persepsi iklim organisasi antara kepala sekolah dan guru serta gambaran ...
dengan optimal akan tercermin pada iklim organisasi lingkungan sekolah itu.
Erny & Jumiyati, Kajian Iklim Organisasi
KAJIAN IKLIM ORGANISASI PADA SD PENERAP MBS DI KECAMATAN MOJOSARI DAN PURI MOJOKERTO Erny Roesminingsih dan Jumiyati ∗ Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi iklim organisasi, variasi persepsi iklim organisasi antara kepala sekolah dan guru serta gambaran dimensi iklim organisasi di sekolah penerap MBS. Subyek penelitian adalah siswa, guru dan SD di kecamatan Mojosari dan Puri, sedangkan instrument yang digunakan adalah OCDSQ versi Indonesia. Data dikumpulkan dengan angket terbuka dan menggunakan skala Likert. Dari analisis varian. Menunjukkan bahwa SD penerap MBS belum mempunyai iklim organisasi yang sehat. Iklim organisasi SD penerap MBS signifikan pada gangguan beban dan perhatian kepala sekolah. Maka perlu upaya yang serius bagi kepala sekolah untuk mencari terobosan yang tepat dan diimbangi dengan peraturan yang mengarah pada kebutuhan sekolah oleh Depdiknas. Abstract: The research aims at finding out the variation of organization climate perceived by the Headmasters and teachers as well as the dimension of organization climate at schools employing School Based Management. The instrument used is the Indonesian version of OCDSQ. The data needed are obtained through open questionnaires using Likert scale. The result shows that SBM schools are not well-organized yet. So, it is recommended that the Headmasters work seriously to reorganize the school management based on the rules of National Education. Kata kunci : iklim organisasi, mbs, Sekolah Dasar. Usaha menyejajarkan kualitas pendidikan dengan negara-negara maju, pemerintah mengadakan pembangunan di segala bidang termasuk di bidang pendidikan. Dengan mutu pendidikan yang tinggi diharapkan akan dapat mencetak manusia yang tangguh, mampu membangun bangsa dan bersaing di pasar global. Mutu pendidikan merupakan isu penting, seperti yang tercetus dalam GBHN tahun 1999 maupun di dalam kebijakan Dekdinas untuk tahun-tahun mendatang. Kebijakan ini berhubungan dengan kondisi iklim sosial di sekolah itu sendiri karena usaha peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan tidak dapat dilepaskan sama sekali dari kondisi lingkungan sekolah tersebut. Sejak beberapa tahun lampau telah tercetus gagasan ketahanan sekolah yang kemudian dijabarkan dalam 5 K (Kebersihan, Kesehatan, Keindahan, Keamanan dan, Kekeluargaan). Walau gagasan 5K mencerminkan lingkungan sekolah, di dalam kenyataan masih terdapat berbagai masalah yang tidak diharapkan terjadi di sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan formal. Masalahmasalah itu antara lain adalah hubungan yang kurang harmonis (konflik) di kalangan siswa, guru dan kepala sekolah; lingkungan fisik sekolah yang kurang bersih, kurang indah dan kurang memadai, kemerosotan disiplin sekolah; pemanipulasian nilai dan pengkomersialisasian jabatan oleh para personalia sekolah; manajemen tertutup dengan laporan yang baik-baik saja; hubungan antara personalia sekolah, siswa, dan masyarakat kurang serasi. Dalam situasi ekonomi yang belum ada tanda-tanda perbaikan, muncul gagasan untuk menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS). Untuk tingkat SD, UNESCO-UNICEFpemerintah sedang merintis di beberapa propinsi seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan disusul NTT. Di Jawa Timur rintisan ini dilaksanakan di SD di Kecamatan Puri dan Mojo∗
Dosen FIP Universitas Negeri Surabaya
16
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60 sari. Penelitian ini memilih dua kecamatan tersebut. Keunikan MBS pada SD ialah memadukan aspek pembelajaran dan partisipasi semua pihak baik guru maupun masyarakat dan bila terlaksana dengan optimal akan tercermin pada iklim organisasi lingkungan sekolah itu. Sampai saat ini belum terungkap bagaimana keadaan sebenarnya iklim organisasi lingkungan sekolah tersebut setelah berlangsungnya MBS.
Iklim Organisasi Lingkungan sekolah adalah suatu konsep yang kompleks. Anderson (1982) menggunakan taksonomi lingkungan sekolah dari Taguri (1968) yang mengidentifikasikan 4 dimensi lingkungan: a. ecology, aspek fisik dan material sekolah b. milieu, aspek sosial yang terdiri atas pribadi dan kelompok tertentu c. sosial system, aspek yang berhubungan dengan pribadi dan pola-pola interaksi kelompok. d. culture, aspek sistem kepercayaan, nilai-nilai dan struktur kognitif. Pengamatan terhadap alat-alat ukur yang ada menunjukkan bahwa kebanyakan pengukuran lingkungan sekolah menekankan pada dimensi-dimensi kultural dan sistem sosial atau lazim dikenal dengan iklim sekolah (Kottamp, Mulhern dan Hoy, 1987; Hoy dan Miskel, 1991) James dan Jones (1974) berdasarkan kajian literature membedakan antara prespektif tentang bagaimana mengukur iklim sekolah. Mereka menemukan dua pendekatan dasar yang paling banyak dipakai untuk mengidentifikasikan iklim sekolah. Kedua pendekatan tersebut bersifat perceptual. Yang pertama, “The individual attributes approach” yang mengasumsikan bahwa iklim adalah suatu fungsi interaksi antara karakteristik-karakteristik personal dan organisasi dan dapat diukur oleh persepsi individual. Konsepsi ini lebih bersifat idiosinkretik. Yang kedua, “The organizational attributes approach” yang memandang ilkim sebagai suatu fungsi dari “stable organizational properties” bukan persepsi unik dan dapat didefinisikan suatu level organisasi. Prespektif inilah yang mendasari kebanyakan penelitian tentang iklim sekolah. Tanpa memandang sistem yang dipakai untuk menganalisis sistem, sesungguhnya ada beberapa persoalan epistimologis yang mendasar. Persoalan ini berakar pada kepustakaan umum tentang organisasi dan psikologi sosial (James & Jones, 1974; Schneider, 1982; Taguri, 1968) yang dapat dirangkum ke dalam 3 pertanyaan utama a. Apakah iklim harus dikonseptualisasikan sebagai suatu fenomena objektif (diasumsikan divalidasi oleh sekelompok pengamat ahli) ataukah sebagai suatu fenomena subjektif (timbul dari pengalaman fenomenologis individu-individu di dalam organisasi) ? b. Apakah kenyataan berdasarkan kegiatan individual objektif ataukah terkonstruksi secara individual dan sosial ? c. Apakah iklim diukur dengan persepsi, apakah persepsi ini memberikan ciri organisasi ataukah sekedar pernyataan dari orang yang menyatakannya ? Kebanyakan pencetus teori dan peneliti membahas iklim sekolah dengan memilih secara konsisten penggunaan definisi perceptual dan pengukuran iklim yang perceptual, sambil mengabaikan persoalan epistimologis. Konsensus setiap sekolah tentang persepsinya terhadap iklim sekolah menentukan perilaku organisasi. Bahwa persepsi tentang iklim merupakan atribut mendasar dan bukan sekedar tanggapan idiosinkretik, seraya bahwa subjektivitas dan objektivitas tidak dapat dipisah secara total. Dalam tiga dasawarsa teknik ini, di negara-negara maju banyak para peneliti dan pendidik tertarik melakukan penelitian tentang lingkungan sekolah, dengan salah satu materi yang dikenal luas adalah OCDQ (Organizational Climate Description Questionare) yang dikembangkan oleh Hoy dan Miskel (1991). OCDQ ini pernah diuji di sekolah-sekolah di Indonesia dalam rangka menciptakan masyarakat peduli pendidikan anak. Tentu saja dalam penerapannya disesuaikan dengan kondisi sekolah di Indonesia. Lingkungan sekolah inilah yang mencerminkan iklim organisasi sekolah, yang meliputi: gangguan beban, kerekanan staf, semangat kerja, kedekatan dengan murni, orientasi hasil, kekakuan kepala sekolah, perhatian kepala sekolah, kepercayaan kepala seko-
17
Erny & Jumiyati, Kajian Iklim Organisasi lah, disiplin guru dan keinovatifan kepala sekolah. Aspek-aspek inilah yang sampai sekarang masih relevan dengan kondisi Indonesia. Konsepsi lingkungan sekolah yang dipakai dalam penelitian ini meliputi iklim sosial dan dimensi-dimensi kultural sekolah. Lebih lanjut, lingkungan sekolah diidentifikasikan melalui pengukuran perceptual terhadap atribut-atribut jenjang sekolah yang dipilih.
Budaya Organisasi Budaya organisasi memainkan peran yang semakin penting dalam melakukan intervensi dan menggunakan teknik-teknik perubahan yang disengaja guna mencapai tujuan tertentu. Sedangkan budaya itu sendiri mencakup nilai-nilai yang mempunyai makna yang sama bagi para anggota organisasi, artinya budaya organisasi merupakan penggabungan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah serta nilai, sistem nilai dan keyakinan para anggota orgnisasi. Aktivitas organisasi dapat ditingkatkan dengan penciptaan suatu budaya yang di satu pihak dapat membantu pencapaian tujuan organisasi yang dapat memuaskan berbagai kebutuhan anggotanya, yang dalam hal ini stake holder yang meliputi kepala sekolah, murid, guru, masyarakat, dan pihak terkait yang menggunakan output sekolah sebagai suatu organisasi dan pada akhirnya dapat sebagai sarana mempermudah proses pengambilan keputusan. Organisasi mempunyai budaya yang kuat akan mampu: (1) Meningkatkan produktivitasnya., (2) menumbuhsuburkan semangat kebersamaan di kalangan para anggotanya, (3) meningkatkan rasa memiliki dan mempermudah pencapaian tujuan. Keberhasilan suatu organisasi pada tingkat dominan ditentukan oleh kemampuannya mengubah strategi untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang selalu bergerak dinamis serta dapat digunakan sebagai sarana menghindari kondisi stagnasi. Kinerja kepala sekolah ditentukan oleh struktur yang digunakan berbagai sistem yang berlaku, para bawahan dan gaya manajerial yang digunakan. Dapat dikatakan bahwa kultur merupakan produk dari faktor-faktor tersebut. Bila menghendaki perubahan yang bersifat strategis harus dilakukan pada faktor yang paling dominan. Ada 5 alasan yang merupakan pembenar terjadinya perubahan budaya dalam skala besar yaitu : a. Bila organisasi mempunyai budaya yang kuat tapi tidak sesuai dengan lingkungan yang berubah. b. Bila industri dan lembaga-lembaga serta sekolah bergerak sangat kompetitif dan berubah dengan kecepatan tinggi. c. Bila suatu sekolah menampilkan kinerja yang tidak memuaskan d. Bila sekolah bergabung dengan organisasi besar kainnya e. Bila organisasi yang masih kecil akan tumbuh dengan pesat.
Perilaku Organisasi Dalam hubungannya dengan aktivitas organisasi, perilaku organisasi meliputi aspek yang ditimbulkan oleh pengaruh beorganisasi terhadap manusia demikian pula sebaliknya, yang pada akhirnya bertujuan untuk mendeterminasi bagaimana perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan organisasi. Dapat diartikan pula bahwa individu dipengaruhi oleh bagaimana pekerjaan diatur dan siapa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Perilaku organisasi juga dapat dipahami lewat suatu penekanan bagaimana organisasi itu dimulai, tumbuh dan berkembang dan bagaimana struktur, proses dan nilai dari suatu sistem tumbuh bersama-sama yang memungkinkan mereka untuk dipelajari dan disesuaikan dengan lingkungan. Sedangkan proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, belajar–mengajar, monitoring dan evaluasi dengan menitik beratkan pada proses belajarmengajar. Proses dikatakan bermutu tinggi bila pengkoordinasian dan penyerasian serta paduan input sekolah dilakukan secara harmonis yang mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, mampu mendorong motivasi dan minat belajar dan benar-benar memberdayakan peserta didik.
18
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60 Untuk memprediksi dan mengendalikan perilaku orang-orang dalam organisasi diperlukan pemahaman hampiran kognitif, penguatan dan psikoanalitis. Hampiran kognitif meliputi kegiatan-kegiatan mental yang sadar seperti, berpikir, sikap serta kepercayaan dan harapan. Perilaku seeorang disebabkan oleh suatu stimulus. Semua perilaku individu tersusun secara teratur yang diatur dalam pengalamannya dalam aktivitas untuk mengetahui yang kemudian diimplementasikan dalam susunan kognitifnya untuk menentukan jawaban. Hampiran reinforcement, melihat perilaku sebagai hasil pengaruh yang berasal dari dalam dan merupakan kebalikan dari motivasi. Reinforcement itu sendiri dapat bersifat positif dan negatife. Sedangkan hampir psikoanalisis menunjukkan perilaku manusia dikuasai oleh personalitasnya/kepribadiannya.
Manajemen Berbasis Sekolah MBS yang diterapkan di Indonesia untuk sekolah dasar terdapat dalam program CLCC (Creating Learning Comunities for Children) atau diartikan dengan istilah menciptakan masyarakat peduli pendidikan anak, yang sejak awal dirintis oleh UNESCO-UNICEF. MBS diterapkan dengan maksud meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu dan relevansi pendidikan di sekolah. Dalam praakteknya, MBS yang diujicobakan di sekolah masih sebatas pada upaya mengoptimalkan peluang yang ada serta sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kegiatan yang ditempuh dalam pelaksanaannya antara lain (Caldwel&Spink,1988, Caldwell&Spink, 1992; Abu Duhou, 1999) : a. Meningkatkan kemampuan personalia sekolah dalam pengelolaan sekolah. b. Memberikan wewenang kepada kepala sekolah untuk mengelola sumber daya dan mengatur rumah tangga sekolah dalam batas-batas peraturan yang berlaku. c. Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar. d. Mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah e. Mendorong adanya transparasi dalam pengelolaan keuangan sekolah f. Mendorong dan memanfaatkan kemampuan personalia sekolah untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan demi pembelajaran yang efektif. Berdasarkan kewenangan tersebut jelas sekolah mempunyai kewenangan yang sangat luas untuk mengatur penyelenggaraan sekolah, termasuk di dalamnya visi dan misi sekolah, tujuan jangka panjang dan sasaran tujuan yang akan dicapai. Kewenangan ini diberikan karena sekolah yang paling mengetahui kondisinya dibandingkan institusi pendidikan di atasnya. MBS juga menuntut adanya komitmen semua unsur. Dengan demikian MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di samping menciptakan personel sekolah yang profesional. Peluang keberhasilan MBS cukup besar dengan melihat: (1) tuntutan demokrasi yang sedang berkembang di era reformasi saat ini; (2), penerapan UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah; (3), adanya komite sekolah yang berfungsi membantu pelaksanaan program JPS pendidikan; (4), keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. MBS adalah suatu sistem pada pendidikan yang terjadi desentralisasi otoritas dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan alokasi sumber di dalam kerangka kerja terpadu. Sumber, diartikan secara luas yaitu meliputi pengetahuan, teknologi, kekuasaan, materi, personalia, waktu, hasil kajian, informasi, dan dana. Manajemen sekolah yang mandiri ditandai oleh pengelolaan sekolah yang otonom atau independent dalam kerangka kerja yang telah ditentukan. Eksistensi dari kerangka kerja yang terpadu mengisyaratkan bagian dari sistem sekolah yang mampu bergerak mandiri tanpa harus menunggu dari pemerintah. Konsep dasar MBS yaitu pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan pada level sekolah. Dalam penentuan keputusan itu dibedakan dua kualifikasi yaitu kelompok kebijakan dan kelompok operasional. Sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru , siswa dan orang tua/masyarakat menduduki posisi sentral untuk pengam-
19
Erny & Jumiyati, Kajian Iklim Organisasi bilan keputusan dari suatu kebijakan maupun operasional. Mereka inilah yang berperan penting karena yang paling mengetahui kondisi dan kebutuhan sekolah dan siswanya dibandingkan dengan Dinas Pendidikan pada level yang lebih atas. Dalam hal ini kepala sekolah selalu dibantu oleh sejumlah aktor relevan yang terbentuk di sekolah dengan julukan yang bervariasi seperti dewan sekolah, tim operasional, dan lain sebagainya. Latar belakang MBS berawal dari Australia pada decade 1970-an, gagasan manajemen sekolah yang mandiri digagas dengan lahirnya “memorandum freedom and Authority in the school “untuk para kepala sekolah sebagai pemegang posisi kontrol yang tak terbantah dan ditantang untuk mempertimbangkan variasi lokal yang berpengaruh terhadap mata pelajaran, jadwal, organisasi, kepemimpinan, dan penilaian dalam satu kerangka yang terpusat. Satu decade kemudian pengalaman Australia terjadi perkembangan yang sama di negaranegara lain, dan yang menonjol di Inggris, kurikulum nasional dan program penilaian pada level pendidikan dasar dan menengah disesuaikan dengan manajemen lokal sekolah-sekolah. Untuk dapat menerapkan MBS diperlukan pemahaman yang lebih luas terhadap kondisikondisi yang menyebabkan MBS dapat berhasil optimal dan peranan-peranan hubungan antara sekolah dan masyarakat, daerah dan pusat. Pelaksanaan di Indonesia ditandai dengan adanya otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan nasional yang bermuara pada efisiensi, mutu dan pemerataan. Di sisi lain MBS juga bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Singkatnya dapat dikatakan, tujuan pelakksanaan MBS di Indonesia adalah : • Peningkatan efisiensi dapat diperoleh antara lain dengan keleluasaan mengelola sumber daya, partisipasi masyarakat dan menyederhanakan birokrasi. • Mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orangtua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, meningkatkan profesionalisme guru dan kepala sekolah. • Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah terkonsentrasi pada kelompok yang kurang mampu. Sekolah yang mandiri mempunyai cirri: tingkat ketergantungan yang rendah, adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus memiliki jiwa wirausaha tinggi, memiliki kontrol yang kuat terhadap manajemen dan sumberdaya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Metode Yang digunakan sebagai subyek penelitian adalah guru, kepala sekolah, siswa SD kecamatan Puri dan Mojosari. Yang dipandang sebagai sekolah ekperimental adalah SD penerap MBS dan sebagai pengontrol diambil gugus di kecamatan yang sama. Jumlah responden ada 8 sekolah penerap MBS yang diabil secara purposive, masing-masing diambil 40 untuk kelas 4 dan 5. Total sample ada 1280 orang, sedangkan jumlah guru ada 56 dan 7 kepala sekolah. Dalam penelitian ini menggunakan instrument yang disebut OCDQ versi Indonesia dengan beberapa variabel yang dianggap perlu, yaitu: identitas sekolah, identitas kepala sekolah VS guru, kondisi siswa, sekolah dan masyarakat yang terlibat. Data dikumpulkan dengan angket terbuka untuk bagian yang lain berbentuk skala Likert untuk mengungkapkan lingkungan sekolah. Untuk menganalisnya menggunakan analisis statistik (rerata, simpangan baku dan tabulasi silang) untuk menganalisis tentang; gambaran setiap dimensi dari iklim organisasi sekolah yang menerapkan MBS, analisis regresi untuk menganalisa peredaan iklim organisasi antara SD penerap MBS dengan yang belum mengenal MBS, dan analisis diskriptif varian untuk menganalisis perbedaan persepsi terhadap iklim organisasi antara kepala sekolah dan kelompok para guru.
20
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60
Hasil dan Pembahasan a.
Perbedaan SD penerap MBS dan non-MBS Paparan tabel 4.1 mengungkapkan bahwa Rerata (mean) skor sekolah penerap MBS cenderung lebih tinggi daripada yang tidak menerapkan. Lima dimensi iklim organisasi yang mendukung adalah gaangguan beban (2,47), kerekanaan staf (3,98), kekakuan kepala sekolah (3,02), perhatian kepala sekolah (4,21), keinovatifan sekolah (3,89) tapi di sisi lain skor sekolah MBS lebih rendah dalam hal semangat kerja personalia (4,10), orientasi hasil (3,99), kepercayaan kepala sekolah (3,56), kedisiplinan guru (3,99). Sedangkan kedekatan staf dengan murid tidak menunjukkan perbedaan skor walaupun simpangan baku mengisaratkan bahwa rentangan variasi pada sekolah non-MBS lebih besar daripada sekolah MBS. Dari skor yang muncul pada table4.1 tersebut mengindikasikan bahwa iklim organisasi organisasi pada SD penerap MBS belum menunjukkan hasil yang optimal seperti yang diharapkan, yang mengacu pada kriteria penentu keberhasilan MBS. Dari 10 dimensi yang diujikan hanya 5 yang mempunyai skor lebih tinggi, itupun tidak jauh perbedaannya antara SD penerap dan non penerap MBS. Dan ada satu dimensi yaitu dimensi kedeketan dengan murid mempunyai skor yang sama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dimensi-dimensi yang mengontribusi iklim organisasi yang sehat di SD penerap dan non penerap MBS tidak mempunyai perbedaan yang berarti, dan SD penerap MBS di Kecamatan Puri dan Mojosari belum memiliki iklim organisasi yang sehat seperti yang diharapkan. Tabel 4.1 Rerata, Deviasi Baku, Rerata Galat Baku dari Sekolah MBS dan Non-MBS Dimensi Sekolah Mean Std Dev Std Error Mean Gangguan beban Mbs 2.47 .53 6.66E-02 Non-mbs 2.18 .57 8.65E-02 Kerekanan staf Mbs 3.93 .34 4.23E-02 Non-mbs 3.79 .39 5.83E-02 Semangat kerja Mbs 4.07 .41 5.16E-02 Non-mbs 4.10 .54 8.14E-02 Kedekatan dg murid mbs Mbs 4.09 5.14E-02 Non-mbs 4.09 .82 12 Orieantasi hasil Mbs 3.99 .55 6.97E-02 Non-mbs 4.02 .28 4.21E-02 Kekakuan kepsek Mbs 3.02 .51 6.37E-02 Non-mbs 2.90 .37 5.61E-02 Perhatian kepsek Mbs 4.21 .42 5.29E-02 Non-mbs 3.81 .44 6.63E-02 Kepercayaan kepsek mbs Mbs 3.56 .47 5.14E-02 Non-mbs 3.57 .23 3.48E-02 Disiplin guru Mbs 3.99 .39 4.87E-02 Non-mbs 4.10 .44 6.67E-02 Keinovativan sekolah mbs Mbs 3.89 .49 6.19E-02 Non-mbs 3.83 .44 6.57E-02 Dari segi simpangan baku, umumnya sekolah MBS lebih rendah dibandingkan non-MBS kecuali dalam hal orientasi hasil, kekakuan kepala sekolah, kepercayaan kepala sekolah dan keinovatifan sekolah. Sejajar dengan simpangan baku, rerata galat baku juga mengungkapkan gejala yang sama.
21
Erny & Jumiyati, Kajian Iklim Organisasi Tabel 4.2 Hasil Anova antar-sekolah MBS dan non-MBS Sum ofSdf Mean quares Square Gangguan Beban between groups 2.242 1 2.242 within groups 31.466 105 .300 Total 33.707 106 Kerekanan staf between groups .464 1 .464 within group 13.432 105 .128 Total 13.896 106 Semangat kerja between groups 2.861E-02 1 2.861E-02 Within groups 22.935 105 .218 Total 22.963 106 Kedekatan dg mrd between group 1.925E-04 1 1.925E-04 Within groups 39.122 105 .373 Total 39.122 106 Orientasi hasil between groups 1.969E-02 1 1.969E-02 Within groups 22.307 105 .212 Total 22.327 106 Kekakuan kepsek between groups .359 1 .359 Within groups 21.808 105 .208 Total 22.167 106 Perhatian kepsek between groups 4.135 1 4.135 Within groups 19.265 105 .183 Total 106 Kepercayaan ks between groups 5.698E-04 1 5.698E-04 Within groups 15.791 105 .150 Total 15.792 106 Disiplen guru between groups .359 1 .359 Within groups 17.652 105 .168 Total 18.010 106 Keinovatifan sek between groups .121 1 .121 Within groups 23.107 105 .220 Total 23.228 106 Sumber: data primer
F
Sig
7.480
.007
3.626
.060
.131
.718
.001
.982
.093
.761
1.727
.192
22.538
.000
.004
.951
2.133
.147
.551
.460
Pada tabel 4.2, hasil anova mengungkapkan bahwa dari sepuluh dimensi (gangguan beban, kerekanan staf, semangat kerja, kedekatan dengan murid, orientasi hasil, kekakuan kepala sekolah, perhatian kepala sekolah, kepercayaan kepala sekolah, disiplin, dan keinovatifan sekolah) hanya terbukti secara signifikan perbedaan MBS dan non-MBS terletak pada gangguan beban dengan signifikasi 0.007 dan perhatian kepala sekolah 0.000. Kondisi di atas dapat dikatakan bahwa kepala sekolah bukan berorientasi pada prestasi kerja melainkan lebih pada manusia (people oriented) yang dipimpinnya. Dapat dikataka bahwa orientasi kepala sekolah (budaya organisasi) SD penerap MBS belum berubah walaupun sudah menerapkan MBS. Penerapan MBS hanya diinterpretasikan sebatas formalitas. b. Perbedaan antara Kepala Sekolah dan Guru Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata skor guru sedikit lebih tinggi dan simpangan baku serta rerata galat baku lebih rendah daripada kepala sekolahnya, hal ini dapat dimengerti karena jumlah guru jauh lebih bayak dari jumlah kepala sekolah, sekitar 8:1 yang dalam hal ini jumlah guru 56 orang dan kepala sekolah 7 orang.
22
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60 Tabel 4.3 Rerata, Deviasi Baku, Rerata Galat Baku dari Guru dan Kepsek pada sekolah MBS. Dimensi N Mean Std Dev Std error mean Gangguan Beban guru 56 2.48 .52 6.89E-02 Kepsk 7 2.43 .67 .25 Kerekanan staf guru 56 3.95 .34 4.49E-02 Kepsk 7 3.73 .29 .11 Semangat kerja guru 56 4.09 .39 5.18E-02 Kepsk 7 3.90 .56 .21 Kedekatan dg mrd guru 56 4.09 .40 5.38E-02 Kepsk 7 4.08 .49 .18 Orientasi hasil guru 56 3.99 .55 7.39E-02 kepsk 7 3.98 .60 .23 Kekakuan kepsek guru 56 3.03 .51 6.78E-02 kepsk 7 2.94 .53 .20 Perhatian kepsek guru 56 4.23 .40 5.38E-02 kepsk 7 4.04 .55 .21 Kepercayaan kepsek guru 56 3.58 .47 6.22E-02 kepsk 7 3.39 .48 .18 Disiplin guru 56 4.01 .36 4.78E-02 kepsk 7 3.81 .57 .22 Keinovatifan sekolah guru 56 3.92 .47 6.28E-02 Kepsk 7 3.71 .65 .25 Sumber : data primer Walaupun pada tabel terdahulu terungkap perbedaan rerata skor dan variasi simpangan antara guru dan kepala sekolah, hasil uji anova pada tabel 4.4 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang berarti. Pada umumnya kepala sekolah MBS dan staf gurunya sependapat dengan gejala yang sama, yaitu iklim yang dirasakan di sekolahnya. Berarti dapat dikatakan bahwa, SD yang sudah menerapkan dan yang belum menerapkan MBS mempunyai pola hubungan yang sama. Iklim organisasi SD yang menerapkan MBS tidak berbeda drengan SD yang belum menerapkan MBS. Tabel 4.4 : Hasil Anova antar guru dan Kepala Sekolah MBS Sum of df Mean Square F Sig Squares Gangguan Beban between groups 1.446E-02 1 1.446E-02 .051 .822 Within groups 17.294 61 .284 Total 17.309 62 Kerekanan staf between groups .310 1 .310 2.825 .098 Within group 6.694 61 .110 Total 7.004 62 Semangat kerja between groups .203 1 .203 1.215 .275 Within groups 10.183 61 .167 Total 10.386 62 Kedekatan dg mrd between group 6.124E-04 1 6.124E-04 .004 .952 Within groups 10.324 61 .169 Total 10.325 62 Orientasi hasil between groups 6.479E-04 1 6.479E-04 .002 .964 Within groups 18.950 61 .311 Total 18.951 62 Kekakuan kepsek between groups
4.960E-02
1
4.960E-02
.192
.663
23
Erny & Jumiyati, Kajian Iklim Organisasi Within groups Total Perhatian kepsek between groups Within groups Total Kepercayaan ks between groups Within groups Total Disiplin guru between groups Within groups Total Keinovatifan sek between groups Within groups total Sumber : data primer
15.799 15.849 .210 10.727 10.937 .229 13.267 13.496 .245 9.002 9.247 .255 14.694 14.949
61 62 1 61 62 1 61 62 1 61 62 1 61 62
.259 .210 .176
1.197
.278
.229 .217
1.054
.309
.245 .148
1.660
.202
.255 .241
1.058
.308
Pada tabel 4.5 tersaji deskripsi bahwa di sekolah non-mbs skor persepsi guru terhadap iklim organisasi lebih tinggi daripada kepala sekolah dalam hal kedekatan dengan murid. Sedangkan variasi (cerminan dari standart deviation) skor guru lebih tinggi daripada kepala sekolah dalam tujuh dimensi yaitu gangguan beban, kerekanan staf, kedekatan dengan murid, orientasi hasil, kekakuan kepala sekolah, perhatian kepala sekolah, dan kepercayaan kepala sekolah. Pada dua dimensi lain yaitu semangat kerja dan disiplin, variasi kepala sekolah lebih besar daripada para gurunya. Sementara untuk keinovatifan, variasi antara kedua kelompok responden tidak berbeda. Table 4.5 Rerata, Deviasi Baku, Rerata Galat Baku dari Guru dan kepala sekolah non-MBS. Dimensi N Mean Std Dev Std error mean Gangguan Beban guru 38 2.16 .59 9.53E-02 kepsk 6 2.27 .52 .21 Kerekanan staf guru 38 3.78 .40 6.42E-02 kepsk 6 3.88 .34 .14 Semangat kerja guru 38 4.09 .54 8.82E-02 kepsk 6 4.13 .57 .23 Kedekatan dg mrd guru 38 4.11 .86 .14 kepsk 6 3.98 .54 .22 Orientasi hasil guru 38 4.01 .29 4.73E-02 kepsk 6 4.07 .20 8.04E-02 Kekakuan kepsek guru 38 2.91 .39 6.30E-02 kepsk 6 2.87 .27 .11 Perhatian kepsek guru 38 3.81 .45 7.34E-02 kepsk 6 3.78 .39 .16 Kepercayaan kepsek guru 38 3.58 .23 3.78E-02 kepsk 6 3.50 .22 9.13E-02 Disiplin guru 38 4.11 .44 7.19E-02 kepsk 6 4.07 .47 .19 Keinovatifan sekolah guru 38 3.83 .44 7.16E02 Kepsk 6 3.81 .44 .18 Sumber : data primer Analisis deskripsi variasi dan perbedaan di atas, gagal untuk diterima sebagai perbedaan yang signifikan setelah dianalisis varian lebih lanjut. Pada tabel 4.6 terungkap bahwa semua dimensi iklim organisasi dipersepsikan oleh guru dan kepala sekolah non-MBS tidak berbeda.
24
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60
Tabel 4.6 Hasil Anova antar-guru dan kepala sekolah non-MBS Sum of Df Mean F Squares Square Gangguan Beban between groups 5.552E-02 1 5.552E-02 .165 within groups 14.102 42 .336 total 14.157 43 Kerekanan staf between groups 5.646E-02 1 5.646E-02 .372 within group 6.371 42 .152 total 6.428 43 Semangat kerja between groups 6.739E-03 1 6.739E-02 .023 Within groups 12.542 42 .299 Total 12.549 43 Kedekatan dg mrd between group 8.319E-02 1 8.319E-02 .112 Within groups 28.714 42 .684 Total 28.797 43 Orientasi hasil between groups 2.116E-02 1 2.116E-02 .267 Within groups 3.335 42 7.939E-02 Total 3.356 43 Kekakuan kepsek between groups 9.968E-03 1 9.968E-03 .070 Within groups 5.949 42 .142 Total 5.959 43 Perhatian kepsek between groups 3.832E-02 1 3.832E-03 .019 Within groups 8.324 42 .198 Total 8.328 43 Kepercayaan ks between groups 3.230E-02 1 3.230E-02 .599 Within groups 2.263 42 5.388E-02 Total 2.295 43 Disiplin guru between groups 6.030 1 6.030E-03 .030 Within groups 8.399E-02 42 .200 Total 8.405 43 Keinovatifan sek between groups 8.319E-04 1 8.318E-04 .004 Within groups 8.157 42 .194 total 8.158 43 Sumber : data primer
Sig .686
.545
.881
.729
.608
.792
.890
.443
.863
.948
b.
Gambaran setiap dimensi iklim organisasi pada sekolah penerap MBS. Tabel 4.7 Rentangan, Rerata, Deviasi baku, Rerata Galat Baku dari Sekolah MBS Dimensi Min Max Mean Std.error Std.Dev Gangguan tambahan 2 4 2.47 6.66E-02 .53 Kerekanan staf 3 5 3.93 4.23E-02 .34 Semangat kerja 3 5 4.07 5.16E-02 .41 3 5 4.09 5.14E-02 .41 Kedekatan dgn murid Orientasi hasil 3 5 3.99 6.97E-02 .55 Kekakuan kepsek 2 4 3.02 6.37E-02 .51 Perhatian kepsek 3 5 4.21 5.29E-02 .42 Kepercayaan kepsek 3 5 3.56 5.88E-02 .47 Disiplin guru 3 5 3.99 4.87E-02 .39 Keinovatifan sekolah 3 5 3.89 6.19E-02 .49
25
Erny & Jumiyati, Kajian Iklim Organisasi Tabel 4.7 menunjukkan kesepuluh dimensi iklim organisasi dapat diurut dari yang terbesar sampai terkecil; Perhatian kepala sekolah (4,21), kedekatan dengan murid (4,09), orientasi hasil (3,99), disiplin guru (3,99), kerekanan staf (3,93), keinovativan sekolah (3,89), kepercayaan kepala sekolah (3,56), kekakuan kepala sekolah (3,02) dan gangguan beban tambahan (2,47). Dari urutan tersebut dapat dikatakan bahwa penerapan MBS membuat perhatian kepala sekolah agak lebih intensif tanpa menyadari bahwa MBS itu sendiri membawa efek kesibukan tambahan bagi para guru. Sekolah MBS memperhatikan kedekatan guru dengan murid, serta semangat kerja staf prima tetapi juga diimbangi oleh kekakuan dan kepercayan kepala sekolah, mungkkin dibayangi kekhawatiran kalau upaya inovatif gagal. Orientasi hasil, disiplin guru, kerekanan staf dan keinofativan sekolah menduduki posisi tengah yang dapat dipandang sebagai resultan dari tarikan ketiga dimensi terbawah dan teratas. Singkatnya, penerapan MBS tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap iklim organisasi sekolah, justru yang terjadi adalah bertambahnya kesibukan bagi para guru.
Simpulan dan saran a. •
• •
b. • • •
Simpulan Iklim organisasi sekolah MBS dan non-MBS terdapat perbedaan signifikan pada gannguan beban tambahan dan perhatian kepala sekolah. Sekolah MBS mempunyai skor lebih tinggi berarti guru cenderung lebih sibuk dengan beban tambahan selain mengajar dan kepala sekolah cenderung menaruh perhatian pada menjalin komunikasi yang lebih baik. Jadi dapat dikatakan bahwa penerapam MBS tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap iklim organisasi sekolah, justru yang terjadi adalah bertambahnya kesibukan bagi para guru. Tidak ada perbedaan yang berarti persepsi kepala sekolah dan para gurunya, hal ini menggambarkan tingkat keakuratan yang tinggi dan kadar kecurigaan yang rendah Deskripsi kesepuluh dimensi menyingkapkan bahwa penerapan MBS membuat perhatian kepala sekolah agak lebih intensif tanpa menyadari bahwa MBS itu sendiri membawa dampak kesibukan tambahan pada gurunya. Saran Perlu adanya upaya dan keseriusan kepala sekolah untuk mencari terobosan-terobosan yang tepat bagi sekolahnya, bukan sekedar meniru antar-sekolah dalam gugus atau dari gugus tetangga. Kurang terdapatnya perbedaan iklim organisasi dikarenakan keseragaman peraturan dan perlakuan. Kepercayaan akan desentralisasi perlu disadari, dihayati dan dilaksanakan tidak dengan setengah hati. Penelitian ini menemukan dan mengungkapkan hal-hal di luar dugaan ideal, karena itu diperlukan kewaspadaan dalam menanggapi pelaksanaan MBS. Kewaspadaan ini akan lebih berarti bila ditindaklanjuti oleh penelitian lebih lanjut yang dapat membuka tabir variabel-variabel lain yang lebih signifikan.
Daftar Acuan Abu-Duhou, I .1999, School-Based Management, Paris: International Institute for Educational Planning-UNESCO. Anderson, C .S. 1982, The search for school climate: A Review of The Research, Review of Educational Research, 52, 368-420. Caldwell, B.J & Spinks, J .1998, The Self-Managing School, London: Pahner Press. Caldwell, B.J & Spinks, J .1992, Leading the Self Managing School, London: Pahner Press. Caldwell, B.J Spinks, J.M, Suparman, M.R., Bafadhal, F.A.R., Kaluge, L. 2000, Creating LearningCommunities forChildren-Evaluation Report.,Jakarta : UNESCO-UNICEF-GOVT of Indonesia.
26
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60 Chapman, J. & Aspin, D .1997, Learning the Learning Community, Leading and Managing, 3 (3), 151-170. Hoy, W.K & Miskel, C.B. 1991, Educational Administration; Teori Research and Practice., New York: Random House. James, L.R. & Jones, A.P .1974, Organizational Climate : A Review of the Theory and Research, Psychological Bulletin, 81, 1096-1112. Kaluge, L, Patty, J, & Maluegha, J. 1991. Studi Konfirmasi Pemakaian OCDQ di Beberapa Sekolah Menengah Petra di Surabaya. Laporan penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian IKIP Surabaya. Kottkamp, R.B., Mulhern, J.A., & Hoy, W.K. 1987. Secondary School Climate: A Revision of the OCDQ. Educational Administration Quarterly, 23, 31-48. Oemadi .2001. School Based Management: A Lesson Learned from Indonesia. Makalah yang disajikan pada UNESCO sub – Regional Training Workshop: Decentralising Basic Education, Bandung, 10-12 Oktober 2001. Rentoul, A.J., Praser, B.J. 1983. Development of a school-level environment questionairy. The Journal of Educational Administration, XXI, 1, 21-39. Schneider, B. 1982. Organizational Climate: Individual Preferences and Organizational Realities. Journal of Applied Psycology, 56, 211-217. Taguri, R.1968. The Consept of Organizational Climate. Dalam R. Taguri. Dan G.H. Litwin (Eds), Organization Climate: Exploration of Concept (hal. 11-34). Boston Harvard University, Division of Research, Graduate School of Bisbis Administration. Watkins, J.F. 1968. The OCDQ-an Aplication and some Simplication. Educational Administration Quarterly, 4, 46-61.
27