Catatan Dari Seminar Peradilan Adat Sanggau1 Terpuruk ... - HuMa

46 downloads 125 Views 99KB Size Report
Masyarakat Dayak mengenal peradilan adat sejak zaman nenek moyang. ... ajaran adat Dayak Kanayatn yang diterapkan ketika menyelesaikan perkara, ...
Sumber Berita

Suara Pembaruan Daily

15 - 17 Desember 2003

Catatan Dari Seminar Peradilan Adat Sanggau1 Terpuruk Akibat "Denda Adat"2 Masyarakat Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sebagian besar hidup dalam naungan hukum adat. Norma-norma adat dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan sosial dan mengelola sumber daya alam. Siapa pun yang melanggar ketentuan hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut pokara adat. Konflik di masyarakat ditangani melalui putusan adat. Putusan diambil oleh para tokoh adat mengacu hukum adat yang berlaku. Di Indonesia, penyelesaian dan putusan terhadap perkara adat oleh peradilan adat umumnya kurang dihormati. Sistem hukum negara tidak mengakui keberadaan lembaga hukum adat dan putusannya. Seiring diterbitkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, peradilan adat yang dulu dikenal sebagai peradilan swapraja, telah resmi dihapuskan. Hukum dan peradilan adat disepelekan, karena dianggap kolot dan statis. Namun, praktik peradilan adat, termasuk "denda adat", belakangan justru semakin marak di Kabupaten Sanggau. Kabupaten ini dihuni tiga suku besar, yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Masyarakat Dayak mengenal peradilan adat sejak zaman nenek moyang. Hukum adat masih dipraktikkan sampai sekarang. Sengketa diselesaikan lewat peradilan adat yang dipimpin oleh seorang timanggong (temenggung). Pada umumnya timanggong hanya menyelesaikan kasus pelanggaran berat, misalnya penganiayaan berat dan pembunuhan. Sedangkan kasus-kasus sengketa ringan bisa diselesaikan sendiri oleh kepala kampokng (kampung atau desa). Kampokng merupakan sistem yang sudah lama ada. Di kalangan masyarakat Melayu, peradilan adat juga dikenal. Peradilan ini dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut penggawa. Masyarakat etnis Melayu di Sanggau identik dengan masyarakat muslim. Hukum adat yang mereka anut bersumber pada kitab suci Al Quran. Kewenangan memutuskan suatau perkara ada di tangan pemangku adat. Dalam praktik peradilan adat di Sanggau, sanksi adat tidak dijatuhkan seenaknya. Sanksi dijatuhkan berdasarkan hukum adat dengan menimbang kesepakatan atau musyawarah antara si pelaku pelanggaran dengan pihak korban. Di masyarakat Dayak Kanayatn, maupun etnis Dayak yang lain, sanksi adat didasarkan pada asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Asas-asas tersebut tercermin dalam ajaran adat Dayak Kanayatn yang diterapkan ketika menyelesaikan perkara, misalnya pamangkong ame' patah (pemukul jangan patah), ular ame' mati (ular jangan mati), tanah ame' lamakng (tanah jangan berbekas), adil ka' talino (adil kepada sesama), bacarumin ka' saruga (bercermin ke surga), basengat ka' Jubata (berdasarkan 1

Ditulis oleh Elly Burhaini Faizal, Wartawan "Suara Pembaruan", Jakarta

2 Suara Pembaruan Daily Edisi 15 Desember 2003, dari Liputan Peradilan Adat di Sanggau, Kalimantan Barat

©

Http://www.huma.or.id

Ketuhanan), adat lebih Jubata bera (adat lebih Tuhan marah), dan adat kurang antu bera (adat kurang hantu marah). Pada masyarakat Melayu, penerapan hukum adat juga disesuaikan dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri. "Hukum adat diterapkan untuk menciptakan ketertiban masyarakat, keadilan, dan kepastian hukum," ungkap Hamdan MS, Wakil Ketua Majelis Adat Budaya Melayu di Sanggau. Syarat Mutlak Penyelesaian perkara mengacu hukum adat melalui peradilan adat adalah kebutuhan bersifat mutlak (conditio sine qua non) bagi masyarakat adat Dayak. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Prof Dr YC Thambun Anyang, SH, berpendapat, kebutuhan itu disebabkan masih kuatnya alam pikiran religio magis dan perasaan kebersamaan di kalangan etnis Dayak. Peradilan adat menjadi alternatif terbaik penyelesaian perkara, karena letak kampung mereka jauh dari ibu kota. Untuk berperkara di peradilan negara di kota, mereka harus menempuh jalan darat yang buruk. Karena itulah, peradilan tetap bertahan hingga sekarang. "Peradilan adat dirasakan cepat, murah, sederhana, dan tepat, " ujar Thambun Anyang. Adat malu masih cukup kuat dianut masyarakat Dayak. Mereka umumnya merasa sangat malu apabila harus bersengketa, apalagi berperkara di muka umum. Sengketa maupun perselisihan perkara tidak disukai warga etnis Dayak sehingga sedapat mungkin dihindari. Peradilan adat tidak secara sekonyong-konyong dilakukan untuk menyelesaikan perkara. Sengketa biasanya diselesaikan dulu melalui musyawarah secara kekeluargaan tanpa mengabaikan penerapan adat serta hukum adat. "Peradilan adat baru dilakukan apabila penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil," Thambun Anyang menambahkan. Asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dipertimbangkan dalam upaya penyelesaian perkara oleh para ketua adat maupun tetua adat. Diharapkan perkara bisa diselesaikan secara tuntas, tanpa perasaan dendam. Pelaku maupun korban dapat saling memaafkan, serta melanjutkan kembali kehidupan secara damai. Kompetensi para tetua adat yang memimpin sidang peradilan adat sangat diperlukan, agar bisa diperoleh penyelesaian perkara terbaik mengacu asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Sanksi atau denda adat yang diputuskan dan diterima kedua belah pihak selanjutnya harus dibayar. Terkadang orang-orang yang berperkara tidak puas atas putusan peradilan adat. Ketika sanksi adat dirasakan tidak cukup adil, mereka mengajukan gugatan memakai hukum formal. Kepala Pengadilan Negeri Sanggau, Syaukat Mursalin, SH, mengakui ada beberapa kasus di Pengadilan Negeri Sanggau yang sudah disidangkan dalam peradilan adat. Dari sejumlah kasus kecelakaan lalu lintas yang disidangkan di Pengadilan Negeri Sanggau, besar denda adat ada yang mencapai Rp 35 juta. Namun, keluarga korban mengaku hanya menerima Rp 10 juta. "Ini fakta yang cukup memprihatinkan bagi keluarga korban," ujar Syaukat Mursalin. Kondisi itu juga tidak adil bagi si pelaku yang fakta sudah membayar denda adat sesuai peradilan adat. Mau tidak mau putusan peradilan adat harus dipertimbangkan oleh pihak PN Sanggau. Pembayaran denda adat dijadikan hakim sebagai pertimbangan hal-hal yang meringankan. Dasar pemikir-an dan pertimbangan hakim, menurut Syaukat Mursalin, "Apakah adil bagi seorang terdakwa yang sudah habis-habisan, terkadang menjual banyak harta, tanah dan rumah, untuk membayar denda adat, lantas dijatuhi pula hukuman penjara? Putusan memasukkan lagi terdakwa ke penjara adalah tindakan yang aniaya, sudah jatuh tertimpa tangga."

©

Http://www.huma.or.id

Untuk menciptakan perasaan keadilan, dari sekian banyak kasus yang disidangkan oleh PN Sanggau, diputus dengan hukuman percobaan. "Dipandang lebih adil oleh pengadilan apabila terdakwa yang sudah membayar denda adat dijatuhi dengan pidana percobaan," Syaukat menambahkan. Sedemikian kuat keberadaan hukum adat dan peradilan adat di Sanggau, sehingga persoalan "denda adat" terkadang muncul ibarat hantu. Sangat menakutkan. Sikap masyarakat yang cenderung segan, dan patuh, pada keputusan adat bahkan dianggap peluang bagi munculnya "preman-preman adat". Isu preman adat kini sedang meresahkan warga Sanggau. Para preman adat itu tak segan-segan mengajukan "denda adat" yang jumlahnya terlampau besar kepada para pelaku, terutama kasus pati nyawa (pembunuhan). Tauke atau keturunan Tionghoa yang bermukim di Sanggau kerap jadi sasaran preman adat. Berapa pun denda adat dijatuhkan, umumnya para tauke sanggup membayar. Ironisnya, pelaku komersialisasi hukum adat itu sendiri ternyata banyak yang bukan fungsionaris adat. Alih-alih menciptakan keadilan hukum, yang terjadi ujung-ujungnya justru pemerasan.

©

Http://www.huma.or.id

Musyawarah Menjadi Tiang Utama3 PERADILAN adat bagi masyarakat Dayak Suku Golik di Kecamatan Beduwai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, benar-benar menjadi tempat mendapatkan keadilan. Dapat dikatakan demikian karena peradilan berdasarkan fakta atau kejadian dan proses pengambilan putusan mengacu pada hasil musyawarah warga. Seorang timanggong atau ketua peradilan adat, bukanlah pengambil putusan yang mutlak. Pengakuan ini disampaikan Aloysius Langai timanggong dari Kecamatan Beduwai yang sudah 26 tahun lebih memegang jabatan itu. Selama memegang jabatan itu ia tidak pernah "memutuskan" perkara. Putusan peradilan adat dihasilkan melalui proses musyawarah antara pihak korban dan terdakwa, serta melibatkan warga. "Saya hanya mempertemukan. Semuanya diputuskan berdasarkan musyawarah," ungkap Langai, tokoh masyarakat adat yang cukup disegani warga Sanggau. Musyawarah ibarat roh atau jiwa bagi penyelesaian sengketa melalui hukum adat. Tidak heran apabila penyelesaian perkara lewat peradilan adat yang dipimpin Aloysius Langai, Temenggung Golik ini, jarang berbuntut gugatan di pengadilan negara. Pihak korban maupun terdakwa sama-sama puas. Putusan diambil melalui musyawarah dengan mengutamakan kerukunan, kepatutan, serta keselarasan. Di berbagai daerah yang masih menerapkan peradilan adat, musyawarah menjadi model umum dan yang utama dalam proses sidang. Lembaga peradilan tidak menjalankan misi sebagai sarana pemaksa. "Peradilan adat memainkan peran menjembatani rekonsiliasi dan konsolidasi," komentar Rifai, aktivis Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), ketika dimintai tanggapannya. Rekonsiliasi bisa diciptakan ketika ditemukan putusan yang melegakan semua pihak, termasuk bagi masyarakat umum dari komunitas si pelaku dan korban yang tidak terkait dengan kasus tersebut. Dia tambahkan, berbeda dengan peradilan negara, model penyelesaian sengketa dengan metode musyawarah membuat peradilan adat lolos dari perangkap putusan yang tidak bisa dijalankan. Sebab, putusan diambil secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Apalagi proses peradilan adat dilakukan secara terbuka. Si pelaku, pihak korban, serta masyarakat, bisa menyampaikan seluruh informasi seputar kejadian perkara secara bebas tanpa terbebani hal-hal formal. "Tidak ada kecurigaan dan prasangka terhadap keputusan yang diambil," ungkap Rifai, seusai sarasehan "Menempatkan Peradilan Adat ke Dalam Sistem dan Praktik Peradilan Formal di Indonesia", di Sanggau, Kalimantan Barat, 10 Desember. Peradilan adat Suku Golik, juga pada masyarakat Dayak yang lain, tidak saja menyelesaikan sengketa internal masyarakat adat yang bersangkutan, tetapi juga sengketa antara warga Dayak dan non-Dayak. Bahkan menurut Prof Dr YC Thambun Anyang SH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, ada pula sengketa di antara masyarakat yang sama-sama bukan etnis Dayak, namun mereka meminta penyelesaian kepada fungsionaris adat Dayak menurut hukum adat Dayak. "Jadi hal yang ironis sekali kalau orang Dayak sendiri justru tidak mau menggunakan hukum adatnya untuk menyelesaikan sengketa," ungkap Thambun Anyang.

3 Suara Pembaruan Daily Edisi 16 Desember 2003, dari Liputan Peradilan Adat di Sanggau, Kalimantan Barat

©

Http://www.huma.or.id

Sengketa biasanya tidak langsung diselesaikan timanggong. Sangat jarang suatu perkara langsung dimintakan penyelesaian kepada timanggong, kecuali penganiayaan berat dan pembunuhan. Untuk perkara-perkara ringan seperti pencurian, penipuan, bisa diselesaikan dalam peradilan adat yang dipimpin kepala desa. Sebagai tahap awal, sengketa diselesaikan secara kekeluargaan. Meski digelar tertutup, peradilan adat tetap mengacu ketentuan hukum adat yang berlaku. Siapa yang dinyatakan bersalah dalam sidang itu, atau pun secara sukarela mengaku bersalah, tetap harus menjalani sanksi adat. Apabila sengketa tidak dapat diselesaikan, ketua adat kampung bersama para tetua adat setempat akan diminta ikut menyelesaikan perkara melalui peradilan adat. Biasanya tahapan ini belum melibatkan timanggong. Jika sengketa tetap belum bisa diselesaikan ketua adat kampung, barulah perkara diselesaikan timanggong bersama para tetua adat sekampung. Sidang adat ikut dihadiri tetua adat dari kampung lain, meskipun sengketa yang disidangkan itu tidak melibatkan warga mereka. Sanksi adat biasanya berbentuk denda yang dibayar dengan benda-benda adat. Contoh kasus pati nyawa yaitu pelanggaran besar yang mengakibatkan kematian secara tak disengaja, maupun pati delima yaitu pelanggaran besar yang mengakibatkan kematian secara sengaja atau terencana. Dalam kasus itu si pelaku harus membayar batang tubuh yang disimbolkan dengan barang-barang, misalnya tempayan tajau, tempayan biasa, molo (tutup tempayan), dan cangkul (besi). Benda-benda adat itu merupakan simbol tubuh korban yang meninggal, mulai dari kepala, rambut, gigi, usus, sampai kaki. Ganti batang tubuh harus dibayar lengkap. Benda-benda adat umumnya langka dan sulit diperoleh. Seringkali si pelaku sulit menyediakan benda-benda adat untuk membayar sanksi adat yang dijatuhkan. Apabila si pelaku tidak mampu memperoleh barang-barang adat, terpaksa barang itu dinilai dengan uang. "Benda-benda adat yang tersedia harus dibayarkan, sementara barang yang tidak ada karena sulit diperoleh bisa digantikan dengan uang," papar Aloysius Langai. Selain itu ada pula perangkat-perangkat lain yang harus dibayar, misalnya babi, ayam, beras, ketan, tuak, serta telur ayam. Sanksi adat pebanyu, yaitu untuk pelanggaran-pelanggaran kecil, biasanya lebih ringan ketimbang sanksi atau penempatan adat kasus pati nyawa dan pati delima. Wajib Bayar Bagi masyarakat etnis Melayu di Sanggau, dikenal pula sanksi adat untuk perkaraperkara sejenis pati nyawa. Tetapi istilah yang dipakai tentu saja bukan pati nyawa. Pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan kematian, seperti kekerasan, penganiayaan besar, serta pembunuhan, diancam dengan sanksi adat yang sudah diatur dalam hukum adat Melayu. "Sanksi adat yang dijatuhkan dikaitkan dengan fardlu kifayah," papar Hamdan MS, wakil ketua Masyarakat Adat Budaya Melayu di Sanggau. Contoh sanksi adat yang harus dibayar, kain putih (orang muslim kalau meninggal harus dikubur pakai kain putih), papan untuk menutup lubang kuburan, batu nisan, sekilo kapas, kapur barus, biaya memandikan mayat, penggalian kubur, sedekah bagi yang menyemayamkan mayat, serta konsumsi tahlilan. Mengapa sanksi adat kasus pembunuhan dikaitkan dengan fardlu kifayah? Hal itu disebabkan karena sumber hukum adat masyarakat etnis Melayu di Sanggau yang mayoritas muslim mengacu kepada hukum agama. Karena etnis Melayu identik dengan Islam, maka sumber hukum adatnya mengacu kepada kitab suci Al Quran. Adat bersendikan syara', syara' bersendikan kitabullah. "Hukum adat ini sudah dijadikan pegangan dalam penyelesaian perkara-perkara adat sejak lama. Sedangkan untuk pemutusan perkara hal ini sepenuhnya menjadi wewenang para pemangku adat," Hamdan menambahkan. ©

Http://www.huma.or.id

Sanksi adat di kalangan masyarakat Dayak maupun Melayu sama-sama bersifat mengikat. Ajaran adat dua etnis terbesar di Kalimantan Barat itu berprinsip suatu hal yang memalukan keluarga dan kerabat si pelaku, apabila sanksi adat yang sudah diputuskan dan diterima oleh kedua belah pihak tidak dibayarkan. Bahkan orang-orang sekampung mereka juga ikut malu. Sanksi adat diupayakan tetap dibayar betapapun besarnya sanksi itu. Apabila si pelaku tidak sanggup membayar sanksi adat, misal karena secara ekonomi tidak mampu, maka para keluarga dan kerabat dekat akan berpatungan untuk dapat membayar sanksi adat, atau meminjam uang atau barangbarang adat dari pihak ketiga.

©

Http://www.huma.or.id

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula4 Komersialisasi hukum adat mencoreng wajah praktik peradilan adat di Sanggau beberapa waktu belakangan ini. Istilah keren yang dipakai adalah "premanisme adat". Tudingan miring itu merujuk kepada berkembangnya praktik "pemerasan" yang menimpa orang-orang pelaku pelanggaran hukum adat. Tuntutan yang diajukan kepada si pelaku pelanggaran khususnya kasus pati nyawa (pembunuhan) tersebut jumlahnya sangat besar, bahkan melebihi hukuman yang dijatuhkan peradilan formal. Tak jarang tuntutan agar si pelaku membayar sanksi adat dalam jumlah besar itu diwarnai paksaan serta ancaman. Para timanggong (temenggung) serta tetua adat Sanggau yang ditemui Pembaruan rata-rata membenarkan adanya praktik itu. Namun mereka berpendapat, pelaku komersialisasi hukum adat adalah para preman adat, dan bukan fungsionaris adat yang sesungguhnya. "Kadang-kadang saya sebagai temenggung adat tidak tahu-menahu dengan adanya kejadian itu," ungkap Fransiscus Hendri Supardi, Temenggung Adat Dayak Suku Hibun. Kasus pemerasan seringkali baru diketahui selang beberapa hari sesudah kejadian berlangsung. Pelaku premanisme acapkali mengatasnamakan dirinya mewakili pengurus adat. Cara mereka beroperasi juga agak memaksa dan terkesan memeras para pelaku pelanggaran, yang dalam hal ini justru jadi korban. Si korban rata-rata tak bisa berkutik, dan takut mengungkap hal itu kepada pihak yang berwenang. Padahal kalau korban berani melapor, hal itu akan diselesaikan mengacu aturan adat yang berlaku. Disalahgunakan Komersialisasi hukum adat oleh preman adat dari oknum-oknum Dayak yang dianggap tidak mempunyai rasa malu lagi itu, tidak saja dikeluhkan oleh masyarakat non-Dayak, akan tetapi juga oleh orang Dayak sendiri. Bertinus Adjon mengakui hal serupa. Namun sejak dikukuhkan sebagai Temenggung Mayao pada bulan September 2000, ia belum pernah menghadapi kasus premanisme adat. Sebab ada juga hukum adatnya, kalau seseorang melakukan pemerasan atau mengomersialkan adat. "Secara otomatis mereka akan dikenai sanksi atas perbuatan memeras atau melecehkan pengurus adat yang sesungguhnya," ungkap Adjon, Temenggung Masyarakat Adat Dayak Suku Mayao. Hamdan MS, Wakil Ketua Masyarakat Adat Budaya Melayu di Sanggau, juga merasa prihatin atas merebaknya premanisme adat. Apalagi di Kalimantan Barat, semenjak era reformasi bergulir, peradilan adat semakin diakui keberadaannya sehingga peradilan adat dijadikan alternatif penyelesaian masalah, baik di kota maupun di desa. Pada satu sisi, keberadaan peradilan adat di tengah-tengah masyarakat Sanggau sangat berdampak positif. Hukum adat diterapkan sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang ditempuh secara damai. Namun di sisi lain hal ini berdampak negatif. Pasalnya praktik peradilan adat, yang disertai munculnya sanksi adat, sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, bahkan mengarah kepada pemerasan. Pada beberapa kasus, sanksi adat yang dibayarkan si tertuduh kepada para preman adat yang berfungsi sebagai perantara dipotong sana-sini.

4

Suara Pembaruan Daily Edisi 17 Desember 2003, dari Liputan Peradilan Adat di Sanggau, Kalimantan Barat

©

Http://www.huma.or.id

Alhasil, jumlah pembayaran sanksi adat tidak diterima sebagaimana mestinya, atau hanya sebagian kecil yang sampai kepada pihak korban atau keluarganya. Pembagian yang telah terjadi tidak proporsional antara pihak yang menyelesaikan perkara (preman adat), dengan pihak korban yang berhak menerima. Jika tidak puas, pihak korban tak jarang terpaksa memperkarakan kembali si tertuduh, namun kali ini melalui peradilan formal. Akibatnya si tertuduh menanggung dua kali beban. Dengan kata lain, sudah jatuh tertimpa tangga pula. "Hakikat peradilan adat untuk menciptakan ketertiban dan keadilan di dalam komunitas adat malah menjadi hilang. Hukum adat justru menjadi momok yang sangat menakutkan," ujar Hamdan dengan nada prihatin. Denda Puluhan Juta Menurut informasi yang diperoleh Pembaruan, kasus kecelakaan lalu lintas sering dijadikan objek pemerasan, sebab di daerah Sanggau kecelakaan sering terjadi. Contohnya, sebuah kasus kecelakaan lalu lintas yang disidangkan Pengadilan Negeri Sanggau pernah disidangkan dalam peradilan adat dengan sanksi denda adat yang dijatuhkan sebesar Rp 35 juta. Ternyata keluarga korban hanya menerima Rp 10 juta. Sedangkan sisanya tidak jelas, apakah disisihkan untuk kas lembaga adat, ataukah dibagi-bagi di kalangan pihak yang menyelesaikan perkara. Denda adat untuk sebuah kasus kecelakaan lalu lintas bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Tidak jarang santunan asuransi tidak sampai dinikmati keluarga korban, tanpa alasan yang jelas. "Ini fakta yang cukup memprihatinkan bagi keluarga korban," ungkap Ketua Pengadilan Negeri Sanggau, Syaukat Mursalin SH. Si tertuduh pada saat yang sama merasakan ketidakadilan serupa. Demi menciptakan perasaan keadilan, maka dari sekian banyak kasus yang disidangkan oleh pengadilan diputus dengan hukuman percobaan. Adanya pembayaran denda adat tersebut dijadikan hakim sebagai pertimbangan hal-hal yang meringankan. Dasar pertimbangan hakim, ungkap Syaukat Mursalin, "Apakah adil bagi seorang terdakwa yang sudah habis-habisan, terkadang sampai menjual banyak harta, tanah serta rumah untuk membayar denda adat, dan tetap dijatuhi pula untuk masuk penjara? Tentunya putusan yang memasukkan lagi terdakwa ke dalam penjara adalah suatu tindakan aniaya, sudah jatuh tertimpa tangga." Bukan hanya denda adat yang kini jadi persoalan, subjektivitas penilaian para tokoh adat ketika menjatuhkan sanksi adat dalam peradilan adat juga sering dipermasalahkan. Contoh, ketika orang Dayak diadili memakai hukum adat Melayu, atau sebaliknya, Hamdan MS, tokoh adat Majelis Adat Budaya Melayu di Sanggau, berpendapat antara etnis Dayak dan Melayu harus saling menghargai dan menghormati keputusan adat masing-masing. "Kita ini kan sama-sama satu keturunan. Jangan sampai ketika orang Dayak menghukum orang Melayu kami penuhi tuntutan itu. Tapi ketika giliran kami menuntut adat, orang Dayak tidak mau memenuhi itu. Apakah hukum adat hanya berlaku untuk orang Dayak saja?" ungkap Hamdan tegas. "Kita harus sama-sama menghargai kekuatan hukum adat masing-masing.". Penataan ulang keberadaan hukum adat, menurut Hamdan, perlu dilakukan agar sesuai dengan tujuan diciptakannya hukum, yaitu memberikan perasaan adil, yang mengacu kondisi masyarakat setempat.

©

Http://www.huma.or.id

Diakui hukum Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor I/1951/Drt Tahun 1951, peradilan adat yang dulu dikenal dengan nama Peradilan Swapraja telah dihapus. Namun itu tidak menjadi alasan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat dan ketentuan adat tidak bisa diselesaikan. Dr Abdurrahman SH MH, Hakim Agung, berpendapat peradilan desa atau Hakim Perdamaian Desa yang bertugas menyelesaikan sengketa di kalangan masyarakat desa tetap diakui dalam sistem peradilan, yaitu dalam Pasal 3a RO (Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie) dan UU No.1 Drt 1951. RO yang diterbitkan melalui Stb.1847 No 23 adalah ketentuan pokok tentang penulisan peradilan di Hindia Belanda. Pasal 3a RO berbunyi, "Perkara-perkara adat yang pemeriksaannya menjadi kewenangan hakim-hakim dari masyarakat-masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa), pemeriksaannya tetap diserahkan kepada mereka". Peradilan desa atau perdamaian desa pun telah mendapat pengakuan di dalam sistem otonomi daerah, karena mendapat pengakuan di dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, serta PP No.76 Tahun 2001 yang dalam pasal 16 disebutkan, untuk mendamaikan perselisihan Kepala Desa dapat dibantu Lembaga Adat Desa. Dalam proses acara perdata di pengadilan negeri, keberadaan peradilan desa atau Hakim Perdamaian Desa sudah diakui dalam Pasal 120 1 HIR/143 RBg, yang dapat membantu proses peradilan. "Dengan aturan-aturan itu, sebetulnya eksistensi peradilan desa atau Hakim Perdamaian Desa sebenarnya lebih menonjol apabila dibandingkan dengan eksistensi peradilan adat," Abdurrahman menambahkan. Tergantung ada ataukah tidak itikad dan kemauan kita untuk mampu melaksanakan aturan yang sudah tersedia itu secara adil.

©

Http://www.huma.or.id