BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ...

36 downloads 151 Views 271KB Size Report
“konsep merupakan (1) rancangan atau buram surat; (2) ide atau pengertian yang ... Dalam karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa konsep.
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa (2005:88) “konsep merupakan (1) rancangan atau buram surat; (2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”. Jadi konsep penelitian adalah gambaran mengenai apa yang akan dibahas dan bagaimana masalah-masalah pokok itu akan dipecahkan lewat sistematika penelitian ilmiah. Dalam karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa konsep guna mengantarkan proses penelitian lebih lanjut. 2.1.1 d.I.a. cinta dan presiden Novel d.I.a. cinta dan presiden adalah objek kajian dalam penelitian ini. Judul novel dipertahankan keasliannya sesuai yang terdapat pada sampul buku dan pada katalog perpustakaan nasional. Awal judul d.I.a. dibaca secara terpisah de /d/, i /I/, a /a/ huruf tersebut merupakan inisial kata yang menyimpan makna penting. Dalam sejumlah bab novel, kata d.I.a. ditemukan dua kali, seperti dalam “Bab 6. Liputan di Jerman” dan pada “Bab 27. Siapa d.I.a?". Pada bab enam, ketika Anggara sedang liputan bersama rekannya tanpa sengaja Anggara melihat sebuah gedung yang tinggi dengan logo besar “d.i.a”. Hal yang sama ia temukan juga dalam foto-foto yang sempat diambilnya sebelum kembali ke Hotel. Anggara terkejut ketika mendapati logo itu, Namun ia tidak punya waktu lagi untuk mengetahui lebih banyak tentang nama yang dilihatnya pada sebuah bangunan tinggi itu. Selain itu kata “d.I.a.” juga ditemukan pada Bab 27. “Siapakah d.I.a.”. Dalam bab tersebut Anggara Sutomo menemukan sebuah fólder My Computer, di dalamnya terdapat lagi sebuah file dengan judul ”SP” yang merupakan inisial dari ”Sutomo Prastho” dan di dalamnya ada tiga subfolder ”A”, ”D”, dan ”I” yang apabila diurutkan akan menjadi ”D.I.A”. Dalam folder ”A” terdapat nama

Universitas Sumatera Utara

”Anggara” yang disertai dengan dua folder lagi yang berjudul ”Doc” dan ”AV”, dalam folder ”D” ditemukan nama Dewi Mayastari, Ibu tirinya yang tinggal di Paris, di dalamnya juga ditemukan dua buah folder yang berjudul ”Doc” dan ”AV”, kemudian ia beralih pada folder ”I” yang berisi catatan dan rekaman tentang Inka dan Inra adik kembarnya dari Ibu tirinya Dewi Mayastari, dengan keterangan-keterangan dalam format document (doc), dan bentuk audio visual (av). Dalam komputer yang sama, Anggara kembali menemukan folder di subdirektori yang berjudul ”d.I.a.”. Dalam

folder itu ada subfolder bernama ”DKI” yang berisikan

subfolder ”B-4” dan ”AFT”. Sedangkan dalam subfolder ”B-4” itu ada dua buah subfolder berjudul ”ET’ dan ”UT”. Dalam folder tersebut terdapat semua rekaman penting baik pada detik-detik kemusnahan DKI Jakarta, maupun peristiwa-peristiwa penting pasca bencana. Perubahan situasi politik dan ekonomi yang labil seperti sampai pada peristiwa penggulingan kekuasaan Presiden Sukarto Boediono (SBD), Beddu Jamal Koto (BJK), dan beralihnya tampuk

kepemimpinan ke tangan Presiden Wahid Pratama. Dalam folder ”d.I.a.” juga

ditemukan sejumlah rekaman masa-masa peralihan pimpinan KMG sampai pada masa KMG semakin berkembang pesat pada masa kepemimpinan Anggara Sutomo setelah menggantikan ayahnya Sutomo Prastho. Jadi ”d.I.a” itu memiliki sejumlah rahasia penting yang berhubungan dengan bencana dahsyat pada peristiwa lenyapnya DKI Jakarta, yang bertalian erat dengan Sutomo Prasetho. Dalam komputer tersebut tersimpan dokumen yang menunjukkan bahwa bencana di DKI Jakarta itu adalah sebuah proyek pemusnahan yang direncanakan dengan menggunakan kecanggihan teknologi, bukanlah akibat bencana alam seperti yang banyak dipergunjingkan alhi geologi, agama, dan pakar sosial lainnya. 2.1.2 Dampak Sosial

Universitas Sumatera Utara

Secara etimologi dampak sosial berasal dari dua kata yaitu dampak dan sosial. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2005) “dampak ialah (1) benturan; mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif);

(2) pengaruh kuat yang

Sosial artinya

berkenaan dengan

masyarakat”. Pada umumnya dampak sosial itu bersifat negatif, merugikan dan tidak diinginkan oleh masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa dampak sosial itu adalah pengaruh negatif berupa perubahan dalam masyarakat sebagai akibat dari suatu tindakan ataupun keputusan. Penelitian ini berupaya menemukan dampak sosial yang timbul sebagai akibat dari tindakan korupsi yang terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca. M. Massardi. 2.1.3 Korupsi Semma (2008) mengatakan “korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan”. Korupsi moral merujuk pada berbagai konstitusi yang sudah melenceng, sehingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum yang adil tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri, (Semma 2008:32). Dalam bahasa Latin disebut corruption yang berarti penyuapan, dan corrumpere (dalam bentuk kata kerja) bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Jadi dapat diartikan bahwa korupsi adalah tindakan yang busuk, merusak dan bersifat manipulasi ataupun tindakan kejahatan. Dalam Transparansi Internasional (2011) “korupsi didefenisikan sebagai perilaku pejabat publik baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri atau memperkaya mereka yang dekat dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan”. Untuk lebih mudah mengenalinya salah seorang sosiolog yakni Syed Hussein Alatas (dalam Hartati, 2006) mengatakan ada lima ciri-ciri korupsi yakni: 1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. 2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali korupsi itu telah

Universitas Sumatera Utara

merajalela dan begitu dalam. 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. 4. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum. 5. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan. 2.1.4 Negara Halking (dalam kumpulan Dasar-Dasar

Ilmu Politik 2008:84) merangkumkan

pengertian suatu negara yakni suatu kelompok, persekutuan, alat, organisasi kewilayahan, sistem politik, kelembagaan dari suatu rakyat, yang merupakan suatu susunan kekuasaan yang memiliki monopoli, kewibawaan, daulat, hukum, kepemimpinan bahkan sistem pemaksaan, sehingga pada akhirnya diharapkan akan memperoleh keabsahan pengakuan dari dalam maupun luar negara dalam rangka mewujudkan tujuan serta cita-cita rakyat. Berdasarkan kutipan tersebut, negara dapat diartikan sebagai lembaga-lembaga pemerintahan yang terdiri dari lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita rakyat dengan demikian aparatur negara berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada warga negaranya. Kesanggupan sebuah negara dalam memberikan kesejahteraan tersebut akan tercermin pada pendekatan dan kebijakan politiknya. Permasalahan yang sering kali timbul yakni tindakan dan sikap para birokrasi yang menjadi korporat. Artinya telah terjadi pergeseran fungsi dari pelayan publik menjadi pengusaha publik yang memanfaatkan semua fasilitas mencari laba atau keuntungan untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompok. Pergeseran ini jelas merupakan tindakan korup yang dapat merusak dan membahayakan sistem pemerintahan dalam mencapai visi kesejahteraan rakyat (Mustofa, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Korporasi dan Birokrasi Mustofa (2010:117) mendefisikan ”korporasi sebagai salah satu bentuk dari organisasi yang kegiatan utamanya adalah melakukan kegiatan bisnis”. Dalam hal ini yang menjadi sasarannya berupa keuntungan keuangan.

Menurut Clinard dan Yeager (dalam

Mustofa 2010: 117) dikatakan “ciri badan usaha diarahkan untuk mencapai berbagai tujuan ganda yaitu pertumbuhan dan keuntungan; mempunyai struktur hierarki yang kompleks; manajemen lebih berperan dalam kegiatan operasi dibandingkan pemegang sahamnya”. Korporasi inilah yang seringkali menjadi jalan mulus bagi para birokrat dalam memperhalus penggelapan dana dari pemerintahan. Sistem korporasi yang kompleks ini kemudian memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan lewat penguasaan sumber daya yang ada dalam suatu sistem perekonomian maupun pemerintahan. Syukur Abdullah (dalam Alfian dan Nazaruddin, 1991:229) mengemukakan Birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga nondepartemen, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan dan tingkat kelurahan. Birokrasi pemerintahan memiliki aturan dan prosedural yang sudah ditata rapi sesuai agar memudahkan pelaksanaanya, namun pada implementasinya seringkali layanan publik menjadi terkendala akibat adanya kemacetan di bagian birokrasi. Misalnya saja ketika departemen hukum menerima sejumlah pengaduan mengenai kasus korupsi, seringkali kasus atau perkara besar diperlama atau bahkan didiamkan. Hal ini mengingat birokrasi merasa memiliki wewenang untuk menyeleksi berbagai kasus. Dalam perjalanannya birokrasi pemerintahan cenderung tidak lagi bertujuan untuk melayani publik atau masyarakat banyak tetapi malah menjadi alat kekuasaan kelompok tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Birokrasi pemerintahan memiliki peluang untuk menjadi korporasi yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, seperti yang sering terjadi dalam dinas perpajakan dengan modus penunggakan pajak.

Universitas Sumatera Utara

2.1.6 White-Collar Crime ( Kejahatan Status Sosial Tinggi ) Bidang sosiologi yang memfokuskan penelitian pada kejahatan atau pelanggaran yang dikenal dengan istilah kriminolog menggolongkan tindakan korupsi dalam ruang lingkup white-collar crime yang merupakan bentuk-bentuk tindakan yang jauh lebih merugikan masyarakat dibandingkan kejahatan konvesional. Istilah white-collar crime pertama kali digunakan oleh Shutherland pada tahun 1939 untuk membahas mengenai gejala kejahatan. Dalam Mustofa (2010: vi) Shutherland menggunakan istilah white-collar crime untuk menyebutkan orang yang mempunyai status sosial tinggi yang melakukan pelanggaran norma atau hukum dalam jabatan pekerjaannya yang sah. Istilah white-collar yang dikenal masyarakatnya menandakan

status pekerjaan yang terhormat sedangkan

blue-collar

digunakan merujuk kepada status pekerjaan seorang tukang yang dianggap tidak terhormat. Di Indonesia, jika diterjemahkan secara harfiah, white-collar crime menjadi berarti penjahat kerah putih, kejahatan orang berdasi dan kejahatan kaum priyayi. Namun seperti yang dikatakan oleh Musofa (2010) bahwa istilah yang diterjemahkan

tersebut kurang tepat

digunakan karena di dalam masyarakat Indonesia tidak dikenal istilah pekerjaan terhormat dan pekerjaan tidak terhormat (white-collar dan blue-collar dalam istilah Sutherland). Sutherland

pada

makalahnya

yang

berjudul

The White-

Collar Criminal

yang

disampaikannya sebagai pidato sambutan sebagai Ketua The American Sociological pada pertemuan tahunan yang ke tiga puluh empat pada tahun 1939

menegaskan bahwa

pengertian dasar dari white-collar crime adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaranpelanggaran (Mustofa, 2010). White- collar crime memiliki siklus pertumbuhan yang sangat tinggi dan terlindungi karena terkait dengan status profesinya sehingga hasil korupsinya seolah-olah merupakan kemakmuran yang diperoleh dari jerih payah yang sah.

Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Demokrasi Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang melibatkan seluruh rakyanya untuk turut memerintah dengan perantaraan wakilnya. Pemerintahan demokrasi memiliki kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, dengan gagasan dan pandangan hidup mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam sistem demokrasi, para pejabat pemerintah adalah wakil-wakil rakyat yang dipilih untuk melayani publik, demi mencapai kesejahteraan rakyat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang mengikutkan rakyatnya untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Rakyat bersama dengan wakil rakyat

memiliki hak untuk

mengajukan pertanyaan-pertanyaan serta mengunjuk rasa (demonstrasi) baik sebagai bentuk dukungan maupun sebagai tanda keberatan terhadap putusan ataupun kebijakan pemerintah. Di sisi lain, Joseph Schumpeter (dalam Surenson, 1985) mengartikan bahwa demokrasi sebagai jalan kompetisi memperoleh suara rakyat. Konsep demokrasi tidak hanya untuk membuka jalan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dalam hal kontrol tetapi seringkali diambil-alih atau dipergunakan oleh para penguasa untuk mencapai tujuan partai atau kelompoknya. Sistem demokrasi tidak akan mencapai tujuannya apabila pemerintah membatasinya.

2.1.8 Kleptokrasi Green (dalam Mustofa, 2010: vii) merujuk rumusan Weber tentang kleptokrasi menjelaskan defenisi kleptokrasi yaitu “memperoleh keuntungan melalui korupsi sebagai tujuan organisasi”. Dapat juga digolongkan apabila sebuah organisasi diarahkan untuk memperoleh kepentingan negara, dan kepentingan penguasa termasuk dengan melakukan terror, kejahatan perang, penganiayaan bahkan genosida. Kleptokrasi juga dapat mengacu pada sebuah keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh para pejabat korup atau para pencuri.

Universitas Sumatera Utara

Kata lain yang digunakan sebagai padanan dari kleptokarsi adalah korupsi tingkat tinggi (heavy corruption). Pelakunya adalah orang-orang yang tidak mengalami kesulitan ekonomi, bahkan tidak jarang adalah orang yang dikenal publik, seperti pesohor atau figur pemimpin. Dalam sebuah pemerintahan yang sudah tergolong kleptomani alasan atau aturan-aturan moral maupun hukum seringkali dianggap tidak perlu mendapat perhatian selain dari tujuan yang harus dicapai. Hal itulah yang memungkinkan terjadinya genosida yaitu berupa tindakan pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras, guna mencapai tujuan tertentu. 2.1.9 Moralitas dan Etika Burhanuddin dalam bukunya Etika Sosial, mengatakan “moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia”. Ia juga menambahkan bahwa moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaiman ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Frans Magnis Suseno (dalam Burhanuddin, 1997:1) menambahkan “moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaiman kita harus hidup”. Dalam konteks korupsi masalah moral menjadi pokok penting yang menjadi dasar untuk menilai tindakan korupsi itu. Frans Magnis Suseno (dalam Burhanuddin,1997:1) mengatakan “etika ialah ilmu yang memberi manusia norma tentang ajaran bagaimana seharusnya hidup sebagai manusia. Etika merupakan sikap kritis setiap pribadi dan kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas.” Dengan demikian etika membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Landasan Teori Menjawab masalah dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan teori sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1998) mengatakan ”bahwa sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa dalam menyajikan kehidupan-kehidupan yang terdiri dari kenyataan sosial meskipun dirangkai secara mimetis” (1984:109). Artinya bahwa hasil dari sastra sebagai institusi sosial baik berupa puisi, cerpen, drama, maupun novel menunjukkan kenyataan sosial yang dirangkai secara tiruan. Soemanto, dalam Ratna (2003) mengatakan Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient beings, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Uraian tersebut menjelaskan bahwa sosiologi sastra merupakan sebuah teori yang berupaya menemukan sisi sosial karya sastra. Dalam pengaplikasiannya Endraswara (2008:80) mengatakan ”ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk meneliti sosiologi sastra yaitu (1) perspektif teks sastra, (2) perspektif biografis, (3) perspektif reseptif.” Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua buah perspektif yang bertalian erat dalam memecahkan masalah yaitu perspektif teks sastra dan perspektif biografis. Dengan menggunakan dua buah persepektif tersebut maka dampak sosial korupsi akan lebih mudah ditemukan dalam novel d.I.a. cinta dan presiden. Lebih lanjut kedua hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 2.2.1 Perspektif Teks Sastra Perspektif teks sastra artinya peneliti menganalisis karya sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya. Perspektif teks sastra berupaya menemukan makna jelas yang terdapat dalam teks. Seperti yang ditambahkan oleh Wimsatt dalam (Endraswara

Universitas Sumatera Utara

2008:31) ”sebuah karya sastra sesungguhnya telah menjadi milik umum. Apa yang terkandung dalam teks sastra tidak harus bergantung pada pengarangnya”. Untuk itu salah satu proses yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan intrinsik guna menganalisis unsur-unsur pembangun karya sastra itu. Stanton (dalam Suwondo, 2001: 56) mengatakan, unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri dari tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji dan cara pemilihan judul. Dalam kesempatan ini penulis membatasi penelitian unsur intrinsik berupa tema, tokoh, dan latar atau setting. Ketiga hal tersebut merupakan unsur yang dapat menyingkap situasi dan iklim sosial yang terjadi pada saat karya itu dituliskan. Tema dan fakta cerita yang terdapat dalam novel d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca M. Massardi, berupa sejumlah tindakan korupsi yang dilakukan oleh berbagai profesi. Tindakan korupsi merupakan tindakan kejahatan yang menjadi penyakit yang dimusuhi oleh masyarakat karena akan menimbulkan dampak sosial yang sangat merugikan pertumbuhan masyarakat sehingga tema dan fakta tersebut merupakan masalah sosial yang perlu diteliti lebih lanjut. Untuk memperoleh analisis yang tepat mengenai dampak sosial korupsi maka penulis menggunakan pendekatan kriminologi, yakni bidang ilmu sosiologi yang mempelajari tentang kejahatan dalam masyarakat. Kejahatan dapat diartikan sebagai hal-hal yang tidak baik yang bersifat merugikan pihak tertentu. Mustofa (2005:6) mendefenisikan kriminologi secara umum yakni “pola tingkah laku yang merugikan masyarakat”. Lebih lanjut Ross (dalam Mustofa, 2010: 38) dengan menggunakan istilah criminaloid mengatakan; Orang yang memperoleh kemakmuran dengan melakukan tindakan yang memalukan, tetapi belum merupakan tindakan yang dilarang oleh masyarakat. Sesungguhnya mereka bersalah menurut kacamata hukum; namun karena di mata masyarakat dan menurut dirinya sendiri adalah tindakan tidak bersalah, tindakannya tidak disebut sebagai kejahatan pembuat hukum dapat saja menyatakan tindakannya yang tidak benar tersebut sebagai kejahatan, namun karena moralitas berpihak padanya, mereka luput dari hukuman dan celaan.

Universitas Sumatera Utara

Dapat dimengerti bahwa tidak semua pelaku kejahatan yang dikenakan tindakan pidana atau hukum. Untuk sebagian kasus pelaku kejahatan korupsi

itu malahan menjadi semakin

makmur dan diterima oleh masyarakat. Salah satu bentuk kejahatan demikian ialah tindakan korupsi. Seperti yang diungkapkan oleh Ross di atas, ada tindakan kejahatan yang merupakan tindakan yang memalukan tetapi belum dilarang oleh masyarakat, hal itu dikarenakan minimnya pengetahuan dan daya kritis masyarakat mengenai cara seseorang mendapatkan penghasilan tersebut. Salah satu tindakan yang demikian digolongkan dengan white-collar crime. Shuterland (dalam Mustofa 2010:vi) menggunakan istilah white-collar crime untuk menyebutkan orang yang mempunyai status sosial tinggi yang melakukan pelanggaran hukum dalam jabatan pekerjaannya yang sah. Pelaku kejahatan itu lebih berbahaya dibandingkan dengan jenis kejahatan konvensional lainnya seperti perampokan, dan prostitusi.

Pelaku kejahatan yang tergolong dalam white-collar crime cenderung

diperlakukan secara positif oleh masyarakat karena menganggap kemakmuran yang dimilikinya sebagai hasil dari jerih payah yang sah dari pekerjaannya. Berbeda halnya dengan masyarakat biasa yang tiba-tiba memiliki kekayaan atau uang dalam jumlah besar yang di simpan di bank, akan terkesan mencurigakan. Dalam objek penelitian ini para penyelenggara negara dengan status sosial tingggi yang melakukan korupsi tergolong dalam white-collar crime. Shuterland (dalam Mustofa, 2010) juga menegaskan ”white-collar crime digunakan untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaan”. Artinya, pelanggaran itu bukan berupa kesilapan atau ketidaksengajaan, tetapi merupakan tindakan yang direncanakan. Hal tersebut guna memperoleh keuntungan yang besar baik bagi kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok. Konsep mengenai white-collar crime dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu (1) occupational crime yaitu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh individual

Universitas Sumatera Utara

berkaitan dengan pekerjaan pelaku; (2) corporate crime yaitu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan korporasi. Dalam penelitian ini, sejumlah pelaku kejahatan korupsi yang terdapat dalam novel akan diklasifikasikan pada dua tipe kejahatan korupsi seperti di atas. Berdasarkan teori tersebut jelaslah bahwa tindakan korupsi tergolong dalam tindakan kriminal atau kejahatan yang merugikan pihak tertentu. Dalam novel d.I.a. cinta dan presiden terdapat sejumlah kejahatan korupsi yang tergolong dalam kejahatan kelas sosial tingga yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan Indonesia. Sejumlah penyelenggara negara baik itu lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif melakukan penyelewengan terhadap keuangan milik negara. Tindakan-tindakan demikian berimplikasi pada masyarakat yang seharusnya disejahterakan oleh penyelenggara negara namun kenyataan dalam novel tersebut, penyelenggara negara

semakin kaya

sedangkan masyarakat miskin semakin terlantar hak-haknya dalam mencapai kesejahteraan sosial. Para penyelenggara negara memperkaya diri sendiri dengan mengambil keuangan negara sebagai miliknya sendiri. 2.2.2 Perspektif Biografis Perspektif biografis yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Untuk itu perlu dilakukan korespondensi dengan penulis untuk mendapatkan informasi lebih banyak mengenai keterkaitan pengalaman, dan peristiwa yang terjadi pada masa hidup pengarang. Selain itu sejumlah literatur yang mendukung berupa pandangan dan karya-karya pengarang semasa hidup, kemungkinan besar memiliki hubungan yang erat dengan karyanya sebagai objek penelitian. Endraswara (2008:33) juga menambahkan hal-hal yang perlu diungkapakan yaitu (1) latar belakang kelahiran pengarang, pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya, (2) seberapa jauh karya sastra mencerminkan kepribadian pengarang, apakah pengarang termasuk orang yang egois, emosional, agresif dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis komentar Noorca M. Massardi yang terdapat pada halaman xvii, novel d.I.a. cinta dan presiden. Pada bagian itu disampaikan sejumlah pandangan mengenai isi dari novel tersebut. Selanjutnya penulis juga menggunakan biografi Noorca M. Massardi yang baik dimuat pada lembaran 893 maupun referensi tambahan. Lembaran tersebut menjelaskan latar belakang pengarang dari lahir hingga pada saat pengarang menerbitkan objek penelitian ini. Selain itu untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan pengarang, penulis juga menggunakan internet sebagai sumber bahan tambahan.

2.3 Tinjauan Pustaka Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, penulis menemukan sejumlah bukubuku dan laporan penelitian yang relevan membahas mengenai korupsi baik secara umum maupun secara spesifik. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Widowati

dan

Rahmat Djoko Pradopo, (2006) dengan judul Korupsi Dalam Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari: Kajian sosiologi Sastra, menyimpulkan bahwa novel Orang-Orang Proyek merupakan ”representasi” kehidupan bangsa Indonesia pada masa pemerintah Orde Baru. Korupsi menjadi bagian kehidupan bangsa Indonesia yang menonjol pada periode 1990-an, yang terlihat dari kelonggaran kebijakan dan hukum yang bersifat elastis, sehingga korupsi dapat dilakukan oleh semua kalangan tanpa melihat status sosial. Korupsi yang menyebabkan pembodohan dan kemiskinan itu seringkali dijadikan sebagai wadah untuk mencari muka oleh para pejabat yang ingin mendapatkan kekuasaan lebih. Aksi sosial menjadi andalan untuk merebut hari para rakyat yang dilanda kekeringan maupun wabah penyakit. Hal itu tidak begitu disadari oleh masyarakat. Masyarakat merasa puas dengan sarana dan prasarana yang dibangun meski dalam operasionalnya tidak berhasil membawa masyarakat pada kesejahteraan. Kekhawatiran memang muncul dalam masyarakat, namun

Universitas Sumatera Utara

ketidakberdayaan menjadikan mental masyarakat lembek sehingga masyarakat menjadi begitu toleran terhadap praktik korupsi. Selain itu dalam ulasannya disampaikan juga bahwa Ahmad Tohari juga memberikan beberapa solusi untuk mengatasi korupsi pada waktu itu. Beberapa ide yang ditawarkan lewat novel itu antara lain, kejujuran (temen), sederhana (prasajo), dan selalu ingat pada Tuhan (eling).

Johan (dalam IACC Hongkong, 25 Maret 2010) yang berjudul “Sastra Dan Seni Untuk Membasmi Korupsi” mengulas peranan penting sastra dan seni dalam melawan korupsi. Dijelaskan bahwa negara maju seperti halnya Francis telah menggunakan sastra dan seni sebagai penetrasi dan pengontrol jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Sastra dan seni merupakan media alternatif yang memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mempengaruhi masyarakat dalam menentukan sikap menentang korupsi. Sastra menjadi media perlawanan yang kreatif dalam mengusung gerakan moral antikorupsi. Ajaran moral yang disuguhkan dalam sastra menjadi harapan dan kekuatan untuk menguatkan idealisme pembaca dalam menentukan sikap terhadap praktik korupsi. Pandangan sastra yang memperlihatkan dampak-dampak yang akan terjadi melalui tokohtokohnya menjadi imaji rasional yang sangat berpengaruh bagi perkembangan mental dan sikap pembacanya ketika berhadapan dengan konteks korupsi. Dalam tulisan tersebut juga diulas secara singkat mengenai keragaman sastra dan seni yang telah mampu mendidik masyarakat lewat kritik maupun imaji intelektualnya seperti dalam bentuk novel, puisi, cerpen, esai, film, drama, monolog, dan musik. Peningkatan apresiasi sastra dan seni bagi para pejabat negara dan semua jurusan dalam perguruan tinggi merupakan tongkat harapan untuk menuntaskan korupsi. Ruhman, (Kompas, Minggu 16 Mei 2004) dalam hasil analisisnya ”Metamorfosis Korupsi dalam Sastra; Kesaksian Sastrawan atas Korupsi Selama Dua Abad di Nusantara”,

Universitas Sumatera Utara

menjelaskan bagaimana fenomena perubahan korupsi itu hidup dalam karya sastra. Seperti yang diawali dengan karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker yang merekam korupsi dalam novelnya yang berjudul Max Havellar (1859). Dalam novel tersebut dideskripsikan korupsi pada jajaran birokrat Hindia Belanda yang disistemasi sedemikian rupa demi memperkukuh hadirnya kekuasaan kolonial. Selanjutnya pada tahun 1901, sastrawan F. Wiggers dalam karyanya Lelakon Raden Beij Soerio Retno mengusung ide untuk menentang korupsi dengan seorang tokoh yang berusaha menjaga kepercayaan Gubernur Hindia Belanda yang telah memberikan Plakat penghargaan atas jasanya menyimpan uang kas belanda. Pemberian Plakat merupakan bentuk penghargaan dan kepercayaan bagi organ kekuasaan yang tidak terpengaruh pada “virus” korupsi. Pada tahun 1957 Pramudya Ananta Toer menerbitkan novelnya yang berjudul Korupsi. Dalam novel tersebut dijelaskan seorang pegawai

yang bernama Bakir yang melakukan kejahatan korupsi pengadaan barang.

Tindakannya itu sejak semula sudah ditentang oleh keluarganya namun Bakir tetap bersikeras untuk memanipulasi dana pengadaan barang dari pemerintah. Mengetahui kenyataan itu, istri dan anak-anaknya menjadi bertentangan, mereka tidak mau menggunakan uang hasil korupsi itu. Akibat hal itu, Bakir pun menghabiskan duit itu untuk bersenang-senang dan berfoyafoya dengan kemewahan dan wanita simpanan. Akirnya Bakir terperangkap dalam satu kasus penggunaan uang palsu yang diperangkap oleh seorang pengusaha hingga masuk ke penjara. Sejak dari situ Bakir menjadi insyaf akan kesalahannya dengan meminta maaf kepada keluarga yang datang mengunjunginya. Bakir juga kemudian menjadi penasehat dan pendukung generasi muda untuk mengurangi ataupun menghentikan tindakan korupsi. James (dalam Kompas, Senin 7 Juli 2008), mengulas karya Massardi dengan judul “Buku Baru: Cinta Noorca dan Presiden”. Dalam tulisan tersebut James mengkomparasikan novel d.I.a. cinta da presiden dengan novel September yang lebih dulu terbit pada tahun 2007. James mengatakan, pada novel September digunakan latar kejadian berupa rangkaian

Universitas Sumatera Utara

sejarah politik pada tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya, sedangkan pada novel d.I.a. cinta dan presiden menggunakan setting rangkaian sejarah politik pada tahun 1998. Dalam pandangan James, Noorca Massardi telah berhasil merajut sebuah novel politik dengan sangat menarik, tidak hanya membawa pembacanya mengerutkan dahi karena serius, tetapi Noorca juga berhasil membawa pembacanya untuk bertamasya lewat setting sejarah dunia yang benar-benar ia pahami dengan wawasan jurnalisnya itu. Mustopa (2010) meneliti mengenai pola tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia. Dalam bukunya ia menyimpulkan bahwa kasus-kasus kejahatan korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan buah dari persekongkolan birokrat-birokrat. Dia menyimpulkan fakta bahwa pola tindakan korupsi yang terjadi ialah pola white chollar crime. Kejahatan korupsi seperti ini merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. Para pelakunya adalah

tokoh-tokoh yang

terpandang di mata publik. Pada umumnya tindakan para koruptor seperti ini jarang diketahui atau disadari oleh kalangan umum sehingga dana yang dikorupsi terbilang begitu banyak. Mostopa juga menyimpulkan bahwa sesuai dengan indentifikasinya bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merupakan kleptokrasi yakni sebuah keadaan yang genting bagi suatu bangsa. Hal itu dikarenakan para pemimpinnya tidak ada lagi yang layak dipercayai oleh rakyat untuk mencapai visi. Para pemimpin tersebut tidak lagi memiliki orientasi pada kesejahteraan publik, melainkan mempemainkan kepercayaan publik sebagai kesempatan untuk mengumpulkan uang pribadi maupun kelompok-kelompok tertentu. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa pelaku korupsi di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh lembaga-lembaga layanan publik yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mansyur (2008) dalam bukunya Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik menjelaskan mengenai sejumlah pemikiran Mochtar Lubis terhadap korupsi yang terjadi di

Universitas Sumatera Utara

Indonesia. Dalam buku ini diulas mengenai watak korupsi dalam birokrasi patrimonial, ditambah dengan sikap masyarakat yang menganggap bahwa korupsi itu sudah menjadi kebiasaan. Selain itu juga dibahas mengenai sejarah korupsi hingga kondisi berkembangnya korupsi pada

lembaga-lembaga negara. Sehingga menjadi penghambat utama dalam

mewujudkan tujuan akhir negara yakni mensejahterakan rakyat. Latar belakang Mochtar Lubis baik sebagai jurnalis senior, sastrawan maupun budayawan dikenal sebagai tokoh yang sangat kritis dalam memerangi korupsi. Kekayaan pikiran dan pandangannya dalam menentukan sikap untuk memerangi korupsi sebagai musuh yang harus diberantas. Dalam Kompas (Kamis, 10 Maret 2011) “Laporan Khusus-Korupsi dan Kemiskinan” dijelaskan bahwa tindakan kejahatan korupsi tidak hanya menimbulkan kemiskinan

masyarakat secara ekonomis tetapi juga meliputi pemiskinan

karakter kejujuran. Pola pikir untuk hidup enak tanpa kerja keras menjadi tontonan yang kemudian menimbulkan niat dan sifat mencari jalan pintas sampai melakukan tindakan kejahatan, pencurian. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan bahwa sikap atau mental yang tidak benar itulah yang kemudian semakin mengakar sehingga menjadi kebiasaan atau membudaya. Artinya bahwa sikap ingin diistimewakan tanpa dasar yang logis malah akan terus melahirkan generasi yang korup yang hanya mementingkan diri. Dalam laporan tersebut juga ditambahkan pandangan beberapa pengamat sosial yang menegaskan bahwa peran figur publik seperti lembaga pemerintahan harus dikonsistensikan sebagai patron yang menjadi teladan bagi masyarakat bukan dengan menampilkan figur publik korup yang jauh dari idealisme teladan. Dari beberapa hasil penelitian itu telah disimpulkan beragam hasil

yang

menunjukkan hubungan sastra itu dengan masyarakat sosial. Kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam karya sastra menjadi sebuah penelitian kenyataaan sosial yang yang penting diperhatikan. Dari beberapa tinjauan pustaka itu, belum ditemukan penelitian terhadap novel

Universitas Sumatera Utara

d.I.a. cinta dan presiden karya Noorca. M. Massardi yang membahas dampas sosial korupsi dalam novel. Untuk itulah penulis melanjutkan penelitian ini. Dengan menggunakan teori sosiologi sastra meliputi persfektif teks sastra dan persfektif biografi pengarang, maka akan ditemukan hasil penelitian yang berarti bagi masyarakat pembacanya.

Universitas Sumatera Utara