BAB III. KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM TINDAK PIDANA ...

25 downloads 203 Views 378KB Size Report
A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Terorisme ... tindak pidana terorisme sebagai bagian dari perkembangan hokum pidana dapat.
BAB III. KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA Bab ini akan membahas mengenai kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy). BAB IV. PENERAPAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME STUDI PUTUSAN NO. 2280/Pid. B/2004/PN-Mdn. Bab ini akan membahas mengenai putusan no. 2280/Pid. B/2004/PN-Mdn yaitu kronologis, dakwaan, fakta hukum dan analisa kasus. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan penyimpulan dari seluruh babbab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban dari permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah yang dikemukakan dalam skripsi ini.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Terorisme sesungguhnya bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad ke- 19 dalam peraturan politik internasional. Terorisme pada awalnya bersifat kecil dan local dengan sasaran terpilih dan berada dalam kerangka low

Universitas Sumatera Utara

intensity conflict, pada umumnya berkaitan erat dengan stabilitas domestic suatu Negara. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi diberbagai Negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung (support infrastructure). 12 Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada Negara yang ingin dituduh mendung terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme. Tindak Pidana Terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita). Kriminalisasi tindak pidana terorisme sebagai bagian dari perkembangan hokum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti: a. Melalui system evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP;

12

Moch. Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

b. Melaui system global melaui pengaturan yang lengkap diluar KUHP termasuk kekhususan hokum acaranya; dan c. System kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang “kejahatan terorisme”

Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa tacit terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.

Pengertian yang berkaitan dengn terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya, yaitu :

1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik; 2. Ditujukan kepada Negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu;

Universitas Sumatera Utara

3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga; 4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.

13

Menurut Wilkinson, sebagaimana dikutip oleh Goenawan Permadi, ada tiga jenis terorisme secara umum yaitu:

1. Terorisme Revolusioner yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis dengan tujuan akhir untuk mewujudkan perubahan radikal dalam tatanan politik; 2. Terorisme Subrevolusioner yaitu penggunaan kekerasan teroristik untuk menimbulkan perubahan dalam kebijakan publik tanpa mengubah tatanan politik; 3. Terorisme Represif yaitu penggunaan kekerasan teroristik untuk menekan atau membelenggu individu atau kelompok dari bentuk-bentuk perilaku yang dianggap tidak berkenaan oleh Negara.

14

B. Tinjauan Yuridis terhadap Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

1. Tindak Pidana Terorisme

Hukum Pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Hokum pidana Negara-negara Anglo Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Oleh 13

Ibid.

14

Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah kritik atas kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara

karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit. Sekarang ini semua undang-undang telah memakai istilah tindak pidana.

15

Telah dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hokum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hokum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),

sedangkan

ancaman

pidananya

ditujuakan

kepada

orang

yang

menimbulkannya kejadian itu. 16

Menurut Simons, bahwa strafbaar feit (terjemahan harafiah : peristiwa pidana) ialah perbuatan melawan hokum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). Dari rumusan tersebut Simons mencampurkan unsure-unsur perbuatan pidana yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hokum perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability) yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.

17

Tindak pidana atau delik ialah tindak yang mengandung 5 (lima) unsure, yaitu:

15

Andi Hamzah, 2008, Asas-asas hokum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 86. Moeljatno, 2002, asas-asas hokum pidana, rineka cipta, Jakarta, hlm. 54. 17 Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 224. 16

Universitas Sumatera Utara

a. Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging); b. Kelakuan

itu

harus

sesuai dengan uraian

undang-undang

(wettelijke

omschrijving); c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman. 18

Simons menyebutkan adanya unsure obyektif dan unsure subyektif dari tindak pidana (stafbaar feit). Yang disebut sebagai unsure obyektif ialah:

a. Perbuatan orang; b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.

Segi unsure subyektif dari tindak pidana (stafbaar feit):

a. Orang yang mampu bertanggungjawab; b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.

19

Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat 18

C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 37. 19 Ibid, hlm 41.

Universitas Sumatera Utara

bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman atau pidana termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.

Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang pribadi oleh karena itu hokum pidana selama ini hanya mengenai orang, seorang atau sekelompok orang sebagai subjek hokum. Subjek hokum atau pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan bunyi Pasal 55 KUHPidana maka yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana adalah:

a. Orang yang melakukan (Pleger)

Orang yang melakukan (pleger) adalah seseorang yang secara sendiri melakukan semua unsure-unsur dari suatu tindak pidana. Disamping itu dalam kenyataan sehari-hari orang yang tidak berani secara langsung melakukan sendiri tindak pidana tetapi melibatkan orang lain untuk melakukannya, baik dengan cara membayar orang lain, maupun dengan cara mempengaruhinya ataupun dengan cara-cara lain sehingga orang lain itu melakukan apa yang dikehendaki.

20

Mereka yang melakukan tindak pidana (plegen) jika mengacu

kepada orangnya disebut dengan pembuat pelaksana (pleger), adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan-perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut ini syarat seorang pleger adalah sama dengan syarat seorang dader. Perbedaan pleger dengan dader adalah terhadap pleger masih diperlukan keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis, hanya saja 20

Abdul Wahid, dkk, 2004, Op. Cit, hlm. 70.

Universitas Sumatera Utara

keterlibatan orang lain ini harus sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut tidak sebagai penentu dalam mewujudkan tindak pidana yang akan dilakukan. 21

Umumnya “pelaku” dapat diketahui yaitu:

1. Delik formil, pelakunya adalah barangsiapa yang memenuhi perumusan delik. 2. Delik dengan perumusan materil, pelakunya adalah barangsiapa yang menimbulkan yang dilarang yang tercantum dalam delik. 3. Delik yang memuat unsure kualitas atau kedudukan, pelakunya adalah barangsiapa yang memiliki unsure, kedudukan atau kualitas sebagai yang dirumuskan. Misalnya, kejahatan jabatan adalah pejabat pegawai negeri. 22

b. Yang menyuruh melakukan/ member perintah (doen pleger)

Dalam hal ini paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana itu tidak melakukan unsure-unsur dari suatu tindak pidana, akan tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsure-unsur dari suatu tindak pidana tersebut. Orang yang disuruh dalam hal ini adalah orangorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, orang-orang yang dikecualikan dari hukuman, mereka ini hanya dianggap sebagai alat semata, misal orang gila. Dengan demikian meskipun orang yang menyuruh ini tidak melakukan sendiri

21

Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, 2009, Percobaan dan Peyertaan, USU Press, Medan, hlm.

44. 22

Laden Marpaung, 1991, Unsur-unsur perbuatan yang dapat dihukum (delik), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 95.

Universitas Sumatera Utara

tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai pelaku dan yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang yang disuruhnya tersebut. 23 Agar supaya masuk dalam pengertian “menyuruh melakukan”, maka orang yang disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan alat (instrument, middel) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya:

1. Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut pasal 44 KUHP. 2. Karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut pasal 48 KUHP. 3. Melakukan delik itu atas perintah jabatan yang tidak syah, menurut pasal 51 KUHP. 4. Melakukan delik itu tanpa kesalahan sama sekali. 24

Dalam penyertaan berbentuk menyuruh melakukan ini terdapat seseorang yang ingin melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Syarat yang terpenting dalam bentuk menyuruh melakukan adalah orang yang disuruh tersebut merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jika diperinci syarat-syarat bentuk penyertaan menyuruh melakukan adalah sebagai berikut:

a. Ada orang yang berhendak melakukan tindak pidana;

23

Ibid. R. Atang Ranoemihardja, 1984, Hukum Pidana Asas-asas, pokok pengertian dan teori serta pendapat beberapa sarjana, Tarsito, Bandung, hlm. 115. 24

Universitas Sumatera Utara

b. Orang tersebut tidak melakukannya sendiri; c. Menyuruh orang lain untuk melakukan; d. Orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan 25

Rumusan “tidak dapat dipertanggungjawabkan” dan “ tidak dapat dihukum” melakukan delik tersebut. Prof. Simons mengutarakan bahwa orang yang disuruh tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:

a. Apabila orang yang disuruh melakukan tindak pidana itu adalah seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti yang dimaksud dalam pasal 44 KUHP; b. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai unsure tindak pidana yang bersangkutan; c. Apabila orang yang disuurh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai unsure schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsure opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut; d. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsure oogmerk, padahal unsure tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana tersebut; e. Apabila orang

yang disuruh melakukan tindak pidana itu telah

melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh 25

Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, op. cit., hlm. 50.

Universitas Sumatera Utara

suatu keadaan yang memaksa dan terhadap paksaan itu orang tersebut tidak mampu memberi perlawanan; f. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan iktikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu; g. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undangundang, yakni suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelaku sendiri. 26

c. Orang yang turut serta melakukan (dader)

Dalam hal ini juga paling sedikit harus ada dua orang yang secara bersamasama melakukan suatu tindak pidana, mereka ini secara sadar bersama-sama melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian mereka juga secara bersama-sama dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan itu.

27

Prof. Satochid Kartanegara berpendapat bahwa untuk adanya mededader harus dipenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

1. Harus ada kerja sama secara fisik; 2. Harus ada kesadaran kerja sama.

Selanjutnya Prof. Satochid Kartanegara mengutarakan: 26 27

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 80. Abdul Wahid, dkk, 2004, Op. Cit, hlm. 72.

Universitas Sumatera Utara

“Mengenai syarat kesadaran kerjasama itu dapat diterangkan bahwa kesadaran itu perlu timbul sebagai akibat pemufakatan yang diadakan oleh para peserta. Akan tetapi, sudah cukup dan terdapat kesadaran kerja sama apabila para peserta pada saat mereka melakukan kejahatan itu sadar bahwa mereka bekerja sama.” 28

d. Orang yang membujuk melakukan (uitlokker)

Dalam hal ini paling sedikit juga harus ada dua orang, yaitu orang yang membujuk, yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dan orang yang dibujuk atau yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana dan kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan. Perbedaannya dengan yang menyuruh melakukan, orang yang disuruh adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan tidak ada digunakan sarana cara-cara lain dalam hal menyuruh melakukan tersebut, sedangkan dalam hal membujuk, orang yang dibujuk tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dalam hal melakukan bujukan atau penggerakkan ini ada sarananya atau cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. 29

Orang yang membujuk melakukan (uitlokker) adalah setiap perbuatan yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan terlarang dengan menggunakan cara dan daya upaya yang ditentukan dalam pasal 55 ayat (1) ke2.

28 29

Laden Marpaung, loc. Cit. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana disebut actor intelectualis atau intelectueel dader atau provocateur atau uitlokker.

Orang yang sengaja membujuk (uitlokker) dengan orang yang menmyuruh (doenpleger) memiliki persamaan, yaitu sama-sama menggerakkan orang lain.

Adapun perbedaannya adalah:

1. Pada pertanggungjawaban, yaitu pada doenpleger si pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan pada uitlokker si pelaku dapat dipertanggungjawabkan; 2. Cara-cara menggerakkan orang lain (pelaku) tersebut, pada uitlokker ditentukan dalam pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, sedang pada doenpleger tidak ditentukan.

Berdasarkan rumusan pasal 55 ayat (1) ke-2, dapat diketahui unsure-unsur uitlokker (membujuk) sebagai berikut:

a. Kesengajaan si pembujuk ditujukan pada dilakukannya delik tertentu oleh yang dibujuk; b. Membujuk orang itu dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP; c. Orang yang dibujuk itu sungguh-sungguh telah terbujuk untuk melakukan delik tertentu;

Universitas Sumatera Utara

d. Orang yang dibujuk, benar-benar telah melakukan delik, setidak-tidaknya melakukan percobaan. 30

Menurut Loebby Loqman, syarat penyertaan dalam bentuk menggerakkan ini adalah sebagai berikut:

a. Ada orang yang berkehendak melakukan suatu tindak pidana; b. Orang tersebut tidak melakukannya sendiri; c. Dengan suatu daya upaya yang telah ditentukan secara limitative dalam undnag-undang; d. Menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana yang dikehendaki; e. Orang yang digerakkan dalam melakukan tindak pidana adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 31

Seseorang dapat dipersalahkan “membantu melakukan” (medeplichtige) jika ia dengan sengaja memberikan bantuan tersebut pada waktu atau sebelum delik itu dilakukan. Apabila bantuan diberikan setelah kejahatan itu dilakukan maka orang itu bersalah melakukan perbuatan “sengkongkol” atau “tadah” (heling) melanggar pasal 480 KUHP.

Unsure sengaja harus ada, oleh karena bila ada orang yang secara kebetulan tidak

mengetahui, kemudian memberikan kesempatan daya upaya atau

30

Laden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 85.

31

Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, op. cit., hlm. 62.

Universitas Sumatera Utara

keterangan untuk melakuakan kejahatan itu, maka ia tidak dapat dihukum. “niat” untuk melakukan kejahatannya harus timbul dari orang yang “diberi bantuan”, sebab jika tersebut timbul dari orang yang member bantuan itu sendiri, maka orang itu salah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).

Selanjutnya mengenai cara-cara membujuk ditentukan dengan tegas dan terbatas (limitatief) dalam KUHP pasal 55 ayat (1) sub 2e yang perinciannya sebagai berikut:

a. Pemberian

Kepada yang dibujuk diberikan uang atau barang atau mungkin juga suatu anugrah;

b. Perjanjian

Segala yang menimbulkan kepercayaan pada yang dibujuk, misalnya akan memberikan keuntungan baginya, walaupun janji itu tidak berdasarkan alasan-alasan yang kuat dan meyakinkan.

c. Penyalah gunaan Kekuasaan atau Pengaruh

Hal ini selalu terjadi berhubungan dengan hubungan dinas.

d. Kekerasan

Universitas Sumatera Utara

Ini berupa kekuatan fisik, akan tetapi ada batasnya sebab bila dilakukan terlalu keras, maka akan menjadi “menyuruh melakukan” dan bukan membujuk lagi.

e. Ancaman

Ini adalah paksaan rohani tetapi ada batasnya seperti halnya dengan No. 4.

f. Tipu daya

Yang dibujuk diberi keterangan palsu atau informasi palsu sehingga menimbulkan rasa iri hati, takut, benci, ingin membalas dendam.

g. Memberi kesempatan

Misalnya seorang babu rumah tangga membawa pakaian yang akan dicuci ke kamar mandi yang tidak dikunci sehingga mudah akan dibawa oleh temannya yang akan mencuri.

h. Member daya upaya

Misalnya seorang pelayan memberikan anak kunci pintu belakang kepada temannya yang akan mencuri.

i.

Memberi keterangan

Universitas Sumatera Utara

Misalnya seorang jongos mengatakan kepada temannya yang akan mencuri bahwa pintu kamar majikannya rusak dan dalm lemari pakaian disimpan peti uang.

32

Menurut Rajagukguk dan Khairandy, Delik atau perbuatan pidana terorisme adalah perbuatan yang melawan hukum yang melanggar ketentuan pidana terorisme, yaitu melakukan perbuatan yang berkaitan dengan kejahatan terorisme. Didalam undang-undang tindak pidana terorisme ada dua delik yaitu delik materil dan delik formil. Delik materil adalah delik atau perbuatan pidana yang rumusan perbuatan yang dilarang ditujukan pada penimbulan akibat, sedangkan delik formil adalah delik yang teknik perumusan perbuatan yang dilarang ditujukan pada perbuatan yang secara nyata memenuhi unsure-unsur delik.

33

Di dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pengertian tindak pidana terorisme yaitu:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Sanksi hukuman untuk pelaku tindak pidana terorisme diatur tersendiri, karena perbuatan terorisme sangat luas sekali pengertiannya yaitu termasuk perusakan lingkungan hidup. 32

R. Atang Ranoemihardja, op. cit., hlm. 127.

33

Ibid, hlm. 69.

Universitas Sumatera Utara

Didalam Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.” 34 Termasuk juga perbuatan terorisme sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 yaitu: a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut; c. melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru; d. menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;

34

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

e. melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; f. melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara; g. menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak; h. untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan; i.

dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;

j.

dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman

dalam

perampasan

bentuk

atau

lainnya,

menguasai

merampas

pengendalian

atau

mempertahankan

pesawat

udara

dalam

penerbangan; k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan

kerusakan

pada

pesawat

udara

sehingga

dapat

Universitas Sumatera Utara

membahayakan merampas

penerbangannya,

kemerdekaan

atau

dilakukan meneruskan

dengan

maksud

merampas

untuk

kemerdekaan

seseorang; l.

melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;

m. melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan; n. melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan; o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n; p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan; q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;

Universitas Sumatera Utara

r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan. 35

Bagi orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Bagi

mereka/orang

yang

dengan

sengaja

dan

melawan

hukum

memperdagangkan bahan-bahan utama yang potensial untuk digunakan sebagai bahan peledak. Ternyata bahan-bahan peledak tersebut digunakan dalam tindak pidana terorisme, maka bagi pelaku diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Bagi orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan: a. memberikan atau meminjam uang atau barang atau harta kekayaan kepada pelaku tindak pidana terorisme; b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme;

35

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

c. menyembunyikan informasi termasuk tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga ) tahun dan paling lama 15 (lima belas ) tahun.

Adapun yang dimaksud dengan memberikan bantuan adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan kemudahan adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan.

36

Sedangkan yang dimaksud dengan unsure-unsur terorisme dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi kedaulatan bangsa dan Negara yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. 37

36 37

Moch. Faisal Salam, 2005,Op. Cit, hlm. 219. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

2. Pertanggung jawaban Tindak Pidana

Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hokum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea). Asas ini tidak tersebut dalam hokum tertulis tapi dalam hokum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. Hokum pidana fiscal tidak memakai kesalahan. Di sana kalau orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau rampas.

38

Menurut Van Hamel, kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsureunsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hokum (Schuld is de verantwoordelijkheid rechtens).

Kesalahan dapat dilihat dari 2 (dua) sudut yaitu:

a. Menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicela (verwijtbaarheid).

38

Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 153.

Universitas Sumatera Utara

b. Menurut hakikatnya ia adalah hal daapt dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hokum.

39

Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti yang luas, yaitu:

1. Dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat; 2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa); 3. Tidak

adanya

dasar

peniadaan

pidana

yang

menghapus

dapatnya

dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Dari yang diatas tersebut pada butir 3) dapat dilihat kaitan antara kesalahan dan melawan hokum. Tidak mungkin ada kesalahan tanpa adanya melawan hokum. Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan hokum tanpa adanya kesalahan.

Dapat

dikatakan

bahwa

ada

kesalahan

jika

pembuat

dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya. Celaan ini bukan celaan etis, tetapi celaan hokum.

40

Eksistensi pertanggungjawaban dapat diawali dengan kata pertanggungjawaban, yang kata dasarnya adalah tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib untuk menanggung segala sesuatu (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan). Sedangkan pertanggungjawaban berarti perbuatan bertanggung jawab, sesuatu yang 39 40

Ibid. Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 130.

Universitas Sumatera Utara

dipertanggungjawabkan. Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana dan terbukti bersalah/dapat dicela. Jadi, yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah dikenakannya penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dipersalahkan atau dapat dicela. Sehingga dijalaninya pidana oleh seseorang yang bersalah karena telah melakukan tindak pidana merupakan wujud tanggung jawab pidana yang harus diterima. Setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat sanksi pidana karena perbuatannya tersebut. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar pidana pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dihukum karena perbuatannya tersebut.

Dalam Syari’at Islam, unsure pertanggung jawaban pidana adalah:

a. Adanya perbuatan yang dilarang; b. Dilakukan dengan kemauan sendiri; c. Pelaku mengetahui perbuatan dan akibat perbuatan. 41

41

Ibid, hlm. 72.

Universitas Sumatera Utara

KUHP menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan tindak pidana dengan kesengajaan atau kealpaan. Pada prinsipnya, perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.

Undang-undang Terorisme merumuskan kesalahan (dalam arti sempit yaitu adanya kesengajaan dan kealpaan) secara lengkap. Dengan kata lain Undangundang Terorisme mengatur tindak pidana terorisme yang dilakukan dengan cara sengaja maupun kealpaan.

Pasal-pasal yang secara tegas merumuskan kata “dengan sengaja” ditegaskan dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8 huruf c, huruf e, huruf f, huruf I, huruf m, dan huruf n, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 22. Sedang kata “karena kealpaan” dirumuskan secara tegas dalam pasal 8 huruf d, dan huruf g.

42

Dalam hal pertanggungjawaban pidana unsure yang paling fundamental adalah unsure kesalahan, sebab seseorang atau kelompok tidak dapat dikenakan suatu pertanggungjawaban kalau tanpa adanya suatu kesalahan. Kaitannya dengan tindak pidana terorisme tentunya kesalahan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme berarti perbuatan yang melanggar hokum pidana terorisme. Untuk mengetahui

42

Ibid, hlm. 117.

Universitas Sumatera Utara

tentang pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan terorisme paling tidak kita harus paham dan mengerti tentang hirarki organisasi terorisme. 43

Sementara itu dalam konteks hukum pidana, kesalahan terdiri dari 2 (dua) yaitu: 44

1. Kesengajaan (dolus/opzet)

Dalam bahasa Belanda disebut “Opzet” dan dalam bahasa Inggrisnya disebut “intention” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “sengaja” atau “kesengajaan”.

Menurut Prof. Satochid memberikan perumusan opzet itu sebagai berikut “opzet” dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Alasan mengartikan sengaja dalam peristiwa pidana sebagai niat/itikad yang diwarnai sifat melawan hukum dan dimanifestasikan dalam bentuk sikap tindak, ialah karena:

a. Perumusan itu hanya terbatas pada perbuatan melanggar hukum, yang berlangsung ditujukan pada dasarnya; b. Untuk niat sebagai suatu bagian dari proses psikis merupakan kejadian/keadaan yang tak dapat dilihat atau dipegang yang mempunyai bentuk variasi dan dapat

43

Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 96. 44 A. Fuad Usfa dan Tongat, loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

berkembang dan menyempit tergantung pada budaya lingkungan serta kepribadian orangnya.

45

Secara umum, para pakar hukum pidana telah menerima adanya 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yaitu:

46

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)

Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana, maka perlu disebut disini pengertian sengaja sebagai maksud seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi.

47

contoh sebagai berikut: A bermaksud membunuh B yang

menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B meninggal.

Pada contoh diatas, dorongan untuk membalas kematian ayahnya disebut dengan motif. Adapun “maksud”, adalah kehendak A untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini menghilangnya nyawa B. sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti.

48

45

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, op. cit., hlm. 51. Laden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 15. 47 Andi Hamzah, loc. Cit. 48 Laden Marpaung, loc. Cit. 46

Universitas Sumatera Utara

2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)

Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan sutatu akibat tertentu. Tetapi disamping akibat yang dituju teersebut si pelaku insyaf/ menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan untuk mencapai/menimbulkan akibat lain (yang tidak dikehendaki).

Dengan demikian dalam hal ini perbuatan si pelaku tersebut telah menimbulkan dua akibat, yaitu:

a. Akibat yang tertentu (yang merupakan tujuan si pelaku) b. Akibat lain yang dilarang dan diancam dengan hukuman, oleh karena itu yang pasti/harus timbul dengan dilakukannya perbuatan untuk mencapai tujuan yang tertentun itu c. Opzet dengan kesadaran akan kemungkinan. 49

Prof. Satochid Kartanegara, SH, memberi contoh sebagai berikut:

Kehendak A untuk membunuh B. dengan membawa senjata api, A menuju rumah B. akan tetapi ternyata setelah samapai dirumah B, C berdiri di depan B. disebabkan rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C berdiri didepan B, A toh melepaskan tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C dan kemudian B, hingga C dan B mati. 50

49

A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, hlm. 80-81. 50 Leden Marpaung, loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

3. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus Eventualis)

Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.

Lamintang menjelaskan kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis) sebagai berikut:

“pelaku yang bersangkutan pada waktu itu melakukan perbuatannya untuk menimbulkan suatui akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki. Jadi, jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia dikatakan mempunyai suatu kesengajaan.” 51

Pasal-pasal yang merumuskan kata “dengan sengaja” yaitu:

Pasal 6

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut.

Pasal 7 51

Leden Marpaung, op. cit., hlm. 18.

Universitas Sumatera Utara

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut. Pasal 8

Dengan sengaja terorisme terhadap pesawat udara dan bangunan serta perlengkapan untuk kepentingan pengamanan pesawat udara.

pasal 10 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya. Pasal 11 Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme. Pasal 12 Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya. pasal 13 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Pasal 22 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

Universitas Sumatera Utara

pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. 52 2. Kealpaan (culpa) Arti kata culpa ini adalah kesalahan pada umumnya, akan tetapi “culpa” di dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu: suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak disengaja sesuatu terjadi. 53 Menurut doktrin, schuld yang sering diterjemahkan dengan “kesalahan” terdiri atas: e. Kesengajaan, f. Kealpaan. Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah kehendak, sedangkan “kealpaan” adalah tidak kehendak. Umumnya para pakar sependapat bahwa “kealpaan” adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan “kealpaan”, lebih ringan. 54 Kesengajaan adalah kesalahan yang berlaianan jenis dari pada kealpaan. Dasarnya adalah sama, yaitu; 1). Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana; 2). Adanya kemampuan bertanggungjawab; 3). Tidak adanya alasan pemaaf.

55

Menurut Prof. Mr. D. Simons, menerangkan kealpaan ini sebagai berikut:

52

Mudzakkir, op. cit., hlm. 13 C.S.T. Kansil dan Christina S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 54. 54 Leden Marpaung, loc. Cit. 55 Moeljatno, loc. Cit. 53

Universitas Sumatera Utara

Umumnya kealpaan itu jadinya terdiri dari dua bagian, yaitu berhati-hati melakukan sesuatu, disamping itu menduga akibat perbuatan. Tetapi meskipun sesuatu perbuatan, dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan, jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilanggar undang-undang. Kealpaan adalah pleh karena melakukan perbuatan itu, meskipun telah mengetahui akibatnya. Dalam hal terakhir dalam sementara itu hanya dapat dianggap adanya tanggung jawab tentang kealpaan itu, kalau untuk melakukan perbuatan itu tak ada alasan yang patut dan yang dibuat tidak hanya dapat menghindarkan akibat itu melainkan bagaimanapun juga harus mengelakkannya. 56 Culpa dibedakan menjadi culpa levissma dan culpa lata. Culpa levissma berarti kealpaan yang ringan, sedangkan culpa lata adalah kealpaan besar, didalam ilmu pengetahuan dikenal kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari itu dapat digambarkan bila seorang yang menimbulkan delik tanpa sengaja dan telah berusaha menghalangi akibat yang terjadi, akan tetapi walaupun demikian akibatnya tetap timbul juga. Sedangkan pada kealpaan yang tidak disadari, orang bersikap tindak tanpa membayangkan akibat yang timbul, padahal ia harusnya membayangkan. KUHP tidak menegaskan apa arti kealpaan. Sedang Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsure yaitu: 1. Kemungkinan pendugaan terhadap akibat. 2. Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.

56

Leden Marpaung, op. cit., hlm. 28.

Universitas Sumatera Utara

Van Hamel juga mengatakan bahwa culpa juga mempunyai dua syarat yaitu: 1. Kurangnya pendugaan yang diperlukan. 2. Kurangnya berhati-hatian yang diperlukan. 57 Kalau dasar adanya kealpaan adalah merupakan kelakuan terdakwa yang tidak menginsafi dengan kurang memperhatikan terhadap objek yang dilindungi oleh hukum, maka dasar hukum untuk memberikan pidana terhadap delik culpa, berarti kepentingan

peghidupan

masyarakat,

yang

mengharapkan

setiap

anggota

masyarakat dalam melakukan perbuatan berusaha sedemikian rupa untuk memperhatikan

kepetingan

sesama

anggota

masyarakat,

sehingga

tidak

menimbulkan kerugian dan barang siapa tidak berbuat sebagai demekian harus bertanggungjawab dengan mendapat pidana. Kealpaan yang merupakan perbuatan tidak dengan sengaja (tidak diinsyafi) akan tetapi karena kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi oleh hukum, atau tidak melakukan kewajiban yang haruskan oleh hukum, atau tidak mengindahkan larangan peraturan hukum, sebagai sebuah jenis kesalahan menurut hukum pidana. Dengan demikian delik culpa pada dasarnya merupakan delik yang bagi pembuatnya mempunyai pertanggungjawaban yang berdiri sendiri. Dibandingkan dengan bentuk kesengajaan, dapat dkatakan bahwa bentuk kealpaan itu merupakan jenis kesalahan yang mempunyai dasar yang sama dengan bentuk kesengajaan yaitu harus terjadi perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang

57

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

dan diancam dengan pidana), dan harus adanya kemampuan bertanggungjawab dengan tanpa adanya alasan penghapus kesalahan berupa pemaaf.

58

Pasal-pasal yang merumuskan dengan kata “karena kealpaan” sebagai berikut: Pasal 8 huruf d karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru. huruf g karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak. 59

Sedangkan pasal 17 dan 18 mengatur pertanggungjawaban korporasi dalam hokum pidana (Corporate criminal responsibility), yang meliputi badan hokum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.

Rumusan pasal 17

(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan 58 59

Bambang Poernomo, 1992, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 178. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. Pasal 18 (1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). (3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang. Pasal 17 dan 18 termasuk menjelaskan bahwa disamping orang secara pribadi, kejahatan terorisme dapat juga dilakukan oleh badan hokum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Akan tetapi dalam Undang-undang pemberantasan

tindak

pidana

terorisme

ini

tidak

mengatur

tentang

pertanggungjawaban pengurus dan pimpinan korporasi. Meskipun pasal 17 sudah menentukan pertanggungjawaban pengurus namun tidak disebutkan sanksinya. Seharusnya pengurus korporasi sebagai pengambil keputusan juga dikenai pidana

Universitas Sumatera Utara

badan karena mengetahui dan memutuskan hal yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.

60

Dari perumusan Pasal 17 dan Pasal 18 tersebut diketahui bahwa undang-undang terorisme: 1. Mengakui subyek hokum korporasi (legal person), disamping pribadi alamiah (natural person). 2. Terorisme yang dilakukan oleh korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dijatuhkan kepada: a. Korporasi saja; b. Korporasi dan pengurusnya; dan c. Pengurusnya saja. 3. Korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh orang / atau orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersamasama tidak hanya berdasarkan hubungan kerja, tetapi juga atas dasar hubungan lain. Korporasi sudah dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh orang/atau orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama apabila dapat dibuktikan adanya hubungan kerja atau hubungan lain.

60

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

4. Jenis pidana yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda yaitu paling banyak satu triliun rupiah. Namun demikian korporasi juga dapat dibekukan atau dicabut aya izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. 61 Perkembangan

korporasi

sebagai

subyek

hokum

dan

dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana, dapat ditelusuri melalui tahap-tahap: 1. Tahap pertama Pada tahap ini hokum pidana tidak mengenal korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini karena penolakan terhadap “collective responsibility” yang sewenang-wenang sebelum revolusi Prancis tahun 1789, sehingga muncullah maxim “societas delinquere non potest” (badan hokum/perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana). 2. Tahap kedua Pada tahap ini korporasi sudah dikenal sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini karena pengaruh konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap). Namun pada tahap ini, meskipun korporasi dapat melakukan tindak pidana , tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah anggota pengurus, asal dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan itu.

3. Tahap ketiga 61

Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia menghadang terorisme sebuah kritik atas kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 120.

Universitas Sumatera Utara

Tahap

ini

merupakan

perkembangan

dari

tahap

ketiga.

Permintaan

pertanggungjawaban disamping dapat dikenakan kepada pengurus, juga dapat secara langsung kepada korporasi yang bersangkutan.

62

Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana paling tidak kita kenal 3 (tiga) teori pertanggungjawaban pidana yaitu: 1. Liability based on fault atau kalau dalam hukum pidana geen straf zonder schuld

yang

Bahwasanya

merupakan dalam

teori

teori

pertanggungjawaban

pertanggungjawaban

pidana

yang

tradisional.

tersebut

harus

diisyaratkan adanya kesalahan atau fault atau negligence atau schuld untuk dapat dipertanggungjawabkannya kepada seseorang. Tetapi harus diingat pula terlebih dahulu orang yang bersangkutan harus dinyatakan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum yang berkaitan dengan kejahatan terorisme (memenuhi unsue-unsur tindak pidana terorisme). Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa untuk adanya strafvorusset zungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana) lalu sesudahnya dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat. Liability based on fault hanya dapat dikenakan kepada orang dan tidak dapat dikenakan kepada korporasi. strict liability dan vicarious liability.

2. Strict liability (pertanggungjawaban langsung)

62

Ali Masyhar, 2009, Op. Cit, hlm. 120-122.

Universitas Sumatera Utara

Mengenai teori pertanggungjawaban strict liability Curzon dalam bukunya Criminal Law menyatakan bahwa penerapan strict liability bagi korporasi didasarkan pada 3 (tiga) hal yaitu: a. Sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat; b. Pembuktian adanya unsure mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat; dan c. Tingginya tingkat bahaya social yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan. 3. Vicarious liability diartikan sebagai tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain dalam arti suatu perusahaan / korporasi dapat bertanggungjawab untuk membayar ganti kerugian yang disebabkan karena perbuatan anggota korporasi yang bertindak atas nama korporasi, makna korporasi tersebut yang membayar beban denda yang sebab anggota tersebut tidak akan mampu untuk membayar jumlah yang sanagat banyak dalam tindak pidana terorisme denda paling banyak adalah satu triliun rupiah. Oleh karea itu, pembayaran ganti rugi dibebankan pada perusahaan/korporasi. Dalam hal ini, Vicarious liability hanya dibebankan pada tuntutan ganti rugi bukan berupa pidana penjara. Untuk menerapkan Vicarious liability perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a. Bentuk pelanggaran tidak terlalu berat;

Universitas Sumatera Utara

b. Hanya diperbolehkan untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda atau sanksi perdata dan bukan berupa pidana penjara; c. Dapat diperkirakan adanya kesalahan akan tetapi sulit untuk dibuktikan.

63

3.Sanksi Pidana Pidana dan tindakan (maatregel) tertmasuk sanksi dalam hukum pidana. Undang-undang KUHP tidak menyebut istilah maatregel (tindakan). Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, dan menyerahkan kepada orang tua (Pasal 45 dan 46 KUHP).

64

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Hokum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hokum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum pidana lainnya. 65

Jenis pidana teercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang (Pasal 103 KUHP). Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok 63

Ibid. Andi Hamzah, loc. Cit. 65 Mohammad Ekaputra, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya menurut konsep KUHP baru, 2010, USU Press, Medan, hlm. 1-2. 64

Universitas Sumatera Utara

dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.

Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok

1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Sebagaimana telah disebutkan, Pasal 10 KUHP membedakan pidana atas pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut: 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperative), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.

Universitas Sumatera Utara

Sifat imperative ini sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana, dimana dalam rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu: a.diancamkan satu jenis pidana pokok saja (artinya hakim tidak bias menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain); dan b.tindak pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok, dimana sifatnya adalah alternative, artinya hakim harus memilih salah satu saja (misalnya: pasal 362, 364, 340 KUHP). 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok.

3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hokum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie). 66

Salah satu pidana pokok yang paling utama dalam KUHP Indonesia adalah pidana mati. Pidana mati seolah menjadi sanksi idola yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Dewasa ini terjadi diskursus mengenai masih perlu tidaknya pencantuman pidana mati dalam hukum pidana. Ada beberapa Negara yang telah mencabut pidana mati dalam system hukum pidananya antara lain Venezuela,

66

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Columbia, Rumania, Brazilia, Costarica, Uruguay, Chili, Denmark dan bahkan Belanda juga telah mencabut pidana mati dalam WvS-nya. 67

Hal ini merupakan konsekuensi dari pemikiran bahwa tujuan pidana adalah untuk meresosialisasikan si terpidana kepada masyarakat. Terpidana pada saatnya nanti akan dikembalikan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat untuk menjadi individu yang baik. Dalam konteks yang lebih jauh, bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah sebagai perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan social. Pencantuman pidana mati dianggap seolah memiliki standar ganda, karena lebih ditekankan pada sisi pembalasan, si terpidana tidak diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali ke masyarakat.

Pendapat yang dapat dikatagorikan masih menganggap perlunya sanksi pidana digunakan dalam penanggulangan kejahatan dikemukakan banyak ahli, antara lain Roeslan Saleh. Roeslan Saleh mengemukakan 3 alasan perihal masih perlunya pidan dan hukum pidana yaitu:

1. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi tujuan itu boleh menggunakan paksaan; 2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum, dan dismaping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja;

67

Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme sebuah kritis atas kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di indoensia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 129.

Universitas Sumatera Utara

3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si pembuat, tetapi juga untuk mempengarui orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat. Konsep KUHP merumuskan ketentuan jenis pidana sebagai berikut: 68

Pasal 65

(1) Pidana pokok terdiri atas:

a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda e. Pidana kerja social.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.

Pasal 66

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternative.

Pasal 67 68

Ali Masyhar, op. cit., hlm. 132.

Universitas Sumatera Utara

(1) Pidana tambahan terdiri atas:

a. Pencabutan hak tertentu; b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. Pengumuman putusan hakim; d. Pembayaran ganti kerugian; dan e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.

(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. (3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

69

Setelah membahas jenis-jenis pidana yang dirumuskan dalam KUHP dan konsep KUHP, selanjutnya dibahas mengenai jenis pidana yang terumus dalam Undang-undang Terorisme.

69

Ali Masyhar, op. cit., hlm. 133.

Universitas Sumatera Utara

Undang-undang Terorisme pada prinsipnya mengikuti jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP, namun pidana tutupan tidak dirumuskan sebagai ancaman dalam undang-undang terorisme. Disamping itu, tindak pidana terorisme dianggap sebagai tindak pidana yang berat bahkan tidak disepadankan dengan tindak pidana biasa. Bahkan banyak dari pasal-pasalnya yang mengancam dengan pidana mati.

Ancaman pidana mati tersebut terumus dalam pasal-pasal sebagai berikut:

1. Pasal 6 (menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror dan korban bersifat missal); 2. Pasal 8 (kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan); 3. Pasal 9 (berkaitan dengan senjata api untuk melakukan tindak pidana terorisme); 4. Pasal 10 (menggunakan senjata kimia dan komponennya untuk menimbulkan terorisme); 5. Pasal 14 (merencanakan/menggerakkan orang lain untuk melakukan terorisme); 6. Pasal 15 (permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan terhadap tindak pidana terorisme). 70

Menurut E. Utrech, hukum penitensier merupakan sebagian dari hukum positif, yaitu bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi itu, lamanya sanksi itu dirasakan oleh pelanggar dan cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan. Sanksi hukuman maupun tindakan merupakan satu system dan system inilah yang dipelajari oleh (ilmu) hukum penitensier. Menurut Ilmu 70

Ali Masyhar, op. cit., hlm. 137.

Universitas Sumatera Utara

Pengetahuan Hukum Pidana, ada beberapa jenis system perumusan sanksi pidana (strafsoort), yaitu: a. System Perumusan Tunggal/Imperatif

System perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat tunggal/imperative adalah system perumusan dimana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Untuk itu, system perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara, kurungan dan pidana denda.

Menurut Barda Nawawi Arief, ada kelemahan yang utama apabila rumusan tunggal tersebut berupa pidana penjara. Diantara kelemahan dimaksud adalah: a. System perumusan tunggal merupakan warisan peninggalan aliran klasik yang ingin mengobyektifkan hukum pidana dan sangat membatasi kebebasan hakim dalam memilih dan menetapkan jenis pidana; b. Tidak seiring dengan konsep system pemasyarakatan di Indonesia; c. Kurang menunjang kecenderungan dewasa ini yang mengembangkan kebijakan yang selektif dan limitative dalam penggunaan pidana penjara. 71

Walaupun mempunyai kelemahan utama, bukan berarti system perumusan tunggal tidak dapat diterapkan. Apabila system ini tetap digunakan, untuk menghindari sifat kaku harus ada pedoman bagi hakim dalam menerapkan

71

Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Pidana Perspektif Te oritis dan Praktis, P.T Alumni, Bandung, hlm. 293.

Universitas Sumatera Utara

system perumusan tunggal itu menjadi lebih fleksibel, lunak dan elastis. Konkretnya, adanya keleluasan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara yang ditetapkan secara tunggal tersebut. Di dalam KUHP dikenal system perumusan tunggal berupa pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. System perumusan tunggal yang hanya diancam dengan pidana penjara merupakan bentuk perumusan yang paling banyak digunakan yaitu sejumlah 395 kejahatan atau sekitar 67,29%. Sedangkan, untuk tindak pidana diluar KUHP, system perumusan tunggal yang memuat ancaman pidana penjara sekitar 20,37%. Bagaimanakah konsep RUU KUHP Tahun 2006 mengambil sikap terhadap system perumusan tunggal? Pada dasarnya, konsep RUU KUHP tetap mengakui eksistensi perumusan ini, seperti terlihat pada Buku Kedua tentang Tindak Pidana. Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, Pasal 212-218 untuk pidana penjara dan pasal 219 untuk pidana denda. Akan tetapi, terhadap kebijakan aplikatif system perumusan tunggal ini. Namun konsep RUU KUHP telah memberikan pedoman pemidanaan kepada hakim, sehingga konsep mengambil sikap system perumusan tunggal yang diperlunak, yang diformulasikan hasilnya menjadi lebih fleksibel dan elasitas. 72

b. Sistem Perumusan Altenatif System perumusan alternative adalah system dimana pidana penjara dirumuskan secara alternative dengan jenis sanksi pidana lainnya; berdasarkan urutan-urutan jenis snksi pidana dari terberat samapai teringan. Dengan demikian, hakim diberikan kesempatan memilih jenis pidana yang dicantumkan 72

Lilik Mulyadi, op. cit., hlm. 295.

Universitas Sumatera Utara

dalam pasal yang bersangkutan. Pada umumnya, KUHP mengenal system perumusan alternative berupa ancaman pidana penjara dan pidana denda. Menurut Barda Nawawi Arief, kecenderungan dan fakta yang disebabkan ada 2 (dua) aspek yaitu: a. Ancaman pidana denda dalam KUHP pada umumnya relative ringan. Maksimum pidana denda untuk kejahatan berkisar Rp. 900,00 yang dahulunya 60 gulden Rp. 150.000,00. Itupun hanya terdapat dalam dua pasal yaitu pasal 251 dan pasal 403. Ancaman pidana denda yang paling banyak untuk kejahatan adalah sebesar Rp. 4.500,00. b. Perubahan dan peningkatan ancaman pidana denda terhadap beberapa kejahatan dalam KUHP dan terutama yang diluar KUHP, tidak banyak mempuyai arti karena tidak disertai dengan perubahan system keseluruhan pelaksanaan pidana denda. 73 Perumusan system alternative diatur dalam tiga (3) pasal yaitu: a. Pasal 6 Berupa pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun kepada setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan 73

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. b. Pasal 9 Dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun bagi setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan keindonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,mengangkut,

menyembunyikan,

mempergunakan

atau

mengeluarkan ked an/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme. c. Pasal 14 Dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup bagi setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme. 74

Perumusan alternative pada intinya mengandung pengertian bahwa hakim diberi kesempatan untuk memilih jenis pidana yang ditawarkan / dicantumkan dalam pasal yang bersangkutan. Meskipun demikian, kebebasan yang diberikan harus dalam rambu-rambu yaitu:

74

Lilik Mulyadi, op. cit., hlm. 17-18.

Universitas Sumatera Utara

a. Berorientasi pada tujuan pemidanaan; b. Lebih mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan apabila pidana yang lebih ringan tersebut sekiranya telah memenuhi tujuan pemidanaan. 75

Dalam perumusan ini, lamanya sanksi pidana (strafmaat) UU No. 15 Tahun 2003 menganut 2 (dua) system atau pendekatan yaitu: a. System atau Pendekatan Absolut Pendekatan

Absolut

adalah

untuk

setiap

tindak

pidana

ditetapkan

“bobot/kualitas” nya sendiri-sendiri yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat ancaman minimumnya) untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap tindak pidana ini dikenal dengan sebutan “system indefinite” atau “system maksimum” dapat juga disebut dengan system atau pendekatan tradisional, karena selama ini memang biasa digunakan dalam perumusan KUHP berbagai Negara termasuk dalam praktik legislative di Indonesia. 76 System maksimum ini terlihat dari maksimum lamanya pidana kurungan dan pidana denda, dengan adanya perumusan kata-kata paling lama/paling banyak. Pada hakekatnya, aspek ini terlihat pada pasal 18 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2003 yang menentukan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).

75 76

Ibid. Barda Nawawi Arief, loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

Dianutnya system atau pendekatan absolut (system maksimum) mempunyai segi positif dan segi negative. Menurut Collin Howard, segi positif adalah sebagai berikut: a. Dapat menunjukkan tingkat keseriusan masing-masing tindak pidana; b. Memberikan fleksibilitas dan diskresi kepada kekuasaan pemidanaan; c. Melindungi kepentingan si pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batasbatas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan. Menurut Collin Howard, ketiga aspek positif dari system maksimum diatas mengandung aspek perlindungan masyarakat dan individu. Aspek perlindungan masyarakat terlihat dengan ditetapkannya ukuran objektif berupa maksimum pidana sebagai symbol kualitas norma-norma sentral masyarakat yang terkandung dalam perumusan delik bersangkutan. Aspek perlindungan individu terlihat dengan diberikannya kebebasan kepada hakim untuk memilih lamanya pidana dalam batasbatas minimum dan maksimum yang telah ditetapkan. Sedangkan segi negative system maksimum adalah: System maksimum akan membawa konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum khusus untuk tiap tindak pidana. Dalam setiap proses kriminalisasi pembuat undang-undang selalu dihadapkan pada masalah pemberian

bobot

dengan

menetapkan

kualifikasi

ancaman

pidana

maksimumnya. Menetapkan maksimum pidana untuk menunjukkan tingkat keseriusan atas suatu tindak pidana, bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai urutan-

Universitas Sumatera Utara

urutan tingkat atau gradasi nilai dari norma-norma sentral masyarakat dan kepentingan-kepentingan hukum yang akan dilindungi, menentukan gradasi nilai dan kepentingan hukum yang akan dilindungi itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. 77 b. System atau pendekatan relative System atau pendekatan relative ialah bahwa untuk tiap tindak pidana tidak ditetapkan bobot/kualitas (maksimum pidana) nya sendiri-sendiri, tetapi bobotnya di “relative” kan yaitu dengan melakukan penggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana itu. UU No. 15 Tahun 2003 pada sanksi pidananya (strafmaat) juga menganut system determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan maksimumnya lamanya ancaman pidananya. Aspek ini terlihat dalam 10 buah pasal UU No. 15 Tahun 2003 yaitu pasal 6, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 20, pasal 21, pasal 22. Apabila dirinci ketentuan sanksi pidana (strafmaat) UU No. 15 Tahun 2003 dengan system determinate sentence bervariasi sebagai berikut: a. Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun (pasal 22); b. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun (pasal 11, 12, 13, 20, 21);

77

Ibid., hlm. 311.

Universitas Sumatera Utara

c. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun (pasal 9); d. Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun (pasal 6, 8, 10).

Berdasarkan identifikasi tersebut diatas, berarti Undang-undang Terorisme menganut 2 (dua) system perumusan yaitu:

1. Perumusan tunggal (hanya diancam dengan satu pidana pokok); dan 2. Perumusan alternative. 78

BAB III

78

Ali Masyhar, op. cit., hlm. 139.

Universitas Sumatera Utara

Suggest Documents