multikulturalisme sebenamya masih baru. Namun, dari wacana yang
berkembang di. Indonesia, multikulturalisme rupanya akan dija- dikan paradigma
baru ...
Proceeding. Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23·24 Agustus 2005
ISSN: 18582559
AKTUALISASI PARADIGMA MULTIKULTURALISME DALAM BUDAYA INDONESIA YANG PLURAL Hawasi Fawltas Sastra, Universitas Gunadarma J/. Margonda Raya 100, Depot - 16424
[email protected] A.BSTRACT This study focuses on the QCtualization of multiculturalism as a new knowledge in Indonesia. Based on multiculturalism paradigm. the plurality of Indonesian society could leave binary and dichotomic views by educating society. Among other ways to actualize multiculturalism are: opening dialogues in public sphere, bulding a multicultural atmosphere in education, and establishing consensus among different cullII1'es, etnics, values and beliefs. Key words: consensus, dialogue, multicultural education, plura/is.
1. PENDAHULUAN
" ..... Our cultural differences do not prevent us from attempting to understand one another's practices, values, and beliefs, any more than they condemn us to an unreflective conformity to our own ways. On the contrary, entering into dialogue with people who hadforeign values and beliefs we can help us to overcome a blind attachment to our culturally induced commitments" (Philip Cam, 1999: 1) Masalah pluralisme budaya, pluralisme etnis, bahasa, rasa, dan agama, sesungguhnya, sudah merupakan realitas yang sudah lama ada dalam masyarakat Indonesia. Masalahnya ada· lah selama ini ada perbedaan sikap dalam memperlakukan realitas yang plural tersebut. Sikap yang pertama memperlakukan pluralisme dengan cara dialog, toleransi dan penegakan hak asasi manusia secara yuridis (aturan hukum). Sedangkan sikap yang kedua memperlakukan pluralisme dengan cara kekerasan dan intimidasi sehingga melanggar hak asasi manusia. Sejak jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto dari kekuasaannya - yang kemudian 840
diikuti dengan munculnya "era refonnasi", kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi dan "kekerasan". Krisis moneter, ekonomi. dan politik yang bermula sejak akhir 1997 mengakibatkan teJjadinya krisis kultural di dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Berakhimya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" dan hegemoni kebudayaan (Hilmar Farid, 1996: 1-11) yang mengandung impJikasiimplikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang plural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan dan pemerintahan, teJjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tind·h dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik. 2. MULTIKULTURALISME DAN PLURALISME Kecenderungan sikap kedua, seperti yang disebut di atas, banyak terjadi di masyarakat sehingga muncullah kesadaran multi-kultural sebagai sikap kebersamaan yang mengakui segala macam berbedaan budaya, etnis, ras, dan agama. Multikulturalisme sebagaimana dikeAktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
Proceeding. Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005 mukakan oleh Charles Taylor muneul sebagai reaksi atas tuntutan kaum minoritas etnis, kelompok yang terpinggirkan (marginal) untuk menuntut hak untuk ikut menentukan kebijakan publik (negara), hak untuk menentukan diri sebagai minoritaslkelompok yang terpinggirkan (Akhyar, 2005, Featherstone, 1995). Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya arus globalisasi dan abad informasi yang cenderung rneIlghilangkan batas-batas (border/us) geagrafi dan budaya juga berperan penting mempercepat adanya budaya multikultural. Oalam teori sosial. penggunaan wacana multikulturalisme sebenamya masih baru. Namun, dari wacana yang berkembang di Indonesia, multikulturalisme rupanya akan dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antar manusia yang yang belakangan sempat terkoyak akibat suasana konflik. Saat ini muneul kesadaran bersama bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan (pluralitas) bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Ada baiknya penulis mencoba membedakan terlebih dahulu beberapa istilah yang berkaitan dengan multikulturalisme. Ada tiga istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari berbagai macam agama, ras, bahasa, dan budaya, yakni pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multieultural{multic:Jltural). Ketiga ekspresi itu tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengaeu kepada adanya 'ketidaktunggalan' (Sirry, 2003, Yusuf, 200S). Konsep pluralitas (pluralism) mengandaikan adanya 'hal-hal yang lebih dari satu' (many): keragaman menunjukkan bahwa keber- . adaan yang 'Iebih dari satu' itu berbedabeda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Ontologi kebudayaan menetapkan manusia sebagai subyek kebudayaan. Jika subyek kebudayaan adalah manusia yang pada kenyataan empirik hanya ada pada individualitas, maka subyek kebudayaan sebagai individualitas pada dasamya bersifat plural, dan pluralitas subyek akan berakibat pada adanya plularitas kebudayaan (Cam,1999: S-IS, Asy'ade, 1999: 71).
Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
ISSN: 18582559
Sedangkan multikulturalisrne sebenarnya relatif baru. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemubn (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbcdaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respon kebujakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidaklah cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sarna oleh suatu negara. Apabila kita melihat kecenderungan saat ini di mana batas-batas negara mampu ditembus oleh arus globalisasi, cenderungan multikulturalisme gtobalpun hams disikapi oleh bangsa Indonesia. 8agaimana dengan perbcdaan budaya antar bangsa? 8agaimana kita dapat berinteraksi dengan kebudayaan yang dating dari berbagai penjuru dunia. Oi sinilah multikuralisme antar bangsa juga menjadi penting dalam proses pendidikan multikulturalisme. Masyarakat multikultural memiliki eiri yang berbeda dengan masyarakat plural, karena pada masyarakat multikultural terjadi interaksi aktif antara masyarakat dan budaya yang plural dalam kehidupan sehari-hari. Ada nuansa kesetaraan dan keadilan dalam unsur-unsur budaya yang berbeda tersebut. Prinsip keanekaragaman, perbedaan, kesederajatan, persamaan, penghargaan pada demokrasi, hak azasi, dan solidaritas merupakan prinsip multikulturalisme yang dijunjung tinggi. Kesadaran multikultural tersebut akhimya dapat pula disaksikan dengan merebaknya berbagai bidang kajian: studi lintas budaya (cross culture studies), studi budaya (cultural stud,es), studi feminisme, teorilkajian pos-kolonial, posmo1 demisme serta multikul-turalisme. 3. DI MANA PERAN NEGARA? Oalam batas negara-bangsa, manusia memiliki budaya yang majemuk, tetapi pada saat yang sarna, mereka memiliki identitas budaya yang satu. Meskipun berbeda-beda tetap I 8eberapa universitas telah memasukkan kajian budaya sebagai mata kuliah, khusus di Universitas Indonesia ditawarkan mata kuliah di Jurusan Filsafat
S41
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
satu menjadi slogan tidak hanya bagi bangsa Indonesia, teblpi juga Amerika Serikat, Perancis. Malaysia, Kanada, Australia, dan banyak lagi negara lain. Pada level ini. multikulturalisme dipahami dalam batas negarabangsa. Datam konteks Indonesia, sejarah peran negara pada mass, khususnya, Orde Baru amattah kuat • hegemonik dan represif dalam pengelolaan social, ekonomi, agama, politik dan kebudayaan. Misalnya saja dalam bidang politik negara hanya mengesahkan satu· ideologi organisasi dan kepartaian, dalam bidang pendidikan negara melakukan penyeragaman kurikulum tanpa memperdulikan muatan-muatan lokal, dalam bidang ekonomi negara melakukan sentralisasi dan eksploitasi sumber daya alam dan manusia, dalam bidang agama dan budaya negara berusaha menyelesaikan konflik dengan cara represif dan ideologis-politis (lihat Pandjaitan, 1997: 82-83, Sobary, 1997: 224227, Santoso, 1998: 6-7, ). Besamya dominasi negara, seperti dilukiskan di atas, berdampak terbadap melemahnya peran masyarakat di segala lini kehidupan. Masyarakat hampir tidak memiliki suara dan kebebasan eksistensial jika berbadapan dengan negara. Dampak lebih lanjut adalah teljadinya pemiskinan fisik dan mental secara akut sehingga masyarakat tidak sempat lagi berusaha untuk mendewasakan diri dalam berbagai hal. Rendahnya tingkat 'pertahanan diri' masyarakat menimbulkan kejutan-kejutan sosial dan budaya (social and cultural shocks), konflik social, ekonomi, budaya, dan agama. Melihat kondisi masyarakat seperti itu jelas halhal negatif tersebut merupakan penghambat bagi aktualitas masyarakat multikultural. Setelah melihat implikasi dari peran negara yang hegemonik tersebut, lalu bagaimana pula peran negara sekarang ini dalam rangka pembentukan masyarakat multikultural dalam bingkai negara Indonesia? Sebelum penulis menjelaskan peran negara dalam pembentukan masyarakat multikultural, di sini akan dikemukakan karakteristik masyarakat plural. Pierre L. van de Berghe S42
ISSN : 18582559
mengemukakan karakterisitk masyarakat plural yang khas (Purwasito, 2003: 301-302), antara lain: (I) Masyarakat terdiri dari segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok dengan latar belakang budaya, subbudaya yang berbebeda, (2) Masyarakat memiliki struktur social yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-Iembaga yang bersifat nonkomplementer, (3) Kurang memiliki kemauan untuk menemukan consensus relatif, sering mengakibatkan konflik antar kelompok budaya/subbudaya yang ada, (4) Konflik dan integrasi sosial dapat berlangsung justru dengan jalan menggunakan kekuasaan (paksaan) serta rasa saling ketergantungan ekonomi antar satu subkulturlkultur dengan yang lainnya, (6) Adanya dominasi politik satu kelompok atas kelompok yang lain. Karakteristik dari masyarakat plural, seperti dilukiskan di atas, menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang sampai hari ini hidup dalam konflik, baik sekala kecil, menengah maupun besar. Oleh karena itu diperlukan langkah-Iangkah strategis yang dapat mengatasi potensi ketegangan dan konflik pada masyarakat plural. Paradigma multikulturalisme dirasakan dapat menjadi alternatif pemecahan potensi konflik antar budaya, ras, etnis, dan agama. Multikulturalisme menolak konsep dikotomis: diri versus orang lain (the other), pemilik modal lawan kaum proletar, budaya kita versus budayalain, Barat versus Timur, relativisme versus obyektivisme, karena duaIisme tersebut menimbulkan pertentangan dan absutisme. Secara epistemologis semua pemahaman bersifat 'komparatif, mC1ksudnya pemahaman diri (self) mengharuskan adanya "yang lain" (the other). Driyarkara menyebut manusia sebagai "homo homini socius", makhluk yang selalu membutuhkan orang lain untuk lebih berkmana sebagai man usia. Hanya dengan melalui dialog interaktif-partisipatif, dengan menJunJung nalar dan spirit non-tribalisme ketegangan dan konflik dapat dihindari. Pengertian masyarakat multikultural berarti mensyaratkan perlunya wacana publik sekaligus ruang publik yang bebas. Hanya Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
Proceeding. Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 denga ruang publik yang bebas, anggotaanggota masyarakat dalam posisinya masingmasing ikut berperan dan melakukakan 'transaksi-transaksi' wacana dan praksis publik, baik politik, ekonomi, maupun social dan budaya (Santoso, 1998: 7-8). Oalam masyarakat multikultural, dengan demikian, peranncgara menjadi tidak dominan dan hegemonic karena terjadi keseimbangan antara negara dan masyarakatnya. Dominasi negara yang pemah terjadi pada masa Qrde Baru menjadi tidak relevan lagi di tengah semangat reformasi di segala bidang, termasuk munculnya kesadaran multikultural. Negara tidak bisa menghalangi laju kesadaran masyarakat yang mulai menuju proses pendewasaan berpikir, bersikap dan bertindak sebagai konsekuensi dari arus globalisasi informasi dan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat. Walaupun demikian, masyarakat tetap memerlukan negara, baik sebagai pelindung dari berbagai konflik akibat penyalahgunaan keran kebebasan dan demokrasi), maunpun sebagai penengah konflik dengan cara penegakan hukum secara adil, serta sebagai fasilitator untuk menemukan konsensus di antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Oi . sinilah peran negara diuji sebagai negara di mana, hormat terhadap martabat manusia sebagai makhluk yang bebas dan berhak bertindak secara otonom telah merasuki struktur-struktur social. Negara dan masyar:\kat tersebut, dalam pemikiran Hegel, telah memiliki "Sittlichkeit", tatanan sosial-moral (Magnis-Suseno, 1992: 111). Suatu negara dan masyarakat yang baik adalah masyarakat yang memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk berpartisipasi dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi kegiatan masyarakat dalam membangun kehidupan mereka. Gifford Pinchot (1996) beranggapan bahwa dalam kehidupan yang sangat kompleks dengan perubahan yang sangat cepat tidak mungkin seorang. pemimpin (dalam suatu negara) tabu segalanya dan bisa menangani segala pekerjaan, dan bertanggung jawab sendiri atas hal-hal yang terjadi. Untuk itulah birokrasi pemerintaban harus melJlbah gaya kepemimpinan dari pendekatan penguasa tung-
Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
ISSN : 18582559
gal menjadi kepemimpinan 'networking' jaringan dari berbagai unsur masyarakat seperti tokoh masyarakat, pemuka agama, tokoh organisasi social dan kemasyarakatan lainnya dengan didasari oleh semangat multikultural. 4. AKTUALISASI PARADIGMA MUL-
TIKULTURAUSME Pluralitas bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain mcrupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Tetapi, pada pihak lain, realitas plural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasionallndonesia" yang dapat menjadi "integrating foroe" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Prinsip negara Indonesia sebagai negara "bhineka tunggal ika" mencerminkan bahwa meskipun negara Indonesia bersifat plural, tetapi tetap terintegrasi dalam kesatuan. Problem Indonesia adalah bagaimana budaya bangsa Indonesia menerima sikap dan pemikiran yang berbeda di tengah-tengah masyarakat? Walaupun keanekaragarnan atau pluralisme diakui dan diutamakan dalam semboyan negara Indonesia, "Bhineka Tunggal Ika", dalam kenyataannya yang ditekankan adalah "kesatuan" bukan keanekaragaman". Padahal kalau yang dipertimbangkan adalah "keanekaragaman", maka akan lebih menggambarkan realitas yang sesungguhnya. "Keaneragaman dalam Kesatuan" merupakan mozaik dari per- . wujudan masyarakat multikultural. Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas (Azra, 2003, Adian, 2003). Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai "pendidikan untukltentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural Iingkungan masyarakat tertentu
S43
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
atau bahkan dunia secara keseluruhan. Istilab "pendidikan multicultural" (multicultural education) dapat digunakan baik pada tingkat deskriptifmaupun norrnatif (Azra. 2003). Sebagai alternatif terhadap penolakan terbadap segaJa bentuk diskriminasi. Multikulturalisme memberikan nilai positif terbadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalab kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terbadap segala bentuk tradisi budaya, terrnasuk agama. Dalam konteks pendidikan multikultural maka semangat dialog yang memperkaya pengertian antara berbagai macam latar belakang menjadi suatu keharusan (lihat Cam, 1999, Drost, 2003). Dalam pendidikan yang menekankan suasana yang dialogis akan ditemukan sikap membuka diri terbadap dialektikal kritis dan praktik diskursif, terrnasuk kesiapan untuk membongkar bentukbentuk kesadaran palsu, sehingga pada akhimya akan ditemukan suatu bentuk konsensus, meminjam istilah Haberrnas. Dalam konteks global, saat semua lini kehidupan -budaya, ekonomi, teknologi, lingkungan hidup, dan sebagainya - saling bertalian erat, pendidikan multikultural harus berupaya membentul nalar manusia yang mengadopsi non-tribalisme, baik dalam sekala nasional maupun global. Nalar non-tribalisme sendiri bisa diartikan dua hal (Donny Gabral,2003). Pertama, nala~ tidak bersifat reaksioner terbadap gagasan, klaim, keyakinan yang lain (asing). Kedua, nalar tidak bersifat privat melainkan publik. Nalar mesti dipakai untuk mendiskusikan secar publik patokan dan prinsip yang bias disepakati sebanyak mungkin pihak. Sarana paling tepat untuk menanamkan modus penalaran nontribalisme adalah pendidikan multikultural. Menurut Fuad Hassan sudah saatnya semangat kebersamaan "kita" lebih menjelma daripada kebersamaan "kami". Dalam kaitannya pendidikan multikultural dan agama, perangkat kesatuan norrnatif (Adian, 2003) sangat dibutuhkan untuk mencegab konflik-konflik golongan secara horizontal, maupun konflik-konflik kelas secara vertikal yang secara aktual terjadi di dalam struktur S44
ISSN : 18582559
masyarakat akibat pluralitas agama (Kuntowijoyo, 1994: 300). Plularitas agama erat kaitannya dengan pendidikan umat. Karena dengan pendidikan yang cukup dan mau mengerti bahwa pluralitas agama adalab kehendak Allah, ia akan bias menjaga hubungan yang baik antar umat beragama. Oleh karena itu didasari oleh ilmu dan pendidikan, maka di dalam masyarakat yang beragam atau plural, pemeluk agama akan bias menyesuaikan diri di dalam kultur apa dia hidup dan bagaimana ia berbuat terbadap sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan, namun dengan tetap menjaga identitas dirinya (Saefuddin, 2000: 73). Memahami fenomena agama dibutuhkan peralatan metodologis yang khusus. Disamping orang perlu mengenal pendekatan psikologis dan filosofis eksistensial, ia juga dituntut untuk mampu menghargai dan sekaligus menggunakan pendekatan dan metodologi yang biasa digunakan dalam bidangbidang budaya dan sosial" (Abdullah, 2001: 8). Di sini pula paradigma multikultural menjadi suatu yang aktual dalam konteks keberagamaan di Indonesia. Dengan demikian· kajian multikulturalisme (yang didukung dengan teori-teori postmodemis) berkaitan erat dengan pandangan atau keyakinan yang mengakui adanya banyak kultur (pluralisme budaya, ras, religius, bahasa) yang memungkinkan· suara-suara dan tuntutan yang berbeda satu dengan yang lain hidup seeara berdampingan, dimana masing-masing kultur itu saling berinteraksi, berkomunikasi satu dengan yang lain secara intensif, kritis dan emansipatoris. Semangat multikultural juga senafas dengan cita-cita pembentukan masyarakat madani atau civil society yang menekankan proses edukasi social dan tidak lagi semata-mata individual. Isu-isu transparansi, accountability (pertanggungjawaban), public debate, solidaritas, toleransi, demokrasi, kesalehan publik, pluralisme, adalah kata-kata kunci (key words) yang bias digunakan setelah masyarakat modem mengenal apa yang disebut kontrak social (social contract) (Abdullah, 200 I: IS). Dalam konsep social contract, diasumsikan bahwa seAktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 mua individu dan kelompok mempunyai platfonn, hak dan kewajiban yang sarna, meskipun berbeda ras, suku, golongan, budaya, agama dan kepercayaan yang dianut. State of mind, mentalitas dan cam berpikir serta cam bertindak yang tersembunyi di balik kata kunci kontrak social adalah asumsi dan keyakinan bahwa kita semua memang berbeda dalam banyak hal, lebih-Iebih dalam hal akidah, iman, kredo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama dan kelompok (social survival), mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama dalam bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok dan warga masyarakat, yang sejak semula memang sudah berbeda ditinjau dari sudut pandang apapun. Ada beberapa tesis filsafat multikultural dalam ilmu social-budaya yang perlu dipahami dan dikembangkan dalam budaya multikultural, antara lain: 1. Hindarkan cam berpikir dikotomis; hitamputih, either/or dan berusahalah berpikir secara dialektis-kritis. 2. Jangan menjadikan orang lain sebagai the other, dan'jadikan perbedaan untuk saling memahami bahwa kita memiliki keunikan masing-masing sebagai realitas. 3. Berdialog dan berinteraksilah dengan orang lain supaya kita bisa meraba hati dan kemauan orang lain sehingga kita dapat berlaku· adit. 4. Berpikirlah sebagai kata kerja (proses, transformasi) bukan sebagai kata benda. (Hhat: kebudayaan sebagai kata kerja, misalnya dari van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1992). 5. Janganlah bersifat etnosentris (tribalisme), berusahalah berpikir non-tribalisme sehingga akal sehat (common sense) tetap terjaga. Tesis multikultural di atas sangat potensial sebagai upaya untuk "mengaca diri" dan "penyaringan" (filter) bagi setiap komunitas budaya, etnis, dan agama untuk rendah hati menerima kelebihan komunitas lain dan mengakui kelemahan komunitasnya secara etis dan rasional. Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
ISSN: 18582559
S.PENUTUP Perbedaan~aan yang selalu terjadi akibat adanya pluralitas budaya, etnis, sistim nilai dan agama harus disikapi dengan suatu dialog untuk menemukan konsensus bersama, bukan dengan kekerasan dan penghaneuran satu dengan lainnya. Maka, dalam konteks tersebut multikulturalisme eukup relevan untuk diterapkan dalam suatu masyarat majemuk (plural) seperti Indonesia. Multikuturalisme; yang menonjolkan kesetaraan, solidarisme, keterbukaan serta dialog mampu menjadi titik temu di antara berbagai perbedaan yang ada dalam rangka hidup bersama dengan semangat kebersamaan pula. Dalam rangka tersebut tcmbaga-Icmbaga pendidikan dan budaya, baik pemcrintah maupun Lembaga Swada Masyarakat (LSM) dapat menjadi model untuk menumbuhkan kesadaran multikultural dikatangan masyarakat. Dengan langkah tersebut maka dapat ditumbuhkan dialog budaya multikultural untuk saling memahami antar budaya serta ditumbuhkan kepereayaan terhadap budaya sendiri (identitas diri).
6.
DAFrAR PUSTAKA
[1]
Ahmad Sahal, "Kemudian, Di Mananakah Emansipasi?", dalam Kalam edisi 1 Tahun 1994 him. 12 - 22.
[2]
Akhyar Yusuf, "Multikulturalisme dalam Perspektif Filsafat", dalam seminar "Student Circle" Pusat Studi Islam Paramadina dan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, 12 Maret 2005.
[3]
B. Herry-Priyono, Cangkang Kosong Nasionalisme? Antora Lolcal dan Global, Universitas Paramadina, 25 Apri12003
[4]
Azyumardi Azra, ··Pendidikan Multikultural (Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika)", dalam Repub/ilca, 3 September 2003
S45
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005
Auditorium Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005
[5]
Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bag; Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
[6]
C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, (terjemahan Dick Hartoko), Yogyakarta: Kanisius, t 992.
[7]
Djamaludin Ancok, "Aspek Sosial Budaya dalam Mewujudkan Kota yang Aman", makalal Simposium Nas;onal di Universitas Gunadarma, Jakarta, 29 Juli 1999, hlm.9
[8]
[9]
Donny Gahral Adian, "Globalisasi, Demokrasi dan Nalar Non-tribalisme", dalam Kompas, I April 2003. Doris Pandjaitan, "Budaya Masa dalam Masyarakat Bengong", dalam Prisma No.2-1997, him. 82-83.
[10] Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan: Membongkar Mitos Hegemon; Barat, (terjemahan Rahmani Astuti), Bandung: Mizan, 1996. [II] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1992. [12] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu /(r;tis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, bab 7, him Ill. [13] Fuad Hassan, Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, him. 41. [14] George Ritzer, Teor; Sosiai Postmodern, (terjemahan Muhammad Taufik), Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003, hlm.322-324. [IS] G. Pinchot, "Creating Organization with Many Leaders", dalam Hesselbein et.al. S46
ISSN: 18582559
Leader of the Future. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, t 996.
[16] Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003. [17] Hilmar Farid, "Memahami Kebudayaan Nasiona!". dalam Majalah Filsafat Driyarkara Th.XXII No. 2 him. 2 - II Tahun 1996. [18] J. Drost, "Pendidikan dan Dialog", dalam Kompas, 1 I September 2003. [19] Jonathan Friedman. Cultural Identity & Global Process, Great Britain: SAGE Publication, 1995. [20] Lawrence E. Cahoone (Ed.), From Modernism to Postmodernism: An Anthology, USA: Blackwell Publishers Ltd., 1996. [21] M.A. Fattah Santoso, "Menuju Indonesia Baru Melalui Pemberdayaan Masyarakat Madani", dalam Akademika, No. 02ffh.xVII1998, him. 5-12. [22] Mike Featherstone, Undoing Culture: Globalization, Postmodernism and Identity, Great Britain: SAGE Publication, 1995, bab 8 him. 139. [23] Mohammad Sobary, Di Bawah Payung Agung: Kegetiran Berdialog dengan Kekuasaan, Bandung: Mizan, 1996. [24] Muhammad Ali, "Menuju Multikulturalisme Global", dalam Kompas, 3 Januari 2004. [25]
Musa Asy'arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1991, him. 141.
Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23·24 Agustus 2005
[26] Musa Asy'arie, "AI Qur'an dan Pluralitas Kebudayaan", dalam Iurnal Profetika, 1.1,1999, him. 71. [27] Pauline Marie Rosenau, Post-Modernism and the Social Sciences: Insights, Inroads, and Intrusions, New Iersey: Princeton University Press, 1992.
ISSN: 18582559
Keislaman SuInif, No.1 Tabun XII-2000 him. 70-75. [31] Sirry, Mun'im A, "Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme". dalam Kompas, 1 Mei 2003. [32] Siamet Sutrisno (Ed.), Tugas Filsafat dolam Perlcembangan Budaya, Yogyakarta: Liberty1986.T
[28] Philip Cam, Insuk Cha, Mark Tamthai, Ramon Reyes (Eds.), Philosophy, Culture and Education, Korea: Korean National Commision for Unesco. 1999, Introduction him. 1-15.
[33] Tommy F. Awuy, Problem Filsafat Modem dan Dekonstruksi, tt : Lembaga Studi Filsafat (LSF), 1993.
[29] Purwanto, Postmodernisme daJam Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, him. 301-302.
[34] Will Kymlika, Kewarganegaraan MultilculturaJ, (terjemaban F. Budi Hardiman), Jakarta: LP3ES, 2002.
[30] Saifuddin, "Upaya Mempertemukan Realitas dalam Pluralitas Sosial Budaya", dalam Jurnal Pengembangan Kajian
[35] Yudi Latif, Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan, Bandung: Mizan, 1999, Kata Pengantar, hlm.29-30.
Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme Dalam ... (Hawasi)
S47