BAB II LANDASAN TEORI

19 downloads 354 Views 85KB Size Report
Persamaan pemodelan struktural (Structural Equation Modelling atau. SEM) merupakan ... lintasan, analisis struktur kovarian, dan model persamaan struktural.
6

BAB II LANDASAN TEORI 2.1

Structural Equation Modelling Persamaan pemodelan struktural (Structural Equation Modelling atau SEM) merupakan teknik statistik untuk menguji dan mengestimasi hubungan kausal menggunakan kombinasi data statistik dan asumsi kausal kualitatif. Model (SEM) memungkinkan pemodelan kedua konfirmatori dan eksplorasi, yang menandakan kecocokan untuk kedua pengujian teori dan pengembangan teori. Pemodelan konfirmasi biasanya dimulai dengan suatu hipotesis yang akan direpresentasikan dalam model kausal. Konsep yang digunakan dalam model kemudian harus dioperasionalkan untuk memungkinkan pengujian hubungan antara konsep-konsep dalam model. Kemudian model ini diuji terhadap data pengukuran yang diperoleh untuk menentukan seberapa baik model tersebut sesuai data. Asumsi kausal yang tertanam di dalam model sering memiliki implikasi difalsifikasi yang dapat diuji terhadap data (Wijanto, 2008). Dari segi metodologi

SEM (Wijanto, 2008) memainkan peran,

diantaranya sebagai sistem persamaan simultan, analisis kausal linier, analisis lintasan, analisis struktur kovarian, dan model persamaan struktural. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang membedakan SEM dengan regresi biasa maupun teknik multivariat yang lain, karena membutuhkan lebih dari sekedar perangkat statistik yang didasarkan atas regresi biasa dan analisis varian. SEM terdiri dari 2 bagian yaitu model variabel laten dan model pengukuran. Kedua model tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dengan regresi biasa. Regresi biasa, umumnya, menspesifikasikan hubungan kausal antara variabel-variabel teramati, sedangkan pada model variabel laten SEM, hubungan kausal terjadi di antara variabel-variabel tidak teramati atau variabel-variabel laten.

7 Kline dan Klammer (dalam buku Wijanto, 2008) lebih mendorong penggunaan SEM dibandingkan regresi berganda karena terdapat 5 alasan, yaitu : •

SEM memeriksa hubungan di antara variabel-variabel sebagai sebuah unit, tidak seperti pada regresi berganda yang pendekatannya sedikit demi sedikit.



Asumsi pengukuran yang handal dan sempurna pada regresi berganda tidak dapat dipertahankan, dan pengukuran dengan kesalahan dapat ditangani dengan mudah oleh SEM.



Modification Index yang dihasilkan oleh SEM menyediakan lebih banyak isyarat tentang arah penelitian dan permodelan yang perl ditindak lanjuti dibandingkan pada regresi.



Interaksi juga dapat ditangani dalam SEM.



Kemampuan SEM dalam menangani non recursive paths. Agar komunikasi dalam penyampaian tentang ide konsep dasar SEM

dapat berjalan secara efektif, maka digunakan diagram lintasan atau path diagram sebagai sarana komunikasi. Diagram lintasan dapat menggambarkan atau menspesifikasikan model SEM dengan lebih jelas dan lebih mudah, terutama jika dibandingkan dengan menggunakan model matematik SEM (ingat “a picture worths a thousand words”). Selain itu, diagram lintasan sebuah model dapat membantu mempermudah konversi model tersebut ke dalam perintah atau sintak dari SEM software. Demikian juga, jika diagram linatasan sebuah model digambar secara benar dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan, maka akan dapat diturunkan model matematik dari model tersebut. Berikut adalah variabel-variabel yang terdapat di dalam SEM : • Variabel Laten Dalam SEM variabel kunci yang menjadi perhatian adalah variabel laten atau konstruk laten. Variabel laten hanya dapat diamati secara tidak langsung dan tidak sempurna melalui efeknya pada variabel teramati. SEM mempunyai 2 jenis variabel laten yaitu eksogen dan endogen. Kedua variabel ini dibedakan bedasarkan atas keikutsertaan sebagai variabel terikat pada

8 persamaan-persamaan dalam model. Variabel eksogen selalu muncul sebagai variabel bebas pada semua persamaan yang ada dalam model. Sedangkan variabel endogen merupakan variabel terikat pada satu persamaan atau lebih di dalam model, meskipun semua persamaan sisanya variabel tersebut ada variabel bebas. • Variabel Teramati Variabel teramati atau variabel terukur adalah variabel yang dapat diamati atau dapat diukur secara empiris dan sering disebut indikator. Variabel teramati merupakan efek atau ukuran dari variabel laten. Pada metode surveI dengan menggunakan kuesioner, setiap pertanyaan pada kuesioner mewakili sebuah variabel teramati dan variabel ini berkaitan atau merupakan efek dari variabel laten eksogen. Pada SEM terdapat 2 model yang digunakan, yaitu : 1. Model Struktural Model struktural menggambarkan hubungan-hubungan yang ada di abtara variabel-variabel laten. Hubungan-hubungan ini umumnya linier, meskipun perluasan SEM memungkinkan untuk mengikursertakan hubungan tidak linier. Sebuah hubungan diantara variabel-variabel laten serupa dengan sebuah persamaan regresi linier di antara variabel-variabel tersebut. Beberapa persamaan regresi linier tersebut membentuk sebuah persamaan simultan variabel-variabel laten. 2. Model Pengukuran Dalam SEM, setiap variabel laten biasanya mempunyai beberapa ukuran atau variabel teramati atau indikator. Pengguna SEM paling sering menghubungkan variabel laten dengan variabel-variabel teramati melalui model pengukuran yang berbentuk analisis faktor dan banyak digunakan di psikometri dan sosiometri. Dalam model ini, setiap variabel laten dimodelkan sebagai sebuah faktor yang mendasari variabel-variabel teramati yang terkait. Pada SEM juga terdapat kesalahan-kesalahan yang terjadi dan dikatetogrikan menjadi 2 jenis kesalahan yaitu : •

Kesalahan Struktural Pada umumnya pengguna SEM tidak berharap bahwa variabel bebas

dapat memprediksi secara sempurna variabel terikat, sehingga dalam suatu

9 model biasanya ditambahkan komponen kesalahan structural. Untuk memperoleh estimasi parameter yang konsisten, kesalahan struktural ini diasumsikan tidak berkorelasi dengan variabel-variabel eksogen dari model. Meskipun demikian, kesalahan structural bisa dimodelkan berkorelasi dengan kesalahan struktural yang lain. •

Kesalahan Pengukuran Dalam SEM indikator-indikator atau variabel-variabel teramati tidak dapat secara sempurna mengukur variabel laten terkait. Untuk memodelkan ketidaksempurnaan ini dilakukan penambahan komponen yang mewakili kesalhan pengukuran ke dalam SEM.

2.2

Kepuasan Pelanggandan Kualitas Layanan Dalam industri jasa, pegawai yang melayani pelanggan, dari sudut kaca mata konsumen dianggap mewakili perusahaan dan secara langsung diterima sebagai bagian dari pelayanan yang diberikan oleh perusahaan (Cook, Bowen, Dasu, Stewart, & Tansik,2002). Oleh karena itu, penentuan strategi inisiatif perusahaan berdasarkan kondisi pegawai yang langsung berhubungan dengan pelanggan, merupakan hal tepat untuk dilakukan. Pegawai tersebut merupakan critical link antara pelayanan yang diberikan perusahaan dengan pelanggannya, dan bertanggung jawab terhadap pemahaman kebutuhan pelanggan serta mengintrepretasikan kebutuhan mereka secara real-time.

2.2.2 Kepuasan Pelanggan Bitner & Zeithaml (2003) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah evaluasi pelanggan dari suatu produk atau layanan dalam hal apakah produk itu atau layanan telah memenuhi kebutuhan dan harapan mereka. Menurut Boselie, Hesselink, dan Wiele (2002), kepuasan adalah keadaan afektif positif yang dihasilkan dari penilaian dari semua aspek hubungan kerja dengan pihak lain. Dan menurut Kotler (2003), kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan

dibandingkan

dengan

harapannya.

Supranto

(2006), juga

mengatakan bahwa kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya. Harapan

10 pelanggan dapat dibentuk dari pengalaman masa lalu, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya. Pelanggan yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi komentar yang baik tentang perusahaan. Sehingga, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja di bawah harapan, maka pelanggan akan kecewa. Sedangkan bila kinerja sesuai harapan maka pelanggan akan puas. Lalu apabila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan merasa sangat puas. Harapan pelanggan akan dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya (Supranto, 2006). Kepuasan pelanggan juga didefinisikan sebagai respon terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian (Rangkuti, 2006). Wangenheim, Evanschitzky, & Wunderlich, (2007) mengatakan bahwa kepuasan kerja karyawan mempunyai pengaruh kepada kepuasan pelanggan bahkan karyawan yang tidak secara langsung berinteraksi dengan pelanggannya walaupun pengaruh yang lebih besar berasal dari kelompok yang berinteraksi secara langsung. Mereka mengemukakan hal tersebut bedasarkan analisis dyadic yang dilakukan kepada 53.645 pelanggan dan 1659 karyawan di 99 oulets dari Large German Do-It-Yourself. Dan beberapa peneliti lainnya mengatakan bahwa kepuasan pelanggan dan kepuasan kerja pegawai berkorelasi positif (Welbourne, Eggerth, Hartley, Andrew, & Sanchez, 2007; Snipes, Oswald, LaTour, & Armenakis, 2005). Sementara itu, kualitas

kerja

sangat

dipengaruhi

oleh

kepuasan

kerja

seseorang

dibandingkan beban kerja (Halkos & Dimitrios, 2010). Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa kepuasan pelanggan sebagai penilaian terhadap kualitas layanan yang diberikan dengan harapan kualitas pelayanan yang akan diterima oleh pelanggan. 2.2.2 Kualitas Layanan Menurut Sureshchandar, Rajendran, dan Anantharaman (2002), kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan memiliki hubungan yang sangat tinggi. Dan menurut Rangkuti (2006) salah satu faktor yang menentukan kepuasan konsumen adalah persepsi konsumen mengenai kualitas layanan.

11 Kualitas layanan ini berfokus pada lima dimensi jasa yaitu ketanggapan, keandalan, empati, jaminan, bukti langsung (Abari, Yarmohammadian, & Esteki, 2011). Secara tradisional, kualitas pelayanan telah dikonsepkan sebagai perbedaan antara harapan pelanggan mengenai layanan yang akan diterima dan persepsi dari layanan yang diterima (Akbar dan Parvez, 2009). Menurut Wu, Lin, Hsiehkung, dan Liu (2012), kualias pelayanan juga disebut sebagai reaksi yang memimpin atau variable dari kepuasan pelanggan, sehingga standar dari kualitasi pelayanan yang tinggi akan meningkatkan kepuasan pelganggan.

Mereka melakukan survei pada warga kota Kaohsiung City,

Kaohsiung County, dan Pingtung County yang menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan yang dirasakan secara signifikan lebih tinggi dari intra-agen karyawan. Dalam penelitian tersebut, mereka mengatakan kualitas pelayanan memiliki reaksi positif kepada kepuasan pelanggan dengan dilakukannya analisis

korelasi

dan

analisis

regresi.

Dengan

demikian

penulis

menyimpulkan bahwa kulitas pelayanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dengan adanya perbedaan persepsi antara harapan pelanggan mengenai layanan yang akan diterima dengan layanan yang akan diterima. 2.3

Stres Kerja Di sisi lain, peningkatan stres bisa menurunkan produktivitas seseorang, sementara peningkatan kepuasan kerja mempengaruhi peningkatan produktivitas (Halkos & Dimitrios, 2010; Harris, Artis, Waltres, & Licata, (2006); Wangenheim, Evanschitzky, & Wunderlich, 2007). Dan hal tersebut berpotensi untuk menurunkan kualitas pelayanan yang akan menurunkan tingkat kepuasan pelanggan. Stres kerja merupakan reaksi terhadap ketidaksesuaian tuntutan kerja dengan kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaanya (Kroemer, 2009). Contohnya sebagai berikut, “Ujian akan menjadi sebuah stres bagi seseorang yang akan menghadapinya, jika ada keraguan akan penguasaan bahan dan kemampuan menjawab pertanyaan ujiannya, sedangkan berhasil tidaknya menempuh ujian mempunyai dampak yang bearti bagi sesorang atau jika orang merasa mengusai bahan dan mampus menjawab pertanyaan ujian,

12 maka hal tersebut bukan merupakan situasi yang dapat menimbulkan stres” (Munandar, 2001). Stres juga merupakan faktor fisik, kimiawi, dan emosional yang dapat menyebabkan tekanan pada tubuh atau mental dan dapat menjadi salah satu faktor bagi timbulnya penyakit. Stres juga merupakan interaksi individu dengan lingkungan, namun secara lebih terperinci stres merupakan suatu respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi, atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologi dan atau fisik secara berlebihan (Luthans, 2006). Mengurangi tingkat stres merupakan upaya yang lebih tepat dilakukan dibandingkan membuat karyawan beradaptasi. Penyebab stres kerja antara lain jenis pekerjaan, tingkat kesulitan kerja, beban kerja yang kompleks, pekerjaan yang bersifat monoton, tanggung jawab yang berat, supervisor yang tidak bersahabat tanpa alasan, lingkungan kerja, kurangnya pengakuan, kurangnya kontrol, kurangnya rasa aman dalam bekerja, kurangnya dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja, ancaman atau perilaku intimidasi dari atasan ataupun rekan kerja.

2.3.1 Hukuman (Punishment) Stres kerja bisa disebabkan oleh bentuk-bentuk punishment yang merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya manusia di perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi tindakan yang tidak diharapkan. Hukuman adalah teknik yang digunakan dalam modifikasi perilaku berdasarkan prinsip operant conditioning. Hukuman dalam literatur mempunyai banyak definisi, namun semua definisi memiliki tema umum bahwa hukuman adalah diberlakukannya stimulus aversif dalam menanggapi sebuah perilaku yang tidak diinginkan (Lerman & Vorndran 2002, Spradlin, 2002). Operant conditioning ini dikembangkan oleh BF Skinner sebagai pekerjaan lanjutan dari Thorndike Hukum Efek. Operant conditioning menggunakan penguatan dan hukuman untuk membentuk dan memodifikasi perilaku (Mazur, 2002). Hukuman juga didefinisikan sebagai stimulus yang diberikan sebagai akibat dari suatu respon dan dimaksudkan untuk mengurangi probabilitas terjadinya respon yang sama di masa yang akan datang (Dinsmoor, 1998). Skinner (1974), mengatakan hukuman adalah

13 istilah yang digunakan dalam condiotioning instrumental yang mengacu pada setiap perubahan perilaku yang terjadi setelah perilaku tersebut mengurangi kemungkinan yang akan muncul kembali di masa depan. Demikian juga dengan pernyataan Friedman, Utah, and Brinker (2001), bahwa hukuman adalah konsekuensi yang disampaikan setelah perilaku yang pantas untuk dikurangi frekuensi atau intensitas bila mana perilaku tersebut diperlihatkan. Penulis menyimpulkan bahwa hukuman adalah sebuah konsekuensi yang bertujuan untuk mengubah atau mengurangi kemungkinan atau frekuensi terjadinya kembali perilaku yang tidak diinginkan. Bentuk-bentuk punishment yang tidak konstruktif dan tidak diimbangi manajemen yang baik bisa meningkatkan stres kerja dan berdampak pada well-being karyawan.

2.3.2 P-E Fit Terdapat beberapa pendekatan mengenai penanggulangan stres kerja, dua diantaranya adalah person-environment fit yang menekankan pada stres kerja sebagai dampak dari kebingungan atau konflik tuntutan peran dalam bekerja (Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek, & Rosenthal, 1964); dan cognitive appraisal

approach

yang

menekankan

peran

individu

dalam

mengklasifikasikan situasi yang dihadapi termasuk berbahaya atau tidak berbahaya (Lazarus, DeLongis, Folkman, & Gruen, 1985). Fit didefinisikan sebagai kecocokan antara skill perorangan dengan tuntutan kerja yang; sementara

pada

pendekatan

kedua

perlu

digaris

bawahi

bahwa

pengklasifikasian kondisi berbahaya atau tidak oleh individu satu dengan yang lainnya berbeda. Sedangkan Kristof-Brown, Zimmerman, dan Johnson (2005), menerangkan P-E Fit sebagai penelitian subyektif individu tentang keesuaian dirinya dengan dengan muti-sistem yang ada dalam lingkungannya. Kemudian Caldwell, Herold, dan Donald B. (2004), mengatakan bahwa P-E Fit dikonsepkan sebagai penilaian subyektif individu tentang kesesuaian dirinya dengan lingkungan kerjanya. Sementara Cable dan DeRue (2002), memandang P-E Fit sebagai kesesuaian aspek-aspek penting antara individu dengan organisasi yang meliputi nilai-nilai yang dianut, kompetensi individu dengan tuntutan organisasi serta kebutuhan individu dengan kompensasi yang dapat diberikan organisasi.

14 Ho (2010) mendefinisikan P-E Fit sebagai keserasian antara nilainilai individu dengan organisasi, kemampuan individu dengan tuntutan pekerjaan, dan kebutuhan individu dengan kompensasi yang dapat diberikan instansi/perusahaan berdasarkan kontribusi individu. Pelatihan yang diberikan oleh organisasi seperti memperkenalkan individu dengan nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi terbukti berpengaruh terhadap peningkatan P-E Fit individu (Kim et al, 2005). Berdasarkan penelitian Robert dan Robins (2004), dengan memiliki P-E Fit yang tinggi individu akan cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi, lebih berani menghadapi konflik-konflik sosial dan lebih tenang. Dan juga Beliau mengkonsepkan P-E Fit sebagai keserasian antara pendidikan keterampilan individu dengan yang nyata diberikan organisasi dan keserasian yang dimiliki individu antara nilai–-nilai yang dianut dengan nilai-nilai yang ada di tempat kerja, antara kebutuhan dirinya dengan imbalan yang ditawarkan organisasi, dan antara kemampuan dan keterampilan dirinya dengan yang dituntut oleh organisasi. Kritsof Brown, Jansen, dan Colbert. (2002), Mengukur P-E Fit dengan menggunakan indikator-indikator yang mencerminkan keserasian, antara kemampuan individu dengan tuntutan pekerjaan yang dimiliki (personjob fit atau P-j fit), antara individu dengan kelompok kerja (person-group fit atau P-G fit), dan antara nilai-nilai indibidu dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi (person-organization fit atau P-O fit). Secara definitive, P-J fit dapat diartikan sebagai keserasian yang ada antara kemampuan-kemapuan indvidu dengan tuntutan-tuntutan yang ada dalam sebuah pekerjaan (Edwards, 1991). Sedangkan P-O fit mencerminkan keserasian yang ada antara individu denagn organisasi, yang terjadi apabila salah satu atau keduanya dapat memberikan apa yang dibutuhkan oleh pihak lainnya, dan memiliki karakteristik-karakteristik penting yang sejalan, misalnya nilai-nilai yang dianut (Kristof, 1996). Cable dan DeRue (2002), dalam pengukuran P-E Fit, menguji sebuah indikator baru yang disebut sebagai keserasian antara kebutuhan dan suplai ( Needs-Supply fit atau N-S fit). N-S fit dalam penelitian tersebut didefinisikan sebagai keserasian yang ada antara kebutuhan individu dengan keserasian yang ada antara kebutuhan individu dengan imbalan yang diterima dari organisasu berdasarkan pelayanan dan

15 konstribusinya

terhadap pekerjaan. Kemudian Ho (2010), menggunakan

ketiga indikator tersebut dalam mengukur P-E Fit agar dapat mencerminkan P-E Fit secara lebih menyeluruh. Dengan demikian penulis mendefinisikan dalam penelitian ini bahwa P-E Fit merupakan keserasian antara karyawan dengan lingkungan kerja, yang dicerminkan oleh keserasian dari nilai-nilai yang dianut oleh karyawan dengan nilai-nilai yang berlaku di tempat kerja (P-O Fit), antara kemampuan dan keterampilan yang dimiliki karyawan dengan tuntutan pekerjaan yang diberikan oleh organisasi (P-J Fit), dan antara kebutuhan dengan kompensasi yang dapat diberikan oleh organisasi sesuai dengan kontribusi yang diberikan oleh karyawan (N-S Fit). 2.3.3 Shift Kerja (Shift Work) Menurut Admi, Tzischinsky, Epstein, Herer, dan Lavie (2008), Shift kerja didefinisikan sebagai perputaran 8-jam pergeseran jadwal kerja, termasuk shift pagi, sore, dan malam. Perusahaan jasa yang memberikan pelayanan pada pelanggan, seringkali memiliki jam kerja yang lebih panjang untuk memenuhi tuntutan pelanggan. Sehingga jam kerja dibagi ke dalam beberapa shift. Kondisi ini menuntut karyawan bekerja dalam shift tertentu secara terus-menerus dalam periode tertentu. Bekerja pada shift sore-malam atau pada jam yang tidak biasa memiliki pengaruh pada kesehatan fisik dan stres kerja akibat kurangnya waktu untuk bersosialisasi bagi karyawan (Kroemer, 2009). Kurangnya waktu untuk sosialisasi ini disebabkan waktu luang karyawan, berbeda dengan waktu luang orang lain pada umumnya. Pada penelitian 27 tahun lalu telah menunjukkan bahwa kerja shift sebagai sumber stres para pekerja pabrik (Mon & Tepas, 1985). Selvi, Özdemir, Özdemir, Beşiroğlu, dan Aydin (2010), membuktikan bahwa shift-kerja menjadi faktor risiko potensial untuk meningkatnya morbiditas dan merendah kualitas hidup antara perawat. Menurut van Mark, Spallek, Kessel,

dan

Brinkmann (2006), shift kerja memberikan pengaruh terutama pada fungsi fisiologis tubuh manusia ketika ritme dari circardian mengalami gangguan. Kemudian Akbar, Saeed, Parvin, Marjan, dan Omid. (2005), mengatakan bahwa kerja shift dapat bertindak sebagai stresor oksidatif dan dapat

16 menyebabkan gangguan medis. Penuaan dan obesitas pada pekerja shift membuat mereka lebih sensitif terhadap efek berbahaya. Dengan demikian penulis mendefinisikan shift kerja merupakan periode waktu bekerja pada shift tertentu dan berpotensi menghasilkan gangguan kesehatan ketika adanya gangguan pada ritme cicardian, sehingga dapat menurunkan tingkat well-being. 2.4

Fasilitas Manajemen Fasilitas manajemen umumnya mengacu pada fasilitas berwujud (tangible) yang diberikan oleh perusahaan bagi karyawannya, tetapi fasilitas manajemen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fasilitas manajemen yang bersifat tidak berwujud (intangible). Fasilitas manajemen yang dimaksud adalah pelatihan dan dukungan supervisor. Carroll

(2006)

mengakui

bahwa

manajer

membantu

untuk

menentukan arah organisasi dan langkah-langkah yang diperlukan untuk tujuan jangka pendek dan jangka panjang menjadi tercapai. Manajer memberikan kontribusi untuk setiap organisasi di pasar global dengan memantau organisasi serta menjadi teladan fungsi sehari-hari bagi organisasi (Owens, 2004). Manajer membantu menyediakan pelayanan yang terbaik dengan menetapkan tujuan yang jelas, membimbing staf secara langsung, dan memberikan umpan balik bagi semua pihak dalam organisasi (Longenecker, Papp, dan Stansfield , 2006). Eisenberger, stinglhamber, vandenberghe, sucharski, dan rhoades ( 2002 ) menemukan, dengan desain longitudinal panel yang retail, persepsi karyawan terhadap atasan bahwa penghargaan kontribusi dan kepedulian kesejahteraan kepada karyawan oleh atasan menunjukkan adanya keterkaitan positif

terhadap perubahan karyawan

dalam dukungan organisasi dari waktu ke waktu. Fasilitas manajemen lainnya, yang merupakan hak karyawan adalah pelatihan, sebagaimana disebutkan pada undang-undang ketenagakerjaan Republik Indonesia 2003 pasal 11, yaitu “Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja”. Menurut undang-undang ketenagakerjaan ini, pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta

17 mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Ojo dan Olaniya (2008) mengatakan bahwa

pelatihan

merupakan

pengembangan

sistematis

pengetahuan,

keterampilan dan sikap yang dibutuhkan oleh karyawan untuk melakukan secara memadai pada suatu tugas atau pekerjaan. Edmons (2010) mengatakan Jenis pelatihan yang tepat dapat memberikan manfaat ganda untuk organisasi untuk memberikan

kontrol ketat terhadap sumber daya dan tingkat

peningkatan risiko proyek. Hal ini juga dapat meningkatkan keterampilan manajemen dari individu, dan menyediakan mereka dengan kepuasan kerja yang lebih besar dan prospek karir jangka panjang. Dengan demikian penulis berasumsi bahwa fasilitas manajemen adalah dukungan yang diberikan dari seorang atasan mempunyai keterkaitan yang positif terhadap bawahan. Dan dengan adanya pelatihan dapat meningkatkan kemampuan para karyawan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Maka dengan pemberian dukungan dari atasan dan pelatihan yang sesuai merupakan pendekatan positif dalam menanggulangi stres kerja karena dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi karyawan sehingga memiliki keahlian sesuai tuntutan pekerjaan. Maka penulis mendefinisikan fasilitas manajemen adalah suatu fasilitas intangible yang memberikan dukungan sosial dari atasan kepada bawahan dan pelatihan terhadap kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan.

2.5

Well-being Secara umum sudah diketahui bahwa kepuasan pelanggan dan kepuasan kerja pegawai berkorelasi positif (Welbourne, Eggerth, Hartley, Andrew, & Sanchez, 2007; Snipes, Oswald, LaTour, & Armenakis, 2005). Sementara itu, kualitas kerja sangat dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang dibandingkan beban kerja (Halkos & Dimitrios, 2010). Kepuasan kerja merupakan bagian dari well-being karyawan, dimana well-being merupakan kepuasan hidup secara umum yang dirasakan individu dalam kurun waktu yang cukup lama, yang dicerminkan oleh kepuasan terhadap kondisi kesehatan yang tidak bermasalah secara umum (kepuasan kesehatan), kepuasan terhadap pekerjaan, dan kepuasan dalam menikmati waktu

18 senggang. (Dasgupta, 2001; Jorgensen, Jamieson, & Martin, 2010). Wellbeing memiliki perbedaan dengan kesejahteraan karena kesejahteraan seringkali diukur dari pendapatan yang dapat memengaruhi well-being melalui materi dan layanan yang dapat dibeli. Well-being

didefinisikan

sebagai

suatu

perasaan

yang

menggambarkan dirinya dan situasi – situasi di mana individu tersebut hidup dan bekerja (Vandierendonck et al, 2004). Dasgupta (2001) mengatakan individu memiliki well-being jika memiliki kesehatan, kebahagiaan, pergaulan hidup, dan memiliki berbagai macam kebebasan untuk menjadi dan melakukan sesuatu. Ho (2010) mendefinisikan well-being sebagai bentuk dari kepuasan dari 3 aspek kehidupan yaitu kesehatan, kepuasan bekerja, dan spillover. Tiga indikator well-being tersebut dikembangkan oleh Grebner, Semmer, dan Elfering (2005). Dan juga Ho (2010) mengkonsepkan wellbeing sebagai kondisi di mana individu merasa puas, dalam kurun waktu yang cukup lama, terhadap kondisi kesehatannya yang pada umumnya tidak bermasalah, terhadap pekerjaannya sehingga tidak membuat indibidu ingin keluar dari pekerjaan, dan terhadap waktu luang yang ada karena mampu memisahkan diri secara psikologis dari masalah pekerjaan, sepulang dari bekerja. Pengukuran

well-being

pada

umumnya

dilakukan

dengan

menggunakan indikator kesehatan fisik dan psikis ( McKee-Ryan, Song, Wanberg, dan Kinicki et al., 2005). Miner-Rubino dan Cortina (2004) mengukur well-being dengan menggunakan 3 indikator yaitu, well-being di tempat kerja, well-being kesehatan fisik, serta sikap dan perilaku kerja yang negatif. Sedangkan Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) mengukur wellbeing dengan indikator indikator yang lebih lengkap, yaitu berdasarkan tiga tipe well-being yaitu well-being secara umum, well-being di tempat kerja, dan spillover). Tiga indikator tersebut dikatakan dapat digunakan dalam mengukur well-being indibidu yang bekerja di berbagai bidang. Dalam penelitian tersebut, well-being secara umum menggambarkan kepuasan yang dirasakan individu sebagai hasil evaluasinya terhadap kesehatan diri secara umum, well-being di tempat kerja menggambarkan kepuasan yang dirasakan individu terhadap pekerjaan yang dimiliki sehingga tidak ingin keluar dari

19 pekerjaan tersebut, dan spillover menggambarkan kepuasan yang dirasakan individu dalam menikmati waktu senggang yang dimiliki sehingga tidak ingin keluar dari pekerjaan, dan spillover menggambarkan kepuasan yang dirasakan oleh individu dalam menikmati waktu senggang yang dimiliki karena mampu melepaskan diri secara psikologis dari persoalan di tempat kerja setelah pulang dari bekerja. Menuruts Westman (2002), spillover merupakan pengaruh yang dialami individu sebagai hasil dari tuntuan dan konsekuensi yang dibawa dari tempat lain oleh individu yang sama. Hal tersebut dapat menimbulkan dampat positif maupun negatif. Akan tetapi, menurut Ho (2010) spillover yang berdampak positif (gain) yang digunakan sebagai indikator dari well-being dan Grebner, Semmer, dan Elfering (2005), juga menyarankan spillover sebagai salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran well-being individu. Penulis mendefinisikan well-being sebagai kepuasan hidup secara umum yang dirasakan oleh individu dalam periode waktu tertentu, dengan pencerminan dari kepuasan terhadap kondisi kesehatan yang tidak bermasalah secara umum, kepuasan terhadap pekerjaan dan organisasi yang menghasilkan keinginan untuk tetap bekerja di organisasi yang sama, dan kepuasan dalam menikmati waktu senggang yang dimiliki dalam melepaskan diri secara psikologis dari persoalan di tempat kerja setelah pulang dari bekerja.