Menurut Santrock (2003), remaja adalah masa perkembangan transisi antara ...
dalam tiga domain yang akan dijelaskan sebagai berikut berdasarkan Santrock.
8
BAB 2 LANDASAN TEORI
Berikut adalah sejumlah teori yang dijadikan sebagai landasan untuk melakukan penelitian ini:
2.1 Remaja 2.1.1
Definisi Remaja Menurut Santrock (2003), remaja adalah masa perkembangan transisi antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Papalia dkk. (2004) menyatakan bahwa remaja adalah suatu periode yang panjang sebagai proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Umumnya, remaja dikaitkan dengan mulainya pubertas, yaitu proses yang mengarah pada kematangan seksual, atau fertilitas yang merupakan kemampuan untuk reproduksi. Kemudian ditambahkan lagi bahwa remaja dimulai dari usia 11 atau 12 tahun sampai 19 atau 20 tahun. Dari penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa remaja adalah suatu masa transisi dari anak-anak menuju orang dewasa sehingga individu tersebut tidak dapat disebut sebagai anak-anak ataupun orang dewasa. Umumnya, remaja dikenal sebagai anak belasan tahun. Jadi, dalam penelitian ini, yang disebut sebagai remaja adalah individu yang berusia 11-19 tahun. Selain itu, remaja mengalami perubahan dalam tiga domain yang akan dijelaskan sebagai berikut berdasarkan Santrock (2003): 1. Proses biologis, mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Misalnya: gen yang diwariskan dari orang tua, perkembangan otak,
9 pertambahan tinggi dan berat badan, keterampilan motorik, dan perubahan hormonal pada pubertas. 2. Proses kognitif, meliputi perubahan dalam pikiran, inteligensi dan bahasa individu. 3. Proses sosial-emosional, meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Perubahan-perubahan besar tersebut dan transisi dalam bidang pendidikan dapat menimbulkan stres pada anak (Eccles & Midgley, 1990). Sehingga salah satu masalah yang muncul adalah penurunan prestasi akademis. 2.1.2 Pembagian Remaja Masa remaja dikelompokkan lagi menjadi: 1. Remaja awal (early adolescence) Sub-tahap ini ditujukan untuk individu yang berusia 11-14 tahun. Umumnya, sama dengan siswa yang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak perubahan untuk pubertas. 2. Remaja akhir (late adolescence) Sub tahap ini ditujukan untuk individu yang berusia 15-19 tahun. Umumnya, sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal tahun perkuliahan. Dalam sub-tahap ini muncul minat yang lebih nyata untuk karir, pacaran, dan eksplorasi identitas (Santrock, 2003). Yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah individu dalam sub-tahap remaja awal yang mengalami transisi dalam bidang pendidikan dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama.
10
2.2 Self-Efficacy 2.2.1
Pengertian Self-Efficacy Self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
mencapai suatu prestasi (Bandura, 1994). Ditambahkan lagi oleh Bandura bahwa keyakinan tersebut akan mempengaruhi berbagai tindakan yang dilakukannya. Dalam Pajares (2006), self-efficacy adalah suatu keyakinan yang dimiliki oleh seseorang bahwa ia dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik. Lalu, Zimmerman & Cleary (2006) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang mengenai efektivitasnya dalam melakukan tugas tertentu seperti keterampilan yang sesungguhnya. Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa selfefficacy adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan tugas dan menghasilkan prestasi yang baik. 2.2.2 Sumber Self-Efficacy Menurut Bandura (1997 dalam Usher, 2009), murid membentuk self-efficacy dengan memilih dan menginterpretasikan informasi dari empat sumber utama, yaitu: ‐
Mastery exprerience, yaitu informasi berdasarkan pengalaman pribadi. Mastery
exprerience merupakan
sumber
yang
paling
efektif dalam
mendapatkan informasi dan juga mempunyai pengaruh yang paling besar atas self-efficacy seseorang. Misalnya, apabila murid seringkali mendapatkan nilai ulangan yang buruk, maka self-efficacy murid cenderung menjadi rendah. Demikian pula sebaliknya, apabila murid seringkali mendapatkan nilai ulangan yang baik, maka self-efficacy murid cenderung menjadi tinggi.
11 Dengan demikian, ada kemungkinan self-efficacy dan pengalaman (prestasi akademis) saling mempengaruhi. ‐
Vicarious experience, yaitu mengamati tindakan orang lain. Misalnya, apabila seorang murid melihat bahwa salah seorang temannya yang dianggapnya lebih pintar daripada dirinya mengalami kesulitan saat mengerjakan soal matematika, maka self-efficacy-nya cenderung menjadi rendah.
‐
Social persuasions, yaitu murid seringkali bergantung pada orang tua, guru, dan teman-temannya untuk memberikan umpan balik, penilaian, dan penghargaan mengenai prestasi akademisnya. Misalnya, apabila guru memuji salah seorang muridnya bahwa ia siswa yang pintar, self-efficacy anak tersebut cenderung menjadi tinggi karena ia meyakini apa yang dikatakan oleh gurunya adalah hal yang benar.
‐
Emotional states, yaitu arousal, kecemasan, suasana hati, dan kelelahan. Misalnya, ketika anak sedang mengalami kelelahan fisik, self-efficacy-nya dalam menjalani ujian praktik olahraga cenderung menjadi rendah.
2.2.3 Hubungan Antara Academic Efficacy dengan Prestasi Akademis Self-efficacy bukanlah konstruk yang bersifat tunggal melainkan hal tersebut bersifat multidomain. Penggunaan satu alat ukur untuk mengukur segala domain akan menurunkan nilai prediktif karena terdapat sejumlah item yang tidak relevan dengan fungsi domain yang ingin diukur. Misalnya, anak yang mempunyai selfefficacy yang tinggi dalam menyelesaikan sebuah game online, belum tentu memiliki self-efficacy yang tinggi juga untuk berprestasi di sekolah. Dalam Bandura dkk. (2001), Pastorelli, Caprara, Barbaranelli, Rola, Rosa, & Bandura (2001), dan Multidimensional Scale Perceived Self-Efficacy dalam Martinelli
12 dkk. (2009) dinyatakan bahwa ada tiga faktor dalam self-efficacy anak beserta domain-domainnya sebagai berikut: 1. Academic
efficacy,
mengukur
keyakinan
anak
dalam
menjalani
pendidikannya di sekolah. Faktor ini terdiri dari self-efficacy pelajaran sekolah, mengatur aktivitas belajar, dan memenuhi harapan. 2. Social efficacy, mengukur keyakinan anak dalam menjalin relasi sosial. Faktor
ini
terdiri
dari
self-efficacy
mendapatkan
dukungan
sosial,
keterampilan kegiatan di waktu luang dan kegiatan ekstrakurikuler kelompok, hubungan interpersonal, asertif, dan memperoleh dukungan keluarga. 3. Self-regulatory efficacy, mengukur keyakinan anak dalam menghadapi tekanan teman sebayanya untuk melakukan hal-hal yang berbahaya. Faktor ini berupa self-efficacy pengendalian diri dari hal-hal berbahaya. Dari ketiga faktor self-efficacy anak di atas, yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah academic efficacy karena faktor ini berkaitan langsung terhadap prestasi akademis. Sedangkan faktor lainnya yaitu social efficacy dan self-regulatory efficacy dianggap tidak memiliki kaitan yang kuat dengan prestasi akademis. Berdasarkan Bandura dkk. (2001), Pastorelli dkk., (2001), dan Martinelli dkk., (2009), penjelasan untuk masing-masing domain dalam academic efficacy adalah sebagai berikut: 1. Self-efficacy pelajaran sekolah Ditujukan untuk mengukur keyakinan anak akan kemampuannya untuk menguasai berbagai mata pelajaran di sekolahnya, seperti Agama, Matematika, IPA, IPS, Bahasa (Indonesia dan Inggris), Pendidikan Kewarganegaraan, Kesenian, Olahraga, dan Komputer.
13 2. Self-efficacy mengatur kegiatan belajar Ditujukan untuk mengukur self-efficacy anak dalam mengatur lingkungan yang kondusif untuk belajar, merencanakan dan mengatur aktivitas akademisnya,
menggunakan
strategi
kognitif
untuk
meningkatkan
pemahaman dan ingatan mengenai materi pelajaran yang telah diajarkan, mencari bantuan guru dan teman ketika mengalami masalah dalam hal akademis, memotivasi diri mereka sendiri untuk mengerjakan tugas sekolah, menyelesaikan tugas sesuai batas waktu, dan tetap melakukan aktivitas akademis (belajar) ketika ada hal menarik lain untuk dilakukan. 3. Self-efficacy memenuhi harapan Ditujukan untuk mengukur keyakinan anak mengenai kemampuannya untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh guru dan orang tua dari dirinya dan juga memenuhi harapan diri sendiri. Apabila anak mempunyai keyakinan yang tinggi dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas, berarti anak mempunyai academic efficacy yang tinggi yang akan mendorongnya untuk bekerja keras dan tetap tekun dalam belajar walaupun mengalami kegagalan. Maka dari itu, anak akan mempunyai prestasi akademis yang lebih baik.
2.3 Parental Involvement 2.3.1
Pengertian Parental Involvement Parental involvement adalah keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anaknya (Jeynes, 2005). Parental involvement berupa keterlibatan aktif dari orang
14 tua dalam pengaturan kegiatan belajar anak, seperti mengatur kegiatan belajar anak di rumah, menstimulasi perkembangan kognitifnya, memotivasi anak untuk belajar, dan berbagai bentuk tindakan lainnya (Rogers, Theule, Ryan, Adams, & Keating, 2009). Jadi, parental involvement adalah keterlibatan orang tua secara aktif dalam pendidikan anaknya dengan melakukan berbagai upaya untuk mengatur kegiatan belajar anak. 2.3.2 Konteks Sekolah Menengah Pertama dan Parental Involvement Dalam Hill & Chao (2009, dalam Hill & Tyson, 2009), konteks sekolah menengah menghadirkan berbagai hal yang mungkin akan mengurangi kemampuan orang tua untuk terlibat secara efektif dalam pendidikan anaknya yang sedang memasuki tahap perkembangan remaja awal dan bekerja secara produktif dengan sekolah. Dornbusch & Glasgow (1996, dalam Hill & Tyson, 2009), menyatakan penyebab hal tersebut yang pertama adalah sekolah menengah itu besar dan kompleks sehingga orang tua mengalami kesulitan untuk terlibat dalam pendidikan anaknya secara efektif. Kedua, guru pada sekolah menengah mengajar murid dalam jumlah yang besar (ada spesialisasi guru dalam tiap mata pelajaran) sehingga mengalami kesulitan dalam menjalin komunikasi dengan tiap murid dan orang tuanya. Hill & Taylor (2004, dalam Hill & Tyson, 2009) menyatakan yang ketiga adalah sehubungan dengan banyaknya guru (permata pelajaran) yang mengajar murid menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengubungi siapa yang dapat memberikan informasi mengenai perkembangan anaknya. Dan yang keempat, kompleksnya mata pelajaran di sekolah menengah terutama yang materinya tidak pernah atau jarang menjadi perbincangan sehari-hari akan menyulitkan orang tua dalam memberikan bantuan.
15 Hill & Chao (2009, dalam Hill & Tyson, 2009), menyatakan bahwa efektivitas keterlibatan orang tua yang mempunyai anak yang duduk di bangku sekolah menengah pertama tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi sekolah menengah tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan anak remaja. Anak remaja lebih mandiri sehingga segala keperluan sekolah yang dulunya dipersiapkan oleh orang tua, kini dapat disiapkan sendiri. Namun, orang tua juga dapat memberikan kontribusi untuk pendidikan anaknya. 2.3.3 Karakteristik Orang Tua Karakteristik orang tua yang mempengaruhi parental involvement adalah: 1. Status sosio-ekonomi keluarga Dalam Revicki (1981), status sosio-ekonomi keluarga mempengaruhi parental involvement. Maksud dari status sosio-ekonomi adalah tingkat pendidikan dan penghasilan keluarga. Semakin tinggi status sosio-ekonomi orang tua, semakin aktif keterlibatannya dalam pendidikan anak baik di rumah maupun di sekolah. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, mereka makin terlibat aktif dalam pendidikan anaknya. Serta semakin tinggi penghasilan, semakin aktif juga parental involvement di rumah dan sekolah. Dalam Dornbusch (1986, dalam Balli, Demo, & Wedman, 1998), variabel latar belakang keluarga yang paling penting dalam mempengaruhi prestasi anak adalah tingkat pendidikan orang tua. 2. Struktur keluarga Dalam Balli dkk. (1998), anak yang tinggal bersama kedua orang tua biologisnya, orang tua tersebut akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk terlibat dalam kegiatan anak di rumah daripada orang tua yang lainnya.
16 Maka, parental involvement untuk anak dipengaruhi juga dengan siapa anak itu tinggal. 3. Ukuran keluarga Dalam Revicki (1981), parental involvement dipengaruhi oleh ukuran keluarga (jumlah anak) dan urutan kelahiran. Semakin banyak anak akan mengurangi parental involvement. Demikian halnya karena orang tua yang sama harus membagi-bagi perhatiannya kepada anak-anaknya. 2.3.4 Domain dalam Parental Involvement Penelitian yang membahas parental involvement beserta domain-domainnya cukup banyak. Domain-domain parental involvement dalam tiap penelitian berbedabeda. Dalam penelitian ini penulis menggunakan domain-domain parental involvement dari Hill & Tyson (2009) karena penelitian tersebut ditujukan untuk orang tua yang mempunyai anak sekolah menengah pertama yang merupakan subyek dalam penelitian, sama halnya dalam penelitian ini. Dalam Hill & Tyson (2009), terdapat tiga tipe parental involvement yang berhubungan dengan pendidikan dan prestasi akademis, yaitu: 1. Home-based involvement Mencakup strategi seperti komunikasi antara orang tua dan anak mengenai sekolah, keterlibatan dengan tugas sekolah (seperti membantu pekerjaan rumah), mengajak anak ke acara dan tempat yang menunjang kesuksesan akademisnya
(seperti
museum,
perpustakaan,
dan
lain-lain),
dan
menciptakan lingkungan untuk belajar di rumah (seperti menyediakan peralatan pendidikan yang mudah diperoleh, misalnya buku, koran, mainan edukatif).
17 2. School-based involvement Mencakup kunjungan ke sekolah untuk acara sekolah (seperti rapat, open house, dan lain-lain), berpartisipasi dalam pemerintahan sekolah (school governance), menjadi sukarelawan di sekolah, dan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah. 3. Academic socialization Mencakup pengkomunikasian harapan orang tua untuk pendidikan dan kegunaannya, manfaat tugas sekolah, membantu perkembangan pendidikan dan cita-cita pekerjaan, mendiskusikan strategi pembelajaran dengan anak, dan membuat persiapan serta rencana untuk masa depan. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anaknya akan membantu anak menjalani pendidikannya dengan lebih mudah. Orang tua juga akan memberikan pengayaan pendidikan yang dibutuhkan oleh anak. Maka, prestasi akademis anak akan meningkat.
2.4 Prestasi Akademis Berdasarkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), prestasi akademis adalah hasil pelajaran yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian. Dalam Seginer & Vermulst (2002), prestasi akademis diukur melalui nilai sekolah. Maka, yang dijadikan sebagai cerminan dari prestasi akademis dalam penelitian ini adalah nilai rata-rata raport para siswa. Prestasi akademis anak dipengaruhi oleh berbagai hal yang kompleks, baik pengaruh yang berasal dari diri anak itu sendiri (internal) atau pengaruh yang datang
18 dari luar anak (eksternal). Pengaruh internal dapat berupa sisi psikologis anak yaitu academic efficacy dan pengaruh eksternal dapat datang dari figur yang dekat dengan anak, yaitu orang tua melalui parental involvement.
2.5 Hubungan Antara Academic Efficacy, Parental Involvement, dan Prestasi Akademis Self-efficacy mempengaruhi kinerja atau performance seseorang (Pajares, 2003). Dengan demikian, academic efficacy juga dapat mempengaruhi prestasi akademis siswa. Bandura (1986, dalam Pajares, 2003) menyatakan bahwa siswa yang berharap sukses dalam sebuah mata pelajaran cenderung menghargai atau menganggap berharga mata pelajaran tersebut. Karena dampak dari harapan tersebut, siswa dapat menilai seberapa baik dirinya dapat menyelesaikan mata pelajaran tersebut. Maka dari itu, salah satu indikator/domain dalam academic efficacy adalah self-efficacy pelajaran sekolah yang isinya mengenai seberapa baik siswa tersebut mempelajari suatu mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum sekolah dan dijadikan sebagai nilai raport. Academic efficacy tidak hanya dipengaruhi oleh keyakinannya dalam mengikuti mata pelajaran di sekolah tetapi dipengaruhi juga oleh keyakinan anak dalam mengatur kagiatan belajarnya (self-efficacy mengatur kegiatan belajar). Dalam Zimmerman & Kitsantas (1999, dalam Pajares, 2003), self-efficacy mengatur kegiatan belajar memprediksi kayakinan siswa dalam menghadapi tugas akademis. Ditambahkan lagi bahwa domain academic efficacy ini dikaitkan dengan strategi belajar yang lebih banyak digunakan, motivasi intrinsik, hal-hal/perilaku belajar yang adaptif, dan prestasi akademis.
19 Domain terakhir dari academic efficacy yaitu memenuhi harapan. Harapan ini bermakna harapan yang baik akan prestasi akademis anak. Anak yang memiliki keyakinan bahwa ia mampu memenuhi harapan orang lain dan diri sendiri akan berusaha untuk mewujudkan hal tersebut. Hal ini akan menimbulkan usaha yang persisten/tetap pada individu tersebut (anak) sampai mereka dapat memenuhi tujuannya (Bandura, 1994), yaitu menunjukkan pada orang lain bahwa ia mampu mencapai prestasi seperti yang mereka harapkan. Self-efficacy mempengaruhi proses motivasi dan pengaturan diri (Martinelli dkk., 2009). Domain academic efficacy yang paling mendekati hal ini adalah selfefficacy mengatur kegiatan belajar sehingga domain ini diprediksi sebagai kontributor yang paling kuat dalam mempengaruhi prestasi akademis. Kemudian, self-efficacy mempengaruhi hasil yang diharapkan (Martinelli dkk., 2009). Semakin tinggi academic efficacy akan membuat harapan lebih tinggi sehingga anak yakin dapat memenuhi harapan orang lain dan dirinya sendiri dalam hal pendidikan. Sehingga self-efficacy memenuhi harapan diprediksi sebagai kontributor signifikan yang kedua dalam mempengaruhi prestasi. Pada akhirnya, domain yang merupakan kontributor signifikan yang ketiga adalah self-efficacy pelajaran sekolah. Domain ini diprediksi signifikan karena self-efficacy adalah prediktor yang konsisten untuk prestasi akademis (Martinelli dkk., 2009). Namun, domain ini tidak sekuat domain yang lainnya karena terdiri dari berbagai variasi pelajaran yang membutuhkan keterampilan yang berbeda (Laidra, Pullmann, & Allik, 2007). Kemudian hasil penelitian dari Jeynes (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara parental involvement secara keseluruhan dan prestasi akademis. Home-based involvement adalah salah satu bentuk yang dianjurkan karena memperjelas dan memperdalam pengetahuan dan pengajaran
20 yang didapatkan di sekolah (Comer, 1995 dalam Hill & Tyson, 2009). Di sekolah, anak mempelajari berbagai mata pelajaran dalam waktu yang cukup singkat sesuai dengan jadwal yang berlaku di sekolahnya. Sementara, anak memiliki waktu yang lebih banyak di rumah daripada waktu yang dihabiskannya di sekolah. Jadi, belajar di luar sekolah bermanfaat untuk mengulang dan mengingat kembali materi pelajaran yang didapatkan di sekolah serta mencoba memahami materi yang sebelumnya anak kurang atau tidak mengerti. Belajar yang dimaksudkan tidak hanya dengan membaca buku melainkan dapat melalui banyak hal sehingga anak tidak
merasa
bosan.
Misalnya
dengan
mengunjungi
tempat-tempat
yang
mengandung unsur edukatif atau melalui permainan edukatif di rumah. Dilanjutkan dengan school-based involvement, sebagai bentuk komunikasi dan partisipasi orang tua di sekolah anaknya. Interaksi tersebut akan meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai kurikulum di sekolah dan meningkatkan efektivitas parental involvement di rumah (Hill & Taylor, 2004 dalam Hill & Tyson, 2009). Selain itu, orang tua juga dapat mengetahui sikap, tingkah laku, dan kemampuan sosialisasi anak di sekolah. Sehingga melalui hal ini, orang tua dapat berupaya mengatasi hambatan yang ditemui anak di sekolah. Domain parental involvement yang terakhir yaitu academic socialization yang merupakan komunikasi dari orang tua ke anak mengenai manfaat sekolah, manfaat tugas, dan persiapan mengenai masa depan anak. Untuk anak remaja, parental involvement ini merupakan bentuk yang tepat karena terkait dengan pribadi remaja yang sedang mengembangkan kemandirian dan keterampilan membuat keputusan. Bentuk parental involvement ini paling kuat dibandingkan dua bentuk (domain) yang sebelumnya (Hill & Tyson, 2009). Dalam academic socialization, orang tua berperan
21 dalam mengarahkan, memantau, dan memfasilitasi anak. Sedangkan anak berperan sebagai subyek independen yang menentukan pilihan dan menjalaninya sendiri. Dalam hasil penelitiaan Hill & Tyson (2009), diantara ketiga domain parental involvement tersebut, yang paling signifikan dalam mempengaruhi prestasi siswa adalah academic socialization. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa anak remaja sudah lebih mandiri (Papalia dkk., 2004). Anak remaja dapat mengurus berbagai keperluan sekolahnya sendiri serta dapat mengatasi sendiri hambatan yang ditemuinya di sekolah sehingga anaklah yang perlu berperan dominan dan orang tua berperan sebagai fasilitator. Ditambahkan bahwa kedua signifikan adalah school-based involvement. Hubungan domain ini dengan prestasi akademis tidak sekuat domain sebelumnya karena merealisasikan involvement ini di sekolah menengah cukup sulit. Realisasi domain ini berupa keterlibatan orang tua dalam membantu pihak sekolah dan tindakan ini tidak berhubungan langsung dengan bidang akademis. Berbeda dengan school-based involvement pada sekolah dasar dimana orang tua memantau kegiatan belajar anaknya di kelas sehingga dapat mengetahui gaya mengajar guru dan materi yang diajarkan. Anak sekolah menengah mulai diberi kebebasan sehingga tidak lagi memerlukan kunjungan orang tua ke sekolah. Sedangkan home-based involvement tidak berkorelasi signifikan dengan prestasi akademis. Bentuk involvement ini tidak efektif karena orang tua berperan cukup dominan dan anak hanya mengikuti apa yang dirancangkan oleh orang tuanya. Sedangkan anak remaja semestinya mengembangkan kemandirian dan keterampilan membuat keputusan. Namun, domain ini tetap dimasukkan dalam penelitian karena ada penelitian lain yang membuktikan bahwa bantuan orang tua di rumah dapat meningkatkan prestasi akademis anaknya (Voorhis, 2003).
22 Dari penjelasan di atas, dapat dirumuskan variabel penelitian, yaitu karakteristik perilaku atau pengalaman yang dapat diukur atau digambarkan dengan menggunakan skala numerik (Wade & Tavris, 2008). Variabel merupakan suatu konsep yang ingin diukur dalam penelitian. Lalu, dalam Priyatno (2010), variabel dibagi sebagai berikut: ‐
Variabel bebas (variabel independen) adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain yang sifatnya berdiri sendiri. Variabel independen dalam penelitian ini adalah academic efficacy dan parental involvement.
‐
Variabel tergantung (variabel dependen) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain yang sifatnya tidak dapat berdiri sendiri. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah prestasi akademis remaja awal.
‐
Di samping itu, terdapat juga variabel kontrol, yaitu variabel yang dikontrol oleh peneliti untuk menetralisasi pengaruhnya (Sarwono, 2006). Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah inteligensi karena hal tersebut merupakan prediktor yang kuat terhadap prestasi akademis anak (Laidra dkk., 2007). Inteligensi diwakili oleh raw score IQ supaya inteligensi ini dapat lebih terdiferensiasi dan penggunaan raw score IQ sebagai wakil dari inteligensi sesuai dengan penelitian dalam Laidra dkk. (2007).
2.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian adalah penjelasan tentatif atau perkiraan dari hasil penelitian yang akan dilakukan. Hipotesis menyatakan hubungan antarvariabel penelitian dalam bentuk kalimat (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2009).
23 Hipotesis dikaitkan dengan rumusan masalah yang belum dibuktikan kebenarannya (Priyatno, 2010). Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ‐
Academic efficacy dan parental involvement bersama-sama secara signifikan berkontribusi terhadap prestasi akademis remaja awal, bahkan setelah mengontrol aspek inteligensi.
‐
Domain dalam academic efficacy yang berkontribusi signifikan terhadap prestasi akademis remaja awal dengan mengontrol inteligensi secara berturut-turut adalah self-efficacy mengatur kegiatan belajar, memenuhi harapan, dan pelajaran sekolah.
‐
Domain dalam parental involvement yang berkontribusi signifikan terhadap prestasi akademis remaja awal dengan mengontrol inteligensi secara berturut-turut adalah academic socialization dan school-based involvement. Sedangkan home-based involvement tidak berkontribusi signifikan.