Kasus-kasus yang menyangkut sengketa dibidang pertanahan dapat dikatakan
.... Pancasila, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 11. 10 Hasil
...
14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kasus-kasus yang menyangkut sengketa dibidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat dalam kompleksitas maupun kuantitas permasalahannya seiring dengan dinamika ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Sebagai gambaran dewasa ini di Indonesia, dengan semakin memburuknya situasi ekonomi yang sangat terasa dampaknya bagi masyarakat kalangan bawah, ditandai dengan hilangnya lapangan pekerjaan dan banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, sehingga berdampak pada sulitnya pemenuhan kebutuhan untuk hidup sehari-hari bagi masyarakat kalangan bawah tersebut. Kasus-kasus pendudukan/penguasaan tanah secara liar oleh masyarakat untuk digunakan sebagai tempat bercocok tanam, berjualan atau mendirikan bangunan tempat tinggal sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah merupakan benda tidak bergerak yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan rawan memunculkan konflik maupun sengketa. Berbagai sengketa pertanahan di Indonesia telah mendatangkan berbagai dampak baik sosial, ekonomi dan lingkungan. Secara ekonomis sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Dalam hal ini dampak lanjutan yang
1
Universitas Sumatera Utara
15
potensial terjadi adalah penurunan produktivitas kerja atau usaha, karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan pikirannya serta meluangkan waktu secara khusus terhadap sengketa sehingga mengurangi curahan hal yang sama terhadap kerja atau usahanya. Dampak sosial dari konflik adalah terjadinya kerenggangan sosial diantara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerjasama diantara mereka. Dalam hal konflik terjadi antar instansi pemerintah, hal ini akan menghambat terjadinya koordinasi kinerja publik yang baik. Dapat juga terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan tata ruang. Di samping itu, selama konflik berlangsung, ruang atas suatu wilayah dan atas tanah yang menjadi objek konflik biasanya berada dalam keadaan status quo, sehingga ruang atas tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan, akibatnya adalah terjadinya penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak.1 Dalam perjalanan panjang kebijakan pembangunan di Indonesia, terutama dalam tigapuluh tahun terakhir, diakui bahwa pengelolaan pertanahan belum memperoleh perhatian yang memadai. Prioritas kebijakan yang diarahkan kepada upaya memacu sektor-sektor pembangunan yang mendorong tingkat pertumbuhan
1
Maria SW Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah, Kompas, Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
16
ekonomi tinggi yang tidak didasari atau diikuti dengan penataan masalah pertanahan, ternyata telah menimbulkan masalah besar dibidang pertanahan.2 Untuk itu sudah saatnya diperlukan adanya pembaharuan dalam sistem perangkat hukum dengan menciptakan suasana hukum yang komprehensif mencakup segala permasalahan yang terkait dengan kepentingan pertanahan. Di samping itu pemerintah seharusnya memiliki keberanian untuk meneliti, meninjau, bahkan bila ternyata dianggap perlu melakukan revisi, untuk selanjutnya diciptakan suatu sistem peraturan pelaksanaan yang padu, karena membiarkan terus situasi ini terpolarisasi dalam corak yang berbeda, sengketa pertanahan masih akan terus berlanjut.3 Tipologi kasus-kasus dibidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi lima kelompok yakni :4 1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan kehutanan dan lain-lain. 2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform. 3. Kasus-kasus
berkenaan
dengan
ekses-ekses
penyediaan
tanah
untuk
pembangunan. 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah 5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
2
Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanahan. Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, hlm. 21. Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hlm. 27. 4 Maria SW. Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, Op.cit, hlm. 2 3
Universitas Sumatera Utara
17
Tipologi sengketa pertanahan yang ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) atau 8 (delapan), dalam pengalaman Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), pola sengketa pertanahan dapat dibagi menjadi 7 (tujuh)5. Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik maupun sengketa. Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa perdata, pada umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan dengan dampak yang sangat luas terhadap kehidupan di masyarakat. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform menunjukkan perlunya peningkatan penegakan hukum dibidang landreform, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Terhadap kasus-kasus penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain, berdasarkan pengalaman, tampaknya penyelesaian yang lebih efektif adalah melalui jalur non pengadilan yang pada umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak.6 Tanah sebagai sumber utama di dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat memberikan kesejahteraan kepada manusia itu sendiri. Oleh sebab itu manusia harus dapat mempergunakan dan memelihara tanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Tanah yang memberikan kesejahteraan bagi manusia, tapi juga sebaliknya dapat membawa malapetaka jika disalahgunakan.7 Dalam tataran teoritis menurut aliran hukum alam, konsep Hak Menguasai Negara (HMN) menempatkan tanah sebagai salah satu objek pemilikan, baik oleh
5
Maria SW. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 109-111. 6 Ibid, hlm. 4. 7 Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-hak Atas Tanah, Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, 2008, hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
18
perseorangan maupun masyarakat8. Dengan demikian negara bukan sebagai pemilik (privat) atas tanah, sebab pemilik atas tanah adalah manusia alami. Sementara itu tanah-tanah tak bertuan atau tanah masyarakat hukum yang diduduki oleh warga masyarakat menjadi bagian dari sifat keteraturan pola kepemilikan tanah individual.9 Di
Deli
Serdang,
kasus-kasus
sengketa
pertanahan
sering
terjadi
di masyarakat yang mengakibatkan timbulnya konflik dalam masyarakat tersebut. Kasus sengketa tanah yang pernah terjadi di masyarakat Kabupaten Deli Serdang diantaranya adalah masalah sengketa tanah seluas 135 hektar antara masyarakat Desa Cimahi, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang melawan PT. Karya Harea Indonesia dalam tipologi sengketa tentang ganti rugi yang tidak layak yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap tanah garapan masyarakat yang diambil secara paksa.10 Sengketa lain masalah tanah yang pernah terjadi di Kabupaten Deli Serdang adalah sengketa tanah antara masyarakat Desa pergulaan, Kecamataan Sei Rampah, Kabupaten Deli Serdang atas tanah seluas 165,6 Ha yang dikuasai oleh
PT. Perkebunan Persero Lonsum Indonesia Kebun Rambung berdasarkan sertifikat HGU Nomor 2/Pergulaan. Masyarakat Desa Pergulaan menuntut pengembalian tanah tersebut kepada mereka karena PT. Perkebunan Persero Lonsum mengambil secara
8
H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Milik Kepentingan Umum, Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hlm. 13. 9 Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Hubungan Manusia dengan Tanah Berdasarkan Pancasila, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 11. 10 Hasil Penelitian USU dan BPN, Tahun 2002.
Universitas Sumatera Utara
19
paksa tanah garapan tersebut dengan hanya memberikan ganti rugi atas tanaman yang ada, tanpa memperhitungkan nilai tanahnya.11 Dari contoh kasus sengketa tanah yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa pada umumnya dasar penyebab utama dari adanya sengketa tanah
di Kabupaten Deli Serdang lebih menonjol pada aspek ekonomi, politik. Oleh karena itu upaya-upaya penyelesaiannya pun haruslah mempertimbangkan pada faktor-faktor ekonomi politik. Apabila upaya penyelesaian yang ditempuh tidak sesuai (bertentangan) dengan alur permasalahan yang dihadapi, maka dikhawatirkan akan timbul konflik yang berkepanjangan dalam penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi
di Kabupaten Deli Serdang tersebut.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apakah yang paling dominan menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang ? 2. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Deli Serdang dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di daerahnya ? 3. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan Deli Serdang dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di daerahnya ?
11
Ibid, hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
20
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang paling dominan yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. 2. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di daerahnya. 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi kantor pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam upaya penyelesaian sengketa pertanahan di daerahnya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum pertanahan, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum bidang pertanahan pada khususnya yaitu mengenai sengketa pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang.
Universitas Sumatera Utara
21
2. Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan masalah sengketa pertanahan, aparat penegak hukum yang berwenang secara hukum dalam menangani masalah sengketa pertanahan yang terjadi secara umum di seluruh wilayah Indonesia, maupun secara khusus di wilayah Kabupaten Deli Serdang.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara penelitian mengenai Penyelesaian Sengketa Pertanahan Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli, dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.12
12
JJJ. Wisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996, hlm. 203.
Universitas Sumatera Utara
22
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, dan bersifat deskriptif analisis yang berusaha memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan, upaya-upaya yang dilakukan dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam upaya menyelesaikan sengketa pertanahan di daerahnya tersebut secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan dan sengketa pertanahan, prosedur hukum yang ditempuh dalam upaya menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut13. Penelitian lapangan tersebut akan berusaha mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini dengan cara mewawancarai pihak yang berwenang pada Kantor Pertanahan Deli Serdang, yang dalam penelitian ini mempunyai kapasitas sebagai informasi dan narasumber. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari pada penulis, ilmuilmu hukum dibidang Agraria dan hukum pertanahan serta hukum keperdataan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini14. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian dan keadilan hukum. Kepastian dan keadilan hukum sebagai landasan yuridis penyelesaian sengketa pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam upaya memberikan kepastian 13
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 17. 14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
23
hukum dan keadilan bagi masyarakat yang menghadapi permasalahan sengketa pertanahan di Kabupaten Deli Serdang15 Dasar penyebab utama dari adanya sengketa pertanahan dapat ditelusuri dari akar-akar ekonomi politik. Jadi pendapat mereka terhadap sengketa merupakan suatu perspektif yang lebih sebagai faktor yang menekankan pada aspek-aspek ekonomi, politik yang menonjol ketimbang aspekaspek lainnya. Dengan kata lain sengketa disini dilihat sebagai masalah ekonomi politik,
dan
oleh
karena
itu
upaya-upaya
penyelesaian
pun
haruslah
mempertimbangkan pada faktor-faktor ekonomi politik.16 Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini, dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Hukum adat yang dimaksud dalam Pasal 5 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 di atas bukanlah hukum adat yang dikenal sebagaimana adanya selama ini, tapi adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifat khusus daerahnya dan diberi sifat nasional. Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional
15
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan (Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah), Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2003, hlm. 23. 16 Hadi Mulyo, Mempertimbangkan ADR, Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan, ELSAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 1997, hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
24
menyebutkan : “Hukum adat diartikan Hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam
bentuk
perundang-undangan
Republik
Indonesia,
yang
disana-sini
mengandung unsur agama.17 Boedi Harsono mengemukakan bahwa Bangsa Indonesia untuk pertama kalinya mempunyai dasar perundang-undangan yang disusun sebagai perwujudan daripada Pancasila berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu UUPA. Selanjutnya R. Subekti mengatakan, UUPA merupakan sistem hukum kita sendiri yang berpedoman kepada falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945, serta dengan tegas membuang jauh-jauh hukum tanah Belanda yang tercerai berai dan menjadikan hukum tanah yang seragam.18 UUPA sebagai induk daripada Hukum Pertanahan di Indonesia menyebutkan bahwa Hukum Pertanahan Nasional berdasarkan atas Hukum Adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Menyimak konsideran UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis. Dan selama Hukum Adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh, serta menunjukkan adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional itu. Hal ini menimbulkan
17
BPHN, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Jakarta, 1976,
hlm. 250. 18
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 132.
Universitas Sumatera Utara
25
pertanyaan akademis maupun praktis, oleh karena dengan berlakunya hukum adat disamping UUPA memberi kesan masih adanya sifat dualisme dalam masalah agraria ini. Menurut Mochtar Koesoematmadja, ketika menjadi Menteri Kehakiman mengemukakan bahwa mengenai kedudukan hukum adat dalam suasana UUPA adalah hukum adat yang telah diterima menjadi hukum nasional, dan ketentuan Pasal 5 UUPA sendiri tidak memberikan kejelasan mengenai pengertian hukum adat yang dikukuhkan berlakunya menurut UUPA. Kemudian, AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum
di Indonesia akan lebih berhasil jika kita mampu memahami jiwa hukum adat yang akan dikembangkan di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat di dalam UUPA, apalagi penempatan itu di dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari azas-azas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat yang sebenarnya. Menurut Budi Harsono hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional. Sehingga dalam hubungannya dengan prinsip persatuan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya
Universitas Sumatera Utara
26
mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :19 a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambat pembangunan. b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat menghambat pembangunan negara. Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam point a di atas, tetap berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II, VI, dan VIII. Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam point b tidak diberlakukan lagi (tidak diadatkan)20. Selanjutnya, Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan normanorma Hukum Adat sebagai pelengkap dari hukum tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA, bahkan pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peratuan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.21 Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA, adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan
19
Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 197 Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hlm. 48-49 21 Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 209 20
Universitas Sumatera Utara
27
kekeluargaan,
yang
berasaskan
keseimbangan
serta
diliputi
oleh
suasana
keagamaan.22 Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum Tanah Nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.23 Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam konsideran UUPA yang menyebutkan : “…..perlu adanya hukum agraria nasional, yang….tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama” : “….harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Pasal 5 UUPA yang menyebutkan : ”…..dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Dengan demikian, dalam rangka pembangunan Hukum Tanah Nasional, Hukum Adat merupakan sumber bahan utama untuk memperoleh bahan-bahannya, berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat.
22 23
Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 179. Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 182.
Universitas Sumatera Utara
28
Artinya, Hukum Tanah Nasional dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan hukum adat, yang dituangkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis (Hukum Tanah Nasional positif yang tertulis)24, serta memperhatikan hukum agama. Namun meskipun Hukum Adat merupakan sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional, tidak tertutup kemungkinan mengadakan lembaga-lembaga baru yang belum dikenal dalam hukum adat (seperti dari lembaga-lembaga hukum asing25) guna pengembangan Hukum Tanah Nasional, dengan syarat lembagalembaga baru itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsep dasar pengelolaan kehidupan nasional. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional, antara lain asas religiusitas26, asas kebangsaan27, asas demokrasi28, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial29, asas pemeliharaan tanah secara berencana30, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.31 Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum selanjutnya. Namun demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu memperhatikan faktor24
Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 202. Contohnya, mengenai lembaga pendaftaran tanah, Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang lembaga-lembaga ini tidak dikenal dalam Hukum Adat, dan saat ini juga mulai berkembang hak penguasaan baru, yaitu Hak Guna Ruang Bawah Tanah. 26 Pasal 1 UUPA 27 Pasal 1, 2 dan 9 UUPA 28 Pasal 9 UUPA 29 Pasal 6, 7, 10, 11 dan 13 UUPA 30 Pasal 14 dan 15 UUPA 31 Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 203 25
Universitas Sumatera Utara
29
faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan menyimpang dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenaran. Selanjutnya, sistem (tata susunan) hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, dimulai dengan : 1. Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Semua hak-hak atas tanah, secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa
32
. Hak bangsa ini bersifat abadi, artinya hubungannya akan
berlangsung terus-menerus tiada terputus-putus untuk selama-lamanya. Dan selanjutnya, tidak ada sejengkal tanahpun di Indonesia yang res nullius (tidak bertuan), hak bangsa meliputi semua tanah di bumi Indonesia. 2. Hak menguasai dari negara, yang bersumber dari hak bangsa, yang hanya beraspek hukum publik semata. Pelaksanaan dari hak menguasai dari negara ini, kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain (pihak ketiga) dalam bentuk hak pengelolaan. Kewenangan hak menguasai dari negara, diatur secara terperinci dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu berupa kegiatan : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
32
Pasal 1, 2 ayat (1) UUPA, dan Penjelasan Umum
Universitas Sumatera Utara
30
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak menguasai dari negara tidak akan hapus, selama negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 3. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada 33. 4. Hak-hak penguasaan individual, terdiri atas : a. Hak-hak atas tanah 34, meliputi : Primer
: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai yang diberikan oleh negara35.
Sekunder
: Hak guna bangunan dan hak pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa dan lain-lain36.
b. Hak wakaf
37
, hak individual yang berasal dari hak milik yang sudah
diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam hukum tanah nasional. c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan hak tanggungan38.
33
Pasal 3 UUPA Pasal 4 UUPA 35 Pasal 16 UUPA 36 Pasal 37, 41 dan 53 UUPA 37 Pasal 49 UUPA 38 Pasal 23, 33, 39, 51 UUPA dan UU No. 4/1996. 34
Universitas Sumatera Utara
31
Dalam lingkup hak bangsa, para warga negara mempunyai hak bersama untuk menguasai tanah dan menggunakannya, serta dimungkinkannya para warga untuk menguasai dan menggunakannya secara individual dengan hak-hak yang bersifat pribadi, artinya bahwa tanah tersebut tidak harus dikuasai dan digunakan secara bersama-sama dengan orang lain. Sifat pribadi hak-hak individual menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanahnya bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.39 Hak-hak individual yang bersifat pribadi tersebut, dalam konsepsinya mengandung unsur kebersamaan, karena semua hak pribadi secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bersama. Hak-hak primer (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) langsung bersumber dari hak bangsa, melalui pemberian oleh negara sebagai petugas bangsa. Hak-hak yang lain seperti hak sewa, hak bagi hasil dan lain-lainnya merupakan hak-hak sekunder yang bersumber pada hak bangsa secara tidak langsung, melalui pemegang hak primer.40 Adanya unsur kebersamaan dalam hak individual41 ini sesuai dengan alam pikiran asli orang Indonesia yang menegaskan bahwa manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus mahluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. 39
Pasal 9 UUPA berikut penjelasannya. Boedi Harsono, Tinjauan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang dan Masa Akan Datang, Makalah, Seminar Nasional Pertanahan dalam rangka HUT UUPA ke XXXII, Yogyakarta, 1992, hlm. 15. 41 Pasal 6 UUPA, yang menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 40
Universitas Sumatera Utara
32
Perintah untuk mengadakan perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah (Pasal 14 UUPA), meletakkan kewajiban kepada mereka yang mempunyai tanah untuk menggunakan tanah yang dihaki-nya (Pasal 10 UUPA), kewajiban untuk memelihara, menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA), larangan pemilikan dan penguasaan tanah yang berlebihan (pasal 7 dan 17 UUPA), serta kebijakan dan ketentuan yang digariskan dalam Pasal 11, 12 dan 13 UUPA, merupakan penjabaran sifat fungsi sosial yang menunjukkan adanya unsur kebersamaan. Dengan demikian, filosofis pemberian hak atas tanah kepada seseorang ataupun badan hukum didasarkan pada diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya yang nyata, serta adanya kewajiban untuk menggunakannya. Ini berarti, tanah bukan merupakan komoditi perdagangan, walaupun dimungkinkan untuk dijual kepada pihak lain jika ada keperluan. Tanah tidak bisa dijadikan obyek investasi semata-mata, lebih-lebih dijadikan obyek spekulasi42. Selanjutnya, asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum tanah nasional terhadap para pemegang hak atas tanah43, adalah : 2. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional;
42 43
Boedi Harsono, Op.ci, hlm. 16 Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 329-330
Universitas Sumatera Utara
33
3. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal), tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU 51 Prp 1960) 4. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya 5. Hukum menyediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada : a. Gangguan oleh sesama anggota masyarakat; gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya (UU 51 Prp 1960) b. Gangguan oleh penguasa : gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara 6. Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang menjadi hak seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya. 7. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak manapun kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan
Universitas Sumatera Utara
34
lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri (seperti yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata). 8. Dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah yang lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara pencabutan hak, yang diatur dalam UU 20/1961. 9. Dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, melainkan juga kerugiankerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan. 10. Bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya. Penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi pada umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Penyelesaian diluar jalur litigasi (pengadilan) yaitu dengan menggunakan cara musyawarah mufakat (perundingan) antara para pihak yang bersengketa dalam memperebutkan lahan tersebut. Penyelesaian dengan cara musyawarah mufakat
Universitas Sumatera Utara
35
tersebut menggunakan jalur mediator sebagai penengah dalam sengketa tersebut. Mediator yang digunakan pada umumnya adalah aparat pemerintah kabupaten yang berkompeten terhadap masalah sengketa pertanahan tersebut. Aparat pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah unsur pejabat di Kantor Bupati Deli Serdang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan permasalahan sengketa pertanahan tersebut diatas, disamping unsur pejabat di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Jalur
musyawarah
mufakat
tersebut
berusaha
untuk
mencari
titik
temu/kesepakatan dari para pihak yang bersengketa terhadap substansi permasalahan yang disengketakan, dan kemudian dicari solusi terbaik untuk memperoleh keputusan
yang sama-sama memuaskan para pihak
yang
bersengketa. Apabila terjadi kesepakatan dalam perundingan tersebut, maka sengketa pertanahan tersebut tidak harus diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) yang pada prinsipnya akan lebih banyak mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang cukup besar. 2. Penyelesaian melalui jalur litigasi (pengadilan) Bila dalam perundingan antara pihak yang bersengketa dalam memperebutkan lahan pertanahan tersebut tidak menghasilkan suatu kesepakatan bagi kedua belah pihak, maka pada umumnya para pihak akan menempuh jalur litigasi (pengadilan) untuk mencari penyelesaian. Dengan ditempuhnya jalur litigasi tersebut, maka para pihak telah sepakat untuk menempuh penyelesaian sengketa tersebut dengan menyerahkan permasalahan tersebut kepada jalur pengadilan dengan segala konsekwensi yang akan diterima kedua belah pihak melalui suatu keputusan pengadilan. Apabila jalur penyelesaian sengketa tersebut telah ditempuh melalui
Universitas Sumatera Utara
36
lembaga pengadilan, itu berarti jalur musyawarah dan mufakat yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa dengan mediator aparat pemerintah kabupaten yang terkait telah gagal dalam mendamaikan/menyelesaikan sengketa yang terjadi. 2. Konsepsi Konsepsi adalah satu tahapan terpenting dari teori. Peraturan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai sarana untuk mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai penelitian (observasi) masalah yang akan diteliti44. Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut definisi operasional45 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.46 Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Kajian hukum adalah suatu proses penelitian, penelaahan, penyajian secara lebih mendalam secara hukum mengenai permasalahan sengketa pertanahan yang terjadi pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, yang meliputi faktor-faktor 44
John W. Creswell, Research Design, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Ahli Bahasa Angkatan III dan IV Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) UI Bekerjasama dengan Nur Khabibah, Kata Pengantar Parsudi Suparlan, KIK Press, Jakarta, 1994, hlm. 79. 45 Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 28. 46 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
37
penyebab terjadinya sengketa pertanahan tersebut upaya-upaya menyelesaikan sengketa pertanahan yang terjadi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan sengketa tersebut oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang.47 Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembagalembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.48 Sengketa pertanahan adalah suatu perselisihan memperebutkan hak atas tanah antar individu/kelompok atau badan hukum karena adanya pengaduan/keberatan dari individu/kelompok atau badan hukum tersebut yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara dibidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara dilingkungan Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, dimana keputusan pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu.49 Kantor pertanahan adalah kantor yang bertugas mengurus administrasi bidang pertanahan di Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten Deli Serdang adalah suatu daerah tingkat II yang berada di wilayah Propinsi Sumatera Utara.
47
Lili Rasyidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
48
Boedi Harsono, Op. Cit, hlm 1. Ali Achmad Chomzah, Op.cit, hlm. 29
hlm. 46. 49
Universitas Sumatera Utara
38
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Metode Pendekatan Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.50 Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif) dan penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berasal dari premis umum yang kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Penelitian ini juga berupaya untuk menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa masalah sengketa pertanahan yang terjadi pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, yang meliputi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan, upaya-upaya menyelesaikan sengketa pertanahan itu dan juga hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam upaya menyelesaikan masalah sengketa pertanahan di daerahnya.
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, dimana penelitian ini akan mengkhususkan pembahasannya pada penelitian masalah 50
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997,
hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
39
sengketa pertanahan di Kabupaten Deli Serdang yang datanya ada pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang tersebut. Penelitian ini juga akan membahas masalah cara-cara penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang oleh aparat pemerintah di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang agar sengketa pertanahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
3. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, dengan menggunakan bahan kepustakaan dan melakukan identifikasi dan kualifikasi perkara yang menyangkut sengketa pertanahan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Kemudian dengan cara wawancara dengan pihak yang memberikan data sehubungan dengan masalah sengketa pertanahan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang yang dalam hal ini adalah Staff Seksi masalah sengketa tanah Muhammad Ridwan dan Staff seksi masalah perkara bidang pertanahan Muhammad Irsan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, para pihak yang berperkara dalam sengketa pertanahan yang kesemuanya ini adalah sebagai informan dalam penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan dengan penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data dengan menelaah bahan kepustakaan yang meliputi :
Universitas Sumatera Utara
40
a. Bahan hukum primer yaitu Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Sebagai induk dari hukum pertanahan di Indonesia, peraturan perundangundangan lainnya yang terkait dengan masalah hukum pertanahan, khususnya dalam hal sengketa pertanahan. b. Bahan hukum sekunder seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan yang dapat berupa wawancara dengan pejabat terkait yang berwenang menangani masalah sengketa pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, para pihak yang mengalami sengketa pertanahan di Kabupaten Deli Serdang, yang dalam penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informasi dan narasumber.
5. Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis data secara kualitatif, yaitu dengan cara meneliti permasalahan sengketa pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang yang meliputi faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan, upaya-upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan dan hambatan-hambatan yang dialami dalam menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut, dalam hal ini oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, kemudian analisis ini dipaparkan secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Dipilihnya analisis secara
Universitas Sumatera Utara
41
deduktif adalah agar gejala-gejala normatif yang diperhatikan dapat dianalisis dari berbagai aspek secara lebih mendalam dan integral antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara