19 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI ...

45 downloads 1876 Views 492KB Size Report
19. BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, DAN. KONFLIK SOSIAL. 2.1 Defenisi Novel. Istilah prosa fiksi atau cukup disebut ...
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, DAN KONFLIK SOSIAL 2.1 Defenisi Novel Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin sebuah cerita. Karya fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novellet, maupun cerpen, Aminudin (2000:66.) Fiksi

menceritakan

berbagai

masalah

kehidupan

manusia

dalam

interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Bentuk karya fiksi yang terkenal saat ini adalah novel. Sebagai genre sastra termudah, novel ternyata telah banyak menarik perhatian dan minat banyak kalangan. Novel adalah karya fiksi yang mengandung nilai-nilai keindahan dan kehidupan. Nilai-nilai keindahan yang terdapat di dalamnya memberikan kenikmatan bagi pembacanya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memberikan manfaat. Di dalam novel diperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara utuh. Maksudnya yaitu, di dalam novel menggambarkan tokoh-tokoh, tentang peristiwa, dan tentang latarnya secara fisik, seolah-olah dapat di lihat, diraba, serta di dengar. Di samping itu novel juga menghadirkan pengetahuan-pengetahuan yang terdalam, yang tidak dapat dilihat, tidak dapat dipegang, tidak dapat di dengar melainkan dirasakan oleh batin yang

19 Universitas Sumatera Utara

semua itu diperoleh secara tersirat dari gambaran tokohnya, dari peristiwanya, dari tempat yang dilukiskan atau waktu yang disebutkan. Sesuai dengan pernyataan Abrams dalam Nurgiantoro (1995:4), yaitu dalam perkembangannya karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Novel berasal dari bahasa Italia novella. Secara harafiah, novella berarti sebuah “barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”, Abrams dalam Nurgiyantoro, (1994:9). Dewasa ini novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelette dalam bahasa Inggris, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek. Menurut Jacob Sumardjo (1999:11), novel adalah cerita, dan cerita digemari manusia sejak kecil. Dan tiap hari manusia senang pada cerita, entah faktual, untuk gurauan, atau sekedar ilustrasi dalam percakapan. Bahasa novel juga bahasa denotatif, tingkat kepadatan dan makna gandanya sedikit. Jadi novel mudah dibaca dan dicernakan. Juga novel kebanyakan mengandung suspense dalam alur ceritanya, yang gampang menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Menurut H.B. Jassin dalam Suroto ( 1989:19), mengatakan bahwa novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian secara luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Wujud novel adalah konsentrasi, pemusatan, kehidupan dalam satu saat, dalam satu krisis yang menentukan. Dengan demikian, novel hanya

20 Universitas Sumatera Utara

menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan perubahan nasib.

2.1.1. Unsur Intrinsik Novel a. Tema Menurut Stanton dan Kenny dalam Nurgiantoro (1995:67), tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana dapat dinyatakan sebagai tema itu. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan isi cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan sacara eksplisit. Tema, dengan demikian, dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan

sebelumnya

oleh

pengarang

yang

dipergunakanya

untuk

mengembangkan cerita. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan

kehidupan. Melalui karyanya itulah

pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.

21 Universitas Sumatera Utara

Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal. Tema yang ingin diangkat oleh pengarang dalam cerita novel Botchan adalah moralitas. Menceritakan kehidupan tokoh utama yang bernama Botchan yang pergi dari Tokyo ke pedalaman Shikoku untuk menjadi seorang guru matematika di sebuah sekolah menengah Matsuyama. Karena sifat jujur, blakblakan, dan anti ketidakadilan yang dimilikinya, Botchan banyak mengalami pertentangan dan konflik dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya, khususnya di lingkungan sekolah tempat Botchan mengajar. Botchan terlibat konflik dengan rekan sesama guru yang dinilai Botchan munafik dan pura-pura baik dan juga murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar.

b. Penokohan Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Sayuti dalam Wiyatmi (2009:31), tokoh di sebut tokoh utama (sentral) apabila memenuhi tiga syarat:

22 Universitas Sumatera Utara

1. Paling terlibat dengan makna atau tema. 2. Paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. 3. Paling banyak memerlukan waktu penceritaan, Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya (Aminuddin, 2000:80). Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Botchan terbagi dalam tokoh utama dan tokoh tambahan/pembantu. Natsume Soseki menggambarkan tokoh utama berprofesi sebagai seorang guru matematika muda yang berasal dari Tokyo yang pergi ke sebuah sekolah menengah di daerah terpencil untuk mengajar. Punya sifat idealis, jujur, adil, dan blak-blakan yang bernama Botchan yang banyak mengalami konflik sosial dengan orang-orang di sekitarnya, khusnya di lingkungan pekerjaan tempat Botchan mengajar. Sedangkan tokoh-tokoh tambahan yaitu Kepala Sekolah yang dijuluki ‘Tanuki’ (sejenis Rakun) oleh Botchan yang menurutnya tidak dapat bersifat tegas terhadap kenakalan para murid, ‘Kepala Guru’ yang jabatannya di bawah Kepala Sekolah yang dijuluki Botchan Kemeja Merah (karena selalu memakai kemeja berwarna merah setiap hari) yang mempunyai sifat licik dan pura-pura baik, Hotta seorang guru matematika senior yang merupakan sahabat Botchan, guru seni yang bernama Yoshikawa, yang dijuluki oleh Botchan si ‘Badut’ karena sifatnya yang penjilat, Koga seorang guru Bahasa Inggris yang memiliki sifat baik, yang tunangannya direbut oleh Kepala Guru dan di transfer ke daerah yang sangat terpencil, muridmurid yang menurut Botchan nakal, Kiyo yang merupakan hamba Botchan, orang tua Botchan, kakak laki-laki Botchan, serta tokoh-tokoh lainnya.

23 Universitas Sumatera Utara

c. Alur atau Plot Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam, Aminuddin (2000:83). Dalam cerita fiksi urutan peristiwa dapat beraneka ragam. Montage dan Henshaw dalam Aminudin (2000:84), menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai berikut: -

Exposition : Tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita.

-

Inciting Force: Tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku.

-

Rising Action: Situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik.

-

Crisis : Situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh para pengarangnya.

-

Climax: Situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri.

-

Falling Action : Kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan dalm cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusions atau penyelesaian cerita.

24 Universitas Sumatera Utara

Dalam novel “Botchan”, tahapan peristiwa dalam alur suatu cerita juga tersusun dalam tahapan yang dinyatakan oleh Montage dan Henshaw, yaitu dalam tahapan: -

Exposition: Di dalam novel Botchan, pada awal cerita dijelaskan kehidupan tokoh Botchan di dalam keluarga, kemudian lulusnya tokoh Utama Botchan dari Sekolah tinggi ilmu alam Tokyo. Ia menerima pekerjaan sebagai seorang guru matematika di sebuah sekolah menengah Matsuyama di pedalaman Shikoku. Kemudian menjelaskan pelaku lain yang mendukung cerita seperti kepala sekolah yang dijuluki Tanuki oleh Botchan, kepala guru yang dijuluki Botchan si Kemeja Merah, Hotta seorang guru Matematika senior, guru seni yang dijuluki Botchan si Badut, Koga guru bahasa inggris, dan murid-murid di sekolah tempat Botchan mengajar.

-

Inciting Force: Dalam tahap ini di dalam novel Botchan digambarkan keadaan hari pertama Botchan mulai mengajar dimana salah satu muridnya memberikan soal matematika yang mustahil untuk dipecahkan. Kemudian Botchan berkata aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu sekarang, tapi aku akan berusaha memecahkanya lain kali. Hal itu langsung menimbulkan cemooh dari murid-muridnya.

-

Rising action: Dalam tahapan ini digambarkan di mana ketika tokoh Botchan mendapat giliran untuk tugas malam, murid-muridnya yang nakal mengerjainya dengan cara memasukan belalang ke dalam futonnya. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan besar bagi Botchan dan di tambah lagi murid-murinya tidak mau jujur mengakui kesalahan

25 Universitas Sumatera Utara

yang diperbuat. Kepala sekolah juga tidak dapat bersikap tegas terhadap kenakalan para murid. Botchan berkata “pendisiplinan macam apa ini?”. -

Crisis: Dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan tokoh Botchan menolak kenaikan gaji yang ditawarkan oleh kepala guru (Kemeja Merah). Kemeja Merah dengan licik memanfaatkan jabatannya untuk mentransfer Koga seorang guru bahasa inggris dengan maksud merebut tunangannya Koga. Kemeja merah berkata bahwa sekolah punya uang lebih karena kepindahan Koga dan menawarkan kenaikan gaji kepada Botchan. Hal ini tentu saja di tentang Botchan. Botchan berkata “aku bukanlah manusia berhati kejam yang tanpa malu mengambil gaji orang yang ditransfer di luar kemauanya”.

-

Climax: Dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan dimana tokoh Botchan dan tokoh Hotta memergoki Kepala guru dan rekannya yang penjilat guru seni yang dijuluki Botchan si Badut berkunjung ke Kadoya (rumah bordil). Padahal sebelumya kepala guru berkata seorang guru akan merusak disiplin bila pergi ke tokoh mi dan dango. Hotta dan Botchan pun melayangkan tinju kepada kepala guru dan si guru seni, yang mereka anggap sebagai keadilan.

-

Falling Action: dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan di mana Tokoh Botchan yang tidak betah lagi untuk tinggal di desa tempatnya mengajar, kemudian menulis surat pengunduran diri kepada kepala sekolah. Ia kembali ke Tokyo dan

26 Universitas Sumatera Utara

hidup bersama pengasuhnya Kiyo. Botchan berkata akupun begitu bahagia, ”aku takkan pernah ke pedesaan lagi”. Botchan mendapat pekerjaan sebagai asisten mekanik di Tokyo Tramcar Company.

c. Setting Lattar atau setting yang disebut juga sebagi landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan, Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216). Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana pada dalam cerita seolah-olah sungguh-sungguh ada terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah dalam menggunakan daya imajinasinya. Disamping itu juga berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuan tentang latar. Latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang digambarkan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkanya. Nurgiyantoro (1995:227), mengungkapkan bahwa unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.

27 Universitas Sumatera Utara

1. Latar Tempat. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Diskripsi tempat secara mendetail, spesifik dan realistis penting untuk memberI kesan kepada pembaca seolah-olah situasi yang dilukiskan sungguh-sungguh terjadi di tempat yang di ceritakan itu. Latar atau setting tempat dalam Novel Botchan adalah di sebuah sekolah menengah Matsuyama di pedalaman Shikoku. 2. Latar Waktu. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang dicerikan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Latar waktu dalam cerita Botchan digambarkan sekitar tahun 1895 yaitu pada zaman Meiji. 3. Latar Sosial. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Hal-hal sosial ini menyangkut tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, bersikap dan lai-lain. Di samping itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas. 28 Universitas Sumatera Utara

Dalam Masyrakat Jepang dalam hal bersikap, terutama dalam berinteraksi dan berkomunik dikenal istilah “honne” dan “tatamae”. Honne adalah sikap yang berhubungan dengan isi hati atau perasaan yang sebenarnya, sedangkan tatamae adalah sikap atau tindakan yang tampak dari luar. Honne dan Tatamae telah menjadi kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang dan bagi masyarakat Jepang dua hal ini sangat penting dalam menjaga wa (harmoni, kedamaian dan keselarasan) dan hubungan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Untuk menjaga wa tetap hidup, masyarakat Jepang berusaha untuk tidak terlalu terbuka dalam mengekspresikan keinginan dan pendapat pribadinya. Mengorbankan kepentingan dan pendapat pribadi untuk menciptakan wa. Selain itu mengungkapakan perasaan dan keinginan secara langsung bisa menyakiti perasan orang

lain,

yang

dapat

berakhir

pada

pertengkaran

(www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126761-RB08P38b...Analisis.pdf). Honne adalah isi hati atau perasan seseorang yang sebenarnya. Seseorang hanya akan menunjukkan honne pada orang-orang yang di dekatnya saja. Jika dikaitkan dengan pola uchi dan soto seseorang hanya akan memperlihatkan honne-nya pada seseorang dalam uchi. Walaupun begitu seseorang masuk ke dalam sebuah kelompok atau uchi lalu tidak dapat langsung membuka diri begitu saja. Sikap seperti ini hanya akan menyebabkan orang yang bersangkutan dianggap tidak sopan oleh anggota atau uchi tersebut. Bagi orang Jepang keterbukaan

tidak

akan

diungkapakan

secara

terang-terangan

harus

mempertimbangkan keadaan orang lain atau mitra wicara, karena ia harus memahami perasaan orang lain agar tidak merasa teringgung. Dengan demikian individu Jepang adalah orang yang menjaga keharmonisan dengan orang lain.

29 Universitas Sumatera Utara

Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Menurut masyarakat jepang, konflik dan konfrotasi secara serius dapat

dapat

memutuskan

hubungan

yang

harmonis.

(http://rainhardkun.blogspot.com/2008/09/giri-ninjo-honne-tatemae-dan-wa dalam.html. Pada umumnya satu pembicaraan merupakan Khotbah sepihak, gaya komunikasi “saya setuju sepenuhnya”, yang tidak memungkinkan timbulnya pandangan yang bertentangan. Contohnya, secara khusus pihak yang muda setiapa kali akan mengambil langkah menghindarkan konfrontasi terbuka dengan atasannya. Usaha seperti itu menyebabkan bentuk-bentuk sangkalan jarang dipergunakan dalam pembicaraan: orang akan lebih suka diam daripada mengucapkan kata-kata seperti “tidak” atau “saya tidak setuju”. Akar dari usaha menghindarkan terungkapanya penyangkalan terbuka dan sungguh-sungguh itu akan merusak keselarasan sehingga menyakitkan perasaan orang yang lebih tinggi statusnya dan dalam lingkungan ekstrem hal itu dapat menimbulkan risiko terbuang dari kelompok sebagai anggota yang tidak dikehendaki, Nakane (44:1981). Di Jepang terdapat jaminan yang sungguh-sungguh bahwa pelanggaran akan diperbaiki kalau itu berupa tindakan-tindakan yang diperkenankan oleh pola tingkah laku yang berlaku. Orang dapat mengandalakan pola itu dan akan selamat jika menaatinya. Seseorang menunjukan keberanian dan integritasnya kalau

30 Universitas Sumatera Utara

bertindak sesuai dengaan pola itu, bukan kalau ia berusaha mengubah atau melawan pola itu, Benedict (1982:77). Keberadaan Honne dan Tatamae ini juga terungkap melalui tokoh Botchan dalam novel Botchan karya Natsume Soseki. Karena tokoh Botchan yang selalu bersifat terbuka, terus-terang dan blak-blakan dalam mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi/Honne-nya terhadap orang-orang di lingkungan sekitarnya khususnya di lingkungan tempat Botchan mengajar menimbulkan ketidaksukaan dari orang-orang di sekitarnya yang berujung pada terjadinya konflik. Selain Honne dan Tatamae yang terungkap dalam novel ini, penulis juga akan menjelaskan tentang Latar sosial yang ada di dalam novel Botchan. Novel Botchan mengisahkan ‘pemberontakan’ seorang guru muda yang bernama ‘Botchan’, terhadap “sistem” di sebuah sekolah menengah pedesaan di pedalaman Shikoku. Sosok seorang Botchan yang jujur, adil dan blak-blakan di pertemukan dengan dunia nyata di mana

banyak sekali kemunafikan, ketidakadilan dan

kepuraaan-kepuraan terjadi di lingukungan sekitarnya. Semenjak kakinya menginjak daerah baru tersebut, ia terlibat dalam berbagai konflik dan masalah dengan rekannya sesama guru yang pura-pura baik dan penjilat, serta muridmuridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. Botchan yang sebelumnya tinggal di Tokyo sering terkejut dengan kebiasaan dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar seperti seorang guru dilarang berkunjung dan makan di restoran ramen dan dango. Awalnya “Botchan” tidak tau akan hal itu dan ia berkunjung dan makan di toko ramen dan dango. Keesokan harinya ia diejek dan ditertawakan murid-muridnya.

31 Universitas Sumatera Utara

Sifat Botchan yang selalu terus terang seringkali membuat dia mengalami kesulitan dalam berinteraksi. Kejujuran, anti ketidakadilan dan sifatnya yang blakblakan bertolak belakang dengan sebagian besar orang yang dijumpainya. Botchan tidak saja menerima pertentangan dari rekannya sesama guru tapi juga murid-muridnya. Dia tidak sungkan menegur dan bicara blak-blakan kepada murid-muridnya yang nakal dan juga kepada rekan-rekan sesama guru. Botchan tidak peduli bagaimana pandangan sosial masyarakat sekitarnya pada dirinya dan tetap mempertahankan prinsip-prinsip hidup yang dipegangnya. Dalam perjalananya sebagai seorang guru, Botchan merasakan keadaankeadaan yang tidak sesuai dengan hatinya terutama setelah berinteraksi dengan masyarakat di tempat Botchan mengajar, khususunya rekan sesama guru, dan murid-muridnya yang nakal yang suka mengerjai Botchan. Ketidaksesuaian hati terhadap kondisi yang dihadapinya sehari-hari inilah yang menjadi pembangunan alur cerita dan konflik di dalam novel Botchan. Maka hanya dalam waktu singkat, Botchan sudah terlibat konflik/masalah dengan adanya penipuan

yang dilakukan oleh Kemeja Merah yang seorang

kepala guru yang punya sifat licik dan pura-pura baik dan rekannya yang bernama Yoshikawa seorang guru seni yang dijuluki Botchan si “Badut” karena punya sifat penjilat, pencemaran nama baik, hingga perkelahian dengan murid-murid maupun rekan- rekannya sesama guru. Semua hal yang menyebabkan dirinya semakin lama semakin muak dengan kemunafikan serta kepura-puraan yang terjadi di sekelilingnya. Kesempitan dan kemunafikan orang-orang di lingkungan di sekitar membuat Botchan tidak betah tinggal, akhirnya Botchan pun meninggalkan sekolah tempatnya mengajar dan kembali lagi ke Tokyo.

32 Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain-lain, di luar unsur intrinsik. Perhatian terhadap unsur- unsur ini akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra.

Berbicara tentang unsur ekstrinsik berarti kita berbicara tentang sesuatu di luar karya sastra yaitu masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Di mana terjadinya interaksi sosial, proses-proses sosial dan masalah-masalah sosial antar individu dengan individu, individu dengan kelompok bahkan sebaliknya, yang mengadakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Berbicara tentang konflik sosial tokoh utama dalam suatu karya sastra, berarti kita berbicara unsur ekstrinsik dari karya sastra tersebut. Manusia dalam berinteraksi dan berhubungan dengan individu lain pasti tidak terlepas dari konflik, karena manusia adalah makluk konfliktis yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa.

2.1.3 Biografi Natsume Soseki Natsume Kinnosuke , yang lebih luas dikenal dengan nama pena Soseki, lahir di Tokyo, 9 Februari 1867, setahun sebelum Kaisar Meiji menerima kembali pemerintahan dari shogun Tokugawa. Meskipun kekaisaran Meiji sejak 1872 telah melakukan pembaharuan di bidang pendidikan dengan memperkenalkan sistem pendidikan Barat, tetapi Soseki masih harus belajar dalam suasana lama.

33 Universitas Sumatera Utara

Demikianlah dia pun mempelajari bahasa dan sastra Cina klasik, sebagai salah satu pelajaran utama dalam pendidikan zaman Edo. Selama setahun mempelajari Sastra Cina di sekolahnya menimbulkan kecintaan Soseki pada sastra Cina dalam dirinya sepanjang hidup. Pada tahun 1882, Soseki menyatakan keinginan untuk menjadikan sastra sebagai karir, meskipun tidak menjelaskan apakah sebagai penulis atau peneliti akademis. Soseki masuk ke Departemen Sastra Inggris Tokyo Imperial University di tahun 1890. Selama periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai pengetahuan dari dunia Barat demi membantu pembangunan negeri merupakan kewajiban mereka. Soseki bukanlah pengecualian dan semangat memperoleh pengetahuan dalam salah satu aspek peradaban Baratlah yang menuntunnya menekuni sastra Inggris. Soseki adalah sarjana kedua yang lulus dari Universitas Kerajaan (yang kemudian menjadi Universitas Tokyo atau Tokyo Daigaku) di Tokyo jurusan bahasa Inggris (yang dibuka 1888) dan kemudian ia pun beberapa lama mengajarkan sastra Inggirs di universitas tersebut di samping beberapa sekolah lain. Ia tamat dari Universitas Kerajaan pada tahun 1893. Ia pun menerima pengangkatan sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Guru di Tokyo. Dua tahun kemudian pada tahun 1895, dia tiba-tiba pindah ke Matsuyama di pulau Shikoku dan mengajar pada sebuah Sekolah Menengah. Pada waktu itu pula dia menulis haiku dan mempergunakan nama samaran Soseki. Yang jelas ialah bahwa di Matsuyamalah dia melamar Nakane Kyoko, yang kemudian menjadi istrinya. Namun ternyata di Matsuyama pun ia tidak betah, karena setahun kemudian pada tahun 1896 dia pindah ke Kumamoto di pulau Kyushu, mengajar di Akedemi Nasional Kelima. Di situlah dia menikah, mempunyai anak

34 Universitas Sumatera Utara

dan dan hidup berbahagia, sampai tahun 1900 ketika ia tiba-tiba ditunjuk sebagai orang yang mendapat beasiswa pemerintah ke Inggris. Dua tahun lebih tinggal di London membuat Soseki frustasi. Ia mengurung diri dalam kamar dan membaca terus-menerus, mula-mula tentang sastra, tetapi kemudian juga tentang berbagai ilmu yang lain, terutama psikologi dan filsafat. Ia sendiri mengganggap pengalamanya di London sebagai yang paling tidak meyenangkan dalam hidupnya. Keadaan sedemikian rupa sehingga ia mengalami guncangan saraf yang sejak itu terus merundungnya sepanjang hidup. Awal tahun 1903 ia tiba kembali ke tanah airnya, dan mengajar di Akedemi Nasional Pertama di Tokyo. Ia pun kemudian mengajarkan sastra Inggris di Universitas Kerajaan. Cara Soseki mengajar dianggap kering dan membosankan, sehingga dia tidak disukai oleh para mahasiswa. Tetapi pada waktu itu pulahlah dia memberikan serangkaian kuliah yang mengemukakan pandangan-pandanganya tentang sastra pada umumnya, dan sastra Inggris serta sastra Jepang pada khususnya, seperti “Konsep umum tentang sastra”, ”Tentang sastra”, Sastra Inggris abad ke-18. Memang, meskipun Soseki seorang sarjana sastra Inggris yang terpandang, yang pernah tinggal di London selama dua tahun lebih, tetapi tidaklah ia menjadi seorang pengagum buta kebudayaan barat. Padahal pada waktu itu kaum intelektual dan budayawan Jepang sedang bersemangat sekali meniru segala sesuatu yang datang dari Barat. Di kalangan kesusastraan, berbagai aliran yang sedang popular di Eropa ditiru dengan antusias sekali. Kehidupan sastra di zaman Tokugawa yang lebih bersifat hiburan daripada sungguh-sungguh, dianggap tidak sesuai lagi dengan jiwa masyarakat Jepang yang berubah. Tidak syak lagi, Soseki

35 Universitas Sumatera Utara

hidup pada masa yang sangat menentukan dalam sejarah Jepang. Dalam dunia sastra zaman Meiji paruh yang pertama merupakan zaman pemindahan karyakarya barat ke dalam bahasa Jepang dan hal itu menyebabkan pengaruh Barat merajalela dalam karya sastra bahasa Jepang yang ditulis pada paruh kedua zaman tersebut. Sebagai orang yang mendalami sastra Barat, terutama sastra Inggris, Soseki melihat bahwa sastra Jepang tidak boleh menyangkal fitrahnya. Walaupun begitu Soseki bukan pula seorang yang terbakar oleh semangat nasionalisme yang sempit. Kalau dia melihat kekurangan-kekurangan pada modernisasi ataupun pada kebudayaan Barat, bukan berarti dia menolak secara apriori terhadapnya. Para peneliti tentang Soseki pun sama-sama melihat bahwa pada karya-karya Soseki tampak pengaruh para pengarang Inggris. Tetapi para peneliti itu pun sepakat, bahwa pengaruh dari para pengarang Barat itu diimbanginya dengan keeratannya pada akar budaya Jepang sendiri, sehingga karya-karyanya merupakan sesuatu yang orisinil. Karyanya yang paling terkenal, Botchan misalnya memperlihatkan pengaruh dari bahasa roman-roman lucu masa itu. Sebagai seseorang yang lahir di Edo (Tokyo), Soseki memang akrab sekali dengan kebudayaan Edo, hal mana tampak bukan saja pada gaya bahasa yang dipakainya menulis Botchan, melainkan dengan caranya menyebut tokohtokohnya dengan nama ejekan. Dengan begitu karyanya diakui memang berbeda sekali dengan karya sastra jepang pada masa itu, baik dalam bentuk, gaya bahasa, maupun karakteristiknya. Pada tahun 1906 dia menolak tawaran surat kabar Yomiuri yang berpengaruh untuk menjadi pengasuh ruangan sastra. Pada waktu itu ia telah berhasil menarik para penggemar dan pengagum serta kawan-kawannya, sehingga

36 Universitas Sumatera Utara

mereka mengadakan pertemuan sekali seminggu. Di antara pesertanya ada Komiya Toyotaka yang kemudian menulis biografi Natsume Soseki yang lengkap dengan Akutagawa Ryuunosuke (1892-1927) yang kemudian juga jadi terkenal sebagai salah seorang sastrawan Jepang modern yang penting. Pada waktu itu terbit Tiga Cerita (Uzurakugo, 1906) yang terdiri atas Botchan, Bantalan Rumput (Kusamakura) dan Hari Angin ribut (Nihyakutooka). Botchan (1906) sangat popular dan bersama Aku Seekor Kucing (1904) merupakan karya Sooseki yang paling terkenal. . Pada bulan Februari 1907 dia menerima tawaran dari Asahi, surat kabar terbesar di Jepang pada waktu itu untuk bekerja sebagai penulis cerita. Soseki meninggalakan pekerjaannya sebagai pengajar di universitas karena ia melihatnya sebagai kesempatan untuk menjadi penulis kreatif secara penuh. Keputusan itu menggegerkan kalangan universitas dan kawan-kawanya. Tidak pernah terjadi sebelumnya ada orang yang mau melepaskan kedudukan terhormat dan terjamin sebagai pengajar di universitas pemerintah untuk masuk ke sebuah perusahaan swasta yang tidak jelas masa depannya. Tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa pilihan Soseki tidaklah keliru. Bukan saja untuk dirinya pribadi, melainkan juga bagi dunia kesusastraan Jepang. Dengan meninggalakan universitas, Soseki telah memperkaya khazanah sastra Jepang. Pada tahun 1909 Soseki membuat geger ketika ia menolak Piala Emas yang diberikan majalah Taiyo, karena terpilih sebagai seniman yang paling banyak mendapat suara penggemar. Alasanya Soseki menganggapa hal itu membahayakan pribadi seniman, karena merupakan tirani mayoritas. Dua tahun setelah itu, ia menggegerkan lagi karena menolak gelar Doktor Kehormatan dalam

37 Universitas Sumatera Utara

sastra yang hendak diberikan oleh pemerintah. Soseki merasa tersinggung karena menganggap hak asasinya sebagai individu dilanggar karena dia tidak ditanya suka atau tidak menerima gelar kehormatan itu. Dia ingin hidup sebagai manusia biasa. Memang Soseki dikenal eksentrik, tetapi hanya dalam hal-hal yang menyangkut prisip dasar yang dianutnya saja. Dalam uraiannya yang berjudul “Dasar filsafat sastra dan seni” Soseki menyebut tentang empat macam akibat yang ditimbulkan oleh suatu karya sastra terhadap pembacanya, yaitu yang disebutnya sebagai sesutau keindahan, kebenaran, kebaikan dan kepahlawanan. Nuansa satir ringan dalam karya-karya awalnya kemudian digantikan dengan Koofu (1908), Sanshiroo (1908), dan Sorekara (1909) yang bernada serius. Meski berjuang melawan sakit parah, termasuk dalam karya sastra Soseki pada dekade terakhir hidupnya antara lain Mon, Kojin (1913), dan Kokoro (1914), kemudian memuncak pada novelnya yang tidak selesai, Meian (1916) yang merupakan sebuah studi pengasingan dan kesepian. Ia meninggal di tahun 1916.

2.2 Defenisi Sosiologi Sastra Sosiologi adalah ilmiah yang objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Lewat penelitian yang ketat melalui lembagalembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama apa yang disebut sosiologi, dikatakan memperoleh gambaran cara manusia

38 Universitas Sumatera Utara

menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu, Swingewood dalam Faruk (1994:11). Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyrakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra (Endraswara, 2008:77). Sosiologi sastra dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra, secara harafiah mesti ditopang oleh dua teori yang berbeda, yakni teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Dalam sosiologi sastra yang jelas mendominasi jelas teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer, Ratna (2005: 18). Teori- teori sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teoriteori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek ekstrinsik. Soemardjan dan Soemardi dalam Soekanto (2009: 18) menyatakan bahwa Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta

39 Universitas Sumatera Utara

lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama. Adapun wilayah sosiologi sastra cukup luas, Wellek dan Warren dalam Damono (1984:3) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra yaitu: 1. Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sabagai penghasil sastra. 2. Sosiologi sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. 3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagi konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persedian pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada giliran kenyatanya yang tercipta dalam karya model, Lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karekteristik tokoh misalnya, tidak diukur atas dasar persamaanya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsiran bersifat bolakbalik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan, Teeuw (1984:224-229).

40 Universitas Sumatera Utara

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggapa sebgai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati dengan demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya. c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya

2.3 Interaksi Sosial Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilakan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian (konflik) dan sebagianya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur,

41 Universitas Sumatera Utara

berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan saling berkelahi. Aktivitas-aktivitas samacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Adanya kontak sosial (social contact) 2. Adanya komunikasi. Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersamasama) dan tango (yang artinya meyentuh), jadi artinya secara harafiah adalah bersama-sama meyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa meyentuhnya, seperti misalnya, dengan cara berbicara dengan pihak lain tersebut. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: 1. Antara orang perorangan. 2. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya. 3. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainya. Kontak sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau pertikaian (konflik). Arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasan apa yang ingin disampaikan oleh orang

42 Universitas Sumatera Utara

tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang perseorangan dapat diketahui oleh kelompokkelompok lain atau orang-orang lainnya. Hal itu kemudian merupakan bahan untuk

menentukan

reaksi

apa

yang

akan

dilakukannya.

Komunikasi

memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau antara kelompokkelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah satu syarat terjadi kerja sama. Akan tetapi tidak selalu komunikasi menghasilkan kerja sama bahkan suatu pertikaian/konflik mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing- masing tidak mau mengalah. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Konflik terjadi sesudah timbul emosi, rasa benci dan rasa marah, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan ingin menyerang, melukai, merusak atau memusnahkan pihak lain. 2.4 Konflik Sosial Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya ( http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik). Pribadi maupun kelompok yang menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan

43 Universitas Sumatera Utara

yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian (conflict). Perasaan memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut sedemikian rupa, sehingga masing-masing berusaha untuk saling menghancurkan. Perasaan mana biasanya berwujud amarah dan rasa saling benci yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk melukai atau menyerang pihak lain, atau untuk menekan dan menghancurkan individu atau kelompok yang menjadi lawan. Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuanya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai ancaman dan/atau kekerasan. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata–kata yang mengandung amarah ( http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik). Soerjono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik yaitu : -

Perbedaan antar individu; merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggan, dan identitas seseorang. Sebagai contoh anda ingin suasana belajar tenang tetapi teman anda ingin belajar sambil bernyanyi, karena menurut teman

44 Universitas Sumatera Utara

anda itu sangat mundukung. Kemudian timbul amarah dalam diri anda. Sehingga terjadi konflik. -

Perbedaan kebudayaan; kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh masyarakat lainnya. Interaksi sosial anta rindividu atau kelompok dengan pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah dan benci sehingga berakibat konflik.

-

Perbedaan kepentingan; setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat menimbulkan konflik diantara mereka.

-

Perubahan sosial; perubahan yang terlalu cepat yang terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat.Sebagai contoh kaum muda ingin merombak pola perilaku tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya. Maka akan timbulah konflik diantara mereka. Pertentangan atau konflik mempunyai beberapa bentuk khusus:

1. Pertentangan pribadi. Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan sudah saling tidak menyukai. Apabila permulaaan yang buruk tadi dikembangkan, maka timbul rasa saling membenci. Masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawanya. Makian-makian diucapkan, penghinaan dilontarkan dan seterusnya sampai timbul kekerasan fisik.

45 Universitas Sumatera Utara

2. Pertentangan rasial. Misalanya, pertentangan antara orang-orang Negro dengan orang-orang kulit putih di Amerika Serikat 3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial. Pada umumnya ia disebabkan oleh perbedaan kepentingan. 4. Peretentangan politik. Biasanya pertentangan ini menyangkut antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat. 5. Pertentangan yang bersifat internasional. Berdasarkan Sifatnya konflik dapat di bagi menjadi dua, yaitu:

- Konflik destruktif, merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok orang. Pada titik tertentu konflik ini dapat merusak atau menghancurkan sebuah hubungan. - Konflik konstruktif, merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan.

Pengertian konflik secara sosiologis tidak jauh berbeda dengan pengetian konflik yang dijabarkan dalam ilmu sastra. Manusia adalah makluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah fihak yang bersebrangan, Susan Novri (2009:4).

46 Universitas Sumatera Utara

Konflik dalam sebuah karya fiksi sangatlah penting dalam pembentukan alur cerita. Ada dua elemen yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan “sifat-sifat” dan “kekuatan-kekuatan” tertentu seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman atau individualistis dan kemauan beradaptasi, Stanton (2007:13). Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang, jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya, Meredith & Fitzgerald dalam Nuriyantoro, (1995:122).

47 Universitas Sumatera Utara