Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai bagian dari mata pelajaran ...
demokratis, toleransi, kebebasan individual, kebebasan berbicara, kebebasan
pers,.
STRATEGI PEMBELAJARAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL Oleh: Mukhamad Murdiono, S. Pd., M. Pd. Jurusan PKn dan Hukum, FISE, UNY
[email protected] HP. 08156870193
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai bagian dari mata pelajaran yang diberikan di sekolah ikut berperan besar dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. PKn merupakan salah satu instrumen fundamental dalam bingkai pendidikan nasional sebagai media bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building) di tengah heterogenitas atau pluralisme yang menjadi karakteristik utama bangsa Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk mendidik peserta didik agar menjadi warga negara yang baik (good citizen). Warga negara yang baik memiliki tiga kemampuan kewarganegaraan meliputi: pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic disposition). Agar tujuan PKn dapat tercapai, perlu dikembangkan strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan ketiga kemampuan kewarganegaraan tersebut. Salah satu strategi yang dapat dipilih adalah dengan mengembangkan strategi pembelajaran kewarganegaraan berbasis kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan dengan memanfaatkan kearifan lokal akan bermuara pada munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif. Kata kunci: pembelajaran, kewarganegaraan, kearifan lokal Pendahuluan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pembentukan karakter atau akhlak peserta didik ditempatkan pada bagian awal tujuan pendidikan nasional. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pembentukan karakter atau akhlak peserta didik. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai bagian dari mata pelajaran yang ada dalam kurikulum pendidikan
1
dasar dan menengah memiliki peran strategis untuk turut serta dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen) yang ditandai dengan dimilikinya tiga kemampuan kewarganegaraan meliputi: pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic disposition). Ketiga kemampuan kewarganegaraan ini dapat dimiliki oleh peserta didik jika pembelajaran yang dikembangkan oleh para guru di sekolah memperhatikan berbagai hal penting yang menunjang keberhasilan proses pembelajaran. Salah satu hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran kewarganegaraan adalah strategi pembelajaran yang dikembangkan atau diterapkan oleh para guru di kelas. Melalui pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dan tepat, pembelajaran kewarganegaraan akan menjadi pembelajaran yang menyenangkan sehingga tujuan pembelajaran kewarganegaraan pun akan dapat tercapai. Strategi
pembelajaran
yang
dapat
diterapkan
adalah
dengan
mengembangkan strategi pembelajaran berbasis kearifan lokal. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal melalui pembelajaran kewarganegaraan, dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian dari upaya membangun identitas bangsa, dan sebagai penyeleksi (filter) pengaruh budaya lain yang datang dari luar daerahnya. Untuk dapat mengembangkan pembelajaran kewarganegaraan berbasis kearifan lokal tentunya diperlukan seorang guru yang bukan sekedar memahami kearifan lokal secara tekstual, melainkan dapat memanfaatkan kearifan lokal yang ada dalam proses pembelajaran di kelas. Selain itu, kemampuan profesional seorang guru dalam mengajar pendidikan kewarganegaraan juga diperlukan, mulai dari merancang
atau
merencanakan
pembelajaran
pembelajaran di kelas.
2
sampai
pada
pelaksanaan
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah pendidikan kewaganegaraan dengan paradigma baru (new paradigm). Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan kewarganegaraan yang diajukan oleh Centre for Civic Education pada tahun 1999 dalam National Standard for Civics and Government. Ketiga komponen tersebut, yaitu civic knowledge
(pengetahuan
kewarganegaraan),
civic
skills
(keterampilan
kewarganegaraan), dan civic disposition (karakter kewarganegaraan) (Branson, 1999: 8-25). Dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) mencakup bidang politik, hukum, dan moral. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintah berdasar hukum (rule of law) dan peradilan bebas yang tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan tanggungjawab warganegara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik (Depdiknas, 2002:10). Dimensi
keterampilan
kewarganegaraan
(civic
skills)
meliputi
keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya: berperan
serta
aktif
mewujudkan
masyarakat
madani,
keterampilan
mempengaruhi dan monitoring jalannya pemerintahan dan proses pengambilan keputusan
politik,
keterampilan
memecahkan
masalah-masalah
sosial
keterampilan mengadakan koalisi, kerjasama, dan mengelola konflik. Sedangkan dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civic values) mencakup percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur, nilai keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individual, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan perlindungan terhadap minoritas (Depdiknas, 2002: 11). Visi pendidikan kewarganegaraan paradigma baru memberikan penekanan yang lebih kuat pada nation and character, pemberdayaan warganegara (citizen empowerment), dan memperkuat berkembangnya masyarakat kewargaan (civil society). Sedangkan misi pendidikan kewarganegaraan paradigma baru adalah pembentukan warganegara yang baik (good citizen), yang memiliki ciri-ciri: aktif
3
berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbudaya politik kewarganegaraan (civil culture), dan berpikir kritis dan kreatif (Cholisin, 2003: 1). Pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari IPS (social studies) memiliki tujuan yang berdekatan. Menurut The National Council for the Social Studies (Sunal, 1993: 5) tujuan social studies adalah “the purpose of social studies is to prepare young people to be humane, rational, participating citizens in a world that is becoming increasingly interdependent”. Tujuan ini merupakan sudut pandang yang paling dominan dalam social studies. Sedangkan Jarolimek (1986:4) menyatakan misi utama social studies sebagai berikut “The major mission of social studies education is to help children learn about the social world in which they live and how it got that way; to learn to cope with social realities; and to develop the knowledge, attitudes, and skills needed to help shape an enlightened humanity”. Tujuan dan misi social studies tersebut juga merupakan tujuan dari PKn, yaitu membentuk warganegara yang baik (good citizens). Chapin (1989: 126) menyatakan bahwa “good citizens in our local communities are those who perform acts of conserving public property, coming to the aid of someone in distress, and so on”. Lebih lanjut Chapin menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan bertujuan menyiapkan peserta didik untuk menjadi warganegara yang partisipatorik, memahami tentang sistem pemerintahan dan cara kerjanya, peran warganegara, memahami hak dan kewajiban, dan membiasakan untuk membuat pilihan dan keputusan dengan pertimbangan yang baik. Menurut Martorella (1994: 8) warga negara yang baik sebagai tujuan dari PKn adalah warganegara yang efektif (effective citizen), yaitu warga negara bersifat reflektif, cakap, dan memiliki kepedulian. Lebih lanjut Martorella (1994:10) menggambarkan warganegara yang efektif sebagai berikut “Reflective individuals are critical thinkers who make decisions and solve problems on the basis of the best evidence available. Competent citizens posses a repertoire of skills to aid them in decision making and problem solving. Concerned citizens investigate their social world, address issues they identify as significant, exercise their rights, and carry out their responsibilities as members of a social
4
community”. PKn pada dasarnya mengambil bagian dari isi ilmu politik yaitu bagian demokrasi politiknya. Secara terperinci, demokrasi politik terdiri dari: konteks ide demokrasi, konstitusi negara, inputs system politik, partai politik dan kelompok penekan (pressure group), pemilihan umum, lembaga-lembaga pengambil keputusan, presiden sebagai kepala negara/administrasi negara, lembaga yudikatif, output dari sistem demokrasi politik, kesejahteraan umum dan pertahanan negara, dan perubahan sosial dan demokrasi politik (M. Numan Somantri, 2001: 275-276). PKn bukan semata-mata hanya mengajarkan pasal-pasal Undang-Undang Dasar (UUD). Tapi lebih jauh PKn mengkaji perilaku warga negara dalam hubungannya dengan warga negara lain dan alam sekitarnya. Objek studi PKn adalah warga negara dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan dan negara. Menurut M. Numan Somantri (2001: 276) termasuk dalam objek studi civics ialah: tingkah laku, tipe pertumbuhan pikir, potensi yang ada dalam setiap diri warga negara, hak dan kewajiban, cita-cita dan aspirasi, kesadaran (patriotisme, nasionalisme, pengertian internasional, moral Pancasila), usaha atau kegiatan dan partisipasi serta tanggungjawab. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, disebutkan bahwa mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi 3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
5
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Adapun ruang lingkup materi mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek-aspek persatuan dan kesatuan bangsa; norma, hukum, dan peraturan; hak asasi manusia; kebutuhan warga negara; konstitusi negara, kekuasaan dan politik; pancasila; dan globalisasi. Definisi dan Fungsi Kearifan Lokal Kearifan lokal terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Wisdom (kearifan) memiliki arti yang sama dengan kebijaksanaan, sedangkan local (lokal) memiliki arti setempat. Secara umum maka local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004: 111). Sedangkan menurut Irianto (2009: 2) kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Kearifan lokal menjadi topik yang sedang marak diperbincangkan seiring dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya lokal. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk terus menggali dan memproteksi kearifan lokal. Salah satu yang langkah yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Muatan lokal dalam pendidikan (pembelajaran) harus dimaknai sebagai pengenalan diri 6
dan lingkungan. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal melalui pembelajaran merupakan bagian dari upaya membangun identitas bangsa dan dapat dijadikan sebagai sarana dalam menyeleksi pengaruh budaya yang datang dari luar. Dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai positif yang baik untuk dikembangkan dalam pembentukan karakter dan identitas bangsa. Akhir dari sedimentasi kearifan lokal akan mewujud menjadi tradisi dan agama. Biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Kemunculan kearifan lokal merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non empiris atau yang estetik maupun yang intuitif. Wujud dari kearifan lokal ini misalnya dapat berupa nyanyian, pepatah, upacara-upacara adat, petuah bijak, dan lain-lain. Kearifan lokal tidak sekedar berfungsi sebagai acuan tingkah laku, melainkan mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang beradab. Kearifan lokal juga dapat berfungsi sebagai energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Di samping itu, kearifan lokal dapat berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; untuk pengembangan sumber daya manusia; pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; sebagai petuah, kepercayaan, sastra, pantangan; bermakna sosial, politik, etika, dan moral. Menurut Irianto (2009: 3) pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dikatakan sebagai model pendidikan yang memiliki relevansi tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skills) dengan bertumpu pada pemberdayaan keterampilan dan potensi lokal di masing-masing daerah. Materi pembelajaran juga harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup mereka secara nyata, berdasarkan realitas yang dihadapi. Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup, minat, dan kondisi peserta didik. Selain itu, harus memperhatikan juga kendala-kendala sosiologis dan kultural yang dihadapi. Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi.
7
Pengembangan Strategi Pembelajaran Kewarganegaraan Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan (Djamarah, 2002: 5). Pada mulanya, istilah strategi digunakan dalam dunia kemiliteran. Strategi berasal dari bahasa Yunani strategos yang berarti jenderal atau panglima, sehingga strategi dapat diartikan sebagai ”ilmu kejenderalan” atau ”ilmu kepanglimaan”. Strategi berbeda dengan taktik. Strategi dalam dunia kemiliteran berarti cara yang paling efektif untuk memenangkan perang. Sedangkan taktik berhubungan dengan pertempuran yang harus dilakukan untuk melaksanakan peperangan itu. Jadi strategi adalah ilmu peperangan, sementara taktik adalah ilmu pertempuran (Gulo, 2008: 1). Strategi dalam dunia pendidikan (pembelajaran) diartikan sebagai rencana kegiatan untuk mencapai tujuan, sedangkan metode pengajaran adalah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Metode pengajaran adalah alat untuk mengoperasionalkan apa yang direncanakan dalam strategi (Gulo, 2008: 4). Definisi lain mengenai strategi belajar dikemukakan oleh T. Raka Joni (Gulo, 2008: 2), menurutnya strategi belajar merupakan pola dan urutan umum perbuatan guru-murid dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar. Perbuatan atau kegiatan guru-murid di dalam proses belajar mengajar itu terdiri atas bermcammacam bentuk. Keseluruhan bentuk itulah yang dimaksud dengan pola dan urutan umum perbuatan guru-murid. Seorang guru yang merencanakan pengajarannya, lebih dahulu harus memikirkan strategi yang akan diterapkannya di kelas. Setelah menentukan strategi belajar yang akan dipilih, barulah kemudian menyusun rencana pengajaran atau disain instruksional. Strategi pembelajaran (instructional strategy) merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan belajar mengajar. Dick dan Carey (1978: 106) menjelaskan konsep strategi pembelajaran sebagai berikut: ”an instructional strategy describes the general components of a set of instructional materials and procedures that will be used with those materials to elicit particular learning outcomes from students. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa ada lima komponen utama dalam strategi pembelajaran, yaitu: kegiatan prapembelajaran (preinstructional
8
activity), penyajian informasi (information presentation), partisipasi siswa (student participation), ujian (testing), dan tindak lanjut (follow through activities) (Dick and Carey, 1978: 110). Partisipasi aktif dari peserta didik dalam proses pembelajaran sebagai salah satu komponen utama dalam strategi pembelajaran. Proses belajar merupakan aktifitas pada diri peserta didik, baik aktifitas mental, emosional, maupun aktifitas fisik. Jika dalam proses pembelajaran peserta didik dapat berpartisipasi secara aktif maka proses dan hasil belajar akan meningkat. Pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik menjadi keniscayaan untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Ketika peserta didik pasif, ada kecenderungan untuk cepat dengan mudah melupakan apa yang telah didapatkan di kelas. Oleh sebab itu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengikat informasi yang baru saja diterima oleh peserta didik (Zaini, 2007: xvii). Seorang guru harus dengan cermat memilih dan memilah strategi pembelajaran yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas. Cara-cara untuk mengaktifkan peserta didik di antaranya dengan memberi kesempatan pada mereka untuk menjelaskan atau mengemukakan pendapat dan gagasannya, melakukan gerakan, dan lain-lain. Peserta didik mengerjakan tugas, misalnya menjawab pertanyaan tertulis, membuat ringkasan, melakukan penelitian, melakukan percobaan, dan sebagainya. Peserta didik menganalisis, mengevaluasi,
dan
menyimpulkan
sesuatu.
Mereka
melakukan
proses
pembelajaran melalui interaksi dengan guru, para pakar, teman, media, atau sumber-sumber belajar lainnya. Mereka juga melakukan pembelajaran melalui diskusi, tanya jawab, mengamati suatu proses atau model, dan lain-lain (Asri Budiningsih, 2003: 124). Guru sebagai pengajar harus mampu mengoraganisir belajar seoptimal mungkin agar proses belajar mengajar dapat berhasil dengan baik. Peserta didik harus dibawa pada sebuah pekerjaan yang nyata dan bermanfaat. Selain itu, diberikan pula tantangan-tantangan yang bermakna agar dapat memperluas wawasan, memiliki sikap yang kritis, dan mempunyai keterampilan yang bermanfaat dalam kehidupannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh
9
Mursell (1975: 45) bahwa belajar harus diorganisir dalam arti, bahwa pelajar menerimanya sebagai suatu pekerjaan nyata dan memaksa serta bermanfaat, yang mengikat tujuan aktivitasnya, yang menghadapkannya pada tantangan-tantangan yang maknawi, serta yang membawanya pada wawasan yang lebih mendalam dan meluas, pada sikap yang lebih kritis dan pada keterampilan yang memadai. Belajar akan lebih memberikan makna apabila peserta didik mengerjakan sesuatu yang dipelajarinya. Artinya peserta didik tidak hanya mendengar dan melihat sesuatu yang dipelajarinya, melainkan untuk memahami sesuatu yang dipelajari ia harus mengerjakannya. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dinyatakan Konfusius lebih dari 2400 tahun silam (Silberman, 2004: 13) bahwa ”yang saya dengar, saya lupa. Yang saya lihat, saya ingat. Yang saya kerjakan, saya pahami”. Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa salah satu tujuan PKn adalah agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. Strategi pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah strategi yang bersifat dialogis-kritis, pengalaman langsung (direct experiences), kolaboratif, dan kooperatif. Strategi pembelajaran seperti ini menekanakan pada tiga ranah pembelajaran, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Kirschenbaum (1995: 24-26) bahwa aspek citizenship education meliputi: knowledge, appreciation, critical thinking skills, communication skills, cooperation skills, and conflict resolution skills. Aspek-aspek tersebut lebih lanjut dinyatakan Kirschenbaum dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan secara komprehensif yang meliputi inkulkasi
(inculcaty),
pemodelan
(modeling),
fasilitasi
(facilitaty),
dan
pengembangan keterampilan (skills development). Pengembangan strategi pembelajaran kewarganegaraan berbasis kearifan lokal akan membawa peserta didik pada pembelajaran yang kontekstual. Mereka diajak untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran akan menarik dan penuh makna. Pembelajaran kewarganegaraan tidak lagi menjadi pelajaran yang membosankan bagi para siswa, melainkan akan menjadi sebuah proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
10
Kesimpulan Dari uraian yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki peran penting dalam rangka pembentukan karakter peserta didik melalui pembelajaran. Melalui pemilihan strategi pembelajaran yang tepat dan sesuai, harapannya tujuan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dapat tercapai dengan baik. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat dikembangkan adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan
berbasis
kearifan
lokal.
Melalui
strategi
pembelajaran kewarganegaraan berbasis kearifan lokal peserta didik diajak untuk menggali dan memahami sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya. Pembelajaran
pendidikan
kewarganegaraan
dengan
memanfaatkan
kearifan lokal dalam rangka pembentukan karakter sangat sesuai dengan prinsip pembelajaran kontekstual. Peserta didik dihadapkan pada situasi lingkungan yang sangat dekat dengan dirinya. Mereka akan dapat dengan mudah belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya, karena mereka mengalami secara langsung. Harapannya melalui pengembangan pembelajaran kewarganegaraan berbasis kearifan lokal ini pengetahuan dan yang didapatkan oleh peserta didik akan menjadi lebih bermakna. Selain itu, dapat terinternalisasikan nilai-nilai positif dari kearifan lokal yang ada disekitar peserta didik.
Daftar Pustaka Agus Maladi Irianto. (2009). Mahasiswa dan kearifan lokal. Diakses dari http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi,tanggal 1 Mei 2010. Asri Budiningsih, C. (2003). Desain pesan pembelajaran. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, UNY. Branson, M. S. (Eds.). (1999). Belajar civic education dari Amerika. (Terjemahan Syafruddin, dkk.) Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) dan The Asia Foundation (TAF). Chapin, J. R. & Rosemary G. M. (1989). Elementary social studies: A practical guide, second edition. New York: Longman.
11
Cholisin. (Oktober 2003). PPKn paradigma baru dan pengembangannya dalam KBK. Makalah Disampaikan pada Training of Trainer (ToT) Guru SLTP Mata Pelajaran PPKn, di Surakarta. Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Standar operasional prosedur (SOP) pengembangan silabus berbasis kemampuan dasar siswa sekolah menengah umum (SMU) mata pelajaran kewarganegaraan. Jakarta: Ditdikmenum Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI. Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Peraturan menteri pendidikan nasional Republik Indonesia nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi. Jakarta: Depdiknas. Dick, W. & Lou, C. (1978). The systematic design of instruction. Chicago: Scott, Foresman and Company. Gulo, W. (2008). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Grasindo. Hisam Zaini, dkk. (2007). Strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta: CTSD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jarolimek, J. (1986). Social studies in elementary education,(7th ed.). New York: Macmillan Pubishing Company. Kirschenbaum, H. (1995). 100 ways to enhance values and morality in schools and youth settings. Massachusetts: Allyn & Bacon. Martorella, P. H. (1994). Social studies for elementary school children: developing young citizens. New York: Macmillan College Publishing Company, Inc. Muhammad Numan Somantri. (2001). Menggagas pembaharuan IPS. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mursell, J. L. (1975). Succesful teahing: Its psycological principles. (Terjemahan I.P. Simanjuntak dan Soeitoe). Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. (Buku asli diterbitkan tahun 1954). Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Bandung: Fokusmedia. Sartini.
(2004). “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati”.Jurnal Filsafat. Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: UGM.
12
Silberman, M. L. (2004). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif. (Terjemahan Raisul Muttaqien). Bandung: Nuansa. (Buku asli diterbitkan tahun 1996). Sunal, C. S. & Mary E. H. (1993). Social studies: and the elementary/middle school student. Orlando: Harcourt Brace College Publishers. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
13