masyarakat pada tahun 2012 dan 2013 diharapkan akan menjadi sumber ......
kalender tanam; (5) Pengendalian OPT; dan (6) Panen tepat waktu. Kegiatan SL-
..... Model Pengembangan Kawasan Inovasi Agroindustri, di Gresik Utara
Provinsi.
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012-2013
MEMPERKUAT PEREKONOMIAN DOMESTIK BAGI PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Agustus 2012
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah Tahun 2012-2013: Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
© Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Republik Indonesia
Foto cover Desain cover
: Pras Widjojo : Ivan W. Sjafary
Diterbitkan oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
KATA SAMBUTAN
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan terbitnya Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk tahun 2012-2013. Buku pegangan ini mengambil tema mengenai: Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat, sebagai rujukan dalam merencanakan berbagai strategi, program, dan kegiatan pembangunan di seluruh Wilayah Nusantara. Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor) dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment). Di tengah kondisi persaingan ekonomi global yang masih tidak menentu, penguatan ekonomi domestik menjadi syarat mutlak agar Indonesia dapat tetap menjaga pertumbuhan yang berkualitas. Sinergi antara pusat dan daerah untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas pertumbuhan merupakan aspek prioritas yang perlu kita lakukan bersama-sama. Keberhasilan pembangunan nasional merupakan agregasi dari keberhasilan pembangunan daerah. Oleh karena itu, penguatan ekonomi nasional adalah hasil akumulasi dari penguatan ekonomi di daerah. Dengan demikian, komunikasi, koordinasi dan sinergi kebijakan antara pusat dan daerah harus terus dipertahankan untuk menjaga momentum pembangunan. Konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah akan tercapai jika dijembatani oleh sinergi pusat-daerah oleh berbagai pemangku kepentingan. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah memiliki tugas dan fungsi yang penting untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya dan menjaga konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah. Saya berharap, buku ini dapat menjadi pegangan bagi segenap aparatur pemerintah dalam proses perencanaan dan penyusunan strategi pembangunan di daerah. Melalui pemahaman
konsep dan faktor-faktor penentu penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat, segenap jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemangku kepentingan lainnya dapat bersama-sama menyamakan langkah untuk menyusun strategi yang terintegrasi dalam mendorong dan menjaga ekonomi domestik yang lebih berdaya tahan tinggi. Dengan terbitnya Buku Pegangan Tahun 2012-2013 ini, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang telah bekerja dengan itikad dan dedikasi yang baik dalam menyusunnya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan kemudahan dan bimbingan Nya dalam setiap upaya untuk menguatkan perekonomian nasional, agar pembangunan ekonomi Indonesia dapat lebih cepat dan lebih luas demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Terima Kasih.
Jakarta, 6 Agustus 2012 Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana
2
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF
Penyusunan Buku Pegangan (Handbook) Perencanaan Pembangunan Daerah ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya peran perencanaan dan strategi pembangunan daerah untuk mendukung penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat, serta memberikan panduan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah tahun 2012 – 2013 dalam menentukan strategi-strategi yang dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan ekonomi domestik. Kondisi ekonomi global di tahun 2012 diperkirakan masih belum membaik, karena masih rentannya proses pemulihan negara-negara Eropa yang terlilit krisis utang dan terjadinya perlambatan ekonomi negara-negara maju dan emerging market. Krisis yang dialami negaranegara Eropa terkait utang dan defisit fiskal masih belum teratasi dengan baik sehingga kondisi ekonomi global akan masih diliputi oleh ketidakpastian, sementara pemulihan ekonomi AS masih rentan terhadap guncangan. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat menjadi 3,5 persen pada tahun 2012 dan 3,9 persen pada tahun 2013 (IMF, World Economic Outlook, Juli 2012) disebabkan oleh proses pemulihan AS yang rentan, keberlanjutan krisis keuangan Eropa, serta kemampuan ekonomi Asia yang menurun. Negara maju diperkirakan hanya tumbuh sebesar 1,4 persen pada tahun 2012 dan 1,9 persen pada tahun 2013. Bahkan ekonomi di beberapa negara Eropa, seperti: Italia, Spanyol dan Yunani, diproyeksi tumbuh negatif pada tahun 2012. Sementara itu, negara berkembang Asia akan menjadi penopang pertumbuhan dunia ditengah krisis global, yang diperkirakan tumbuh mencapai 7,1 persen pada tahun 2012. China dan India sebagai negara emerging diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 8,0 persen dan 6,1 persen pada tahun 2012. ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina) diproyeksi mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada tahun 2012.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
i
Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, perekonomian domestik harus tetap terjaga dengan fundamental ekonomi yang tetap kokoh dan daya saing yang lebih baik. Kondisi ini tentunya akan menjadi suatu keharusan bagi Indonesia dan masing-masing daerah untuk terus bekerja keras dan bersaing dengan negara lain. Langkah ini dapat dilakukan dengan meningkatkan daya saing bangsa, memperbaiki kinerja ekonomi nasional yang didukung struktur ekonomi yang kuat, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di seluruh Wilayah Nusantara dan meningkatkan pembangunan wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan. Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor) dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment). Dengan berbagai tantangan yang ada, sasaran pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 adalah sebesar 6,5 persen. Sementara itu, pada tahun 2013, diharapkan perekonomian dapat lebih baik lagi dengan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 7,0 persen. Investasi dan konsumsi masyarakat pada tahun 2012 dan 2013 diharapkan akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, dengan target pertumbuhan untuk investasi adalah sebesar 10,9 persen pada tahun 2012 dan 12,1 persen pada tahun 2013. Pemerintah melalui mekanisme perencanaannya telah menyusun langkah-langkah pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), baik yang sedang berjalan yaitu RKP 2012 maupun perencanaan tahun depan dalam RKP 2013. Hal ini demi mencapai sasaran pembangunan 5 (lima) tahun dalam RPJMN 2010-2014 yaitu “Mewujudkan Indonesia yang Demokratis, Sejahtera dan Berkeadilan”. Adapun tema dari RKP, ditunjukkan pada Gambar berikut. Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP
2010
•Pemulihan Perekonomian Nasional Dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat
2011
•Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkeadilan Didukung Oleh Pemantapan Tatakelola Dan Sinergi Pusat Dan Daerah
2012
•Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
2013
•MEMPERKUAT PEREKONOMIAN DOMESTIK BAGI PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
ii
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Kebijakan pemerintah dalam rangka perkuatan ekonomi domestik yang pada RKP 2013 difokuskan pada empat aspek, yang merupakan komponen penting untuk mendukung penguatan ekonomi domestik, seperti yang tercantum dalam gambar berikut. Faktor Pendukung Penguatan Ekonomi Domestik
Peningkatan Daya Saing
Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
PENGUATAN EKONOMI DOMESTIK
Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
Pemantapan Stabilitas Politik
Peningkatan daya saing untuk mendukung penguatan ekonomi domestik akan dititikberatkan kepada isu strategis: Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha, Percepatan Pembangunan Infrastruktur, Peningkatan Pembangunan Industri di Berbagai Koridor Ekonomi dan Penciptaan Kesempatan Kerja khususnya Tenaga Kerja Muda. Adapun Peningkatan Daya Tahan Ekonomi akan dititikberatkan pada isu strategis: Peningkatan Ketahanan Pangan Menuju Pencapaian Surplus Beras 10 juta Ton dan Peningkatan Rasio Elektrifikasi dan Konversi Energi. Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat akan dititikberatkan pada isu strategis: Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Percepatan Pengurangan Kemiskinan – Sinergi Klaster 1-4. Sedangkan, Pemantapan Stabilitas Sosial Politik akan dititikberatkan pada isu strategis: Persiapan Pemilu 2014, Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi dan Percepatan Pembangunan Minimum Essential Force. Masing-masing faktor pendukung penguatan ekonomi tersebut memiliki kerangka dan jalur keterkaitan yang berbeda-beda untuk menghasilkan ekonomi domestik yang lebih berdaya saing dan lebih berdaya tahan. Untuk itu, kerangka keterkaitan isu strategis dengan penguatan ekonomi domestik telah dijabarkan secara rinci di dalam Bab IV dan dapat dijadikan sebagai referensi dalam memahami arti pentingnya isu strategis terhadap pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Dengan memahami kerangka keterkaitan ini, diharapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki pemahaman yang sama, Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
iii
sehingga dapat secara bersama-sama mensinergikan pembangunan di pusat dan di daerah dalam rangka memperkuat ekonomi domestik di tengah-tengah kondisi global yang masih belum menentu. Kemudian, di dalam Bab V telah dijabarkan secara rinci strategi yang perlu dilakukan dalam setiap isu strategis serta peran Pemerintah Daerah yang perlu dilaksanakan, agar proses dan upaya penguatan perekonomian domestik serta peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat di pusat dan di daerah dapat lebih sinergi sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih maksimal. Sebagai contoh, dalam upaya meningkatkan daya saing nasional diperlukan langkah-langkah konkrit untuk melakukan harmonisasi kebijakan dan peraturan di tingkat pusat dan daerah, serta melakukan sinergi peraturan dan kebijakan antara pusat dan daerah. Untuk itu diperlukan upaya di setiap kementerian/lembaga dan daerah untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan melakukan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Sementara itu, sinergi kebijakan pembangunan antara pusat dan daerah dan antar daerah, khususnya dalam kerangka perencanaan kebijakan dapat dilakukan melalui: 1. Memperkuat koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah; 2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; 3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; 4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat di semua tingkatan pemerintahan; serta 5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Sedangkan upaya bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat dilakukan antara lain: 1. Sinergi berbagai dokumen perencanaan pembangunan (RPJPN dan RPJPD, RPJM dan RPJMD, RKP dan RKPD); 2. Sinergi dalam penetapan target pembangunan; 3. Standarisasi indikator pembangunan yang digunakan oleh kementerian/lembaga dan satuan perangkat kerja daerah; 4. Pengembangan database dan sistem informasi pembangunan yang lengkap dan akurat; 5. Sinergi dalam kebijakan perijinan investasi di daerah; dan 6. Sinergi dalam kebijakan pengendalian tingkat inflasi. Isu strategis lainnya yang menjadi fokus perhatian setiap Pemerintah Daerah adalah pembangunan infrastruktur, dimana infrastruktur menjadi bagian penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik karena dapat menekan ekonomi biaya tinggi, menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup. Namun demikian, adanya
iv
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
keterbatasan dana yang dimiliki menjadikan peran bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan swasta perlu disinergikan dengan baik. Koordinasi dan sinergi yang dilaksanakan dalam keterhubungan antar wilayah (domestic connectivity) mencakup pembagian peran dan kewenangan, pengembangan kerangka kerja bersama dan pembagian tugas dan tanggungjawab termasuk pembiayaan. Di sisi peningkatan daya tahan ekonomi, masyarakat dan pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam membangun ketahanan pangan dimulai dari proses produksi, distribusi, pengolahan pangan dan pemasaran. Sementara peran pemerintah juga sangat penting dalam pemberian insentif untuk tetap menjaga ketahanan pangan melalui regulasi, penciptaan iklim investasi dan pembangunan fasilitas/prasarana publik. Untuk itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memiliki strategi bersama, dengan memainkan peran masing-masing dalam menjalankan strategi tersebut. Sebagai contoh, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersama-sama memiliki peran untuk peningkatan perluasan areal tanam, kemudian peran Pemerintah Daerah dan Petani sangat diperlukan dalam menerapkan System of Rice Intensification, menjalankan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi secara intensifikasi, pengamanan pasca panen, penguatan penyuluhan dan lain-lain. Pengembangan SDM menjadi salah satu isu sentral pembangunan daerah untuk mendukung upaya meningkatkan dan memperluas kesejahteraan rakyat, dimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memastikan bahwa layanan pendidikan tersedia secara memadai dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Satuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi harus dapat mengakomodasi setiap anak usia sekolah yang memerlukan layanan pendidikan. Bahkan, layanan pendidikan harus dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, yang bermukim di daerah tertinggal, kepulauan, terpencil dan perbatasan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membangun infrastruktur pendidikan untuk mendukung peningkatan layanan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus bersinergi dalam memberikan layanan pendidikan agar kinerja pendidikan di setiap daerah makin meningkat. Untuk meningkatkan efektivitas upaya percepatan pengurangan kemiskinan dalam kerangka penguatan perekonomian domestik juga diperlukan sinergi antara pusat dan daerah. Secara makro, peran pemerintah pusat lebih dititikberatkan kepada upaya untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan melalui pelaksanaan rencana investasi dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Sementara, pemerintah daerah diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan seluruh kegiatan investasi di koridorkoridor ekonomi yang berada di daerahnya masing-masing. Dengan sinergi yang tepat dan koordinasi yang intensif diharapkan pelaksanaan rencana investasi MP3EI akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
v
memperluas kesempatan kerja secara nasional. Selanjutnya, secara makro pemerintah pusat dan pemerintah daerah berperan dalam menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat tidak jatuh melalui upaya mempertahankan kestabilan harga bahan pangan pokok. Harga bahan pangan pokok yang stabil merupakan kunci dalam pengendalian tingkat inflasi. Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam upaya menjaga dan mengamankan ketersediaan stok bahan pangan pokok serta pengamanan distribusi bahan pangan pokok. Dalam rangka pemantapan stabilitas politik, langkah utama yang diperlukan dan sangat mendesak dilakukan adalah memberikan fasilitasi dan dukungan sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Pemilu dalam melaksanakan amanat perundang-undangan untuk menyelenggarakan Pemilu 2014. Hal ini dengan mengingat amanat Pasal 126 UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dan fasilitas kepada Penyelenggara Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, perbaikan kinerja birokrasi dan pemberantasan korupsi merupakan hal penting yang juga perlu mendapatkan perhatian Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang salah satunya adalah melalui penerapan eprocurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Strategi perencanaan dan penganggaran untuk menguatkan perekonomian domestik dapat dicapai dengan adanya sinergi antar pusat-daerah yang baik. Sinergi dalam kerangka kebijakan pembangunan Pusat-Daerah dan antar daerah diperlukan untuk menjamin: (1) koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah; (2) terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (3) keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (4) optimalnya partisipasi masyarakat di semua tingkatan pemerintahan; dan (5) tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Langkah-langkah yang diperlukan pemerintah daerah melalui sinergi pusat-daerah adalah: (i) melakukan sinkronisasi RPJMD dan RKPD dengan prioritas nasional yang tercantum dalam RPJMN 2010 – 2014 dan RKP; (ii) menitikberatkan penganggaran pada peningkatan belanja modal, terutama untuk meningkatkan daya saing daerah; dan (iii) memonitor pelaksanaan rencana pembangunan dan realisasi anggaran, terutama yang terkait dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, menjaga iklim investasi, meningkatkan hubungan kerjasama antar daerah dan kemitraan pemerintah-swasta, serta meningkatkan akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung ekonomi daerah. Untuk itu, buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi daerah dalam menentukan strateginya dalam rangka memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat.
vi
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Foto: Humas Foto: Bappenas Humas Bappenas
Foto: Humas Bappenas
DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................ i DAFTAR ISI ................................................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 2 1.1 Latar Belakang
2
1.1.1 Perkembangan Kondisi Ekonomi Global
2
1.1.2 Perkembangan Ekonomi Regional
3
1.1.3 Perkembangan Ekonomi Nasional dan Pentingnya Peningkatan Ekonomi Domestik Untuk Meredam Dampak Krisis Global
4
1.2 Maksud dan Tujuan
5
BAB II KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2013 ..................................................... 8 2.1 Target Pertumbuhan Ekonomi
8
2.2 Tujuh Arahan Presiden
9
2.3 Tema dan Prioritas RKP 2013
9
2.4 Isu Strategis 2013
11
BAB III KONDISI TERKINI DAERAH ............................................................................................. 22 3.1 Kondisi Ekonomi Nasional
22
3.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
22
3.1.2 Tingkat Kemiskinan
23
3.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka
26
3.2 Kondisi Ekonomi Daerah
27
3.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Daerah
27
3.2.2 Tingkat Kemiskinan Per Provinsi
28
3.2.3 Tingkat Pengangguran Per Provinsi
30
3.3 Kondisi Daya Beli Masyarakat
32
3.3.1 Pertumbuhan Konsumsi Masyarakat
32
3.3.2 Peran Konsumsi Masyarakat Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
33
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
ix
3.4 Kondisi Perdagangan dan Investasi
34
3.4.1 Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional
34
3.4.2 Investasi (PMTB) Per Provinsi
35
3.5 Kondisi Infrastruktur Daerah
37
3.5.1 Infrastruktur Jalan
37
3.5.2 Infrastruktur Udara
40
3.5.3 Infrastruktur Laut
41
3.5.4 Infrastruktur Listrik
45
3.5.5 Infrastruktur Telekomunikasi
46
3.6 Kondisi Produksi dan Konsumsi Beras
47
3.7 Kondisi Sumber Daya Manusia
50
3.7.1 Pendidikan
50
3.7.2 Kesehatan
55
3.8 Kondisi Ketenagakerjaan
61
3.8.1 Tenaga Kerja Per Provinsi
61
3.8.2 Upah Minimum Regional Per Provinsi
63
3.8.3 Produktivitas Tenaga Kerja
65
3.9 Perkembangan Reformasi Birokrasi dan Politik
67
3.9.1 Kualitas SDM Aparatur
68
3.9.2 LPSE dan E-Procurement
69
3.9.3 Opini LKPD
71
3.9.4 Implementasi SAKIP
72
3.9.5 Perkembangan Politik
74
3.10 Pelaksanaan Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
82
3.10.1 Pelaksanaan MP3EI Tahun 2011 dan 2012
82
3.10.2 Rencana MP3EI Tahun 2013
84
3.11 Postur Pendapatan dan Belanja Daerah
87
3.11.1 Postur Pendapatan Daerah
87
3.11.2 Postur Belanja Daerah
90
x
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
BAB IV KERANGKA PENGUATAN PEREKONOMIAN DOMESTIK SERTA PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT .......................................................................... 96 4.1 Pengantar Penguatan Ekonomi Domestik
96
4.2 Aspek Peningkatan Daya Saing
97
4.2.1 Peningkatan Iklim Investasi dan Iklim Usaha
97
4.2.2 Percepatan Pembangunan Infrastruktur
99
4.2.3 Peningkatan Pembangunan Industri di 6 Koridor Ekonomi
101
4.3 Aspek Peningkatan Daya Tahan Ekonomi (Food Security dan Energy Security)
105
4.3.1 Peningkatan Ketahanan Pangan
105
4.3.2 Peningkatan Rasio Elektrifikasi Dan Konversi Energi
109
4.4 Aspek Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
110
4.4.1 Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia
110
4.4.2 Percepatan Pengurangan Kemiskinan
111
4.5 Aspek Pemantapan Stabilitas Politik
113
4.5.1 Persiapan Pemilu 2014
113
4.5.2 Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
114
BAB V LANGKAH-LANGKAH PENGUATAN EKONOMI DOMESTIK SERTA PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ......................................................................... 120 5.1 Peningkatan Daya Saing
120
5.1.1 Peningkatan Iklim Investasi dan Iklim Usaha
121
5.1.2 Percepatan Pembangunan Infrastruktur
127
5.1.3 Peningkatan Pembangunan Industri di 6 Koridor Ekonomi
132
5.1.4 Penciptaan Kesempatan Kerja Khususnya Tenaga Kerja Muda
134
5.2 Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
137
5.2.1 Peningkatan Ketahanan Pangan
137
5.2.2 Peningkatan Rasio Elektifikasi dan Konversi Energi
142
5.3 Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
143
5.3.1 Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia
143
5.3.2 Percepatan Pengurangan Kemiskinan
145
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
xi
5.4 Pemantapan Stabilitas Politik
147
5.4.1 Persiapan Pemilu 2014 dan Pilkada
147
5.4.2 Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi
148
5.5 Pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
154
5.5.1 Regulasi
154
5.5.2 Konektivitas
155
5.5.3 Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
156
5.6 Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah Untuk Mendukung Penguatan Ekonomi Domestik
158
BAB VI PENUTUP ..................................................................................................................... 176 DAFTAR PUSTAKA …………........................................................................................................ 178
xii
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 3.6 Tabel 3.7 Tabel 3.8 Tabel 3.9 Tabel 3.10 Tabel 3.11 Tabel 3.12 Tabel 3.13 Tabel 3.14 Tabel 3.15 Tabel 3.16 Tabel 3.17 Tabel 3.18 Tabel 3.19 Tabel 3.20 Tabel 3.21 Tabel 3.22 Tabel 3.23 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3
Sasaran Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 – 2013 8 Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Saing 13 Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Tahan Ekonomi 14 Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat 15 Sasaran Pokok Isu Strategis Pemantapan Stabilitas Sosial dan Politik 17 Gambaran Ekonomi Makro Tahun 2010 – 2012 23 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kawasan 24 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah (Maret 2012) 25 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Kawasan 26 Kabupaten/Kota Dengan Persentase Penduduk Miskin Tertinggi dan Terendah Per Provinsi Tahun 2010 29 Kondisi Mantap Jalan Tahun 2010 37 Kondisi Jalan Nasional Pada Tahun 2005 dan 2011 38 Kondisi Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota Tahun 2010 39 Jumlah Bandara Per Provinsi Tahun 2010 40 Jumlah Pelabuhan di Indonesia Berdasarkan Jenisnya Tahun 2004 41 Pertumbuhan Produksi Padi Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011 47 Pertumbuhan Produksi Beras Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011 47 Alasan Tidak/Belum Bersekolah Tahun 2010 53 Peringkat Indonesia Dalam Pilar Daya Saing Efisiensi Pasar Tenaga Kerja (Dari 142 Negara) Tahun 2008 – 2011 63 Persentase Perubahan UMP Dibandingkan Dengan Laju Inflasi di Provinsi Unggulan Industri Tahun 2000 – 2012 63 Peta Sebaran Daerah Dengan LPSE Tahun 2012 69 Peta Sebaran Daerah Yang Sudah Menerapkan E-Proc Tahun 2012 70 Pengkategorian Penilaian Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 73 Pencapaian Skor LAKIP di Level Provinsi Tahun 2011 74 Rekapitulasi Kegiatan MP3EI Yang Telah Groundbreaking (Sampai Akhir Desember 2011) 82 Status Penyempurnaan Regulasi (per April 2012) 84 Alokasi dan Kebutuhan Tambahan Konektivitas Tahun 2013 (Miliar Rupiah) 85 Daerah Dengan Postur APBD Yang Baik 93 Pemetaan Untuk Kegiatan-Kegiatan Ekonomi Utama Dari Masing-Masing Koridor 132 Capaian dan Target Produksi Padi Tahun 2010 -2014 138 Sasaran Produksi Padi Tahun 2012-2013 Menurut Provinsi 140
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 3.10 Gambar 3.11 Gambar 3.12 Gambar 3.13 Gambar 3.14 Gambar 3.15 Gambar 3.16 Gambar 3.17 Gambar 3.18 Gambar 3.19 Gambar 3.20 Gambar 3.21 Gambar 3.22 Gambar 3.23 Gambar 3.24 Gambar 3.25
xiv
Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP Prioritas Pembangunan Nasional RPJMN 2010-2014 Isu Strategis Pembangunan Nasional Dalam RKP 2013 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Tahun 2006 - 2012 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Tahun 2008 – 2012 PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2010 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Per Provinsi Tahun 2011 Tingkat Pengangguran Terbuka Per Provinsi (%) Tahun 2010 - 2011 Jumlah Penganggur Berdasarkan Perkotaan dan Perdesaan (Ribu Orang) Pertumbuhan Konsumsi dan Konsumsi per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2009 Rata-rata Peran Konsumsi Rumah Tangga Dalam Sumber Pertumbuhan PDRB Tahun 2006 - 2009 Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional Tahun 2011 PMTB dan Jumlah Penduduk Tahun 2005 – 2009 PMTB dan Kepadatan Penduduk Tahun 2005 – 2009 Share Industri Pengolahan Dalam PDRB 2 Rasio Kerapatan Jalan (km/km ) Tahun 2011 Rasio Kapasitas Jalan (km/unit) Tahun 2011 Perbandingan Kondisi Jalan Nasional dan Daerah (%) Jumlah Penumpang Pesawat Udara Per Provinsi Tahun 2010 Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Dermaga Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011 Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Gudang Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011 Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Lapangan Penumpukan Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011 Rasio Elektrifikasi Tahun 2011 Persentase Kota/Kabupaten yang Dijangkau Layanan Broadband Tahun 2011 Kontribusi Kawasan Per Pulau Terhadap Total Produksi Beras Tahun 2011 Produksi Padi di Indonesia Tahun 2009 – 2011 Konsumsi Beras Langsung di Rumah Tangga (Kg/Kapita/Tahun) Pada Tahun 2008-2010 Produksi dan Kebutuhan Beras (Ribu Ton) Tahun 2011
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
10 11 12 24 26 27 28 30 31 32 33 34 35 35 36 37 38 39 41 42 44 45 46 46 48 48 49 50
Gambar 3.26 Gambar 3.27 Gambar 3.28 Gambar 3.29 Gambar 3.30 Gambar 3.31 Gambar 3.32 Gambar 3.33 Gambar 3.34 Gambar 3.35 Gambar 3.36 Gambar 3.37 Gambar 3.38 Gambar 3.39 Gambar 3.40 Gambar 3.41 Gambar 3.42 Gambar 3.43 Gambar 3.44 Gambar 3.45 Gambar 3.46 Gambar 3.47 Gambar 3.48 Gambar 3.49 Gambar 3.50 Gambar 3.51 Gambar 3.52 Gambar 3.53 Gambar 3.54
Rata-Rata Lama Sekolah (Usia Penduduk >15 Tahun) Tahun 2010 51 Tingkat Pendidikan dan Tingkat Partisipasi Sekolah Tahun 2010 52 Persentase Jenjang Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Oleh Penduduk Berusia 10 Tahun Ke Atas Tahun 2010 52 Angka Melek Aksara Penduduk (Berusia > 15 Tahun) Tahun 2010 54 Persentase Guru Belum Berkualifikasi S1/D4 Tahun 2011 55 Persentase Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Terlatih Menurut Provinsi Tahun 2010 56 Cakupan Pelayanan Antenatal (K4) Tahun 2010 57 Persentase Bayi Usia 0-11 Bulan Yang Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap Tahun 2010 58 Persentase Bayi Yang Melakukan Kunjungan Neonatus 6-48 Jam (KN1) Tahun 2010 58 Prevalensi Pendek (TB/U) Pada Anak 0-59 Bulan Tahun 2010 59 Keragaman Angka Kejadian Malaria Tahun 2010 60 Perkembangan Jumlah Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Tahun 2010 61 Perkembangan Rasio Tempat Tidur RS per 100.000 Penduduk Tahun 2010 61 Persentase Serta Pertumbuhan Pekerja Sektor Formal dan Informal Tahun 2005 – 2011 62 Komposisi Pekerja Formal dan Informal di Setiap Provinsi Tahun 2008 dan 2011 62 UMP Wilayah Sumatera 64 UMP Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara 64 UMP Wilayah Kalimantan dan Sulawesi 64 UMP Wilayah Gorontalo-Maluku-Papua 64 Pertumbuhan Produktivitas Untuk Tiga Sektor Tahun 2006 – 2011 65 Produktivitas per Tenaga Kerja Tahun 2005 dan 2010 (Menurut Harga Konstan 2000) 66 Persentase Pekerja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011 67 Persentase Pekerja Profesional/Semi Skill Terhadap Jumlah Pekerja Tahun 2011 67 Persentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) Berdasarkan Pendidikan (per Januari 2012) 68 Peta Kepatuhan Penyampaian LKPD Tahun 2010 71 Pencapaian Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemda Tahun 2012 72 Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009 dan 2010 74 Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Provinsi Tahun 2010 75 Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Kepulauan Tahun 2010 76 Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
xv
Gambar 3.55 Gambar 3.56 Gambar 3.57 Gambar 3.58 Gambar 3.59 Gambar 3.60 Gambar 3.61 Gambar 3.62 Gambar 3.63 Gambar 3.64 Gambar 3.65 Gambar 3.66 Gambar 3.67 Gambar 3.68 Gambar 3.69 Gambar 3.70 Gambar 3.71 Gambar 3.72 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10
xvi
Jumlah Kabupaten/Kota dan Jumlah Pemilih Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Tingkat Partisipasi Politik dalam Pemilu Tahun 1971 – 2009 Tingkat Partisipasi Politik Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 Tingkat Partisipasi Pemilih Pada Pilpres di Berbagai Wilayah Tahun 2009 Tingkat Partisipasi Politik pada Pemilukada Tahun 2010-2011 Jumlah dan Nilai Program Bidang SDM di setiap Koridor Ekonomi Tahun 2012 Jumlah dan Nilai Program Bidang IPTEK di setiap Koridor Ekonomi Rekapitulasi Alokasi Indikatif Kegiatan Konektivitas Tahun 2013 Menurut Kementerian/Lembaga (Miliar Rupiah) Komposisi Pendapatan Daerah Tahun 2007 – 2011 Rasio Pendapatan Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011 Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan Kabupaten Dan Kota Se-Provinsi Tahun 2011 Rasio PAD Terhadap Total Pendapatan Provinsi Tahun 2011 Komposisi Belanja Daerah Tahun 2007 – 2011 Rasio Belanja Daerah Menurut Wilayah Tahun 2011 Rasio Belanja Pegawai Kabupaten/Kota Terhadap Total Belanja Menurut Provinsi Tahun 2008 dan 2011 Rasio Belanja Pegawai Provinsi Terhadap Total Belanja Tahun 2008 dan 2011 Komposisi Belanja Kabupaten/Kota Menurut Fungsi dan Provinsi Komposisi Belanja Provinsi Menurut Fungsi Faktor Pendukung Penguatan Ekonomi Domestik Kerangka Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Domestik Kerangka Pembangunan Infrastruktur dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Domestik Kerangka Pengembangan Koridor Ekonomi Pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia Sistem Ketahanan Pangan Skema Pencapaian Surplus Beras 10 Juta Ton Kerangka Pembangunan Ketenagalistrikan Terhadap Peningkatan Perekonomian Domestik Kerangka Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Yang Berkualitas Kerangka Penguatan Ekonomi Domestik Melalui Upaya Percepatan Pengurangan Kemiskinan
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
77 78 79 80 81 83 83 85 88 88 89 89 90 90 91 91 92 92 96 98 99 102 104 106 108 109 111 112
Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4
Skema Pencapaian Stabilitas Politik Kerangka Peningkatan Kinerja Birokrasi Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Peran Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Mekanisme Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Melalui Skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 Faktor Pendukung Daya Saing Daerah
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
114 115 122 128 148 158
xvii
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perkembangan Kondisi Ekonomi Global Kondisi ekonomi global di tahun 2012 diperkirakan masih belum membaik, karena masih rentannya proses pemulihan negara-negara Eropa yang terlilit krisis utang dan terjadinya perlambatan ekonomi negara-negara maju dan emerging market. Krisis yang dialami negaranegara Eropa terkait utang dan defisit fiskal masih belum teratasi dengan baik sehingga kondisi ekonomi global akan masih diliputi oleh ketidakpastian. Sementara itu, pemulihan ekonomi AS masih rentan terhadap guncangan. Spanyol yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar keempat di Eropa diprediksi akan menjadi anggota keempat Uni Eropa yang membutuhkan dana talangan. Utang negara Spanyol mencapai €709 miliar atau sekitar 2 kali jumlah utang gabungan tiga negara yang mendapat dana talangan sebelumnya (Yunani, Irlandia dan Portugal), sehingga dana talangan untuk menyelamatkan perekonomian Spanyol akan menjadi beban yang berat bagi zona Eropa. Namun demikian, dampak krisis Eropa maupun AS terhadap ekonomi Indonesia ini secara keseluruhan relatif terkendali hingga saat ini. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat menjadi 3,5 persen pada tahun 2012 dan 3,9 persen pada tahun 2013 (IMF, World Economic Outlook, Juli 2012) disebabkan oleh proses pemulihan AS yang rentan, keberlanjutan krisis keuangan Eropa, serta kemampuan ekonomi Asia yang menurun. Negara maju diperkirakan hanya tumbuh sebesar 1,4 persen pada tahun 2012 dan 1,9 persen pada tahun 2013. Bahkan ekonomi di beberapa negara Eropa, seperti: Italia, Spanyol dan Yunani, diproyeksi tumbuh negatif pada tahun 2012. Sementara itu, negara berkembang Asia akan menjadi penopang pertumbuhan dunia ditengah krisis global, yang diperkirakan tumbuh mencapai 7,1 persen pada tahun 2012. China dan India sebagai negara emerging diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 8,0 persen dan 6,1 persen pada tahun 2012. ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina) diproyeksi mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen pada tahun 2012. Sisi permintaan yang menurun di Kawasan Eropa dan Amerika Serikat telah menyebabkan volume perdagangan dunia cenderung tumbuh melambat. Akibatnya, aktivitas ekonomi negara-negara berkembang dan emerging market cenderung menurun, karena sebagian negara berkembang merupakan pemasok utama pasar Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini kemudian berdampak terhadap menurunnya harga komoditas global non-energi terutama komoditas yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri.
2
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
1.1.2 Perkembangan Ekonomi Regional Pergeseran geopolitik dan geoekonomi dunia yang ditandai dengan menguatnya peran Asia sebagai pusat kekuatan ekonomi global telah terjadi dalam satu dekade terakhir. Beberapa negara di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, telah lebih dulu maju dengan mengandalkan perkembangan sektor industrinya. Selanjutnya, China dan India menyusul sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi regional dengan statusnya sebagai negara emerging dengan populasi terbesar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya yang memiliki total jumlah penduduk sekitar 598 juta jiwa dan nilai PDB mencapai US$ 1,85 triliun atau sekitar tiga persen dari PDB dunia menjadi kawasan strategis dalam tatanan ekonomi global. Dalam rangka mewujudkan ASEAN sebagai kawasan yang stabil, makmur, serta memiliki daya saing yang ditandai dengan kemampuan menjalankan perdagangan barang, jasa, investasi dan modal yang bebas, para kepala negara ASEAN telah mencanangkan ASEAN VISION 2020. Sasaran akhir ASEAN VISION 2020 adalah kerjasama dalam bidang politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial budaya yang tertuang dalam perwujudan Masyarakat ASEAN tahun 2020 dengan berlandaskan pada tiga pilar yaitu: (i) Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community); (ii) Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community); dan (iii) Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Pada Pertemuan 12th ASEAN Summit di Cebu, Filipina, bulan Januari 2007 dideklarasikan Percepatan untuk Membangun Masyarakat Bersama ASEAN (ASEAN Community) dari tahun 2020 menjadi tahun 2015 (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina), 2020 (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) dan 2010 (Singapura dan Brunei Darussalam). Kemudian pada Pertemuan 13th ASEAN Summit di Singapura bulan November 2007 ditandatangani ASEAN Charter dan Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC Blueprint) yang merupakan momentum perkuatan komitmen bersama dari negara-negara ASEAN yang mengikat secara hukum bagi terwujudnya AEC. Dalam perkembangannya, pelaksanaan AEC berjalan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerjasama di bidang politik-keamanan dan sosial budaya. Pembentukan AEC 2015 menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan arus barang, jasa, investasi, pekerja terampil dan arus modal yang lebih bebas, mempunyai daya saing tinggi, dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata, serta terintegrasi dalam ekonomi global. Pembentukan AEC 2015 menimbulkan tantangan bagi Indonesia berupa keharusan untuk meningkatkan pemahaman publik dalam negeri mengenai ASEAN baik bagi kalangan Pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat baik di tingkat Pusat maupun Daerah; serta meningkatkan daya saing nasional. Disamping itu, pembentukan AEC akan memberikan peluang bagi Indonesia dengan terbukanya pasar baru bagi barang, jasa, investasi, pekerja terampil dan arus modal di kawasan ASEAN. Dalam menghadapi AEC 2015, bangsa Indonesia harus bekerja keras untuk memperkuat ketahanan nasional sebagai prasyarat untuk dapat bersaing dengan bangsa lain. Langkah ini hanya dapat dilakukan dengan memperbaiki kinerja Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
3
ekonomi nasional yang didukung struktur ekonomi yang kuat, pelaku ekonomi yang berdaya saing tinggi, berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di seluruh Wilayah Nusantara dan meratanya pembangunan wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan. Dengan demikian, diharapkan Indonesia akan dapat menarik manfaat dari integrasi ekonomi kawasan yang berdaya saing tinggi dan terintegrasi dalam ekonomi global, sehingga pada gilirannya akan memberikan manfaat ekonomi secara luas bagi seluruh rakyat Indonesia.
1.1.3 Perkembangan Ekonomi Nasional dan Pentingnya Peningkatan Ekonomi Domestik Untuk Meredam Dampak Krisis Global Saat ini, tingkat persaingan di antara negara-negara berkembang semakin tinggi. Era globalisasi dan kesepakatan perdagangan bebas telah menyebabkan tipisnya batas antar negara, rendahnya hambatan perdagangan barang dan jasa, serta semakin mudahnya arus masuk dan keluar investasi dari suatu negara. Globalisasi telah mendorong semangat persaingan antar negara, sehingga setiap negara dituntut untuk meningkatkan daya saingnya dengan cara lebih produktif dan efisien. Hal ini menyebabkan produk barang dan jasa domestik akan mengalami tingkat persaingan yang cenderung semakin tinggi, baik di pasar global maupun di pasar domestik. Persaingan yang semakin ketat ini tidak hanya dirasakan di tingkat nasional, tetapi juga akan sangat terasa di tingkat daerah. Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, perekonomian domestik harus tetap terjaga dengan fundamental ekonomi yang tetap kokoh dan daya saing yang lebih baik. Kondisi ini tentunya akan menjadi suatu keharusan bagi Indonesia dan masing-masing daerah untuk terus bekerja keras dan bersaing dengan negara lain. Langkah ini dapat dilakukan dengan meningkatkan daya saing bangsa, memperbaiki kinerja ekonomi nasional yang didukung struktur ekonomi yang kuat, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di seluruh Wilayah Nusantara dan meningkatkan pembangunan wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan. Momentum pertumbuhan ekonomi perlu tetap dijaga agar peningkatan kesejahteraan rakyat terutama pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran dapat dipercepat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun perlu dilakukan tanpa mengesampingkan persoalan lingkungan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pelaksanaan pembangunan di pusat dan di daerah perlu dilaksanakan melalui empat jalur strategi, yaitu pertumbuhan (pro-growth), kesempatan kerja (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor) dan pelestarian lingkungan hidup (pro-environment). Perekonomian domestik yang kuat, berdaya saing, berdaya tahan, menyejahterakan rakyat serta stabil secara keseluruhan akan bergantung kepada daerah, terutama karena era otonomi daerah. Dengan kata lain, tingginya daya saing daerah di Indonesia secara keseluruhan akan
4
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
menjadi ujung tombak daya saing nasional, yang akan menjadi faktor terpenting untuk Indonesia dalam bersaing di tingkat global (PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE-UNPAD, 2008). Peningkatan daya tahan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat serta pemantapan stabilitas sosial politik tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga menjadi tanggung jawab daerah. Peningkatan perekonomian domestik, baik oleh daerah dan nasional akan menjadi modal utama untuk menjaga momentum pembangunan dan melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi untuk menuju ke arah transformasi ekonomi menjadi negara maju dan berdaya saing. Oleh sebab itu, peran daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya akan sangat bergantung kepada kemampuan daerah untuk melakukan identifikasi faktor penentu daya saing dan strategi untuk meningkatkan daya saing. Sementara itu untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi, Pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk mendorong implementasi dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Keberhasilan pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut sangat ditentukan oleh peran aktif Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, bersama-sama dengan Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, penguatan sinergi dan koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi sangat penting untuk mendorong peningkatan daya saing dan penguatan ekonomi domestik.
1.2 Maksud dan Tujuan Buku Pegangan (Handbook) Perencanaan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya peran perencanaan daerah untuk mendukung penguatan perekonomian domestik, serta memberikan panduan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah tahun 2012 – 2013 dalam menentukan strategi-strategi yang dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat. Secara rinci, tujuan penyusunan Buku Pegangan (Handbook) Perencanaan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Tahun 2012 – 2013 adalah sebagai berikut: 1.
Membangun kesepahaman tentang pentingnya dukungan daerah dalam mendorong dan meningkatkan penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat;
2.
Menjelaskan langkah-langkah perencanaan dan strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka mendukung penguatan perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat di daerah.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
5
BAB II KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2013
BAB II KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2013 2.1 Target Pertumbuhan Ekonomi Dengan berbagai tantangan yang ada, sasaran pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 adalah sekitar 6,5 persen. Sementara itu, pada tahun 2013, diharapkan perekonomian dapat lebih baik lagi dengan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 - 7,2 persen. Investasi dan konsumsi masyarakat pada tahun 2012 dan 2013 diharapkan akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, dengan target pertumbuhan untuk investasi adalah sebesar 10,9 persen pada tahun 2012 dan 11,9 - 12,3 persen pada tahun 2013. Tabel 2.1 Sasaran Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 – 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI ( persen) Sisi Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Konsumsi Pemerintah PMTB Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa Sisi Produksi Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Usaha Jasa-jasa LAJU INFLASI ( persen) PENGANGGURAN TERBUKA ( persen) PENDUDUK MISKIN ( persen) Sumber: Bappenas (RKP 2013 )
2012 6,5
2013 6,8 - 7,2
4,9 6,8 10,9 9,9 11,4
4,8 - 5,2 6,7 - 7,1 11,9 - 12,3 11,7 - 12,1 13,5 - 13,9
3,5 2,0 6,1 6,2 7,0 8,9 11,2 6,3 6,2 6,8 6,4-6,6 10,5-11,5
3,7 - 4,1 2,8 - 3,2 6,5 - 6,9 6,6 - 7,0 7,5 - 7,9 8,9 - 9,3 12,1 - 12,5 6,1 - 6,5 6,0 - 6,4 4,5 - 5,5 5,8 - 6,1 9,5 - 10,5
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 didorong dengan upaya meningkatkan investasi, menjaga ekspor nonmigas, serta memberi dorongan fiskal dalam batas kemampuan keuangan negara dengan mempertajam belanja negara. Koordinasi antara kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil, ditingkatkan untuk mendorong peran masyarakat dalam pembangunan ekonomi. Sementara itu, daya beli masyarakat perlu dijaga untuk dapat tetap menjaga peran konsumsi masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas ekonomi yang terjaga tersebut, pengangguran terbuka akan menurun menjadi 5,8 - 6,1 persen dari angkatan kerja dan jumlah penduduk miskin menjadi 9,5 – 10,5 persen pada tahun 2013.
8
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
2.2 Tujuh Arahan Presiden Dalam mencapai sasaran pembangunan nasional yang tinggi, ditengah berbagai tantangan yang ada, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya khusus. Untuk itu pada Sidang Kabinet Paripurna 24 April 2012, Presiden memberikan 7 (tujuh) arahan pokok dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,5 persen. Adapun arahan tersebut adalah: 1. Mendorong percepatan belanja pemerintah sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi, termasuk didalamnya menyelesaikan perubahan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah; 2. Menjaga tingkat daya beli masyarakat dengan menjaga laju inflasi pada tingkat yang rendah; 3. Mengoptimalkan program perlindungan sosial antara lain Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, PNPM, BOS dan Raskin; 4. Menerbitkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan investasi; 5. Peningkatan daya saing ekspor, terutama produk ekspor non migas melalui diversifikasi tujuan ekspor dengan meningkatkan keberagaman dan kualitas produk; 6. Penguatan perdagangan dalam negeri untuk menjaga kestabilan harga, kelancaran barang serta menciptakan iklim usaha yang sehat; 7. Mengendalikan impor produk-produk yang berpotensi menurunkan daya saing produk domestik di pasar dalam negeri.
2.3 Tema dan Prioritas RKP 2013 Dengan berbagai kondisi perkembangan ekonomi terkini tersebut, pemerintah melalui mekanisme perencanaannya telah menyusun langkah-langkah pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), baik yang sedang berjalan yaitu RKP 2012 maupun perencanaan tahun depan dalam RKP 2013. Hal ini demi mencapai sasaran pembangunan 5 (lima) tahun dalam RPJMN 2010-2014 yaitu “Mewujudkan Indonesia yang Demokratis, Sejahtera dan Berkeadilan”. Adapun tema dari RKP, ditunjukkan pada Gambar 2.1. Pada tahun 2012, tema pembangunan nasional adalah: “Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat”. Indonesia harus siap menghadapi situasi yang dinamis dan penuh tantangan tersebut, menjaga momentum pertumbuhan yang telah dicapai, bahkan mempercepat dan memperluas pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif serta berkeadilan. Pertumbuhan ekonomi tersebut pada gilirannya harus dapat menciptakan
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
9
lapangan kerja yang lebih banyak dan pada gilirannya mempercepat pengurangan kemiskinan. Gambar 2.1 Tema Pembangunan Yang Tertuang Dalam RKP 2010
•Pemulihan Perekonomian Nasional Dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat
2011
•Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkeadilan Didukung Oleh Pemantapan Tatakelola Dan Sinergi Pusat Dan Daerah
2012
•Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, Inklusif dan Berkeadilan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
2013
•MEMPERKUAT PEREKONOMIAN DOMESTIK BAGI PENINGKATAN DAN PERLUASAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Sumber: RKP 2013, Bappenas
Pada tahun 2013, tema pembangunan yang dituangkan dalam RKP adalah: “Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat”. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, perlu didorong dengan kemampuan pemerataan pembangunan yang lebih luas. Dalam kaitan dengan itu, potensi perekonomian domestik yang besar akan ditumbuhkembangkan guna menghadapi berbagai tantangan eksternal perlambatan perekonomian dunia. Daya tahan perekonomian terus diperkuat, dengan peningkatan daya saing nasional terutama di sektor-sektor produksi, yaitu industri, pertanian dan pariwisata. Semua ini perlu didorong dengan pembangunan infrastruktur, penguatan kelembagaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta penyelesaian berbagai hambatan perekenomian terutama melalui reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Sebagai penjabaran RPJMN 2010-2014, pembangunan nasional dalam RKP 2012 dan RKP 2013 dituangkan ke dalam 11 Prioritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya, termasuk di dalamnya prakarsa-prakarsa baru yang terintegrasi dengan RPJMN dan RKP untuk menanggapi situasi kekinian dan menjaga momentum positif yang telah dicapai sebagai hasil pembangunan selama ini. Prakarsa-prakarsa baru tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selalu siap dalam mengantisipasi dan merespon berbagai perkembangan yang terjadi serta melakukan perubahan untuk mencapai kemajuan dan hasil pembangunan yang lebih baik. Selanjutnya, 11 Proritas Nasional dan 3 Prioritas Lainnya ditunjukkan pada Gambar 2.2.
10
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Gambar 2.2 Prioritas Pembangunan Nasional RPJMN 2010-2014 Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pendidikan Kesehatan
Penanggulangan Kemiskinan Ketahanan Pangan Infrastruktur Iklim Investasi dan Iklim Usaha Energi Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Bidang Perekonomian Bidang Kesejahteraan Rakyat
Sumber: RKP 2013, Bappenas
2.4 Isu Strategis 2013 Dalam tahun 2013, perekonomian domestik akan lebih ditingkatkan guna menghadapi perekonomian dunia yang masih beresiko dan persaingan yang semakin ketat. Potensi perekonomian domestik yang besar akan lebih didorong untuk berkembang. Investasi akan terus didorong, baik investasi yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri, yang akan didukung oleh pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi. Pembangunan infrastruktur dibangun untuk memperkuat national connectivity dan ketahanan energi, melalui pembiayaan pemerintah, dunia usaha dan kerjasama pemerintah dan swasta. Untuk itu hambatan perekonomian, terutama inefisiensi/hambatan-hambatan birokrasi, korupsi dan pelayanan perijinan akan ditangani secara serius agar tercipta iklim investasi dan usaha yang lebih baik. Pembangunan infrastruktur, penguatan kelembagaan, serta peningkatan kesehatan dan pendidikan sangat penting untuk mendorong produktivitas ekonomi. Kebijakan pemerintah dalam perkuatan ekonomi domestik telah dituangkan pada RKP 2013, dimana terdapat empat isu strategis yang menjadi fokus pemerintah. Isu strategis tersebut adalah peningkatan daya saing nasional, peningkatan daya tahan ekonomi, peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat dan pemantapan stabilitas sosial politik. Isu strategis yang menjadi fokus pemerintah pada tahun 2013 ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
11
Gambar 2.3 Isu Strategis Pembangunan Nasional Dalam RKP 2013 Peningkatan Daya Saing
•Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha;
•Percepatan Pembangunan Infrastruktur;
•Peningkatan Pembangunan
Peningkatan Daya Tahan Ekonomi
•Peningkatan Ketahanan Pangan: Menuju Pencapaian Surplus Beras 10 juta ton;
•Peningkatan Rasio
Industri di Berbagai Koridor
Elektrifikasi dan Konversi
Ekonomi;
Energi;
Peningkatan Dan Perluasan Kesejahteraan
Pemantapan Stabilitas Sospol
Rakyat
•Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia;
•Percepatan Pengurangan Kemiskinan: Sinergi Klaster 1-4;
•Persiapan Pemilu 2014; •Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi;
•Percepatan Pembangunan Minimum Essential Force.
•Penciptaan Kesempatan Kerja khususnya Tenaga Kerja Muda;
Sumber: RKP 2013 (diolah)
Peningkatan Daya Saing Peningkatan daya saing nasional perlu ditingkatkan pada sektor-sektor produksi, utamanya industri, pertanian dan pariwisata. Pembangunan industri didorong untuk meningkatkan nilai tambah berbagai komoditi unggulan di berbagai Wilayah Indonesia, khususnya koridorkoridor ekonomi dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun demikian, daya saing nasional dapat meningkat, jika daya saing daerah lebih baik. Peningkatan daya saing nasional tidak dapat lepas dari kemampuan daerah untuk meningkatkan daya saingnya. Oleh sebab itu, peningkatan daya saing nasional perlu dilakukan melalui peningkatan daya saing daerah secara merata dan terintegrasi. Dalam rangka peningkatan daya saing, iklim investasi akan terus diperbaiki, dengan indikator pencapaiannya adalah target pertumbuhan investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB) sebesar 10,9 persen pada tahun 2012 dan 12,1 persen pada tahun 2013. Selain itu, untuk peningkatan daya saing nasional akan dilakukan juga peningkatan iklim usaha, dimana sasarannya adalah membaiknya indikator-indikator kemudahan berusaha yang ada pada Ease of Doing Business. Target perbaikan iklim usaha pada tahun 2013 adalah: (1) waktu memulai usaha turun menjadi 20 hari; (2) waktu perijinan mendirikan bangunan yang turun menjadi 137 hari; (3) waktu perolehan akses listrik menjadi 90 hari; serta (4) waktu pendaftaran properti menjadi 20 hari. Sementara itu, langkah-langkah pemerintah untuk mencapai hal tersebut dituangkan pada Prioritas Nasional 7, dengan upaya yang difokuskan pada: (1) penyederhanaan prosedur investasi dan prosedur berusaha; (2) peningkatan efisiensi logistik nasional; (3)
12
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
pengembangan kawasan ketenagakerjaan.
ekonomi
khusus
(KEK);
dan
(4)
harmonisasi
kebijakan
Percepatan pembangunan infrastruktur dilakukan untuk mendukung penguatan konektivitas di dalam wilayah maupun antar wilayah. Selama ini telah diketahui bahwa arus barang di Indonesia harus mengeluarkan biaya transportasi yang relatif tinggi sehingga tidak mampu bersaing dengan komoditas impor. Melalui penguataan konektivitas antar wilayah dan di dalam wilayah itu sendiri diharapkan akan menurunkan biaya transportasi barang dan jasa khususnya ke daerah-daerah yang berada jauh dari lokus produksi barang yang nantinya akan menguntungkan para pelaku usaha (produsen), masyarakat (konsumen) dan pemerintah. Sasaran yang akan dicapai dalam percepatan pembangunan infrastruktur adalah kondisi mantap jalan nasional yang mencapai 92,5 persen pada tahun 2013 dan pangsa angkutan laut ekspor impor yang mencapai 12 persen. Tabel 2.2 Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Saing 2011
ISU STRATEGIS Peningkatan Iklim Investasi dan Usaha a. Peningkatan Investasi (%) b. Tingkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business)1: Waktu untuk memulai usaha (hari) Perijinan mendirikan bangunan (hari) Perolehan akses listrik (hari) Pendaftaran properti (hari) 2. Percepatan Pembangunan Infrastruktur: Domestic Connectivity a. Kondisi Mantap Jalan Nasional (%) b. Pangsa Angkutan Laut Ekspor Impor (%) c. Pangsa Angkutan KA Barang (%) d. Pangsa Angkutan KA Penumpang terhadap Total Angkutan Umum (%) e. Pertumbuhan Penumpang Angkutan Udara Dalam Negeri (%/tahun) f. Pertumbuhan Penumpang Angkutan Udara Luar Negeri (%/tahun) g. Ibukota Babupaten/Kota yang dilayani Jaringan Broadband (%) 3. Peningkatan Pembangunan Industri di Berbagai Koridor Ekonomi a. Peningkatan Industri Pengolahan (%) b. Peningkatan Industri Pengolahan Nonmigas (%) 4. Penciptaan Kesempatan Kerja khususnya Tenaga Kerja Muda — Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Peningkatan Keahlian untuk Bekerja (orang) Peningkatan Kualitas Pemagangan Berdasarkan Kebutuhan Industri (orang) Peningkatan Akses Berusaha dan Berwirausaha bagi Tenaga Kerja Muda (orang) Sumber: RKP 2013, Bappenas
2012
2013
1.
8,8
10,9
11,1
45 158 108 22
36 145 108 22
20 137 90 20
88,50 11 1 6
90,50 11,5 2 8
92,50 12 3 10
9,78
10,50
11,50
12,30
12,50
13,00
66
76
83
6,2 6,8
6,1 6,6
6,7 7,2
6,6 449.099 34.150
6,4-6,6 395.434 58.500
6,0-6,4 502.880 34.750
40.367
32.530
52.080
1
Data pencapaian target kemudahan berusaha tahun ke-n akan diperoleh di awal tahun ke-n+1. Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
13
Peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi pada tahun 2013 akan dilakukan dengan sasaran peningkatan industri pengolahan sebesar 6,7 persen dan peningkatan industri pengolahan non migas sebesar 7,2 persen. Selain itu, peningkatan daya saing ditargetkan pula dengan menurunnya tingkat pengangguran terbuka menjadi 6,0-6,4 persen pada tahun 2013. Peningkatan Daya Tahan Ekonomi Kebutuhan penyediaan pangan terus meningkat baik jumlah maupun kualitasnya seiring dengan pertambahan jumlah penduduk setiap tahun dan peningkatan pendapatan masyarakat. Penyediaan pangan pokok seperti beras tidak bisa mengandalkan dari luar negeri, oleh karena itu produksi dalam negeri harus ditingkatkan. Ketahanan pangan yang kuat akan menjadi salah satu pendorong dalam menciptakan perekonomian yang berdaya tahan. Dalam hal ini, beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah yang dimasukkan dalam isu strategis ketahanan pangan adalah: (1) peningkatan produksi pangan, termasuk upaya menuju surplus beras 10 juta ton per tahun mulai tahun 2014 serta pencapaian produksi perikanan 22,39 juta ton pada tahun 2014; (2) pengembangan diversifikasi pangan; (3) stabilisasi harga bahan pangan dalam negeri; dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu, tersedianya energi juga merupakan salah satu faktor pendukung daya tahan ekonomi nasional. Ketersediaan listrik di seluruh wilayah Indonesia merupakan suatu keharusan, untuk itu pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi (RE) sebesar 77,6 persen. Konversi energi dalam upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM, mengurangi subsidi energi, meningkatkan aksesibilitas terhadap infrastruktur energi dan meningkatkan pasokan energi domestik juga menjadi fokus pemerintah. Dalam kaitan itu, pemerintah akan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur energi dalam bentuk gas serta jaringan distribusinya. Tabel 2.3 Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan Daya Tahan Ekonomi ISU STRATEGIS Peningkatan Ketahanan Pangan: Menuju Pencapaian Surplus Beras 10 juta ton a. Produksi Padi (juta ton GKG) b. PenurunanKonsumsi Beras (%/tahun) c. Pencetakan Sawah Baru (ribu ha) 2. Peningkatan Rasio Elektrifikasi dan Konversi Energi Peningkatan Rasio Elektrifikasi a. Rasio Elektrifikasi (%) b. Rasio Desa Berlistrik (%) c. Kapasitas Pembangkit (MW) Pelaksanaan Konversi Gas a. Pembangunan Jaringan Distribusi Gas untuk Rumah Tangga (kota) b. Sambungan Gas ke Rumah Tangga Sumber: RKP 2013, Bappenas
2011
2012
2013
1.
14
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
65,7 1,5 62,1
67,8 1,5 100
72,1 1,5 100
72,95 96,02 37.353
73,60 96,70 43.653
77,60 97,80 48.555
5
5
4
17.939
16.000
16.000
Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat Perekonomian domestik yang kuat tentunya ditujukan untuk peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini perlu didorong dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu berpendidikan dan sehat. Layanan pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan dan efisien menjadi kebutuhan mendasar dalam menciptakan SDM yang cerdas, terampil, produktif, mandiri, berbudi pekerti luhur, serta memiliki karakter bangsa yang kuat. Isu strategis pendidikan diarahkan untuk pemenuhan layanan pendidikan dasar, menengah, tinggi yang berkualitas, berdaya saing dan selaras dengan kebutuhan pembangunan. Sementara itu, peningkatan kualitas SDM yang sehat juga perlu diraih dengan peningkatan akses dan layanan kesehatan yang berkualitas, merata, terjangkau dan terlindungi bagi penduduk Indonesia. Antara lain dengan: (1) peningkatan akses pelayanan kesehatan dan gizi yang berkualitas bagi ibu dan anak; (2) peningkatan pengendalian penyakit menular dan tidak menular serta penyehatan lingkungan; (3) peningkatan profesionalisme dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang merata; (4) peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan; (5) peningkatan ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan, jaminan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat, alat kesehatan dan makanan, serta daya saing produk dalam negeri; (6) peningkatan akses pelayanan KB berkualitas yang merata. Peningkatan dan perluasan kesejahteraan masyarakat perlu didukung dengan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Saat ini pemerintah sedang menyusun dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) 2011-2025. MP3KI diarahkan untuk mendorong perwujudan pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan, khususnya bagi masyarakat miskin dan marjinal sehingga dapat terlibat langsung dan menerima manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. MP3KI merupakan kebijakan afirmatif dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi yang pro-growth, pro-poor, projob dan pro-environment. Tabel 2.4 Sasaran Pokok Isu Strategis Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat 1.
ISU STRATEGIS Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia Pendidikan a. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas (tahun) b. Angka Buta Aksara Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas (%) c. APM SD/SDLB/MI/Paket A (%) d. APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%) e. APK SD/SDLB/MI/Paket A (%) f. APK SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%) g. APK SMA/SMK/MA/Paket C (%) h. APK PT usia 19-23 Tahun (%) i. APS Penduduk Usia 7-12 Tahun (%) j. APS Penduduk Usia 13-15 Tahun (%)
2011
2012
2013
7,75
7,85
8,25
5,17 95,3 74,7 117,6 101,5 76,0 26,1 98,1 90,3
4,8 95,7 75,4 118,2 103,9 79,0 27,4 98,7 93,6
4,40 95,80 76,00 118,6 106,8 82,0 28,24 99,0 95,0
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
15
ISU STRATEGIS Kesehatan a. Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan dan Gizi yang Berkualitas bagi Ibu dan Anak Persentase Ibu Bersalin yang Ditolong oleh Tenaga Kesehatan Terlatih (cakupan PN) Persentase Bayi Usia 0-11 Bulan yang Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap Persentase Balita Ditimbang Berat Badannya (D/S) Jumlah Puskesmas yang Mendapatkan Bantuan Operasional Kesehatan b. Peningkatan Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular serta Penyehatan Lingkungan Persentase Kasus Baru TB Paru (BTA positif) yang Disembuhkan Angka Penemuan Kasus Malaria per 1.000 Penduduk Persentase Provinsi yang memiliki Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Jumlah Desa yang Melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) c. Peningkatan Profesionalisme dan PendayagunaanTenaga Kesehatan yang Merata Persentase Pemenuhan Kebutuhan SDM Aparatur (PNS dan PTT) Jumlah Tenaga Kesehatan yang Didayagunakan dan Diberi Insentif di DTPK dan di DBK d. Peningkatan Jaminan Pembiayaan Kesehatan Jumlah TT Kelas III RS yang Digunakan untuk Pelayanan Kesehatan (new initiave) Jumlah Puskesmas yang Memberikan Pelayanan Kesehatan Dasar bagi Penduduk Miskin e. Peningkatan Ketersediaan, Pemerataan, Keterjangkauan, Jaminan Keamanan, Khasiat/Manfaat dan Mutu Obat, Alat Kesehatan dan Makanan, serta Daya Saing Produk Dalam Negeri Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin f. Peningkatan Akses Pelayanan KB Berkualitas yang Merata Jumlah Peserta KB baru dari Keluarga Miskin (KPS dan KS-I) yang Mendapatkan Jaminan Ketersediaan Kontrasepsi (juta akseptor) Jumlah Klinik KB Pemerintah dan Swasta yang Mendapatkan Dukungan Sarana dan Prasarana Pelayanan KB Jumlah Klinik KB Pemerintah dan Swasta yang Mendapat Dukungan Penggerakan Pelayanan KB Persentase Komplikasi Berat dan Kegagalan KB yang Dilayani Jumlah PPLKB, PLKB/PKB dan IMP yang Mendapatkan Dukungan Operasional dan Mekanisme Operasional Lapangan Jumlah Peserta KB yang Berasal dari Anggota Kelompok BKB yang Mendapatkan Penggerakan Rintisan BKB dan Penguatan Kelembagaan BKB (New Inisiative) - Kelompok Rintisan - Kelompok Paripurna Jumlah provinsi sebagai model manajemen pelayanan KB dan kesehatan reproduksi (program KB Kencana) (New Inisiative)
16
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
2011
2012
2013
86,3
88
89
84,7
85
88
71,4 8.608
75 9.236
80 9.323
86,2
87
87
1,75 63,6
1,5 80
1,25 90
6.235
11.000
16.000
62,2
80
85
1.376
3.820
5.320
-
-
9.600
9.125
9.236
9.323
87
90
95
4,29
3,89
3,97
4.700
4.700
4.700
23.500
23.500
23.500
0,11 -
0,11 501.593
0,11 745.491
-
-
-
-
702 444 4
ISU STRATEGIS 2. Percepatan Pengurangan Kemiskinan: Sinergi klaster 1-4 a. Penurunan Angka Kemiskinan (%) Klaster I - PKH (juta RTSM) - Raskin (juta RTS)
2011
- Jamkesmas (juta RTS) - Beasiswa Miskin i. SD/MI s/d SMA/MA/SMK (ribu siswa) ii. PT Umum dan Islam (ribu mahasiswa) Klaster II - PNPM Perdesaan (Kecamatan) - PNPM Perkotaan (Desa/Kelurahan) Klaster III - Perluasan Kredit Usaha Rakyat i. Jumlah Provinsi ii. Jumlah UMKM Klaster IV - Pembangunan Perumahan Swadaya/Rumah Sangat Murah (ribu unit) Sumber: RKP 2013, Bappenas
2012
2013
12,5
10,5-11,5
9,5-10,5
1,116 17,5
1,516 17,5
8,61
9,24
2,4 17,52 15,53 9,33
4.950,5 239,5
7.698,6 303,9
14.068,0 186,0
5.020 10.948
5.100 10.948
5.230 10.922
33
33 27.520
33 27.520
60
298,25
Pemantapan Stabilitas Sosial dan Politik Perekonomian domestik yang kuat perlu didukung oleh kemantapan stabilitas sosial dan politik. Dalam rangka hal tersebut, reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan perlu terus ditingkatkan baik di pusat dan daerah. Reformasi birokrasi di daerah harus sejalan dengan pemantapan penataan otonomi daerah agar kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah makin meningkat, khususnya dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Sementara itu, kondisi sosial dan politik menuju pemilu 2014 juga perlu terus dijaga. Tantangan penyelenggaraan pemilu sangat besar dan masyarakat menaruh harapan luar biasa pada penyelenggaraan pemilu agar dapat berlangsung secara jujur, adil, demokratis dan aman. Tabel 2.5 Sasaran Pokok Isu Strategis Pemantapan Stabilitas Sosial dan Politik 1. 2.
ISU STRATEGIS Persiapan Pemilu 2014 — Tingkat Partisipasi Politik Tahun 2014 (%) Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi a. Indeks Persepsi Korupsi b. Opini WTP atas Laporan Keuangan (%) Kementerian/Lembaga Provinsi Kabupaten/Kota 2 3
2011
2012
2013 751)
3,0
3,2
4,0
63 18 8,5
80 40 20
100 60 40
Jan-Jun, PPLS 2008 Jul-Des, PPLS 2011 Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
17
ISU STRATEGIS Integritas Pelayanan Publik (Pusat) Integritas Pelayanan Publik (Daerah) Jumlah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Daerah (%) Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (%) Kementerian/Lembaga Provinsi Kabupaten/Kota g. Instansi Pemerintah yang Akuntabel (%) Kementerian/Lembaga Provinsi Kabupaten/Kota 3. Percepatan Pembangunan Minimum Essential Force Peningkatan Alutsista (%) a. Matra Darat b. Matra Laut c. Matra Udara Sumber: RKP 2013, Bappenas c. d. e. f.
18
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
2011 7,07 6,00 85
2012 7,25 6,5 90
2013 7,5 7,0 100
21 -
80 100 15
100 100 40
82,93 63,33 12,78
85 65 30
90 70 50
17 15 22
30 19 24
37 21 31
Foto: Humas Bappenas
BAB III KONDISI TERKINI DAERAH
BAB III KONDISI TERKINI DAERAH 3.1 Kondisi Ekonomi Nasional 3.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Pada tahun 2011, kinerja ekonomi Indonesia sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen, atau lebih tinggi dari tahun 2010 yang tumbuh 6,2 persen. Sementara itu, inflasi bisa ditekan hingga 3,8 persen, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 7,0 persen. Tingkat pengangguran terbuka serta penduduk miskin juga menurun hingga mencapai masing-masing sebesar 6,6 persen dan 12,5 persen. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 terutama ditopang oleh ketahanan domestik berupa investasi yang meningkat dan daya beli masyarakat yang terjaga serta ekspor barang dan jasa yang tetap tumbuh. Stabilitas ekonomi Indonesia pada tahun 2011 masih terjaga di tengah berbagai krisis eksternal. Di sisi pengeluaran, investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada tahun 2011 meningkat dengan pertumbuhan sebesar 8,8 persen. Pengeluaran pemerintah juga meningkat sebesar 3,2 persen. Sementara itu, konsumsi masyarakat tetap tumbuh sebesar 4,7 persen, sama dengan tahun sebelumnya. Di lain pihak, ekspor dan impor tumbuh melambat karena dampak dari krisis global, dimana pertumbuhannya masing-masing sebesar 13,6 persen dan 13,3 persen. Di sisi produksi, sektor pertanian tumbuh 3,0 persen dan sektor industri pengolahan diperkirakan tumbuh 6,2 persen. Sektor tersier yang meliputi listrik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan telekomunikasi; keuangan, real estat dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa tumbuh masing-masing sebesar 4,8 persen; 6,7 persen; 9,2 persen; 10,7 persen; 6,8 persen; serta 6,7 persen. Kemudian pada Triwulan I tahun 2012, perekonomian Indonesia tetap tumbuh baik dengan laju sebesar 6,3 persen. Konsumsi masyarakat dan investasi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di sisi pengeluaran, dimana kontribusi keduanya terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,1 persen. Di sisi produksi, sektor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Pada tahun 2012 ini, sasaran pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 6,5 persen. Tingkat pertumbuhan ini diperkirakan dikontribusikan oleh antara lain pertumbuhan konsumsi masyarakat sebesar 4,9 persen, konsumsi pemerintah sebesar 6,8 persen dan PMTB sebesar 10,9 persen. Sementara itu ekspor dan impor diperkirakan hanya tumbuh sebesar 9,9 persen
22
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
dan 11,4 persen dikarenakan kondisi ekonomi dunia yang masih belum pulih. Tabel 3.1 Gambaran Ekonomi Makro Tahun 2010 – 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI ( persen) Sisi Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Konsumsi Pemerintah PMTB Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa Sisi Produksi Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, Jasa Usaha Jasa-jasa LAJU INFLASI ( persen) PENGANGGURAN TERBUKA ( persen) PENDUDUK MISKIN ( persen) Sumber: Bappenas (RKP 2013)
2010 6,2
2011 6,5
2012 (Sasaran) 6,5
4,7 0,3 8,5 15,3 17,3
4,7 3,2 8,8 13,6 13,3
4,9 6,8 10,9 9,9 11,4
3,0 3,6 4,7 5,3 7,0 8,7 13,4 5,7 6,0 7,0 7,1 13,3
3,0 1,4 6,2 4,8 6,7 9,2 10,7 6,8 6,7 3,8 6,6 12,5
3,5 2,0 6,1 6,2 7,0 8,9 11,2 6,3 6,2 6,8 6,4-6,6 10,5-11,5
Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tahun 2012 diperkirakan dikontribusikan oleh antara lain pertumbuhan sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan masingmasing sebesar 3,5 persen, 2,0 persen dan 6,1 persen. Sementara itu sektor listrik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan telekomunikasi; keuangan, real estat dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 6,2 persen; 7,0 persen; 8,9 persen; 11,2 persen; 6,3 persen dan 6,2 persen.
3.1.2 Tingkat Kemiskinan Secara nasional, jumlah penduduk miskin selama periode 2006-2012 mengalami penurunan yang signifikan, dari 39,3 juta jiwa pada 2006 menjadi 29,13 juta jiwa pada 2012 sehingga selama periode tersebut jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 10,17 juta jiwa atau secara rata-rata sebesar 1,45 juta jiwa per tahun (Gambar 3.1). Tren yang serupa juga terjadi dalam perkembangan persentase penduduk miskin dalam periode yang sama, dimana terjadi penurunan yang tajam dari sekitar 17,75 persen pada 2006 menjadi sekitar 11,96 persen pada 2012. Dengan demikian, selama periode 2006-2012 terjadi penurunan persentase penduduk miskin sekitar 32,6 persen atau secara rata-rata sekitar 4,65 persen per tahun.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
23
Gambar 3.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Tahun 2006 - 2012 45
39,3
40
37,17
35
34,96
32,53
31,02
30,02
29,13
14,15
13,33
12,49
11,96
2009
2010
2011
2012
30 25
17,75
20
16,58
15,42
15 10 5 0 2006
2007
2008
Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Sumber: BPS
Dengan menggunakan data kemiskinan yang mutakhir (Susenas, Maret 2012), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret tahun 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96 persen). Apabila dibandingkan dengan perhitungan jumlah penduduk miskin berdasarkan Susenas Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta (12,49 persen) maka terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0,13 juta orang selama periode Maret 2011 – Maret 2012. Selama periode tersebut, jumlah penduduk miskin menurut kawasan baik perkotaan maupun perdesaan masing-masing turun menjadi 3,61 persen dan 2,6 persen. Jumlah penduduk miskin di perkotaan berkurang sebesar 0,40 juta orang, sementara di perdesaan berkurang sebesar 0,49 juta orang (Tabel 3.2). Selama periode tersebut, persentase penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Tabel 3.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kawasan Kawasan Perkotaan Maret 2011 September 2011 Maret 2012 Perdesaan Maret 2011 September 2011 Maret 2012 Perkotaan+Perdesaan Maret 2011 September 2011 Maret 2012 Sumber: BPS
24
Jumlah Penduduk Miskin (Juta)
Persentase Penduduk Miskin (%)
11,05 10,95 10,65
9,23 9,09 8,78
18,97 18,94 18,48
15,72 15,59 15,12
30,02 29,89 29,13
12,49 12,36 11,96
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) inflasi umum yang relatif rendah, (2) penurunan harga eceran beberapa komoditas bahan pokok, (3) perbaikan penghasilan petani yang ditunjukkan dengan naiknya nilai tukar petani, (4) terjaganya kinerja pertumbuhan ekonomi nasional sampai dengan triwulan III dan (5) penurunan tingkat pengangguran terbuka. Berdasarkan wilayah, persentase penduduk miskin terbesar di Wilayah Maluku dan Papua, yaitu sebesar 24,77 persen, sementara persentase penduduk miskin terkecil di Wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 6,69 persen. Namun demikian, apabila dilihat dari jumlah penduduk maka sebagian besar penduduk miskin terkonsentrasi di Wilayah Jawa, yaitu sebesar 16,11 juta orang, sementara jumlah penduduk miskin terkecil berada di Wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 0,95 juta orang (Tabel 3.3). Tabel 3.3 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah (Maret 2012) Pulau Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia
Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa) Kota Desa Kota+Desa 2.075,54 4.225,33 6.300,87 7.209,94 8.897,26 16.107,20 640,23 1.393,71 2.033,94 266,15 688,42 954,57 341,04 1.756,20 2.097,24 114,33 1.524,27 1.638,60 10.647,23 18.485,19 29.132,42
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+Desa 10,15 13,30 12,07 8,84 15,46 11,57 12,13 17,03 15,11 4,41 8,37 6,69 5,70 14,86 11,78 5,88 32,64 24,77 8,78 15,12 11,96
Sumber: BPS
Pada periode Maret 2011–Maret 2012 secara umum terjadi perbaikan kondisi penduduk miskin yang ditunjukkan adanya penurunan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Nilai P1 turun dari 2,08 pada Maret 2011 menjadi 1,88 pada Maret 2012, sementara nilai P2 turun dari 0,55 menjadi 0,47 pada periode yang sama (Tabel 3.4). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan serta berkurangnya ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Berdasarkan kawasan, nilai P1 dan P2 di perdesaan masih tetap lebih tinggi daripada di perkotaan. Pada Maret 2012, nilai P1 untuk perkotaan hanya 1,40 sementara di perdesaan mencapai 2,36. Selanjutnya, nilai P2 untuk perkotaan hanya 0,36 sementara di perdesaan mencapai 0,59. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan lebih buruk daripada di perkotaan.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
25
Tabel 3.4 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Kawasan Indeks
Kota
Desa
Kota+Desa
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Maret 2011 September 2011 Maret 2012
1,52 1,48 1,40
2,63 2,61 2,36
2,08 2,05 1,88
0,39 0,39 0,36
0,70 0,68 0,59
0,55 0,53 0,47
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Maret 2011 September 2011 Maret 2012 Sumber: BPS
3.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka Secara nasional, tingkat pengangguran terbuka (TPT) cenderung terus menurun selama lima tahun terakhir. Pada bulan Februari 2012 TPT nasional telah mencapai 6,32 persen, menurun cukup tinggi dari TPT pada tahun 2008 yang masih sebesar 8,46 persen. Antara 2011 – 2012, jumlah angkatan kerja bertambah 1,01 juta orang menjadi sebesar 120,41 juta. Dalam kurun waktu tersebut jumlah kesempatan kerja baru yang tercipta sebesar 1,52 juta orang, sehingga dengan demikian jumlah penganggur menurun sekitar 500 ribu orang.
Juta Orang
Gambar 3.2 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Tahun 2008 – 2012 140
14%
120
12%
100
10%
80
8,46%
8% 8,14%
60
7,41%
6,80%
6% 6,32%
40
4%
20
2%
0
0% 2008
2009 Angkatan Kerja
2010 Bekerja
Sumber: Sakernas, BPS
26
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
2011 Penganggur Terbuka
2012 TPT
3.2 Kondisi Ekonomi Daerah 3.2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Daerah Ukuran pasar domestik di dalam perekonomian daerah tergambar dari besarnya nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk. Pasar yang besar memiliki daya tarik yang lebih tinggi bagi investor karena menawarkan beberapa keuntungan (agglomeration economies). Pertama, pasar yang besar memfasilitasi para pelaku usaha untuk berproduksi pada skala ekonomi yang optimal. Kondisi ini akan meningkatkan daya saing perusahaanperusahaan di daerah tersebut karena mampu berproduksi secara lebih efisien. Kedua, semakin besar ukuran pasar semakin besar pula kemungkinan terjadinya linkages atau keterkaitan, baik keterkaitan ke belakang maupun keterkaitan ke depan. Di perekonomian yang besar, para pelaku usaha akan lebih mudah menemukan pembeli, penyuplai bahan baku, maupun industri pengguna produknya untuk diolah lebih lanjut. Ketiga, daerah-daerah dengan populasi besar juga memfasilitasi berfungsinya pasar tenaga kerja secara lebih efisien. Dalam hal ini pengusaha akan lebih mudah menemukan tenaga kerja dengan spesialisasi yang sesuai dengan kebutuhan di daerah padat penduduk dibandingkan dengan di daerah berpenduduk sedikit. Bagi pekerja kondisi ini juga memberikan manfaat bagi peningkatan spesialisasi. Kondisi ini berpotensi meningkatkan produktivitas dalam perekonomian. Keuntungan aglomerasi yang terakhir adalah adanya eksternalitas positif dari terkonsentrasinya industri dan investasi di suatu lokasi, berupa limpahan (spillover) informasi dan pengetahuan. Gambar 3.3 PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2010 12 8
600
4 300
Persen
Rp Triliun
900
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
-
PDRB ADHB Th. 2010 (Rp Trilyun)
(4)
Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi 2005-2010
Sumber: BPS
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
27
Pola di atas juga nampak dalam kinerja perekonomian daerah (provinsi) di Indonesia. PDRB provinsi-provinsi di Jawa mendominasi PDRB provinsi-provinsi lainnya dalam hal peran PDRB terhadap perekonomian nasional. DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah tiga provinsi dengan PDRB terbesar, masing-masing berperan sebesar 16,4 persen, 14,8 persen dan 14,7 persen terhadap perekonomian nasional (total PDRB 33 provinsi). Sementara itu Maluku Utara, Gorontalo dan Maluku merupakan tiga provinsi dengan PDRB terkecil secara nasional dengan peran masing-masing kurang dari 0,2 persen. Provinsi-provinsi di Jawa juga masih merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Wilayah lain yang memiliki kinerja pertumbuhan baik adalah Sulawesi. Bahkan dalam lima tahun terakhir kinerja pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Sulawesi termasuk yang paling tinggi di antara provinsi-provinsi lainnya. Bila kecenderungan ini terus berlanjut maka peran Wilayah Sulawesi yang saat ini relatif kecil akan semakin meningkat dan semakin penting sebagai pendorong pertumbuhan Wilayah Kawasan Timur Indonesia.
3.2.2 Tingkat Kemiskinan Per Provinsi Secara geografis, konsentrasi penduduk miskin pada tahun 2011 masih berada di Wilayah Jawa, terutama di Jawa Barat (4,7 juta jiwa), Jawa Tengah (5,1 juta jiwa) dan Jawa Timur (5,4 juta jiwa). Diluar ketiga provinsi tersebut masih terdapat provinsi-provinsi lain dengan jumlah penduduk miskin lebih dari 1 juta orang, yaitu Sumatera Utara (1,4 juta jiwa), Sumatera Selatan (1,07 juta jiwa), Lampung (1,2 juta jiwa) dan Nusa Tenggara Timur (1,01 juta jiwa). Secara nasional, Jawa Timur memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, sedangkan Papua memiliki persentase penduduk miskin terbesar (Gambar 3.4). Gambar 3.4 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Per Provinsi Tahun 2011 6,0
35 30 25 20 15 10 5 0
5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
0,0
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa) Sumber: BPS
28
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Persentase Penduduk Miskin (%)
Dalam publikasi yang berjudul Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, 2012, Badan Pusat Statistik (BPS) telah memetakan kabupaten/kota di masingmasing provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin tertinggi dan terendah pada 2010. Dari pemetaan tersebut tercatat bahwa kabupaten Deyai di provinsi Papua memiliki persentase penduduk miskin tertinggi secara nasional, yaitu sekitar 49,58 persen, sedangkan kota Tangerang Selatan memiliki persentase penduduk miskin terendah, yaitu sekitar 1,67 persen. Tabel 3.5 Kabupaten/Kota Dengan Persentase Penduduk Miskin Tertinggi dan Terendah Per Provinsi Tahun 2010 Provinsi
Kabupaten/Kota
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara
Kab. Bener Meriah Kota Gunungsitoli Kab. Kepulauan Mentawai Kab. Kepulauan Meranti Kab. Lingga Kab. Tanjung Jabung Timur Kab. Musi Banyuasin Kab. Belitung Timur Kab. Bengkulu Selatan Kab. Lampung Utara Kab. Kepulauan Seribu Kota Tasikmalaya Kab. Pandeglang Kab. Purbalingga Kab. Kulon Progo Kab. Sampang Kab. Jembrana Kab. Lombok Utara Kab. Sabu Raijua Kab. Landak Kab. Barito Timur Kab. Hulu Sungai Utara Kab. Malinau Kab. Bolaang Mongondow Selatan Kab. Boalemo Kab. Tojo Una Una Kab. Pangkajene Kepulauan Kab. Polewali Mamasa Kab. Kolaka Utara Kab. Maluku Barat Daya Kab. Halmahera Tengah Kab. Deiyai Kab. Teluk Bintuni
Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Tertinggi % 26,23 33,87 19,77 42,57 15,83 12,41 20,06 10,36 22,64 28,19 13,07 20,71 11,14 24,58 23,15 32,47 8,11 43,14 41,16 14,06 10,51 7,76 15,31 18,84 19,84 24,07 19,26 21,24 20,06 39,28 24,57 49,58 47,62
Kabupaten/Kota Kota Banda Aceh Kab. Deli Serdang Kota Sawahlunto Kota Pekan Baru Kab. Kepulauan Anambas Kota Sungai Penuh Kab. OKU Timur Kab. Bangka Barat Bengkulu Tengah Kab. Tulangbawang Barat Kota Jakarta Timur Kota Depok Kota Tangerang Selatan Kota Semarang Kota Yogyakarta Kota Batu Kota Denpasar Kota Bima Kab. Flores Timur Kab. Sanggau Kota Palangka Raya Kab. Banjar Kota Balikpapan Kota Manado Kota Gorontalo Kota Palu Kota Makassar Kab. Mamuju Utara Kota Kendari Kota Ambon Kota Ternate Kab. Merauke Kota Sorong
Terendah % 9,19 5,34 2,48 4,20 4,80 3,64 9,81 5,25 6,43 7,63 3,40 2,84 1,67 5,12 9,75 5,11 2,21 12,80 9,61 5,02 5,31 3,34 4,07 6,51 5,49 9,98 5,86 6,20 8,02 7,67 4,53 14,54 14,03
Sumber : BPS
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
29
Dari data tersebut terlihat pula bahwa terdapat 5 (lima) provinsi yang memiliki kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin tertinggi diatas 40 persen, yaitu Riau, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Selanjutnya, nilai terendah persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat sekitar 14 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai persentase penduduk miskin kabupaten/kota baik nilai tertinggi maupun terendah, tingkat kemiskinan di Wilayah Indonesia Timur sangat serius sehingga memerlukan perhatian yang khusus baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
3.2.3 Tingkat Pengangguran Per Provinsi Distribusi Regional Berdasarkan Sakernas Agustus 2011, jumlah tenaga kerja yang berstatus penganggur di Indonesia adalah sebanyak 7,7 juta orang, yang merupakan 6,56 persen dari keseluruhan angkatan kerja yang berjumlah sekitar 117,37 juta orang. Distribusi jumlah penganggur menurut masing-masing provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Banten
Jawa Barat
DKI Jakarta
Maluku
Kalimantan Timur
Riau
Sulawesi Utara
NAD
Sulawesi Selatan
Papua Barat
INDONESIA
Sumatera Utara
Kep. Riau
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Maluku Utara
TPT 2010
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Kep. Bangka Belitung
Jambi
Lampung
Nusa Tenggara Barat
Gorontalo
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Bengkulu
Sulawesi Tengah
Jawa Timur
Papua
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
Bali
Sulawesi Barat
3,06 3,25 3,34 3,55 4,14 4,25 4,59 4,61 4,61 4,62 5,16 5,25 5,29 5,39 5,57 5,63 5,69 6,03 6,21 6,65 6,90 6,95 7,14 7,43 7,68 8,37 8,37 8,72 9,61 9,97 10,10 10,33 11,05 13,68
2,86 2,70 2,67 3,72 3,66 4,18 3,41 4,27 4,34 4,99 4,61 5,62 5,35 3,85 5,24 3,25 5,47 5,62 6,07 6,07 7,04 7,14 6,56 7,18 8,28 8,27 6,69 7,17 9,19 7,72 10,21 9,84 10,83 13,50
Gambar 3.5 Tingkat Pengangguran Terbuka Per Provinsi (%) Tahun 2010 - 2011
TPT 2011
Sumber: Sakernas, BPS
Konsentrasi penganggur di Indonesia berada di Wilayah Indonesia Barat. Mayoritas penganggur yang berada di Pulau Jawa dan Bali berjumlah 5,08 juta orang atau sekitar 64,0 persen dari total penganggur Indonesia. Sementara itu penganggur di Pulau Sumatera
30
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
berjumlah sekitar 1,44 juta orang, atau sekitar 18,5 persen dari total penganggur Indonesia. Dua bagian kawasan barat Indonesia ini telah menampung sekitar 85,0 persen total penganggur Indonesia atau 6,52 juta. Provinsi dengan jumlah penganggur terbesar adalah Jawa Barat (1,9 juta orang), diikuti oleh Jawa Tengah (1,0 juta orang) dan juga Jawa Timur (821,6 ribu orang). Tiga provinsi ini memberikan kontribusi hampir sekitar 50 persen penganggur yang ada di Indonesia. Distribusi Pengangguran Kota-Desa Berdasarkan distribusi pengangguran kota-desa di setiap provinsi, konsentrasi pengangguran di daerah perkotaan secara umum terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Tingkat pengangguran di daerah perkotaan secara nasional adalah 8,22 persen sementara di daerah perdesaan adalah 4,96 persen. Kecuali provinsi Jambi dan NAD, yang memiliki tingkat penganggurannya lebih tinggi di daerah perdesaan. Gambar 3.6 Jumlah Penganggur Berdasarkan Perkotaan dan Perdesaan (Ribu Orang) Sulawesi Barat Bengkulu Gorontalo Maluku Utara Kalimantan Tengah Kep. Bangka Belitung Jambi Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Papua Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua NAD Kalimanta Barat Bali Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Kep. Riau DI Yogyakarta Sumatera Barat Riau Sulawesi Selatan Lampung Sumatera Selatan Kalimantan Timur Sumatera Utara Jawa Timur Banten Jawa Tengah DKI Jakarta Jawa Barat
11,461 13,651 11,315 15,499 17,488 8,297 46,194 18,357 37,064 13,429 33,174 25,320 28,762 111,594 46,083 11,599 61,658 47,211 36,225 7,855 14,844 65,620 56,147 135,811 104,609 99,410 50,740 134,992 404,509 187,112
4,122 7,564 Perdesaan 8,502 10,235 11,398 13,767 13,975 14,094 15,617 19,602 24,825 26,461 31,739 37,192 40,54 40,785 48,884 53,544 57,258 58,318 59,473 77,168 80,075 101,115 109,156 118,159 122,953 267,133 417,037 493,452 504,551 555,408
619,734
1.000,000
Perkotaan
1282,109
500,000
0,000
500,000
1.000,000
1.500,000
Sumber: Sakernas, BPS Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
31
Untuk daerah-daerah tertentu, seperti provinsi Papua Barat, Banten, Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Maluku, DKI Jakarta dan Jawa Barat, tingkat penganggurannya diatas 10,0 persen. Sementara daerah yang tingkat penganggurannya dibawah 5,0 persen adalah DI Yogyakarta, Kep. Bangka Belitung, Jawa Timur, Sulawesi Barat, Jambi, Kalimantan Tengah, Bali dan Bengkulu. Provinsi Banten, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat memiliki tingkat pengangguran yang hampir sama antara di kota dan desa. Gambaran daerah lainnya, seperti Papua, Lampung, Sumatera utara, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara, merupakan provinsi dengan tingkat pengangguran antara kota dan desa yang perbedaannya sangat besar.
3.3 Kondisi Daya Beli Masyarakat 3.3.1 Pertumbuhan Konsumsi Masyarakat Konsumsi masyarakat mengalami pertumbuhan positif di semua provinsi selama periode 2006-2009, namun dengan kisaran yang cukup lebar. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tertinggi terjadi di provinsi Kepulauan Riau dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 14,2 persen, sedangkan pertumbuhan konsumsi terendah terjadi di NAD sebesar 0,82 persen. Sebanyak dua belas provinsi mengalami pertumbuhan konsumsi cukup tinggi di atas 7 persen, sebagian besar di Wilayah luar Jawa. Hal ini menandakan meningkatnya daya beli masyarakat secara riil di wilayah-wilayah tersebut.
16
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 -
14
Persen
12 10 8 6 4 2 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
0
Juta Rp
Gambar 3.7 Pertumbuhan Konsumsi dan Konsumsi per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2009
Konsumsi Rumah Tangga Per Kapita (ADHB) Tahun 2009 (Juta Rp)
Sumber : BPS diolah
32
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Rata-rata pertumbuhan konsumsi 2006-2009 (%) - sisi kiri
Sementara itu enam provinsi mengalami pertumbuhan konsumsi relatif rendah, kurang dari 4 persen per tahun dan lima belas provinsi sisanya mengalami pertumbuhan konsumsi relatif moderat antara 4 sampai 7 persen. Bila kinerja pertumbuhan ini dikaitkan dengan tingkat konsumsi per kapita maka terlihat kecenderungan pemerataan daya beli masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh relatif tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada provinsiprovinsi dengan tingkat konsumsi per kapita relatif rendah, khususnya di Wilayah Indonesia Timur. Namun demikian di daerah-daerah tersebut investasi dan perdagangan perlu tumbuh lebih tinggi agar pertumbuhan konsumsi ini berkelanjutan.
3.3.2 Peran Konsumsi Masyarakat Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Peran konsumsi masyarakat dalam pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilihat dari pangsanya dalam PDRB dan laju pertumbuhannya. Pangsa konsumsi rumah tangga dalam PDRB bervariasi antar provinsi, dari yang terkecil 15,8 persen di Kalimantan Timur hingga yang terbesar 86,4 persen di Nusa Tenggara Timur. Pangsa konsumsi yang rendah di Kalimantan Timur disebabkan oleh tingginya pangsa ekspor sumber daya alam dalam PDRB. Kondisi serupa ditemui di Provinsi NAD dan Riau. Sementara itu tingginya pangsa konsumsi rumah tangga dalam perekonomian Nusa Tenggara Timur menggambarkan relatif belum berkembangnya kegiatan investasi dan kegiatan produktif yang menghasilkan komoditi ekspor daerah. Hal serupa juga terjadi di Provinsi Maluku Utara, Maluku dan Sulawesi Barat. Gambar 3.8 Rata-rata Peran Konsumsi Rumah Tangga Dalam Sumber Pertumbuhan PDRB Tahun 2006 - 2009 120
Persen
100 80 60 40 20 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
0
Rata-Rata Peran Konsumsi dalam Sumber Pertumbuhan PDRB (persen) Sumber: BPS diolah
Selama periode 2006-2009 peran konsumsi rumah tangga dalam sumber pertumbuhan daerah sangat bervariasi antar provinsi. Namun demikian di sebagian besar provinsi, konsumsi Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
33
rumah tangga berperan besar dalam mendorong perekonomian daerah. Pada 24 provinsi, lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi daerah bersumber dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Bahkan di tiga provinsi, yakni Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Riau, peran konsumsi rumah tangga dalam sumber pertumbuhan daerah melebihi 100 persen. Sementara itu di provinsi NAD dan Papua yang mengalami pertumbuhan ratarata negatif pada periode tersebut, pertumbuhan konsumsi berperan sangat besar dalam mencegah perekonomian berkontraksi lebih parah. Hal ini menandakan pentingnya peran konsumsi masyarakat dalam menyangga kinerja perekonomian domestik. Implikasi kebijakan yang bisa dipetik adalah pentingnya mempertahankan dan meningkatkan daya beli masyarakat secara berkelanjutan. Oleh karena itu, investasi dan pertumbuhan sektor riil perlu terus digalakkan di daerah.
3.4 Kondisi Perdagangan dan Investasi 3.4.1 Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional Pada tahun 2011, ekspor nasional mencapai 203,5 miliar USD. Provinsi yang memberikan kontribusi terbesar dalam ekspor adalah Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Riau dengan kontribusi masing-masing sebesar 18,8 persen, 13,4 persen dan 10,4 persen. Ketiga provinsi tersebut menyumbang ekspor nasional mencapai 42,5 persen. Adapun ekspor Kalimantan Timur, Riau dan beberapa provinsi lainnya melakukan sebagian besar ekspornya di pelabuhan muat provinsi asal. Sementara Jawa Barat dan Banten merupakan daerah yang sebagian besar ekspornya dimuat di pelabuhan provinsi lain. Gambar 3.9 Kontribusi Ekspor Daerah Terhadap Nasional Tahun 2011 18,8
20,0 16,0
13,4 10,4
12,0 8,0 4,0
5,6 0,7
8,7 6,8
1,2
5,4 2,3 2,5
1,5
0,2
1,6
4,8 2,6 0,1
0,3 0,6 0,0 1,0 0,7
0,5 - 0,2 1,0 - 0,5 0,1 0,3
1,8 1,5
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kep. Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah Di Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
-
5,0
Pelabuhan Muat Prov. Asal
Pelabuhan Muat Prov. Lain
Sumber: BPS
34
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Ekspor Berdasarkan Provinsi
3.4.2 Investasi (PMTB) Per Provinsi Daerah-daerah dengan populasi besar dan kepadatan tinggi serta memiliki kinerja pertumbuhan tinggi mampu menarik investasi relatif besar dibandingkan daerah lain. Hal ini tampak dari distribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menurut provinsi, di mana secara rata-rata antara tahun 2005-2009 DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan tiga provinsi penyerap investasi terbesar dengan pangsa sebesar 26,9 persen, 12,1 persen dan 11,4 persen.
300
50
240
40
180
30
120
20
60
10 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
-
Juta Jiwa
Triliun Rp
Gambar 3.10 PMTB dan Jumlah Penduduk Tahun 2005 – 2009
Pembentukan Modal Tetap Bruto Th. 2009
Jumlah Penduduk (Juta Jiwa)
Sumber: BPS
10
240
8
180
6
120
4
60
2
-
-
Log Kepadatan Penduduk
300
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Triliun Rp
Gambar 3.11 PMTB dan Kepadatan Penduduk Tahun 2005 – 2009
Pembentukan Modal Tetap Bruto Th. 2009 (Trilyun Rp)
Log Kepadatan Penduduk (Jiwa/km persegi)
Sumber: BPS Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
35
Provinsi-provinsi lainnya yang memiliki peranan investasi relatif besar adalah Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan di Kawasan Barat Indonesia, serta Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan di Kawasan Timur Indonesia. Kinerja perekonomian daerah juga tampak dari pangsa industri pengolahan dalam PDRB yang menggambarkan tingkat industrialisasi daerah. Secara umum provinsi-provinsi di Wilayah Jawa memiliki pangsa industri pengolahan relatif tinggi yang menggambarkan perannya sebagai pusat industri nasional. Pangsa industri pengolahan di DKI Jakarta terlihat cukup rendah, namun hal ini lebih karena struktur perekonomian Jakarta lebih didominasi sektorsektor jasa, khususnya keuangan dan perdagangan. Di samping itu, perkembangan kawasan perkotaan Jakarta yang semakin padat membuat kawasan industri menyebar di kota-kota di sekitar Jakarta dan membentuk kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Gambar 3.12 Share Industri Pengolahan Dalam PDRB 50 40 30 20 10
Papua
Papua Barat
Maluku
Maluku Utara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat
Bali
Nusa Tenggara Barat
Banten
Jawa Timur
DI. Yogyakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Kep. Riau
DKI Jakarta
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Sumatera Selatan Bengkulu
Riau
Jambi
Sumatera Barat
NAD
Sumatera Utara
-
Share Industri Pengolahan dalam PDRB (%) Sumber: BPS
Beberapa daerah di luar Jawa yang memiliki pangsa industri pengolahan cukup tinggi adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kepulauan Riau. Hal ini menunjukkan potensi pengembangan industri pengolahan di daerah-daerah tersebut cukup besar. Beberapa daerah seperti Kalimantan Timur dan Papua Barat juga memiliki pangsa industri pengolahan cukup tinggi, namun hal itu karena besarnya kegiatan industri pengolahan migas.
36
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
3.5 Kondisi Infrastruktur Daerah 3.5.1 Infrastruktur Jalan Panjang Jalan di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 458.828,07 km yang terdiri dari jalan tol 761,45 km, jalan nasional sepanjang 38.569,84 km, jalan provinsi sepanjang 49.280,93 km dan jalan kabupaten/kota sepanjang 370.215,85 km. Dari total panjang jalan yang ada, 50,8 persen dalam kondisi tidak mantap (rusak ringan dan rusak berat). Tabel 3.6 Kondisi Mantap Jalan Tahun 2010 Jalan
Panjang Total (km)
Jalan Tol Jalan Nasional Jalan Provinsi
Kondisi Mantap
Kondisi Tidak Mantap
761,45
761,45
100,0%
-
0,0%
38.569,84
33.833,78
87,7%
4.736,06
12,3%
49.280,93
19.742,31
40,1%
29.538,62
59,9%
Jalan Kabupaten/Kota
370.215,85
171.361,68
46,3%
198.854,17
53,7%
TOTAL
458.828,07
225.699,21
49,2%
233.128,85
50,8%
Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2010
Wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku menghadapi keterbatasan prasarana dan sarana transportasi terutama jalan. Rasio kerapatan jalan (rasio panjang jalan dan luas wilayah daratan) di Wilayah Papua, Maluku dan Kalimantan relatif rendah sehingga perlu percepatan pembangunan jalan. Sementara, rasio kapasitas jalan (rasio panjang jalan dan jumlah unit kendaraan roda 4) di Wilayah Jawa-Bali relatif rendah sehingga perlu pengembangan transportasi masal untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Gambar 3.13 2 Rasio Kerapatan Jalan (km/km ) Tahun 2011 1,80 1,60
1,52
1,40 1,20 1,00 0,80 0,60
0,42
0,40
0,06
0,20
Papua
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Maluku
Kalimantan Barat
Maluku Utara
Sumatera Selatan
Jambi
Sulawesi Tenggara
Kep. Bangka Belitung
Riau
Sualwesi Tengah
NAD
Kalimantan Selatan
Bengkulu
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
Nusa Tenggara Barat
Lampung
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Kepulauan Riau
Banten
Jawa Barat
Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
-
Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2011 Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
37
Gambar 3.14 Rasio Kapasitas Jalan (km/unit) Tahun 2011 180,00
175,64
160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00
18,38 Sulawesi Tengah
Papua
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
NAD
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Maluku
Sumatera Barat
Lampung
Bengkulu
Nusa Tenggara Barat'
Banten
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Riau
Kepulauan Riau
DI Yogyakarta
Kalimantan Tengah
Bali
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Maluku Utara
0,45
-
Nusa Tenggara Timur
20,00
Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2011
Berdasarkan kondisi kualitas jalan nasional, sebagian besar kondisi mantap jalan telah mengalami peningkatan dengan rata-rata di atas 86 persen, walaupun selama periode 20052011 kondisi jalan tidak mantap (rusak ringan dan rusak berat) cenderung meningkat. Kondisi tersebut akibat adanya penambahan panjang jalan nasional sepanjang 5.439,63 km, baik karena pembangunan baru, juga adanya perubahan status jalan provinsi menjadi jalan nasional. Namun secara umum kondisi kemantapan jalan nasional sangat memadai. Tabel 3.7 Kondisi Jalan Nasional Pada Tahun 2005 dan 2011 Panjang Jalan (km)
Pulau
Sumatera Jawa+Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Nasional
2005 10.429,8 5.389,5 1.795,8 5.538,2 6.844,8 1.255,5 1.876,5 33.130,2
2011 11.568,1 6.146,2 2.038,9 6.363,6 7.799,8 1.578,6 3,074,7 38.659,8
Jalan Tidak Mantap Tahun 2005 Km 724,85 341,86 118,52 609,83 175,75 68 260,26 2.299,07
% 6,9 6,3 6,6 11,0 2,6 5,4 13,9 6,9
Jalan Tidak Mantap Tahun 2011 Km 1.370,17 386,54 114,89 657,90 936,51 267,81 1.002,28 4.736,10
% 11,8 6,3 5,6 10,3 12,0 17,0 32,60 12,3
Sumber: Direktorat Bina Program, Kementerian PU, 2011
Kondisi sebaliknya terjadi pada kualitas jalan daerah (provinsi dan kabupaten/kota), dimana seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, jalan tersebut menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk pelaksanan pemeliharaan dan pembangunannya. Berdasarkan data kondisi
38
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
kualitas jalan, jalan provinsi dengan total panjang jalan mencapai 49.280,93 km memiliki ratarata kondisi jalan tidak mantap 40,1 persen dan jalan kabupaten/kota dengan total panjang jalan mencapai 370.215,85 km memiliki rata-rata kondisi jalan tidak mantap 46,3 persen. Berdasarkan perbandingan jalan tidak mantap antar wilayah, jalan tidak mantap baik jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota, tertinggi terdapat di Wilayah Papua, Maluku dan Sulawesi dengan kondisi jalan tidak mantap rata-rata di atas 55 persen. Kondisi akan sangat menghambat mobilitas barang dan penumpang dan berdampak terhadap kinerja perekonomian daerah. Tabel 3.8 Kondisi Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota Tahun 2010 Pulau
Panjang Jalan Provinsi
Jalan Tidak Mantap 2010
16.046,07 9.521,81 6.888,13 6.274,65 4.462,77 2.766,80 3.320,70 49.280,93
7.189,51 1.148,21 2.997,30 3.246,65 1.615,04 1.976,21 1.569,39 19.742,31
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali-NT Maluku Papua TOTAL
%
Panjang Jalan Kabupaten/Kota
44,8 12,1 43,5 51,7 36,2 71,4 47,3 40,1
Jalan Tidak Mantap 2010
134.097,0 83.999,1 40.929,4 57.611,7 26.602,5 8.853,3 18.123,0 370.215,85
%
65.163,31 28.586,76 18.674,02 30.345,79 12.622,17 4.461,86 11.507,78 171.361,68
48,6 34,0 45,6 52,7 47,4 50,4 63,5 46,3
Sumber: Direktorat Bina Program, Kemen PU, 2010
Gambar 3.15 Perbandingan Kondisi Jalan Nasional dan Daerah (%) 100,0% 90,0% 80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0% Sumatera
Jawa
Bali-Nusa Tenggara
Jalan Nasional Kondisi Mantap
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Jalan Daerah Kondisi Mantap
Sumber: Kementerian PU
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
39
Panjang jalan nasional yang hanya 8,4 persen dari total panjang jalan yang ada, memiliki kondisi mantap mencapai 87,7 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi jalan daerah (jalan provnsi dan jalan kabupaten/kota), dengan panjang total mencapai 419.496,78 km (91,4 persen dari total panjang jalan yang ada), kondisi kemantapan jalan hanya mencapai 54,4 persen. Kondisi tersebut mengakibatkan kurang efektif dan efisiennya distribusi barang dan orang serta sistem logistik di daerah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di deerah. Sementara perbandingan kondisi jalan nasional dan daerah ditunjukkan pada Gambar 3.15.
3.5.2 Infrastruktur Udara Jumlah bandar udara di Indonesia adalah sebanyak 514 bandara, dimana jumlah bandara terbesar terdapat di Provinsi Papua yang mencapai 202 bandara termasuk bandara perintis dan Papua Barat sebanyak 36 bandara. Moda transportasi udara merupakan alat transportasi utama untuk daerah dengan kondisi alam pegunungan dan kepulauan seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat. Tabel 3.9 menerangkan jumlah bandara di Indonesia berdasarkan per provinsi. Tabel 3.9 Jumlah Bandara Per Provinsi Tahun 2010 Provinsi NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali
Jumlah Bandara 14 10 5 7 3 5 2 5 2 7 1 13 5 2 7 3 2
Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timus Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total
Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, Kemenhub, 2010
40
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Jumlah Bandara 5 15 52 14 46 5 8 8 5 1 1 12 11 36 202 514
Jumlah penumpang angkutan udara terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penerbangan yang menerapkan Low Cost Carrier (LCC). Jumlah penumpang domestik dan internasional pada tahun 2010 di Indonesia sebesar 108 juta penumpang. Bandara SoekarnoHatta di Provinsi Banten menempati posisi teratas sebesar 41 persen dengan jumlah penumpang sebesar 43,9 juta penumpang. Hal ini disebabkan bahwa Bandara Soekarno-Hatta terletak dekat dengan ibukota negara dan juga merupakan hub Internasional maupun domestik. Penumpang tersebut berasal dari Jakarta, Banten dan Jawa Barat.
Gambar 3.16 Jumlah Penumpang Pesawat Udara Per Provinsi Tahun 2010 Sumatra Utara 6% Sumatra Selatan 2%
Bandara Lainnya 26% Sulawesi Selatan 2%
Banten 41%
Bali 11%
Jawa Timur 7% DI Yogyakarta 3%
Jawa Tengah 2%
Sumber: Ditjen Perhubungan Udara, Kemenhub, 2010
Posisi kedua ditempati oleh Bandara Ngurah Rai di provinsi Bali sebesar 11 persen, kemudian diikuti oleh Jawa timur 7 persen dan Sumatera Utara 6 persen. Jumlah penumpang yang besar di Bandara Ngurah Rai, yaitu sebesar 11,3 juta penumpang, disebabkan oleh pesatnya kemajuan industri pariwisata di Bali dengan banyaknya wisatawan Nusantara dan wisatawan mancanegara.
3.5.3 Infrastruktur Laut Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 17 tahun 2004, total jumlah pelabuhan yang diusahakan berjumlah 725 pelabuhan. Terdapat 2 pelabuhan hub (pengumpul) Internasional yaitu Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak. Pelabuhan Internasional berjumlah 18, pelabuhan nasional sebagai feeder (pengumpan) antar provinsi berjumlah 245, pelabuhan regional sebagai penghubung antar kabupaten berjumlah 139 pelabuhan dan pelabuhan lokal setempat berjumlah 321 pelabuhan. Tabel 3.10 Jumlah Pelabuhan di Indonesia Berdasarkan Jenisnya Tahun 2004 Provinsi NAD Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Kep. Bangka Belitung
Int'l Hub Port -
Int' Port 1 1 1 -
National Port 10 13 44 3 4 1 6
Regional Port 4 10 4 5 4 2 8
Local Port 3 30 20 3 6 1 0
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
41
Provinsi Sumatera Selatan Lampung Jawa Barat Banten DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Utara Maluku Papua
Int'l Hub Port 1 1 -
Int' Port 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1
National Port 1 2 1 2 5 1 11 3 6 9 8 6 5 14 9 3 12 15 6 3 15 27
Regional Port 2 11 7 2 1 6 7 3 5 12 1 5 2 3 1 1 6 6 3 10 7 1
Local Port 0 5 1 2 0 3 7 4 5 21 1 1 0 1 18 9 9 21 25 9 26 90
Sumber : Keputusan Menteri no. 17 tahun 2004
Terdapat 3 indikator kinerja pelabuhan Indonesia berdaraskan Tingkat Penggunaan Dermaga (BOR), Tingkat penggunaan gudang (SOR) dan Tingkat Penggunaan Lapangan Penumpukan (YOR) untuk pelabuhan Internasional hub, pelabuhan Internasional dan pelabuhan nasional. Gambar 3.17 Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Dermaga Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Utilisasi BOR 2010
Standar BOR %
Sumber Data: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV
42
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Utilisasi BOR 2011
Persentase tingkat utilisasi penggunaan dermaga pada tahun 2010 di pelabuhan Belawan, Panjang, Kupang dan Samarinda telah melewati batas standar BOR yaitu 70% (Gambar 3.17). Namun pada tahun 2011 utilisasi BOR di keempat pelabuhan ini menurun, artinya sudah ada perbaikan dan penambahan fasilitas baru untuk memperlancar bongkar muat di pelabuhan tersebut. Pada tahun 2011 Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Dumai mengalami kenaikan utilisasi BOR cukup tinggi, yaitu sebesar 12%, dimana artinya terjadi tingkat keterlambatan kegiatan bongkar muat di pelabuhan tersebut dan perlu penambahan fasilitas pelabuhan.
Boks 3.1 Perhitungan Indikator Kinerja Pelabuhan Berth Occupancy Ratio (BOR) atau atau tingkat penggunaan dermaga 2010 - 2011 Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Laut No. UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011. Tingkat Penggunaan Dermaga (BOR) merupakan perbandingan antara waktu penggunaan dermaga dengan waktu yang tersedia (dermaga siap operasi) dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam persentase. Dalam Keputusan tersebut standarisasi BOR = 70%. Artinya, < 70 = baik, 70 sampai dengan 77 % = cukup baik dan >78% = kurang baik. BOR =
∑(
)
Shed Occupancy Ratio (SOR) atau tingkat penggunaan gudang 2010 – 2011 Tingkat penggunaan gudang (Shed Occupancy Ratio/ SOR) merupakan perbandingan antara jumlah pengguna ruang penumpukan dengan ruang penumpukan yang tersedia yang dihitung dalam satuan ton hari/ satuan hari. SOR =
Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Lautb No. UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011. Dalam Keputusan tersebut standarisasi SOR = 65%. Artinya, < 65 = baik, 65 sampai dengan 72 % = cukup baik dan >72% = kurang baik. Yard Occupancy Ratio (YOR) atau tingkat penggunaan lapangan penumpukan atau Kesiapan operasi peralatan 2010 – 2011 Tingkat Penggunaan Lapangan Penumpukan (YOR) merupakan perbandingan antara jumlah penggunaan ruang penumpukan dengan ruang penumupukan yang tersedia (siap operasi) yang dihitung dalam satuan ton hari. Berdasarkan Kep. Dirjen Perhubungan Laut No. UM.002/38/18/DJPL-II tanggal 5 Desember 2011. Dalam Keputusan tersebut standarisasi YOR = 50%. Artinya, < 50 = baik, 50 sampai dengan 55 % = cukup baik dan >55% = kurang baik.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
43
Berikutnya untuk persentase tingkat utilisiasi penggunaan gudang pelabuhan tahun 2010 dan 2011 di indonesia, kondisinya masih dalam taraf baik (Gambar 3.18). Artinya utilisasi penggunaan gudang pelabuhan masih memadai. Pada tahun 2011 Pelabuhan Belawan mengalami kenaikan utilisasi penggunaan gudang yang tinggi, yaitu sekitar 60%. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan tersebut yaitu karena peningkatan jumlah tonase kargo curah, dwelling time (masa proses/ waktu tunggu) di pelabuhan dan kapasitas efektif di pelabuhan. Pelabuhan lainnya yang mengalami kenaikan tingkat utilisasi pada tahun 2011 adalah Pelabuhan Tanjung Priok, Palembang, Pontianak, Benoa, Kupang, Makassar, Ambon, Jayapura, Tanjung Intan, Samarinda dan Dumai. Gambar 3.18 Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Gudang Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Utilisasi SOR 2010
Standar SOR %
Utiliasi SOR 2011
Sumber Data: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV
Kemudian Gambar 3.19 menunjukkan persentase tingkat utilisasi penggunaan lapangan penumpukan di pelabuhan tahun 2010 dan 2011 yang didominasi oleh kontainer dan kendaraan. Terdapat beberapa pelabuhan yang perlu penambahan fasilitas dan perluasan lapangan penumpukan diantaranya pelabuhan Pontianak, Benoa, Balikpapan, Ambon, Jayapura dan Samarinda. Tahun 2011 Pelabuhan Palembang, Pontianak dan Banjarmasin mengalami kenaikan tingkat utilisasi lapangan penumpukan cukup tinggi. Artinya pelabuhan tersebut mengalami kenaikan jumlah arus kontainer/kendaraan yang tinggi pada tahun tersebut.
44
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Gambar 3.19 Persentase Tingkat Utiliasi Penggunaan Lapangan Penumpukan Pelabuhan Tahun 2010 dan 2011 140 120 100 80 60 40 20 0
Utilisasi YOR 2010
Standar YOR %
Utiliasi YOR 2011
Sumber Data: PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV
3.5.4 Infrastruktur Listrik Salah satu indikator daya saing di sektor ketenagalistrikan adalah rasio elektrifikasi. Rasio elektrifikasi menunjukkan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang memperoleh sambungan listrik terhadap total penduduk di wilayah itu. Rasio elektrifikasi sangat berhubungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peningkatan elektrifikasi merupakan salah satu prioritas Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, dengan pembangunan pembangkit listrik dan jaringan transmisi yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara serta swasta. Sesuai data BPS hingga tahun 2011, rasio elektrifikasi Indonesia adalah sebesar 72,95 persen, artinya 27,05 persen penduduk Indonesia belum memperoleh sambungan listrik. Beberapa penyebabnya adalah kondisi daerah yang terisolasi serta kurangnya fasilitas transmisi dan distribusi yang membuat transfer kelebihan daya menjadi sangat mahal. Sementara itu, provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua merupakan provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah dibandingkan dengan provinsi lainnya, yang masing-masing sebesar 39,9 persen dan 29,3 persen.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
45
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
39,92
29,25
NAD Sumatera Utara Riau Kep. Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Kep. Bangka Belitung Banten Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Utara Maluku Papua Papua Barat
Dalam %
Gambar 3.20 Rasio Elektrifikasi Tahun 2011
Sumber: Capaian KESDM Tahun 2011
3.5.5 Infrastruktur Telekomunikasi Salah satu indikator daya saing di sektor komunikasi dan informatika adalah ketersediaan jaringan broadband. Berbagai literatur internasional menunjukkan korelasi positif antara jaringan broadband dan pertumbuhan ekonomi. Di negara berkembang, kenaikan 10 persen tingkat penetrasi broadband akan memicu pertumbuhan ekonomi sebesar 1,38 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan 10 persen tingkat penetrasi fixed line, seluler dan internet yang masing-masing hanya memicu kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,73 persen, 0,81 persen dan 1,12 persen. Gambar 3.21 Persentase Kota/Kabupaten yang Dijangkau Layanan Broadband Tahun 2011 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
98% 98%
70% 70% 60% 60%
66% 66%
23% 0% 0% Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi 2010
Sumber: PT Telkom dan Kominfo, 2011 (diolah)
46
65%
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
2011
Bali Nusra
Maluku
0% 0% Papua
Dengan memperhatikan masih sangat terbatasnya jaringan broadband nasional, percepatan pembangunan jaringan broadband menjadi salah satu agenda utama sektor komunikasi dan informatika, serta menjadi salah satu prioritas Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Pembangunan jaringan broadband dilakukan baik berbentuk jaringan backbone untuk menghubungkan antar pulau (antar koridor), jaringan ekstension hingga ke ibukota kabupaten/kota (dalam koridor), maupun jaringan homepass hingga ke rumah tangga. Hingga tahun 2010, pembangunan jaringan broadband sudah menjangkau 311 kabupaten/kota atau sekitar 63 persen dari total 497 kabupaten/kota dengan sebagian besar lokasi terdapat di bagian barat Indonesia. Adapun jangkauan jaringan broadband pada tahun 2011 mencapai 328 kabupaten/kota atau 66 persen dari total kabupaten/kota. Pembangunan di Wilayah Timur Indonesia akan dimulai pada tahun 2012. Hingga tahun 2014 diperkirakan 88 persen kabupaten/kota di Indonesia sudah dijangkau oleh jaringan broadband.
3.6 Kondisi Produksi dan Konsumsi Beras Dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dan peningkatan produksi pangan terutama padi, serta seiring dengan peningkatan penduduk dan pendapatan masyarakat, diperlukan jumlah penyediaan pangan (terutama padi) yang mencukupi di setiap tahunnya. Kondisi produksi padi menurut kawasan pada tahun 2009-2011 ditunjukkan dalam Tabel 3.11. Tabel 3.11 Pertumbuhan Produksi Padi Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011 No. 1 2 3 4 5
Kawasan
2009
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Maluku , Nusa Tenggara dan Papua Total Sumber : BPS (diolah) , Keterangan:*) Angka Sementara
14.696,2 35.758,7 4.392,1 6.801,5 2.749,7 64.398,2
2010
2011*
15.200,0 37.243,8 4.425,2 6.994,6 2.605,3 66.469,4
15.664,1 35.262,6 4.577,3 7.277,2 2.959,5 65.740,9
Tabel 3.12 Pertumbuhan Produksi Beras Menurut Kawasan (Ribu Ton) Tahun 2009-2011 No. 1 2 3 4 5
Kawasan Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Maluku , Nusa Tenggara dan Papua Total
2009 8.262,2 20.103,5 2.469,2 3.823,8 1.545,9 36.204,5
2010 8.545,4 20.938,4 2.487,9 3.932,4 1.464,7 37.368,8
2011 8.806,3 19.824,6 2.573,3 4.091,2 1.663,8 36.959,2
Sumber : BPS (diolah )
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
47
4
Pada Tabel 3.12 terlihat bahwa total produksi beras pada tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 409,6 ribu ton atau turun sekitar 1,1 persen. Dimana, penurunan produksi beras ini berasal dari penurunan produksi beras di Kawasan Jawa dan Bali dari 20,9 juta ton pada Tahun 2010 menjadi 19,8 juta ton pada Tahun 2011; atau turun sebesar 5,3 persen. Gambar 3.22 Kontribusi Kawasan Per Pulau Terhadap Total Produksi Beras Tahun 2011
11%
7%
5%
24%
Sumatera Jawa & Bali Kalimantan Sulawesi
54%
Maluku, Nusa Tenggara dan Papua
Sumber: BPS (diolah)
Sebagian besar produksi beras berasal dari Wilayah Jawa dan Bali, atau mencapai 54 persen; kemudian disusul dengan Wilayah Sumatera sebesar 24 persen dan Wilayah Sulawesi sebesar 11 persen (Gambar 3.22). Gambar 3.23 Produksi Padi di Indonesia Tahun 2009 – 2011 67000
8,00% 66.469,4
66500 66000
7,00%
6,80%
65.740,9
65500
3,00% 64.389,9
3,20%
2,00% 1,00%
64000
-1,10%
63500
-2,00% 2009
2010 Produksi
2011* Pertumbuhan
Sumber : BPS diolah ; *) Keterangan: Angka Sementara Konversi padi ke beras adalah dengan mengalikan produksi padi dengan 0,562
48
0,00% -1,00%
63000
4
5,00% 4,00%
65000 64500
6,00%
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Untuk memperkuat perekonomian nasional daerah serta meningkatkan ketahanan pangan nasional dan daerah, total produksi beras maupun padi harus selalu dijaga dan meningkat setiap tahunnya guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan mendukung pencapaian Surplus Beras 10 juta ton di mulai pada tahun 2014. Perkembangan pertumbuhan produksi padi tahun 2009-2011 ditunjukkan pada Gambar 3.23. Pertumbuhan produksi padi pada tahun 2009 dan 2010 mengalami peningkatan masingmasing sebesar 6,8 persen dan 3,2 persen. Pada tahun 2011 produksi padi mengalami penurunan sebesar 1,1 persen. Penurunan produksi padi tersebut lebih disebabkan karena penurunan luas panen dan produktivitas akibat terjadinya kekeringan, banjir serta serangan hama penyakit. Penurunan produksi padi tersebut terjadi terutama di Wilayah Jawa. Pada tahun 2012 produksi padi diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 4,3 persen atau produksi mencapai 68.594,90 juta ton (ARAM I, 2012 ). Berdasarkan data Susenas (Gambar 3.24), konsumsi beras langsung di rumah tangga pada tahun 2008 sebesar 104,85 kg/kapita/tahun, tahun 2009 102,22 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2010 sebesar 100,76 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2011 turun menjadi 100,69 kg/kapita/tahun. Adapun kebutuhan beras total per kapita (yaitu: konsumsi beras langsung di rumah tangga ditambah dengan konsumsi beras diluar rumah tangga) adalah sebesar 139,15 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 dan 137,06 kg/kapita/tahun pada tahun 2011. Dengan demikian, total kebutuhan beras nasional pada tahun 2010 dan 2011 adalah sebesar 33,06 5 juta ton pada tahun 2010 dan 33,05 juta ton pada tahun 2011 . Gambar 3.24 Konsumsi Beras Langsung di Rumah Tangga (Kg/Kapita/Tahun) Pada Tahun 2008-2010 106 105 104
Kg/Kapita/Th
103 102 101 100 99 98 97 96 95 Beras
2008
2009
2010
2011
2012
104,85
102,22
100,76
102,82
98,57
Sumber: Susenas BPS 5
Dihitung dengan asumsi jumlah penduduk pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebanyak 237.641.326 jiwa dan 241.182.182 jiwa Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
49
Gambar 3.25 menunjukkan produksi dan kebutuhan beras di masing-masing provinsi pada tahun 2011. Provinsi yang memiliki surplus beras cukup besar adalah Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Kemudian, terdapat 15 provinsi yang jumlah produksi berasnya lebih kecil dari jumlah kebutuhannya. Perhitungan kebutuhan beras menggunakan asumsi konsumsi per kapita rata-rata sebesar 137,06 kg. Gambar 3.25 Produksi dan Kebutuhan Beras (Ribu Ton) Tahun 2011 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kep. Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
-
Produksi
konsumsi
Sumber: BPS (diolah)
3.7 Kondisi Sumber Daya Manusia 3.7.1 Pendidikan Kualitas SDM merupakan faktor kunci dalam mencapai keberhasilan pembangunan daerah dan keunggulan daya saing lokal. Ketersediaan SDM bermutu sangat menentukan kemampuan suatu daerah dalam memasuki era ekonomi pasar bebas, yang menuntut kemampuan daya saing tinggi. Untuk itu, peran pendidikan sangat penting dan strategis dalam upaya melahirkan SDM berkualitas, yang ditandai oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta memiliki keterampilan teknikal memadai. Pendidikan terutama pada jenjang menengah dan tinggi mutlak diperlukan untuk mendukung pengembangan SDM dan tenaga kerja yang berdaya saing tangguh dalam menghadapi kompetisi yang ketat baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Terkait dengan kualitas pendidikan, beberapa indikator penting perlu dilihat yaitu: (1) rata-rata lama sekolah, (2) jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk, (3) tingkat keberaksaraan dan (4) jumlah dan kualifikasi guru.
50
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Rata-rata Lama Sekolah Indikator pertama kualitas pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (average years of schooling). Rata-rata lama sekolah menunjukkan rata-rata jumlah tahun efektif bersekolah yang dicapai penduduk berusia 15 tahun ke atas. Pembangunan bidang pendidikan telah berhasil meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia, yang antara lain ditandai dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas dari 7,09 tahun pada tahun 2003 menjadi 7,92 tahun pada tahun 2010. Hal ini menandakan rata-rata tingkat pendidikan penduduk adalah pada jenjang SMP/sederajat kelas 2. Data persebaran angka rata-rata lama sekolah menurut provinsi menunjukkan bahwa capaian rata-rata lama sekolah penduduk di Indonesia masih cukup bervariasi. Pada tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk di 19 provinsi sudah berada di atas rata-rata nasional atau lebih dari 7,92 tahun. Data yang sama juga menunjukkan bahwa penduduk di Provinsi DKI Jakarta telah mencapai rata-rata lama sekolah paling tinggi yakni 10,41 tahun atau setingkat dengan jenjang SMA/sederajat kelas 1. Sebaliknya, rata-rata lama sekolah penduduk di Provinsi Papua masih berada di tingkat terendah yaitu 6,27 tahun (Gambar 3.26). Gambar 3.26 Rata-Rata Lama Sekolah (Usia Penduduk >15 Tahun) Tahun 2010 DKI Jakarta Kepulauan Riau Papua Barat DI Yogyakarta Maluku Sulawesi Utara Sumatera Utara Kalimantan Timur Aceh Riau Sumatera Barat Maluku Utara Banten Bengkulu Bali Sulawesi Tenggara Jawa Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Tengah INDONESIA Sulawesi Selatan Jambi Sumatera Selatan Lampung Kalimantan Selatan Bangka Belitung Gorontalo Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Papua
10,41 9,59 9,16 9,07 9,02 8,89 8,85 8,83 8,81 8,58 8,48 8,36 8,32 8,25 8,21 8,11 8,02 8,00 7,96 7,92 7,84 7,84 7,82 7,75 7,65 7,45 7,38 7,24 7,24 7,11 6,99 6,82 6,62 Tahun 6,27
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
Sumber: Susenas, BPS, 2010 Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
51
Gambar 3.27 Tingkat Pendidikan dan Tingkat Partisipasi Sekolah Tahun 2010
SMA/Sederajat 20%
Tidak/Belum Sekolah 6%
PT 6%
Belum Tamat SD 19% SMP/Sederajat 18%
SD/Sederajat 31%
Sumber: Susenas 2010
Gambar 3.28 Persentase Jenjang Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Oleh Penduduk Berusia 10 Tahun Ke Atas Tahun 2010 DKI Jakarta Kep. Riau DI Yogyakarta Papua Barat Kalimantan Timur Bali Sulawesi Utara Maluku Sumatera Utara Aceh Banten Sumatera Barat Riau Bengkulu Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Utara INDONESIA Jawa Barat Jambi Sumatera Selatan Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Kep. Bangka Belitung Kalimantan Tengah Gorontalo Jawa Timur Papua Lampung Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Sulawesi Barat Nusa Tenggara Timur
0
10
Tidak/ Belum sekolah
20
30
40
Belum Tamat SD
Sumber: Susenas 2010
52
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
50
60
SD-SMP/ sederajat
70
80
90
100
SM - PT/ sederajat
Bila diuraikan menurut provinsi, pendidikan tertingggi yang ditamatkan penduduk di sebagian besar provinsi relatif masih rendah yakni setingkat SD/SMP. Namun, beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, DKI dan DIY sudah memiliki persentase penduduk 10 tahun ke atas dengan pendidikan terakhir sekolah menengah (SM) ke atas yang cukup baik dan sudah di atas rata-rata nasional per jenjang pendidikan (Gambar 3.28). Data Susenas 2010 menunjukkan variasi alasan mengapa mereka tidak/belum pernah bersekolah atau tidak bersekolah lagi yaitu: (1) tak ada biaya, (2) menikah/mengurus rumah tangga (RT), (3) sekolah jauh, (4) malu, (5) tidak diterima, (6) cacat dan lain-lain. Alasan ketiadaan biaya berkaitan erat dengan faktor kemiskinan (kesulitan ekonomi). Sementara alasan sekolah jauh berkaitan dengan ketersediaan jumlah sekolah yang minim atau kondisi geografis suatu daerah yang menyebabkan akses menjadi sulit. Tabel 3.13 Alasan Tidak/Belum Bersekolah Tahun 2010 Alasan Tidak/Belum Pernah Bersekolah atau Tidak Bersekolah Lagi
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
Tidak ada biaya Bekerja/mencari nafkah Menikah/mengurus RT Merasa pendidikan cukup Malu karena ekonomi Sekolah jauh Cacat Menunggu Pengumuman Tidak Diterima Lainnya Jumlah
52,68 12,94 0,30 6,08 1,58 0,44 3,10 3,25 0,72 18,90 100,0
6,64 13,45 4,57 6,08 0,94 0,53 1,99 4,27 0,46 11,08 100,0
54,66 13,19 2,43 6,08 1,26 0,49 2,55 3,76 0,59 15,00 100,0
53,82 9,09 0,30 4,61 1,55 4,69 2,60 0,99 0,51 21,84 100,0
56,48 4,96 8,12 5,49 1,20 4,73 2,37 1,51 0,42 14,72 100,0
55,05 7,18 3,92 5,02 1,39 4,71 2,49 1,23 0,47 18,54 100,0
53,38 10,57 0,30 5,18 1,56 3,06 2,79 1,86 0,59 20,71 100,0
56,55 8,52 6,63 5,73 1,09 2,97 2,21 2,67 0,44 13,19 100,0
54,89 9,59 3,32 5,44 1,34 3,01 2,51 2,25 0,52 17,12 100,0
Perkotaan
Perdesaan
Total
Sumber : Susenas BPS, 2010
Kemampuan Keberaksaraan Penduduk Indikator ketiga kualitas pendidikan adalah kemampuan keberaksaraan yang ditandai oleh kemampuan membaca dan menulis. Angka melek aksara merupakan hasil proporsi antara jumlah penduduk usia tertentu yang bisa membaca dan menulis huruf latin dan lainnya dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama. Data persebaran pada tingkat wilayah menunjukkan bahwa disparitas angka melek aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas antar provinsi hampir tidak ditemukan. Hampir semua provinsi telah mendekati sasaran 100 persen, kecuali Provinsi Papua. Peningkatan partisipasi pada jenjang pendidikan dasar telah mendorong peningkatan kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
53
Gambar 3.29 Angka Melek Aksara Penduduk (Berusia > 15 Tahun) Tahun 2010 92,91
Sulawesi Utara DKI Jakarta Riau Kalimantan Tengah Maluku Sumatera Selatan Sumatera Utara Kep. Riau Sumatera Barat Kalimantan Timur NAD Banten Jawa Barat Maluku Utara Sulawesi Tengah Gorontalo Kalimantan Selatan Jambi Kep. Bangka Belitung Bengkulu Papua Barat Lampung INDONESIA Sulawesi Tenggara DI Yogyakarta Kalimantan Barat Jawa Tengah Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Bali Jawa Timur Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Papua Barat
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Sumber: Susenas 2010
Jumlah dan Kualifikasi Guru Indikator keempat kualitas pendidikan adalah guru berkualifikasi dan tersertifikasi. UndangUndang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru dari jenjang pra-sekolah sampai dengan sekolah menengah, temasuk sekolah keagamaan, minimal harus berpendidikan Diploma 4 atau Sarjana. Pada tahun 2011, juga dilakukan peningkatan kualifikasi bagi 124 ribu guru yang belum berpendidikan S1/D4. Secara nasional, jumlah guru yang telah berkualifikasi minimal S1/D4 meningkat dari 50,3 persen pada tahun 2010 menjadi 58 persen pada tahun 2011. Pada tahun 2012, upaya percepatan peningkatan profesionalisme guru akan tetap dilanjutkan dengan melakukan sertifikasi bagi 300 ribu guru dan meningkatkan kualifikasi pendidikan minimal S1/D4 bagi 134 ribu guru. Dengan tetap berupaya melaksanakan program peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru, data yang ada menunjukkan bahwa persentase guru menurut kualifikasi akademik bervariasi antar daerah (Gambar 3.30).
54
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Gambar 3.30 Persentase Guru Belum Berkualifikasi S1/D4 Tahun 2011 Maluku Kalimantan Barat NTT Bangka Belitung Kalimantan Tengah Lampung Maluku Utara Papua Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Papua Jambi Gorontalo Sulawesi Utara Sumatera Selatan Aceh NTB Kep.Riau Riau Sumatera Barat Bengkulu Sumatera Utara Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Jawa Tengah Jawa Barat Banten Bali DI Yogyakarta Jawa Timur DKI Jakarta
77,05 74,61 74,63 72,71 70,65 69,63 69,62 69,24 69,17 68,93 68,05 67,12 66,78 66,20 66,15 65,32 65,13 62,61 62,27 61,92 61,39 60,71 59,01
Rata-Rata Nasional 57,40 %
57,75 57,53 57,14 53,79 53,62 53,56 51,32 49,03
46,15 40,14 0
20
40
60
80
100
Sumber: Kemendikbud, 2009
3.7.2 Kesehatan Status kesehatan dan gizi masyarakat terus menunjukkan kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup (UHH) menjadi 71,1 tahun (2011), menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007), menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (2007),
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
55
menurunnya prevalensi kekurangan gizi menjadi sebesar 17,9 persen (2010) dan menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) menjadi sebesar 35,6 persen (2010). Selain pembangunan kesehatan, upaya pengendalian kuantitas penduduk yang dilaksanakan melalui Program Keluarga Berencana (KB) berkontribusi signifikan di dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Upaya ini menjadi sangat penting mengingat jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah akan menjadi beban pembangunan, sebaliknya penduduk besar dengan kualitas baik akan menjadi modal pembangunan. Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 menunjukkan bahwa dalam periode 10 tahun (2000–2010), laju pertumbuhan penduduk (LPP) Indonesia meningkat dari 1,45 persen menjadi 1,49 persen dan secara absolut jumlah penduduk meningkat sebanyak 32,5 juta jiwa, yaitu dari 205,8 juta jiwa pada tahun 2000 (SP 2000) menjadi 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 (SP 2010). Gambar 3.31 Persentase Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Terlatih Menurut Provinsi Tahun 2010 100
82,2 80 60 40
Maluku Utara Maluku Sulawesi Tengah Papua Barat Kalimantan Tengah Papua Sulawesi Tenggara Gorontalo Jambi Sulawesi Barat Nusa Tenggara Timur Banten Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Jawa Barat Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Lampung Bengkulu Indonesia Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Riau Sumatera Utara NAD Jawa Tengah Jawa Timur Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta Kepulauan Riau Bali DI. Yogyakarta
20
Sumber: Riskesdas, 2010
Sementara itu, upaya yang terbukti efektif untuk menurunkan AKI yaitu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 77,34 persen (2009) menjadi 82,2 persen (2010). Namun demikian, disparitas cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan masih cukup lebar. Berdasarkan data Riskesdas (2010), secara umum cakupan pelayanan pada kawasan Indonesia bagian timur lebih rendah jika dibandingkan dengan kawasan Indonesia bagian barat. Capaian tertinggi sebesar 98,6 persen di Provinsi DI Yogyakarta diikuti Provinsi Bali, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta, sementara capaian terendah sebesar 26,6 persen di Provinsi Maluku Utara (Gambar 3.31).
56
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Gambar 3.32 Cakupan Pelayanan Antenatal (K4) Tahun 2010 Papua Papua Barat Kalimantan Timur DKI Jakarta Sulawesi Tengah Kep. Bangka Belitung Maluku Utara Kalimantan Tengah Banten Kalimantan Barat Kepulauan Riau Bengkulu Sulawesi Barat Maluku Riau Sumatera Selatan Kalimantan Selatan Lampung Gorontalo Sulawesi Tenggara INDONESIA Sulawesi Selatan Sumatera Barat Jambi Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat DI Yogyakarta NAD Jawa Barat Bali Nusa Tenggara Timur Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Utara
31 33,23 35,96 42,73 43,1 45,83 46,9 50,07 50,53 52,01 52,13 52,5 55,23 57,84 62,29 63,22 63,91 65,58 65,66 66,68 67,87 68 68,44 71,6 71,75 73,86 74,18 74,4 74,43 75,93 77,23 77,7 82,54 84,89
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Sumber: Riskesdas, 2010
Pelayanan antenatal (antenatal care) juga penting untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan dan menjamin ibu melakukan persalinan ditolong tenaga kesehatan. Kunjungan ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal pada trimester pertama kehamilan (K1) mencapai 72,3 persen, lebih tinggi dari kunjungan keempat yaitu sebesar 67,87 persen (Riskesdas, 2010). Cakupan pelayanan antenatal tertinggi terdapat di Sulawesi Utara, yang mencapai 84,9 persen. Sedangkan cakupan pelayanan antenatal yang terendah terdapat di Provinsi Papua yang hanya mencakup sebesar 31,0 persen. Selanjutnya, upaya untuk mencapai target penurunan kematian bayi menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2014 juga terus dilakukan melalui perbaikan status kesehatan anak. Secara nasional, cakupan imunisasi lengkap pada anak usia 12-23 bulan terus meningkat mencapai 53,8 persen dan yang mendapat imunisasi campak mencapai 74,4 persen
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
57
Maluku Utara Papua Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Utara Gorontalo Papua Barat Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Banten Jawa Barat Riau Sulawesi Selatan Sumatera Selatan INDONESIA Lampung NAD Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Bengkulu Sumatera Barat Sumatera Utara Kep. Bangka Belitung Kalimantan Selatan Jawa Timur Jambi Kepulauan Riau Sulawesi Utara Jawa Tengah DKI Jakarta Bali DI Yogyakarta Papua Sulawesi Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Sulawesi Tengah NAD Riau Sulawesi Tenggara Papua Barat Sumatera Selatan Maluku Utara Bengkulu Maluku Sumatera Barat Banten Sulawesi Selatan Kalimantan Barat Jawa Barat Kalimantan Selatan DKI Jakarta Indonesia Gorontalo Kalimantan Tengah Kep. Bangka Belitung Jambi Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Lampung Sulawesi Utara Jawa Timur Bali Jawa Tengah Kepulauan Riau DI Yogyakarta
(Riskesdas, 2010). Sementara itu, kunjungan ke pelayanan kesehatan pada saat bayi berumur 6-48 jam (kunjungan neonatal pertama/KN1) mencapai 71,4 persen (Riskesdas, 2010). Gambar 3.33 Persentase Bayi Usia 0-11 Bulan Yang Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap Tahun 2010
100
80
60
53,8
40
20
0
Sumber: Riskesdas, 2010
Gambar 3.34 Persentase Bayi Yang Melakukan Kunjungan Neonatus 6-48 Jam (KN1) Tahun 2010
120
100
80
71,4
60
40
20
0
Sumber: Riskesdas, 2010
Data Riskesdas menunjukkan bahwa prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menurun dari 18,4 persen (2007) menjadi 17,9 persen (2010), yang terdiri dari gizi kurang sebesar 13,0 persen dan gizi buruk sebesar 4,9 persen. Kemajuan juga terjadi pada upaya penurunan
58
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
kekurangan gizi kronis yang diukur dengan prevalensi anak balita yang pendek (stunting), menurun dari 36,8 persen (2007) menjadi 35,6 persen (2010). Sampai dengan tahun 2011, prevalensi TB mencapai 289 per 100.000 penduduk sedangkan persentase kasus baru TB Paru (BTA positif) yang ditemukan dan yang disembuhkan masingmasing mencapai 75,26 persen dan 86,22 persen (Kemkes, 2011). Sementara itu, prevalensi HIV pada populasi dewasa terus dikendalikan untuk berada di bawah 0,5 persen, yaitu mencapai sebesar 0,3 persen (Kemkes, 2011). Angka penemuan kasus malaria yang diukur dengan annual parasite index (API) dapat diturunkan dari 1,96 (2010) menjadi 1,75 per 1.000 penduduk (2011). Selanjutnya, terkait aspek penyehatan lingkungan, penyediaan akses air minum dan sanitasi layak masih rendah yaitu sebesar 44,19 persen dan 55,53 persen (Susenas, 2010).
60 50 40 30
22,5 26,6 26,9 27,8 28,3 29,0 29,1 29,3 29,4 30,2 31,6 32,2 32,8 33,5 33,6 33,9 35,3 35,6 35,9 36,2 36,3 37,5 37,8 38,9 38,9 39,6 39,7 40,3 40,4 41,6 42,3 48,2 49,2 58,4
Gambar 3.35 Prevalensi Pendek (TB/U) Pada Anak 0-59 Bulan Tahun 2010
20 10 DI. Yogyakarta DKI Jakarta Kepulauan Riau Sulawesi Utara Papua Kep. Bangka Belitung Kalimantan Timur Bali Maluku Utara Jambi Bengkulu Riau Sumatera Barat Banten Jawa Barat Jawa Tengah Kalimantan Selatan Indonesia Jawa Timur Sulawesi Tengah Lampung Maluku Sulawesi Tenggara NAD Sulawesi Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Gorontalo Sumatera Selatan Sulawesi Barat Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Papua Barat Nusa Tenggara Timur
0
Sangat pendek
Pendek
Pendek+ Sangat pendek
Sumber: Riskesdas, 2010
Laporan kasus AIDS dapat disampaikan bahwa secara kumulatif sampai dengan Desember 2011 jumlah kasus AIDS sebanyak 29.879 kasus dengan AIDS case rate tertinggi adalah Papua sedangkan AIDS case rate secara nasional adalah 12,51. Dari sisi lain, angka kumulatif kasus per 100.000 penduduk menunjukkan keadaan yang berbeda karena sebaran jumlah penduduk per provinsi yang sangat beragam. Dengan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, maka karena jumlah penduduknya yang sangat kecil, Papua menduduki urutan pertama, sedangkan DKI Jakarta dengan angka kumulatif yang jauh lebih besar hanya pada urutan ketiga. Sementara itu Kepulauan Riau dengan hanya 404 kasus komulatif menduduki urutan ke lima, lebih tinggi dibanding dengan Jawa Timur dengan 4.598 kasus.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
59
Upaya pengurangan angka kejadian malaria sudah menunjukan keadaan yang positif. Terjadi penurunan yang signifikan dari tahun 1990 sampai 2011, yaitu dari 4,68 per 1.000 penduduk beresiko menjadi tinggal 1,75 per 1.000 penduduk saja. Namun demikian, dalam angka mutlak cukup besar, yaitu 256.592 orang penderita dan hanya Provinsi DKI Jakarta yang tidak ditemukan kejadiannya. Keragaman angka kejadian malaria sangat besar, namun terkonsentrasi pada 3 provinsi endemik, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Angka kejadian malaria berkisar dari yang terendah (di luar DKI) yaitu Bali dengan hanya 7 kejadian dan tertinggi adalah 3 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat dengan masing-masing 69.645, 66.577 dan 25.287 kejadian. Pada ketiga provinsi ini saja proporsinya sudah mencakup hampir 63 persen dari seluruh kejadian pada tahun 2011.
80000 70000
69465 66577
Gambar 3.36 Keragaman Angka Kejadian Malaria Tahun 2010
60000
30000 20000 10000
8613 8613 7914 6663 6661 6356 6355 6175 5028 3744 3523 3140 3136 2667 2450 2352 2331 2247 2045 1973 1430 957 743 517 196 88 45 14 7 0
40000
25287
50000
Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Maluku Kalimantan Tengah Sumatera Utara Bengkulu Sulawesi Utara Jambi Kalimantan Timur Lampung Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kep. Bangka Belitung Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Kepulauan Riau Sulawesi Barat Gorontalo NAD Sumatera Selatan Riau Sumatera Barat Jawa Barat Jawa Tengah Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Bali DKI Jakarta
0
Sumber: Kemenkes, 2011
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sebagai salah satu komponen untuk perbaikan upaya kesehatan juga terus ditingkatkan. Jumlah puskesmas pada tahun 2010 mencapai 9.005 puskesmas dengan rasio sebesar 3,79 per 100.000 penduduk. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.920 tergolong puskesmas perawatan dan 6.085 termasuk puskesmas non-perawatan. Sementara itu, jumlah rumah sakit pemerintah meningkat menjadi 794, sedangkan rumah sakit swasta meningkat menjadi 838 rumah sakit dengan rasio tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap penduduk sebesar 68,88 TT per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan, 2010). Rasio tempat tidur Rumah Sakit (per 100 ribu penduduk) yang terbesar adalah di Provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan DI Yogyakarta; sedangkan yang terendah adalah di Provinsi Sulawesi Barat, Banten dan Nusa Tenggara Barat.
60
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Gambar 3.37 Perkembangan Jumlah Puskesmas Perawatan dan Non-Perawatan Tahun 2010 10.000 7.669
160.000
65,44
70
2.077
2.497
2.683
2.438
2.704
2.920
2005
2006
2007
2008
2009
2010
166.288
163.680
149.538
142.707
60.000
2.000
50
138.451
80.000
Sumber: Profil Kesehatan, 2010
30
10
20.000
Puskesmas Non Perawatan Puskesmas Perawatan Jumlah Puskesmas
40
20
40.000
0
80
60
100.000
3.000 1.000
63,25 60,92 62,49 62,27
120.000
6.085
6.033
6.110
5.551
5.518
5.592
6.000 4.000
70,74 69,97
140.000
7.000 5.000
180.000
136.766
8.000
9.005 8.548 8.737
132.231
9.000
8.015 8.234
Gambar 3.38 Perkembangan Rasio Tempat Tidur RS per 100.000 Penduduk Tahun 2010
0
0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah TT
Rasio
Sumber: Profil Kesehatan, 2010
3.8 Kondisi Ketenagakerjaan 3.8.1 Tenaga Kerja Per Provinsi Pasar kerja Indonesia dapat digambarkan sebagai suatu perekonomian dualistis yang ditandai oleh sektor modern atau formal yang relatif kecil dan sektor tradisional atau informal yang sangat besar, yang mencerminkan ‘surplus’ tenaga kerja. Sektor formal rata-rata memberikan upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik kepada pekerja dibandingkan dengan sektor informal yang dipadati oleh pekerja. Pekerja di sektor formal mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan keterampilan di tempat kerja mereka (keterampilan yang memungkinkan mereka mendapatkan pekerjaan di sektor formal) dan akses untuk memperoleh pelatihan sehingga mereka mempunyai posisi yang lebih baik untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, sebagian besar pekerja (tetapi tidak semua pekerja) di sektor informal merupakan kegiatan-kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan pendapatan pekerja informal yang umumnya rendah dan kurang menentu. Pertumbuhan pekerja formal dan informal tahun 2006-2011 dan jumlah pekerja formal dan informal dari waktu ke waktu dapat digambarkan pada Gambar 3.39. Sedangkan komposisi pekerja formal dan informal untuk seluruh Provinsi digambarkan pada Gambar 3.40.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
61
Gambar 3.39 Persentase Serta Pertumbuhan Pekerja Sektor Formal dan Informal Tahun 2005 – 2011 100% pertumbuhan
100,00%
20,00%
80,00%
15,00% 10,00%
60,00%
5,00%
40,00%
0,00%
20,00%
-5,00%
0,00%
-10,00% 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Persentase Pekerja Formal
Persentase Pekerja Informal
Pertumbuhan Jumlah Pekerja Formal
Pertumbuhan Jumlah Pekerja Informal
Sumber: Sakernas
Gambar 3.40 Komposisi Pekerja Formal dan Informal di Setiap Provinsi Tahun 2008 dan 2011 Nasional 2008 Nasional 2011 NAD 2008 NAD 2011 Sumatera Utara 2008 Sumatera Utara 2011 Sumatera Barat 2008 Sumatera Barat 2011 Riau 2008 Riau 2011 Kep. Riau 2008 Kep. Riau 2011 Kep. Babel 2008 Kep. Babel 2011 Lampung 2008 Lampung 2011 Bengkulu 2008 Bengkulu 2011 Sumatera Selatan 2008 Sumatera Selatan 2011 Jambi 2008 Jambi 2011 DKI Jakarta 2008 DKI Jakarta 2011 Jawa Barat 2008 Jawa Barat 2011 Jawa Tengah 2008 Jawa Tengah 2011 DI Yogyakarta 2008 DI Yogyakarta 2011 Jawa Timur 2008 Jawa Timur 2011 Banten 2008 Banten 2011 Bali 2008 Bali 2011
Nasional 2008 Nasional 2011 NTB 2008 NTB 2011 NTT 2008 NTT 2011 Kalimantan Tengah 2008 Kalimantan Barat 2011 Kalimantan Tengah 2008 Kalimantan Tengah 2011 Kalimantan Selatan 2008 Kalimantan Selatan 2011 Kalimantan Timur 2008 Kalimantan Timur 2011 Sulawesi Utara 2008 Sulawesi Utara 2011 Sulawesi Tengah 2008 Sulawesi Tengah 2011 Sulawesi Selatan 2008 Sulawesi Selatan 2011 Sulawesi Tenggara 2008 Sulawesi Tenggara 2011 Sulawesi Barat 2008 Sulawesi Barat 2011 Gorontalo 2008 Gorontalo 2011 Maluku 2008 Maluku 2011 Maluku Utara 2008 Maluku Utara 2011 Papua 2008 Papua 2011 Papua Barat 2008 Papua Barat 2011 0%
20%
40%
Formal
60%
80% 100%
Informal
Sumber: Sakernas, BPS (diolah)
62
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
0%
20%
40%
Formal
60%
80% 100%
Informal
3.8.2 Upah Minimum Regional Per Provinsi Salah satu ukuran tingkat daya saing Negara adalah efisiensi pasar tenaga kerja. Menurut Indeks Daya Saing dalam Global Competitiveness Report, pasar kerja Indonesia belum cukup efisien, karena masih ditandai oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingginya biaya redundansi, kekakuan pasar kerja, fleksibilitas penentuan upah dan beberapa indikator pasar kerja lainnya. Tabel 3.14 Peringkat Indonesia Dalam Pilar Daya Saing Efisiensi Pasar Tenaga Kerja (Dari 142 Negara) Tahun 2008 – 2011 No. 1 2 3 4 5
Indikator Indeks Daya Saing Biaya redundansi Kekakuan lapangan kerja (PHK, kontrak Kerja, outsourcing) Praktek penerimaan dan pemutusan kerja Fleksibilitas penentuan upah Kerjasama hubungan karyawan pengusaha
2008
2009
2010
2011
117 87 19 79 19
119 82 34 92 42
127 100 38 98 47
131 104 51 113 68
Sumber: IMD World Competitiveness Yearbook
Tabel 3.15 Persentase Perubahan UMP Dibandingkan Dengan Laju Inflasi di Provinsi Unggulan Industri Tahun 2000 – 2012 Tahun
Jawa Timur
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
22,57 2,56 11,36 11,84 13,14 9,68 14,71 15,00 11,48 14,0 10,5 11.90
23,81 49,04 38,71 6,81 6,33 6,00 15,07 -0,37 19,18 10,0 4,5 15.38 18.53
10,26 6,52 14,60 13,97 14,53 11,39 9,65 0,00 26,93 10,6 6,9 9.01
10,15 6,52 46,94 31,94 8,42 13,59 13,10 0,00 26,51 9,6 4,1 4.68 4.20
Jawa Tengah 20,92 32,43 28,37 8,24 7,23 6,85 15,38 11,11 9,40 5,1 14,8 2.27
DIY
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Laju inflasi tahun sebelumnya
49,62 22,11 35,47 11,89 1,39 9,59 15,00 0,00 27,39 19,5 6,5 8.36 10.48
20,95 33,86 36,47 8,84 6,34 11,73 22,97 3,15 8,04 10,1 6,6 7.31 15.89
35,14 50,00 25,00 10,67 9,64 12,09 20,00 10,00 10,00 22,2 10,5 10.00 9.09
2,01 9,35 12,55 10,03 5,06 6,40 17,11 6,60 6,59 11,06 2,78 6.96 3.79
Sumber: BPS (diolah) Keterangan: Angka yang berwarna merah menunjukkan angka persentase perubahan UMP yang lebih rendah dari laju inflasi tahun sebelumnya. Sedangkan yang masih kosong, belum menetapkan UMP.
Pergerakan upah di Indonesia, lebih banyak ditentukan oleh aspek kenaikan tingkat harga dibandingkan dengan kenaikan produktivitas. Produktivitas belum menjadi determinan utama dalam penentuan upah. Sebaiknya, komponen penentuan Upah Minimum Regional (UMR) Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
63
tidak hanya melihat pada sisi kenaikan inflasi saja, tetapi perlu diimbangi dengan aspek produktivitas dan pencapaian target pekerjaan. Berikut digambarkan persentase perubahan UMP dibandingkan dengan laju inflasi di provinsi unggulan industri. Gambar 3.41 UMP Wilayah Sumatera
Gambar 3.42 UMP Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara
NAD
DKI Jakarta
Sumatera Utara
Jawa Barat
Sumatera Barat
Jawa Tengah
Riau
Di Yogyakarta
Kep. Riau
Jawa Timur
Kep. Bangka Belitung
Banten
Lampung Bengkulu
Bali
Sumatera Selatan
Nusa Tenggara Barat
Jambi
Nusa Tenggara Timur
0,0 2010
2011
0,5
1,0
1,5
0,0 2010
Juta Rupiah
2012
2011
1,0 2012
2,0 Juta Rupiah
Sumber: BPS
Sumber: BPS
Gambar 3.43 UMP Wilayah Kalimantan dan Sulawesi
Gambar 3.44 UMP Wilayah Gorontalo-Maluku-Papua
Kalimantan Barat Gorontalo
Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
Maluku
Kalimantan Timur Sulawesi Utara
Maluku Utara
Sulawesi Tengah Papua
Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Sulawesi Barat
0,0 2010
2011
0,5 2012
1,0
1,5 Juta Rupiah
Sumber: BPS
0,0
0,5
2010
2011
1,0 2012
1,5
2,0 Juta Rupiah
Sumber: BPS
Tiap-tiap daerah memiliki tingkat upah yang tidak sama, seperti Banten dan Jawa Tengah, dimana upah di Provinsi Banten lebih tinggi. Perbedaan tingkat upah yang cukup besar antara Banten dan Jawa Tengah dalam jangka menengah dan panjang akan merugikan posisi Banten. Terdapat indikasi adanya relokasi industri ke Provinsi Jawa Tengah, terutama industri yang tergolong padat tenaga kerja. Perbedaan rata-rata upah yang cukup besar juga dialami oleh
64
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
usaha mikro dan kecil dengan usaha menengah dan besar, sebagaimana digambarkan sebelumnya. Menjadi tantangan ke depan adalah mengupayakan agar upah minimum meningkat sebesar peningkatan inflasi dan mendorong upah individu melalui hasil negosiasi antara serikat pekerja dan pengusaha. Berikut gambaran upah minimum provinsi yang dikelompokkan ke dalam 4 bagian, tahun 2010, 2011 dan 2012.
3.8.3 Produktivitas Tenaga Kerja Kemampuan tenaga kerja Indonesia untuk meningkatkan daya saing dalam pasar kerja salah satunya ditunjukkan oleh meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Secara berarti dalam lima tahun terakhir ini, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja untuk seluruh sektor perekonomian menunjukkan peningkatan. Terkecuali sektor pertanian di tahun 2007 dan sektor jasa di tahun 2008. Peningkatan ini didorong oleh adanya perpindahan lapangan kerja dari aktivitas bernilai tambah rendah ke aktivitas bernilai tambah lebih tinggi. Sektor jasa telah memberikan kontribusi yang berarti dalam peningkatan produktivitas. Gambaran pertumbuhan produktivitas secara nasional menurut 3 sektor utama, diikuti pula dengan produktivitas per pekerja tahun 2005 dan 2010 untuk seluruh Provinsi di Indonesia ditunjukkan sebagai berikut. Gambar 3.45 Pertumbuhan Produktivitas Untuk Tiga Sektor Tahun 2006 – 2011
Persen (%)
8 6 4 2 0 -2 -4
2006
2007
2008
2009
2010
2011
PERTANIAN
5,37
-2,79
6,24
5,07
3,47
4,20
INDUSTRI
3,64
0,78
1,35
0,05
0,29
0,09
JASA DAN LAINNYA
6,31
4,54
-2,15
1,44
1,60
0,70
Sumber: BPS (diolah)
Perekonomian nasional akan berkembang lebih tinggi untuk memastikan bahwa penduduk yang lebih berpendidikan dan berketerampilan memiliki akses ke pekerjaan yang baik dan lebih produktif. Pada saat yang bersamaan terdapat keperluan untuk memastikan bahwa
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
65
pekerja selain mempunyai pendidikan yang lebih tinggi juga memperoleh pelatihan yang lebih baik. Secara nasional, sekitar 3 persen di antaranya merupakan profesional dengan tingkat pendidikan sarjana, sedangkan sekitar 5 persen di antaranya semi-skilled worker berpendidikan diploma dan kejuruan. Gambar 3.46 Produktivitas per Tenaga Kerja Tahun 2005 dan 2010 (Menurut Harga Konstan 2000) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
-
PDRB/TK 2005
PDRB/TK 2010
Sumber: BPS (diolah)
Proporsi tertinggi untuk pekerja dengan pendidikan SD/SMP terdapat di Provinsi NTT, Kalimantan Barat dan Jateng. Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Kepulauan Riau memiliki proporsi pekerja berpendidikan Universitas yang paling tinggi dibandingkan dengan Provinsi lainnya. Sementara itu, di seluruh provinsi di Indonesia mayoritas tenaga kerjanya merupakan semiskilled, dengan persentase lulusan SMP dan SMU yang relatif besar. Oleh sebab itu, peran pemerintah menjadi sangat penting untuk memacu produktivitas pekerja baik secara langsung yaitu menciptakan lingkungan kebijakan yang kondusif serta tidak langsung yaitu meningkatkan kualitas dan keterampilan angkatan kerja.
66
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Gambar 3.47 Persentase Pekerja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011
Papua Papua Barat Maluku Utara Maluku Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara NAD
Papua Papua Barat Maluku Utara Maluku Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara NAD 0%
≤ SMP
Gambar 3.48 Persentase Pekerja Profesional/Semi Skill Terhadap Jumlah Pekerja Tahun 2011
SMU
Sumber: Sakernas, BPS
20%
SMK
40%
60%
Diploma
0
80% 100%
Universitas
Profesional
10
20
30
40
50
60
%
Semi Skill
Sumber: Sakernas, BPS (diolah)
3.9 Perkembangan Reformasi Birokrasi dan Politik Birokrasi memiliki peranan yang sangat strategis untuk mendukung manajemen pemerintahan yang efektif, efisien, bersih, akuntabel dan melayani kepentingan publik. Di era kompetisi global, peranan birokrasi menjadi lebih signifikan untuk memberikan respon berupa formulasi dan implementasi kebijakan secara tepat; menyediakan pelayanan publik yang berkualitas; mendorong terwujudnya iklim investasi yang kondusif; mendukung terwujudnya daya saing perekonomian nasional di tengah persaingan global.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
67
Uraian berikut ini menggambarkan peta kondisi birokrasi di daerah ditinjau dari beberapa indikator, yakni: (1) Kualitas SDM Aparatur, khususnya dilihat dari aspek tingkat pendidikan, diharapkan dapat mencerminkan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme, (2) Penerapan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) atau e-procurement, sebagai salah satu indikator pelayanan dan transparansi dalam pengelolaan keuangan dilihat dari proses pengadaan barang dan jasa, (3) Pencapaian opini BPK atas audit LKPD, yang mencerminkan kualitas pengelolaan keuangan daerah secara tertib dan upaya menuju terwujudnya birokrasi yang bersih, (4) Implementasi SAKIP, sebagai gambaran perkembangan akuntabilitas kinerja birokrasi dan (5) Perkembangan politik Indonesia, yang digambarkan melalui Indeks Demokrasi Indonesia serta angka pemilih dan angka partisipasi pemilih.
3.9.1 Kualitas SDM Aparatur Salah satu bagian penting dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah pengembangan manajemen SDM Aparatur untuk mewujudkan aparatur negara yang profesional. Dalam rangka itu, penataan PNS mulai dari sistem rekruitmen, penempatan, promosi dan mutasi dan evaluasi kinerjanya masih harus dibenahi. Sampai saat ini, masih sulit untuk menentukan jumlah kebutuhan pegawai secara tepat pada suatu instansi, berdasarkan kebutuhan organisasi dan kompetensi yang ada. Di sisi lain jumlah tenaga analis jabatan di K/L/pemda masih sangat terbatas, sehingga peta jabatan dan profil kebutuhan pegawai belum tersedia secara rinci dan valid. Berdasarkan data per 1 Januari 2012, jumlah PNS berdasarkan daerah adalah sebanyak 4.570.818 orang. Adapun komposisi PNS per provinsi berdasarkan tingkat pendidikan sebagaimana digambarkan dalam Gambar 3.49. Gambar 3.49 Persentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) Berdasarkan Pendidikan (per Januari 2012) 100% 80% 60% 40% 20% NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Papua Maluku Utara Papua Barat
0%
SD-SMA
D1-D3
Sumber: BKN, Januari 2012
68
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
S1/D4-S3
Melihat dari komposisi data tersebut terlihat bahwa PNS yang berpendidikan SLTA kebawah masih menempati persentase yang tertinggi yaitu 37,68 persen dari jumlah PNS, sedangkan PNS dengan tingkat pendidikan Diploma (1-3) sebesar 26,23 persen dan PNS dengan pendidikan setara Sarjana ke atas sebesar 36.09 persen. Dilihat komposisi PNS yang berpendidikan SLTA ke bawah berdasarkan provinsi, dapat diinformasikan bahwa terdapat beberapa provinsi yang memiliki PNS berpendidikan SLTA ke bawah diatas 40 persen, yakni Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua, Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan provinsi yang memiliki PNS dengan pendidikan setara S1 ke atas dengan persentase di atas 40 persen, antara lain Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Jawa Timur, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Barat.
3.9.2 LPSE dan E-Procurement Upaya reformasi birokrasi dilakukan di berbagai bidang, termasuk dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Reformasi dalam bidang pengadaan barang dan jasa, salah satunya dilakukan melalui penerapan pelaksanaan lelang secara elektronik (e-procurement) berbasis web/internet dengan memanfaatkan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang dikembangkan LKPP dan diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang ada di instansi pemerintah. Hal ini selaras dengan mandat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bahwa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Instansi Lainnya wajib melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik untuk sebagian/seluruh paket-paket pekerjaan, paling lambat pada tahun 2012. Tabel 3.16 Peta Sebaran Daerah Dengan LPSE Tahun 2012 No
Daerah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Prov. NAD Prov. Bali Prov. Bangka Belitung Prov. Banten Prov. Bengkulu Prov. D. I. Yogyakarta Prov. DKI Jakarta Prov. Gorontalo Prov. Jambi Prov. Jawa Barat Prov. Jawa Tengah Prov. Jawa Timur Prov. Kalbar Prov. Kalsel Prov. Kalteng Prov. Kaltim Prov. Kepulauan Riau
Status LPSE Provinsi Kab/Kota(%) sudah 43,4 sudah 66,7 sudah 100,0 sudah 100,0 sudah 80,0 sudah 100,0 sudah 0,0 sudah 50,0 sudah 90,9 sudah 73,1 sudah 97,1 sudah 92,1 sudah 78,6 sudah 100,0 sudah 85,7 sudah 92,9 sudah 100,0
No
Daerah
18 Prov. Lampung 19 Prov. Maluku 20 Prov. Maluku Utara 21 Prov. NTB 22 Prov. NTT 23 Prov. Papua 24 Prov. Papua Barat 25 Prov. Riau 26 Prov. Sulbar 27 Prov. Sulsel 28 Prov. Sulteng 29 Prov. Sultra 30 Prov. Sulut 31 Prov. Sumbar 32 Prov. Sumsel 33 Prov. Sumut Total (Rata-rata)
Status LPSE Provinsi Kab/Kota(%) sudah 60,0 sudah 0,0 sudah 33,3 sudah 60,0 sudah 14,3 sudah 3,5 belum 9,1 sudah 91,7 sudah 60,0 sudah 41,7 sudah 63,6 sudah 41,7 sudah 57,1 sudah 95,0 sudah 86,7 sudah 35,3 97 62,8
Sumber: LKPP, Data Per April 2012 Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
69
Perkembangan pembentukan LPSE di daerah memperlihatkan hasil yang cukup baik. Hingga April 2012, hampir seluruh provinsi di Indonesia telah memiliki LPSE. Dari 33 provinsi yang ada, 32 provinsi (97 persen) telah memiliki LPSE. Hanya 1 provinsi yang belum memiliki LPSE, yaitu Provinsi Papua Barat. Sedangkan untuk pengimplementasian e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang), dari 33 provinsi, 31 provinsi (94 persen) telah mengimplementasikan e-procurement dalam proses lelang (operasional lelang), terdapat 2 provinsi yang belum mengimplementasikan, yaitu provinsi Papua Barat dan Maluku Utara. Sementara itu, untuk kabupaten/kota, sebagian besar telah memiliki LPSE. Dari 497 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, sebanyak 312 kabupaten/kota (62,78 persen) telah memiliki LPSE. Namun, perkembangan pembentukan LPSE tersebut belum sejalan dengan pengimplementasian e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang). Dari total 497 kabupaten/kota, hanya 223 kabupaten/kota (44,87 persen) yang telah mengimplementasikan e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang). Hingga saat ini, baru 2 provinsi yaitu Provinsi Kep. Bangka Belitung dan DI Yogyakarta yang seluruh kabupaten/kotanya telah memiliki LPSE dan mengimplementasikan e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang). Sementara itu, terdapat 2 provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Maluku yang seluruh kabupaten/kotanya belum memiliki LPSE dan belum mengimplementasikan e-Procurement dalam proses lelang (operasional lelang). Tabel 3.17 Peta Sebaran Daerah Yang Sudah Menerapkan E-Proc Tahun 2012 No
Daerah
Status E-PROC Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Prov. NAD Prov. Bali Prov. Bangka Belitung Prov. Banten Prov. Bengkulu Prov. D. I. Yogyakarta Prov. DKI Jakarta Prov. Gorontalo Prov. Jambi Prov. Jawa Barat Prov. Jawa Tengah Prov. Jawa Timur Prov. Kalbar Prov. Kalsel Prov. Kalteng Prov. Kaltim Prov. Kepulauan Riau
sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah
No
Kab/Kota(%) 17,4 44,4 100,0 75,0 40,0 100,0 0,0 16,7 45,5 92,3 82,9 63,2 50,0 84,6 21,4 57,1 85,7
Sumber: LKPP, Data Per April 2012
70
Daerah
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Status E-PROC Provinsi
18 Prov. Lampung 19 Prov. Maluku 20 Prov. Maluku Utara 21 Prov. NTB 22 Prov. NTT 23 Prov, Papua 24 Prov. Papua Barat 25 Prov. Riau 26 Prov. Sulbar 27 Prov. Sulsel 28 Prov. Sulteng 29 Prov. Sultra 30 Prov. Sulut 31 Prov. Sumbar 32 Prov. Sumsel 33 Prov. Sumut Total (Rata-rata)
sudah sudah belum sudah sudah sudah belum sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah 94%
Kab/Kota(%) 42,9 0,0 33,3 50,0 9,5 3,5 0,0 58,3 60,0 25,0 36,4 0,0 21,4 95,0 53,3 5,9 44,9%
3.9.3 Opini LKPD Terkait dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2010, hasil pemeriksaan BPK selama tahun 2011 atas 516 LKPD dari keseluruhan 524 pemerintah daerah di Indonesia memperlihatkan bahwa mayoritas pemerintah daerah di Indonesia masih mendapatkan opini 6 WDP , baik untuk level provinsi maupun kabupaten/kota. Dari total 516 LKPD, BPK memberikan opini WTP atas 34 LKPD (7 persen), opini WDP atas 341 LKPD (66 persen), TW atas 26 LKPD (5 persen) dan TMP atas 115 LKPD (22 persen). Di level provinsi, dari 33 pemprov yang menyerahkan LKPD, terdapat 18 persen yang mendapatkan opini WTP atau sebanyak 6 provinsi, yakni Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya terdapat 22 provinsi atau 67 persen yang mendapatkan opini WDP dan yang mendapatkan opini TMP sebanyak 15 persen. Untuk kabupaten, terdapat 16 kabupaten atau baru sebesar 4 persen yang mendapatkan opini WTP. Sedangkan yang mendapatkan opini WDP sebanyak 252 pemda atau 65 persen. Untuk pemerintah kota, perkembangannya lebih baik dibandingkan dengan pemerintah kabupaten, yakni terdapat 12 kota atau sebesar 13 persen yang berhasil mendapatkan opini WTP. Selebihnya, terdapat 67 kota atau 72 persen yang mendapatkan opini WDP.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Gambar 3.50 Peta Kepatuhan Penyampaian LKPD Tahun 2010
Jumlah Kab/Kota
Jumlah LKPD
Sumber: BPK, IHPS II 2011, Maret 2012
6
Terdapat empat kategori hasil penilaian BPK, yaitu a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian – WTP (unqualified opinion); b. Opini Wajar Dengan Pengecualian – WDP (qualified opinion); c. Opini Tidak Wajar – TW (adverse opinion); d. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat – TMP (disclaimer of opinion). Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
71
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2011 yang diterbitkan BPK pada bulan maret 2012, mayoritas pemerintah daerah telah menyerahkan laporan keuangan pemerintah daerah. Untuk level provinsi, 33 pemerintah daerah telah menyampaikan laporan keuangannya. Hanya saja, untuk level kabupaten/kota terdapat 4 (empat) kabupaten yang dikarenakan statusnya sebagai daerah otonom baru sehingga belum berkewajiban menyusun dan menyampaikan laporan keuangan. Keempat daerah tersebut berada di Provinsi Papua, yakni Kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Mamberamo Tengah dan Kabupaten Puncak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh daerah telah memiliki kepatuhan yang tinggi untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan setiap tahunnya. Adapun rekapitulasi capaian opini atas LKPD secara rinci diilustrasikan sebagaimana gambar di bawah ini. Gambar 3.51 Pencapaian Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemda Tahun 2012 1
35 30
WTP
WDP
TMP
3
Papua
1
7 5
Papua Barat
10 9 Maluku
1
6
Maluku Utara
6
2
5 1
Gorontalo
10
Sulawesi Barat
2 1
1
7
Sulawesi Selatan
7
5
7
19 2 18
Sulawesi Tenggara
13 3
Sulawesi Utara
6
Sulawesi Tengah
7
Kalimantan Timur
13
4
1
Kalimantan Selatan
8
Kalimantan Barat
8
4
Kalimantan Tengah
7
14 2
Nusa Tenggara Timur
2
3
1 2
Bali
1
6
2 4 Banten
1
4 1
Jawa Timur
7
Jawa Barat
8
Jawa Tengah
5
Kep. Riau
1
3
DI Yogyakarta
7
1 3
Nusa Tenggara Barat
26
DKI Jakarta
1
8
Lampung
11 12
15
Bengkulu
NAD
1 Sumatera Utara
0
11 5
18
Sumatera Selatan
10 5
3
1
Kep. Bangka Belitung
17 2
33
Riau
15
5
32 2
Jambi
20
1 11
Sumatera Barat
25
TW
Sumber: BPK, IHPS II 2011, Maret 2012
3.9.4 Implementasi SAKIP Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) merupakan upaya untuk memperkuat dan meningkatkan akuntabilitas kinerja. Implementasi SAKIP dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas akuntabilitas kinerja seluruh instansi pemerintah dan melihat komitmen penerapan manajemen pemerintahan berbasis kinerja. Implementasi ini, sekaligus untuk mengawal peningkatan kualitas reformasi birokrasi, khususnya birokrasi yang berorientasi pada hasil (outcome oriented).
72
Buku Pegangan Perencanaan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Setiap tahun, melalui koordinasi Kementerian PAN dan RB, dilakukan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, atas penyelenggaraan manajemen kinerja pada birokrasi pemerintah, pada seluruh instansi pemerintah pusat (Kementerian/Lembaga) dan pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Evaluasi ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi kelemahan dalam penerapan sistem akuntabilitas kinerja di lingkungan instansi pemerintah (SAKIP), (2) memberikan rekomendasi untuk peningkatan dan penguatan akuntabilitas instansi pemerintah dan (3) menyusun peringkat hasil evaluasi guna kepentingan penetapan kebijakan di bidang pendayagunaan aparatur Negara. Adapun kategorisasi penilaian sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 3.18. Tabel 3.18 Pengkategorian Penilaian Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah No
Predikat
Nilai Absolut
Interpretasi
Karakteristik Instansi
1.
AA
>85-100
Memuaskan
Memimpin perubahan, berbudaya kinerja, berkinerja tinggi dan sangat akuntabel
2.
A
>75-85
Sangat Baik
Akuntabel, berkinerja baik, manajemen kinerja yang andal.
3.
B
>65-75
Baik dan perlu sedikit perbaikan
Akuntabilitas kinerjanya sudah baik, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk manajemen kinerja dan perlu sedikit perbaikan.
4.
CC
>50-65
Cukup baik (memadai), perlu banyak perbaikan yang tidak mendasar
Akuntabilitas kinerjanya cukup baik, taat kebijakan, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk memproduksi informasi kinerja untuk pertanggung jawaban, perlu beberapa perbaikan tidak mendasar.
5.
C
>30-50
Agak kurang, perlu banyak perbaikan, termasuk perubahan yang mendasar
Sistem dan tatanan kurang dapat diandalkan, memiliki sistem untuk manajemen kinerja tapi perlu banyak perbaikan minor dan perbaikan yang mendasar.
6.
D
0-30
Kurang, perlu banyak sekali perbaikan dan perubahan yang sangat mendasar.
Sistem dan tatanan tidak dapat diandalkan untuk manajemen kinerja, perlu banyak perbaikan, sebagian perubahan yang sangat mendasar.
memiliki
sistem
Sumber: Kementerian PAN & RB, 2012
Berdasarkan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja tahun 2011, sebanyak 32 dari 33 provinsi telah menyampaikan laporan. Dari jumlah itu hanya 30 provinsi yang dievaluasi dikarenakan 2 provinsi lain terlambat dalam menyampaikan laporan. Sedangkan untuk level kabupaten/kota, sebanyak 422 dari 497 kabupaten/kota telah menyampaikan laporan dan dari jumlah itu hanya 180 kabupaten/kota yang dinilai. Penilaian diprioritaskan bagi daerahdaerah yang pada tahun sebelumnya belum dinilai. Adapun rincian skor LAKIP untuk masingmasing provinsi sebagaimana Tabel 3.19.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
73
Tabel 3.19 Pencapaian Skor LAKIP di Level Provinsi Tahun 2011 No
Provinsi
Predikat
No
1 Jateng B 11 2 Kaltim B 12 3 Bali CC 13 4 DIY CC 14 5 DKI Jakarta CC 15 6 Jabar CC 16 7 Jatim CC 17 8 Kalbar CC 18 9 Kalsel CC 19 10 Kep. Riau CC 20 Sumber: Kementerian PAN & RB, 2012
Provinsi Maluku NTB NTT Riau Sulteng Sulut Sulbar Sulsel Sumut NAD
Predikat
No
CC CC CC CC CC CC CC CC CC C
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Provinsi
Predikat
Banten Bengkulu Gorontalo Jambi Kalteng Kep. Babel Lampung Papua Sulbar Sulsel
C C C C C C C C C C
3.9.5 Perkembangan Politik Indeks Demokrasi Indonesia Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) adalah alat untuk mengukur perkembangan demokrasi di setiap provinsi di Indonesia. Terdapat 3 aspek yang diukur, yaitu aspek kebebasan sipil, hakhak politik dan lembaga demokrasi. Gambar 3.52 Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009 dan 2010 100,00 86,97
90,00
82,53
80,00 70,00
67,30
62,72
63,17
63,11
54,60
60,00
47,87
50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 IDI
Kebebasan Sipil 2009
Hak Politik
Lembaga Demokrasi
2010
Sumber: IDI 2010, Bappenas, UNDP; IDI 2012, BPS
Pada tahun 2009 tingkat kinerja demokrasi rata-rata provinsi di Indonesia mencapai 67,30 atau kategori sedang (Indeks 6080) pada tahun 2010; dan menurunnya Indeks Hak-hak Politik dari 54,60 atau kategori rendah (Indeks 65 persen. Perbaikan penggilingan yang dilakukan meliputi: (1) Mengganti alat dalam dua polisher; (2) Penambahan dua ayakan kawat; (3) Penambahan waterpolish; dan (4) tambahan satu unit alat pengukur kadar air (moisture tester).
5.
Penelitian dan Pengembangan Kegiatan dan Penelitian dan pengembangan benih unggul sangat penting dilakukan guna mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi sehingga dapat menghasilkan produksi yang maksimal. Kegiatan penelitian dan pengembangan dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah.
6.
Penguatan Penyuluhan Upaya pencapaian target surplus beras 10 juta ton sangat memerlukan peran serta aktif penyuluh disetiap daerah. Sehingga sangat diperlukan usaha penguatan
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
141
penyuluh didaerah yang dikoordinasikan dan direncanakan oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah.
5.2.2 Peningkatan Rasio Elektifikasi dan Konversi Energi Sesuai dengan UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi dan UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan maka Pemerintah Daerah (Pemda) ikut serta bertanggung jawab dalam pengelolaan energi. Hal ini selanjutnya akan tertuang dalam kerangka kebijakan yang dimulai dengan penyusunan rencana umum energi daerah (RUED). Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. Untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, Undang-Undang tersebut memberi kesempatan kepada badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan ijin usaha penyediaan tenaga listrik. Selain itu, pemda juga harus ikut serta dalam upaya mengalokasikan dana guna pembangunan infrastruktur energi di daerahnya. Namun Pemerintah Pusat harus tetap berupaya menjaga keadilan dan pemerataan pembangunan dengan melaksanakan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang listrik perdesaan/lisdes. DAK lisdes dimulai pada tahun anggaran 2011, dengan mengupayakan pengembangan energi mikrohidro dan tenaga surya, khususnya untuk daerah dengan kemampuan pendanaan yang rendah serta memiliki kondisi rasio elektrifikasi yang rendah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan potensi pembiayaan dalam pembangunan infrastruktur energi adalah melalui pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta/KPS (public private partnership/PPP). Proyek pembangkit listrik yang menjadi prioritas dan potensial untuk didorong melalui skema pendanaan KPS adalah pembangkit batubara, hidro dan mulut tambang yang dikembangkan pada skala besar. Skema KPS pembangkit listrik skala kecil-menengah akan lebih diarahkan untuk pengembangan pembangkit dengan energi terbarukan seperti tenaga sampah (waste to energy), terutama untuk daerah perkotaan. Adapun untuk skala kecil, seperti untuk pengembangan biogas, lebih baik diarahkan melalui kerjasama dengan pihak koperasi, karena
142
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
hal ini terkait dengan kesesuaian aspek kapasitas, kemampuan pengelolaan, finansial dan sosial ekonomi. Peran Pemerintah Daerah Dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur energi sebagai sarana pendorong pembangunan sosial ekonomi di daerah, maka masih diperlukan peranan Pemerintah Daerah dalam beberapa hal, seperti: (1) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan; (2) prioritasi alokasi pendanaan pembangunan di daerah termasuk efisiensi; (3) pengembangan potensi sosial dan ekonomi sebagai fokus pengembangan industrialisasi di daerah; dan (4) pembinaan dan pengembangan kelembagaan bisnis khususnya koperasi. Hal ini sangat diperlukan agar infrastruktur energi yang dikembangkan tidak hanya menaikkan sisi konsumsi semata, namun dapat memiliki nilai tambah sosial dan ekonomi.
5.3 Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat 5.3.1 Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia Dalam rangka menjadikan SDM sebagai isu sentral pembangunan daerah untuk mendukung upaya meningkatkan dan memperluas kesejahteraan rakyat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memastikan bahwa layanan pendidikan tersedia secara memadai dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Satuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi harus dapat mengakomodasi setiap anak usia sekolah yang memerlukan layanan pendidikan. Bahkan layanan pendidikan harus dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, yang bermukim di daerah tertinggal, kepulauan, terpencil dan perbatasan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membangun infrastruktur pendidikan untuk mendukung peningkatan layanan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus bersinergi dalam memberikan layanan pendidikan agar kinerja pendidikan di setiap daerah makin meningkat. Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Langkah-langkah kongkret untuk meningkatkan kinerja pendidikan dapat ditempuh sebagai berikut: 1. 2.
Menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh provinsi dan kabupaten/kota; Menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang berkualitas dan merata di seluruh provinsi dan kabupaten/kota; Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
143
3.
Memperjelas wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam penyediaan layanan pendidikan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan desentralisasi pendidikan; 4. Mengupayakan pembangunan kapasitas kelembagaan di pemerintahan lokal dan melakukan supervisi untuk meningkatkan tata kelola satuan pendidikan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota, agar pelayanan pendidikan dapat berjalan efektif; 5. Meningkatkan koordinasi di antara lembaga pemerintahan pada semua tingkatan untuk memperlancar proses pembuatan kebijakan pendidikan, yang didukung oleh sistem informasi, kualitas dan validitas data, serta kondisi empiris di lapangan (evidence-based decision making); 6. Menata dan memantapkan sistem pembelajaran yang efektif di setiap satuan pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SPM), serta memperkuat sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi satuan pendidikan untuk menjaga dan mengendalikan mutu pendidikan; 7. Menghitung proporsi anggaran yang harus disediakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan kapasitas fiskal, yang disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab setiap tingkatan pemerintahan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu menghitung kemampuan keuangannya untuk membiayai pendidikan; 8. Menyusun mekanisme yang tepat terkait penggunaan anggaran pendidikan dari pusat dan daerah agar tidak terjadi misalokasi dan inefisiensi. Untuk itu, perlu meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran pemerintah pusat yang dialokasikan melalui dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan; 9. Menyediakan subsidi dan berbagai skema blockgrant untuk meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh provinsi dan kabupaten/kota; 10. Mendorong partisipasi masyarakat, para pemangku kepentingan dan dunia usaha dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan melalui pengembangan program kemitraan yang saling menguntungkan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Dengan langkah-langkah kongkret yang dapat dilaksanakan secara nyata diharapkan layanan pendidikan yang bermutu makin meningkat, yang berkontribusi langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat di seluruh daerah di Indonesia. Peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Agar pelayanan pendidikan lebih optimal dan pelaksanaan desentralisasi pendidikan lebih efektif, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu meningkatkan kerjasama yang harmonis dengan memperhatikan peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Untuk itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu fokus dalam hal-hal sebagai berikut:
144
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Memperbaiki kesenjangan capaian pendidikan dan disparitas partisipasi pendidikan antar daerah dengan memanfaatkan sumber daya potensial yang tersedia, sehingga masing-masing daerah tetap dapat meningkatkan kemajuan pendidikannya, yang diiringi dengan pengurangan disparitas partisipasi pendidikan; Memperbaiki ketimpangan kualitas pendidikan antar daerah melalui (1) penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan bermutu sesuai dengan standar pelayanan minimal; (2) memperbaiki manajemen guru dengan menata persebaran pendidik yang lebih merata di seluruh daerah, termasuk memenuhi kebutuhan guru di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan; (3) memfasilitasi dan memberi kemudahan perpindahan guru antar kabupaten/kota dan antar satuan pendidikan dalam konteks penerapan best practices dan knowledge sharing dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan; Memastikan dan memperkuat institusi-institusi penyelenggara pendidikan (Dinas Pendidikan, Kandepag) dan satuan pendidikan agar dapat menjalankan tugas dan fungsi pelayanan pendidikan dengan baik; Menyediakan data dan informasi yang akurat untuk dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perumusan dan pembuatan kebijakan pembangunan pendidikan nasional untuk dilaksanakan di daerah; Menghitung kebutuhan nyata anggaran pendidikan dengan menyusun satuan biaya pendidikan per siswa pada setiap jenjang pendidikan sesuai dengan SPM. Selain itu, menghitung pula proyeksi kebutuhan anggaran per jenjang pendidikan yang disertai dengan perhitungan proyeksi perkembangan jumlah siswa dari tahun ke tahun berdasarkan perkembangan jumlah penduduk di setiap daerah; Mendorong peningkatan peran masyarakat dalam rangka pemberian beasiswa bagi siswa miskin dan meningkatkan kapasitas pengelolaan pemberian beasiswa dalam hal pendataan, sasaran dan mekanisme penyaluran.
5.3.2 Percepatan Pengurangan Kemiskinan Untuk meningkatkan efektivitas upaya percepatan pengurangan kemiskinan dalam kerangka penguatan ekonomi domestik diperlukan sinergi antara pusat dan daerah. Secara makro, peran pemerintah pusat lebih dititikberatkan kepada upaya untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan melalui pelaksanaan rencana investasi dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Sementara, pemerintah daerah diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan seluruh kegiatan investasi di koridor-koridor ekonomi yang berada di daerahnya masing-masing. Dengan sinergi yang tepat dan koordinasi yang intensif diharapkan pelaksanaan rencana investasi MP3EI akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan memperluas kesempatan kerja secara nasional. Selanjutnya, secara makro pemerintah pusat dan Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
145
pemerintah daerah berperan dalam menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat tidak jatuh melalui upaya mempertahankan kestabilan harga bahan pangan pokok. Harga bahan pangan pokok yang stabil merupakan kunci dalam pengendalian tingkat inflasi. Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam upaya menjaga dan mengamankan ketersediaan stok bahan pangan pokok serta pengamanan distribusi bahan pangan pokok. Peran Pemerintah Pusat Dalam konteks kebijakan afirmatif, pemerintah pusat berperan dalam: 1. 2.
3.
Merumuskan strategi dan kebijakan 4 (empat) klaster Program Penanggulangan Kemiskinan, termasuk perencanaan program dan penganggarannya. Dalam konteks peningkatan kualitas implementasi program dan kegiatan di daerah, pemerintah pusat telah memberikan perangkat (tools) yang terkait dengan sistem perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi kemiskinan (Pro-poor Planning, Budgeting, Monitoring and evaluation system atau P3BM) yang telah diterapkan di 66 kabupaten/kota dan program pengembangan sistem perencanaan partisipatif (P2SPP) atau yang dikenal dengan PNPM Mandiri Integrasi yang telah diterapkan di 75 kabupaten/kota, serta Memberikan pengembangan kapasitas (capacity building) dan penguatan kelembagaan (institutional strengthening) bagi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD).
Peran Pemerintah Daerah Pemerintah daerah - melalui TKPKD Provinsi dan TKPKD Kabupaten/Kota - harus lebih intensif dalam melakukan: 1. 2. 3.
146
Mengintegrasikan perencanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan ke dalam mekanisme dan proses perencanaan reguler melalui Musrenbang; Meningkatkan sinkronisasi perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan kegiatan penanggulangan kemiskinan di daerah; dan Meningkatkan koordinasi kelembagaan lintas SKPD serta peningkatan intensitas peran dan fungsi TKPKD dalam mengkoordinasikan, mensikronisasikan dan mengintegrasikan seluruh lembaga, program dan kegiatan yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan di daerah.
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
5.4 Pemantapan Stabilitas Politik 5.4.1 Persiapan Pemilu 2014 dan Pilkada Langkah utama yang diperlukan dan sangat mendesak dilakukan adalah memberikan memberikan fasilitasi dan dukungan sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Pemilu dalam melaksanakan amanat perundang-undangan untuk menyelenggarakan Pemilu 2014. Hal ini dengan mengingat amanat Pasal 126 UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dan fasilitas kepada Penyelenggara Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Adapun dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut: 1.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan dan fasilitas berupa: Penugasan personel pada sekretariat Panwaslu kabupaten/kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panwaslu kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) Penyediaan sarana ruangan sekretariat Panwaslu kabupaten/kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panwaslu kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara (PPS); Pelaksanaan sosialisasi; Kelancaran transportasi pengiriman logistik; Monitoring kelancaran penyelenggaraan Pemilu; Kegiatan lainnya yang pelaksanaannya dilakukan setelah ada permintaan dari Penyelenggara Pemilu.
2.
Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat membantu pendanaan untuk kelancaran penyelenggaraan pemilihan gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
3.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah masing-masing perlu melakukan koordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Kepolisian Daerah (Polda) untuk menyiapkan pengamanan yang optimal untuk keberlangsungan pelaksanaan setiap proses tahapan pemilu.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
147
Gambar 5.3 Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014
Sumber: KPU, 2012
5.4.2 Perbaikan Kinerja Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi Strategi Peningkatan Kualitas SDM Aparatur Optimalisasi kinerja birokrasi sangat tergantung pada kapasitas, kompetensi, integritas dan kinerja dari SDM Aparatur, dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam rangka memperbaiki manajemen kepegawaian negara, saat ini sedang dilakukan pembahasan antara pemerintah dengan DPR dalam rangka penyusunan RUU Aparatur Sipil Negara (ASN). Penyusunan RUU ini untuk menggantikan UU No. 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini. Sedangkan beberapa kebijakan yang telah berhasil diterbitkan pada tahun 2011, antara lain: (1) PP 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS; (2) PP 44/2011 tentang Pemberhentian PNS; dan (3) Permenpan & RB No. 63/2011 tentang Pedoman Penataan Sistem Tunjangan Kinerja Pegawai Negeri. Di samping itu, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan moratorium penerimaan PNS, yang ditetapkan melalui Peraturan Bersama antara Menteri PAN & RB, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan No. 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, No. 800-632 Tahun 2011, No. 141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Dalam masa penundaan tersebut, instansi pusat dan daerah diharapkan dapat melakukan penghitungan kebutuhan jumlah PNS yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja
148
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
untuk melakukan penataan organisasi (rightsijing) dan penataan PNS dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Sebagai dasarnya, telah diterbitkan PermenPAN & RB Nomor 26 tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah kebutuhan PNS untuk Daerah. Sebagai tindak lanjutnya, pada tahun 2012 ini akan diselenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi 4.125 tenaga Analisis Jabatan (Anjab) di K/L/Pemda yang nantinya diharapkan dapat disusun peta jabatan dan profil kebutuhan PNS pada seluruh instansi pusat dan daerah. Berdasarkan peta SDM Aparatur dan berbagai kebijakan yang telah diterbitkan tersebut, maka strategi yang dapat ditempuh dalam rangka peningkatan kualitas SDM Aparatur oleh pemerintah daerah adalah antara lain: 1. 2. 3.
4. 5.
Melakukan penataan kepegawaian daerah dengan menghitung kebutuhan pegawai sesuai dengan kebutuhan riil (right sijing); Melakukan realokasi penempatan pegawai sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan; Memperkuat manajemen SDM pegawai dengan membangun sistem pola karir, sistem promosi/demosi dan mutasi, model/sistem seleksi penerimaan dan penempatan pegawai; Memperkuat manajemen pengembangan kapasitas dan profesi pegawai dengan membangun sistem pengembangan karir dan kapasitas pegawai yang profesional; Meningkatkan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan diklat pegawai, khususnya diklat teknis terampil.
Melalui strategi tersebut, diharapkan SDM Aparatur dapat menjadi pendorong perubahan dan peningkatan kinerja di lingkungan pemerintah daerah, sehingga secara langsung maupun tidak langsung, turut memberikan kontribusi bagi peningkatan daya saing birokrasi daerah. Strategi Perluasan Penerapan E-Procurement Sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperluas penerapan e-procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
2. 3.
Gubernur/Bupati/Walikota berkewajiban membentuk LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik; K/L/I dapat membentuk LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik; ULP/Pejabat Pengadaan pada Kementerian/Lembaga/PerguruanTinggi/BUMN yang tidak membentuk LPSE, dapat melaksanakan Pengadaan secara elektronik dengan menjadi pengguna dari LPSE terdekat.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
149
Selain langkah di atas, upaya lain yang dilakukan dalam rangka perluasan penerapan eprocurement, dilakukan melalui penetapan aksi sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Dalam Inpres tersebut telah dirumuskan program aksi berupa Pelaksanaan Transparansi Proses Pengadaan Badan Publik, dengan LKPP sebagai instansi penanggung jawab. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah dalam APBN/APBD tahun 2012, sekurang-kurangnya 75 persen dari seluruh belanja K/L dan 40 persen belanja Pemda (Prov/Kab/Kota) yang dipergunakan untuk pengadaan barang/jasa wajib menggunakan SPSE melalui LPSE sendiri atau LPSE terdekat. Strategi Peningkatan Opini/Kualitas Laporan Keuangan Daerah Dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), Pemerintah telah menetapkan beberapa sasaran yang harus dicapai oleh pemerintah daerah, antara lain meningkatnya jumlah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi 60 persen pada akhir tahun 2014. Kebijakan ini ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Untuk mendukung pencapaian sasaran tersebut, pemerintah juga telah menetapkan beberapa kebijakan terkait, antara lain Inpres Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Akuntabilitas Keuangan Negara dan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Pembinaan Aset Daerah. Dengan dicapainya opini WTP, diharapkan dapat mendorong pencapaian kinerja pemerintah darah yang lebih baik. Berdasarkan peta pencapaian opini BPK atas Laporan Keuangan Pemda sampai tahun 2010, maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan opini dan kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) antara lain adalah: 1.
Meningkatkan komitmen dan pemahaman dari pimpinan pemerintah daerah (kepala daerah, DPRD, kepala SKPD) untuk mencapai kualitas terbaik laporan keuangan pemerintah daerah (opini WTP) berikut aksi dan instruksi yang jelas atas komitmen yang telah ditetapkan;
2.
Menyusun Rencana Aksi Menuju opini WTP dengan membangun infrastruktur pengelolaan keuangan daerah yang kuat, antara lain (minimal) terdiri dari: perbaikan sistem, prosedur dan pelaporan pengelolaan keuangan dan barang milik daerah (sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah); peningkatan kompetensi dan kapasitas SDM pengelola keuangan daerah melalui penerimaan pegawai baru dan peningkatan kualitas pelaksanaan bimtek/diklat bagi para pengelola keuangan negara. Kegiatan bimtek/diklat bertujuan untuk memberikan pemahanan praktis kepada para pengelola keuangan agar mampu
150
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
dalam menyusun neraca daerah, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan; penguatan/pengefektifan fungsi APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) dalam mengintensifkan langkah-langkah pencegahan terhadap korupsi pada pelaksanaan/realisasi APBD; penguatan SPIP sesuai PP 60 tahun 2008; penguatan manajemen aset; penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK, dll.
3.
Melaksanakan/memperhatikan peraturan/pedoman terkait peningkatan kualitas laporan keuangan, antara lain: PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP; PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; Inpres Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Akuntabilitas Keuangan Negara; Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Pembinaan Aset Daerah; Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; Permenkeu Nomor 242 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2012 (persyaratan opini WTP dan WDP untuk mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) TA 2012); Surat Keputusan Kepala BPKP Nomor Kep-420/K/2007 tentang Pedoman Review Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
4.
Memanfaatkan kegiatan-kegiatan KL yang bertujuan memfasilitasi/membantu pengelolaan keuangan daerah: Asistensi yang diberikan BPKP pada pemerintah daerah untuk meningkatkan opini laporan keuangan daerah sebagai berikut: a. Pendampingan penyusunan laporan keuangan; b. Pendampingan penataan aset; c. Pendampingan penyusunan sistem akuntansi dan SOP Pengelolaan Keuangan; d. Bimtek Pengelolaan Keuangan; e. Penyediaan sistem pengelolaan keuangan berbasis komputer (SIMDA keuangan, SIMDA gaji, SIMDA BMD/aset.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
151
BPKP bersama beberapa pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang belum berhasil memperoleh opini WTP atas LKPD, telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk menuju opini WTP. Ruang lingkup pendampingan dalam Mou antara lain: a. Pengembangan dan penyelenggaraan sistem akuntansi pemerintah daerah; b. Peningkatan kapasitas aparat pengawasan intern pemerintah daerah; dan c. Pengembangan dan penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP). Asistensi yang diberikan Kemendagri pada pemerintah daerah untuk meningkatkan opini laporan keuangan daerah sebagai berikut: a. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah; b. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah; c. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah; d. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Barang Milik Daerah; e. Membina Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Kepala Daerah tentang Kebijakan Bantuan Sosial; f. Membina Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan dan Penatausahaan Pengelolaan Keuangan Daerah; g. Membina Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan APBD.
Kementerian Dalam Negeri saat ini sedang menyusun Permendagri tentang Pedoman Penerapan Standar Akuntansi berbasis Akrual. Setelah ditetapkan, Permendagri ini akan disosialisasikan secara bertahap. Strategi Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) Akuntabilitas kinerja merupakan wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam mencapai misi dan tujuan organisasi, melalui serangkaian program dan kegiatan yang dilaksanakan dengan dukungan anggaran negara, sehingga terwujud manajemen berbasis kinerja pada lingkungan birokrasi pemerintah. Hal inilah yang mendasari diterapkannya Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Implementasi SAKIP pada awalnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Namun demikian, seiring perkembangan dan penerapan sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja pada seluruh instansi pemerintah, pusat dan daerah, maka implementasi SAKIP harus juga merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada, antara lain:
152
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
1. 2. 3. 4.
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Sebagai wujud implementasi SAKIP tersebut, maka instansi pemerintah harus menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahunnya. LAKIP tersebut, melalui koordinasi Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi dilakukan evaluasi dan penilaian, yang dilaksanakan berdasarkan, yakni: 1. Surat Keputusan Menpan Nomor: KEP-135/M.PAN/2004 tentang Pedoman Umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; dan 2. Permenpan dan RB Nomor 35 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011. Oleh karena itu, strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan akuntabilitas kinerjanya, sehingga mendapatkan predikat yang lebih baik dari hasil penilaian LAKIP-nya, antara lain: 1.
2.
3.
4.
Memiliki dokumen perencanaan yang baik, antara lain Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis pada setiap SKPD, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja dan Anggaran Daerah; Dokumen perencanaan tersebut, harus dimanfaatkan dengan baik sehingga terwujud konsistensi antara rencana yang telah ditetapkan dengan implementasinya. Oleh karena itu, penting bagi setiap daerah memiliki perencanaan kinerja tahunan secara terukur dan menerapkan kontrak kinerja di setiap unit kerja instansi pemerintah, khususnya bagi setiap pimpinan unit kerja; Setiap kinerja yang dihasilkan oleh instansi, harus dapat diukur secara tepat, valid dan sedapat mungkin dalam bentuk kuantitatif. Oleh karena itu, setiap instansi pemerintah harus merumuskan dengan baik dan telah memiliki indikator yang tepat, dalam bentuk Indikator Kinerja Utama (IKU), Indikator Kinerja Kegiatan dan dilakukan pengukuran hasil kinerjanya, serta dilengkapi dengan analisis hasil pengukuran. Menyusun laporan akuntabilitas kinerja secara sistematis, komprehensif dan secara tepat mampu menyajikan kinerja yang dihasilkan dengan indikator yang terukur, dibandingkan dengan dokumen perencanaannya. Indikator-indikator kinerja yang menjadi target setiap tahunnya, harus diungkapkan pencapaiannya dengan data dan informasi yang jelas. Apabila terdapat data dan informasi tambahan, selain pencapaian indikator tersebut, dapat dituangkan dalam Laporan atau lampiran laporan, sebagai penjelasan atas kelengkapan kinerja yang telah dicapainya.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
153
Dalam menempuh strategi peningkatan akuntabilitas kinerjanya seperti di atas, pemerintah daerah hendaknya dapat berkonsultasi dengan beberapa instansi, yakni Kementerian PAN dan RB, BPKP Perwakilan di setiap provinsi, LAN dan instansi lainnya yang kegiatankegiatannya memiliki keterkaitan substansi dengan peningkatan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
5.5 Pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 5.5.1 Regulasi Untuk mendukung realisasi percepatan dan perluasan kegiatan ekonomi utama, selain percepatan pembangunan dukungan infrastruktur, diperlukan dukungan non-infrastruktur berupa pelaksanaan, penetapan atau perbaikan regulasi dan perijinan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Tujuan umum yang ingin dicapai dalam perbaikan regulasi dan perijinan adalah sebagai berikut: 1. Mempercepat penyelesaian peraturan pelaksanaan undang-undang; 2. Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik di tingkat pusat dan daerah, maupun antara sektor/lembaga; 3. Merevisi atau menerbitkan peraturan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung strategi MP3EI (seperti Bea Keluar beberapa komoditi); 4. Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan ekonomi utama yang sesuai dengan strategi MP3EI; 5. Mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian perijinan. Peran Pemerintah Daerah Upaya-upaya debottlenecking tersebut tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari pemerintah daerah terutama untuk melakukan upaya debottlenecking guna memperbaiki iklim investasi di daerah masing-masing. Untuk itu, perlu upaya bersama untuk mengatasi permasalahan yang membutuhkan perbaikan regulasi dan perijinan, diantaranya: 1.
154
Pembagian tanggung jawab terkait dengan regulasi/perijinan bersifat lintas kewenangan: Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan dari sisi administrasi. Pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan mereka sendiri, struktur tarif dan waktu standar untuk ijin-ijin tertentu yang mungkin sejalan dan tidak sejalan dengan keputusan menteri yang berlaku untuk ijin yang sama. Untuk itu, dibutuhkan koordinasi yang lebih baik antara dinasi-
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
dinas perijinan di daerah dan departemen teknis. Panduan perijinan usaha yang jelas dan lengkap akan meniadakan inkonsistensi antara peraturan-peraturan di tingkat pusat dan daerah dan mengurangi inefisiensi dan peluang untuk melakukan tindak korupsi. 2.
Banyaknya pungutan/retribusi yang diterapkan di daerah. Hal ini dikarenakan kurangnya “pemahaman filosofi dan prinsip pungutan” sehingga diperlukan kejelasan subjek dan objeknya, kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut/pemerintah daerah, serta koneksi antara tujuan dan isi peraturan daerah (Perda). Semua hal ini harus berpedoman pada UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3.
Masih banyaknya Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum merevisi RTRW sesuai dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hal ini dapat menghambat proses pemberian ijin usaha bagi investor karena salah satu kriteria pemberian ijin usaha adalah kesesuaian dengan tata ruang. Untuk itu, perlu adanya percepatan penyelesaian penyusunan RTRW. Namun agar pelaksanaan pembangunan tidak terhambat, maka daerah dapat tetap menggunakan RTRW yang berlaku, kecuali pada kawasan yang masih konflik dengan kawasan kehutanan.
4.
Terkait debottlenecking regulasi yang menghambat proses investasi di daerah, maka perlu upaya untuk: Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik di tingkat pusat dan daerah, maupun antara sektor/lembaga; Merevisi atau menerbitkan peraturan daerah yang sangat dibutuhkan untuk mendukung percepatan pelaksanaan MP3EI; Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan ekonomi utama yang sesuai dengan MP3EI; Mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian perijinan.
5.5.2 Konektivitas Percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur dalam kerangka penguatan konektivitas nasional telah ditetapkan menjadi salah satu strategi utama dalam pelaksanaan MP3EI. Tujuan utama penguatan konektivitas nasional tersebut adalah (1) meningkatkan kelancaran arus barang, jasa dan informasi; (2) menurunkan biaya logistik; (3) mengurangi ekonomi biaya tinggi; (4) mewujudkan sinergi antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi; dan (5) mewujudkan akses yang merata di seluruh wilayah.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
155
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam rangka mensukseskan MP3EI selain berperan dalam mensinergikan kebjiakan di daerah dengan kebijakan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah juga sangat sentral untuk: 1. Mendorong percepatan proses pembebasan lahan dalam pembangunan infrastruktur di wilayahnya dengan berpedoman kepada UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang telah disahkan oleh DPR. 2. Membangun komitmen untuk mensukseskan penyediaan infrastruktur dalam mendukung MP3EI. Komitmen untuk mensukseskan MP3EI bukan hanya antara Pemerintah Pusat, BUMN dan swasta, namun Pemerintah daerah juga harus terlibat aktif sehingga anggaran belanja modal daerah dapat dipakai untuk mendukung platform besar ini. Peran Pemerintah Daerah Untuk mempercepat pencapaian tujuan konektivitas nasional, dalam jangka pendek Pemerintah telah memprioritaskan percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur disetiap koridor ekonomi, dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang akan digunakan sebagai landasan penyusunan RAPBN. Akan tetapi, untuk mengoptimalkan pelaksanaan MP3EI perlu upaya sinergitas nasional dan daerah dalam pembangunan infrastruktur, diantaranya: 1. Pendanaan pembangunan infrastruktur melalui APBN sangat terbatas, sehingga pemanfaatan infrastruktur nasional perlu disertai dan disinergikan dengan pembangunan infrastruktur provinsi dan lokal. Dengan demikian multiplier-effects untuk mendorong pembangunan daerah akan lebih besar (contoh sinergi antara pembangunan jalan nasional dengan jalan provinsi dan kabupaten/kota; jaringan irigasi primer dengan irigasi sekunder dan tersier). 2. Para Gubernur perlu mengidentifikasi pembangunan infrastruktur nasional yang "strategis dan penting“ untuk mempercepat pembangunan daerah yang bersangkutan (contoh Gubernur Jawa Tengah mengusulkan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas, pengembangan Bandara A. Yani, pembangunan Waduk Jati Barang, penyelesaian pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo (Ungaran-Bawean dan Bawean-Solo); Gubernur NTB mengusulkan pembangunan Waduk Pandan Duri dan Jalan Trans Nusa Tenggara).
5.5.3 Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peningkatan kemampuan SDM dan IPTEK menjadi salah satu dari 3 (tiga) strategi utama pelaksanaan MP3EI. Hal ini dikarenakan pada era ekonomi berbasis pengetahuan, mesin
156
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk inovasi. Dalam konteks ini, peran sumber daya manusia yang berpendidikan menjadi kunci utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karena itu, tujuan utama di dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mendukung hal tersebut diatas haruslah bisa menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan sains dan teknologi. Peran Pemerintah Daerah Untuk itu, dalam pengembangan SDM dan IPTEK juga membutuhkan peran dari setiap Pemerintah Daerah, diantaranya dalam: 1.
Mendukung pengembangan program pendidikan vokasi. Program pendidikan vokasi didorong untuk menghasilkan lulusan yang terampil. Oleh karena itu, pengembangan program pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan potensi di masing-masing koridor ekonomi. Di setiap kabupaten/kota minimal harus dikembangkan pendidikan tinggi setingkat akademi (community college) atau politeknik dengan bidang-bidang yang sesuai dengan potensi di kabupaten tersebut. Pengembangan community college, yang menyelenggarakan program diploma 1, diploma 2 dan diploma 3, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang langsung dapat diserap oleh kegiatan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap koridor ekonomi. Oleh karena itu pengembangan community college dilakukan dengan secara bersama-sama antara pemerintah, dunia usaha dan universitas sebagai pengelola community college. Mutu community college dibina oleh politeknik yang dikembangkan di ibukota provinsi. Politeknik tersebut dikembangkan sesuai dengan potensi dan keunggulan setiap koridor ekonomi. Selain pengembangan pendidikan tinggi, pengembangan sumber daya manusia juga dilakukan dengan pengembangan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pengembangan pelatihan kerja dan pengembangan lembaga sertifikasi.
2.
Pembentukan klaster inovasi daerah untuk pemerataan pertumbuhan. MP3EI mendorong dan memberdayakan upaya masyarakat, pelaku usaha, pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif untuk menumbuhkembangkan potensi inovasi pada beberapa produk dan program unggulan wilayah, antara lain: a. Model Pengembangan Kawasan Inovasi Agroindustri, di Gresik Utara Provinsi Jawa Timur; b. Model pengembangan kawasan industri inovasi produk-produk hilir yang terintegrasi, untuk pengembangan kelapa sawit, kakao dan perikanan; c. Model Pengembangan Kawasan Inovasi Energi yang berbasis non-renewable dan renewable energy di Provinsi Kalimantan Timur.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
157
5.6 Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah Untuk Mendukung Penguatan Ekonomi Domestik Proses perencanaan dan penganggaran yang baik akan sangat berperan penting dalam meningkatkan peran pemerintah untuk memperkuat ekonomi domestik. Mekanisme perencanaan dan penganggaran pada umumnya menggunakan lima pendekatan dasar, yaitu: (i) pendekatan teknokratik, (ii) pendekatan politik, (iii) pendekatan partisipatif, (iv) pendekatan top down, serta (v) pendekatan bottom up. Pendekatan politik akan menghasilkan rencana pembangunan sebagai hasil penjabaran visi misi presiden atau kepala daerah yang dijabarkan dalam RPJMN atau RPJMD. Sementara yang melalui proses teknokratik menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional yang menjadi tugasnya. Pendekatan partisipatif terjadi dimana jika perencanaan dan penganggaran melibatkan semua stakeholder, salah satunya adalah melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sedangkan pendekatan top down dan bottom up dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Kelima pendekatan tersebut sangat penting digunakan dalam proses perencanaan dan penganggaran pemerintah khususnya digunakan untuk menyusun dan memformulasikan suatu kebijakan. Gambar 5.4 Faktor Pendukung Daya Saing Daerah
Sinergi Input, Output, Outcome
Berkelanjutan
Daya Saing Daerah Memperhatikan Kemajuan Teknologi dan Perubahan Kelembagaan
Bersaing secara nasional maupun internasional
Sumber: Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, SE, MA, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Daerah melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta, 26 Juni 2012.
Strategi perencanaan dan penganggaran untuk menguatkan perekonomian domestik dapat dicapai dengan adanya sinergi antar pusat-daerah yang baik. Sinergi dalam kerangka kebijakan pembangunan Pusat-Daerah dan antar daerah diperlukan untuk menjamin: (1)
158
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
koordinasi antar pelaku pembangunan di pusat dan daerah; (2) terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (3) keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (4) optimalnya partisipasi masyarakat di semua tingkatan pemerintahan; dan (5) tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Langkah-langkah yang diperlukan pemerintah daerah melalui sinergi pusat-daerah adalah: 1.
Melakukan sinkronisasi RPJMD dan RKPD dengan prioritas nasional yang tercantum dalam RPJMN 2010 – 2014 dan RKP. Hal ini dapat dilakukan melalui: (i) sinkronisasi tujuan, sasaran, program, kegiatan dan alokasi anggaran daerah sesuai dengan tujuan dan sasaran RPJMN 2010 – 2014 dan RKP; dan (ii) sinkronisasi renstra SKPD dengan renstra K/L sesuai dengan tujuan dan sasaran RPJMN 2010 – 2014 dan RKP.
2.
Menitikberatkan penganggaran pada peningkatan belanja modal, terutama untuk meningkatkan daya saing daerah. Daya saing daerah adalah kemampuan untuk mensinergikan antara input, output dan outcome yang ada di daerahnya secara berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan perubahan teknologi dan institusi yang ada di daerah tersebut agar dapat bersaing dengan baik di tingkat nasional maupun internasional sehingga mampu meningkatkan standar kehidupan masyarakat.
3.
Memonitor pelaksanaan rencana pembangunan dan realisasi anggaran, terutama yang terkait dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, menjaga iklim investasi, meningkatkan hubungan kerjasama antar daerah dan kemitraan pemerintah-swasta, serta meningkatkan akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung ekonomi daerah.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
159
Boks 5.1 Kinerja Daerah Dalam Kemudahan Berusaha Peringkat daya saing Indonesia dalam Ease of Doing Business (EODB) tahunan yang dilaksanakan oleh IFC Bank Dunia, jauh di bawah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand dan Malaysia. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa posisi Indonesia yang pada tahun 2011 berada pada peringkat ke 126 menurun menjadi ke 129 pada tahun 2012. Sementara Singapura tetap menduduki posisi pertama selama 4 tahun berturut-turut. Posisi Thailand dan Malaysia terus menerus membaik, bahkan pada tahun 2012 telah berada pada peringkat tidak lebih dari 20. Survei tersebut dilakukan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di kota-kota bisnis dunia. Untuk Indonesia diwakili oleh Jakarta. Dari hasil survei kemudahan berusaha tingkat global, daya saing berusaha di Indonesia dibandingkan negara lain masih belum baik. Namun ternyata potret berbeda diperoleh saat survei dilakukan di 20 kota di Indonesia dari 400 kota di dunia yang terpilih dalam survei Sub National Doing Business (SNDB). Berdasarkan survei SNDB, kota dengan kemudahan perijinan menjadi salah satu pertimbangan bagi para pengusaha untuk membangun atau mengembangkan usahanya. Secara nasional, Yogyakarta adalah kota termudah dan tercepat dalam mendirikan usaha, Balikpapan (Kalimantan Timur) merupakan kota termudah dalam mengurus ijin mendirikan bangunan, sementara Bandung (Jawa Barat) dan DKI Jakarta adalah yang termudah dalam mendaftarkan properti. Bahkan untuk beberapa indikator kota-kota tersebut dapat lebih cepat dengan prosedur yang lebih pendek dibandingkan rata-rata 20 kota di Indonesia yang disurvei dan
APEC.
Balikpapan, Jambi dan Palembang dalam memberikan kemudahan mendirikan bangunan lebih cepat dan lebih murah dari rata-rata 20 kota yang disurvei di Indonesia, bahkan dari rata-rata anggota APEC.
160
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Boks 5.1 (Lanjutan) Kinerja Daerah Dalam Kemudahan Berusaha
Dalam memberikan kemudahan mendaftarkan properti, Bandung, Jakarta, Palembang lebih cepat dari rata-rata 20 kota yang disurvei di Indonesia dan terhadap rata-rata negara Asia timur dan Pasifik.
Sumber: Doing Business di Indonesia 2012, IFC Bank Dunia
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
161
Boks 5.2 Kisah Sukses Pelaksanaan PTSP di Parepare dan Sragen Fenomena membaiknya pelayanan publik dalam beberapa tahun terakhir ini bisa dijumpai di beberapa daerah yang telah membangun pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) atau yang dikenal dengan One Stop Services (OSS) antara lain di Kota Parepare dan Kabupaten Sragen. Daerah-daerah tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip Good Public Governance. Dengan dicapainya ISO 9001:2000 atas kualitas manajemennya, maka kantor pelayanan perijinan Kota Parepare dan Kabupaten Sragen merupakan sebagian contoh pelaksanaan pemberian pelayanan perijinan prima yang berhasil disediakan pemerintah kepada masyarakat, dalam lingkup daerah yang bersangkutan. Dengan tidak mengesampingkan prestasi dari daerah-daerah lain yang juga tengah berbenah menuju birokrasi yang friendly, di kedua kota/kabupaten tersebut dapat memberikan pelayanan beberapa perijinan dan non perijinan dalam waktu dan dengan biaya yang terukur jelas (lama dan besarannya). Dengan kemajuan kualitas pelayanan dari kedua daerah tersebut telah menumbuhkan optimisme baru terhadap kinerja birokrasi dan menyemangati adanya harapan bagi bangsa ini untuk tampil lebih baik dan berdaya saing nantinya.
Untuk meraih status sebagai PTSP yang mampu menyediakan layanan prima, merupakan hasil kerja yang didesain (by design) dan dilakukan terus menerus sehingga memperoleh kepercayaan masyarakatnya. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat karena pada awalnya, masyarakat termasuk investor enggan berhubungan langsung dengan aparat, namun dengan berdirinya PTSP yang memberlakukan kemudahan, transparansi dan keramahan dalam pengurusan berbagai surat, pengajuan ijin usaha dan pelaporan, dengan didukung kondisi kantor yang nyaman, petugas dengan seragam pegawai swasta yang siap melayani dengan senang hati maka secara perlahan PTSP mendapat kepercayaan dari masyarakat. Bahkan selanjutnya kantor-kantor tersebut mendapat brand image baru yang positif.
162
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Boks 5.2 (lanjutan) Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Parepare, Sulawesi Selatan Kantor pelayanan perizinan Parepare berdiri sejak bulan Juni 2011. Di kantor tersebut dengan jelas dipasang slogan “kawasan bebas korupsi” dan “apabila bisa dipercepat kenapa diperlambat?”. Slogan tersebut ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas pelayanan perijinan. Waktu yang diperlukan untuk mengurus izin atau mendapatkan surat keterangan berkisar dari 15 menit hingga tujuh hari. Proses yang memakan waktu sampai tujuh hari biasanya hanya izin-izin yang membutuhkan verifikasi, seperti izin tempat usaha, izin gudang, industri dan lainnya yang memerlukan pengecekan ke lapangan untuk melihat lokasi, keterangan dari tetangga dan hal lain yang diperlukan sesuai peraturan dan prosedur yang berlaku. Beberapa contoh perijinan yang dapat diproses dengan cepat antara lain, untuk pengurusan KTP, biasanya kurang dari satu hari atau setengah hari. Untuk NPWP, rata-rata hanya 15 menit. Akta catatan sipil, izin trayek angkutan kota dan izin usaha angkutan hanya dua hari, sementara izin pemasangan reklame sekitar tiga hari. Proses pembayaran dilakukan di Bank Sulawesi Selatan. Untuk menjaga transparansi, maka pada besaran biaya dan angka dicantumkan pada bagian bawah surat keterangan yang dikeluarkan sesuai dengan perda dan juga jumlah yang dibayarkan di bank, sehingga tidak ada uang beredar di PTSP tersebut. Beberapa perijinan bahkan dibebaskan dari biaya, antara lain: SIUP, TDP, TDI, ijin peruntukan penggunaan tanah, NPWP, ijin usaha kepariwisataan, perijinan dan non perijinan di bidang penanaman modal.
Kualitas kinerja manajemen KPPT Parepare telah mencapai sertifikat ISO 9001 versi 2000 pada tahun 2004, 2007 dan renewal and upgrade ke ISO 9001:2008 pada tahun 2011. Prestasi yang diperoleh KPPT Parepare selain sertifikat ISO, antara lain adalah: Piala Citra Pelayanan Prima dari Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) tahun 2002, 2006, 2009, Piagam dari Mendagri sebagai narasumebr Permendagri No 24 tahun 2006 tentang PTSP tahun 2006, Piagam sebagai PTSP kota terbaik dari Mendagri tahun 2007, Piagam Mendagri atas prestasi kontinuitas konsekuensi dan komitmen pelaksanaan PTSP tahun 2009, investment award/PTSP kota terbaik dari BKPM tahun 2011, piala otonomi award tahun 2009 sampai dengan 2011, penghargaan dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah dan penghargaan dari The Asia Foundation. Banyaknya prestasi yang diperoleh KPPT Parepare, telah menjadikan percontohan setidaknya bagi 359 kabupaten/kota/lembaga yang datang berkunjung. Selain itu, keberhasilan pelaksanaan KPPT Parepare telah menjadikan sumber informasi tidak kurang dari 115 daerah/lembaga pada seminar dan sosialisasi pelayanan PTSP. Implementasi KPPT Parepare telah membantu berperan meningkatkan iklim investasi dan iklim usaha di Kota Parepare yang tercermin dari meningkatnya jumlah perijinan yang diproses dan berimplikasi pada peningkatan PAD yang mencapai 442,9 persen selama periode tahun 2003 sampai dengan 2011.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
163
Boks 5.2 (lanjutan) Badan Pelayanan Terpadu Sragen, Jawa Tengah Badan Palayanan Terpadu (BPT) Sragen beroperasi secara resmi pada bulan Oktober 2002 dengan slogan: “Satu hati untuk melayani. Mudah cepat, transparan dan pasti”. Latar belakang berdirinya BPT Sragen adalah adanya keinginan masyarakat akan kemudahan dan penyederhanaan pelayanan pemerintah untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. BPT Sragen menerima pendelegasian kewenangan langsung dari Bupati sehingga memiliki kewenangan menerima, memproses dan menandatangani dokumen perizinan. Penerimaan retribusi disetorkan langsung ke kas daerah sesuai rekening dinas masing-masing. Proses pelayanan untuk beberapa perijinan di BPT Sragen dapat dilakukan secara paralel antara perijinan satu dengan yang lainnya dengan maksimal waktu 12 hari. Semua informasi lamanya proses perijinan dan formulir dapat dengan mudah diakses dari website pemerintah kabupaten. Untuk pengurusan SIUP, TDP dan TDI paling lama memakan waktu 3 hari, sementara untuk pajak reklame hanya memerlukan 1 hari. Untuk meningkatkan kelancaran pelayanan, BPT Sragen menerapkan sistem online yang terhubung dengan kantor-kantor kecamatan di bawahnya dan pemohon dapat melakukan pengecekan sampai dimana berkas sudah diproses (tracking document) melalui internet. Untuk menjaga kualitas pelayanan, BPT Sragen membuat survei kepuasan pelanggan setiap enam bulan sekali. Penghargaan yang diterima KPT Sragen selain sertifikat ISO 9001-2000 dari Sucofindo International Certification Service antara lain adalah: penghargaan Satya Abdi Praja dari Gubernur Jateng, Citra Pelayanan Prima dari Presiden, Ranking I daerah Pro Investasi di Jateng tahun 2005, investment award/PTSP kabupaten terbaik dari BKPM tahun 2010. Selain itu, BPT Sragen juga terpilih sebagai best practice modul oleh JICA Jepang dan dibuat film yang kemudian diedarkan ke berbagai kabupaten/kota di Tanah Air. Bahkan, BPT Sragen direkomendasikan ADB dan IFC sebagai model KPT di Indonesia, dengan membuat buku panduan tentang OSS yang diedarkan di seluruh kabupaten/kota di Tanah Air. Keberadaan BPT Sragen selama ini memberikan dampak positif bagi perkembangan dan pembangunan Kabupaten Sragen antara lain meningkatnya jumlah pemohon, penerimaan retribusi dan realisasi investasi sebagai berikut: No
Tahun
Jumlah Pemohon
1 2003 39.582 2 2004 38.304 3 2005 48.272 4 2006 45.633 5 2007 57.380 6 2008 56.329 7 2009 53.110 8 2010 91.958 Sumber: Perijinan usaha, BPT Sragen
164
Penerimaan Retribusi (Rp Juta)
Realisasi Investasi (Rp Juta)
935,2 902,9 1.203,4 1.417,6 1.628,0 1.718,3 1.843,8 2.180,2
526.000,00 703.000,00 926.000,00 950.000,00 1.200.000,00 1.300.000,00 1.200.000,00 1.350.073,72
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Boks 5.3 Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012 Anugerah Pangripta Nusantara diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS bertujuan untuk mendorong setiap daerah untuk menyiapkan dokumen rencana pembangunan secara lebih baik, konsisten, komprehensif, terukur dan dapat dilaksanakan; serta sekaligus menciptakan insentif bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan perencanaan pembangunan yang lebih baik dan bermutu. Pemberian penghargaan ini dilakukan melalui penilaian terhadap dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi tahun 2012.
Sumber: Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas
Berdasarkan SK Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep. 53/ M.PPN/HK/04/2012 tentang Pembentukan Tim Penyelenggara Anugerah Perencanaan Terbaik Pangripta Nusantara Tahun 2012, tahap penilaian dilakukan oleh Tim Penilai Independen yang terdiri dari 5 orang pakar/ahli perencanaan pembangunan dan akademisi yaitu Prof. Herman Haeruman (IPB), Prof. Bambang Bintoro Soedjito (ITB), Dr. Kodrat Wibowo (Unpad), Dr. Wicaksono Sarosa (Partnership/Kemitraan) dan P. Agung Pambudhi (KPPOD). Berdasarkan SK Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep. 53/M.PPN/HK/04/2012 tentang Pembentukan Tim Penyelenggara Anugerah Perencanaan Terbaik Pangripta Nusantara Tahun 2012, tahap penilaian dilakukan oleh Tim Penilai Independen yang terdiri dari 5 orang pakar/ahli perencanaan pembangunan dan akademisi yaitu Prof. Herman Haeruman (IPB), Prof. Bambang Bintoro Soedjito (ITB), Dr. Kodrat Wibowo (Unpad), Dr. Wicaksono Sarosa (Partnership/Kemitraan) dan P. Agung Pambudhi (KPPOD).
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
165
Boks 5.3 (lanjutan) Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012 Penilaian didasarkan pada 5 (lima) kriteria, yaitu: 1. 2. 3.
4. 5.
Keterkaitan dokumen RKPD 2012 dengan dokumen RPJMD Provinsi dan RKP 2012; Konsistensi dokumen RKPD 2012 terutama konsistensi hasil evaluasi dengan isu strategis, isu strategis dengan prioritas dan prioritas dengan anggaran; Kedalaman dan kelengkapan dokumen RKPD 2012 dalam menyajikan kerangka ekonomi daerah, kerangka kebijakan keuangan daerah, analisa, arah kebijakan dan prioritas pengembangan wilayah dan strategi dan arah kebijakan pro-growth, pro-poor, pro-job, proenvironment, serta percepatan pencapaian tujuan MDGs; Keterukuran tujuan dan sasaran RKPD 2012 yang dilengkapi dengan indikator kinerja dan prakiraan maju anggaran tahun berikutnya; serta Proses penyusunan dokumen RKPD 2012 yang dilihat dari tingkat intensitas konsultasi dengan para pemangku kepentingan, kepemimpinan dan kesiapan pelaksanaan.
Pemberian trophy penghargaan Anugerah Perencanaan Terbaik Pangripta Nusantara Tahun 2012 oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas kepada para Kepala Bappeda yang mewakili 3 provinsi pemenang dilakukan pada saat acara penutupan Pra-Musrenbangnas tanggal 25 Mei. Ketiga provinsi pemenang yaitu: 1. 2. 3.
Provinsi Jawa Barat, pemenang pertama; Provinsi DI Yogyakarta, pemenang kedua; Provinsi Sumatera Selatan, pemenang ketiga.
Disamping itu, juga diberikan penghargaan dalam bentuk piagam kepada 3 provinsi nominasi terbaik, yaitu: Provinsi NAD, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi DKI Jakarta. Proses Perencanaan di Jawa Barat Tema Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 mengusung tema pembangunan “Mengintegrasikan Peran Investasi Dunia Usaha dalam Menghela Pembangunan Sektoral dan Kewilayahan Bersifat Monumental untuk Mempercepat Terwujudnya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera”. Paparan RKPD Prov. Jawa Barat Tahun 2012 oleh Kepala Bappeda
166
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Boks 5.3 (lanjutan) Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012 Prioritas Pembangunan Jawa Barat Penyusunan RKPD 2012 Provinsi Jawa Barat memperhatikan 4 Sasaran Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu melalui; (1) RPJMN (2010-2014); (2) 6 Indikator Pembangunan, yaitu: Pertumbuhan Ekonomi; Kemiskinan; Pengangguran; Angka Kematian Bayi; Angka Harapan Hidup; Angka Pendapatan per Kapita; (3) Millenium Development Goals (MDG’s); dan (4) Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan (Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro Environment). Berdasarkan sasaran tersebut, Provinsi Jawa Barat menetapkan 10 (sepuluh) Prioritas Pembangunan (Common Goals) yaitu: 1. Peningkatan kualitas pendidikan; 2. Peningkatan kualitas kesehatan; 3. Peningkatan daya beli masyarakat; 4. Kemandirian pangan; 5. Peningkatan kinerja aparatur;
6. Pengembangan infrastruktur wilayah; 7. Kemandirian energi dan kecukupan air baku; 8. Penanganan bendana dan pengendalian lingkungan hidup; 9. Pembangunan perdesaan; 10. Pengembangan budaya lokal dan destinasi wisata.
Proses Penyusunan RKPD Tahun 2012 Proses penyusunan dokumen RKPD 2012 memadukan alur teknokratis, partisipatif/ bottom-up, topdown dan juga unsur politis. Masyarakat, dunia usaha, akademisi, pemerintah daerah dan DPRD merupakan 4 pilar utama pembangunan Jawa Barat. Tahap Proses Penyusunan RKPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2012
Sumber: Proses Penyusunan RKPD Tahun 2012 Provinsi Jawa Barat
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
167
Boks 5.3 (lanjutan) Belajar dari Jawa Barat: Pemenang Pangripta Nusantara 2012 Berpijak pada prinsip pembangunan daerah untuk rakyat (Regional Development for People), masyarakat Jawa Barat didorong untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Sementara itu, pemerintah memfasilitasi agar masyarakat dapat beraktivitas dan meningkatkan kesejahteraannya. Pemerintah provinsi Jawa Barat menerapkan satu basis data untuk kepentingan penyusunan perencanaan dan kegiatan pembangunan. Dengan menggunakan basis data tersebut, program dan kegiatan dalam RKPD dirancang melalui pendekatan SMART (Specific, Measurable, Achievable, Resources availability, Timely). Dalam konteks perencanaan spasial, Provinsi Jawa Barat membagi wilayahnya menjadi 4 (empat) wilayah pengembangan berdasarkan karakteristik lokasi dan kegiatan tematik, yang terdiri dari Bogor, Purwakarta, Cirebon dan Priangan.
168
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Boks 5.4 Kisah Sukses Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) di Pacitan, Jawa Timur Ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Terkait dengan hal ini, pemanfaatan lahan perkarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga. Kementerian Pertanian menyusun suatu konsep yang disebut dengan “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model KRPL)” yang merupakan himpunan dari Rumah Pangan Lestari (RPL) yaitu rumah tangga dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, konservasi sumberdaya genetik terutama untuk pangan lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan melalui kebun bibit desa, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Program MKRPL di salah satu dusun di Desa Kayen, Kecamatan Kota Pacitan, Jawa Timur di awali pada Februari 2011 dengan melibatkan 35 KK. Melalui berbagai tahapan mulai persiapan sampai pelaksanaan dengan melibatkan semua pihak terkait serta pendampingan teknologi dari Badan Litbang Pertanian, saat ini di sebagian besar rumah tangga di Kabupaten Pacitan telah mengadopsi model RPL. Sebagai gambaran, untuk desa Kayen, rumah tangga yang telah mengadopsi model RPL sebanyak 620 KK dari 821 KK yang ada (sekitar 77%). Selain itu, di lingkungan Kantor Kodim (Komando Distrik Militer) dan di semua Kantor Koramil (Komando Rayon Militer) di wilayah Kabupaten Pacitan telah pula mengembangkan model RPL. Relatif cepatnya proses adopsi model KRPL di Kabupaten Pacitan antara lain didukung oleh adanya komitmen Pemerintah Daerah untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui pengembangan diversifikasi pangan dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan dengan menerapkan model KRPL. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan dikeluarkannya Instruksi Bupati Pacitan kepada masyarakat di wilayah Pacitan untuk mengembangkan dan menerapkan model RPL serta Instruksi Kodam Brawijaya Jawa Timur yang ditindaklanjuti oleh Kodim Pacitan kepada anggota untuk mengembangkan RPL di lokasi kantor Kodim maupun Koramil. Salah satu dampak positif yang dirasakan dari penerapan program KRPL di Pacitan ini adalah berkurangnya pengeluaran rumah tangga petani berkisar Rp. 170.000 hingga Rp. 700.000 per bulan, program ini menunjukkan kemampuannya dalam menaikkan pola pangan harapan terutama untuk kemandiran desa dan rumah tangga.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
169
Boks 5.5 Keberhasilan BKAD Tegalalang Dalam Memfasilitasi Pengelolaan PNPM Mandiri Perdesaan Keberhasilan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri Perdesaan sangat tergantung kepada intensifnya fasilitasi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) kepada masyarakat miskin di lapangan. Hal inilah yang tercermin dari keberhasilan peran pengurus Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali.
S
Suasana Rakor BKAD
Fasilitasi BAKD Dalam Pengelolaan Dana Bergulir
Pada tahap perencanaan, BKAD melaksanakan tugasnya mulai dari proses sosialisasi program, yaitu melalui rapat koordinasi (rakor) di tingkat kecamatan dengan segenap kelembagaan di kecamatan. Selanjutnya, fasilitasi dalam tahap perencanaan dilakukan BKAD melalui proses penggalian gagasan di dusun atau banjar, yang kemudian dilanjutkan dengan fasilitasi proses pelaksanaan musyawarah desa sosialisasi bersama-sama dengan pelaku PNPM Mandiri Perdesaan lainnya. Pada tahap pelaksanaan, keberhasilan BKAD Tegalalang terutama pada upaya untuk mengajak masyarakat untuk menjadi subjek pembangunan di desanya. Setelah adanya Program Paras-paros dari Kabupaten Gianyar dan PNPM Mandiri Integrasi, BKAD Tegalalang menciptakan kerjasama yang baik dengan desa dinas maupun Desa Adat atau Desa Pekraman. Oleh karenanya, usulan kegiatan dalam PNPM Mandiri justru berasal dari Subak maupun Desa Pekraman. Dalam pengelolaan dana bergulir Simpan Pinjam Perempuan (SPP), BKAD Tegallalang melakukan kerjasama dengan berbagai pelaku ekonomi di wilayah kecamatan, seperti Lembaga Perkreditan Desa, Koperasi, Bank dan beberapa pengusaha kecil di bidang kerajinan tangan dan perdangan. BKAD Tegallalang juga telah melakukan fasilitasi dan mengakomodasikan berbagai kebutuhan masyarakat miskin seperti pembuatan rumah layak huni bagi masyarakat miskin dan program bedah rumah yang didanai dari surplus hasil pengelolaan SPP. Secara kelembagaan, BKAD Tegallalang merupakan kepengurusan yang ideal karena berasal dari berbagai unsur, baik pimpinan adat atau Bendesa, praktisi ekonomi, praktisi pendidikan dan unsurunsur yang ada di dalam masyarakat tradisional Bali. Namun demikian, dengan melihat hasil nyata yang telah ditunjukkan dari intensitas dan keseriusan BKAD Tegallalang dalam memfasilitasi upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar maka wajar apabila pada tahun 2012 BAKD Tegallalang dipilih dan ditetapkan sebagai BKAD terbaik nasional secara kelembagaan.
170
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Boks 5.6 Kesuksesan Pemerintah Provinsi Riau Menerapkan E-Procurement Implementasi e-Procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menjadi upaya strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah disamping juga menjadi sebuah strategi untuk menata pasar pengadaan. Penataan pasar pengadaan akan membentuk skala pasar yang lebih besar dan memungkinkan para pelaku pasar dapat mengakses seluruh volum pengadaan barang/jasa pemerintah. Gagasan ini memerlukan perubahan perilaku, mental dan kesiapan terhadap penerapan suatu teknologi dari seluruh pihak yang terkait. Efektifitas perwujudan gagasan, dalam hal ini menghadapi tantangan berkaitan dengan luas wilayah, jumlah pelaku usaha, variasi kesiapan infrastruktur TIK maupun kesiapan SDM dalam adopsi dan adaptasi terhadap teknologi. E-Procurement mulai diujicobakan di beberapa instansi pemerintah pusat, provinsi dan kota pada tahun 2008. Dari ujicoba tersebut diperoleh pelajaran berkaitan dengan strategi implementasinya. Keberhasilan Pemerintah Provinsi Riau (maupun pemerintah daerah yang lain) menerapkan pengadaan secara elektronik dan mendorong seluruh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Riau, memerlukan komitmen kepala daerah dan inisiator perubahan, konsistensi aktor utama perubahan, kecepatan mengambil momentum dan peran serta pihak-pihak yang memiliki visi yang sama. Meskipun LPSE Provinsi Riau dibentuk tahun 2010 setelah Pemerintah Kota Pekanbaru terlebih dahulu menerapkan e-Procurement di tahun 2009, namun perkembangannya mampu mengikuti perkembangan penerapan e-Procurement di provinsi lain yang terlebih dahulu membentuk LPSE dan menerapkan e-Procurement seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, DI. Yogyakarta dan beberapa Provinsi lainnya. Tahun 2012 ini Provinsi Riau berada pada urutan ke-7 di antara provinsi-provinsi yang memiliki kemajuan pesat dalam penerapan e-Procurement dengan nilai pengadaan secara elektronik mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Proses pembentukan unit LPSE Provinsi Riau terbilang cukup singkat, hanya diperlukan waktu 1 bulan sejak pelatihan pengelola LPSE sampai dengan terbitnyaPeraturan Gubernur tentang Tim Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Provinsi Riau yang dirintis oleh Biro Administrasi Pembangunan. Pada tahap awal, untuk dapat menyelenggarakan layanan pengadaan secara elektronik di Provinsi Riau, LPSE Provinsi Riau belum memiliki fasilitas dan peralatan teknologi informasi yang lengkap. LPSE Provinsi Riau mulai memberikan pelayanan dengan hanya bermodalkan 1 buah komputer rakitan, jauh dari kebutuhan minimal suatu sistem elektronik. Dalam hal ini, pembentukan unit LPSE tidak menunggu tersedianya peralatan dan infrastruktur TIK.
Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat
171
Boks 5.6 (lanjutan) Kesuksesan Pemerintah Provinsi Riau Menerapkan E-Procurement Setelah tersedianya peralatan training, LPSE Provinsi Riau segera memberikan pelatihan kepada penyedia yang terdaftar di LPSE Provinsi Riau secara gratis. Dalam kurun waktu November Desember 2010 (hanya dalam dua bulan), sudah dilatih 246 penyedia. Posisi saat ini, Juni 2012, 3.235 penyedia sudah dilatih oleh LPSE Provinsi Riau. Menindaklanjuti terbitnya Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang mewajibkan penerapan pengadaan secara elektronik mulai tahun 2012, Gubernur Riau juga menerbitkan Surat Edaran No. 500/Adm-Pemb/16.29, tanggal 14 Desember 2010 kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Riau, agar melaksanakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah secara elektronik pada tahun 2012. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang belum memiliki LPSE dapat memanfaatkan LPSE Provinsi Riau. Untuk mendorong penerapan e-Procurement oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah, Gubernur Provinsi Riau menerbitkan Instruksi Gubernur. Hasilnya, 427 paket dengan nilai Rp. 1,08 Triliun dilelangkan secara elektronik pada tahun 2011. Sementara itu, efisiensi yang dihasilkan adalah sebesar 12,14 persen. Sejak terbentuk, secara mandiri LPSE Provinsi Riau mengambil peran mendorong dan melatih Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Riau untuk mampu membentuk LPSE dan mengelola sistem elektronik. Hasilnya, dalam kurun waktu 17 bulan (Mei 2012) seluruh LPSE Pemerintah Kabupaten/Kota terbentuk dan sudah beroperasi.
172
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Foto: Pras Widjojo
Foto: Pras Widjojo
BAB VI PENUTUP
BAB VI PENUTUP
Kinerja pembangunan ekonomi nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Stabilitas ekonomi yang terjaga dan pertumbuhan yang berkelanjutan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan. Kinerja pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika ekonomi global yang menempatkan Asia sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi utama. Dilain pihak, tantangan yang harus dihadapi dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi adalah tingkat persaingan di pasar global yang semakin tinggi, sementara itu ekonomi domestik perlu diperkuat agar pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga. Oleh sebab itu, kebijakan dan strategi yang lebih terarah di daerah akan menjadi modal dasar dalam memperkuat perekonomian domestik dan sekaligus mendorong pemerataan pembangunan dan hasil pembangunan ke seluruh daerah. Upaya dan strategi ini tidak hanya menyangkut peningkatan produktivitas sumber daya manusia, peningkatan nilai tambah dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, tetapi juga ditentukan oleh pembangunan infrastruktur, penciptaan iklim investasi dan iklim usaha yang lebih kondusif, penciptaan iklim ketenagakerjaan yang lebih efisien. Beberapa daerah mampu memanfaatkan momentum pertumbuhan bagi percepatan kemajuan dan pembangunan ekonomi daerah. Namun, beberapa daerah lain masih harus menghadapi tantangan terbatasnya lapangan kerja, belum memadainya infrastruktur, serta masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tata kelola pemerintahnya. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi daerah dalam menentukan strateginya dalam rangka memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat.
176
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013
Foto: Pras Widjojo
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Piter., et.al (2002). Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, BPFE, Yogyakarta. PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE-UNPAD (2008). Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia, RaJawali Pers, Jakarta. Schwab, Klaus dan Xavier Sla-i-Martin (2011). The Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic Forum, Geneva. Schwab, Klaus dan Greenhill (2011). The Indonesia Competitiveness Report 2011: Sustaining the Growth Momentum, World Economic Forum, Geneva. --------- (2011). Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. ---------- (2011). Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011, KPPOD dan The Asia Foundationa, Jakarta ----------- (2011). Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2012, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. ----------- (2012). Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013, Pembangunan Nasional, Jakarta.
Kementerian Perencanaan
---------- (2012). Doing Business di Indonesia 2012: Memperbandingkan Kebijakan Usaha di 20 Kota dan 183 Perekonomian, IFC, World Bank. --------- (2012). Doing Business in a More Transparent World: Comparing Regulation for Domestic Firms in 183 Economies, IFC, World Bank.
178
Buku Pegangan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2012 – 2013