BAB II JUGUN IANFU PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI ...

56 downloads 1669 Views 374KB Size Report
masyarakat Jepang adalah masyarakat berkebudayaan rasa malu. .... Sex is sacred. ... Memang betul bahwa kuil-kuil keagamaan, cerita-cerita porno serta ...
BAB II JUGUN IANFU PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

2.1 Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Jepang Seksualitas merupakan suatu proses sosial yang menciptakan, mengatur dan mengekspresiakan serta mengarahkan hasrat seksual, dapat juga dikatakan kecendrungan sosial. Seksual adalah mengarah pada hubungan seks dan seks itu sendiri merujuk pada keadaan anatomis dan biologis yaitu jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan (Humm 2002: 432,dalam Ikhwanudin ). Ruth Benedict (1942/1979) dalam Situmorang 2008, mengatakan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat berkebudayaan rasa malu. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya. Ruth Benedict membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut, nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Jadi dia membedakan dua jenis sistem nilai, yang satu didasarkan pada penilaian masyarakat luas, dan yang satu lagi adalah nilai yang didasarkan pada benar atau salah menurut Tuhan. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menganut kepercayaan politheis dan juga Shinkretik, dan juga masyarakat yang tidak mengenal konsep dosa. Dalam bahasa Jepang ada istilah Tsumi tetapi artinya adalah kesalahan, berbeda dengan konsep dosa dalam pengertian agama Monotheis. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi bukan rasa takut akan Dewa, tetapi adalah rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya. Rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain

Universitas Sumatera Utara

atau prinsip keterutangan terutama terutang budi. Oleh karena itu seluruh aktivitas mereka difokuskan kepada penghindaran rasa malu. Penampilan kultural bangsa Jepang dengan banyaknya festival keagamaan memberi gambaran sesungguhnya ungkapan-ungkapan religiusitas bangsa Jepang sangat kental. Bangsa Jepang sangat menyukai acara-acara ziarah dan perayaan hari raya (Benedict, 1982:97) Singer berpendapat bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang matang dari segi budaya (Singer,1990:94). Hal ini dapat dilihat pada kematangannya mengemas budaya sendiri dan budaya luar menjadi budaya yang khas Jepang. Orang Jepang menunjukkan perilaku sinkretik dengan mengkombinasikan beberapa ritual keagamaan dalam hidup untuk tujuan-tujuan tertentu (Earhart, 1984:22). Agama atau secara lebih umum religi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan Bangsa Jepang dan tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat secara keseluruhan. Menurut Fukuzawa Yukichi (1985:220) agama dan religi merupakan sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Jepang. Bila dikatakan bahwa agama lazimnya akan melahirkan budaya agamis pada suatu masyarakat (Brede Krentensen dalam Musa Asy’ari dkk, 1993:56). Di Jepang dikenal banyak upacara dan festival keagamaan. Boleh jadi ini salah satu bagian dari kategori agamis. Dalam arti yang lebih rohaniah mungkin agama akan memberi arti dalam menuntun masyarakat untuk hidup yang lebih beradab, meskipun istilah beradab tidak selalu memberi pengertian standar. Kadang suatu hal yang dianggap beradab dalam suatu budaya dihargai berbeda dalam budaya lain. Ekstrimnya lagi, suatu hal yang dilarang dalam budaya tertentu mungkin tidak dilarang dalam budaya lain. Yang dilarang di dalam kepercayaan atau religi yang satu tidak atau bahkan dianjurkan dalam religi yang lain. Kegiatan ritual yang bernilai dalam religi tertentu

Universitas Sumatera Utara

mungkin ditafsirkan sebagai kejahatan dalam tradisi religi yang lain. Dalam masyarakat Jepang yang dianggap budayanya telah matang sebagaimana di atas, dengan jalinmenjalinnya agama-agama di Jepang dengan budaya masyarakat (Inazo Nitobe, 1900:710) maka ironis bila ternyata bangsa Jepang menunjukkan perilaku yang menunjukkan moralitas rendah terutama dalam perlakuannya pada perempuan terkait masalah seksualitas . Oleh karena itu, maka dimungkinkan ada satu penyebab sehingga muncul dua hal yang bertentangan tersebut. Yad Mulyadi (1997:58) menengarai bahwa aspek dominan yang menentukan pola tindakan manusia terhadap lingkungan salah satunya adalah religi. Oleh karenanya maka sangat mungkin ada unsur-unsur dalam religi yang tumbuh di Jepang mewarnai fenomena masyarakat yang kemudian muncul. Masalahnya kemudian, mengapa yang muncul justru hal negatif yang lazimnya tidak mencirikan moralitas masyarakat religius itu sendiri. Agama Shinto sebagai agama mayoritas masyarakat Jepang memandang bahwa seks bukan suatu hal yang tabu, melainkan suci. Agama bukan faktor dalam regulasi seksualitas di Jepang. Agama hanya terbatas untuk mengorganisir proses pemakaman dan pernikahan. Begitu juga dalam agama Buddha Jepang yang menganggap melakukan hubungan seksual itu tidak melanggar moral. Seperti disebutkan oleh Onkou (1718-1804), seorang pendeta Budha sekte Shingon, “ dotoku to wa ningen no shizen no honsei ni shitagau koto da” , Artinya, “yang disebut dengan moral adalah sesuatu yang mengikuti tabiat alami manusia”. Oleh karena itu, terhadap beberapa kebiasaan seperti: meminum minuman keras, memakan daging, melakukan hubungan seksual dan perbuatanperbuatan lainnya yang di dalam agama Budha di India maupun di Cina dilarang, namun di dalam agama Budha Jepang tidak secara tegas dipermasalahkan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam agama Budha di India dan Cina, dunia nafsu dengan dunia agama dibedakan secara tegas. Sebaliknya, kedua dunia yang berlawanan ini di Jepang menjadi sousoku, yang secara harafiah berarti sama dengan. Dalam pandangan agama Buddha Jepang, di antara dunia nafsu dengan dunia agama sulit untuk dibedakan “mana yang sebab” dan “mana yang akibat,” karena kaitan kedua dunia tersebut sangat erat. Tampaknya merupakan suatu yang dibenarkan oleh pandangan orang Jepang, bahwa di antara cinta dan nafsu seksual dengan yang bersifat keagamaan, bukanlah merupakan suatu paradoks.

Pada tahun 1715, pemuka agama Shinto, Masuho Zanko menulis sebuah buku yang berjudul

"A Comprehensive Mirror on the Way of Love ”(Sebuah Cermin

Komprehensif di Jalan Cinta). Zanko berpendapat bahwa seks adalah suci.

"Sexual activity between couples is part of yin and yang harmony, which is the primordial and sustaining energy of the cosmos. Moreover, Man and woman make a pair; there are no grades of high and low.

Sex is sacred. Lovers re-enact the divine creativity of Izanagi and Izanami.”

Budaya seksualitas telah menjadi bagian tradisional dari kebudayaan Jepang. Memang betul bahwa kuil-kuil keagamaan, cerita-cerita porno serta kesenian, secara sugestif dan implisit, telah memasukkan ikon-ikon dan representasi seksual tanpa malumalu dan tanpa merasa berdosa. Di Barat, perasaan berdosa seringkali diasosiasikan dengan seks. Secara tradisional, pandangan Jepang yang seperti ini sesuai dengan tematema atau budaya konfusian yang mengusulkan memperkuat solidaritas keluarga dengan beranak pinak, pentingnya untuk memberikan pendidikan seks yang layak pada anak, serta sebagai cara untuk menikmati “kehidupan yang baik”.

Universitas Sumatera Utara

Pandangan ini umumnya tetap bertahan di kalangan masyarakat Jepang bahkan setelah modernisasi Jepang yang dimulai tahun 1868 melalui Restorasi Meiji. Pemerintahan di era Meiji, dalam rangka mendapatkan rasa hormat dari negara-negara Barat, mulai merubah pandangan Jepang terhadap seks dengan mengadopsi nilai-nilai Barat yang lebih penuh aturan dan konservatif. Sebagai contoh, pemandian umum campur yang sebenarnya telah menjadi kebiasaan umum dilarang untuk diteruskan oleh pemerintah (Dore, 1958). Peraturan ini sebenarnya diterapkan terutama di kota-kota besar, sementara di luar itu penegakannya dilakukan secara acak. Namun, ini hanyalah bagian kecil dari rencana pemerintahan Meiji yang disebut wakonyoosai (semangat Jepang dan teknologi Barat); yaitu sebuah rencana untuk mengembangkan dan memperkuat bangsa dengan menggabungkan pengetahuan dan teknologi barat dengan semangat dan budaya Jepang (Hijirida & Yoshikawa, 1987).

Gbr: Festival kelamin di Jepang membuktikan bahwa Negara Jepang menganggap seks tidak tabu

Universitas Sumatera Utara

2.2 Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Indonesia

a. Tradisi (Tabu) Persoalan seksualitas telah menjadi objek kajian berbagai pihak. Persoalan tersebut terkait dengan berbagai hal, dan pengertiannya tidak selalu sederhana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), seksualitas diartikan 1) ciri, sifat, atau peranan seks; 2) dorongan seks; dan 3) kehidupan seks. Lebih tegas dari pengertian di atas, Ann Oakley menyebutkan bahwa seksualitas mendeskripsi keseluruhan aspek kepribadian yang berhubungan dengan perilaku seksual. Patricia Spencer Fawnce dan Susan PhipppsYonas mengatakan bahwa seksualitas mencakup kegiatan yang paling manusiawi yang tidak harus bertujuan untuk memenuhi tugas reproduksi, dan bahwa kenikmatan bukan satu-satunya dan bukan pula tujuan utama dari hubungan seks antar manusia. Dengan demikian, seks bukan sekedar kegiatan atau penampilan kinerja atau prestasi, melainkan cara berkomunikasi dan berekspresi. Adapun pengertian seksualitas dari Jackson dan Scott (1996) adalah hasrat, praktik, ataupun identitas yang membawa/mengandung signifikansi erotis. Definisi ini mengisyaratkan keterkaitan seksualitas tentang hal yang berhubungan dengan aspek personal dan sosial. Memperbincangkan seksualitas sesungguhnya memperbincangkan hal yang bersifat tidak sederhana dan kerap bermasalah sebab pada satu sisi kita berbicara hal yang pribadi dan berdampak pribadi, yakni yang berupa hasrat. Sementara itu, di dalamnya juga ada hal-hal yang bersifat sosial dan berdampak sosial, seperti praktik dan identitas. Bahwa seksualitas memiliki keterkaitan dengan aspek sosial telah dibuktikan oleh Michel Foucoult. Foucoult melihat bahwa seksualitas sesungguhnya merupakan suatu etisitas yang terikat pada jejak

Universitas Sumatera Utara

sejarahnya. Seksualitas, menurutnya adalah suatu konstruk sejarah. Oleh karena itu, batasan atau definisi seksualitas tidak kaku dan selalu berpeluang untuk redefinisi dan rekonstruksi. Seksualitas sebagai konstruksi sosial mengindikasikan adanya relasi-relasi sosial yang ada di dalam dan mengikatnya (Noorman, 2004:43). Hubungan badan yang merupakan bentuk seksualitas yang paling erotis, tetapi hanya dimungkinkan jika seseorang telah menikah, karena ini adalah norma yang berlaku di Indonesia, sebagaimana dikatakan Almi 2004: 46 dalam disertasi Ikhwanudin bahwa heteroseksual-lah yang paling sah dari seksualitas dan kesenangan seksualitas itu dibingkai dalam suatu heteronormativitas. Artinya pernikahan yang diatur oleh normanorma agama, tradisi atau adat yang sah sebagai ikatan heteroseksual tersebut. Menurut Gunawan pengekspresian seksualitas dalam masyarakat primitif diatur menurut kaidah-kaidah mitologi dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa penting dalam kehidupan, seperti upacara inisiasi, upacara korban, pembuatan patung-ptung leluhur, peristiwa perkawinan, dan peristiwa-peristiwa yang merupakan puncak kehidupan masyarakat tersebut. Dalam masyarakat seperti itu daya-daya seksualitas seperti kesuburan atau keturunan sangat dihormati. Selain terlihat dalam ritual, rasa hormat itu juga dapat dilihat dalam berbagai peninggalan, seperti patung-patung yang melambangkan seksualitas dan upacara-upacar erotis dalam konteks sebuah peribadatan suci. Jadi, sejak jaman dulu semasa Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan Nusantara, telah terlihat adanya kebebasan seksualitas yang lebih terbuka dengan membuat citra-citra berupa patung-patung, cerita, mitos, dan relief-relief diberbagai candi di Indonesia.

Hal tersebut dapat dirunut sebagai berikut: Pada Abad 8 Relief

Universitas Sumatera Utara

Karmawibangga bagian bawah di Borobudur dengan terang-terangan dipahat para pandita agung menggambarkan posisi ideal bercinta ala Kamasutra. Hingga akhirnya ditutup oleh pemerintah kolonialis Belanda. Alasannya, tidak sesuai norma agama Belanda. Pada abad 11 muncul sekte varian Buddha di Sumatera, Jawa dan Bali. Namanya Tantra. Salah satu ajarannya, untuk berhubungan dengan tuhan dan mencapai surga harus makan ikan, menari dan bersenggama, antar pemeluknya. Tahun 1359 Saka atau 1437 masehi didirikan Candi Sukuh. Kontroversi. Sebab banyak memuat perwujudan genital pria wanita. Perwujudan ini sebenarnya lebih cenderung ke arah paganisme, pemujaan wanita dan reproduksi sebagai pelambang kesuburan. Sekitar 16201621 Inggris mengirimkan dua wanita berkulit putih ke Aceh untuk dijadikan selir Sultan Iskandar Muda. Pengiriman ini untuk membujuk sang Sultan membantu Inggris mengenyahkan musuh bersama mereka dari Nusantara, yaitu Portugis. Sejarah tidak pernah mencatat, bahwa sang Sultan nan Agung dan tampan itu menolak hadiah luar biasa Inggris ini. Tahun 1814 Serat Centhini, mengupas beberapa bagian hubungan suami istri di kalangan bangsawan-bangsawan Jawa, dilepas oleh Pakubuwana VII ke khalayak publik yang diwakili pemerintah kolonial Belanda. Tahun 1900 rumah candu, yaitu rumah-rumah yang menjual candu dan dipakai untuk menghisap candu, atas ijin pemerintah kolonial Belanda, mempunyai fungsi ganda, tempat mabuk dan tempat bercinta. Rumah ini ditandai dengan cat mencolok berwarna merah. Lokalisasi pelacuran yang terkenal hingga saat ini di Belanda, The Red Light District, katanya diilhami dari rumah candu dan lokalisasi wanita penghibur nusantara berwarna cat merah itu. Tahun 1904

seorang Wedana yang baru saja terpilih menjadi pemimpin sebuah daerah,

mengadakan pesta rakyat tayub dan ronggeng (diskotik jadul). Pada pesta itu, sang

Universitas Sumatera Utara

wedana, dilaporkan memeluk pinggang sang penari ronggeng setelah memberi tip f5 (lima gulden). Lalu setelah memberi tip f20 (dua puluh gulden), sang wedana memuntir puting payudara terbuka si penari ronggeng. Semua itu dilakukan di depan istri raja dan putri-putri bangsawan. Tahun 1906 Seorang Mas Ngabehi, anggota dewan penasihat Raja Pakubuwana X, dipermalukan di harian Darmo Konda, harian rakyat setempat. Sebab sang dewan ketahuan berbuat mesum dengan seorang penari ronggeng. Perbuatan itu diketahui setelah rumah tempat mesum mereka, jatuh berantakan terkena angin puyuh. Harian itu menggambarkan aksi mereka dalam pantun melayu sebagai berikut “Botjah Klentang toemboeh diatas, ikan blenak di rawa-rawa, Masbehi di bawah prampoean di atas, ampir mati bersama-sama” (Koentowijoyo, 1993) . Tahun 1911 Chiang Kai Sek menumbangkan The Last Emperor China, Pu Yi. Banyak pendukung kaisar lari ke luar negeri. Diantaranya ke Nusantara. Mereka mendarat di Singkawang Kalimantan Barat hingga pesisir Riau Sumatera. Diantaranya adalah perempuan-perempuan Cina yang dijual paksa oleh orangtuanya kepada bajak laut. Perempuan-perempuan ini banyak yang ‘dikaryakan’ di rumah bordil. Sejak saat itu, dominasi pelacur asal tiongkok tidak lagi dikuasai Kapitan China di Batavia.Tahun 1913 Haji Ahmad Benyamins dari Semarang menulis dalam bukunya Bab Alaki Rabi: Wayuh Kalian Boten (Mengenai Perkawinan Poligami dan Monogami) yang menyerang mentalitas lelaki priyayi, bangsawan, pedagang, hingga kelas pekerja. Ia menyebut bahwa mentalitas lelaki pada masa itu tidak terkendali, menjadi budak nafsu, sementara libido mereka menyerupai orang Arab, melebihi orang Cina, tapi dalam bekerja dan menabung mereka tidak bisa meniru kedua bangsa tadi. (H.A. Benyamins, 1913) Tahun 1933, Serat Centhini diterbitkan dan diteliti ulang oleh Pigeaud, ahli literatur Jawa, berkebangsaan Belanda. Budaya seks bangsawan

Universitas Sumatera Utara

jawa, dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Perancis hingga Inggris. Seks Jawa, mulai mela nglang dunia. Tahun 1942–1945

Sadomasochist,

budaya

seks

kekerasan

muncul. Budaya ini muncul akibat serdadu Jepang yang tak kuasa menahan libido mereka lalu memperkosa paksa perempuan Indonesia dalam perilaku seks yang buas.

Disisi lain bila dilihat budaya petani Minangkabau menempatkan suami dalam posisi dipelihara oleh perempuan. Suami tinggal di luar rumah dan sekali-kali digunakan untuk kepentingan hubungan seks. Posisi ini lalu dianggap para suami sebagai posisi individu yang tidak memiliki harga diri dan mendorong mereka bermigrasi ke Indochina mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.

Di kerajaan Jawa (Vorstenlanden), seorang sunan hidup di istana yang menguasai 450 perempuan, dengan hanya 34 yang dijadikan sebagai istri. Sisanya adalah penari dan pelayan yang, jika diinginkan raja, harus siap menjadi selir.

Sementara itu, di Bali hampir semuanya, tanpa kecuali, perempuan dewasa dan remaja bertelanjang dada sampai pusar, sedangkan perempuan kecil telanjang bulat. Mereka dengan bangga menunjukkan keindahan dada, hanya pelacur yang menutup dada mereka untuk membangkitkan rasa penasaran dan memikat laki-laki.

Setelah Indonesia pada tahun 1945, nama Nusantara menjadi Republik Indonesia. Seksualitas menjadi ditutup-tutupi dan membicarakan seks adalah suatu hal yang tabu. Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap

Universitas Sumatera Utara

menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari lingkungan sekitar.

Misalnya dalam masarakat Jawa karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol “Lingga Yoni”. Lingga mengambarkan falus atau penis, alat kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakt Indonesia sebagai penghalusan atau pasemon dari hal-hal yang dianggap jorok. Simbol lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan sebagainya juga bermakna sejenis. Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk kedalam sarungnya.

Universitas Sumatera Utara

b. Pandangan Agama

Masalah konsepsi seksualitas selalu berbenturan dengan norma-norma agama dan adat istiadat di Indonesia yang mengagungkan keperawanan. Konsepsi seksualitas yang mendua/ambigu tersebut dimenangkan oleh agama, maka agama dan negara berhak memaknai bahwa pelacuran yang bersifat promiskuitas, homoseksualitas serta perilaku seks bebas yang bersifat nonprokreasi akan dianggap sebagai perbuatan tak bermoral, berdosa, aib, patut dikucilkan, serta kelak pelakunya akan masuk neraka (Ronggeng Dukuh Paruk , Halaman 23).

Seksualitas yang semula begitu terbuka, alamiah, sudah semakin terbelenggu oleh aturan-aturan, moral , etika, agama, dan hukum-hukum. Seperti kita ketahui 6 agama yang diakui di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu) serta ratusan suku dengan adat istiadat yang berbeda-beda menolak akan hubungan seksualitas tanpa diikat oleh lembaga pernikahan. Perempuan harus perawan ketika menikah , dan apabila perempuan tersebut tidak perawan lagi keluarganya

ketika dia menikah, suaminya dan

menjadikannya sebagai dasar untuk mengakhiri pernikahan tersebut.

Seperti yang terjadi pada tahun 1997 ketika Farid Hardja, seorang penyanyi terkenal menanyakan keperawanan istrinya , yang kemudian menjadi perdebatan publik dan sangat banyak diberitakan di media. Keperawanan diperlakukan sebagai simbol yang memberikan kebanggaan bagi suami sebagai laki-laki pertama yang memecahkan perawan si istri. Maka keperawanan dijadikan bukti kesucian seorang perempuan. Sehingga jika seorang perempuan yang belum menikah tetapi tidak perawan maka ia dicap sebagai perempuan yang tidak baik

Universitas Sumatera Utara

dan cap itu akan terus bertengger di diri perempuan dan seolah dunia ikut menghakimi mereka. Pandangan masyarakat Indonesia yang mengharuskan perempuan menjaga keperawanannya yang dianggap sebagai sebuah nilai baku keberhasilan seorang perempuan yang tidak diperuntukkan bagi perempuan itu sendiri karena pada akhirnya keperawanan itu dipersembahkan kepada laki-laki. Secara sepihak perempuan dibebani oleh kewajiban tersebut dan dianggap gagal jika ia tidak bisa menjaganya, dihitung dari rusaknya selaput dara yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak ternilai-hanya untuk membuat perempuan tidak terlalu menyeluruh menjelajahi tubuhnya sendiri karena akan membahayakan sistem patriarkhi yang memberikan kenyamanan bagi laki-laki. (Hanafi, dkk., 2004: ii).

Universitas Sumatera Utara

2.3 Tentara Jepang dan Jugun Ianfu 2.3.1 Tentara Jepang di Indonesia Perang dunia II berlangsung pada tahun 1941-1945. Setelah Jerman, Jepang menduduki tempat kedua dalam kekuatan militer. Pada Desember 1941, Jepang menyerang Honolulu, Hawai, dari udara. Pada saat itu juga Amerika dan Inggris segera menyatakan perang terhadap Jepang. Kemudian Gubernur Hindia-Belanda pun turut menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian pecahlah perang Pasifik. Pada awal Desember 1941, Indonesia adalah prioritas yang tinggi untuk diduduki dikarenakan tambang-tambang minyak yang dimiliki oleh Indonesia. Dengan menggunakan taktiknya, pada tahun 1942 Jepang melancarkan perang kilat ke Asia Tenggara. Pada akhirnya 10 Januari 1942, Kalimantan mulai diinvasi oleh Jepang. Cara-cara Jepang masuk ke Indonesia pada waktu itu adalah dengan tidak menampakkan keinginan ingin menjajah Indonesia, melainkan dengan usaha mengangkat Indonesia yang selama ini telah disengsarakan oleh Belanda. Pihak militer Jepang di Indonesia secara terang-terangan menjatuhkan wibawa bangsa Belanda untuk menyenangkan hati bangsa Indonesia. Maka dari itu, kedatangan Jepang pada waktu itu disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, tanggal 9 Maret 1942, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, secara resmi menyerah dan menandatangani surat penyerahan kekuasaan kepada pihak militer Jepang di Kalijati. Pemerintah Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia membagi wilayah kekuasaan pemerintahan menjadi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Wilayah kekuasaan Angkatan Darat meliputi wilayah Jawa dan

Universitas Sumatera Utara

Madura yang dipimpin oleh Tentara Divisi XVI, dengan pusatnya di Jakarta; wilayah Sumatera dipimpin oleh Tentara Divisi XXV, dengan pusatnya di Bukittinggi. Sedangkan wilayah lainnya, yaitu wilayah Indonesia bagian Timur dikuasai oleh Angkatan Laut di bawah Armada Barat Daya, dengan markasnya di Ujung Pandang. Wilayah Timur merupakan wilayah yang memiliki sumber daya minyak yang melimpah, sehingga Angkatan Laut Jepang pada waktu itu dapat mengeksploitasi minyak untuk keperluan bahan bakarnya. Menurut dokumen-dokumen Menteri Kesejahteraan Jepang yang dibuat tahun 1964, sekitar 260.000 tentara Jepang ditempatkan di Indonesia selama tahun 1942-1945. Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia lama kelamaan bukan hanya mengeksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia, melainkan juga Sumber Daya Manusianya. Pihak militer Jepang mulai melakukan pengerahan tenaga kerja manusia untuk keperluan perang mereka. Semua rakyat dikerahkan, mulai dari pemaksaan untuk menjadi tenaga sukarela sampai dengan pekerja paksa, bahkan perempuan pun tidak luput dari pengerahan tersebut. Perempuan pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk turut aktif dalam berperan serta dalam peperangan yang dilakukan Jepang. Salah satunya adalah dengan didirikannya perkumpulan wanita Fujinkai. Kaum perempuan Indonesia ini dipaksa secara halus untuk menyerahkan perhiasan mereka bahkan peralatan dapur mereka untuk keperluan perang yang sedang dilakukan oleh bangsa Jepang. Selain itu perempuan di masa itu juga dikerahkan dalam pekerjaan-pekerjaan massal yang bersifat kerja bakti, seperti penyediaan dapur umum dan juga keterlibatan dalam palang merah. Perempuan-perempuan ini juga bekerja untuk merawat tentara

Universitas Sumatera Utara

Jepang yang terluka ketika berperang dengan sekutu. Pekerjaan yang paling menonjol dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia adalah pengerahan tenaga kerja di bidang seksualitas, yaitu menjadi jugun ianfu. Semua pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan Indonesia karena posisi mereka yang lemah, namun membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup mereka dan keluarga. Salah satu hal yang harus dihindari oleh kaum perempuan

maupun seluruh

penduduk adalah memperlihatkan sikap anti Jepang. Jepang tidak dapat mentolerir sikap yang mendekati anti Jepang. Tentara Jepang tidak memandang bulu dalam memberikan hukumanterhadap yang anti kepada mereka. Orang-orang yang anti tersebut nantinya akan dimasukkan kedalam daftar hitam yang harus diawasi oleh tentara Jepang. Polisi rahasia Jepang yang bertugas untuk mengawasi orang-orang dalam daftar hitam disebut Kempeitai. Kempeitai sangat disegani oleh rakyat maupun tentara Jepang sendiri. Tentara Jepang pun akan langsung memberi hormat kepada Kempeitai bila mereka bertemu walaupun saat itu mereka dalam keadaan mabuk. Para algojo Kempeitai selalau siap melakukan penyiksaan saat mereka melakukan interogasi kepada para terdakwa. Kaum perempua yang lemah juga diperlakukan seperti bukan manusia.mereka disiksa lahir dan batin sampai para algojo Kempeitai itu puas walaupun tuduhan akhirnya tidak terbukti.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Jugun Ianfu a. Sejarah

Istilah jugun ianfu kalau diartikan secara harafiah menjadi ju=ikut, gun berarti militer/ balatentara, sedangkan ian= penghibur, dan fu= perempuan, dengan demikian arti keseluruhannya “perempuan penghibur yang ikut militer”. Dapat dikatakan bahwa istilah jugun ianfu merupakan istilah halus untuk perempuan –perempuan yang dipaksa bekerja sebagai budak seks yang ditempatkan di barak-barak militer atau bangunan yang dibangun di sekitar markas militer Jepang selama perang Asia Pasifik. Jugun ianfu (従軍慰安婦) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur (comfort women) yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945 (http//:Wikipedia.jugunianfu.com).

Pada tahun 1941 menteri urusan luar negeri menolak pengeluaran visa perjalanan bagi perempuan penghibur Jepang, karena merasa akan mencemari nama kekaisaran Jepang. Berdasarkan keputusan tersebut, militer Jepang kemudian mencari perempuan penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak perempuan dibohongi dan ditipu

bahkan diculik untuk kemudian dibawa ke rumah bordil

Jepang/ianjo.

Universitas Sumatera Utara

Terdapat beberapa alasan terkait dengan pendirian rumah bordil Jepang dan jugun ianfu, yaitu pertama penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektifan militer Jepang akan meningkat, kedua dengan mengadakan rumah hiburan dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Ketiga, pengadaan rumah hiburan di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat bagi tentara (www.comfort-women.org).

Pada tahun 1931, tentara Jepang menyerbu daratan Cina dan membangun pangkalan militer untuk menguassai daratan Cina secara keseluruhan. Hal ini terbukti saat tahun 1936 militer Jepang berhasail menduduki Kota Shanghai dan mulai mencapai Nanjing yang berjarak 360 KM dari Shanghai. Demi mewujudkan ambisinya, tidak kurang dari 135.000 tentara Jepang dikerahkan.

Serbuan Jepang membuat peperangan tidak terhindarakan, rakyat China melawan. Bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka kemudian menjarahi rumah-rumah penduduk. Hal ini membuat Cina melakukan perlawanan yang lebih gigih lagi. Akibat peperangan yang berkepanjangan, sebagian besar tentara Jepang mengalami gangguan mental dan menjadi gila. Mereka mulai membunuhi rakyat sipil dan militer mulai memperkosa perempuan yang mereka lihat di mana saja dan langsung membunuhnya.

Universitas Sumatera Utara

Jugun ianfu di Nanking, China

Sesudah Kota Nanjing diduduki militer Jepang, banyak diantara mereka menderita penyakit kelamin. Oleh karena situasi inilah pihak Angkatan Darat Jepang membuat kebijakan baru yaitu:

1. Tentara yang menderita penyakit kelamin tidak boleh pulang ke Jepang sampai mereka sembuh, agar penyakit kelamin tidak menyebar ke Negara Jepang. 2. Militer Jepang menyediakan perempuan-perempuan "bersih" untuk tentara Jepang, supaya tidak terjangkit penyakit kelamin.

Di Jepang ketika itu pelacuran diakui dan disahkan oleh Undang-undang yang di namai Kosho Sedo (tempat pelacuran umum). Sebagian besar para perempuan yang bekerja di lokalisasi pelacuran itu berasal gadis-gadis dari keluarga miskin yang dijual oleh keluarganya sebagai barang tebusan atau barang gadaian. Berdasarkan Kosho Sedo inilah militer Jepang membuat sistem jugun ianfu dan membangun Ianjo (rumah bordil) di setiap wilayah pendudukan militer Jepang di Asia. Upaya ini dilakukan untuk menghindarkan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, yang dapat melemahkan kekuatan tentara Jepang.

Universitas Sumatera Utara

Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia seperti Negara Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, China, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Belanda dan Indonesia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang yang dikenal dengan sebutan jugun ianfu.

Masalah jugun ianfu pertama kali muncul pada tahun 1992 ketika seorang perempuan Korea, Kim Hak Soon membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah jugun ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara, termasuk Indonesia. Di Indonesia masalah jugun ianfu terungkap pertama kali tahun 1992, seorang perempuan asal Solo, Jawa Tengah yang bernama Tuminah, menuturkan pengalamannya sebagai korban perbudakan seksual militer Jepang, dan diikuti oleh Mardiyem pada tahun 1993. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus Dilakukan. Oktober 2007 kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini . Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia dan Belanda pada masa perang Asia Pasifik.

Universitas Sumatera Utara

b. Sistem Menurut Tanaka Yuki dalam bukunya Japan’s comfort Women Sexual Slavery and Prostitution During World War II and The US Occupation, terdapat rantai kekuasaan dalam pembentukan praktik jugun ianfu. Adapun rantai kekuasaan tersebut, yaitu: Sistem jugun ianfu yang berpusat pada kekaisaran Jepang, lalu turun ke Kementrian Perang dan Kepala Umum Staf Tentara Jepang. Selanjutnya kekuasaan tersebut diturunkan kepada Staf tentara di wilayah pendudukan Jepang seperti Korea, Taiwan dan Indonesia. Staf tentara di wilayah pendudukan biasanya memiliki agen khusus untuk merekrut para perempuan untuk dijadikan jugun ianfu. Para perempuan tersebut dikumpulkan di suatu tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi Jepang lalu di tempatkan ke sebuah tempat hiburan. Digaris depan terutama di Negara dimana orang yang bertindak sebagai agen jarang tersedia, militer secara langsung menunjuk pemimipin lokal untuk menyediakan atau memasok perempuan untuk keperluan rumah hiburan. Di bawah tekanan kondisi perang, militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara Jepang (250.000 tentara Jepang); sebagai tanggapan dari permasalahan tersebut, maka tentara Jepang meminta atau merampok persediaan daerah setempat. Perempuan yang direkrut militer Jepang sebagi jugun ianfu umumnya dikumpulkan di suatu tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi militer Jepang. Setelah itu mereka ditempatkan dalam satu rumah hiburan atau ianjo. Pada umumnya ianjo dibagi menjadi 3 atau 4 kategori yang tergantung dari lamanya pelayanan, yaitu perempuan baru yang tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Selanjutnya bila perempuan tersebut terkena penyakit

Universitas Sumatera Utara

kelamin maka diturunkan kategorinya. Ketika mereka sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi maka mereka diabaikan dan diterlantarkan begitu saja. Banyak para korban melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh dari ribuan lelakii dalam waktu beberapa tahun bisa dibayangkan penderitaan mereka meladeni 250.000 tentara Jepang dalam waktu 3 tahun. Sistem yang diterapkan para tentara Jepang pada awalnya merupakan sistem yang legal dan direstui oleh Tenno Hirohito. Namun kemudian sistem ini berubah menjadi sebuah bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan-perempuan di wilayah pendudukan Jepang dieksploitasi sedemikian rupa untuk memuaskan tentara Jepang. Perempuan-perempuan tersebut diperlakukan tidak adil dan secara paksa dijadikan perempuan penghibur tentara Jepang. Pada awal pembentukan sistem jugun ianfu, pemerintah Jepang berharap dengan adanya hiburan yang layak bagi parra tentara dapat meningkatkan moral dan kinerja serta menghindari penyakit

kelamin tentaranya.untuk menunjang rencana itu,

dibangunlah tempat-tempat hiburan / ianjo bagi tentara di garis depan. Di ianjo inilah para jugun ianfu di tempatkan untuk memuaskan nafsu tentara Jepang.

Sistem jugun ianfu dibuat secara terorganisir dengan perencanaan yang matang. Seperti kesaksian Taira Tezo, bekas tentara Dai Nippon yang telah menjadi warga negara Indonesia dan tellah berganti nama menjadi Nyoman Buleleng, “Perempuan-perempuan penghibur itu memang benar-benar ada. Saya merasakan sendiri. Jepang rupanya sadar akan kebutuhan biologis tentara tidak bisa dimatikan meskipun dalam keadaan perang. Sehingga saya melihat betapa terorganisirnya perempuan-perempuan itu. Di semua daerah yang telah diduduki Jepang, otomatis didirikan rumah khusus untuk itu. Di rumah

Universitas Sumatera Utara

biasa itu sampai ada 20 kamar yang dikelilingi tembok bambu yang tinggi. Penghuni rumah bambu macam-macam. Ada yang khusus perempuan Jepang, ada juga yang menyediakan perempuan campuran Cina dan Indonesia. Yang disebut perempuan Jepang itu sebetulnya banyak juga wanita keturunan Cina, Korea atau Filipina”.

Universitas Sumatera Utara