Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

134 downloads 126 Views 761KB Size Report
bawang putih boleh didapati di utara dan selatan Siberia dan kemudiannya berkembang ke .... bawang putih untuk kemudian diperlakukan pada tikus diabetes.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DIABETES MELLITUS (DM) Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang terjadi apabila pankreas tidak dapat memproduksikan insulin yang mencukupi atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan oleh pankreas secara efektif . Hal ini mengakibatkan berlakunya peningkatan konsentrasi glukosa dia dalam darah atau sering dikenal hiperglikemia (WHO, 2009). 2.2. EPIDEMIOLOGI Berdasar studi populasi penderita DM di berbagai negara yang dilakukan WHO pada tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dengan prevalensi 8,6 % dari total penduduk yaitu sekitar 8,4 juta. Begitu juga penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan bersama perhimpunan profesi, didapatkan bahwa prevalensi Diabetes sebesar 12,7 % dari seluruh penduduk. Sementara data Diabetes Atlas 2000 (IDF) tercantum perkiraan pasien DM di Indonesia adalah 5,6 juta dan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,2 juta. Hal ini semakin membuktikan bahwa penyakit DM merupakan masalah kesehatan yang sangat serius ( DepKes RI, 2006). DM menyebabkan kurang lebih 5% dari seluruh kematian global setiap tahun. Kira-kira 80% daripada populasi yang menderita DM adalah dari golongan umur pertenghan (45-64 tahun) dan bukan golongan usia lanjut (65 tahun keatas) dan berasal dari negara-negara yang berpendapatan rendah dan sederhana. DM dianggarkan akan meningkat melebihi 50% pada 10 tahun akan dating tanpa tindakan segera (WHO, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.3. FAKTOR RESIKO Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa hal : a. Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. b. Orang yang gemuk (Obesitas) dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan orang yang tidak gemuk. c. Faktor genetik yaitu seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga terkena. d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan

radang

pankreas.

Peradangan

pada

pankreas

dapat

menyebabkan pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk metabolism dalam tubuh, termasuk hormon insulin.

e. Penyakit dan infeksi pada pankreas sebagai contoh mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin.

2.4. KLASIFIKASI Klasifikasi DM yang

dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia (PERKENI) 2006 adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sebagai berikut : 1. Tipe I : Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM).

Universitas Sumatera Utara

Diabetes Melitus Tipe I adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute). IDDM dapat diderita oleh anak -anak maupun orang dewasa. Pada DM tipe I, penderita menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. DM tipe I biasanya dikarenakan oleh autoimun atau idiopatik (tidak diketahui penyebabnya). 2. Tipe II : Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM). Penyebab Diabetes Melllitus tipe II bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Terjadi setelah usia 30 -60 tahun, meningkat secara garadual. Dan DM tipe II jauh lebih besar dibanding tipe I 90% kasus DM. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif. 3. Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya. Diabetes mellitus yang biasanya di curigai atau manifestasi yang menyebabkan penyakit, seperti : A.

Defek genetik fungsi sel beta :  Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)  DNA mitokondria

B. C.

Defek genetik kerja insulin Penyakit endokrin pankreas :  pankreatitis  tumor pankreas /pankreatektomi  pankreatopati fibrokalkulus

D.

Endokrinopati :

Universitas Sumatera Utara

 akromegali  sindrom Cushing  feokromositoma E.

Karena obat/zat kimia :  vacor, pentamidin, asam nikotinat  glukokortikoid, hormon tiroid  tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain

F.

Infeksi :  Rubella congenital  Cytomegalovirus (CMV)

G. H.

Sebab imunologi yang jarang : Antibodi Anti Insulin Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :  sindrom Down  sindrom Kleinfelter,  sindrom Turner, dan lain-lain.

4. Gestational Diabetes Mellitus (GDM) DM yang terjadi pada saat kehamilan trimester ke-2 dan ke-3. Terjadi Intoleransi glukosa pada saat kehamilan. 2.5. PATOFISIOLOGI 2.5.1 Diabetes tipe 1 DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kerusakan sel-sel Beta pada pankreas secara selektif. Onset penyakit secara klinis menandakan bahwa kerusakan sel-sel beta telah mencapai status terakhir. Beberapa fitur mencirikan bahwa diabetes tipe merupakan penyakit autoimun. Ini termasuk: (a) Kehadiran sel-immuno kompeten dan sel aksesori di pulau pankreas yang diinfiltrasi.

Universitas Sumatera Utara

(b) Asosiasi dari kerentanan terhadap penyakit dengan kelas II (respon imun) gen mayor histokompatibilitas kompleks (MHC; leukosit manusia antigen HLA). (c) Kehadiran autoantibodies yang spesifik terhadap sel Islet of Lengerhans. (d) Perubahan pada immunoregulasi sel-mediated T, khususnya di CD4 + Kompartemen. (e) Keterlibatan monokines dan sel Th1 yang memproduksi interleukin dalam proses penyakit. (f) Respons terhadap immunotherapy. (g) Sering terjadi reaksi autoimun pada organ lain yang pada penderita Diabetes tipe 1 atau anggota keluarga mereka. Mekanisme yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh untuk berespon terhadap sel-sel beta sedang dikaji secara intensif ( Al Homsi and Lukic, 1993). 2.5.2 Diabetes tipe 2 DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu studi populasi kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate konkordansi pada kembar yang setinggi 40%. Efek lingkungan dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkat konkordansi diabetes tibe 2 lebih tinggi daripada tipe 1 DM. Studi genetika molekular pada DM tipe 2, menunjukkan bahwa mutasi pada gen insulin mengakibatkan sintesis dan sekresi insulin yang abnormal, keadaan ini disebut sebagai insulinopati. Sebagian besar pasien dengan insulinopati

menderita

hiperinsulinemia,

dan

bereaksi

normal

terhadap

administrasi insulin eksogen. Gen reseptor insulin terletak pada kromosom yang mengkodekan protein yang memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain transmembran dan domain tirosin kinase. Mutasi mempengaruhi gen reseptor insulin telah diidentifikasi dan asosiasi mutasi dengan DM tipe 2 dan resistensi insulin tipe A telah dipastikan. Insulin resistensi tidak cukup untuk menyebabkan overt glucose intolerance, tetapi dapat memainkan peranan yang signifikan dalam kasus obesitas di mana terdapat penurunan fungsi insulin. Insulin resistensi

Universitas Sumatera Utara

mungkin merupakan event sekunder pada diabetes tipe 2, karena juga ditemukan pada individual obese non-diabetic. Namun, gangguan dalam sekresi insulin barulah faktor primer dalam diabetes tipe 2. Banyak faktor berkontribusi kepada ketidakpekaan insulin, termasuk obesitas dan durasi obesitas, umur, kurangnya latihan, peningkatan pengambilan lemak dan kurangnya serat dan faktor genetik. Obesitas dapat disebabkan oleh faktor genetika bahkan faktor lingkungan, namun, ini memiliki efek yang kuat pada pengembangan diabetes tipe 2 DM seperti yang ditemukan di negara-negara barat dan beberapa etnis seperti Pima Indian. Evolusi obesitas sehingga menjadi diabetes tipe 2 adalah seperti berikut: (a) Augmentasi dari massa jaringan adiposa, yang menyebabkan peningkatan oksidasi lipid. (b) Insulin resistensi pada awal obesitas, dinampakkan dari klem euglycemic, sebagai resistent terhadap penyimpanan glukosa insulinmediated dan oksidasi. Seterusnya memblokir fungsi siklus glikogen. (c) Meskipun sekresi insulin dipertahankan, namun, glikogen yang tidak terpakai mencegah penyimpanan glukosa lebih lanjut dan mengarah ke DM tipe 2. (d) Kelehan sel beta yang menghasilkan insulin secara komplet. Dari proses-proses ini, dapat dinyatakan bahwa obesitas lebih dari sekedar faktor risiko sahaja, namun dapat memiliki efek kausal dalam pengembangan diabetes tipe 2 (Al Homsi and Lukic, 1993). 2.6. GEJALA KLINIS Penyakit Diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah: Keluhan Klasik a. Penurunan berat badan: Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan

Universitas Sumatera Utara

glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain iaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus. b. Banyak kencing: Oleh karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari. c. Banyak minum: Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak. d. Banyak makan: Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar. Keluhan lain : a. Gangguan saraf tepi/kesemutan: Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu malam, sehingga mengganggu tidur. b. Gangguan penglihatan: Pada fase awal penyakit Diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik. c. Gatal / Bisul: Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.

Universitas Sumatera Utara

d. Gangguan Ereksi: Ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang. e. Keputihan: Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan. 2.7. DIAGNOSIS Diagnosa awal penyakit Diabetes bole dilakukan dengan tes darah yang relatif memerlukan biaya yang murah. Menurut National Diabetes Information

Clearinghouse (NDIC) yang merupakan pusat servis kepada National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), antara t es yang digunakan untuk diagnosis diabetes adalah seperti berikut ( Harlan, 2008): 1) Fasting plasma glucose (FPG) test digunakan untuk mengukur glukosa darah pada orang yang tidak makan apa-apa untuk minimal 8 jam. Tes ini digunakan untuk mendeteksi diabetes dan pre-diabetes 2) Oral glucose tolerance test (OGTT) digunakan untuk mengukur glukosa

darah setelah seseorang puasa minimal 8 jam dan 2 jam setelah seseorang diberi minuman yang mengandungi glukosa. Tes ini dapat digunakan untuk mendiagnosa diabetes dan pre-diabetes. 3) Random plasma glucose test, disebut juga tes glukosa plasma kasual, mengukur glukosa darah tanpa memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh orang yang sedang diuji. Tes ini, bersama dengan penilaian gejala, digunakan untuk mendiagnosa diabetes tetapi bukan pre-diabetes. Hasil pengujian yang menunjukkan bahwa seseorang menderita diabetes harus dikonfirmasi dengan tes yang kedua pada hari yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

2.7.1. FPG Test Tes FPG adalah ujian yang lebih disukai untuk mendiagnosis diabetes karena nyaman dan biayaan yang rendah. Namun, tes ini akan melalaikan beberapa diabetes atau pre-diabetes yang dapat ditemukan dengan OGTT. Tes FPG adalah yang paling dapat dipercayai bila dilakukan di pagi hari. Hasil dan interpretasi ditunjukkan pada Tabel. Orang dengan tingkat glukosa puasa setinggi 100 sampai 125 miligram per desiliter (mg/dL) menderita sejenis pre-diabetes yang disebut sebagai gangguan glukosa puasa (IFG). Memiliki IFG berarti seseorang memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat sekitar 126 ml/dL atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang menderita diabetes ( Harlan, 2008). Tabel 2.1: Tabel Hasil Tes FPG dan Interprestasi Hasil Glukosa Plasma (mg/dL)

Diagnosis

99 dan ke bawah

Normal

100 sampai 125

Pre-diabetes

126 dan ke atas

Diabetes*

Keterenagan: * harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.

2.7.2. OGTT Penelitian telah menunjukkan bahwa OGTT lebih sensitif dibandingkan dengan pengujian FPG untuk mendiagnosa pre-diabetes, tapi kurang nyaman untuk administer. OGTT memerlukan puasa minimal 8 jam sebelum ujian. Tingkat glukosa plasma diukur segera sebelum dan 2 jam setelah seseorang minum cairan yang mengandung 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam air. Hasil dan interpretasi diperlihatkan pada Tabel 2.2.

Universitas Sumatera Utara

Jika kadar glukosa darah adalah antara 140 dan 199 mg/dL 2 jam setelah minum glukosa (TGT). Setelah TGT, seperti memiliki IFG, berarti seseorang memiliki peningkatan risiko diabetes tipe 2. Tingkat glukosa 2 jam 200 mg/dL atau lebih, dikonfirmasi dengan mengulang uji pada hari lain, berarti seseorang telah menderita diabetes ( Harlan, 2008). Tabel 2.2: Tabel Hasil OGTT dan Interprestasi Hasil Glukosa Plasma 2 Jam. (mg/dL)

Diagnosa

139 dan ke bawah

Normal

140-199

Pre-diabetes

200 dan ke atas

Diabetes*

Keterangan: * harus dikonfirmasikan lagi dengan mengulangi tes pada hari yang berbeda.

Diabetes kehamilan juga dapat didiagnosis berdasarkan nilai glukosa plasma yang diukur selama OGTT, caranya adalah menggunakan 100 gram glukosa dalam cairan untuk ujian. Kadar glukosa darah diperiksa empat kali selama tes. Jika kadar glukosa darah di atas normal setidaknya dua kali pada saat tes, wanita itu dikatakan menderita diabetes kehamilan. Tabel menunjukkan hasil di atas normal untuk OGTT untuk diabetes kehamilan (Harlan, 2008). Tabel 2.3: Tabel Hasil OGTT Diabetes Kehamilan dan Interpretasi Hasil Glukosa Plasma (mg/dL)

Diagnosis

Pada puasa

95 atau ke atas.

Pada 1 jam

180 atau ke atas.

Pada 2 jam

155 atau ke atas.

Pada 3 jam

140 atau ke atas.

Keterangan: * Angka-angka ini untuk tes menggunakan minuman dengan 100 gram glukosa Catatan: Beberapa laboratorium menggunakan nomor lain untuk tes ini.

Universitas Sumatera Utara

Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa ≥126 mg/dL pada plasma vena dan ≥100 mg/dL pada darah kapiler sedangkan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL pada plasma vena dan ≥200 mg/dL pada darah kapiler (PERKENI, 2006). 2.8. PENATALAKSANAAN Tujuan :

1. Jangka pendek:menghilangkan keluhan/gejala diabetes dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. 2. Jangka panjang: cegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas diabetes. 3. Cara:menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. Mengingat mekanisme dasar kelainan Diabetes tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan. 4. Kegiatan: mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku. Empat

pilar

utama dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus

menurut

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Konsensus PERKENI, 2006) yang meliputi : a) Edukasi b) Terapi gizi medis c) Latihan jasmani d) Intervensi farmakologis. Pada dasarnya, pengelolaan diabetes dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila

Universitas Sumatera Utara

setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obatobat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, diabetes dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2006). 2.8.1. Edukasi DM Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang

tidak

sehat.

Keberhasilan

dalam

mencapai

perubahan

perilaku,

membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:  Makan makann sehat  Kegiatan jsmani secara teratur  Menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktuwaktu yang spesifik  Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada  Melakukan perawatan kaki secara berkala  Mengelola diabetes dengan tepat  Mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan  Dapar mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku

Universitas Sumatera Utara

hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi (PERKENI, 2006). 2.8.2. Terapi medis gizi Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Standar yang

dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal kabohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:  Kabohidrat : 60 – 70%  Protein : 10 – 15%  Lemak : 20 – 25 % Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006). 2.8.3. Latihan jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur. (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan harian seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan

Universitas Sumatera Utara

Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006). 2.8.4. Pengelolaan farmakologis Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa: 1. Obat hipoglikemik oral (OHO) yang dibagi menjadi 4 golongan mengikut cara kerjanya (PERKENI, 2006): A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion C. penghambat glukoneogenesis (metformin) D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (acarbose) A. Pemicu Sekresi Insulin 1. Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien

dengan

berat

badan

lebih.

Untuk

menghindari

hipoglikemia

berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2006). 2. Glinid: Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)

Universitas Sumatera Utara

dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2006). B. Penambah sensitivitas terhadap insulin Tiazolidindion: Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan

ambilan

glukosa

di

perifer.

Tiazolidindion

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2006). C. Penghambat glukoneogenesis Metformin: Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama

dipakai

pada

penyandang

diabetes

gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan (PERKENI, 2006). D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Mekanisme kerja OHO,

Universitas Sumatera Utara

efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel (PERKENI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 : Obat Hipoglikemik Oral

(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, 2006)

Universitas Sumatera Utara

2. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan:  Penurunan berat badan yang cepat  Hiperglikemia berat yang disertai ketosis  Ketoasidosis diabetik  Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik  Hiperglikemia dengan asidosis laktat  Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal  Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,stroke)  Kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali  Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat  Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Tabel 2.5 : Farmakokinetik insulin eksogen berdasar waktu kerja

(Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis (PERKENI, 2006) yakni:  Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)  Insulin kerja pendek (short acting insulin)  Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)  Insulin kerja panjang (long acting insulin)  Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah(premixed insulin). 3. Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja ( PERKENI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.9. KOMPLIKASI Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis. 2.9.1. Komplikasi akut Komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah (Harrison, et al, 2005) : a) Hipoglikemi Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah (240 mg/dl). Terdapat keton dalam urin, buang air kecil banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton, lemas hingga koma.

Universitas Sumatera Utara

c) Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK) Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga darah menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini dinamakan Hiperosmolar NonKetotik (HNOK), atau Diabetic Hiperosmolar Syndrome (DHS). Kadar glukosa darah dapat mencapai nilai 600mg/dl. Glukosa dapat menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh mengalami dehidrasi. Penderita diabetes dalam keadaan ini menunjukkan gejala nafas cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki dan tulang kram, bingung, nadi cepat, kejang dan koma. Hiperglikemia dapat terjadi jika masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului stress akut. 2.9.2. Komplikasi kronik Komplikasi ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Yang termasuk dalam komplikasi kronik adalah (Harrison, et al, 2005): 1) Mikrovaskular a. Penyakit Mata i. Retinopati (nonproliferatif/proliferatif) ii. Macular edema b. Neuropati i. Sensorik dan motorik (mononeuropati dan polineuropati) ii. Autonomik c. Nefropati 2) Makrovaskular a. Penyakit arteri koronari b. Penyakit vaskular perifer c. Penyakit cerebrovaskular

Universitas Sumatera Utara

3) Lain-lain a. Gastrointestinal i. Gastroparesis ii. Diare b. Genitourinary i. Uropati/disfungsi ereksi ii. Ejakulasi retrograde c. Dermatologi d. Infeksi e. Katarak f. Glaukoma 2.10. TANAMAN BAWANG PUTIH 2.10.1 Pengenalan Bawang Putih Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi lapis. Tanaman ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm. Batang yang nampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang terdiri dari pelepah-pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya berada di dalam tanah. Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil yang banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang pokok bersifat rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 : Bawang Putih (Sumber: http://wordpress.com) Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri dari 8–20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000; Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat mencapai 30–60 cm dan lebar 1–2,5 cm. Jumlah daun 7–10 helai setiap tanaman. Pelepah daun panjang, merupakan satu kesatuan yang membentuk batang semu. Bunga merupakan bunga majemuk yang tersusun membulat; membentuk infloresensi payung dengan diameter 4–9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan 6 tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang filamen 4–5 mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium superior, tersusun atas 3 ruangan. Buah kecil berbentuk kapsul loculicidal (Becker dan Bakhuizen van den Brink, 1963; Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Menurut Santoso (2000) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi, tetapi varietas tertentu mampu tumbuh

Universitas Sumatera Utara

di dataran rendah. Tanah yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan pH netral menjadi media tumbuh yang baik. Lahan tanaman ini tidak boleh tergenang air. Suhu yang cocok untuk budidaya di dataran tinggi berkisar antara 20–250C dengan curah hujan sekitar 1.200–2.400 mm pertahun, sedangkan suhu untuk dataran rendah berkisar antara 27–300C. a) Klasifikasi Ilmiah  Divisio

: Spermatophyta

 Sub divisio : Angiospermae  Kelas

: Monocotyledonae

 Bangsa

: Liliales

 Suku

: Liliaceae

 Marga

: Allium

 Jenis

: Allium sativum

 Nama umum : bawang putih b) Nama binomial : Allium sativum L. c) Nama daerah : 1. Sumatera : Bawang putih (Melayu), Lasun (Aceh), Dasun (Minangkabau), Lasuna (Batak), Bacong landak (Lampung). 2. Jawa : Bawang bodas (Sunda), Bawang (Jawa), Babang pole (Madura). 3. Kalimantan : Bawang kasihong (Dayak). 4. Sulawesi : Lasuna kebo (Makasar), Lasuna pote (Bugis), Pia moputi (Gorontalo). 5. Nusa Tenggara : Incuna. Mengikut Mrs. M. Grieve dalam bukunya yang bertajuk " A Modern Herbal " bawang putih boleh didapati di utara dan selatan Siberia dan kemudiannya berkembang ke selatan Eropah dan ia juga dikatakan tumbuh secara liar di Sicily. Menurut Mrs. M. Grieve, bawang putih juga ditanam secara meluas di negaranegara Latin yang bersempadan dengan negara Mediteranean (Yacob, 1999).

Universitas Sumatera Utara

2.10.2 Metabolit Sekunder : Organo Sulfur Amagase, et al, (2001) dalam Hernawan dan Setyawan (2003) menyatakan metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih membentuk suatu sistem kimiawi yang kompleks serta merupakan mekanisme pertahanan diri dari kerusakan akibat mikroorganisme dan faktor eksternal lainnya. Sistem tersebut juga ikut berperan dalam proses perkembangbiakan tanaman melalui pembentukan tunas. Selain itu, Challem (1995) dalam Hernawan dan Setyawan (2003) pula menyatakan sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat berguna. Menurut Ellmore dan Fekldberg (1994) dalam Hernawan dan Setyawan (2003), senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggungjawab atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang. Dua senyawa organosulfur paling penting dalam umbi bawang putih, yaitu asam amino non-volatil γglutamil-S- alk(en)il-L-sistein dan minyak atsiri S-alk(en)il- sistein sulfoksida atau alliin.

Gambar 2.2 : γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Gambar 2.3 : Struktur kimia Alliin (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Dua senyawa di atas menjadi prekursor sebagian besar senyawa organosulfur lainnya. Kadarnya dapat mencapai 82% dari keseluruhan senyawa organosulfur di dalam umbi (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003) . Senyawa γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein merupakan senyawa intermediet

Universitas Sumatera Utara

biosintesis pembentukan senyawa organosulfur lainnya, termasuk alliin. Senyawa ini dibentuk dari jalur biosintesis asam amino. Dari γ-glutamil-S-alk(en)il-Lsistein, reaksi enzimatis yang terjadi akan menghasilkan banyak senyawa turunan, melalui dua cabang reaksi, yaitu jalur pembentukan thiosulfinat dan S- allil sistein (SAC). Dari jalur pembentukan thiosulfinat akan dihasilkan senyawa allisin (allisin). Selanjutnya dari jalur ini akan dibentuk kelompok allil sulfida, dithiin, ajoene, dan senyawa sulfur lain. Proses reaksi pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)ilL-sistein berlangsung dengan bantuan enzim γ- glutamil - transpeptidase dan γglutamil-peptidase oksidase, serta akan menghasilkan alliin (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Gambar 2.4 : Jalur Pemecahan γ-glutamil-S-alk(en)il-L-sistein. (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Pada saat umbi bawang putih diiris-iris dan dihaluskan dalam proses pembuatan ekstrak atau bumbu masakan, enzim allinase menjadi aktif dan menghidrolisis alliin menghasilkan senyawa intermediet asam allil sulfenat . Kondensasi asam tersebut menghasilkan allisin, asam piruvat, dan ion NH4+. Satu miligram alliin ekuivalen dengan 0,45 mg allisin (Zhang, 1999). Pemanasan dapat menghambat aktivitas enzim allinase. Pada suhu di atas 60oC, enzim ini inaktif (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5 : Reaksi pembentukan allicin. (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Asam amino alliin akan segera berubah menjadi allisin begitu umbi diremas (Dreidger, 1996) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Allisin bersifat tidak stabil (Amagase et al., 2001), sehingga mudah mengalami reaksi lanjut, tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan, suhu, dan lain-lain (Hernawan dan Setyawan, 2003) Ekstraksi umbi bawang putih dengan etanol pada suhu di bawah 0oC, akan menghasilkan alliin. Ekstraksi dengan etanol dan air pada suhu 25oC akan menghasilkan allisin dan tidak menghasilkan alliin. Sedang ekstraksi dengan metode distilasi uap (100oC) menyebabkan seluruh kandungan alliin berubah menjadi senyawa allil sulfida (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Oleh karena itu proses ekstraksi perlu dilakukan pada suhu kamar. Pemanasan dapat menurunkan aktivitas anti-kanker ekstrak umbi bawang putih. Pengolahan ekstrak dengan microwave selama 1 menit menyebabkan hilangnya 90% kinerja enzim allinase. Pemanasan dapat menyebabkan reaksi pembentukan senyawa allil-sulfur terhenti (Song dan Milner, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6 : Derivat allil sulfida (Sumber: Hernawan dan Setyawan, 2003)

Universitas Sumatera Utara

Allisin (3) merupakan prekursor pembentukan allil sulfida, misalnya diallil disulfida (DADS) (6), diallil trisulfida (DATS) (7), diallil sulfida (DAS) (8), metallil sulfida (9), dipropil sulfida (10), dipropil disulfida (11), allil merkaptan (12), dan allil metil sulfida (13). Kelompok alllil sulfida memiliki sifat dapat larut dalam minyak. Oleh karena itu, untuk mengekstraknya digunakan pelarut nonpolar (Gupta dan Porter, 2001). Pembentukan kelompok ajoene, misalnya Eajoene (14) dan Z-ajoene (15), serta kelompok dithiin, misalnya 2-vinil-(4H)-1,3dithiin (16) dan 3-vinil-(4H)-1,2 dithiin (17), juga berawal dari pemecahan allisin (3) (Zhang, 1999) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Senyawa organosulfur lain yang terkandung dalam umbi bawang putih antara lain, S propilsistein (SPC) (18), S-etil-sistein (SEC) (19), dan Smetilsistein (SMC) (20). Umbi bawang putih juga mengandung senyawa organoselenium dan tellurium, antara lain Se-(metil)selenosistein (21), selenometionin (22), dan selenosistein (23). Senyawa-senyawa di atas (18–23) mudah larut dalam air (Gupta dan Porter, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Beberapa senyawa bioaktif flavonoid penting yang telah ditemukan antara lain: kaempferol3-O-β-Dglukopiranosa (24) dan iso-rhamnetin-3-O-β-Dglukopiranosa (25) (Kim et al., 2000) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Senyawa frukto-peptida yang penting, yaitu Nα-(1-deoxy-Dfructose- 1yl)-L-arginin (26) (Ryu et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Ekstrak segar umbi bawang putih dapat disimpan lama dalam ethanol 15–20%. Penyimpanan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar akan menghasilkan AGE (aged garlic extract). Selama penyimpanan, kandungan allisin (3) akan menurun dan sebaliknya diikuti naiknya konsentrasi senyawasenyawa baru. Senyawa yang dominan terkandung adalah S-alil sistein (4) dan S-allilmerkaptosistein (SAMC) (27) (Banerjee dan Maulik, 2002; Amagase et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Selain dalam bentuk ekstrak padatan, umbi bawang putih dapat pula diolah melalui distilasi uap menjadi minyak atsiri bawang putih yang banyak digunakan

Universitas Sumatera Utara

dalam pengobatan. Kandungan kimia minyak atsiri bawang ini secara umum terdiri dari 57% diallil sufida (8), 37% allil metil sulfida (13), dan 6% dimetil sulfida. Minyak bawang komersial umumnya mengandung 26% diallil disulfida (6), 19% diallil trisulfida (7), 15% allil metil trisulfida, 13% allil metil disulfida, 8% diallil tetrasulfida, 6% allil metil tetrasulfida, 3% dimetil trisulfida, 4% pentasulfida, dan 1% heksasulfida. Minyak bawang hasil maserasi mengandung kelompok vinyl-dithiin 0,8 mg/g dan ajoena 0,1 mg/g, sedangkan ekstrak eter mengandung vinyl-dithiin 5,7 mg/g, allil sulfida 1,4 mg/g, dan ajoena 0,4 mg/g (Banerjee dan Maulik, 2002) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). 2.10.3. Aktivitas Biologi dan Manfaat Bawang Putih Para pakar kesehatan secara konsisten melakukan penggalian informasi khasiat bawang putih melalui penelitian farmakologi laboratoris yang sistematis (Rukmana, 1995). Tahapan pengujian, penelitian, dan pengembangan secara sistematis perlu dilakukan agar pemanfaatan dan khasiat bawang putih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Budhi, 1994), bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun. Pembuatan catatan atau dokumentasi ilmiah atas hasil penelitian tersebut dilakukan agar dapat terus dimanfaatkan dan dikembangkan oleh generasi di masa depan (Hernawan dan Setyawan, 2003). Penelitian farmakologi tentang bawang putih telah banyak dilakukan, tidak hanya secara in vivo (dengan hewan percobaan) tetapi juga in vitro (dalam tabung kultur). Hal ini ditempuh untuk membuktikan khasiat dan aktivitas biologi dari senyawa aktif bawang putih, sekaligus dosis dan kemungkinan efek sampingnya. Berbagai penelitian yang telah dikembangkan untuk mengeksplorasi aktivitas biologi umbi bawang putih yang terkait dengan farmakologi, antara lain sebagai antidiabetes, anti-hipertensi, anti-kolesterol, antiatherosklerosis, anti-oksidan, anti-agregasi sel platelet, pemacu fibrinolisis, anti-virus, antimikrobia, dan antikanker (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Bawang Putih (Allium sativum) sebagai Anti-diabetes Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit fisiologis berupa perubahan homeostasis glukosa yang menyebabkan kadar glukosa plasma darah di atas normal. Kondisi ini sering disebut hiperglikemik (Maher, 2000). Berbagai jenis tumbuhan obat telah dimanfaatkan untuk terapi penyakit tersebut. Banyak penelitian telah sampai pada isolasi senyawa aktif tumbuhan yang mampu memberikan efek hipoglikemik atau anti-diabetes, termasuk diantaranya umbi bawang putih (Hernawan dan Setyawan, 2003). Efek hipoglikemik umbi bawang putih telah dibuktikan secara in vivo, sedangkan secara in vitro belum dilakukan. Penelitian awal mengenai efek hipoglikemik bawang putih dilakukan oleh Mathew dan Augusti (1973), dengan melakukan isolasi allisin dan memberikannya pada tikus diabetes. Pada perlakuan dengan dosis 250 mg/kb BB, diketahui allisin mampu menurunkan kadar glukosa darah 60% lebih efektif daripada tolbutamid. Selanjutnya, Augusti (1975) memberi perlakuan ekstrak umbi bawang putih pada kelinci yang diinduksi diabetes menggunakan alloksan. Allisin dari ekstrak umbi bawang putih dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci seperti halnya tolbutamid (obat sintetis untuk penderita diabetes). Pada perkembangan berikutnya, semua penelitian yang mengkaji efek hipoglikemik umbi bawang putih menunjukkan hasil positif (Banerjee dan Maulik, 2002). Sheela, et al. (1995) mengisolasi senyawa asam amino sulfoksida dari bawang putih untuk kemudian diperlakukan pada tikus diabetes. Senyawa yang berhasil diisolasi adalah S-metilsistein sulfoksida (SMCS) dan alliin atau Sallilsistein sulfoksida. Perlakuan ekstrak selama sebulan menunjukkan penurunan kadar glukosa darah yang signifikan. Alliin pada dosis 200 mg/kg BB mempunyai unjuk kerja yang sama dengan glibenklamid (obat diabetes) dan hormon insulin.

Universitas Sumatera Utara

Perlakuan ekstrak minyak atsiri bawang putih pada tikus diabetes dapat menurunkan kadar enzim fosfatase dalam sel darah merah, fosfatase asam dan alkali, transferase alanin, transferase aspartat, dan amilase dalam serum darah. Enzim-enzim tersebut berperan dalam metabolisme glukosa (Ohaeri, 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Perlakuan dengan ekstrak yang sama pada manusia normal juga menunjukkan adanya aktivitas hipoglikemik pada serum darah. Kadar glukosa darah para sukarelawan mengalami penurunan setelah diberi perlakuan selama 11 minggu (Zhang, et al., 2001) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Mekanisme penurunan kadar glukosa darah oleh ekstrak bawang putih masih belum diketahui secara jelas. Senyawa yang berperan telah diketahui yakni allisin dan alliin (Augusti, 1975; Sheela et al., 1995). Kemungkinan masih terdapat senyawa lain yang juga mampu menurunkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus. Allisin dan alliin mampu menjadi agen anti-diabetes dengan mekanisme perangsangan pankreas untuk mengeluarkan sekret insulinnya lebih banyak (Banerjee dan Maulik, 2002). 2.10.4 Toksisitas dan efek samping Beberapa literatur menyatakan adanya efek negatif konsumsi bawang putih, namun sebagian besar tidak memiliki bukti yang cukup, hanya berupa studi awal, studi kasus atau studi epidemiologi (Jesse, et al., 1997) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Dugaan diet bawang putih terkait dengan kangker mulut tidak benar, mengingat bawang putih bersifat anti kangker. Kangker tersebut merupakan akibat cara menyikat gigi untuk menghilangkan bau menyengat yang salah (Kabat, et al., 1989) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Salah satu kajian ilmiah dengan bukti cukup mengenai efek negatif bawang putih adalah kajian hepatosit pada tikus. Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih sangat bernilai untuk detoksifikasi dan antioksidasi pada kadar 1 mM, namun pada kadar 5 mM secara nyata dapat menurunkan viabilitas

Universitas Sumatera Utara

sel, mengubah morfologi sel, dan menurunkan aktivitasnya (Sheen, et al., 1996) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Umbi bawang putih aman untuk dikonsumsi manusia pada takaran normal, yakni kurang dari tiga umbi per hari. Pada takaran tersebut, toksisitas dan efek samping konsumsi umbi bawang putih belum ada. Bahkan untuk wanita hamil dan menyusui, umbi bawang putih tidak menunjukkan efek negatif. Pada kasus yang jarang terjadi, bawang putih dapat menyebabkan alergi (Pizorno dan Murray, 2000; Yarnell, 1999; Lemiere, et al., 1996; Delaney dan Donnely, 1996; Burden, et al., 1994) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Bawang putih juga tidak berefek negatif terhadap sekresi enzim pencernaan (Sharatchandra, et al., 1995) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003). Efek positif konsumsi bawang putih jauh lebih tinggi dibandingkan efek negatifnya. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bawang putih merupakan obat mujarap untuk meningkatkan vitalitas tubuh bagaikan ginseng (Jesse, et al., 1997) dalam (Hernawan dan Setyawan, 2003).

Universitas Sumatera Utara