Profil Bupati R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 1962-. 1966) . ... Bupati di
sini, yang dalam arti lain bisa bermakna semacam ”biografi kecil”.
BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG
Oleh: Fahrudin Nasrulloh Dian Sukarno Yusuf Wibisono
DITERBITKAN OLEH:
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010
BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG Pemerintah Kabupaten Jombang Cetakan pertama, Desember 2010 Biografi Para Bupati Jombang © Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 Penyunting : Fahrudin Nasrulloh Pemeriksa aksara : Jabbar Abdullah Perbaikan akhir : Abdul Wahab Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Fahrudin Nasrulloh, Dian Sukarno, Yusuf Wibisono Biografi Para Bupati Jombang Cet. 1. -- Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 150 hlm.; 21 cm ISBN:
2
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... IDENTITAS BUKU ............................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................................... PENGANTAR PENULIS .......................................................................................
1 2 3 4
BAB I SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JOMBANG ................................
8
BAB II BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG ...............................................
17
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Profil R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930) ................ Profil R.A.A. Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930 – 1946) ............... Profil Bupati R. Boediman Rahardjo (Masa Bhakti 1946-1949) ..... Profil R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949-1950) ..... Profil R. Istadjab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956) ......... Profil Bupati M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958) .................... Profil Bupati R. Soedarsono (Masa Bhakti 1958-1962) ................... Profil Bupati R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 19621966) ................................................................................................. 9. Profil Bupati Ismail (Masa Bhakti 1966-1973) ................................. 10. Profil Bupati R. Soedirman (Masa Bhakti 1973-1979) ..................... 11. Profil Achmad Hudan Dardiri (Masa Bhakti 1979-1983) ................ 12. Profil Bupati Noeroel Koesmen (Masa Bhakti 1983-1988) .............. 13. Profil Bupati Tarmin Hariadi (Masa Bhakti 1988-1993) .................. 14. Profil Bupati Soewoto Adiwibowo (Masa Bhakti 1993-1998) ......... 15. Profil Bupati Drs.H. Affandi, M.Si (Masa Bhakti 1998-2003) ......... 16. Profil Bupati Drs. H. Suyanto (Masa Bhakti 2003 – 2008) .............. 17. Profil Bupati Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti 2008-2008) ................ BAB III PENUTUP ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. TENTANG PENULIS ............................................................................................
3
17 25 29 31 33 35 37 43 45 49 57 76 83 86 95 98 107 117 119 123
PENGANTAR PENULIS Sebagai salah satu upaya dalam rangka memajukan pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia di setiap wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Jombang merupakan wilayah yang cukup siknifikan dengan berbagai sumber daya manusianya dan potensi agrarisnya untuk diperhitungkan di masa mendatang. Sebagai sebuah cermin kesejarahan baik di masa lalu, kini, dan kelak, profil bupati yang telah memimpin dan mewarnai kesejarahan Jombang terasa menjadi penting dituliskan untuk dijadikan teladan, tolok ukur, kaca benggala, atau evaluasi bagi siapa saja, khususnya bagi masyarakat Jombang. Kesejarahan yang bersifat historis-komunal tersebut tidak lepas dari peran warga Jombang dalam berpartisipasi serta turut berproses dalam pembangunan dan pembentukan citra Kabupaten Jombang sebagai kota santri yang memiliki karakter egaliter, ramah, beriman, dan senantiasa mampu memunculkan harapan-harapan baru yang konstruktif demi mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan di segala bidang. Kiranya bakal berharga jika kehadiran buku Biografi Para Bupati Jombang ini mampu memenuhi sebagian dari kebutuhan literasi dalam konteks historis yang paling elementer bagi masyarakat Jombang untuk kemudian dijadikan acuan dalam banyak hal terkait, sehingga mempunyai fungsi dan edukasi bagi warganya secara luas. Biografi para Bupati Jombang dalam buku ini dimulai dari masa Bupati R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930) sampai Bupati Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti 2008-2008). Masa Bupati Suyanto yang menjabat kembali sebagai Bupati Jombang dari 2009 sampai dengan 2013 akan dibukukan tersendiri secara khusus. Perlu disampaikan, penggunaan kata ”biografi” dalam judul di atas dimaksudkan sebagai harapan bahwa di kemudian waktu tiap sosok Bupati Jombang dapat dituliskan kembali secara lebih lengkap, mendetail, dan menyeluruh. Dan dalam buku ini belumlah memenuhi maksud tersebut. Karena itu, kami menggunakan kata ”profil” di tiap sosok Bupati di sini, yang dalam arti lain bisa bermakna semacam ”biografi kecil”. Konsekuensi intelektual dari penulisan biografi memang berat dan kompleks. Kompleksitas ini muncul ketika teks telah berhadapan dengan pembaca. Untuk itu, kiranya penting kami sodorkan semacam ilustrasi ikhwal problema penulisan biografi dari sejarawan Taufik Abdullah ini:
4
Terkabarlah bahwa seorang penulis biografi muda usia mendatangi pembimbingnya. Ia merasa gelisah dan kecewa. Tak mungkin rasanya ia menulis biografi dari seorang tokoh dengan sejujurnya. Bagaimana mungkin, sebab istri si tokoh masih hidup. Dengan tenang si pembimbing memberi jawaban: ”Bunuh istrinya!” Akhir ceritanya? Si penulis muda tentu tidak membunuh istri dari tokoh yang diselidikinya secara fisik. Ia mencoba ”membunuhnya” sebagai faktor yang akan mempengaruhi tulisannya. Begitulah, setidaknya yang diusahakannya. Membunuh, demi kejujurannya terhadap sasaran yang dipelajarinya. Tentu masalahnya tidak semudah itu. Ini barulah salah satu aspek sampingan dari problema yang dihadapi dalam penulisan biografi. Kemungkinan munculnya kemarahan, kejengkelan atau, rasa tersinggung keluarga dan teman dekat mereka yang diteliti, barulah salah satu masalah saja. Ini baru menyangkut soal yuridis dan, mungkin, politis dalam penulisan. Menjadikan biografi sebagai sasaran penelitian dan penulisan kadang-kadang dapat membawa orang pada dua kemungkinan yang bertolak belakang. Ia – si peneliti, jika itu yang dikehendakinya – bisa merasa puas dengan data dasar mengenai tokohnya. Lahirnya diketahui. Orang tuanya dikenal. Tempat dan tingkat pendidikannya dicantumkan. Kedudukan yang pernah dijabat ditelusuri. Dan seterusnya. Tak salah. Tetapi, jika ini yang dilakukan, bukankah lebih baik jika ia tidak berhenti pada satu orang saja? Akan lebih baik lagi dilanjutkan dengan catatan tentang tokoh-tokoh lain, yang mungkin sepekerjaan, sestatus atau sedaerah, dengan yang pertama. Apa yang didapatkannya merupakan bahan yang akan sangat berharga bagi studi sosiologis-historis tentang kelompok sosial dari tokoh-tokoh itu. Kemungkinan kedua ialah terlibatnya pada hal-hal yang bersifat spekulatif-filosofis. Penghargaan yang sadar terhadap masalah ini sering berarti telah lebih dulu menempatkan tokohnya dalam konteks sejarah yang kosmis sifatnya. Ia telah lebih dulu menentukan sikap, sebelum menelitinya. Tetapi jika tidak, berarti ia sesungguhnya telah menentukan pilihan ideologisnya. Dengan keterlibatannya dalam kehidupan tokohnya ia biasanya telah beranggapan bahwa peranan tokohnya dominan. Dan, seperti yang sering terjadi, ia akan terbuai pada hagiografi di mana biografi telah menjadi riwayat para ”orang suci”, bukan manusia biasa.1
Ada rasa genting sekaligus pelik jika penulisan biografi kecil ini mengacu pada paparan akademis Taufik Abdullah di atas. Secara jujur, dalam konteks lapangan riset yang kami hadapi, justru sebaliknya. Dari 17 sosok bupati dalam buku ini, hampir 10-an lebih yang sudah meninggal dan sama sekali belum tertelusuri data pribadinya secara akurat. Memang butuh bertahun-tahun, jika yang diinginkan adalah sebuah biografi lengkap. Dan kiranya apa yang kita sebut sebagai ”data”, tak pernah habis dan selalu ada yang baru. Tentu dengan batasan-batasan tertentu. Demi semua tujuan yang diacu dalam penulisan buku ini di atas, kita berharap besar dalam setiap periode pemilihan bupati akan mempunyai pemimpin yang mampu menjadi pengayom, memberi teladan, dan memakmurkan mereka. Kinerja pemimpin haruslah diemban dengan sungguh-sungguh, tidak mengabaikan tanggung jawab, dan tidak pula demi kepentingan diri sendiri. Sebagai penutup, kami sodorkan kembali tulisan 1
Taufik Abdullah, ”Manusia dalam Sejarah: Sebuah Pengantar”, dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, (LP3S. Jakarta. 1978). Hlm.1-2.
5
salah seorang Bupati Jombang yang terpahat di ruang tamu lantai satu bagian luar dari ruang Sekda, sebagai cerminan bagaimana seorang pemimpin dan pegawai negara berwatak, bertugas, dan berpikiran ke depan: Gedung ini dibangun untuk meningkatkan fasilitas kerja bagi para karyawan/karyawati Pemerintah Daerah Tingkat II Jombang, dalam rangka upaya meningkatkan kemampuan serta keterampilan melaksanakan tugas pokok yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, kepada kita semua dituntut untuk mau dan mampu bekerja dengan sungguhsungguh, serta mampu berfikir, bersikap dan berbuat yang terbaik. Jangan kecewakan pimpinanmu, rekanmu, keluargamu dan dirimu sendiri, karena tindakanmu yang tidak terpuji. Bina terus kebersamaan, kebanggaan dan kesetiaan kepada Korpri, agar menjadi kekuatan yang kokoh dan tegar, dengan dilandasi rasa iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selamat bertugas, berkarya dan beramal!! Semoga dalam menjalankan tugas dan pengabdian kita, selalu mendapatkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Jombang, 23 Agustus 2005 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jombang ttd H. Soewoto Adiwibowo
Tandasan Bupati Soewoto mengisyaratkan betapa urgennya seorang pemimpin (atau pegawai negara) dalam konteks peran elite politik agar dapat dijadikan pegangan dan kepercayaan dalam merumuskan kebijakan pemerintah demi hajat hidup orang banyak. Fenomena terkini tentang pemilihan kepala daerah dalam kontes Pilkada terkesan seolah hanya permainan politik dan intrik yang mengumbar janji-janji kesejahteraan semata, sementara ketika seseorang telah terpilih dengan segala kharisma yang dimilikinya ataupun yang dibuat-buat tentu dihadapkan dengan tanggung jawab untuk merealisasikan program-programnya secara baik dan benar, tepat sasaran dan tidak diselewengkan. Ini menjadi tantangan bersama, terutama bagi seorang pemimpin. Politik populis demikian merupakan bagian dari dinamika perpolitikan Indonesia kontemporer yang harus disikapi secara terbuka dan kritis. Kini, pertanyaan paling utama, menurut Daniel Dhakidae, bagi politik populis adalah kemampuannya menyelesaikan masalah ekonomi-politik yang begitu mengancam. Politik populis sering gagal mengembangkan manajemen politik yang efisien dan efektif. Jenis politik seperti ini lebih mengandalkan kemegahan dalam janji-janji resmi, formale Versprechen, dibandingkan dengan mengerjakan janji substantif, inhaltliche Versprechungen
6
(Steinert). Pada saatnya irasionalisme politik kharismatik yang menjadi inti politik populis harus berpasangan dengan politik rasional dalam suatu manajemen ekonomipolitik yang lebih berarti. Hanya dengan itu milenium ketiga menjadi tantangan dan bukan keranjang sampah.2 Akhirnya, tiada ranting yang tak patah, bahwa buku Biografi Para Bupati Jombang ini hanyalah sebagian kecil ikhtiar pendokumentasian yang tentunya masih banyak kekurangan dan kemungkinan kealpaan atau ketelodoran merangkai data yang kami susun. Karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangatlah kami harapkan. Tak terlupa pula kami sampaikan beribu terima kasih kepada semua narasumber dan sejumlah informan yang turut membantu penggalian data sehingga penerbitan buku ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Tim Penulis
2
Baca Daniel Dhakidae, ”Populisme, Pemimpin Kharismatik, dan Masa Depan Politik Indonesia”, dalam Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global. (PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2000). Hlm. 64-65.
7
BAB I SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JOMBANG Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.159,50 km², dan jumlah penduduknya 1.165.720 jiwa, dalam hitungan statistik tahun 2005. Pusat Kota Jombang terletak di tengah-tengah wilayah kabupaten, memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan laut, dan berjarak 79 km (1,5 jam perjalanan) dari barat daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Jombang memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di persimpangan jalur lintas selatan Pulau Jawa (Surabaya-Madiun-Yogyakarta), jalur Surabaya-Tulungagung, serta jalur Malang-Tuban. Jombang juga dikenal dengan sebutan “kota santri”, karena banyaknya sekolah pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayah tersebut. Bahkan ada pameo yang mengatakan Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti pernah berguru di Jombang. Di antara pondok pesantren yang terkenal adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, dan Rejoso. Banyak tokoh terkenal Indonesia yang dilahirkan di Jombang, di antaranya adalah mantan Presiden Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, pahlawan nasional K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahid Hasyim, tokoh intelektual Islam Nurcholis Madjid (Cak Nur), serta budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun). Konon, kata “Jombang” merupakan akronim dari kata berbahasa Jawa “ijo” dan “abang”. Ijo mewakili kaum santri (agamis), dan abang mewakili kaum abangan (nasionalis atau kejawen). Kedua kelompok tersebut hidup berdampingan dan harmonis di Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang daerah Kabupaten Jombang. Sementara lambang Kabupaten Jombang menyimpan makna filosofis tersendiri. Berbentuk perisai, di dalamnya berisi gambar: padi dan kapas, gerbang Mojopahit dan benteng, Balai Agung (Pendopo Kabupaten Jombang), menara dan bintang sudut lima diatasnya berdiri pada beton lima tingkat, gunung, dua sungai satu panjang satu pendek. Ada pun arti gambar lambang Kabupaten Jombang terdiri dari beberapa hal.
8
Gambar Perisai: Mengandung arti alat untuk melindungi diri dari bahaya. Gambar Padi dan Kapas: berarti kemakmuran, sebagai harapan masyarakat jombang, khususnya bangsa Indonesia umumnya. Gambar Gerbang Mojopahit: berarti jaman dahulunya Jombang wilayah kerajaan Mojopahit wewengkon krajan sebelah barat. Gambar Benteng: berarti jaman dulunya Jombang merupakan benteng Mojopahit sebelah barat, hal ini menyebabkan masyarakat bermental kuat, dinamis dan kritis. Gambar Balai Agung: berarti para pejabat daerah dalam membimbing masyarakat bersifat mengayomi seperti tugas balai yang tetap berdiri tegak dan kukuh, guna memelihara persatuan/kesatuan rakyat di dalam daerahnya. Gambar Tangga Beton Lima Tingkat: berarti terus tetap berpegang teguh pada landasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, demi persatuan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Warna Putih berarti dalam menjalankan tugas tetap berpegang pada kesucian, sepi ing pamrih rame ing gawe. Gambar Bintang Sudut Lima dan Menara: berarti Ketuhanan Yang Maha Esa. Jombang terkenal di segala penjuru tanah air sebagai tempat yang banyak Pondok Pesantren. Pondok-pondok tersebut adalah Tebuireng, Rejoso, Denanyar, Tambak Beras dan sebagainya. Gambar Gunung: berarti Jombang selain terdiri dari daerah rendah, sebagian terdiri dari tanah pegunungan. Warna Hijau berarti banyak membawa kemakmuran. Gambar Dua sungai: berarti Kesuburan Jombang dialiri oleh 2 (dua) sungai yaitu Sungai Brantas dan Sungai Konto yang banyak membawa kemakmuran bagi daerah Jombang. Sedang Makna filosofis warna dari symbol Kabupaten Jombang terdiri dari tercermin dalam beberapa jenis warna. Warna Hijau dan Merah tua: warna dari perisai berarti perpaduan 2 warna Jo dan Bang (Ijo dan Abang) sama dengan Jombang. Hijau: Kesuburan, ketenangan, kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merah: Keberanian, dinamis dan kritis. Biru Langit Cerah, juga berarti kecerahan wajah rakyat yang optimis. Coklat: Warna Tanah Asli, segala sesuatu menampakkan keasliannya. Kuning: Warna keagungan dan kejayaan. Putih: Kesucian. Penemuan fosil Homo Mojokertensis di lembah Sungai Brantas menunjukkan bahwa seputaran wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang diduga telah dihuni sejak ribuan tahun yang lalu. Pada tahun 929 Masehi menurut berita prasasti Turyyan yang ditemukan secara in situ (masih berada di tempat pertama kali ditemukan), Mpu Sindok peletak Dinasti Isyana atau Isyana Wangsa di Jawa Timur telah memindahkan ibukota 9
kerajaannya ke Tamwlang. Letak Tamwlang ini diduga di daerah Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Kemudian pada tahun 937 Masehi menurut berita prasasti Anjuk Ladang, Nganjuk, ibukota tersebut dipindah oleh Raja Dharmawangsa Teguh ke Watugaluh. Watugaluh ini diduga sekarang adalah Desa Watugaluh di wilayah Kecamatan Diwek, Jombang.3 Tahun 1006 Masehi, sekutu Sriwijaya dari kerajaan Wora-wari (letak kerajaan ini mungkin sekitar Ponorogo) menghancurkan ibukota Kerajaan Mataram Hindu Medang dan menewaskan Raja Dharmawangsa Teguh. Airlangga, sang menantu putera Raja Udayana Bali yang ketika itu masih sangat muda, berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh. Bukti petilasan sejarah Airlangga ketika menghimpun kekuatan kini dapat dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan kerajaan baru yang wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali. Pada tahun 1042 Masehi, Airlangga turun tahta dan membagi dua kerajaannya. Sebelah barat disebut Kadiri (Kediri) dengan ibukotanya yang baru yakni Daha. Sedangkan di sebelah timur disebut Janggala dengan ibukotanya yang lama yakni Kahuripan. Bila melihat peta perkembangan kekuasan Dinasti Airlangga maka tidak mengherankan bila ketika itu Jombang sudah menjadi lalu lintas yang kerap dilalui. Pada era 1293-1500 Masehi ditandai dengan berkuasanya Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir di Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit tercatat sebaga salah satu Negara terbesar dalam sejarah Indonesia.4 Kemudian data etnografi yang menyisir seberapa akurat cerita babad, mitos, dan legenda menjadi rujukan penting bagi Hari Kelahiran kota ini.5 3
4
5
Hasil penelitian dari tim sejarah UGM tahun 2008 berjudul “Penelusuran Hari Jadi Jombang” menyebutkan perihal data Prasasti Turryan (851 Śaka). Prasasti ini ditemukan di Watu Godek, Malang. Damais (1955) membaca prasasti ini dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Sindok. Terbuat dari batu, berukuran 126 x 117 cm. Berisi tentang permohonan bangunan suci di daerah Turryan oleh Dang Atu Pu Sahitya. Menurut Damais, penanggalan tersebut dikonversi menjadi 14 Juli 929 M. Raja Sindok di akhir prasasti menitah-guratkan bahwa ia memulai ibokotanya di Tamwlang. Lokasi ini diinterpretasi sebagai Desa Tembelang, di utara Kota Jombang. Selanjutnya ditemukan lagi Prasasti Poh Rinting (851 Śaka/23 Oktober 929 M); Prasasti Gĕwĕg (855 Śaka/14 Agustus 933 M); Prasasti Gurit, masa Airlangga (955 Śaka); Prasasti Sendang Made (diperkirakan masa Kerajaan Kediri). Lan Fang, Inspirasi Jombang, PT. Revka Petra Media, Surabaya. 2009. Salah satu legenda kawentar dari Jombang adalah cerita Kebokicak. Semula cerita Kebokicak ditulis dalam bahasa Jawa kuno. Belum diketahui siapa yang menulis dalam bahasa ini. Cerita lain menyebut: adalah Kiai Farhan yang pertama kali mendapatkan cerita ini melalui wisik yang diperolehnya dari Lembu Peteng, putra Brawijaya V, lalu ia menuliskannya. Kemudian ia menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Saat itu, pada tahun 1960, Kiai Farhan bersama Bayan Darmin berkeinginan menyebarkan
10
Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini disebut sebagai Kabupaten Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. Hingga sekarang banyak dijumpai nama-nama desa atau kecamatan yang diawali dengan prefiks “mojo”, di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng. Sehubungan dengan merosotnya Kerajaan Majapahit, Agama Islam mulai berkembang di kawasan ini, di mana penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan surutnya pengaruh Mataram, kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia Belanda. Etnis Tionghoa juga berkembang; Kelenteng Hong San Kiong di Gudo (konon didirikan pada tahun 1700) yang masih berfungsi hingga kini. Sampai sekarang masih ditemukan di sejumlah kawasan di Jombang yang mayoritas penduduknya adalah etnis Tionghoa dan Arab.6 Ini menjelaskan posisi Jombang sebagai daerah kota raja yang diperhitungkan sejak jaman Kerajaan Majapahit. Sebaliknya, karena menjadi pusat perkotaan maka ada konsekuensi yang muncul dalam dinamika kehidupan masyarakat Jombang. Sejak jaman dahulu Jombang menjadi wilayah yang terbuka dalam menerima semua unsur perdagangan dan kebudayaan yang masuk dari luar. Baik itu melalu kehidupan agrarisnya maupun melalui peran-peran perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan. Dan bukan unsur-unsur dari dalam Pulau Jawa saja tetapi juga meliputi aspek-aspek dari luar Jawa.
6
cerita ini pada khalayak Jombang sebagai cerita yang dibayangkan merupakan asal-usul daerah Jombang. Namun dengan cara bagaimana? Lewat tabligh Islam jelas sangatlah riskan. Di tahun itupun ia tak punya koneksi penerbit. Maka, lewat tradisi ludruklah ia mencoba mensosialisasikannya. Ia lantas menemui beberapa sutradara Ludruk Massa Baru Jombang, yakni: Pardi, Juri, Syai’in, dan Ngaidi Wibowo. Dari Ludruk Massa Baru inilah kisah Kebokicak dipentaskan pada 1968 di Rejoso Pinggir, dan tahun 1972 di Ngembul, Kesamben. Hingga kini--meski meludrukkan cerita Kebokicak wajib dengan selametan dan sesajenan terlebih dahulu--terkadang masih digelar terutama oleh grup Ludruk Duta Karisma pimpinan Ngaidi Wibowo. Selain dari Pak Ngaidi, sumber cerita ini diserap (Agustus 2006) dari Kiai Hafidz (cicit Kiai Farhan) yang konon pernah ditaskhihkan pula pada Kiai Jamal di Ponpes AlMuhibbin, Tambak Beras, Jombang. Baca lebih rinci esai Fahrudin Nasrulloh “Babad Jombang yang Dibayangkan”, Radar Mojokerto, 7 Juni 2009 dalam bukunya Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010). Purwadi, Babad Jombang, (2008, belum diterbitkan).
11
Mengingat kekuasaan Majapahit saat itu terbentang dari Sumatra, Semenjanjung Malaya, Kalimantan, Bali bahkan sampai ke Phlipina. Inilah yang menjadi dasar historis kenapa kehidupan Jombang sangat majemuk.7 Memasuki abad ke-14, pengaruh Majapahit berangsur-angsur melemah karena kerap terjadi perang saudara. Sementara pedagang-pedagang muslim dan para penyebar Agama Islam mulai memasuki nusantara. Memang pada kitab Nagarakertagama tidak menyebutkan tentang keberadaan Islam. Tetapi nampaknya pada waktu itu sudah ada keluarga Kerajaan Majapahit yang beragama Islam. Dalam tempo singkat, Agama Islam diserap oleh masyarakat. Karena siar Agama Islam dilakukan dengan cara yang sangat mentolelir kebudayaan awal. Bahkan termasuk kebudayaan di luar Jawa. Di bagian barat nusantara muncullah sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka. Yang kemudian disusul kesultanan-kesultanan Islam lainnya seperti Demak, Pajang dan Mataram. Kesultanan-kesultanan ini berusaha mendapatkan legitimasi politik atas kekuasan mereka melalui hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Maka ketika kekuasaan Kerajaan Majapahit runtuh, Jombang menjadi bagian Kerajaan Mataram Islam. Pada abad ke-17, pengaruh Mataram melemah. Kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang bagian dari VOC yang kemudian menjadi bagian dari Hindia Belanda. 8 Tahun 1811, didirikanlah Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam Kabupaten Mojokerto. Bahkan Trowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan Majapahit), adalah masuk dalam kawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.9 7 8
9
Lan Fang, ibid,. Ibid,. Sebagai bandingan, apabila melihat kesejarahan Kota Kediri, kita bisa mengacu pada semisal Babad Khadiri yang diterbitkan Penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, pada akhir 2006. Juga ada beberapa naskah babad lain yang diacukan pada sejumlah kesejarahan kota lain. Tersebutlah karya Willem Walraven (1887-1943) berjudul Modjokerto in de motregen (KITLV, Leiden, 1998). Buku berbahasa Belanda ini masih belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ada tiga bab menarik dalam buku tersebut yang mengulas perihal afdeeling Jombang di zaman Hindia Belanda. Tampaknya di situ Walraven merekam perjalanan jurnalistiknya menyusuri sejumlah kota di Jawa: Jombang, Mojokerto, Batu, Bangkalan, Tuban, Pasir Putih, Panarukan, Kalianget, Rembang, dan Muria. Pun 5 bab khusus berjudul Oosthoeksche reis-impressies (kesan-kesan perjalanan di Jawa Timur). Dalam ranah bahasan ikhtiar konservasi dan munculnya cerita Kebokicak sebagai salah satu pijakan lahirnya Babad Jombang, kalimat Barthes tersebut, seakan membentang menggulirkan pengkajian di medan “ilmu-ilmu sosial” yang penggarapannya bertolak berdasarkan pada prosedur yang dianggap ilmiah, atau di sanalah penyajian fakta diberlakukan. Dalam hal ini, apa yang berlayapan tanpa terceritakan, membabarkan
12
Sekitar tahun 1900 penyebaran Agama Kristen yang dilakukan pendeta-pendeta dari Belanda dan daratan Eropa telah mendorong percepatan jumlah pengikut Agama Kristen, khususnya di wilayah Jawa Timur. Daerah Mojowarno, Jombang menduduki basis terbesar di wilayah karesidenan Surabaya dengan jumlah jemaat mencapai 4.528 jiwa, mengungguli wilayah Kediri dan Madiun 2.085 penganut, serta Swaru (Pasuruhan) sekitar 1.956 umat Kristiani.10 Ini sekaligus membuktikan betapa warga di wilayah Kabupaten Jombang sangat pluralis dan menjunjung tinggi toleransi dalam kebhinekaan.
Daftar nama Bupati Jombang mulai R.A.A. Soeroadiningrat hingga Suyanto
Masa pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting dalam menentang kolonialisme. Beberapa putera Jombang merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia, seperti K.H. Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU dan pernah menjabat sebagai ketua Masyumi) dan K.H. Wachid Hasyim (salah satu anggota BPUPKI termuda, serta Menteri Agama RI pertama). Undang-undang Nomor 12 Tahun
10
“kegelisahan kreatif” bahwa cikal-bakal yang terdapat dalam tradisi tutur suatu masyarakat layak dituliskan. J.D. Wolterbeek, Babad Zending Ing Tanah Djawi, Petronella-Hospitaal Jogjakarta.
13
1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.11 Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan Teori Evolusi dan terkenal akan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di Jombang ketika mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia. Setidaknya ada tiga kawasan yang tercatat dalam berbagai literatur yaitu Wonosalam, Japanan, dan Mojoagung. Letak geografis tiga kawasan ini berada di sisi timur Kabupaten Jombang memanjang ke selatan dengan jarak jika ditarik garis lurus kurang lebih 15 km. Tiga titik kawasan ini juga tak jauh dari Trowulan, yang diyakini menjadi salah satu pusat kejayaan Kerajaan Majapahit. Di dalam Java a Traveler’s Anthology disebutkan bahwa Wallace mengunjungi kebun kopi di Wonosalam di kaki Gunung Arjuna dan mengumpulkan spesimen burung merak di Wonosalam. Di dalam catatan ini Wallace menulis “Wonosalam” dengan ejaan “Wonosalem” dan terletak di kaki Gunung Arjuna. Padahal, Wonosalam yang ada di Jombang ini berada di kaki Gunung Anjasmoro. Ada kemungkinan gunung yang saat ini dinamakan Gunung Anjasmoro, pada saat itu belum mempunyai nama atau kalaupun sudah mempunyai nama, tetapi kurang dikenal dan masih menjadi bagian dari Gunung Arjuna yang memang letaknya berada dalam satu gugusan.12 Jadi mungkinkah ada nama Wonosalam lain di kaki Gunung Arjuna? Sejauh ini tampaknya bisa diduga bahwa tidak ada Wonosalam selain yang di Jombang. Apalagi dalam perjalanannya ke Wonosalam, seperti disebutkan dalam The Malay Archipelago, —merupakan salah satu buku perjalanan ilmiah terbaik pada abad ke-19—, Wallace sempat singgah di Candi Arimbi yang letaknya di Dusun Ngrimbi, Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, namun secara geografis lebih dekat dengan Wonosalam. Jadi ini bisa menjadi titik acuan Wonosalam manakah yang ditapaki Wallace pada tahun 1861 itu. Dalam kisah perjalanannya, ketika menuju Wonosalam ia melihat hutan yang sangat indah dan melewati bangunan Candi Arimbi yang juga sangat menakjubkan yang dia anggap sebagai pusara seorang raja. Mungkin praduga Wallace tidak salah, karena
11 12
Dihimpun dari berbagai sumber: di antaranya: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jombang. Junaedi, “Wallace di Jombang”, harian Surya, 15 Juli 2010.
14
menurut
berbagai
kisah,
Candi
Arimbi
dibangun
sebagai
tempat
perabuan
Tribhuwanatunggadewi yang merupakan penjelmaan dari Dewi Parwati. Selain itu, dalam kisahnya yang lain di Wonosalam, Wallace selain mengumpulkan berbagai jenis spisemen ayam hutan dan berbagai burung, utamanya burung merak, juga mengunjungi kebun-kebun kopi. Dan sampai sekarang, kopi tetap menjadi salah satu komoditas perkebunan utama petani di Wonosalam, selain cengkih dan kakao serta berbagai jenis durian utamanya durian bido. Entah bagaimana keadaan kebun-kebun kopi di Wonosalam ketika itu. Kemungkinan kebun-kebun kopi dibangun bersamaan dengan kebijakan tanam paksa, yaitu pada masa Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch berkuasa pada pertengahan abad ke-18. Apalagi kawasan Mojowarno, kawasan barat daya dan berdekatan dengan Wonosalam, pada abad 18 merupakan pusat kebudayaan kolonial Belanda, yang tentu saja segala kebijakan kolonial akan “terpancar” ke sekitarnya. Jejak peradaban kolonial Belanda di Mojowarno hingga saat ini pun masih terlihat dengan peninggalan bangunanbangunan rumah tua dan gereja-gereja, termasuk peninggalan Pabrik Gula Tjoekir di barat Mojowarno. Hanya saja, sekitar 40 tahun semenjak kedatangan Wallace atau sekitar awal tahun 1900-an, perusahaan-perusahaan kolonial Belanda mulai menata dan membangun kembali perkebunan kopi di Wonosalam dengan sistem sewa lahan dengan “merayu” dan “memelihara” kalangan elite penguasa lokal. Perkebunan dicetak terutama di kawasan tinggi di lereng Gunung Anjasmoro, mulai dari Dusun Segunung (Desa Carangwulung) hingga berderet ke selatan sampai Dusun Sumberjahe dan Sumberarum (Desa Sambirejo). Bahkan, di Dusun Segunung sejak awal 1920-an sudah dibangun pabrik pengolah kopi. Bangunan ini bertahan hingga awal tahun 2000-an sebelum diruntuhkan oleh pemilik tanah saat ini. Eksotisme Jombang selain yang terlukiskan dalam kunjungan Alfred Wallace di atas, berbagai macam obyek wisata di Jombang juga tak kalah menariknya jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Seperti Goa Sigolo-golo, Sumber Boto, Kedung Cinet, Sumber Penganten, Goa Sriti, Sendang Made, Air Terjun Tretes, dan lain-lain. 13 Tanggal 20 Maret 1881, Jombang secara resmi memperoleh status kabupaten, 13
Nanang PME dkk, Pesona Wisata Jombang, (Parbupora, Kabupaten Jombang, 2005).
15
dengan memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi Kabupaten Jombang ini baru pada tahun 1920 mempunyai seorang Bupati yaitu Raden Adipati Arya Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama. Hingga sampai dengan periode 20092013, Kabupaten Jombang diteruskan dan dijalankan dengan gemilang beserta segala persoalannya oleh Bupati Suyanto.
16
BAB II BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG 1. Profil R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930)
Kanjeng Sepuh atau Kanjeng Jimat adalah panggilan kesayangan warga Jombang untuk Bupati Jombang pertama yakni Raden Adipati Arya Soeroadiningrat atau R.A.A. Soeroadiningrat.14 Beliau menjabat sebagai Bupati Jombang sejak 1910 hingga 1930. Sebelum masa kepemimpinan beliau, Jombang merupakan daerah afdeeling Karesidenan Surabaya dengan pusat pemerintahan Jombang. Secara geografis Jombang terletak pada titik ketinggian 40 meter di atas permukaan air laut. Namun sebelum masuk di bawah afdeeling Surabaya terlebih dahulu Jombang menjadi bagian afdeeling Mojokerto wilayah paling barat. Kemudian pada tahun 1881 Jombang dipisahkan menjadi afdeeling tersendiri. Sekitar tahun 1910 afdeeling resmi dipisahkan dan menjadi sebuah kabupaten baru dengan cakupan luas sekitar 920 km persegi. Sebagai daerah afdeeling baru Jombang dibagi menjadi dua kontrol afdeeling, yaitu kontrol afdeeling Jombang, meliputi distrik Jombang dan Ploso. Kontrol afdeeling kedua terletak di Mojoagung yang membawahi distrik Mojoagung dan Ngoro.15 R.A.A Soeroadiningrat merupakan keturunan ke-15 dari Prabu Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit.16 Menurut silsilah, R.A.A. Soeroadiningrat, dalam silsilah disebutkan R.A.A. Soeroadiningrat V (Bupati Jombang I) adalah putera dari R.A.A. Soeroadiningrat IV (Regent Sedayu, 1855-1884). R.A.A. Soeroadiningrat IV merupakan keturunan langsung Raden Museng atau R.A.A. Soeroadiningrat III (Regent Sedayu, 1816-1855). 14
15
16
Menurut versi keluarga sebutan Kanjeng Jimat diperuntukkan R.A.A. Soeroadiningrat IV yang berada di Sedayu, Gresik. Penelusuran Hari Jadi Jombang, diterbitkan oleh Kantor Parbupora Kabupaten Jombang bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2008. Heather Sutherland., Silsilah Keluarga Penguasa Jawa Madura Anak Turun Brawijaya V. Tanpa penerbit.
17
Raden Museng adalah keturunan dari Raden Anom dan Raden Ayu Suradilaga (Patih Panembahan Madura). Raden Anom merupakan putera Tjakraningrat IV (1718-1745). Tjakraningrat IV keturunan dari Raden Undakan atau Tjakraningrat II (Panembahan Madura,1648-1707 dan Bupati-Wedana Bangwetan,1705-1707). Raden Undakan putera dari Raden Prasena atau Tjakraningrat I (Adipati Madura, 1624-1648). Raden Prasena putera Raden Kara (Pangeran Tengah Arosbaya, Bangkalan, 1592-1621). Raden Kara putra Raden Pratanu (Pangeran Lemahluhur/Lemahduwur, Arosbaya, Bangkalan, 15311592). Raden Pratanu putra Ki Pragalba (Pangeran Palakaran, Bangkalan). Ki Pragalba putra Ki Demung (Demang Palakaran, Kota-Anyar, Arosbaya, Bangkalan). Ki Demung putra Nyi Ageng Buda. Nyi Ageng Buda putri Aria Pratikel/Pabekel (Madekan, Sampang). Aria Pratikel putra Aria Menger (Madekan, Sampang). Aria Menger putra Raden Lembu Peteng (Madekan, Sampang, Madura). Raden Lembu Peteng putra Prabu Brawijaya V (Kertawijaya/Bra Tumapel, 1447-1478) dengan Kanjeng Ratu Handarawati (Putri Cempa).
foto R.A.A. Soeroadiningrat tahun 1930-an
Masa kecil Raden Adipati Arya Soeroadiningrat bernama Bagus Badrun. Beliau merupakan putera dari salah satu selir R.A.A. Soeroadiningrat IV. Sebagai putera seorang Regent atau Adipati, maka Bagus Badrun harus menjalani proses pendadaran sebagai 18
kader pemimpin bangsanya. Sebagai bekal terjun ke masyarakat, Bagus Badrun kecil menimba ilmu agama di Pesantren Giri. Tidak cukup hanya ilmu agama, Bagus Badrun juga mendalami ilmu kanuragan atau beladiri di Perguruan Gilingwesi. Proses membangun watak dasar pemimpin masa itu benar-benar dilakukan secara paripurna. Karena selain melalui jalur agama, juga menggunakan jalur budaya dan tradisi setempat. Sehingga pemimpin yang dihasilkan betul-betul mumpuni untuk menjadi Pamong Praja, artinya panutan dan pembimbing rakyat, tidak sebaliknya menjadi Pangreh Praja atau penguasa rakyatnya. Bagus Badrun diangkat oleh Pemerintah Belanda menggantikan ayahandanya R.A.A. Soeroadiningrat IV sebagai Regent atau Adipati di daerah Sedayu, Gresik pada kurun waktu 1884-1910, bergelar R.A.A. Soeroadiningrat V, sebelum menjabat kedudukan yang sama di wilayah Jombang pada periode berikutnya. Pengangkatannya sebagai Adipati Sedayu menimbulkan kecemburuan di kalangan saudaranya. Salah satu di antara yang kurang setuju Bagus Badrun menggantikan ayahandanya adalah saudara lain Ibu bernama Raden Jamilun. Kelak Raden Jamilun memposisikan diri sebagai oposan R.A.A. Soeroadiningrat V hingga menjadi Regent atau Adipati di Jombang.17 Berbeda dengan R.A.A. Soeroadiningrat yang berprinsip mengikuti arus air tapi jangan sampai terbawa arus, artinya mengikuti kemauan Belanda, tetapi tetap berjuang dan bekerja untuk rakyat. Bagi Raden Jamilun sikap moderat ala saudaranya itu sangat bertentangan dengan hati nurani. Maka Raden Jamilun memilih berjuang membela rakyat dengan cara dan keyakinannya sendiri. Ia akhirnya menjadi penyamun seperti kisah Robin Hood di Inggris atau kisah Brandal Lokajaya, nama Raden Said atau Sunan Kalijaga ketika melakukan hal yang sama pada kurun waktu akhir Majapahit. Kejahatan maling Jamilun akhirnya terdengar juga oleh Pemerintah Belanda. Namun pihak Belanda tidak bisa berkutik, karena Raden Jamilun adalah saudara R.A.A. Soeroadiningrat yang pada waktu itu sangat disegani Belanda dan disayang rakyatnya. Sehingga sepak terjang Raden Jamilun dengan jalan mencuri harta kaum berduit dan hasilnya dibagi-bagikan untuk rakyat kecil, terus berlanjut tanpa ada yang menghentikan. Meskipun 17
tidak
sedikit
maling-maling
kroco
atau
kelas
teri
harus
Wawancara dengan Agus Heliyana sebagai buyut menantu R.A.A Soeroadiningrat dan Bapak Raden Panji Darmodi selaku cucu R.A.A. Soeroadiningrat, pada hari Rabu, 29 September 2010, jam 18.30 WIB di Café Garuda, Jln. Dr. Sutomo, Jombang.
19
mempertanggungjawabkan perbuatannya di sebuah mahkamah pengadilan Belanda yang disebut landraad. Surat pengangkatan R.A.A. Soeroadiningrat V tidak begitu saja diterbitkan oleh pihak pemerintah Hindia Belanda. Artinya selain pandangan pihak Keratuan Belanda, juga ada pihak-pihak lain yang mendorong dipilihnya Kanjeng Sepuh sebagai Bupati Jombang pertama. Pejabat yang dimaksud adalah Bupati Mojokerto ketiga Raden Adipati Arya Kramadjajaadinegara. Karena masa sebelumnya Jombang masuk dalam bagian afdeeling Mojokerto, sehingga ikatan batin antara penguasa dua wilayah ini masih sangat kuat. R.A.A. Kramadjajaadinegara sendiri memiliki orang kepercayaan untuk memantau perkembangan Jombang bernama Imam Zahid, seorang penghulu di Sumobito. Bahkan Imam Zahid inilah yang mengambil beselit/Surat Keputusan pengangkatan R.A.A. Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ke Batavia.18 Konon dalam perjalanan membawa SK dari Batavia, Imam Zahid menyempatkan diri membeli bibit mangga gadung. Pohon mangga itu kemudian ditanam di depan masjid Sumobito. Sekarang pohon mangga gadung tersebut masih dapat kita saksikan di halaman masjid Sumobito, Kabupaten Jombang. Masa awal jabatan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Kabupaten Jombang pada tanggal 22 Februari 1910 dan penanaman pohon beringin kunthing di halaman pendapa serta beringin di lokasi Ringin Conthong. Penanaman pohon beringin ini menurut simbolisme Jawa adalah sebagai lambang pengayoman seorang pemimpin kepada kawula atau rakyat yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin lulusan pondok pesantren dan perguruan seni beladiri, R.A.A. Soeroadiningrat V memiliki bekal keilmuan yang cukup. Tulisan tangan beliau dikenal sangat indah, terutama jika menggunakan huruf Arab Pego dan huruf Jawa. Namun sangat jelek jika memakai huruf latin. Hal ini diakui oleh Bapak Raden Panji Darmodi selaku cucu beliau. Sosok R.A.A. Soeroadiningrat V juga dikenal sebagai seorang tokoh pluralis dan moderat. Bukti kepluralisan beliau diwujudkan pada penghormatan terhadap keyakinan
18
Wawancara dengan Bapak Nasrul Illah, pemerhati budaya, pada hari Jumat, tanggal 8 Oktober 2010 pukul 09.30 di Disporabudpar Kabupaten Jombang.
20
lain di luar Agama Islam yang beliau anut. Bahkan di ruang kerja beliau terdapat patung Budhis simbol Agama Buddha dan Batara Wisnu sebagai simbol Agama Hindu. Meskipun demikian R.A.A. Soeroadiningrat bukan penganut sinkretis agama.
R.A.A. Soeroadiningrat dengan R.A. Ayu Maimunah
Upaya untuk mendekati Belanda digunakan Bupati Jombang pertama sebagai media penyambung. Sehingga memudahkan agenda tersembunyi beliau untuk semaksimal mungkin memakmurkan rakyat. Dengan cara ini akhirnya rakyat tidak terbebani, baik pungutan pajak yang mencekik maupun kebijakan lain. Justru banyak kaum jelata menghormati beliau sebagai sosok pengayom dan mengerti kebutuhan rakyat. Karena beliau dikenal juga sebagai orang pintar yang bisa mengobati orang sakit dengan ramuan-ramuan tradisional. Atas jasa baik beliau sebagai pemimpin dan disukai rakyatnya, maka Pemerintah Belanda memberikan bintang kehormatan Ridder Der Oranye Nasaw atau bintang kehormatan sebagai tangan kanan Raja (orang kepercayaan Belanda). Mengenai kewaskitaan Kanjeng Sepuh atau R.A.A. Soeroadiningrat V ini, banyak saksi yang masih bisa menceritakan. Seperti misalnya; suatu hari diceritakan bahwa Kanjeng Sepuh telah membeber (menggelar) tikar di Pendopo Kabupaten untuk pengobatan gratis. Dikatakan demikian karena pasien yang berobat biasanya tidak menyerahkan uang sebagai ongkos melainkan hasil bumi yang mereka miliki, seperti
21
pisang, kelapa, dan beras satu takar. Tikar atau klasa dalam bahasa Jombang digunakan antrian pasien atau warga Jombang yang ingin berobat. Tiba-tiba ketika giliran salah satu pasien, Kanjeng Sepuh berpesan kepada anak si pasien agar memberikan ramuan daun Sembung kepada Mbok (Ibunya) sampai hari Rebo Wage. Kemudian setelah tiba hari Rebo Wage menurut pesan Kanjeng Sepuh, pasien bersangkutan meninggal dunia. Benar tidaknya kewaskitaan ini wallahua’lam bishawab. Salah satu acara pesta rakyat yang digelar rutin setiap tahun oleh Kanjeng Sepuh adalah pesta memperingati ulang tahun Ratu Belanda Yuliana. Biasanya dilakukan di Pendopo Kabupaten dengan diwarnai arak-arakan massal para petani yang memamerkan hasil bumi mereka. Mungkin semacam karnaval yang kita kenal sekarang untuk memperingati kemerdekaan. Hasil-hasil bumi yang diarak keliling dengan menggunakan kendaraan dokar sepanjang jalan-jalan di Kota Jombang tersebut adalah hasil bumi terbaik yang mereka miliki. Kemudian pada sesi akhir acara dilakukan penyerahan hadiah dari Pemerintah Belanda kepada pemenang yang menyajikan hasil bumi terbaik, terbanyak, dan terbesar. Hasil-hasil bumi itu berupa pala pendhem; seperti uwi, gembili, tales dan lain-lain, termasuk padi dan palawija. Puncak acara peringatan ulang tahun Ratu Yuliana dilakukan dengan menggelar tarian dansa ala Eropa dan pertunjukan karawitan. Di setiap kesempatan selalu digunakan Kanjeng Sepuh untuk memperluas jaringan lobby. Sering di sela-sela tugas beliau sebagai Bupati, beliau secara sengaja bergabung dengan orang-orang Belanda dan asing lainnya di sebuah komunitas selatan kantor pos sekarang yang dulu bernama community society. Atau kelompok high class zaman Belanda. Kegiatan community society ini antara lain olahraga bersama di rumah bola (bowling) dan bilyard. Posisi rumah bola adalah kantor telkom sekarang. Di situlah sering Kanjeng Sepuh mendapatkan perhatian lebih dari pejabat Pemerintah Belanda. Tidak mengherankan jika Dr. Van Der Plass selaku Residen Surabaya sangat menaruh hormat pada Kanjeng Sepuh. Rasa hormat ini bahkan cenderung mengarah pada persaudaraan antar bangsa. Karena Dr. Van Der Plass sering melakukan kunjungan ke kediaman Kanjeng Sepuh. Akhirnya beberapa mesin uang Belanda di tanah Jawa berupa pabrik-pabrik gula banyak didirikan di daerah Jombang. Tidak kurang dari tujuh pabrik gula pernah berdiri di Kabupaten Jombang, antara lain; pabrik gula Tjoekir, Ceweng, Djombang Baru, Peterongan, Ploso, Sumobito, dan Mojoagung.
22
Kanjeng Sepuh adalah figur Bupati yang sederhana. Kesan ini terekam pada keseharian beliau yang menyukai laku prihatin. Pada setiap malam Jumat Legi beliau selalu membakar dupa sebagai media kontemplasi. Dupa tersebut biasanya dibuat oleh Raden Ajeng Asiyah Airmuna sebagai putri keduanya. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat dupa dengan aroma khas dan berkelas diperoleh dari warisan turuntemurun, antara lain menggunakan kulit duku, kemenyan, dan ramuan-ramuan lainnya. Keteladanan hidup sederhana ini juga ditunjukkan dengan tidak bergaya hidup mewah, meskipun gaji Kanjeng Sepuh sebagai Adipati sebesar 1000 gulden setiap bulan memungkinkan untuk itu. Sebagai pembanding uang 15 gulden saja pada waktu itu bisa digunakan untuk membeli sebuah rumah mewah plus pekarangannya. Masa pensiun Kanjeng Sepuh sebagai Bupati di Jombang, terjadi perang dunia II. Ketika itu Jepang mulai masuk ke wilayah Indonesia setelah berhasil mematahkan dominasi Barat dengan mengebom pangkalan Angkatan Laut Amerika Pearl Harbor di Hawaii. Semula kehadiran bala tentara Jepang disambut dengan sukacita, tetapi setelah bangsa Indonesia tersadar bahwa tindakan Jepang lebih parah, bahkan lebih sadis dari Belanda, maka mulailah perlawanan di mana-mana. Tidak terkecuali di Jombang. Kedatangan Jepang ternyata menyulut penderitaan panjang rakyat Jombang. Salah satu bentuk kebiadaban gaya baru ala prajurit Jepang tersebut berupa penculikan gadis-gadis belia untuk digunakan sebagai budak seks tentara Jepang. Penculikan berakhir perkosaan massal itu yang kemudian terungkap sebagai jugun ianfu (wanita pemuas nafsu tentara Jepang). Untuk menghindari kebiadaban bala tentara Jepang, akhirnya Kanjeng Sepuh bersama beberapa cucu beliau yang sudah beranjak remaja memutuskan untuk sementara mengungsi ke suatu tempat/desa bernama Gempollegundi (sekarang Kecamatan Gudo). Di desa itulah sekitar empat hari Kanjeng Sepuh ditolong Lurah dan warga setempat agar tidak diketahui tentara Jepang. Pengungsian ini terjadi setelah melakukan serangkaian diskusi antara Kanjeng Sepuh dan putranya R.A.A. Setjoadiningrat serta penasehat spiritual beliau yang terkenal dengan sebutan Mbah Jimbrak, Lurah Gambang (Desa Plumbongambang, Kecamatan Gudo). Benar juga dugaan Kanjeng Sepuh, setelah empat hari mengungsi di Gempollegundi, Kanjeng Sepuh dan keluarga memutuskan kembali ke Ndalem
23
Kasepuhan yang berada di Jalan Arjuna (sekarang Jalan dr. Sutomo, tepatnya lokasi rumah sakit Muhammadiyah). Setiba di sana kondisi Kasepuhan sudah diacak-acak bala tentara Jepang. Kamar tidur Kanjeng Sepuh dan keluarga kusut masai bekas digunakan serdadu Jepang. Beberapa potong roti sisa prajurit Jepang tertinggal di meja kamar tidur beliau. Beruntung para prajurit Jepang itu sudah meninggalkan kediaman Kanjeng Sepuh. Sehingga kehidupan keluarga Bupati Jombang pertama itu bisa normal kembali. Setelah jabatan Kanjeng Sepuh sebagai Bupati pertama Jombang diserahkan kepada putra beliau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat, maka mulailah masa pensiun beliau. Untuk mengisi waktu di sela aktifitas pensiun, Kanjeng Sepuh sering melukis di kamar pribadi beliau. Aktifitas melukis ini membuktikan bahwa Kanjeng Sepuh memiliki bakat terpendam sebagai seniman lukis, meskipun menolak dikatakan sebagai seniman. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat (Kanjeng Sepuh) murud kasidan jati atau dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada 20 April 1946, tepatnya bulan Suro, hari Jumat Pahing.19 Banyak kalangan dan kolega beliau merasa sangat kehilangan, termasuk para tokoh ulama. Sebagai bentuk penghormatan terakhir sebelum jenazah dimakamkan di pemakaman keluarga Pulo Sampurno, sebanyak empat ulama pemimpin empat pondok pesantren besar di Kabupaten Jombang melakukan sholat jenazah bagi almarhum. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat meninggalkan seorang istri bernama Raden Ayu Maimunah Soeroadiningrat dan 3 orang putri-putra, yaitu Raden Ayu Badariyah, Raden Ayu Asiyah Airmuna, dan Raden Adipati Arya Sarwadji atau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII.
19
Hasil wawancara dengan buyut menantu Kanjeng Sepuh Mas Agus Heliyana, hari Kamis, tanggal 30 September 2010, jam 18.30 WIB.
24
2. Profil R.A.A. Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930-1946)
Raden Adipati Arya Setjoadiningrat atau lengkapnya Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII adalah Bupati Jombang kedua setelah Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V. Beliau adalah putera ketiga dari Kanjeng Sepuh bernama kecil Raden Adipati Arya Sarwadji. Meskipun dikenal sebagai keturunan ningrat, Kanjeng Bupati Setjoadiningrat dikenal sebagai sosok bupati pejuang. Apalagi setelah menikah dengan garwa/istri kedua beliau Raden Ayu Poppy Kadarin, karena istri pertama beliau meninggal dunia. Raden Ayu Poppy Kadarin ini sangat terkenal sebagai istri bupati yang menjunjung tinggi pengabdian, baik kepada suami maupun bangsa dan negara. Hal ini tidak mengherankan karena beliau masih keturunan dr. Abdul Kadir selaku dokter pribadi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dari almarhumah istri pertama Raden Setjo dikaruniai enam putra-putri; Raden Panji Willy Soedjono, Raden Edi Soewondo, Raden Ayu Ani Rochani, Raden Ayu Nora Soetarinah, Raden Poegoeh Soeratno, dan Raden Ayu Mimik Soeseni. Sedangkan dengan istri sambungan Raden Ayu Poppy Kadarin beliau dikaruniahi dua momongan. Suksesi kepemimpinan dari Kanjeng Sepuh (Raden Adipati Soeroadiningrat V) kepada Raden Adipati Arya Setjoadiningrat berlangsung lancar, karena jauh sebelumnya jabatan tersebut sudah dipersiapkan. Ada dua alasan mengapa Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII yang menggantikan ayahandanya. Pertama karena beliau satusatunya putera laki-laki, sehingga otomatis sebagai penerus tahta kebangsawanan. Kedua Raden Setjo telah dikirim mengikuti pendidikan Kepamongprajaan atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Opleding S Chool di Blitar. Pada tahun-tahun awal jabatan Bupati yang diembannya, Raden Setjo menitikberatkan pada pembangunan pertanian. Apalagi pengairan pada waktu itu sangat mudah diperoleh. Ini disebabkan hutan-hutan di pegunungan Wonosalam masih rimbun.
25
Fokus perhatian Kanjeng Setjo terutama pada perkebunan karet dan tebu. Karena permintaan pasar dunia mengarah pada dua komoditas tersebut. Meskipun gula masih didominasi negara-negara Amerika Latin seperti Brazil dengan gula bitnya. Perubahan konstelasi politik dan militer pada sekitar tahun 1941 terjadi cukup signifikan dengan beralihnya peta kekuatan dari Barat yang dikomandoi negara-negara Eropa dan Amerika menuju kekuatan Dunia Timur yang diwakili oleh Jepang. Apalagi mimpi Jepang untuk menjadi Imperium Asia Jepang tidak dapat dibendung lagi. Jepang menganggap bahwa penghalang utama cita-cita mereka adalah Armada terkuat Amerika Serikat di Pasifik yang berpangkalan di Hawaii, yaitu Peral Harbor. Karena itu disusun rencana serangan rahasia oleh Laksamana Isoroku Yamamoto pada September 1941. Pada tanggal 28 Februari malam menjelang 1 Maret 1942, tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Tengah). Dari Kragan, pasukan divisi ke-48 bergerak ke tiga jurusan. Satu kolone pasukan yang bergerak melalui rute utara tiba di Surabaya pada tanggal 8 Maret 1942. Kolone lainnya bergerak ke arah barat dan berhasil menduduki Semarang. Gerakan ke arah selatan oleh kolone Sakaguchi menuju Cilacap.20 Kolone kedua yang menuju arah Surabaya melalui rute utara akhirnya sampai juga ke daerah Kabupaten Jombang. Pada awalnya kedatangan mereka dielu-elukan rakyat terutama kaum muda, karena propaganda Jepang yang terkenal dengan sebutan tiga “A”, yaitu; Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Pelindung Asia. Apalagi di kalangan rakyat sangat mempercayai Ramalan Prabu Jayabaya Raja Kediri yang berbunyi, ”Akan datang pada suatu masa jago kate dari timur laut berpakaian seperti klaras (daun pisang kering) yang akan membebaskan Nusantara.” Masa
pendudukan
Jepang
Raden
Adipati
Arya
Setjoadiningrat
tetap
dipertahankan sebagai Bupati oleh penguasa Jepang. Apalagi putera pertama beliau Raden Panji Willy Soedjono mendapat didikan kemiliteran dari balatentara Jepang. Pada waktu itu Raden Willy mendapat pangkat Shodanco atau setara Letnan pada jenjang
20
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia). 2007. Hlm.7.
26
kepangkatan TNI sekarang. Pilihan berkarir di kemiliteran putera pertama Kanjeng Setjo nantinya diikuti oleh adiknya Raden Edi Soewondo.21 Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun, tetapi dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa. Termasuk kondisi pemerintahan dan kehidupan ekonomi yang makin terpuruk. Barang-barang kebutuhan rumah tangga sangat sulit diperoleh. Kalaupun ada harganya melambung tinggi. Sehingga pernah pemerintah pendudukan Jepang, khususnya di Jombang memprovokasi rakyat agar menjarah toko-toko milik etnis Cina. Masa itu adalah kondisi tersulit yang dialami Pemerintahan Kabupaten di bawah Raden Adipati Arya Setjoadiningrat. Setelah Jepang dikalahkan oleh balatentara Sekutu dan Jawa Timur diduduki kembali oleh Belanda, mantan Residen Surabaya Dr. Van Der Plass mengunjungi Raden Setjo disertai permintaan agar beliau mau mempertahankan jabatan Bupati sebagai kepanjangan tangan Belanda. Peristiwa ini sempat menimbulkan ketidaksenangan kaum Republikan karena mengira Raden Setjo figur Bupati pro Belanda. Tetapi sebenarnya kesediaan Kanjeng Setjo sebagai bentuk strategi agar pembelaan beliau terhadap para pejuang tidak diketahui. Sehingga meskipun secara kasat mata beliau terkesan pro Belanda, di balik itu komunikasi dengan para gerilyawan di hutan-hutan tetap dipertahankan. Pola komunikasi itu dilakukan dengan bantuan kurir yang sengaja datang pada malam hari ketika suasana sedang sepi. Si kurir menyampaikan kebutuhan para pejuang, sebaliknya Kanjeng Setjo menyediakan segala hal yang diperlukan. Antara lain persediaan senjata yang diperoleh melalui pasar gelap. Ketika meletus perang secara sporadis di Mojoagung antara tentara Belanda dan para pejuang, pada transisi masa pendudukan Jepang, istri Kanjeng Setjo, Raden Ayu Poppy menggalang aksi dapur umum di belakang Pendopo Kabupaten untuk mendukung logistik para pejuang. Setiap lurah di Kabupaten Jombang menyerahkan bahan-bahan makanan dan sayur-mayur untuk kepentingan tersebut. Hampir setiap hari truk-truk sisa pendudukan Jepang digunakan untuk mengangkut logistik ke garis depan pertempuran. Kanjeng Setjo sebagai Bupati Jombang kedua memegang jabatan tidak kurang dari 16 tahun. Selama kepemimpinan beliau dihabiskan untuk perjuangan, karena kurun
21
Wawancara dengan Bapak Raden Panji Darmodi, cucu Kanjeng Sepuh di ndalem Pesanggrahan, Jalan K.H. Ahmad dahlan, pada 30 September 2010, jam 21.30 WIB.
27
waktu 1930 hingga 1946 merupakan gencar-gencarnya revolusi fisik. Masa di mana pendudukan Jepang berlangsung, dilanjutkan proklamasi kemerdekaan, sedangkan di sisi lain Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Menjelang masa pensiun dan menjelang era Republik, Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII mengabdikan hidupnya sebagai Residen di Surabaya sampai masa pensiun. Sebagaimana ayahanda Raden Adipati Arya Soeroadiningrat, ketika wafat pada tanggal 9 Juni 1963, jenazah Raden Adipati Arya Setjoadiningrat dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pulo Sampurno, Kecamatan Jombang.
28
3. Profil Bupati R. Boediman Rahardjo (Masa Bhakti 1946-1949)
R. Boediman Rahardjo adalah salah satu sosok Bupati Jombang dari unsur kepolisian. Ia tercatat sebagai perwira Polri pertama yang menduduki jabatan sebagai pemimpin Jombang. Kota santri ini mengalami puncak kepemimpinan daerah dari tiga unsur TNI/Polri dan orang sipil. Dari sekian unsur yang berasal dari TNI Angkatan Darat, kepolisian, dan dari warga sipil ini mencerminkan keberagaman yang unik dan tentu hal tersebut memberi warna dan kontribusi tersendiri dalam keberjalanan pemerintahan di Kabupaten Jombang. Masa-masa kepemimpinan Bupati R. Boediman Rahardjo, kondisi keamanan di tanah air belum stabil karena niat buruk Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Dan ia ditunjuk oleh Pemerintah Pusat di Jakarta bukan tanpa alasan, mengingat kemampuannya sebagai pemimpin di kesatuan Polri sangat disegani. Sehingga ia mendapat tugas memimpin Jombang sebagai basis pertahanan terakhir kaum Republikan pada saat agresi militer Belanda. Atas pertimbangan keamanan teritorial, pada awal kepemimpinan Bupati R. Boediman didirikanlah sebuah Akademi Perwira di Mojoagung. Daerah Mojoagung ini dianggap sebagai tempat strategis untuk menghadang Belanda yang datang dari arah Trowulan. Akademi Perwira ini di bawah kendali langsung Kementrian Pertahanan. Atau tepatnya Pangkowilhan atau Panglima Komando Wilayah Pertahanan II, Kementrian Pertahanan. Salah satu putera Jombang yang sukses sebagai lulusan Akademi ini adalah Jendral Himawan Sutanto, putera Muhamad, seorang asisten Wedana di Diwek.
29
Muhamad sendiri adalah seorang Daidanco (Komandan Militer se-Indonesia) di era pendudukan Jepang.22 Sebagai seorang pemimpin dari kesatuan yang tergolong elit pada masa itu, tidak mengherankan jika R. Boediman Rahardjo diberi amanat memimpin Jombang dengan memegang kendali daerah Mojoagung sebagai ibukota pemerintah darurat kabupaten. Terbukti kemudian pasukan agresor Belanda tidak mampu memasuki Jombang melalui Mojoagung. Sehingga mereka memilih jalan memutar dari arah Babat, Lamongan menuju Ploso, baru masuk Jombang sebagai tujuan utama. Pertempuran demi pertempuran terjadi antara prajurit Republikan atau para pejuang kemerdekaan dengan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah. Tidak jarang penghadangan dilakukan dengan berbekal senjata seadanya, itupun hasil rampasan dari tentara pendudukan Jepang yang sudah dikalahkan sebelumnya. Laskar-laskar atau prajurit dari berbagai kesatuan bahu-membahu untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Dalam situasi demikian, kedudukan seorang pemimpin wilayah seperti Bupati R. Boediman menjadi cukup vital. Mengingat fungsinya selain sebagai pengayom masyarakat, juga penyedia kebutuhan logistik prajurit di medan pertempuran. Kemampuaan memenejemen kesatuan Polri mendorong Bupati R. Boediman melaksanakan tugas secara maksimal. Sehingga kulminasi dari sinergitas antar kekuatan dari elemen bangsa Indonesia benar-benar menjadi catatan penting sebagai bagian dari salah satu pioner pejuang demi menjaga keutuhan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
22
Wawancara dengan Joko Suparto (eks TRIP) di kediamannya di Kaliwungu Selatan Gg II, Jombang, pukul 10.30 WIB.
30
4. Profil R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949-1950)
Ia merupakan Bupati yang memiliki fisik dan prinsip hidup seperti Bima dalam cerita pewayangan. Gelar kebangsawanan “Raden” di depan namanya menunjukkan bahwa dirinya masih keturunan darah biru. Sosok R. Moestadjab Soemowidagdo yang tinggi besar menjadikannya mudah dikenali. Sampai-sampai Suparto Brata seorang penulis Jawa menyebutnya dengan deskripsi yang tidak jauh dari kondisi fisik sang pemimpin: gagah ibarat Werkudara alias Bima.23 Kepemimpinan Bupati R. Moestadjab di Kabupaten Jombang memperteguh posisi strategis Jombang sebagai benteng pertahanan terakhir para pejuang Republikan. Karena letak Jombang yang berada di lintas batas yang menghubungkan kota-kota lain dari seluruh penjuru Jawa Timur, menjadikan kota ini sangat ideal dijadikan benteng pertahanan. Sehingga kesatuan-kesatuan pejuang seperti Laskar Hizbullah, Kompi Wanara pimpinan mantan Menteri Kehutanan Soedjarwo, batalyon Merak pimpinan mantan Gubernur Jawa Timur Soenandar Priyo Soedarmo, pernah bermarkas di Jombang. Masa 1949-1950 adalah periode perjuangan bangsa Indonesia menegakkan kemerdekaan. Belanda dengan berbagai dalih dan alasan ingin mencengkeram dengan kuku-kuku kolonialisnya di bumi pertiwi. Maka di era kepemimpinan R. Moestadjab Soemowidagdo adalah masa penentu keberlangsungan pemerintahan sesudahnya. Karena jika para pejuang yang berada di garis depan tidak kuasa menghadapi agresor Belanda, maka kemungkinan Kabupaten Jombang akan luluh-lantak dalam peristiwa agresi tersebut. Bupati R. Moestadjab Soemowidagdo adalah salah satu sosok Bupati Jombang yang bertangan dingin. Kepiawaiannya dalam memimpin Jombang di masa-masa awal Republik Indonesia, membuktikan bahwa Bupati R. Moestdjab sebagai sosok pemimpin 23
Surabaya Post, 10 November 1976
31
pilihan di masa transisi. Transisi sebagai kepala daerah kabupaten yang sebelumnya di bawah kekuasaan penguasa Hindia Belanda.
Rumah dinas yang pernah ditempati Bupati Moestadjab di Jl. K.H. Wahid Hasyim Jombang
Meskipun hanya satu tahun memimpin Kabupaten Jombang masa bhakti 19491950, namun sepak terjangnya menjadi landasan bagi strategi kepemimpinan Kabupaten Jombang era sesudahnya. Paling tidak Bupati R. Moestadjab telah meletakkan kerangka acuan bagi para penggantinya. Mengingat dalam situasi yang tidak pasti tentunya diperlukan figur yang kuat secara prinsip dan idealistik. Sehingga sangat tepat dijadikan teladan bagi warga masyarakat yang dipimpinnya. Atas prestasi memimpin kota santri di Jombang, akhirnya pemerintah pusat menugaskan R. Moestadjab Soemowidagdo menjadi Walikota Surabaya. Di tempat tugas yang baru ini ia langsung tancap gas menjadi ketua pembangunan Tugu Pahlawan sebagai tetenger (penanda) peristiwa 10 Nopember Surabaya. Selain dikenal sebagai pemimpin yang disegani, R. Moestadjab Soemowidagdo juga memiliki kepedulian terhadap nasib para seniman. Mengenai hal ini bisa dibuktikan dengan diberikannya sebuah rumah atas tanggungannya kepada almarhum Cak Kandar salah satu seniman lukis Jawa Timur.24
24
Wawancara dengan Syahlan Husain (Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jatim) di kantor Dewan Kesenian Jawa Timur di Jl. Wisata Menanggal Surabaya, pada Selasa, 9 November 2010, pukul 12.30 WIB.
32
5. Profil R. Istadjab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956)
Kondisi Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada tahun 1945 mengalami ujian yang tidak ringan. Kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda menjadi batu sandungan bagi negara yang baru berdiri. Situasi yang tidak menentu ketika itu juga melanda Jombang, meskipun konon tidak cukup berpengaruh pada kondisi perekonomian rakyat. Karena posisi Jombang sebagai penentu strategis basis pertahanan para pejuang. Di tengah ketidakpastian itulah muncul dua opsi besar di Republik ini, yaitu golongan cooperation dan kubu non cooperation. Artinya mereka yang pro Belanda dan golongan yang anti penjajah Belanda. Akhirnya dari kemunculan kubu-kubu ini mendorong pemerintah pusat untuk selektif menentukan para pemimpin di daerah termasuk para bupatinya. Mereka yang sebelumnya dikenal sangat pro Belanda akan diberhentikan dari jabatan, bahkan dibuang jauh dari lingkaran pemerintahan. Karena komitmen loyalitas kebangsaannya dianggap meragukan. Beruntung akhirnya Jombang mendapat jatah seorang pemimpin dari kalangan non cooperation atau tepatnya pegawai sipil pamongpraja di luar pegawai yang diangkat Belanda. Ia adalah R. Istadjab Tjokrokoesoemo yang dikenal sebagai Republikan sejati dan tokoh yang memiliki nyali menentang penjajahan Belanda. Ia akhirnya cukup dikenal sebagai bupati di era perjuangan.25 Sepak terjang Bupati R. Istadjab Tjokrokoesoemo ternyata diwarisi oleh salah seorang putranya, Ismanoe, yang memilih menjadi pejuang yang bertempur di garis depan. Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Bupati R. Istadjab dan putranya Ismanoe adalah dua sisi mata uang bagi sejarah bangsa Indonesia yang muncul dari Kabupaten 25
Wawancara dengan Joko Suparto (eks TRIP) di Kaliwungu Selatan Gg. II Jombang, pada tanggal 15 Desember 2010, pukul 10.45 WIB.
33
Jombang. Satu panggilan jiwa yang digerakkan oleh pemilik segala maha: Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai bupati pejuang, maka Bupati Istadjab membuka penuh pintu rumah dinasnya jika para pejuang membutuhkan. Rumah dinas yang kini masih bisa disaksikan di sebelah selatan Ringin Conthong Jombang ini adalah saksi bisu proses perjuangan arek-arek Jombang dalam menentang penjajahan Belanda.
Rumah dinas yang pernah ditempati Bupati Istadjab di Jl. Wahid Hasyim Jombang
Masa pengabdian Bupati Istadjab di Jombang membawa pengaruh pada karirnya di kemudian waktu. Karena jabatan baru sebagai Walikota Surabaya sudah menunggu. Waktu sekitar enam tahun memimpin kota santri menjadi pijakan untuk selanjutnya bertugas memimpin kota terbesar kedua di Indonesia itu. Kini setelah tahun demi tahun terus berganti dan zaman kian berubah, segores catatan sejarah yang melibatkan sepak terjang para pemimpin Jombang masa lalu adalah dokumen yang wajib diketahui dan diwariskan kepada generasi muda. Agar tujuan pengajaran sejarah tidak melenceng dan tenggelam. Menurut R. Moh. Ali, sejarah adalah sarana mengenalkan orang yang berjuang kepada orang yang sedang berjuang, benarbenar bisa diwujudkan. Termasuk upaya mewarisi nilai-nilai kejuangan para pendahulu. Sebagaimana diingatkan founding fathers atau pendiri negara Bung Karno; Jas Merah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
34
6. Profil Bupati M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958 dan 1960-1961)
Salah satu bupati era transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru yang dimiliki Kabupaten Jombang adalah M. Soebijakto. Ia adalah sosok bupati yang memiliki tingkat kematangan politik yang teruji. Sehingga tidak mengherankan jika ia menjabat dua kali sebagai Bupati Jombang, yaitu masa bhakti tahun 1956-1958 dan masa bhakti kedua 1960-1961. Hal yang jarang ditemui seorang bisa memegang jabatan sampai dua kali pada masa yang serba sulit itu. Ia dilahirkan di tengah kultur Madura, tepatnya di daerah Situbondo, Jawa Timur.26 Masa kecilnya kental dengan suasana masyarakat Madura yang sangat agamis. Selain itu daya juang dan etos kerja yang tinggi yang menjadi trademark penghuni pulau garam juga melekat erat pada diri M. Soebijakto. Hal tersebut kelak sangat mempengaruhi pengambilan keputusan di era transisi pemerintahan yang memerlukan strategi dan pola kebijakan yang taktis, agar pemerintahan tetap tegak berdiri. Selain sebagai pejabat yang disegani di lingkungan kerja, ia juga dikenal sebagai sosok yang menjunjung tinggi silaturahmi dan kekerabatan. Tidak mengherankan kalau ia selalu ramah pada setiap orang, apalagi terhadap kolega terdekatnya. Salah satu fakta yang diakui oleh Bapak Bupati R. Soedirman bahwa ia mendapat kehormatan kala pesta pernikahannya dihadiri oleh Bupati M. Soebijakto. Selain sebagai kepala daerah, Bupati M. Soebijakto juga dikenal sebagai aktifis Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebuah organisasi politik yang dibangun oleh Bung Karno sebagai salah seorang founding fathers bangsa Indonesia. Sehingga paham-paham kebangsaan yang dipopulerkan Presiden Soekarno melekat erat dalam keseharian sosok M. Soebijakto. Paham yang dikenal sebagai Marhaenisme itu menjunjung tinggi pembelaan terhadap kaum lemah atau wong cilik.
26
Wawancara dengan Ibu Su’udiyah R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah Surabaya, 13 Desember 2010, pukul 13.00 WIB.
35
Pemimpin Jombang yang ramah ini seolah melengkapi kharismanya sebagai pemimpin daerah berjuluk kota santri. Apalagi pertemuan dua aliran kebudayaan besar, yaitu Mataraman dan Arek menimbulkan sifat kritis tetapi egaliter dan senantiasa terbuka untuk berdialog dengan masyarakatnya. Sehingga kepemimpinan Bupati M. Soebijakto sangat tepat diperuntukkan bagi Kabupaten Jombang. Prestasi memimpin daerah di era transisi ternyata tidak mengurangi perannya menjadi kepala rumah tangga. Bahkan salah satu menantunya, Anton Sujarwo, pernah berhasil menduduki jabatan Kapolri. Prestasi demi prestasi ditorehkan dan jabatan demi jabatan disandang oleh Bupati M. Soebijakto. Rupanya pengabdiannya memimpin Jombang mendapat apresiasi positif dari pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun pemerintah pusat. Salah satunya adalah posisi sebagai Pembantu Gubernur Jawa Timur di Madiun, telah mengantarkan puncak karirnya setelah memimpin Jombang. Seperti peribahasa harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama besar. Semoga sumbangsihnya dalam memimpin Kabupaten Jombang menjadi sebuah catatan emas yang mewarnai perjalanan kota santri sebagai bagian integral Bangsa Indonesia.
36
7. Profil Bupati R. Soedarsono (Masa Bhakti 1958-1962)
R. Soedarsono merupakan Bupati Jombang yang ke tujuh. Ia menjabat sebagai bupati pada periode 1958 hingga 1962. Soedarsono lahir di Magetan 24 September 1921, tepatnya di Desa Sumber Rambe, Kecamatan Karangrejo. Ayahnya bernama Abdullah Martodirjo, seorang Kepala Desa yang berpengaruh kala itu. Soedarsono terlahir sebagai anak ke lima dari enam bersaudara. Lazimnya seorang Kepala Desa, ayah Soedarsono mempunyai sawah yang cukup luas, dan punya banyak hewan ternak.27 Meski anak dari keluarga berpangkat, masa kecil Soedarsono tidak jauh beda dengan anak desa pada umumnya. Berkecipak dengan lumpur di sawah, bermain petak umpet, hingga mandi di sungai. Tidak jarang, Soedarsono kecil juga ikut menggembalakan kerbau di sawah sembari bermain jerami. Kakeknya bernama K.H. M. Tauhid, seorang ulama desa setempat. Dari kakeknya itulah ia mempelajari banyak ilmu agama, mulai dari salat hingga mengaji. Berdasarkan keterangan dari keluarganya, jika ditarik garis ke atas, K.H. M. Tauhid masih ada keturunan dari seorang pejuang yang juga sahabat dari Pangeran Diponegoro, yakni Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Zaman penjajahan Belanda tidak sembarang orang bisa mengenyam pendidikan. Namun tidak begitu dengan Soedarsono yang notabene anak seorang Kepala Desa. Ia memulai pendidikannya di HIS (Sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche School) Magetan dan lulus pada tahun 1938. Setelah itu ia melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau kini SMP). Saat bersekolah di MULO, Soedarsono harus meninggalkan
27
Wawancara dengan Endang Sri Ernawati (anak ketiga R. Soedarsono) di Jalan Iskandar Muda No 12, Wersah Jombang, pada Minggu, 24 Oktober 2010.
37
kampung halamannya. Karena sekolah setingkat SMP itu berada di kota Malang. Di sekolah itu ia menuntut ilmu selama tiga tahun, dan pada tahun 1941 ia dinyatakan lulus. Soedarsono muda tak pernah lelah mencari ilmu. Selepas dari MULO ia melanjutkan pendidikannya di Kweekschool (sekolah pendidikan guru pada zaman Belanda) di Malang. Di sekolah itulah ia mengenal seorang gadis asal Tulungagung yang kelak menjadi istrinya, yakni Roro Oentari. Tepat tahun 1941, Soedarsono tamat dari Kweekschool. Selanjutnya, ia mengabdikan diri sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) VI Caruban, Madiun. Pria asal Desa Sumber Rambe ini memulai karirnya menjadi guru terhitung mulai 1 September 1942. Namun sekitar satu tahun kemudian, atau tepatnya 30 Maret 1943, ia pindah menjadi juru bahasa di Kediri Syu Gyugun Dai I Daidan (Tentara sukarela bentukan Jepang ). Beberapa bulan kemudian, atau tepatnya 3 Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Bersama para pemuda seusianya, Soedarsono ikut mendaftarkan diri dalam wadah tersebut. Layaknya seorang militer, ia dilatih teknik memegang senjata hingga cara menembak oleh Jepang. Namun sekitar pertengahan Agutus 1945, muncul permasalahan dalam diri Soedarsono. Ia ditangkap Jepang dengan tuduhan terlibat pemberontakan PETA Blitar pada 14 Februari 1945. Selanjutnya, ia bersama anggota PETA lainnya dibawa ke Cirebon. Rencananya, dalam rentang 1 hingga 15 Agustus 1945, para tawanan ini hendak dihukum mati. Namun takdir berbicara lain. Belum sempat eksekusi dilakukan, peta politik perang dunia II berubah. Tepat 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kondisi itu berakibat dibebaskannya para tawanan Jepang, termasuk Soedarsono.
Pasca Kemerdekaan
Usai proklamasi dikumadangkan oleh Dwi Tunggal Soekarno – Hatta, eks tentara PETA dimasukkan dalam wadah BKR (Badan Keamanan Rakyat). Begitu pula dengan Soedarsono, yang notabene pernah mendapatkan pendidikan militer PETA. Pria kelahiran Magetan ini menggabungkan diri di BKR Tulungagung. Namun hal itu dijalaninya hanya sekitar satu tahun. Karena pada 11 November 1946, ia dipercaya menjabat sebagai Kabag Umum (Kepala Bagian Umum) Jawatan Penerangan (Japen)
38
Kabupaten Tulungagung. Kejujuran dan kesederhanaannya, membuat karir Soedarsono terus menanjak. Pada tahun yang sama, Soedarsono mengakhiri masa lajangnya. Ia menyunting anak seorang pejabat Tulungagung, yang bernama Roro Oentari. Pernikahan itu dilakukan pada 25 Mei 1946. Tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai pemimpin sementara Japen Kabupaten Tulungagung. Hal itu sesuai surat penetapan yang ditanda tangani Pemimpin Umum Jawatan Penerangan Karesidenan Kediri, Hardjosoemarmo. Dalam surat tertanggal 20 Oktober 1949 tersebut diterangkan, pengangkatan Soedarsono itu bersifat sementara. Alasannya, pemimpin sebelumya, Koeswo, mundur dari jabatan pemimpin. Meski menjabat pemimpin Japen, bukan berarti perjuangan Soedarsono dalam rangka mempertahankan kemerdekan RI padam. Saat agresi Belanda I meletus, 21 Juli 1947, ia kembali memanggul senjata. Soedarsono ikut bergerilya dengan pejuang lainnya guna menghalau Belanda yang ingin menguasai RI kembali. Begitu pula saat Belanda melakukan agresi militer II, 19 Desember 1948. Puncaknya, bersama CMKT (Comando Militer Kabupaten Tulungagung) yang dipimpin Mayor Sastroatmodjo, ia berhasil merebut kembali Tulungagung dari tangan Belanda. Usai KMB (Konferensi Meja Bundar), Desember 1949, sebagai Japen ia mendapat tugas menghadiri konferensi Dinas Kementerian Penerangan RI di Yogyakarta. Konferensi itu dihadiri oleh Kepala Japen Provinsi/Kabupaten dan Kepala studio (Radio RRI) se- Jawa. Dalam forum itu, Prof. DR Soepomo, salah satu delegasi RI, memberikan penjelasan hasil dari KMB yang baru saja digelar di Denhag, Belanda. Harapannya, hasil perundingan itu disosialisasikan di masing-masing daerah. Karir Soedarsono terus bergulir. Tanggal 1 Februari 1950, ia dipindah dari Tulungagung dan menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang. Kepercayaan menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang itu diemban Soedarsono selama delapan tahun. Yakni, mulai 1 Februari 1950 hingga 21 Maret 1958. Secara otomatis, seluruh keluarganya yang ada di Tulungagung juga diboyong ke Jombang. Saat itu, Soedarsono dan istrinya, Roro Oentari, tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jalan Setya Budi. Di rumah itu pula mereka membesarkan ke empat anaknya.
39
Lewat SK Mendagri Diangkat Menjadi Bupati Meski sejak kecil tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang bupati, namun garis hidup berbicara lain. Soedarsono mencapai puncak karirnya pada 22 Maret 1958. Ia diangkat menjadi Bupati Jombang yang ke tujuh, menggantikan bupati sebelumnya, M Soebijakto. Hal itu ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, Sanoesi Hardjadinata. Dalam surat keputusan itu dijelaskan, sesuai dengan rapat yang digelar oleh DPRD Jombang tanggal 1 Maret 1958, mereka menyetujui Soedarsono menjadi Kepala Daerah (Bupati) Tingkat II Jombang. Seminggu kemudian, hasil rapat DPRD itu dikirim ke Menteri Dalam Negeri, Sanoesi Hardjawinata, untuk dimintakan pengesahan. Gayungpun bersambut. Menteri Dalam Negeri tidak keberatan atas usulan itu. Selanjutnya, pada 22 Maret 1958 terbitlah Surat Keputusan Menteri yang intinya mengesahkan Soedarsono menjadi bupati. Saat menjabat sebagai bupati, karakter sederhana, disiplin, dan tegas, merupakan sesuatu yang lekat dengannya. Bukan hanya itu, untuk menambah wawasan, bupati ke tujuh ini selalu rajin membaca buku serta surat kabar. Buku koleksinya yang hingga kini masih terawat misalnya, karya besar mantan Presiden Soekarno yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi (DBR). Kebiasaan yang lain yang tidak pernah lepas dari Soedarsono adalan sarapan berita. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor kabupaten, ia selalu menyempatkan diri membaca koran. Jika ada sesuatu yang dianggap penting, maka ia akan mengambil gunting. Berita tersebut dipotong kemudian dikliping. Menjaga kesehatan, berolahraga, hidup bersih, juga merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dalam diri bapak empat anak ini. Maka tidak heran, saat pagi buta ia sudah bersih-bersih rumah. Selanjutnya, ia mengeluarkan sepeda kumbang merk Hercules miliknya. Dengan sepeda itulah ia berkeliling kota. Selain berolahraga, hal tersebut dilakukan untuk memantau perkembangan masyarakat. Kegiatan berolahraga itu semakin padat jika memasuki hari Kamis dan Minggu. Wajar saja, bupati ke tujuh ini juga paling hobby dengan olahraga tenis. Bupati Soedarsono meyakini, selain untuk menjaga kesehatan, hal-hal yang bersifat informal semisal olahraga, merupakan salah satu media untuk membangun komunikasi dengan jajaran di bawahnya. Dengan tenis itu pula hubungan emosi antara atasan dan bawahan bisa lebih terjaga.
40
Saat menjabat sebagai orang nomor satu di Jombang, pria asli Magetan ini juga dikenal cukup sederhana. Betapa tidak, saat itu Soedarsono dan keluarganya masih mengontrak rumah di Jalan Setya Budi Jombang. Sedangkan kendaraan yang ada di rumahnya hanya ada satu buah sepeda kumbang. Praktis, ke empat anaknya harus rela bergantian jika ingin bepergian dengan sepeda. Di ujung masa tugasnya, Soedarsono baru membeli rumah di Jalan WR Supratman No 4 Jombang. Kini rumah itu masih terawat dan ditempati oleh anaknya yang nomor satu, Hj Endang Sri Undarti. Jabatan Soedarsono berakhir pada 5 Januari 1962. Meski begitu ia belum pensiun. Mantan bupati ini masih sempat menduduki beberapa pos strategis di Pemkab, semisal menjabat sebagai Wedono, dan Patih (setingkat Sekretaris Daerah) pada tahun 1971. Terhitung sejak 1 Oktober 1971, mantan bupati ini pindah tugas lagi. Oleh pemerintah pusat ia diberi kepercayaan menjabat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Mojokerto. Posisi itu ia pegang hingga masa pensiun, yakni tahun 1977. Usai pensiun, pemikiran Soedarsono masih banyak dibutuhkan masyarakat. Selanjutnya, ia menjabat sebagai Sekretaris DPD II Golkar Kabupaten Mojokerto. Pemilu pertama Orde Baru pun digelar pada tahun itu. Walhasil, Soedarsono terpilih menjadi wakil rakyat dan masuk dalam FKP (Fraksi Karya Pembangunan). Jabatan itu sesuai dengan SK (Surat Keputusan) Gubernur Jawa Timur, Soenandar Prijosoedarmo, tertanggal 4 Juli 1977. Dalam surat dengan Nomor: PM 012.4/40/1977/SK itu dijelaskan bahwasannya Soedarsono ditetapkan menjadi anggota DPRD Kabupaten Mojokerto bersama 39 anggota dewan lainnya. Meski bertugas di Mojokerto, namun ia masih tetap pulang ke rumahnya di Jalan WR. Supratman Jombang. Secara otomatis, selama lima tahun menjabat sebagai wakil rakyat, Soedarsono harus bolak-balik dari Jombang ke Mojokerto. Karena kesederhanaan itu pula, ia lebih memilih naik bus saat berangkat dinas. Jabatan terakhir yang disandang oleh suami dari Roro Oentari ini adalah Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) cabang Kabupaten Jombang. Amanah itu dilakoninya pada tahun 1986. Selain menjabat Ketua LVRI, ia juga aktif di DPD Golkar Jombang dengan posisi sekretaris. Sedangkan di bidang keagamaan, mantan Bupati Jombang ini aktif sebagai takmir Masjid Al Ikhlas yang ada di Jalan WR Supratman. Di Masjid itu juga ia kerap memberikan ceramah-ceramah keagamaan.
41
Rumah R Soedarsono di Jl. W.R. Supratman No.4 Jombang
Memang benar kata orang bijak, sekat antara hidup dan mati tak setebal kain kafan. Begitu juga dengan Soedarsono, pada hari Selasa 6 Mei 1997 bapak empat anak ini dipanggil menghadap Ilahi. Bupati ke tujuh ini meninggal di usia yang ke 76 tahun di RS Dokter Soetomo Surabaya. Kabupaten Jombang pun berduka. Padahal sebelumnya, ia masih memberikan ceramah di Masjid Al Ikhlas sehari sebelumnya. Di tengah-tengah ceramah, Soedarsono pingsan. Oleh para jamaah yang hadir ia dilarikan ke RSUD Jombang. Karena kondisinya yang terus memburuk, selanjutnya dirujuk ke Surabaya. Di rumah sakit terbesar di Jawa Timur itulah ia meninggal. Soedarsono dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Pulo Sampurno Jombang. Seluruh kerabat, pejabat, mantan bupati, serta masyarakat umum ikut melepaskan kepergiannya. Ia meninggalkan empat orang anak dan sembilan orang cucu. Empat orang anak itu masing-masing; Endang Sri Undarti, Edi Raharjo, Endang Sri Ernawati, serta Endang Sri Ruliati.
42
8. Profil Bupati R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 1962-1966)
R. Hassan Wirjokoesoemo adalah putera keluarga bangsawan di Pamekasan, Madura. Masa kecilnya dilalui penuh keceriaan anak-anak khas pulau garam, ceria dan penuh warna, sebagaimana diungkapkan penyair Clurit Emas Zawawi Imron: Madura Kau adalah Lautku! Yang bisa diartikan bahwa Madura adalah sawah ladang kehidupan bagi warga masyarakatnya yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan. Lagi-lagi cadasnya karang Madura dan tingginya ombak di lautnya telah melahirkan seorang R. Hassan sebagai calon pemimpin masa depan. Sebagai seorang Bupati, R. Hassan Wirjokoesoemo adalah sosok bupati berotak cemerlang dan bervisi ke depan. Salah satu putera terbaik yang pernah dimiliki Kabupaten Jombang, karena ia adalah pejabat pertama yang menerima pendidikan khusus kepamongprajaan. Ia mengenyam pendidikan khusus sebagai siswa pamongpraja zaman Belanda atau lebih dikenal dengan sebutan MOSVIA.28 Dan ia tercatat sebagai siswa berprestasi di lembaga pendidikan yang cukup bergengsi itu. Sebagai salah satu lulusan terbaik MOSVIA, sepak terjang Bupati R. Hassan diwujudkan dengan menerapkan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat kecil, serta tetap tidak meninggalkan hal-hal baik yang sudah dirintis oleh para senior pemimpin Jombang sebelumnya. Sehingga semakin menguatkan posisi Kabupaten Jombang sebagai urat nadi utama perekonomian maupun pengembangan agama dan budaya. Pola-pola pengembangan kepemimpinan yang bertolak dari prinsip pamong mulai diberlakukan. Praktek pangreh praja atau penguasa sengaja dihindari semaksimal mungkin. Dengan jalan begitu konsep bersatunya rakyat dengan pemimpin menjadi satu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Prinsip-prinsip ini selaras dengan usia Republik yang menginjak remaja, 17 tahun sejak diproklamasikan tahun 1945.
28
Wawancara dengan Bapak R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah Surabaya, pada 13 Desember 2010, pukul 12.45 WIB.
43
Sebagaimana Bupati M. Soebijakto, R. Hassan Wirjokoesoemo adalah salah satu kader Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cukup militan. Ia adalah Soekarnois sejati yang meletakkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya melebihi kepentingan individu maupun kelompok. Rupanya api revolusi yang terus dikobarkan oleh Sang Proklamator Bung Karno mampu merasuk hingga ke darah dan daging seorang R. Hassan. Ajaran-ajaran tentang kebangsaan, tentang keyakinan dan toleransi benar-benar telah memupuk jiwa kepemimpinannya. Tetapi seperti peribahasa air susu dibalas dengan air tuba, rupanya kejujuran dan ketegasan sosok Bupati R. Hassan Wirjokoesoemo berbuah pahit. Sebab konon ia berseberangan pandangan dengan penguasa orde baru, dan tentu saja masih banyak yang belum tergali dari sosok yang terbilang “sunyi” ini, si pendukung fanatis Bung Karno yang berdiri tegak di atas kaki spirit Marhaenisme. Beruntung sekali Kabupaten Jombang dipimpin oleh orang-orang pilihan, karena suri tauladannya akan menjadi catatan abadi sejarah kota santri. Apapun karya yang telah ditorehkan. Termasuk sosok Bupati R. Hassan Wirjokoesoemo yang telah memberi warna pada perjalanan panjang Kabupaten Jombang.
44
9. Profil Bupati Ismail (Masa Bhakti 1966-1973)
Ia adalah sosok Bupati “Internasional”, karena dilahirkan dari pasangan ayah Jawa Tengah, Indonesia dan ibu Melayu, Singapura. Latar belakang keluarga berbeda bangsa inilah yang mencetak seorang Ismail menjadi pemimpin yang memiliki daya jangkau visioner terkait pembinaan generasi muda sebagai aset bangsa masa depan. Hal ini dibuktikan dengan sepak terjang beliau yang mengutamakan jalur pembinaan generasi muda ketika memimpin Jombang. Salah satu pilihan pembangunan kader masa depan itu dilakukan Bupati Ismail melalui organisasi Gerakan Pramuka.29
Pak Kardjan (adik ipar Bupati Ismail) saat diwawancarai di rumahnya
Mengawali karir sebagai seorang Polisi Istimewa zaman pendudukan Jepang, Ismail seolah menempa diri untuk menghadapi tugas yang diembannya di kemudian hari. Jabatan Polisi Istimewa terus disandang hingga kesatuan berubah menjadi Mobrig atau Mobil Brigade, kemudian berubah lagi menjadi Brimob atau Brigade Mobil. Akhirnya 29
Wawancara dengan Bapak Kardjan (usia 70 tahun, adik ipar Bupati Ismail) di Geneng gang II (jalan Madura) pada hari: Senin, 01 Nopember 2010, pukul 11.00 WIB.
45
beliau bertugas di Pekanbaru, Riau sebelum menjabat sebagai Bupati Jombang periode 1966-1973. Rupanya amanat menduduki jabatan sebagai pemimpin Jombang tidak sertamerta diperoleh dengan mudah, karena Ismail harus menyisihkan enam kandidat lainnya yang sama-sama dipromosikan oleh kesatuan masing-masing. Sebelum menjadi pejabat resmi Bupati Jombang, beliau menduduki jabatan sebagai Danres atau Komandan Kepolisian Resort Jombang (sekarang Kapolres). Pada awalnya amanat penugasan sebagai Bupati dijalani sebagai caretaker atau pengganti antar waktu karena terjadi kekosongan jabatan Bupati Jombang.30 Masa transisi dari Orde Lama menuju Orde Baru menyebabkan kondisi politik maupun perekonomian tidak stabil. Menghadapi hal demikian Bupati Ismail memiliki kiat memperbanyak pelatihan berbagai jenis keterampilan, seperti pelatihan menjahit, memasak, pertanian, peternakan, perkebunan, dan lain-lain. Keseluruhan pelatihan itu dikemas dalam kegiatan Kepramukaan atau Kepanduan menurut istilah pada waktu itu. Dalam masa kepemimpinan beliau Gerakan Pramuka sebagai lembaga pencetak kader pemimpin bangsa mendapat tempat yang layak di hati masyarakat, khususnya warga Kabupaten Jombang. Melalui tangan dingin beliau pulalah Jombang tercatat dengan tinta emas sebagai daerah subur organisasi Gerakan Pramuka. Berbagai upaya dilakukan agar Gerakan Pramuka diterima oleh warga masyarakat sebagai pendidikan alternatif melengkapi lembaga pendidikan formal yang ada. Tidak kurang dari 25 desa se-Kabupaten Jombang didirikan Gugus Depan Desa sebagai ujung tombak terdepan pengembangan Pramuka. Hasilnya kader-kader pramuka militan cukup banyak dijumpai di desa-desa tersebut. Antara lain Desa Plandi, Jombang. Akhirnya upaya ini mendapat perhatian dari badan kepanduan dunia yang pernah berkunjung ke Jombang. Pengembangan pramuka di lini terdepan diwujudkan dengan membentuk kader pramuka setingkat satuan karya. Satuan karya yang akhirnya disingkat Saka ini bertujuan untuk menampung generasi muda sesuai bakat, minat, dan kemampuan yang dimilikinya. Kalau orang mengenal Satuan Karya Taruna Bumi di bawah binaan Departemen Pertanian, maka diakui atau tidak embrio Satuan Karya Taruna Bumi berawal di
30
Wawancara dengan Bapak Kistam Mulyono (adik ipar Bupati Ismail) di Perumahan Jombang Permai , Jl. Alpukat No.18, hari Kamis, 4 Nopember 2010, pukul 10.26 WIB.
46
Kabupaten Jombang melalui instruksi langsung Bupati Ismail.31 Sejumlah instruktur yang merangkap pengawas lapangan pelaksanaan program Gerakan Pramuka disiapkan. Tidak jarang instruktur itu dijabat langsung para polisi di tingkat kepolisian sektor atau kecamatan. Tugasnya antara lain melakukan pendampingan dan arahan-arahan yang diperlukan warga masyarakat selama mengikuti pelatihan Gerakan Pramuka. Era pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan penerapan tahapan pembangunan yang lebih dikenal dengan PELITA, atau singkatan dari Pembangunan Lima Tahun dan REPELITA, kependekan dari Rencana Pembangunan Lima Tahun, antara lain direalisasikan melalui pemerataan potensi melalui program transmigrasi. Partisipasi generasi muda Pramuka di Kabupaten Jombang dalam program tersebut berupa pengiriman transmigran pemuda Pramuka ke wilayah Lampung. Tidak kurang dari seratus pemuda Pramuka asal kota santri Jombang dikirim ke lokasi transmigrasi. Hal ini berkat dorongan Bupati Ismail yang menantang generasi muda sebagai pioner pembangunan bangsa berpartisipasi melalui program transmigrasi. Terbukti kemudian tidak kurang dari tokoh Lampung mulai setingkat camat hingga anggota DPRD adalah kader muda Pramuka yang dikirim oleh Bupati Ismail ketika itu. Untuk di Jombang salah satu bukti peran Bupati Ismail dalam pengembangan Gerakan Pramuka adalah dibangunnya Sanggar Pramuka di Taman Kebonrojo, Jombang. Ismail menikah dengan seorang gadis Surabaya bernama Saminah, tepatnya di jalan Pakis, Surabaya. Dari pernikahan tersebut lahir empat puteri-putera, antara lain; Istrining Rahayu atau lebih dikenal dengan sebutan Mbak Ning (tinggal di Jakarta), Ismiyanto berdomisili Jakarta, Istrining Rochanah tinggal di Gresik, dan Isminaryono bermukim di Tulungagung. Latar belakang keluarga antar bangsa serta pendidikan kedisiplinan yang diperoleh di kepolisian menyebabkan Bupati Ismail dikenal cukup tegas, bahkan cenderung keras pada awal-awal memimpin Jombang. Untuk menerapkan disiplin dan etos kerja yang tinggi di lingkungan kantor pemerintah daerah Kabupaten Jombang, beliau menerapkan hukuman jemur badan pada setiap pegawai negeri sipil di lingkup pemerintah daerah yang terbukti terlambat masuk kantor, dalam bahasa Jombang dikenal
31
Wawancara dengan Kak Sukardi, salah satu pembina pramuka di Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Jombang, di Desa Plandi, pada 26 September 2010, pukul 10:00 WIB.
47
dengan istilah dipares atau dijejer. Hukuman ini berlaku pada seluruh pegawai, meskipun dari lingkungan keluarga Bupati Ismail sendiri. Tidak jarang jika salah seorang karyawan Pemda mengulangi pelanggaran, keesokan harinya, maka kepala atau atasan langsung karyawan bersangkutan juga diperlakukan sama; dijemur di halaman pemda. Menurut pengakuan sejumlah pensiunan yang pernah merasakan dipimpin Bupati Ismail, pola-pola hukuman jemur badan tersebut ternyata cukup sangkil (efektif) untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun peringatan dini bagi siapa saja yang berniat melakukan pelanggaran. Selain dikenal sebagai sosok yang tegas dan disiplin, Bupati Ismail juga seorang pemimpin dan kepala keluarga sederhana, bahkan mungkin sangat sederhana. Hal ini dibuktikan selama beliau memimpin Jombang sampai memasuki masa pensiun belum memiliki rumah sendiri. Beliau akhirnya memanfaatkan mess atau asrama sebelah selatan polres Jombang untuk tinggal bersama keluarga. Apalagi pada masa itu rumah dinas bupati pun belum dibangun. Memasuki masa pensiun beliau memilih pulang kampung ke rumah mertua di Jalan Pakis, Surabaya. Hal lain kesederhanaan seorang Ismail adalah tidak seenak sendiri menggunakan fasilitas jabatan. Termasuk tidak satupun dari puteraputeri beliau yang menjadi pegawai negeri di lingkungan pemerintah Kabupaten Jombang. Bupati Ismail wafat sebagai seorang pahlawan bangsa setelah menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta pada tahun 1982. Meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Sedangkan keluarga atau saudara Bupati Ismail sebagian masih menjadi warga negara Singapura. Jenazah beliau dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Jl. Mayjend. Sungkono, Surabaya.
48
10. Profil Bupati R. Soedirman (Masa Bhakti 1973-1979)
R. Soedirman atau lengkapnya R. Soedirman Mertoadikoesoemo merupakan sosok bupati fenomenal yang pernah dimiliki Kabupaten Jombang. Mengapa demikian? Hal itu antara lain disebabkan terobosan beliau dalam pembangunan keolahragaan dan kesenian, khususnya bidang sepakbola dan seni musik (group band). Lewat tangan dingin beliau Kabupaten Jombang menempatkan posisi yang cukup diperhitungkan dalam kancah persepakbolaan nasional era 1970-an hingga 1980-an. Masa ketika PSID (Persatuan Sepakbola Indonesia Djombang) menjadi tim favorit di tingkatan Jawa Timur dan wilayah Indonesia Timur mendampingi tim-tim papan atas seperti Persebaya dan lain-lain. Berlatar belakang sebagai seorang perwira polisi Bupati R. Soedirman memiliki pendekatan yang khas dengan orang-orang di sekitarnya, terutama di lingkungan kerja. Meskipun dikenal sebagai sosok bupati yang memiliki “daya bakar” cukup tinggi, artinya agak temperamental namun beliau memiliki rasa empati yang tinggi, apalagi terhadap bawahan. Sehingga tidak mengherankan ada sebagian anak buah Bupati R. Soedirman sewaktu beliau masih aktif menjabat Bupati Jombang, sengaja memancing kemarahan beliau hanya untuk mendapatkan uang saku dari sang bupati.32 Ketegasan seorang Bupati R. Soedirman, kemudian ditafsirkan sebagian orang “temperamental”, sebenarnya mungkin dipengaruhi pribadinya yang berlatar belakang sebagai salah satu putra pulau penghasil garam; Madura. Ia dilahirkan di Bangkalan, Madura pada tanggal 3 Juli 1932. Sehingga kerasnya kehidupan nelayan secara tidak langsung menempa jiwa raga Bupati R. Soedirman. Bibit-bibit kepemimpinannya mulai terlihat sejak duduk di bangku SMP di Pamekasan sekitar tahun 1945. Sekolah yang terletak di Jalan Adipati Azis (sekarang jalan Pujangga), Pamekasan, Madura ini dulunya 32
Dituturkan dari berbagai sumber, baik dari mantan pemain PSID maupun mantan staf di lingkungan pemerintah Kabupaten Jombang.
49
dikenal sebagai sekolah MULO. Karena Sudirman remaja sudah dibiasakan kost oleh orang tuanya, maka kemandirian telah melekat sejak di bangku SMP. Ada peristiwa menarik sekaligus tak terlupakan ketika menjelang akhir semasa ia di SMP. Pada waktu itu Belanda, melalui Van Mook, seorang ahli strategi untuk melanggengkan kekuasaan mereka di tanah air, sengaja memecah-belah Indonesia dengan membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). Bukan negara kesatuan yang dicita-citakan para founding fathers atau pendiri negara. Akibat politik yang dijalankan Van Mook itulah Indonesia terancam desintegrasi, karena dibentuk negara-negara kecil seperti negara Madura, negara Pasundan, negara Jawa Timur dan lain-lain. Saat itulah R. Soedirman yang masih berusia 15 tahun bangkit melawan kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan demonstrasi menentang pembentukan negara Madura. Alhasil tuntutan yang dilakukan kaum terpelajar, meskipun masih remaja, berhasil mengembalikan status Madura sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI. Mengenai peristiwa ini, R. Soedirman teruji sebagai pemimpin masa depan. Apalagi dalam rapatrapat rahasia yang dilakukan sebelum meletus demonstrasi besar-besaran menolak pembentukan negara Madura, telah terjadi kesepakatan di antara peserta rapat. Jika di negara maju seperti Amerika, maka pemimpin aksi adalah kaum terpelajar dari kalangan mahasiswa. Tetapi di Madura karena status pendidikan tertinggi melekat pada R. Soedirman, maka seluruh aktivis sepakat menunjuknya sebagai pemimpin di usia yang masih belia. Selepas SMP R. Soedirman melanjutkan ke jenjang SMA di Pamekasan, namun tidak lama, selanjutnya Madiun menjadi tempatnya menuntut ilmu. Dipilihnya kota Madiun dengan pertimbangan biaya kost yang masih murah. Setelah merampungkan bangku Taman Madya atau SMA, ia mengikuti Kursus Komandan Polisi di Sukabumi. Lagi-lagi pertimbangan sekolah murah menjadi pilihan. Di sinilah prestasi demi prestasi R. Soedirman mulai menonjol. Hal tersebut dibuktikan bahwa dirinya tercatat sebagai lulusan terbaik pendidikan yang dikenal luas masyarakat sebagai Sekolah Brigadir. Atas prestasi sebagai siswa terbaik, akhirnya R. Soedirman mendapat prioritas menentukan daerah mana untuk mendarmabaktikan tugasnya. Akhirnya Jawa Timur menjadi pilihan, kecuali Madura, mengingat ia merasa sebagai
50
putera Jawa Timur. Tidak dipilihnya Madura, meskipun ia dilahirkan di Bangkalan, karena ia sangat teguh menjaga amanat. Dengan tidak bertugas di Madura, maka diharapkan potensi kedekatan kerabat yang diduga menumbuhsuburkan praktek-praktek nepotisme dapat ditekan seminimal mungkin. Besuki menjadi daerah pertama masa tugas R. Soedirman dengan jabatan Dandis (Komandan Distrik) atau setingkat Kepolisian Sektor sekarang. Berturut-turut jabatan demi jabatan disandang, hingga menjadi Danres (Komandan Resort) Kepolisian Lumajang, Jawa Timur pada tahun 1973. Memasuki tahun 1973 hingga 1979 ia resmi ditugaskan menjadi Bupati Jombang.
R. Soedirman saat serah terima jabatan sebagai Danres Lumajang pada tahun 1973
Kultur Jombang yang unik dengan perpaduan agamis dan nasionalis mendorong sejumlah karya monumental diwujudkan Bupati R. Soedirman. Dengan satu tekat, ”Aku bukan orang Jombang, tapi ingin menjadi orang Jombang. Saya ingin berbuat yang terbaik bagi Jombang!”33 Langkah pertama ditempuh dengan melanjutkan pembangunan Masjid Jamik alun-alun yang sudah dimulai sejak bupati sebelumnya. Termasuk 33
Wawancara dengan R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah, Surabaya, pada hari Senin, 13 Desember 2010 jam 12.00 WIB.
51
melakukan terobosan pipanisasi pada tempat wudlu jamaah. Tentang hal ini, mulanya ide Bupati R. Soedirman ditentang habis-habisan oleh kaum muslimin di Jombang. Karena mereka hanya mau dibuatkan kulah (jedingan); yaitu sebuah tandon air untuk berwudlu. Tetapi ia kukuh menerapkan pipanisasi dengan alasan kesehatan. Akhirnya proyek itu terwujud setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji di tanah suci. Bupati R. Soedirman menyampaikan kepada kaum muslimin di Jombang, bahwa di sumur zamzam pun pemerintah Arab Saudi menerapkan pipanisasi. Tidak seperti di Indonesia yang lebih memilih kulah dengan kondisi berlumut dan kumuh. Jabatan Bupati yang semula disakralkan sebagian orang di Jombang pada waktu itu mulai diubah sedikit demi sedikit oleh Bupati R. Soedirman. Antara lain setiap sholat Idul Fitri maupun Idul Adha, semula Bupati berada di dalam masjid, sedangkan pejabat setingkat Dandim berada di alun-alun. Maka sejak R. Soedirman menjabat bupati sudah dilakukan perombakan dengan mendudukkan muspida pada satu tempat yang sama di dalam masjid. Sekitar tahun 1973 masa awal R. Soedirman sebagai Bupati Jombang, Pemkab belum memiliki kantor yang representatif. Dengan sepenuh daya, akhirnya Bupati R. Soedirman mulai membangun kantor pemerintah kabupaten, tepatnya di Jalan K.H. Wahid Hasyim. Menurutnya keberadaan kantor pemerintahan adalah hal paling mendesak yang musti diwujudkan, mengingat layanan publik bertumpu pada sebuah kantor. Tempat seluruh aktivitas pemerintahan berlangsung. Setelah terbangun kantor pemerintah kabupaten, langkah berikutnya Bupati R. Soedirman membangun monumen Kretarto. Sosok Brigjen Kretarto adalah pejuang kemerdekaan yang cukup heroik asal Kabupaten Jombang, sehingga dipandang perlu meletakkan monumen tersebut agar generasi muda tidak terputus akar sejarahnya. Peletakan batu pertama pembangunan monumen berbahan dasar perunggu ini dilakukan di simpang empat arah timur Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang. Untuk memberi wadah generasi muda putus sekolah dan membekali mereka dengan aneka keterampilan, maka dibangunlah SIF atau sekarang dikenal PSBR (Panti Sosial Bina Remaja) di Jl. Wahidin Sudirohusodo. Pembangunan ini menggunakan dana dari APBN.
52
Bupati R. Soedirman bersama rombongan dalam suatu kunjungan
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pernah Bupati R. Soedirman ditegur oleh paspampres, karena Pemkab Jombang tidak membangun pagar pendapa. Menurut mereka hal tersebut dikhawatirkan mempengaruhi keselamatan tamu negara, khususnya presiden. Keberatan paspampres langsung dijawab tegas olehnya, ”Saya punya prosedur sendiri dalam pengamanan di lingkup pemerintah Kabupaten Jombang!” Ketegasan Bupati Jombang ini barangkali sangat jarang dilakukan pada waktu itu. Apalagi ketika diangkat sebagai Bupati Jombang, R. Soedirman adalah bupati termuda yang dimiliki Republik ini. Di bidang pendidikan, terobosan Bupati R. Soedirman adalah membangun sejumlah gedung sekolah. Salah satunya adalah SMP Negeri Ngoro di Desa Jombok, Kecamatan Ngoro yang diberi nama SMP Batalyon Merak, sebagai pengingat kisah perjuangan Batalyon yang dipimpin mantan Gubernur Jawa Timur, Soenandar Prijo Soedarmo, di wilayah Kabupaten Jombang. Untuk mencukupi kebutuhan air minum bagi warga Kota Jombang, ia membangun sarana air bersih yang dipusatkan di Desa Plandi, Jombang. Seperti kata pepatah bahwa setiap zaman melahirkan pemimpinnya, maka era kepemimpinan Bupati R. Soedirman sangat pas dengan kondisi masyarakat Jombang waktu itu. Artinya tidaklah salah bahwa kemudian ia mengusung olahraga sepakbola sebagai daya dorong semangat bagi warga Jombang pada umumnya. Karena melalui sepakbola, emosi komunal hingga kesetiakawanan kolosal sangat mudah dibentuk.
53
Keseriusan Bupati R. Soedirman untuk menjadikan sepakbola sebagai ikon Jombang, antara lain ditempuh melalui perekrutan para pemain tidak hanya internal Kabupaten Jombang, melainkan juga merekrut pemain dari kabupaten-kabupaten lain. Bahkan tidak jarang ia sebagai ketua umum PSID terjun langsung ke lapangan mendampingi proses latihan. Pernah dalam suatu peristiwa saat pertandingan PSID melawan kesebelasan pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo, Bupati R. Soedirman mengeluarkan darah akibat hantaman batu penonton yang beringas menyaksikan tim kesebalasan mereka dikalahkan PSID Jombang. Bonus atau penghargaan bagi pemain adalah salah satu strategi Bupati Soedirman untuk memompa semangat tim agar tidak mudah kendor. Sebaliknya kalau pemain melakukan kesalahan, maka jangan berharap mendapatkan bonus berlimpah. Sebaliknya mungkin akan mendapat sanksi tegas. Selain bonus bagi para pesepakbola berprestasi, mereka juga mendapatkan layanan kesehatan gratis di RSUD Jombang. Untuk yang satu ini tidak ada seorang dokter pun yang mampu menolak instruksi Bupati Soedirman. Karena akibatnya yang paling ringan adalah mutasi bagi dokter yang secara sengaja maupun tidak teledor menangani kesehatan para pemain. Di samping berbagai macam bonus yang diberikan, para pemain PSID juga mendapat kesempatan diangkat sebagai pegawai negeri sipil di pemerintah Kabupaten Jombang. Sebuah cerita lucu di balik layanan kesehatan gratis bagi pemain PSID, suatu hari tidak kurang dari sepuluh pemain sepakbola yang berobat di RSUD Jombang dengan berbagai macam keluhan. Mereka rela menunggu lama hanya untuk mendapatkan layanan tersebut. Entah karena jengkel atau jenuh, salah seorang dokter yang menangani pengobatan para pesepakbola itu dengan bergurau menembakkan atau melemparkan jarum suntik ke pantat para pemain dari kejauhan. Tetapi sebelumnya para pemain harus berbaris rapi sambil memelorotkan celana masing-masing. Dokter RSUD ketika itu sambil tersenyum jenaka melemparkan satu-persatu jarum suntik ke pantat para pemain dari jarak tidak kurang dari dua meter.34 Prestasi demi
prestasi
PSID
mulai ditorehkan.
Kalau
sebelum
masa
kepemimpinan Bupati R. Soedirman nama PSID tidak cukup diperhitungkan, pada kurun
34
Disampaikan oleh Pak Asnan (mantan kapten PSID) era Bupati Soedirman dalam sesi wawancara pada hari Sabtu, 30 Oktober 2010, pukul 10.00 WIB, di Desa Candi Jombang.
54
waktu 1977 itulah PSID sedikit demi sedikit PSID melebarkan kepiawaian permainan di lapangan hijau dengan mengalahkan hampir seluruh tim yang dimiliki Jawa Timur kecuali Persebaya yang merupakan tim papan atas. Prestasi ini akhirnya yang mengantarkan PSID bersama Persebaya melawat ke Denpasar menghadapi tim-tim wilayah timur, antara lain; Persatuan Sepakbola Denpasar (Perseden) dan Perselobar atau Persatuan Sepakbola Lombok Barat. R. Soedirman Mertoadikoesoemo menikah dengan seorang gadis dari Sumenep, Madura bernama Su’udiyah pada tanggal 28 Agustus 1954. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniahi 7 momongan: Sri Sudiharti (Mbak Titik), Sudarsih (Mbak Darsih) istri Kapolda Makasar, Endang Rahmawaty (Mbak Endang), Nenik Meilani (Mbak Nanik), Dewi Fraisin (Mbak Wiwik), Bagus Ahmad Fauzi Efendi (Mas Bagus), Mas Bagus Siswantoro (almarhum).35
R. Soedirman bersama istri saat diwawancarai di ruang tamu rumah mereka pada 13 Desember 2010
Apa yang telah ditorehkan Bupati R. Soedirman memang pantas diteladani oleh generasi penerus, terutama komitmennya terhadap pembangunan keolahragaan dan kesenian. Paling tidak ia telah menciptakan sejarah sebagai seorang pemimpin yang notabene pernah memimpin kota yang memiliki ratusan pondok pesantren. Di masa
35
Keterangan Bapak Chairil Hariya Udaya, SH. (keponakan Bupati R. Soedirman) dalam wawancara hari Sabtu, 30 Oktober 2010, jam 11.30 WIB, dan Ibu Su’udiyah R. Soedirman pada wawancara hari Senin, 13 Desember 2010, pukul 12.00 WIB.
55
pensiunnya ia diamanati memimpin Paguyuban Madura Jawa Timur menggantikan Bapak Mohammad Noor, mantan Gubernur Jawa Timur. Kini prestasi PSID hanya sebatas kenangan pasca kepemimpinan Bupati R. Soedirman. Sebenarnya kilau keberhasilan yang telah diraih pada masa lalu sangat mungkin dapat diperoleh kembali manakala roda kepengurusan dan elemen pendukung PSID, baik penonton sepakbola maupun warga masyarakat Jombang menomorsatukan amanat sebagaimana era Bupati R. Soedirman. Maka tidak aneh rasanya kalau masyarakat persepakbolaan Jombang sangat kehilangan figur ketua umum sekaligus Bupati Jombang yang bernama lengkap HR. Soedirman Mertoadikoesoemo.
56
11. Profil Achmad Hudan Dardiri (Masa Bhakti 1979-1983)
Achmad Hudan Dardiri adalah Bupati Jombang yang ke-12. Ia lahir pada 7 April 1924, di Malang, Jawa Timur. Sosok yang mengagumi tokoh nasional Mohammad Yamin ini memulai karirnya dari dunia kemiliteran di masa awal Perang Kemerdekaan. Ia lahir dan dibesarkan oleh orang tuanya di Malang dalam suasana keluarga yang memegangi keteguhan dalam menjalankan ajaran Agama Islam.36 Ayah kandungnya bernama Haji Achmad Dardiri, lahir tahun 1960 di Malang. Ia merupakan seorang pegawai di wilayah Kabupatenan Malang, dan pensiun pada tahun 1960, berpendidikan HIS, dan ikut berorganisasi di perkumpulan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Sang ayahanda ini meninggal pada tahun 1978. Jika dirunut silsilah keluarga dari garis Haji Achmad Dardiri, keluarga Pak Hudan ini memiliki persambungan darah hingga ke Raja Majapahit. Runutan silsilahnya seperti berikut: Raja Majapahit berputra: Batara Katong. Betara Katong berputra: Sunan Drajad. Sunan Drajad berputra: Kyai Tegal Arum I. Kyai Tegal Arum I memiliki putra: Kyai Tegal Arum II. Kyai Tegal Arum II berputra: Kyai Terongrancang. Kyai Terongrancang berputra: Kyai Joyosetiko I. Kyai Joyosetiko I memiliki putra: Kyai Musahal. Lalu Kyai Musahal berputra: B.A. Marman. Kemudian B.A. Marman memiliki anak: R.A. Nap. Selanjutnya R.A. Nap berputri R.A. Napsiah. Lalu R.A. Napsiah berputra: Soekasah Sosroamijoyo. Dan Soekasah Sosroamijoyo memiliki putra Achmad Dardiri, yang kemudian memiliki putra yang pertama bersebut Achmad Hudan Dardiri.37
36
37
Wawancara dengan Amidar Nurma Winarti (anak kelima A. Hudan Dardiri), pada 18 Agustus 2010, pukul 13.32 WIB, di Jl. Raya Langsep No. 49, Malang. Wawancara ini didampingi oleh Nasrul Ilahi (dari kantor Disporabudpar Jombang) dan keponakan Pak Hudan, Bapak Sonhadji, yang tinggal di Perum Candi Indah, Blok K, No. 19, Jombang. Ia juga bersumbangsih data perihal sosok Pak Hudan. Gatot Muhdi Islam Dardiri dan Setiabakti, Silsilah Keluarga Besar Buyut Nihayah dan Buyut Nafsiyah, Edisi I, Januari 2000, Malang.
57
Amidar Nurma Winarti, saat diwawancarai pada 18 Agustus 2010
Sementara ibu kandung Pak Hudan bernama Siti Aminah, lahir pada tahun 1910, di Malang, di Jl. Tongan Gang I/ 287. Kemudian pindah rumah di Jl. Arief Margono 19 Malang. Rumah yang terakhir ini merupakan rumah keluarga Pak Hudan di mana semua kerabat dan sanak-familinya sering berkumpul dan bersilaturahmi. Sang ibu, sebagaimana sang ayah Pak Hudan, dahulunya juga mengikuti organisasi berupa perkumpulan Muslimat NU pada tahun 1932, sebagai suatu bentuk pengayaan dan penghayatan dalam bersosial dan dalam pengembangkan keilmuan Agama Islam. Perkawinan Haji Hudan Dardiri dengan Siti Aminah melahirkan 12 putra-putri. Dan Achmad Hudan Dardiri adalah anak pertama mereka. Lalu saudara-saudaranya secara berurutan adalah sebagai beikut: 2. Khususiyah (tinggal di Blitar). 3. Susiati (tinggal di Jombang). 4. Miskiyah (tinggal di Surabaya). 5. Juriyah (tinggal di Jakarta). 6. Harir (tinggal di Mondoroko, Malang). 7. Gatot Dardiri (tinggal di Malang). 8. Hamid Dardiri (tinggal di Malang). 9. Tuning Badriyah (tinggal di Malang). 10. Lukman Dardiri (tinggal di Malang). 11. Farida Dardiri (tinggal di Malang). 12. Ninik Dardiri (tinggal di Malang). 58
Masa kecil Hudan bersama orang tua dan saudara-saudaranya tersebut ia jalani dengan penuh keprihatinan dan hidup dalam kesederhanaan. Ia masuk sekolah semacam Madrasah di daerah Jagalan. Di sela-sela waktu senggang ia belajar ngaji secara intensif kepada Sutan Hasan Halim, yang kemudian menjadi bapak angkatnya karena Hudan kecil begitu disayanginya dan lantaran kepandaian dan ketekunannya dalam belajar. Ia juga aktif mengikuti kegiatan kepanduan pramuka yang kelak dunia kepramukaan ini digelutinya hingga di usia lanjut. Di samping bersekolah di Madrasah, ia juga masuk Sekolah Rendah (SR) dari tahun 1930 sampai 1938. Kemudian masuk Sekolah Guru Muallimin dari 1938 sampai 1941.
Masa muda Achmad Hudan Dardiri
Lalu ia masuk sekolah Taman Dewasa pada 1943. Saat itu bimbingan dari seorang tokoh muslim lokal, Kyai Haji Sukri, telah mampu menambah wawasan keislaman Hudan dan memberi pengaruh besar dalam kepemimpinannya kelak. Dalam kesemangatan belajar di usia remaja hingga dewasa itu, Achmad Hudan Dardiri tak menyia-nyiakan waktu untuk berleha-leha dan bermalas-malasan. Selain didikan dari kedua orang tuanya yang keras dan berdisiplin tinggi, ia juga mendapatkan pengajaran yang ketat dan asuhan yang penuh perhatian serta gemblengan untuk memegangi prinsip hidup dan agama dari Kyai Haji Sukri dan Sutan Hasan Halim. Didikan dari mereka sangatlah bermanfaat dalam membentuk karakter dan jati dirinya. Karena itu, salah satu keahliannya yang cukup disegani adalah kemampuannya dalam menguasai 3 bahasa asing dengan lancar, yakni bahasa Inggris, bahasa Belanda, 59
dan bahasa Arab, selain bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Di samping itu, didikan dari para guru-gurunya untuk bertabligh dan menyiarkan Agama Islam baik di pelosok desa maupun di daerah sekitar tempat tinggalnya sangatlah ditekankan. Hal ini sebagai media penggemblengan dakwah dan pembentukan jadi diri sebagai muslim yang baik ia jalankan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh jiwa raga.
A. Hudan Dardiri di suatu hari saat berdakwah
Di masa Perang Kemerdekaan, Achmad Hudan Dardiri masuk kesatuan Chu Gakko (penerjemah) pada 1944 sampai 1947. Dan melanjutkan studinya hingga ke Universitas Brawijaya dari tahun 1964 sampai tahun 1966, dengan mengambil Fakultas Hukum, dan lulus dengan predikat Sarjana Muda. Pada tahun 1950-an Achmad Hudan Dardiri berkenalan dengan seorang gadis asal Solok, Sumatra Barat, ketika ia ikut andil bergerilya di masa Perang Kemerdekaan RI, di Blitar. Di kota kelahiran Bung Karno tersebut, kedua insan ini menjalin hubungan erat. Saat itu sang gadis, yang kemudian dikenalnya dengan nama Emma Yuliasma, yang lahir di Solok, Minangkabau, Sumatra Barat, pada 8 Juli 1925, juga bertugas dalam barisan Palang Merah Indonesia dan membantu di bagian logistik para gerilyawan. Asmara dua sejoli ini makin bertumbuh di masa pergolakan itu. Penuh romantisme dan cita-cita luhur demi membela tanah tumpah darah, bangsa dan negara.
60
Perkenalan sampai hubungan cinta itu akhirnya membuat mereka bersepakat untuk menjalinnya secara lebih serius dalam sebuah pernikahan.
Perkawinan antara A. Hudan Dardiri dengan Emma Yuliasma pada 9 September 1951
Selang beberapa waktu kemudian, persiapan dan saling anjangsana antar dua keluarga pun berlangsung dengan mematangkan berbagai rencana perkawinan. Maka pada 9 September 1951, mereka resmi menikah. Emma Yuliasma selanjutnya, sebagai istri, selalu mendukung perjuangan suaminya di medan tempur. Mendampingi sang suami dengan penuh kasih sayang. Mengasuh anak-anak mereka hingga dewasa. Ia kemudian menekuni profesi sebagai bidan. Kemudian masuk Organisasi Golkar dan Ikatan Bidan Indonesia pada 1957-1969. Dari perkawinan tersebut, lahirlah putra-putri A. Hudan Dadiri dengan Emma Yuliasma. Mereka adalah: Asrul Kemal Dardiri (lahir 21 Agustus 1952), Indah Agustina (lahir 19 Agustus 1954), Aida Dani Asma (lahir 22 Februari 1956), Islana Gadis Yulidani (lahir 13 Agustus 1958), dan Amidar Nurma Winarti (lahir 4 Januari 1962), Indira Damayanti (lahir 17 Januari 1965). Pendidikan yang eliau terapkan di keluarga adalah bagaimana memposisikan diri sebagai manusia atau lebih khusus sebagai muslim yang baik dan mampu menjadi cermin bagi sesama, baik dalam berakhlak yang mulia, welas asih, tenggang rasa, dan tidak merendahkan derajat orang lain. Sikap mental ini diturunkan dan diajarkannya dengan
61
semangat demokratis, saling menghargai, dan berpegang pada intisari ajaran-ajaran AlQur’an dan Sunnah, yang semua itu penerapannya didasarkan pada prilaku akhlak Rasulullah saw. Oleh karena itu, cara mendidik kepada semua anak-anak beliau, tidak menggunakan kekerasan atau penghukuman yang justru dapat merontokkan karakter dan kebebasan berekpresi mereka. Pak Hudan lebih pada mendengar, mengamati, menyarankan hal yang terbaik. Maka, di mata anak-anaknya, Pak Hudan adalah sosok bapak, sekaligus sahabat dan guru kehidupan.
Putra-putri A. Hudan Dardiri dan Emma Yuliasma
Sementara mertua Achmad Hudan Dardiri adalah Abdul Manan Sutan Bagindo yang lahir pada tahun 1889, dari Minangkabau. Ia adalah seorang pegawai air minum kota di daerah Solok. Pensiun pada tahun 1954, dan meninggal pada tahun 1968. Sedangkan ibu mertuanya bernama Hajah Nuriyah, dari Minangkabau juga. Namun keduanya bercerai pada tahun 1930. Hajah Nuriyah ini meninggal pada tahun 1994. Riwayat perjuangan Achmad Hudan Dardiri dalam membela tanah air di masa pergolakan Perang Kemerdekaan adalah sebagai berikut: 1. Perang Kemerdekaan, di Pulau Jawa, tahun 1945-1950, sebagai Penyelidik Militer Khusus. 2. Perang Kemerdekaan, di Jawa Timur, tahun 1947-1948, di Markas Besar Pertempuran TCDT.
62
3. Perang Kemerdekaan, di Malang dan Blitar, tahun 1947-1950, TRIP. DE17/Det I.
Cinderamata TRIP. DE17/Det I
Sedangkan riwayat jabatan dan pengabdian sosial yang pernah diemban oleh A. Hudan Dardiri di sepanjang hidupnya adalah sebagai berikut: 1. Guru Madrasah tingkat swasta, tahun 1941-1942, di Blitar. 2. Guru SMP, tahun 1947-1950, di Blitar. 3. Guru swasta SMA Muhammadiyah, tahun 1949-1957, di Blitar. 4. Guru tingkat Taman Dewasa, tahun 1950-1957, di Blitar. 5. Guru tingkat Taman Madya, tahun 1957-1966, di Malang. 6. Guru dalam kesatuan instansi Departemen Pendidikan yang meliputi: SMA Negeri I Malang (1951-1957), SMA Negeri II Malang (1957-1966), SMKA Malang (19521960), SHD Malang (1960-1966), PGSLP Malang (sebagai dosen, 1955-1966), KPAA Malang (1961-1966), IKIP Malang (sebagai dosen, 1957-166). 7. Guru di instansi Departemen Agama di SGAI/PGAA Malang (1953-1958), SGHI Malang (1953-1956), IAIN (sebagai dosen, 1960-1966). 8. Guru di Departemen Kehakiman, pada instansi Kejaksaan (1953-1956), KMCA (1956-1966). 9. Dosen IKIP Negeri Malang (1957-1966). 10. Dosen IAIN Malang (1960-1967). 11. Sebagai Caretaker di instansi Pemda Kotapraja Malang (1967-1969).
63
12. Walikota Pasuruan, di instansi Departemen Dalam Negeri (1969-1975).
A. Hudan Dardiri ketika dilantik menjadi Walikota Pasuruan
13. Anggota DPRD I Jatim, di instansi Pemda tingkat I Malang (1975-1978). 14. Bupati Jombang, di instansi Departeman Dalam Negeri (1978-1983). 15. Rektor IKIP PGRI Jatim, di instansi Yayasan PGRI (1975-1985). 16. Rektor IKIP PGRI Surabaya, di instansi Yayasan PGRI (1985- sekitar 1996). 17. Pj. Rektor UNIPA Surabaya (1998-1999).
Semenjak menjabat sebagai Walikota Pasuruan pada tahun 1969-1975, ia mengembangkan semangat toleransi dan demokrasi baik di kalangan pemerintahan maupun kepada warga Pasuruan. Pasuruan yang merupakan daerah di ujung timur wilayah Jawa Timur memiliki potensi budaya dan sumber alam yang luar biasa. Keberagaman masyarakatnya juga mencerminkan kerukunan yang terjalin dengan baik. Etnis tionghoa dan Arab terbilang cukup banyak. Toleransi antar etnis dan antar agama menjadi prioritas yang dicanangkan A. Hudan Dardiri, selain pengembangan dan pembangunan dalam sektor pemerintahan dan kebutuhan publik secara luas. Dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan itu ia berumah dinas di kompleks balaikota Pasuruan di Jl. Balaikota No. 12, Pasuruan.
64
Salah satu toleransi yang dikembangkan sebagai bentuk kesadaran bagaimana memahami dan menghayati nilai-nilai Agama Islam terbukti dalam suatu peristiwa yang terjadi di Masjid Agung Pasuruan. Saat itu persiapan shalat Jumat hendak dilaksanakan. Masjid ini merupakan masjid terbesar. Pemangku dan takmir masjid kebanyakan dipegang oleh orang-orang keturunan Arab. Tradisi khutbah dengan menggunakan bahasa Arab ada di sini. Suatu hari, pada tahun 1969, Pak Hudan melaksanakan Jumatan di Masjid ini. Ia datang lebih awal sebelum jamaah lain. Ia langsung menuju dan duduk di shaf terdepan. Tiba-tiba muncul seoarang takmir bertampang dan berperawakan Arab menemuinya dan memintanya untuk bergeser ke belakang. Si takmir itu mengatakan bahwa shaf depan hanya untuk penggede dan syaikh-syaikh Arab saja. Pak Hudan terkaget sejenak. Ia tertegun, namun dengan senyum santun ia mengangguk dan berbalik menuju shaf paling belakang. Jamaah mulai banyak. Shaf-shaf mulai terisi penuh. Azan dikumandangkan. Khotib yang muncul adalah orang keturunan Arab. Berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab. Tak sampai 20 menit khutbah selesai. Wiridan sebentar. Lalu salah satu takmir lain mengumumkan bahwa Walikota Pasuruan yang baru sedang ikut bershalat Jumat di masjid tersebut dan diminta ke mimbar podium untuk memberikan semacam pidato kecil. Pak Hudan yang sedari awal datang yang digeser duduk ke shaf paling belakang lantas maju ke depan. Dengan baju dan celana panjang yang sederhana serta berkopyah hitam ia membelah shaf para jamaah dengan merunduk permisi, penuh hatihati dan sopan. Di atas mimbar itu Pak Hudan menyampaikan rasa terima kasihnya yang tak terhingga kepada seluruh masyarakat Pasuruan yang telah menerima dirinya sebagai Walikota. Ia mengharapkan dukungan warganya untuk membantu dalam proses pembangunan di segala bidang. Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk tetap menjalin kebersamaan antar pemeluk agama dan etnis. Ia menyinggung sedikit sebelum soal khutbah yang disampaikan khotib, mengucapkan wassalam dari mimbar itu. “Apakah sedoyo jamaah Jumat mangertos nopo ingkang dipun sampaikan khotib kolo wau?” Tanyanya kepada seluruh jamaah. Semua jamaah diam. Para penggede warga Arab terutama takmirnya juga tak angkat bicara. “Jika semuanya jamaah mengerti
65
khutbah dengan menggunakan bahasa Arab, ya monggo saja. Tetapi jika tidak paham, untuk apa khutbah bahasa Arab itu dijadikan khutbah rutin setiap Jumat? Maka, alangkah baiknya jika khutbah yang rutin tersebut juga diselingi dengan bahasa Jawa atau dengan bahasa Indonesia. Ini sekedar saran saya, sebagai warga Pasuruan sebagaimana panjenengan sedoyo. Semoga ada kebaikan dan manfaatnya di kemudian hari.” Begitulah Pak Hudan menutup pidato pendeknya. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana sebuah peristiwa terjadi dan bagaimana seorang Pak Hudan mampu memposisikan diri sebagai pribadi dan sebagai walikota. Di antara karakter demikian yang telah terbentuk sejak kecil hingga dewasa mengantarkan Pak Hudan memiliki cara pandang universal di dalam melihat berbagai persoalan. Hal ini ia upayakan terus agar semua langkahnya tidak terkotakkan dalam tempurung subyektifitasnya sendiri. Agar tidak berpikiran sempit dan picik. Pengembangan kepribadian dan pengalaman bersosial dalam segala lini aktivitas hidupnya di masyarakat ia tujukan sebagai ikhtiar demi pengabdian. Memberi manfaat bagi sesame. Sebanyak mungkin menyumbangkan apa ia miliki baik berupa wawasan dan pengalaman kepada siapa pun. Ini menjadi modal yang sangat berharga, lebih-lebih sebagai pemimpin, yang menjadi suluh dan panutan masyarakatnya. Hal itu tidak lepas dari sepak terjangnya untuk tidak berhenti mengisi seluruh kehidupannya dalam berbagai kegiatan sosial. Di antara kerja intelektual dan pengabdiannya yang tercatat baik adalah riwayat berorganisasi yang meliputi Organisasi Pelajar, Organisasi Mahasiswa, Organisasi Massa, Organisasi Politik, Organisasi Profesi, dan Organisasi Olah Raga, adalah sebagai berikut: 1. Kepanduan Indonesia, sebagai anggota, tahun 1935-1941, di Malang. 2. Seinendan, sebagai anggota, tahun 1942-1945, di Malang. 3. Ikatan Pelajar Indonesia, sebagai ketua bagian sosial, tahun 1945-1947, di Malang. 4. Pelajar Islam Indonesia, sebagai anggota, di Malang. 5. Pandu Rakyat Indonesia, sebagai sekretaris karesidenan Malang, tahun 1945-1950, di Malang dan Blitar. Tahun 1957 non aktif. 6. Palang Merah Indonesia, sebagai sekretaris, tahun 1948-1950, di Blitar. 7. Partai NU, sebagai wakil ketua cabang, tahun 1963-1969, di Malang.
66
8. Badan Musyawarah Angkatan 1945, sebagai ketua bagian kebudayaan, tahun 19601969, di Malang. 9. Pembina PGRI Pasuruan (1973). 10. Sekber Golkar, sebagai ketua Pembina, tahun 1970-1975, di Pasuruan. 11. Partai Golkar, sebagai ketua cabang, tahun 1978-1983, di Jombang. 12. Partai Golkar, sebagai wakil ketua tingkat I, tahun 1983- sekitar 1990an, di Surabaya. 13. Anggota TRIP Malang. 14. Anggota PGRI (1961-2007). 15. Penasehat PD I PGRI Jawa Timur (1988-2007).Pengurus PPLP PT PGRI (19862007). 16. Anggota MPR RI. 17. Ketua Golkar Jawa Timur. 18. Pengurus Pramuka Jawa Timur. 19. Wakil Ketua APTISI Jawa Timur.38
Bertemu Presiden Seoharto dalam aktivitas kepramukaan
Sikap hidup yang merakyat dalam pola kepemimpinan Pak Hudan dan pengalamannya di Pasuruan sebagai walikota, menjadi satu kebutuhan penting bagi upaya dasar membangun mental pemimpin agar tepat dan benar dalam menentukan 38
Data blangko Clearance-Test Calon Legislatif, diterbitkan oleh Tim Penelitian Khusus Calon Legislatif Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur 1997. Dan buku Memperingati1000 Hari H.A. Hudan Dardiri, University Press, Universitas PGRI Adi Buana, Surabaya, 2010.
67
kebijakan pemerintahan dan memberi kontribusi konkrit bagi warga. Hal inilah yang dibutuhkan seorang pemimpin. Berbagai pengalaman, dalam konteks bertugas di pemeintahan ataupun jalinan persahabatan dengan banyak tokoh nasional, membuat kepribadiannya semakin ulet dan kokoh dalam upaya memahami bagaimana beliau mengabdikan dirinya bagi rakyat banyak.
berjumpa dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta, sekitar 1980-an
Pengusulan dirinya sebagai Bupati Jombang lewat Departeman Dalam Negeri pada 1978, diawali ketika masa itu Pak Hudan menempati posisi sebagai anggota DPRD Tingkat I di Malang, Jawa Timur. Jadi sekitar 2 tahun setelah beliau bertugas sebagai Walikota Pasuruan. Proses pemilihan kepala daerah saat itu berupa penunjukan langsung dari pusat, yang prakteknya sering melalui pengajuan dari sejumlah pejabat penting di jajaran kepolisian maupun kemiliteran. Saat itu Pak Hudan secara langsung ditawari oleh Pak Witarmin, Pangdam V Brawijaya, Surabaya, untuk mengemban tugas kenegaraan sebagai Bupati Jombang. Tawaran tersebut diapresiasi dengan baik dan dipersiapkan proses legitimasinya secara prosedural. Sejak itulah, terhitung mulai tahun 1978 hingga tahun 1983, A. Hudan Dardiri memimpin dan bertugas mengabdikan dirinya sebagai Bupati Jombang.
68
A. Hudan Dardiri saat bertugas di kantornya sebagai Bupati Jombang
Roda pemerintahan dijalankan sebagaimana yang seharusnya dan semaksimal mungkin. Hal yang paling pokok tentunya mengacu pada terwujudnya masyarakat Jombang yang sejahtera, agamis dan bertoleransi. Dengan visi utama mewujudkan pemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, membangun struktur perekonomian yang kokoh, mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, yaitu pembangunan yang dilaksanakan tidak semata untuk mengejar pertumbuhan, namun bagaimana pertumbuhan yang ada sekaligus dapat dirasakan secara merata hasilnya oleh semua lapisan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor alam dan lingkungan sekitarnya. Fokus yang menjadi prioritas pembangunan yang dicanangkan dan digerakkan Pak Hudan kala itu adalah pembangunan di wilayah infrastruktur jalan dan irigasi. Ini mengingat wilayah Jombang sebagai daerah agraris. Fokus urgensif di bidang pembangunan jalan di beberapa wilayah yang belum tergarap secara optimal mulai beliau tingkatkan dengan perbaikan yang siknifikan, tentu terlebih dahulu dengan melihat serta mengevaluasi persoalan-persoalan mendasar yang ada. Dalam hal pertanian, beliau menitikberatkan pada sektor irigasi yang baik. Karena ini merupakan persoalan penting bagi para petani. Pada masa itu ia membuat terobosan berupa pembuatan sumur bor di daerah yang dipertimbangkan nyata-nyata kesulitan air. Pengairan yang lancar tidak semua didapat oleh para petani. Wilayahwilayah tertentu yang menjadi ujung sentral penggarapannya adalah di daerah Kabuh,
69
Puri Semanding, Plandaan, Sumberjo, Kebon Dalem (Bareng), Kepuh Rejo bagian selatan. Juga pembenahan dan pembuatan bendungan air di daerah Jati Banjar (Ploso) dan Talun Kidul di Kecamatan Sumobito. Pengembangan dan sumbangsih Pak Hudan demikian secara kuntinyu dan ajeg terus beliau upayakan hingga masa jabatannya sebagai Bupati Jombang berakhir pada tahun 1983. Banyak penghargaan yang telah diraih Pak Hudan di sepanjang hidupnya. Di antaranya adalah: Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra, Bintang Melati, Dharma Bakti, Pancawarsa, dan penghargaan dari BKKBN. Semua penghargaan dan prestasi serta aktifitasnya baik di ranah pemerintahan dan organisasi sosial lainnya tidak bisa dilepaskan bagaimana kita “menatap” sosok Pak Hudan yang betul-betul mencintai hidup dan memaknainya. Salah satu karakter kuat yang menyemat dalam dirinya adalah kecintaan dalam ilmu pengetahuan. Tradisi membaca yang bagus juga koleksi bukubukunya menjadi tolok-ukur kepribadiannya yang selalu haus akan segala pengetahuan. Dari ilmu hukum, tata negara dan pmerintahan, berbagai jenis ensiklopedi, sejarahsejarah bangsa, ilmu tafsir dan sejarah Islam, biografi tokoh-tokoh nasional maupun luar negeri, seni rupa, sampai pada bacaan sastra dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Lanskap perpustakaan pribadi Pak Hudan di lantai 2 rumahnya
Koleksi perpustakaan Pak Hudan barangkali jumlahnya mencapai puluhan ribu. Di lantai 2 rumahnya, di ruang utama, empat sisi semuanya dipenuhi rak-rak penuh buku dan foto-foto yang benar-benar didokumentasikannya dengan baik. Ini merupakan ruang-
70
baca bagi semua keluarga. Setiap kumpul sanak-famili, ruang-baca ini menjadi tempat yang sangat mengasyikkan untuk membaca dan menambah wawasan keilmuan. Salah satu buku koleksinya yang tertebal adalah sejarah Gresik. Buku ini disusun oleh Dukut Imam Widodo dan kawan-kawan dengan judul Grissee Tempo Doeloe, yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Gresik.
Buku Grissee Tempo Doeloe koleksi Pak Hudan
Tidak hanya tradisi membaca yang menonjol yang tampaknya sudah terlatih dan terbina sejak dini, namun kecintaannya terhadap dunia sastra juga terimplementasikan dalam karya puisi-puisinya. Beliau pengagum berat Chairil Anwar di mana puisi-puisi seperti “Kerawang-Bekasi”, “Diponegoro”, “Aku”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, menjadi obor kekuatan untuk memaknai hidup dan arti sebuah perjuangan di masa kemerdekaan. Penyair tersohor Indonesia era 1945 ini kita kenal sebagai tonggak penyair angkatan ’45 yang mempunyai pengaruh besar dalam sejarah pemikiran dan perkembangan kesusastraan Indonesia. Ada satu puisi Pak Hudan tentang cinta dan perjuangan yang berjudul “Riwayat”39. Puisi ini ditulisnya pada 8 April 1946:
Riwayat Kekasihku… Kau tak ingkar janji Memang tak pernah berjanji 39
A.H. Hudan Dardiri Pujangga, Pusara, Pusaka Sang Empu: Kumpulan Puisi A.H. Hudan Dardiri dan Kawan-kawannya, tanpa nama penerbit, Malang, 2010. Hlm. 1.
71
Tetapi kau serahkan kembali Lembaran suara hati Permulaan revolusi Kutanya apakah salahku ini Rahasia kusimpan Usia maupun pekerjaan Aku tabukan daging dan ikan Aku rindu jadi tanaman Naik menjulang awan Sejak itu tiada tegur sapa Salahku apa Aku hanya ingin ke medan laga Bila Izrail tiba Tak butuh taman bahagia Sumpahku mati atau merdeka Tak harapkan puja puji Hanya Tuhan pemiliknya Ketika kau betulkan dasi Warna merah darah Rasa darahku membeku Apa salahku Hanya kepada-Nya aku berserah Bukan idamanku kali ini Entah apa nanti Kekasihku... sampai nanti Tapi aku pasti menanti Meski beliau berkarya puisi, tapi hal itu tidak dijadikan sebagai profesi kepengarangan. Puisi-puisi beliau ditulis, dengan kedalaman dan coraknya sendiri, secara riil beliau gunakan untuk misalnya mempererat persahabatan. Seringkali pula ia gunakan untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada orang-orang yang dikenalnya. Atau pada saat menyambut Hari Raya Idul Fitri, semua staf di pemerintahan yang beliau pimpin, diberikanlah ucapan berbentuk puisi kepada mereka. Beliau juga kerap di saat menyambut ulang tahun dirinya dengan mengundang seperlunya kepada sejumlah kerabat, sahabat, dan tetangga dengan kado berupa puisi dalam bentuk buku kecil fotopian maupun yang beliau pasang dalam bentuk poster. Seperti contoh puisi berlambar “Hari Kelahiran” di bawah ini, saat beliau berulang tahun pada 7 April 2007, di Malang:
72
Poster besar yang dipajang di ruang tamu Pak Hudan
Hari Kelahiran Hari kelahiranku April tanggal tujuh Ternyata aku menjadi sepuh Cicit saja baru tujuh Semoga aku tidak rapuh Aku harus jadi panutan Di depan aku menjadi teladan Di tengah bersama menjadi kesatuan Di belakang aku memberi dorongan Ulang tahunku tidak berpesta pora Hidup harus bersahaja Hidup pasti penuh dosa Mohon maaf atas salah khilaf yang sengaja Perhatian dan doa anda Terima kasih kusampaikan Semoga Allah mengabulkan Doa ikhlas anda kepada saya Di masa tuanya Pak Hudan tinggal bersama keluarganya di Jl. Raya Langsep No. 49, Malang. Menjalani kehidupan bersahaja dan ikut meramaikan masjid di lingkungan sekitar sebagai bagian dari takmir masjid. Ketika pada 1998 beliau ditinggal
73
sang istri tercinta, Emma Yuliasma, beliau sungguh sangat terpukul hebat. Namun semua itu beliau pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Anak-anak beliau merasa sedih juga dan menyarankan sang Bapak untuk menikah lagi. Menikah di sini dengan maksud bukan sebagaimana manusia berumur 40-50-an yang masih bersemangat untuk membina keluarga baru dan melahirkan anak. Pura-putri beliau menyarankan itu sekedar untuk sebagai pendamping masa tua. Sebagai teman ngobrol dan bertukar rasa. Hal ini dianggap juga untuk mengurangi kepikunan dan saling menjaga di saat-saat tertentu.
rumah A. Hudan Dardiri di Jl. Raya Langsep No. 49 Malang
Tentu anak-anaknya tidak sembarang pilih. Mereka mengetahui dan memilih yang tepat untuk calon istri sang Bapak. Tersebutlah sosok Niken Mudrikah. Ia juga sudah sepuh sepantaran Pak Hudan. Ia ajukan perempuan ini. Ternyata Pak Hudan tidak menyangka, bahwa Niken adalah kekasihnya dahulu di Malang, namun mereka tidak bersambung hubungan. Niken menikah dengan orang lain dan memiliki beberapa putra dan cucu. Sudah lama juga Niken ditinggal suaminya. Pak Hudan menyetujui niat baik anak-anaknya tersebut. Lalu mereka dinikahkan secara sederhana pada tahun 1999. Bu Niken mendampingi Pak Hudan yang lahir pada 7 April 1924 ini, sampai beliau wafat di Malang pada Selasa Wage, pukul 04.00 WIB, 26 Juni 2007. Satu kenangan dari sang cucu, Riyangka namanya, kepada sang kakek berupa puisi berjudul “Unsent Letter”. Inilah penggalan terakhir dari puisi panjangnya itu:
74
To day, I still miss you And I will always do, until the day I meet you again But for now I just want to say I love you, Mbah Kakung… (Yogyakarta, 17 Desember 2009)40
40
Keluarga Alm. A. Hudan Dardiri, Memperingati 1000 Hari H.A. Hudan Dardiri, 25 Maret 2010, Malang.
75
12. Profil Bupati Noeroel Koesmen (Masa Bhakti 1983-1988)
Tidak terlalu banyak yang bisa dibincangkan mengenai sosok Noeroel Koesmen, kecuali bagi segelintir orang yang benar-benar mengenalnya dengan baik dan akrab. Ia sangat berhati-hati dalam segala perkataan dan tindakan. Orangnya kalem, rendah hati, sopan santun yang lembut dan sangat menghargai pendapat orang lain. Ia memiliki pandangan yang dalam sekaligus keluasan daya telusur dan lacakan dalam segala bidang yang digelutinya. Dalam menyikapi sesuatu, beliau selalu mempertimbangkan berbagai aspek dan perkara-perkara kecil lainnya ketika diperhadapkan pada suatu persoalan pelik. Hal ini bisa dijadikan pandangan untuk meninjau dan mencermati sepak terjangnya semasa beliau menjabat sebagai Bupati Jombang pada periode 1983 hingga 1988. Penunjukan dirinya sebagai bupati tatkala itu prosesnya tidak jauh berbeda dengan bupati di masa sebelumnya ketika Jombang dipimpin oleh Bapak A. Hudan Dardiri. Sebagai catatan, menurut beliau, mekanisme kondite sebagai perwira atau rapot keperwiraannya untuk pemilihan seorang bupati disesuaikan dengan wilayah yang dipersiapkan dengan proses tertentu. Ketika menjabat sebagai Komandan Kodim di Sumenep (1977-1980), ia memang sudah dikenal baik dan dekat dengan warga serta ulama setempat. Dari kemiliteran, lalu beliau ditawarkan ke Partai Golkar. Berkas-berkas dilengkapi, kemudian disekolahkan ke Jakarta selama 9 bulan untuk belajar khusus tentang kepemimpinan, teknik sipil, manajemen pemerintahan dan teknologi pemerintahan. Setelah itu barulah beliau bisa terjun ke lapangan sebagai Bupati Jombang. Prinsip kepemimpinan yang diterapkannya di Jombang menggunakan corak “ludrukan”, yakni: “Yo Opo Apike, Yo Opo Enake, Yo Opo Benere”. Artinya: “Bagaimana baiknya, Bagaimana Enaknya, Bagaimana Benarnya (seharusnya)”. Ketiga-tiganya ini harus berjalan seiring, seiya-sekata. Tidak bisa sendirisendiri. Aplikasinya adalah memadukan “karep” (keinginan) bersama. Keinginan rakyat
76
bersama. Untuk bisa melangkah bersama. Dan demi kebutuhan dan kesejahteraan bersama. Karena itu pemimpin harus selalu melahirkan gagasan-gagasan baru. Pemimpin sebagai produk ide. Jika rakyat menyambut ide pemimpin dan saling memahami kehendak dan kebutuhan, maka rakyat musti menjalankan konsekuensinya untuk bisa bergerak dan berbuat melakukan yang terbaik. Ide bersama tersebut ditumpukan pada situasi yang terjadi, problem-problemnya, dan hal tersebut membutuhkan ketajaman lahir-batin dalam melihat keadaan di lapangan dan tahu betul kebutuhan yang harus dipikirkan dan dipenuhi. Di sinilah dimulai sesuatu napak-tilas bahwa Jombang sebagai wilayah serta manusianya yang hidup di dalamnya tak henti direnungkan beliau untuk menentukan langkah-langkah apa yang dijadikan landasan dalam membuat kebijakan pemerintahan. Artinya juga, Jombang sebagai sebuah kesejarahan yang panjang tentunya menyimpan makna-makna tersendiri, dari yang bersifat simbolik maupun yang historis. Bagi Noeroel Koesmen, kata “Jombang”, pertama kali beliau dekati dengan menggunakan latar kondisi geografis. Realitas lapangan, di mana tanah Jombang di masa lalu dilihat sebagai daerah yang penuh rawa-rawa. Kata “Jombang”, boleh jadi harus dilacak kembali di mana selama ini didasarkan pada ungkapan “ijo” dan “abang”. Ungkapan ini boleh jadi sebuah tafsir tersendiri yang bisa kontekstual karena dirujukkan pada komunitas warganya: warga “santri” dan “abangan”. Mengenai profil akan sosok ini, dan kiprahnya sebagai Bupati Jombang, diharapkan mampu memberi cermin sejauh mana perkembangan Jombang tatkala dipimpinnya. Noeroel Koesmen lahir pada 30 April 1937, di Jember. Bapaknya bernama M. Kusno Wiryo Kusumo, dan ibunya bernama Rr. Rukanti. Riwayat pendidikannya sebagai berikut: 1. SD, SMP, dan SMA di Jember. 2. Akademi Militer tahun 1958-1961. Kemudian riwayat bertugasnya setelah beliau menjadi perwira adalah: 1. Pendidikan Pusat Artileri Medan, di Cimahi, Jawa Barat, pada tahun 1961-1965. 2. Batalion Armed II, di Medan, Sumatera Utara, sebagai Komandan Kompi, tahun 1966-1967.
77
3. Depo Pendidikan Armed, sebagai wakil Komandan Batalion, di Pematang Siantar, pada tahun 1968-1972. 4. Kepala Seksi Operasi di Resimen Armed 4, di Medan, Sumatera Utara, tahun 1972. 5. Komandan Batalian Depo Pendidikan Armed, di Pematang Siantar, tahun 1973-1977. 6. Komandan Batalion Armed 8, di Jember, tahun 1977. 7. Komandan Kodim di Sumenep, tahun 1977-1980. 8. Komandan Kodim di Kediri, tahun 1980-1982. 9. Kepala Staf Korem di Kediri, tahun 1980-1982. 10. Bupati Jombang, tahun 1983-1988. 11. Anggota DPRD Jawa Timur, tahun 1992-1997. 12. Pengurus PMI (Palang Merah Indonesia) Jawa Timur, mulai tahun 1990-sekarang. Selain itu, ia kerapkali diundang ke berbagai tempat dan acara sebagai pembicara tentang Ketahanan Nasional sejak tahun 1988 hingga tahun 1990. Di antara visi pokok yang digerakkan Noeroel Koesmen pada masa pemerintahannya di Kabupaten Jombang adalah memajukan dan mengembangkan dunia pertanian. Apa saja persoalan yang dihadapi masyarakat petani Jombang dan bagaimana beliau menyelesaikannya serta terobosan-terobosan apa saja yang sudah dilakukannya. Semua itu, menurut beliau, pertama kali yang harus dipelajari adalah bagaimana kita melihat Jombang dalam perspektif kesejarahan dan topografi wilayah sebarannya. Perspektif ilmu tanah beliau terapkan di sini. Bahwa dahulu Jombang di daerahdaerah tertentu merupakan wilayah rawa-rawa yang sangat susah diolah dan diberdayakan
potensinya.
Beliau
menggunakan
lacakan
dengan
ungkapan
“Jejombangan”: yang artinya suatu daerah yang di sana-sini banyak airnya. Bukan berarti sering dilanda banjir. Tapi begitulah yang kita kenal sebagai daerah rawa-rawa. Dengan kadar luapan 2 sungai penting, baik dari Kali Brantas atau atau Kali Konto. Maka sebaran dari luapan tersebut mempengaruhi kondisi tanah sekitarnya yang dangkal dan berawarawa. Terlebih dahulu mari kita cermati bahwa sebagian besar kondisi topografi Kabupaten Jombang adalah berupa dataran rendah dan sebagian kecil berupa daerah perbukitan dan pegunungan. Ketinggian wilayah Kabupaten Jombang berada pada kisaran 0-1.500 meter di atas permukaan laut. Dengan perbandingan kurang lebih 90%
78
dari luas wilayah berada pada ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut dan kurang lebih 10% nya berada pada ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Karena itu maka secara topografis Kabupaten Jombang dapat dibagi menjadi 3 kesatuan wilayah yaitu: 1. Wilayah bagian selatan yang berupa daerah pegunungan dengan kondisi yang bergelombang. 2. Wilayah bagian tengah yang didominasi oleh dataran rendah dengan kondisi tanah subur. Bagian inilah yang merupakan wilayah terluas di Kabupaten Jombang. 3. Wilayah bagian utara (bagian utara Sungai Brantas) yang merupakan daerah perbukitan kapur dengan kondisi tanah yang relative kurang subur. Sedangkan secara hidrologis, wilayah Kabupaten Jombang sangat dipengaruhi oleh 2 sungai besar yaitu Sungai Brantas san Sungai Konto. Dengan panjang +/- km, Sungai Brantas membelah Kabupaten Jombang menjadi 2 bagian yaitu: sebelah utara (24%) dan sebelah selatan (76%). Kabupaten Jombang beriklim tropis dengan suhu rata-rata 270 - 340 Celcius. Dan memiliki beberapa bulan basah dengan tingkat curah hujan yang bervariasi. Bulan basah tertinggi terjadi pada sekitar bulan November sampai Juni dengan curah rata-rata berkisar 1.625 mm/tahun. Sedangkan berdasarkan klasifikasi Oldeman yang mendasarkan pada jumlah bulan basah dan kering maka Kabupaten Jombang termasuk ke dalam tipe D4.41 Dari data topografis di atas, Noeroel Koesmen berusaha mengurai keadaan tanah dan bumi Jombang sebagai bahan untuk mengembangkan dan memajukan petani Jombang agar menjadi penghasil padi yang diperhitungkan di wilayah Provinsi Jawa Timur. Persoalan yang sering muncul di lapangan yang dialami dan dipraktekkan para petani misalnya, ketika musim tanam lombok dan harga lombok melonjak, maka mereka ramai-ramai tanam lombok. Demikian pula pada jenis tanaman lainnya, yang hal ini dimaksudkan untuk menyelingi masa tanam padi. Situasi inilah yang beliau sebut sebagai “kelatahan
tanam”: ketidaktepatan
penggunaan
memperhatikan kondisi dan “tubuh tanah”.
41
Lan Fang, Inspirasi Jombang, ibid.
79
lahan
pertanian
karena
tidak
Noeroel Koesmen saat diwawancarai di teras rumahnya di Jl. Baskara Utara 14 B, Mulyosari, Surabaya, pada 31 Juli 2010
Baginya, Jombang merupakan daerah penyanggah utama yang memiliki posisi sentral di wilayah Jawa Timur. Wilayah tengah sebagi penyanggah (buffer) ini sejak jaman dahulu di masa Kerajaan Majapahit yang menempatkan posisi Jombang sebagai gerbang kerajaan sebelah barat. Jarak tempuh ini disamakan dengan jarak tempuh “kuda”. Rata-rata kecepatan kuda yang dikendarai prajurit misalnya sebagai penyampai berita berkisaran antara kurang lebih 30 km. Jombang-Kediri memiliki jarak tempuh sekitar 30 km. Kediri-Blitar, kurang lebih 30 km. Jombang-Nganjuk memiliki jarak tempuh sekisar 35 km. Demikian juga di wilayah sekirasan itu. Ini memperkirakan kekuatan lari kuda yang per 30 km harus istirahat. Gambaran
demikian
digunakan
asumsi oleh
Noeroel
Koesmen
untuk
menempatkan dan menyebut Jombang sebagai daerah penyanggah kota atau daerah lainnya. Oleh karena itu sumber daya padi dan lebih spesifik penggalakan dunia pertanian menjadi acuan penting untuk memproyeksikan Jombang sebagai pusat lumbung padi dan lalu-lintas niaga lainnya. Sangat disayangkan jika saat itu daerah Jombang tidak termasuk daerah Gerbangkertosusila di mana beberapa wilayah lainnya seperti Mojokerto, Lamongan, atau Surabaya masuk dalam kategori ini. Padahal posisi strategisnya memungkinkan Jombang untuk itu. Maka dari itu, pengembangan Jombang sebagai basis penghasil padi harus menjadi perhatian yang tidak bisa disepelekan. Jombang memiliki hamparan tanah
80
pertanian yang luas dan humusnya (kadar kesuburan) sangat tinggi dan bagus. Jalur transportasi musti dioptimalkan. Peningkatan pengetahuan akan dunia pertanian harus digalakkan. Mempertajam ancangan pembangunan untuk menempatkan Jombang sebagai pusat agribisnis dan oleh sebab itu perlu meningkatkan teknologi pertanian yang baik. Saat itu yang diupayakan Noeroel Koesmen adalah menjadikan Kecamatan Peterongan dan Mojoagung sebagai daerah industri agar dapat melayani daerah-daerah lain maupun luar kota. Di masa beliau memimpin sebagai bupati, Jombang memperoleh keberhasilan sebagai penghasil besar tertinggi se Indonesia selama tiga tahun berturut-turut, yakni tahun 1986, tahun 1987, dan tahun 1988. Mendapatkan juara Nasional selama tiga tahun berturut-turut dalam penghasilan tebu dengan dijalankannya TRIS (Tebu Rakyat Intensifikasi), dan juara harapan tingkat nasinal di bidang kopi rakyat. Salah satu cita-citanya yang belum terlaksana adalah mendirikan semacam “Laboratorium Hama” yang rencananya ditempatkan di Kecamatan Mojoagung. Ini untuk mengatasi hama kutu loncat yang kerap menyerang padi dan membuat para petani gagal panen. “Laboratorium Tanah” juga belum tercapai, di mana usaha ini ditujukan untuk penelitian kondisi tanah yang selalu mengalami perubahan di saat pengolahannya dan situasi cuaca yang bisa berubah sewaktu-waktu. Kebutuhan akan air di lahan pertanian di Jombang tidak sepenuhnya bergantung pada Kali Brantas dan Kali Konto. Penggunaan air dari Kali Brantas misalnya yang mengalir ke Jombang juga tergantung pada kondisi kebutuhan para petani di daerah Nganjuk dan Kediri. Karenanya, penggalian “sumur bor” di sekitar daerah pertanian dipilih para petani untuk mengaliri sawah-sawah mereka, tanpa mempertimbangkan dampaknya. Pemikiran Pak Noeroel di atas seolah menggugah bagaimana kita memikirkan lebih mendalam ihwal filosofi ekologis yang dititik-beratkan pada kosep ”tubuh tanah”. Artinya, di kalangan petani, lebih khusus bagi para peneliti pertanian dan instansi Dinas Pertanian, agar tidak semata mengeksploitasi tanah untuk tujuan ekonomi semata. Tanah sebagai ”tubuh” juga memiliki kehidupan sendiri yang patut dijaga dan dilestarikan setelah manusia mengolahnya dengan berbagai cara dan dengan jenis tanaman apa saja yang secara berkala ditanam. Tanah juga bisa ”sakit” dan tidak lagi subur, sebab pengolahan yang semena-mena dan tidak mempertimbangkan efek-efek tertentu yang
81
justru akan merugikan petani sendiri. Dampak yang demikian, beliau sebut sebagai ”kelatahan olah tanam”, yang bagi petani hal ini sering dilakukan, misalnya ketika harga lombok melonjak, mereka ramai-ramai menanam lombok lagi. Ini merupakan percikan kecil dari pemikiran Pak Noeroel. Beliau selalu terjun ke lapangan, melihat keadaan yang terjadi, dan dari situlah persoalan diurai dan dipecahkan. Apa yang sebenarnya dibutuhkan masyakarat, bagi beliau, harus beranjak dari data lapangan dan bukti riil tersebut digunakan untuk menentukan langkah dan merumuskan kebijakan pemerintah.
82
13. Profil Bupati Tarmin Hariadi (Masa Bhakti 1988-1993)
Tarmin Hariadi adalah sosok bupati ke-14 yang dimiliki Kabupaten Jombang. Seorang bupati yang agamis dan teguh memegang komitmen. Hal ini tidak mengherankan karena Bupati Tarmin Hariadi dilahirkan sebagai anak kelima dari enam bersaudara sebagai seorang ajengan (kiai “kampung”) asal Desa Karangwareg, Kecamatan Karangasem, Cirebon, Jawa Barat, yang bernama Kiai Raswan. Meskipun bukan seorang figur kiai besar, Kiai Raswan sangat disegani di kampungnya. Selain sebagai pemangku masjid, beliau juga menjadi Imam Masjid di desa tersebut. Sosok Kiai Raswan menjadi barometer awal seorang Tarmin Hariadi untuk meyakini prinsip-prinsip tentang kehidupan. Justru dari keseharian sosok ayahnya yang Kiai “kampung” itu meneguhkan pilihan jalan hidup yang menganut ajaran-ajaran kesederhanaan, daya juang yang tinggi, dan memegang teguh ketauhidan. Apalagi kakakkakaknya telah menapak sukses terlebih dulu dengan menjadi guru dan sejumlah jabatan penting untuk ukuran waktu itu. Sehingga makin mendorong Tarmin kecil memilih jalur kemiliteran guna mengubah nasib, terutama ekonomi keluarga yang pas-pasan karena kondisi pergolakan fisik. Tarmin kemudian mampu membuktikan setelah ditempa sebagai prajurit TNI dengan sejumlah jabatan strategis yang pernah disandangnya.42 Tarmin kecil dilahirkan pada tanggal 14 Agustus 1942, masa ketika pergolakan fisik antara embrio Indonesia yang belum diproklamasikan dengan tentara pendudukan Jepang yang berambisi membangun imperium Jepang Asia. Sehingga tempaan bertubitubi berupa krisis ekonomi yang disebabkan pendudukan Jepang itulah salah satu pemicu Tarmin kecil memegang teguh cita-cita untuk secepatnya mengubah nasib dan pantang menyerah, apapun yang terjadi. Terbukti kemudian jenjang militer menjadi pintu gerbang karir beliau selanjutnya. 42
Wawancara dengan Dede Rutana, anak keempat Bupati Tarmin di ruang kerja Bappeda Kabupaten Jombang, pada hari Senin, 4 Oktober 2010, pukul 14.00 WIB.
83
Sebagai putera pemangku masjid di desanya, Tarmin Hariadi tidak berbeda dengan anak-anak seusianya. Karena masjid bagi mereka telah dijadikan rumah kedua setelah rumah orang tua masing-masing. Kebiasaan tidur di masjid usai sholat isya dan mengaji menjadi keasyikan tersendiri. Terutama bagi anak laki-laki, karena di antara mereka bisa saling bercerita, bercanda, bahkan merajut mimpi indah tentang cita-cita. Rutinitas tidur di masjid atau mushola telah mendorong anak-anak, khususnya di desa Karangwareg, Kecamatan Karangasem, Cirebon sebagai rentetan merajut cita-cita. Artinya mereka berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melakukan puasa sunah dan sholat malam untuk mengimbangi usaha mereguk ilmu sebanyak-banyaknya di bangku sekolah. Lulusan Akademi Militer Nasional Magelang angkatan 1965 ini pernah menduduki jabatan dari mulai Danton (Komandan Peleton) Yonif 511 Blitar, Danki Pan Yonif 511 Blitar, Wadanyon (Wakil Komandan Batalyon) 512 Malang, Danyon 512 Malang, dan Secaba Rindam V Brawijaya, Dandim Lumajang, Paban Madya MBS ABRI, Aspers Garnisun Surabaya, Wa Aspers Kodam V Brawijaya, Aspers Kodam V Brawijaya, Aster Kodam V Brawijaya, hingga Wakil Asisten Personalia (Wa Aspers) Kodam V Brawijaya. Setelah berpangkat kolonel pada tahun 1988, beliau mengemban tugas menjadi pejabat sipil Bupati Jombang masa bhakti 1988-1993. Tidak lama setelah lulus sebagai perwira pada kurun waktu 1965, beliau melangsungkan pernikahan dengan pujaan hatinya sewaktu masih sekolah bernama Patonah. Gadis ini dinikahi Tarmin karena tanggungjawab yang besar terhadap keluarga. Salah satunya terus berlanjut ketika mendampingi sosok Tarmin sebagai istri yang menomorsatukan pendidikan anak dan peran domestik keluarga. Artinya meskipun sebagai istri pejabat, Patonah tetap menjalankan tugas utama sebagai ibu rumah tangga. Tidak serta merta menyerahkan segala urusan keluarga kepada pembantu. Dari pernikahan tersebut pasangan Tarmin Hariadi – Patonah dikaruniai empat putera-puteri; pertama Dudi Rudiana (lahir tahun 1966), kedua Tarina Handaningrum (lahir 1968), ketiga Tati Susilowati (lahir tahun 1970), dan keempat atau yang terakhir Dede Rutana (lahir tahun 1974). Latar belakang sebagai putera Kai serta ditunjang pendidikan militer menyebabkan dua prinsip utama menjadi karakter khas seorang Tarmin Hariadi.
84
Pertama, anti berbohong, artinya satu kata satu perbuatan. Kedua, memegang komitmen, baik berupa janji maupun yang berkaitan dengan tugas sedapat mungkin tidak menyalahgunakan jabatan. Pernah kejadian sewaktu beliau masih menjabat Bupati Jombang, tidak satupun keluarga maupun putera-puteri seorang Tarmin yang pernah memenangkan tender proyek di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang. Ada dua hal yang menjadi fokus garapan Bupati Tarmin ketika mengemban amanat memimpin Kabupaten Jombang. Kota yang memiliki seratus lebih pondok pesantren ini seolah bukan hal baru bagi seorang Tarmin yang memang anak Kiai. Dua hal yang menjadi target utama dibagi menjadi program jangka pendek dan jangka panjang. Untuk program jangka pendek adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan peningkatan pertanian (pangan), perbaikan prasarana jalan dan lain-lain. Sedangkan program jangka panjang meliputi pembangunan industri untuk ekspor dan mengurangi pengangguran. Sebagai penunjang percepatan program tersebut dilakukan dari skup internal berupa penerapan disiplin di lingkup pemerintah Kabupaten Jombang. Khusus pada penerapan disiplin kerja dan disiplin kinerja, Bupati Tarmin mengawali rutinitas apel pagi sebelum menjalankan tugas. Melalui kegiatan apel itulah beliau dapat menyampaikan hal-hal yang dianggap penting untuk dilaksanakan pada hari itu. Setelah melaksanakan tugas sebagai Bupati Jombang, Tarmin Hariadi masih mengemban amanat sebagai Bupati Lumajang. Setelah jabatan terakhir sebagai Bupati Lumajang memasuki masa purna jabatan, Tarmin sempat dipromosikan untuk menduduki pos penting jabatan di Provinsi Jawa Timur. Namun dengan kerendahan hati tugas tersebut terpaksa ditolak, karena beliau lebih memilih menikmati masa pensiun. Kini Tarmin Hariadi benar-benar menikmati usia pensiun dengan aktifitas rutin keagamaan di Malang, Jawa Timur. Selain menjadi ketua paguyuban orang Sunda bernama Parahiyangan. Empat putera-puteri dan tujuh cucu melengkapi kebahagiaan seorang Tarmin Hariadi.
85
14. Profil Bupati Soewoto Adiwibowo (Masa Bhakti 1993-1998)
Soewoto Adiwibowo merupakan Bupati Jombang periode 1993 – 1998. Dalam masa lima tahun kepemimpinannya, lulusan AMN (Akademi Militer nasional) ini mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk kemajauan Jombang. Maka tidak heran jika selama itu banyak prestasi yang tertoreh, baik dalam bidang pertanian maupun dalam bidang pemerintahan. Kini bapak dari empat anak ini menghabiskan masa tuanya di kota dingin Malang, tepatnya di Perumahan Pondok Blimbing Indah Araya Blok B-8 No. 8.43 Menggelindingnya roda pemerintahan Bupati Soewoto dimulai pada 23 Agustus 1993. Hal itu ditandai dengan dilantiknya pria yang berpangkat Kolonel (Inf) tersebut menggantikan bupati sebelumnya, Tarmin Hariadi. Pelantikan berlangsung khidmat dan dipimpin secara langsung oleh Gubernur Jawa Timur waktu itu, Soelarso. Ratusan pasang mata menyaksikan pelantikan itu. Soewoto menyadari, Jombang merupakan basis pondok pesantren. Oleh karenanya, membangun hubungan yang sinergis antara pemerintah dengan pondok pesantren adalah suatu keniscayaan. Nah, sehari setelah pelantikan, pria kelahiran Bojonegoro ini mengumpulkan seluruh ulama kota santri di Pendopo Kabupaten setempat. Hari itu, ia memperkenalkan diri sekaligus mengajak seluruh ulama untuk bergandeng tangan demi kemajuan Jombang. Setelah itu, ia mulai melakukan pendekatan ke masyarakat Jombang. Karena Soewoto berprinsip, sebaik apapun program yang ia gulirkan, tanpa dukungan dari masyarakat luas tentunya hasilnya akan sia-sia. Maka tidak heran, selama lima tahun menjabat sebagai bupati, sebanyak 306 desa di Kabupaten Jombang pernah 43
Hasil wawancara dengan mantan Bupati Jombang, Soewoto Adibowo, pada 5 Oktober 2010, di kediamannya Perumahan Pondok Blimbing Indah Araya Blok B-8 No 8.
86
dikunjunginya beserta istri. Langkah itu juga ia wujudkan dengan membuat media untuk membangun komunikasi dengan masyarakatnya. Salah satunya membuat tabloid ”Gema Desa” yang disingkat Masa. Tabloid itu didistribusikan ke seluruh desa yang ada di Jombang. Harapannya, akan terbangun komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Dengan begitu pembangunan yang ia gulirkan senafas dengan keinginan masyarakat. Sentuhan tangan dingin Soewoto yang pertama dilakukan adalah memunculkan ikon Kabupaten Jombang lewat piala Adipura. Ia tak pernah lelah mengajak masyarakat untuk senantiasa menjaga kebersihan lingkungan. Hasilnya tidak sia-sia, pada tahun pertama kepemimpinannya, Kabupaten Jombang berhasil menyabet piala bergengsi dari Presiden Soeharto kala itu. Dengan diraihnya penghargaan tersebut, ia berharap rasa memiliki yang ada di hati masyarakat terhadap daerahnya semakin meningkat. Selanjutnya, jika rasa memiliki sudah muncul, maka akan lebih mudah mengajak masyarakat untuk bergerak membangun daerah. Alhasil, selama dipimpin oleh Bupati Soewoto, Kabupaten Jombang menjadi langganan piala Adipura. Yakni sebanyak empat kali, mulai tahun 1994 hingga tahun 2007. Sebenarnya pada 1998 Jombang bertekad merebut piala Adipura ke lima atau yang biasa disebut dengan Adipura Kencana. Hanya saja, memanasnya situasi politik yang ditandai dengan gerakan refomasi, mengakibatkan anugerah piala tersebut ditiadakan. Tidak cukup sampai di situ. Awal memimpin Kabupaten Jombang, bapak empat anak ini mulai melirik sektor pertanian yang akan di jadikan primadona dalam pembangunan. Hal itu didasari oleh peta Jombang yang membujur dengan membentuk garis linear. Selanjutnya, untuk memaksimalkan potensi itu, Bupati Soewoto membuat peta wilayah pertanian. Dalam arti, mana wilayah yang dikhususkan untuk tanaman pangan dan mana wilayah yang dikonsentrasikan untuk non pangan dibuat pembagian secara jelas. Hasilnya tidak sia-sia, pada tahun kedua kepemimpinannya Kabupaten Jombang menjadi percontohan penggunaan pupuk pril atau yang biasa dikenal dengan urea tablet tingkat nasional. Selain itu, Jombang juga dijadikan sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
87
Bergeraknya roda pembangunan yang digagas oleh Soewoto berbuah manis. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya jumlah PAD (Pendapatan Asli Daerah) saat itu. Ia mencatat, kala pertama menjabat sebagai bupati, jumlah PAD Kabupaten Jombang hanya sebesar Rp 2,1 miliar per tahun. Akan tetapi jumlah itu meningkat tajam pada akhir masa jabatannya, yakni tembus Rp 11,6 miliar atau ada peningkatan sekitar Rp 9 miliar. Terobosan-terobosan selanjutnya terus dilakukan oleh Bupati Soewoto, semisal masalah pelaksanakan ibadah haji. Saat itu pelaksanaan haji di Jombang cenderung semrawut. Tidak jarang masyarakat bawah yang sudah terlanjur menjual sawah untuk ibadah haji gagal berangkat hanya karena terganjal kuota. Kondisi itu diperparah dengan maraknya rekomendasi dari oknum pejabat. Praktis, seseorang yang punya kedekatan dengan pejabat bisa dengan mudah mendapatkan kuota. Sedangkan bagi masyarakat bawah, harus rela antre dengan ketidakpastian kapan bisa berangkat. Atas dasar itu, pada tahun 1997 pelaksanaan haji di Jombang menggunakan sistem undian alias nomor urut. Teknisnya, seluruh yang mendaftar haji dicatat. Pada hari yang sudah ditentukan, para pendaftar dikumpulkan di alun-alun setempat. Kemudian mereka mengambil nomor undian yang sudah dimasukkan dalam kotak. Dari situlah para jamaah haji mendapatkan nomor urut dan mengetahui apakah dirinya berangkat ke tanah suci atau tidak. Semisal, jumlah kuota haji pada saat itu 100 orang, padahal jamaah yang mendaftar ada 150 orang. Setelah mengambil nomor urut, maka akan diketahui siapa saja yang mendapatkan nomor 1 hingga 100. Merekalah yang dipastikan berangkat ibadah haji, selebihnya harus menunggu tahun berikutnya. Dengan metode itu, azas keadilan lebih dikedepankan. Menariknya lagi, waktu itu Jombang merupakan satu-satunya daerah yang menggunakan sistem undian. Tak heran, terobosan itu sanggup membuat ”iri” Departemen Agama (Depag) Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya mereka melakukan studi banding tentang metode pemberangkatan haji yang digagas oleh Bupati Soewoto. Gayungpun bersambut. Pemerintah pusat juga melirik metode baru tersebut. Hal itu ditandai dengan datangnya 12 orang dari Kementrian Agama untuk melihat secara langsung pemberangkatan haji dengan sistem undian itu. Rencananya, apa yang telah dilakukan oleh Kabupaten Jombang akan diadopsi oleh
88
pemerintah pusat. Namun belum sempat rencana terwujud, gerakan Reformasi 1998 bergulir. Satu hal lagi yang masih diingat oleh Bupati Soewoto hingga kini adalah suksesnya pelaksanaan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) tingkat Jawa Timur di Jombang pada tahun 1996. Selain sukses sebagai tuan rumah, kota santri Jombang juga sukses sebagai juara umum. Padahal persiapan untuk menggelar momen akbar itu cukup singkat, yakni hanya dua bulan. Sebenarnya, ada dua daerah yang terpilih menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan MTQ waktu itu, yaitu Madura dan Bojonegoro. Hanya saja, saat pelaksanaan MTQ kurang tiga bulan, dua daerah tersebut menyatakan tidak sanggup. Akhirnya Gubernur Jawa Timur saat itu, H. Basofi Soedirman, memanggil Bupati Soewoto. Dalam pertemuan itu, gubernur meminta agar Jombang menjadi tuan rumah. Kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja. Bupati segera bekerja keras dan membentuk kepanitiaan MTQ. Alun-alun yang terletak di depan Pendopo Kabupaten disulap menjadi masjid raksasa. Di setiap sudutnya dipasang menara yang lengkap dengan kubah. Ternyata mepetnya persiapan justru menjadikan semangat tersendiri bagi Kabupaten Jombang. Terbukti, Jombang berhasil meraih sukses ganda. Pertama, pelaksanaan MTQ berjalan cukup baik. Kedua, Jombang berhasil menyabet gelar juara umum. Hingga kini, menara di setiap sudut alun-alun Jombang itu masih terawat dengan baik.
Gapura Jombang di Desa Temuwulan, Kecamatan Perak sebagai perbatasan dengan Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang kota
89
Pada era kepemimpinan Soewoto pula, sejumlah gapura masuk Kota Jombang dibangun. Gapura itu hingga kini masih ada, yakni berada di Desa Temuwulan, Kecamatan Perak, dan gapura masuk kota yang ada di wilayah Kecamatan Peterongan. Kedua gapura ini dibangun tahun 1997. Pembangunan batas kota itu bukan tanpa sebab. Salah satunya adalah untuk membedakan mana wilayah kota dan mana kawasan non kota. Buah tangan Soewoto lainnya adalah gedung DPRD yang berada di Jalan Wahid Hasyim saat ini. Sebelumnya, gedung wakil rakyat Kabupaten Jombang itu berada di sebelah selatan kantor Pemkab lama (sekarang kantor Bakesbangpollinmas). Karena tempat tersebut dirasa kurang layak, akhirnya dibangunlah gedung DPRD baru yang sebelumnya merupakan gedung pertemuan.
gedung DPRD yang berada di Jalan Wahid Hasyim No. 110
Dekat dengan Bawahan Selain cukup dekat dengan masyarakat, Bupati Soewoto juga cukup dekat dengan jajaran yang ada di bawahnya. Komunikasi dan koordinasi selalu ia lakukan, baik bersifat formal maupun informal. Pun demikian, sesuai dengan latar belakangnya yang berbasis militer, ia mempunyai rasa disiplin cukup tinggi. Hal itu pula yang membuat ia cukup disegani oleh anak buahnya. Soewoto menyadari, menata organisasi pemerintahan tidak semudah menata benda-benda mati. Namun diperlukan manajerial kepemimpian yang mumpuni. Pedoman yang ia pegang saat itu adalah ”The Right Man on the Right Place”, yaitu, menempatkan
90
seseorang sesuai dengan bidangnya. Dengan begitu, segala tugas, pokok, dan fungsi, berjalan secara seimbang dan berkesinambungan. Bukan hanya itu, saat pertama kali menjabat sebagai bupati, organisasi pemerintahan di Kabupaten Jombang kurang solid. Korps berseragam coklat keki itu tersekat-sekat sesuai dengan asal almamaternya. Misalnya, lulusan dari UGM (Universitas Gajah Mada) membentuk kelompok sesama UGM, lulusan Unibraw (Universitas Brawijaya) membentuk sekat dengan sesama Unibraw, begitu seterusnya. Akibat dari kondisi itu, kerja-kerja di pemerintahan menjadi kaku dan kurang sehat. Nah, membongkar sekat-sekat itulah PR (Pekerjaan Rumah) yang pertama kali dilakukan Soewoto dalam bidang organisasi pemerintahan.
Guratan kata Bupati Soewoto tentang kepemimpinan dan kedisiplinan dalam menjalankan tugas-tugas negara sebagai pegawai Pemerintah Kabupaten Jombang. Tulisan ini terletak di dinding ruang tamu Pemkab Jombang lantai I
Walhasil, dibongkarnya sekat-sekat tersebut membuat suasana kerja kembali mencair. Selanjutnya, setiap hari Senin ia mengumpulkan seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) guna melakukan koordinasi dan evaluasi. Dalam pertemuan rutin itu tidak pernah ditentukan tema yang akan dibahas. Semunya mengalir secara alami. Dengan begitu, seorang Kepala Dinas atau Kepala Bagian selalu siap jika diminta mempresentasikan program kerjanya masing-masing. Hal itu sangat berbeda jika tema
91
dalam rapat rutin itu sudah ditentukan terlebih dulu. Dinas yang kebagian tema tersebut akan siap-siap, sedangkan dinas yang belum waktunya presentasi akan leha-leha. Guna memacu kinerja, Soewoto juga melakukan kunjungan secara mendadak ke instansi yang ada di bawahnya. Semisal, secara tiba-tiba ia datang ke Bagian Urusan Kepegawaian. Di kantor itu ia menemui Kepala Bagian dan menanyakan berapa jumlah pegawai yang akan pensiun, berapa jumlah honorer, dan sejumlah pertanyaan lainnya. Tidak jarang, pejabat yang mendapat kunjungan mendadak itu harus kelabakan karena tidak siap. Pun demikian, ia tidak pernah marah. Hal itu dilakukan agar jajaran di bawahnya selalu siap menghadapi segala kemungkinan.
Lahir dari Keluarga Sederhana Bupati Soewoto lahir di saat Jepang menancapkan kuku jajahannya di bumi Indonesia. Ia lahir di Bojonegoro 20 Desember 1944, tepatnya di Desa Kadipaten, Kecamatan kota. Soewoto merupakan anak ke-3 dari 11 bersaudara dari pasangan Samudi Kartodihardjo dan Rukmi. Masa kecilnya tidak jauh berbeda dengan anak desa pada umumnya. Bermain perang-perangan, bermain kasti, hingga bermain sepak bola bersama teman sebayanya. Dari kedua orangtuanya itulah Soewoto kecil selalu diajarkan kesederhanaan. Maklum saja, kehidupan keluarganya bisa dikatakan pas-pasan. Bahkan Soewoto mengakui, bisa makan enak hanya setahun sekali, yakni pada saat lebaran. Pun demikian, semangat untuk menjadi orang besar tidak pernah padam. Garis hidup memang rahasia Ilahi. Begitu juga dengan Soewoto, sejak kecil ia tidak pernah punya cita-cita yang muluk. Semisal, menjadi seorang tentara atau menjadi bupati sekalipun. Pemikirannya sederhana. Menamatkan SMA, bekerja, kemudian membantu kedua orang tua untuk membesarkan adik-adiknya. Karena ia yakin, dengan mengantongi ijazah SMA sangat mudah untuk mencari pekerjaan saat itu. Saat usianya menginjak tujuh tahun, ia didaftarkan oleh ayahnya bersekolah SR (Sekolah Rakyat) di Desa Kadipaten. Meski dari keluarga kurang mampu, namun soal pelajaran Soewoto kecil terbilang moncer. Ia tidak pernah sekalipun tinggal kelas. Hasilnya, pada tahun 1958 ia lulus SR (setingkat SD). Soewoto kemudian melanjutkan sekolah ke SMP (Sekolah Menengah Pertama) Bojonegoro yang notabene satu-satunya sekolah negeri kala itu. Duduk di bangku SMP, prestasi akademiknya tidak
92
mengecewakan. Sama halnya waktu duduk di sekolah SR, Soewoto kecil tidak pernah tinggal kelas. Ia lulus SMP Negeri Bojonegoro pada tahun 1961. Selanjutnya, ia meneruskan pendidikan di SMA Negeri Bojonegoro. Di sekolah itu, jurusan B (ilmu pasti) yang menjadi pilihannya. Tepat tahun 1964, Soewoto menyelesaikan masa SMAnya. Selepas SMA, ia berniat untuk bekerja. Namun, keinginan anak ke-3 dari 11 bersaudara ini harus dipendam terlebih dahulu. Pasalnya, ia lebih tertarik untuk menjadi seorang taruna ABRI (sekarang TNI). Semua itu berawal ketika keponakannya yang notabene terlebih dulu lulus dari AMN di Magelang cuti kedinasan. Saat itulah ia bertekad untuk menjadi taruna juga. Bersama dengan 71 orang lainnya ia pun ikut-ikutan mendaftar. Berbagai persyaratan ia penuhi, bermacam tes ia jalani. Saat pengumuman tiba, Soewoto seakan tidak percaya, dirinya diterima sebagai calon taruna di lembaga pendidikan militer tersebut. Pria asli Bojonegoro ini menjalani pendidikan militer selama tiga tahun, yakni mulai tahun 1964 hingga lulus pada 1967. Ia lulus AMN dengan pangkat Letnan Dua (Letda). Sebagai seorang taruna, Soewoto menyadari harus siap ditugaskan di mana saja. Pada tahun 1968, tugas pertamanya di Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) VIII Jember. Setelah itu, tahun 1975 ia dipindahkan tugas ke Pusat Pendidikan (Pusdik) Armed Cimahi Jawa Barat. Di pusat pendidikan tersebut, Soewoto bertugas selama enam tahun. Selanjutnya, pada 1981, ia menjabat sebagai Komandan Batalyon Armed XII di Ngawi. Tiga tahun menjabat sebagai Komandan Batalyon, ia kemudian dipindah jabatan sebagai staf Markas Besar (Mabes) ABRI di Jakarta, yakni mulai tahun 1984. Baru pada tahun 1990, ia kembali bertugas di Jawa Timur, saat itu ia dipercaya sebagai Komandan Resimen Armed/Kostrad yang bermarkas di Singosari, Malang. Di tempat tersebut, bapak empat anak ini hanya bertugas selama dua tahun. Karena pada 1992, ia dipindah lagi ke Kodam V/Brawijaya sebagai Asisten Perencana dengan pangkat Kolonel. Selama satu tahun itulah tugasnya yang terakhir. Pasalnya pada 23 Agustus 1993 Soewoto mendapatkan tugas karya dari pemerintah pusat untuk menjabat sebagai Bupati Jombang. Sibuk berkarir, bukan berarti perwira TNI ini lupa akan kodratnya sebagai lakilaki. Soewoto melepas masa lajangnya pada 9 Maret 1969. Ia menyunting gadis kelahiran
93
24 September 1951, Ninik Darmini, yang juga masih tetangganya satu kampung di Bojonegoro. Dari perkawinan itu, pasangan Soewoto Adiwibowo dan Ninik Darmini dikarunia empat orang anak yang semuanya perempuan. Mereka adalah: Endang Nursilawati, Eva Nursilarini, Ely Nursiladewi, dan Erlin Nursilaningrum. Kini anak dari mantan bupati ini semuanya sudah berkeluarga. Namun, salah satu dari mereka ada yang masih tinggal di Jombang. Sehingga mantan bupati ini meski tinggal di Malang, dalam sekali waktu masih menyempatkan waktu untuk mengunjungi kabupaten yang pernah ia pimpin selama lima tahun.
94
15. Profil Bupati Affandi (Masa Bhakti 1998-2003)
Seolah meneguhkan Kabupaten Jombang sebagai kota santri yang memiliki lebih dari seratus pondok pesantren besar kecil, Bupati Drs. H. Affandi, M.Si memberikan warna kepemimpinannya dengan segala hal yang bercirikan keislaman. Upaya itu ditempuh dengan menerapkan manajemen islami dan hubungan kerja menurut konsep Agama Islam. Antara lain dengan anjuran pemakaian jilbab bagi karyawati di lingkup Pemkab dan selalu menebar salam ketika pertemuan. Untuk meneguhkan rasa syukur sebagai hamba Allah, maka ia selalu mengajak hadirin di setiap acara yang ia hadiri untuk mengawali acara dengan mengucapkan tiga kali kalimat hamdalah. Salah satu bentuk terobosan di masa kepemimpinan Bupati Affandi adalah pemaksimalan peran dan fungsi Badan Amil Zakat Kabupaten. Bahkan mendorong organisasi serupa di masyarakat untuk memajukan ekonomi umat melalui pengelolaan zakat secara amanah dan profesional. Maka sejak saat itu ada program pengentasan kemiskinan dan beasiswa bagi anak yang orangtuanya tidak mampu dari dana zakat, infaq, dan shodaqoh kaum muslimin. Semenjak di bawah kepemimpinan Bupati Affandi, majelis-majelis pengajian dan istighotsah terus digalakkan. Antara lain yang dijadikan agenda rutin setiap hari Jumat pagi di lingkup pemerintah Kabupaten Jombang. Sebagai seorang pemimpin yang mencoba untuk menjunjung tinggi amanah, maka ia dikenal sebagai sosok muslim yang menerapkan Islam secara kaffah atau murni menurut Syariat. Baginya urusan Syariat adalah nomor satu sebagai insan yang memiliki iman. Mengenai hal ini ia selalu berpesan kepada keluarga agar berpegang teguh pada tali Islam (agama Allah), insyaallah keluarga akan tetap rukun dan bersatu.
95
Begitulah semangatnya menerjemahkan konsep-konsep kepemimpinan islami sampai-sampai bedug masjid pun ditempatkan di sebuah sudut Pendopo Kabupaten, seolah bersanding mesra dengan gamelan yang dipajang di sisi lain ruang yang sama.44 Sebagai seorang pemimpin yang sekaligus kepala rumah tangga, Bupati Affandi dikenal sebagai sosok pengayom, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat sekitar di mana ia tinggal. Setiap orang yang berdekatan dengannya selalu merasa nyaman mendapat siraman rohani dan tausiyah yang tidak jarang ia sampaikan di setiap kesempatan. Selama menjabat menjadi Bupati Jombang masa bhakti 1998-2003, Drs. H. Affandi, M.Si membangun silaturahmi antar sesama muslim maupun membangkitkan acara rutin pengajian keluarga besar Bani Ahmad yang merupakan garis nasab atau silsilahnya. Kesederhanaan hidup adalah salah satu keunggulan yang melekat erat pada pribadi Bupati Affandi. Bahkan selepas dirinya berdinas di ketentaraan dan kembali ke kampung halaman, tidak satu pun kesan kemewahan yang tampak. Ia memilih menggunakan mobil sederhana dibandingkan menggunakan fasilitas mobil yang mewah, meskipun sebenarnya ada peluang itu. Prinsip hidup sederhana ini barangkali dilandasi oleh masa kecilnya sebagai putera daerah yang berasal dari pelosok. Tepatnya salah satu desa di Kecamatan Plandaan, daerah utara Sungai Brantas yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Nganjuk. Setelah memimpin Jombang selama lima tahun, akhirnya Drs. H. Affandi, M.Si purna tugas sebagai Bupati Jombang. Rasa kehilangan yang mendalam dialami oleh para koleganya, termasuk para kepala dinas. Maka untuk memberi kesan dan penghormatan kepada pengayom Jombang ini, dilakukan prosesi kirab boyongan dari Pendopo Kabupaten Jombang ke rumahnya di dekat Embong Miring, Desa Denanyar, Kecamatan Jombang. Prosesi tersebut menggunakan rombongan dokar dan becak yang sudah disiapkan sebelumnya. Kini di masa pensiunnya, ia lebih banyak bergiat di rumah saja dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan menurut sekretaris Bani Ahmad yang merupakan
44
Wawancara dengan Khoirudin (salah satu kerabat Bupati Affandi) di MTS Agus Salim Gudo, pada 11 Desember 2010, pukul 10.30 WIB.
96
keluarga besarnya, Pak Affandi sering mendapatkan kunjungan pejabat pusat yang sengaja datang untuk mendapatkan tausiyah. Demikianlah sosok Bupati Affandi, sebuah prinsip kepemimpinan yang memadukan spirit keislaman dalam segala aspek pembangunan yang diterapkannya dalam keberjalanan pemerintahan Kabupaten Jombang.
97
16. Profil Bupati Suyanto (Masa Bhakti 2003 – 2008)
Suyanto lahir di Jombang pada 5 Januari 1962. Ia lahir dari pasangan Sukito dan Asmah.
Pasangan
ini
melahirkan
6
orang
anak:
Suyanto,
Subandriyah,
Supracahyaningsih, Sadarestuwati, Sujayanah, dan yang terakhir adalah Sumrambah. Ibu terkasih Suyanto, Asmah, meninggal pada tahun 2002, sedangkan Sukito menyusul wafat beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 2008.45 Riwayat pendidikan Suyanto dimulai dari SDN Banjaragung (lulus tahun 1973). Ia lalu melanjutkan ke SMP Negeri Mojoagung (lulus tahun 1977). Lantas meneruskan sekolahnya di SMA Negeri 1 Surabaya (lulus tahun 1980). Kemudian gelar sarjana S-1 diperolehnya di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya pada tahun 1985.46 Tak cukup itu, ia lantas menempuh jenjang pendidikan S-2-nya di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dengan mengambil konsentrasi Manajemen Agribisnis, dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 1986 hingga 1994, Suyanto menempa hidupnya dengan menjadi guru. Mengajar murid-murid adalah sebentuk latihan, bagaimana kesabaran, ketelatenan, dan keprihatinan harus digembleng sekuat baja. Pada tahun 1994 ia mulai menekuni dunia wiraswasta hingga tahun 2000. Kiprahnya mulai diperhitungkan ketika ia menjabat sebagai wakil Bupati Jombang pada tahun periode 1998 hingga 2003 mendampingi Bupati Affandi. Tahun 2003 ia mencalonkan diri sebagai Bupati Jombang dan kenyataan itu benar-benar terwujud hingga memimpin Jombang sampai tahun 2008. Bersama wakil Bupati Ali Fikri ia menggenjot pertumbuhan dan perkembangan Jombang hingga masa jabatannya berakhir di pertengahan 2008. Ia kemudian mencalonkan diri kembali sebagai Bupati
45
46
Wawancara dengan Sumrambah pada Senin, 15 November 2010, pukul 15.00 WIB, di Perum Griya Kencana, Candimulyo, Jombang. Juga dari data BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Kabupaten Jombang. Data arsip BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Kabupaten Jombang.
98
Jombang dan menjalani proses demokrasi Indonesia lewat apa yang kita kenal sebagai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di mana ia disorong oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Potensi-potensi Kabupaten Jombang Luas daerah Jombang yang terdiri dari 1159,50 km menyimpan catatan penting. Dengan jumlah penduduk 1.340.229 jiwa pada tahun 2000-an. Ada 21 kecamatan, dan 302 desa dan 4 kelurahan. Salah satu potensi yang terus diberdayakan di masa pemerintahan Bupati Suyanto adalah sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Sebagai daerah agraris yang mencakup dunia pertanian, perkebunan, peternakan termasuk di dalamnya sektor perikanan tak disangkal menjadi garapan utama untuk diberdayakan oleh Pemerintah Kabupaten Jombang. Lahan yang luas demikian, dapat diupayakan pengembangannya dan itu memang didukung oleh aliran sejumlah sungai dan anak sungai, terutama Sungai Kali Brantas. Misalnya Desa Bareng sebagai salah satu penghasil padi yang luar biasa. Pada saat masa tanam padi, petani pengolah tanah telah menggunakan traktor penggembur tanah. Suasana pedesaaan yang subur makmur demikian alangkah menunjukkan bahwa potensi agraris Jombang telah berlangsung turun temurun sejak silam. Jombang sebagai daerah penghasil jagung dan kecambah dapat ditilik pada beberapa desa yang berkonsentrasi memberdayakan cocok tanam dengan baik. Salah satunya juga, Desa Segodorejo, yang pernah meraih prestasi sebagai desa terbaik tingkat nasional. Dalam sektor perkebunan, Jombang memiliki Kecamatan Wonosalam, utamanya di Desa Wonosalam, sebagai desa perkebunan yang membudidayakan berbagai jenis pola perkebunan. Jenis perkebunan ini meliputi cengkeh, kakao, kopi dan durian. Cukuplah luas untuk tiga macam tanaman tersebut. Demikian juga pada cengkeh. Komoditi ini menjadi pokok target dan favorit petani karena prospek pasarnya sungguh menguntungkan dan berpeluang besar ke depannya. Sebagian yang lain tentu saja tanaman durian yang lebih banyak, di samping kakao dan kopi. Memang keistimewaan Wonosalam yang dikenal masyarakat luas adalah duriannya. Durian yang tergolong istimewa ini tidak berukuran terlalu besar. Namun agak sedang dan memiliki isi yang padat, tebal dan kering selaputnya. Aromanya khas,
99
tidak menyengat. Dengan rasa manis yang mantap. Sebagian besar warga Wonosalam menanam pohon durian ini. Petani durian terkadang menjualnya dengan sistem tebasan di mana petani menjual pohonnya dalam kondisi belum berbuah. Si pembeli merawat durian tersebut sampai masa panen. Dalam bidang peternakan, Kabupaten Jombang memiliki potensi yang baik, termasuk perikanannya. Penduduk Jombang rata-rata beternak ayam dan itik, sebagaian yang lain beternak sapi perah dan kambing. Pangsa pasar yang baik ini sangat diperhitungkan Bupati Suyanto sebab ternak sapi khususnya mampu memproduksi susu sebagai protein nabati yang baik untuk kesehatan dan kebugaran. Hampir pada sebagian besar warga Desa Jogoroto, Kecamatan Jogoroto, didapati para peternak ikan lele. Kolam yang ditempatkan di lahan warga tiap keluarga betul-betul menginspirasi sebagai pendapatan sampingan yang sekaligus merupakan lahan bisnis ikan yang menggiurkan. Penampungan bibit-bibit ikan lele di desa ini banyak dijadikan jujugan (pusat kulakan) para tengkulak yang disebar atau dijual pada para peternak lele. Ragam potensi usaha yang berkembang di Kabupaten Jombang, selain yang disebutkan tadi, masihlah banyak yang lain yang sebenarnya bisa diperhitungkan. Bupati Suyanto berusaha terus menggalakkan sektor lain itu. Misalnya, industri batu bata di Desa Bandung Kecamatan Diwek, usaha pembuatan genteng di Desa Karanglo Kecamatan Mojowarno, industri pembuatan krupuk, dan permen juga tahu-tempe. Bisa dibilang rata-rata warga Jombang memiliki usaha rumahan sendiri yang tumbuh dari kreativitas mereka sendiri. Bupati Suyanto menilai bahwa tiap sektor usaha di Kabupaten Jombang selalu ada pioner-pioner yang memulai dan menggerakkan segala usaha tersebut. Sektor-sektor usaha yang bercokol sendiri ini tidaklah diciptakan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah hanya menyokong dan mendukungnya. Karena warga Jombang mempunyai ”budaya malu”. Dalam arti bila seorang warga di sebuah desa tidak mempunyai usaha rumahan maka ia akan merasa malu sendiri. Karena itu rata-rata semua warga di desa tidak pernah kelihatan ”menganggur”. Selalu ada saja yang dikerjakan baik secara kelompok maupun sendiri-sendiri.47 47
Lan Fang, Inspirasi Jombang, ibid.
100
Dunia industri kreatif sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) berupa batik Jombangan juga berkembang di Jombang. Pada tahun 2000 Pemerintah Kabupaten Jombang
mengirimkan
warganya
untuk
mengikuti
pelatihan
membatik
yang
diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Timur. Salah satu warganya, Maniati, dikirim ke sana. Maniati ini, dari Desa Jatipelem Kecamatan Diwek, mulai menekuni usaha batik sejak tahun 1993. Mulanya ia memproduksi jenis batik jumputan yang dijualnya di lingkungannya sendiri. Setelah mengikuti pelatihan tersebut, yang selanjutnya diadakan pula di Dinas Perindustrian Kabupaten Jombang, Maniati mulai berinisiatif membentuk kelompok pengrajin batik di desanya. Pemerintah Kabupaten Jombang turut serta dan memberi perhatian intensif pada kelompok ini. Tersebutlah dan dikenallah kemudian batik Sekar Jati, sebagai ciri khas batik Jombangan. Jenis batik Jombangan ini kian berkembang coraknya, seperti batik sasirangan, batik kremesan, batik cap atau batik printing, dan batik tulis, selain batik jumputan yang menjadi awal kemunculannya. Banyak bahan kain yang dipergunakan. Motifnya juga berpusparagam. Dari motif tebu, bunga melati, padi yang melambailambai, hingga motif cakra segitiga yang menjadi ciri khas Kabupaten Jombang. Motif cakra ini terinspirasi dari ukir-pahat Candi Arimbi, salah satu candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di wilayah eksotis Kecamatan Wonosalam. Nuansa batik Sekar Jati jika dilihat tampak lembut seperti panorama alam yang indah memukau dan anggun dan cocok dipakai oleh siapa pun, dari anak-anak, dewasa, sampai kalangan tua. Untuk motif yang penuh karakter Jombangannya, ditonjolkanlah warna merah dan hijau yang diambil dari warna lambang Kota Jombang. Maniati memiliki 20 orang karyawan. Semuanya dikerjakan secara manual agar tampak alami dan tidak menggunakan bahan kimiawi. Industri batik ini juga memproduksi desain pakaian jadi, dari kemeja laki-laki dan perempuan. Salah satu pemasarannya, selain dijual secara orderan dan memasok ke beberapa toko di Jombang dan di luar Jombang, usaha Maniati ini dipasarkan dan diperkenalkan dalam sejumlah pameran industri kreatif baik yang dihelat di tingkat regional maupun nasional. Upaya ini penting untuk mendongkrak transaksi penjualan dan orientasi mutu yang terus ditingkatkan dan oleh sebab itu Bupati Suyanto benar-benar mendorong dan memberi
101
semangat agar ciri khas Batik Sekar Jati tersebut menjadi kebanggaan Kabupaten Jombang kini dan di kemudian hari. Ada pun industri kreatif yang lain adalah ayaman bambu di Desa Ngoro, cor kuningan di Desa Mojotrisno yang sudah berkembang sejak tahun 1970, dan manikmanik kaca di Desa Plumbon Gambang di Kecamatan Gudo. Hampir penduduk desa ini menekuni kerajinan manik-manik kaca. Ada sekitar 111 pengrajin di mana setiap bulannya mampu menyerap 5 sampai 10 ton pecahan kaca dari para pengepul kaca. Kini usaha ini sudah merambah pasar nasional bahkan sudah ada yang menembus transaksi ke luar negeri. Bagi Bupati Suyanto, adalah penting bagi warga Jombang melihat berbagai potensi yang dimiliki Jombang ini untuk terus digalakkan dan dihidupkan semangat kreatifitasnya dalam berbagai sektor kehidupan. Sumber daya alam, produk-produk kehutanan, pertanian dan perkebunan, maupun produk olahan berupa kerajinan, wisata, pendidikan, pondok pesantren dan industri kecil yang bergeliat di sekitarnya. Tidak ketinggalan pula potensi-potensi kesenian dan aset budaya yang ada di Kabupaten Jombang. Ia berpendapat bahwa roda perekonomian daerah harus terus didorong percepatannya. Sebab potensi daerah selalu bergerak dinamis seiring dengan perkembangan kebutuhan warga, teknologi, dan investasi. Maka peran pemerintah adalah sebagai regilator, fasilitator, dan menyedia infrastruktur.
Tonggak Keberhasilan Bupati Suyanto Suyanto ditetapkan sebagai Bupati Jombang dimulai dari titimangsa 17 September 2003 sampai 12 Mei 2008, dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 123.35-497 Tahun 2003, Tanggal 17 September 2003.48 Hal terpokok yang bisa dicatat dari Bupati Suyanto dalam periode 2003 sampai 2008 adalah keberhasilannya mengembangkan pusat kesehatan masyarakat yang setara dengan rumah sakit kecil. Ini bisa dilacak di berbagai puskesmas dengan menciptakan pelayanan
sebanding
dengan
rumah
sakit
umum
atau
daerah.
Kondisi
ini
mempertimbangkan bahwa angka kemiskinan di daerah Jombang pada tahun 2007 tercatat mencapai 83.724 jiwa. 48
Data arsip BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Kabupaten Jombang.
102
Misalnya Puskesmas Mojoagung yang menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi warga miskin. Pengobatan cum-cuma ini berupaya memberi solusi dan menepis mahalnya ongkos berobat di rumah sakit. Seorang Maksum, dari Desa Mojotrisno, Mojoagung, bahkan mendapatkan pelayanan gratis saat membawa mertuanya yang sakit katarak ke Puskesmas Mojoagung. Mertua Maksum itu langsung dioperasi dan sembuh. Penyakit lainnya yang lebih ganas pun dapat pelayanan yang sama. Syaratnya, pasien cukup menyodorkan kartu jaminan kesehatan masyarakat atau surat keterangan miskin.49 Puskesmas Mojoagung lebih mirip rumah sakit kecil dibandingkan dengan pusat kesehatan di pedesaan atau kota kecamatan. Ada unit gawat darurat, klinik kebidanan, klinik gigi, laboratorium, alat USG dan rontgen, serta ruang rawat inap. Bahkan dalam kondisi darurat, menurut Sriwulani Sumargo (salah seorang dokter spesialis radiologi), puskesmas mampu melakukan bedah kandungan. Klinik akupuntur juga ada, hal yang terbilang langka ukuran sebuah puskesmas. Pelayanan puskesmas ini bermacam-macam. Dari pengobatan sampai perkara kecantikan. Pengunjungnya bisa mencapai 150-an per bulan. Prestasi dari gagasan Bupati Suyanto ini dapat dibuktikan dalam survei kepuasan pasien yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Jombang tahun 2007 yang memberikan skor 80,28 untuk Puskesmas Mojoagung, dari skor tertinggi 100. Puskesmas Plumbongambang juga mencapai skor di atas 80. Ini berarti banyak pasien yang merasa puas dengan pelayanan pemerintah itu. Awal tahun 2005, Pemerintah Daerah dan Bupati Suyanto mulai meluncurkan program ”Puskesmas Idaman-Idolaku” dan ”Rumah Sakit Cintaku”. Tujuannya untuk menggenjot kualitas puskesmas dan rumah sakit yang konsisinya serba butut dan ”payah dalam pelayanan”. 49
Majalah Tempo,”Tokoh Pilihan Tempo 2008: Ada Tenggat di Alun-alun”. Edisi Khusus Tempo 28 Desember 2008. hlm. 46-49. Edisi ini Tempo memilih 10 bupati dari sekirar 300 bupati yang memimpin di 472 kabupaten dan kota se-Indonesia. 10 sosok bupati ini menurut Tempo paling berhasil membangun daerahnya: menyulap yang kumh menjadi bersih, membebaskan biaya pendidikan dan kesehatan, mengubah puskesmas menjadi rumah sakit mini, membuat jaringan teknologi informasi untuk memudahkan layanan masyarakat hingga ke desa-desa, serta berprinsip mengedepankan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Bagi Andi Mallarangeng, bupati yang baik adalah harus mampu menggunakan kewenangan untuk menciptakan perbaikan pelayanan publik, pemberdayaan warga, dan meningkatkan kapasitas daerah. Bupati Suyanto dari Jombang merupakan salah seorang yang terpilih di sini di antara para bupati lainnya: Andi Hatta Marakarma (Bupati Luwu Timur, Sulawesi Selatan), Anak Gde Agung (Bupati Badung, Bali), Jusuf Serang Kasim (Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur), Herry Zudianto (Wali Kota Yogyakarta), Ilham Arif Sirajuddin (Wali Kota Makassar), Djarot Saiful Hidayat (Wali Kota Blitar), Untung Sarono Wiyono Sukarno (Bupati Sragen), Joko Widodo (Wali Kota Solo), dan David Bobihoe (Bupati Gorontalo).
103
Bupati Suyanto memulainya dengan merayu sejumlah dokter spesialis agar mau bekerja di rumah sakit daerah dan puskesmas. Di Mojoagung dan Cukir, Bupati Suyanto menyediakan sarana canggih seperti peralatan rongten. Ia sempat disemprot Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur ketika menempatkan dokter spesialis di puskesmas. Mungkin hal demikian dianggap sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya dan yang semestinya. Penampilan rumah sakit daerah juga ia permak sebaik mungkin dan memang kelihatan elegan.
Bupati Suyanto saat bersantai di rumahnya (repro dari Tempo, 2008)
Ruang perawatan VIP (Very Important Person) dibangun. Ketika beres di urusan fasilitas dan dokter, Bupati Suyanto mulai memperhitungkan tarif berobat. Ia ingin tarif berobat dibuat seringan mungkin sehingga semua warga terbebani biaya mahal. Kesan mahal baginya perlu dihapus dan tidak jadi momok siapa pun. Kalau perlu gratis sekalian. Untuk kepastian tarif, ia menerbitkan peraturan daerah tentang biaya pungut di puskesmas. Daftarnya wajid dipasang di loket pendaftaran. Hasilnya dapatlah dirasakan, biaya itu tergolong sangat murah. Biaya cek darah, urine, atau tinja Rp. 2000. Operasi kecil Rp. 20.000. Rawat inap komplit dengan tiga kali makan sehari juga Rp. 20.000. 104
Dari sinilah Bupati Suyanto menjadikan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat luas. Karena itu banyak pasien puskesmas merasa bangga dan dihargai serta diberikan kemudahan ketika mereka berobat atau menjalani operasi di puskesmas. Pada tahun 2005, jumlah pasien rawat inap mencapai 14.669 orang, pada tahun 2007 menjadi 24.535 orang. Kini Jombang memiliki 13 puskesmas rawat inap. Puskesmas Mojoagung dan puskesmas Cukir banhkan sudah mengantongi sertifikasi ISO 9001: 2000. Kendati demikian, masih ada warga yang merasa kecewa dan mengeluh karena sering dokter puskesmas tidak ada di tempat sebab kesibukan lain yang tidak diketahui. Bupati Suyanto merasa itu wajar sebagai sebuah proses, dan ia menghendaki lebih banyak dokter lagi yang bisa di tempatkannya di sejumlah puskesmas yang belum memiliki pelayanan yang demikian. Di bawah kepemimpinan Bupati Suyanto, pertumbuhan perekonomian Jombang melejit siknifikan. Tahun 2005 perekonomian naik menjadi 5,34%, tahun 2006 naik menjadi 5,73%, dan tahun 2007 naik menjadi 6,07%. Sementara belanja daerah tahun 2005 adalah 66 miliar Rupiah, dan pendapatannya di akhir tahun mencapai 429 miliar Rupiah. Anggaran belanja tahun 2006 adalah 79 milair Rupiah, dan perolehan pendapatan daerah di akhir tahun mencapai 496 miliar Rupiah. Anggaran belanja tahun 2007 adalah 88 miliar Rupiah, dan pendapatan yang masuk ke kas pemerintah daerah mencapai 757 miliar Rupiah. Bupati Suyanto menjabat sebagai kepala daerah sejak tahun 2003 hingga 2008. Dan mencalonkan diri kembali sebagai Bupati Jombang untuk periode selanjutnya. Ia pun terpilih dalam putaran Pilkada di penghujung tahun 2008 dan resmi menjabat sebagai Bupati Jombang untuk periode 2009-2013. Bupati Suyanto berkantor di Jl. KH. Wahid Hasyim No. 137 Jombang. Di samping tugasnya yang padat baik di Jombang maupun di luar kota, ia sekali waktu juga menyempatkan untuk kumpul-kumpul dengan keluarganya di Dusun Serning, RT 25 RW 10, Desa Banjaragung, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang.50 Istri Bupati Suyanto adalah Wiwik Nuriyati, seorang PNS guru SD bidang olah raga di Kecamatan Bareng. Dari perkawinan ini mereka memiliki 2 anak: Dita Aci Pandi Aski (sekarang berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya), dan Mohammad Pandi Alam 50
Data arsip BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Kabupaten Jombang.
105
(bersekolah di SMA 2 Jombang). Kini selain mendampingi sang suami dan mengasuh 2 anaknya, ia bergabung dan bersumbangsih pikiran dan tenaganya sekaligus menjadi ketua di wilayah Jawa Timur dalam organisasi IPSBI (Ikatan Pelestari Seni Budaya Indonesia).
106
17. Profil Bupati Ali Fikri (Masa Bhakti 2008-2008)
Sosok Ali Fikri dalam sejarah Bupati-Bupati Jombang tercatat sebagai bupati yang memiliki kharisma tersendiri sebagai seorang yang berpendirian teguh, tegas, mandiri dan lahir dari keluarga muslim yang taat. Beliau lahir pada 22 April 1961, di Desa Sumobito, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Bapaknya bernama Hafidzon yang lahir pada tahun 1918, dan ibunya bernama Mariyam yang lahir pada tahun 1925. Ia merupakan anak yang ke-8 dari 10 bersaudara. Anak-anak Hafidzon tersebut terdiri dari 6 laki-laki dan 4 perempuan.51 10 putra-putri dari Bapak Hafidzon dan Ibu Mariyam itu adalah: 1.
Nadhiroh (lahir 1946)
2.
Taufiqur Rahman (lahir 1948)
3.
Ahmad Zaim (lahir 1950)
4.
Wardah Hafidz (lahir 1952)
5.
Nasrulloh (lahir 1955)
6.
Lilik Aslihati (lahir 1957)
7.
Farid Wajdi (lahir 1959)
8.
Ali Fikri (lahir 1961)
9.
Tatik Sa’adati (lahir 1965)
10. Ainur Rofik (lahir 1969) Jika menilik lebih jauh tentang kelurga Hafidzon, kita akan sedikit banyak mengerti ihwal kehidupan sosial-keagamaan di mana wilayah Sumobito merupakan basis penyebaran Islam serta poros aktivitas dakwah yang dijalankan para sesepuhnya secara
51
Wawancara dengan Ali Fikri, Kamis, 22 April 2010. di Jl. Gubernur Suryo, Gang 7, Blok K, No. 24, Jombatan, Jombang.
107
konsisten. Sebuah masjid bercokol di sini, di tengah kecamatan. Arah timur-barat Kantor Pos Sumobito. Berdekatan juga dengan Koramil Sumobito dan stasiun Sumobito. Masjid tersebut konon tergolong tua. Ali Fikri memperkirakan masjid itu berdiri sekitar tahun 1860-an. Seorang arsitek berkebangsaan asing, pada tahun 1925, pernah melakukan riset tentang makam-makam dan masjid-masjid di seluruh Indonesia dan menyebutkan masjid ini termasuk catatan penting dalam sejarah masjid di Indonesia. Masjid ini berkembang dan digerakkan syiar dan kegiatan tablighnya sejak dahulu pada masa Imam Zahid. Imam Zahid merupakan kakek Ali Fikri dari garis ayah, yakni Bapak Hafidzon. Konon Imam Zahid berasal dari trah keluarga Pesantren Dresmo yang nasabnya langsung bila dirunut sampai ke Raden Patah Demak. Dari Imam Zahid dengan istrinya ini menurunkan 12 putra-putri: 1.
Maknunah
2.
Mahfudzoh
3.
Izzatin
4.
Abdul Latif
5.
Mohammad Nasich
6.
Khusnul Khuluq
7.
M. Samsul Huda
8.
M. Choirul Anam
9.
Makinun Amin
10. Chafidzon 11. Shochiful Islam 12. Sa’dullah Chumaidi Dari sini keluarga Ali Fikri ini bertemulah dengan keluarga Abdul Lathief. Abdul Lathief memiliki 15 putra. Salah satunya bernama Muhammad. Dan Muhammad pun mempunyai 15 anak yang mana salah satu putranya adalah budayawan dan penyair Emha Ainun Nadjib. Menurut Nasrul Ilahi, adik Cak Nun itu, Ali Fikri sejak usia belasan juga turut diasuh oleh pamannya Sa’dullah Chumaidi. Hafidzon meninggal pada tahun 1992. Pendidikan yang keras dan berdisiplin tinggi dari bapaknya dan Chumaidi turut membentuk kepribadian Ali Fikri.
108
Pelajaran hidup sejak kecil yang diterimanya dari sang bapak menekankan pola: semakin besar seorang anak, maka semakin besar pula ajaran baginya untuk bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan dilatih untuk empati terhadap saudarasaudaranya dan orang lain. Chumaidi pun meninggal dalam status lajangnya pada tahun 1997. Namun ia memiliki dedikasi yang besar terhadap syiar Islam di wilayah Sumobito dan menaja dunia spiritual dan disiplin hidup terhadap sosok Ali Fikri di kemudian hari.
Dari kanan: Sa’dullah Chumaidi, Hafidzon, Makinun Amin, M. Choirul Anam, Abdul Lathief, dan di suatu pertemuan keluarga tahun 1980-an, di rumah besar keluarga Hafidzon di depan masjid besar
Kehidupan di masjid besar Sumobito (kini masjid tersebut diberi nama Masjid Imam Zahid) secara tidak langsung membentuk karakter egaliter, luwes, menghargai pendapat orang lain, juga menempa wawasan pengetahuan dan bersosial dengan masyarakat luas. Masa kecil Ali Fikri terbilang ”mbetik” (bandel). Ia kadangkala keluyuran sampai tak kenal waktu. Wajar saja, sebagai anak kampung, pergaulan yang luas dengan teman-temannya dari berbagai penjuru desa memberikan pengalaman tersendiri. Tahun 1972, saat itu beliau baru menginjak kelas 5 SD, di suatu malam, Ali kecil nekad keluar rumah untuk menonton wayang. Sebelumnya ia banyak mendengar dari teman-temannya yang bercerita tentang lakon-lakon pewayangan. Ada tokoh Semar, Gareng, Petruk, Gatotkoco dan lain-lain yang membuatnya penasaran seperti apakah pertunjukan wayang itu. Ketika ia menuruti kenekatannya itu dan pulang lewat jendela, alangkah takutnya kalau-kalau di pagi harinya diketahui sang bapak. Ternyata benar.
109
Namun sang bapak tidak marah dan hanya bertanya kepadanya dari mana ia semalam keluar rumah. Kegemaran masa kecil yang tak terlupakan juga ia alami saat menyaksikan Ludruk Putra Birawa Jombang dan Gambus Misri. Beberapa kesenian khas Jombang ini cukup melekat menjadi memori tersendiri dalam jejak-jejak perjalanan hidupnya.
Ali Fikri berfoto bareng keluarga besar Hafidzon dalam reuni Bani Imam Zahid tahun 2007
Jenjang pendidikan Ali Fikri dimulai dari: 1.
MI (Madrasah Ibtidaiyyah) Khairiyyah Sumobito pada 1967 sampai 1969.
2.
SDN Sumobito pada tahun 1967 sampai 1973.
3.
SMPN I Jombang pada 1973 sampai 1976.
4.
Kulliyatul Muallimin Al-Islami Gontor pada 1976 sampai 1981.
5.
IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta pada 1982 sampai 1987 dengan gelar BA atau Sarjana Muda. Setelah lulus dari jenjang pendidikan terakhir itu Ali Fikri pulang kampung dan
mengajar sebagai guru di SMP Khairiyyah Sumobito sejak 1988 hingga 2010. Beliau menjabat sebagai kepala sekolah di SMP tersebut mulai 1990 hingga 2010. Pada tahun 1988 juga ia menyunting seorang gadis yang bernama Euis Murniati yang lahir di Jakarta pada tahun 1963. Pernikahan mereka menghasilkan 4 putra-putri: Raissya Aulia Rahmawati (lahir 1990), Amalia Fitriani (lahir 1992), Ivan Taufiqurrahman (lahir 1994), dan Sa’dullah Iskandar Hafidz (lahir 1999).
110
Pada tahun 1990 ia diterima sebagai Pegawai Negeri di Departemen Agama sampai tahun 2000. Masa tugasnya sejak 1990 sampai 1996 adalah di Depag Bojonegoro. Perjalanan bertugas yang jauh ini jelas sangat melelahkan dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Nyaris semua gajinya habis di tengah perjalanan, namun beliau tetap melakoninya dengan tulus ikhlas dan penuh pengabdian. Baru pada tahun 1996 beliau dipindahtugaskan di Depag Jombang sampai tahun 2000. Pada tahun 1999 beliau mengundurkan diri dari instansi ini karena masuk sebagai anggota DPRD Jombang sampai tahun 2003. Pada 24 September 2003 karir politik Ali Fikri menanjak prestisius di mana kala itu posisi beliau terpilih menjadi Wakil Bupati Jombang hingga satu periode penuh sampai tahun 2008 mendampingi Bupati Suyanto. Munculnya otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan selanjutnya Undang-undang No. 32 tahun 2004 terkait kewenangan dan rincian tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pemerintah daerah semakin memacu kiprah dua sosok Jombang ini untuk memajukan Jombang sebagai daerah yang memiliki potensi dalam berbagai aspek baik di bidang pertanian, penentuan kebijakan pemerintah, sektor keagamaan, dan potensi wisata serta peningkatan sumber daya manusianya. Pengalaman terjun di dunia politik tidak semata-mata bagaimana menjalankan gerak kebijakan yang selanjutkan bagaimana hal tersebut dimanifestasikan pada masyarakat luas sesuai dengan kebutuhan dan prioritas sebagai acuannya. Pengalaman dan pemikiran politik selama 5 tahun di komisi A dan komisi C di DPRD Jombang dari Partai PAN juga 5 tahun di Pemda Jombang telah turut membentuk kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai hal di masa selanjutnya. Pada masa menghangatnya Pilkada di awal 2008, Bupati Suyanto yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mencalonkan kembali sebagai Bupati Jombang periode 2008 sampai 2013. Otomatis sesuai aturan yang berlaku, beliau untuk sementara mengundurkan diri dari jabatannya tersebut tanpa menggandeng kembali Ali Fikri. Saat itu kandidat dari berbagai partai turut bertaruh dalam Pilkada. Mereka adalah Nyono Suherli dan Abdul halim Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Drs. Suharto, M.Si dan Abdul Mujib dari Partai Demokrat (PD), dan Munjidah Wahab dan Basaruddin dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kandidat yang
111
terakhir ini tidak lolos seleksi. Kemudian, tampuk pemerintahan Jombang untuk menggantikan Bupati Suyanto secara otomatis pula dipegang oleh Wakil Bupati, Ali Fikri. Ali Fikri pun menjabat sebagai Bupati Jombang terhitung mulai 12 Juni 2008 sampai 23 September 2008.52
Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo, saat melantik Ali Fikri sebagai Bupati Jombang, pada 12 Juni 2008, di pendopo Kabupaten Jombang
Karakter kepemimpinan Ali Fikri bertolak pada satu pegangan prinsip: “Hidup dan Menghidupi, Bergerak dan Menggerakkan”. Posisi Ali Fikri pada saat itu bisa dibilang cukup krusial dan dilematis sebagai pemimpin tunggal tanpa wakil tidak sebagaimana sebelumnya, dan salah satu tugas yang musti disegerakan adalah pertama bagaimana ia menyukseskan Pilkada 2008 itu di daerah dan secara keseluruhan membantu dengan penuh seluruh agenda puncak Pilkada tersebut dari Provinsi Jawa Timur. Kedua, pada bulan Juli, Ali Fikri melakukan perubahan APBD sebagai suatu strategi penindaklanjutan anggaran agar terfokus secara tepat guna dan pada sasaran 52
Wawancara dengan Ali Fikri di Jl. Gubernur Suryo, Gang 7, Blok K, No. 24, Jombatan, Jombang, pada Sabtu, 6 November 2010, pukul 13:21 WIB.
112
bidang yang dituju. Intinya bagaimana DPRD mampu merealisasikan bahwa rakyat Jombang memiliki hak tahu akan APBD Jombang itu untuk apa saja dan sudah berjalan seperti apa. Publikasi APBD di media tampaknya menjadi penting agar fungsi koreksi publik berjalan dengan baik dan hal itu juga berfungsi untuk meminimalisir praktek korupsi di jajaran birokrat. Problem yang mengkhawatirkan terjadinya korupsi dan praktek “asal menghabiskan anggaran” di akhir tahun perlu dicarikan jalan keluar yang baik.
Ali Fikri bersama istri seusai pelantikan bupati
Karena itu, satu kebijakan yang dibuat Ali Fikri terkait itu, dan dengan melihat Jombang sebagai kota santri beliau merealisasikan penghargaan terhadap para hafidz dan hafidzah se-Jombang untuk diberi insentif sebesar 1 juta per bulan. Tercatat ada 46 hafidz dan hafidzah dari berbagai kecamatan yang memeroleh tunjangan tersebut. Menurutnya, aset generasi muda Muslim yang selama ini tak begitu diperhitungkan ini sejatinya mereka di masyarakat memiliki kontribusi yang luar biasa dalam pembentukan karakter bangsa yang agamis dan bermartabat. Penajaman fungsi dan potensi agar mereka punya andil besar yang riil di masyarakatnya merupakan tujuan utama. Kebijakan ini berjalan mulai pada Juli sampai September 2008. Setelah itu entah masih diteruskan atau tidak.
113
Pembahasan dalam perda terkait sisa anggaran tersebut benar-benar jadi pertimbangan penting bagi Ali Fikri. Contoh lain adalah bagaimana kabag sosial Pemda Jombang memantau dan mengoreksi kinerja bagian prasarana jalan dan bagian pengairan yang mana masing-masing anggarannya sebesar 50 Milliar itu. Maka peran Ali Fikri di sini terlihat meski tak begitu terketahui banyak pihak. Dalam hal penangangan banjir yang kerap terjadi di sejumlah titik daerah di Jombang tidaklah lepas dari peran progresif dan kinerja bagian pengairan Pemda. Banjir yang sering terjadi berpusat di aliran Kali Gunting yang menampung arus air hujan dari Wonosalam, Bareng, dan Mojoagung, yang dampaknya sangat terasa sampai ke Kecamatan Sumobito. Ali Fikri lalu bergerak dan terjun ke lapangan bersama bagian pengairan menuju DAM A. Yani di Sido Kampir dan DAM Balong Sono. Di sini diketahui bagaimana pengaturan waktu dan situasi hujan dengan ketepatan membuka saluran 2 DAM tersebut secara efisien dan kondisional.
Ali Fikri saat diwawancarai pada 22 April 2010 di Jl. Gubernur Suryo, Gang 7, Blok K, No. 24, Jombatan
Dalam tindakan pemberdayaan dan penyantunan kaum miskin, di mana program PKH (Program Kelurga Harapan) dari pusat diturunkan ke tiap kabupaten. PKH, menurut Inswiardi (seorang pendamping PKH di Kecamatan Wonosalam), adalah sebuah program perlindungan sosial kepada RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin) agar bisa dengan mudah mengakses layanan kesehatan den pendidikan. Program ini diluncurkan tahun 2007, di bawah kendali Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial dari Kementerian Sosial. 114
Dari 21 kecamatan di Kabupaten Jombang, PKH baru terealisir pada 17 kecamatan. Program ini, pada saat kepemimpinan Ali Fikri, terlihat tampak semrawut dan menyulitkan pihak penerima yang harus mengantri panjang di kantor pos-kantor pos dan juga karena tidak semua warga mampu menjangkau jaraknya, terutama yang benar-benar tidak punya kendaraan dan mereka sebagian telah berusia lanjut. Warga miskin yang sudah tercatat sebagai penerima santunan sebesar 300 ribu di 21 kecamatan, dan dibagikan per tiga bulan itu, diselesaikan Ali Fikri dalam waktu 3 hari dengan cara beliau mengintruksikan bagian Pemda dan kantor pos untuk terjun langsung ke setiap kecamatan dan membagikan santunan tersebut. Terobosan ini terbilang sangat menggembirakan wong cilik dan tidak membebani dan meribetkan mereka. Inilah ikhtiar greget Ali Fikri untuk memulyakan kaum miskin. Dalam arti lain, peran orang miskin itu nyata tapi seringkali tak dirasakan oleh orang lain. Ketika Jombang untuk kesekian kali mendapatkan penghargaan Adipura, yang salah satu fokus utamanya dinilai dari kebersihan kotanya, maka peran Pasukan Kuning yang gajinya cuma 200 ribu sebulan, sangat berperan aktif dalam menciptakan Jombang sebagai kota yang bersih, beriman, indah dan nyaman itu. Karena itu, meski Ali Fikri merupakan Bupati Jombang yang paling pendek masa jabatannya, beliau dalam kepemimpinannya menerapkan “Manajemen Syukur” untuk menghargai kerja orang lain terutama bagi mereka hidupnya sangat-sangat kekurangan. Pegawai pemerintah setidaknya bersyukur dengan kemapanan hidup yang telah diperolehnya dengan cara mensyukuri dan menghargai kerja orang bawahan mereka. Ali Fikri memang melaksanakan dan melanjutkan program sebelumnya semasa dengan Bupati Suyanto. Namun beliau juga punya wewenang kala menggantikannya untuk melaksanakan tugas-tugas yang diembannya agar dapat “lebih” bermakna. Di antaranya ia memosisikan diri sebagai penggerak untuk mengubah pola pikir birokrat. Yakni pola pikir bekerja yang benar dan menjalankan tanggung jawabnya dengan sepenuh hati. Bahwa menjadi PNS adalah berkah yang didambakan banyak orang, tapi sesungguhnya tidaklah untuk kepentingan diri sendiri. Ada orang lain yang harus dibantu, diayomi, dan dipermudah urusan-urusannya di birokrasi pemerintahan.
115
Ketika rasa “syukur” itu terpatri dalam sanubari, maka mereka akan bekerja dengan baik dan langsung terasakan manfaatnya. Sehingga beliau di jajaran pegawai dalam suatu acara pertemuan kedinasan sering beranekdot semacam ini: “Kenapa banyak orang royokan (berebut) jadi PNS?” Dan semua pegawai tak satu pun yang memberi jawaban. “Karena antara PNS yang goblok dengan PNS yang pinter yang segolongan, sama bayarannya.” Hal yang tak tergantikan dan teramat istimewa bagi Ali Fikri selama kurang lebih 4 bulan menjabat sebagai Bupati Jombang adalah alangkah menjadi pemimpin di negeri ini ibarat menjadi seorang raja. “Sabdo pandito ratu” istilah Jawanya. Artinya semua keinginan dan perintah pimpinan akan dilaksanakan bawahannya tanpa pikir panjang. Seolah kebijakan yang dianggapnya sudah benar dan beranjak dari kenyataan dan kebutuhan masyarakat telah cukup untuk menentukan langkah-langkah yang bersifat instruktif dan menjadi keputusan pemerintah yang tidak bisa diganggu-gugat. Kekuasaan pemimpin yang demikian, menurutnya, memang “nggegirisi” (menakutkan dan genting). Efek dan dampak dari sebuah kebijakan tanpa pemikiran yang mendalam dan musyawarah justru akan membuat segala kebijakan yang dijalankan tidak berguna atau terbengkalai, sementara dana rakyat sudah digunakan untuk itu. Di sisi lain, mental ABS (Asal Bapak Senang) atau oknum pegawai atau orang di luar birokrasi yang mempunyai hubungan erat dengan pimpinan seringkali melakukan tindakan tidak etis atau menjilat ketika mereka mengajukan kerja sama (proposal) untuk pembangunan “ini” atau “itu”. Kerja sama dalam bentuk ikatan bisnis yang bersifat struktural-birokratis memang hal yang lazim yang tidak sepi dari praktek suap menyuap dan korupsi. Dan hal demikian menjadi tantangan besar bagi setiap pemimpin untuk mereformasi sistem birokrasi yang ada agar tercipta suatu pemerintahan yang bersih sehingga roda pembangunan untuk menyejahterakan rakyat tercapai dengan gemilang.
116
BAB III PENUTUP Tidak disangkal bahwa peran pemimpin daerah dalam hal ini seorang bupati merupakan tonggak penting untuk mengukur dan menilai sejauh mana sumbangsih dan kiprah kepemimpinannya dapat berjalan sesuai yang diharapkan warganya serta bagaimana memanifestasikan janji sumpah bhakti seorang kepala daerah. Harapan itu tentunya tercermin pada tiap masa jabatan bupati yang secara periodik berlangsung dan dijalankan selama 5 tahun. Secara lokal-historis, Kabupaten Jombang memiliki karakter khusus baik secara sosiologis maupun geografis. Dua hal pokok inilah yang dijadikan salah satu pijakan pemikiran dalam pembangunan di Kabupaten Jombang yang selaras dengan tujuan mendasar pemerintahan Jombang untuk merealisasikan: “Terwujudnya Masyarakat Jombang Yang Sejahtera, Agamis dan Berdaya Saing serta Berbasis Agribisnis”. Maka dari itu, para Bupati Jombang tentunya akan memerhatikan dan membuat catatan tersendiri sebagai pertimbangan dalam menentukan roda pembangunan di segala bidang. Visi yang dicanangkan dalam pemerintahan itu adalah: 1.
Mewujudkan pemerintahan yang baik, yaitu mengandung makna penyempurnaan struktur kelembagaan pemerintah daerah yang dititikberatkan pada proses penataan struktur organisasi agar dapat menjalankan fungsi-fungsi yang diamanatkan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang profesional, efektif, berkompetensi tinggi serta tanggap terhadap tugas pokok dan fungsinya dalam pelayanan publik.
2.
Meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yaitu dengan mengupayakan partisipasi seluruh komponen masyarakat, pemerintahan daerah dan swasta agar pembangunan di Kabupaten Jombang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang berkompetensi tinggi dan mempunyai keunggulan kompetitif, mempunyai integritas dan jati diri masyarakat santri yang dipandu oleh nilai-nilai luhur budaya dan agama.
3.
Membangun struktur perekonomian yang kokoh dengan berbasis keunggulan kompetitif di bidang agribisnis, yaitu mengembangkan daerah dengan memperkuat perekonomian daerah yang berbasis pada kekuatan sektor pertanian dan produk
117
unggulan daerah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan produksi, distribusi, dan pelayanan; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, menumbuhkan keberpihakan pada ekonomi kerakyatan; serta memantapkan program penanggulangan kemiskinan. 4.
Mewujudkan
pembangunan
yang
berkelanjutan,
yaitu
pembangunan
yang
dilaksanakan tidak semata untuk mengejar pertumbuhan, namun bagaimana pertumbuhan yang ada sekaligus dapat dirasakan secara merata hasilnya oleh semua lapisan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor alam dan lingkungan sekitarnya.53 Dengan demikian, pandangan serta pemikiran dan tindakan para Bupati Jombang yang telah diuraikan pada Bab II di atas diharapkan mampu memberi khazanah tersendiri sebagai kronik kecil tentang profil kepemimpinan yang dimiliki Jombang dari periode ke periode. Latar belakang yang beragam dari sosok-sosok Bupati Jombang tersebut dapatlah dijadikan cermin dalam lintasan sejarah kepemimpinan daerah beserta segala problem dan perjuangan yang mereka hadapi dan pertaruhkan. Jika ditemukan ada kekhilafan, kekurangan, penyelewengan, kebobrokan, atau kebijakan yang tidak pro rakyat misalnya, adalah hal yang wajar karena mereka juga sebagaimana manusia biasa yang tidak luput dari hal-hal yang demikian. Tentu warga Jombang patut berterima kasih dan bersyukur sembari menilik kembali sejauh mana kontribusi dan pengabdian mereka sehingga di masa mendatang dapat dijadikan bahan pengetahuan dan wawasan untuk menumbuhkan kecintaan dan rasa memiliki akan daerahnya dan pula terhadap kemajuan bangsa Indonesia secara luas.
53
http://www.jombangkab.go.id/
118
Daftar Pustaka Buku Agoes Sofyan Yudhiarma dan Aru Armando. Berjuang di Jalan Terjal: Pokok-pokok Pemikiran Imam Supardi. RM Books. Jakarta. 2008. A.H. Hudan Dardiri. Pujangga, Pusara, Pusaka Sang Empu: Kumpulan Puisi A.H. Hudan Dardiri dan Kawan-kawannya. Tanpa nama penerbit. Malang. 2010. Babad Khadiri. Penerbit Tan Khoen Swie. Kediri. 2006. Heather Sutherland. Silsilah Keluarga Penguasa Jawa Madura: Anak Turun Brawijaya V. Tanpa tahun dan penerbit. Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2000. Isnandar. Legenda Gunung Pucangan. Jombang: Paguyuban Jarahnitra (Sejarah lan Nilai-nilai Tradisional). Jombang. 2005. Fahrudin Nasrulloh. Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang. Disporabudpar Jombang. 2010. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. 2007. Keluarga Alm. Hudan Dardiri. Memperingati 1000 Hari H.A. Hudan Dardiri, 25 Maret 2010, Malang. Keluarga Alm. H.A. Hudan Dardiri. Memperingati 1000 Hari H.A. Hudan Dardiri, University Press, Universitas PGRI Adi Buana, Surabaya, 2010. Lan Fang. Inspirasi Jombang. PT. Revka Petra Media. Surabaya. 2009. Onghokham. Rakyat dan Negara. Penerbit Sinar Harapan bekerja sama dengan LP3S. Jakarta. 1983. Nanang PME dkk. Pesona Wisata Jombang. Parbupora. Kabupaten Jombang. 2005. Purwadi. Babad Jombang. Belum diterbitkan. 2008. Ngaidi Wibowo. Carita Kebokicak. Manuskrip. Belum diterbitkan. Jombang. 2002. Taufik Abdullah dkk. Manusia dalam Kemelut Sejarah. LP3S. Jakarta. 1978. Umar Junus. Mitos dan Komunikasi. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta. 1981. Willem Walraven. Modjokerto in de motregen. KITLV, Leiden, 1998.
119
Media Massa -- Junaedi, “Wallace di Jombang”, harian Surya, 15 Juli 2010. -- Majalah Tempo. Edisi Khusus Tempo, 28 Desember 2008. -- Surabaya Post, 10 November 1976.
Internet http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jombang, http://125.164.208.60/e_info/main/sejarah.php,http://hiin.facebook.com/,http://maziman.wordpress.com/sejarahjombang/,http://guruit07.blogspot.com/2009/01/sejarah-singkat-kabupaten-jombang.html
Dokumen --
Penelitian dari tim sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta tahun 2006 berjudul “Penelusuran Hari Jadi Jombang”. Arsip Kantor PARBUPORA Kabupaten Jombang.
--
Dokumen foto R.A.A. Soeroadiningrat koleksi Agus Heliyana sebagai buyut menantu R.A.A Soeroadiningrat di Café Garuda, Jln. Dr. Sutomo, Jombang.
--
Dokumen lukisan reproduksi dari foto bergambar R.A.A. Soeroadiningrat bersama istri, koleksi Bapak Raden Panji Darmodi selaku cucu R.A.A. Soeroadiningrat, di Café Garuda, Jln. Dr. Sutomo, Jombang.
--
Data blangko Clearance-Test Calon Legislatif, diterbitkan oleh Tim Penelitian Khusus Calon Legislatif Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur 1997.
--
Riwayat pekerjaan yang diperinci, ditulis R Soedarsono pada 14 April 1986.
--
Riwayat Pendidikan R Soedarsono, ditulis R Soedarsono pada 14 April 1986.
--
Putusan Menteri Dalam Negeri, Sanoesi Hardjawinata, Nomor: Des.71/II/35.
--
Surat Penetapan yang diterbitkan Jawatan Penerangan Karesidenan Kediri Nomor: 142/D/49, yang ditanda tangani Pemimpin Umum, Hardjosoemarmo.
--
Surat Pernyataan R Soedarsono mengenai Perjuangan dalam Agresi Belanda I dan II.
--
Data arsip BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Kabupaten Jombang tentang Identitas Pribadi Bupati Suyanto.
120
Wawancara
--
Wawancara dengan Agus (buyut menantu R.A.A Soeroadiningrat) dan Raden Panji Darmodi (cucu R.A.A. Soeroadiningrat), pada Rabu, 29 September 2010, di Jombang.
--
Wawancara dengan Raden Panji Darmodi (cucu R.A.A. Soeroadiningrat), pada Rabu, 29 September 2010, di Jombang.
--
Wawancara dengan buyut menantu Kanjeng Sepuh Mas Agus Heliana, pada Kamis, 30 September 2010, Jombang.
--
Wawancara dengan Noeroel Koesmen di Jl. Baskara Utara 14 B, Mulyosari, Surabaya, pada 31 Juli 2010.
--
Wawancara dengan Soewoto Adiwibowo, pada 5 Oktober 2010, di kediamannya di Perumahan Pondok Blimbing Indah Araya Blok B-8 No 8, Malang.
--
Wawancara dengan Amidar Nurma Winarti (anak kelima A. Hudan Dardiri), pada 18 Agustus 2010, pukul 13.32 WIB, di Jl. Raya Langsep No. 49, Malang. Wawancara ini didampingi oleh Nasrul Ilahi (dari kantor Disporabudpar Jombang) dan keponakan Pak Hudan, Bapak Sonhadji, yang tinggal di Perum Candi Indah, Blok K, No. 19, Jombang. Ia juga bersumbangsih data perihal sosok Pak Hudan.
--
Wawancara dengan Ali Fikri, di Jl. Gubernur Suryo, Gang 7, Blok K, No. 24, Jombatan, Jombang, pada Kamis, 22 April 2010.
--
Wawancara dengan Ali Fikri di Jl. Gubernur Suryo, Gang 7, Blok K, No. 24, Jombatan, Jombang, pada Sabtu, 6 November 2010.
--
Wawancara dengan Endang Sri Ernawati (anak ketiga R Soedarsono) di Jl. Iskandar Muda No 12, Wersah, Jombang, pada Minggu, 24 Oktober 2010.
--
Wawancara dengan Dede Rutana (anak keempat Bupati Tarmin Hariadi) di ruang kerja Bapeda Jombang, pada Senin, 4 Oktober 2010.
--
Wawancara dengan Pak Asnan, mantan kapten PSID era Bupati R. Soedirman, pada hari Sabtu, 30 Oktober 2010, pukul 10.00 WIB di desa Candi Jombang.
--
Wawancara dengan Chairil Harja Hudaya ( keponakan Bupati R. Soedirman) pada hari Sabtu, 30 Oktober 2010, pukul 11.30 WIB.
121
--
Wawancara dengan Bapak Kardjan (usia 70 tahun, adik ipar Bupati Ismail) di Geneng gang II (jalan Madura) pada hari Senin, 1 Nopember 2010, pukul 11.00 WIB.
--
Wawancara dengan Bapak Kistam Mulyono (adik ipar Bupati Ismail) di Perumahan Jombang Permai, Jl. Alpukat No.18, hari Kamis, 4 Nopember 2010, pukul 10.26 WIB.
--
Wawancara dengan Kak Sukardi, salah satu pembina pramuka di Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Jombang, di Desa Plandi, pada 26 September 2010, pukul 10:00 WIB.
--
Wawancara dengan Sumrambah, pada Senin, 15 November 2010, pukul 15.00 WIB, di Perum Griya Kencana, Candimulyo, Jombang.
--
Wawancara dengan Bapak R. Soedirman tentang sosok R. Hassan Wirjokoesoemo di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah Surabaya, pada 13 Desember 2010, pukul 12.45 WIB.
--
Wawancara ihwal Bupati Soebijakto dengan Ibu Su’udiyah R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah Surabaya, 13 Desember 2010, pukul 13.00 WIB.
-- Wawancara dengan R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah, Surabaya, pada hari Senin, 13 Desember 2010, pukul 12.00 WIB. --
Wawancara dengan Joko Suparto (eks TRIP) di kediamannya di Kaliwungu Selatan Gg II, Jombang, pukul 10.30 WIB.
--
Wawancara tentang Bupati Mustadjab dengan Syahlan Husain (Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jatim) di kantor Dewan Kesenian Jawa Timur di Jl. Wisata Menanggal Surabaya, pada Selasa, 9 November 2010, pukul 12.30 WIB.
--
Wawancara ihwal Bupati Istadjab dengan Joko Suparto (eks TRIP) di Kaliwungu Selatan Gg. II Jombang, pada tanggal 15 Desember 2010, pukul 10.45 WIB.
--
Wawancara tentang Bupati Affandi dengan Khoirudin (salah satu kerabat Bupati Affandi) di MTS Agus Salim Gudo, pada 11 Desember 2010, pukul 10.30 WIB.
122
Tentang Tim Penulis Fahrudin Nasrulloh, lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. Bekerja sebagai editor freelance dan bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang, Tim Pelestarian dan Perlindungan Seni-Budaya Jombang, Jurnal Kebudayaan Banyumili Mojokerto, dan Majavanjava Cinema Club. Menulis sejumlah buku, puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karyanya masuk dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR: 2006); Loktong (antologi cerpen: CWI, Jakarta, 2006); Ratusan Mata di Manamana (Jurnal Cerpen Indonesia, 2008); Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006); Tongue in Your Ear (esai sastra: Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007); Kumpulan Cerpen Khas Ranesi (PT. Grasindo, Jakarta, 2007); Regenerasi Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen Indonesia, Yayasan AKAR Indonesia: 2009); kumpulan cerpen Perayaan Kematian Liu Sie (Yayasan TIKAR, Yogyakarta: 2009); kumpulan cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Temu Sastrawan Indonesia II, Pangkalpinang: 2009); kumpulan cerpen Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Tajungpinang, 2010); kumpulan cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto: 2010); Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur (DKJT dan Pemprov Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur: 2009). Buku yang telah terbit Inspirasi Meraih Sukses (Lafal Indonesia, Yogyakarta: 2006); Syaikh Branjang Abang (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2007), Geger Kiai (Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2009); kumpulan esai Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010). Kini sedang menyiapkan buku Kronik Ludruk Jombang. Email:
[email protected]. Kontak person. 081578177671. Dian Sukarno, lahir pada 1 Agustus 1972 di Jombang. Ia adalah penulis buku dan artikel senibudaya yang produktif. Bekerja sebagai wartawan radio El-Shinta cabang Jombang. Ia juga
penelusur sejarah dan pimpinan sanggar tari Lung Ayu, di Sengon, Jombang. Salah satu bukunya yang sudah terbit adalah Cerita Rakyat Jombangan (Disporabudpar Jombang: 2008). Kontak person: 081654978821. Yusuf Wibisono, lahir di Jombang pada 9 Desember 1977. Kini ia bekerja sebagai wartawan beritajatim.com. Kontak person: 085648248121.
123