1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usaha ...

22 downloads 82 Views 102KB Size Report
Usaha perdagangan yang dilakukan baik dalam skala besar maupun kecil, ... 5 http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/ritel.pdf akses pada 16 April 2010  ...
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Usaha perdagangan yang dilakukan baik dalam skala besar maupun kecil, serta melalui sistem penjualan grosir maupun eceran merupakan perwujudan dari adanya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yang dilakukan melalui bergabai kegiatan seperti kegiatan jual beli. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern1 menyebutkan bahwa usaha perdagangan dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan pihak yang mengelolanya, yaitu:2 1. Usaha perdagangan yang dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Usaha perdagangan ini berupa pasar tradisional, dimana instansi pemerintah tersebut berkerja sama dengan swasta dengan menyediakan lokasi dan menyewakan tempat penjualan berupa los, kios, toko, dan tenda yang dikelola oleh pedagang kecil, swadaya masyarakat maupun koperasi usaha kecil yang bergerak dengan modal kecil dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar. 2. Usaha perdagangan yang dikelola oleh swasta. Usaha perdagangan ini berupa pusat perbelanjaan yang disewakan kepada para pelaku usaha, toko 1 2

Selanjutnya disebut Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007

1

mandiri yang pada umumnya dijadikan usaha kecil atau menengah, berupa toko modern yang menggunakan seperti supermarket, hypermarket dan minimarket. Sesuai dengan jenis usahanya, terdapat dua sistem penjualan akan barangbarang yang berbeda, yaitu: 3 1. Sistem penjualan yang dilakukan secara grosir, yaitu pedagang yang mendapatkan barang dagangannya dari produsen yang biasanya akan diberi daerah kekuasaan penjualan tertentu. Dalam hal ini, pihak pedagang grosir selalu membeli barang dalam jumlah besar dengan potongan harga tertentu untuk kemudian barang tersebut dijual kembali kepada pedagang retail. 2. Sistem penjualan yang dilakukan secara retail atau eceran, yaitu pedagang yang mendapatkan barang dagangannya dari pedagang grosir tanpa diberi daerah kekuasaan tertentu untuk kemudian barang dagangan tersebut dijual kembali secara satuan kepada konsumen terakhir dan tidak untuk dijual kembali. Beragamnya jenis usaha perdagangan tersebut secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan sikap persaingan yang terjadi antara para pelaku usaha, baik antar pelaku usaha perdagangan pemerintah, antar pelaku usaha swasta, maupun antara pelaku usaha pemerintah dan swasta dalam memperebutkan konsumen atau pembeli. Persaingan ini tidak dapat dihindari meskipun para pelaku usaha mengklaim bahwa usahanya membidik segmen 3

http://www.docstoc.com/docs/13196485/Agen-dan-Retail-Manajemen akses pada 17 November 2009.

2

masyarakat tertentu. Persaingan ini dapat berkembang menjadi persaingan usaha tidak sehat apabila tidak dilakukan pengawasan yang tepat.4 Pendapat masyarakat umum yang semula berpihak pada pasar tradisional dengan asumsi harga barang yang ditawarkan jauh lebih murah daripada harga di toko modern perlahan bergeser seiring dengan adanya kenaikan harga dalam pasar tradisional dan pihak pelaku usaha toko retail yang berani memotong keuntungan hingga seminimal mungkin demi mendapat simpati dari masyarakat karena menjual barang dengan harga yang nyaris sama dengan harga pasar tradisional. Selisih harga yang kecil tersebut menjadi pertimbangan lain bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas karena beranggapan selisih harga tersebut wajar, mengingat barang yang ditawarkan oleh toko modern lebih berkualitas dengan kondisi toko yang lebih rapi dan bersih sehingga memiliki keterkaitan dengan kenyamanan saat berbelanja seperti keamanan, kemudahan, dan variasi produk yang beragam dimana hal tersebut tidak dapat dibandingkan dengan keadaan pasar tradisional.5 Keadaan ini semakin berat manakala jumlah usaha perdagangan retail banyak yang didirikan di sekitar pasar tradisional, terkadang terdapat dua hingga empat usaha perdagangan retail yang didirikan tepat bersebelahan atau berdekatan dengan sebuah pasar tradisional sehingga membuat perdagangan di 4

http://id.shvoong.com/business-management/management/1646534-segmentasi-danpenentuan-posisi/. Akses pada 17 November 2009 Sedangkan A. M. Tri Anggraini mengatakan bahwa dalam kenyataannya, Badan-badan Usaha Milik Negara yang seharusnya mewakili negara, kadang-kadang bersaing secara tidak sehat dengan perusahaan besar dan kecil serta dengan koperasi sehingga tanpa disadari dan tidak jarang pula perusahaan-perusahaan besar tersebut “menggulung” perusahaan kecil. Lihat A.M.Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Perse Illegal atau Rule Of Reason, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, hlm 2. 5 http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/ritel.pdf akses pada 16 April 2010.

3

pasar tradisional semakin lesu. Hal ini memicu persaingan usaha yang tidak sehat baik antar pelaku usaha toko retail dengan pasar tradisional, maupun antar pelaku usaha toko retail itu sendiri sebagai akibat dari adanya kesamaan barang dagangan, yaitu seperti kebutuhan sehari-hari dimana komoditas tersebut sesungguhnya menjadi bagian dari kesulitan pasar tradisional untuk meraih pasar.6 Persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia secara khusus, diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.7 Pertimbangan lahirnya Undang-Undang tersebut adalah bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan usaha yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuasaan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian Internasional.8 Selanjutnya setiap warga Indonesia memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pasar yang wajar.9 Diharapkan dengan adanya iklim usaha tersebut, dapat menciptakan efisiensi persaingan usaha yang secara langsung

6

Ibid, Selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 8 Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 9 Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 7

4

memperbaiki struktur harga, dan pada akhirnya akan memunculkan alternatif produksi dan/atau jasa tertentu bagi konsumen.10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menegaskan bahwa Negara menjamin setiap warga Negara bebas mendirikan usaha perdagangan, namun diharapkan usaha perdagangan tersebut turut pula berpartisipasi dalam kebijakan Negara yang mendukung adanya perdagangan bebas dikemudian hari. Dengan demikian, diharapkan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang positif dan wajar serta terlaksananya persaingan usaha yang sehat, maka citra bangsa Indonesia di mata dunia akan naik. Disamping peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus di atas, agar terjadi persaingan sehat berkaitan dengan tempat usaha perdagangan, maka antara pemilik usaha grosir dan retail harus memperhatikan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu tempat usaha perdagangan juga harus memperhatikan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007.11 Aturan ini dibuat selain untuk mengatur jarak antara pasar tradisional dan pasar modern atau jarak antar pasar modern, juga untuk mengatur kawasan pemukiman agar terjadi ketertiban. Hal ini dilakukan untuk mendukung terjadinya iklim persaingan usaha penjualan yang sehat tanpa adanya saling menjatuhkan dan saling iri sebagai akibat dari adanya usaha perdagangan yang letaknya berdekatan.12

10

Risalah DPR-RI, Rapat Paripurna ke-10 Masa Persidangan I Tahun Sidang 1998-1999, hlm.14 Sebagaimana dikutip oleh A.M.Tri Anggraini, op. cit., hlm 6. 11 Lihat Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 112 12 Lihat Pasal 15 ayat (2) huruf b Peraturan Presiden Nomor 112

5

Selain itu, dengan tata ruang yang baik, diharapkan akan mengundang banyak pengunjung yang akan menggeliatkan usaha perdagangan secara umum. Adanya pihak-pihak yang berpartisipasi dalam suatu usaha perdagangan, seperti melibatkan bagian proses pembuatan (produsen), distribusi, dan pemasaran barang atau jasa secara langsung menimbulkan adanya hubungan kemitraan yang kuat dan didukung rasa saling percaya antar para pelaku usaha, yang mutlak dibutuhkan untuk mencegah adanya pelaku usaha yang berpartisipasi dalam segala aspek dari hulu ke hilir. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan13 dimana yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan

prinsip

saling

menguntungkan,

memperkuat

dan

memerlukan.14 Faktor-faktor dan ketentuan di atas sangat berkesinambungan antara satu dengan yang lain, dengan memperhatikan hal tersebut, diharapkan para pelaku usaha perdagangan khususnya pada pelaku usaha retail yang tersebar hampir di seluruh penjuru kota dapat menjalankan usahanya dengan baik dan mendapatkan hasil yang memuaskan mengingat pertumbuhan retail modern dapat menyingkirkan para pelaku usaha retail tradisional baik dalam pasar tradisional maupun individu karena usaha mereka tidak memiliki modal

13 14

Selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Lihat Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997.

6

capital

yang besar, manajemen yang baik, serta perlindungan dan

pemberdayaan terhadap usaha tradisional tersebut pun minim.15 Persaingan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha meliputi berbagai hal, baik dalam hal strategi penjualan maupun dalam menarik pembeli demi melancarkan usahanya tanpa memperdulikan pelaku usaha yang lain dan tanpa memperhatikan apakah strateginya tersebut bertentangan atau tidak dengan aturan-aturan persaingan usaha yang berlaku di Indonesia. Strategi perdagangan tersebut tidak hanya dilakukan oleh para pemilik usaha saja, namun juga oleh para produsen yang menjadi pemasok barang yang akan dijual oleh para pelaku usaha tersebut. Selain itu, kecermatan masyarakat yang senantiasa memperhatikan setiap detail akan suatu produk baik dari segi kualitas, harga, dan fungsi mendorong para pelaku usaha yang melakukan produksi di bidang barang dagangan yang sama akan semakin tertantang untuk melakukan persaingan usaha.16 Potensi terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri perdagangan retail antara lain: 1. Pelaku usaha eceran (retailer) mengancam untuk menghentikan hubungan usaha dengan pemasok (supplier), kecuali pemasok tersebut menghentikan penyediaan produknya kepada kalangan pelaku usaha yang menjual dengan diskon besar (discounter).17

15

http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/ritel.pdf akses pada 16 April 2010 http://issuu.com/ptkpost/docs/09042010 akses pada 30 April 2010 17 http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=490&encodurl=04%2F21%2F09 %2C09%3A04%3A49 Akses pada 1 Desember 2009 16

7

2. Trading term merupakan permasalahan utama yang sering dikeluhkan pemasok. Setiap tahunnya jumlah trading term yang diterapkan peritel modern kian bertambah jumlahnya, baik secara nominal maupun jumlah jenisnya. Permasalahan antara ritel modern dengan pemasok lebih banyak menyangkut persoalan ketidaksebandingan bargaining position. 3. Market power yang dimiliki oleh beberapa pelaku usaha hipermarket menjadi sumber dari hadirnya permasalahan ini. Contohnya Carrefour yang merupakan pelopor dalam model pengelolaan hipermarket di Indonesia. Keunggulan utama dari Carrefour di mata pemasok terletak pada posisinya sebagai pencipta traffic (lalu lintas konsumen yang berbelanja) dalam pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini memiliki makna bahwa setiap Carrefour membuka gerai, maka pada saat itu pula gerai tersebut akan menjadi tujuan utama konsumen untuk berbelanja. Bahkan proses switching dari peritel modern dan tradisional dengan mudah segera terjadi ketika dalam satu wilayah Carrefour berdiri.18 4. Mudahnya mendapatkan ijin usaha perdagangan retail atau modern resmi dari lembaga pemerintah tanpa adanya survei terlebih dulu terhadap jumlah usaha perdagangan retail atau modern atau terhadap keberadaan

18

Ibid. Sedangkan Ningrum Natasya Sirait mengatakan facilitating practises adalah salah satu jalan yang dapat digunakan oleh para pelaku untuk mengkoordinasikan strategi harga dan output. Lihat Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm 96.

8

pasar tradisional sehingga pemerintah terkesan kurang memperhatikan kondisi agar terwujud persaingan usaha yang sehat.19 5. Sedapat – dapatnya menghindari munculnya pesaing baru karena munculnya pesaing atau revalitas dalam berusaha akan menurunkan tingkat keuntungan . Hal ini dapat terjadi karena keputusan tentang kualitas, kuantitas, dan kebijakan harga tidak lagi ditentukan oleh satu pelaku usaha atau satu perusahaan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh para pesaingnya.20 Beragamnya pelaku usaha perdagangan, perilaku para pelaku usaha yang seringkali tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan, serta penerapan peraturan yang belum dilaksanakan secara maksimal menimbulkan permasalahan di ranah hukum persaingan usaha sehat. Untuk itu, penulis akan meneliti lebih lanjut apakah pengaturan yang dilakukan terhadap para pelaku usaha retail.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi permasalahan adalah: 1. Apakah pengaturan industri retail telah dapat menciptakan persaingan usaha sehat? 2. Bagaimanakah industri retail dalam perspektif persaingan usaha sehat?

19

http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=7&qual=high&submitval=next&fname=%2F jiunkpe%2Fs1%2Feman%2F2006%2Fjiunkpe-ns-s1-2006-31402100-3655-usaha_kecilchapter2.pdf&submit.x=16&submit.y=14 . Akses tanggal 6 Desember 2009 20 Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Bayu Media, Malang, 2007,hlm 15.

9

C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mencari tahu lebih pengaturan industri retail telah dapat menciptakan persaingan usaha sehat. 2. Untuk mengkaji apakah industri retail sesuai dengan aturan Persaingan Usaha Sehat.

D. Tinjauan Pustaka Kata retail berasal dari Bahasa Perancis “retaillier” yang berarti memotong. Secara umum, retail adalah segala usaha yang bermaksud menjual barang atau produk dari produsen kepada konsumen terakhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Dalam praktek perdagangan, seorang “retailer” membeli barang- barang atau produk dalam jumlah tertentu dari para agen atau grosir dan kemudian menjual kembali produk tersebut kepada pengguna atau konsumen akhir.21 Usaha perdagangan retail atau eceran digolongkan dalam usaha kecil karena merupakan kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dilakukan oleh orang-perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud

21

http://www.docstoc.com/docs/13196485/Agen-dan-Retail-Manajemen. November 2009.

Akses

17

10

dalam Undang-Undang ini..22 Adapun beberapa ketentuan mengenai usaha kecil menurut Undang- undang tersebut antara lain memiliki ke kekayaan bersih minimal Rp. 50.000.000, (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) belum termasuk tanah, milik warga Negara Indonesia, dan berdiri sendiri. Tentunya ketentuan mengenai besaran nominal uang turut mengikuti perkembangan perekonomian Negara Indonesia.23 Retail terdiri dari penjualan barang atau barang dagangan dari lokasi yang tetap seperti department store, butik, dan kios, untuk konsumsi para pembeli tanpa memandang apakah pembeli tersebut individu maupun bisnis dengan sistem penjualan yang terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 24 1. Counter service yang merupakan suatu keadaan dimana barang berada di luar jangkauan calon pembeli sehingga barang harus diambil dan diperoleh melalui penjual. Sistem counter service lazim terjadi pada usaha retail yang bergerak di bidang penjualan barang- barang mahal atau berbahaya seperti perhiasan, dan obat-obatan ( apotek ). 2. Self service dimana barang berada di dalam jangkauan calon pembeli sehingga calon pembeli tersebut dapat menentukan barang kebutuhan

22

Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 23 Lihat pasal 6 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 24 http://www.docstoc.com/docs/13196485/Agen-dan-Retail-Manajemen, pada 17 November 2009.

11

mana yang akan dibelinya. Sistem ini lazim terjadi pada toko-toko modern seperti supermarket dan hypermarket. 3. Delivery atau perdagangan adalah suatu sistem dimana para produsen atau distributor membagikan mail-order atau katalog kepada calon pembeli yang nantinya barang akan dikirim kepada pembeli setelah pembeli tersebut melakukan pemesanan dan pembayaran melalui telepon atau sarana elektronik lainnya. 4. Door-to-door-sales, perbedaan dengan sistem delivery atau perdagangan terletak pada penawaran. Apabila dalam delivery atau perdagangan penawaran dilakukan dengan cara membagikan selebaran atau katalog, maka dalam door-to-door-sales, penawaran dilakukan dengan cara para retailer berkeliling langsung dari rumah ke rumah lainnya untuk menawarkan barang. 25 Berdasarkan jenis-jenis barang yang dijual, usaha retail dibedakan menjadi dua, yaitu: 26 1. Jenis usaha variety atau adanya keragaman produk yang ditawarkan, misalkan pada sebuah supermarket yang menjual hampir seluruh kebutuhan baik sandang maupun pangan. 2. Jenis assortment atau berdasarkan susunan produk yang lazim terjadi pada toko elektronik yang menjual kulkas dan televisi dari berbagai merek namun tidak menjual tape dan video.

25

http://www.docstoc.com/docs/13196485/Agen-dan-Retail-Manajemen, loc. cit. http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fna me=/jiunkpe/s1/eman/1997/jiunkpe-ns-s1-1997-31489073-10797-emas-chapter2.pdf, Akses pada 19 November 2009 26

12

Kepemilikan terhadap suatu usaha perdagangan retail dapat berupa usaha yang hanya dimiliki oleh satu orang sebagai pemilik tunggal (proprietorship), usaha yang dimiliki bersama-sama dua orang atau lebih (partnership) dan usaha yang kepemilikannya berupa saham yang dimiliki oleh dua orang atau lebih dan bentuk usaha ini adalah berbadan hukum (corporation).27 Usaha perdagangan retail merupakan usaha perdagangan yang terus tumbuh dan berkembang sehingga perlu diadakan beberapa aturan untuk mencegah adanya persaingan usaha yang tidak sehat antar para pelaku usaha yang notabene bergerak dalam bidang penjualan yang sama. Berbagai

macam

usaha

berdagangan

di

Indonesia

tidak

boleh

menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur praktek monopoli sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.28 Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan yang terjadi antar para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.29

27

Ibid. Lihat Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 29 Lihat pasal 1 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 28

13

Persaingan usaha tidak sehat dan praktek monopoli terbagi menjadi beberapa kegiatan usaha, beberapa diantaranya telah sering terjadi dalam kehidupan perdagangan sehari-hari sehingga dianggap tidak termasuk dalam kegiatan persaingan usaha tidak sehat. Kegiatan usaha tersebut antara lain monopoli, monopsoni, kartel, trust, jual rugi, boikot, persengkokolan, penguasaan pasar, dan pemotongan harga. Setelah memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat dimengerti bahwa mewujudkan persaingan usaha yang sehat antar para pelaku usaha pada umumnya dan pada pelaku usaha retail pada khususnya sangat mutlak diperlukan.

E. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian a. pengaturan industri perdagangan retail b. praktek monopoli dan persaingan usaha sehat 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

14

2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 3) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. 4) Peraturan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum ini diperoleh dari berbagai referensi, seperti hasil penelitian, buku-buku, jurnal ilmiah, website di bidang hukum yang berkaitan dengan fokus penelitian. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum sekunder. 3. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi pustaka, yaitu pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum melalui kepustakaan. 4. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum secara kualitatif, yaitu menerangkan bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan setelah terlebih dahulu diseleksi, disusun secara sistematis kemudian disimpulkan untuk mendapatkan gambaran atas jawaban permasalahan yang dikehendaki yang disajikan secara deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif.

15

F. Kerangka Skripsi Skripsi ini terdiri dari Empat Bab, yaitu: 1. BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, rumusan masalah,tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, kerangka skripsi, dan daftar pustaka (sementara). 2. BAB II Tinjauan Umum tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Pada Sub Bab Pertama dijelaskan mengenai: Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pada Sub Bab Kedua berisi penjelasan mengenai: Tata Cara Penanganan Perkara oleh KPPU Pada Sub Bab Ketiga menguraikan tentang: Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU 3. BAB III

Pengaturan Industri Retail dan penjelasan Industri Retail

Menurut Perpekstif Persaingan Usaha Sehat. 4. BAB IV Penutup, yang didalamnya berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan dan penelitian yang dilakukan, serta saran dari kesimpulan yang telah ada.

16