BEBERAPA KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK ... - WordPress.com

162 downloads 1378 Views 141KB Size Report
Menurut Wahyu (2007) bahwa kearifan local, dalam terminology budaya, ... Suatu contoh nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan pada usaha perladangan  ...
BEBERAPA KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

Oleh : ABDUL MUKTI NIM 107040100111018

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PROGRAM DOKTOR ILMU PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010

1

1

PENDAHULUAN

Menurut Wahyu (2007) bahwa kearifan local, dalam terminology budaya, dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan local yang berasal dari budaya masyarakat, yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan system ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan local dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan local, yang unik yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat local dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas. Selanjutnya Wahyu (2007) menyatakan bahwa kemampuan memaknai kearifan local oleh individu, masyarakat dan pemerintah yang diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya

alam

dan

lingkungan

dapat

diharapkan

untuk

menghasilkan

peningkatan berkehidupan yang berkualitas dalam masyarakat dan Negara.

2 PEMBAHASAN Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki kekayaan budaya/tradisi lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup. Budaya/tradisi local ini sarat dengan nilai-nilai kearifan dan sudah diterapkan semenjak jaman nenek moyang dahulu kala hingga kini. Beberapa kearifan lokal dimaksud diuraikan berikut ini. 2.1 Pola perladangan berpindah Suatu contoh nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan pada usaha perladangan berpindah diuraikan oleh Alamsyah (2010) ialah : 1. Pola yang digunakan masyarakat adalah pola berladang gilir balik. Pola ini berarti bila, suatu areal sudah dibuka dan diladangi oleh masyarakat, maka akan ditinggal beberapa waktu tertentu untuk membuka lahan baru.

Kemudian,

setelah ladang pertama subur, maka masyarakat akan kembali lagi untuk menyambung perkebunan pada lahan tersebut. 2. Para peladang tradisional suku Dayak lebih suka memanfaatkan Jekau (hutan sekunder) daripada Empak (hutan primer). 2

3. Para peladang selalu melakukan survey tentang kualitas lahannya sebelum berladang. Kebiasaan survey ini sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun pada masyarakat Tentunya hanya hutan Jekau yang menurut petani sangat mudah untuk ditebang dan diurus namun kualitas tanahnya juga subur yang dijadikan ladang. 4. Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan upacaraupacara ritual adat untuk memohon kepada Sang Pencipta untuk memberikan kesuburan tanah selain juga dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat dari bencana alam. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat memang sangat dekat dengan alamnya, dan menunjukan bahwa mereka mempunyai semangat yang tinggi untuk pelestarian alam dan lingkungan hidup. 5. Dalam aktifitas membuka lahan, tentunya tidak semua tumbuhan dan fauna yang dibabat, namun masih ada sebagian yang dibiarkan tumbuh subur di ladang mereka yang dianggap bermanfaat di kemudian hari. 6. Peristiwa berladang sebenarnya adalah peristiwa budaya, dimana budaya handep hapakat atau kerjasama sejak menebas, membakar, menanam, hingga memanen merupakan rangkaian kearifan yang ditorehkan dalam kebersamaan dan semangat cinta kasih. 7. Berladang adalah budaya regeneratif, dimana karet, rotan, damar dan tumbuhan lainnya ditanam pasca perladangan sebelumnya. Budaya ini, karenanya masyarakat Dayak menanam tumbuhan tersebut dibekas ladang terdahulu adalah suatu keharusan. 8. Masyarakat Dayak

Kalteng adalah masyarakat

tradisional yang masih

menghormati dan memegang erat hukum adat mereka. Hukum adat yang masih kuat, karenanya para tokoh masyarakat seperti, Penghulu, Damang, Kepala Adat atau Tetua Kampung masih dominan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan persoalan yang muncul di masyarakat. 9. Hukum adat memberikan sanksi kepada mereka yang merusak hutan dan lahan dengan cara membakar. Hukum adat yang dimaksud dapat berupa Denda Adat, Pati Pamali, Penggantian Kerugian dan yang lebih berat biasanya sampai “hukum sosial” yaitu rasa malu yang harus ditanggung oleh pelaku jika merusak kebun atau ladang orang lain.

3

2.2 Konservasi dan perlindungan flora dan fauna Menurut Dohong (2010) bahwa upaya konservasi sumberdaya alam dan perlindungan terhadap keanekaragaman sumberdaya hayatinya juga sudah dipraktekkan secara turun temurun dalam kehidupan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah. Upaya itu bahkan boleh dikatakan lahir bersamaan dengan kehadiran peradaban suku Dayak itu sendiri. Citra manusia Dayak yang bercirikan sosio-religio- magis, pada gilirannya melahirkan sikap dan perilaku yang arif dan bertanggung jawab dalam praktek pengelolaan sumberdaya hutan. Selanjutnya, Dohong (2010) menjelaskan bahwa konsepsi konservasi dan perlindungan flora dan fauna oleh Suku Dayak dapat ditelusuri melalui penggunaan berbagai terminologi seperti Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba. Tajahan ialah suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku Dayak khususnya yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di lokasi tajahan ini didirikan sebuah rumah-rumahan

berukuran

kecil

untuk

menaruh

sesajen

sebagai

tanda

persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam di tempat itu. Rumahrumahan ini biasanya diisikan beberapa patung kecil yang merupakan simbol (replika) dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Mereka meyakini roh orang meninggal dunia berdiam dalam patung-patung kecil tersebut, sehingga tidak akan mengganggu anggota keluarga yang masih hidup. Lokasi tajahan biasanya pada kawasan hutan yang masih lebat dan terkesan angker. Pada lokasi tersebut dilarang melakukan aktivitas manusia seperti menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan kegiatan konservasi karena di dalamnya terdapat aspek perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati. Kaleka ialah daerah peninggalan nenek moyang Suku Dayak jaman dahulu kala. Daerah ini biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan bersama (common property). Dari perspektif konservasi ekologis, kaleka dapat dipandang sebagai gudang plasma nutfah (genetic pool). Sepan-pahewan merupakan tempat sumber mata air asin dimana binatangbinatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber 4

mineral. Dalam bahasa Dayak Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah Sungan. Lokasi sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Dayak untuk memenuhi kebutuhan hewani. Tempat perburuan karenanya, lokasi tersebut umumnya selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern. Para peladang Suku Dayak di Kalimantan Tengah memahami betul bahwa di dalam kegiatan membuka ladang, maka roh-roh penunggu (gana) yang bermukim pada lokasi itu harus dipindahkan ke lokasi yang baru yang disebut pukung himba. Pukung himba ialah bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang/dieksploitasi. Ciri-ciri daerah yang dijadikan pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu ratarata berukuran relatif sangat besar, belum banyak terjamah oleh kegiatan manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai sebagai tempat yang disenangi rohroh (gana) untuk tempat bermukim. Keberadaan dan konsep pukung himba dari perspektif konservasi merupakan usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman hayati di dalamnya.

2.3 Beje dan kebakaran hutan/lahan gambut Kebakaran hutan/lahan di Indonesia tidak hanya terjadi pada lahan kering tetapi juga terjadi pada lahan basah seperti hutan/lahan gambut. Kebakaran terjadi diakibatkan mengeringnya hutan/lahan gambut lahan basah tersebut terutama pada musim kemarau. Lahan/hutan gambut yang pelan-pelan digerogoti api di bawah tanah memiliki potensi ancaman amat besar dan dampaknya sangat merugikan. Kebakaran hutan/lahan gambut menyebabkan terdegradasinya lingkungan (kualitas lahan, keanekaragaman hayati, fungsi hidrologi, pemanasan global), menurunnya derajat

kesehatan

masyarakat,

dan

memperkecil

kesempatan

ekonomi.

Pengendalian kebakaran hutan/lahan gambut sangat penting dilakukan, mengingat fungsi dan potensi hutan/lahan gambut dimana ekosistem gambut merupakan ekosistem khas yang memiliki multifungsi (cadangan/penyimpan air, penyangga lingkungan, lahan pertanian dan penyimpan karbon), dampak kebakaran dan tipe kebakaran yang terjadi (tipe ground fire yang sangat sulit dilakukan pemadaman). Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi pada musim 5

kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi fisik gambut yang terdegradasi (akibat aktivitas illegal logging, konversi lahan, pembuatan parit/kanal yang illegal maupun legal) serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat penyangga hutan (masyarakat mempertahankan hidupnya hanya dengan berburu/menangkap ikan dan menebang kayu) juga mempengaruhi kerawanan terjadinya kebakaran di hutan dan lahan gambut. Menurut Nugroho (2003) bahwa kegiatan pencegahan yang berbasiskan masyarakat perlu diupayakan untuk meminimalisasi potensi dan kebakaran hutan/lahan

gambut.

Salah

satu

kegiatan

yang

dapat

dilakukan

adalah

pembangunan sekat bakar, yang ditujukan untuk memisahkan bahan bakar dengan sumber kebakaran dan membatasi penyebaran api. Suatu bentuk sekat bakar yang khas Kalteng adalah beje. Beje adalah sebuah kolam perangkap ikan yang dibuat oleh masyarakat (umumnya oleh suku Dayak) di pedalaman hutan Kalimantan Tengah. Beje umumnya berukuran lebar 2 m, kedalaman 1.5 m dan panjang bervariasi bisa sampai ratusan meter jika dilakukan bersama-sama (bukan milik perorangan). Beje-beje akan tergenang oleh air luapan dari sungai dan sekitarnya serta terisi oleh ikan-ikan alami pada musim penghujan. Kemudian air akan surut kembali pada musim kemarau. Beje-beje menjadi kolam-kolam tempat pembesaran ikan di dalamnya, dan siap di panen pada musim kemarau. Parit yang menghubungkan sungai dengan hutan dibuat oleh masyarakat adalah untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan pada saat musim hujan. Di Muara Puning-Kalteng, panjang parit-parit ini berkisar antara 3-5 km, lebar 60-200 cm dan kedalaman 35-95 cm. Selain parit yang dibuat oleh masyarakat terdapat juga kanal yang secara resmi sengaja dibuat oleh pemerintah sebagai saluran irigasi (kawasan eks PLG), kanal-kanal ini lebarnya 15-20 m dan panjangnya puluhan km serta jumlahnya ratusan (primer, sekunder, tersier). Parit/kanal ini secara signifikan telah menyebabkan pengeringan yang berlebihan di musim kemarau karena terjadinya aliran air ke sungai. Penutupan/sekat parit/kanal adalah suatu cara yang dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya aliran ke sungai. Penutupan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan muka air tanah, menjaga gambut tetap lembab dan mengurangi resiko kebakaran. Potensi keberadaan beje dan parit yang sudah tidak digunakan lagi inilah yang dapat dimanfaatkan menjadi sekat bakar partisipatif. Masyarakat akan 6

memperoleh manfaat dari beje/parit yang disekat (dapat difungsikan sebagai beje/kolam biasa) dan resiko terjadinya kebakaran dapat berkurang. Apabila konsep penyekatan parit ini diaplikasikan di kanal-kanal eks-PLG, dapat kita bayangkan berapa banyak beje/kolam biasa yang dihasilkan dan dapat dimanfaatkan serta dapat berfungsi sebagai sekat bakar. Dalam hal pemanfaatan beje dan parit sebagai sekat bakar, beje/parit yang telah ada diperbaiki kondisinya yaitu dengan membuang lumpur di dalamnya sehingga volume air di dalam beje atau parit yang disekat dapat dipertahankan dan kondisi beje/parit sebagai habitat ikan dapat dipertahankan.

3 PENUTUP Dengan demikian dapat diperoleh simpulan bahwa Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam ialah (1) perladangan berpindah yang gilir balik, pada hutan sekunder, tidak tebang habis dan budaya regenerative, bekerja bersama-sama, dan diatur hukum adat untuk menjaga kelestarian hutan (2) Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba, adalah beberapa konsep konservasi dan perlindungan flora dan fauna oleh Suku Dayak, dan (3) beje untuk mereduksi bahaya kebakaran hutan/lahan gambut. Akhirnya dengan memperhatikan adanya kearifan lokal di atas dapat meningkatkan kemampuan kita memaknainya yang diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan sehingga diharapkan mampu menghasilkan peningkatan berkehidupan yang berkualitas dalam masyarakat dan Negara.

PUSTAKA ACUAN Alamsyah, 2010. Larangan pembakaran Hutan dan Lahan di Kalteng. http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/23/ jangan-abaikan-kearifan-lokal/. 22 Nopember 2010 Dohong, Alue. 2009. Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Perlindungan Flora dan Fauna Endemik. http://aluedohong.blogspot.com/2009/05/kearifan-lokaldayak-dalam-perlindungan. 22 Nopember 2010 Nugroho, Wahyu Catur, 2003. Konsep Pemanfaatan Beje dan Parit sebagai Sekat Bakar Partisipatif di Hutan dan Lahan gambut. http://www.peat-portal.net/newsmaster.cfm?&menuid=40&action=view& retrieveid=718 7

Wahyu, 2007. Makna Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Kalimantan Selatan (dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal). Universitas Lambung Mangkurat Press. Banjarmasin.

8