Aktivitas berbasis teknologi internet, kini bukan lagi menjadi hal baru ...
perkembangan riset teknologi di berbagai belahan dunia. Dengan hanya ... 3
Anonim, 2009, “Daftar Jumlah Pengguna Internet Dunia 1995-2008”, Serial
Online 2009.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas berbasis teknologi internet, kini bukan lagi menjadi hal baru dalam masyarakat informasi (information society). Internet bahkan telah digunakan oleh anak-anak usia prasekolah, orang tua, kalangan pebisnis, instansi, karyawan hingga ibu rumah tangga. Media komunikasi digital interaktif
ini mampu menghubungkan masyarakat informasi (information
society) secara cepat, mudah dan tanpa mengenal batas wilayah. Negara yang menguasai internet di era milenium dipastikan menjadi negara yang maju jika internet dipergunakan secara bijak terutama dalam bidang riset, pendidikan, administrasi, sosialiasi, networking dan bisnis. Para netter (pengguna internet) dapat mengetahui secara cepat perkembangan riset teknologi di berbagai belahan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, internet melambangkan penyebaran (decentralization), pengetahuan (knowledge) informasi dan data secara ekstrim.1 Mekanisme akses perpustakaan (e-librabry) dapat dilakukan dengan
1
Wikipedia, 2010, “Internet”, Serial Online 30 Agustus 2010, 11:29, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Internet.
2
menggunakan program khusus yang berstandar Z39.50 seperti WAIS (Wide Area Information System), aplikasi telnet atau melalui web browser.2 Internet juga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam memberikan layanan publik. Indonesia sendiri telah menggunakan aplikasi RI-NET yang memungkinkan akses email kepada para pejabat serta memberikan layanan web (homepage) yang dapat diakses melalui http://www.ri.go.id. Dengan mengunakan layanan internet maka pemerintah dengan cepat dapat mensosialisasikan regulasi dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkannya. Melalui administrasi online dalam pemerintahan, praktik korupsi dalam membuat surat-surat dapat diminimalisasi. Pejabat juga dapat mendekatkan diri dengan rakyat melalui teleconference. Penggunaan teknologi informasi dalam bidang ekonomi telah melahirkan istilah new digital networked economy. Jaringan ini memberikan ruang untuk bertransaksi bisnis secara online dan real time. Penjualan produk secara online menyebabkan cost of marketing dan cost of employee menjadi semakin rendah sehingga margin keuntungan dapat ditingkatkan.3 Pelebaran jejaring bisnis melalui media internet memiliki prospek yang sangat baik. Pasar modal seperti NASDAQ yang didominasi oleh saham perusahaan yang berbasis teknologi misalnya, semakin diminati dan dimonitor oleh pelaku bisnis.
2
Perpustakaan Online, 2008, “Internet dan Manfaatnya”, Serial Online 19 Mei 2008, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/05/internetdan-manfaatnya.html 3
Anonim, 2009, “Daftar Jumlah Pengguna Internet Dunia 1995-2008”, Serial Online 2009 Februari 28, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://id.wordpress.com/tag/ Daftar jumlah-pengguna-internet- Dunia-1995-2008/
3
Penetrasi internet yang begitu besar apabila tidak dipergunakan dengan bijak maka akan melahirkan kejahatan di dunia maya atau yang diistilahkan dengan cyber crime. Cyber crime terjadi pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.4 Berbagai kasus cyber crime yang terjadi saat itu mulai dari manipulasi transkrip akademik mahasiswa di Brooklyn College New York, penggunaan komputer dalam penyelundupan narkotika, penyalahgunaan komputer oleh karyawan hingga akses tidak sah terhadap Database Security Pasific National Bank yang mengakibatkan kerugian sebesar US$ 10.2 juta pada tahun 1978. Cyber crime juga terjadi di Indonesia, bahkan kejahatan ini sebenarnya sudah ada sejak internet masuk ke Indonesia.5 Pengguna internet di Indonesia hanya 14,5 juta orang dari total penduduk yang mencapai 220 juta. Meskipun tidak ada 10 persennya, Indonesia pernah menduduki peringkat pertama dalam kejahatan dunia maya. Tahun 2007 posisi Indonesia sempat menurun di posisi empat setelah Ukraina dan beberapa negara Eropa Timur yang membukukan angka kejahatan dunia maya lebih banyak.6 Akibat tingginya kejahatan yang
4
Edy Junaedi Karnasudirja, 1993, Jurisprudensi Kejahatan Komputer, Tanjung Agung, Jakarta, hal. 3. 5
Indonesia yang untuk pertama kali terhubung dengan internet pada tahun 1993, pada tahun berikutnya saja telah mempunyai 32 (tiga puluh dua) network yang terhubung ke internet. Jumlah ini masih sangat kecil dibanding pada saat yang sama Amerika Serikat mempunyai 14.782 (empat belas ribu tujuh ratus delapan puluh dua), Jepang mempunyai 1.097 (seribu sembilan puluh tujuh), dan Jerman mempunyai 1.220 (seribu dua ratus dua puluh) network yang terhubung ke internet. (Asril Sitompul, 2004, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. vi.) 6
Jim Geovedi, tanpa waktu edisi, “Cyber Crime Terkendala”, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://www.kompas.co.id.
4
dilakukan di dunia maya Indonesia masuk dalam daftar hitam di kalangan penyedia pembayaran lewat internet (internet payment).7 Menurut Brigjen Anton Tabah, Staf Ahli Kapolri, jumlah cyber crime yang terjadi di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia karena banyaknya aktivitas para hacker. Tingginya kasus cyber crime dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan kartu kredit dan pembobolan sejumlah bank.8 Tahun 2004 kejahatan carding mencapai 177 dari 192 kasus kejahatan internet. Tahun sebelumnya, kejahatan carding menembus angka 145 dari 153 kasus kejahatan internet.9 Bahkan Indonesia masuk dalam peringkat 10 besar pelanggaran internet terbesar di dunia.10 Meskipun Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak.11 Data yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan dalam laporan bertajuk Internet Security Threat Report XV periode Januari-Desember 2009 yang disponsori oleh perusahaan Symantec. Dalam laporan tersebut, Indonesia 7
Ibid.
8
Redaksi Antara, 2009, “Jumlah Kasus Cyber Crime di Indonesia, Tertinggi di Dunia”, Serial Online Thursday, 26 March 2009, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://www.indofamily.net/teens/index.php?option=com_content&task=blogsection&id=0&Itemid= 30. 9
Danardono, 2005, “Indonesia Peringkat Pertama Pelaku Kejahatan Internet”, Serial Online 14 September 2005 3:36, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.forums.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=29697&start=0 10
Andi Hamzah, 2009, “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia”, Serial Online 28 Oktober 2009, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html 11
Agus Raharjo, 2006, “Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia”, Serial Online 12 September 2006, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm.
5
dinyatakan sudah termasuk dalam peringkat Top 10. Pada tahun 2008, Indonesia duduk di peringkat ke-12 dalam urutan negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki kegiatan jahat (malicious) berdasarkan negara. Namun pada tahun
2009, peringkatnya melonjak cepat dan langsung duduk di
peringkat 9 setelah Australia di peringkat 8 dan Filipina di peringkat 10. Indonesia menjadi lokasi kedua terbesar untuk virus Sality. AE, virus yang menghapus layanan dan aplikasi-aplikasi keamanan, satu peringkat di bawah India. Indonesia juga terdaftar di peringkat 9 untuk lokasi phishing (penipuan untuk mencari informasi peka seperti PIN) yang menyasar jasa-jasa finansial, dan urutan ke 8 untuk negara asal spam (pengiriman surat kepada orang yang tidak dikenal).12 Keresahan akan aktivitas negatif di cyber space sangat dirasakan oleh masyarakat. Apalagi dengan beberapa pemberitaan di media massa tentang adanya prostitusi cyber. Sebuah layanan situs dewasa dari Craigslist memang telah ditutup, namun menurut John Palfrey, seorang professor ilmu hukum Harvard University yang juga direktur dari Berkman Center for Internet and Society menyatakan bahwa kegiatan prostitusi di Internet diyakini masih terus berkembang. Craigslist merupakan situs yang memberikan layanan periklanan secara gratis, namun dalam beberapa tahun terakhir situs ini telah
12
Tribun Timur, 2010, “Peringkat Indonesia di CyberCrime Naik” Serial Online 30 April 2010, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.tribuntimur.com/read/artikel/100001/Peringkat_Indonesia_di_CyberCrime_Naik
6
memunculkan iklan dewasa.13 Craigslist telah menjadi bagian pasar prostitusi dan perdagangan seksual. Sebuah iklan setengah halaman baru-baru ini menyebutkan dua korban perdagangan seks di Craigslist.14 Kejahatan prostitusi cyber di Indonesia pertama kali terungkap pada bulan Mei 2003 dimana pada waktu itu Satuan Reskrimsus cyber crime Polda Metro Jaya berhasil menangkap mucikari cyber. Pelakunya adalah sepasang suami istri, Ramdoni alias Rino dan Yanti Sari alias Bela. Prostitusi cyber ini adalah modus baru yakni dengan menawarkan wanita melalui sebuah alamat web. Pemilik web ini memajang foto-foto wanita tersebut dengan busana minim yang siap melayani customer. Para peminat hanya cukup menghubungi Nomor HP para mucikari tersebut yang ditampilkan di halaman web, kemudian mucikari inilah yang mengantarkan pesanan ke kamar hotel atau ke apartemen sesuai dengan keinginan pelanggan.15 Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjadi payung hukum dari penanggulangan prostitusi cyber, aparat kepolisian semakin leluasa dalam menjaring praktik prostitusi yang dilakukan via internet ini. Pada November 2008, Polda Metro Jaya berhasil mengungkap bisnis prostitusi. Polisi berhasil 13
Heni, 2010, “Situs Dewasa Ditutup, Prostitusi di Internet Masih Berkembang”, 4 September 2010 09:55:00, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.beritanet.com/Technology/Berita-IT/Situs-Sex-Internet.html 14
Ellyzar Zachra PB, 2010, “Ebay Tutup Akses Perdagangan Seks Online”, Serial Online 20 Agustus 2010 - 14:37, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.inilah.com/news/read/teknologi/2010/08/20/757011/ebay-tutup-akses-perdaganganseks-online/ 15
Sutarman, 2007, Cyber Crime Modus Operandi dan Penanggulangannya, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 67.
7
mengamankan seorang mucikari Albert Timotius dan menahan tiga wanita penghibur yang kemudian berstatus sebagai saksi. Polisi pun terus melakukan penyelidikan kasus serupa yang diduga banyak beredar di Indonesia.16 Cara yang dipakai mucikari untuk merekrut para penyedia jasa ini sangat beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis belia yang berpenampilan menarik untuk dijadikan anak buahnya melalui layanan chating dan sejenisnya yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend di kalangan anak muda. Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk menjadi anak asuhannya, mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat website yang dikelola mucikari tersebut. Untuk bisa berkencan dengan gadisgadis muda ini, pada umumnya calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu pada website dimana gadis-gadis tersebut dipamerkan. Calon penyewa akan mengisi formulir yang berisi nama, alamat, nomor telepon dan lainya. Setelah pendaftaran selesai calon penyewa bisa langsung memilih gadis mana yang akan dikencani, lalu calon penyewa bisa mulai bernegosiasi harga. Setelah semua proses pendaftaran atau pemesanan selesai gadis pesanan akan diantarkan ke tempat yang telah disepakati.17 Dari hasil investigasi kepolisian, Albert, salah satu mucikari yang tertangkap mengaku melakukan binis prostitusi cyber ini sejak 2007 meski
16
Budi Winoto, 2008, “Polisi Bongkar Prostitusi Via Internet”, Serial Online 19 November 2008 | 12:49 WIB, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.inilah.com/read/detail/62916/polisi-bongkar-prostitusi-via-internet/. 17
Anonim, 2008, “Prostitusi di Internet”, Serial Online19 November 2008, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387prostitusi-di-internet.
8
situs www.wanita18.com yang dibuatnya sudah dibukanya sejak 2005. Dalam perekrutan calon wanita penghibur, pelaku awalnya melakukan chating. Kemudian menawarkan profesi tersebut dengan tarif Rp 800.000,00 hingga Rp 1.600.000,00 per sekali kencan dengan pembagian Rp 300.000,00 untuknya dan Rp 500.000,00 untuk wanita penghibur pada tarif terendahnya.18 Seiring dengan semakin merambahnya penggunaan internet di Indonesia, aktivitas prostitusi cyber juga mengalami perkembangan. Para pelaku mulai menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti facebook untuk melancarkan aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk pertemanan, kini digunakan untuk memasarkan transaksi seks. Istilah „bisa pakai‟ atau „bispak‟, cowok panggilan, cewek panggilan dan sejenisnya merupakan istilah yang dikenal dalam dunia maya khususnya prostitusi cyber untuk menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan menawarkan jasa seks.19 Sekitar 5 persen pelajar di sejumlah sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Karawang sebagaimana dilansir media Pikiran Rakyat telah memanfaatkan jejaring sosial untuk menjadi pekerja seks komersial. Para pelajar itu tidak hanya pelajar perempuan
18
Kompas, 2008, “Polisi Ungkap Kasus Prostitusi di Internet”, Serial Online 18 November 2008, 16:04 WIB, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://nasional.kompas.com/read/2008/11/18/16041950/polisi.ungkap.kasus.prostitusi.di.internet 19
Noning Verawati, 2010, “Bisnis Menjanjikan, Prostitusi dalam Facebook”, Serial Online 14 April 2010 , 11:58, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://media.kompasiana.com/group/new-media/2010/04/14/bisnis-menjanjikan-prostitusi-dalamfacebook/
9
namun juga pelajar laki-laki.20 Endah (bukan nama sebenarnya), Siswi kelas 1 SMA di Jakarta ini mengaku menjual diri lewat facebook sejak Juli 2009. Sekali transaksi Endah mengaku mendapatkan uang sebanyak Rp 1.000.000,00 hingga Rp 1.200.000,00 yang dipergunakan untuk membiayai sekolah dan uang jajan. Hal yang sama juga dilakukan oleh teman-temannya. Dalam seminggu, pelaku bisa mendapat 10 tamu.21 Praktik pelacuran anak di bawah umur dan pelajar juga terjadi di Surabaya. Sindikat yang melakukan transaksi secara online ini ditangkap saat berada di Hotel Malibu. Melalui Yahoo Messenger dan MIRC mereka menawarkan anak-anak yang masih duduk di bangku SMA dengan usia berkisar 14-16 tahun.22 Prostitusi cyber dengan memanfaatkan jejaring sosial sangat mudah ditemukan. Dalam account facebook “Cowok Panggilan Bali Kardo (Alex Kardo)”, pemilik account telah mencantumkan nomor HP yang dapat dihubungi jika menginginkan jasanya. Bahkan pemilik-pemilik account di jejaring facebook tidak segan-segan mencantumkan aktivitas, pelayanan hingga tarif yang ditawarkan. Yoga Sanjaya misalnya menuliskan “ku Yoga,,,(cowok panggilan surabaya),,,,,Khusus Untuk melanyani Tante2 N Cewek2 Yg Butuh Kehangata SEX N Haus Sex....Tafir : Sort Time ( 250 rb ) N LongTime ( 500
20
Pikiran Rakyat, 2010, “5 Persen Pelajar Jajakan Seks Via Internet, Serial Online 15 Februari 2010, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://bataviase.co.id/node/96363 21
Redaksi Suara Merdeka, 2010, “Prostitusi Lewat Facebook, Seorang ABG Bisa Layani 10 Orang dalam Seminggu”, Serial Online 03 Februari 2010 | 08:35 wib | Daerah (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://suaramerdeka.com/v1/. 22
Redaksi Sumut Pos, 2010, “Prostitusi via Facebook Dibongkar”, Serial Online 07:15 | Monday, 1 February 2010, (Cited 2010 Feb. 8), available from : URL: http://hariansumutpos.com/wp-content/uploads/2010/02/prostitusiinternet.jpg.
10
rb )....Tarif Weekend Bisa Nego...Call Me....(YOGA)....081357055453 or 03177603611,,,24 non stop online “ dalam status facebooknya. Aktivitas prostitusi cyber sangat meresahkan para netter dan para orang tua, apalagi aktivitas ini cenderung menjadikan anak-anak sebagai objek eksploitasi seksual. Laporan Unicef menyebutkan, ada sekitar 2000.000 anak di seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak ini ternyata meraup keuntungan hingga 12 miliar dolar per tahunnya (ILO). Di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. 23 Prostitusi menurut James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Topo Santoso24 merupakan “The offering of sexual relations for monetary or other gain” (penawaran hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya). Jadi prostitusi adalah seks untuk pencaharian, terkandung beberapa tujuan yang ingin diperoleh, biasanya berupa uang. Termasuk didalamnya bukan saja persetubuhan tetapi juga setiap bentuk hubungan seksual dengan orang lain untuk mendapat bayaran. Dalam prostitusi terlibat tiga komponen penting yakni pelacur (prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan
23
Unicef, tanpa tahun edisi, “Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pdf 24
Topo Santoso, 1997, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, hal. 134.
11
pelanggannya (client)25 yang dapat dilakukan secara kovensional maupun melalui dunia maya. Pasal 296 KUHP menentukan bahwa pemidanaan hanya dapat dikenakan bagi dengan orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan. Selanjutnya dalam Pasal 506 disebutkan “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.” Melihat dari rumusan Pasal-pasal tersebut maka pemidanaan hanya dapat dilakukan kepada mucikari atau germo (pimp) sedangkan terhadap pelacur (prostitute) dan pelanggannya (client) sendiri tidak dapat dikenakan pidana. Dengan demikian penegakan hukum baik dalam konteks transnasional dan nasional yang dimaksudkan adalah terhadap mucikari (pimp). Pidana yang dijatuhkan terhadap mucikari atau germo (pimp) berupa pidana pokok yakni pidana penjara dan kurungan namun aktivitas prostitusi tetap tidak dapat ditanggulangi. Ketentuan mengenai legalitas wilayah lokalisasi justru diatur melalui peraturan daerah dan terhadap pelacur (prostitute)
hanya
mampu
dijaring
dengan
ketentuan
administrasi
kependudukan. Untuk prostitusi konvensional di beberapa kantong di Bali seperti daerah Semawang, Cargo dan Sanur, razia di daerah lokalisasi hanya bertujuan untuk menjaring peredaran minuman keras, penyalahgunaan narkotika dan administrasi kependudukan. Meskipun begitu, aktivitas prostitusi
25
Topo Santoso, op.cit., hal. 135.
12
ini sangat berbenturan dengan nilai-nilai filosofis dan kultur di Indonesia. Demoralisasi yang terjadi akibat kegiatan prostitusi ini semakin diperparah dengan penggunaan internet sebagai media marketing dalam penawaran jasa sexual tourism. Dalam ketentuan hukum di Indonesia, pengaturan mengenai larangan terhadap prostitusi cyber secara khusus diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undangundang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana dirumuskan mengenai perbuatan yang dilarang yakni “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Meskipun pengaturan mengenai larangan prostitusi cyber telah dirumuskan dengan jelas dalam hukum positif namun penegakan hukum dalam kasus ini sangat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena sulitnya menentukan yurisdiksi dari prostitusi cyber. Berkat kemajuan informasi para netter dapat bertransaksi prostitusi secara online yang melintasi batas lintas negara (borderless). Karakteristik lintas batas negara ini menjadikan prostitusi cyber berada dalam anatomi26 kejahatan transnasional.27 Prositusi cyber
26
Anatomi berasal dari bahasa Yunani ἀνατομία anatomia, dari ἀνατέμνειν anatemnein, yang berarti memotong. Anatomy is the science of the structure of the body and the relation of its parts. Paul Rogers, 2007, “Definition of Anatomy”, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://weighttraining.about.com/od/glossaryoftermsa/g/anatomy_def.htm Dalam konteks ini, istilah anatomi digunakan untuk menjelaskan mengenai struktur dan bagian-bagian dari kejahatan transnasional yang salah satu subnya adalah kejahatan di dunia maya. Kejahatan di dunia maya ini juga dibagi menjadi beberapa jenis, yang mana dalam pembahasan tesis ini adalah prostitusi cyber.
13
sebagai kejahatan transnasional tentu membutuhkan optimalisasi penegakan hukum di setiap negara di dunia. Dalam kerangka penegakan hukum, yuridiksi menjadi suatu hal yang berlaku secara fakultatif sehingga penegakannya tergantung dari kebijakan masing-masing negara. Hal ini disebabkan karena ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional (termasuk mengenai yurisdiksi) oleh sebagian pakar hukum masih dipandang sebagai sekadar kaidah moral saja. Apabila setiap negara masih mengakui yurisdiksi teritorial hukum pidana nasional suatu negara, maka setiap penanggulangan kejahatan-kejahatan yang bersifat transnasional atau internasional dengan sendirinya hampir tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan atau kerjasama antara negara satu dengan lainnya, seperti kerja sama bilateral atau multilateral.28 Sehingga penegakan hukum terhadap prostitusi cyber sangat bergantung pada kerjasama internasional disamping aparat penegak hukum yang handal dan budaya hukum masyarakat. Telaah mengenai kejahatan di dunia maya pernah ditulis oleh Simon Nahak
(Universitas
Udayana)
dalam
tesis
yang
berjudul
“Upaya
27
Tindak pidana transnasional yang merupakan tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah suatu negara tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di negara atau negara-negara lain, ataupun tindak pidana yang pelaku-pelakunya berada terpencar pada wilayah dua negara atau lebih dan melakukan satu atau lebih tindak pidana dan baik pelaku maupun tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan yang menimbulkan akibat pada satu atau lebih negara. I Wayan Parthiana, 1997,”Efektivitas dari Kaidah-kaidah Hukum Pidana Internasional dan Nasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana internasional”, Makalah disampaikan pada diskusi panel Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Kerjasama Internasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasannya, Bandung, 24 Juli 1997. Prostitusi cyber berada dalam anatomi kejahatan transnasional karena kejahatan ini memiliki karakteristik kejahatan transnasional yakni mempengaruhi lebih dari satu negara, mempengaruhi perilaku warga negara dari lebih dari satu negara, menggunakan sarana dan metode yang melampaui batas-batas nasional serta membutuhkan kerjasama antar negara dalam penanggulangannya. 28
Romli Atmasasmita, 2006, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, hal. 24, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita I).
14
Penanggulangan Tindak Pidana Mayantara (Cyber Crime) Melalui Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia.” Dalam tesis tersebut dibahas mengenai kebijakan hukum pidana terhadap upaya penanggulangan tindak pidana mayantara di Indonesia dan yurisdiksi hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana mayantara. Tulisan yang hampir serupa juga pernah ditulis oleh Philemon Ginting (Universitas Dipponegoro) dalam tesis yang berjudul “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum Pidana.” Tesis tersebut membahas tiga hal pokok yakni kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi saat ini, kebijakan aplikatif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi, kebijakan formulasi dan kebijakan aplikatif hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang. Dengan demikian kajian mengenai penegakan hukum terhadap prostitusi cyber (suatu kajian dalam anatomi kejahatan transnasional) memang belum pernah dibahas sebelumnya. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah penegakan hukum terhadap prostitusi cyber?
2.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap prostitusi cyber ?
15
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penegakan hukum terhadap prostitusi cyber terkait dengan adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang meliputi pertanggungjawaban pidana, pemidanaan terhadap pelaku prostitusi cyber serta penegakan hukum terhadap prostitusi cyber baik dalam konteks nasional maupun transnasional. Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap prostitusi cyber yang meliputi faktor hukum, penegak hukum, sarana dan fasilitas penegakan hukum, masyarakat dan kebudayaan. 1.4 Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Tujuan umum dalam penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui permasalahan hukum dan isu-isu aktual mengenai prostitusi cyber, menelusuri faktor-faktor penyebab hingga mencari solusi atas masalah tersebut.
2.
Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah: a.
Untuk menganalisis penegakan hukum terhadap prostitusi cyber.
b.
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap prostitusi cyber.
16
1.5 Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis. Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan berpikir bagi para pembaca mengenai diskursus hukum pidana internasional khususnya dalam penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional.
2.
Manfaat praktis. Dengan penulisan ini maka diharapkan agar dapat menjadi referensi bagi penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dapat dilaksanakan secara optimal.
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.
Landasan teoritis. Prostitusi cyber merupakan salah satu bentuk dari cyber crime yang dalam ketentuan Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang. Adapun perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) adalah “Perbuatan mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Perbuatan mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan terwujud dalam kegiatan prostitusi melalui media internet.
17
Asas-asas hukum pidana internasional berlaku terhadap kejahatan transnasional. Dalam hukum pidana internasional dikenal asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas teritorial negara tersebut atau diserahkan kepada negara peminta yang dimiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut. Selanjutnya dikenal pula asas au dedere au judicare yang berarti setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku dan berkewajiban untuk melakukan kerjasama dengan negara lain di dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku.29
Asas-asas ini dapat menjadi acuan dalam mengadili pelaku
prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional. Untuk menganalisis masalah hukum prostitusi cyber secara mendalam maka diperlukan beberapa landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Adapun beberapa landasan teoritis yang digunakan dalam tesis ini adalah: 1) Teori yurisdiksi 2) Teori sistem hukum 3) Teori penegakan hukum 4) Teori kesadaran hukum 5) Teori ketaatan hukum 6) Teori tujuan pemidanan 7) Teori alat 29
Shinta Agustina, 2006, Hukum Pidana Internasional Dalam Teori & Praktek, Andalas University Press, Padang, hal. 29.
18
Mengenai teori-teori tersebut maka dapat dijelaskan masing-masing sebagai berikut: a.
Teori yurisdiksi Huala
Adolf
mengemukakan
bahwa
”Yurisdiksi
adalah
kekuatan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum).”30 Yurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun nasional.31 Hukum internasional tradisional telah meletakkan beberapa prinsip hukum mengenai yurisdiksi yakni: 1) Prinsip teritorial. Berdasarkan prinsip ini setiap negara dapat menerapkan yurisdiksi nasionalnya terhadap semua orang (baik warga negara atau asing), badan hukum dan semua benda yang berada di dalamnya. Lord Macmillan mengemukakan adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.
30
Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 183 (selanjutnya disebut Huala Adolf I). 31
Huala Adolf, 1996, Aspek-aspek Hukum Pidana Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 145 (selanjutnya disebut Huala Adolf II).
19
2) Prinsip nasional aktif, prinsip ini menyatakan setiap negara dapat memberlakukan yurisdiksi nasionalnya terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana sekali pun tindak pidana itu dilakukan dalam bidang yurisdiksi negara lain. Di sini kewarganegaraan pelaku menjadi titik taut diberlakukannya yurisdiksi negara asal. 3) Prinsip nasional pasif, prinsip ini merupakan counterpart (pasangan) dari prinsip nasional aktif. Keduanya mendasarkan diri pada kewarganegaraan sebagai kriteria. Pada prinsip nasional pasif, tekanan diberikan pada kewarganegaraan si korban, sementara
prinsip
nasional
aktif
menekankan
pada
kewarganegaraan si pelaku. Atas dasar prinsip ini suatu negara memiliki kewenangan untuk memberlakukan misalnya hukum pidananya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar wilayah negara tersebut apabila korban adalah warganegaranya. 4) Prinsip perlindungan, hukum internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai kewenangan melaksanakan yurisdiksi terhadap kejahatan yang menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan ekonomi yang vital. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai hak untuk menerapkan hukum (pidana) nasionalnya pada pelaku suatu tindak pidana sekalipun dilakukan di luar wilayah negara tersebut apabila tindak pidana
20
itu
mengancam
keamanan
dan
keutuhan
negara
yang
bersangkutan. 5) Prinsip universal, pada prinsip-prinsip seperti yang disebutkan di atas, suatu negara dapat menyatakan mempunyai hak untuk memberlakukan hukum pidananya dengan alasan terdapat hubungan antara negara tersebut dengan tindak pidana yang dilakukan. Hubungan yang dimaksud antara lain adalah tempat terjadinya tindak pidana, kewarganegaraan pelaku atau korban dan keamanan serta keutuhan negara. Berbeda dengan prinsipprinsip tersebut, prinsip universal sama sekali tidak mensyaratkan suatu hubungan. Hal ini berarti bahwa prinsip universal memberi hak pada semua negara untuk memberlakukan hukum pidananya, apabila tindak pidana yang dilakukan membahayakan nilai-nilai yang universal dan kepentingan umat manusia.32 Suatu negara memiliki yurisdiksi atas setiap orang, benda dan peristiwa yang terjadi di negaranya. Adapun ruang lingkup yang dimiliki negara tersebut adalah: 1) Yurisdiksi untuk menetapkan ketentuan hukum pidana (jurisdiction to precribe atau legislative jurisdiction atau prespective jurisdiction). 2) Yurisdiksi untuk menerapkan atau melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif (executif jurisdictrion). 3) Yurisdiksi untuk memaksakan ketentuan hukum yang telah dilaksanakan oleh badan eksekutif atau yang telah diputuskan
32
Ibid., hal. 31-33.
21
oleh badan peradilan (enforcement jurisdiction to ajudicate).33
jurisdiction
atau
Prostitusi cyber berada dalam anatomi kejahatan transnasional sehingga yurisdiksi yang berlaku adalah yurisdiksi teritorial untuk menetapkan, menerapkan dan memaksakan ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh suatu negara. b.
Teori sistem hukum Teori tentang sistem hukum dikemukakan pertama kali oleh Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum menjadi tiga unsur yakni struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum (kultur hukum). Tiga unsur dari sistem hukum ini diteorikan Lawrence M. Friedman sebagai Three Elements of Legal System34 (tiga elemen dari sistem hukum). Menurut Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali yang dimaksud dengan unsur-unsur sistem hukum tersebut adalah: 1)
Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan lain-lain.
33
34
Ibid., hal 34.
Ari Juliano Gema, 2009, “Menerobos Kebuntuan Reformasi Hukum Nasional: Solusi untuk Mengawal Dinamika Masyarakat di Era Globalisasi dan Demokratisasi”, ”, Serial Online (Cited on 2009 Nov. 30), available from: URL: http://arijuliano.blogspot.com/2006/08/meneroboskebuntuan-reformasi-hukum_22.html
22
2)
Substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.
3)
Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.35 Cara lain dalam mengambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu oleh
Friedman, adalah struktur hukum diibaratkan seperti mesin, subtansi hukum diibaratkan sebagai apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut, sedangkan kultur atau budaya hukum adalah
apa
saja
menghidupkan
dan
atau
siapa
mematikan
saja
yang
mesin
itu
memutuskan serta
untuk
memutuskan
bagaiaman mesin tersebut digunakan.36 Dalam buku yang sama, Achmad Ali menambahkan dua unsur sistem hukum yakni: 1) Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum.
35
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.204, (selanjutnya disebut Achmad Ali I). 36
Ari Juliano Gema, loc.cit.
23
2) Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum utamanya kalangan petinggi hukum.37 Teori mengenai sistem hukum ini digunakan dalam menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap prostitusi cyber yakni dengan menelaah substansi hukum yang mengatur baik dalam instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum nasional, struktur hukum yang dapat pula dikaji dari profesionalisme dan kepemimpinan mereka serta budaya hukum masyarakat terhadap kejahatan ini. c.
Teori penegakan hukum Untuk menganalisis mengenai penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional maka digunakan teori penegakan hukum. Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran
nilai
tahap
akhir,
untuk
menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.38 Penegakan
37
38
hukum
bukanlah semata-mata
berarti
pelaksanaan
Achmad Ali I, loc.cit.
Soerjono Soekanto, 1979, “Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Naskah Lengkap pada paper pada seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta.
24
perundang-undangan namun juga sebagai pelaksanaan keputusankeputusan hakim.39 Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: 1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.40 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.41 Efektivitas perundang-undangan tergantung pada beberapa faktor, antara lain: 1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan, 2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. 3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundangundangan di dalam masyarakatnya. 4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan
39
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 7, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I). 40
Ibid., hal. 8.
41
Ibid., hal. 9.
25
instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.42 Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilainilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan. 43 d.
Teori kesadaran hukum (Legal awareness) Menurut RM. Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang sebaiknya dilakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum.44 Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), membagi
42
Achmad Ali I, op.cit., hal. 378-379.
43
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 7.
44
Andi Nuzul, 2009, “Kesadaran Hukum: Landasan Memperbaiki Sistem Hukum”, Serial Online (Cited on 2009 Nov. 30), available from: URL: http://andinuzul.wordpress.com.
26
kesadaran hukum menjadi dua macam yakni kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum‟ dan kesadaran hukum negatif, identik dengan „ketidaktaatan‟45 Mengenai kesadaran hukum, Ewick dan Silbey berpendapat bahwa “the term ‘legal consciousness’ is used scientists to refer to the ways in which people make sense of law and legal institutions, that is, the understandings which give meaning to people’s experiences and action”46 („kesadaran hukum, adalah istilah yang digunakan para ilmuwan untuk merujuk pada cara-cara orang memahami lembagalembaga hukum dan hukum, yaitu pemahaman yang memberi makna pada pengalaman orang-orang dan tindakan). Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikhis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas kesadaran hukum, ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Begitu pentingnya kesadaran hukum di dalam memperbaiki sistem hukum, maka tak heran dari tokoh-tokoh mazhab sejarah seperti Krabbe dan Kranenburg bersikukuh mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan satusatunya sumber hukum.47
45
Achmad Ali I, op.cit., hal. 298.
46
Ibid.
47
Andi Nurul, loc.cit.
27
Paul Scholten sendiri yang melahirkan teorinya tentang kesadaran hukum atau yang dalam Bahasa Belanda disebut Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn dengan tegasnya menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum. Selengkapnya Paul Scholten mengatakan: Met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoordeel over eenig concreet geval, doch het in ieder mensch levend bewustzijn van wat recht is of behoort te zijn, een bepaalde categorie van ons geestesleven, waardoor wij met onmiddellijke evidentie los van positieve instellingen scheiding maken tusschen recht en onrecht, gelijk we dat doen tusschen waar en onwaar, goed en kwaad, schoon en leelijk. (Pandangan Scholten di atas pada intinya menjelaskan kepada kita bahwa istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup pada manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum. Kesadaran hukum masuk kategori tertentu dari kehidupan kejiwaan, yang menyebabkan kita dengan evidensi melepaskan diri dari lembaga-lembaga hukum positif, dalam membedakan antara hukum dan bukan hukum, seperti kita membedakan antara benar dan tidak benar, baik dan buruk, cantik dan jelek).48 Di dalam ilmu hukum ada banyak pendapat mengenai kesadaran hukum sebagaimana juga telah dikemukakan diatas. Di antara sekian banyak pengertian-pengertian itu, terdapat suatu rumusan bahwa sumber satu-satunya hukum dan kekuatan mengikatnya adalah
48
Ibid.
28
kesadaran hukum.49 Kesadaran hukum sangat diperlukan untuk mengoptimalisasikan penegakan hukum terhadap prostitusi cyber. e.
Teori ketaatan hukum Brian H. Bix dalam karya editornya yang berjudul A Dictionary of Legal Theory sebagaimana dikutip Achmad Ali50 menguraikan tentang obligation to obey the law (kewajiban untuk menaati hukum), bahwa merupakan satu isu penting yang senantiasa muncul berulang di dalam ilmu hukum adalah apakah atau seluas apakah adanya an obligation to obey the law (satu kewajiban untuk menaati hukum). Oleh an obligation to obey (suatu kewajiban untuk menaati), maka referensi yang umum dalam hal itu biasanya adalah karena adanya a moral obligation (kewajiban moral), dimana a legal obligation to obey the law (suatu kewajiban hukum untuk menaati hukum) adalah being a near-tautology. Kedua, kewajiban hukum
tersebut, biasanya
diasumsikan untuk menjadi a prima-facie obligation (kewajiban utama), yang dapat mengatasi jika ada satu alasan moral yang lebih kuat untuk bertindak yang bertentangan dengan preskripsi hukum. Ketiga, diantara para komentator yang memercayai bahwa ada suatu kewajiban moral untuk menaati hukum, maka kesimpulan mereka
49
Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 167, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II). 50
Achmad Ali I, op.cit.
29
biasanya diadakan untuk menerapkan hanya terhadap sistem hukum yang bersifat umum. Hari
Chand
dalam
bukunya
yang
berjudul
Modern
Jurisprudence mengutip pendapat Weber mengenai mengapa orang menaati hukum sebagaimana yang ditulis dalam halaman 176 yakni: Weber says that the motive obedience may be of many defferent kinds. They are predominantly utilitarian, ethical or subjectively conventional, i.e., consisting of the fear of disapproval by the environment. Tracing the habit of obeying, Weber finds that it is a primary psychological fact though it is not possible to know the experiences of the first homo sapiens. He say: it not due the assumed binding force of some rule or norm that the conduct of primitive man manifests certain factual regularities, especially in his relation to his fellows. On the contrary, those organically conditioned regularities which we have to accept as psychological reality, are primary. It is from them that the concept of ‘natural norm’ arises.51 (Weber mengatakan bahwa motif dari ketaatan mungkin banyak perbedaan jenisnya. Mereka sebagian besar adalah kemanfaatan, etis atau subyektif konvensional, yaitu, terdiri dari rasa takut ditolak oleh lingkungan. Menilik kebiasaan untuk menaati, Weber menemukan bahwa itu adalah fakta psikologis primer meskipun tidak mungkin untuk mengetahui pengalaman dari homo sapiens (manusia) pertama. Dia berkata: itu bukan karena kekuatan mengikat diasumsikan dari beberapa aturan atau norma yang termanifestasi dari perilaku manusia primitif dalam keteraturan faktual tertentu, terutama dalam hubungannya dengan teman-temannya. Sebaliknya, keteraturan organik yang kita terima sebagai kenyataan psikologis yang utama. Ini adalah dari mereka bahwa konsep „norma alamiah‟ yang timbul.)
51
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur, hal. 176.
30
Dengan demikian ketaatan hukum merupakan suatu kewajiban moral dan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan dalam kerangka penegakan hukum terhadap prostitusi cyber. f.
Teori pemidanaan Sanksi merupakan elemen terpenting dalam pengkajian hukum pidana yang membedakan dengan bidang hukum lainnya. Dalam hukum pidana dikenal tiga teori pemidanaan yakni: 1) Teori imbalan (absolute/ vergeldingtheorie) Menurut teori ini dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku yang harus diberi penderitaan. Teori ini juga disebut dengan teori pembalasan. Pembalasan tersebut dipandang sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional, karena itu mempunyai sifat yang irasional.52 Dalam teori ini Hegel mengajarkan bahwa “hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh sebab itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding (pembalasan dialektis).”53
105.
52
J. E. Sahetapy, 1998, Kriminologi, Rajawali, Jakarta, hal 11.
53
Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
31
2) Teori maksud atau tujuan (relative/ doeltheorie) Dalam perkembangan pemikiran mengenai pemidanaan lahirnya teori pemidanaan tujuan. Teori ini juga diistilahkan dengan teori pemidanaan relatif, teori maksud dan teori prevensi. Berdasarkan teori ini hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.54 Dalam kaitannya dengan elemen prevensi Gennaro F. Vito dan Ronald M. Holmes sebagaimana ditulis oleh Widodo55 menyatakan: Element of deterrence theory: a) The primary assumtion behind deterrence theory is that individual have free will and are rational. b) In order for punishment to have the maximum detterent effect, they should guarantee that the anticipated benefit from a criminal act will not be enjoyed. c) Certainly of punishment (especially of apprehension) is more important then severity of punishment. The level of punishment should reflect the severity of the crime. d) Punishment should be uniform: all person, regardless of their position, status, or power, convicted of the same crime punishment. e) All penalties should be known in order to prevent the rational individual from committing crime. (Elemen teori pencegahan:
54
55
Ibid., hal. 106.
Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 73.
32
a) asumsi utama di balik teori pencegahan adalah bahwa individu memiliki kehendak bebas dan rasional. b) Dalam rangka memberikan hukuman yang memiliki efek pencegahan maksimal, mereka harus menjamin bahwa manfaat antisipasi dari tindak pidana tidak akan dinikmati. c) Tentu saja hukuman (khususnya ketakutan) adalah lebih penting dari beratnya hukuman. Tingkat hukuman harus mencerminkan beratnya kejahatan. d) Hukuman harus seragam: semua orang, terlepas dari posisi mereka, status, atau kekuasaan, divonis dengan hukuman kejahatan yang sama. e) Seluruh denda harus diketahui untuk mencegah individu rasional dari melakukan kejahatan Dengan demikian berdasarkan teori ini, maka pemidanaan bukan ditujukan untuk pembalasan melainkan untuk mencegah terjadinya atau terulangnya tindak pidana. Untuk itu maka narapidana yang menjalankan hukumannya wajib mendapatkan hak-hak dasarnya tanpa ada diskriminasi. 3) Teori gabungan (verenigingstheorie) Teori
gabungan
merupakan
perpaduan
antara
vergeldingtheorie dan doeltheorie. Gabungan dua teori ini mengajarkan
bahwa
penjatuhan
hukuman
adalah
untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.56 g.
Teori alat Dalam undang-undang tidak dijelaskan megenai waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana, oleh sebab itu penentuan
56
Leden Marpaung, op.cit., hal. 107.
33
mengenai waktu dan tempat tindak pidana dalam praktik hukum didasarkan pada teori-teori yang ada. Untuk menentukan sejak kapan dan kapan berakhirnya tindak pidana serta tempat dilakukannya tindak pidana maka ada tiga teori yang dapat menjawab hal tersebut yakni: 1) Teori perbuatan jasmani (leer van het materiele feit). Menurut teori ini, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat dimana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan. 2) Teori alat (leer van het instrument). Menurut teori alat (leer van het instrument), waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat dimana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana. 3) Teori akibat (leer van het gevolg). Menurut teori akibat maka waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat dimana akibat dari perbuatan itu timbul.57 Teori-teori ini bukanlah teori yang harus dipertentangkan satu sama lain. Tidak ada yang lebih diunggulkan dan harus diikuti hakim, semuanya tergantung kebijakan hakim dan bersifat kasuistis. Terkait dengan pembahasan mengenai prostitusi cyber maka teori yang relevan dipergunakan adalah teori alat sebab perangkat elektronik
57
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 140, (selanjutnya disebut Adami Chazawi I).
34
yang menjadi media dari prostitusi adalah alat yang digunakan untuk melakukan suatu perbuatan. Mengenai teori ini Leden Marpaung mengemukakan bahwa yang dianggap sebagai tempat kejahatan dilakukan adalah tempat dimana alat yang dipakai guna melakukan kejahatan itu menimbulkan akibat.58 2.
Kerangka berpikir. Dalam tesis ini, teoritical framework dapat disajikan dalam gambar berikut ini: Gambar 1 Kerangka berpikir Asas-asas pidana internasional Teori yurisdiksi Teori sistem hukum
Prostitusi
Teori hukum Penegakan hukum
penegakan
Teori pemidanaan Teori alat
Prostitusi Cyber Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum Teknologi Informasi
58
Leden Marpaung, op.cit., hal 116.
Teori hukum
kesadaran
Teori hukum
ketaatan
35
1.7 Metode Penelitian 1.
Jenis penelitian. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum (legal research) karena menganalisis permasalahan sosial melalui perspektif hukum. J. Myron Jacobstein and Roy M. Mersky dalam bukunya yang berjudul “Fundamentals of Legal Research” sebagaimana dipublikasikan oleh wikipedia mengartikan: Legal research, according to one source, is the process of identifying and retrieving information necessary to support legal decision-making. In its broadest sense, legal research includes each step of a course of action that begins with an analysis of the facts of a problem and concludes with the application and communication of the results of the investigation. 59 (Penelitian Hukum, menurut satu sumber, adalah proses mengidentifikasi dan mengambil informasi yang diperlukan untuk mendukung pengambilan keputusan hukum. Dalam arti luas, penelitian hukum meliputi setiap langkah dari tindakan yang diawali dengan analisis fakta-fakta masalah dan diakhiri dengan aplikasi dan komunikasi hasil penyelidikan). Penelitian hukum dibagi menjadi dua aspek yakni penelitian hukum yang aspeknya normatif dan penelitian hukum yang aspeknya empiris. Penelitian ini menyangkut data maka dengan sendirinya merupakan penelitian empiris.60 Penelitian empiris dalam tesis ini mengkaji mengenai bekerja instrumen hukum yang mengatur mengenai prostitusi cyber di dalam masyarakat sehingga dapat dianalisis mengenai penegakan hukum
59
Wikipedia, 2010, “Legal research in the United States”, Serial Online 27 December 2010 at 19:45., (Cited on 2009 Oct. 29), available from: URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Legal_research_in_the_United_States. . 60 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada university Press, Yogyakarta, hal 2.
36
serta faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional. Pendekatan dalam tesis ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan ontologi yang digunakan adalah relativism-local and spesific constructes realities dan epistemologi transactional dengan metodologi hermeneutika/ dialektika.61 2.
Sifat penelitian. Penelitian mengenai penegakan hukum terhadap prostitusi cyber merupakan penelitian yang menggunakan pengetahuan yang masih baru dengan teori-teori serta ketentuan hukum yang sangat terbatas. Begitu pula dengan publikasi ilmiah yang membahas tentang permasalahan tersebut sangat sedikit. Oleh sebab itu sifat penelitian dalam tesis ini adalah penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan). Sifat eksploratif ini berimplikasi pada keharusan melakukan penelitian yang mendasar (fundamental research). Menurut Terry Hutchinson, fundamental research adalah “research designed to secure a deeper understanding of law as a social phenomenon, including research on the historical, phyloshopical, linguistic, economic, social or political implications
of
law.”62
Pembahasan
dalam
penelitian
ini
akan
mengkonstruksikan permasalahan dalam suatu bingkai fenomena sosial
61
Denzin Guba sebagaimana disunting oleh Agus Salim, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzing Guba dan Penerapannya), Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, hal. 48-49. 62
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney, hal. 10.
37
yang dikaji dari aspek historis, filsafat, bahasa, ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi hukum. Dalam penelitian ini akan dieksplorasi secara mendalam mengenai hal-hal baru dan gejala-gejala tertentu yang belum terungkap mengenai penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional. 3.
Data dan sumber data. Dalam penelitian hukum empiris digunakan dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Sumber data yang dipakai dalam penulisan tesis ini berasal dari: 1) Data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data primer yang dicari berupa data tentang prostitusi cyber yang bersumber dari observasi tidak langsung melalui media internet dan data tentang penegakan hukum yang bersumber dari wawancara tidak terstruktur. Data mengenai prostitusi cyber terkait dengan keberadaan prostitusi di blog dan jejaring sosial sedangkan data tentang penegakan hukum terdiri atas data mengenai penegak hukum, masyarakat dan masyarakat pelaku. 2) Data sekunder. Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh penulis. Data sekunder ini terdiri dari:
38
a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.63 Bahan hukum primer yang digunakan adalah : 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235. 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720. 4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843. 5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
63
hal. 113.
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
39
2009 Nomor 5. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960. 6) Universal Declaration of Human Rights. 7) International Covenant on Civil and Political Rights. 8) United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. 9) ASEAN Declaration on Transnational Crime di Manila pada 20 Desember 1997. b) Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.64 Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur hukum (buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de herseende leer) ), hasil penelitian, pendapat para pakar hukum, jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian maupun literatur non hukum, dan artikel-artikel yang diperoleh dalam media elektronik. Data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen hukum baik dalam bentuk undang-undang dan perjanjian internasional, literatur, jurnal, artikel dan majalah baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. 4.
Teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
64
Ibid, hal. 114.
40
1) Studi kepustakaan, teknik ini merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitan hukum. Metode pengumpulan data ini sangat bermanfaat karena dapat dilakukan tanpa mengganggu objek atau suasana
penelitian.65
mengumpulkan
Studi
bahan-bahan
kepustakaan hukum
yang
dilakukan
dalam
relevan
dengan
permasalahan yang dibahas. 2) Observasi atau pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejalagejala yang diselidiki.66 Dalam Redaksi Wikipedia disebutkan bahwa “Observation is either an activity of a living being (such as a human), consisting of receiving knowledge of the outside world through the senses, or the recording of data using scientific instruments. The term may also refer to any datum collected during this activity”67 (Pengamatan adalah salah satu kegiatan makhluk hidup (seperti manusia), yang terdiri dari menerima pengetahuan tentang dunia luar melalui indera, atau pencatatan data menggunakan instrumen ilmiah. Istilah ini juga dapat merujuk kepada datum yang dikumpulkan selama kegiatan ini). Observasi dalam penelitian ini adalah observasi tidak langsung yakni dengan menggunakan media internet dalam
65
Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 225. 66
Cholid Narbuko, dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 70. 67
Redaksi Wikipedia, tanpa tahun edisi, “Observation”, Serial Online (Cited on 2009 Oct. 29), available from: URL: http://www.wikipedia.org.
41
mengamati aktivitas prostitusi cyber baik pada situs blog maupun dalam jejaring sosial. 3) Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dengan mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.68 Metode wawancara yang dilakukan adalah dengan wawancara tidak terstruktur (unstructured interview) dimana peneliti hanya mempersiapkan pertanyaan pokok saja, ketika informan selesai memberikan jawaban maka peneliti kembali menanyakan halhal yang belum jelas. Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan pokok bahasan yang lain. Wawancara dilakukan pada unit Transnational Crime Coordination Team (TNCT) Polda Bali, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Provinsi Bali pakar dan praktisi telematika, masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokalisasi, netter dan masyarakat pelaku. 5.
Teknik penentuan sampel penelitian. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.69 Teknik penentuan sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Purposive sampling adalah penarikan sampel berdasarkan tujuan tertentu yang dipilih sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan berdasarkan kriteria dan karakteristik tertentu. Teknik ini digunakan
68
Cholid Narbuko, dan H. Abu Achmadi, op.cit., hal. 83.
69
Bambang Sunggono, op.cit., hal. 119.
42
dalam menentukan lokasi cyber space yang akan diteliti yakni pada situs blog dan jejaring sosial sebab situs-situs tersebut yang paling banyak digunakan sebagai media transaksi dalam prostitusi cyber. Selain itu, situs tersebutlah yang digunakan oleh para netter dari segala umur untuk berselancar di dunia maya. 2) Snowball Sampling adalah teknik penarikan sampel yang didasarkan pada rekomendasi dari sampel sebelumnya. Dalam pengumpulan data melalui teknik wawancara maka snowball sampling ini sangat bermanfaat
untuk
mencari
jawaban
permasalahan
secara
komprehensif. Sehingga nantinya akan terjawab titik temu mengenai penegakan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
terhadap
prostitusi
cyber
dalam
anatomi
kejahatan
transnasional. Adapun informan kunci adalah Komandan Unit TNCT Polda Bali untuk meneliti penanganan kasus prostitusi cyber, kemudian membahas permasalahan hukum ini dengan bahasa telematika melalui wawancara dengan pakar dan praktisi telematika, selanjutnya membahas dari segi perlindungan anak dan perempuan melalui wawancara di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Provinsi Bali. Wawancara juga dilakukan terhadap masyarakat pengguna internet untuk mengetahui tanggapan mereka mengenai keberadaan prostitusi cyber, masyarakat di sekitar lokalisasi, netter dan masyarakat pelaku. Wawancara terhadap ketiga komponen tersebut diarahkan pada penemuan data mengenai faktor
43
masyarakat (kesadaran hukum masyarakat) dan faktor budaya yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap prostitusi dan prostitusi cyber. 6.
Teknik pengolahan dan analisis data. Teknik pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil dari pengumpulan data sehingga siap dipakai untuk dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya Burhan Ashsofa menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan metode kualitatif yaitu dengan mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat
melalui penggalian kasus-kasus konkrit dan keadaan
hukum di lapangan yang mana terfokus pada pengkajian terhadap pemikiran, makna dan cara pandang baik masyarakat, ahli hukum maupun penulis sendiri mengenai gejala-gejala yang menjadi objek penelitian.70 Setelah melalui proses pengolahan yang selektif, kemudian data tersebut dijabarkan secara deskriptif analisis, yaitu dijabarkan dalam bentuk uraian–uraian yang nantinya dapat menjawab permasalahan yang dibahas. Bambang Sunggono mengemukakan bahwa deskriptif analitis adalah bahwa ”permasalahan yang ada dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian yang berhubungan dengan teori-teori hukum yang ada sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.”71 Data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tersebut dikaji kembali dengan
pendekatan
triangulasi.
Pendekatan
ini
bertujuan
untuk
70
Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, cet ke-3, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 57.
71
Bambang Sunggono, op.cit, hal 134.
44
memverifikasi kebenaran data yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data untuk menjamin validitas dan reliabilitas data. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi metode yakni dengan membandingkan data yang diperoleh dengan metode observasi dan wawancara, triangulasi sumber data yakni dengan menggunakan data primer dan data sekunder serta triangulasi teori yakni membandingkan informasi yang diperoleh dengan pelbagai perspektif teori untuk menghindari subjektifikas peneliti. Teori-teori hukum yang telah dijabarkan sebelumnya akan disentesis dengan hasil penelitian di lapangan untuk mendapatkan gambaran pembahasan dan solusi tentang penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional.
45
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM DAN PROSTITUSI CYBER
2.1 Pengertian Penegakan Hukum Proses pembangunan harus diupayakan agar berjalan secara teratur dan berkelanjutan (sustainable development) di setiap sektor dan lintas sektoral. Soerjono
Soekanto
dalam
tulisannya
mengemukakan
“Pembangunan
merupakan perubahan terencana dan teratur yang antara lain mencakup aspekaspek politik, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.”72 Salah satu bagian penting dari gerakan pembangunan adalah pembangunan hukum. Mengenai pembangunan hukum, Otje Salman dan Anton F. Susanto berpendapat bahwa pembangun hukum ini harus mencakup tiga aspek yang secara simultan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan (legislation planning), proses pembuatannya (law making procces), sampai kepada penegakan hukum (law enforcement) yang dibangun melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.73 Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial dan substansial dalam negara hukum sebab sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudikno
72
Soerjono Soekanto, 1986, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 11, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III). 73
Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal. 154.
46
Mertokusumo bahwa salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum.74 Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Masalah Penegakan Hukum” menyatakan bahwa: Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Oleh karena itu pertimbangan secara nyata hanya diterapkan selektif dalam masalah penanggulangan kejahatan.75 Wayne La Favre menjelaskan bahwa “penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.”76 Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang berjudul Etika Profesi Hukum mengungkapkan bahwa “penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali.” Lebih lanjut dengan mengutip pendapat Notohamidjojo dikatakan bahwa ada empat norma penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan dan kejujuran.77
74
Sudikno Mertokusumo, “Sistem Peradilan di Indonesia”, Serial Online 24 Maret 2008, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://sudiknoartikel.blogspot.com/search?updatedmin=2008-01-01T00%3A00%3A00-08%3A00&updated-max=2009-01-01T00%3A00%3A0008%3A00&max-results=17. 75
Satjipto Rahardjo, 1995, Masalah Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 80, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I).
115.
76
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 7.
77
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra aditya Bakti, Bandung, hal.
47
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan penegakan hukum adalah bagian dari pembangunan hukum yang mengarah pada upaya-upaya menerapkan hukum untuk mengembalikan keseimbangan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Penegakan hukum (law enforcement) dibangun melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat. Mengenai kesadaran hukum ini, Ewick dan Silbey membagi kesadaran hukum menjadi tiga bentuk yakni consciousness as attitude (kesadaran sebagai sikap), consciousness as epiphenomenon (kesadaran sebagai epiphenomenon) dan consciousness as cultural practice (kesadaran sebagai praktik kultural). Konsep dari kesadaran sebagai sikap menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial dari semua ukuran dan tipe (keluarga-keluarga, kelompok-kelompok sebaya, kelompok-kelompok kerja, perusahaan-perusahaan, komunitas-komunitas, institusi-institusi hukum dan masyarakat-masyarakat), muncul dari tindakan-tindakan bersama individuindividu.78 Konsep
consciousness
as
epiphenomenon
(kesadaran
sebagai
epiphenomenon) memandang kesadaran sebagai produk samping dari operasi struktur-struktur sosial, ketimbang agen formatif dalam membentuk strukturstruktur. Sedangkan konsep consciousness as cultural practice (kesadaran sebagai praktik kultural) muncul dari hubungan timbal balik dalam suatu proses sosial. Kesadaran hukum terbentuk di dalam dan diubah oleh tindakan
78
Achmad Ali I, op.cit., hal. 314.
48
sosial masyarakat.79 Dengan demikian kesadaran hukum merupakan modalitas fundamental dalam penegakan hukum. Kualitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekadar kualitas formal, tetapi terutama kualitas penegakan hukum secara material/ substansial. Kualitas substantif jelas lebih menekankan pada aspek immateriil/ non fisik dari pembangunan masyarakat/ nasional. Pembangunan nasional tidak hanya bertujuan meningkatkan kualitas masyarakat (lingkungan hidup dan kehidupan) secara materiil, tetapi juga secara immateriil. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya membangun dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang lebih berbudaya dan bermakna.80 Oleh sebab itu penegakan hukum bukan hanya berada pada dimensi yuridis saja melainkan pada dimensi sosiologis dan filosofis. Penyimpangan dalam penegakan hukum yang tidak mendasar sama sekali (penyimpangan negatif), akan nampak sebagai penegakan hukum yang bersifat represif. Akan tetapi dapat saja terjadi penyimpangan penegakan hukum dalam rangka untuk mencapai tujuan hukum yang didasari kepentingan umum, merupakan usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare) sehingga dalam penegakan hukum dapat saja terjadi sebagai actual enforcement yang tidak dapat dihindari. Namun demikian actual enforcement
79
80
Ibid., hal. 316-319.
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 19-20 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I) .
49
dalam hal ini dilakukan semata-mata untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.81 2.2 Esensi Fundamen Penegakan Hukum Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang kompleks karena terdapat pertautan antara sistem hukum dengan sistem sosial lainnya. Apalagi di era digitalisasi dimana teknologi telah membawa pengaruh besar dalam diskursus penegakan hukum. Hal ini juga menjadi perhatian khusus bagi Satjipto Rahardjo dimana dalam bukunya beliau mengatakan “Perkembangan teknologi tersebut pada suatu ketika juga menantang pemikiran tentang caracara konvensional yang dipakai selama ini dalam penegakan hukum, khususnya dalam hal mengontrol ketertiban.”82 Maka sangat wajar dikatakan bahwa penegakan hukum terhadap cyber crime merupakan sejarah baru dalam diskursus penegakan hukum. Secara praktis, penegakan hukum memiliki beberapa arti penting yakni bagi negara, bagi pembangunan nasional, bagi pelaku dan bagi korban. Adapun secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Penegakan hukum bagi negara. Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai tujuan hukum. Melalui penegakan hukum, diharapkan tujuan hukum dapat tercapai sehingga dapat
81
Sunarto, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM Dalam Penegakan Hukum Pidana, dalam Muladi (ed)., 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal 140, (selanjutnya disebut Muladi I). 82
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 152, (selan jutnya disebut Satjipto Rahardjo II).
50
berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun fungsi hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni fungsi hukum secara klasik yang meliputi keadilan dan ketertiban serta fungsi hukum secara modern yaitu sebagai sarana pembaruan masyarakat.83 Fungsi hukum secara klasik dan modern saling bersinergi dalam kultur dan arah berhukum bagi masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa, fungsi hukum dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaruan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan, bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dipandang penting dan diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana itu.84 b.
Penegakan hukum bagi pembangunan nasional Penegakan hukum memiliki esensi penting dalam memajukan pembangunan nasional. Muladi sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom menjelaskan hubungan antara penegakan hukum dengan pembangunan nasional dimana tujuan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pidana
83
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 12, (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom I). 84
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat: Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksana Pembaruan Hukum, BPHN-LIPI, Jakarta, hal. 9.
51
yang merupakan bagian dari politik kriminal, pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah bila dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan (termasuk usaha penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral rencana pembangunan nasional.85 Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengidentifikasi ciri-ciri yang sebaiknya ada pada penegakan hukum untuk pembangunan yakni: a. Mempunyai kesadaran lingkungan, artinya tindakan-tindakan dalam penegakan hukum hendaknya mengait kepada proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik dan sebagainya. b. Menyadari kedudukan dan kualifikasinya sebagai suatu badan yang harus ikut menggerakkan perubahan-perubahan. c. Penegakan hukum akan banyak terlibat kepada masalah perbuatanperbuatan keputusan daripada sekadar menjadi badan yang melaksanakan saja.86 Apabila ciri-ciri di atas tercermin dalam penegakan hukum maka dapat dikatakan bahwa penegakan hukum telah memberikan sumbangsih dalam pembangunan nasional. c.
Penegakan hukum sebagai bentuk perlindungan bagi pelaku Penegakan hukum sebagai bentuk perlindungan bagi pelaku dapat ditelaah dari teori-teori pemidanaan yang semakin hari semakin berkembang. Teori-teori pemidanaan (prevensi dan gabungan) semakin
85
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit., hal. 8-9.
86
Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 140-141.
52
dikembangkan menuju arah perlindungan dan keseimbangan kepentingan antara offender dengan victim. Perkembangan inilah yang melahirkan ide mengenai teori individualisasi pemidanaan. Seldonm Gluack menyatakan bahwa individualisasi pemidanaan menunjukkan corak atau model perawatan narapidana yang tegas dan dibedakan dari tahap satu ke tahap berikutnya. Keputusan tentang perawatan narapidana sebaiknya dibuat oleh suatu lembaga khusus yang berkualitas dalam melakukan evaluasi dan penafsiran terhadap diri pelanggar dari sisi psikiatri, psikologis dan data
sosiologis.
Gluack
sebagaimana
ditulis
Widodo87selanjutnya
mengemukakan mengenai empat prinsip yang mendasari individualisasi pemidanaan yaitu: a) The treatment (sentences-imposing) feature of the proceedings must be sharply differentiated from the guilt-finding phase. b) The decision as to treatment must be made by a board or tribunal specially qualified in the interpretation and evaluation of psichiatric, psycological, and sosiologic. c) The treatment must be modifiable in the light of scientific reports of progress. d) The right of the individual must be safeguarded against possible arbitrariness or other unlawful action on the part of the treatment tribunal. a) Bentuk perlakuan (kalimat-menerapkan) dari proses harus tajam dibedakan dari fase temuan rasa bersalah. b) Keputusan untuk pengobatan harus dilakukan oleh dewan atau pengadilan khusus yang berkualitas dalam interpretasi dan evaluasi psikiatri, psikologis, dan sosiologis. c) Pengobatan harus dimodifikasi secara jelas dalam kemajuan laporan ilmiah. d) Hak individu harus dijaga terhadap kemungkinan kesewenangwenangan atau tindakan melanggar hukum lainnya pada bagian dari perlakuan pengadilan.
87
Widodo,op.cit., hal. 123.
53
Penegakan hukum ditujukan untuk kepentingan pelaku yakni menjamin hak-hak tersangka atau terdakwa dalam setiap proses hukum yang dijalaninya serta mengubah perilaku jahat dari warga binaan (apabila ia divonis bersalah dan dipidana dengan pidana penjara) melalui pemidanaan terhadapnya. d.
Penegakan hukum sebagai bentuk perlindungan bagi korban Korban menurut MU PBB 40/34 tertanggal 29 November 1995 tentang Declaration of Basic Principles of Justice For Victim of Crime and Abuse of Power adalah orang-orang baik secara individual maupun kolektif yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara termasuk peraturan-peraturan
yang
melarang
penyalahgunaan
kekuasaan.88
Pentingnya perlindungan korban juga merupakan implementasi dari ide keseimbangan antara kepentingan pelaku dengan korban. Dilakukannya penegakan hukum oleh penegak hukum juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban yang posisinya sangat lemah dalam perkara pidana. Perlindungan hukum bagi korban dapat dilakukan dengan pemberian kompensasi, restitusi, bantuan tenaga ahli dan pelayanan medis. Di sisi lain korban juga memiliki fungsi strategis dalam penegakan hukum, dimana pelaporan korban menjadi langkah awal dari setiap pengungkapan kasus. Dengan demikian
88
hal. 18.
Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta,
54
penegakan hukum dapat berjalan maksimal jika korban turut berpartisipasi dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh penegak hukum. Penegakan hukum bagi negara, pembangunan, kepentingan pelaku dan kepentingan perlindungan korban merupakan esensi fundamen dari penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum dilakukan melalui serangkaian proses yang mendeskripsikan respon penegak hukum atas peraturan-peraturan hukum yang ada dalam masyarakat. Secara singkat Chambliss dan Seidman menggambarkan proses penegakan hukum sebagai berikut: Gambar 2. Proses penegakan hukum89 All other societal and personal force
Feedback
Rule making instutions Norm Feedback
Norm
Rule sanctioning instutions
All other societal and personal force
Santioning activity
Rule occupant
All other societal and personal force
Dengan demikian dalam penegakan hukum terdapat interaksi antara legislator selaku pembuat norma, lembaga penegak hukum dan masyarakat.
89
Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 28.
55
2.3 Konstruksi Terminologi Cyber Crime Kemajuan di bidang teknologi dan informasi berimplikasi pada perubahan sosial (social change) yang menuju pada pembentukan masyarakat modern. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Satjipto Raharjo yang mengemukakan bahwa “Dalam kehidupan manusia banyak alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat, tetapi perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial.”90 Perubahan sosial ini terlihat pada pelbagai aktivitas yang dilakukan di cyber space. Perkembangan aktivitas di dunia virtual yang didukung oleh berbagai perangkat teknologi diikuti dengan perkembangan hukum yang mengatur menangani aktivitas ini, istilah yang digunakan untuk menyebutkan aturan tersebut adalah cyber law. Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling tidak hanya sekedar terjemahan atas terminologi ”cyber law”. Sampai saat ini ada beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, Hukum Teknologi Informasi, Hukum Siber, Hukum
mayantara
dan
Hukum
Telematika
(Telekomunikasi
dan
Informatika).91
90
91
Satjipto Rahardjo II, op.cit. hal. 96.
Terjemahan istilah-istilah internet dan komputer seringkali menyisakan kesulitan sendiri bagi para ahli bahasa dikarenakan ilmu komputer dan internet merupakan teknologi baru yang terus
56
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Perbedaan istilah tersebut tetap merujuk pada unsur dimana didalamnya memuat atau membicarakan mengenai aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh karena itu dapat dipahami apabila sampai saat ini di kalangan peminat dan pemerhati masalah hukum yang berkaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan istilah cyber law.92 Cyber law merupakan suatu hukum modern yang tidak dapat ditentukan secara pasti karakteristiknya. Hal ini disebabkan karena cyber law merupakan kompilasi dari hukum publik, hukum privat, hukum nasional dan hukum internasional. Cyber law adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada hukum yang tumbuh dalam medium cyber space.93 Howard Rheingold menjelaskan bahwa cyber space adalah sebuah ruang imajiner atau maya yang
menerus berkembang dan menciptakan istilah-istilah baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam ilmu linguistik. Oleh karena itu tidak jarang terjemahan langsung suatu istilah terasa janggal untuk diucapkan maupun ditulis. Redaksi Wikipedia, 2010, “Daftar istilah Internet Indonesia”, Serial Online 15:03, 2 Februari 2010, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_istilah_Internet_Indonesia. 92
93
Ibid.
Yayasan Total Sarana Edukasi, “Cyber Law”, Serial Online 12-April-2004 21:53:11 (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:, http://www.total.or.id/info.php?kk=Cyber%20law.
57
bersifat artifisial, dimana setiap orang melakukan apa saja yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru.94 Urgensi pengaturan aktivitas di dunia maya melalui cyber law ini dipicu dari munculnya pelbagai kejahatan di dunia maya. Terjemahan terhadap istilah cyber crime hingga kini belum ada keseragaman. Ada yang menerjemahkan dengan kejahatan mayantara, kejahatan siber, kejahatan komputer, kejahatan dunia maya, kejahatan virtual dan sebagainya. Secara terminologis, kejahatan yang berbasis teknologi informasi dengan menggunakan media komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer-related crime, computer-assisted crime atau computer crime.95 Dalam laporan Dokumen Kongres PBB ke-10 di Wina tanggal 19 Juli 2000 yang menyebutkan: a. The term ‘computer-related crime’ had been developed encompass both the entirely new forms of crime that were directed at computer, networks and their user, and the more traditional from crime what were now being commited with the use or assistance of computer equipment.... b. Cybercrime is narrow sense (computer crime); any illegal behavior directed by means of electronic operations that targets the security of computer system and the data processed by them. c. Cybercrime in broader sense (computer-related crime); any illegal behavior commited by means of, or in relation to, a computer system network, including such crimes as illegal prossession, offering or distributing information by means of computer system on network.96 a. Istilah „kejahatan yang berkaitan dengan komputer‟ telah berkembang pada seluruh bentuk-bentuk kejahatan baru yang ditujukan pada komputer, jaringan dan pengguna mereka, serta lebih tradisional dari
94
Abdul Wahid dan Muhammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung, hal. 32. 95
Widodo, op.cit. hal. 23.
96
Ibid., hal 23-24.
58
kejahatan apa yang sekarang sedang dilakukan dengan penggunaan atau bantuan peralatan komputer.... b. Kejahatan di dunia maya dalam arti sempit (kejahatan komputer); setiap tindakan melawan hukum yang diarahkan dengan cara operasi elektronik yang menargetkan pada sistem keamanan komputer dan data yang diolah olehnya. c. Kejahatan di dunia maya dalam arti luas (kejahatan yang berkaitan dengan komputer); setiap tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan cara, atau dalam kaitannya dengan suatu sistem jaringan komputer, termasuk kejahatan seperti kepemilikan ilegal, menawarkan atau mendistribusikan informasi melalui jaringan pada sistem komputer. Hal ini ditegaskan pula oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom.97 Mas Wigrantoro Roes Setyadi dan Mirna Dian Avanti Siregar menyatakan meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan Teknologi Informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan komputer. Sehubungan dengan penggunaan istilah cyber crime, Muladi menyatakan pendapatnya bahwa: Istilah-istilah yang digunakan tersebut tetap diarahkan pada pengertian kejahatan terhadap komputer (crime directed at computer), kejahatan dengan mendayagunakan komputer (crimes computer), atau semata-mata kejahatan yang berkaitan dengan komputer (crimes-related to computers), walaupun istilah-istilah tersebut memberikan gambaran yang belum tepat. Meskipun demikian, istilah apapun yang digunakan, berbagai pihak telah berusaha membuat definisinya sendiri-sendiri berdasarkan 98 pemahamannya.
97
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 25, (selanjutnya disebut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II). 98
Mardjono Reksodiputro, 1988, Kejahatan Komputer Suatu Catatan Sementara Dalam KUHP Nasional yang Akan Datang, Prasarana dalam Lokakarya Tentang Bab-bab Kodifikasi Hukum Pidana, BPHN-Departemen Kehakiman RI, Jakarta, hal. 211.
59
Perdebatan mengenai pendefinisian ini sendiri ditegaskan dalam International Review of Criminal Policy-United Nations Manual on The Prevention and Control of Computer-Related Crime sebagai berikut: There has been a great deal of debate among expert on just what constitutes a computer crime or a computer-related crime. Even after several years, there is no internationally recognized definition of those terms. Indeed, throughout this manual the terms computer crime and computer-related crime will be used interchangeably. There is no doubt among the authors and experts who have attempted to arrive at definitions of computer crime that the phenomenon exists. However, the definitions that have been produced tend to relate to the study for which they were written. The intent of authors to be precise about the scope and use of particular definitions means, however, that using these definitions out of their intended context often creates inaccuracies. A global definition of computer crime has not been achieved; rather; functional definitions have been the norm. 99 (Ada banyak perdebatan di kalangan ahli mengenai apa yang merupakan kejahatan komputer atau kejahatan yang terkait dengan komputer. Bahkan setelah beberapa tahun, tidak ada definisi yang diakui secara internasional istilah tersebut. Memang, sepanjang panduan ini istilah komputer dan kejahatan yang terkait dengan komputer akan digunakan secara bergantian. Tidak ada keraguan antara penulis dan ahli yang telah mencoba untuk sampai pada definisi kejahatan komputer bahwa fenomena itu memang ada. Namun, definisi yang telah dihasilkan cenderung berhubungan dengan studi yang mereka ditulis. Maksud penulis harus tepat tentang ruang lingkup dan penggunaan sarana definisi tertentu, penggunaan definisi yang keluar dari konteks yang dimaksudkan mereka, sering menciptakan ketidakakuratan. Definisi global kejahatan komputer belum tercapai, melainkan; definisi fungsional telah menjadi norma). Fenomena cyber crime bukan berarti merevolusi seluruh produk hukum yang ada. Mengenai hal ini Edmon Makarim berpendapat: Pembuat kebijakan hukum harus melihat bahwa sebenarnya produk hukum yang berlaku sekarang mampu mengelimir bentuk kejahatan yang berlaku di interner. Walapun kita mengakui ada beberapa hal yang masih dalam perdebatan akademik saat ini, terutama menyangkut masalah-masalah pembuktian dan yurisdiksi di internet. Oleh karena ini kehadiran aturan
99
Widodo, op.cit., hal. 28.
60
hukum baru memang tidak bisa kita hindari, namun sifatnya sebaiknya hanya pelengkap dari perangkat hukum yang telah ada sekarang.100 Cyber space dan cyber law merupakan dua elemen penting yang harus diperhatikan dalam menanggulangi cyber crime. Adapun hubungan kedua elemen tersebut dapat digambarkan pada skema berikut: Gambar 3 Cyber space dan cyber law (judul oleh penulis).101
Cyber space
subject
subject Rights and leability
Legal protection
Government & community role
national
global
100
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 197, (Selanjutnya disebut Edmon Makarim I). 101
Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 24. (Selanjutnya disebut Edmon Makarim II).
61
Cyber crime memiliki ruang lingkup yang sangat luas karena setiap kejahatan yang dilakukan melalui cyber space digolongkan dalam terminologi cyber crime. Menurut Sutanto dkk. cyber crime secara garis besar terdiri dari 2 jenis yaitu: a.
Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas. Contoh-contoh dari aktivitas ini adalah pembajakan (copyright atau hak cipta intelektual, dan lain-lain); pornografi; pemalsuan dan pencurian kartu kredit (carding); penipuan lewat e-mail; penipuan dan pembobolan rekening bank; perjudian online; terorisme; situs sesat; materi-materi internet yang berkaitan dengan isu SARA (seperti menyebarkan kebencian etnik dan ras atau agama), transaksi dan penyebaran obat terlarang; transaksi seks; dan lain-lain.
b.
Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran. Cyber crime jenis ini bukan memanfaatkan komputer dan internet sebagai media atau sarana tindak pidana, melainkan menjadikannya sebagai sasaran. Contoh dari kejahatan ini adalah pengaksesan suatu sistem secara ilegal (hacking), perusakan situs internet dan server data (cracking), serta defacting.102
102
Sutanto, Hermawan Sulistyo dan Tjuk Sugiarto (ed.), 2005, Cyber Crime - Motif dan Penindakan, Pensil 324, Jakarta, hal.. 21.
62
Donn
Parker
sebagaimana
dikutip
oleh
Al.
Wisnubroto,
mengklasifikasikan kejahatan komputer dari sudut empat peranan komputer dalam kejahatan komputer yakni meliputi: a.
Komputer sebagai objek. Dalam hal ini termasuk kasus-kasus perusakan terhadap komputer, data atau program yang terdapat di dalamnya atau perusakan sarana-sarana komputer seperti AC dan peralatan listrik yang menunjang operasi komputer.
b.
Komputer sebagai subjek. Komputer dapat merupakan atau menimbulkan tempat atau lingkungan untuk melakukan kejahatan, seperti pencurian, penipuan dan pemalsuan yang tidak tradisional akan tetapi yang menyangkut harta-harta benda dalam bentuk baru yaitu berbentuk pulsapulsa elektronis dan guratan-guratan magnetis.
c.
Komputer sebagai alat. Dalam beberapa tipe dan cara-cara kejahatan dipergunakan komputer sehingga peristiwa kejahatannya adalah kompleks dan susah diketahui. Salah satu contoh disini adalah mengenai seseorang yang mengambil warkat-warkat penyetoran dari suatu bank dan mencetak nomor-nomor rekeningnya sendiri dengan tinta magnetis pada warkatwarkat tersebut yang kemudian diletakkan kembali pada tempatnya di bank. Dari mana kemudian para nasabah mengambil dan mengisinya sebagai bukti penyetoran. Pada waktu komputer memproses data pada warkat-warkat tersebut, komputer meng-crediting rekening dari oknum itu yang kemudian menarik uang dengan cek dari rekening sebelum para nasabah yang menyetor tadi mengajukan protesnya.
63
d.
Komputer sebagai simbol. Suatu komputer dapat digunakan sebagai simbol untuk melakukan penipuan atau ancaman. Hal ini termasuk suatu penipuan atau ancaman. Hal ini termasuk penipuan melalui iklan dari suatu “biro jodoh” yang menyatakan bahwa biro jodoh tersebut memakai komputer untuk membantu si korban mencari jodoh, akan tetapi ternyata biro jodoh itu sama sekali tidak memakai komputer untuk keperluan tersebut.103 Dengan mengacu pada pendapat Nazura Abdul Manap, maka cyber
crime dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu: a.
Cyber crimes against property (kejahatan maya terhadap hak milik). Misalnya pencurian informasi properti dan pelayanan, fraud atau cheating, forgery, dan mischief. Tiga terakhir menyangkut perilaku penipuan, pemaksaan, penjambretan dan yang semacam.
b.
Cyber crimes against persons (kejahatan maya terhadap orang). Kejahatan ini meliputi pornografi, cyber harassment (pelecehan, seperti pelecehan seksual, terhadap seseorang melalui dunia maya), cyber stalking (mengejar-ngejar seseorang atau mengikuti terus-menerus sehingga mengganggu orang yang dikejar-kejar), dan cyber trespass ini dibagi lagi ke dalam spam e-mail, web hacking dan breaking to PC. Intinya, masuk ke dalam wilayah pribadi seseorang tanpa izin.
103
Al. Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 26-27.
Penanggulangan
64
c.
Cyber terrorism. Terorisme maya (cyber terrorism) berdimensi luas, tetapi semua menyangkut isu-isu terorisme, mulai dari sekadar pemanfaatan jasa internet untuk berkomunikasi melakukan tindak kejahatan terorisme, hingga pemanfaatan langsung jaringan maya untuk melakukan teror publik.104 Menurut Abdul Wahib dan Muhammad Labib, berdasarkan fakta-fakta
mengenai kejahatan di dunia maya ini, setidaknya dapat dipahami lima hal yaitu: a.
Kejahatan merupakan potret realitas konkrit dari perkembangan kehidupan masyarakat, yang secara langsung maupun tidak langsung telah atau sedang menggugat kondisi masyarakat. Bahwa di dalam kehidupan masyarakat niscaya ada celah kerawanan yang potensial melahirkan individu-individu berperilaku menyimpang. Di dalam diri masyarakat ada pergualatan kepentingan yang tidak selalu dipenuhi dengan jalan yang benar, artinya ada cara-cara tidak benar dan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang guna memenuhi kepentingannya.
b.
Cyber crime dapat disebut sebagai kejahatan yang berelasi dengan kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Ada seseorang yang memanfaatkan dan dimanfaatkan untuk memperluas daya jangkau cyber crime. Kepentingan bisnis, politik, budaya, agama dan lain sebagainya
104
Sutarman, op.cit. hal. 75-76.
65
dapat saja menjadi motif, alasan dan dalil yang membuat seseorang dan sekelompok orang terjerumus pada cyber crime. c.
Cyber crime merupakan salah satu jenis kejahatan yang membahayakan individu, masyarakat dan negara. Jenis kejahatan ini (cyber crime) tidak tepat jika disebut sebagai „crime without victim‟ atau kejahatan tanpa korban, tetapi dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang dapat menimbulkan korban berlapis-lapis baik secara privat maupun publik. Hak privat dapat terancam, terganggu, bahkan rusak atau hilang akibat ulah segelintir orang atau beberapa orang yang memanfaatkan kelebihan ilmunya dan teknologi dengan modus operandi yang tergolong dalam cyber crime.
d.
Cyber crime telah menjadi kejahatan serius yang bisa membahayakan individu, masyarakat, negara dan tatanan kehidupan global, karena pelakupelaku cyber crime secara umum adalah orang-orang yang mempunyai keunggulan kemampuan keilmuan dan teknologi. Siapapun orangnya yang punya kemampuan menggunakan internet bisa terjebak menjadi korban kejahatan ini. Namun sebaliknya, seseorang juga dapat dengan mudah menjadi penjahat-penjahat akibat terkondisikan secara terus-menerus atau dipaksa secara psikologi dan budaya untuk mengikuti serta berkibat kepada pengaruh kriminalitas dan disnormatifitas yang dipenetrasikan masyarakat global.
e.
Korban dari kejahatan ruang maya (cyber crime) semakin hari semakin beragam. Kegiatan-kegiatan kenegaraan yang tentu saja sangat penting
66
bagi kelangsungan hidup masyarakat dan negara tidak selalu bisa dijamin aman dari ancaman penjahat-penjahat jagad maya ini. Hal ini menjadi suatu bukti bahwa kemampuan intelektualitas dan teknologi pelaku kejahatan tidak bisa dianggap ringan oleh aparat penegak hukum. Dalam realitanya, tindak kejahatan ini sudah demikian maju, yang tentu saja sulit disejajarkan dengan kemampuan aparat untuk menanganinya, apalagi bila aparatnya tidak selalu mendapatkan pelatihan-pelatihan yang memadai untuk mengimbangi dan mengantisipasi gerak kejahatan bergaya kontemporer.105 2.4 Prostitusi Cyber Dalam Kerangka Cyber Crime Prostitusi cyber berasal dari dua kata yang masing-masing dapat berdiri sendiri yakni prostitusi dan cyber. Prostitusi berasal dari Bahasa Inggris yaitu prostitution. Frank E. Hagan dalam Introduction Criminology Theories, Method and Criminal Behavior menyatakan bahwa: Prostitution can be defined as the practice of having sexual relations with emotional indifference on a promiscuous and mercenary basis. In some countries and most U.S. states, prostitution itself is not a criminal offense; it is the act of soliciting, selling, or seeking paying customers which is prohibited. Altough sometimes referred to in jest as the ‘world’s oldest profession,’ prostitution certainly has been widespread in societes, both ancient and modern.106 (Prostitusi dapat didefinisikan sebagai praktek melakukan hubungan seksual dengan ketidakpedulian emosional yang labil dan didasarkan pada pembayaran. Di beberapa negara dan sebagian besar negara bagian di AS, prostitusi itu sendiri bukan merupakan tindak pidana; itu adalah tindakan meminta, menjual, atau mencari pelanggan membayar yang dilarang.
105
106
Abdul Wahib dan Muhammad Labib, op.cit., hal. 133.
Frank E. Hagan, 1989, Introduction Criminology Theories, Method and Criminal Behavior, Nelson-Hall Inc., Chicago, hal. 243
67
Meskipun kadang-kadang disebut sebagai „profesi tertua di dunia‟ namun prostitusi telah meluas di masyarakat, baik kuno dan modern. Prostitusi adalah istilah yang sama dengan pelacuran. Pelacuran menurut Soerjono Soekanto dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.107 Lebih lanjut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa sebab pelacuran harus ditelaah dari dua sisi yakni faktor endogen dan faktor eksogen. Di antara faktor-faktor endogen dapat disebutkan nafsu kelamin yang besar, sifat malas dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Di antara faktor-faktor eksogen yang utama adalah faktor ekonomis, urbanisasi yang tak teratur, keadaan perumahan yang tak memenuhi syarat dan seterusnya. Sebab utama yang sebenarnya adalah konflik mental, situasi hidup yang tidak menguntungkan pada masa anak-anak dan pola kepribadian yang kurang dewasa, ditambah dengan inteligensia yang rendah tarafnya.108 Mengenai kejahatan ini, Herbert L. Packer mengatakan: The offense of prostitution bears the same relation to the ‘sin’ of fornication that the offense of commercially disseminating obscene material bears to the "sin" of obscenity. Both represent an attempt to secularize an essentially moralistic judgment about human conduct by fixing upon its commercial aspect as the ‘harm’ to be eliminated.109 (Kejahatan prostitusi bertalian sama dengan „dosa‟ dari percabulan dimana tindak pidana komersial ini telah menyebarluaskan bahan cabul dengan „dosa‟ dari kecabulan. Keduanya merupakan sebuah upaya untuk
107
Soerjono Soekanto, 2005, Sosiologi Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 374, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto IV). 108
109
Ibid., hal. 375.
Herbert L. Packer, The limit of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, hal. 328.
68
menyekulerkan penilaian moralistik esensial tentang perilaku manusia dengan perbaikan pada aspek komersial sebagai „membahayakan‟ untuk dihilangkan. Kata terakhir dari istilah prostitusi cyber menggambarkan tempat dimana aktivitas ini dilakukan. Cyber adalah istilah yang digunakan orang untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan internet atau dunia maya. Wiener sebagai pencetus Cybernetics theory mengakui bahwa istilah cyber sebenarnya pernah digagas oleh Ampere yang namanya digunakan sebagai satuan kuat arus. Oleh karena itu jika ditilik dari asal-usulnya, istilah cyber sebenarnya erat hubungannya dengan kawat listrik. Sehingga tidak mengherankan, jika istilah tersebut juga digunakan untuk organ buatan listrik CYBORG yang merupakan singkatan dari Cybernetics Organics.110 Budi Rahardjo menyatakan bahwa kata cyber berasal dari kata cybernetics, merupakan suatu bidang ilmu yang merupakan perpaduan antara robotik, matematika, elektro dan psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener di tahun 1948. Salah satu aplikasi dari cybernetics adalah di bidang pengendalian (robot) dari jarak jauh. Dalam hal ini tentunya yang diinginkan adalah sebuah kendali yang betul-betul sempurna (perfect control). Karenanya sedikit mengherankan jika kata “cyberspace” yang berasal dari kata “cyber” tidak dapat dikendalikan. Cyber space dapat diatur, meskipun pengaturannya
110
Yayasan Total Sarana Edukasi, loc.cit.
69
membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan cara yang digunakan untuk mengatur dunia maya.111 Dengan demikian prostitusi cyber adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual melalui dunia maya. Dalam State Journal Online disebutkan bahwa “Prostitution is touted as the world’s oldest profession. If that’s true, it’s also one of our longest running crimes. Making the matter worse, the profession is growing thanks to the internet”112 (Prostitusi disebut-sebut sebagai profesi tertua di dunia. Jika itu benar, ini juga salah satu kejahatan paling lama berjalan. Masalah ini semakin memburuk karena profesi ini semakin berkembang berkat internet). Untuk lebih jauh menelaah mengenai prostitusi cyber maka ada baiknya jika terlebih dahulu menyimak mengenai cara-cara praktik prostitusi. Hugh D. Barlow sebagaimana yang dikutip Topo Santoso dalam bukunya yang berjudul “Seksualitas dan Hukum Pidana” mengidentifikasi cara-cara praktik prostitusi dengan menstratifikasi praktek prostitusi tersebut yakni: a.
Golongan yang paling rendah yaitu para pelacur jalanan (the street walkers atau street hookers). Tempat praktiknya adalah di jalan-jalan, loronglorong atau taman kota. Mereka adalah yang terendah dalam hal penerimaan order dibanding pelacur lainnya.
111
Budi Rahardjo, 2003, “Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia”, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.budi.insan.co.id. 112
State Journal, 2010, “Prostitution Poses Problems on the Streets and in Cyber Space”, Serial Online September 1, 2010 ; 06:16 PM, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.statejournal.com/story.cfm?func=viewstory&storyid=85438
70
b.
Para pelacur yang bekerja di rumah-rumah bordil (biasa disebut dengan bordellos, cathouses atau whorehouses). Mereka bekerja di rumah-rumah bordil yang dijalankan (meski tidak selalu dimiliki) oleh para mucikari yang kemungkinan pernah juga berprofesi sama.
c.
Posisi tertinggi adalah mereka yang disebut sebagai gadis panggilan (call girl). Mereka memiliki metode operasi yang sedikit berbeda. Gadis panggilan yang sudah mapan akan selalu menjaga para pelanggannya dengan servis khusus. Rahasia mereka pun relatif lebih terjaga sebab untuk berhubungan dengan mereka sering harus menggunakan referensi khusus, yang biasanya adalah orang-orang terpercaya.113 Dari stratifikasi praktik prostitusi sebagaimana yang dikemukakan oleh
Hugh D. Barlow ini, maka prostitusi cyber berada pada praktik prostitusi dengan posisi tertinggi, dimana pelacur dapat dipesan melalui media cyber. Pengaturan mengenai prostitusi cyber di Indonesia dapat dilihat pada ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merumuskan mengenai perbuatan yang dilarang yakni “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau
mentransmisikan
dan/atau
membuat
dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
113
Topo Santoso, op.cit., hal. 138.
71
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 angka 4 UU Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Pengertian mengenai
“melanggar kesusilaan” sebagaimana
yang
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dipahami melalui penafsiran sistematis terhadap sejumlah ketentuan dalam KUHP. Dalam Pasal 296 KUHP disebutkan
bahwa
“orang
yang
dengan
sengaja
menyebabkan
atau
memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan.”
72
Dengan merujuk pada pasal tersebut maka dapat dipahami bahwa dalam prostitusi dikenal tiga elemen yang saling bersinergi yakni pelacur (prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggannya (client). Tidak semua komponen ini mendapat ancaman pidana. Yang hanya dapat dipidana hanyalah mucikari saja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 296 KUHP. Ketentuan pidana yang dewasa ini diatur dalam Pasal 296 KUHP oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI telah dipandang perlu untuk dipertahankan di dalam KUHP yang baru. Jika yang dilarang di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 296 KUHP antara lain membuat kesengajaan
menyebabkan
dilakukannya
tindakan-tindakan
melanggar
kesusilaan oleh orang lain dengan orang ketiga sebagai mata pencarian, maka yang dilarang di dalam rancangan ketentuan pidana antara lain menjadikan sebagai pekerjaan menghubungkan orang lain berbuat cabul.114 Pasal yang dapat digunakan pula untuk menjaring mucikari adalah Pasal 297 KUHP. Dalam Pasal 297 KUHP mengancam barang siapa yang memperdagangkan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa. Menurut Noyon-Langemeyer sebagaimana dikutip oleh Sudradjat Bassar bahwa perdagangan wanita harus diartikan sebagai semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan tergantung dari kemauan orang lain, yang ingin menguasai perempuan itu
114
P.A.F Lamintang dan Theo Laminang, 2009, Delik-delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 205.
73
untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga (prostitusi).115 Perdagangan orang (human trafficking) sangat mungkin terjadi dalam prostitusi cyber. Perdagangan orang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana adalah: Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Prof. Simon menyatakan bahwa untuk dapat memperdagangkan wanita seorang wanita itu memang diisyaratkan bahwa pelaku harus mempunyai semacam kekuasaan atas wanita tersebut, sehingga ia dapat memperdagangkan. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilakukan pelaku sebelum ia mempunyai semacam kekuasaan atas wanita yang bersangkutan, dapat dipandang sebagai poging atau percobaan untuk melakukan suatu perdagangan wanita.116 Prostitusi cyber merupakan bagian dari cyber crime yang menjadi sisi gelap dari aktivitas di dunia maya. Barda Nawawi Arief bahkan dengan tegas menggolongkannya sebagai cyber crime di bidang kesusilaan atau secara
115
Sudradjat Bassar, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Remadja Karya, Bandung, hal. 173. 116
P.A.F Lamintang dan Theo Laminang, op.cit., hal. 207.
74
sederhana diistilahkan dengan cyber sex. Lebih lanjut beliau dengan mengutip pendapat dari Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah penggunaan internet untuk tujuan-tujuan seksual (the use of the internet for sexual purposes). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh David Greenflied yang mengatakan bahwa cyber sex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual (using the computer for any form of sexual expression or gratification).117 Sebagai bagian dari cyber crime maka prostitusi cyber mempunyai karakteristik yang sama dengan cyber crime. Abdul Wahib dan Mohammad Labib menyatakan bahwa cyber crime memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan kejahatan konvensional yakni: a.
Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/ wilayah siber (cyber space) sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya.
b.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang terhubung dengan internet.
c.
Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian material maupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional.
d. 117
Perlunya orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya.
Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.179, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II).
75
e.
Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/ melintasi batas negara.118 Dengan demikian prostitusi cyber merupakan aktivitas prostitusi yang
dilakukan melalui media internet dengan sistem operasi di cyber space. Oleh sebab itu kejahatan ini dapat dilakukan secara lintas batas negara. 2.5 Prostitusi Cyber Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional Kejahatan kini tidak hanya merupakan masalah sosial dari suatu negara. Berkat kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi, kejahatan dapat dilakukan secara lintas batas negara yang artinya akan menjadi masalah sosial bagi umat manusia dimana pun ia berada. Dalam kajian ini, maka diperlukan instrumen hukum internasional yang dapat menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut. Secara teoritis ada beberapa istilah yang dikenal untuk menggambarkan perbuatan yang merupakan tindak pidana menurut hukum internasional yaitu: a.
Tindak pidana yang berdimensi internasional untuk menggambarkan tindak pidana yang sebenarnya terjadi di dalam wilayah suatu negara dan demikian juga akibat yang ditimbulkannya juga masih terbatas di dalam wilayah negara yang bersangkutan, tetapi melibatkan negara lain, atau pelakunya adalah warga negara dari negara lain, sehingga dalam kasuskasus tersebut negara yang bersangkutan juga akan terkait.
118
Abdul Wahib dan Mohammad Labib, op.cit., hal. 76.
76
b.
Tindak pidana transnasional yang merupakan tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah suatu negara tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di negara atau negara-negara lain, ataupun tindak pidana yang pelakupelakunya berada terpencar pada wilayah dua negara atau lebih dan melakukan satu atau lebih tindak pidana dan baik pelaku maupun tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan yang menimbulkan akibat pada satu atau lebih negara.
c.
Tindak pidana internasional yaitu tindak pidana yang menimbulkan akibat yang sangat luas tanpa mengenal batas-batas wilayah negara, tegasnya akibat-akibatnya, baik langsung maupun tidak langsung, dirasakan sangat membahayakan oleh seluruh atau sebagian besar umat manusia di dunia ini. Tindak pidana semacam ini bisa saja dilakukan dalam wilayah satu negara dan demikian juga akibatnya hanya terbatas pada wilayah negara yang bersangkutan, namun karena masalahnya berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, tentu saja hal ini tidak bisa dipandang sebagai masalah lokal atau nasional semata-mata.119 Romli Atmasasmita mengatakan bahwa ada satu unsur pokok yang
membedakan satu perbuatan sebagai tindak pidana internasional atau bukan, yaitu bahwa tindakan tersebut harus mengandung unsur transnasional atau internasional
yang
salah
satunya
adalah
lintas
batas
teritorial
(transboundaries), di samping juga unsur kebutuhan akan kerjasama antar
119
I Wayan Parthiana, op.cit., hal. 2.
77
negara (necessity element).120 Cherif Bassiouni121 menggambarkan tindak pidana internasional melalui tiga elemen krusial yakni: a.
Unsur internasional, yakni direct threat to world peace and security, indirect threat to world peace and security dan shocking to the conscience of humanity.
b.
Unsur transnasional, yakni conduct affecting more than one state, conduct including or affecting citizens of more than one state dan means and methodes transcend national boundaries.
c.
Unsur necessity adalah cooperation of states necessary to enforce. Unsur tindak pidana internasional tersebut meliputi ancaman secara
langsung atau tidak langsung terhadap perdamaian dan keamanan dunia serta menimbulkan
guncangan
pada
hati
nurani
manusia,
perilaku
yang
mempengaruhi lebih dari satu negara, atau mempengaruhi perilaku termasuk warga negara dari lebih dari satu negara dan sarana dan metode tersebut melampaui batas-batas nasional serta unsur diperlukan adanya kerjasama antar negara dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana ini. Memperhatikan elemen-elemen krusial yang disampaikan oleh Cherif Bassiouni, Shinta Agustina dalam bukunya Hukum Pidana Internasional Dalam Teori dan Praktek menyimpulkan bahwa “perbedaan antara tindak pidana internasional dan tindak pidana transnasional terletak pada unsur-unsur internasional yang tidak dimiliki oleh tindak pidana transnasional. Unsur internasional tersebut adalah ancaman langsung terhadap perdamaian dan
120
Romli Atmasasmita, 1995, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Eresco, Bandung, hal. 50, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II). 121
Sintha Agustina, op.cit., hal. 58.
78
keamanan dunia, ancaman tidak langsung terhadap perdamaian dan keamanan dunia serta perbuatan itu mengguncangkan perasaan kemanusiaan.”122 Romli Atmasasmita kemudian mengatakan bahwa pemberian status sebagai tindak pidana internasional sangat bergantung dari dua faktor yaitu: a.
Tindakan itu sudah merupakan tindak pidana yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat internasional (serious crimes of international cocern), sehingga setiap negara memiliki kewenangan ntuk mengadili tindak pidana itu, tanpa memperhatikan tempat terjadinya tindak pidana itu.
b.
Tindak pidana tersebut merupakan wewenang penuh pengadilan pidana internasional.123 Ketiadaan dua faktor ini menyebabkan tindak pidana yang memiliki
unsur transnasional, baik itu melampaui lintas batas suatu negara atau lebih, atau melibatkan warga negara dari dua negara atau lebih, atau sarana dan prasarana yang digunakan melampaui lintas batas teritorial dua negara atau lebih, hanya merupakan kejahatan transnasional bukan kejahatan internasional. Sementara untuk unsur necessity sebagaimana dikemukakan oleh Bassiouni, tidak terdapat perbedaan bagi kedua jenis tindak pidana ini. Sebab baik tindak pidana internasional
maupun tindak pidana transnasional sama-sama
membutuhkan kerjasama antar negara bagi penanggulangannya.124 Salah satu kejahatan transnasional adalah cyber crime.
122
Shinta Agustina, op.cit., hal. 74.
123
Romli Atmasasmita, 1997, Kejahatan Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 82, (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita III). 124
Shinta Agustina, op.cit., hal. 60.
79
Istilah cyber crime merujuk pada suatu bentuk kejahatan lintas batas negara yang terjadi di cyber space. Kejahatan ini relatif baru dibandingkan dengan jenis kejahatan lainnya yang bersifat konvensional (street crime). Kejahatan yang bersifat konvensional dengan didukung oleh jaringan telematika akan menjadi cyber crime. Dengan demikian cyber crime sesungguhnya adalah kejahatan konvensional yang dikemas dalam bentuk yang baru. Prostitusi cyber adalah salah satu bagian dari cyber crime. Secara khusus prostitusi cyber mempunyai karakteristik tertentu yakni menggunakan peralatan dan teknologi dan memanfaatkan jaringan telematika global. Akibatnya, kejahatan ini dapat berdampak pada siapa saja, kapan saja dan kemana saja tanpa memperhatikan batas-batas teritorial suatu negara. Para pelaku, korban, tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) serta akibat yang ditimbulkan dapat terjadi di beberapa negara. Inilah yang menjadi aspek transnasional dari kejahatan ini. Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, karena ada hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik mengenai cara melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempos delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai negara. Oleh sebab itu kejahatan prostitusi cyber tunduk pada asas-asas hukum pidana internasional dan diatur dalam berbagai perjanjian internasional. Prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional ditegaskan secara
80
normatif dalam United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Palermo Convention) dan Deklarasi ASEAN pada 20 Desember 1997 di Manila.125 Sehingga kejahatan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan transnasional berdasarkan konvensi internasional bukan hukum kebiasaan internasional atau berdasarkan karena pelanggaran HAM. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya adalah nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya berada di dalam batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga terlihat adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Prostitusi cyber yang dilakukan oleh mucikari Indonesia dapat memasarkan pekerja seks yang berasal dari luar negeri dan transaksi seksual juga dapat dilakukan dengan pelanggan di luar negeri. Keadaan inilah yang menunjukkan bahwa prostitusi cyber berada pada anatomi kejahatan transnasional. Dalam praktiknya, tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan
125
United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Palermo Convention) menetapkan bahwa yang termasuk kejahatan transnasional adalah kejahatan narkotika, kejahatan genosida, kejahatan uang palsu, kejahatan di laut bebas dan cyber crime. Deklarasi ASEAN di Manila mengidentifikasi kejahatan transnasional terdiri atas illicit drug trafficking, money laundering, terrorism, arm smuggling, traffiking in persons, sea piracy, currecy counterfeiting dan cyber crime.
81
negara atau negara lainnya, maka nampaknya sifatnya yang transnasional.126 Prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional dapat dijelaskan dengan gambar sebagai berikut: Gambar 4 Prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional Prostitusi cyber
Cyber Crime
Kejahatan yang berdimensi internasional
Kejahatan Transnasional
Kejahatan internasional
Kejahatan dalam hukum pidana internasional Prostitusi cyber memiliki dampak lebih dari satu negara, hal ini disebabkan karena karakter cyber liberty (kebebasan di dunia maya) sehingga mudah diakses oleh para netter di berbagai negara. Hal ini sesuai dengan karakter kejahatan transnasional yang melintasi batas negara. Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau transnational crime adalah 126
Lilik Mulyadi, “Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://pnpandeglang.go.id/attachments/125_fungsi%20hukum%20pidana%20internasional%20dihubungkan %20dengan%20kejahatan%20transnasional.pdf
82
kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara, kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara, dan sarana dan prasarana serta metode-metode yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Jadi istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-kejahatan yang sebenarnya nasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan kejahatan atau tindak pidana dalam pengertian nasional semata-mata. Demikian pula sifat internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspekaspeknya sudah meliputi individu, negara, benda, publik dan privat. Sifatnya yang transnasional yang meliputi hampir semua aspek nasional maupun internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan politik.127
127
Law Online Library, “Kejahatan Transnasional Apa Maksudnya?” Serial Online 21 April 2009, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.sigitfahrudin.co.cc/2009/04/kejahatan-transnasional-apa-maksudyna.html
83
BAB III PROSTITUSI CYBER DAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA
3.1 Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Prostitusi Cyber Aktivitas transaksi seks di dunia maya kini menjadi suatu trend yang digunakan oleh para mucikari dalam memasarkan pekerja seksualnya. Salah satu mucikari online membuat sebuah situs berdomain www.wanita18.com dan menawarkan wanita penghibur. Transaksi dilakukan online lewat email atau pun chatting. Jika harga cocok, mucikari akan mengirimkan wanita yang dipesan ke alamat yang disepakati dengan harga per malam, mulai Rp 800.000,00 hingga Rp 1.600.000,00. Pembagian uang dari konsumen, 65% akan diterima sang wanita penghibur dan sisanya untuk mucikari.128 Banyak mucikari yang memanfaatkan ruang virtual ini untuk menjaring pekerja seks dan menjaring konsumen. Mereka rata-rata menggunakan fasilitas chatting dan jejaring sosial. Bahkan berbagai aplikasi di internet dipergunakan oleh pekerja seks untuk memasarkan dirinya sendiri sehingga akan memperpendek mata rantai transaksi seks, yang artinya akan memperbesar margin keuntungan bagi pekerja seks.
128
Detikinet/LiputanOne, 2008, “Transaksi Seks Online Mewabah”, Serial Online, (Cited 201 March 4), available from : URL:http://liputan1.blogspot.com/2008/11/transaksi-seks-onlinemewabah.html
84
Aktivitas prostitusi cyber ini juga ditawarkan melalui iklan di internet yang dikelola oleh korporasi dan dapat diakses secara bebas sebagaimana yang dapat diakses melalui http://www.iklanbarispro.com/iklan/panti-pijat-plusplus-abg-daftar-abg-bispak-smu-bugil.html.
Panti Pijat Plus Plus ABG & Daftar ABG Bispak, SMU Bugil 18 Agustus 2008 04:06 | dibaca 60160 kali
Service dijamin oke..& memuaskan..ditangani cewek-cewek ABG yang ahli pijat, kocok & isep : Nadine 19 f (0817782007),167/49, Vita 17 f, ((081315412077 ).. Lihat tarip dan FOTO nya... buka ---> www.daunmuda.cn Tindak pidana ini sangat berkembang di daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata seperti Bali (Indonesia), Thailand, Kamboja dan Vietnam yang menjadikan aktivitas seksual sebagai salah satu layanan tambahan dari jasa pariwisata yang ditawarkan. Menurut World Tourism Organization (WTO), di seluruh dunia lebih dari satu juta anak dilibatkan dalam kegiatan prostitusi dalam lingkup industri pariwisata. Kondisi anak-anak yang dilibatkan dalam industri tourism sudah sangat dramatis dan ironis karena dari tahun ke tahun pemanfaatan prostitusi anak dalam industri pariwisata mengalami peningkatan. Seorang pria Jepang misalnya memajang foto-foto telanjang anak-anak dalam
85
website Indonesia yang dikelolanya dan mengumumkannya kepada wisatawan Jepang.129 Aktivitas prostitusi kini cenderung dikelola secara profesional melalui usaha sarana jasa pariwisata. Pelayanan ini disediakan oleh hotel dan penginapan untuk mendongkrak jejaring bisnis dan pendapatan usahanya. Agar kegiatan prostitusi itu dapat diketahui oleh calon pengunjung, maka pihak hotel dan penginapan menggunakan fasilitas internet untuk mempublikasikannya baik melalui website maupun dengan email. Pengelolaan prostitusi oleh hotel atau karyawan hotel terjadi di daerah-daerah tujuan wisata di Bali seperti Kuta, Sanur dan Nusa Dua. Bahkan mereka menyediakan jasa lelang keperawanan perempuan dengan mengundang para pengusaha melalui email. Kasus eksploitasi seksual pada anak sangat berkaitan dengan prostitusi cyber sebab kejahatan ini cenderung memperjualbelikan anak untuk menjadi pekerja seksual. Kecenderungan ini disebabkan karena bisnis prostitusi dengan melibatkan anak akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Semakin muda usia pekerja seks maka harga untuk jasa pelayanan seksual yang diberikan pun akan semakin mahal. Di sisi lain anak-anak dengan kepolosannya akan lebih mudah untuk direkrut menjadi pekerja seksual. I Wayan Dana Ardika (masyarakat yang tinggal di kawasan prostitusi)
129
Indra Muda Hutasuhut, , 2010, “Menyelamatkan Tunas Muda dari Pariwisata Seks Anak”, Serial Online 07 September 2010 12:22, (Cited 201 March 4), available from : URL:http://www.pkvhi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=162%3Amenyelamat kan-tunas-muda-dari-pariwisata-seks-anak&catid=43%3Akliping-artikel&Itemid=55.
86
mengatakan bahwa prostitusi yang ada di daerah Cargo disediakan oleh Hotel Hijau yang memang menyediakan dan mengelola pekerja seks yang memberikan pelayanan jasa seksual di tempat tersebut. Pekerja seks di tempat tersebut rata-rata masih berusia sekolah yakni sekitar 13-18 tahun (wawancara pada 13 Mei 2011). Keprihatinan
akan
keterlibatan
anak
dalam
praktik
prostitusi
digambarkan oleh Jonathan Rosenoer dengan berpijak pada Undang-undang Federal yang melarang keterlibatan anak dalam kegiatan ini. Lebih lanjut dikatakan: Federal law prohibits employing, using, persuading, inducing, enticing or coercing a minor to engange in any sexually explicit conduct for the purpose of producing any visual depiction of such conduct. Also barred is the knowing transmission or receipt by computer of visual depictions involving the use of a minor engaged in sexually explicit conduct, as well as knowing publication of a notice or advertisement seeking or offering to receive, exchange, buy, produce, display, distribute, or reproduce such visual depictions.130 (Undang-undang Federal melarang mempekerjakan, menggunakan, membujuk, mendorong, menarik atau memaksa anak-anak untuk bergerak di bidang seksual dengan tujuan menghasilkan gambaran seksual dari perilaku tersebut. Juga dilarang untuk mengetahui transmisi atau penerimaan dengan penggambaran visual komputer yang melibatkan penggunaan anak-anak dalam perilaku seksual secara eksplisit, serta mengetahui penerbitan, pemberitahuan atau iklan yang mencari atau menawarkan untuk menerima, menukar, membeli, memproduksi, menampilkan, mendistribusikan, atau memperbanyak penggambaran visual tersebut). Larangan mengenai eksploitasi seksual di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang tersebut
130
179.
Jonathan Rosenoer, 1997, CyberLaw The Law of the Internet, Springer, New York, hal.
87
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekspolitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Prostitusi cyber merupakan kejahatan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana oleh pelaku. Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, terdapat dua aliran yakni aliran monistis dan dualistis. Pandangan monistis dikemukakan oleh Simon dengan menyatakan bahwa suatu perbuatan yang oleh hukum diancam degan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Menurut aliran monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehinga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.131 Penganut aliran monistis berpendapat bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik meliputi: a.
Kemampuan bertanggung jawab.
b.
Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/ atau kealpaan.
131
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61.
88
c.
Tidak ada alasan pemaaf.132 Kemampuan bertanggung jawab berkaitan dengan keadaan diri si pelaku.
Adanya unsur kesalahan merupakan elemen yang penting untuk dapay dipertanggungjawabkannya subjek hukum. Dalam The Penal Code disebutkan bahwa terminologi “kesalahan/ mens rea” terdiri atas empat elemen yakni purpose, knowledge, recklessness and negligence.133 Pertanggungjawaban pidana menurut aliran dualistis memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Pertanggungjawaban mengandung pencelaan objektif yakni terhadap perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku (asas legalitas) dan dalam arti subjektif yakni pelaku yang patut dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya sehingga ia patut dipidana. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan pemidanaan. Pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan selama tidak ada alasan pembenar dan pemaaf. Alasan-alasan pembenar meliputi keadaan darurat (state ofnecessity), pembelaan darurat (self defence), peraturan perundang-undangan (in according with regulative) dan perintah jabatan yang sah (lawful order). Sedangkan alasan-alasan pemaaf meliputi tidak mampu bertanggung jawab (insanity), daya paksa (compulsion), pembelaan darurat yang melampaui batas
132
133
AZ Abidin, 1983, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 63.
Peter W. Low, 1990, Criminal Law Revised First Edition, West Publishing Co., St. Paul, Minn, hal. 4.
89
(excessive self defence), perintah jabatan yang tidak sah (unlawful order). Achmad Soema Di Pradja selanjutnya menyatakan bahwa: Hanya boleh dijatuhkan pidana apabila syarat-syarat yang berikut terpenuhi: 1.
Harus adanya perbuatan manusiawi (berbuat atau membiarkan).
2.
Dilakukan dalam keadaan, yang menjadikan kelakuan itu melawan hukum.
3.
Si pelaku harus mengetahuinya, sifat senyatanya dari perbuatannya dan keadaan dalam mana perbuatan itu dilakukan atau sepatutnya mengetahuinya (kesalahan yang bertalian dengan kelakuan).
4.
Si pelaku harus mengetahui, sifat melawan hukumnya dari perbuatan yang dilakukannya di bawah keadaan tertentu atau sepatutnya harus diketahuinya (kesalahan yang bertalian dengan sifat melawan hukum).
5.
Tidak seharusnya adanya keadaan psychis yang luar biasa, yang telah memberi pengaruh kepada kelakuan si pelaku, dari penjatuhan pidana itu, seolah adalah tidak tepat.
6.
Si pelaku tidak boleh melakukan perbuatan itu, di bawah tekanan bayangan-bayangan yang mencekam, sehingga ia tidak dapat diharapkan, harus berbuat lain.134 Dilihat dari fakta-fakta yang terjadi dalam prostitusi cyber maka dapat
teridentifikasi bahwa pelaku prostitusi cyber ini bukan hanya individu melainkan juga dapat melalui suatu jaringan bahkan jaringan internasional yang berbentuk korporasi yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Korporasi secara etimologi berasal bahasa Latin yakni dari kata corporatio. Corporatio sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata corporare yang berasal pula dari kata corpus yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian corporatio berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan
134
Achmad Soema Di Pradja, 1982,Asas-asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 66-67.
90
yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap manusia yang terjadi menurut alam.135 Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas, sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Pengertian korporasi dalam dimensi ius constituendum dapat dilihat dalam Rancangan KUHP Baru Buku I 2004-2005 Pasal 182 yang menyatakan “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/ atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa kini korporasi memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk sebagai pelaku kejahatan. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser. Doktrin yang mewarnai WvS Belanda 1886, yakni “universitas deliquere non potest” atau “societas deliquere non potest” (badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana), sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel daderscap).136 Perkembangan hukum modern dewasa ini menginginkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana bagi korporasi apabila ia menjadi mucikari dalam
135
Soetan K. Malikoel Adil, 1955, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, PT Pembangunan, Jakarta, hal. 83. 136
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi, Makalah pada seminar nasional kejahatan korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November 1989, hal, 5.
91
prostitusi cyber. Pertanggungjawaban pidana yang dapat dimintakan pada subjek hukum korporasi ini menurut Oemar Seno Adji didasarkan pada pertimbangan utilitas dan dasar-dasar teoritis yang dibenarkan.137 Tentang pertanggungjawaban korporasi ini Glanviille Williams dalam Muladi dan Dwidja Priyatno mengatakan bahwa “the leability of corporation, like strict liability explifies utilitarians theory in the criminal law. It is based not on the theory of justice but upon the need for the detterence.”138 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab korporasi seperti tanggung jawab yang ketat dalam teori utilitarianisme pada hukum pidana. Pertanggungjawaban korporasi ini bukan hanya didasarkan atas teori keadilan namun juga dibutuhkan dalam instrumen pencegahan. Untuk mengetahui siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam hal korporasi bertindak sebagai mucikari online dalam prostitusi cyber maka harus dilihat terlebih dahulu beberapa teori tentang pertanggungjawaban korporasi.
Barda
Nawawi
Arief
mengemukakan
teori-teori
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai berikut: 1.
Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori identifikasi (identification theory). a.
Perbuatan/ kesalahan “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasi sebagai perbuatan/ kesalahan korporasi;
137
Oemar Seno Adji, 1984, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta,
hal.160. 138
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hal. 18.
92
b.
Disebut juga teori/ doktrin “alter ego” atau “teori organ”: a) Arti sempit (Inggris): hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. b) Arti luas (Amerika Serikat): tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen dibawahnya.
Ada beberapa pendapat untuk mengidentifikasi ”senior officer”: a. Pada umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama; pada umumnya pengendali perusahaan adalah ”para direktur dan manajer”; b. Lord Morris menyatakan bahwa pejabat senior adalah orang yang tanggung jawabnya mewakili/ melambangkan pelaksana dari ”the directing mind and will of the company” (pikiran dan keinginan dari pemimpin melambangkan pikiran dan keinginan dari perusahaan). 2.
Doktrin pertangungjawaban pidana pengganti (vicarious liability) Vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal reponsibility of one person for the wrongful acts of another).139 Dalam pengertian ini, seseorang tetap dapat dimintai pertangggungjawabannya meskipun ia tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa. Doktrin ini didasarkan pada:
Employment principle (prinsip pekerja), bahwa majikan (employer) adalah penanggung jawab utama dari perbuatan para buruh/ karyawan,
139
Romli Atmasasmita, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 93, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita IV).
93
jadi the servant’s act is the master’s act in law (tindakan pekerja adalah tindakan majikan dalam hukum).
The delegation principle (prinsip pendelegasian), bahwa “a guilty mind” dari buruh/ karyawan dapat dihubungkan ke majikan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of powers and duties”) menurut Undangundang.
3.
Doktrin pertangungjawaban pidana (PJP) yang ketat menurut undangundang (”strict liability”) Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat juga semata-mata berdasarkan Undang-undang, terlepas dari doktrin pertanggungjawaban pidana langsung dan doktrin pertangungjawaban pidana pengganti, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/ kondisi/ situasi tertentu yang ditentukan oleh Undang-undang. Pelanggaran kewajiban/ kondisi/ situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah companies offence (kejahatan perusahaan), situational offence (kejahatan situasional) atau strict liability offences (pelanggaran kewajiban yang ketat).140 Menurut doktrin strict liability seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability
140
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 233-238, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III).
94
diartikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).141 L.B. Curson menyatakan bahwa doktrin strict liability ini dilakukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut yakni: 1.
Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
2.
Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu.
3.
Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.142
Dalam hukum pidana dianut suatu asas yaitu tiada pidana tanpa kesalahan atau yang dalam bahasa Jerman disebut dengan keine strafe ohne schuld, dalam bahasa Belanda disebut geen straf zonder schuld, dalam bahasa Latin disebut nulla poena sine culpa sedangkan dalam bahasa Inggris disebut an act does not constitute it self guilt unless the mind is guilty. Kesalahan merupakan unsur terpenting dalam hukum pidana dimana kesalahan merupakan unsur mutlak bagi adanya pertanggungjawaban. Namun asas ini dapat dikesampingkan dengan teori-teori korporasi tadi. Dengan demikian apabila mucikari online adalah korporasi maka yang dipertanggungjawabkan adalah orang yang mengendalikan situs, blog atau jejaring sosial tersebut.
141
Barda Nawawi Arief, 1984, Pelengkap Bahan Kuliah Hukum Pidana I, FH UNDIP, Semarang, hal. 68, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV). 142
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hal. 108.
95
Pentingnya
pertanggungjawaban
pidana
korporasi
ketimbang
pertanggungjawaban individual dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn yang menyatakan: a.
Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan- perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan.
b.
Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya.
c.
Dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut.
d.
Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya.
e.
Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja.
f.
Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal.
g.
Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya.143 Merujuk pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
143
Lucky Raspati, 2007, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Serial Online 29 Juni 2007, (Cited 201 March 4), available from : URL: http://www.seputar-indonesia.com/opinisore/.
96
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana terletak pada subjek hukum setiap orang. Dengan penafsiran sistematis melalui pengertian orang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 maka dapat diketahui bahwa subjek hukum yang dimaksud adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Selanjutnya dalam pasal 52 ayat (4) disebutkan “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.” Dengan
demikian
sangat
jelas
bahwa
subjek
hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan apabila terjadi prostitusi cyber adalah orang dan korporasi baik dalam bentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum. 3.2 Pemidanaan Terhadap Pelaku Prostitusi Cyber Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana merupakan ciri khas yang membedakan hukum pidana dengan bidang hukum lain. Hukuman dalam hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur.144 Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian secara terus-menerus dan seksama terhadap sasaran-sasaran yang hendak dicapai dan konsekuensi-konsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu pada suatu
144
105.
Leden Marpaung, 2008, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
97
saat. Hal ini menumbuhkan pemikiran bahwa pengumpulan bahan-bahan di dalam masalah ini akan menunjang pemecahan masalahnya dengan cara yang sebaik-baiknya.145 Teori yang membenarkan pemberian hukuman pada seseorang yang melanggar hukum dan dibenarkan secara moral adalah teori retributivisme. Menurut teori ini dalam memberikan hukuman haruslah dilihat apakah seseorang itu melanggar hukum. Untuk mengetahui hal ini perlu dilihat perbuatan orang itu pada masa lalu. Kalau orang tersebut pada masa lalu telah melanggar hukum, sudah sepantasnyalah ia menerima hukuman. Maka hukuman yang diberikan tersebut merupakan retribusi dari pelanggaran yang diakibatkan oleh pelanggarannya. Dengan demikian telah sesuai pemberian hukuman itu dan karena itu teori retribusi ini juga dinamakan teori proporsialitas.146 Teori-teori pemidanaan kini semakin dikembangkan menuju arah perlindungan dan keseimbangan kepentingan antara offender dengan victim. Perkembangan pembaharuan hukum pidana dan pemidanaan saat ini telah memasuki era baru dari konsep reaksi pemidanaan (punitive reactions) tumbuh ke arah suatu modifikasi konsep reaksi pembinaan (treatment reactions).147 Perubahan paradigma menuju reaksi pembinaan memberikan
145
Tolib Setiady, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal.
64. 146
Yong Ohoitimur, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 6. 147
Bambang Purnomo, 1984, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hal. 4.
98
implikasi yang signifikan penjatuhan pidana bagi pelaku yang bertujuan mendidik, membina dan sebagai sarana penanggulangan dari kejahatan. Prostitusi cyber adalah kejahatan yang secara nyata ada di dalam masyarakat baik dalam arti kejahatan yuridis maupun kejahatan dalam arti sosiologis. Andi Hamzah memaknai pemidanaan sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman. Kemudian ia memperjelas kembali bahwa pemberian pidana ini ini mempunyai dua arti yaitu: a. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto). b. Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.148 Terkait dengan stelsel sanksi pidana maka dalam Pasal 10 Kitab Undangundang Hukum Pidana menyatakan bahwa pidana terdiri atas: a.
b.
pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. Jenis pidana dalam KUHP ini belum menunjuk pada pemidanaan
terhadap korporasi. Hal ini disebabkan karena subjek hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHP hanya menunjuk pada individu. Selama
148
Tolib Setiady, op.cit., 21-22.
99
ini para pakar hukum memandang bahwa orang-perorangan adalah satusatunya subjek hukum. Oleh sebab itu sangat wajar jika pertanggungjawaban korporasi tidak diatur dalam KUHP. Namun perkembangan hukum menunjukkan banyak tindak pidana yang justru dilakukan oleh suatu badan usaha bahkan badan usaha yang berskala besar. Dalam hal ini tentu saja pertanggungjawaban secara pribadi tidak dapat digunakan. Oleh sebab itu pembangunan hukum mengarah pada teori pemidanaan terhadap korporasi. Mengenai hal ini, Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Perubahan Sosial menyatakan: Pembangunan hukum memandang makna ganda. Pertama, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbarui huukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengeritan yang biasaynya disebut sebagai modernisasi hukum. Kedua, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara ikut mengadakan perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.149
Pembaruan hukum yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana dapat dijelaskan oleh para pakar hukum melalui tujuan pemidanaan korporasi yakni “to deter the corporation from permiting wrongful acts”150 Pemidanaan terhadap korporasi sekalipun sering dikaitkan dengan masalah finansial, namun sebenarnya mengandung tujuan yang lebih jauh. Dalam hal ini Friedmann berpendapat:
149
Satjipto Rahardjo, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandng, hal. 231, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III). 150
A.Z. Abidin, op.cit., hal 54.
100
The main effect and usefulness of a criminal conviction imposed upon a corporation cannot be seen either in any personal injury or in most cases, in the financial detriment but in the public opprobrium and stigma that attaches to a criminal conviction.151 (Pengaruh utama dan kegunaan dari suatu keyakinan pidana yang dijatuhkan pada perusahaan yang tidak bisa dilihat baik dalam cedera pribadi atau dalam banyak kasus, dalam kerugian finansial tetapi dalam pencelaan publik dan stigma yang melekat pada sebuah keyakinan pidana). Perubahan paradigma yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum tidak lepas dari berbagai pemikiran dari para ahli hukum yang mengembang misi hukum responsif.152 Dipidananya korporasi dengan ancaman pidana menurut Goerge E. Dix merupakan suatu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.153 Hal tersebut dapat dijabarkan dari pendapat Roeslan Saleh dalam tulisannya yang berjudul
“Tentang
Tindak
Pidana
dan
Pertanggungjawaban
Pidana.”
Dipidananya pengurus saja menurut Roeslan Saleh tidak cukup mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi dan pengurus atau pengurus saja.154
151
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hal. 20.
152
Istilah hukum responsif pertama kali diperkenalkan oleh Nonet dan Selznick. Nonet dan Selznick lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuanketentuan sosial dan aspirasi publik. Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Yage, 2010, Teori Hukum strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 205. 153
Goerge E. Dix, 1979, Gilbert Law Summeries Criminal Law, Elevent edition, Harcourt Brace Legal and Professional Publications Inc., New York, hal 43. 154
Roeslan Saleh, 1984, Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, BPHN, Jakarta, hal. 52.
101
Pemidanaan korporasi yang menjadi mucikari online pada prostitusi cyber lahir dari penelitian terhadap hukum normatif yang menjadikan badan hukum sebagai bagian dari subjek hukum. Ermanto Fahamsyah dan I Gede Widhiana Suarda dalam jurnal Mimbar Hukum online mengemukakan: The existence of corporations in current globalization and liberal economy is like that of a double-point sword. In one side, they are -useful" (for the sake of economic growth), but they are also harmful (commit crime to gain as much profit as possible) in other one. Recognizing the negative sides of corporations' existence, statutory laws except Indonesian Criminal Code have establihed that corporations can commit crimes and be sentenced. Accordingly, studies on positive Indonesian criminal law have addressed criminal liability theories for corporations namely identification doctrine; vicarious liability doctrine and strict liability doctrine. Indeed, the theories are not based on the general rules in Indonesian Criminal Code due to except Indonesian Criminal Code's principle that corporations can do no crimes. However, law enforcing agents can employ the theories to charge corporate criminals.155 (Keberadaan korporasi dalam arus globalisasi dan ekonomi liberal bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka adalah-berguna “(demi pertumbuhan ekonomi), tetapi mereka juga berbahaya (melakukan kejahatan untuk meraih profit sebanyak mungkin) dalam sisi lainnya. Mengenali sisi negatif dari keberadaan perusahaan, ketentuan hukum kecuali KUHP Indonesia telah menyatakan bahwa korporasi dapat melakukan kejahatan dan dihukum. Dengan demikian, studi tentang hukum pidana positif Indonesia telah membahas teori tanggung jawab pidana bagi perusahaan yaitu doktrin identifikasi; doktrin pertangungjawaban pidana pengganti dan doktrin pertanggungjawaban yang ketat. Memang, teori tidak didasarkan pada aturan-aturan umum dalam KUHP Indonesia, karena dalam bahasa hukum KUHP Indonesia dikatakan bahwa perusahaan tidak dapat melakukan kejahatan. Namun, agen penegak hukum dapat menerapkan teori-teori hukum untuk menjaring penjahat korporasi). Clinard
dan
Yeager
sebagaimana
yang
dikutip
oleh
Muladi,
mengemukakan mengenai kriteria kapan seharusnya sanksi pidana diarahkan pada korporasi yakni dalam hal: 155
Ermanto Fahamsyah dan I Gede Widhiana Suarda, 2006, “Implementasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Kaitannya dengan Kejahatan Korporasi” Serial Online, (Cited 201 March 4), available from : URL: http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/jurnal.php?jrnlId=193.
102
1.
The degree of loss to the public (tingkat kerugian bagi masyarakat).
2.
The level of complicity by high corporate manager (t ingkat keterlibatan oleh manajer perusahaan tinggi).
3.
The duration of violence (durasi kekerasan) .
4.
The Frequency of the violence by corporation (frekuensi kekerasan oleh korporasi).
5.
Evidence of intent to violence (bukti niat dari kekerasan).
6.
The degree of notoriety engendered by the media (tingkat ketenaran yang ditimbulkan oleh media).
7.
Precedent in law (preseden dalam hukum).
8.
The history of serious, violation the corporation (sejarah serius, pelanggaran korporasi).
9.
Deterrence potential (pencegahan potensial).
10. The degree of cooperation evinced by the corporation (Tingkat kerjasama yang tampak oleh korporasi).156
Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi maka lebih baik sanksi perdatalah yang dipergunakan untuk menindak pelaku. Sehubungan dengan pengenaan sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi, Muladi mengatakan “Bilamana tindak pidana yang dilakukan sangat berat, maka berbagai negara dipertimbangkan untuk mengumumkan putusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi atas biaya korporasi, sebab dampak
156
Muladi, 1989, Pelaksanaan Pemidanaan di Bidang Hukum Ekonomi, FH-UNKRIS, Jakarta, hal. 8, (selanjutnya disebut Muladi II).
103
yang ingin dicapai tidak hanya yang mempunyai financial impacts (dampak finansial), tetapi juga yang mempunyai nonfinancial impacts (dampak non finansial).”157 Berdasarkan rumusan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 34158 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka pidana yang dapat dijatuhkan bagi pelaku prostitusi cyber adalah pidana penjara dan/ atau pidana denda. Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana hilang kemerdekaan dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.159 Lebih lanjut Roeslan Saleh menyatakan bahwa “Pidana penjara adalah pidana utama diantara kehilangan kemerdekaan dan pidana penjara ini dapat untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu”. Kedua kata penjara dapat diartikan sebagai fungsi, penjara adalah bangunan yang berbentuk rumah atau gedung yang sengaja dibangun untuk menampung orang-orang (terpidana) yang dikenai atau dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. Menurut Romli
157
M Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hal. 6.
158
Pasal 34 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memidana setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. 159
Tolib Setiady, op.cit., hal. 92.
104
Atmasasmita pengertian kepenjaraan adalah “tempat orang menjalani hukuman untuk memperbaiki diri orang hukuman guna masa depannya.”160 Pidana penjara dirumuskan secara maksimum yakni enam tahun atas perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan paling lama sepuluh tahun atas pelanggaran pada Pasal 34 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain pidana penjara, sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap mucikari adalah pidana denda yang dirumuskan secara komulatif atau alternatif dengan pidana penjara. Hal ini menunjukkan diskresi bagi hakim yang didasarkan pada pendekatan kasuistis dengan fakta-fakta hukum dalam persidangan. Tolib Setiady menyebut pidana denda sebagai bentuk pidana tertua bahkan lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Adalah merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembangkan keseimbangan hukum sebagai penebus dosa dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.161 Penjatuhan pidana bagi mucikari online dalam prostitusi cyber harus berorientasi dalam upaya-upaya untuk mereduksi kejahatan melalui pendekatan humanistis. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dan Barda Nawawi Arief ketika membahas mengenai tujuan hukum. Mochtar
160
Zetriansyah, 2010, “Manfaat Pembinaan Terhadap Narapidana yang Dijatuhi Pidana Penjara di Lembaga Pemasyarakatan Arga Makmur”, Serial Online March 16th 2010, (Cited 201 March 4), available from : URL: http://one.indoskripsi.com/node/12499. 161
Tolib Setiady, op.cit., hal. 104.
105
Kusumaatmadja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila mereduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur.162 Selanjutnya Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa: Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut (membentuk manusia Indonesia seutuhnya), maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting karena hanya kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai-nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.163 Mengenai pendekatan humanistik sebagaimana yang disebutkan oleh Barda Nawawi Arief, maka Soedarto menjelaskan “Pembaharuan hukum pidana tetap berkisar kepada manusia sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama.”164 Dengan pendekatan humanisasi ini Prof Dwidja Priyatno merekomendasikan teori pemidanaan yang integratif (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila) dengan menyatakan” Dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks menyangkut hak-hak asasi manusia. Untuk itu diperlukan pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial. Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan yang dapat memenuhi
162
Mochtar Kusumatmadja, tanpa tahun edisi, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 2. 163
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 37, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief V). 164
Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 40.
106
fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana (individual and social damages).165 Pemidanaan dan pidana bagi pelaku prostitusi cyber perlu diarahkan pada kepentingan dari penjatuhan pidana itu sendiri yakni penanggulangan kejahatan dan pembinaan bagi pelaku. Oleh sebab itu formulasi pemidanaan dan pidana yang tepat merupakan hal yang urgen untuk dipikirkan. Mengenai formulasi yang tepat atas pemidanaan dan pidana bagi pelaku prostitusi cyber setidaknya dapat merujuk dari pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa “dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Di sini hukuman itu merupakan pembalasan yang etis.”166 Berpijak pada teori-teori mengenai tujuan pemidanaan dan humanisasi pemidanaan maka perlu dipikirkan apakah pidana penjara yang dijatuhkan pada mucikari online akan efektif untuk menanggulangi prostitusi cyber. Apalagi jika pekerja seks yang ditawarkan oleh mucikari adalah orang dewasa yang secara sadar mau memberikan pelayanan seks kepada klien. Jenis pidana ini boleh dikatakan telah mendunia, karena jenis pidana penjara hampir dapat ditemui pada setiap negara di dunia. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak kalangan yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut terutama berkenaan dengan masalah efektivitas serta dampak negatif dari
165
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 27. 166
Leden Marpaung. op.cit., hal. 105,
107
penggunaan pidana penjara itu.167 Penjara atau yang kini diistilahkan dengan lembaga pemasyarakatan dikhawatirkan dapat menjadikan narapidana cyber crime menjadi penjahat yang lebih besar (prisonisasi). Individualisasi pemidanaan pun kurang diindahkan dalam menjalankan pidana di lembaga pemasyarakatan. Dalam KUHP Indonesia ancaman pidana penjara sangat dominan. Barda Nawawi Arief mencatat jumlah ancaman pidana penjara secara tunggal dan alternatif sebanyak 98% dari seluruh tindak pidana yang diatur.168 Perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di Indonesia tersebut merupakan warisan pemikiran aliran klasik yang menetapkan pidana dengan kaku (definite sentence).169 Akibat dominasi penjatuhan pidana ini, kapasitas dari lembaga kemasyarakatan kini telah overload. Hal ini pun telah diakui oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar yang menyatakan hampir semua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas atau LP) di Indonesia kelebihan daya tampung sehingga perlu segera diatasi. Hampir tidak ada lapas yang tidak kelebihan daya tampung, semuanya lebih bahkan ada yang tiga kali lipat.170
167
Barda Nawawi Arief V, op.cit., hal. 4, 46.
168
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipponegoro, Semarang hal. 201, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief VI). 169
170
Ibid., hal. 203.
Redaksi, 2009, “Menkumham Akui LP Kelebihan Daya Tampung”, Serial Online Sabtu, 5 Desember 2009 21:21, WIB, (Cited on April 2 th 2010), available from: URL : http://indonesiabergerak.antara.co.id/berita/1260022870/menkumham-akui-lp-kelebihan-dayatampung.
108
Kelebihan daya tampung dari lembaga pemasyarakatan berimplikasi pada kurang efektifnya upaya resosialisasi dan edukasi pada warga binaan. Secara paradigmatik, dalam pidana penjara selalu melekat kerugian-kerugian yang sulit dihindari. Kerugian tersebut juga muncul karena adanya pertentangan makna tentang pidana penjaran sebagaimana dikemukakan Bottomley yakni “an explicit recognition that the main conflict in prisons is between security/control and rehabilitation has been surprisingly slom to emerge and disentangle itself from the view that the main problem is the conflicting claims of rehabilitation versus deterrence and/or punishment”171 (pengakuan eksplisit bahwa konflik utama dalam penjara adalah antara keamanan/ pengendalian dan rehabilitasi telah muncul secara mengejutkan dan memisahkan diri dari pandangan bahwa masalah utama adalah klaim bertentangan dari rehabilitasi terhadap pencegahan dan / atau penghukuman. Ditinjau dari segi filosofis maka terdapat hal-hal yang saling ambivalen antara lain: a.
Tujuan dari pidana penjara adalah menjamin pengamanan narapidana dan memberikan
kesempatan-kesempatan
kepada
narapidana
untuk
direhabilitasi. b.
Hakikat fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan akhirnya dapat menimbulkan kerugian bagai narapidana karena terlalu lama dalam lembaga, misalnya ketidakmampuan narapidana untuk melanjutkan kehidupan produktif di masyarakat.172
171
Widodo, op.cit., hal 50..
172
Ibid.
109
Penelitian
yang dilakukan oleh para
ahli
sehubungan
dengan
kekurangefektifan dari pidana penjara setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai pencapaian fungsi dan tujuan dari pidana penjara yang dijatuhkan bagi mucikari online. Pada kesimpulan akhir dari Roger Hood dalam penelitiannya yang berjudul Research of the Effectiveness of Punishment an Treatment menunjukkan bahwa jenis pidana yang kurang efektif adalah pidana penjara. Efektivitas pidana penjara yang rendah tersebut terjadi pada semua umur narapidana. Selanjutnya Hood mengatakan173: 1. There are indications that fines are more succesful than probation or institutional treatment with both first offenders and those with previous conviction in all age groups. 2. Most studies show that lengthy institutional sentences are no more succesful than shorter alternatives. 3. Open institutions, particularly for the ‘better type of offenders’, appear at least as efective as closed treatments. 4. Overall result are not much different as between different treatment. Pandangan Hood ini dapat diterjemahkan sebagai berikut: 1. Ada indikasi bahwa denda lebih berhasil daripada percobaan atau pembinaan di lembaga pemasyarakatan bagi pelaku pertama dan bagi residivis pada semua kelompok umur. 2. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa pelembagaan yang panjang tidak lebih berhasil daripada alternatif yang lebih pendek. 3. Pemasyarakatan yang terbuka akan lebih efektif bagi narapidana yang berkelakuan baik daripada isolasi tertutup. 4. Secara keseluruhan hasil yang tidak jauh berbeda antara perlakuan yang berbeda. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Leslie T. Wilkins dalam Widodo, bahwa berdasarkan hasil survei tentang pelaksanaan pidana dan tindakan ternyata sistem perawatan yang berperikemanusiaan adalah lebih efektif untuk
173
Widodo, op.cit., hal. 48.
110
mengurangi pengulangan tindak pidana (residivisme) dibandingkan dengan beberapa bentuk pidana lainnya (humanitarian system of treatment
(e.g)
probition are no less efecctive in reducing the probability of recidivism than several form of punishment).174 Penjatuhan pidana bagi mucikari online sekali pun masih berupa pidana penjara diharapkan dapat memberikan setidaknya tiga fungsi yakni: a.
Hukuman dapat memberikan akibat jera seseorang yang diberi hukuman. Ini berarti bahwa hukuman memberikan efek preventif.
b.
Hukuman sebagai rehabilitasi, memberi kesempatan pada terhukum untuk memperbaiki diri. Mungkin lembaga pemasyarakatan di Indonesia diharapkan untuk merehabilitir para terhukum.
c.
Hukuman sebagai pendidikan moral, bersifat edukatif agar si terhukum menjadi taat pada hukum.175 Penegakan hukum di suatu negara dikatakan berhasil bukan hanya karena
hakim telah menjatuhkan sanksi pidana yang adil terhadap korban atau pelaku itu sendiri, namun juga menyangkut sanksi yang diterapkan mampu merubah perilaku salah yang dilakukan pelaku tersebut.176 Dalam rangka mencari alternatif pengganti pidana penjara (alternative to custodial sentence),
174
Widodo, op.cit., hal 49..
175
Yong Ohoitimur, op.cit., hal. 26-48.
176
Fransisco Tarigan, “Peran Jaksa Dalam Pelaksanaan dan Pengawasan Pidana Bersyarat” Serial Online, , Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/detil/id/0:16884/q/pengarang:Tarigan%20/offset/75/limit/15
111
seyogyanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang realistis dalam masyarakat.177 3.3 Penegakan Hukum Terhadap Prostitusi Cyber Secara Nasional
dan
Transnasional Penegakan hukum merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan hukum. Pembangunan hukum menurut Satjipto Rahardjo memiliki makna ganda. Yang pertama, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha unuk memperbarui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian yang biasanya disebut sebagai modernisasi hukum. Kedua, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara ikut mengadakan perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.178 Fungsionalisasi hukum ini direfleksikan dalam bentuk kebijakan penggunaan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan dilakukan melalui proses sistematik, yaitu melalui apa yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yakni penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses kebijakan. Fungsionalisasi pencegahan dan penanggulangan melalui sarana penal policy atau penal law enforcement policy meliputi beberapa tahapan yakni:
177
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro semarang, Semarang, hal. 133, (selanjutnya sebutnya Muladi III). 178
Satjipto Rahardjo III, op.cit., hal. 231.
112
a.
Formulasi (kebijakan legislatif/ legislasi), yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat Undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif/ legislasi. Kebijakan legislatif/ legislasi menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu.179
b.
Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum melalui dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c.
Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.180
Dalam arti yang sempit, maka tahap kebijakan kedua dan ketiga biasanya disebut sebagai kegiatan penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum merupakan upaya penal yang paling utama dalam mencegah dan menanggulangi prostitusi cyber baik dalam ruang lingkup nasional maupun dalam ruang lingkup transnasional. Dalam dimensi tersebut, penegak hukum telah berupaya untuk mencegah terjadinya prostitusi cyber yakni dengan melakukan patroli cyber, penyamaran, pemblokiran situs-situs mengandung muatan prostitusi serta sosialisasi terhadap bahaya kejahatan di
179
Barda Nawawi Arief I, op.cit., hal. 74-75.
180
Muladi III, op.cit., hal. 13-14.
113
dunia maya ini. Upaya preventif juga dapat dilakukan pemerintah dengan menghilangkan sebab-sebab jahat dari kejahatan (abolisionistis) seperti meningkatkan kesejahteraan
masyarakat,
menciptakan lapangan kerja,
mengawasi perusahaan yang bergerak di industri jasa pariwisata dan agen tenaga kerja. Masyarakat pun diharapkan agar berhati-hati atas tawaran pekerjaan yang diperolehnya agar jangan sampai tertipu oleh jaringan pelaku prostitusi cyber. Penegakan hukum dalam arti represif merujuk pada tindakan penegak hukum dalam menjaring pelaku prostitusi cyber. Upaya penegakan hukum terhadap prostitusi cyber baik dalam tataran preventif maupun represif memiliki makna yuridis, sosiologis dan filosofis bagi information society. Penegakan hukum dengan sendirinya menjamin kepastian hukum bagi para netter saat beraktivitas di cyber space. Supremasi atas kaidah-kaidah hukum nasional dan internasional dapat dijunjung tinggi melalui penegakan hukum yang baik sebab prostitusi cyber merupakan hostis humanis generis (kejahatan adalah musuh umat manusia). Oleh sebab itu setiap negara wajib melaksanakan penegakan hukum dan menjalin kerjasama atas penegakan hukum terhadap prostitusi cyber sebagaimana yang tercantum dalam asas au dedere au judicare. Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber juga ditujukan untuk menegakkan kembali kaidah-kaidah moral yang diakui dan dianut oleh masyarakat internasional dimana setiap orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sama. Sehingga tidak ada seorang pun yang berhak
114
memperjualbelikan orang lain apalagi mengeksploitasinya. Penegakan hukum oleh penegak hukum secara tidak langsung telah mengukuhkan cyber ethics dan community rules yang telah ada dan terbentuk dalam interaksi para netter. Secara filosofi, penegakan hukum terhadap prostitusi cyber
sejalan
dengan nilai-nilai agama, moral dan falsafah dasar negara yang begitu dihormati dan dijunjung tinggi walaupun kehidupan manusia berada pada kompleksitas di era globalisasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Antony Allot bahwa “Taken globally, a moral system is a set of precepts for right living”181 (Secara global, sistem moral adalah seperangkat aturan untuk hidup yang benar). Dengan demikian penegakan hukum terhadap prostitusi cyber menjadi sarana untuk mengembalikan dan menghindari degradasi moral dalam masyarakat. Prostitusi adalah salah satu bentuk kejahatan seksual yang dilakukan dengan atau tanpa kekerasan. Kejahatan ini dilakukan dengan kekerasan apabila prostitusi dilakukan dengan perdagangan orang dan pemaksaan. Kasus perdagangan seksual anak-anak wanita di bawah umur itu menunjukkan bahwa realitasnya hak asasi perempuan untuk menikmati kedamaian dan kebahagiaan sudah dilanggar sejak usia dini (di bawah umur). Hak hidup bermartabat dan bebas dari bahaya yang mengancam dirinya telah direduksi oleh tindak kejahatan.182
181
182
Antony Allot, 1980, The Limit of Law, Butterworth & Co., London, hal. 127.
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Refika Aditama, Bandung, hal. 10.
115
Eksploitasi seksual sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. Hal yang cukup memprihatinkan adalah kecenderungan makin maraknya kejahatan seksual yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tetapi juga menimpa anak-anak di bawah umur. Anak-anak perempuan ini dijadikan sebagai objek komoditas (perdagangan) atau pemuas nafsu bejat (animalistik) dari seseorang dan kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna meraih keuntungan ekonomi berlipat ganda.183 Diantara kasus-kasus yang melibatkan (mengorbankan) anak perempuan di bawah umur, salah satu modus operandi yang digunakan adalah penipuan. Di antara mereka adakalanya tidak mengetahui kalau dirinya akan dijadikan objek perkosaan, dicabuli dan kemudian diperdagangkan (dimasukkan ke tempat-tempat pelacuran).184 Selain dengan kekerasan ada pula bentuk prostitusi yang dilakukan tanpa kekerasan, bahkan dilakukan dengan suka sama suka dimana pekerja seks menanggap mucikari sebagai patner dalam bisnis prostitusi yang dijalaninya. Sejak web camera atau kamera mini dapat dipasang dan digunakan bersama pada komputer yang terkoneksi dengan internet, aktivitas di cyber space menjadi semakin menyenangkan. Dengan fasilitas tersebut, para pekerja seks memiliki sejumlah cara dalam menawarkan dirinya. Tidak semua memasang deskripsi secara vulgar sebab ada yang hanya meletakkan profil diri di sebuah situs sebagai orang yang sedang mencari teman. Biasanya, data mereka terselip di situs yang merupakan ajang untuk berkenalan atau mencari jodoh.
183
Ibid., hal. 8.
184
Ibid., hal. 10.
116
Bagi pekerja seks sendiri, mencari pelanggan melalui media online sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wanita panggilan lainnya. Dengan media online
mereka
mendapatkan
beberapa
keuntungan.
Misalnya
saja,
pelanggannya rata-rata berpendidikan. Selain itu, bila calon pelanggan tidak berkenan, pekerja seks tidak perlu menghabiskan waktu atau mengeluarkan ongkos untuk datang ke tempat calon pelanggan.185 Sementara, bagi pelanggan pun cukup menguntungkan mengingat si pekerja seks sudah merinci data diri. Berhubungan dengan pekerja seks yang menawarkan diri lewat media internet juga dianggap lebih nyaman. Apalagi, kebanyakan para pekerja seks itu berasal dari kalangan menengah atas.186 Menggunakan media internet, bagi sebagian pekerja seks, juga sebagai cara untuk memperpendek mata rantai dagang. Jaringan online seakan menggantikan kerja mucikari. Meskipun prostitusi cyber dilakukan secara sadar tanpa paksaan apalagi kekerasan, namun penegakan hukum terhadap kejahatan ini tetap perlu dilakukan. Hal ini sangat terkait dengan fungsi hukum dalam menjaga martabat manusia. Sejalan dengan pernyataan tersebut Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta mengemukakan tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan
185
Iwan Munandar, Ahmad Susanto, Dedi Suhardiman, 2007, “Hitam Putih Pornografi di Dunia Maya”, Serial Online 27 Maret 2007 Pukul : 23.00 WIB, Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:, http://www.indosiar.com. 186
Ibid.
117
memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya187 Terkait dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya telah beberapa kali melakukan penyidikan mengenai dugaan praktik prostitusi melalui jasa media internet (online). Pelaku kejahatan dunia maya ini memanfaatkan facebook dan website jejaring sosial sejenisnya untuk bertransaksi seks. Sebelumnya, polisi mendapat laporan tentang sejumlah laman (situs) yang diduga melakukan praktik prostitusi secara online. Para pelaku membuat halaman situs sendiri dan menampilkan sejumlah foto wanita lengkap dengan profilnya.188 Pelanggan bisa bertransaksi atau menyewa wanita yang ditampilkan pada situs atau laman jejaring sosial tanpa nama itu, namun harus mendaftarkan diri (register) terlebih dahulu dengan tarif mulai dari Rp 1 juta hingga puluhan juta.189 Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber selama ini hanya terlihat di Jakarta dan Surabaya saja, sementara di Bali, pihak kepolisian Daerah Polda Bali sendiri mengakui belum pernah mendeteksi keberadaan prostitusi cyber. Hal ini menurut Kompol Tri Kuncoro (Komandan Unit TNCT Polda Bali)
187
Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 1994, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64. 188
Anonim, 2010, “Polisi Selidiki Praktik Prostitusi Lewat Internet”, Serial Online Thursday, 11 February 2010 10:17, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://www.hidayatullah.com/berita.html. 189
Redaksi Kompas, 2010, “Polda Metro Jaya Selidiki Prostitusi di Internet”, Serial Online Rabu, 10 Februari 2010 | 15:44 WIB, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://megapolitan.kompas.com/.
118
disebabkan karena cyber crime yang dominan terjadi di Bali adalah cyber terorism dan carding. Prostitusi dengan pekerja seks lokal dikatakannya tidak memiliki daya jual, sehingga kejahatan ini diyakininya tidak ada di Bali (wawancara pada 28 Februari 2011). Maraknya prostitusi cyber yang nyaris tanpa tersentuh penegak hukum, menurut pakar teknologi informasi Onno W. Purbo disebabkan karena polisi lebih terfokus pada terorisme, sehingga kejahatan ini luput dari pandangan mereka sekalipun oleh unit cyber sendiri (wawancara pada 6 Maret 2011). Pernyataan mengenai ketiadaan prostitusi cyber ini berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Grup dan blog yang menyediakan fasilitas transaksi seksual sangat mudah ditemui, hanya dengan memasukkan kata kunci “bispak Bali” melalui jejaring sosial facebook dapat ditemukan sejumlah grup seperti BISPAK/BISYAR Bali dengan alamat yang dapat diakses pada http://www.facebook.com/group.php?gid=107101375989214 COWOK
BISPAK
BALI
melalui
keanggotaan
atau pada
grup alamat
http://www.facebook.com/editprofile.php?sk=entertainment&success=1#!/grou p.php?gid=210701903883. Dalam grup tersebut netter dapat mengiklankan dirinya, mengiklankan orang lain untuk bertransaksi seksual atau mencari pekerja seks yang diinginkan. Dalam penegakan hukum terhadap prostitusi cyber ini polisi memang sulit mendeteksi prostitusi cyber karena anggotanya mencapai jutaan dan transaksi didasarkan atas kepercayaan. Namun demikian, Kabid Humas Polda Metro menyatakan Satuan Cyber Ditreskrimsus akan menerapkan patroli
119
situs (cyber patrol) guna mendeteksi situs yang diduga melakukan praktik prostitusi. Patroli situs melalui jaringan internet itu akan melacak dan mendeteksi pelaku pembuat situs, serta memblokir situsnya termasuk menyelidiki jejaring sosial “Facebook” yang melakukan praktik prostitusi.190
Gambar 5 Grup prostitusi cyber di Facebook
Meskipun aktivitas di cyber space ini dapat diakses secara bebas namun penegakan hukumnya belum dapat dikatakan berjalan optimal baik ditinjau dari anatomi prostitusi maupun dalam anatomi cyber crime. Mengenai prostitusi ini, Adami Chazawi berpendapat:
190
Berita 8, 2010, “Polda Kesulitan Ungkap Prostitusi Via Internet”, Serial Online Jum'at, 12 Februari 2010, 15:59 WIB, Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://www.berita8.com/
120
...Orang-orang yang disebut dengan mucikari atau germo inilah yang menurut Pasal 296 ini dapat dipidana. Tetapi sangat jarang kita mendengar para mucikari itu diusut oleh kepolisian dan diajukan penuntutan ke pengadilan oleh jaksa penuntut umum. Pasal ini secara formal masih berlaku, tetapi pada kenyataannya lebih banyak dianulir oleh aparat penegak hukum. Mungkin sebabnya ialah adanya izin pemerintah Daerah dalam suatu lokalisasi pelacuran.191 Sampai saat ini perda Bali yang melegalkan prostitusi memang belum ada. Namun di daerah lain perda-perda yang mengizinkan prostitusi kini sedang dibahas kepala daerah dan DPRD seperti rancangan perda Tegal yang mengizinkan lokalisasi di daerah Waduk Cacaban untuk menghindari prostitusi di jalanan. Penegakan hukum terhadap cyber crime juga masih menemui kendala sehingga kejahatan yang sudah disidik oleh kepolisian sangat sedikit yang sampai pada persidangan. Hal ini disebabkan karena tidak cukup bukti yang dihadirkan pada setiap rangkaian pemeriksaan sehingga proses hukum terpaksa dihentikan. Aparat kepolisian masih menggunakan pasal-pasal dalam KUHP dalam menjerat tersangka cyber crime, padahal ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlaku secara lex specialist. Prostitusi cyber memiliki karakteristik lintas batas negara, oleh sebab itu sangat sulit ketika penegak hukum diharuskan untuk menentukan locus delicti dari kejahatan ini. Mengenai hal ini Romli Atmasasmita berpendapat bahwa kejahatan di dunia maya (kejahatan siber-cyber crime) tidak memerlukan dan tidak relevan untuk mempersoalkan locus delicti karena kecanggihan teknologi 191
Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 115, (selanjutnya disebut Adami Chazawi I).
121
siber, kejahatan dapat dilakukan dimana-mana dengan mobiltas yang tinggi. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk kejahatan tertentu locus delicti yang disyaratkan dalam Pasal 143 ayat (2) b KUHAP tidak perlu disebutkan dalam surat dakwaan JPU. Itulah perkembangan hukum namanya. Khusus untuk kejahatan siber karena canggihnya dan mobilitas tinggi, locus bisa dimana dan kemana-mana.192 Untuk mengoptimalisasi penegakan hukum terhadap prostitusi cyber setidaknya dapat dianalisis dari pendapat Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard dimana mereka mengemukakan dalam persoalan cyber crime ini diperlukan standardisasi dan harmonisasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cyber crime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.193 Penegakan
hukum
terhadap
cyber
crime
memang
merupakan
transnational target priority dari Transnational Crime Coordination Center (TNCC) Polri. Tujuan utama dari pembangunan TNCC adalah sebagai Pusat data dari kejahatan-kejahatan transnasional dengan tingkat akurasi tinggi yang
192
Romli Atmasasmita, Serial Online 30 Agustus 2010, 11:29, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://www.facebook.com/profile.php?id=1211343719#!/permalink.php?story_fbid=13919717 6129673&id=1211343719¬if_t=feed_comment_reply 193
Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard, “Harmonizing National Legal Approaches on Cybercrime, WSIS Thematic Meeting on Cybersecurity, ITU,” Serial Online Geneva, 28 June-1July 2005, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.itu.int/osg/cybersecurity//doc/Background_Paper_Harmonizing_National_and_Legal_A pproaches_on_Cybercrime.pdf
122
akan mendukung dan lebih memudahkan kegiatan/ tindakan kepolisian di lapangan. Disamping itu TNCC juga sebagai Pusat Respon Peristiwa (IRC=Incident Respond Center) yang bertugas untuk melakukan koordinasi setiap kegiatan operasional Polri, termasuk peristiwa khusus, kejadian-kejadian dan koordinasi investigasi kejahatan transnasional yang sedang dilakukan baik secara nasional maupun internasional.194 Pusat data ini memberikan kemampuan video dan audio dengan waktu yang sebenarnya (real time) yang didukung oleh unit-unit portabel di lapangan. Adapun tugas dan fungsi TNCC adalah:
1.
Memberikan masukan berupa inisiatif tentang penegakan hukum nasional dan internasional.
2.
Memberikan pelayanan bagi investigasi kejahatan transnasional yang berdampak terhadap kepentingan nasional.
3.
Memberikan arah dan melaksanakan koordinasi kegiatan tim khusus Polri baik secara nasional maupun internasional.
4.
Menjadi fokus untuk rujukan-rujukan nasional maupun internasional mengenai isu-isu tentang kejahatan transnasional.
5.
Mendata, memprioritaskan dan mengkoordinasikan respon yang memadai terhadap rujukan-rujukan dan permintaan bantuan.
6.
Mengatur kolaborasi dengan organisasi-organisasi penegakan hukum baik nasional maupun internasional untuk berbagi informasi dalam melakukan investigasi.
7.
Memberikan advis dan koordinasi, bila perlu, mengenai pelatihan dan tindakan-tindakan teknis dalam penegakkan hukum internasional untuk memerangi kejahatan transnasional.
194
TNCC, 2004, “Transnational Crime Coordination Center (TNCC)”, Serial Online Jumat, 02 Juli 2004 22:51, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://www.interpol.go.id/id/pertemuan-dan-event/pertemuan/100-transnational-crimecoordination-center-tncc.
123
8.
Membangun hubungan kepercayaan dengan aparat penegak hukum nasional maupun internasional dan instansi terkait lainnya.
9.
Menjadi titik poros penghubung dengan instansi-instansi di Indonesia yang memberikan kontribusi bagi analisa informasi mengenai kejahatan transnasional.
10. Menyediakan hubungan dengan kewilayahan melalui Sistem CIMS. Prostitusi cyber menimbulkan dampak yang besar, baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam rangka menangggulangi kejahatan di bidang cyber, Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga sudah menyelenggarakan beberapa kongres dan menerbitkan beberapa resolusi yang berisi pedoman penanggulangan cyber crime. Begitu pula dengan negaranegara yang telah meratifikasi Convention on Cyber Crime dan negara yang tergabung dalam G-8, OAS, APEC, Eropean Union, Commomwealth akan melakukan penanggulangan kejahatan tersebut melalui sarana penal dan non penal.195 Oleh sebab itu penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional memang sangat perlu dilakukan. Penguatan Polri sebagai garda terdepan dalam penanggulangan kejahatan transnasional dilakukan dengan berbagai kerjasama dan pelatihan yang berbasis teknologi dengan international networking. Proyek penanganan kejahatan transnasional dan proyek peradilan pidana yang dilaksanakan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) misalnya dilakukan dengan tiga mitra yakni Partnership for Governance Reform (KemitraanIndonesia), National Policing Improvement Agency (Inggris) dan Charles Sturt University (Australia). Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan supremasi
195
Widodo, op.cit., hal. 34.
124
hukum dan keamanan di Indonesia dengan memperkuat kapasitas manajemen investigasi, Kepolisian Republik Indonesia, dan badan-badan penegak hukum lainnya dalam menangani kejahatan transnasional. Sebagai perbandingan, bahwa dalam penanggulangan kejahatan internasional, Romli Atmasasmita, dalam bukunya
yang berjudul
“Sistem
Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme” menjelaskan bahwa: Upaya penanggulangan kejahatan internasional tidak dapat dilakukan hanya dengan perangkat peraturan perundang-undangan hukum nasional tetapi seharusnya juga dilaksanakan melalui kerjasama dengan negara lain, baik kerjasama yang bersifat bilateral maupun multilateral. Pelaksanaan kerjasama tersebut sudah tentu akan memberikan dampak terhadap perkembangan hukum nasional suatu negara, karena pada akhirnya setiap negara memiliki kewajiban moral dan kewajiban hukum - sebagai akibat dari keterikatannya pada perjanjian dengan negara lain - untuk menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili para pelaku kejahatan internasional tersebut atau segera menyerahkannya kepada negara lain yang berkepentingan atas kejahatan tersebut dan memiliki yurisdiksi kriminal terhadap pelakunya.196 Jaringan kejahatan transnasional telah membuka sejarah baru dalam penegakan hukum dengan ketiadaan batas dalam penanggulangannya. Dalam anatomi kejahatan transnasional, penegakan hukum terhadap prostitusi cyber juga mengalami kendala. Hal ini disebabkan karena pandangan masyarakat internasional mengenai daya ikat hukum internasional yang hanya dianggap sebagai kaidah moral. Ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara dan pandangan objektivis yang
196
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, hal. 88, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita V).
125
menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandang yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup
berdampingan
dan
terpisah
sedangkan
pandangan
objektivis
menanggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat.197 Pandangan
yang
mengganggap
berlakunya
hukum
internasional
berdasarkan kemauan negara tentunya akan melemahkan penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional. Negara dan penegak hukum di negara tersebut belum tentu memandang prostitusi cyber sebagai kejahatan yang harus ditanggulangi walaupun kejahatan ini telah diakui secara internasional sebagai transnational organized crime sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and The Protocols Thereto yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) dan dalam ASEAN Declaration on Transnational Crime di Manila pada 20 Desember 1997.
197
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hal. 56.
126
Dengan argumentasi hukum mengenai asas kedaulatan negara198, maka negara dapat menolak melakukan kerjasama dengan negara lain dalam penegakan hukum terhadap prostitusi cyber apalagi jika negara-negara tersebut secara tegas melegalkan prostitusi seperti Belanda, Selandia Baru dan Taiwan. Bahkan negara tersebut mengambil pajak dari aktivitas prostitusi.199 Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber baru dapat dilakukan jika antara negara yang satu dengan negara yang lain terdapat perjanjian baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral. Sehingga penegakan hukumnya sangat tergantung pada ada atau tidaknya perjanjian internasional dan kemauan negara untuk bekerjasama dalam penegakan hukum tersebut. Sementara itu tidak ada satu organisasi internasional pun sekalipun itu PBB yang berwenang untuk memaksakan suatu negara untuk terikat dalam perjanjian internasional. Kalaupun substansi perjanjian itu sangat penting dan bersifat law making treaty, tidak ada sanksi hukum apapun yang dapat dijatuhkan kepada negara yang tidak mau terikat pada perjanjian internasional tersebut. Sanksi paling berat yang dapat dijatuhkan hanyalah sanksi moral berupa pengucilan dalam hubungan internasional seperti embargo. Dalam proses penegakan hukum, ada dua aspek yang acapkali saling berbenturan yakni aspek kepentingan umum dan aspek kepentingan individu.
198
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi negara atas wilayah dan warga negaranya. Kedaulatan terbagi atas kedaulatan internal yaitu kekuasaan negara untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahannya dan kedaulatan eksternal yaitu kekuasaan negara untuk melaksanakan hubungan luar negeri. 199
Legalisasi terhadap aktivitas prostitusi ini merupakan perjuangan dari pekerja seks komersial dan tim advokasi mereka untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan perlindungan atas hak-hak mereka sebagai manusia.
127
Kepentingan umum disitu di satu pihak, menghendaki terciptanya ketertiban masyarakat (social order) sedangkan kepentingan individu di lain pihak menghendaki adanya kebebasan individu. Untuk itu, perlu adanya harmonisasi antara dua kepentingan yang berbeda ini. Meskipun tak dapat dibantah bahwa kebebasan merupakan hal yang sangat asasi bagi setiap warga negara, namun di sisi lain diakui pula bahwa ketertiban merupakan suatu conditio sine quanon dalam hidup bermasyarakat.200 Dengan demikian civil cyber liberty (kebebasan individu di dunia maya) yang dimiliki oleh para netter perlu diharmonisasi dengan hukum nasional, hukum internasional dan cyber ethics (etika dalam dunia maya) dalam kerangka penegakan hukum terhadap prostitusi cyber. Belum
efektifnya
penegakan
hukum
terhadap
prostitusi
cyber
menunjukkan penurunan kemampuan hukum dalam menanggulangi kejahatan. Menurut Arbi Sanit, penurunan kemampuan hukum untuk menanggulangi kejahatan terjadi karena struktur hukum dengan fungsi hukum tidak berkembang secara pararel sehingga penegakan hukum cenderung terus melemah.201 Penegakan hukum dalam konsteks nasional maupun dalam konteks transnasional
tetap
memerlukan
tiga
komponen
atau
unsur
yang
memungkinkan tegaknya hukum dan keadilan di tengah masyarakat yakni adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, adanya aparat penegak hukum yang profesional dan bermental tangguh atau memiliki
200
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, hal. 97. 201
Mahfud M.D, 2000, Politik Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hal. 35.
128
integritas moral yang terpuji dan adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakan penegakan hukum.202 Dalam upaya penegakan hukum, partisipasi masyarakat pun mempunyai peranan yang sangat strategis, bahkan dapat dikatakan turut menentukan proses peradilan pidana. Untuk itu, guna menjaga dan mengembangkan partisipasi
masyarakat,
hendaknya
aparat
penegak hukum
senantiasa
memberikan apresiasi kepada masyarakat (kalau perlu berupa sanksi positif) khususnya kepada saksi pelapor. Dengan demikian, saksi (khususnya saksi pelapor) akan merasa dihargai. Sebagai contoh, di California, penghargaan terhadap partisipasi masyarakat cukup tinggi sehingga telah disediakan dana bagi mereka yang menderita, karena membantu aparat penegak hukum menangkap seseorang penjahat atau mencegah terjadinya kejahatan.203
202
Baharuddin Lopa, 1987, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 4. 203
Arief Gosika, 1987, Victimologi dan KUHAP, Akademika, Jakarta, hal. 30.
129
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PROSTITUSI CYBER
4.1 Faktor Hukum Hukum tumbuh bukan dari perbuatan pemerintah, tetapi dari fakta-fakta sosial di dalam suatu komunitas. Aturan hukum merupakan pencerminan kaidah-kaidah ekonomi dan moral yang didasarkan pada pengakuan masyarakat tentang kesignifikanannya bagi ikatan masyarakatnya. 204 Oleh sebab itu keberadaan aturan yang mengatur mengenai prostitusi cyber didasarkan pada kaidah ekonomi dan moral. Allots memandang bahwa hukum sebagai sistem merupakan proses komunikasi, oleh karena itu hukum menjadi subjek bagi persoalan yang sama dalam memindahkan dan menerima pesan, seperti sistem komunikasi yang lain.205 Hukum diciptakan oleh pemegang otoritas kekuasaan sebagai suatu sistem pengawasan perilaku manusia. Sebagai norma ia bersifat mengikat bagi tiap-tiap individu untuk tunduk dan mengikuti segala kaidah yang terkandung di dalamnya.206 Keberadaan cyber law, dalam konteks ini berlaku bagi para netter yang berinteraksi di cyber space. Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni:
204
Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone (anggota IKAPI), Jakarta, hal. 54, (selanjutnya disebut Achmad Ali II). 205
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, op.cit., hal. 96.
206
Sutarman, op.cit., hal. 107.
130
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.207
Faktor hukum dalam hal ini memberikan konstruksi pengertian hukum sebagai norma dan kaidah atau diistilahkan juga dengan substansi hukum. Hukum yang baik (memenuhi syarat filosofi, yuridis dan sosiologis) akan menjadi salah satu indikator penentu dari penegakan hukum yang baik. Syarat keberlakuan hukum secara yuridis, sosiologi dan filosofis ini juga dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul “Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)” yang menyatakan: Agar peraturan perundang-undangan dapat berlaku efektif dalam masyarakat harus memiliki kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku filosofis, sosiologis dan yuridis. Undangundang memiliki kekuatan yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang telah terpenuhi. Sedangkan undang-undang memiliki kekuatan berlaku secara sosiologis apabila undang-undang tersebut berlaku efektif sebagai sebuah aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat serta dapat dilaksanakan.208 Faktor hukum dalam hal ini adalah undang-undang. Undang-undang adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dibentuk oleh penguasa negara. Undang-undang identik dengan
207
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
208
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
hal. 87.
131
hukum tertulis (ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain: a.
Undang-undang tidak berlaku surut.
b.
Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c.
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
d.
Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.
e.
Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
f.
Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).209 Hal serupa juga dinyatakan oleh Lon Fuller dengan mengemukakan
delapan prinsip legalitas atau yang disebut dengan principles of legality yang dapat menjadi acuan dalam penyusunan undang-undang. Adapun delapan prinsip tersebut meliputi: a.
Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakantindakan yang bersifat arbiter;
209
Soerjono Soekanto I, op.cit. hal. 12-14.
132
b.
Peraturan-peraturan itu dibuat harus diumumkan secara layak;
c.
Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
d.
Perumusan-perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat;
e.
Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
f.
Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;
g.
Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah;
h.
Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.210 Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan
transnasional sangat dipengaruhi oleh faktor hukum. Karena prostitusi cyber berada pada anatomi kejahatan transnasional maka hukum yang digunakan adalah hukum nasional yang dalam pembahasan ini adalah hukum Indonesia. Namun sepanjang tidak diatur dalam hukum nasional maka yang dipergunakan adalah asas-asas, prinsip-prinsip dan kaidah hukum internasional. Larangan mengenai prostitusi cyber
diatur dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlaku lex specialist terhadap KUHP. Undang-undang ini telah memenuhi syarat keberlakuan hukum baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Secara yuridis, lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
210
Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, hal. 78, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo IV).
133
dan Transaksi Eleketronik didasarkan amanat yang terkandung pada Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Dalam Stufenbautheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dikatakan bahwa “peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.”211 Sehingga peraturan puncak yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mendasari terbentuknya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.212 Undang-undang ini juga dibentuk oleh lembaga yang berwenang yakni DPR bersama Presiden. Dengan demikian tidak ada cacat yuridis dalam pembentukan undang-undang ini.
211
212
Achmad Ali I, op.cit., hal. 62.
Secara hierarki keberadaan Undang-undang ini telah sesuai dengan kaidah yang berada di atasnya. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Dengan demikian berdasarkan hierarki ini, setiap undang-undang harus berpedoman dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
134
Setiap orang memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan informasi, yang mana kebebasan ini merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Article 3 Universal Declaration of Human Rights menyatakan “Everyone has the rights to life, liberty and security of person” (Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu) dan dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights menyatakan “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers” (Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah). Kebebasan sebagaimana yang dimaksud dalam Article 19 Universal Declaration
of
Human
Rights
tidaklah
berlaku
mutlak
sehingga
penggunaannya dibatasi oleh ketentuan hukum (restriction by law) sebagaimana yang dimuat dalam Article 19 International Covenant on Civil and Political Rights yang menyebutkan: 1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference. 2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. 3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be
135
subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (order public), or of public health or morals. atau dapat diterjemahkan sebagai berikut: 1. 2.
3.
Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan seesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: (a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; (b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Memperhatikan
mengenai
ketentuan-ketentuan
di
atas
maka
penyampaian pendapat dan informasi tidak dapat dilakukan jika bertentangan dengan hukum, cyber ethics, hak orang lain, ketertiban umum dan kaidah moral. Oleh sebab itu memasukkan informasi dan data elektronik ke dalam sistem elektronik untuk bertransaksi seksual tidaklah dapat dibenarkan secara yuridis. Secara sosiologis, masyarakat memang memerlukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengatur berbagai aktivitas yang mereka lakukan selama berinteraksi di cyber space. Dinamika globalisasi informasi telah menuntut adanya suatu aturan untuk melindungi kepentingan para netter
dalam mengakses pelbagai
informasi. Pengaturan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
136
Informasi dan Transaksi Elektronik ini sejalan dengan agama, nilai-nilai maupun kaidah moral yang diterima secara universal sehingga keberadaan cyber law (termasuk instrumen hukum internasional yang mengaturnya) diakui, diterima dan dilaksanakan oleh information society. Keberadaan cyber law yang melarang prostitusi cyber didasarkan pada pencapaian filosofi tujuan hukum. Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherkeit). Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas
dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana
prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum.213 Para pemikir dari aliran realisme hukum (legal realism) menaruh perhatian yang sangat besar terhadap keadilan, walaupun mereka berpendapat bahwa secara ilmiah tak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil. Pokok-pokok pikiran dari aliran ini banyak dikemukakan oleh Holmes dalam hasil karyanya yang berjudul The Path of The Law. Di dalam bukunya tersebut, Holmes menyatakan bahwa “kewajiban hukum hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan.”214
213
Ibid., 288.
214
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 45.
137
Prioritas tujuan hukum yang kedua menurut Gustav Radburch adalah kemanfaatan.
Konsep
kemanfaatan
merupakan
esensi
dari
aliran
utilitarianisme. Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian pun perundang-undangan, baik-buruknya ditentukan oleh ukuran tersebut.215 Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual, sedang rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill dan positivisme Jhon Austin.216 Rudolf von Jhering yang mengembangkan teori social utilitarianism menganggap bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Dia menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah yang dapat dipastikan kenyataannya.217 Bagi Jhering, hukum juga merupakan
215
Lili Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, hal. 44.
216
Ibid., hal 44-45.
217
Theo Huijber, 2006, Filsafat Hukum Dalam lintasan Sejarah Cetakan ke-15, Kanisius, Yogyakarta, hal. 128.
138
suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial. Ajaran-ajaran Jhering banyak mempengaruhi jalan pikiran para sarjana sosiologi hukum Amerika, antara Roscoe Pund.218 Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang baru yaitu sejak hukum dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum adalah sicherkeit des scherts selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan kepastian hukum yakni pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nantinya akan dilakukan oleh hakim seperti “kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.219 Kepastian hukum tidak hanya menjadi konsep dasar tujuan hukum dari negara-negara civil law system/ codification system yang menganut sistem hukum tertulis dimana aturan-aturan dan asas-asas hukum dituangkan secara tertulis. Namun demikian, tidak berarti bahwa negara-negara common law system yang didominasi hukum tidak tertulis itu tidak memiliki alat untuk menjamin kepastian hukum. Di dalam common law system kepastian hukum dijamin dengan berlakunya asas stare decisis atau the binding force of
218
Soerjono Soekanto II, op.cit., hal. 41.
219
Achmad Ali I, op.cit., hal. 292-293.
139
precedent yaitu kekuatan mengikat melalui yurisprudensi terhadap perkaraperkara sejenis. Dengan demikian kehadiran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Elektronik diharapkan dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan terpenuhinya syarat yuridis, sosiologis dan filosofis maka undang-undang diharapkan akan menjadi hukum yang responsif. Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet dan Selznick di tengah kritik pedas Neo-Marxis terhadap liberal legalism. Nonet dan Selznick lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.220 Perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informatika di era globalisasi bukanlah suatu hal yang fiktif melainkan sudah menjadi kenyataan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Penyebaran informasi telah melintasi batas-batas wilayah dan perbedaan waktu sudah tidak lagi memisahkan manusia. Dengan kemajuan dan perkembangan telekomunikasi multimedia, ruang lingkup dan kecepatan komunikasi lintas batas meningkat, ini berarti masalah hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi dan penegakan
220
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan markus Yage, op.cit., hal. 204-205.
140
serta pemilihan hukum yang berlaku terhadap suatu sengketa multi-yurisdiksi akan bertambah penting dan konfleks.221 Dalam praktik penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan transnasional, faktor hukum yang utama yang seringkali menjadi kendala penegakan hukum dalam praktik adalah masalah yurisdiksi. Masalah keraguan penentuan yurisdiksi dalam cyber space pun justru diakui oleh pakar hukum itu sendiri. Tien S. Saefullah dalam artikelnya yang berjudul “Yurisdiksi Sebagai Upaya Penegakan Hukum Dalam Kegiatan Cyberspace” menyatakan bahwa yurisdiksi suatu negara yang diakui hukum internasional dalam pengertian kovensional, didasarkan pada batas-batas geografis, sementara komunikasi multimedia bersifat internasional, multi yurisdiksi dan tanpa batas-batas geografis sehingga sampai saat ini belum dapat dipastikan bagaimana yurisdiksi suatu negara dapat diberlakukan terhadap komunikasi multimedia sebagai salah satu pemanfaatan teknologi informasi.222 Penentuan yurisdiksi merupakan suatu diskursus yang sangat penting dalam rangka penegakan cyber law apalagi dalam konsteks penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional. Yurisdiksi sebagai sebuah topik dalam monograf-monograf hukum internasional di negara-negara commom law mendapatkan tempat pembahasannya pada satu bab tersendiri, Sementara itu monograf-monograf kontinental mengambil langkah yang berbeda dengan menjadikannya sebagai salah satu aspek dalam pembahasan mengenai 221
Tien S. Saifullah, Yurisdiksi sebagai Upaya Penagakan Hukum dalam Kegiatan Cyberspace”, Cyber Law: Suatu Pengantar, Pusat Studi Cyber Law, UNPAD, Bandung, hal. 96 222
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom I, op.cit., hal. 34.
141
kenegaraan atau wilayah atau hukum laut ataupun dikaitkan dengan aspek lain yang terdapat dalam hukum internasional. Sedangkan posisi Indonesia cukup unik mengingat walau mendapat pengaruh yang cukup besar dari sistem hukum kontinental tetapi tidak bisa dikatakan bahwa Indonesia sebagai bagian darinya.223 Permasalahan mengenai yurisdiksi diatur dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.” Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 21 yang menyatakan bahwa “orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.” Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/ atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk 223
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, hal. 156.
142
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia. Pada prinsipnya negara memiliki kekuasaan untuk mengatur hubungan hukum yang dilakukan oleh orang (warga negara atau warga negara asing) yang berada di wilayahnya. Negara pun memiliki wewenang yang sama untuk mengatur benda-benda atau peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya. Apakah Undang-undang ini dapat diberlakukan serta merta terhadap warga negara asing apalagi warga negara dari negara yang menyatakan bahwa kegiatan prostitusi merupakan kegiatan yang legal? Tentu hal ini akan menjadi permasalahan hukum, terlebih lagi jika dikaitkan dengan masalah kedaulatan dari suatu negara. Pada dasarnya suatu Undang-undang hanya berlaku pada suatu negara tertentu saja kecuali diantara negara-negara tersebut terdapat perjanjian internasional baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Oleh sebab itu penerapan hukumnya sangat tergantung dari kerjasama dan perjanjian antar negara. Dalam tataran hukum nasional dikatakan bahwa sistem hukum akan selalu berkaitan dengan sistem politik khususnya mengenai yurisdiksi, oleh karena itu meski secara analitis kedua hal tersebut dapat dipisahkan, hal ini berkaitan dengan diletakkannya peradilan sebagai posisi sentral di dalam tertib
143
hukum, sedangkan perumusan kebijakan melalui badan legislatif sebagai inti kekuasaan politik.224 Hal ini pun juga berlaku pada hukum internasional, dimana penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik dari masing-masing negara termasuk kebijakan untuk terikat atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional. Darrel Menthe menyatakan bahwa yurisdiksi di cyber space membutuhkan
prinsip-prinsip
yang
jelas
yang
berakar
dari
hukum
internasional. Hanya melalui prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional ini, negara-negara dapat dihimbau untuk mengadopsi pemecahan yang sama terhadap pertanyaan mengenai yurisdiksi internet.225 Pendapat Menthe ini dapat ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional dalam kegiatan cyber space oleh setiap negara, maka akan mudah bagi negara-negara untuk mengadakan kerjasama dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan pidana untuk menanggulangi cyber crime. Pada hakikatnya untuk menentukan yurisdiksi manakah yang dapat diterapkan dalam kegiatan cyberspace, termasuk di dalamnya cyber crime, tidak perlu dicari yurisdiksi tertentu yang lain dari pada yang lain (yurisdiksi dengan karakteristik khusus), karena sebenarnya prinsipprinsip dalam hukum internasional sudah memadai untuk dipergunakan.226
224
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, op.cit., hal. 155.
225
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II, op.cit., hal. 38.
226
Ibid.
144
Penentuan yurisdiksi prostitusi cyber dapat ditelaah dari asas-asas hukum internasional. Ada dua pandangan dari negara yakni perundangundangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing (asas teritorial). Kedua, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana saja, juga di lua wilayah negara (asas personal). Juga dinamakan prinsip nasionalitas yang aktif. Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar lain yang masuk akal bahwa hukum pidana di luar negara adalah asas melindungi kepentingan (Berchermingsprincipe atau Schutzprinsipe). Ini dapat dibedakan antara melindungi kepentingan nasional (prinsip nasional pasif) dan melindungi kepentingan internasional (prinsip universal).227 Dalam substansi hukum di Amerika terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan yurisdiksi di cyber space yakni: a.
The theory of the uploader and the downloader (teori tentang mengunggah dan mengunduh). Uploader (pengunggah) adalah pihak yang memasukkan informasi elektronik ke dalam cyber space sedangkan downloader (pengunduh) adalah pihak yang mengakses informasi. Pada umumnya, yurisdiksi mengenai perbuatan-perbuatan perdata dan tindak pidana tidak ada kesulitan. Suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingan negaranya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap
227
Moeljatno, 1985, Azas-azas Hukum Pidana, Bina aksara, Jakarta, hal. 38-40.
145
orang untuk uploading kegiatan perjudian dalam wilayah negaranya dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian. b.
The theory of the law of the server (teori hukum pusat penyedia). Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah memperlakukan server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu dimana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Standford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit dipergunakan apabila uploader berada dalam yurisdiksi asing.
c.
The theory of International Space (teori ruang internasional). Menurut teori ini, cyber space adalah lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional dimana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama. Dalam kaitan dengan teori ini Menthe mengusulkan agar cyber space menjadi fourth space. Yang menjadi dasar analogi tidak terletak pada kesatuan fisik, melainkan pada sifat internasional yakni sovereignless quality (kualitas kedaulatan). Semua kegiatan dalam cyber space dianalogikan dengan kegiatan ruang angkasa. Semua kegiatan ini diatur secara bersama-sama.228 Menurut Barda Nawawi Arief, membicarakan masalah yurisdiksi cyber
pada hakikatnya berkaitan dengan masalah kekuasaan atau kewenangan, yaitu siapa yang berkuasa atau siapa yang berwenang mengatur dunia internet.
228
Tien S. Saefullah, op.cit., hal. 102-103.
146
Merujuk pada pendapat David R. Jhonson dan Davis G. Post, Barda Nawawi Arief menuliskan mengenai empat model yang saling bersaing yaitu: a. b. c.
d.
Pelaksanaan kontrol yang dilakukan oleh badan-badan pengadilan yang saat ini ada (the existing judicial forums). Penguasa nasional melakukan kesepakatan internasional mengenai the governance of cyber space. Pembentukan suatu organisasi internasional baru (a New International Organization) yang secara khusus menangani masalah-masalah di dunia internet. Pemerintah atau pengaturan sendiri (self governance) oleh para pengguna internet.229 Dari keempat model yang dikemukakannya itu, Johnson dan Post
mendukung model ke-4 (selfgovernance) dengan alasan bahwa penerapan prinsip-prinsip tradisional dari Due Process and Personal Jurisdiction (proses dan yurisdiksi pribadi) tidak sesuai dan akan mengacaukan apabila diterapkan di dunia cyber space. Cyber space menurut mereka harus diperlakukan secara terpisah dari dunia nyata dengan menerapkan hukum yang berbeda untuk cyber space (cyber space should be treated as a separate space from the real world by applying distinct law to cyber space)230 Pandangan Johnson dan Post ini ternyata banyak mendapat kritikan dari para pakar hukum seperti Lawrence Lessig, Christoper Doran, Masaki Hamano termasuk juga Barda Nawawi Arief. Barda Nawawi Arief sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Masaki Hamano bahwa sistem hukum dan yurisdiksi nasional atau teritorial memang memiliki keterbatasan, namun tidak berarti di ruang cyber dibiarkan bebas tanpa hukum. Cyber
229
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 29-30.
230
Ibid., hal. 30.
147
space juga merupakan bagian atau perluasan dari lingkungan hidup (life environment) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya. Jadi merupakan kepentingan hukum yang harus dilindungi.231 Apalagi keberadaan kejahatan prostitusi cyber yang berada pada anatomi kejahatan transnasional, dimana dalam teori hukum ditentukan bahwa yurisdiksi yang berlaku pada kejahatan transnasional adalah yurisdiksi teritorial. Hal ini juga didukung dengan au dedere au punere yang menyatakan bahwa locus delictilah yang menjadi titik penentu dari yurisdiksi yang berlaku atas kejahatan yang dilakukan. Sehingga yurisdiksi yang berlaku bagi prostitusi cyber adalah yurisdiksi teritorial. Sebagai perbandingan, praktik hukum di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengadilan di sana telah menerima pendekatan tradisional dalam sengketa yuridiksi cyber space daripada menyusun seperangkat hukum baru yang lengkap mengenai cyber law.232 Pendekatan ini juga tercermin dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang pada dasarnya mengacu pada asas teritorial. 4.2 Faktor Penegak Hukum Substansi hukum merupakan benda mati yang tidak akan berfungsi tanpa adanya elemen untuk menggerakkannya. Salah satu elemen penggerak substansi hukum adalah struktur hukum. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu
231
Ibid., hal. 31-32.
232
Sutarman, op.cit., 125.
148
dalam fora kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.233 Adapun struktur hukum yang dimaksud untuk menerjemahkan hukum adalah penegak hukum. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka.234 Penegak hukum mempunyai peranan strategis dalam penerapan hukum/ efektivitas suatu aturan hukum. Setiap profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum sebagai penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional.235 Selanjutnya Abdulkadir Muhammad mengatakan: Tugas utama profesional hukum adalah mengartikan undang-undang secara cermat dan tepat. Di samping itu, profesional hukum juga harus mampu membentuk undang-undang baru sesuai dengan semangat dan rumusan tata hukum yang telah berlaku. Keahlian yang diperlukan adalah kemampuan teoritis dan teknis yang berakar pada pengetahuan yang mendalam tentang makna hukum, dan membuktikan kemampuan diri menanamkan perasaan hukum dalam masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa.236 Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum,
233
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan markus Yage, op.cit., hal. 213.
234
Soerjono Soekanto I, op.cit. hal. 34.
235
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 67.
236
Ibid., hal. 68.
149
petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya.237 Penegak hukum mencakup komponen sistem peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Di dalam penegakan hukum, H. Zainuddin Ali mengestimasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihadapi petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum: a. sampai sejauh mana petugas terikat dengan peraturan yang ada. b. sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan. c. teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat. d. sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tepat pada wewenangnya.238
Berpijak pada estimasi yang disampaikan oleh H. Zainuddin Ali tersebut, maka dapat dianalisis mengenai kendala yang dihadapi penegak hukum dalam menanggulangi prostitusi cyber ini. Penegak hukum dalam menegakkan hukum seringkali masih menggunakan ketentuan dalam KUHP padahal sudah ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (pada kasus carding). Hal ini membuat terdakwa dengan mudah lepas dari jeratan hukum karena unsur-unsur pasal yang didakwakan tidak dapat dibuktikan. Kesalahan dalam menggunakan undang-undang memang sudah seringkali terlihat dalam kasus-kasus yang ditangani oleh penegak hukum, misalnya ketika kejahatan dilakukan oleh anak, polisi tidak
237
H. Zainuddin Ali, op.cit., hal. 9.
238
Ibid., hal. 95.
150
menjountokan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ketidakcermatan penegak hukum ini disebabkan karena latar belakang pendidikan hukum yang belum memadai. Seorang penyidik tidak semuanya berpendidikan sarjana hukum, sehingga wajar jika ia tidak mengerti kapan saat ia menggunakan suatu undang-undang atau pasal tertentu dalam kasus yang tengah dihadapinya. Ketidakcermatan penyidik ini juga didukung dengan lemahnya mekanisme kontrol dari penuntut umum yang sesungguhnya mempunyai hak untuk mengembalikan berkas penyidikan saat prapenuntutan. Sehingga ketika terdakwa diadili maka unsur-unsur yang didakwakan tidak dapat dibuktikan. Salah satu indikator dari kepatuhan hukum adalah teladan yang diberikan oleh penegak hukum kepada masyarakat. Namun penegak hukum seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang jauh dari keteladanan. Agak sulit bagi penegak hukum untuk menindak pelaku prostitusi cyber sementara ia sendiri justru menjadi pelanggan dalam bisnis prostitusi bahkan menjadi pelindung dalam lokalisasi pada aktivitas prostitusi yang dilakukan secara konvensional. Dalam kondisi seperti ini maka konsistensi hukum tidak mungkin ditegakkan. Kecanggihan
perkembangan
teknologi
selain
memberi
manfaat
bagi
kesejahteraan masyarakat, juga telah terbukti merupakan prakondisi bagi peningkatan modus operandi kejahatan yang berkembang di masyarakat. Dalam kenyataannya, acapkali kecepatan pertumbuhan teknologi yang meningkatkan kecanggihan modus operandi kejahatan belum dapat diikuti
151
dengan memadai pihak kepolisian.239 Tidak semua kepolisian di daerah yang memiliki unit cyber padahal kejahatan ini berkembang sedemikian luas. Kemampuan dari penegak hukum dalam menjaring pelaku pun masih diragukan karena mengungkap kejahatan di dunia maya memang memerlukan penguasaan teknologi yang bukan hanya sekadar untuk mengetik atau mengoperasikan internet. Pakar teknologi informasi, Onno W. Purbo mengatakan bahwa untuk mengungkap cyber crime diperlukan penguasaan teknologi yang tinggi. Untuk mendeteksinya, digunakan kategori ilmu forensik dalam dunia hacker. (Wawancara pada 6 Maret 2011). Untuk mengamankan kejahatan melalui situs-situs di internet dari prostitusi cyber,
pihak kepolisian telah bekerjasama dengan pihak-pihak
terkait untuk membantu pengungkapan kasus prostitusi online melalui jejaring sosial.240 Namun efektivitas kerjasama ini masih perlu dikaji kembali, apalagi prostitusi cyber berada pada anatomi kejahatan transnasional yang mutlak memerlukan kerjasama interpol. Kemampuan berbahasa asing bagi polisi pun masih perlu ditingkatkan jika ingin bekerjasama dengan penegak hukum di negara lain. Penguasaan bahasa asing ini hanyalah merupakan langkah awal dari terjalinnya kerjasama internasional yang baik, sebab hal yang paling penting adalah penentuan
239
Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Refika Aditama, Bandung, hal. 118, , (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita VI). 240
Bayu Hermawan, “Patroli Cyber Untuk Berantas Prostitusi Online”, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://m.inilah.com/read/detail/1160532/patroli-cyber-untukberantas-prostitusi-online/
152
bahasa hukum yang digunakan untuk merumuskan tindak pidana. Apalagi jika terdapat perbedaan definisi mengenai prostitusi cyber. Respon penegak hukum terhadap laporan masyarakat masih sangat rendah. Penegak hukum seringkali mengatakan tidak ada kejahatan yang dimaksud tanpa menyelediki lebih lanjut. Birokrasi dalam penegakan hukum yang terlalu berbelit-belit selama ini justru menjadi hambatan bagi penegak hukum untuk menanggulangi kejahatan. Laporan pun sering ditanggapi dengan sikap yang tidak simpatik. Sikap-sikap birokratis dan anti kritik ini menjadikan penegak hukum sebagai bagian yang terpisah dari masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin ada kerjasama antara penegak hukum dan masyarakat dalam proses penegakan hukum. Kelemahan-kelemahan dari faktor penegak hukum ini membuat kasus prostitusi cyber berada dalam daftar hitam yang belum tersentuh penegak hukum baik dalam upaya preemtif, preventif maupun represif. Polda Bali mencatat bahwa kasus prostitusi cyber masih berada pada persentasi 0%. Bagian cyber dari unit TNCC Polda Bali sebagaimana diterangkan oleh Kompol Tri Kuncoro (Komandan Unit TNCT Polda Bali) mengatakan bahwa selama ini mereka hanya menangani kasus cyber terrorism dan carding saja (wawancara pada 6 Maret 2011). Prostitusi cyber bahkan belum diketahui sebagai fenomena kejahatan saat ini. Koordinasi terhadap penanggulangan kejahatan ini nampaknya memang belum jelas. Beranjak dari fakta tersebut maka penegak hukum terutamanya penyidik perlu menerapkan prinsip-prinsip dan fungsi manajemen yang khas dalam
153
proses penyidikan sejak penerimaan laporan, penugasan, perencanaan, pelaksanaan dan penyesuaian, pengendalian dan evaluasi, penyerahan hasil, bantuan di persidangan dan dokumentasi hukum. Dokumentasi hukum sendiri dianggap sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam proses hukum selanjutnya. Prostitusi cyber menggunakan teknologi informasi, tidak mengenal batas wilayah (borderless) dan lintas batas negara (transnasional), dan tidak meninggalkan jejak berupa dokumen fisik (paperless) tetapi dalam bentuk data (log files). Dalam penyidikan, penyidik perlu menjelajah dunia cyber, bahkan melakukan penyamaran di internet (virtual undercover) untuk menemukan perlu dan perlu adanya eksistensi bukti digital seperti log files yang memberikan informasi berupa catatan atas perintah atau pesan kepada server korban yang dapat menunjukkan IP (internet protocol) address pelaku. Selain itu, perlu penanganan khusus terhadap komputer sebagai TKP.241 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penegak hukum mempengaruhi penegakan hukum khususnya dalam mengintepretasikan hukum yang tersusun dalam teks ketika diterapkan dalam masyarakat. 4.3 Faktor Sarana dan Fasilitas Penegakan Hukum Sarana dan fasilitas penegakan hukum merupakan faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar.
241
Polwiltabes Surabaya, 2009, “TKP Cyber Crime adalah Komputer”, Serial Online 24, 2009 3:21 pm, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://forum.polwiltabessurabaya.net/viewtopic.php?f=35&t=79&start=0&sid=ca9c0bd3561 24ef5d8c8be2806f11076
154
Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.242 Mengenai sarana dan fasilitas penegakan hukum ini, Prof. Zainuddin Ali berpendapat bahwa: Mungkin ada baiknya bahwa pada waktu hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas yang berpatokan kepada; (1) apa yang sudah ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.243 Pendapat Zainuddin Ali tersebut menggambarkan betapa pentingnya ketersediaan sarana dan prasarana bagi penegak hukum. Untuk menelusuri pengelola dan para pelanggan situs-situs prostitusi dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Pasalnya kebanyakan penggunanya menggunakan sandi-sandi khusus untuk dapat mengakses situs tersebut.244 Dalam hal ini diperlukan aplikasi-aplikasi yang mampu membuka sandi-sandi khusus tersebut. Aplikasi tersebut diharapkan dapat menjadi sarana bagi penegak hukum dalam mengungkap pelaku dan tempat dilakukannya prostitusi cyber Urgensi sarana dan fasilitas yang memadai dicontohkan Onno W. Purbo dalam mendeteksi email yang dikirimkan padanya melalui aplikasi internet sebagaimana yang dapat dilihat pada kutipan email berikut: 242
Soerjono Soekanto I, op.cit. hal. 37.
243
H. Zainuddin Ali, op.cit., hal. 96.
244
Ita Lismawati F. Malau, Sandy Adam Mahaputra, 2010, “Polda Patroli Cyber Situs Prostitusi Dalam Situs Jejaring Sosial, Pelaku Menampilkan Banyak Foto-Foto Wanita Berparas Cantik, Serial Online 13 Februari 2010, 02:01 WIB, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL:http://metro.vivanews.com/news/read/129201-polda_patroli_cyber_situs_prostitusi
155
kayanya anda pakai INDOSAT utk akses internet dan mengirim e-mailnya Sat, 05 Mar 2011 15:06:47 PST Ini contoh header e-mail anda yang saya pakai utk analisa Received: (qmail 7253 invoked from network); 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Received: from unknown (HELO sv-2.indo.net.id) (202.159.33.44) by pop-qmail.indo.net.id with SMTP; 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Received: (qmail 3471 invoked by alias); 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Delivered-To:
[email protected] Received: (qmail 3467 invoked from network); 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Received: by simscan 1.4.0 ppid: 3464, pid: 3465, t: 0.0051s scanners: clamav: 0.96.3/m:52/d:12073 Received: from unknown (HELO mailgate.indo.net.id) (202.159.32.57) by sv-2.indo.net.id with SMTP; 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Received: (qmail 4686 invoked by alias); 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Delivered-To:
[email protected] Received: (qmail 4682 invoked from network); 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Received: from mx-1.indo.net.id (202.159.32.36) by mailgate.indo.net.id with SMTP; 6 Mar 2011 06:06:53 +0700 Received: from nm5-vm0.bullet.mail.sp2.yahoo.com (nm5-vm0.bullet.mail.sp2.yahoo.com [98.139.91.204]) by mx-1.indo.net.id (Postfix) with SMTP id 2D4EA2010115 for ; Sun, 6 Mar 2011 06:06:49 +0700 (WIT) Received: from [98.139.91.62] by nm5.bullet.mail.sp2.yahoo.com with NNFMP; 05 Mar 2011 23:06:48 -0000 Received: from [98.139.91.47] by tm2.bullet.mail.sp2.yahoo.com with NNFMP; 05 Mar 2011 23:06:48 -0000 Received: from [127.0.0.1] by omp1047.mail.sp2.yahoo.com with NNFMP; 05 Mar 2011 23:06:48 -0000 X-Yahoo-Newman-Property: ymail-3 X-Yahoo-Newman-Id:
[email protected] Received: (qmail 37879 invoked by uid 60001); 5 Mar 2011 23:06:48 -0000 DKIM-Signature: v=1; a=rsa-sha256; c=relaxed/relaxed; d=yahoo.com; s=s1024; t=1299366408; bh=DiQzp/GrgBpFUHDh0h9rYSteJFW8oqlr1eDsS/AkvA4=; h=Message-ID:X-YMail-OSG:Received:XMailer:References:Date:From:Subject:To:In-Reply-To:MIME-Version:Content-Type:Content-Transfer-Encoding; b=sjZZKgoXTXVeCweeU5Q3aUXUGIFIvUbTTJlIHwNPb2RUDtG9LU8LCvWTzYdQNJnQPI3BE435Q9vOpjjb2Xq z1E7qWm3cLnInaLcmJkEQk31werx3sSM5kkYwHXHXUvEkckp8JwYVwGm7dbDbHRnAsp1epvSPOidMC5c4W1 Wd/1Y= DomainKey-Signature:a=rsa-sha1; q=dns; c=nofws; s=s1024; d=yahoo.com; h=Message-ID:X-YMail-OSG:Received:X-Mailer:References:Date:From:Subject:To:In-Reply-To:MIMEVersion:Content-Type:Content-Transfer-Encoding; b=WcB9Bls/RViXyRt2t85pb0dOlTD9jHm0VchdL+6sPbl77HGU2aCfpzV1DRJHiG67AXIMp3y+xkN6cxjJuO7ZrZeu 9/Mqb0dcGBwfPd4hbE1sbzFo/EPgi7RephcmWrzi8c8UbqcqWWxGlffhYz47Kv16fui7XCd1v7GHqIq3FHI=; Message-ID: X-YMail-OSG: Ui8wWFkVM1lD3baDKiqWN3nXXBWoKTNVWBqdzZNO9EOIDwj JJRnQEBWOE9LM4IyWIHTfH11Un5D02WMNY7rm2mn9ENTO1Pj.mD7mYrUxzps c629l1zLoXEd49rFLZ4bhfaM52zfXlbpNY93TSN.umRj_E2_tlPikoIbX4km 4MupV9WxVt01RdXUia0ayXTDViK26c1KOdZgrit72MFHKLqlr48sOcP6RI0D IE3py1yhcCNVRnmMqstJZaSjB6cacKUss81JIqY5gctLvfyQL52BWpfkceyA qrWPvuFf0Vsl7leAn010z0gpojfQv2.9JzendR1o1w_ZmzYdBkjqtoPDYZWn ._hsW9bu4g1SfqYbH8p4O Received: from [114.57.8.247] by web110307.mail.gq1.yahoo.com via HTTP; Sat, 05 Mar 2011 15:06:47 PST X-Mailer: YahooMailRC/559 YahooMailWebService/0.8.109.295617 References: Date: Sat, 5 Mar 2011 15:06:47 -0800 (PST) From: dewi bunga Subject: Re: your mail To: "Onno W. Purbo" In-Reply-To: MIME-Version: 1.0 Content-Type: text/plain; charset=utf-8 Content-Transfer-Encoding: quoted-printable X-Spam-Tests: multi.surbl.org:OK,multi.uribl.com:OK Status: RO X-Status: X-Keywords: X-UID: 1
156
Dari analisis tersebut dapat dijelaskan server mana yang digunakan, nternet protokol, siapa yang mengirimkan dan yang dikirimkan data elektronik, tempat dan waktu pengiriman serta internet service provider yang digunakan. Praktisi telematika Tri Kumala Yoga Andita mengemukakan dalam keilmuan teknik informatika, untuk mendeteksi lokasi dan waktu dilakukannya kejahatan dapat dilakukan dengan menganalisis internet protocol user. Melalui nternet protocol ini dapat dijelaskan informasi detail mengenai lokasi, waktu, server dan seri komputer yang dipergunakan pelaku. Meskipun begitu belum tentu pemilik komputer adalah pelaku sehingga harus ditelusuri siapakah yang menggunakan komputer pada waktu terjadinya tindak pidana. Penelusuran ini akan semakin sulit jika uploading dan downloading dilakukan di warnet yang tidak dilengkapi dengan CCTV (wawancara pada 7 Maret 2011). Gambar 6 Internet Protocol
157
Belum optimalnya penegakan hukum terhadap prostitusi
cyber
disebabkan karena sarana dan fasilitas penegakan hukum yang belum memadai. Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber mutlak memerlukan alat sebab karakteristik dari kejahatan ini adalah dilakukan dengan alat baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Penentuan waktu dan tempat terjadinya prostitusi cyber ditentukan saat kapan alat itu bekerja efektif, oleh sebab itu analisis telematika sangat diperlukan dalam mengungkap kejahatan. Untuk menelusi, mendeteksi dan menanggulangi kejahatan ini Onno W. Purbo menjelaskan bahwa caranya sangat tergantung aplikasi dan topologi jaringan yang dipakai. Sebagian aplikasinya ada di gnacktrack dan backtrack (wawancara pada 6 Maret 2011). Hal ini menggambarkan bahwa sarana dan fasilitas yang memadai menjadi hal yang penting dalam penegakan hukum. Sebagai instrumen pencegahan, sesungguhnya telah ada software yang dirancang untuk mendeteksi prostitusi cyber seperti Nawala Project dan IDSIRTII. Nawala Project adalah sebuah layanan yang bebas digunakan oleh pengguna internet yang membutuhkan saringan konten negatif. Nawala Project secara spesifik akan memblokir jenis konten negatif yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan, nilai dan norma sosial, adat istiadat dan kesusilaan bangsa Indonesia seperti pornografi dan perjudian. Selain itu, Nawala Project juga akan memblokir situs Internet yang mengandung konten berbahaya seperti malware, situs phising (penyesatan) dan sejenisnya.245
245
Internet Sehat, 2010, “Internet Sehat dengan DNS Nawala”, Serial Online January 23rd, 2010, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://mdin.staff.uad.ac.id/ internet- sehat dengan-dns-nawala/
158
Demikian pula ID-SIRTII yang memiliki cara kerja yang hampir sama dengan Nawala Project. Aplikasi ini memonitoring lalu lintas data dan memperketat jalur keamanan data. Jika ada aktivitas yang mencurigakan maka ia akan melaporkan kepada pemilik web dan server. Namun ada kelemahan dalam aplikasi ini sebab aktivitas yang mencurigakan belum tentu cyber crime dan aktivitas yang normal dalam sistem elektronik bisa jadi adalah cyber crime. Oleh sebab itu praktisi telematika Tri Kumala Yoga Andita, berpendapat bahwa secara teoritis cyber crime dapat ditanggulangi namun secara praktis hampir mustahil jika kejahatan ini dapat ditanggulangi semuanya apalagi aspek dari kejahatan ini adalah transnasional (wawancara pada 11 Maret 2011). Cara sederhana lain yang dapat dilakukan adalah dengan pemblokiran dari server dan jalur lalu lintas data. Namun cara ini juga memiliki kelemahan sebab cara kerjanya adalah dengan memblokir situs-situs dan kata-kata kunci yang telah diinventaris sebelumnya. Pertumbuhan situs baru yang begitu cepat tentu tidak akan terdeteksi dan akan diakses bebas. Misalnya situs yang telah dimasukkan dalam database blokir adalah bispakbali.blogspot.com, namun jika pemilik blog mengubah alamat menjadi bispakbali3.blogspot.com, maka blog prostitusi ini dapat diakses kembali. 4.4 Faktor Masyarakat Masyarakat merupakan bagian yang penting dalam penegakan hukum. Sebab masyarakat merupakan tempat bekerjanya hukum. Robert Seidmen dalam bukunya “The State Law and Developments” sebagaimana dikutip oleh
159
Yesmil Anwar dan Adang telah membuat empat preposisi tentang bekerjanya hukum di dalam masyarakat yakni: a.
Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seseorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak.
b.
Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan huikum merupakan fungsi peraturan yang ditujukan padanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksanaan serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lainlain mengenai dirinya.
c.
Bagaimana lembaga-lembaga itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan yang ditunjukkan mereka, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksanaan serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lain mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan.
d.
Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksanaan serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lain yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.246
246
Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hal. 50.
160
Pencegahan dan penanggulangan terhadap prostitusi cyber membutuhkan pendekatan penal dan non penal yang integralistik dan membutuhkan keterpaduan. Membicarakan masyarakat adalah suatu keharusan yang melekat pada perbincangan mengenai hukum. Hukum dan masyarakatnya merupakan dua sisi dari satu mata uang. Maka tanpa perbincangan mengenai masyarakat terlebih dahulu, sesungguhnya berbicara tentang hukum yang kosong.247 Hukum menurut Satjipto Rahardjo bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final, melainkan sangat tergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah sebagai penentu. Dalam pemikiran mengenai hukum progresif, Satjipto Rahardjo tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran tersebut, hukum adalah institusi yang secara terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.248 Satjipto Rahardjo menyimpulkan bahwa “setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peranan ditentukan tingkah lakunya oleh pola-pola peraturan yang diharapkan daripadanya baik oleh norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum.”249 Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
247
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hidup yang Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Kompas, Jakarta, hal. 9, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo V). 248
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 33, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo VI). 249
Satjipto Rahardjo IV, op.cit., hal. 27.
161
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.250 Pengaruh masyarakat dalam penegakan hukum ini ditelaah dari kesadaran hukum yang menjadi indikator dari derajat kepatuhan hukum. Kesadaran hukum sangat diperlukan dalam berteknologi. Teknologi informasi merupakan ujung tombak dari globalisasi. Kondisi ini melahirkan suatu dunia baru yang disebut global village (desa global). Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi, multimedia dan teknologi informasi pada akhirnya akan mengubah tatanan organisasi dan hubungan sosial kemasyarakatan. Mereka yang sudah menikmati manfaat teknologi tersebut, terbukti telah mengalami peningkatan kekuatan ekonomi dan menjadi kelompok masyarakat yang relatif makmur. Sebaliknya, mereka yang belum memperoleh
kesempatan,
pada
umumnya
kelompok
masyarakat
berpenghasilan rendah dan bahkan di beberapa negara hidup dalam kemiskinan. Fenomena tersebut semakin menguatkan hipotesis the winner takes all (pemenang mengambil semua) yang menyiratkan makna bahwa yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tetap saja miskin.251 Percepatan teknologi informasi telah menimbulkan perubahan bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan internet sangat membantu masyarakat informasi dalam memperoleh akses informasi, apalagi bagi mereka yang menginginkan sebuah transaksi yang cepat tanpa harus bertemu langsung
250
Soerjono Soekanto I, op.cit. hal. 45.
251
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom II, op.cit., hal. 122.
162
dengan lawan bicara. Transaksi dagang tidak lagi dilakukan secara tradisional, tidak lagi terbatas oleh wilayah dan dilakukan tanpa menggunakan tertulis (scriptless).252 Mengenai percepatan ini Ashadi Siregar menyatakan: Penggabungan komputer dengan telekomunikasi melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi ketiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris (biasa disebut (hard reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (dipadankan dengan sebutan soft reality), maka dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual rteality) yang melahirkan suatu format masyarakat lainnya.253 Internet adalah media digital interaktif yang menghubungkan para netter secara real time dan borderless. Interaktivitas (interactivity) ini menjadi karakteristik pembeda dari konvergensi teknologi dalam suatu layanan jaringan baik telekomunikasi maupun penyiaran.254 Konvergensi di bidang teknologi telah melahirkan communication (komunikasi), computer (komputer), contents (materi) dan community (komunitas) yang jumlahnya semakin bertambah. Total pengguna internet dunia diestimasi hingga September 2009 mencapai 1,7 milyar atau lebih dari 25% dari total penduduk di dunia.255 Secara sosiologis, secara tidak langsung para anggota komunitas cyber merasa terikat oleh satu perasaan senasib atau lebih tepatnya toleransi satu
252
Huala Adolf, 2007, Dasar-dasar Hukum Kontrak International, Refika Aditama, Bandung, hal. 39, (selanjutnya disebut Huala Adolf III). 253 Ashadi Siregar, Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, makalah pada Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Demokrasi, Yogyakarta, 19 September 2001. 254
Danrivanto Budhijanto, 2010, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi Regulasi & Kovergensi, Refika Aditama, Bandung, hal. 267-268. 255
Kompas, 2010, “Pengguna Internet Indonesia Naik 1.150 % dari 1,7 Milyar Pengguna”, Serial Online 2 Januari 2010 | 16:49, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://teknologi.kompasiana.com/.
163
kepentingan untuk menjelmakan semua kreasi intelektualnya menjadi suatu informasi (freedom of speech) dan mengkomunikasikannya kepada pihak lain (free flow of information) sebebas-bebasnya. Dalam konteks tersebut semua anggota masyarakatnya berupaya untuk melepaskan diri dari perasaan terkukung oleh semua nilai-nilai konvensional kemasyarakatan sendiri. Di sinilah kesadaran hukum mereka harus dihadapkan dengan keinginan untuk freedom of speech dan free flow of information. Rendahnya kesadaran hukum para netter menjadikan penegakan hukum terhadap prostitusi cyber tidak berjalan optimal. Tidak adanya kesadaran hukum para netter ini terlihat pada pemanfaatan sarana internet untuk memperjualbelikan layanan seks. Seorang mucikari berinisial YD diamankan polisi di kawasan Jakarta Selatan saat hendak bertransaksi. Untuk mempromosikan
wanita
www.deliveryjakarta.cc.cc
panggilannya, dan
YD
menggunakan
situs
akun
blog
http://dennymanagement.multiply.com. Dalam situs dan blog tersebut, YD menampilkan ratusan kaum perempuan dari usia 23 hingga 30 tahun. Para wanita panggilan itu memiliki nama pasaran yang menarik disertai ukuran bra, tinggi badan dan tarif harganya. Semuanya short time selama 3 jam. Untuk wanita kelas VIP Model, YD mematok harga Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. Sedangkan untuk kelas ABG, harga dipatok mulai Rp 10 juta hingga Rp 30 juta. Bagi pelanggan yang hendak berkencan dengan wanita panggilan itu, YD
164
menyediakan nomor handphone yang bisa dihubungi. Setelah mucikari dan pelanggan sepakat, keduanya mencari tempat yang cocok untuk bertransaksi.256 Prostitusi yang mengorbankan gadis belia maupun siswi SMP di jejaring sosial dinilai mengeruk banyak keuntungan. Bisnis di media sosial ini lebih aman karena jauh dari pantauan polisi. Oleh sebab itu, saat ini banyak mucikari yang memanfaatkan Facebook sebagai cara untuk menjajakan perempuan belia. Polda Metro Jaya menyebutkan, bisnis ini marak karena cara kerja yang praktis dengan omzet besar. Selain itu tidak perlu mengeluarkan biaya mahal untuk menjajakannya kepada pria hidung belang.257 Harian Israel Today mengungkapkan bahwa pelacuran di Israel bisa mendatangkan keuntungan bagi pengelolahnya sebesar 2,4 milyar Shekel (mata uang Israel) atau sebesar US$ 600 juta per tahunnya.258 Uang dan seks adalah dua faktor yang selalu menjadi incaran manusia. Di zaman ini seks telah menjadi sebuah industri bisnis tersendiri yang sangat besar. Bisnis seks kini telah memasyarakat dan berkat kehadiran internet, penyebaran dan bisnis ini semakin menggurita. Industri seks ini sendiri masih merupakan kontroversi dan merupakan bisnis terlarang di banyak negara
256
Anonim,” Prostitusi Online Kembali Dibongkar Polisi Cyber Crime”, Serial Online (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: . http://www.warungmp3.com/prostitusi-online-kembalidibongkar-polisi-cyber-crime/. 257
Viva News, 2011, “Kenapa Facebook Jadi Media Prostitusi Pelajar”, Serial Online 20 Januari 2011, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://solocybercity.wordpress.com/2011/01/20/kenapa-facebook-jadi-media-prostitusi-pelajar/ 258
Anonim, 2010, “600 Juta Dolar Pemasukan Israel dari Bisnis Pelacuran”, Serial Online Desember 2010, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://arenaphoto.blogspot.com/2010/12/600-juta-dolar-pemasukan-israel-dari.html
165
walaupun nilai bisnisnya sangat luar biasa.259
I Wayan Dana Ardika
(masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan prostitusi) mengatakan bahwa selama ini kegiatan prostitusi yang terjadi di sekitar wilayah Cargo, desa Uma Anyar tidak ditindak oleh aparat desa, karena desa menerima kontribusi keuangan dari usaha hotel yang menyediakan pelayanan jasa seksual tersebut. Aparat desa seakan menutup mata akan aktivitas tersebut, mereka hanya menganggap bahwa mereka menerima pemasukan dari hotel. Banyaknya pemasukan yang diterima memang membuat desa ini kuat secara finansial (wawancara pada 13 Mei 2011). Sebagai orang yang tinggal di wilayah sekitar kawasan prostitusi, I Wayan Dana Ardika sendiri merasa tidak nyaman akan aktivitas di sekitar wilayahnya itu. Teman-teman atau rekan kerja perempuan yang berkunjung ke rumahnya seringkali “ditawar” oleh pelanggan di hotel tersebut. Pekerja seksual di daerah tersebut juga sangat fasih bercerita tentang pekerjaannya di warung-warung sekitar wilayah hotel yang ketika itu dipenuhi anak-anak. Mereka tanpa malu-malu bertanya kepada rekan seprofesinya mengenai jumlah pelanggan seksual yang dilayani hari ini, bahkan jika ada yang saat itu kelebihan
pelanggan
akan
berkoordinasi
kepada
pihak
hotel
untuk
melimpahkan pekerjaan tersebut kepada rekannya yang saat itu belum mendapatkan pelanggan (wawancara pada 13 Mei 2011). Eka Trisna Dewi (masyarakat dan netter) mengharapkan agar prostitusi baik secara konvensional maupun yang dipermudah melalui dunia maya harus 259
TheWorldOfPorn.Net, 2009, The World of Porn The $12.7 Billion Adult Entertainment Industry, Jasakom, hal. 23.
166
diberantas sampai ke akar-akarnya karena prostitusi tidak hanya merusak rumah tangga orang namun juga mampu menghancurkan generasi muda. Tingginya angka prostitusi berarti meningkatkan jumlah penyakit seksual dan penyakit sosial di masyarakat. Prostitusi pun secara tidak langsung dipandang sebagai penyebab tindak kejahatan seperti KDRT, penganiayaan, pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan (wawancara pada 13 Mei 2011). Kesadaran hukum dari para korban untuk melaporkan kejahatan yang dialaminya masih sangat sedikit. Berdasarkan laporan Symantec bertajuk Norton Cybercrime Report, hampir satu dari dua (45 persen) korban kejahatan cyber tidak pernah menyelesaikan secara tuntas kejahatan cyber yang mereka alami. Padahal, sebanyak 86 persen pengguna yang disurvei mengaku pernah menjadi korban penjahat cyber.260 Korban dari kasus eksploitasi seksual pun jarang ada yang melaporkan, hal ini disebabkan karena korban malu apabila ada orang yang mengetahui kejadian yang dialaminya. Dalam banyak kasus eksploitasi seksual yang terjadi, hampir semuanya menurut Endang Widiati (Ketua pelaksana Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Provinsi Bali) disebabkan karena faktor ekonomi baik karena kehidupannya yang serba kekurangan maupun yang merasa selalu kekurangan.
Dalam
penanganan
kasus,
Pusat
Pelayanan
Terpadu
Pemberdayaan Perempuan selalu berupaya membantu korban baik dalam advokasi maupun dalam terapi. Pihaknya juga melakukan kerjasama dengan
260
Muhammad Firman, “45% Korban Cybercrime Tak Melapor”, Serial Online 29 September 2010, 16:18 WIB, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://teknologi.vivanews.com/news/read/180241-45--korban-cybercrime-tak-melapor
167
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan di Provinsi lain, LSM sejenis dan pihak konsulat apabila korban berada di luar negeri (wawancara pada 26 Februari 2011). Kurangnya kesadaran hukum masyarakat berimplikasi pada ketidaktaatan mereka terhadap hukum. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom merumuskan beberapa alasan maka sampai saat ini kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih sangat kurang, yakni: Sampai saat ini, kesadaran hukum masyarakat Indonesia dalam merespon aktivitas cyber crime masih dirasakan kurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan (lack of information) masyarakat terhadap jenis kejahatan cyber crime. Lack of information ini menyebabkan upaya penanggulangan cyber crime mengalami kendala, dalam hal ini kendala yang berkenaan dengan penaatan hukum dan proses pengawasan (controlling) masyarakat terhadap setiap aktivitas ang diduga berkaitan dengan cyber crime. Mengenai kendala yang pertama yaitu mengenai proses penaatan terhadap hukum, jika masyarakat di Indonesia memiliki pemahaman yang benar akan tindak pidana cyber crime maka baik secara langsung maupun tidak langsung masyarakat akan membentuk suatu pola penaatan. Pola penaatan ini dapat didasarkan karena ketakutan akan ancaman pidana yang dikenakan bila melakukan perbuatan cyber crime atau pola penaatan ini tumbuh atas kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum. Melalui pemahaman yang komprehensif mengenai cyber crime, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan, ketika masyarakat mengalami lack of information, peran mereka akan menjadi mandul.261 Faktor yang penting bagi manusia untuk menjadi manusia susila adalah adanya kesadaran moral yang dapat direalisasikan dalam tingkah laku seharihari. Kesadaran moral ini, kesadaran untuk bertingkah laku baik, tidak hanya kalau berhadapan dengan orang lain saja, tetapi berlaku terus tanpa kehadiran
261
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II, op.cit., hal. 89-90.
168
orang lain. Kesadaran ini berdasarkan pada nilai-nilai yang fundamental dan sangat mendalam. Dengan demikian maka tingkah laku yang baik berdasar pada otoritas kesadaran pribadi dan bukan atas pengaruh dari luar diri manusia.262 Selanjutnya Drijarkara mengemukakan: Moral atau kesusilaan adalah nilai sebenarnya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul dapat disebut nilai bagi manusia. Dengan kata lain, moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Moral atau kesusilaan adalah perkembangan manusia yang sebenarnya.263 Penegakan hukum yang optimal memerlukan kesadaran hukum dan kesadaran moral dari masyarakat.
Salah satu bentuk kesadaran tersebut
digambarkan Jonathan Rosenoer dengan kesigapan dari operator untuk melaporkan aktivitas yang mencurigakan pada sistem mereka, selengkapnya dikatakan “Operators of computer bulletin boards and online systems should take immediate action when they discover or have reason to suspect that any of these activities are occuring on or through their systems”264 (Operator papan buletin komputer dan sistem online harus segera mengambil tindakan ketika mereka menemukan atau memiliki alasan untuk mencurigai bahwa salah satu kegiatan yang terjadi pada atau melalui sistem mereka).
262
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 73. 263
Abdul Ghofur Anshori, op.cit., hal. 25.
264
Jonathan Rosenoer, op.cit., hal 180.
169
4.5 Faktor Kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.265 J.E Sahetapy dengan konsep soburalnya mengatakan bahwa aspek sosial, budaya dan struktural merupakan hal yang tidak boleh diabaikan dalam setiap permasalahan hukum.266 Setiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, maka hukum pun berbeda antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Hukum merupakan bagian kebudayaan suatu bangsa oleh sebab itu tiap-tiap bangsa memiliki hukum masing-masing melalui proses sejarah dan kebudayaannya, namun terdapat suatu universalitas juga dalam tata hukum-tata hukum yang berlaku di dunia.267 Kebudayan dalam tata hukum inilah yang menjadi pondasi dari budaya hukum. Budaya hukum yang ada di masyarakat menurut Erman Rajagukguk sangat dipengaruhi oleh agama, posisi seseorang dalam masyarakat, kepentingan seseorang bahkan juga oleh faktor-faktor tertentu.268 Sedangkan
265
Soerjono Soekanto I, op.cit. hal. 59-60.
266
Heri Tahir, op.cit., hal. 165.
267
Abdul Gofur Anshori, op.cit., hal, 149.
268
H. Heri Tahir, op.cit., hal. 156,
170
Muladi melihat budaya hukum sebagai sistem hukum yang abstrak (abstract system) yang merupakan the climate of social force which determines how law is used, avoided or abused269 (iklim dari kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan). Sehingga budaya hukum dapat menjadi indikator mengenai bagaimana cara hukum digunakan, dihindari atau dilanggar. Kemajuan peradaban dan budaya manusia, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terutama kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi sudah mendunia dan menjadikan planet bumi menjadi semakin kecil dan seolah-olah tak terbatas sehingga kejadian di salah satu tempat di bumi ini dengan cepat dan dalam waktu yang singkat bahkan bersamaan dapat diketahui di belahan bumi lainnya. Globalisasi di segala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak mungkin satu negara mengisolasi diri secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum dalam keterkaitan antar negara.270 Perkembangan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, menimbulkan problema baru bagi pembentuk undang-undang tentang caranya melindungi masyarakat secara efektif dan efesien terhadap bahaya demoralisasi sebagai akibat dari masuknya pandangan dan kebiasaan orang-orang asing mengenai kehidupan seksual di negara masing-masing.271 Di antara penyimpangan sosial
269
Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 88, (selanjutnya disebut Muladi IV). 270
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hal. 2-3.
271
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang , op.cit., hal. 1.
171
yang banyak terdapat di hampir seluruh negara adalah prostitusi. Prostitusi memang sudah berumur tua, selalu ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Seks dan wanita adalah dua kata kunci yang terkait dengan prostitusi. Seks adalah kebutuhan manusia yang selalu ada dalam diri manusia dan bisa muncul secara tiba-tiba. Seks juga bisa berarti sebuah ungkapan rasa abstrak manusia yang cinta terhadap keindahan. Sedangkan wanita adalah satu jenis makhluk Tuhan yang memang diciptakan sebagai simbol keindahan. Maka fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah seks selalu identik dengan wanita.272 Kejahatan merupakan produk dari masyarakatnya sendiri (crime is a product of society its self). Habitat baru ini, dengan segala bentuk pola interaksi yang ada di dalamnya, akan menghasilkan jenis-jenis kejahatan yang berbeda dengan kejahatan lain yang sebelumnya telah dikenal. Kejahatan-kejahatan ini berada dalam satu kelompok besar yang dikenal dengan istilah cyber crime.273 Prostitusi cyber merupakan kejahatan jenis baru yang didukung oleh kecanggihan perangkat teknologi. Kejahatan ini merupakan deferensiasi dari aktivitas prostitusi secara konvensional yang muncul bersamaan dengan revolusi teknologi informatika.
272
Harja Saputra dan Fikri Habsyi, 2007, “Faktor-faktor Penyebab Prostitusi”, Serial Online April 3, 2007 pukul 1:23 am, (Cited 2010 Feb. 12), available from : URL: http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/03/faktor-faktor-penyebab-prostitusi-sebuah-penelitiandi-warung-remang-remang-desa-pondok-udik-parung-bogor-1/ 273
Tubagus Ronny Rahman, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban , Jakarta, hal. 38.
172
Kebebasan berselancar di dunia maya (cyber liberty) dalam akses internet menjadikan kejahatan ini semakin berkembang. Bahkan mengubah paradigma budaya dari masyarakat dalam memandang prostitusi. Ada sebagian masyarakat yang cenderung mendukung praktik-praktik prostitusi baik karena banyak yang mengambil manfaat dari aktivitas ini ataupun karena memandang prostitusi sebagai suatu aktivitas bisnis. Adanya prostitusi tentu tidak lepas dari dukungan masyarakat tersebut, baik dalam menyediakan sarana dan jasa pelayanan seksual atau tidak mengambil tindakan jika di wilayah terdapat aktivitas prostitusi. Mereka menganggap bahwa kegiatan tersebut sebagai hal biasa atau hal-hal privasi yang tidak perlu dicampuri. Dalam sejarah perkembangan manusia, legalisasi atas prostitusi terus diperjuangkan. Kekecewaan akan hukum pidana terkait dengan prostitusi telah lama dirasakan di Inggris. Pada tahun 1954 dibentuklah Komite Wolfenden yang ditugaskan untuk memikirkan status hukum prostitusi. Komite ini akhirnya merekomendasikan agar prostitusi tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, tetapi perundang-undangan harus disahkan untuk menghalau praktis prostitusi di jalanan.274 Perubahan budaya ketimuran yang dianut oleh bangsa Indonesia kini semakin memudar. Sehingga pemikiran mengenai legalisasi prostitusi ini semakin didukung oleh beberapa elemen masyarakat. Dhina Avianthi (masyarakat dan netter) memandang bahwa legalisasi terhadap lokalisasi protitusi tidak masalah jika dilakukan sebab adanya lokalisasi akan 274
H.L.A Hart sebagaimana diterjemahkan oleh Ani Mualifatul Maisah, 2009, Law, Liberty and Morality, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 18-19.
173
meningkatkan ekonomi warga sekitar, daerah yang awalnya terdegradasi bisa hidup dengan adanya wilayah lokalisasi. Mengakses pelayanan seks di internet pun
merupakan
pilihan
dan
privasi
bagi
netter,
jika
neter
tidak
menginginkannya maka ia tidak perlu mengakses, sebaliknya jika memang menginginkan pelayanan seks, maka hak mereka untuk mencarinya di internet. Meskipun begitu ia menyadari bahwa prostitusi ini memang berbenturan dengan budaya ketimuran (wawancara pada 13 Mei 2011). Prostitusi memang menimbulkan dua kubu pendapat yang berbeda, di satu sisi ada sebagian masyarakat yang mendukung dan di sisi lain ada pula yang menolak kegiatan ini. Namun demikian perlu dipikirkan kembali mengenai permasalahan agama, moral dan etika yang selama ini telah diwariskan oleh nenek moyang.
174
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah
diuraikan sebelumnya maka dapat
disimpulkan sebagai berikut: 1.
Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional dilakukan karena kejahatan ini memiliki karakteristik lintas batas negara dan diakui oleh hukum internasional sebagai transnational organized crime. Pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap pelaku prostitusi cyber (mucikari online) dapat dijatuhkan baik dalam kapasitasnya sebagai orang-perorangan maupun sebagai korporasi dengan pidana penjara dan/ atau denda. Penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional ini baru dapat dilakukan jika antara negara yang satu dengan negara yang lain terdapat perjanjian internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral. Sehingga penegakan hukumnya sangat tergantung pada ada atau tidaknya perjanjian internasional dan kemauan negara untuk bekerjasama dalam penegakan hukum. Hal ini menjadi kelemahan dalam penegakan hukum terhadap prostitusi cyber.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap prostitusi cyber meliputi faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor
175
kebudayaan. Dari kelima faktor tersebut, maka faktor yang paling berpengaruh pada lemahnya penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional adalah faktor penegak hukum. Hal ini disebabkan karena tidak semua penegak hukum (penyidik) memiliki latar belakang pendidikan hukum, kurangnya mekanisme kontrol dari komponen peradilan pidana dalam setiap proses pemeriksaan perkara, penegak hukum yang kurang menunjukkan keteladanan, tidak adanya unit cyber dalam institusi penegak hukum, penguasaan teknologi yang masih kurang, kerjasama penegak hukum antar negara yang belum efektif, kendala dalam penguasaan bahasa asing dan bahasa hukum oleh penegak hukum yang menyulitkan komunikasi dalam penegakan hukum, serta rendahnya komitmen para penegak hukum di masing-masing negara untuk bekerjasama dalam menanggulangi prostitusi cyber. 5.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1.
Komitmen moral merupakan hal yang penting dalam penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional, sebab tanpa bantuan dari negara lain, penegakan hukum tidak mungkin dilakukan. Format pidana penjara yang dijatuhkan kepada mucikari online perlu diarahkan pada upaya resosialisasi dan edukasi agar kejahatan ini tidak terulang kembali. Penjatuhan pidana pengganti bagi korporasi yang tidak dapat membayar denda perlu diatur. Dalam kerangka penegakan hukum terhadap prostitusi cyber ini, diperlukan adanya perjanjian internasional yang berlaku efektif,
176
kerjasama antara penegak hukum serta peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasana dalam penegakan hukum. Disamping itu, diperlukan sinergi antara kesadaran hukum dan kesadaran moral dari masyarakat dalam penegakan hukum terhadap prostitusi cyber sehingga para netter selalu berpegang pada hukum, cyber ethics, nilai-nilai, moral dan agama yang mereka anut. 2.
Mengingat faktor yang paling mempengaruhi lemahnya penegakan hukum terhadap prostitusi cyber dalam anatomi kejahatan transnasional adalah faktor penegak hukum maka diperlukan peningkatan kualitas sumber daya penegak hukum baik dalam penguasaan terhadap hukum, penggunaan bahasa asing dan bahasa hukum maupun penguasaan terhadap sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum. Pola perilaku dari penegak hukum juga perlu diperbaiki agar senantiasa menjadi teladan bagi masyakat. Selain itu juga diperlukan penambahan jumlah unit cyber pada institusi penegak hukum. Untuk mengatasi kesulitan dalam memformulasikan bahasa hukum yang tepat terhadap prostitusi cyber, maka penegak hukum yang berkepentingan diharapkan dapat merinci dengan jelas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sehingga penegak hukum di negara lain dapat memahami maksud serta mengetahui tindakan apa yang seharusnya dilakukan dalam penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional tersebut.