Pada jaman dulu Kota Denpasar penuh dengan alun-alun, tenda-tenda, kereta-
... desa maupun sejenisnya, masih berkelanjutan hingga sekarang. ... musim,
yaitu musim kemarau dengan angin timur antara bulan Juni sampai September,
..... asal, turut mempengaruhi penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi
dalam ...
37 BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA DENPASAR DAN PEMERTAHANAN BAHASA BALI
4.1 Kota Denpasar 4.1.1 Sejarah Kota Denpasar Menurut sejarahnya Kota Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung, yang posisinya terletak di sebelah utara pasar periuk (peken payuk) yang sekarang dikenal dengan nama Pasar Kumbasari. Nama ‘Denpasar’ secara etimologis berasal dari kata den yang berarti di sebelah utara (Tim Penyusun, 1993 : 161) dan pasar berarti tempat berjualan masyarakat baik hasil pertanian maupun barang dagangan sejenisnya. Pada jaman dulu Kota Denpasar penuh dengan alun-alun, tenda-tenda, keretakereta kuda yang dipakai sebagai sarana transportasi masyarakat. Situasinya sangat ramai karena merupakan tempat pertemuan masyarakat dari desa. Lantas orang-orang menyebutnya denpasar. Pasar tradisional terbesar di Denpasar adalah pasar Badung yang berdampingan dengan pasar Seni Kumbasari yang terletak di jalan Gajah Mada. Kedua pasar tersebut kini sudah dipugar dan ditata dengan arsitektur khas Bali. Pasar tersebut merupakan tempat berkumpul ribuan pedagang yang menjual berbagai kebutuhan seperti pangan, pakaian, dan perhiasan-perhiasan tradisional. Keramaian perdagangan kebutuhan harian masyarakat menyebabkan pasar ini dibuka tanpa batas waktu atau 24 jam. Lima ratus meter ke arah timur adalah kawasan Puputan Badung dengan taman kota yang asri. Di sebelah timur Puputan Badung adalah bangunan Pura Jagat Natha yang merupakan tempat para umat Hindu dari berbagai daerah yang tinggal di Kota Denpasar melakukan
38 persembahyangan memuja Ida Sanghyang Widhi yang telah menciptakan segalanya yang ada di dunia ini. Di sebelah selatan Pura Jagat Natha terdapat bangunan museum Bali, sebagai tempat penyimpanan barang yang mempunyai nilai sejarah dan banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun luar negeri. Kawasan inilah yang merupakan pusat Kota Denpasar yang ditata dengan konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana dipahami sebagai tiga penyebab kesejahteraan yang menjadi nilai pembangunan Bali, di antaranya pembangunan yang selaras dengan alam, manusia, dan Tuhan sebagai penguasa alam (Rasmanto, 2004 : 4). Kota Denpasar sebagai tempat aktivitas perdagangan hasil pertanian masyarakat desa maupun sejenisnya, masih berkelanjutan hingga sekarang. Akan tetapi, keadaan dan perkembangannya sebagai tempat jual-beli kebutuhan harian masyarakat, tentu jauh lebih maju sekarang ketimbang keadaan sebelumnya. Kawasan yang ramai tersebut sampai kini menjadi salah satu kota ternama dan terkenal di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini terlukis dengan indah dalam deskripsi Miguel Covarrubias dalam bukunya yang berjudul Island of Bali (1973 : 39). “…the capitals of the princes’ districts, the seats of the regencies, are commercialized half-European, half-Chinese towns like Denpasar and Buleleng; but the true life of Bali is concentrated in thousands of villages and hamlets”. Deskripsi Covarrubias tersebut mengekspresikan perkembangan Kota Denpasar yang selaras dengan perkembangan peradaban masyarakat penghuninya. Denpasar bukan lagi desa atau dusun, pasar tradisional dengan sistem perdagangan sederhana, melainkan berubah menjadi kota megah bagi pemilik modal (investor), pusat pemerintahan, tempat pemasaran dan perdagangan asing seperti hampir sebagian besar negara-negara Eropa dan kota-kota perdagangan China. Kota Denpasar mulanya terdiri dari desa-desa
39 tradisional dengan penduduk dominan beragama Hindu, memiliki akar budaya yang sangat kuat sebagai modal dasar untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan (Profil Kota Denpasar, 2008:iv). Kota Denpasar, selain sebagai pusat perdagangan kebutuhan harian masyarakat, juga merupakan kota sejarah dan kota budaya. Hal ini sangat jelas dalam visi pembangunan Kota Denpasar periode 2005-2010 adalah terciptanya Kota Denpasar berwawasan budaya dengan keharmonisan dalam keseimbangan secara berkelanjutan. Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah untuk menumbuhkembangkan jati diri dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan kebudayaan Bali dan keaarifan lokal, mewujudkan pemerintahan yang baik melalui penegakan supremasi hukum, membangun pelayanan publik dan mempercepat pertumbuhan dan memperkuat ketahanan ekonomi melalui sistem ekonomi kerakyatan (BAPEDA dan BPS Kota Denpasar, 2008 : 1). Kriston Rasmanto dalam bukunya berjudul Back To Bali, ‘ Kembali Berlibur Ke Bali’ (2004:1) mendeskripsikan Denpasar sebagai kota sejarah dan budaya. Denpasar sebagai kota sejarah tampak dalam monumen-monumen perjuangan masyarakat Bali terhadap kaum kolonial, seperti patung pahlawan I Gusti Ngurah Rai, peringatan perang puputan Badung dan Margarana yang diperingati setiap tahun. Kecuali itu, Denpasar juga merupakan kota budaya. Hal ini berupa kekayaan adat, sopan santun dalam berbahasa, serta menampilkan Hindu Bali dalam hidup keseharian, pusat penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diselenggarakan setiap tahun dalam waktu satu bulan. Pada kesempatan ini, masyarakat dari berbagai daerah di Bali maupun daerah Nusantara, bahkan dari luar negeri diberi kesempatan menampilkan kebudayaan dan kekhasan daerahnya masing-masing.
40 Bertitik tolak dari uraian di depan, Kota Denpasar dalam hubungannya dengan penelitian ini, bukanlah merupakan pusat pemerintahan atau kota administratif, melainkan lebih sebagai tempat pertemuan dan interaksi masyarakat dari berbagai latar belakang serta jenis pekerjaan di dalamnya, yang membentuk suatu masyarakat multikultural dan dinamis.
4.1.2 Keadaan Alam Profil Kota Denpasar Tahun 2008 yang diterbitkan oleh BAPEDA dan BPS Kota Denpasar (2008 : 1) memetakan Kota Denpasar secara geografis terletak pada 08º 35’ 31” – 08º 44’ 49” lintang selatan dan 115º 10’ 23” – 115’ 16’ 27” bujur timur. Luas wilayah 227, 78 km2 atau 22. 778 Ha atau sekitar 2,27% dari luas pulau Bali. Luas wilayah tersebut menurut jenis penggunaan lahan meliputi lahan sawah 2. 717 Ha dan lahan kering 10,051 Ha. Tanah kering terdiri dari tanah pekarangan 7,832 Ha, tanah tegalan 396 Ha, tanah yang belum diusahakan 166 Ha. Hutan Negara 538 Ha, hutan rakyat 75 ha, perkebunan 35 Ha, rawa-rawa 10 Ha, tanah lain-lain 1.175 Ha. Penggunaan lahan di Kota Denpasar sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan sawah irigasi (21,26%), lahan kering (78,66%), dan lahan lainnya (0,08%). Luas kawasan rakyat sebesar 0,59% yang ditanami tanaman Tanaman Hutan Rakyat terdiri dari hutan bakau (mangrove) yang berfungsi sebagai hutan pencegah abrasi, terletak di kawasan Suwung, Benoa, dan Serangan. Topografi dan iklim wilayah Kota Denpasar sebagian besar merupakan dataran, dan secara umum miring kearah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75m di atas permukaan laut, dataran pantai dengan kemiringan lahan berkisar 0-5%, di bagian tepi
41 kemiringannya bisa mencapai 15%. Panjang pantai kurang lebih 11 km, berupa perairan laut pantai Padang Galak dan Pantai Sanur serta pantai pulau Serangan. Rata-rata suhu maksimum berkisar antara 30,2ºC – 34,2ºC dan rata-rata suhu minimum berkisar antara 20,8ºC – 26,2ºC. Temperatur tertinggi terjadi pada bulan November dan terendah pada bulan Juli dengan rata-rata kelembaban udara antara 74% hingga 80%, kecepatan angin 8 knot. Wilayah Kota Denpasar secara umum beriklim laut tropis yang dipengaruhi angin musim, yaitu musim kemarau dengan angin timur antara bulan Juni sampai September, dan musim hujan dengan angin barat antara bulan September sampai Maret dan diselingi musim pancaroba, dengan curah hujan berkisar antara 0 – 466 mm, dan curah hujan yang paling tinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 466 mm. Transportasi dan komunikasi dapat dirinci sebagai berikut. Panjang jalan negara 44,78 km, panjang jalan provinsi 46,68 km, panjang jalan kota 541,81 km. Kondisi jalan kota tersebut 535,72 km beraspal dan
sisanya belum beraspal dan sisanya belum
beraspal. Jumlah panjang jalan seluruhnya 633,23 km, persentase 8,99%. Panjang jembatan 1.755,30 m, yang terdiri dari 129 buah jembatan. Banyaknya perusahaan angkutan 27, bus umum 202 dengan daya angkut 6.060 orang. Bidang komunikasi, Kota Denpasar telah menjadi pusat pengembangan usaha teknologi informasi baik yang dilaksanakan oleh BUMN maupun dunia usaha. Arus globalisasi informasi telah menciptakan berbagai sarana komunikasi tertulis maupun lisan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Sarana komunikasi dapat dirinci sebagai berikut. Kapasitas telepon 102.270 unit, telekom seluler (Fleksi) 250.462 unit. Stasiun siaran TV pemerintah 1 dan TV swasta 1, radio pemerintah 1 dan radio swasta 13.
42 Banyaknya oplah penerbitan pers terdiri dari pernerbitan BITD dan penerbitan pers. Penerbitan BITD terdiri dari Buku Pusat Pelayanan Informasi 2.000 eksemplar, Tabloid Surya Provinsi Bali 12.000 eksemplar, Bulletin Informasi 4.000 eksemplar, Bulletin khusus 2.400 eksemplar, News Letter 9.000 eksemplar, Klipping Pers 840 eksemplar. Penerbitan pers terdiri dari Bali Post 127.359 eksemplar, Harian Nusa Bali 86.000 eksemplar, Denpost (Denpasar Post) 45.000 eksemplar, Koran Pak Oles 220.000 eksemplar, Radar Bali 25.000 eksemplar, Koran Mingguan Tokoh 119.462 eksemplar, Tabloid Bali Age 5.000 eksemplar, Tabloid Manggala 1.500 eksemplar, Bali Advertiser (2 Mingguan) 15.000 eksemplar, Tabloid Lintang 25.000 eksemplar, Koran Bisnis Bali 20.000 eksemplar, PT. Bali Post 50.000 eksemplar, Varia PKK Prov. Bali 1.000 eksemplar, Mingguan Paswara 1.200
eksemplar, Bali Fils (Bulanan) 2.000 eksemplar
(Data Bali Membangun, 2007 : 11-5 – 11-7). Jenis sarana komunikasi Kota Denpasar yang diutarakan tadi sangat beragam dan jumlah oplah penerbitan banyak. Keberagaman jenis sarana komunikasi serta jumlah oplah yang tinggi mengindikasikan bahwa masyarakat Kota Denpasar merupakan masyarakat yang cepat dan kaya informasi. Hal ini berarti bahwa Kota Denpasar merupakan tempat sumber informasi bagi masyarakat dari berbagai media. Jenis dan jumlah media informasi yang ada di Kota Denpasar secara rinci dan ringkas dibuat dalam bentuk tabel. Daftar rincian tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1 seperti di bawah ini.
43 Tabel 4.1 Jumlah Sarana Informasi di Kota Denpasar No. Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Jumlah
Jenis Sarana Komunikasi Kapasitas Telepon Telekom seluler (Fleksi) Stasiun siaran TV Stasiun siaran radio Penerbitan Buku Pusat Pelayanan Informasi Tabloid Surya Provinsi Bali Bulletin Informasi Bulletin Khusus News Letter Kliping Pers Bali Post Harian Nusa Bali Denpasar Post (Denpost) Koran Pak Oles Radar Bali Koran Mingguan Tokoh Tabloid Bali Age Tabloid Manggala Bali Advertiser (Dua Mingguan) Tabloid Lintang Koran Bisnis Bali PT. Bali Post Varia PKK Provinsi Bali Mingguan Paswara Bali Files (Bulanan) 25 jenis sarana Informasi
Jumlah Satuan 102.270 unit 250.462 unit 2 unit 14 unit 2.000 eksemplar 12.000 eksemplar 4.000 eksemplar 2.400 eksemplar 9.000 eksemplar 840 eksemplar 127.359 eksemplar 86.000 eksemplar 45.000 eksemplar 220.000 eksemplar 25.000 eksemplar 119.462 eksemplar 5.000 eksemplar 1.500 eksemplar 15.000 eksemplar 25.000 eksemplar 20.000 eksemplar 50.000 eksemplar 1.000 eksemplar 1.200 eksemplar 2.000 eksemplar 352.748 unit + 818.761 eks. = 1.171. 509
Sumber : Data Bali Membangun (2007 : 11-5 – 11-7) Dari tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa sarana komunikasi berupa media elektronik yang tertinggi adalah telekom seluler (fleksi) dengan jumlah 250.462 unit, dan terendah adalah stasiun siaran TV. Kemudian, sarana komunikasi berupa media cetak tertinggi adalah Bali Post dengan oplah penerbitan mencapai 127.359 eksemplar dan terendah adalah Varia PKK Provinsi Bali yang berjumlah 1.000 eksemplar. Keseluruhan sarana informasi yang ada di Kota Denpasar adalah 1.171.509. jumlah sarana tersebut sangat memengaruhi laju arus globalisasi informasi di Kota Denpasar.
44 Kota Denpasar terdiri dari empat kecamatan yaitu Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Utara. Ada 43 Desa/Kelurahan meliputi 399 Banjar Dinas dan 386 Banjar Adat. Batas-batas wilayah Kota Denpasar sebagai berikut. Batas Timur Kabupaten Gianyar, Batas Selatan Samudra Hindia, Batas Barat Kabupaten Badung, Batas Utara Kabupaten Badung.
4.1.3 Demografi Jumlah penduduk yang meningkat, jika diimbangi dengan kualitas SDM yang memadai, dapat mempercepat laju pembangunan di suatu daerah. Akan tetapi, hal tersebut menjadi masalah hidup perkotaan, bahkan dapat menghambat laju pembangunan jika pertambahan penduduk tidak diimbangi kualitas SDM, serta laju pertumbuhan yang tidak terkendali BAPEDA dan BPS Kota Denpasar dalam buku yang berjudul Profil Kota Denpasar Tahun 2008 (2008 : 8-10), jumlah penduduk Kota Denpasar tahun 2007 mencapai 608.595 jiwa atau rata-rata mengalami pertumbuhan per tahun sebesar 4,28%. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari laki-laki 308.664 jiwa (50,72%) dan penduduk perempuan 29.931 jiwa (49,28%). Kepadatan penduduk tahun 2006 mencapai 4.567 jiwa/km2, tahun 2007 meningkat menjadi 4.763 jiwa/km2 dan merupakan kepadatan penduduk tertinggi di Bali. Laju pertumbuhan penduduk selama tahun 2007 adalah 4,28%. Sebaran struktur umur penduduk adalah 145.591 jiwa, usia muda (23,92%) serta 444.925 jiwa, usia produktif (73,11%) dan usia lanjut 18.079 jiwa (2,97%). Pertumbuhan penduduk usia produktif jika tidak diimbangi dengan peningkatan ketrampilan akan dapat menambah beban ketergantungan. Tahun 2007 angka
45 ketergantungan sebesar 36,79%. Penduduk WNI (Warga Negara Indonesia) laki-laki 241.380 jiwa, perempuan 224.838 jiwa. Lain-lain laki-laki 192 jiwa, permpuan 124 jiwa. Demografi dalam arti jumlah, kepadatan, dan laju pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar dari tahun 2003-2007 seperti yang telah dipaparkan di atas, secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut. Tabel 4.2 Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Denpasar N o 1 1
2 3
Indikator
Satuan 2003
2004
Tahun 2005
2006
2007
7 583.60 0 295.18 3 288.41 7 4.567
8 608.595
1,50
4,28
2 Jumlah Penduduk
3 Jiwa
4 585.150
5 562.907
a. Laki-laki
Jiwa
279.339
585.943
b.Perempuan
Jiwa
305.811
276.964
Kepadatan Penduduk Laju Pertumbuhan
Jiwa/km2 4.579
4.405
6 574.95 5 292.08 7 282.86 8 4.500
%
-3,80
2,13
4,15
308.664 299.931 4.763
Sumber: BAPEDA dan BPS Kota Denpasar (2008:9) Dari tabel 4.2 sangat jelas menggambarkan bahwa jumlah penduduk Kota Denpasar dari tahun 2003-2007 menunjukkan kecenderungan meningkat. Jumlah penduduk tahun 2003 adalah 585.150 jiwa dan meningkat menjadi 608.595 tahun 2007. Jumlah penduduk laki-laki tahun 2003 adalah 279.339 jiwa dan meningkat menjadi 308.664 tahun 2007. Hanya jumlah penduduk perempuan yang cenderung menurun, yaitu tahun 2003 adalah 305.811 dan tahun 2007 berjumlah 299.931 jiwa. Kepadatan penduduk tahun 2003 menunjukkan 4.579 jiwa per kilometer persegi, meningkat menjadi 4.763 jiwa per kilometer persegi tahun 2007. Demikian juga laju pertumbuhan penduduk, 4,15% tahun 2003 meningkat menjadi 4,28% tahun 2007.
46 Kemudian, jumlah penduduk menurut kelompok umur dan angka ketergantungan penduduk Kota Denpasar tahun 2003-2007 secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Angka Ketergantungan Penduduk Kota Denpasar Tahun 2003-2007 No
Kelompok Umur
1 1 2 3 4
2 0-14 15-17 65+ Angka Ketergantungan
2003 3 148.779 421.471 14.900 38,84
2004 4 141.827 405.064 16.016 38,97
Tahun 2005 5 145.253 413.070 16.632 39,19
2006 6 140.894 425.937 16.769 37,02
2007 7 145.591 444.925 18.079 36,79
Sumber:BAPEDA dan BPS Kota Denpasar (2008:10) Tabel 4.3 menunjukkan bahwa penduduk usia kerja yaitu 15-67 tahun pada 2007 di Kota Denpasar menduduki jumlah tertinggi dengan angka tergantungan penduduk sedikit menurun. Hal itu berarti pertumbuhan penduduk usia produktif tinggi diimbangi dengan peningkatan ketrampilan sehingga mengurangi beban ketergantungan penduduk.
4.1.4 Mata Pencaharian Penduduk Aktivitas masyarakat perkotaan cenderung meningkat yang membutuhkan berbagai pelayanan, seperti jasa, perdagangan, perbankan serta jasa perusahaan. Hal tersebut telah menjadikan sektor tersier (bidang pelayanan jasa) sebagai lapangan usaha yang banyak dipilih masyarakat perkotaan dalam upaya mempertahankan ekonomi keluarga. Jenis mata pencaharian masyarakat Kota Denpasar dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.
47 Tabel 4.4 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Kota Denpasar Tahun 2008 No
Klasifikasi
Persentase (%)
1
Pertanian
2,32
2
Penggalian
0,08
3
Industri
12,86
4
Listrik, Gas dan Air Minum
0,56
5
Bangunan/Konstruksi
6,31
6
Perdagangan, Hotel, dan Restaurant
38,42
7
Angkutan dan Komunikasi
6,15
8
Keuangan
6,31
9
Jasa-jasa
26,84
10
Lain-lain
0,16
Sumber:BPS Kota Denpasar (2008 : 42) Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel, dan restaurant merupakan jenis mata pencaharian yang dominan dalam masyarakat Kota Denpasar, yaitu 38,42%. Jenis mata pencaharian yang dominan berikutnya adalah jasa-jasa, yaitu 26, 84%, diikuti oleh industri 12,86%, bangunan/konstruksi dan dan keuangan 6,31%, angkutan dan komunikasi 6,15%, pertanian 2,32%, listrik, gas dan air minum 0,56%, lain-lain 0,16% dan penggalian 0,08%. Bertitik tolak dari uraian di atas tampak bahwa adanya peralihan fungsi lahan yaitu dari pertanian beralih menjadi industri, jasa, konstruksi/bangunan yang sangat menarik minat masyarakat Kota Denpasar untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Derasnya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan kering, serta tingginya arus urban yang datang ke
48 Kota Denpasar, menyebabkan masyarakat Kota Denpasar termotivasi dalam usaha pelayanan jasa-jasa untuk menopang kehidupan keluarga.
4.2 Masyarakat Kota Denpasar Laju urbanisasi yang semakin meningkat merupakan pemicu timbulnya keragaman budaya di Kota Denpasar. Urban yang datang dari berbagai daerah asal dengan latar belakang adat istiadat, bahasa, suku, agama, yang berbedada-beda, sehingga membentuk satu kesatuan masyarakat yang multikultural. Keragaman latar belakang urban tadi, mewarnai keragaman budaya masyarakat Kota Denpasar. Keragaman seperti kondisi sosial budaya, etnis, agama, sistem kekerabatan, dan bahasa dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut.
4.2.1 Kondisi Sosial Budaya Dalam kehidupan sehari-hari orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan dan setiap orang tak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Oleh karena manusia sebagai anggota masyarakat tidak menyampingkan kebudayaan dengan begitu saja karena kehidupan nyata
keduanya tak dapat dipisahkan dan selamanya
merupakan dwi tunggal. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dengan demikian tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Di dalam pengertiaan sehari-hari istilah kebudayaan yang dikemukakan Soekanto (1999 : 1880) sering diartikan sama dengan kesenian terutama seni suara dan seni tari,
49 namun apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial maka kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1974: 113) mengatakan bahwa kebudayaan sebagai ilmu hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa masyarakat Kota Denpasar adalah masyarakat yang majemuk (heterogenitas) dengan berbagai ragam kebudayaan di dalamnya meliputi berbagai suku, agama, bahasa, dan etnis. Di balik keberagaman yang ada, berkembang budaya yang dilandasi oleh agama Hindu. Hal tersebut menandakan bahawa penduduk Kota Denpasar mayoritas memeluk agama Hindu (Selayang Pandang Kota Denpasar, 2008 : 35). Agama Hindu melandasi adat dan budaya masyarakatnya. Namun dalam legitimasinya keragaman budaya yang ada dalam masyarakat Kota Denpasar baik individu maupun kelompok dari berbagai etnis bisa bergabung dalam masyarakat, terlibat dalam cocietal cohesion tanpa harus kehilangan identitas etnik dan budaya mereka, sekaligus tetap memperoleh hak-hak mereka untuk berpatisipasi penuh dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat. Setiap bidang kegiatan diwadahi oleh kelembagaan masyarakat yang dikenal dengan sistem kelembagaan adat. Sistem kelembagaan adat yang masih berlaku sampai saat ini antara lain lembaga desa adat, banjar adat, subak, sekaa. Sistem kelembagaan ini masih ada dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari semua lapisan masyarakat yang beragama Hindu di Kota Denpasar. Jumlah lembaga adat di Kota Denpasar saat ini ada
50 35 Desa Adat serta didukung oleh 352 Banjar Adat (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Denpasar, 2005-2010 : III-5). Dalam Desa Adat terdapat komponen-komponen seperti sekaa teruna, sekaa subak, sekaa kesenian dalam berbagai jenis seperti kesenian gong, arja, wayang, sastra daerah, dll.
4.2.2 Etnis Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang terbuka dalam menerima kehadiran etnis lain. Hubungan antara Bali dengan masyarakat luar, baik melalui hubungan politik maupun ekonomi dan perdagangan pada masa lampau telah menjadikan masyarakat Bali sebagai masyarakat multietnis. Ini menyebabkan masyarakat Bali saat ini bukan lagi masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang heterogen. Realitas heterogenitas tersebut merambah hampir semua lini kehidupan masyarakat, meliputi bidang ekonomi, agama, budaya, dan bahasa. Burhanuddin (2008:39-40) mengatakan bahwa heterogenitas tersebut terjadi ketika pulau ini menjadi pusat perdagangan hasil-hasil bumi dan budak, telah membuat Bali beragam secara etnis, agama, bahasa, dan juga budaya. Bentangan sejarah cikal bakal munculnya etnis lain di Bali, seperti suku Cina, Arab, Bugis, Jawa, dan Madura adalah melalui jalur perdagangan. Burhanuddin (2008 : 21) mendeskripsikan latar historis pembauran etnis di Bali. Perdagangan adalah jalur pertama munculnya kontak antara orang-orang Bali dengan suku-suku lain dari daerah lain luar Bali. Hal tersebut didukung oleh kenyataan adanya orang-orang sunantara yang menetap di Bali sejak abad XVII. Wong sunantara termasuk di dalamnya adalah orang-orang Bugis, Cina, dan Arab. Orang Bugis datang dari Makasar karena terjadi perang antara
51 kerajaan Sulawesi Selatan, bersamaan dengan datangnya Belanda (VOC) yang bersekutu dengan Raja Aru Palaka dari Bone untuk mengalahkan Makasar. Lain halnya dengan orang-orang Cina sudah ada di Bali sebelum kedatangan Belanda. Hal tersebut juga melalui jalur perdagangan, yang dibuktikan oleh adanya barang-barang dagangan dari Cina misalnya mangkok, piring, guci dan alat tukar berupa uang kepeng (Burhanuddin, 2008 : 23). Orang-orang Cina awalnya mendiami pelabuhanpelabuhan seperti Tuban, Benoa, Serangan, Sanur, Pabean, Temukus, Jembrana, Tabanan Mereka mulanya beragama Confusius, Budha, dan Taoisme. Dengan demikian, sejak saat itu tampak adanya identitas yang berbeda antara etnis dari luar Bali dengan orang-orang Bali. Banyaknya wisatawan Manca Negara yang datang langsung ke Kota Denpasar tahun 2007 dapat dirinci sebagai berikut. Asia pasifik 49.239 (49,73%), Eropa 65.007 (40,80%), Amerika 8.011 (5,03%), Timur Tengah 150 (0,09%), ASEAN 6.741 (4,23%), Afrika 165 (0,105%), lainnya 35 (0,02%), jumlah seluruhnya 129.348. Domestik yang datang langsung ke Kota Denpasar selama tahun 2007 adalah 86.022. Pariwisata tahun 2007 kunjungan wisatwan asing meningkat sekitar 12,95%, kunjungan wisatawan domestik menurun yaitu 22,27% dibanding dengan tahun sebelumnya. Kunjungan wisatawan asing masih di dominasi oleh wisatawan dari negara-negara Eropa (50,25%), diikuti oleh wisatawan dari negara-negara Asia-Pasifik (38,07%) (Anonim, 2008:20). Jumlah wisatawan asing dan domestik yang datang langsung ke Kota Denpasar tahun 2007 dapat dilihat pada tabel 4.5 seperti berikut ini.
52 Tabel 4.5 Jumlah Wisatawan yang Datang Langsung Ke Kota Denpasar Tahun 2007 No 1
Negara Asal Jumlah Asing 129.348 a. Asia Pasifik 49.239 b.Eropa 65.007 c. Amerika 8.011 d. Timur Tengah 150 e.Asean 6.741 f. Afrika 165 g. Lainnya 35 2 Domestik 86.022 Sumber: BAPPEDA dan BPS Kota Denpasar (2008:20)
Presentase (%) 77,73% 26,83% 40,80% 5,03% 0,09% 4,23% 0,10% 0,02% 22,27%
Tabel 4.5 menggambarkan bahwa wisatawan yang datang langsung ke Kota Denpasar didominasi oleh wisatawan asing yaitu 77,73%, dan jumlah tertinggi adalah wisatawan yang berasal dari kawasan Asia Pasifik yaitu 40,80%. Kemudian wisatawan domestik 22.27% menduduki urutan ketiga dari seluruh wisawatan yang datang langsung ke Kota Denpasar selama tahun 2007. Meskipun etnis Bali (beragama Hindu) merupakan kelompok etnis dominan, tetapi dalam kenyataannya memberikan ruang gerak dan kebebasan kepada etnis lain sebagai etnis minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa persaudaraan yang terjadi antaretnis yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal budaya Bali. Seperti adanya perilaku yang sopan dalam berbahasa antara etnis non-Bali dengan etnis Bali. Hal tersebut penulis lihat secara langsung ketika penulis berbelanja di toko Prima Jaya jalan Gajah Mada Denpasar. Di bawah ini dikutip dialognya dalam situasi berbelanja. Penulis selaku pembeli dan Cik Liong yang beretnis Cina adalah penjual. “Pembeli :”Ada tremos yuk ? Penjual :Tremos apa? Pembeli :Tempat air panas. Pennjual :Ini barangnya. Pembeli :Berapa harganya.
53 Penjual :Satak telung benang tali. (Dua ratus tujuh puluh lima ribu). Pembeli :Tidak bisa kurang? Penjual :Satak pitung dasa manten. Barang menekang terus ajine, yen ibu ten kayun ngambil aji munika mangkin, benjang manten menekang malih. (Dua ratus tujuh puluh saja. Harga barang naik terus, kalau ibu tidak mau mengambil dengan harga sekian sekarang, besok naik lagi harganya). Pembeli :Icen satak seket ngih?. (Kasi dua ratus lima puluh, ya)? Penjual :Ten. Barange, niki manten kari malih asiki. Telah niki, benjang tiang numbas malih ten sampun polih lamun hargane jani. (Tidak. Barangnya, tinggal ini saja lagi satu. Habis ini, besok saya beli tidak dapat saya harganya seperti sekarang)”. Kutipan dialog di atas menunjukkan bahwa etnis minoritas diberikan kebebasan dalam mengembangkan kebudayaannya, akan tetapi tetap menyesuaikan diri dengan budaya Bali. Perkembangan dan keramaian Kota Denpasar sebagai sentral aktivitas kepariwisataan,
mobilitas
peduduk,
pusat kegiatan
ekonomi,
dan
pendidikan,
berpengaruh langsung terhadap keberagaman etnis masyarakat. Kedatangan etnis lain di Bali baik yang tetap mempertahankan identitas kelompoknya maupun yang mengadopsi kebudayaan Bali dapat beradaptasi dan berintegrasi dalam kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas. Dengan demikian hubungan antaretnis menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas manusia Bali, baik secara individu maupun kolektif, yakni manusia Bali yang mempunyai sifat permisif dan toleran terhadap agama dan kebudayaan lain serta mampu hidup bersama dalam keragaman dan keberagaman.
4.2.3 Agama Menurut Yulius (1980 : 4) agama adalah kepercayaan kepada Tuhan. Selanjutnya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1976: 18), ditegaskan bahwa
54 segenap kepercayaan (kepada Tuhan, dewa dan sebagainya) serta dengan ajaran dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; misal agama Islam, agama Budha, agama Kristen, dan agama Hindu. Agama dalam konteks ini adalah segenap kepercayaan, serta ajaran-ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu, umumnya bagi masyarakat Bali dan khususnya bagi masyarakat Kota Denpasar. Pembangunan dalam bidang agama sangat penting dan mutlak diperlukan, karena peranan agama sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian yang baik yakni taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta sesama, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, rukun dalam hidup bermasyarakat, dan lainnya. Sehubungan dengan agama, penduduk Kota Denpasar sangat beragam. Hal tersebut sangat tampak dalam para penganutnya seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Kota Denpasar Menurut Agama Tahun 2007 No Agama Jumlah Penduduk 1 Hindu 319, 979 2 Islam 131, 846 3 Katholik 13, 940 4 Protestan 30, 004 5 Budha dan Lainnya 12, 225 Sumber: BPPD dan BPS Kota Denpasar (2008 : 28)
Persentase (%) 62, 99 25, 95 2, 74 5, 91 2, 41
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa mayoritas penduduknya yang beragama Hindu. Demikian halnya ketersediaan fasilitas peribadatan didominasi oleh Pura, dengan jumlah keseluruhan mencapai 314 buah. Dari jumlah tersebut 105 buah diantaranya merupakan Kahyangan Tiga, 1 buah merupakan Sad dan Dang Khayangan. Fasilitas peribadatan lainnya berupa mesjid 26 buah, musholla 90 buah serta Gereja 73 buah, Vihara dan Kelenteng 11 buah (Denpasar Selayang Pandang, 2008 : 35). Dalam mendukung pembangunan, kerukunan hidup beragama dalam heterogenitas masyarakat
55 Kota Denpasar nampaknya tetap dilestarikan serta menjadi perekat persatuan dalam kehidupan.
4.2.4 Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan umumnya terdapat dalam kehidupan masyarakat Bali khususnya yang bersumber dari perkawinan. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Hadikusuma, 1990: 7). Sistem perkawinan masyarakat Bali pada umumnya endogami, yaitu perkawinan antara masyarakat Bali itu sendiri. Laki-laki ataupun perempuan Bali biasanya jarang menikah dengan perempuan atau laki-laki luar Bali. Mereka lazimnya hanya menikah dengan sesama orang Bali. Akan tetapi perkawinan antara wanita Bali dengan orang luar Bali (yang berbeda suku ataupun agama) diperbolehkan, walaupun dengan perkawinan seperti itu perempuan Bali kehilangan haknya sebagai perempuan Bali, juga ada tekanan kepentingan terhadap relasi keturunan. Perkawinan dalam masyarakat Bali juga menganut sistem poligami, yaitu satu suami boleh menikah lebih dari satu isteri. Akan tetapi masyarakat Bali sebagian besar hanya menikahi seorang isteri dengan prosentase 95% (Covarrubias, 1973: 156). Kendati sistem perkawinan masyarakat Bali seperti demikian adanya, namun lain halnya masyarakat di Kota Denpasar sebagai masyarakat multikultural. Sistem perkawinan berhadapan dengan berbagai perbedaan latar belakang masyarakat tertentu menganut paham multisistem. Perkawinan multisistem dalam artian ini adalah sistem
56 perkawinan disesuaikan dengan latar belakang budaya calon isteri dan calon suami yang akan menikah. Hal seperti tersebut berpengaruh terhadap sarana komunikasi terutama sekali penggunaan bahasa. Dalam keluarga yang berbeda latar belakang budaya, daerah asal, turut mempengaruhi penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dalam keluarga. Dalam hal pemilihan bahasa sebagai alat komunikasi tidak ada ketentuan harus mengikuti garis patrilinial. Dengan demikian, budaya yang mana lebih kuat didalam sebuah keluarga, budaya tersebutlah yang unggul termasuk pemilihan bahasa dalam berkomunikasi.
4.3 Gambaran Umum Pemertahanan Bahasa Bali 4.3.1 Sejarah Bahasa Bali Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yakni masyarakat Bali dan sudah ada sejak dulu serta dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai kehidupan di Bali, seperti dalam rumah tangga, tempat-tempat umum, masyarakat. Bahasa Bali sebagai alat komunikasi tidak saja dipakai oleh suku Bali yang tinggal di daerah Bali, namun juga dipakai oleh suku Bali yang tinggal di daerah kantong-kantong transmigrasi asal Bali yang tersebar di seluruh nusantara, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa dan Lombok (Suardiana, 2007: 400). Di samping itu bahasa Bali juga merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup serta berkembang luas di Bali, yaitu meliputi bidang kesenian, hukum, adat istiadat, agama, pengobatan, dan lain sebagainya.
57 Menurut data statistik (Tim Penyusun, 2006 : 1) penutur bahasa Bali yang ada di Bali diperkirakan dua setengah juta jiwa sehingga, disamping sebagai alat komunikasi dan pendukung kebudayaan, bahasa Bali termasuk bahasa daerah yang besar. Bahasa Bali sebagaimana halnya dengan bahasa-bahasa daerah besar lainnya di Indonesia seperti bahasa Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan Banjar, memiliki sistem tata tulis yang cukup mapan. Bahasa Bali memiliki sistem tulisan yang disebut dengan aksara Bali dan sistem tulisan dengan huruf latin. Karya-karya sastranya direkam dalam sistem tata tulis yang berbeda dengan sistem latin dalam bahasa Indonesia. Umum diketahui bahwa tidak semua bahasa di dunia memiliki sistem tulisnya sendiri. Melalui sistem aksara pula aspek budaya manusia terekam secara tertulis. Dilihat dari kacamata kekinian, merupakan keuntungan besar bila sebuah bahasa memiliki sistem tulisnya sendiri, karena lewat sistem tulis yang dimiliki semua aspek kehidupan penutur bahasa tersebut dapat dicatat dan didokumentasikan (Sutjaja, 1995 : 162). Kecuali itu, keberadaan bahasa Bali secara kebahasaannya, memiliki variasi yang cukup rumit, karena adanya sor singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan. Secara umum variasi bahasa Bali dapat digolongkan atas variasi temporal, regional, dan sosial (Sulaga, 1996 : 1). Dimensi temporal bahasa Bali memberikan indikasi kesejarahan dan perkembangan bahasanya. Secara temporal bahasa Bali dibedakan atas bahasa Bali Kuno dan bahasa Bali Moderen. Bahasa Bali Kuno sering juga disebut bahasa Bali Mula atau Bali Aga, atau bahasa Bali Tengahan atau bahasa Bali Kawi. Sedangkan bahasa Bali Moderen sering disebut dengan bahasa Bali Kepara atau Lumrah.
58 Selain hal tersebut di atas, secara regional bahasa Bali dibedakan atas dua dialek yakni dialek Bali aga (dialek pegunungan) dan dialek Bali Dataran (dialek umum atau lumrah) yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersenidiri. Sedangkan berdasarkan dimensi sosialnya, bahasa Bali mengenal adanya ragam bahasa atau sor-singgih atau tingkat tutur bahasa Bali, yang terkait erat dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal adanya sistem wangsa, yang dibedakan atas golongan tri wangsa yakni, Brahmana, Ksatriya, Wesya dan golongan jaba yang sering disebut sudra. Berdasarkan strata sosial seperti yang diuraikan diatas, bahasa Bali menyajikan sejarah tersendiri tentang tingkat tutur kata dalam lapisan masyarakat tradisional di Bali. Di sisi lain, dalam perkembangan masyarakat zaman moderen ini terbentuklah elit baru yang termasuk kelas atas yang tidak lagi terlalu memperhitungkan wangsa. Elit baru yang dimaksud seperti golongan pejabat, orang kaya mereka umumnya disegani dan dihormati oleh golongan bawah dan hal ini tercermin pula dalam pemakaian bahasa Balinya. Terkait dengan kondisi yang demikian itu, kondisi real bahasa Bali dalam kenyataannya tidak bisa lepas dari kondisi masyarakat Bali itu sendiri. Artinya ragam sor-singgih basa Bali menjadi sebuah cerminan etika ke-Bali-an manusia Bali dalam sosial kemasyarakatannya. Sehingga basa Bali Alus bukan dominasi kaum tri wangsa saja. Bahasa Bali dalam sepanjang perjalanannya sejak zaman prasejarah, kemudian mulai memasuki zaman sejarah pada abad ke delapan, hingga memasuki abad ke-21 saat ini, telah bergaul dengan berbagai bahasa seperti dari bahasa Sansekerta, Melayu, Indonesia, Inggris, Portugis, Cina, dan lain-lainnya. Dalam sepanjang pergaulannya dengan bahasa tersebut, bahasa Bali sempat mengalami pasang surut yakni ketika masa pemerintahan Udayana dan Mahendradatha pada abad ke-10, bahasa Bali tergeser dari bahasa resmi
59 kerajaan atau bahasa administrasi negara oleh bahasa Jawa Kuna. Penaklukan Majapahit terhadap Bali pada tahun 1343 juga membawa pengaruh terhadap eksistensi dan perkembangan bahasa Bali, di mana sistem anggah-ungguhing basa mulai dikenalkan. Demikian pula pada masa pemerintahan kerajaan Gelgel banyak kosa kata bahasa Jawa masuk ke dalam khazanah bahasa Bali. Bahasa yang digunakan dalam teks-teks sastra pada saat itu sering disebut dengan istilah Bali-Kawi.
4.3.2 Bahasa Bali sebagai Bahasa Daerah Bahasa Bali merupakan warisan leluhur yang sudah ada sejak jaman dahulu serta dalam perkembangannya banyak mendapat serapan dari bahasa nusantara maupun bahasa asing. Didalam fungsi dan kedudukannya bahasa Bali tidak saja sebagai bahasa ibu melainkan juga sebagai alat perekam segala aspek kehidupan masyarakat Bali melalui tradisi aksara dan tulisnya. Bahasa Bali juga merupakan unsur bahasa daerah yang dapat memperkaya bahasa nasional. Mengingat pentingnya peranan dan fungsi bahasa Bali maka melalui surat Keputusan Pemerintah Pusat tertanggal 18 Maret 1974 menetapkan bahasa Bali sebagai bahasa Daerah. Sebagai bahasa daerah, bahasa Bali yang berkembang dalam masyarakat Bali penggunaannya memiliki tingkatan yakni ada yang disebut basa Bali Alus, Bali Madya, dan Bali Kasar. Yang Alus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan orang yang berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara
60 bangsawan dengan abdinya. Selain itu, perkembangan penggunaan bahasa Bali di era sekarang menunjukkan adanya kemajuan terutama sudah menyusup kedalam lagu-lagu pop daerah Bali dengan iringan musik modern yang banyak digemari oleh anak-anak maupun orang dewasa. Hal tersebut memberikan peran yang cukup penting akan makna bahasa Bali sebagai bahasa daerah yakni memperkenalkan bahasa Bali sedini mungkin kepada anak-anak, khususnya yang tinggal di perkotaan dan dalam lingkungan masyarakat yang multikultural seperti masyarakat Kota Denpasar.
4.3.3 Identitas Masyarakat Bali Bahasa Bali sesungguhnya merupakan unsur kebudayaan Bali yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya. Ia (bahasa Bali) dengan segala kekurangannya adalah perekam segala aspek kehidupan yang merupakan harta karun kekayaan budaya yang sangat berlimpah serta dapat membawa siapapun pada pemahaman tingkat peradaban Bali yang luar biasa (Sancaya, 2004 : 211). Bahasa Bali adalah salah satu identitas atau ciri jati diri masyarakat etnik Bali. Melalui bahasa Bali, secara sadar ataupun tidak sadar, penuturnya menyatakan dirinya sebagai “Orang Bali”, sekaligus juga membedakannya dengan orang lain atau non-Bali. Selain sebagai identitas masyarakat Bali, bahasa Bali berfungsi pula sebagai alat permersatu masyarakat Bali. Dengan menggunakan bahasa Bali dalam berkomunikasi dengan sesama orang Bali, rasa kedekatan dan rasa persatuan terbina serta tetap terpelihara secara berkesinambungan. Di sisi identitas masyarakat dan pemelihara persatuan, bahasa Bali merupakan salah satu unsur budaya yang menjadi kebanggaan. Kebanggaan sebagai warisan nilai budaya
61 lokal. Ini berarti pula bahasa Bali menjadi unsur pemerkuat akar sejarah masyarakat dan kebudayaannya. Kebanggaan ditingkat lokal ini menumbuhkan kesadaran sejarah dan membina pula daya cipta sastra–budaya. Bahasa Bali sebagai lambang kebanggaan lokal kontekstual muncul saat pengungkapan nilai-nilai budaya Bali yang tergolong luhur dan tinggi tempatnya seperti dalam kegiatan keagamaan dan seni-budaya. Sebagai bahasa daerah, bahasa Bali merupakan sarana penghubung utama sesama masyarakat etnik Bali. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Bali merupakan sarana u tama berkomunikasi secara verbal. Sebagai bahasa yang telah lama hidup dan menjadi bahasa Ibu sebagian besar masyarakatnya, bahasa Bali menjadi lebih dekat, akrab dalam komunikasi dan pergaulan sehari-hari.
4.3.4 Pemetaan Kekuatan dan Peluang serta Kelemahan dan Ancaman Pemertahanan Bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar Pemertahanan bahasa Bali dalam konteks perubahan sosial di tengah arus globalisasi dewasa ini, dipetakan dengan mengacu pada tinjauan kekuatan dan peluang serta kelemahan dan ancaman terhadap perkembangan bahasa Bali ke depan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sosial sebagai fakta yang tidak terlepas dari kehidupan bermasyarakat, berpengaruh terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap masyarakat yang mengalami perubahan. Tinjauan berdasarkan beberapa aspek tersebut di atas dikenal dengan sebutan analisis SWOT. Analisis SWOT umumnya sebuah strategi yang diterapkan dalam perusahaan. Perusahaan menggunakan analisis tersebut untuk memecahkan masalah dari dalam
62 maupun dari luar perusahaan, serta menganalisis kekuatan, kelemahan dan membaca peluang yang akan datang. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2008: 18-19). Bertitik tolak pada pemahaman di depan, analisis SWOT dalam pemertahanan bahasa Bali mengarah pada lingkungan internal masyarakat Bali yaitu kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses), serta lingkungan eksternal yaitu peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman, dan faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Proses analisis SWOT dalam pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar dapat dilihat pada diagram 4.7 berikut.
63 Gambar 4.1 Diagram analisis SWOT Berbagai Peluang: -Media Tradisional -Media Cetak -Media Elektronik
Kelemahan Internal: -Tuntutan Ekonomi - SDM -Individualisme
III
IV
I
Kekuatan Internal: -Keluarga -Agama -Budaya
II
Berbagai ancaman: -Globalisasi -Pariwisata -Teknologi komunikasi Sumber: Rangkuti (2008: 19 ) dan (analisis data Ni Made Merti 2010) Diagram analisis SWOT pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar, dapat dijelaskan seperti berikut. Kuadran I, merupakan situasi yang sangat menunjang pemertahanan bahasa Bali, karena memiliki peluang dan kekuatan internal masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Peluang tersebut adalah media tradisional, media cetak dan media elektronik. Kekuatan internal seperti keluarga, agama dan budaya. Kuadran II, menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar menghadapi berbagai ancaman, seperti globalisasi, pariwisata, dan teknologi komunikasi. Namun masih ada kekuatan internal untuk
64 menghadapi ancaman tersebut. Dengan demikian, eksistensi bahasa Bali masih dapat dipertahankan dengan menggunakan langkah strategis untuk menghadapi ancaman yang ada. Kuadran III, pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar memiliki peluang yang besar. Namun hal ini berbenturan dengan kelemahan internal masyarakat itu sendiri, seperti tuntutan ekonomi yang sangat tinggi, sumber daya manusia yang belum memadai, dan individualisme yang mengental dalam cara pandang serta sikap sosial masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Kuadran IV, pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar menghadapi ancaman dan kelemahan internal. Situasi seperti ini sangat tidak mendukung upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman terhadap pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar yang tertera dalam diagram 4.7 di depan dijabarkan dalam matriks faktor strategi eksternal yang disebut EFAS (Eksternal Factors Strategic Anaysis Summery) dan matriks faktor strategi internal yang disebut IFAS (Internal Strategic Factors Analysis Summery) (Rangkuti, 2008: 22-24). EFAS untuk merumuskan faktor-faktor strategis peluang dan ancaman pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. IFAS untuk merumuskan faktorfaktor strategis kekuatan dan kelemahan pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Matriks EFAS dan IFAS seperti berikut.
65 Gambar 4.2 Matriks EFAS dan IFAS pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultual di Kota Denpasar IFAS EFAS PELUANG PEMERTAHANAN BAHASA BALI ANCAMAN PEMERTAHANAN BAHASA BALI
KEKUATAN PEMERTAHAN BAHASA BALI (I) Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang (III) Menggunakan kekuatan untuk menghadapi ancaman
KELEMAHAN PEMERTAHANAN BAHASA BALI (II) Memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan (IV) Meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti (2008: 31 ) dan (analisis data Ni Made Merti 2010) Diagram di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Kolom I, menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Hal ini berarti bahwa pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar dapat dijalankan dengan cara menggunakan kekuatan yang ada dalam masyarakat seperti keluarga, agama dan budaya untuk memanfaatkan peluang yaitu media tradisional, media cetak dan media elektronik. Kolom II, memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan. Hal ini berarti bahwa dalam pemertahanan bahasa Bali memanfaatkan media tradisional, media cetak dan media elektronik untuk meminimalkan kelemahan seperti tuntutan ekonomi, SDM dan individualisme yang ada dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Kolom III, menggunakan kekuatan untuk menghadapi ancaman. Kekuatan yang ada dalam masyarakat dapat digunakan untuk menhadapi berbagai ancaman terhadap pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar, seperti globalisasi, pariwisata dan teknologi komunikasi.
66 Kolom IV, meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Hal ini merupakan salah satu strategi untuk menghindari berbagai ancaman dengan meminimalkan kelemahan yang ada dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Strategi analisis EFAS dan IFAS dalam pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar sebagaimana yang telah dikemukakan tadi akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan pada bab-bab berikut.
67 .