BAB I PENDAHULUAN - Universitas Udayana

23 downloads 468 Views 1MB Size Report
obesitas, merusaknya jaringan tubuh in vivo sehingga dapat menimbulkan penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan mempercepat proses penuaan.
1

BAB I PENDAHULUAN 1 .1

Latar Belakang

2 Penuaan adalah bagian dari kehidupan. Seiring dengan bertambahnya usia biologis, secara alami fungsi organ tubuh akan memburuk dan bekerja pada tingkat yang tidak optimal. Proses ini semakin cepat terjadi dengan adanya perubahan pola hidup masyarakat sebagai suatu bentuk adaptasi terhadap modernisasi kehidupan. Segala hal dituntut untuk lebih efektif dan efisien termasuk perubahan pola makan yang lebih mengutamakan efisiensi dan kecepatan seperti halnya processed food serta makanan cepat saji, yang pengolahannya sering kali menggunakan metode deep frying. Deep frying adalah salah satu cara memasak atau memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah banyak, berulang dan suhu yang tinggi (Ghidurus et al., 2010; Sartika, 2009). Proses pemanasan yang lama ataupun berulang akan meningkatkan kejenuhan asam lemak minyak yang digunakan, mempercepat terjadinya dekomposisi asam lemak yang terkandung dalam minyak goreng yang pada batas tertentu mengakibatkan minyak menjadi tidak layak digunakan, disebut minyak jelantah (Rukmini, 2007; Lestari, 2010). Minyak jelantah berdampak buruk terhadap kesehatan, antara lain adalah menyebabkan obesitas, merusaknya jaringan tubuh in vivo sehingga dapat menimbulkan penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan mempercepat proses penuaan. Hati sebagai tempat metabolisme berbagai senyawa yang masuk ke dalam tubuh adalah organ tubuh yang paling rentan terhadap pengaruh berbagai zat atau senyawa kimia (Jusup dan Raharjo, 2010).

1 3 Penyakit perlemakan hati non alkoholik hingga saat ini merupakan kondisi klinis yang sering ditemukan dalam bidang hepatologi sebagai salah satu bentuk penyakit hati kronik (Dabhi et al., 2008). Perlemakan hati non alkoholik (Nonalcoholic Fatty Liver Disease = NAFLD) bervariasi mulai dari perlemakan hati sederhana (steatosis), perlemakan hati dengan inflamasi (steatohepatitis), fibrosis

2

sampai menjadi sirosis (Charlton, 2009). Dengan semakin meningkatnya prevalensi obesitas, diabetes mellitus tipe 2, hiperlipidemia, NAFLD menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang tidak boleh diabaikan (Charlton, 2009; Niederau, 2010). Sebuah studi pada populasi obesitas di negara maju mendapatkan 60% perlemakan hati sederhana (steatosis) dan dilaporkan pula bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 mengalami perlemakan hati sebesar 70%, sedangkan pada pasien dislipidemia angkanya sekitar 60% (Trihatmowijoyo dan Nusi, 2009). Terdapat peningkatan sebesar 4 – 11 kali resiko individu dengan sindrom metabolik untuk menderita NAFLD dibandingkan individu tanpa resistensi insulin (Dabhi et al., 2008).

Prevalensi NAFLD di populasi perkotaan di Indonesia diperkirakan mencapai 30% dengan obesitas sebagai faktor resiko yang paling berpengaruh (Trihatmowijoyo dan Nusi, 2009). Pada obesitas terjadi penurunan kadar adiponektin yang akan menyebabkan penurunan daya proteksi hati terhadap lemak sehingga terjadi resistensi insulin. Resistensi insulin meningkatkan lipolisis trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas yang pada akhirnya akan menyebabkan perlemakan hati. Oleh karena obesitas berpengaruh besar terhadap terjadinya perlemakan hati maka diperlukan suatu cara untuk menurunkan berat badan antara lain dengan pengaturan nutrisi, olahraga, suplementasi, dan intervensi medis ( Schreuder et al., 2008). Banyak penelitian terhadap hewan dan manusia secara signifikan menunjukkan manfaat polifenol teh hijau antara lain sebagai terapi penurun berat badan, antioksidan, anti inflamasi, anti karsinogenik, efek perlindungan terhadap jantung, saraf dan hati (Kidd, 2009). Polifenol adalah bahan kimia yang bersumber dari tumbuhan dengan banyak manfaat bagi kesehatan. Salah satu sumber polifenol yang potensial adalah teh hijau. Teh hijau (Camellia sinensis) dibuat dengan cara menginaktifkan enzim polyphenol oxidase sehingga kandungan polifenol dalam teh hijau paling tinggi dibandingkan

3

dengan jenis teh yang lain. Sebagian besar polifenol dalam teh hijau adalah flavonol, yang lebih dikenal sebagai catechin dan catechin utamanya adalah epicatechin, epicatechin-3-gallate, epigallocatechin, and epigallocatechin-3-gallate (EGCG), dimana konsentrasi EGCG adalah

yang

tertinggi dibandingkan dengan catechin yang lain (Zaveri, 2005). Efek teh hijau terhadap perlemakan hati non alkoholik dengan pemberian minyak jelantah masih belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek teh hijau dalam menurunkan terjadinya perlemakan hati non alkoholik pada tikus dengan pemberian minyak jelantah.

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Apakah pemberian ekstrak teh hijau menurunkan jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah? 1.2.2. Apakah jumlah sel

hepatosit yang mengalami degenerasi lemak lebih

sedikit pada pemberian ekstrak teh hijau 28,8 mg dibandingkan 14,4 mg pada tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

4

Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak teh hijau dalam menurunkan perlemakan hati non alkoholik pada tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui pemberian ekstrak teh hijau dapat mengurangi jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah. 2. Mengetahui bahwa jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak lebih sedikit pada pemberian ekstrak teh hijau dosis 28,8 mg dibandingkan dosis 14,4 mg pada tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Teoritis Memberikan informasi ilmiah tentang bahan obat alam khususnya mengenai efek pemberian ekstrak teh hijau terhadap perlemakan hati non alkoholik. 1.4.2. Praktis Teh hijau dapat menjadi salah satu cara untuk menurunkan terjadinya perlemakan hati non alkoholik dengan suplemen berbahan dasar tanaman, sehingga ketergantungan terhadap obat sintesis dapat dikurangi. 1.4.3. Penelitian Hasil penelitian ini dapat juga digunakan sebagai dasar dalam rangka pengembangan bahan obat alam khususnya teh hijau dan sebagai dasar penelitian lebih lanjut.

5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan dan Pencegahannya Sejak dahulu manusia mendamba untuk dapat berumur panjang, sehat dan tetap terlihat menarik. Hal ini memacu para ahli untuk mencari jawaban mengapa proses penuaan terjadi dan strategi untuk mengatasi penuaan serta masalah yang timbul dari proses penuaan tersebut antara lain penyakit degeneratif, penurunan kualitas hidup, penurunan kognitif serta meningkatnya ketergantungan pada orang lain. 4 Penuaan dapat digambarkan sebagai proses penurunan fungsi fisiologis tubuh secara bertahap yang mengakibatkan hilangnya kemampuan tumbuh dan kembang serta meningkatnya kelemahan (Bludau, 2010). Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya proses penuaan. Faktor-faktor ini terbagi menjadi faktor internal meliputi radikal bebas, genetik, hormon yang berkurang dan faktor eksternal meliputi pola hidup tidak sehat, diet tidak sehat, stres, dan

6

6

polusi lingkungan. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat sehingga usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Dengan berkembangnya Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM) tercipta suatu konsep baru dalam dunia kedokteran. AAM adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan demikian, penuaan bukan lagi suatu keadaan normal yang memang harus terjadi, namun dianggap sama sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). 5 Bermodalkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan dan menghindari berbagai faktor penyebab proses penuaan dilengkapi dengan pengobatan, masyarakat memiliki kesempatan untuk hidup lebih sehat dan berusia lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). 6 Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup sehat meliputi berolahraga teratur, makanan sehat dan cukup, atasi stres; melakukan pemeriksaan kesehatan berkala yang diperlukan dan disesuaikan dengan kondisi; menggunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun. Namun, terdapat pula hambatan atau kesulitan melakukan upaya menghambat proses penuaan, antara lain karena lingkungan tidak sehat, pengetahuan rendah dan budaya yang tidak benar. Yang juga termasuk hambatan adalah adanya pola hidup yang tidak sehat seperti diet yang tinggi karbohidrat dan lemak jenuh (Pangkahila, 2007). 7

2.2 Minyak Goreng dan Minyak Jelantah.

Makanan yang digoreng dikenal luas karena aroma, rasa dan tekstur yang dihasilkannya.

Pada saat makanan digoreng, lemak atau minyak panas akan

diserap masuk ke dalam bahan makanan dan menggantikan air yang menguap sehingga bahan makanan menjadi lebih lembut dan tekstur makanan menjadi renyah ( Ghidurus et al., 2010).

7

Pada umumnya masyarakat menggoreng menggunakan minyak. Minyak goreng merupakan trigliserida dengan komposisi asam lemak tertentu, berasal dari lemak tumbuhan atau hewan, berbentuk cair dalam suhu kamar (Lestari, 2010). Selain lemak, minyak goreng juga mengandung lesitin, sefalin, fosfatida lain, lilin, pigmen larut lemak, dan hidrokarbon, termasuk karbohidrat dan protein dalam jumlah kecil (Rukmini, 2007). Berdasarkan ada atau tidak ikatan ganda dalam struktur molekulnya, minyak goreng terbagi menjadi (Ketaren , 2005) : a.

Minyak dengan asam lemak jenuh ( saturated fatty acids ). Merupakan

asam

lemak

yang

mengandung

ikatan

tunggal

pada

rantai

hidrokarbonnya. Bersifat stabil dan tidak mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenis lain. Asam lemak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng pada umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat dan asam kaprat. b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty acids/MUFA) maupun majemuk (poly-unsaturated fatty acids).

Merupakan asam lemak yang memiliki ikatan atom karbon rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap itu (polyunsaturated), semakin mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng adalah asam oleat dan asam linoleat dan asam linolenat. Minyak yang baik adalah minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya, salah

8

satunya adalah minyak nabati. Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh kecuali minyak goreng kelapa sawit (Sartika, 2009). Minyak goreng kelapa sawit dibuat melalui dua fase yang berbeda, yaitu fase padat disebut stearin dengan asam lemaknya stearat dan fase cair disebut olein dengan asam lemaknya oleat. Dengan penyaringan (pemisahan fase padat dari fase cair) sebanyak 2 kali, kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak kelapa sawit menjadi lebih tinggi sehingga minyak menjadi lebih mudah rusak oleh proses penggorengan deep frying (Sartika, 2009; Lestari, 2010). Deep frying adalah cara memasak atau memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak, berulang dan suhu tinggi sekitar 150oC – 200oC, (Sartika, 2009; Ghidurus et al., 2010). Selama proses deep frying terjadi berbagai reaksi degradasi, yaitu autoksidasi, oksidasi termal, polimerisasi, siklasi, dan fission pada lemak atau minyak goreng (Chao et al., 2001). Hal ini akan menghasilkan senyawa seperti keton, aldehid, polimer dan terjadinya dekomposisi asam lemak yang pada batas tertentu yang mengakibatkan minyak menjadi tidak layak lagi digunakan atau disebut sebagai minyak jelantah (Rukmini, 2007; Lestari, 2010). Terbentuknya akrolein pada minyak goreng merupakan tanda awal dari kerusakan minyak goreng. Akrolein merupakan hasil hidrasi gliserol yang membentuk aldehida tidak jenuh dan menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan (Ketaren, 2005). Selain itu, bila minyak jelantah disimpan dalam jangka waktu tertentu akan berbau tengik, dikarenakan titik asapnya turun secara drastis akibat proses penguraian molekul-molekul dan pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan free fatty acid (FFA) (Ketaren, 2005; Lestari, 2010).

9

Lebih lanjut, produk utama autoksidasi yaitu peroksida lipid, dengan cepat mengalami degradasi pada penggorengan suhu tinggi. Peroksida lipid akan mempengaruhi

metabolisme

individu

termasuk

metabolisme

lipid

dan

mengakibatkan jejas jaringan hati berupa lipotoksisitas (Chao et al., 2001; Koch et al., 2007).

2.2.1 Dampak Minyak Jelantah terhadap Kesehatan Ketika lemak masuk ke dalam makanan dapat terjadi modifikasi terhadap komposisi makanan. Perubahan yang dihasilkan bergantung pada beragam faktor, seperti komposisi lemak yang digoreng dan yang dikandung dalam makanan tersebut, tekstur, ukuran, bentuk makanan dan kondisi penggorengan seperti lama durasi dan temperatur. Faktor-faktor terkait mempengaruhi perubahan yang terjadi pada nilai nutrisi makanan. Perubahan ini dapat meliputi hilangnya nutrisi terutama vitamin dan mineral (Ghidurus et al., 2010). Pada umumnya makanan hasil penggorengan mengandung 4% - 14% lemak dari total beratnya. Kualitas minyak goreng yang digunakan juga mempengaruhi penyerapan minyak ke dalam makanan. Penggunaan minyak jelantah akan meningkat polaritas minyak dan menurunkan tegangan permukaannya antara bahan pangan dan minyak sehingga penyerapan lemak akan semakin meningkat (Ghidurus et al., 2010).

Selain menyerap minyak, makanan yang digoreng

menggunakan minyak jelantah juga menyerap produk degradasi seperti radikal bebas, keton, aldehid, polimer

yang menyebabkan perubahan pada organ

misalnya bertambahnya berat organ ginjal dan hati serta timbulnya berbagai

10

penyakit seperti kanker, disfungsi endotelial, hipertensi dan obesitas (Rukmini, 2007; Castillo’n et al., 2011). Sebuah penelitian tentang pengaruh suhu dan lama proses deep frying terhadap pembentukan asam lemak trans menunjukkan bahwa setelah proses deep frying yang ke-2 akan terbentuk asam lemak trans baru terbentuk dan kadarnya akan semakin meningkat sejalan dengan penggunaan minyak (Sartika, 2009). Akibat dari kenaikan asam lemak trans adalah peningkatan kadar low density lipoprotein (LDL), trigliserol dan lipoprotein, penurunan high density lipoprotein (HDL), dan mempengaruhi metabolisme asam lemak bebas yang akan menyebabkan dislipidemia dan arterosklerosis (Sartika, 2009). Penelitian lain yang dilakukan oleh Kavanagh et al. (2007) juga menunjukkan bahwa lemak trans menyebabkan kenaikan berat badan, lemak abdominal dan lemak subkutaneus. Didapatkan pula penurunan sensivitas insulin yang berhubungan dengan obesitas abdominal dan berkurangnya efisiensi signal transduksi insulin pada postbinding receptor level (Kavanagh et al., 2007) . Terdapat beberapa mekanisme untuk mengambarkan hubungan antara konsumsi makanan digoreng dengan obesitas. Konsumsi makanan yang digoreng akan menyebabkan naiknya masukan makanan dengan densitas energi yang lebih tinggi dan indeks kepuasan yang lebih rendah. Indeks kepuasan yang lebih rendah mungkin dikarenakan rendahnya stimulasi produksi insulin dan leptin sehingga nafsu makan cenderung meningkat dan penggunaan energi menurun. Selain itu makanan yang goreng juga (Castillo’n et al., 2011).

membuat makanan menjadi padat kadar energi

11

Beberapa studi pada tikus menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi lemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat badan, akumulasi massa lemak terutama trigliserida pada organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam lemak. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas,

sindrom metabolik dan

hepatik steatosis dan

lipotoksisitas (Dorfman et al., 2009). Lipotoksisitas adalah toksisitas sel akibat akumulasi abnormal lemak. Asam lemak bebas bersifat hidrofobik sehingga dapat menembus membran sel atau melalui transporter yaitu fatty acid transport protein (FATP) atau fatty acid transporter CD36. Asam lemak tersaturasi dapat menginduksi apoptosis (death cell programme) (Malhi, 2008). Dampak lain dari penggunaan minyak jelantah adalah meningkatnya radikal bebas, substansi yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Radikal bebas yang mengandung oksigen diklasifikasikan sebagai Reactive Oxigen Species (ROS). Produksi ROS yang berlebihan atau kerusakan perlindungan terhadap ROS akan menimbulkan stress oksidasi yang memicu proses peroksidasi terhadap lipid sehingga dapat menimbulkan penyakit kanker, inflamasi, aterosklerosis, dan proses penuaan (Koch et al., 2007; Jusup dan Raharjo, 2010).

2.3 Hati ( Hepar ) 8 Hepar merupakan salah satu organ terpenting, terkompleks dan terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1.4 kg pada manusia dewasa dan menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Hepar berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak untuk mempertahankan glukosa darah dan homeostasis energi (Price dan Wilson, 2006).

12

9 Secara anatomis, hepar terbagi menjadi empat lobus dengan lobus utamanya adalah lobus dekstra dan lobus sinistra, dan lobus yang lain adalah lobus kuadratus dan lobus kaudatus (Allen, 2002). Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal yang disebut hepatosit dan sel non parenkimal. Hepatosit meliputi 60% dari seluruh sel hati dan melakukan sebagian besar kemampuan mensintesis dan metabolisme hepar, sisanya berupa sel Kupffer yang merupakan makrofag, sel epithelial sistem empedu, dan sel Ito yang berubah menjadi sel penghasil kolagen ketika terjadi kerusakan pada hepar (Allen, 2002).

2.4 Penyakit perlemakan hati non alkoholik Penyakit perlemakan hati non alkoholik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan spektrum luas dari penyakit hati. Penyakit ini bervariasi mulai dari yang ringan yaitu perlemakan hati sederhana (steatosis) hingga ke perlemakan hati dengan inflamasi (non alkohol steatohepatitis = NASH), fibrosis sampai menjadi sirosis. Oleh karena itu, saat ini penyakit perlemakan hati non alkoholik telah dianggap sebagai salah satu penyebab penyakit hati kronis, juga merupakan faktor penting untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler dan meningkatnya indikasi untuk dilakukan transplantasi hati (Adams dan Angulo 2006; Amarapurkar,2010; Wei et al, 2008) . Secara definisi, penyakit perlemakan hati non alkoholik merupakan sekelompok kelainan hati yang sama seperti perlemakan hati pada peminum alkohol, dimana didapatkan kandungan lemak di hati melebihi 5% atau dari hasil biopsi hati ditemukan minimal 5% - 10% sel hepatosit mengandung lemak, namun terjadi pada individu bukan peminum alkohol atau mengkonsumsi dalam jumlah sangat kecil (kurang dalam 20 g etanol/ minggu) (Amarapurkar,2010).

13

2.4.1 Faktor-faktor penyebab penyakit perlemakan hati non alkoholik Etiologi dan progresi penyakit perlemakan hati non alkoholik dipengaruhi banyak hal dan bersifat kompleks. Etiologinya adalah sebagai berikut : 10

Penyebab Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik

11 Primer 12

obesitas,

Nutrisional

hipertensi, kadar HDL yang rendah

diabetes

mellitus

tipe

2,

hipertrigliserida,

Malnutrisi, nutrisi parenteral total, penurunan berat badan yang terlalu cepat, bypass lambung, bypass jejuno-ileal, Metabolik

diversi biliopankreas Abetalipoproteinemia, glycogen storage diseases, WeberChristian disease, Wolmans disease, fatty liver akut karena kehamilan,

sindroma

zat

besi

berlebih,

lipodistrofi,

galaktosemia, intoleransi fruktosa herediter, defisiensi Obat

karnitin sistemik, tirosinemia Sitotoksik : L-Asparginase, Azauridine, Methotrexate Antibiotik : Azaserine, Puromycin, Bleomycin, Tetrasiklin

13 14 15 16

Analog nukleosida : Didanosine, Stavudine, Fialuridine, Hydrazine, Zidovudine

Toksin

Lain : Amiodarone, Etil bromida, Diltiazem, Coumadin,

17 Infeksi

Dicloroetilen, Estrogen, Glukokortikoid, Tamoxifen,Nifedipine, Klorokuin jamur Amanita phalloides, keracunan fosfor,

14

petrochemicals, toksin Bacillus cereus virus Human immunodeficiency (HIV), hepatitis C, divertikulitis usus kecil dengan pertumbuhan bakteri berlebih 18

Tabel 2.1. Penyebab Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik Sumber : Schreuder et al, 2008

Menurut Lacobuzi et al. (2005) dan Erickson (2009), multifaktor resiko penyakit perlemakan hati non alkoholik adalah : 19 Genetik : 20 Pada beberapa penelitian pada sekelompok keluarga ditemukan bahwa 1/5 dari pasien yang menderita non steatohepatitis 21 Etnis : 22 Dalam beberapa studi kasus pada populasi masyarakat Amerika, insiden penyakit perlemakan hati non alkoholik lebih tinggi pada etnis Hispanik dibandingkan etnis Afrika Amerika yang mempunyai tingkat obesitas lebih tinggi (30-33). Demikian pula dengan etnis India, mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita sindrom metabolik. 23 Jenis kelamin: 24 Faktor resiko untuk pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan umumnya massa lemak viseral abdomen yang lebih banyak pada pria yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar adiponektin. 25 Perilaku makan :

Nutrisi yang berlebih, dimana umumnya dietnya kaya akan karbohidrat sederhana, makanan berlemak dan makanan cepat saji serta processed food. 26 Pola hidup sedentari : 27 Dengan semakin majunya tehnologi dan transportasi, orang cenderung kurang beraktivitas fisik, terjadilah ketidakseimbangan kalori yang mengakibatkan penambahan berat badan. Peningkatan berat badan ini berhubungan erat dengan meningkatnya kejadian penyakit perlemakan hati non alkoholik. 28 Lingkungan

15

2.4.2 Patogenesis Patogenesis penyakit perlemakan hati non alkoholik belum sepenuhnya dimengerti. Day et al. (1998), menyatakan suatu hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory (dalam Schreuder et al., 2008; Charlton, 2009). Pada first hit terjadi steatosis hepatik sedangkan second hit berupa jejas dan inflamasi hati. Abnormalitas metabolik primer yang mengarah pada akumulasi lipid dalam hepatosit masih belum jelas diketahui (Schreuder et al., 2008; Charlton, 2009). First

hit

dapat

terjadi

karena

berbagai

keadaan,

seperti

dislipidemia, diabetes mellitus dan obesitas. Dalam keadaan normal, asam lemak bebas dihantarkan memasuki hati lewat sirkulasi darah arteri dan vena portal. Di dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi menjadi trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan massa jaringan lemak tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas (Free Fatty Acid/ FFA) yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit. Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi (Schreuder et al., 2008; Charlton, 2009).

2.4.3 Gambaran histologis

16

Steatosis hepatik bisa reversible atau berkembang menjadi steatohepatitis tergantung penyebabnya persisten atau tidak. Steatohepatitis berupa steatosis makrovesikular, glikogenasi nuklear, inflamasi portal dan lobular, fibrosis, hepatosit menggelembung, sel apoptotik, dan hialin Mallory. Keparahan inflamasi tidak

selalu

berhubungan

dengan

derajat

steatosis.

Hepatosit

yang

menggelembung dan hialin Mallory bisa jadi pertanda awal steatohepatitis. Kematian dan keradangan sel hati mengaktifkan sel stelata yang memicu perkembangan

fibrosis

hati,

dengan

manifestasi

fibrosis

perisinusoidal,

perivenular (di sekitar vena hepatika terminal), dan periseluler. Steatosis hepatik, inflamasi, dan fibrogenesis berperan dalam perkembangan sirosis hati (Wei et al., 2008; Charlton, 2009). Secara histologis, pada prinsipnya perlemakan hati non alkoholik ditandai dengan adanya perubahan bentuk lipid dalam hepatosit (Sanyal, 2002). Walaupun tidak selalu jelas, perubahan ini dapat dibedakan menjadi dua subkategori berdasarkan ukuran vakuola lipid di dalam sel yaitu makrovesikular dan mikrovesikular (Schiff et al., 2006). Pada awal penyakit ini didapatkan steatosis makrovesikular dengan pendorongan nukleus dan sitoplasma ke perifer sel hepatosit.Lokasi lipid bervariasi, pada umumnya berdifusi namun lebih sering ditemukan di zona 1 atau zona 3 (Sanyal, 2002; Schiff et al., 2006). Steatosis makrovesikular ini sering didapatkan pada obesitas, malnutrisi, malabsorbsi, diabetes mellitus, penyakit metabolik tertentu,

17

terapi dengan kortikosteroid, dan paparan terhadap toksin ataupun obat yang lain (Schiff et al., 2006). Pada umumnya mikrovesikular menandakan kerusakan yang lebih parah daripada steatosis makrovesikular. Pada steatosis mikrovesikular, nukleus inti sel hepatosit dikelilingi oleh vakuola kecil berbentuk jelas (Schiff et al., 2006). Sumber asam lemak bebas hati berasal dari trigliserida makanan sebagai partikel kilomikron dari usus, sintesis de novo hati, asam lemak bebas yang masuk ke hati dari hasil lipolisis jaringan lemak, kegagalan pengeluaran lipid dari hati, dan berkurangnya oksidasi asam lemak. Ketidakseimbangan dalam proses metabolisme tersebut di atas dapat meningkatkan akumulasi trigliserida dalam sitoplasma hepatosit (Wei et al., 2008).

Derajad 0

Derajad Perlemakan Hati Non Alkoholik Normal

Derajad 1

Didapatkan 33% sel hepatosit yang terisi lemak

Derajad 2

Didapatkan 33%- 60% sel hepatosit yang terisi lemak

Derajad 3

Didapatkan > 60% sel hepatosit yang terisi lemak Tabel 2.2 Derajad Perlemakan Hati Non Alkoholik Sumber : Sanyal, 2002

2.5 Teh Hijau ( Camelia sinensis ) Taksonomi : Kingdom

: Plantae

18

Divisio

: Magnoliophyta

Class

: Magnoliopsida

Ordo

: Ericales

Familia

: Theaceae

Genus

: Camellia

Species

: Camellia sinensis

Sejak jaman dahulu manusia telah memanfaatkan tanaman untuk menjaga dan menangani berbagai masalah kesehatan, salah satunya adalah teh hijau. Dalam sejumlah penelitian epidemiologi menunjukkan teh hijau memberikan berbagai efek yang menguntungkan antara lain sebagai anti oksidan yang poten, anti anti inflamasi, anti karsinogenik serta mempunyai efek perlindungan terhadap penyakit kardiovaskular, neurologis, dan dapat

mempercepat oksidasi lemak

sehingga bermanfaat sebagai terapi untuk menurunkan berat badan (Kidd,2009). Manfaat kesehatan yang berhubungan dengan konsumsi teh hijau juga ditemukan pada penelitian pada hewan dalam kemoterapi kanker, hiperkolesterolemia, arterosklerosis,

penyakit

Parkinson

dan Alzheimer

serta

kelaian

yang

berhubungan dengan proses penuaan (Zaveri,2005).

2.5.1. Karakteristik dan morfologi Tanaman teh, Camelia sinensis, termasuk jenis tanaman perdu yang tumbuh subur di daerah beriklim tropis dan subtropis. Tanaman ini dapat tumbuh

19

mencapai 914 cm, namun umumnya dipangkas menjadi 60 cm sampai 150 cm untuk pembudidayaan. Daun teh muda berwarna hijau muda dan mempunyai rambut-rambut pendek putih di bagian bawah daun, sedangkan daun tua berwarna hijau tua. Daun teh berbentuk oval dengan tepi bergerigi tajam dan berukuran panjang 4-15 cm, lebar 2-5 cm. Bunga teh berwarna putih kekuningan, berbau harum, berdiameter 2,5 – 4 cm dan umumnya dapat terlihat berkelompok sekitar 7-8 petal atau tunggal (Anonim, 2002; Handoko, 2007).

Gambar 2.1. Daun tanaman teh Sumber : Handoko, 2007

2.5.2 Kandungan senyawa kimia Tidak seperti jenis teh yang lain, teh hijau diperoleh dari daun teh muda dan dewasa tanpa proses fermentasi, hanya melalui tahap pemanasan, pengeringan dan penggilingan. Pemanasan daun teh dapat dilakukan dengan dua metode, dengan udara kering (pemanggangan) yang akan memberikan aroma dan cita rasa yang lebih kuat dibandingkan dengan metode kedua yaitu dengan uap panas (steaming) yang akan membuat warna daun teh dan hasil seduhannya lebih hijau.

20

Perbedaan proses ini menyebabkan perbedaan produk teh baik secara fisik maupun kimia (Handoko, 2007) . Semakin kecil tingkat fermentasi daun teh, maka kandungan polyphenolnya akan semakin tinggi dan kadar kafeinnya akan semakin berkurang (UMMC, 2010). Teh hijau diproses dengan menginaktivasi enzim polyphenol oxidase, sehingga kadar polifenol alami tetap tinggi, sekitar 30-40% . Hampir seluruh polifenol dalam teh hijau merupakan flavonoid, dengan urutan konsentrasi yang makin rendah adalah epigallocatechin-3-gallate (EGCG) dengan konsentrasi sekitar 65% dari seluruh catechin, epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG),epicatechin (EC), dan dengan sedikit konsentrasi dari epigallocatechin3(3’methyl)-gallate (EGCMG), catechin (C), gallocatechin-3-gallate(GTG) (Kidd, 2009).

Camelia sinensis leaves

Harvesting

Drying Shaping Oxidation(short)

Oxidation

Heating

Heating

Oolong tea

Black tea

21

Heating Green tea

Gambar 2.2 Proses Pembuatan Teh Hijau Sumber : Anonim, 2009

Gambar 2.3. Struktur katekin dalam teh hijau

Sumber : Zaveri, 2005

Katekin merupakan senyawa larut air, tidak berwarna yang berpengaruh pada rasa pahit pada teh hijau. Kandungan katekin dalam teh hijau dipengaruhi oleh tipe daun,

22

proses pengolahan daun, lokasi geografi, kondisi pembudidayaan dan cara penyeduhan (Cabrera et al., 2006). Selain katekin, teh hijau juga mengandung theogallin, depsides, asam askorbat, asam galic, asam quinic, asam amino yang lain, theanin, metilxantin, karbohidrat dan mineral (Cabrera et al., 2006; Anonim, 2009).

2.5.3 Mekanisme kerja teh hijau untuk pencegahan dan pengobatan penyakit perlemakan hati non alkoholik Sampai saat ini belum ditemukan terapi obat yang efektif untuk pencegahan ataupun terapi penyembuhan penyakit perlemakan hati non alkoholik, walaupun olahraga dan penurunan berat badan untuk mengurangi obesitas dianggap sebagai salah satu alternatif terbaik mengatasi hal ini. Katekin dilaporkan mempunyai efek yang menguntungkan terhadap komposisi tubuh, pengaturan berat badan dan profil lipid. Beberapa penelitian yang dilakukan pada populasi di Asia menunjukkan penurunan berat badan dan lemak viseral dengan pengkonsumsian teh hijau tinggi katekin. Selain itu diperkirakan katekin lebih berpengaruh pada komposisi tubuh dan distribusi lemak daripada berat badan (Anonim, 2009). Interaksi kandungan katekin dengan kafein dalam teh hijau juga dipercaya meningkatkan stimulasi termogenesis dan mengurangi penyerapan lemak dengan menghambat aktivitas enzim pencernaan tertentu sehingga diduga katekin dapat bermanfaat sebagai pengobatan untuk gangguan kesehatan yang disebabkan pola hidup yang sedentari (Anonim, 2002). Katekin juga berpengaruh terhadap metabolisme lemak dan karbohidrat. Pemberian ekstrak teh hijau menurunkan absorpsi trigliserida dan kolesterol

23

walaupun mekanismenya masih belum jelas. Diperkirakan EGCG mempengaruhi metabolisme lemak dengan menghalangi solubilitas droplet lemak yang teremulsi (micelles)

dalam traktus digestifus yang mengakibatkan penurunan absorbsi

kolesterol (Cabrera et al, 2006). Teh hijau mencegah peningkatan lipid serum dan hati pada studi hewan yang diberi diet tinggi lemak dan kolesterol. Kolesterol serum total dan triasilgliserol lebih rendah dan ekskresi lemak fecal lebih tinggi dibandingkan kontrol. Teh hijau dapat menghambat absorpsi lemak di usus (Yang dan Landau, 2000). Penelitian yang dilakukan Dulloo et al. terhadap sekelompok pria dewasa muda membuktikan dengan pemberian ekstrak teh hijau dapat meningkatkan pengeluaran energi dan oksidasi lipid. Hal ini mengilhami penelitian-penelitian lain tentang pemberian ekstrak teh hijau dan dilaporkan terjadi penurunan kenaikan berat badan dan penurunan lemak tubuh serta berkurangnya kelainan metabolisme yang terjadi akibat obesitas (dalam Bose, 2008). Dari beberapa pengamatan klinis, menunjukkan teh hijau dapat mengurangi glukosa darah puasa dan meningkatkan toleransi glukosa baik pada individu yang sehat maupun penderita diabetik (Bose et al, 2008). Dilaporkan pemberian ekstrak teh hijau, mengandung EGCG, selama 3 minggu secara oral terhadap tikus yang dikondisikan hipertensi, diabeti selama dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan toleransi glukosa dan memperbaiki sensitivitas insulin (Wu et al., 2004; Potenza et al., 2007).

24

Teh hijau mempunyai efek protektif terhadap jejas hati (liver injury). Studi pada tikus Wistar dengan jejas hati terinduksi stres oksidatif melaporkan bahwa teh hijau menurunkan kadar alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) plasma. ALT dan AST adalah enzim hati yang meningkat bila terjadi jejas hati. Hal ini dikarenakan (Nakamoto et al, 2009). Walaupun teh hijau bermanfaat terhadap kesehatan, namun perlu diingat bahwa teh hijau juga mengandung berbagai zat aktif yang dapat memicu efek samping dan mempunyai efek sinergis. Dengan demikian konsumsi teh hijau harus dilakukan dengan hati-hati. Ilmuwan menyimpulkan bahwa teh hijau lebih baik dikonsumsi di sela waktu makan untuk menghindari penurunan absorbsi zat besi. Konsumsi teh hijau yang mengandung kafein secara berlebihan akan menjadi pro-oksidan yang akan merusak DNA (Chacko et al., 2010). Terdapat penelitian yang menyebutkan ekstrak EGCG dari teh hijau bersifat sitotoksik. Yun et al. menyebutkan bahwa EGCG justru bersifat sebagai pro-oksidan dan bukan sebagai antioksidan pada sel beta pankreas in vivo. Mengingat hal tersebut konsumsi teh hijau secara berlebihan dapat berbahaya bagi kesehatan (Chacko et al., 2010).

25

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Terdapat berbagai faktor seperti genetik, etnis, jenis kelamin, pola hidup sedentari dan lingkungan yang saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap terjadinya perlemakan hati non alkoholik, Meningkatnya masukan makanan yang mengandung kadar tinggi karbohidrat dan

lemak jenuh serta berkurangnya

aktivitas fisik akibat pola hidup yang sedentari dapat menyebabkan tubuh mengalami kelebihan energi yang akan menyebabkan terjadi kelebihan berat badan bahkan dapat berlanjut menjadi kelebihan lemak tubuh atau obesitas. Pemakaian minyak jelantah pada diet meningkatkan lipid di usus. Lipid diabsorpsi usus untuk dibawa ke hati melalui vena porta. Lipid masuk ke sel hepatosit, melalui 2 cara, yaitu langsung melewati membran sel atau melalui transporter protein. Lipid yang masuk intrasel hepatosit membentuk vakuola, yang tampak mikrovesikular dan atau makrovesikuler. Vakuola ini yang nantinya membentuk steatosis hepatik. Dari berbagai penelitian, baik pada hewan coba ataupun manusia dilaporkan bahwa ekstrak teh hijau dapat membantu menurunkan berat badan,

26

menurunkan massa jaringan adiposa, membantu rumatan setelah penurunan berat badan, sehingga suplementasi dengan herbal ini dapat memiliki pengaruh untuk membantu menurunkan berat badan dan penumpukan lemak abdominal. Teh hijau mengandung kadar polifenol yang tinggi, dimana hal ini dihubungkan dengan pengaruh yang baik bagi kesehatan. Kandungan polifenol terutama catechin di dalam teh hijau adalah zat aktif yang dipercaya meningkatkan pengeluaran energi lewat aktivasi persarafan simpatis, yakni meningkatkan termogenesis dari brown adipose tissue, meningkatkan oksidasi lemak, menurunkan kandungan lemak tubuh dan menghambat absorpsi lipid di usus sehingga kadar lipid berkurang. 28 3.2 Konsep Penelitian

Faktor internal Genetik Etnis Jenis kelamin 29

Ekstrak teh hijau

Faktor eksternal Sedentary life style Diet Kurang aktivitas fisik Lingkungan

Tikus Wistar Jantan dengan minyak jelantah

30

Jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak

27

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian 1. Pemberian ekstrak teh hijau dapat menurunkan jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah (deep frying oil). 2. Jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak lebih sedikit pada pemberian ekstrak teh hijau 28,8 mg dibandingkan 14,4 mg pada tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah (deep frying oil).

28

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Pretest-Posttest Control Group Design (Pocock, 2008). Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut: O1

P

S

R

O2 P1 P0 P2 O4

O3 O5

Bagan 4.1 Skema Rancangan Penelitian Keterangan : P = Populasi S = Sampel R = Random

O6

31

29

O1 = Data sebelum perlakuan pada kelompok kontrol ( pretest). O3 = Data sebelum perlakuan pada kelompok uji I (pretest). O5 = Data sebelum perlakuan pada kelompok uji II (pretest). P0 = Perlakuan pada kelompok kontrol yang diberikan minyak jelantah serta plasebo yang berupa aquadest. P1= Perlakuan pada kelompok perlakuan I yang diberi minyak jelantah dan ekstrak teh hijau dengan dosis 14,4 mg. P2= Perlakuan pada kelompok perlakuan II yang diberi minyak jelantah dan ekstrak teh hijau dengan dosis 28,8 mg. O2 = Data sesudah perlakuan pada kelompok kontrol (posttest). O4 = Data sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan I (posttest). O6 = Data sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan II (posttest). Pemberian dosis lebih besar dari dosis yang seharusnya dimaksudkan untuk melihat apakah dengan dosis tersebut akan didapat penurunan terjadinya perlemakan hati non alkohol yang lebih bermakna pada tikus wistar jantan yang diberi minyak jelantah. Perlakuan pada ketiga kelompok harus sama, kecuali terhadap perlakuan dan pemberian obat yang diteliti untuk menghindari variasi biologis. Percobaan dilakukan selama 47 hari. Dosis ekstrak teh hijau yang diberikan disesuaikan dengan dosis yang dikonsumsi oleh manusia. Sediaan yang digunakan adalah ekstrak teh hijau yang dibuat di Pusat Penelitian Teh dan Kina ,Gambung-Bandung Selatan, Jawa Barat, merupakan

unit kerja yang berada di bawah Lembaga Riset Perkebunan

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian

30

Indonesia. Penetapan dosis didapatkan dari hasil konversi dosis satu hari pemberian terhadap manusia dengan menggunakan tabel konversi Laurence dan Bacharach dikalikan faktor konversi manusia ke tikus yaitu 0,018. Berdasarkan pada penelitian sebelumnya dosis EGCG yang digunakan adalah 800 mg (dosis yang disarankan untuk dikonsumsi per hari-nya) dan 1600 mg (dosis sebagai dosis tunggal per hari yang dinyatakan aman untuk dikonsumsi dan dapat ditoleransi dengan baik). Maka dosis yang digunakan untuk tikus adalah sebagai berikut: 0,018 x 800 mg = 14,4 mg 0,018 x 1600 mg = 28,8 mg 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biomedik dan Lab Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dalam waktu 47 hari dengan perincian sebagai berikut : 31 32 33 34

Tujuh hari untuk adaptasi tikus Empat belas hari untuk pemberian minyak jelantah. Empat belas hari untuk pemberian minyak jelantah + ekstrak teh hijau. Dua belas hari untuk pembuatan dan pemeriksaan preparat hepar tikus, analisis data dan penyusunan laporan.

35 36 4.3 Subjek dan Sampel

4.3.1 Kriteria Subjek 37

Sampel dalam penelitian ini adalah tikus yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

31

Kriteria Inklusi : 38 Tikus jantan yang mengalami perlemakan hati. 39

Galur Wistar ( Rattus norvegicus ).

40

Umur 2-3 bulan

41

Berat tikus 180-200 gram .

42 Kriteria Drop out :

a. Tikus tampak sakit ( gerakan tidak aktif, tidak mau makan ).

4.3.2 Penentuan Besar dan Cara Pengambilan Sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Pocock (2008): 2 σ2 n = ----------------- X ƒ (α,β ) (μ2 - μ1)2 Keterangan : n = Besar sampel μ2 = Rerata hasil pada kelompok perlakuan μ1 = Rerata hasil pada kelompok kontrol σ = Simpangan baku kontrol ƒ (α,β) = Besarnya dilihat pada Tabel Pocock Berdasarkan data penelitian yang sudah ada diperoleh data (Fiorini et al, 2005): Untuk pencegahan perlemakan hati sederhana (hepatic steatosis): Rerata kelompok kontrol = 44,3 dan simpangan baku kontrol = 8,1

32

Rerata kelompok perlakuan = 22,7

n = 2x (8,1) 2 x 14,9 (22,7 – 44,3)2 = 4,19 Dari rumus (Pocock, 2008), jumlah sampel (n) minimal yang diperoleh = 5 ekor Penelitian ini terdiri dari 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok dosis rendah dan kelompok dosis tinggi, maka masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yang diambil secara random, sehingga tikus yang diperlukan minimal berjumlah 15 ekor tikus. Tapi pada penelitian ini, terdapat 2 kelompok, yaitu : kelompok pre-test yang terdiri dari 5 ekor tikus dan kelompok post-test yang terdiri dari 15 ekor tikus, yang kemudian dibagi menjadi 3 kelompok , yaitu : kelompok kontrol, kelompok dosis rendah dan kelompok dosis tinggi, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yang diambil secara random, diberi label, sehingga total tikus yang digunakan berjumlah 20 ekor tikus. 43 4.3.3

Teknik penentuan sampel

Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut : a) Dari populasi tikus, diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria

inklusi : jenis Wistar (Rattus norvegicus), jantan, mengalami perlemakan hati, umur 2-3 bulan, berat 180-200 gram. b) Dari sejumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random

untuk mendapatkan jumlah sampel yang diinginkan yaitu 20 ekor.

33

c) Dari sampel ini kemudian diambil 5 ekor yang akan menjadi kelompok

pre test dan sisanya 15 ekor akan menjadi kelompok post test. d) Dari sampel ini kemudian dibagi 3 kelompok secara random yaitu

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, masing-masing 5 ekor.

4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi Variabel a. Variabel bebas b. Variabel tergantung c. Variabel kendali 4.4.2 Klasifikasi Variabel a. Variabel bebas : Ekstrak teh hijau. b. Variabel tergantung : jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak. c. Variabel kendali : makanan, minuman, jenis kelamin tikus, usia dan berat badan tikus, temperatur. 4.4.3 Definisi Operasional Variabel 1. Ekstrak teh hijau adalah ekstrak yang terbuat dari teh hijau yang mengandung Epigallocatechin gallate (EGCG) ~30%, dalam sediaan serbuk yang dikemas dalam bentuk puyer. Ekstrak dibuat di Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Bandung Selatan. 2. Sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak adalah sel hepatosit dengan vakuola yang mendesak nukleus ke perifer, pada sediaan histologi hati dengan

34

pewarnaan hematoxyllin eosin, yang tampak pada lapang pandang mikroskop pembesaran 400x dengan lensa obyektif. 3. Jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak adalah jumlah hepatosit yang positif mengalami degenerasi lemak. Pada setiap preparat diamati pada 5 lapangan pandang yaitu pada keempat sudut dan bagian tengah preparat dengan perbesaran lensa obyekif 400x, difoto, kemudian dihitung menggunakan perangkat lunak Image Tool. Dihitung sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak dalam 1 lapangan pandang kemudian dijumlahkan. 4. Plasebo yang digunakan pada kelompok kontrol adalah aquadest. 5. Tikus wistar jantan adalah hewan percobaan berupa tikus jenis Rattus norvegicus jenis kelamin jantan, yang sehat, berusia 2 - 3 bulan dengan berat 180 - 200 gram. 6.

Minyak jelantah adalah

minyak goreng kelapa sawit yang dipanaskan

berulang sebanyak 6 kali pada suhu 1500C diukur dengan termometer masak selama 8 menit untuk menggoreng tahu.

4.5 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan adalah : 44 45 46 47

Kandang tikus putih beserta kelengkapan pemberian makan Peralatan bedah Botol-botol falcon untuk menempatkan organ hepar Seperangkat alat untuk membuat preparat histologi

35

48 49 50

Mikroskop elektrik merk Olympus CX21 Sonde Mikrotom

Bahan penelitian yang digunakan adalah : 1. Ekstrak teh hijau yang mengandung EGCG ~30% yang dibuat di Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Bandung Selatan dengan 2 dosis : 14,4 mg dan 28,8 mg. 2. Aquadest 3. Minyak jelantah dibuat dengan memanaskan minyak goreng kelapa sawit untuk menggoreng tahu sebanyak 6 kali pada suhu 1500C selama 8 menit. Dosis yang dapat menyebabkan kerusakan sel hati pada mencit adalah 0,3 ml/100 gBB atau 0,06 ml/20 g BB (Hidayat,2005). Faktor konversi mencit (20 gr) ke tikus (200 gr) adalah 7,0 (Lauren dan Bacharach, 1964). Maka, dosis minyak goreng kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 0,06 x 7,0 = 0,42 ml/ 200 gr BB tikus wistar. 4. Bahan-bahan untuk metode baku histologi pemeriksaan jaringan : a. Larutan buffer formalin 10 % b. Parafin c. Albumin d. Hematoksilin eosin e. Larutan xylol f. Alkohol bertingkat 30 %, 40 %, 50 %, 70 %, 80 %, 90 %, 96% g. Aquadest 4.6 Prosedur Penelitian

36

4.6.1 Pengumpulan data 1.

Tikus Wistar jantan yang memenuhi kriteria inklusi diambil secara random sebanyak 20 ekor. Tikus dipelihara di laboratorium dengan kondisi lingkungan terkontrol ( 12 jam siklus terang/gelap, suhu dan kelembaban diatur, alas kandang dari serbuk gergaji dan diberi sekat). Adaptasi tikus selama 7 hari dengan diet standar ad libitum.

2.

Tikus dipelihara dalam kandang individual yang berukuran 30 x 20 x 20 cm.

3.

Tikus dibagi menjadi tiga kelompok secara random.

4.

Perlakuan : a. P0 : Perlakuan pada kelompok kontrol, diberi minyak jelantah selama 14 hari, kemudian diberi plasebo berupa aquadest selama 14 hari. b. P2 : Perlakuan pada kelompok perlakuan I yang diberi minyak jelantah selama 14 hari, kemudian diberi minyak jelantah dan ekstrak teh hijau dosis 14,4 mg melalui sonde lambung selama 14 hari. c. P3 : Perlakuan pada kelompok perlakuan II yang minyak jelantah selama 14 hari, kemudian diberi minyak jelantah dan ekstrak teh hijau dengan dosis 28,8 mg melalui sonde lambung selama 14 hari.

4.6.2 Pembedahan Pada awal penelitian (hari ke-15), diambil 5 ekor tikus secara acak sebagai kelompok pre test dan dilakukan pembedahan, setelah sebelumnya tikus diinhalasi dengan ether.

37

Pembedahan juga dilakukan setelah pemberian perlakuan selama 28 hari. masing-masing kelompok diambil 5 ekor sebagai kelompok post test . Tikus diinhalasi dengan ether, dibedah untuk diambil organ hepar bagian dextra dan dibuat preparat menggunakan metode baku histologi dengan pengecatan Haematoxilin Eosin. 4.6.3 Pembuatan Sediaan Pembuatan sediaan hepar dilakukan dengan metode paraffin dengan tahapan sebagai berikut ini : a). Fiksasi Memindahkan organ hepar tersebut ke dalam fiksatif yang berupa formalin 10 % dan dilanjutkan dengan larutan Bouin selama 3 jam. b). Dehidrasi Memasukkan organ hepar tikus ke dalam alkohol 30%, 40%,50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing selama 20 menit.

c). Clearing (Pembersihan) Memasukkan hepar ke dalam larutan alkohol-xilol bertingkat selama 40 menit, lalu memasukkannya ke dalam xilol murni I, II, III masing-masing selama 20 menit. d). Embedding (Penempelan)

38

Memasukkan hepar ke dalam xilol-parafin cair bertingkat selama 20 menit, kemudian memasukkan parafin cair (57oC) I, II, III masing-masing selama 20 menit. Menyiapkan cetakan atau bisa menggunakan cawan petri yang diolesi gliserin. Menuangkan parafin cair ke dalam cetakan sampai penuh, kemudian membenamkan potongan organ ke dalam parafin tersebut. Parafin yang berisi organ tersebut ditunggu padat baru dikeluarkan dari cetakan dan blok parafin tersebut diiris-iris menjadi blok-blok kecil yang tiap blok hanya berisi satu irisan organ hepar. Blok-blok parafin tersebut ditempelkan diatas Holder. e). Sectioning (Pemotongan) Holder dipasang di mikrotom, kemudian mengatur ketebalan irisan pada mikrotom. Lalu mulai mengiris dengan cara memutar pengait mirotom.

f). Affixing (Penyematan) Pita parafin hasil irisan direntangkan diatas kaca obyek. Kemudian diletakkan diatas hot plate bersuhu 450C sampai parafin meleleh dan sisa air dihisap dengan kertas tissue. g). Staining (Pewarnaan) Memasukkan kaca benda yang berisi irisan organ ke dalam xilol murni I, II masing-masing selama 5 menit, lalu ke alkohol – xilol bertingkat selama 5 menit, alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50% masing-masing selama 5 menit lalu ke aquades I, II masing-masing selama 5 menit, kemudian ke

39

pewarna hematoxylin selama 7 detik. Setelah itu kembali dimasukkan ke dalam aquades dan alkohol 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing beberapa celupan lalu dimasukkan ke pewarna kedua yaitu eosin selama 5 menit. Kemudian dimasukkan ke alkohol 96% I, II masing-masing sebanyak beberapa celupan setelah itu dimasukkan ke alkohol- xilol (1:1), xilol murni I, II, III masing-masing beberapa celupan, setelah itu preparat dikeringanginkan. h). Mounting (Penutupan) Penutupan preparat dengan menggunakan kaca penutup. i). Labelling (Pemberian Label) Memberi identitas preparat 4.6.4 Pengamatan Pengamatan preparat jaringan hepar dilakukan di dengan perbesaran lensa obyektif 100x untuk mengamati seluruh lapangan pandang, kemudian ditentukan daerah yang akan diamati yaitu daerah sentrolobuler di sekitar vena sentralis lobulus hati. Pemilihan lobulus hepar dilakukan secara acak dan masing-masing preparat diambil sebanyak 2 lobulus. Setiap preparat diamati dari lima lapangan pandang. Pemeriksaan histologis dilakukan dengan pembesaran lensa obyektif 400x, dihitung sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak dalam 1 lapangan pandang kemudian dijumlahkan. Perhitungan dilakukan menggunakan perangkat lunak Image Tool.

40

4.7 Alur Penelitian Tikus 20 ekor

Adaptasi selama 7 hari

Pemberian minyak jelantah selama 14 hari Jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak ( Sampel ) Pretest 5 ekor

Randomisasi

41

Kelompok 1 ( 5 ekor )

Kelompok 2 ( 5 ekor )

Kelompok 3 ( 5 ekor )

Minyak jelantah + Plasebo (Aquadest)

Minyak jelantah + Ekstrak Teh Hijau Dosis 14,4 mg

Minyak jelantah + Ekstrak Teh Hijau Dosis 28,8 mg

Pada hari ke 28, tikus dikorbankan Pembuatan dan pemeriksaan histologi hati

Analisis Data

Laporan Bagan 4.2 Alur Penelitian 4.8 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Posttest

42

1.

Analisis Desriptif Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki. Analisis deskriptif dilakukan dengan program SPSS. Pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung dari normal tidaknya distribusi data.

2.

Analisis normalitas data Uji normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal ( p > 0,05).

51 52

Uji Homogenitas Uji homogenitas dengan Uji Levene. Hasilnya menunjukkan data homogen (p > 0,05)

53

Uji antar ketiga kelompok dilakukan dengan Uji Anova data normal dan homogen.

54

Uji efek perlakuan dilakukan dengan Least Significant Different Test (LSD). 55

BAB V HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 20 ekor tikus jantan jenis Wistar (Rattus norvegicus)

sebagai sampel, yang terbagi menjadi 3 (tiga)

kelompok masing-masing berjumlah 5 ekor tikus (5 diantaranya digunakan sebagai pre), yaitu kelompok kontrol (P0) yang diberikan minyak jelantah dan

46

43

plasebo, kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberikan minyak jelantah dan ekstrak teh hijau dengan dosis 14,4 mg, dan kelompok perlakuan 2 (P2) yang diberikan minyak jelantah dan ekstrak teh hijau dengan dosis 28,8 mg. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan. 5.1 Uji Normalitas Data Jumlah Sel Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak Sebelum dan Sesudah Perlakuan Data jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Lampiran 1.

5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok Data jumlah hepatosit sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada lampiran 2.

5.3 Jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak 5.3.1 Uji komparabilitas Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak antar kelompok sebelum diberikan perlakuan berupa minyak jelantah dan ekstrak teh hijau.

Hasil analisis

kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1

44

Rerata Sel Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan

N

Rerata Sel Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak

SB

Kontrol

5

52

2,550

Ekstrak teh hijau 14,4

5

52

2,550

Ekstrak teh hijau 28,8 mg

5

52

2,550

Kelompok Subjek

F

P

4,078

0,075

Tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa rerata kelompok kontrol adalah 52±2,550, rerata kelompok ekstrak teh hijau

adalah 52±2,550, dan rerata

kelompok ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 52±2,550. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 4,078 dan nilai p = 0,075. Hal ini berarti bahwa semua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). 5.3.2 Analisis efek perlakuan antar kelompok Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa minyak jelantah dan ekstrak teh hijau. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2

45

Rerata Jumlah Sel Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak antar Kelompok Sesudah diberikan Perlakuan

Rerata Sel Hepatosit Kelompok Subjek

N

yang Mengalami

SB

F

P

39,455

0,000

Degenerasi Lemak Kontrol

5

73

2,915

Ekstrak teh hijau 14,4 mg

5

64

2,121

Ekstrak teh hijau 28,8 mg

5

56

3,808

Tabel 5.2 di atas, menunjukkan bahwa rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak kelompok kontrol adalah 73±2,915, rerata kelompok ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 64±2,121, dan kelompok ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 56±3,808.

Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova

menunjukkan bahwa nilai F = 39,455 dan nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan, rerata berat badannya berbeda secara bermakna (p < 0,05). Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD). Hasil uji disajikan di bawah ini Tabel 5.3 Analisis Komparasi Jumlah Sel Hepatosit yang Mengalami Degenerasi Lemak Sesudah Perlakuan antar Kelompok

46

Kelompok Subyek Kontrol dan ektrak teh

Beda Rerata 9

P 0,001

Interpretasi Berbeda

17

0,000

Berbeda

8

0,001

Berbeda

hijau 14,4 mg Kontrol dan ekstrak teh hijau 28,8 mg Ekstrak teh hijau 14,4 mg dan 28,8 mg

Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa: 1. Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak kelompok

kontrol berbeda bermakna dengan kelompok ekstrak teh hijau 14,4 mg (rerata kelompok Ekstrak teh hijau 14,4 mg lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol). 2. Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak kelompok

kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak teh hijau 28,8 mg (rerata kelompok Ekstrak teh hijau 28,8 mg lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol). 3. Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak kelompok

ekstrak teh hijau 14,4 mg berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak teh hijau 28,8 mg (rerata kelompok Ekstrak teh hijau 28,8 mg lebih rendah daripada rerata kelompok Ekstrak teh hijau 14,4 mg).

Mean

Gambar 5.1 Rerata pretest-posttest kelompok kontrol dan perlakuan

47

Gambar 5.2 Rerata posttest kelompok kontrol dan perlakuan mean

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

5 5 . 1 Subyek Penelitian 56 Dalam penelitian ini digunakan tikus sebagai hewan coba yang diberikan minyak jelantah dan ekstrak teh hijau, yaitu untuk menguji

52

48

penurunan jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak. Tikus yang digunakan sebagai hewan coba adalah tikus dewasa dan sehat, jenis wistar (Rattus norvegicus), jantan, umur 2-3 bulan, dan berat 180-200 gram. Tikus yang dipergunakan dalam penelitian ini berjumlah 20 ekor, dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (minyak jelantah +aquadest), kelompok P1 (minyak jelantah + ekstrak teh hijau 14,4 mg), dan kelompok P2 (minyak jelantah + ekstrak teh hijau 14,4 mg). Penelitian dilakukan selama 28 hari.

6.2. Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa data sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada kelompok kontrol, kelompok P1, dan P2, berdistribusi normal (p>0,05), baik kelompok sebelum perlakuan (pre) maupun sesudah perlakuan (post). Disamping itu juga, varians antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan adalah homogen (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa syarat penggunaan uji parametrik untuk analisis data sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak sudah terpenuhi. 5 6 . 1 Pengaruh minyak jelantah dan ekstrak teh hijau terhadap sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak

Untuk uji komparabilitas dan uji efek perlakuan digunakan uji parametrik yaitu uji One Way ANOVA untuk mengetahui perbedaan rerata antar kelompok sebelum perlakuan maupun

rerata antar

kelompok

sesudah perlakuan.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak kelompok kontrol (aquadest) adalah 52±2,550, rerata kelompok minyak jelantah + ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 52±2,550, dan rerata kelompok minyak jelantah + ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 52±2,550. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 4,078 dan nilai p = 0,075. Hal ini berarti bahwa semua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05).

49

Sedangkan hasil analisis sesudah perlakuan didapatkan bahwa rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak kelompok kontrol adalah 73±2,915, rerata kelompok minyak jelantah + ekstrak teh hijau 14,4 mg adalah 64±2,121, dan kelompok minyak jelantah + ekstrak teh hijau 28,8 mg adalah 56±3,808. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 39,455 dan nilai p = 0,000 . Hal ini berarti bahwa rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p