membendung identifikasi sederhana dari subjek tertentu dengan suatu identitas yang pasti dan ditakdirkan, sehingga orang yang sama mampu beralih ke posisi subjek lain menurut situasinya. Kita bisa mengatakan bahwa diskursus, identitas dan praktik sosial dalam ruang-waktu membentuk berbagai hal yang saling membangun yang berimbas kepada politik budaya identitas dan terbangunnya kemanusiaan sebagai bentuk kehidupan (Giddens, 1991: 183). Dapat juga karena ”dia” merasa nyaman dengan satu wanita hingga muncul hasrat lain yang hadir dalam hatinya karena kedekatan akibat dari saling cerita atau curhat yang dapat memicu terjadinya lesbian. Faktor-faktor seperti itu yang akhirnya terakumulasi menjadi sebuah babak baru dalam percintaan mereka. Menjadi seorang lesbian bukanlah pilihan hidup yang harus dijalani dengan kata lain komunitas lesbian ini memang tidak dapat menolak dengan apa yang terjadi pada dirinya. Penyebab seseorang menjadi lesbian sangat subjektif dan harus dilihat dari akarnya. Penyebabnya bisa karena pernah mengalami kekerasan seksual sehingga akhirnya membenci lelaki, sering disakiti lelaki, sekadar ikut-ikutan saja atau mencari

124 figur ayah dan lainnya. Nah, faktor ini yang menyebabkan si anak mencari hubungan seksual alternatif dan tak ingin dianggap sebagai sebuah penyimpangan seks, apalagi kelainan perilaku seksual.

Perlu diketahui, tidak sedikit perempuan yang tertarik pada perempuan lain, tapi sulit membicarakannya. Dan (seperti halnya masalah-masalah lain yang dirasakan tapi enggan untuk membahasnya) itu bisa membuat perempuan tersebut malu atau merasa seolah-olah ada yang salah dengan dirinya. Tidak ada yang salah karena hal ini normal, semua orang akan mengalami perasaaan-perasaan yang berbeda dan tipe-tipe asmara yang berbeda-beda pula, sekalipun semuanya berkecamuk dalam pikirannya. Tipe daya tarik seksual ini tidak harus ditafsirkan bahwa mereka adalah komunitas lesbian.

Tapi ada perbedaan antara memiliki ketertarikan pada perempuan dan minat seksual yang asli kepada wanita. Ini bukan perbedaan yang bisa dengan mudah dijelaskan dengan kata-kata karena ini berkaitan dengan perasaan-perasaan. Beberapa wanita memiliki ketertarikan secara fisik dan seksual yang konstan kepada wanita, bukannya kepada lelaki.

125 BAB VII DAMPAK DAN MAKNA ADANYA KOMUNITAS LESBIAN YANG TERPINGGIRKAN DI KELURAHAN KUTA

7.1

Dampak Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1996: 235), dampak

adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik yang bersifat positif maupun negatif.

7.1.1 Dampak Sosial Dampak sosial merupakan suatu pengaruh sosial dari hasil suatu kegiatan atau peristiwa, bisa terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan masyarakat, serta bangsa dan negara. Secara sosial, dampak dari eksisnya komunitas lesbian adalah, mereka mulai berani untuk menunjukan keberadaan mereka demi mendapatkan pengakuan. Walaupun jalan untuk bisa diakui masih sangat panjang. Kondisi tersebut diakibatkan kita masih menganut budaya ke-Timur-an yang terkenal dengan kesopan santunannya. Tetapi bukan berarti dengan mereka memilih identitas dirinya menjadi seorang lesbian, mereka tidak santun. Hanya saja stigma yang telah melekat di masyarakat terlanjur memandang “miring” komunitas lesbian. Padahal komunitas lesbian ini sudah ada bahkan dari jaman dahulu dan tidak bisa dipungkiri lagi keberadaannya. Permintaan akan adanya citra positif bisa dipahami sebagai kebutuhan untuk menunjukkan bahwa sebagai warga kulit hitam benar-benar sama baiknya dan sama manusiawinya dengan warga kulit putih dalam konteks stereotip negatif dan harapan

126 asimilasionis masyarakat kulit putih. Namun strategi ini menimbulkan sejumlah persoalan : 1.

Asimilasi mensyaratkan agar warga kulit berwarna mengadopsi cara hidup budaya Anglo, sehingga mereka kehilangan ciri khas budaya dan sosial dalam rangka memperoleh penerimaan dari warga kulit putih.

2.

Respon ini mendorong adanya homogenisasi warga kulit hitam yang cenderung menghapus perbedaan kelas, gender, kawasan, seksualitas, dan lain-lain

3.

Hal ini terletak pada konsepsi refleksionis atau realis tentang representasi dimana ada kemungkinan untuk mendekatkan representasi kepada warga kulit hitam yang sebenarnya. Ini adalah mustahil, karena representasi ras selalu merupakan konstruksi yang telah mapan.

4.

Karena representasi tersebut selalu menjadi masalah pertentangan, sulit untuk mengetahui

apalah

citra

positif

yang

tidak

ambigu

akan

muncul

(Barker, 2004: 378-379). Pernyataan Barker di atas apabila kita umpamakan sebagai komunitas lesbian, tidaklah berat bagi komunitas lesbian untuk dapat mewujudkan pencitraan yang positif di mata masyarakat. Namun hal ini bukan tidak mungkin, karena sedikit demi sedikit pengakuan dan pencitraan positif mulai bisa diwujudkan. Mengingat komunitas lesbian kini sudah berfikir lebih maju dan modern, tidak hanya mengedepankan kesenangan semata, tapi juga tengah berusaha memperjuangkan hak-haknya di mata hukum dan mendapatkan pengakuat dalam masyarakat. Salah satu wujud dalam usahanya untuk mendapatkan pengakuan dan pencitraan positif di mata masyarakat yaitu melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-

127 lembaga swadaya masyarakat yang di dalamnya menaungi komunitas homoseksual. Dengan aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan seperti, donor darah dan penyuluhanpenyuluhan bahaya HIV/AIDS ke pelosok-pelosok, guna membuka wawasan dan pengetahuan masyarakat awam akan bahaya dan penyebab terjangkitnya penyakit mematikan tersebut. Dengan demikian, komunitas lesbian dapat menunjukkan bahwa mereka pun bisa dan mampu melakukan kegiatan-kegiatan positif yang berguna bagi masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, komunitas lesbian sesungguhnya tidaklah menggangu. Mereka menjadi seorang lesbian, dan membentuk komunitas lesbian adalah sebagai wujud identifikasi diri. Mereka pun ingin diakui keberadaannya tanpa dipandang sebelah mata. Karena sesungguhnya lesbian juga manusia dan warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama di mata hukum. Seperti pengakuan June, seorang lesbian yang berlabel butch mengenai kehidupan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat: “Saya selama ini hidup berbaur dengan masyarakat di lingkungan sekitar, mereka mengetahui orientasi seksual saya berbeda, yaitu seorang lesbian.pada awalnya ada semacam ke-tidak terimaan terhadap situasi saya. Namun dengan seiringnya waktu, karena saya juga selama ini baik-baik saya dan tidak pernah ada masalah, akhirnya mereka pun dapat menerima kondisi saya tanpa ada sindiran ataupun cibiran terhadap kondisi saya”

Ungkapan informan di atas menunjukan bahwa, sebenarnya komunitas lesbian tidak ada masalah dalam hal berinteraksi dengan masyarakat. Mereka dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan sekitar mereka. Kondisi ini menunjukan bahwa keharmonisan antara masyarakat sekitar dengan seseorang yang

128 menjadi lesbian dapat terjadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat walau terkadang masyarakat kita masih mempermasalahkan kesetaraan gender. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa keharmonisan dalam kehidupan masyarakat sebenarnya dapat terwujud apabila ada saling toleransi, tenggang rasa dan pengertian antar sesama masyarakat namun terkadang masalah kesetaraan gender masih membawa konflik di antara masyarakat. Keadaan tersebut senada dengan teori gender yang dikemukakan oleh Massey yang menyatakan relasi gender berbeda-beda di berbagai tempat, ruang secara simbolis digenderkan, dan sejumlah tempat ditandai dengan pemisahan

secara

spasial

seks

tertentu.

Pen-gender-an

tempat

barat

klasik

dimanifestasikan ke dalam pembagian antara rumah dengan tempat kerja yang terartikulasi dengan ruang privat dan publik. Jadi rumah dipandang sebagai domain privat dan bergender feminin, sementara tempat kerja upahan dikodekan sebagai maskulin di dalam ruang publik. Rumah diberi ciri sebagai domain tak berupah bagi ibu dan anakanak, yang mengandung konotasi berupa nilai sekunder pengasuhan, cinta, kelembutan dan domestisitas. Sebaliknya, tempat kerja upahan dipandang sebagai domain laki-laki, berkonotasi nilai primer ketangguhan (entah secara fisik atau secara mental), sifat keras, persahabatan dan realitas. Kendati peta spasial kasar ini telah berubah seiring dengan transformasi relasi gender, tapi kebanyakan pengkodean budaya ini tetap sama (Massey, 1994: 179). Sudah seharusnya keberadaan mereka kini diakui oleh masyarakat. Sebab bagaimanapun juga, komuitas lesbian ini memang ada, bahkan sudah ada sejak dulu. Hanya saja keberadaan mereka masih tersembunyi untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penolakan dari masyarakat yang masih awam terhadap

129 homoseksual (gay dan lesbian). Karena komunitas ini memang ada dan bukan merupakan indak kriminal seperti pencuri ataupun penjahat. Karena memilih orientasi seksual adalah hak prinadi masing-masing individu.

7.1.2 Dampak Budaya Kita adalah bangsa Indonesia yang menganut budaya ke-Timur-an yang masih sangat kental dan dijunjung tinggi. Yang sangat kental dengan sopan santunnya, prilaku yang baik dan masih menganut paham patriarkhi dimana kaum lelaki lah yang memegang kendali. Namun dengan adanya komunitas lesbian, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa perempuan pun mampu untuk memimpin dan ingin diakui keberadaannya. Kesetaraan gender merupakan modal awal dari kaum perempuan untuk mendobrak budaya patriarkhi yang selama ini masih kental di Indonesia. Oleh komunitas lesbian sendiri, dengan adanya label-label dalam komunitas mereka, soelah-olah mereka ingin menunjukkan bahwa kaum perempuan pun mampu untuk mengambil alih segala tugas dan fungsi kaum laki-laki. Dapat ditunjukkan dengan adanya istilah butch dalam komunitas lesbian, dimana mereka bersikap, berprilaku dan mengibaratkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang berkewajiban menjaga kaum femme (lesbian yang berperan sebagai perempuannya) dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pengakuan Ogut usia 29 tahun, yang berlabel butch di dalam komunitas lesbian sebagai berikut : “Mungkin jaman dulu ada yang namanya budaya patriarkhi, adalah dimana lelaki berada di atas perempuan. Dan itu pun yang terjadi di dalam kehidupan lesbian. Seorang butch harus jadi pimpinan dalam rumah tangganya, tetapi sekarang dalam sebuah hubungan dengan pasangan kita sama. Pada dasarnya kita menanamkan komunikasi, kita sepakati dulu apa, siapa dan harus bagaimana demi kebaikan bersama”.

130 Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa dampak budaya patriarkhi pun sebenarnya mempunyai pengaruh dalam dunia komunitas lesbian. Sama seperti pada komunitas heteroseksual pada umumnya, hanya saja yang membedakan, dalam dunia lesbian, baik yang berperan sebagai kaum lelaki dan perempuannya tetap saja adalah seorang perempuan. Dapat dilihat pada foto 12 lampiran 4, yang menggambarkan sepasang lesbian, dimana salah satunya berperan sebagai butch, dan pasangannya berperan sebagai femme. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa, dalam kehidupan komunitas lesbian, ada semacam pembagian tugas dan peran sebagai laki-laki (butch) atau perempuan (femme) sama seperti dalam kehidupan heteroseksual pada umumnya. Pembagian peran tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam menjalankan rumah tangga mereka. Para butch mengerjakan pekerjaan dan kewajiban yang biasa dikerjakan oleh kaum laki-laki pada umumnya, sedangkan para femme seperti biasa berperan dan mengerjakan pekerjaannya sebagai perempuan. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ang yang menyatakan bahwa bagi pascastrukturalis, variasi budaya yang ada di antara perempuan (dan di antara laki-laki) menunjukkan bahwa tidak ada katagori lintas budaya universal perempuan (atau laki-laki) yang dimiliki bersama oleh semua. Namun, ada berbagai cara feminitas (dan maskulinitas) yang diungkap bukan hanya oleh perempuan yang berbeda, melainkan secara potensial diungkap oleh perempuan yang sama pada situasi yang berlainan. Kendati dalam praktiknya mereka terbentuk dan diatur dalam bentuk spesifik dalam kondisi historis dan kultural tertentu. Dengan demikian, perempuan terus-menerus dibenturkan dengan tugas

131 budaya untuk mencari apa maksudnya menjadi perempuan, menandai batas antara yang feminin dengan yang tidak feminin (Ang, 1996: 94).

7.2

Makna Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1996:624),

makna adalah arti atau maksud (sesuatu kata). Dalam kehidupan sehari-harinya, komunitas lesbian tidak terlepas dari makna atau maksud tertentu sebagai tujuan dari tindakan yang diambilnya.

7.2.1 Makna Pencarian Identitas Diri Orang tua harus lebih perhatian pada masa remaja anaknya atau yang disebut fase laten. Sebab, pada masa itu anak sudah mengenal seks tetapi tidak untuk menyalurkan secara biologis. Jika masa laten ini tidak didampingi orangtua dengan baik, orientasi anak bisa berubah. Anak bingung jika tidak diarahkan, khususnya di masa usia 15 tahun, sudah muncul ketertarikan terhadap lawan jenis. “Jika ornagtua tak mendamping dan membimbing, anak akan bingung mencari tempat tempat bertanya sehingga akhirnya hilang arah dan kemudian melakukan orientasi seksual bisa saja berubah. Ini karena usia remaja sangat sensitif. Bagaimanapun remaja masih labil dan bisa terpengaruh lingkungan

untuk

memilih

menjadi

heteroseksual

atau

homoseksual,”

(Lily, accessed, Jan, 2, 2011). Artinya,

pola

asuh

yang

tepat

dan

terarah

akan

membantu

remaja

mengindentifikasi dirinya. Sementara pola asuh yang keliru membuat remaja mencari pengakuan diri di luar rumah, di lingkungan yang membuatnya nyaman. Memilih

132 orientasi seksual tersebut adalah Hak Azasi Manusia (HAM). Tapi yang perlu diingat, negara kita adalah negara Timur yang masih kental dengan budaya dan agama. Negara kita sendiri belum mengakui keberadaan komunitas ini, tak seperti di negara Barat. Meski demikian, hal ini semuanya kembali ke individu masing-masing untuk mempunyai kesadaran mengubah pola pikir. Di sinilah pendidikan agama berperan penting. Orientasi seksual dipengaruhi oleh pembentukan diri, karakter, dan agama. Sebab, kesalahan pembentukan ini sejak awal itulah yang membuat anak jadi salah arah. Seperti yang diungkapkan Kay berusia 30 tahun, seorang lesbian yang berperan sebagai butch dalam komunitasnya : “Saya memberanikan diri ketika menginjak usia 21 tahun untuk memberitahu keluarga bahwa inilah diri saya. Saya seorang perempuan yang mencintai perempuan. Begitupun dengan lingkungan tempat saya bekerja. karena saya tidak dapat membohongi diri saya sendiri seumur hidup. Peraturan yang berlaku akan tetap saya jalani selayaknya warga negara yang baik, itu saja”.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa, dengan mengungkapkan bagaimana sebenarnya perbedaan orientasi seksual yang dialami informan, dia telah menentukan jati dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian ada perasaan lega, dimana informan tersebut tidak lagi dihantui perasaan harus menutup-nutupi ataupun berbohong terhadap keluarga dan lingkungannya tentang perbedaan orientasi seksual yang dia alami. Dan tentunya dengan demikian, informan telah menentukan jati dirinya sebagai seorang lesbian, yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti yang lainnya, dan tidak ingin dibedabedakan. Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih baik dari sebuah keterbukaan dalam melakukan sesuatu, baik itu yang sangat bersifat pribadi sekalipun. Sikap tersebut bertujuan agar terciptanya rasa nyaman dan saling percaya dan

133 menghormati hak dan kebebasan masing-masing. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hall yang menyatakan bahwa kekuatan Resistance Through Rituals (meski memiliki keterbatasan yang lain) meletakkan konsepsi perlawanan bukan sebagai suatu kualitas atau tindakan yang mapan, melainkan secara relasional dan konjungtural. Jadi, perlawanan tidak dipandang secara tunggal dan universal, suatu tindakan yang mendefinisikan dirinya sendiri berlaku di seluruh kurun waktu, namun ia dibangun oleh serangkaian makna spesifik pada kurun waktu, tempat dan hubungan sosial tertentu. Jika kita memandang budaya pemuda sebagai perlawanan, kita perlu bertanya tentang sejumlah hal yang mendasar : 1.

Apa atau siapa yang dilawan oleh budaya pemuda?

2.

Dalam kondisi apa perlawanan itu terjadi?

3.

Dalam bentuk apa perlawanan termanifestasi?

4.

Di mana perlawanan berlangsung? (Hall, 1996e: 359).

7.2.2 Makna Solidaritas Manusia adalah mahluk sosial yang mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan

dengan

sesamanya.

Hubungan

yang

berkesinambungan

tersebut

menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan pola interaksi sosial. Menurut Jezi berusia 30 tahun, yang dalam komunitas lesbian berperan sebagai seorang butch menyatakan : “Saya pribadi lebih banyak cerita kepada komunitas (komunitas lesbian), karena kita mempunyai kesamaan latar belakang. Sehingga menimbulkan kenyamanan saat bercerita tentang masalah apapun, jadi keterbukaan dan solidaritas itu secara otomatis timbul. Sehingga tidak perlu ada yang ditutup-tutupi tentang bagian yang sekecil apapun. Dari satu kesamaan tersebut akan tergali kesamaan-kesamaan

134 lainnya yang menjadikan kita semakin dekat dan solid, dan makin meningkatkan intensitas pertemuan kita”.

Informan di atas menyatakan bahwa, dapat dilihat bahwa dalam komunitas lesbian, solidaritas dan keterbukaan itu akan secara otomatis terjadi dengan di dasari oleh kesamaan orientasi seksual. Dari satu kesamaan yang mendasar, yakni orientasi seksual, akan mengawali kesamaan-kesamaan lainnya yang juga akan muncul dengan seiringnya intensitas pertemuan yang makin sering. Demikian juga menurut June 28 tahun, seorang lesbian yang berperan sebagai butch dalam komunitasnya : “Mungkin karena kita sama-sama perempuan, sehingga tingkat kesensitif-an nya lebih tinggi, walaupun kita dikatakan seperti laki-laki pada umumnya, namun tetap bahwa kodrat kita dilahirkan adalah sebagai seorang perempuan. Jadi apapun yang kita ceritakan, mereka seolah-olah ikut merasakan, bahasa tubuh pun ikut mengisyaratkan”. Ungkapan informan di atas juga menunjukkan bahwa, reaksi solidaritas dan empati yang dirasakan komunitas lesbian ini sangat tinggi. Di dasari oleh sisi kewanitaan yang mempunyai tingkat kepeka-an dan kesensitif-an yang lebih dibandingkan para lakilaki. Walaupun mereka menyebut diri mereka sebagai “laki-laki” (butch) dalam konteks lesbian, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa mereka memang terlahir sebagai seorang perempuan yang tetap mempunyai sisi kewanitaan yang tidak dapat dihilangkan. Sedangkan menurut Ogut usia 29 tahun, yang berperan sebagai butch dalam komunitas lesbian, tentang solidaritas komunitasnya : “Tidak banyak berbeda dengan komunitas heteroseksual, sikap saling mendukung dari komunitas lesbian juga biasanya memberikan saran, tukar pikiran dan pengalaman, memberikan pilihan dari sudut pandang yang berbeda-beda mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi, sehingga terpupuk rasa saling memiliki dan rasa solidaritas yang tinggi antar sesama komunitas lesbian. Dan biasanya cenderung saling melindungi satu sama lain”.

135 Ungkapan informan di atas menyatakan bahwa, di dalam komunitas lesbian, sikap saling mendukung, toleransi, melindungi dan solidaritas yang terpupuk tidak jauh berbeda dengan para heretoseksual. Dukungan saran dan materi juga diperlukan. Perbedaan yang terjadi hanyalah terletak dalam sebuah ikatan solidaritas yang lebih tinggi dalam komunitas lesbian, dikarenakan komunitas lesbian merupakan minoritas diantara mayoritas para heteroseksual. Fenomena tersebut di atas senada dengan teori dari Gramsci, yang menyatakan bahwa ideologi sebagai pengalaman hidup dan ide sistematis yang berperan mengorganisasi dan secara bersama-sama mengikat satu blok yang terdiri dari berbagai elemen sosial bertindak sebagai perekat sosial, dalam pembentukan blok hegemonis dan blok kontra-hegemonis. Meski ideologi dapat membentuk serangkaian ide koheren, ia lebih sering muncul sebagai makna yang terfragmentasi dari nalar awam yang terkandung di dalam berbagai representasi. Bagi Gramsci, semua orang bercermin dari dunia, dan melalui nalar awam (common sense) budaya pop, mereka mengorganisasi kehidupan dan pengalaman mereka. Jadi nalar awam menjadi arena krusial bagi konflik ideologis, dan khususnya, perjuangan untuk membentuk logika yang baik, yang bagi Gramsci berupa pengakuan atas karakter kelas dalam kapitalisme. Nalar awam merupakan arena paling penting dalam perjuangan ideologis, karena ia menjadi lahan bagi hal-hal yang diterima apa adanya, suatu kesadaran praktis yang memandu tindakan dalam jagat keseharian. Serangkaian ide filosofis yang lebih koheren diperjuangkan dan ditransformasikan dalam domain nalar awam (Gramsci, 1971: 362). Kay seorang lesbian berusia 30 tahun yang berperan sebagai butch di dalam komunitasnya menuturkan tentang sikap positif dalam solidaritas komunitas lesbian :

136 “Intensitas kehadiran saya dibeberapa acara yang diselenggarakan komunitas, tentunya juga dengan menjaga sikap guna menjaga nama baik didalam komunitas dan lebih beradaptasi saja dengan aturan dasar yang ada di dalam komunitas. Karena apabila kita membuat ulah/masalah, dapat dipastikan seluruh anggota komunitas mengetahuinya”.

Dari pernyataan para informan tersebut di atas, bahwa tidak hanya di dalam komunitas lesbian, sikap positif yang ditanamkan di situasi dan kondisi juga dimanapun kita berada pasti akan melahirkan sesuatu yang positif juga. Tentunya ada setelah ada komunikasi dan solidaritas yang tinggi antar diri masing-masing dan komunitas. Untuk menumbuhkan perasaan positif ada beberapa syarat sederhana yang penulis analisa dari kutipan informan di atas, yaitu : kenyamanan dalam berkomunikasi, keterlibatan emosional secara pribadi, intensitas pertemuan yang berulang dapat memupuk rasa solidaritas yang tinggi. Fenomena tersebut di atas sesuai dengan pernyataan Shotter yang menyatakan bahwa bahasa bukanlah cermin yang merefleksikan dunia objek independen (realitas), melainkan sumber dalam menyediakan bentuk bagi diri kita dan dunia kita di luar aliran perbincangan dan praktik sehari-hari tang tidak menentu dan tidak tertata. Identitas bukanlah merupakan suatu hal yang tetap, abadi, bukan juga suatu unsur dalam diri seseorang yang menjadi acuan kata-kata, melainkan suatu cara teratur dalam berbicara tentang orang. Gagasan bahwa identitas merupakan konstruksi diskursif diperkuat oleh pandangan tentang bahasa bahwa tidak ada esensi yang menjadi acuan bahasa, sehingga tidak ada identitas esensial (Shotter, 1993: 177).

137 7.3

Refleksi Sebagian kota-kota besar di Indonesia khususnya Bali yang merupakan daerah

pariwisata, dimana penduduknya sangat heterogen khususnya di daerah Kuta yang merupakan daerah tujuan wisata yang sudah tersohor hingga ke manca negara. Tidak dapat dipungkiri, komunitas homoseksual (gay dan lesbian) telah hadir di dalam kehidupan masyarakat. Komunitas gay dan lesbian dapat dikatakan sebagai penganut paham liberalisme hedonis (paham keduniawian). Dikatakan seperti itu karena biasanya komunitas tersebut lebih mudah ditemui di tempat-tempat hiburan malam. Sebagai contoh adalah gaya hidup mereka yang kini dapat ditemukan di klub-klub malam , bar, diskotik, yang menjadi wadah tempat pertemuan mereka dengan sesama komunitasnya. Kondisi seperti itu sudah dianggap lumrah dan tidak tabu lagi oleh sebagian besar kaum lesbian tersebut, sehingga mereka menjadi lebih mudah untuk menjalin ikatan antar sesama. Namun kali ini tidak hanya di tempat-tempat hiburan malam atau tempat-tempat tertutup mereka dapat ditemui, mereka sering kali hadir dan membaur dengan masyarakat seperti di tempat-tempat yang umum dijadikan sebagai pusat aktivitas melepaskan kepenatan masyarakat, yaitu kafe, mall atau plaza. Ada masyarakat yang sudah menerima keberadaan mereka, tetapi pada umumnya masyarakat masih belum bisa menerima keberadaan komunitas tersebut. Di Indonesia pada umumnya dan di bali pada khususnya, masih banyak yang menganggap kaum homoseksual khususnya lesbian itu sebagai penyimpangan seksual sterotip negative terhadap homoseksual, hal ini disebut homophobia. Penyimpangan yang dimaksud adalah adanya perbedaan dalam orientasi seksual, dimana seharusnya laki-laki tertarik terhadap lawan jenisnya yaitu perempuan, dan begitu

138 juga sebaliknya perempuan pun tertarik terhadap laki-laki. Namun dalam hal ini terjadi penyimpangan, yaitu dimana perempuan memiliki ketertarikan terhadap sesamanya dan tidak tertarik terhadap lawan jenisnya yaitu laki-laki, dan begitu juga laki-laki yang tertarik terhadap sesama laki-laki dan bukan perempuan. Budaya tanding (counter culture) lesbian muncul dalam budaya besar dengan sebuah komunitas selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, budaya lesbian bukanlah suatu gejala sosial yang lahir begitu saja. Eksistensi komunitas lesbian di tengah-tengah masyarakat dengan segala kekhasannya dan pola perilaku yang dimiliki telah menjadikannya sebagai budaya/gaya hidup baru dalam sebuah budaya besar masyarakat. Kelurahan Kuta yang merupakan wilayah yang memiliki kebudayaan yang sangat heterogen, dan di sana terdapat bermacam-macam kebudayaan baik lokal maupun budaya barat yang telah menjadi satu. Kelurahan Kuta merupakan daerah tujuan wisata yang sangat terkenal baik di dalam negeri maupun mancanegara, yang merupakan daerah urban yang terdapat di pusat parwisata Kabupaten Badung, yang telah terbawa arus globalisasi yang diiringi oleh pariwisata. Munculnya eksistensi komunitas lesbian di Kelurahan Kuta sebagai bentuk perlawanan yang lahir dari masyarakat yang terpinggirkan dengan kondisi masyarakat urban. Komunitas ini sebagai simbol perlawanan dan eksistensi mereka dalam menunjukkan simbol kebebasan dari segala macam aturan dan norma ke-Timur-an yang serba mengikat. Mereka mencoba melepaskan diri dari suatu bentuk kemapanan, identitas sosial. Mereka ingin menampilkan sesuatu yang baru dan lain yang diyakini sebagai gaya hidup/life style.

139 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN

8.1

Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut.

Pada zaman globalisasi dan era modern sekarang ini, gaya hidup atau life style merupakan hal yang sangat penting dan kerap menjadi ajang untuk menunjukkan identitas diri. Orientasi seksual yang berkaitan dengan perasaan dan konsep diri. bagi kebanyakan orang, orientasi seksual terjadi pada masa remaja. Orientasi seksual juga terbagi ke dalam beberapa golongan, pertama homoseksual, yaitu ketertarikan terhadap sesama jenis, kedua adalah heteroseksual, yaitu tertarik dengan jenis kelamin yang berbeda, ketiga adalah biseksual, yaitu tertarik dengan kedua jenis kelamin. Orang-orang yang dianggap homoseksual disebut gay (laki-laki) dan lesbian (perempuan). Dalam lesbian dikenal istilah-istilah untuk membedakan apakah lesbian tersebut selaku laki-laki yang disebut butch, selaku perempuan yang disebut femme, bisa sebagai laki-laki atau perempuan disebut andro dan bukan laki-laki ataupun perempuan yang disebut no lebel. Komunitas lesbian yang berada di Kuta tergabung kedalam sebuah yayasan yang bernama Gaya Dewata, dimana yayasan tersebut kerap melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, yang bertujuan untuk memberikan penyuluhan tentang HIV/AIDS dan lebih mendekatkan diri dengan masyarakat dan agar mendaatkan penerimaan yang baik di masyarakat. Secara garis besar homoseksual pada diri seseorang dapat timbul karena faktor pola asuh keluarga, trauma masa lalu, lingkungan pergaulan dan faktor psiko-sosial dari

140 orang tersebut. Masa rentan seorang remaja adalah dalam masa penentuan jati diri. Dimana pada masa-masa itu seorang remaja pasti akan mencari jati diri dia yang sebenarnya, namun apabila pada masa ini orang tua tidak mengarahkan dan memberi contoh, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan masuk ke dalam komunitas lesbian. Terlebih lagi apabila remaja tersebut mempunyai trauma-trauma di masa lalunya, serta pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan yang dia terima akan membekas dan dijadikan acuan dalam mencari jati dirinya kelak di kemudian hari. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh adanya komunitas lesbian di Kuta mulai menunjukkan kea rah pencitraan positif. Keadaan ini disebabkan komunitas lesbian kini sudah berfikir lebih modern dalam usaha mereka untuk mendapatkan pengakuan, dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Secara budaya, komunitas lesbian ingin menunjukkan bahwa seorang perempuan (lesbian) pun mampu menjalankan peran sebagai laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Dapat ditunjukkan dengan adanya pemberian label butch dan femme dalam komunitas lesbian, yang bertujuan untuk menentukan peran masing-masing. Sedangkan makna yang ditimbulkan oleh komunitas lesbian di Kuta yaitu pencarian identitas diri mereka, dimana mereka sudah mulai berani untuk terbuka baik terhadap keluarga maupun masyarakat, dalam menunjukkan identitas seksual mereka sebagai seorang lesbian. Solidaritas di antara komunitas lesbian di Kuta khususnya kini menjadi semakin erat. Dikarenakan faktor kesamaan orientasi seksual, perasaan senasib, rasa nyaman jika berada dalam komunitas, dan kesamaan tujuan untuk mendapatkan pengakuan. Selain itu, makna solidaritas memperkuat mereka untuk lebih bersatu dalam

141 memperjuangkan keinginan mereka untuk mendapatkan pengakuan di mata hukum dan masyarakat. Tidak hanya didalam komunitas lesbian, sikap positif yang ditanamkan di situasi dan kondisi juga dimanapun kita berada pasti akan melahirkan sesuatu yang positif juga. Tentunya ada setelah ada komunikasi dan solidaritas yang tinggi antar diri masingmasing dan komunitas. Untuk menumbuhkan perasaan positif ada beberapa syarat sederhana yang penulis analisa dari kutipan informan di atas, yaitu : kenyamanan dalam berkomunikasi, keterlibatan emosional secara pribadi, intensitas pertemuan yang berulang dapat memupuk rasa solidaritas yang tinggi.

8.2

Saran Berkaitan dengan hasil temuan di lapangan dan informasi dari berbagai

narasumber, ada beberapa saran yang perlu disampaikan agar bisa dipakasi sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi kita semua. 1. Diharapkan kepada masyarakat tidak lagi memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan komunitas lesbian, seperti memandang negatif komunitas tersebut. Karena sesungguhnya mereka juga mempunyai hak yang sama seperti masyarakat

lainnya, dan banyak diantara komunitas tersebut

memiliki

kemampuan tertentu yang juga harus diperhitungkan pada bidang-bidang tertentu. 2. Untuk ke depannya agar tidak ada lagi perbedaan yang menonjol diberikan kepada komunitas lesbian yang keberadaannya memang benar-benar ada di sekeliling kita. Karena pada dasarnya semua manusia itu sama, perbedaannya hanya terletak pada orientasi seksualnya saja. Tidak ada yang membedakan satu

142 sama lainnya, kehidupan yang mereka jalani sebagai seorang/komunitas lesbian adalah sebuah pilihan, yang datang serta didukung oleh latar belakang yang mereka miliki. 3. Pendidikan tentang seks hendaknya diterapkan atau diberikan sejak dini, terutama pada kalangan remaja yang mulai menginjak masa SMP dan SMU. Hal ini penting untuk memberikan penjelasan dan pengarahan kepada para remaja tersebut mengenai konsep diri dan orientasi seksual, dengan tujuan agar para remaja dapat mengidentifikasikan diri mereka sesuai dengan jenis kelamin masing-masing. 4. Sedangkan untuk komunitas lesbian itu sendiri hendaknya lebih menjaga identitas seksual mereka, karena Indonesia masih menganut budaya timur yang kental. Keadaan ini menyebabkan mayoritas masyarakat masih belum dapat menerima keberadaan komunitas lesbian secara terang-terangan. 5. Agar komunitas lesbian dapat menjaga kesolidaritasn yang telah terbentuk hingga saat ini. Karena komunitas lesbian ini adalah kaum minoritas diantara mayoritas kaum heteroseksual. 6. Penulis berharap bahwa penelitian mengenai komunitas lesbian ini dapat dilanjutkan dan beranfaat bagi kita semua, sebab bagaimanapun juga, komunitas lesbian ini merupakan bagian dari masyarakat yang tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya.

117 DAFTAR PUSTAKA

Adhiati, Triana. 2007. Gerakan Feminis Lesbian Studi Kasusu politik Amerika 1990-an. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Admin.

Perempuan

Lesbian.

Available

http://www.seksualitas.net/menyembuhkan-mengobati-lesbian.htm.

from: Accessed

Dec, 12, 2010 Al-Fayyald, Muhamad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKS Alisjahbana. 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota. Yogyakarta: Laksbang PRESSINDO. Ang, I and Stratton, J. 1996. On the Impossibility of a Global Cultural Studies: “British” Cultural Studies in an International Framein D. Morley and D.K Stuart Hall. London: Routledge. Anonim. Lesbian, Apa dan Bagaimana Cara Mengobatinya? 2009. available at : http://www.konseling.net. Accessed, Sept. 28, 2010. Anonim. Penyebab Menjadi Homoseks.. Available at : http://ilc2009.wordpress.com/2009/07/01/perempuan-lesbian-diindonesia. Accessed, Dec. 20, 2010. Barker, C. 2004. Cultural Studies, Teori & Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Beauvoir. de Simone. 1964. The Second Sex. Alfred A. Knoph. New York. Bocock, Robert. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni, Yogyakarta: Jalasutra.

118 Boykin, Keith. 2000. Gay and Lesbian Movements in the United States. Available from : Africana.com web site, http//www.africa.com/articles. Accessed, Feb 3, 2010. Brooks, Ann. 2009. Posfeminisme & Cultural Studies Sebuah Penganter Paling Komprehensif. Jalasutra. Byrne. A. 1995. Disney and His World. London: Yogyakarta: Routledge. Davis, Flora. 1991. Moving the Mountains, The Women’s Movement in America since 1960. New York: A Touch-stone Book, Simon & Schuster. Evan, Sara. 1979. Personal Politics: The Roots of Women’s Liberation in the Civil Right Movement and the New Left, Vintage Books. New York: A Division of Random House. Featherstone, M. 1991. Consumer Culture and Postmodernism. London and Newbury Park: CA: Sage. Giddens, A. 1984. The Constitution of Society. Cambridge: Polity Press. Giddens, A. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press. Gillespie, M. 1995. Television, Etnicity and Cultural Change. London and New York: Routledge. Glover, David dan Cora Caplan. 2000. Genders. London: Routledge. Gramsci, A. 1968. Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart. Gramsci, A. 1971. Selection from the Prison Notebooks, eds Q. Hoare and G. NowellSmith. London: Lawrence & Wishart. Hall, S. 1992. The Question of Cultural Identity’ in S. Hall, D. Held and T. McGrwe (eds) Modernity and Its Futures. Cambridge: Polity Press.

119 Hall, S. 1996. For Allon White: Methaphors of Transformation in D. Morley and D K Chen (eds) Stuart Hall. London: Routledge. Herliani, Indri. 2008. Pola Komunikasi dan Identifikasi Kaum Lesbian (skripsi). Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relation. Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta. Jalasutra. Jancokan. Penyebab Menjadi Homoseks. Available from : http//www.kaskus.com. Accessed, Okt. 12, 2010 Juliani

Wahjana.

Artikel

tentang

Lesbian.

Available

from:

http://ilc2009.wordpress.com/2009/07/01. Accessed, Dec 12, 2010. Kamilia Manaf. 2010. Perlu Suport Group dalam Mendukung Identitas Homoseksual. Available from : http//www.pelangiperempuan.or.id. Accessed, November 2, 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Cetakan ke- 2. Jakarta. Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2001. Buku Manual Gender dan Pembangunan. Kartono, K. 2009. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Yogyakarta: Jala Sutra Koentjaraningrat. 2000. Pengantar ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

120 Lily.

Lingkungan

Terdekat

Sangat

Mempengaruhi.

Available

http://www.seksualitas.net/menyembuhkan-mengobati-lesbian.htm.

from

:

Accessed,

Jan. 2, 2011 Majalah Bisnis Indonesia. Edisi 17 Februari tahun 2003. Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest. Massey, D. 1994. Space, Place and Gender. Cambridge: Polity Press. Milles, Matthew B dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, Lexy. J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian. Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press. Nicholson, L. (ed) 1990. Feminism/Postmodernism. London and New York: Routledge. Nugroho, Dr. Riant. 2008. Gender dan Administrasi Publik, Studi tentang Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002. Yogyakarta: Pustaka Desain. Piliang, Yasra Amir. 1999. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LPIS Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Offset BP. Profil Kelurahan Kuta tahun 2008.

121 Rahmat. 1997. Generasi di Tengah Arus perkembangan Informasi (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Relph, E. 1976. Place and Placelessness. London: Pion. Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Pasmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Ritzer, George. 2008. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose Research and Publication Club bekerja sama denga Kreasi Wacana Rueda, Marisa. Rodriguez, Marta. Watkins, Susan Alice. 2007. Feminisme Untuk Pemula. Resist Book. Yogyakarta. Sarlito. 1997. Gaya Hidup Kawula Muda Masa Kini (tesis). Denpasar. Universitas Udayana. Seamon, D. 1979. A. Geography of the Life World. London: Croom Helm. Shotter, J. 1993. Conversational Realities. London and Newbury Park: CA Sage. Spradley, James.1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sturrock, John (ed). 2004. Strukturalisme Post-Strukturalisme. Surabaya: Jawa Post Press Sujaya. 2004. Profil Pembangunan Kelurahan Kuta. Sumiari, Endang. 2004. Jender dan Feminisme. Yogyakarta: Jala Sutra. Susilo. 2006. T-shirt sebagai Refrensi Gaya Hidup Remaja Kota Medan (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Syarifah. 2006. Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi. Jakarta: PT.Bumi Aksara. Uno, Hamzah B. 2008. Orintasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Yayasan Kota Sika. Weeks, J.1990. The Value of Difference in J Rutherford (ed) Identity: Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart.

122 Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. www.satupelangi.com www.scholar.go.id www.sepocikopi.com

123 Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

Pertanyaan rumusan masalah bagaimana eksistensi komunitas lesbian di Kuta 1. Sejak kapan saudara bergabung dalam komunitas lesbian? 2. Bagaimana terbentuknya komunitas lesbian ini? 3. Mengapa anda bergabung dalam komunitas lesbian di Kuta? 4. Bagaimana hubungan komunitas lesbian dengan masyarakat setempat?

Faktor penyebab komunitas lesbian di Kuta eksis 1. Apa yang menyebabkan komunitas lesbian di Kuta eksis? 2. Bentuk eksistensi apa saja yang dilakukan komunitas lesbian di Kuta 3. Mengapa komunitas lesbian di Kuta eksis?

Dampak dan makna eksistensi bagi komunitas lesbian di Kuta 1. Apa keuntungan yang didapat dari komunitas lesbian yang ada ikuti? 2. Apa harapan komunitas lesbian terhadap eksistensi yang diperjuangkan? 3. Apa makna eksistensi yang dilakukan komunitas lesbian?

124

Lampiran 2 DAFTAR INFORMAN

1. Nama

: June

Umur

: 28 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Butch

Pekerjaan

: Waitres bar

Alamat

: Denpasar

2. Nama

: Ogut

Umur

: 29 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Butch

Pekerjaan

: Pegawai perusahaan swasta

Alamat

: Kuta

3. Nama

: Flo

Umur

: 30 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Butch

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: Kuta

125 4. Nama

: Kay

Umur

: 30 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Butch

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Kuta

5. Nama

: Noey

Umur

: 25 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Butch

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Seminyak

6. Nama

: Bella

Umur

: 26 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Femme

Pekerjaan

: Pemilik business handicraft

Alamat

: Kuta

126 7. Nama

: Dipta

Umur

: 23 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Butch

Pekerjaan

: Mahasiswa

Alamat

: Kuta

8. Nama

: Jezi

Umur

: 30 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Butch

Pekerjaan

: Ibu Rumah tangga

Alamat

: Denpasar

9. Nama

: Anna

Umur

: 25 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: No lebel

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Kuta

127 10. Nama

: Abelle

Umur

: 22 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Lebel dalam komunitas

: Andro

Pekerjaan

: Mahasiswa sambil bekerja di perusahaan swasta

Alamat

: Denpasar

128 Lampiran 3

ISTILAH YANG SERING DIGUNAKAN DALAM KOMUNITAS LESBIAN

A

: Andro.

American Style

: Femme yang berpasangan dengan femme.

B

: Butch/butchy.

Belok

: Lesbian.

Butch Inside

: Femme yang berpenampilan sedikit tomboy namun tetap berpenampilan femme.

Bro

: Panggilan sesama Butch.

Cepak

: Rambut pendek ala laki-laki

Double

: Lesbian yang telah mempunyai pasangan.

Dugem

: Dunia gemerlap

F

: Femme.

Gembala

: Gendut.

Glamour

: gaya hidup mewah

Linak

: Laki-laki

Lines

: Lesbian.

Lurus

: Sebutan bagi heteroseksual.

No Label:

: Lesbian yang tidak memakai label.

Pecongan

: Pacaran.

Sekong

: Sakit

129 Single

: Lesbian yang belum mempunyai pasangan.

Soft Butch

: Butch yang mempunyai kesan lebih feminin, secara emosional dan fisik tidak mengesankan pribadi yang kuat/tangguh.

Stone Butch

: Butch yang lebih maskulin dalam cara berpakaian dan penampilan, biasanya membebet payudaranya agar terlihat rata.

Tuwir

: Tua.

Teki

: Payudara.

130 Lampiran 4

FOTO-FOTO PENELITIAN

Foto 1. Salah seorang butch yang mempergunakan aksesoris berupa gelang perak di tanggan kanannya. Rujukan dari halaman 80. Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

131

Foto 2. Kaum heteroseksual yang berbaur dengan kaum lesbian dalam suatu pementasan kesenian. Rujukan dari halaman 85. Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

132

Foto 3. Kegiatan berkumpul dalam kehidupan sehari-hari komunitas lesbian. Rujukan dari halaman 86. Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

133

Foto 4. salah seorang butch bersama rekan kerjanya di sebuah tempat hiburan malam. Rujukan dari halaman 89. Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

134

Foto 5. Gaya berpakaian butch sehari-hari. Rujukan dari halaman 100 Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

135

Foto 6. Gaya berpakaian butch saat beribadah Rujukan dari halaman 100. Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

136

Foto 7. Komunitas lesbian di sebuah tempat hiburan malam Rujukan dari halaman 103 Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

137

Foto 8. Ciri fisik seorang lesbian (butch) yang dominan laki-laki Rujukan dari halaman 106 Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

138

Foto 9. Seorang butch dengan beberapa temanya yang heteroseksual Rujukan dari halaman 108 Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

139

Foto 10. Keluarga yang menerima perbedaan orientasi seksual yang dialami anaknya. Rujukan dari halaman 115. Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

140

Foto 11. Persahabatan antara gay dan lesbian Rujukan dari halaman 119 Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

141

Foto 12. Sepasang lesbian dalam peran masing-masing, yaitu butch dan femme. Rujukan dari halaman 132. Dokumentasi : Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2010

142

Foto 13. Kegiatan Gathering di sebuah restoran Rujukan dari halaman 80 Dokumentasi: Wayan Ari Trisna Handayani, Tahun 2011

143