asuhan kebidanan gangguan sistem reproduksi ... - WordPress.com

99 downloads 1267 Views 1MB Size Report
menerapkan asuhan kebidanan pada ibu dengan gangguan sistem reproduksi dengan ...... rencana perawatan yang komprehensif kepada pasien (Varney,.
ASUHAN KEBIDANAN GANGGUAN SISTEM REPRODUKSI PADA NY.A P4A1 DENGAN PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL (PUD) DI BANGSAL MAWAR 1 RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA

STUDI KASUS

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Mengikuti Pendidikan Program Studi Diploma IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Oleh : ANISA ADI KURNIAWATI R 0108014

PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

ABSTRAK Anisa Adi Kurniawati. R0108014. 2011. Asuhan Kebidanan Gangguan Sistem Reproduksi Pada NY.A P4A1 dengan Perdarahan Uterus Disfungsional di Bangsal Mawar 1 RSUD DR Moewardi Surakarta. Program Studi D IV Kebidanan Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Latar Belakang : Perdarahan uterus disfungsional merupakan kegawatdaruratan jika tidak segera ditangani. Data bagian rekam medik RS Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan selama tahun 2010 terdapat 1143 kasus gangguan reproduksi, 139(12,16%) kasus adalah perdarahan uterus disfungsional. Tujuannya untuk menerapkan asuhan kebidanan pada ibu dengan gangguan sistem reproduksi dengan perdarahan uterus disfungsional, menggunakan manajemen kebidanan 7 langkah Varney. Metodologi penelitian : Menggunakan observasional deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Asuhan kebidanan dalam penelitian ini menggunakan 7 Langkah Varney dan data perkembangan SOAP. Hasil studi kasus : Didapatkan diagnosa gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. Setelah dilakukan kuretase dan rawat inap selama 4 hari sesuai asuhan kebidanan yang tepat diperoleh hasil keadaan umum ibu menjadi stabil dan membaik yang ditandai dengan berhentinya perdarahan, hilangnya rasa lemas dan tidak terjadinya anemia. Simpulan : Terdapat kesenjangan antara teori dan praktek dalam asuhan kebidanan pada Ny. A yaitu tidak dilakukan pemeriksaan haemoglobin sebelum kuretase dan tidak diberikan tablet besi sebagai penambah darah. Meski demikian, secara garis besar antara teori dengan prakteknya telah sesuai.

Kata kunci : Asuhan kebidanan, gangguan sistem reproduksi wanita, perdarahan uterus disfungsional.

ABSTRACT Anisa Adi Kurniawati. R0108014. 2011. Midwifery Care Of Reproductive System Disorder In Mrs.A P4A1 With Dysfunctional Uterus Bleeding In Mawar Ward 1 Of Surakarta Dr. Moewardi Hospital. DIV Midwifery Study Program of Medical Faculty of Sebelas Maret University. Surakarta. Background: Dysfunctional uterus bleeding is very dangerous if not managed immediately. Meanwhile the successfulness rate of dysfunctional uterus bleeding treatment is 90%. Data on medical record of Surakarta Dr. Moewardi Hospital shows that during 2010 there is 1143 reproductive disorder cases, 139 (12.16%) of which is dysfunctional uterus bleeding. The objective is to apply the midwifery care to women developing reproductive system disorder with dysfunctional uterus bleeding, using midwifery management of Varney’s seven steps. Method: The research method employed was an analytical observational one with case study approach. The midwifery care in this research used Varner’s seven steps and SOAP development data. Result: It was found the diagnosis of woman reproductive system disorder with dysfunctional uterus bleeding. After curettage and hospitalization for 4 days corresponding to the appropriate midwifery care, the woman condition generally was getting stable and improved indicated by the bleeding ceasing, malaise, and anemia. Conclusion: There is a gap between theory and practice in midwifery care in Mrs. A that hemoglobin examination is not performed before curettage and not given iron tablets as a blood booster. However, an outline of theory with practice has been appropriate.

Keywords: Midwifery care, women reproductive system disorder, disfungsional uterus bleeding.

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi kasus dengan judul ”Asuhan Kebidanan Gangguan Sistem Reproduksi Pada Ny.A P4A1 dengan Perdarahan Uterus Disfungsional di Bangsal Mawar 1 RSUD Dr Moewardi Surakarta”. Selama penyusunan studi kasus ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr.dr. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR-FINASIM dekan Fakultas Kedokteran UNS. 2. H. Tri Budi Wiryanto, dr. Sp.OG (K) ketua Program Studi D IV Kebidanan FK UNS. 3. Sri Mulyani, S.Kp.Ns.M.Kes sekretaris Program Studi DIV Kebidanan FK UNS. 4. Erindra Budi C,S.Kep,Ns.M.Kes ketua tim KTI. 5. Agus Eka NY, SST, M.Kes pembimbing utama atas segala petunjuk, bimbingan, motivasi dan saran bagi penulis. 6. Selfi Handayani, dr, M.Kes pembimbing pendamping atas segala petunjuk, bimbingan, motivasi dan saran bagi penulis. 7. Seluruh dosen dan karyawan Program Studi D IV Kebidanan FK UNS yang telah membantu dalam penyusunan studi kasus ini.

8. Segenap keluarga besar RS Dr. Moewardi Surakarta yang telah membantu dalam penyusunan studi kasus ini. 9. Ny. A beserta keluarga yang telah bersedia menjadi subjek dalam penyusunan studi kasus ini. 10. Keluarga tercinta di rumah yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, keceriaan, kedamaian dan segalanya bagi penulis. 11. Teman-teman mahasiswa D IV Kebidanan FK UNS angkatan 2008 yang saling membantu. 12. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan studi kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam studi kasus ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi isi, penulisan, maupun keterbatasan literatur. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya, penulis berharap semoga studi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Juli 2011

Penulis

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..........................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN ...........................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................

iii

KATA PENGANTAR ........................................................................

vi

DAFTAR ISI ......................................................................................

viii

DAFTAR TABEL ..............................................................................

x

DAFTAR GAMBAR..........................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................

xii

BAB I.

PENDAHULUAN ..............................................................

1

A. Latar Belakang.............................................................

1

B. Rumusan Masalah ........................................................

3

C. Tujuan .........................................................................

3

D. Manfaat .......................................................................

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................

5

A. Teori Medis......................................................................

5

1.

Gangguan Reproduksi .............................................

6

2.

Menstruasi ..............................................................

6

3.

Perdarahan Uterus Disfungsional ............................

7

a.

Definisi Perdarahan Uterus Disfungsional ........

7

b.

Klasifikasi .......................................................

7

c.

Etiologi ............................................................

9

d.

Gambaran klinik ..............................................

9

e.

Patofisiologi ....................................................

13

f.

Diagnosis Banding ..........................................

15

g.

Diagnosa .........................................................

16

h.

Penatalaksanaan ..............................................

18

i.

Prognosis ........................................................

26

B. Teori Manajemen Kebidanan ..........................................

28

1.

Pengertian ...............................................................

28

2.

Penerapan Asuhan Kebidanan .................................

28

3.

Follow Up Catatan Perkembangan Kondisi Klien....

46

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................

48

A. Jenis Penelitian ................................................................

48

B. Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................

48

C. Subjek Penelitian .............................................................

48

D. Jenis Data ........................................................................

48

E. Teknik Pengambilan Data ................................................

50

F. Analisis Data ..................................................................

51

BAB IV. TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN .....................

52

A. Tinjauan Kasus Kebidanan .............................................

52

B. Pembahasan ....................................................................

74

BAB V. PENUTUP .........................................................................

82

A. Kesimpulan ....................................................................

82

B. Saran ..............................................................................

84

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1

Keluhan Dan Gejala Saat Anamnesis...............................

17

Tabel 4.1

Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu……...

54

Tabel 4.2

Keadaan anak dan nifas yang lalu………………………..

54

Tabel 4.3

Kebiasaan sehari – hari …………………………………..

56

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Algoritme PUD Perimenopause ..........................................

27

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Kegiatan Studi Kasus Lampiran 2 : Lembar Konsultasi Pembimbing Utama Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Pembimbing Pendamping Lampiran 4 : Surat ijin Pengambilan Data di DKK Surakarta Lampiran 5 : Surat Jawaban Pengambilan Data di DKK Surakarta Lampiran 6 : Surat Ijin Pengambilan Data di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran 7 : Surat Jawaban Pengambilan Data di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran 8 : Lembar Persetujuan Pasien dalam Pengambilan Kasus Lampiran 9 : Laporan Tindakan Kuretase

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan dalam bidang kesehatan reproduksi merupakan tanggung jawab bersama baik itu tenaga kesehatan maupun masyarakat karena dampaknya luas menyangkut berbagai aspek kehidupan dan menjadi parameter kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Salah satu permasalahan dalam bidang kesehatan reproduksi adalah masalah reproduksi yang berhubungan dengan gangguan sistem reproduksi. Hal ini mencakup infeksi, gangguan menstruasi, masalah struktur, keganasan pada alat reproduksi wanita, infertilitas, dan lain-lain (Baradero, 2007). Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan menstruasi selama masa hidupnya. Gangguan menstruasi dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik (Robe, 2002). Salah satu gangguan sistem reproduksi yang berhubungan dengan menstruasi adalah perdarahan uterus disfungsional (PUD). Penderita perdarahan uterus disfungsional akut biasanya datang dengan perdarahan banyak, sehingga harus cepat ditangani karena merupakan keadaan gawat darurat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Sedangkan angka

keberhasilan terhadap pengobatan perdarahan uterus disfungsional mencapai 90% (Manuaba, 2008). Perdarahan uterus abnormal seringkali terjadi dengan gambaran klinik yang bervariasi dan rumit. Angka kejadian mencapai 19.1 % dari semua kunjungan poliklinik untuk kasus ginekologi di Amerika (Nicholson, 2001). Selain itu dilaporkan bahwa sekitar 25% tindakan pembedahan ginekologi dilakukan berkaitan dengan perdarahan uterus abnormal. Dan dari angka tersebut didapatkan presentase 46,5% dengan gejala amenore sekunder, 17,6% oligomenore, 21,8% PUD, 14,1% amenore primer (Goodman, 2000). Di Indonesia belum ada angka yang menyebutkan kekerapan perdarahan uterus

disfungsional

ini

secara

menyeluruh.

Kebanyakan

penulis

memperkirakan kekerapannya sama dengan diluar negeri, yaitu 10% dari kunjungan ginekologik. Dua per tiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun. (Wiknjosastro, 2007). Rumah Sakit Dr. Moewardi merupakan rumah sakit milik pemerintah provinsi Jawa Tengah yang terletak di Surakarta sebagai rumah sakit tipe A, menjadi pusat rujukan bagi rumah sakit lain di daerah Jawa Tengah bagian Tenggara dan Jawa Timur Bagian Barat. Data pada bagian rekam medik RS Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan selama tahun 2010 terdapat 1143 kasus gangguan reproduksi, 139 (12,16%) kasus diantaranya adalah perdarahan uterus disfungsional (Rekam Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 2010).

Studi kasus mengenai perdarahan uterus disfungsional pernah dilakukan sebelumnya oleh Setyo Mahanani Nugroho (2008) dengan judul “Asuhan Kebidanan pada Nn. P dengan Perdarahan Uterus Disfungsional di Bangsal Dahlia RSUD Wonogiri“. Perbedaan dengan proposal penulis terletak pada waktu, tempat dan subjek, sehingga diharapkan studi kasus ini memberikan hasil yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk dapat menyusun studi kasus dengan judul “Asuhan Kebidanan Gangguan Sistem Reproduksi Pada Ny.A P4A1 dengan Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) di Bangsal Mawar 1 RSUD Dr Moewardi Surakarta” dengan menerapkan manajemen kebidanan tujuh langkah Varney. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang

diatas maka penulis dapat merumuskan

masalah yaitu “Bagaimana asuhan kebidanan gangguan sistem reproduksi pada Ny.A dengan perdarahan uterus disfungsional di Bangsal Mawar 1 RSUD Dr Moewardi ?.” C. Tujuan 1. Tujuan Umum : Tujuan umum dari penulisan studi kasus ini adalah untuk mempelajari dan memahami asuhan kebidanan pada kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional dengan menggunakan konsep manajemen kebidanan Tujuh Langkah Varney.

2. Tujuan Khusus : Mahasiswa dapat mempelajari atau mengobservasi tentang : a) Pengumpulan data dasar secara subjektif dan objektif pada kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. b) Intepretasi data klien meliputi Diagnosa, Masalah dan Kebutuhan pada kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. c) Diagnosis potensial dan antisipasi yang harus dilakukan bidan dari kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. d) Kebutuhan atau tindakan segera untuk konsultasi, kolaborasi, merujuk kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. e) Rencana asuhan kebidanan untuk kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. f) Pelaksanakan tindakan untuk kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. g) Evaluasi efektivitas asuhan yang diberikan dan memperbaiki tindakan yang dipandang perlu. h) Kesenjangan antara teori dan praktik.

D. Manfaat Manfaat aplikatif dari studi kasus ini antara lain : 1. Institusi Hasil studi kasus ini dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan penyempurnaan penanganan asuhan kebidanan pada kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional. 2. Klien dan masyarakat Agar klien maupun masyarakat mendapatkan peningkatan kualitas pelayanan yang lebih baik pada kasus gangguan sistem reproduksi wanita dengan perdarahan uterus disfungsional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Teori Medis 1. Gangguan Reproduksi Gangguan reproduksi adalah kegagalan wanita dalam manajemen kesehatan reproduksi (Manuaba, 2008). Permasalahan dalam bidang kesehatan reproduksi salah satunya adalah masalah reproduksi yang berhubungan dengan gangguan sistem reproduksi. Hal ini mencakup infeksi,

gangguan menstruasi, masalah struktur, keganasan pada alat

reproduksi wanita, infertilitas, dan lain-lain (Baradero, dkk., 2007). Gangguan reproduksi disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon. Gangguan reproduksi yang biasa terjadi, misal kista endometriosis yang banyak dialami wanita yang memiliki kadar FSH dan LH tinggi (Kasdu, 2005). 2. Menstruasi Menstruasi normal terjadi akibat turunnya kadar progesteron dari endometrium yang kaya esterogen. Siklus menstruasi yang menimbulkan ovulasi disebabkan interaksi kompleks antara berbagai organ. Disfungsi pada tingkat manapun dapat mengganggu ovulasi dan siklus menstruasi. Gangguan dari siklus menstruasi tersebut dapat berakibat gangguan uterus, gangguan kesuburan, abortus berulang, atau keganasan. Gangguan dari sikluas menstruasi merupakan salah satu alasan seorang wanita berobat ke dokter. Siklus menstruasi normal berlangsung selama 21-35

hari, 2-8 hari adalah waktu keluarnya darah haid yang berkisar 20-60 ml per hari. Penelitian menunjukkan wanita dengan siklus mentruasi normal hanya terdapat pada 2/3 wanita dewasa, sedangkan pada usia reproduksi yang ekstrim (setelah menarche dan menopause) lebih banyak mengalami siklus yang tidak teratur atau siklus yang tidak mengandung sel telur. Siklus mentruasi ini melibatkan kompleks hipotalamus-hipofisis-ovarium (Manuaba, 2008). 3. Perdarahan Uterus Disfungsional a. Definisi Perdarahan

uterus

disfungsional

adalah

perdarahan

uterus

abnormal (jumlah, frekuensi, atau lamanya) yang terjadi baik di dalam maupun diluar siklus haid, yang semata – mata disebabkan gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus – hipofisis – ovarium – endometrium tanpa adanya kelainan organik alat reproduksi (Robe, 2002) b. Klasifikasi Klasifikasi Perdarahan Uterus Disfungsional menurut Chalik. 1)

Perdarahan Uterus Disfungsional pada usia remaja Etiologi

diperkirakan

karena

disfungsi

dari

sumbu

hipotalamus – hipofisis yang mengakibatkan anovulasi sekunder. Pada masa ini ovarium masih belum berfungsi dengan baik (disfungsi ovarium) pada remaja yang mengalami perdarahan

disfungsional sistem mekanisme siklus feedback yang normal belum mencapai kemantangan (delayed maturation). 2)

Perdarahan Uterus Disfungsional pada masa reproduksi Pada usia reproduksi perdarahan yang tidak teratur umumnya terjadi akibat kelainan organik, namun perdarahan uterus disfungsional juga bisa terjadi. Selain itu harus pula dipikirkan akan kemungkinan wanita itu mengalami perdarahan akibat penggunaan alat kontrasepsi. Oleh karena itu perlu sekali dilakukan

pemeriksaan

yang

lengkap

sebelum

diagnosis

perdarahan uterus disfungsional ditegakkan. 3)

Perdarahan Uterus Disfungsional pada masa premenopause Beberapa tahun menjelang menopause fungsi ovarium mengalami kemunduran karena secara histologis di dalam korteks ovarium hanya tersisa sedikit jumlah folikel primordial yang resisten terhadap gonadotropin. Sekalipun terus terangsang oleh gonadotropin akan tetapi folikel tersebut tidak akan mampu menghasilkan jumlah estrogen yang cukup. Kekurangan estrogen seperti ovulasi, menstruasi, kekuatan jaringan vagina dan vulva. namun

demikian

tidak

semua

wanita

akan

mengalami

kekurangan estrogen dalam masa ini bahkan sebaliknya dapat juga mengalami kelebihan estrogen bebas yang beredar, karena dalam masa ini terjadi kekurangan globulin pengikat hormon kelamin (sex hormone binding globulin = SHBG) sementara

kelenjar adrenal masih tetap menghasilkan estrogen disamping sedikit estrogen yang masih dihasilkan folikel yang tersisa. Dengan begitu dalam masa perimenopause dapat juga terjadi perdarahan uterus disfungsional baik akibat kekurangan maupun oleh karena relatif kelebihan estrogen. c. Etiologi Perdarahan uterus disfungsional umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi ovarium sekunder yang berpuncak pada kelainan fungsi pada salah satu tempat dari sistem sumbu hipotalamus – hipofisis – ovarium, dan jarang karena gangguan fungsi korteks anak ginjal atau kelenjar tiroid (Chalik, 2000). Perdarahan uterus disfungsional terjadi akibat gangguan (endokrin) pada sistem hipothalamus, hipofisis, ovarium dan endometrium dan (non endokrin) psikogenik, neuropenik, nutrisi yang kurang & penyakit sistemik (Robe , 2002) Perdarahan uterus disfungsional murni disebabkan oleh perdarahan uterus anovulasi, perdarahan uterus dengan ovulasi (persisten atau disfungsi korpus luteum) dan perdarahan uterus karena atropi endometrium (Manuaba, 2004) d. Gambaran Klinik Tanda klinis yang menonjol pada perdarahan uterus disfungsional adalah pengeluaran darah dari rahim yang menyalahi ciri – ciri haid yang normal, terjadi pada wanita yang bukan akseptor kontrasepsi dan

pada pemeriksaan dalam dari wanita tersebut tidak ditemukan suatu lesi yang dapat menyebabkan perdarahan seperti infeksi, tumor, septum dan sebagainya (Chalik, 2000). Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu: 1) Perdarahan uterus disfungsional tipe anovulasi Pada perdarahan uterus disfungsional tipe anovulasi, tidak terdapat pembentukan progesteron sehingga hanya terdapat satu komponen hormonal, yaitu estrogen sehingga pertumbuhan endometrium berlajut terus tanpa batas. Perdarahan yang terjadi karena kemapuan Art spiralis untuk memberikan nutrisi sudah tidak mungkin sehingga dapat berakhir dengan perdarahan. Dimana dari delapan puluh persen dari semua perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan uterus disfungsional tipe anovulasi. Oleh karena itu, perdarahan uterus disfungsional tipe anovulasi mempunyai manifestasi klinik sebagai berikut : a) Jumlah dan lamanya tidak dapat diduga. b) Datangnya tidak dapat diduga. c) Tidak terdapat kontraksi otot rahim sehingga tidak terdapat rasa nyeri. d) Intervalnya tidak sesuai dengan siklus menstruasi.

Perdarahan yang banyak pada perdarahan uterus disfungsional tipe anovulasi disebabkan oleh : a) Tidak

terbentuknya

thrombus

pada

pembuluh

darah

superfisialis b) Tidak terdapat vasokonstriksi pembuluh darah arterial spinalis, yang mempunyai reseptor untuk PGF2 alfa. Kejadian perdarahan uterus disfungsional tipe anovulasi sebagian besar terjadi pada perimenarke, artinya sekitar 1-2 tahun setelah

menarke

dan

perimenopause.

Pada

kejadian

perimenopause perlu diperhatikan ada kemungkinan rangsangan estrogen yang kuat dan terlalu lama akan menimbulkan mammae karsinoma, hiperplasia endometrium edematosa atau atipik, yang keduanya dianggap sebagai batu loncatan menuju karsinoma endometrium. Pada beberapa ahli, tipe hiperplasia sudah dianggap sebagai endometrial karsinoma in situ. Pada masa klimakterium dan menopause banyak terjadi perdarahan uterus disfungsional yang disebabkan oleh rangsangan estrogen, sekalipun pengeluaran dari ovarium tidak terlalu banyak. Sumber estrogen pada masa klimakterium dan menopause adalah ovarium (korteks) sisa sel theka, stroma ovarium karena rangsangan LH mengeluarkan androstenedion dikonversi lemak menjadi estron (6,5%) dan testosterone dikonversi menjadi estradiol (1%). Kedua derivate estrogen rangsang endometrium

sehingga dapat menimbulkan perdarahan uterus disfungsional (Manuaba, 2004). 2) Perdarahan uterus disfungsional tipe ovulasi Kejadian perdarahan uterus disfungsional tipe ovulasi dapat diterangkan karena terjadi korpus luteum persisten atau defisiensi sehingga pengeluaran progesteron tidak adekuat. Dari seluruh kejadian perdarahan uterus disfungsional hampir 20% kejadian perdarahan uterus disfungsional bertipe ovulasi. Progesteron yang merupakan pemicu terjadinya pembentukan prostaglandin menyebabkan terjadi berbagai bentuk perbandingan antara PGF2 alfa dan prostasiklin. Di samping itu, ada kemungkinan pembentukan tromboksan konsentrasinya kurang tinggi sehingga pembentukan thrombus pada pembuluh darah tidak sempurna. Dengan demikian, bentuk perdarahan uterus disfungsional tipe ovulasi mempunyai manifestasi klinik sebagai berikut : a) Terdapat gejala sindrom premenstrual, yaitu: mamae tegang dan mungkin depresi. b) Berat badan dapat bertambah. c) Terdapat dismenorhoe. d) Perdarahan yang terjadi tidak teratur. e) Jumlahnya bervariasi.

Perdarahan uterus disfungsional tipe ovulasi terjadi sekitar 20% dan sebagian besar terjadi pada masa reproduksi aktif (Manuaba, 2004). e. Patofisiologi Pada siklus haid yang normal atau yang berovulasi, perubahan yang dialami kelenjar – kelenjar, pembuluh darah, dan komponen stroma dari endometrium berturut – turut terjadi sesuai dengan pengaruh estrogen dan progesteron yang secara teratur dan bergiliran dihasilkan oleh folikel dan korpus luteum atas pengaruh gonadotropin (FSH dan LH secara teratur) yang dihasilkan hipofisis setelah menerima rangsangan dari faktor – faktor pelepas gonadotropin (gonadotropin releasing factors) dan hipotalamus. Perubahan anatomi dan fungsional dari endometrium berulang kembali setiap 28 hari yang secara berurutan dapat dibagi kedalam 5 fase : fase menstruasi, fase proliferasi, fase sekresi, fase persiapan untuk implantasi dan fase kehancuran (endometrial breakdown). Pada perdarahan uterus disfungsional tidak ditemukan kelima fase ini secara baik dan teratur pada endometrium yang diperoleh melalui kerokan. Pada peristiwa anovulasi tidak terdapat fase sekresi dan fase persiapan untuk implantasi, endometrium didominasi oleh pengaruh estrogen sehingga tetap berada dalam fase proliferasi yang berlebihan dan mengalami hiperplasia sehingga endometrium tumbuh menebal bisa mencapai lebih dari 12 mm yaitu ketebalan maksimal

endometrium dalam fase proliferasi normal. Jika pengaruh estrogen berlangsung berlarut – larut dan berulang tanpa sedikitpun ada pengaruh

progesteron

menyebabkan

(unopposed

estrogen

stimulation)

miometrium mengalami hiperplasia dan uterus

mengalami pembesaran yang simetri (miohiperplasia). Perdarahan uterus disfungsional seperti metropathia hemorrhagica sering kali disertai oleh pembesaran rahim yang demikian. Karena peristiwa anovulasi adalah penyebab utama dari perdarahan uterus disfungsional, endometrium biasanya hampir seluruhnya berada dibawah pengaruh estrogen. Semua fase transisi terlihat, mulai dari proliferasi yang lemah, hiperplasia sederhana sampai hiperplasia glandularis sistika (sweese cheese pattern) dan poliposis. Pengaruh estrogen yang tidak memenuhi kewajaran sering menyertai perdarahan pada remaja dimana terdapat fungsi sumbu hipotalamus – hipofisis – ovarium yang belum matang, atau pada keadaan yang menyertai obesitas, sindroma Stein-Leventhal, atau pada akhir dekade ke-4 dari usia seorang wanita. Dalam masa sekitar 3 tahun setelah pubertas sering kali terjadi gangguan menstruasi, kebanyakan disebabkan oleh respon ovarium yang belum baik terhadap FSH yang mengakibatkan produksi estrogen berkurang. Dengan demikian endometrium tidak cukup banyak

menerima

rangsangan

sehingga

dapat

menimbulkan

perdarahan yang tidak teratur. Seperti halnya pada masa mendekati klimakterium.

Pada

masa

ini

kepekaan

ovarium

terhadap

gonadotropin menurun, dan oleh karena itu sering terjadi peristiwa anovulasi. Perdarahan anovulasi ini dari uterus bisa normal dan teratur datangnya, atau bisa juga terjadi bermacam – macam gangguan perdarahan yang abnormal. Pengaruh estrogen yang berlebihan dimana terdapat pengaruh progestagennya (unopposed estrogen effects) menyebabkan proliferasi yang progesif pada endometrium dengan urutan sebagai berikut: hiperplasia proliferatif, hiperplasia

adenomatosa,

dan

pada

beberapa

kasus,

setelah

berlangsung beberapa tahun, gambaran endometrium menjadi tipis dan menjadi kanker (Chalik, 2000). Perdarahan uterus disfungsional tidak semata terjadi pada endometrium yang mengalami hiperplasia. Perdarahan dapat terjadi pada segala tipe endometrium yang atrofik, hiperplastik, estrogenik, progestasional, dan pada endometrium yang berada dibawah pengaruh campuran estrogen dan progesteron (Wiknjosastro, 2007). f. Diagnosa banding Sebelum diagnosis perdarahan uterus disfungsional ditegakkan, perlu

diperhatikan

kemungkinan

kelainan

lain

yang

bisa

menyebabkan perdarahan tidak teratur keluar melalui vagina seperti: patologi kehamilan yaitu pada kehamilan ektopik jika uji HCG positif, nyeri unilateral dan perdarahan. Abortus dan kondisi

pascapartum (subinvolusio, produk konsepsi yang tertinggal, dan infeksi). Bisa juga pada keganasan seperti kanker serviks, kanker uterus dan kanker tuba falopii, atau pada endometritis kronik (pada bercak intermenstruasi episodik dan tuberkulosis endometritis). Defek uterus juga memungkinkan, contohnya adalah fibroid dan polip endometrium, patologi serviks, vagina, dan ovarium, polip serviks, infeksi berat, disfungsi korpus luteum dan tumor ovarium terutama tumor penyekresi hormon. Bisa juga penyakit sistemik seperti defek koagulasi, hipotiroidisme, insufisiensi adrenal, sirosis, dan pengaruh alat kontrasepsi (Morgan, 2009). g. Diagnosa Pembuatan anamnesa yang cermat penting untuk diagnosa. Diperlukan pertanyaan bagaimana awal mula perdarahan, apakah didahului siklus yang pendek atau oleh oligomenorea atau amenorea, sifat perdarahan (banyak sedikitnya darah, sakit atau tidak), lama perdarahan

dan

sebagainya. Pada

pemeriksaan

umum

perlu

diperhatikan tanda – tanda yang menunjuk kearah kemungkinan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit menahun, dan lain – lain. Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi dorongan untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti kearah penyakit yang bersangkutan. Pada pemeriksaan ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada kelainan – kelainan organik yang

menyebabkan perdarahan abnormal (polip, ulkus, tumor, kehamilan terganggu) (Wikjosastro, 2007). Pada pasien yang mengalami PUD, anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Tabel 2.1 Keluhan dan gejala saat anamnesis Keluhan dan gejala Nyeri pelvic Mual, peningkatan frekuensi berkemih Peningkatan berat badan, fatigue, gangguan toleransi terhadap dingin Penurunan berat badan, banyak keringat palpitasi

Masalah Abortus, kehamilan ektopik Hamil Hipotiroid

Hipertiroid Koagulopati

Riwayat konsumsi obat antikoagulan

(gangguan pembekuan darah)

Riwayat hepatitis, ikterik

Penyakit hati

Hirsutisme, akne, akantosis nigricans,

Sindrom ovarium

obesitas

polikistik (SOPK)

Perdarahan pasca koitus Galaktore, sakit kepala, gangguan lapang pandang

Dysplasia serviks, polip endoserviks Tumor hipofisis

Sumber : Hestiantoro, 2007 Diagnosa pada perdarahan uterus disfungsional ditegakkan setelah kelainan – kelaianan lain yang bisa menyebabkan perdarahan melalui aurat (kelainan organik dan lesi) telah disingkirkan, dan jika perlu dibantu dengan pemeriksaan histopatologi kerokan endometrium dan

pencatatan suhu basal badan dan pemeriksaan tanda – tanda ovulasi lainnya. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan faal hati, kadar glukosa darah, profil hematologi untuk mengetahui ada atau tidaknya anemia atau kelainan – kelainan sistem pembekuan (blood dyscrasias), pemeriksaan ginekologik yang lengkap perlu diperluas dengan pemeriksaan ultrasonografi dan histeroskopi untuk mendeteksi kelainan dalam rongga rahim khususnya pada endometrium (Chalik, 2000). h. Penatalaksanaan Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu memperhatikan faktor-faktor berikut: 1) Umur, status pernikahan, fertilitas Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan

perimenars,

Penanganan juga

reproduksi

seringkali berbeda

dan

perimenopause.

antara penderita yang

telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak. 2) Berat, jenis dan lama perdarahan Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau tidak. 3) Kelainan dasar dan prognosisnya Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini (Kahn, 2000)

Pada

dasarnya

tujuan

penatalaksanaan

perdarahan

uterus

disfungsional adalah: 1)

Memperbaiki keadaan umum

2)

Menghentikan perdarahan

3)

Mengembalikan fungsi hormon reproduksi. Yang meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan

suasana

sehingga

terpenuhi persyaratan

untuk

pemicuan ovulasi. 4)

Menghilangkan ancaman keganasan. Pada perdarahan uterus disfungsional langkah pertama yang harus

dikerjakan adalah memperbaiki keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah kedua adalah menghentikan perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif. Setelah keadaan akut teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya pengembalian fungsi normal siklus haid dengan cara mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi. Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus berturut-turut. Bilamana upaya ini gagal, maka diperlukan tindakan untuk meniadakan patologi yang ada guna mencegah berulangnya perdarahan uterus disfungsional. Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Perbaikan keadaan umum Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk, pada

keadaan

perdarahan uterus

disfungsional akut anemia yang terjadi harus segera diatasi dengan

transfusi

darah.

Pada perdarahan uterus

disfungsional kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah (Kahn, 2000). 2) Penghentian perdarahan a) Pemakaian hormon steroid seks (1). Estrogen Digunakan pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan karena memiliki berbagai khasiat yaitu: (a) Penyembuhan luka (healing effect) (b) Pembentukan

mukopolisakarida

pada

dinding

pembuluh darah (c) Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin (d) Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses fibrinolisis.

(2). Progestin Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan. Beberapa sedian tersebut antara

lain adalah

noretisteron, MPA,

megestrol asetat, didrogesteron dan linestrenol. Noretisteron

dapat

menghentikan

perdarahan

setelah 24 - 48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari, medroksiprogesteron

asetat

dengan

dosis

10-20

mg/hari selama 10 hari, megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. (3). Androgen Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tidak cocok dengan estrogen dan progesteron. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan metil testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17-a- etinil-testosteron). Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi.

b) Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin. Pada

peristiwa

perdarahan,

prostaglandin

penting

peranannya pada vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgE2a meningkat secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus

disfungsional

anovulatorik.

Untuk

itu

asam

mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama 3-5 hari terbukti mampu mengurangi perdarahan. c) Pemakaian antifibrinolitik Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara lokal pada perdarahan uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada sistem fibrinolitik

itu adalah

plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan protease palsmin. Enzim

tersebut

akan

menghambat

aktivasi palsminogen menjadi plasmin, sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada

untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari). d) Pengobatan operatif Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan histerektomi. Dilatasi

dan

kuretase

merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan uterus disfungsional

adalah

untuk diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Persiapan sebelum kuretase diantaranya USG, mengukur tensi dan hemoglobin darah, memeriksa sistem pernafasan, mengatasi perdarahan dan memastikan pasien dalam kondisi baik (Kahn, 2000). Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40%) sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk

menghentikan

perdarahan

pada

perdarahan

uterus

disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan. Pada

ablasi

endometrium

dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontraindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi (Manuaba, 2004). Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang. Selain itu histerektomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus

disfungsional

dengan

gambaran

histologis

endometrium hiperplasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase (Manuaba, 2004).

3) Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik

atau

persyaratan

perbaikan

untuk

polimenorea,

suasana

pemicuan

oligomenorea,

sehingga

ovulasi.

terpenuhi

Tampil

menoragia

dan

sebagai

perdarahan

pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi

0,625-1,25

mg/hari

atau

etinilestradiol

50

mikogram/hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesterone (medroksi progestron asetat atau didrogestron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 hingga hari ke 26 (Achadiat, 2004). Beberapa penulis

menggunakan

progesteron

dan

estrogen

pada

polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid. Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan progesteron. Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hormon reproduksi dilakukan dengan pemberian progesteron, seperti medroksi progesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari dari hari 16-25 siklus haid, linestrenol

dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari mulai hari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk 3 siklus haid. Jika gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tak terjadi, dilakukan pemicuan ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak keadaan ini diatur dengan penambahan estrogen dosis 0,625- 1,25 mg/hari atau kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari ke 5 sampai hari ke 25 (Achadiat, 2004). i. Prognosis Hasil pengobatan bergantung kepada proses perjalanan penyakit (patofisiologi). Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi hormonal secara dini dapat memberikan angka kesembuhan hingga 90 %. Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi, dapat diobati dengan hasil baik.

Sumber : Manuaba, 2008 PUD Perimenopause Usia > 40 tahun Belum menopause

Akut/banyak Hb ->