Perubahan bahasa dalam bentuk evolusi selain karena terjadi secara ...
ditemukan di lapangan, berikut ini disajikan beberapa bentuk perubahan bahasa
.
88
8.2 Evolusi Eksternal Bahasa Oirata Perubahan bahasa dalam bentuk evolusi selain karena terjadi secara internal pada kelompok itu yang bersifat alamiah dapat juga terjadi karena faktorfaktor lingkungan di mana bahasa itu hidup dan berkembang. Dalam perkembangan suatu bahasa dapat diyakini bahwa bahasa tersebut tidak akan pernah luput dari pengaruh anasir-anasir dari luar dirinya. Sebesar dan sekaya apa pun bahasa itu akan selalu tunduk pada perubahan teknologi dan perkembangan kekinian. Atas dasar itulah bahasa Or dikaji dan dianalisis dari berbagai kemungkinan yang dapat memengaruhinya. Berdasarkan fakta-fakta bahasa yang ditemukan di lapangan, berikut ini disajikan beberapa bentuk perubahan bahasa yang telah terjadi pada bahasa Or.
8.2.1 Pengayaan fonem konsonan Secara diakronis bentuk perubahan internal telah ditemukan 13 fonem konsonan bahasa Or yang meliputi /p/, /t/, /đ/, /k/, / ’/, /m/, /n/, /l/, /r/, /s/, /h/, /w/, dan /y/. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara sinkronis berdasarkan fakta bahasa Or sekarang ini juga ditemukan fonem konsonan lain sebagai akibat dari proses kontak bahasa yang ada di sekitarnya. Berikut ini disajikan beberapa fonem konsonan pinjaman dari bahasa lain yang turut memperkaya fonem-fonem bahasa Or sekarang ini. Berdasarkan fakta-fata bahasa yang ditemukan di lapangan ternyata bahasa Or telah banyak menyerap fonem-fonem konsonan bahasa lain untuk memperkaya fonem-fonem konsonan bahasa itu. Beberapa fonem konsonan yang turut memperkaya bahasa Or adalah fonem-fonem konsonan /b/, /c/, /d/, /j/, /g/,
89
/ng/, /f/, /v/, dan fonem konsonan /z/. Untuk itu, berikut ini disajikan kosakata yang mengandung unsur fonem-fonem konsonan tersebut. Kosakata yang diambil bersumber dari beberapa nama orang pada masyarakat desa Oirata asli sebagai pemeluk agama Kristen dan istilah lainnya yang sangat akrab dengan mereka sebagai pemakai bahasa Or. 1) Fonem konsonan /b/ Istilah Agama: berkat bapa Betlehen buana balada korban jubah gembala sabda kebaktian salib ajaib kitab Nama Orang (Nama Baptis): Bernadus Raturomon Benyamin Kamanasa Aba Horsair Robert Lewensere Robi Haltere Abraham Laudiun Ruben Ratu Hunlori Jebres Peliana Jublina Ratmali Yoab Haltere Yakob Hans Lere Data bahasa di atas memperlihatkan betapa perubahan yang telah terjadi pada bahasa Or. Pada mulanya berdasarkan hasil analisis secara diakronis dalam bahasa Or tidak dikenal adanya fonem konsonan hambat letup bilabial bersuara
90
/b/. Akan tetapi, berdasarkan fakta sinkronis bahasa Or telah banyak menyerap kata yang mengandung unsur fonem konsonan hambat letup bilabial bersuara /b/ dari bahasa Indonesia ranah agama. Sebagai contoh, nama Bernadus Raturomon dengan unsur fonem hambat letup bilabial bersuara /b/ pada posisi awal kata telah dirasakan sebagai bagian dari hidupnya. Bahkan yang memiliki nama tersebut sering dipanggi dengan sebutan Bernard atau dengan panggilan akrab ‘Ber’ saja. Demikian juga pada orang yang bernama Benyamin Kamanasa sering dipanggil dengan singkatan ‘Ben’. Nama yang lainnya seperti Ruben Ratu Hunlori juga dipanggil dengan sebutan ‘Ruben’. Hal tersebut menandakan bawa masyarakat pemakai bahasa Or saat ini telah menyatu dengan fonem konsonan hambat letup bilabial bersuara /b/, baik yang berada pada posisi awal kata maupun pada posisi tengah kata. Di samping aspek nama orang, ditemukan pula keakraban masyarakat pemakai bahasa Or pada istilah keagamaan seperti istilah Bapa, berkat, jubah, salib, ajaib dan lain-lain. Pada istilah itu juga ditemukan unsur fonem konsonan hambat letup bilabial bersuara /b/ pada posisi awal kara, tengah, dan bahkan akhir kata. Hal itu berarti bahwa masyarakat pemakai bahasa Or telah familier dengan fonem konsonan hambat letup bilabial bersuara /b/. Bahkan, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar yaitu adanya pemakaian fonem konsonan pada posisi akhir kata, seperti pada kata Bernadus, Benyamin, Robert, Abraham, Jebres dan yang lainnya. 2) Fonem konsonan /c/ Istilah Agama: suci Cahaya-Mu Sang Pencipta
91
Nama Orang: Cae Yesayas Cau Ratu Hanrasa Cristoper Lewedalu Dorci Latuminase Lenci Resikahin Marice Ratu Hanrasa Martinci Maroko Sarci Loima’a Data bahasa di atas memperlihatkan bahwa di samping menerima unsur fonem konsonan hambat letup bilabial bersuara /b/, bahasa Or juga menyerap unsur fonem konsonan hambat letup medio-palatal tak bersuara /c/. Hasil analisis diakronis membuktikan bahwa bahasa Or tidak memiliki unsur fonem konsonan hambat letup medio-palatal tak bersuara /c/. Sekarang, pada bahasa Or telah ditemukan unsur fonem konsonan hambat letup medio-palatal tak bersuara /c/ terutama pada ranah agama khususnya nama baptis pada bagian depan dari nama orang. Beberapa nama orang yang telah menggunakan unsur fonem konsonan tersebut di antaranya Cae Yesayas, Cau Ratu Hanrasa, Cristoper Lewedalu yang menempati pada posisi awal kata. Sedangkan nama orang yang menggunakan unsur fonem konsonan hambat letup medio-palatal tak bersuara /c/ pada posisi tengah kata adalah Dorci Latuminase, Lenci Resikahin, Marice Ratu Hanrasa, Martinci Maroko, dan Sarci Loima’a. Paparan beberapa nama orang yang ada pada masyarakat pemakai bahasa Or tersebut turut memberi arti bahwa bahasa Or sekarang menjadi lebih kaya dan fonem konsonannya lebih variatif dibandingkan pada masa sebelumnya.
92
3) Fonem Kondonan /d/ Istilah Agama: dosa damai kudus sabda kidung balada abadi godaan sujud Nama Oranga: Daniel Solemeđe Danus Maunai Efradus Loima’a Freds Telumalai Frediks Ilwaro Leonard Tevilus Ludia Lewensere Magdalena Fonem konsonan hambat letup apiko-alveolar bersuara /d/ juga turut memperkaya bahasa Or sekarang. Unsur fonem konsonan hambat letup apikoalveolar bersuara /d/ tersebut ditemukan pada ranah agama khususnya pada nama baptis seseorang. Fonem konsonan hambat letup apiko-alveolar bersuara /d/ yang ditemukan pada posisi awal kata terdapat pada kata Daniel Solemeđe dan Danus Maunai. Pada posisi tengah kata, fonem konsonan hambat letup apiko-alveolar bersuara /d/ ditemukan pada kata Efradus Loima’a, Freds Telumalai, Frediks Ilwaro, Hefreda, dan lain-lain. Sedangkan pada posisi akhir kata, fonem konsonan hambat letup apiko-alveolar bersuara /d/ hanya ditemukan pada kata atau nama Leonard Tevilus. Perlu juga dijelaskan bahwa dengan kehadiran fonem konsonan hambat letup apiko-alveolar bersuara /d/ pada bahasa Or sekarang, berarti bahasa Or telah
93
memiliki dua fonem konsonan hambat letup apiko-alveolar, yaitu konsonan hambat letup apiko-alveolar bersuara /d/ dan konsonan hambat letup apikoalveolar aspirat /đ/. 4) Fonem konsonan /j/ Istilah Agama: jemaat puji sujud Injil perjanjian Nama Orang: Jebres Pakniani Jemi Reisere Joice Reisere John Kamanasa Joni Ratu Hanrasa Beberapa nama permandian lainnya seperti pada data di atas juga ditemukan unsur fonem konsonan hambat letup medio-palatal bersuara /j/. Hanya saja, unsur fonem konsonan hambat letup medio-palatal bersuara /j/ tersebut terbatas pada posisi awal kata. Beberapa di antaranya terdapat pada nama orang seperti Jefri Leodeun, Jebres Pakniani, Jemi Reisere, dan Joice Reisere. Perlu dijelaskan pula bahwa pada bahasa Or sebalumnya berdasarkan hasil analisis diakronis membuktikan tidak ditemukannya fonem konsonan hambat letup medio-palatal bersuara /j/ itu.
Akan tetapi,
setelah
mengalami
perkembangan terutama dengan pengaruh bahasa Indonesia pada ranah agama, kini bahasa Or telah menjadi lebih kompleks dengan salah satu adanya penambahan fonem konsonan hambat letup medio-palatal bersuara /j/.
94
5) Fonem konsonan /g/ Istilah Agama: gereja gembala godaan surga anugrah anggur agung Nama Orang: Gestia Ratumali Getsia Nawarina Gelens Solemer Magdalena Margerita Agustina Latumenase Agusto Agus Antoni Anggavita Anggelina Semula bahasa Or tidak mengenal fonem konsonan hambat letup dorsovelar bersuara /g/ berdasarkan hasil analisis diakronis. Akan tetapi, berdasarkan fakta sinkronis saat ini dalam bahasa Or telah ditemukan fonem konsonan hambat letup dorso-velar bersuara /g/. Kehadiran fonem konsonan hambat letup dorsovelar bersuara /g/ tersebut akibat pengaruh bahasa Indonesia khususnya pada ranah agama. Fonem konsonan hambat letup dorso-velar bersuara /g/ yang ada pada bahasa Or sekarang dapat menempati posisi awal kata, seperti pada nama orang Gestia Ratumali, Getsia Nawarina, Gelens Solemer, dan pada istilah dalam agama ditemukan dalam istilah gereja dan gembala. Fonem konsonan hambat letup dorso-velar bersuara /g/ yang menempati posisi tengah kata terdapat pada nama orang seperti Magdalena, Margerita, Agustina, Anggavita, dan lain-lain serta terdapat pula pada ranah agama seperti pada istilah agung dan sorga.
95
6) Fonem konsonan /ng/ Istilah Agama: anggur lanrangan Sang Pencipta agung kidung Nama Orang: Angki Ratu Hunlori R Anggavita Enggelina Engky Ma’atolu Frangki Ratu Hunlori Onggo Lewensere Fonem konsonan nasal dorso-velar /ng/ sebagaimana tampak pada data di atas merupakan fonem konsonan pinjaman yang turut memperkaya khasanah fonem bahasa Or. Sebalumnya, bahasa Or tidak memiliki fonem konsonan tersebut. Pada data di atas fonem konsonan tersebut diadopsi tanpa dilakukan adaptasi sama sekali menjadi fonem lainnya. Artinya, fonem tersebut telah diterima menjadi salah satu fonem konsonan yang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perbendaharaan fonem bahasa Or yang dapat menempati pada posisi tengah dan akhir kata. 7) Fonem konsonan /f/ Istilah Agama: firman fajar Nama Orang: Frangki Ratu Hunlori Freds Telumalai Frediks Ilwaro Jefri Loudiun
96
Efendi Ratu Romon Efradus Loima’a Efraim Lewendalu Fonem konsonan frikatif labio-dental /f/ tak bersuara sebagaimana tampak pada data di atas juga merupakan salah satu kekayaan fonem konsonan bahasa Or yang diadopsi dari fonem konsonan bahasa Indonesia. Bahasa Or sebelumnya tidak memiliki fonem konsonan tersebut dan diadopsi tanpa mengalami adaptasi. Fonem konsonan tersebut pada data di atas dapat menempati posisi pada awal dan tengah kata. 8) Fonem konsonan /v/ Istilah Agama: solavide Nama Orang: Elvani Ma’atelu Elvis Wedilen Leonard Tevilus Oktavina Serain Ravel Resikahil Steven Kamanasa Data di atas juga menunjukkan adanya fonem konsonan frikatif labiodental bersuara /v/ sebagai fonem konsonan pinjaman dari bahasa Indonesia. Sebalumnya, bahasa Or tidak memiliki konsonan tersebut dan sekarang turut memperkaya khasanah fonem konsonan bahasa Or. Fonem konsonan /v/ tersebut sebagaimana tampak pada data di atas dapat menempati hanya pada posisi tengah kata.
97
9) Fonem konsonan /z/ Nama Orang: Zet Taraleu Zeu Maunai Zusana Resere Fonem konsonan terakhir yang turut memperkaya khasanah konsonan bahasa Or adalah konsonan frikatif lamino-alveolar bersuara. Sebelumnya, bahasa Or tidak memiliki konsonan tersebut dan setelah diadopsi dari bahasa Indonesia sekarang telah menjadi bagian dari konsonan bahasa Or yang dapat menempati posisi pada awal kata.
8.2.2 Pembentukan konsonan berurut (cluster) Berdasarkan fakta bahasa yang ditemukan, pada mulanya bahasa Or sesungguhnya
tidak
mengenal
cluster.
Akan
tetapi,
dalam
proses
perkembangannya, bahasa Oirata sekarang terbukti telah mengenal cluster. Perubahan tersebut terjadi disebabkan oleh kebiasaan pemakainya untuk menghilangkan beberapa segmen bunyi pada posisi tengah kata (syncope) yang bermuara pada pemendekan suku kata. Dalam hal terjadinya cluster tersebut, cenderung disebabkan oleh penghilangan bunyi vokal dan karena pinjaman dari bahasa lain. Cluster yang ditemukan dalam bahasa Or berjumlah sepuluh jenis, yaitu terdiri atas đw, kl, kr, pl, pr, sl, sr, st, tl, dan tr. Hanya saja, cluster: đw, pl, sl, sr, jumlahnya sangat terbatas. Khusus cluster: pl, tl, tr, dan st yang berasal dari bahasa Belanda juga ditampilkan dalam data ini, karena memang turut memperkaya jenis cluster selain cluster kr dari bahasa asing lainnya. Dengan demikian, dari jumlah cluster di atas, terdapat lima cluster yang berasal dari
98
bahasa asing, yaitu pl, tl, tr, st, dan kr. Berikut ini disajikan jenis-jenis cluster yang ditemukan dalam konteks kata atau kelompok kata. Tabel 7: Jenis Cluster Bahasa Or Bentuk
Asal
Perubahan
Arti
/kr/
arakarake
arakrake
‘intip’
igreja (Portugis)
ikrei
‘gereja’
Ikris (Portogis)
Ikrei
‘Inggris’
kikire
kikre
‘takut, gugup’
kukureke
kukruke
‘kokok ayam jantan’
reke reku
rekreku
‘makanan kering dan keras’
tana kukule
tana kukle
‘kepal’, ‘kikir’
kikilili Warmau
kiklili warmau
‘nama orang’ (masa lalu)
ikilewene
iklewene
‘siwalan’
sokolai
soklai
‘potongan daun lontar’
flesch (Belanda)
oplese
‘botol besar’
fluit (Belanda)
ploiti
‘peluit’
repele
reple
‘kering’
upulaka
uplaka
‘bundar, bulat’
apura
apra
‘setengah, sebelah’
api re
apre
‘kita’
upure
upre
‘lengkap’
slof (Belanda)
slopo
‘pak, bungkus‘
slag (Belanda)
sla
‘cara tertentu’
slip (Belanda)
slipi
‘tergelincir’
slang (Belanda)
slang
‘karet plastik’
stop (Belanda)
stopo
‘berhenti’
staf (Belanda)
stap
‘kepala bagian (desa)’
stel (Belanda)
stel
‘pasang’
/kl/
/pl/
/pr/
/sl/
/st /
99
Bentuk
Asal
Perubahan
Arti
/tl/
atu lapai
atlapai
‘perut besar’
hatale
hatle
‘mengumpulkan’
hatuluku
hatluku
‘mendesak’
luture
lutre
‘batas desa’
wata titilana
wata titlana
‘buah kelapa kering’
ritilene
ritlene
‘kering’
potlood (Belanda)
potloto
‘pensil’
huturau
hutrau
‘melemparkan kepada’
potret (Belanda)
potret
‘foto’
raterene
ratrene
‘memperlihatkan diri’
tuture
tutre
‘menyunggi’
uturau
utrau
‘menghalangi jalan masuk’
uturipare
utripare
‘merampas milik orang’
utururi
utruri
‘mengakui milik orang’
/đw/
iđa weli
iđweli
‘sepuluh’
/sr/
nese rau hale
nesrau hale
‘mencuci pakaian’
/tr/
Berdasarkan data di atas dapat ditarik simpulan bahwa cluster dalam bahasa Or modern sekarang ini cenderung disebabkan oleh dua faktor. Pertama, di kawasan tersebut ada kebiasaan pemakaian bahasa dalam bentuk penghilangan segmen atau suku kata tertentu pada posisi tengah kata dengan tujuan efisiensi atau memperpendek kata atau
kalimat. Contoh yang sering diucapkan oleh
pemakai bahasa Indonesia di kawasan itu antara lain: kitong ‘kita orang’, sapi ‘saya pigi, pigi ‘pergi’, ongtu orangtua’ sudekat ‘sudah dekat’, samu ‘bersama kamu’, slamat atau mat ‘selamat’, karna ‘karena’, dll. Kadua, adanya pengaruh bahasa “asing” sebagai kosakata pinjaman yang mengandung cluster dan tidak diadaptasikan ke dalam bahasa Or. Hal itu dapat dimungkinkan karena pemakai bahasa Or di samping memiliki kebiasan membentuk cluster melalui proses
100
penghilangan segmen atau fonem vokal pada posisi tengah kata (syncope), juga akibat belum adanya pihak-pihak tertentu sebagai pemerhati yang bersedia membina bahasa itu dalam bentuk pembakuan. Akibat belum adanya pembakuan bahasa melalui pola pembinaan yang terarah, maka berdampak pada pemakaian bahasa secara manasuka.
8.2.3 Penambahan gugus konsonan nasal hambat homorgan Ciri umum yang terjadi pada kelompok bahasa OFM adalah tidak ditemukannya gugus konsonan nasal hambat homorgan, yaitu bunyi yang berbeda tetapai diartikulasikan pada daerah yang sama. Akan tetapi, akibat proses kontak bahasa yang berlangsung cukup lama sehingga terjadi peristiwa borrowing atau masuknya unsur-unsur bahasa asing ke dalamnya, pada bahasa Or yang modern sekarang ini telah ditemukan bunyi-bunyi konsonan nasal hambat homorgan /mp, /mb, /nt/dan /nđ/ sebagai berikut. (a) Gugus konsonan /mp/ Bahasa Asal
Bentuk sembahyang jembatan Indonesia lembing lampu salah +pai kuda + pai Indonesia+Oirata tuak + pai gula+ pai hala+pai posi+pai Oirata kasu+pai ita + punu ina+pai Kisar mampia
Bahasa Or sompayang yampatana lemping lampunu salampai kuđampai tua(m)pai kulampai halampai posimpai kasumpai itampunu inampai mampia
Arti ‘sembahyang’ ‘jembatan’ ‘lembing’ ‘lambu’ ‘bersalah’ ‘berkuda’ ‘bekerja tuak’ ‘membuat gula’ ‘berkebun’ ‘bersumpah’ ‘berhutang’ ‘berkumpul’ ‘menganyam’ ‘ceper, tipis’
101
Gugus konsonan nasal hambat homorgan /mp/ turut juga memperkaya khasanah bahasa Or saat ini. Seperti tampak pada data di atas, proses terjadinya gugus konsonan nasal hambat homorgan /mp/ pada bahasa Or beraneka ragam. Pertama, akibat pengaruh bahasa Indonesia yang pelafalannya diadaptasikan ke dalam bahasa Or. Beberapa contoh di antaranya adalah In: sembahyang menjadi sompayang ‘sembahyang’ dalam bahasa Or. In: jembatan menjadi yampatana ‘jembatan’ dalam bahasa Or. In: lembing menjadi lemping ‘lembing’ dalam bahasa Or, dan lain-lainnya. Kedua, gugus konsonan nasal hambat homorgan /mp/ terjadi pada bahasa Or akibat perpaduan dari kata pinjaman bahasa Indonesia dengan unsur bahasa Or. Beberapa contoh terdapat pada kata In: salah + Or: pai menjadi salampai ‘bersalah’. In: kuda + Or: pai menjadi kuđampai ‘berkuda’. In: gula + Or: pai menjadi kulampai ‘membuat gula’, dan lain-lannya. Ketiga, untuk keselarasan bunyi karena kesamaan artikulasi pada bahasa Or seperti kata hala + pai menjadi halampai berkebun. Kata posi+pai menjadi posimpai ‘bersumpah’. Bentukan kasu+pai menjadi kasumpai ‘berhutang’, dan lain-lainnya. Keempat, terjadinya gugus konsonan nasal hambat homorgan /mp/ pada bahasa Or karena pinjaman dari bahasa Kisar, seperti pada kata mampia ‘ceper’ atau ‘tipis’. Berdasarkan fakta bahasa di atas besar kemungkinan kehadiran gugus konsonan nasal hambat homorgan /mp/ pada bahasa Or sebagai akibat pengaruh bahasa Indonesia yang kaya dengan gugus konsonan nasal hambat homorgan /mp/ tersebut dan pengaruh bahasa Kisar.
102
(b) Gugus konsonan /mb/ Bahasa Asal Portugis Indonesia
Bentuk sombra gembala sumbu kelambu
Bahasa Or sombar gambala sumbu kalambu
Arti ‘bayangan’ ‘gembala’ ‘sumbu’ ‘kelambu’
Gugus konsonan nasal hambat homorgan /mb/ juga ditemukan turut memperkaya khasanah bahasa Or. Pertama, ditemukan pada kata yang berasal dari bahasa Por: sombra ‘bayangan’. Pada mulanya, kata tersebut diserap ke dalam bahasa Am menjadi sombar ‘bayangan’ yang selanjutnya diserap sepenuhnya ke dalam bahasa Or. Kedua, ditemukan pula pada kata yang berasal dari bahasa Indonesia, seperti In: gembala menjadi gambala ‘gembala’ pada bahasa Or. Kata In: kelambu menjadi kalambu ‘kelambu’ dalam bahasa Or. Kehadiran gugus konsonan nasal hambat homorgan /mb/ dalam bahasa Or sekarang dapat dipastikan sebagai akibat pengaruh atau bentuk pinjaman dari bahasa Indonesia dan Portugis melalui bahasa Ambon. Hal itu dapat dibuktikan berdasarkan fakta bahasa bahwa bahasa Or pada dasarnya tidak memiliki fonem konsonan /b/. Dengan fakta itu, jelas bahwa fonem gugus konsonan nasal hambat homorgan /mb/ pada bahasa Or adalah unsur pinjaman dari bahasa lain. (c) Gugus konsonan /nt/ Bahasa Asal Indonesia
Belanda Oirata Ambon
Bentuk anti antik manteri rantai tante handdoek kantoor anite kintal
Bahasa Or anti antiki manteri ranta tanta hantuku kantoro ante kintala
Arti ‘anti’ ‘antik’ ‘manteri’ ‘rantai’ ‘tante’ ‘handuk’ ‘kantor’ ‘saya’ ‘halaman (rumah)’
103
Di samping gugus konsonan nasal hambat homorgan /mp/ dan
/mb/
ditemukan dalam bahasa Or, ditemukan pula gugus konsonan nasal hambat homorgan /nt/. Kehadiran gugus konsonan nasal hambat homorgan /nt/ tersebut ditemukan pada kata yang berasal dari bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Ambon, dan ditemukan pula pada bahasa Or itu sendiri. Gugus konsonan nasal hambat homorgan /nt/ yang ditemukan pada kata yang berasal dari bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. In: anti menjadi Or: anti ‘anti’. In: antik menjadi Or: antiki. In: rantai menjadi Or: ranta ‘rantai, dan lain-lainnya. Gugus konsonan nasal hambat homorgan /nt/ yang ditemukan dalam kata yang berasal dari bahasa Belanda adalah sebagai berikut. Bel: handdoek menjadi Or: hantuku ‘handuk’. Bel: kantoor menjadi Or: kantoro ‘kantor. Gugus konsonan nasal hambat homorgan /nt/ yang ditemukan dalam kata yang berasal dari bahasa Ambon adalah Am: kintal menjadi Or: kintala ‘halaman rumah’. Contoh kata pada bahasa Or yang mengandung gugus konsonan nasal hambat homorgan /nt/ adalah anite menjadi ante ‘saya’ akibat proses penghilangan fonem pada posisi tengah kata. Yang jelas, kehadiran gugus konsonan nasal hambat homorgan /nt/ turut memperkaya khasanah bahasa Or yang sekarang. (d) Gugus konsonan /nđ/ Bahasa Asal Belanda
Bentuk Bentuk Perubahan maantag harmanđaka ganda kanđa Indonesia sandal sanđala suntik sunđi Gugus konsonan nasal hambat homorgan /nđ/ adalah
Arti ‘hari Senin’ ‘ganda’ ‘sandal’ ‘suntik’ gugus konsonan
nasal hambat homorgan terakhir yang telah memperkaya khasanah bahasa Or. Kehadirannya dalam bahasa Or melalui beberapa proses. Pertama, kata yang mengandung /nt/ atau /nd/ dipinjam dari bahasa lain melalui adaptasi. Kedua,
104
fonem konsonan /t/ dan /d/ sebagai salah satu unsur dari gugus konsonan hambat homorngan tersebut diadaptasikan dengan fonem konsonan /đ/, akhirnya terjadilah gugus konsonan nasal hambat homorgan /nđ/. Berikut diasajikan bentukan yang mengandung /nt/. Bl: maantag menadi Or: harmanđaka ‘hari Senin’. In: suntik menjadi Or: sunđi ‘suntik’. Selanjutnya, disajikan data bahasa yang mengandung /nd/. In: ganda menjadi Or: kanđa ‘ganda’. In: sandal menjadi Or: sanđala ‘sandal’. Gugus konsonan nasal hambat homorgan /nđ/ ini menjadi sangat menarik karena memang salah satu fonemnya diadaptasikan dengan fonem yang ada pada bahasa Or. Di samping itu juga karena fonem itu khas dan tidak mudah untuk dideskripsikan.
8.2.4 Pengayaan pola persukuan Sebagaimana telah dijelaskan bahwa salah satu ciri bahasa Or adalah adanya proses syncope yaitu penghilangan segmen pada posisi tengah kata. Pengaruh langsung dari proses syncope itu adalah mengakibatkan terjadinya pemendekan suku kata. Konsekuensi logis dari pemendekan suku kata dengan penghilangan segmen vokal adalah terjadi proses pengayaan pola persukuan. Pola persukuan sebagai bentuk pangayaan yang ada dalam bahasa Or adalah V-KKV, VK-KV, KV-KKV, KVK-KV, V-KKV-V, V-KKV-KV, VK-KV-V, KV-KKVKV, KVK-KV-KV, KVK-KV-V, dan KVK-KV-KV-KV. Berikut ini disertakan beberapa contoh katanya. (1) Pola V-KKV a-pre a-pra u-pre
‘kita’ ‘setengah’ ‘lengkap’
105
(2) Pola VK-KV ir-se us-te in-re/in-te an-ri/an-te
‘kencing’ ‘minta, tagih’ ‘kami’ ‘saya’
(3) Pola KV-KKV ki-kre tu-tre re-ple ha-tle lu-tre
‘takut, gugup’ ‘sunggi’ ‘kering’ ‘mengumpulkan’ ‘batas desa’
(4) Pola KVK-KV kur-ne tar-ha mal-ni mal-pe mus-ke
‘basah’ ‘berapa’ ‘di luar’ ‘lupa’ ‘menghisap’
(5) Pola V-KKV-V u-tra-u i-kre-i I-kre-i
‘menghalangi jalan masuk’ ‘gereja’ ‘Inggris’
(6) Pola V-KKV-KV u-pla-ka u-tru-ri o-ple-se i-đwe-li
‘bundar’ ‘mengakui milik orang lain’ ‘botol besar’ ‘sepuluh’
(7) Pola VK-KV-V il-hu-a il-ku-a am-ri-a
‘abu’ ‘ketiak’ ‘panu’
106
(8) Pola KV-KKV-KV re-pla-na re-kre-ku ha-tlu-ku ra-tre-ne
‘yang kering’ ‘makanan kering dan keras’ ‘mendesak’ ‘menunjukkan diri’
(9) KVK-KV-KV kir-ki-ri mim-re-ke mur-wa-na tar-ta-ra
‘jamur’ ‘merah’ ‘hidung’ ‘tajak, cangkul’
(10) KVK-KV-V wal-hi-a tar-te-i tar-ha-a
‘anting-anting’ ‘kapan’ ‘berapa’
(11) Pola KVK-KV-KV-KV ker-ke-ri-ni mas-ke-te-ne wal-wa-lu-ru sir-ke-đe-ne har-ma-đa-ka
‘tulisan’ ‘basi untuk makanan’ ‘galak’ ‘terpeleset’ ‘hari Senin’
Pola persukuan sebagaimana data di atas merupakan bentuk-bentuk pengayaan pola persukuan bahasa Or, sehingga jumlah pola persukuan bahasa Or paling banyak dibandingkan pola-pola persukuan bahasa Mk dan Ft. Jumlah pola persukuan bahasa Or sebanyak 32 pola, bahasa Ft sebanyak 18 pola, dan bahasa Mk hanya 15 pola. Sesungguhnya, hakekat dari kelebihan jumlah pola persukuan pada bahasa Or terletak pada terbentuknya cluster dalam satu suku kata dan terbentuknya pola suku kata tertutup terutama selain suku kata terakhir.
107
8.2.5 Perubahan bahasa vokalis menjadi nonvokalis Dalan uraian sebelumnya telah dilansir adanya beberapa fakta bahasa yang mengindikasikan bahwa bahasa Or telah mengalami pergeseran ke arah bahasa yang nonvokalis. Meskipun beberapa data yang ditemukan bahwa bahasa Or berusaha tetap konsisten untuk mempertahankan identitasnya sebagai bahasa vokalis, tampaknya bahasa Or tidak kuasa menahan laju arus masuknya kosakata serapan bahasa lain yang megandung unsur nonvokalis. Berikut ini disajikan kosakata bahasa Or sebagai bentuk serapan yang mengandung unsur nonvokalis. 1) Bahasa Or yang berasal dari Bahasa Indonesia Bahasa Oirata
Bentuk Asal
Arti
camat dorang kamir kapal kasin kitong kuran lemping lonceng podoh potol sapun sompayang turus tudun tukan
camat dia orang gambir kapal gasing kita orang kurang lembing lonceng bodoh botol sabun sembahyang terus tudung tukang
‘kepala kecamatan’ ‘dia orang’ ‘gambir’ ‘kapal’ ‘gasing’ ‘kita’ ‘kurang’ ‘lembing’ ‘jam besar’ ‘bodoh’ ‘botol’ ‘sabun’ ‘sembahyang’ ‘terus’ ‘tutup’ ‘tukang’
Data di atas memperlihatkan bahwa kosakata bahasa Indonesia yang mengandung konsonan pada posisi akhir kata diserap dan memperkaya kosakata bahasa Or tanpa pelesapan, meskipun sebagian diadaptasikan dengan konsonan lainnya. Misalnya, sebagian konsonan /ng/ diadaptasikan menjadi konsonan /n/.
108
Artinya, setelah penyerapan kosakata tersebut, stuktur kata bahasa Or menjadi lebih bervarisi, yaitu sebagiannya telah menuju nonvokalis. 2) Bahasa Or yang berasal dari bahasa Belanda Bahasa Oirata
Bentuk Asal
Arti
bas bolsak iskrup iskuniar meser pot potret sal slang sup
baas bolzak schroef schoener meester boot potret zaal (zadel) slang soep
‘kepala tukang’ (pengawas) ‘matras’ ‘sekrup’ ‘sekunar’ (kapal layar besar) ‘guru’ ‘perahu motor’ ‘foto’ ‘pelana, sadel’ ‘karet plastik’ ‘sabun’
Data di atas menunjukkan bahwa beberapa kata yang berasal dari bahasa Belanda, khususnya yang mengandung fonem konsonan pada posisi akhir kata tidak dilesapkan sebagaimana karakter bahasa Or. Artinya, fonem konsonan pada akhir kata sepenuhnya diserap tanpa perubahan, kecuali fonem konsonan /f/ diadaptasikan menjadi fonem konsonan /p/. 3) Bahasa Or yang berasal dari bahasa Kisar Bahasa Oirata
Bentuk Asal
Arti
lo’or sair tawar
lo’or hair kawar
‘pedang’ ‘bendera’ ‘atap rumah’
Data di atas memperlihatkan bahwa kosakata bahasa Kisar yang mengandung konsonan pada posisi akhir kata juga diserap tanpa mengalami pelesapan. Artinya, kosakata bahasa Kisar yang nonvokalis juga diserap sebagai unsur pinjaman yang turut memperkaya kosakata bahasa Or. 4) Bahasa Or yang berasal dari bahasa Portugis
109
Bahasa Oirata
Bentuk Asal
Arti
nelus sombar
lenco sombra
‘tari lenso’ ‘bayangan’
Data di atas menunjukkan bahwa perjalanan kata tersebut melalui proses yang agak panjang. Pertama kosakata Portugis tersebut diadopsi ke dalam bahasa Ambon, yaitu Por: lenco menjadi Am: lenso dan mengalami proses metathesis dan adaptasi menjadi Am: nelus ‘tari lenso’. Demikian pula Por: sombra menjadi Am: sombar ‘bayangan’. Kedua, dari bahasa Am: nelus dan sombar diserap sepenuhnya tanpa mengalami perubahan menjadi Or: nelus ‘tari lenso’ dan sombar ‘bayangan’. Artinya, kosakata tersebut turut memperkaya khasanah kosakata bahasa Or yang bercirikan nonvokalis. 5) Bahasa Or yang berasal dari bahasa Ambon Bahasa Oirata
Bentuk Asal
Arti
ahum seng
ambon seng
‘suku ambon’ ‘tidak’
Kata Am: ambon diserap menjadi Or: ahum melalui proses adaptasi, yaitu /b/ > /h/ dan /o/ > /u/, selanjutnya terjadi pelesapan /m/ pada posisi tengah kata karena pada dasarnya bahasa Or tidak memiliki konsonan nasal homorgan /mb/. Selanjutnya, terjadi proses asimilasi progresif /n/ menjadi /m/ akibat pengaruh /b/ yang sama-sama konsonan bilabial. Berbeda halnya dengan kata Am: seng diserap sepenuhnya menjadi Or: seng ‘tidak’. Yang jelas kedua kata tersebut juga turut memperkaya kosakata bahasa Or yang bercirikan nonvokalis. Fenomena bahasa di atas menunjukkan bahwa bahasa Or banyak menyerap kosakata bahasa lain dengan tetap mempertahankan suku akhir kata
110
tertutup. Artinya, bahasa Or banyak menyerap kosakata yang berakhir dengan konsonan. Hal itu menandakan bahwa bahasa Or tidak mampu lagi mempertahankan identitasnya sebagai bahasa vokalis dan kini telah bergeser menuju bahasa nonvokalis. Bukti lain juga ditemukan bahwa masyarakat pemakai bahasa Or telah mengadopsi nama diri yang mengindikasikan semakin kuatnya fakta telah dimulai pergeseran menuju bahasa Or sebagai bahasa nonvokalis. Nama diri tidak dapat diabaikan sebagai unsur bahasa yang telah menyatu dengan hidup dan kehidupan masyarakat pemakai bahasa Or. Berikut disajikan beberapa nama diri yang sebagian merupakan nama baptis yang menandakan sebagai bahasa nonvokalis dengan ciri kosakata berakhir dengan konsonan. Nama Baptis Masyarakat Oirata Markus Yulianus Meteus Leonardo Tivilus Ananias Frediks Yunus Yesayas Efradus Yan Teikuar Gelens Solemer Simon Moses Serain Oktavina Serain Abraham Laudiun Lenci Resikahin Samuel Berdasarkan fakta bahasa yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa terjadinya evolusi eksternal bahasa Or disebabkan oleh faktor dominannya pengaruh bahasa asing. Ditinjau dari segi jumlah kosakata dan jenis perubahan
111
fonem yang ditemukan dalam bahasa Or, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memberi pengaruh paling dominan. 8.3 Faktor Penyebab Terjadinya Evolusi Bahasa Oirata 1) Bahasa Oirata tergolong sebagai substratum Bahasa Or dapat dikategorikan sebagai substratum dari bahasa-bahasa di sekitarnya. Maksudnya adalah bahwa dalam konteks peristiwa kontak bahasa, bahasa Or lebih banyak menyerap unsur-unsur tertentu dari bahasa-bahasa lain dibandingkan memberi kontribusi kepada bahasa lain. Penyerapan
bahasa
asing ke dalam bahasa Or cenderung dilakukan dengan cara manasuka. Meskipun, unsur-unsur kebahasaan yang diserap tersebut telah diupayakan untuk diadaptasikan, tampaknya pemakai bahasa Or tidak kuasa membentengi dirinya dari deras arus masuknya unsur asing tersebut. Hal itu berpengaruh kuat terhadap perubahan struktur fonologis yang tampak pada sejumlah leksikal bahasa Or. Di kawasan penelitian ini ada kecenderungan pemakai bahasa Indonesia menghilangkan beberapa segmen tertentu sebagai upaya untuk menyingkat kata, kelompok kata, atau kalimat sehingga bentuknya menjadi lebih pendek, sederhana, praktis, dan mudah diucapkan. Berikut ini disajikan beberapa contoh pemendekan tersebut. (1) Saya kurang setuju itu disingkat menjadi Saku jutu. (2) Saya pigi bermain bola disingkat menjadi Sapi main bola, (3) Pergi! Cukup disingkat dengan Pigi!. (4) Aku lihat kau kemaren diperpendek menjadi Kuli karen. (5) Air sudekat adalah singkatan dari Air sudah dekat. Kebiasaan memperpendek bentukan tersebut selain karena cukup praktis, juga disebabkan karena faktor kebiasaan berbicara cepat. Akibat dari kebiasaan
112
tersebut, pemakaian bahasa Indonesia menjadi lebih singkat. Kebiasaan tersebut juga berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Or, sehingga beberapa bentuk kata bahasa Or telah mengalami penghilangan segmen tertentu pada posisi tertentu pula. Berikut ini disajikan beberapa contoh kata bahasa Or yang telah mengalami penghilangan fonem pada posisi awal, tengah, atau akhir kata. a) Proses penghilangan fonem pada posisi awal kata (aphaeresis) OFM *nita *sala *sapa *sina *tura
OF *nita *hala *hapa *hina *tura *ha’ate *hili *hiyare *imiri *hoto
Or ita ala opo ina ura a’ate ili iyare miri oto
Arti ‘saling’ ‘perang’ ‘tulang’ ‘menganyam’ ‘tikus’ ‘tajam’ ‘perangkap’ ‘tebus’ ‘baru’ ‘hutan’
Data di atas memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan beberapa kosakata pada bahasa Or mengalami inovasi dalam bentuk penghilangan segmen tertentu pada posisi awal kata (aphaeresis). Data tersebut seperti pada kata OFM *nita ‘saling’ dan OF *imiri ‘baru’ menjadi Or nita ‘saling’ dan Or miri ‘baru’. Pada kedua data tersebut terjadi pengrhilangan fonem /n/ dan /i/ pada posisi awal kata. Selain itu, proses penghilangan segmen tertentu pada posisi awal kata juga terjadi akibat proses diakronis di mana setiap fonem OF /h/ pada posisi awal kata menjadi lesap pada bahasa Or. Jadi, peristiwa hilangnya fonem tertentu pada posisi awal kata pada bahasa Or disebabkan karena faktor eksternal dan internal bahasa itu. Secara eksternal, perubahan bahasa Or akibat pengaruh kebiasaan pemakai bahasa Indonesia di kawasan tersebut yang memiliki kecenderungan untuk menghilangkan segmen tertentu
113
pada posisi tertentu pula. Secara internal, perubahan bahasa Or sebagai akibat proses perjalanan bahasa tersebut secara diakronis dalam jangka waktu lama. b) Proses penghilangan fonem pada posisi tengah kata (syncope) OFM *apiri *aniri *irise *kusike *tuture *ulapuka *ukani *usute *wetike
OF *apiri *aniri *irise *kusike *tuture *ulapuka *ukani *usute *wetike *iniri *maluni *malupe *mumulai *ramahe *rekise *tarupaha
Or apre anri irse kuske tutre ulapua uani uste wetke inre malni malpe mumlai ramhe rekse tarhā
Arti ‘kita’ ‘aku, saya’ ‘kencing’ ‘isap dgn mulut’ ‘sunggi’ ‘ekor’ ‘satu’ ‘meminta’ ‘sentil’ (telinga) ‘kami ‘(di) luar’ ‘pikun’ ‘pepaya’ ‘memeras’ ‘potong setelah tebang’ ‘berapa’
Data di atas menunjukkan bahwa beberapa kata dari kelompok bahasa OFM tetap bertahan atau terjadi retensi sampai pada subkelompok OF. Akan tetapi, setelah sampai pada bahasa Or, data di atas memperlihatkan beberapa kata
yang mengalami retensi pada subkelompok OF tersebut mengalami
perubahan dalam bentuk syncope yaitu penghilangan fonem pada posisi tengah kata. Artinya, dalam perjalanan kosakata dari kelompok bahasa OFM melalui subkelompok OF mengalami inovasi tertentu pada bahasa Or. Proses inovasi bentuk kosakata berupa penghilangan fonem pada posisi tengah kata mengakibatkan beberapa kata di antaranya mengalami pemendekan suku kata. Proses penghilangan segmen tertentu pada posisi tengah kata tidak lepas dari pengaruh kebiasaan pemakaian bahasa Indonesia di kawasan tersebut yang terbiasa menghilangkan segmen tertentu sehingga menjadi bentukan yang lebih
114
pendek.
c) Proses Penghilangan fonem pada posisi akhir kata (apocope) OFM *maluhi *u’ureke
OF *maluhi *u’ureke *ilikuara *ihini *malupela *timine *welika
Or malu u’ure ilikua i malhe time weli
Arti ‘sirih’ ‘biru, hijau’ ‘ketiak’ ‘kalian’ ‘keluar’ ‘panas’ ‘kiri’
Perubahan bentuk kata dalam proses perjalanan OFM sampai bahasa sekarang tidak saja dalam bentuk penghilangan fonem pada posisi awal dan tengah kata, tetapi juga terjadi penghilangan fonem pada posisi akhir kata. Data di atas menunjukkan bukti bahwa dalam proses perjalanan bahasa dari kelompok bahasa OFM tidak mengalami perubahan atau terjadi retensi hingga sampai pada subkelompok bahasa OF. Perubahan dalam bentuk apocope yaitu penghilangan fonem pada posisi akhir kata tampak terjadi pada bahasa Or setelah menempuh perjalanannya dari protokata subkelompok OF. Jika dicermati pada setiap data yang ditemukan, penghilangan segmen pada posisi akhir kata dalam bahasa Or umumnya berupa penghilangan satu suku kata. Contohnya, pada kata *maluhi menjadi malu ‘sirih’, *welika menjadi weli ‘kiri’, * u’ureke menjadi u’ure ‘biru atau hijau’ dan * ilikuara menjadi ilikua ‘ketiak. Bahkan, terjadi pula penghilangan dua suku kata pada posisi akhir kata, seperti pada *ihini menjadi i ‘kalian’. Fakta bahasa di atas mengindikasikan bahwa terjadinya perubahan dalam bentuk penghilangan segmen tertentu pada posisi akhir kata setelah bahasa Or berpisah dari
115
subkelompok bahasa OF. Artinya, perubahan pada bahasa Or tersebut terjadi akibat pengaruh lingkungannya setelah lama berinteraksi, terutama dari kebiasaan pemakaian bahasa Indonesia yang cenderung dipersingkat dengan cara menghilangkan segmen tertentu pada posisi tertentu pula. Fakta bahasa di atas mengindikasikan bahwa ada kecenderungan terjadinya penghilangan segmen baik pada posisi awal, tengah, dan akhir kata pada bahasa Or setelah melalui perjalanannya dengan berbagai interaksi dengan bahasa-bahasa lain terutama dengan bahasa Indonesia di kawasan tersebut. d) Proses Metathesis OFM *kaire *wasu
OF *kayare *wahu *etekaure *horupe *iya puka *kapua *nele *orite *taniri
Or kataye uwa etekuare hohore iya kupa hakua lene oirte tarini
Arti ‘lelah’ ‘belut’ ‘jatuh, lepas’ ‘ajak’ ‘jari kaki’ ‘burung gagak’ ‘langit’ ‘malu’ ‘dahan’
Di samping ditemukannya perubahan kata dalam bentuk penghilangan fonem pada posisi awal, tengah, dan akhir kata, pada bahasa Or juga ditemukan terjadi inovasi bentuk kata dalam wujud metathesis yaitu berupa pertukaran fonem tertentu pada posisi tertentu pula. Seperti pada data kata pertama OF *kayare menjadi kataye ‘lelah’ pada bahasa Or. Pertama, prosesnya terjadi pertukaran fonem konsonan /y/ pada suku kedua dengan fonem konsonan /r/ pada suku ketiga sehingga bentukan yang terjadi adalah karaye. Kedua, fonem konsonan /r/ yang telah menduduki posisi pada suku kedua mengalami alternasi dengan fonem konsonan /t/. Akhirnya, terjadilah
116
bentukan kataye ‘lelah’ pada bahasa Or. Pada data kata kedua, OF * wahu menjadi Or uwa ‘belut’ terjadi pertukaran suku pertama dengan suku kedua. Selanjutnya, terjadi penghilangan fonem konsonan /h/ pada awal kata, terjadilah bentukan Or uwa ‘belut’.
Pada data kata berikutnya, Ft *nele
menjadi Or lene ‘langit’ terjadi pertukaran fonem konsonan /n/ yang berada pada posisi suku pertama dengan fonem konsonan /l/ yang menduduki posisi pada suku kedua. Data kata lainnya adalah OF *kapua menjadi Or hakua ‘burung gagak’. Proses perubahan kata tersebut terjadi dua tahap. Pertama, terjadi pertukaran antara fonem konsonan /k/ pada posisi suku pertama dengan fonem konsonan /p/ pada posisi suku kedua sehingga terjadi bentukan pakua ‘burung gagak’. Tahapan kedua, fonem konsonan /p/ mengalami perubahan menjadi /h/ seperti yang umumnya terjadi pada bahasa Or. Terakhir, terjadilah bentukan hakua ‘burung gagak’ pada bahasa Or. Proses pertukaran posisi segmen tertentu dalam bentuk metathesis sebagaimana terjadi pada bahasa Or di atas juga tidak lepas dari kebiasaan bahasa di kawasan tersebut seperti pada contoh bahasa Por: sombra menjadi sombar ‘bayangan’ pada bahasa Ambon yang kemudian diadopsi secara utuh ke dalam bahasa Or. 2) Hegemoni bahasa Indonesia terhadap bahasa Or Hegemoni bahasa Indonesia terhadap bahasa Or sangat kuat, terutama pada ranah agama. Ada beberapa fakta lapangan yang mengindikasikan sekaligus memperkuat pernyataan di atas. Pertama, dengan dalih nasionalisasi dan anggapan sulitnya bahasa Or, para pemangku jabatan pemerintahan, penyuluh lapangan, dan pemuka masyarakat menomorsatukan pemakaian bahasa Indonesia dalam melaksanakan tugasnya di desa Oirata. Para petugas
117
pemerintahan dan para penyuluh lapangan memang mengaku tidak menguasai bahasa Or karena bahasa tersebut dianggap sangat sulit dipahami. Mereka menyatakan tidak memiliki pilihan bahasa lain untuk berkomunikasi dengan masyarakat Oirata. Mereka menganggap sangat wajar dan memang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia dalam melaksanankan tugasnya. Di samping itu, mereka juga menegaskan bahwa selama ini mereka tidak mengalami kesulitan menggunakan bahasa Indonesia karena penduduk desa Oirata ratarata memahami bahasa Indonesia. Kedua, bahasa Indonesia juga masuk melalui ranah agama dengan sangat kuat. Agama Kristen adalah satu-satunya agama yang dianut oleh seluruh masyarakat desa Oirata. Kitab sucinya yaitu Injil menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Aktivitas keagamaan seperti Misa atau Kebaktian di gereja setiap hari Minggu juga kegiatan persembahyangan pada setiap rumah warga juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Intensitas kegiatan keagamaan masyarakat
Oirata sangat tinggi, baik dilaksanakan di gereja maupun di
rumah-rumah. Untuk dimaklumi,
intensitas pemakaian bahasa Indonesia
melalui kegiatan keagamaan di desa itu menjadi sangat tinggi karena setiap kegiatan kemasyarakatan lebih bernuansa agama. Pendeta sebagai pemuka agama Kristen Protestan setiap saat aktif memberikan pelayanan kepada umatnya di gereja menggunakan bahasa Indonesia. Masyarakat Oirata merupakan mayarakat yang agamais. Mereka sangat taat menjalankan agamanya. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa tingginya intensitas pemakaian bahasa Indonesia.
118
Selain itu, semua bentuk aktivitas pemerintahan dipadukan dengan kegiatan keagamaan dengan peran besar pemuka agama. Penyuluhan MCK, penyuluhan PKK, penimbangan bayi, imunisasi, penyuluhan KB, penyuluhan menuju keluarga sehat dan sejahtera (MKSS), penyuluhan kesehatan: Penyakit Menular, Kesehatan Ibu dan Anak, dan kegiatan sosial lainnya diselenggarakan melalui jalur agama. Informasi penting dari kecamatan atau kabupaten disampaikan melalui Pendeta sebagai pemimpin agama. Semua kegiatan itu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Karena faktor hegemoni bahasa Indonasia yang secara terus menerus itulah maka banyak memberi pengaruh terhadap eksistensi dan perkembangan bahasa Or. Konsekuensi logis dari kondisi itu terjadilah proses difusi unsur bahasa Indonesia khususnya pada ranah agama ke seluruh warga masyarakat bahasa Or. Kuatnya pengaruh bahasa Indonesia juga tampak pada nama diri. Namanama orang asli Oirata masa lalu semakin ditinggalkan beralih ke nama Indonesia yang dilengkapi dengan nama baptis di depannya. 3) Peran pemakai bahasa Or di masyarakat lingkungannya Masyarakat pemakai bahasa Or sangat langka berpendidikan tinggi. Implikasinya, tidak ada di antara mereka menjadi pegawai yang menduduki jabatan penting di pemerintahan, baik pada tingkat kecamatan maupun pada tingkat kabupaten. Dalam organisasi dan kegiatan keagamaan atau kegiatan sosial kemasyarakatan
pada tingkat kecamatan dan kabupaten, pemakai
bahasa Or tidak memiliki peran yang berimplikasi sosial. Intinya, peran pemakai bahasa Or rendah di pemerintahan dan masyarakat lingkungannya. Dengan demikian, peluang penyebarluasan bahasa Or sangat muskil. Artinya,
119
jika ada peluang terjadinya proses peminjaman unsur kebahasaan hanya akan terjadi satu arah. Unsur-unsur bahasa Or tidak mungkin akan diserap oleh bahasa-bahasa di sekitarnya. Sebaliknya, hanya bahasa Or-lah yang berpeluang besar dapat menyerap unsur-unsur tertentu dari bahasa-bahasa yang ada di lingkungannya. Fakta bahasa yang dapat dipakai sebagai bukti bahwa bahasa Or telah banyak menyerap unsur-unsur dari bahasa lain atau paling tidak dari bahasa Ks sebagai bahasa terdekat di lingkungannya. Seperti kata Ks: kimur ‘timur’ diserap menjadi Or: kimurhe ‘musim timur’. Begitu pula, kata Ks: kisar ‘nama pantai di Pulau Kisar’ diserap menjadi Or: Kihar ‘pantai Kisar’. Kata Ks: Jawalang ‘pantai Jawalang’ diserap menjadi Or: Yawalang ‘pantai Jawalang’. Bahkan, nama Oirata itu sendiri berasal dari bahasa Ks yang bermakna ‘air keruh’. Dalam bahasa Ks, Oir bermakna ‘air’ dan riaka atau riata berarti ‘keruh’. Fakta-fakta tersebut memberi bukti bahwa bahasa Or lebih banyak menyerap dibandingkan dengan memberi kontribusi unsur tertentu kepada bahasa-bahasa lain di sekitarnya karena peran pemakai bahasa Or rendah di lingkungannya. 4) Sistem pembinaan bahasa Or Secara internal, para pemangku adat masyarakat pemakai bahasa Or telah berupaya mengader generasi mudanya untuk terus melestarikan bahasa adat. Ketentuan adat telah ditetapkan bahwa setiap Soa wajib mengader satu orang generasi muda sebagai penerus dalam melestarikan bahasa adat Oirata. Pada dua desa Oirata Barat dan Timur terdapat tujuh Pađa (Soa). Sebagai wujud komitmen terhadap ketentuan tersebut, semua Soa yang ditunjuk
120
sebagai pemangku adat telah mengader paling tidak satu orang sebagai calon penerusnya. Fakta membuktikan bahwa upaya tersebut tidak berjalan sebagimana yang diharapkan, karena generasi penerusnya kurang berminat akan hal itu. Alasan umum yang disampaikan oleh para pemudanya adalah ”bahasa adat terlalu sulit, tidak gaul, dan tidak sesuai dengan zamannya”. Dengan dalih tersebut, para pemudanya cenderung menghindar ditunjuk sebagai kader atau calon penerus adat. Artinya, jika upaya pembinaan bahasa adat tersebut berjalan dengan baik, seharusnya sekarang terdapat paling tidak 14 orang sebagai pemangku adat yang bertugas melestarikan bahasa adat di desa Oirata. Akan tetapi, pemangku adat yang ada secara riil sekarang tidak lebih dari tujuh sampai sembilan orang dan sebagian dari mereka telah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan beberapa alasan: (1) usia telah lanjut, (2) salah satu indera, yaitu pendengaran atau pengelihatannya, telah tidak berfungsi normal, (3) sosial ekonomi yang tidak memungkinkan untuk menjalankan fungsinya sebagai pemangku adat. Dalam konteks pembinaan bahasa secara eksternal, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Republik Indonesia telah membentuk Lembaga Bahasa atau Kantor Bahasa di setiap daerah provinsi sebagai perpanjangan tangan pusat dalam membina bahasa Indonesia dan daerah di wilayahnya masing-masing. Fakta pula membuktikan bahwa sama sekali tidak ada petugas dari lembaga tersebut yang melakukan pembinaan terhadap eksistensi bahasa Or. Konsekuensi logisnya, perkembangan bahasa Or selama ini menjadi tanpa arah yang jelas. Bahasa Or telah banyak menyerap unsur-unsur tertentu dari bahasa-bahasa lain dengan cara inkonsistensi. Banyak kata serapan yang
121
memperkaya bahasa Or bertentangan dengan sitem fonologi bahasa Or yang hakiki. Kondisi ini jelas memperburuk eksistensi bahasa Or sekarang maupun yang akan datang.
5) Kultur masyarakat pemakai bahasa Or Kultur masyarakat pemakai bahasa Or tertutup dengan eksistensi bahasanya. Masyarakat pemakai bahasa Or tidak menghendaki bahasanya dipahami oleh masyarakat lainnya. Alasannya, bahasa Or adalah bahasa adat yang hanya boleh digunakan oleh masyarakat adat Oirata. Jika berkomunikasi dengan masyarakat luar, mereka akan melakukan tiga pilihan. Pertama, mereka pasti menggunakan bahasa Indonesia jika lawan bicaranya adalah orang luar atau tidak mereka kenal asal-usulnya. Kedua, mereka akan menggunakan bahasa daerah lawan bicaranya, terutama jika mereka menguasainya. Misalnya, jika mereka berbicara dengan orang Kisar, mereka akan menggunakan bahasa Ks karena pada umumnya mereka menguasai bahasa Ks. Ketiga, jika terpaksa mereka akan menggunakan bahasa Or bilamana ada orang ketiga yang bukan Suku Oirata berada di sekitarnya yang dapat mendengar pembicaraannya. Bahasa Or yang dipilih adalah bahasa yang sulit yang tidak mungkin dapat dipahami oleh orang ketiga tersebut. Contoh, jika ada seorang polisi di sekitarnya, mereka akan menggunakan istilah iharlaware ‘anjing hitam’. Untuk seorang pendatang, mereka akan menggunakan istilah raki ‘penjajah atau penjahat’. Begitu pula jika ingin mengungkapkan kata tentara, mereka akan menggunakan istilah u’ulana ‘pakaian hijau’. Padahal, untuk istilah
122
tentara yang umum digunakan di kawasan tersebut adalah sorlata ‘prajurit’. Kondisi ini juga berimplikasi pada proses penyerapan satu arah.
6) Citra Bahasa Or Selama ini di kalangan masyarakat di sekitarnya berkembang citra bahwa bahasa Or adalah bahasa mati. Oleh karena itu, mereka tidak perlu mempelajarinya. Masyarakat lain umumnya beranggapan bahwa bahasa Or adalah bahasa yang sulit. Bukti yang dikatakan adalah pada saat Orang Oirata berbicara antarsesamanya dengan menggunakan bahasa Or, umumnya, orang lain tidak akan memahami maksud pembicaraan tersebut. Lebih-lebih jika sesamanya beralih kode dengan menggunakan bahasa adat, dapat dipastikan orang lain tidak akan mengerti apa yang dibicarakannya. Citra negatif ini pula memberi kontribusi bagi adanya peluang terjadinya proses peminjaman satu arah. Semua kondisi di atas yang pasti memberi andil besar bagi ketidakbertahanan bahasa Or dalam arti yang lebih luas. Bahasa Or menjadi berkembang tanpa arah yang pasti. Bahasa Or menjadi kompleks dan sarat dengan unsur-unsur asing di dalamnya. Akhirnya, berujung pada hilangnya identitas esensial bahasa tersebut.