Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai ...
pengendalian dan kekuasaan (control), dan cinta serta kasih sayang (affection).
8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Psikologi Sastra Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam berkarya. Begitulah pembaca, dalam menanggapi karya tak akan lepas dari aktivitas kejiwaan masing-masing. Jatman (1983: 165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut rill, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. Menurut (Roekhan, 1990: 88) Psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakat.
8
9
Penelitian psikologi sastra memiliki landasan pijak yang kokoh. Karena, baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang sedangkan psikologi manusia sebagai ciptaan Illahi secara rill (Endraswara, 2003: 97-99). Salah satu kajian psikologi yang menganalisis perilaku manusia adalah psikologi Behaviorisme. Behaviorisme merupakan aliran dalam psikologi yang timbul sebagai perkembangan dari psikologi pada umumnya. Para ahli dalam rumpun behaviorisme meneliti psikologi secara objektif. Mereka berpendapat bahwa kesadaran merupakan hal yang tidak dapat diobservasi secara langsung (Walgito, 2004: 66). Selain teori psikologi sastra dan behaviorisme, untuk dapat mengetahui perilaku dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam sebuah karya dapat juga dianalisis dengan menggunakan psikologi komunikasi.
B. Psikologi Komunikasi Dalam psikologi, komunikasi mempunyai makna yang luas. Psikologi menyebut komunikasi sebagai penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri organisme dan di antara organisme. Dengan kata lain, komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain (Rakhmat, 2008: 5). Kajian dari teori ini di antaranya adalah komunikasi di antara individu: bagaimana pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan
10
respons pada individu yang lain. Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Rakhmat (2008: 14) mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Manusia ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow (1980: 80-92) menyebutnya “kebutuhan akan cinta” atau “belongingness”. William Schutz (1996) memerinci kebutuhan sosial ini ke dalam tiga hal inclusion, control, affection. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), dan cinta serta kasih sayang (affection). Secara singkat, manusia ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, ingin mengendalikan dan dikendalikan, ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan sosial ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif.
C. Tokoh dan Penokohan Dalam prosa fiksi terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu sendiri. Baik novel, novelet maupun cerpen semuanya memiliki unsur-unsur intrinsik. Pratiwi (2005:41) menyatakan unsur-unsur intrinsik adalah unsur yang membentuk karya sastra dari dalam sastra itu sendiri yang meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, tema, dan amanat. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika seseorang membaca karya sastra.
11
Analisis pada bagian unsur intrinsik dalam penelitian ini hanya difokuskan pada tokoh dan penokohan. Hal itu disebabkan karena kajian dalam penelitian ini bukanlah kajian unsur intrinsik melainkan kajian psikologi perempuan. Jadi, untuk dapat mengungkap watak dan perilaku yang terdapat dalam tokohnya, peneliti menggunakan analisis tokoh dan penokohan tersebut sebagai acuan. Dalam pembicaraan sebuah karya sastra sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. 1. Tokoh Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiantoro, 2007:165). Sedangkan menurut Suyoto (2009:22), yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa yang dilakukan dalam berbagai cerita. Pada umumnya, tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. 2. Penokohan Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang sesorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:165). Novelet memiliki tokoh dengan watak yang sangat beragam. Tokoh beserta watak digambarkan dengan berbagai tenik, antara lain:
12
1. Teknik Analitik Dengan teknik analitik, watak tokoh diceritakan secara langsung oleh pengarangnya. Dengan demikian, pembaca dapat secara langsung menyimpulkan watak tokoh tersebut. 2. Teknik Dramatik Melalui teknik dramatik, watak tokoh diceritakan secara tidak langsung.
Watak
tokoh
diceritakan
melalui
penggambaran-
penggambaran tertentu. Hal ini menuntut pembaca untuk berpikir dalam menyimpulkan watak tokoh tersebut (Nurhadi, 2007: 23).
D. Psikologi Perempuan dalam Perspektif Islam Perempuan adalah sosok yang amat sering dijadikan sorotan dalam setiap sudut kehidupan. Dandanannya, pakaiannya, tingkah laku, sampai ke gerak tubuhnya. Belum lagi akhir-akhir ini, dimana gerakan feminimisme semakin dikuatkan. Semakin banyak perempuan yang ingin mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki dan meminta persamaan hak dan kewajiban seperti laki-laki. Secara fisik dan mental tak dapat dipungkiri, perempuan dan laki-laki memang sangat berbeda. Hal itu juga yang menyebabkan tugas, hak dan kewajiban kedua Makhluk Allah ini berbeda. Setiap yang diciptakan Allah selalu memiliki keistimewaan sendiri. Laki-laki yang memiliki fisik jauh lebih kuat dari wanita, dapat menjadi pelindung, yang menjaga kehormatan seorang wanita. Dia pun dapat mencari nafkah untuk keluarganya. Dan perempuan, dengan kelembutan hati yang Allah karuniakan padanya, ia dapat memacu
13
semangat laki-laki. Dia pula yang menjaga rumah tangga dan kehormatan suaminya. Dari rahimnyalah terlahir mujahid-mujahid yang bahkan setingkat Abu Bakar Siddiq. Ditangannya pula terdidik pemimpin-pemimpin yang tangguh seperti Umar Bin Abdul Aziz. Perempuan adalah makhluk Allah yang sangat tangguh. Seperti yang terdapat dalam hadits Rasulullah yang artinya, "Perempuan adalah tiang negara, apabila dalam sebuah negara perempuannya baik, maka jayalah ia, namun apabila perempuan di dalamnya buruk, maka hancurlah negara itu". Ketangguhan seorang perempuan telah dikatakan Rasulullah, bahkan Allah pun mengatakannya dalam Al-Qur’an, memuliakan kedudukan seorang ibu. Di dunia ini, perempuan diciptakan untuk melengkapi laki-laki. Dan seorang perempuan akan merasa bahwa dirinya berarti jika ia dibutuhkan oleh orang lain. Dalam hal ini, seorang perempuan akan merasakan adanya kekurangan kasih sayang dalam dirinya jika ia belum menikah. Dalam QS.Ar Rum: 21, dijelaskan: ”Dan diantara bukti-bukti kebesaran Allah, diciptakanNya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dan disampingnya. Dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir”. Pernikahan merupakan sebuah kewajiban bagi umat muslim yang telah mampu untuk melakukan pernikahan. Dengan melaksanakan sebuah pernikahan maka umat muslim berarti telah menyempurnakan separuh tiang agamanya.
14
Islam memandang perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh dan menuntut setiap orang yang terkait di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan fisik biologis, tetapi jauh lebih penting adalah tujuan spiritualnya. Dalam memilih calon suami/isteri ideal sebaiknya seseorang berusaha secara wajar saja, tidak perlu berlebihan. Minimal yang perlu dipertimbangkan dari segi agama, watak, tabiat dan akhlak serta yang lebih utama perlu disadari bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, mesti ada kekurangan maupun kelebihannya. Karena seseorang tak perlu berharap mendapatkan calon isteri atau suami yang sempurna segalanya, karena hal semacam itu tak pernah ada di dunia. Jika yang dicari harus pasangan yang sempurna, itu sama artinya dirinya ingin memilih hidup sendiri dan tidak menikah (Suyuti, 2007: 4). Menurut Kartono (2006: 197), dalam bukunya Psikologi Wanita, dijelaskan bahwa pihak laki-lakilah yang pada umumnya berkuasa memilih seorang gadis/wanita sebagai calon isterinya. Hal itu terutama didasarkan atas beberapa faktor ”kelebihan” dari laki-laki tersebut, antara lain: 1) Secara fisik ia lebih kuat dan lebih perkasa 2) Secara ekonomis ia lebih mantap 3) Dia memiliki pendidikan lebih tinggi 4) Dia mempunyai status sosial dalam masyarakat yang lebih tinggi Maka, oleh beberapa kelebihan tersebut kaum laki-laki dianggap sebagai orang yang lebih berkuasa dan lebih berhak untuk melakukan seleksi terhadap kaum perempuan, yaitu menentukan calon isterinya. Sedangkan
15
pihak perempuan hanya terima menyerah, dipilih atau dibeli oleh pihak lakilaki. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor yang lebih inferior pada dirinya. Namun, oleh gerakan-gerakan feminist dan perjuangan emansipatoris kaum perempuan selama ini, dimana kaum perempuan berusaha menuntut persamaan hak dan persamaan status sosial dengan kaum laki-laki, maka dominasi pihak laki-laki menjadi semakin berkurang. Pada banyak hal, perempuan kini mempunyai kesempatan yang hampis sama untuk menentukan sendiri calon pasangan hidupnya. Dalam artian, mereka mampu menentukan sendiri suatu penolakan atau persetujuan terhadap penentuan calon suaminya.
E. Psikologi Agama Islam Secara umum, psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia (Jalalludin, 1997: 77). Menurut Robert H. Thouless, psikologi dipergunakan secara umum sebagai ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia (Robert H. Thouless, 1992: 13). Dari definisi-definisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejalagejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan perilaku yang ditampilkan. Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Oleh karena itu Prof. Dr. Zakiah dalam (Jalaluddin, 1995: 16) menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi
16
agama mencakup proses beragama, perasaan, dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan terhadap sesuatu yang dianut. Menurut Zakiah Darajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputu kajian mengenai: 1) Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada Alloh ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan. 2) Bagaimana perasaan dan pengalaman seseoang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan batin. 3) Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang. 4) Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh dan tingkah lakunya dalam kehidupan. 5) Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci terhadap kelegaan hatinya. Semua itu menurut Zakiah Darajat tercakup dalam kesadaran agama (religious counsciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Yang dimaksud kesadaran agama adalah bagian / segi agama yang hadir
17
(terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah). Karena itu, psikologi agama mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul dan memperlihatkan diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama manusia. Seperti yang diketahui, psikologi agama adalah salah satu cabang ilmu psikologi yang juga merupakan ilmu terapan. Psikologi agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu, ataupun bagaimana persoalan keagamaan itu dapat mempengaruhi ketentraman batinnya, maupun berbagai konflik yang terjadi dalam diri seseorang hingga ia menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya atau meninggalkan ajaran itu sama sekali. A. Manusia dan Agama Psikologi memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun
pendekatan
psikologis
yang
digunakan
terbatas
pada
pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia (Jalalludin, 1995: 131). Lain halnya dengan penganut Behaviorisme, walaupun dalam pembahasannya, skinner, salah seorang tokoh behaviorisme tidak menyinggung perilaku keagamaan
18
secara khusus, namun tampaknya sama sekali tak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya kepada kenyataan bahwa agama memiliki intuisi dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa behaviorisme memendang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulan (rangsangan dari luar dirinya). Teori sarbond (gabungan dari stimulus dan respons), yang dikemukakan aliran behaviorisme kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and pungishment). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut atas pemberian hukuman dan hadiah (Djamaluddin Ancok,1995: 74). Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kejiwaan, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu akan memberi sikap optimis pada diri seseorang hingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau rasa aman. Sikap emosi yang
19
demikian merupakan bagian dari kebutuhan asasi manusia sebagai mahluk ber-Tuhan. Selanjutnya, manusia menurut pandangan islam dipandang sebagai mahluk psikis. Dari sudut pandang ini, pemahaman manusia berdasarkan aspek psikis ini berbeda dengan pandangan ilmuwan Barat. Umumnya pemahaman Barat tentang aspek psikis manusia terbatas pada unsur-unsur kejiwaan yang terdiri atas unsur cognisi, ruh dan akal merupakan potensi manusia yang dapat dikembangkan. Tetepai yang jelas unsur-unsur psikis manusia itu menurut konsep islam senantiasa dihubungkan dengan nilainilai agama seperti nafs. Nafs terbagi menjadi tiga: a. Nafs mutmainnah yang memberi ketenangan batin. b. Nafs ammanah yang mendorong ketindakan negatif. c. Nafs lawwamah yang menyadarkan manusia dari kesalahan hingga timbul penyesalan. Nafs mencakup gejala ambang sadar dan yang berada dibawah ambang sadar. Sedangkan qalb sebagai wadah dari gejala ambang sadar manusia (Jalalludin, 1995:46).
B. Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi avektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan faktor interen seseorang, sertatergantung pada obyek tertentu.
20
Obyek sikap oleh Edwards disebut sebagai psycological object (Mar’at, 2007:21). Menurut Mar’at (2007:21) dalam bukunya Faktor pengubah perilaku, ada sebelas rumusan mengenai sikap. Rumusan tersebut adalah: 1) Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (attitudes are learned). 2) Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide (attitudes have referent). 3) Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik dirumah, sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attitudes are social learnings). 4) Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara retentu terhadap obyek (attitudes have readness to respond). 5) Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif, atau ragu (attitudes are affective). 6) Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes are very intensive). 7) Sikap tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai, sedangkan disaat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes have a time demension). 8) Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes have duration factor). 9) Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes are coplex). 10) Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai kosekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluation). 11) Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred). Rumusan tersebut menunjukan bahwa sikap merupakan prediksposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian, sikap merupakan interaksi dari komponenkomponen tersebut secara kompleks. Dari rumusan diatas terlihat bagaimana
21
hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap suatu obyek baik yang berbentuk kongkret maupun obyek yang abstrak: ¾ Komponen kognisi tentang apa yang dipikirkan atau diapresiasikan tentang obyek. ¾ Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek (senang atau tidak senang). ¾ Kompoen konasi berhubungan dengan kesedihan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. Dengan demikian sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu obyek (Mar’at: 21). Bagaiman bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat melainan sebagai hubungan proses, sebab pembentukan sikap terjadi melalui hasil belajar dari interaksi pengalaman. Dan pembentukan sikap itu sendiri tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang. Telaah psikologi dan psikologi agama menguak potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Kemudian
22
menempatkan potensi dan daya psikis tersebut sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Selain itu mulai tumbuh kesadaran baru mengenai hubungan antara potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan pola tingkah laku manusia (Jalalludin, 1995: 190). Merujuk kepada pernyataan tersebut, pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam pandangan islam. Jika hal itu dapat diterima, maka pembentukan sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu ketauhidan.