yang lampau. seperti halnya ramainya pelayaran kapal-kapal Bugis dan
Makasar yang ... menggunakan kapal uap sejak tahun 1830-an, pemerintah
colonial ...
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah sekaligus antropologi tentang dinamika sejarah dan budaya maritim yang terjadi di kawasan Laut Sawu. kajian sejarah maritim sering diabaikan oleh para sejarawan Indonesia karena mereka lebih suka merekonstruksi sejarah yang terjadi di daratan saja. kawasan laut malah dianggap tidak penting. ketimpangan terjadi karena sejarah Indonesia tidak ditulis utuh dalam pengertian sejarah tanah air. padahal dua pertiga wilayah Indonesia adalah kawasan laut yang justru menjadi media integrasi pulau-pulau sekitarnya. Banyak penduduk Indonesia yang hidup dari perdagangan, pelayaran dan kegiatan mengolah laut. banyak dari budaya masyarakat kita yang ternyata menjadikan laut, perahu dan pelayaran menjadi bagian dari legenda, sistem mata pencarian, sistem nilai dan asal-usul, termasuk masyarakat yang ada di kawasan Laut Sawu. Padahal dalam kajian ilmuwan asing dan sumber arsip portugis dan belanda, wilayah.ini memiliki dinamika pelayaran dan perdagangan maritim yang ramai pada abad-abad yang lampau. seperti halnya ramainya pelayaran kapal-kapal Bugis dan Makasar yang berdagang dan juga mencari tripang ke Australia Utara (Marege) dengan menjadikan wilayah Laut Sawu sebagai pangkalan armada dan perekrutan tenaga penyelam. Bahkan juga kehadiran kapal-kapal Portugis, Cina, Belanda, Inggris dan Amerika selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk mencari kayu cendana dan kuda. Portugis dan Belanda merupakan dua bangsa yang kemudian berebut hegemoni politik dan ekonomi di wilayah kawasan Laut Sawu ini. Kepiawaian masyarakat Lamalera, di Pulau Lembata berburu ikan paus dengan menggunakan tombak (tempuling) dan perahu tradisionalnya (peledang) sangat mempesonakan para ilmuwan dan turis-turis barat yang datang. bahkan tradisi penangkapan ikan paus mereka jauh berkembang sebelum orang Eropa dan Amerika berburu ikan paus. Pandangan orang Sawu dan Rote yang melihat pulau mereka seperti bagian dari perahu merupakan hal menarik untuk dikaji.. menurut orang Sawu bagian barat pulau disebut anjungan tanah (duru rae), bagian timur pulau disebut buritan pulau ( wui rae). bahkan orang Sawu menyebut kampung mereka dengan rumah perahu (rae kowa). pada bagian buritan kampung ada tempat yang disebut kemudi
kampung (uli rae). bahkan mereka menyebut tiang loteng rumah sebagai gela, sebutan bagi tiang layar. Dinamika pelayaran di masa colonial Hindia Belanda sejak 1800 sampai tahun 1942 menarik juga untuk dikaji, karena dengan menggunakan kapal-kapal layar dan kemudian menggunakan kapal uap sejak tahun 1830-an, pemerintah colonial menjadikan pelayaran kapalkapalnya untuk mendukung terbentuknya Pax Neerlandica atau imperium Belanda Raya di kepulauan Indonesia. Pelayaran-pelayaran kapal-kapal Belanda dan swasta Belanda telah berhasil mengintegrasikan secara politik dan ekonomi seluruh kawasan Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Namun demikian dilihat dari kepentingan nasional Indonesia hal ini justru semakin memperkuat penjajahan Belanda atas wilayah Indonesia. Untuk itulah diharapkan pemerintah dan juga bangsa Indonesia dapat belajar dari Belanda tentang strategi pembangunan kelautan dan transportasi laut yang dapat mengakomodasi dinamika pelayaran dan perdagangan pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun demikian Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia yang didirikan sejak tahun 1952 masih belum dapat menandingi kecanggihan perusahaan pelayaran Belanda di Indonesia KPM yang masih diperbolehkan beroperasi diperairan Indonesia sampai proses diambil alih oleh pemerintah Indonesia sekitar tahun 1957. Pada periode selanjutnya kondisi pelayaran nasional tidak terlalu menggembirakan. Namun demikian berdasarkan sumber-sumber data yang ada justru pelayaran rakyat dengan perahu-perahu layar motornya yang berhasil melanjutkan keperkasaan armadaarmada kapal Belanda tempo dulu. Armada pelayaran rakyat ini memenuhi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara, mereka memuat dan membongkar produk-produk industry, pabrikan, hasil perkebunan, beras, kayu, dan aneka produk local lainnya.
Perkembangan pelayaran, perdagangan dan transportasi laut di wilayah dengan cirri geografi maritim seperti di kawasan Laut Sawu Nusa Tenggara Timur sangat penting diperhatikan. Karena sejak dulu dinamika maritimlah yang membuat kawasan ini berkembang menjadi daerah tujuan pelayaran nasional dan regional sejak berabad yang lampau.Temuan dilapangan di wilayah kawasan laut Sawu menunjukkan bahwa pelayaran rakyat berkembang dan eksis di pelabuhan Kupang, Larantuka, Maumere, Waiwerang (P. Adonara) dan Lewoleba (P. Lembata).
Bermacam produk seperti kayu, beras, semen, hasil perikanan, barang-barang industry, barang kelontong dan lain sebagainya. Untuk itulah bagian akhir
penelitian ini meyoroti
dinamika transportasi laut pada akhir abad XX sampai tahun 2000-an. Sejauh penelusuran lapangan dan literature dapat dikatakan transportasi laut di NTT masih sangat kurang memadai. Sampai tahun 1985, transportasi laut di NTT masih menggunakan kapal-kapal kayu baik dengan layar maupun yang bermotor. Sejak 1985, pemerintah menggunakan kapal-kapal ferry. Kemampuan penyeberangan laut antar pulau di NTT dikembangkan sejak 1995 dengan menggunakan Kapal Motor Perintis dengan datangnya 3 Kapal Motor yang berkapasistas 400500 penumpang. Kapal fery juga banyak yang sudah berusia tua, sehingga rawan tenggelam apalagi cuaca dan gelombang laut Sawu cukup keras di bulan-bulan tertentu. Namun demikian tercatat bahwa pelayaran rakyat masih jauh lebih besar peranannya dalam transportasi barang dan manusia melalui laut. Selain itu fasilitas pelabuhan di NTT sangat minim, karena hanya Kupang, Larantuka dan labuhan Bajo yang memiliki fasilitas bongkar muat (1990-an), kemudian disusul Pelabuhan Kalabahi dan Rote.