disejajarkan dengan karya ilmiah, seperti contoh berikut: 1. Sorake, Surga
Selancar di Sudut Pulau Nias, Firman Suci Ananda, Waspada online, 2009. 2.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Penelitian mengenai pariwisata di Kepulauan Nias masih sedikit. Kebanyakan tulisan mengenai pariwisata Nias hanya berupa artikel sehingga sulit disejajarkan dengan karya ilmiah, seperti contoh berikut: 1. Sorake, Surga Selancar di Sudut Pulau Nias, Firman Suci Ananda, Waspada online, 2009. 2. Ketika Pariwisata Nias Terbenam, http://matanews.com, 2010. 3. Pariwisata Nias: Peluang, Ilusi atau Petaka?, Firman Harefa, Niaspost, 2009. 4. Kajian Prioritas Penyediaan Komponen Wisata bagi Pengembangan Pariwisata di Pulau Nias; Tuhoni Zega, Semarang, 2002. Sebagian besar tulisan tersebut di atas hanya bersifat deskriptif dan belum dianalisis secara ilmiah. Hanya tulisan Tuhoni Zega yang bersifat ilmiah dan dianalisis dengan pendekatan Delphi. Penelitian oleh Zega (2002) yang berjudul Kajian Prioritas Penyediaan Komponen Wisata bagi Pengembangan Pariwisata di Pulau Nias, terfokus pada sasaran mengidentifikasi prioritas penyediaan komponen wisata melalui metode analisis delphi dan menentukan prioritas pengembangan komponen wisata berdasarkan asumsi para pakar terhadap kondisi perkembangan pariwisata, jumlah
14
15
kunjungan wisatawan di Pulau Nias dan tinjauan keruangan melalui alat analisis deskripsi kualitatif. Penelitian tersebut hanya dapat menambah referensi mengenai informasi pariwisata Nias pada umumnya. Sangat berbeda dengan penelitian ini yang terfokus pada komodifikasi atraksi hombo batu sebagai daya tarik wisata di Desa Bawőmataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Terdapat beberapa buku yang berkaitan dengan kebudayaan Nias dan dibahas juga mengenai kebudayaan Nias Selatan, antara lain: 1. Nilai Budaya Nias Selatan: Sumane Ba Böwö Ni’orisi yang ditulis oleh Bamböwö Laiya pada tahun 2006 dan diterbitkan oleh Badan Musyawarah dan Pergerakan Masyarakat Adat Nias (Yayasan Bamper Madani), Teluk Dalam, Nias Selatan. Buku ini yang berisi 94 halaman ini, membahas mengenai dua jenis nilai budaya Nias Selatan yakni Sumane dan Böwö Ni’orisi. Makna dari Sumane adalah penghargaan terhadap sesuatu atau kepada seseorang yang patut dan layak memperoleh penghormatan atau penghargaan. Sedangkan Böwö Ni’orisi diartikan sebagai pesan atau titah leluhur mengenai pola atau pedoman atau tata krama dan budi pekerti yang baik (Laiya, 2006: 2). 2. Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, ditulis oleh Ketut Wiradnyana dan diterbitkan pada tahun 2010 oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Buku setebal 239 halaman ini, membahas tentang kebudayaan Nias baik di daerah utara maupun selatan yang secara budaya dan adat istiadat memiliki perbedaan, seperti logat bahasa, rumah adat, tata cara perkawinan, dan beberapa perbedaan lainnya, ditinjau dari arkeologi dan antropologi.
16
3. Tipologi Arsitektur Rumah Adat Nias Selatan & Rumah Adat Nias Utara, ditulis oleh Bhakti Alamsyah dan Julaihi Wahid, diterbitkan pada tahun 2012 oleh Graha Ilmu, Yogyakarta. Buku ini yang terdiri dari 118 halaman ini, membahas tentang perbedaan arsitektur rumah adat dan pola perkampungan tradisional yang terdapat di Nias Selatan dengan yang ada di Nias Utara. Ketiga buku tersebut di atas memiliki topik yang berbeda dengan penelitian ini. Laiya membahas tentang Nias Selatan dari segi norma, tradisi dan adat istiadat, Wiradnyana dari sudut Arkeolog dan Antropologi dan Alamsyah, et.al. dari sisi arsitektur. Sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang komodifikasi hombo batu sebagai daya tarik wisata di Nias Selatan. Pembahasan yang berkaitan dengan kajian bentuk, fungsi dan makna suatu seni budaya diangkat oleh Arnailis (2004) dalam bentuk Tesis yang berjudul Kesenian Ilau di Nagari Salayo Sumatera Barat Suatu Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna. Arnailis mengambil objek penelitian di Jorong Galanggang Tangah Kanagarian Salayo Kabupaten Solok. Pada kajiannya, Arnailis menggunakan pendekatan kualitatif dengan menelaah bentuk estetika pertunjukan kesenian ilau, fungsi dari pertunjukan tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya pada masyarakat Salayo di masa sekarang. Sebayang (2010) mengangkat topik mengenai Komodifikasi Sigale-gale Sebagai Atraksi Wisata di Desa Simanindo, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan komodifikasi Sigale-gale,
proses komodifikasi Sigale-gale dan dampak yang
17
ditimbulkan terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat merupakan tujuan dari penelitian Sebayang. Dua penelitian tersebut di atas jelas memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaan pertama terletak pada daerah penelitian. Meskipun Provinsi daerah penelitian Sebayang sama dengan Provinsi dalam penelitian ini yakni Sumatera Utara, namun objek penelitiannya sangat berbeda jauh yakni Sigale-gale di Samosir dengan Hombo batu di Nias Selatan. Sedangkan daerah penelitian Arnailis adalah di Nagari Salayo, Sumatera Barat dengan objek penelitian mengenai Kesenian Ilau. Perbedaan kedua adalah topik yang dikaji atau diteliti. Sebayang hanya terfokus pada Komodifikasi Sigale-gale sebagai atraksi wisata di Desa Simanindo, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Dijelaskan bahwa komodifikasi Sigale-gale dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal yang didasari perkembangan kemampuan intelektual dan kreativitas serta keterampilan para praktisi Sigale-gale. Faktor eksternal merupakan hal lainnya dimana perkembangan religi masyarakat Batak yang mayoritas beragama Kristen, permintaan konsumen (wisatawan) dan perkembangan pariwisata serta kondisi ekonomi. Sisi kajian budaya dalam bentuk, fungsi dan makna lebih ditonjolkan oleh Arnailis dalam penelitiannya mengenai Kesenian Ilau di Nagari Salayo, Sumatera Barat. Pada hasil penelitiannya, Arnailis melaporkan bahwa dari sisi fungsi, kesenian Ilau mengalami perubahan yang semula berfungsi untuk ritual namun sekarang justru mengalami perubahan menjadi fungsi hiburan, fungsi identitas
18
etnis, fungsi estetis dan simbolis, fungsi penyelamat budaya, fungsi pendidikan dan fungsi ekonomi. Dari segi makna, kesenian Ilau sudah mengalami perubahan dari makna keseimbangan dunia dan akhirat, dewasa ini berubah menjadi makna penentu jati diri, makna estetis dan simbolis, makna perubahan budaya, makna keseimbangan, serta makna apresiatif dan reflektif. Perbedaan topik dengan kedua penelitian di atas adalah dalam penelitian ini selain mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya komodifikasi pertunjukan hombo batu sehingga menjadi sebuah daya tarik wisata di desa Bawőmataluo, juga mencari tahu penyebab pergeseran bentuk, fungsi dan makna atraksi hombo batu di desa Bawőmataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Komponenkomponen pariwisata yang saling terkait dan saling mendukung di Nias Selatan pada umumnya apakah telah memadai demi mengoptimalkan manfaat dari komodifikasi atraksi hombo batu serta pengaruh dari komodifikasi atraksi hombo batu bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat setempat dikaji dalam penelitian ini. . 2.2 Deskripsi Konsep Konsep yang dinggap penting dan relevan dengan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian dipaparkan dalam beberapa istilah berikut ini: 2.2.1 Konsep Pariwisata dan Destinasi Pariwisata Menurut Lundberg (dalam Kusmayadi et al, 2000:4), pariwisata adalah konsep umum yang sejarahnya kembali ke masa yang lampau (tahun 1811), atau sebelumnya, dan definisinya terus berubah. Istilah tourism atau kepariwisataan mencakup orang-orang yang melakukan perjalanan pergi dari rumahnya, dan
19
perusahaan-perusahaan yang melayani mereka dengan cara memperlancar atau mempermudah perjalanan mereka, atau membuatnya lebih menyenangkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagai suatu konsep, pariwisata dapat dilihat sebagai suatu kegiatan melakukan perjalanan dari rumah dengan maksud tidak melakukan usaha atau bersantai. Pariwisata juga dapat dilihat sebagai suatu bisnis, yang berhubungan dengan penyediaan barang dan jasa bagi wisatawan dan menyangkut setiap pengeluaran oleh atau untuk wisatawan/pengunjung dalam perjalanannya. (Kusmayadi, 2000: 4). Konsep Pariwisata dan Destinasi Pariwisata dalam Undang-Undang Kepariwisataan R.I. No. 10/2009 yang dihimpun oleh Tunggal (2009), dijelaskan demikian: “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.” (Hal. 2, Bab I, Pasal 1 Butir 3). “Daerah tujuan wisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.” (Hal. 3, butir 6). Menurut
UNWTO
(World
Tourism
Organization)
dan
IUOTO
(International Union of Office Travel Organization), yang dimaksud dengan Wisatawan adalah setiap pengunjung yang tinggal paling sedikit 24 jam, akan tetapi tidak lebih dari enam bulan di tempat yang dikunjunginya dengan maksud kunjungan antara lain: 1. Berlibur, rekreasi, dan olah raga.
20
2. Bisnis, mengunjungi teman dan keluarga, misi, menghadiri pertemuan, konferensi, kunjungan dengan alasan kesehatan, belajar, atau kegiatan keagamaan. Dalam buku Pengantar Ilmu Pariwisata, Pitana & Diarta memaparkan bahwa destinasi merupakan suatu tempat yang dikunjungi dengan waktu yang signifikan selama perjalanan seseorang dibandingkan dengan tempat lain yang dilalui selama perjalanan (misalnya daerah transit). Definisi destinasi pariwisata ini lebih jauh dijelaskan oleh Ricardson dan Fluker (dalam Pitana dan Diarta, 2009: 126), sebagai: “A significant place visited on a trip, with some form of actual or perceived boundary. The basic geographic unit for the production of tourism statistics”. 2.2.2 Konsep Pariwisata Budaya Seperti telah disinggung pada latar belakang masalah bahwa salah satu tipologi pariwisata adalah Cultural Tourism atau Pariwisata Budaya. Definisi Pariwisata Budaya diidentifikasi oleh Bonink (dalam Richards, 1997: 22) lewat dua pendekatan dasar. Pertama, pendekatan pada ‘situs dan monumen’ yang terpusat pada pendeskripsian tipe daya tarik yang dikunjungi oleh cultural tourists dan jelas berhubungan dengan produk yang berbasis budaya. European Centre for Traditional and Regional Cultures (ECTARC, 1989) yang dituangkan kembali oleh Richards dalam bukunya Cultural Tourism in Europe (1997) menyebutkan delapan tipe situs atau atraksi yang dapat digolongkan sebagai daya tarik cultural tourists, seperti kutipan berikut ini: “A typical list of the types of sites or attractions which are considered to attract cultural tourists is provided by ECTARC (1989):
21
1) archeological sites and museums (situs-situs arkeologi dan museum) 2) architecture: ruins, famous buildings, whole towns (arsitektur) 3) art, sculpture, crafts, galleries, festivals, events (seni, pahatan, kerajinan, gedung kesenian, berbagai festival dan perlombaan). 4) music, and dance: classical, folk, contemporary (musik dan tari-tarian) 5) drama: theatre, films, dramatists (drama) 6) language and literatures study, tours, events (bahasa dan studi literatur, perjalanan, berbagai kejadian). 7) religious festivals, pilgrimages (berbagai perayaan keagamaan, ziarah) 8) complete (folk or primitive) cultures and sub-cultures.” Pendekatan
kedua,
mengutamakan
pada
pendekatan
konseptual.
Sebagaimana definisi pariwisata pada umumnya, definisi konseptual pariwisata budaya mencoba mendesripsikan makna dan motif yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata budaya. ATLAS mendefinisikan pariwisata budaya secara konseptual sebagai “The movement of persons to cultural attractions away from their normal place of residence, with the intention to gather new information and experiences to satisfy their cultural needs”. (Richards , 2003). Gunn (1995) dalam jurnalnya yang berjudul “Cultural Tourism Planning” mengemukakan 5 (lima) komponen pariwisata yang harus dikembangkan oleh pihak tuan rumah selaku the supply side of tourism, antara lain: (a) Daya tarik wisata/attractions; (b) Transportasi; (c) Pelayanan/service; (d) Informasi; (e) Promosi. Dijelaskan bahwa, kelima komponen tersebut merupakan bagian-bagian yang terintegrasi dalam sebuah fungsi sistem pariwisata secara menyeluruh. Gunn menegaskan, “The point is that all are interdependent.” Semua komponen tersebut saling ketergantungan, saling mempengaruhi satu sama lain. Mengutip pernyataan Gunn di bawah ini, menjelaskan bahwa setiap perubahan suatu komponen, akan mempengaruhi komponen lainnya.
22
“No matter what your role may be in tourism, you are dependent as much on others as yourself for your success. Any change in any other component influences you. Your establishment, in turn, influences all other components. This fact suggests that much greater cooperation among all actors within tourism is essential.” (Gunn, 1995: 5). 2.2.3 Konsep Komodifikasi Menurut Piliang (2003: 18), Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi. Komoditi sendiri diartikan oleh Piliang sebagai segala sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan. Istilah ini semakin populer di berbagai lini kehidupan dewasa ini, termasuk kebudayaan asli pribumi (aboriginal/indigenous) di berbagai Negara atau suku tertentu di belahan bumi ini di mana cara hidup tradisional mereka yang unik, kebudayaan dan ritual mereka “disulap” menjadi sesuatu yang dapat dipertukarkan dengan uang untuk memperoleh keuntungan. 1 Kegiatan yang berbau ekonomi ini dengan perpaduan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat (pribumi) biasa disebut sebagai cultural tourism atau pariwisata budaya. Semakin besar peranan pariwisata dalam ekonomi global membuat setiap daerah di berbagai belahan dunia mencari peluang baru untuk memaksimalkan potensi daerahnya agar dapat saleable dalam industri pariwisata termasuk potensi komodifikasi cultural. Pang dan Roos (2008) dalam jurnal mereka yang berjudul Commodification Of Cultural Diversity: Case study Chinatown, Antwerp and Ghanesh Festival menyimpulkan bahwa komodifikasi budaya tidak terjadi karena proses alami tetapi 1
Beberapa studi kasus dapat dilihat dalam buku Chris Ryan dan Michelle Aicken yang berjudul: INDIGENOUS TOURISM: The Commodification and Management of Culture.
23
akibat dari kondisi dan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Bahkan mereka menambahkan bahwa peranan dan dukungan pemerintah setempat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan seperti festival atau atraksi budaya, seperti pernyataan mereka, “Important role of the local government: support for development of ethnic precinct and cultural/ethnic festivals as part of the local policy of fostering social cohesion.” Dalam era globalisasi yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi semakin menggeser nilai esensial suatu budaya seperti yang diungkapkan oleh Baudrillard (1988)2. Hal senada dikemukakan oleh Crook et al (dalam Barker, 2004:111), bahwa dalam suatu proses pascamodernisasi (hiperkomodifikasi dan hiperdiferensiasi), seluruh ranah kehidupan dipenetrasi oleh komodifikasi. Berangkat dari pemikiran-pemikiran ini, Barker mengartikan komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas dan tanda dijadikan sebagai komoditas, di mana komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar. (Barker, 2004: 408). 2.2.4 Konsep Hombobatu Sebagai Daya Tarik Wisata Hombo batu merupakan dua suku kata dalam bahasa Nias, khususnya dialek Nias Selatan. Kata hombo sendiri tidak memiliki makna apa-apa atau tidak dapat berdiri sendiri bila tidak terdapat kata imbuhan atau suatu kata yang mengikutinya. Sama halnya kata ‘layang’ dalam bahasa Indonesia yang sulit diartikan bila tidak terdapat kata imbuhan seperti ’melayang’ yang berarti terbang dengan 2
sayap
tidak
bergerak
atau
terbang
karena
dihembus
angin.
Pemikiran Baudrillard ini terdapat dalam tulisan Barker dalam buku Cultural Studies: Teori dan Praktik, 2004, hal. 111.
24
(http://kbbi.web.id/layang). Menurut penulis kamus Li Niha, Apollo Lase3, hombo merupakan kata dasar dari mohombo yang artinya terbang. Lase menjelaskan bahwa beberapa kata dalam bahasa Nias memang tak bisa sebangun dengan bahasa Indonesia. Li Niha (bahasa Nias) selalu atau hampir semua ditandai dengan awalan ‘mo-’. Misalnya, mofanö yang berarti ‘pergi’ berasal dari kata fanö. Kata fanö tidak memiliki arti dalam bahasa Nias. Demikian juga kata hombo sulit diartikan bila tidak terdapat imbuhan atau terdapat kata yang mengikutinya. Sedangkan batu merupakan dialek Nias Selatan dari kata kara dalam bahasa Nias Tengah dan Nias Utara yang memiliki arti sama dengan bahasa Indonesia yakni ‘batu’. Menurut kamus Nias-Indonesia yang disusun oleh Sitasi Zagötö (2010), hombo batu diartikan sebagai olah raga tradisional di Nias, yaitu melompati batu bersusun yang tingginya 2,5 meter (Zagötö, 2010: 90). Senada dengan apa yang dikatakan oleh Lase, kata hombo juga tidak diterangkan oleh Zagötö. Dalam tulisannya, Zagötö hanya memberikan keterangan n (noun atau kata benda) pada kata hombo namun tidak menjelaskan artinya. Dari kata hombo, Zagötö langsung menjelaskan beberapa kata yang berkaitan, seperti hombo batu, homboi (lompati, lampaui), fahombo (melompat tinggi), muhombo dalam dialek Nias Selatan sama dengan mohombo dalam dialek Nias Tengah dan Nias Utara yang berarti terbang. 4 Menurut Hikayat Manaö, budayawan Nias yang sangat dikenal dalam pariwisata dan budaya Nias Selatan, latar belakang hombo batu di Maenamölö, dimulai karena perang sering terjadi antar-desa. Hombo batu didirikan sebagai 3
Komunikasi melalui BBM (blackberry messenger) pada hari Senin, 01 April 2013. Nias Selatan memiliki dialek bahkan bahasa yang berbeda dengan Nias Utara atau Nias Tengah. Oleh karena itu, kamus Li Niha yang ditulis oleh Apollo Lase lebih condong ke bahasa Nias Utara sedangkan kamus yang ditulis oleh Zagötö identik dengan dialek atau bahasa Nias Selatan (Li Niha Raya). 4
25
patokan untuk setiap pemuda dalam rangka untuk dipersiapkan sebagai seorang patriot untuk dikirim ke medan perang. Pada kesempatan lain, Emanuel Fau mengatakan bahwa pada mulanya para pemuda begitu tertarik dan tertantang untuk dapat berhasil melompati batu tersebut oleh karena setiap orang yang berhasil melompati batu tersebut sebanyak tiga kali akan diberikan penghargaan (fondrakö) yang disertai pemotongan beberapa ekor babi dan dimahkotai emas (rai ana’a) oleh Raja atau Bangsawan (Si’ulu Mbanua) di desa tersebut dan akan dijadikan prajurit pilihan di medan perang. Dewasa ini hombo batu tidak lagi sebagai ajang latihan ketangkasan prajurit perang semata. Manaö menuturkan bahwa seiring dengan kesadaran dunia akan pentingnya perdamaian yang disertai perkembangan pendidikan, maka perang antar suku atau desa mulai memudar. Hombo batu pun mulai beralih fungsi sebagai salah satu sarana olah raga bagi para pemuda Nias Selatan. Lebih jauh Manaö mengatakan bahwa situasi ini sangat kondusif untuk mengundang Sultan Hamengkubuwono IX melakukan kunjungan ke Nias pada tahun 1974. Melihat potensi
pulau
Nias
dengan
budaya
yang
unik,
mendorong
Sultan
Hamengkubuwono IX untuk mempromosikan Nias sebagai tujuan wisata. Manaö bercerita bahwa pada 1980-an, sering kapal pesiar berhenti di pelabuhan Teluk Dalam dan Lagundri. Dalam dekade yang sama, diadakan acara yang bernama Pesta Ya'ahowu. Kata “pesta” diadopsi dari Bahasa Indonesia yang berarti perayaan yang di dalamnya dilakukan acara makan dan minum serta hiburan (Novia, 2004: 347). Kata “Ya'ahowu” berasal dari bahasa Nias yang berarti selamat datang, terberkatilah atau berkat Tuhan bersamamu (Zagötö, 2010: 200). Para
26
pengrajin lokal beserta kerajinan tangan mereka dipamerkan dan dijual di sini. Salah satu dari atraksi unik dan menantang pada acara ini meliputi hombo batu, yang diperlombakan baik secara individu dan tim dari berbagai desa di Nias Selatan. Pulau Nias semakin dikenal oleh wisatawan domestik dan wisatawan asing. Bahkan peluncuran Visit Indonesia Year 1991 yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada saat itu, menarik perhatian wisatawan dari berbagai negara untuk
Gambar 2.1 Lompat Batu Pulau Nias pada mata uang Rp. 1000
berkunjung ke Nias. Pemerintah dan masyarakat Nias pada umumnya dan terlebih masyarakat Nias Selatan sangat gembira dengan kemajuan ini. Hombo batu yang merupakan andalan dari pertunjukan dan hanya satu di dunia ini, diabadikan dalam nominal Rp. 1000 yang diterbitkan pada tahun 1992. 2.3 Landasan Teori Sebagaimana diungkapkan oleh Denzin & Lincoln (2009), landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai kenyataan di lapangan. Selain itu, Denzin et al menambahkan bahwa landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar belakang penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Demikian juga dalam penelitian ini, menggunakan
27
dua pendekatan teori yang dianggap relevan yakni teori komodifikasi dan teori dekonstruksi. 2.3.1 Teori Komodifikasi Teori komodifikasi gejalanya dapat dirujuk dari pemikiran Karl Max dan George Simnel (dalam Turner 1992: 115) yang sepakat bahwa akibat ekonomi uang yang berdasarkan atas semangat menciptakan keuntungan sebanyakbanyaknya mengakitbatkan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor kehidupan. Komodifikasi memunculkan budaya populer yang berawal dari konsumsi massa, masyarakat konsumenlah sebagai penyebabnya. Baudrillard (dalam Barker, 2004: 111) berpendapat bahwa objek dalam masyarakat konsumen tidak lagi dibeli demi nilai guna, melainkan sebagai komoditas-tanda dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh komodifikasi yang semakin meningkat. Pandangan Baudrillard ini ditambahkan oleh Barker bahwa bagian konsumsi yang lebih besar adalah konsumsi tanda, yang melekat pada pertumbuhan komoditas-kebudayaan, pemasaran celah pasar tertentu dan penciptaan ‘gaya hidup’. Teori komodifikasi diperlukan untuk menganalisis gejala yang terjadi pada hombo batu di mana secara fungsi telah bergeser dari fungsinya semula kepada perubahan ke arah komoditas. Pergeseran fungsi ini terjadi oleh karena hombo batu memiliki daya tarik tersendiri yang menjadi icon pariwisata di Teluk Dalam karena atraksi ini sangat unik dan tidak terdapat atraksi sejenis di belahan dunia manapun. Beberapa atraksi pendukung seperti ritual dan tari-tarian sering dikemas dalam satu paket atraksi budaya di daerah Nias Selatan. Wisatawan domestik dan manca negara biasanya disuguhi paket ini bila berkunjung ke salah satu desa adat di sana.
28
2.3.2 Teori Dekonstruksi Menurut Sugiharto (1996: 43-44), istilah dekonstruksi awalnya digunakan oleh Heidgger yang mengatakan bahwa ‘konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep-konsep tradisional dengan cara justru kembali ke tradisi’. Namun seperti yang kita ketahui, istilah dekonstruksi justru identik dengan karya-karya Jacques Derrida. Kutha Ratna (2005: 250) menjelaskan dekonstruksi dari akar kata de + construction (Latin). Pada umumnya prefix ‘de’ berarti: ‘ke bawah, pengurangan, terlepas dari’. Constructio berarti: bentuk, susunan, hal-hal menyusun, hal mengatur. Dengan demikian, Kutha Ratna mengartikan dekonstruksi sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Barker (2004: 79-80) juga mengakui bahwa Derrida banyak dihubungkan dengan praktik dekonstruksi. Barker menjelaskan sedikit tentang mendekonstruksi yang berarti memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan asumsi suatu teks. Lebih jauh dikatakan bahwa secara khusus, dekonstruksi melibatkan
pelucutan
realitas/kenampakan,
oposisi
biner
hierarkis
semisal
alam/kebudayaan, nalar/kegilaan, dan
tuturan/tulisan, lain-lain,
yang
berfungsi menjamin kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian ‘inferior’ oposisi biner tersebut. Menurut Barker, dekonstruksi Derrida berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks, asumsi yang tak diketahui dan menjadi landasan kerja mereka, termasuk tempat di mana suatu strategi retoris teks melawan logika argumennya sendiri, yaitu ketegangan antara apa yang ingin dikatakan suatu teks dengan kendala atas pengungkapan itu. Dicontohkannya,
29
Saussure mengklaim bahwa hubungan antara penanda dengan petanda bersifat arbitrer. Namun, dalam mendekonstruksi tulisan Saussure, Derrida mencoba menunjukkan bahwa teks ini beroperasi dengan logika yang berbeda di mana tuturan diistimewakan di atas tulisan dan karakter arbitrer tanda secara implisit dikesampingkan. Paparan Barker di atas menyimpulkan suatu definisi olehnya mengenai istilah dekonstruksi sebagai berikut: “Dekonstruksi: memisahkan, membongkar, untuk menemukan dan menelanjangi berbagai asumsi, strategi retoris dan ruang kosong teks. Pengungkapan oposisi biner hierarkis seperti realitas/penampakan, alam/kebudayaan, nalar/kegilaan, untuk menunjukkan: (a) suatu bagian dari pasangan biner tersebut dipandang tidak penting; (b) bahwa pasangan biner tersebut menjamin kebenaran; (c) bahwa masing-masing bagian dari pasangan biner tersebut saling berdampak.” (Barker, 2004: 402-403). Piliang semakin memperkaya keterangan akan istilah dekonstruksi yang dikembangkan oleh Derrida ini. Menurut Piliang (2012: 121), dekonstruksi adalah sebuah istilah, yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru dalam filsafat, strategi intelektual, atau model pemahaman5. Lebih jauh dijelaskan bahwa dekonstruksi adalah penyangkalan akan oposisi ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar dan penolakan akan kebenaran dan logos itu sendiri (Piliang, 2003: 126). Teori dekonstruksi ini sangat relevan dengan beberapa istilah dan makna secara filosofis yang beredar di dalam masyarakat Nias secara menyeluruh dengan makna yang disampaikan dan diartikan oleh penduduk Nias sendiri dan orang-
5
Buku karya Yasraf Amir Piliang ini berjudul SEMIOTIKA DAN HIPERSEMIOTIKA: Kode, gaya & matinya makna, edisi 4 oleh penerbit Matahari, 2012. Istilah dekonstruksi dapat dijumpai juga pada buku Piliang edisi sebelumnya yang diterbitkan oleh Jalasutra dengan judul HIPERSEMIOTIKA: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, 2003, hal. 125.
30
orang yang berkunjung ke Nias, utamanya dalam penjelasan makna-makna filosofis atraksi hombo batu dan atribut serta atraksi pendukung lainnya yang dikemas dalam suatu paket wisata. Contoh ‘makna’ hombo batu yang begitu populer di media seperti yang ditulis oleh Hernasari berikut ini: “Di Pulau Nias, Sumatera Utara, ada tradisi yang tidak boleh Anda lewatkan jika berlibur ke sana. Saksikanlah hombo batu, tradisi lompat batu setinggi 2 meter untuk para pemuda. Mereka belum boleh menikah, jika belum lulus ujian ini”.6 Tulisan Hernasari ini seolah-olah merupakan kebenaran nyata yang terjadi di Nias secara menyeluruh. Apalagi pada paragraf ke enam tulisannya begitu meyakinkan pembaca bahwa apa yang disaksikannya adalah benar adanya dengan menulis seperti berikut: “Uniknya, pemuda yang akan menikah diharuskan lulus ujian lompat batu ini. Karena setiap pemuda yang berhasil melompati batu dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik. Jika belum berhasil, maka ia belum dinilai dewasa dan belum diizinkan menikah. Menantang bukan?” 7 Cuplikan artikel tersebut, kelihatannya menarik, unik dan menantang. Namun, pemaknaan secara filosofis yang sesungguhnya perlu diluruskan. Menurut para orang tua di beberapa desa di Maenamőlő, seperti di Desa Bawőmataluo, Hilisimaetanő, Hiliamaetaniha dan beberapa desa adat lainnya yang dirangkum oleh budayawan Nias: Hikayat Manaő, bahwa “Latar belakang hombo batu di Teluk Dalam, dimulai karena perang sering terjadi antar-desa. Lompat batu di Teluk Dalam didirikan sebagai patokan untuk setiap orang dalam rangka untuk
6
Sumber: http://travel.detik.com/read/2011/12/21/141329/1796636/1025/di-nias-tidak-boleh-nikahkalau-belum-bisa-lompat-batu Hernasari, Putri Rizqi. 2011. Di Nias, Tidak Boleh Nikah Kalau Belum Bisa Lompat Batu. Rabu, 21/12/2011 14:13:29 WIB. 7
Tulisan yang sama juga diposting dan bias dilihat di http://forum.vivanews.com/aneh-danlucu/258104-di-nias-tidak-boleh-nikah-kalau-belum-bisa-lompat-batu.html
31
dipersiapkan sebagai seorang patriot untuk dikirim ke medan perang." Artinya, batu ini sebagai sarana untuk berlatih secara tangkas dalam melompati pagar-pagar atau rintangan yang mungkin dialami di medan perang. Dengan latihan secara rutin, para pemuda akan semakin kuat secara fisik dan siap menjadi patriot bagi desanya bila ada ancaman dari luar atau desa lain. 2.4 Model Penelitian Untuk memudahkan pemahaman terhadap permasalahan dalam penelitian ini, maka secara singkat dapat dijelaskan bahwa hombo batu merupakan suatu atraksi budaya di daerah Maenamolo, khususnya Desa Bawömataluo. Desa Bawomataluo secara administratif terletak di Kecamatan Fanayama, dalam pemerintahan daerah Kabupaten Nias Selatan. Keunikan atraksi budaya ini menarik perhatian berbagai kalangan, terutama wisatawan baik domestik maupun mancanegara, yang tertarik dengan atraksi budaya, sehingga hombo batu ini termasuk dalam golongan pariwisata budaya. Ketika ranah budaya dijadikan sebagai atraksi wisata, maka terjadi komodifikasi budaya. Hal ini juga terjadi pada atraksi hombo batu di Desa Bawömataluo. Peneliti berfokus pada empat pokok permasalahan dalam komodifikasi atraksi hombo batu di Desa Bawömataluo ini, yakni: Faktor-faktor apa saja penyebab terjadinya komodifikasi terhadap pertunjukan hombo batu, adakah pergeseran bentuk, fungsi dan makna hombo batu, kondisi komponen-komponen pariwisata di Nias Selatan, terutama di Desa Bawömataluo (apakah sudah sesuai dengan standar yang seharusnya?), dan dampak dari komodifikasi hombo batu terhadap kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya di desa tersebut. Agar
32
pemahaman terhadap komodifikasi hombo batu lebih jelas, beberapa konsep digunakan dalam penelitian ini antara lain, konsep pariwisata dan destinasi wisata, konsep pariwisata budaya, konsep komodifikasi dan konsep hombo batu sebagai daya tarik wisata. Sebagai karya ilmiah, penelitian ini menggunakan landasan teori yang relevan dengan topik yang dibahas. Dua landaran teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu teori komodifikasi dan teori dekonstruksi. Kedua teori ini dipergunakan untuk melandasi beberapa pokok permasalahan yang dibahas, sehingga relevan dan terbentuk menjadi karya ilmiah yang utuh. Pokok permasalahan yang dikemukakan, dianalisa secara deskriptif kualitatif. Hasil dari analisis ini akan direkomendasikan kepada pemerintah kabupaten Nias Selatan selaku pembuat kebijakan di daerah destinasi wisata dan kepada pemangku kepentingan (stake holders) dalam pariwisata budaya. Diharapkan hasil penelitian ini dalam bentuk saran dan rekomendasi, dapat bermanfaat bagi pengembangan pariwisata budaya, khususnya di Desa Bawömataluo. Pola dalam penelitian ini dapat dilihat pada model gambar berikut:
33
PEMERINTAH KABUPATEN NIAS SELATAN
PARIWISATA BUDAYA
KOMODIFIKASI ATRAKSI HOMBO BATU DI DESA BAWÖMATALUO
Masalah: 1. Faktor-Faktor Penyebab Komodifikasi Hombobatu 2. Pergeseran Bentuk, Fungsi dan Makna Hombobatu 3. Komponen-Komponen Pariwisata di Bawömataluo 4. Dampak Komodifikasi terhadap Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya.
Konsep: 1. Pariwisata dan Destinasi Wisata 2. Pariwisata Budaya 3. Komodifikasi 4. Hombo batu sebagai Daya Tarik Wisata
Teori: 1. KOMODIFIKASI 2. DEKONSTRUKSI
ANALISIS DESKRIPSI KUALITATIF
REKOMENDASI Gambar 2.2 Model Penelitian