Undang yang Berkelanjutan,” menyimpulkan bahwa proses pembentukan
undang- undang yang .... secara yuridis apabila kaidah hukum itu terbentuk
sesuai dengan tata cara atau prosedur .... sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pengertian otonomi pada hakekatnya lebih menekankan pada kemampuan sumber daya yang dimiliki daerah. Daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan desentralisasi, dimana kepada daerah diserahkan urusan, tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Melalui desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk manajemen pembangunan menjadi lebih akurat dan tepat. Urusan pemerintahan yang diserahkan atau didistribusikan kepada daerah tersebut disertai pula dengan penyerahan atau transfer keuangan yang terwujud dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah berpotensi memicu perpecahan bangsa. Persoalannya adalah adanya daerah yang kurang puas dan merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuangan oleh pemerintah pusat. Munculnya daerah separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia sedikit banyak disebabkan oleh masalah keuangan. Daerah-daerah yang merasa
1
2
memiliki sumber keuangan yang melimpah menginginkan bagian yang lebih besar sesuai dengan proporsi yang disumbangkan daerahnya. Masalah perimbangan keuangan ini merupakan salah satu tuntutan reformasi, dan sebagai jawaban atas tuntutan tersebut pemerintah telah menetapkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyatakan; “Pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Fakta, data dan pengalaman menunjukkan hampir disemua daerah persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif kecil. 1 Umumnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) suatu daerah didominasi oleh suatu transfer pemerintah pusat dan transfer yang lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah sangat tergantung dari pemerintah pusat sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki menjadi sangat terbatas. Rendahnya PAD suatu daerah bukanlah disebabkan karena secara struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah
1
Ahmad Yani, 2008, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 3
3
pusat. Selama ini sumber-sumber keuangan yang potensial dikuasai oleh pemerintah pusat. Mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak dapat dilepaskan dari konsep otonomi daerah dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang
tersebut diatas direvisi melalui Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Mengenai otonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani; auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti undang-undang, 2 Pasal 18A ayat (2) UndangUndang Dasar NRI 1945 mengamanatkan agar, “Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, pasal ini merupakan landasan filisofis dan landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah mencakup pembagian keuangan, antara pemerintah dan pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan, dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan 2
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, PT. Alumni, Bandung, hal. 21
4
kebutuhan daerah. Secara teoritis dalam kontek negara kesatuan dikenal ada dua cara dalam menghubungkan pemerintah pusat dan daerah, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi mencakup segala urusan, tugas, fungsi, dan wewenang penyelenggaraan pemerintah berada dalam genggaman pemerintah pusat yang pelaksanaanya dilakukan secara dekonsentrasi. Lawannya adalah desentralisasi yakni semua urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Kewenangan dalam desentralisasi ini merupakan kewenangan atribusi (atributie), yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Di negara kita pola hubungan ini secara konstitusional diatur dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UndangUndang Dasar NRI 1945 hasil revisi. Salah satu bentuk hubungan keuangan pusat dan daerah adalah Dana Alokasi Khusus
(DAK),
dimana
dana
yang
bersumber
dari
pendapatan
APBN,
dialokasikan/ditransfer kepada daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, yaitu pekerjaanpekerjaan yang berskala nasional, sehingga dapat membantu mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan
5
pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah atas dasar prioritas nasioanal. 3 Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang. Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK. Pengertian DAK diatur dalam Ketentuan Umum Bab I Pasal 1 angka 23 Undang-Undang nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah, yang menyebutkan bahwa: “Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasioanal.” Daerah tertentu yang dapat memperoleh alokasi DAK ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteris teknis. 1) Kriteria umum; Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau dibawah rata-rata nasional. Kemampuan
3
Siswanto Sunarno, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hal. 79
6
fiskal daerah didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan umum daerah ( pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana bagi hasil) dengan belanja pegawai negeri sipil daerah pada APBD.
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai PNSD
* Penerimaan Umum APBD = PAD + DAU + (DBH - DBHDR) Belanja Pegawai Daerah = Belanja PNSD Keterangan: PAD
= Pendapatan Asli Daerah
APBD
= Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
DAU
= Dana Alokasi Umum
DBHDR
= Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi
PNSD
= Pegawai Negeri Sipil Daerah
* Sumber : Sie Analisis Keuangan Daerah – Ditama Binbangkum 2) Kriteria Khusus; Pengalokasian DAK memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki karakteristik dan/atau berada di wilayah: a. Provinsi Papua yang merupakan daerah otonomi khusus;
7
b. Daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan daerah pariwisata; c. Daerah rawan banjir/longsor, daerah penampung transmigrasi, daerah yang memiliki pulau-pulau kecil terdepan, daerah rawan pangan dan/atau kekeringan, daerah pasca konflik, daerah penerima pengungsi. 3) Kriteria teknis; kriteria teknis kegiatan DAK untuk bidang pendidikan dirumuskan oleh Menteri Pendidikan Nasional, bidang kesehatan dirumuskan oleh Menteri Kesehatan, bidang infrastruktur jalan, irigasi, dan air bersih dan sanitasi dirumuskan oleh Menteri Pekerjaan Umum, bidang kelautan dan perikanan dirumuskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, bidang pertanian dirumuskan oleh Menteri Pertanian, bidang prasarana pemerintah daerah dirumuskan oleh Menteri Dalam Negeri, dan bidang lingkungan hidup dirumuskan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Ketentuan umum Bab I angka 23 Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, menyatakan; ”Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,” daerah tertentu yang dimaksud pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2005 Pasal 50 dan Pasal 51, Pasal 50 ayat (1) menyebutkan
8
bahwa, ”Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN ayat (2) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam APBN sesuai dengan program yang menjadi prioritas nasional.” Pasal 51 ayat (1) menyatakan, ”DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) yang menjadi urusan daerah. (2) Daerah Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.” 1) Kriteria umum; pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau dibawah rata-rata nasional. 2) Kriteria khusus; pengalokasian DAK memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki karakteristik dan/ dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus. 3) Kriteria teknis; kriteria teknis kegiatan DAK dirumuskan oleh menteri terkait. Jadi pengertiannya adalah tidak semua daerah memiliki hak untuk mengajukan proposal DAK, hanya daerah yang telah memenuhi kriteria yang dibuat oleh pemerintah pusat yang boleh mengajukan usulan kegiatan khusus. Dari sudut pandang kajian normatif bahwa pasal-pasal ini sangat diskriminatif serta membuat batasan-batasan yang menyebabkan adanya daerah-daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK. Sedangkan Pada Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 menyatakan; ”Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
9
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.” Dalam hubungan keuangan pusat dan daerah , yang dimaksud adil pada Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 adalah; semua daerah berhak mendapatkan pembagian keuangan, dalam hal ini adalah mendapatkan bagian DAK. Pengertian selaras adalah semua daerah berhak mendapatkan pembagian keuangan, dan pembagian keuangan tidak hanya diprioritaskan untuk kepentingan pemerintah pusat. Dari sudut pandang kajian normatif berarti telah terjadi konflik norma antara pasal 1 angka 23 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 dengan Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945. Bertolak dari konflik norma inilah yang melatarbelakangi perlunya penelitian ini.
1.2 Orisinalitas Penelitian Judul penelitian ini adalah Pengaturan Dana Alokasi Khusus Dalam Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pelaksanaan otonomi daerah dengan konsep desentralisasi. Melalui desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk manajemen pembangunan lebih tepat dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaturan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam hubungan keuangan pusat dan daerah ditinjau dari prinsip perimbangan keungan, serta mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai produk hukum
10
yang mengatur tentang DAK dalam mewujudkan keadilan dalam pembagian keuangan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari hasil penelitian kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang diperoleh melalui teknik penelaahan kepustakaan yang didukung dengan teknik analisis. Analisis yang dilakukan dengan mencocokkan teori dengan hukum positif, selanjutnya diberi argumentasi yaitu kesesuaian antara teori dengan norma hukum positif. Argumentasi hukum dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan atas kedua permasalahan yang dikaji. Dalam pengaturan DAK, tidak semua daerah memiliki hak untuk mengajukan proposal DAK, hanya daerah yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat Pengaturan ini
sangat
yang boleh mengajukan usulan kegiatan khusus.
diskriminatif, serta
membuat
batasan-batasan yang
menyebabkan adanya daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK. Penelitian tentang Dana Alokasi Khusus dapat dijumpai pada penelitian; Nama
: Parannuan, Yohanis
Judul Penelitian
:Evaluasi Kebijakan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dalam Pengembangan Puskesmas Pada Daerah Terpencil, Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan di Kabupaten Kepulauan Aru. Universitas
: Gadjah Mada Yogyakarta
11
Latar Belakang : Desentralisasi kesehatan merupakan strategi pemerintah pusat dalam solusi mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan publik antara pusat dan daerah dengan mengucurkan dana APBN melalui dana perimbangan DAK bidang kesehatan yang mengacu pada juknis Depkes dengan memprioritaskan sarana prasarana kesehatan Kapubaten Kepulauan Aru dimekarkan sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2003. Hasil : Kebijakan penggunaan DAK bidang kesehatan di kabupaten Kepulauan Aru sudah efesien, merata, responsivitas dan tepat. Masalah yang dihadapi adalah biaya operasional belum mencukupi. Kesimpulan: Evaluasi kebijakan penggunaan DAK di Kabupaten Kepulauan Aru sudah merata, tepat sasarannya dan salah satu solusi mengurangi permasalahan kesehatan. Nama
: Muharni
Judul Penelitian
:Pengaruh Belanja Modal, Dana Akokasi Khusus, dan Investasi
Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi Studi pada Kabupaten atau Kota di Provinsi Riau. Universitas
: Gadjah Mada Yogyakarta
Tujuan Penelitian
: Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh belanja
modal, Dana Alokasi Khusus dan investasi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Riau di era otonomi daerah, dan menganalisis elastisitas pendapatan asli daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah.
12
Hasil penelitian
: Hasil penelitian menunjukkan variabel belanja modal
mempunyai pengaruh positif namun tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi, variabel investasi swasta dan Dana Alokasi Khusus hubungannya positif dan signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kabupaten kota di Provinsi Riau. Koefesien elastisitas rata-rata
sebesar 6.38 persen menunjukkan bahwa
penerimaan
pertumbuhan
PAD
elastis
terhadap
ekonomi
daerah,
namun
kontribusinya masih sangat kecil yakni 5.78 persen terhadap total pengeluaran daerah. Sedangkan pada penelitian kami menekankan pada aspek hukum, yaitu penelitian yang sifatnya normatif; mengkaji tentang pengaturan DAK dan mengkaji undang-undang yang berkaitan dengan DAK. Kesimpulannya adalah pengaturan DAK harus sesuai dengan prinsip-prinsip perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta produk hukum tentang DAK harus memenuhi konsep keadilan dan keselarasan. Saran dalam penelitian ini adalah merevisi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Anggaran alokasi DAK harus lebih besar, karena wilayah terbesar ada di daerah, serta daerah memerlukan percepatan pembangunan. Dengan demikian penelitian ini memiliki kekhususan yang menunjukkan orisinalitas penelitian.
13
1.3 Rumusan Masalah Dari pembahasan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut; 1. Apakah pengaturan Dana Alokasi Khusus telah sesuai dengan prinsip-prinsip perimbangan keuangan antara pusat dan daerah? 2. Apakah produk hukum tentang Dana Alokasi Khusus yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah telah dilandasi oleh keadilan dan keselarasan, demi tercapainya kesejahteraan masyarakat?
1.4 Tujuan Penelitiann Tujuan Penelitian ini terdiri dari tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, sebagai berikut;
1.4.1 Tujuan Umum Seacara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang Hukum Keuangan Negara melalui pemahaman tentang pengaturan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam hubungan keuangan pusat dan daerah.
1.4.2 Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum diatas dan dengan menekankan kepada aspek normatifnya, tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas yaitu:
14
a. Untuk memahami pengaturan Dana Alokasi khusus (DAK) dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. b. Untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai produk hukum yang mengatur tentang DAK dalam mewujudkan keadilan dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan pusat dan kepentingan daerah.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberi manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis, sebagai berikut; 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang ilmu hukum, khususnya pada bidang Hukum Keuangan Negara berkaitan dengan pengaturan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam hubungan keuangan pusat dan daerah.
1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan peneliti sendiri. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut; a.Bagi pemerintah pusat, penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan dalam penyempurnaan pengaturan Dana Alokasi khusus (DAK) kaitannya dengan hubungan keuangan pusat dan daerah.
15
b.Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mendapatkan pembagian sumber daya yang adil. c.Bagi masyarakat, hasil penelitian ini untuk dapat ditindak lanjuti oleh pemerintah pusat yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. d.Bagi peneliti, untuk kepentingan penyelesaian studi, dan menambah pengetahuan serta wawasan di bidang keuangan negara khususnya pengaturan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam hubungan keuangan pusat dan daerah.
1.6 Landasan Teoritis Dalam
penelitian
ini
untuk
membahas
permasalahannya,
penulis
menggunakan beberapa teori, asas dan pendapat-pendapat ahli hukum sebagai alat analisisnya. Adapun landasan teoritisnya yang dimaksud antara lain adalah Teori Negara Kesejahteraan, Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Teori Demokrasi, Teori Desentralisasi, seperti berikut ini.
1.6.1 Teori Negara Kesejahteraan Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (sosial service). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Negara kesejahteraan juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori,
16
khususnya seperti marxisme, sosialisme, dan sosial demokratik. Namun demikian konsep negara kesejahteraan justru tumbuh di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‟penawaran racun‟ kapitalisme yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya welfare state sering disebut bentuk dari „kapitalisme baik hati‟ (compassionate capitalism). Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah kegunaan (utility) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Dalam kontek kapitalisme T.H. Marshall berargumen bahwa, “Warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara.” Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem negara kesejahteraan sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hakhak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalis.
17
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kebanyakan tatanan hukumnya mengenal sumber-sumber hukum, seperti; perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin atau ajaran hukum, dan kebiasaan hukum. 4 Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Negara memiliki kekuasaan yang kuat terhadap rakyatnya. Kekuasaan, dalam arti kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain, dalam ilmu politik biasanya dianggap bahwa memiliki tujuan demi kepentingan seluruh warganya. Maka dari itu tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur. Kesejahteraan adalah negara
ikut
5
Pengertian Teori Negara
campur tangan seluas-luasnya
terhadap
kesejahteraan rakyat, Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan. Menurut dia, ”Tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya.” Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural; tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang. Dilihat dari konsep Good Governance ada beberapa hal yang bisa menjadi tolok ukur
4
Emeritus John Gilissen & Emeritus Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 1 5 Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 148
18
keadilan adalah; pemerintahan yang tidak sewenang-wenang, pelayanan yang non diskriminatif, program yang berpihak kepada rakyat. Negara merupakan aktor pertama dan utama yang bertanggungjawab mencapai janji kesejahteraan kepada rakyatnya, terutama memainkan peran distribusi sosial (kebijakan sosial) dan investasi ekonomi (kebijakan ekonomi). Fungsi dasar negara adalah ”mengatur” untuk menciptakan law and order dan ”mengurus” untuk mencapai kesejahteraan (welfare). Negara Kesejahteraan, pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasikan perekonomian yang didalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Dalam hal ini, Negara Kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak warga yang diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan negara. Indonesia menganut paham negara kesejahteraan, hal ini dapat dilihat pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada redaksi ”memajukan
kesejahteraan umum.” Secara konstitusional negara berkewajiban mengatur dan mengelola perekonomian, cabang-cabang produksi, dan kekayaan alam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial, memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, serta memberikan jaminan sosial dan kesehatan bagi warga negara, seperti yang ditentukan dalam Bab XIV Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Dasar 1945.
19
1.6.2 Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Meuwissen ada 4 faktor yang menjadi parameter sebuah peraturan perundang-undangan, yaitu; momen politik, momen idiil, momen normatif dan momen teknikal.6 a. Aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat merupakan landasan keberlakuan faktual dari momen politik. Momen politik ini mengakomodasi seluruh kepentingan nasional dan daerah. Momen politik terdiri dari kepentingan politik dan tujuan politik b. Kenyataan alamiah dan kenyataan serta sejarah kemasyarakatan setempat merupakan landasan keberlakuan filosofikal yang mewarnai momen idiil. Momen idiil terdiri dari; pandangan hidup (kultur), keyakinan keagamaan, filsafat hukum, kesadaran hukum (adat), wawasan kebangsaan. c. Momen idiil menjiwai momen normatif. Momen normatif terdiri dari: cita hukum, Undang-Undang Dasar, nilai- nilai, asas-asas, kaidah-kaidah, pranata hukum. d. Proses interaksi dialektikal antara momen politik dan momen normatif hasilnya diolah bersaranakan momen teknikal yang berupa teknik perundangan-undangan dan akhirnya menghasilkan aturan umum atau perundangan-undangan. Sedangkan A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa, “bagi pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, asas-asas tersebut secara berurutan dapat disusun sebagai berikut:”7 a. Cita hukum Indonesia b. Asas negara berdasarkan hukum dan asas pemerintahan berdasarkan konstitusi; c. Asas-asas lainnya.
6
Arief Sidarta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 25 7 Maria Farida Indrati Suprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 197-198
20
Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh a. Cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila ( Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (idee), yang berlaku sebagai bintang pemandu) b. Norma fundamental negara, yaitu Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai norma) c. (1) Asas-asas negara berdasarkan atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts) (2) Asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan undangundang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga: a. Asas tujuan yang jelas b. Asas perlunya pengaturan c. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat d. Asas dapatnya dilaksanakan e. Asas dapatnya dikenali f. Asas perlakuan yang sama dalam hukum g. Asas kepastian hukum h. Asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual
21
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang material, maka A. Hamid S Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan; a. Asas formal dengan perincian (1) asas tujuan yang jelas (2) asas perlunya pengaturan (3) asas organ/lembaga yang tepat (4) asas materi muatan yang tepat (5) asas dapatnya dilaksanakan (6) asas dapatnya dikenali b. Asas-asas material dengan perincian: (1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara (2) asas sesuai dengan hukum Dasar Negara (3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum (4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintah berdasar sistem konstitusi Yuliandri dalam disertasinya yang berjudul ”Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik dalam Rangka Pembuatan UndangUndang yang Berkelanjutan,” menyimpulkan bahwa proses pembentukan undangundang yang baik sebagai pedoman melalui tahap-tahap perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan agar memiliki karakteristik berkelanjutan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus menjadi pedoman dalam proses pembuatan undang-undang mengingat fungsinya yang penting dalam persyaratan kualitas peraturan hukum, sehingga undang-undang yang dihasilkan memiliki efektifitas
dalam
(uitvoerbaarheid”)
pencapaian dan
penegakan
tujuan
(”doeltreffendheid”),
hukumnya
pelaksanaan
(”handhaafbaarheid”).
Proses
22
pembentukan undang-undang yang berkelanjutan, harus tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai asas hukum. Fungsionalisasi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, diwujudkan dengan perencanaan pembentukan undang-undang melalui penyusunan naskah akademik (academic draft), implementasi partisipasi publik (public partisipation) secara optimal pada fase penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undangan, serta antisipasi mengenai kemungkinan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar melalui penyesuaian materi muatan yang harus diatur
dengan
undang-undang.
Selanjutnya
pemikiran
untuk
mewujudkan
konsep ”preview” sehingga dapat dicegah kekeliruan persepsi dan akibat hukum suatu undang-undang. Disamping itu dapat dihindari arti ganda (ambiguity) dan kekaburan (obscurity) dari segi asas hukum maupun teknik yuridis perancanganya. Tujuan pembuatan peraturan perundang-undangan adalah ketertiban dan legitimasi yang juga mempertimbangkan kompetensi. 8 Dalam kajian ilmu hukum paling tidak ada 3 faktor yang menjadi parameter sebuah peraturan perundangundangan dapat berlaku secara baik, yakni: mempunyai dasar keberlakuan Yuridis, Sosiologis, dan Filosofis. 9
8
Sabian Utsman, 2008, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
hal. 37 9
Sirajuddin Dkk, 2008, Legislatif Drafting, Cetakan Ketiga, Penerbit Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA, Jakarta, hal. 11
23
Keberlakuan Yuridis Bruggink menyatakan, ”Men spreekt van de normatieve gelding van een rechtsnorm, als deze deel ultmaakt van een bepaald systeem van rechtsnormen die naar elkaar verwijzen. Zo’n systeem van rechtsnormen nestaat ult een hierarchisch geheel van bijzondere rechtsnormen die op algemene rechtsnormen gebascerd zijn. De lagere bijzondere rechtnormen worden daarin afgeleid van dehogere, algemene rechtsnormen. 10 ( Keberlakuan yuridis atau normatif suatu peraturan atau kaidah jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang didalam kaidah-kaidah hukum saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah hukum umum. Didalamnya kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivikasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi.) Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan diperinci dalam syarat-syarat; Pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Jika tidak maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum. Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal demi hukum. Misalnya peraturan perundang-undangan formal harus dibuat secara bersama-sama antara presiden dengan DPR. Kedua, Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur,
10
J.J.H, Bruggink, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Kluwer Deventer, Den Haag. hal 103-104
24
terutama kalau diperintah oleh peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya kalau UndangUndang Dasar NRI 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu harus diatur oleh undang-undang, maka dalam bentuk undang-undanglah hal itu diatur. Ketiga, keharusan mengikuti tatacara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Misalnya Peraturan daerah dibuat bersama-sama antara DPRD dan Kepala Daerah, kalau ada Peraturan Daerah tanpa mencantumkan persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Keempat, Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingakatannya. Dalam kaitan dengan dasar yang berlaku secara yuridis dari peraturan perundang-undangan maka Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mengemukakan beberapa pendapat: a. Hans Kelsen berpendapat bahwa, ”Setiap kaidah hukum harus berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.” Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm). Sedangkan Kelsen sendiri pada satu sisi sudah mengajukan klaim
25
bahwa, ”Grundnorm adalah semacam presuposisi (sesuatu yang diasumsikan ada),” 11 dalam teori jenjang norma Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah dari padanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma dibawah sehingga apabila Norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaklah sistem norma yan berada dibawahnya. b. W. Zevenbergen menyatakan bahwa, ”Setiap kaidah hukum harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya. Menurut Zevenbergen berlakunya kaidah hukum secara yuridis apabila kaidah hukum itu terbentuk sesuai dengan tata cara atau prosedur yang berlaku.” c. Logemann, ”Kaidah hukum mengikat atau menunjukkan hubungan keharusan (hubungan memaksa) antara satu kondisi dengan akibatnya. 12 Menurut logemann suatu kaidah hukum itu berlaku secara yuridis apabila didalam kaidah hukum tersebut terdapat hubungan sebab akibat atau kondisi dan konsekwensi.” Keberlakuan Sosiologis Dasar berlaku secara sosiologis maksudnya adalah jika para warga masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu diberlakukan. Keberlakuan sosiologis dapat
11
Herman Bakir, 2005, Kastil Teori Hukum, PT Indeks Kelompok Gramedia Anggota IKAPI,
12
Soerjono Soekanto Dkk, 1993, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
hal 128 88-89
26
dilihat melalui sarana penelitian empiris tentang perilaku masyarakat. Jika dari penelitian tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat keberlakuan empiris kaidah hukum. Dengan demikian norma hukum mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dengan dasar sosiologis peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu: a. Teori Kekuasaan, secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima masyarakat. b. Teori Pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan masyarakat tempat hukum itu berlaku. Keberlakuan Filosofis Setiap masyarakat selalu mempunyai ”Rechtsidee”
yakni apa yang
masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk menjamin adanya keadilan, kemanfaatan dan ketertiban maupun kesejahteraan. Cita hukum atau rechsidee tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan lain sebagainya termasuk pandangan tentang dunia gaib. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan
27
sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Menurut Rudolf Stammier, “Cita hukum adalah konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat.” Selanjutnya Gustav Radbruch seorang ahli filsafat hukum seperti stammier dari aliran Neo-Kantian menyatakan bahwa, “Cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya.”13 Disamping keberlakuan yuridis, sosiologis, filosofis dan penggunaan bahasa yang baik sebagai parameter sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, faktor politik juga dapat dimasukan sebagai parameter untuk menilai peraturan perundangundangan. Hukum tidak mungkin dipisahkan dengan politik, terutama pada masyarakat yang sedang membangun dimana pembangunan merupakan keputusan politik, sedangkan pembangunan jelas-jelas membutuhkan legalitas dari sektor hukum. Apakah hukum itu bersifat otonom atau menindas, responsif atau ortodoks, imperaktif atau fakultatif, konservatif, legitimatif, reduksionistik, dan lain-lain sedikit banyak akan ditentukan oleh negara, karena negaralah yang paling berhak menentukan model hukum apa yang diterapkan.14 Dalam kondisi politik dan hukum
13
Esmi Warrasih, 2001, Fungsi Cita Hukum Dalam Penyusunan Peraturan PerundangUndangan YangDemokratis, dalam Arena Hukum Majalah Hukum FH Unibraw No. 15 tahun 4, hal. 354-361 14 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 73
28
sangat menarik untuk dikemukakan pendapat Philipe Nonet dan Philip Selznick yang mengetengahkan suatu tipe mengenai keadaan dasar hukum dalam masyarakat, yaitu: Hukum represif yaitu, “Hukum yang merupakan alat kekuasaan refresif; hukum refresif banyak mengandalkan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada dipihak rakyat.” Perhatian paling utama hukum refresif adalah dengan terpeliharanya dan diterapkannya tata tertip, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Hukum otonom yaitu, “Hukum sebagai pranata yang mampu menjinakkan refresi dan melindungi integritasnya sendiri.” Hukum responsif yaitu, “Hukum yang merupakan sarana respon atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat.” Dalam rangka menciptakan sistem hukum yang digambarkan oleh Nonet dan Zelznick itu bukan perkara mudah. Diperlukan kerjasama berbagai pihak (pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk mewujudkannya. 15
1.6.3 Teori Demokrasi Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua perkataan yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Dengan demikian demokrasi secara terminologi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.16 Melihat pertumbuhannya, demokrasi terus berkembang, sehingga tepat apa yang dikemukakan Bagir Manan, 17 bahwa, ”Demokrasi merupakan suatu
15
Ibid, hal. 72 Bondan Gunawan, 2000, Apa Itu Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 1 17 Bagir Manan, 1994, Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam Pembangunan Jangka Panjang II, Makalah Dalam Lokakarya Pancasila, Unpad, Bandung, hal. 2 16
29
fenomena yang tumbuh, bukan suatu penciptaan.” Sebuah negara dapat dikatakan demokrasi paling tidak memenuhi unsur-unsur yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h.
Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan. Ada kebebasan menyatakan pendapat. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara. Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintah atau negara. Ada hak bagi aktivis politik berkampanye untuk memperoleh dukungan suara. Terdapat berbagai sumber informasi. Ada pemilihan yang bebas dan jujur. Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintah, harus bergantung pada keinginan rakyat.
Dari delapan unsur tersebut, ada beberapa hal yang pokok untuk mendapat perhatian dalam kaitannya dengan pemberdayaan kedaulatan rakyat di Indonesia, antara lain semua lembaga yang ada dalam merumuskan kebijaksanaan pemerintah harus bergantung pada keinginan rakyat. Oleh karena itu dalam pembangunan negara demokrasi dimasa depan sudah saatnya praktik-praktik demokrasi yang semu ditinggal dan diganti dengan demokrasi yang sesungguhnya, yaitu demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai penentu utama dalam penyelenggaraan negara baik dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Menurut Wolfgang Friedmann sebuah negara dikatakan demokratis, ”Apabila ada jaminan hak asasi manusia (Individual Right) dan pemerintah yang diawasi oleh rakyat.” Sedangkan gagasan atas prinsip kedaulatan rakyat dalam lingkup daerah bagi Mohammad Hatta bukan hal yang baru. Hal itu tercermin dari uraiannya yang menyatakan;
30
”Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah. Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai Badan Perwakilan sendiri seperti Gemeenteraad, Provinciale Raad dan lain-lainnya.” Dengan jiwa demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat seperti itu pula pemerintah daerah dijalankan, sehingga otonomisasi yang sedang didengungdengungkan dapat pemerintahan daerah pelaksanaan jiwa atau prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat mutlak dijadikan sebagai salah satu syarat dalam rangka pemerataan keadilan dan kesejahteraan rakyat didaerah sebagai manifestasi dari tujuan otonomi daerah Pada dasarnya otonomi daerah merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan teori demokrasi yang diaplikasikan melalui teori desentralisasi. Artinya otonomi daerah itu sendiri lahir dari desentralisasi, sedangkan desentralisasi itu sendiri merupakan salah satu ciri dan implementasi dari esensi demokrasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa otonomi daerah adalah implementasi dari prinsip demokrasi.
1.6.4 Teori Desentralisasi Secara etimologis18 istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de” = lepas dan “centerum” = pusat. Jadi berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah
18
Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Sistem Pemerintah Daerah Di Indonesia, Binacipta Bandung, hal. 14
31
melepaskan dari pusat. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri; nomos = undang-undang) dan berarti “perundang-undangan” sendiri (Zelfwetgeving). Dalam perkembangnya di Indonesia, otonomi itu selain mengandung arti “perundangan” (regeling), juga mengandung arti “pemerintahan” (bestuur). Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan.19 Desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem, dimana bagianbagian dan tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ yang sedikit banyak mandiri. Organ yang mandiri ini wajib atau berwenang melakukan tugasnya atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri.20 Menurut Bagir Manan,
21
” mengingat kenyataan wilayah negara dan
kemajemukan, timbul hasrat untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada daerah-daerah dan berbagai kesatuan masyarakat hukum untuk berkembang secara mandiri, dalam Negara Kesatuan Indonesia, sehingga perlu dibangun sendi penyelenggaraan pemerintahan baru yang lebih sesuai, yaitu desentralisasi yang bertumpu pada otonom.” Secara teoritis desentralisasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu 19
Philipus M. Hadjon, 2008, Pengantar Hukum Admistrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 111 20 Joko Widodo, 2001, Good Governance Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas, Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya, hal. 39 21 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hal. 229
32
desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Menurut Bagir Manan
22
desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan badan yang didasarkan kepada wilayah (gebied-scorporatis), sedangkan desentralisai fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu (doelcoporaties). Desentralisasi teritorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan. Amrah Muslimin23 membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional, dan desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi politik adalah “Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik didaerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu.” Desentralisasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan yang mengurus kepentingan masyarakat, baik terikat ataupun tidak terikat dalam suatu daerah tertentu, seperti mengurus irigasi bagi golongan tani. Desentralisasi kebudayaan, memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (pendidikan, agama, dll). Irawan Soejito, membagi bentuk desentralisasi kedalam tiga macam, yaitu desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional, dan desentralisasi administratif. Desentralisasi teritorial adalah, “Desentralisasi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah kepada suatu badan umum seperti persekutuan yang berpemerintahan 22
Indiawan Prasetyo, 2009, Tinjauan Kritis Yuridis Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Di Daerah Pada Era Desentralisai, (Januari 2009), jurnal.pdii.lipi.go.id 23 Juanda, 2008, Hukum……., Ibid, hal. 117
33
sendiri.” Desentralisasi fungsional yaitu, “pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan negara atau daerah untuk diselenggarakan oleh suatu organ atau badan ahli yang khusus dibentuk untuk itu.” Desentralisasi administratif adalah, “Pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada alat perlengkapan atau organnya sendiri di daerah.” Tresna mengikuti penggolongan desentralisasi ini. Sedangkan menurut Sri Soemantri pembagian kekuasaan itu terdiri dari; pemencaran kekuasaan secara horizontal dan pemencaran kekuasaan secara vertikal. Pemencaran secara horizontal, Undang-Undang Dasar 1945 telah mempraktikan pemisahan kekuasaan secara formil, pemencaran secara vertikal adalah melahirkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom yang memikul hak desentralisasi. Pengertian Desentralisasi terdapat pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, “Penyerahan wewenang Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itu, dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak langsung membahas pula mengenai otonomi daerah. Sedangkan pilar penyelenggaraan otonomi daerah mencakup tiga aspek utama yaitu “Sharing Of Power, Distribution Of Income serta Strengthening Local Autonomy.” Sharing of power; Dalam sistem negara kesatuan seperti Indonesia (unitary state), relasi kekuasaan pusat-daerah harus diletakkan di atas “prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan” (sharing of power). Prinsip ini sebangun dengan pemahaman terhadap realitas keberagaman dan kekhususan daerah yang dijamin oleh
34
konstitusi. Dengan prinsip itu, pemerintah pusat selain memiliki kewenangan pokok, juga memiliki kewenangan-kewenangan sektoral yang harus dikelola secara bersamasama dengan Pemerintah Daerah melalui asas desentralisasi. Pasal 10 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengenai pembagian kekuasaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ayat (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Ayat (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Ayat (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Politik luar negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, Agama. Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hal tersebut secara rinci telah disebutkan pada Pasal 13 Ayat (1) kewenangan untuk daerah provinsi meliputi 16 kewenangan dan pada Ayat (2) urusan pemerintahan ada juga bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
35
Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hal tersebut secara rinci telah disebutkan pada Pasal 14 ayat (1) kewenangan untuk daerah kabupaten/kota meliputi 16 kewenangan dan pada ayat (2) urusan pemerintahan ada juga bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Distribution Of Income; berarti pembagian pendapatan untuk daerah kini menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya dan dapat dipergunakan bagi kemajuan dan kesejahteraan daerah yang lebih luas. Pasal 5 (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Hubungan dalam Bidang Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah. b.
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c.
pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
Pasal 157 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Sumber pendapatan daerah terdiri atas: a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
1. hasil pajak daerah; 2. hasil retribusi daerah; 3. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
36
4. lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pasal 159 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf b terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum; dan c. Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Khusus dalam pilar penyelenggaraan otonomi daerah termasuk dalam aspek Distribution Of Income, yang pengaturannya harus memperhatikan prinsip-prinsip perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Strengthening Local Autonomy atau penguatan otonomi lokal adalah; pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya kepada daerah dengan tujuan pemberdayaan masyarakat lokal. Secara formal melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemberdayaan masyarakat lokal dapat juga melalui LSM, lembagalembaga masyarakat, kesatuan hukum adat dan lain-lain. Dasar hukumnya adalah Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004; Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan yang
37
dimaksud salah satunya diperlukan desentralisasi,
24
disamping dekonsentrasi.
Pentingnya desentralisasi bagi negara-negara modern merupakan sebagai kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari dalam rangka efesiensi-efektivitas, pendidikan politik, stabilitas politik, kesetaraan politik, dan akuntabilitas publik. 25 Otonomi 26 mempunyai makna kebebasan dan kemadirian (zelfstandigheid), tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Perbedaan asas sentralisasi dan desentralisasi secara teoritis tersebut, dalam perundang-undangan tentang pemerintah daerah yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia dijabarkan dalam 3 (tiga) asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diartikan dengan “Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dekonsentrasi Pada Pasal 1
angka 8 disebutkan sebagai
“pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahan dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.” Sedangkan tugas pembantuan menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 diartikan dengan “penugasan” dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari 24
Josef Riwu Kaho, 1991, Prospek Otonomi Daerah Di Negara RI, Rajawali Pers, Jakarta,
25
Syaukani, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar Yogyakarta,
hal. 33 hal. 21-31 26
hal. 18
Ateng Safrudin, 1983, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Diesnatalis Unpar, Bandung,
38
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang ditangan.27 Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian penelitian berarti “mencari kembali“. Pada dasarnya sesuatu yang dicari adalah pengetahuan, dimana pengetahuan yang benar nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa, penelitian hukum dibagi dalam; penelitian hukum normatif dan empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari; penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronosasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Penelitian hukum empiris terdiri dari; penelitian terhadap identifikasi hukum, efektivitas hukum.“ Nama lain penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal juga disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.28 Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum normatif adalah, “Penelitian yang terutama 27
Bambang Sunggono, 1997, Metodelogi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 27 28 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 31
39
menganalisis ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum, dengan melakukan penjelasan secara sitematis ketentuan hukum dalam sebuah katagori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara ketentuan hukum, menjelaskan dan mempridiksi pengembangan kedepan.“29 Penelitian ini mengenai produk
hukum tentang DAK, yaitu; Peraturan
Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif dengan fokus penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Dalam membahas pokok permasalahan akan didasarkan pada hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier.
1.7.2 Jenis Pendekatan Pendekatan yang akan diterapkan untuk membahas permasalahan dalam penulisan ini adalah melalui pendekatan analisis konsep hukum ( Analitical & Conceptual Approach) dan pendekatan perundang-undangan (Statue Approach). Pendekatan konseptual dilakukan untuk menganalisis mengenai produk hukum tentang DAK, sedangkan pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk
29
Yudi Setiawan, 2008, Tantangan Dan Hambantan Konsolidasi Tanah : (Bagian IV) Gagasan Hukum, (29 Desember 2008), wordpress.com
40
mendapatkan ketentuan hukum yang melandasai pengaturan DAK dalam hubungan keuangan pusat dan daerah.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum Bahan pustaka bidang hukum dari sudut kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga golongan; bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 30 Bahan hukum primer yakni bahan-bahan hukum yang mengikat yang menjadi dasar penelitian yang berupa Norma Dasar, Perundangundangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, Yurisprudensi, Traktat, dan Kebiasaan Ketatanegaraan. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah UndangUndang No. 32 Tahun 2004, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 dan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Bahan hukum sekunder yakni bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, yaitu buku-buku literatur, jurnal-jurnal, diklat, internet, dan penjelasan undang-undang. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah bahan-bahan bacaan dibidang hukum pemerintah daerah, hukum keuangan negara, ilmu perundang-undangan, yang berkaitan dengan pengaturan DAK dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan bahan hukum tertier yakni bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, ensiklopedia hukum dan lain-lain. Dalam penelitian ini bahan hukum tertier adalah ensiklopedi,
30
hal. 33
Soerjono Soekanto, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
41
kamus hukum, yang dapat mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menginventaris, mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh dikumpulkan kemudian dilakukan pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang dilakukan.
1.7.5 Teknik Analisa Bahan Hukum Mencocokkan antara teori dengan hukum positif, dalam hal ini UndangUndang No.32 Tahun 2004, Undang-Undang No.33 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005, untuk mendapatkan pemecahan masalah mengenai; a) Pengaturan DAK ditinjau dari prinsip-prinsip perimbangan keuangan pusat dan daerah. b) Produk hukum DAK ditinjau dari asas keadilan dan keselarasan, selanjutnya diberi argumentasi yaitu kesesuaian antara teori dengan norma hukum positif. Argumentasi hukum dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan atas kedua permasalahan yang dikaji.