Cita & Realita - Kambing UI - Universitas Indonesia

6 downloads 2584 Views 682KB Size Report
bangsa Indonesia, dengan penekanan pada peran riset dan iptek. Dalam literatur .... Perang Dunia II) telah memiliki cadangan iptek yang berlimpah, maju dan ...
Simfoni Inovasi

Cita & Realita

Kusmayanto Kadiman

Editor: Sonny Yuliar Transkrip Wawancara: Merry Magdalena

Prakata

Istilah ‘inovasi’ kini menjadi sebuah slogan, atau buzzword,  yang muncul di berbagai wacana baik dalam organisasi bisnis,  di   perguruan   tinggi,   di  lingkungan   birokrasi   pemerintahan,   di  Lembaga Swadaya Masyarakat maupun di kelompok­kelompok  ekonomi kreatif. Bagi sebagian pihak, makna inovasi dikaitkan  dengan   keunggulan   suatu   produk   komersial   yang   baru,   atau  layanan   publik   yang   baru.   Bagi   pihak   yang   lain,   inovasi  dikaitkan dengan kreativitas yang orisinal. Pihak yang lain lagi  menekankan   adanya  pengetahuan   yang  baru  (new   knowledge)  dalam inovasi. Tapi, meski terdapat perbedaan dalam cara orang  memaknai, makna ‘inovasi’ tidak pernah lepas dari ‘kebaruan.’  Tentu saja idak setiap ‘kebaruan’ dikatakan inovatif. Ada dua  aspek pokok dari ‘kebaruan’ yang inovatif: pertama, terciptanya  nilai (value) yang baru; ke dua, terdapat pengetahuan yang baru. Istilah   ‘inovasi’   itu   sendiri   berasal   dari   ‘innovare,’   istilah  dalam Bahasa Latin yang merujuk pada penggunaan cara­cara  yang  baru  untuk menghasilkan nilai yang baru. Di Indonesia,  slogan   “niteni,   niroake,   nambahake”   memiliki   makna   serupa  dengan   inovasi.   Slogan   ini   dilontarkan   oleh   sang   tokoh  pendidikan bangsa, yaitu Ki Hajar Dewantoro, beberapa dekade  yang   silam.  Niteni  bermakna   mencermati   (to   inquire)   suatu  objek.  Niroake  berarti   menirukan   (to   replicate,  to   imitate,  to  simulate).  Nambahake  artinya   menambahkan   secara  keseluruhan, to add value. Dikombinasikan dalam satu kesatuan, 

makna   slogan   itu   mencakup   pengembangan   pengetahuan   dan  penciptaan nilai—riset dan inovasi. Suatu   produk,   proses,   atau   metode   organisasi   dikatakan  inovatif  bila menimbulkan nilai  yang baru: kehadiran produk,  proses atau metode tersebut memunculkan sesuatu sesuatu yang  lebih berharga, atau lebih valuable bagi pihak­pihak lain. Sering  kali nilai itu adalah ekonomik, seperti dalam kasus inovasi di  organisasi   bisnis.   Tapi   dalam   kasus   inovasi   di   lembaga  pemerintahan,   nilai   sosial   dari   layanan   publik   yang   menjadi  pusat   perhatian.   Di   perguruan   tinggi   atau   lembaga   riset,  kebaruan pengetahuan sering menjadi tolok ukur inovasi.  Pada   umumnya   penciptaan   nilai   yang   baru   membutuhkan  pengetahuan yang baru. Misalnya, pengetahuan akan proses atau  manajemen yang baru dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi  produksi   komersial.   Begitu   pula,   pengetahuan   yang   baru  diperlukan dalam peningkatan kualitas kehidupan sosial seperti  peningkatan   kesetaraan   sosial,   pencegahan   konflik,  perlindungan ekosistem, dan lain sebagainya. Tapi tidak setiap  pengetahuan yang baru akan menimbulkan nilai­nilai yang baru.  Belakangan ini, konsep ‘valorisasi pengetahuan’ mulai dibahas  di berbagai forum ilmiah. Valorisasi pengetahuan atau teknologi  merupakan  metode atau langkah­langkah untuk  memberi arah  pada riset dan perkembangan pengetahuan/teknologi, sehingga  pada   akhirnya   dihasilkan   pengetahuan/teknologi   yang  mempunyai nilai ekonomik ataupun sosial.  Jadi, inovasi menjadi perhatian ketika terciptanya nilai­nilai  yang baru diinginkan. Inovasi dibicarakan ketika produk baru,  sistem yang baru, keadaan baru—produk, sistem, keadaan yang 

lebih  baik   dan  bernilai  (valuable)—diinginkan.  Pertanyaannya  kemudian: bagaimana inovasi dapat terjadi?  oo0oo Kreatif   tidak   sama   dengan   inovatif,   meski   inovasi  memerlukan   kreativitas.   Seseorang   yang   kreatif   belum   tentu  inovatif,   kalau   kreativitas   itu   semata­mata   bermotivasikan  kesenangan diri­sendiri, atau justru untuk merugikan orang lain.  Jadi, teori tentang inovasi berbeda dari teori tentang kreativitas.  Inovasi, ketika terjadi, sering merupakan hasil kolektif, bukan  hasil individual. Oleh karena ini, dalam literatur akademik teori­ teori inovasi merujuk pada gagasan kesisteman: sistem inovasi  (innovation system) atau jejaring inovasi (innovation network).  Karena   inovasi   bersangkutan   dengan   nilai­nilai,   inovasi  sering merupakan proses yang kompleks. Ini dikarenakan bahwa  apa­apa yang bernilai bagi pihak tertentu belum tentu bernilai  bagi   pihak   yang   lain.   Situasi   demikian   sering   terjadi   dalam  konteks   inovasi   produk   komersial.  Misalnya,   pengembangan  produk baru yang lebih tinggi nilai komersialnya, ditolak oleh  para   aktivis   lingkungan   karena   membahayakan   kelestarian  lingkungan.   Nilai   komersial   sering   berbenturan   dengan   nilai  lingkungan. Begitu pula dalam kasus penyelenggaraan layanan  publik.   Pengembangan   infrastruktur   publik   sering   harus  menyeimbangkan   nilai­nilai   sosial.   Misalnya,   pengembangan  infrastruktur   transportasi   perlu   mengkompromikan   antara  mobilitas sosial (bagi pihak tertentu) dan kohesivitas sosial (bagi  pihak yang lain).  Jadi, sebagai gagasan normatif inovasi merupakan hal yang  menarik,  dan  memberikan harapan akan  terciptanya  nilai­nilai 

yang baru. Tapi menyusun teori tentang inovasi merupakan hal  yang tidak mudah, persisnya karena inovasi berkenaan dengan  nilai­nilai,   dan   pada   praktiknya   pihak­pihak   yang   berbeda  mengusung   nilai­nilai   yang   berbeda.   Dengan   perkataan   lain,  sebuah teori tentang inovasi perlu membahas adanya pluralitas  nilai­nilai, dan transformasi nilai­nilai ini menjadi sebuah nilai  bersama yang baru. oo0oo Buku ini membahas  tema inovasi dalam konteks kemajuan  bangsa Indonesia, dengan penekanan pada peran riset dan iptek.  Dalam literatur akademik, tema demikian dibahas dalam rubrik  ‘sistem inovasi nasional’ (national innovation system, NIS) atau,  yang   belakangan   dilontarkan,   ‘sistem   pengetahuan,   riset   dan  inovasi’   (knowledge,   research   and   innovation   system,   KRIS).  Pembahasan   dalam   buku   ini   lebih   bersifat   eksploratif­empiris  ketimbang   teoretis,   dengan   menyajikan   dialog­dialog   yang  melibatkan sejumlah pelaku dari lingkungan akademisi, bisnis,  birokrasi, dan organisasi sosial yang lain. Gagasan tentang relasi  A­B­G   (academician­business­government)   digunakan   sebagai  kerangka kerja untuk menstruktur hasil­hasil dialog tersebut.  Dengan   metode   pembahasan   demikian,   diharapkan   para  pembaca buku ini dapat memahami konsep­konsep yang terkait  dengan inovasi, melalui eksplorasi terhadap situasi atau kondisi  yang   nyata.   Jadi,   buku   ini   tidak   hanya   membahas   cita­cita  inovasi berkaitan dengan terciptanya nilai­nilai yang baru, tapi  juga   realita   dari   inovasi.   Buku   ini   mengajak   pembaca   untuk  ‘bermimpi’   tentang   cita­cita   bersama,   dan   membangun  ‘pemahaman’  akan realita bersama. Sesudah kita sampai pada  cita­cita dan pemahaman bersama tersebut, tantangan di depan 

kita adalah mengubah cita­cita ini menjadi sebuah ‘realita yang  baru.’  oo0oo Buku ini tidak akan hadir tanpa peran serta yang tulus dan  penuh   entusiasme   dari   para   partisipan   dialog,   dan   tidak   akan  tersusun   dengan   sistematik   tanpa   ketekunan   dan   kesabaran  segenap   tim   pendukung,   yaitu   perekam   wawancara,   pengolah  hasil wawancara, penyunting naskah,  perancang tata letak, dan  perancang sampul buku. Saya sampaikan rasa terima kasih yang  mendalam   kepada   para   partisipan   dialog   dan   segenap   tim  pendukung penyusunan buku ini.  Jakarta,  Nopember 2008

Kusmayanto Kadiman

Daftar Isi

Prakata Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Gambar Prolog

Dari Iptek menuju Inovasi Dialog Bagian Satu : Agenda 6 dalam Konteks

Industri, bukan Pabrik (Dialog dengan Rama Prihandana) Regulasi/De-regulasi (Dialog dengan Edie Haryoto)

Konsistensi Regulasi (Dialog dengan Hilmi Panigoro) Perencanaan Lintas-Sektor (Dialog dengan Herman Darnel Ibrahim) Kesinambungan Milestones (Dialog dengan Suryatin Setiawan) Embargo sebagai Pemicu

(Dialog dengan Budi Santoso)

Perbedaan Paradigma Ilmu (Dialog dengan Irwan Hidayat) Peran Badan Intermediasi (Dialog dengan Boenjamin Setiawan) Petikan Hikmah: Interaksi ‘Melintas Batas’ Bagian Dua : Ekologi Inovasi Governance yang Pro-Inovasi (Dialog dengan Setiyono Djuandi Darmanto dan Rama Prihandana)

Nalar Ekonomi vs. Nalar Teknologi (Dialog dengan Thee Kian Wie) Pertambangan: Potensi yang Terpendam (Dialog dengan Noke Kiroyan) Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial (Dialog dengan Mayiling Oei-Gardiner) Memaknai Perbedaan lewat ‘Live-In’ (Dialog dengan Aristides Kastopo dan Mudji Soetrisno) Menyandingkan Ilmu Horisontal dan Ilmu Vertikal (Dialog dengan Mustofa Bisri)

Petikan Hikmah: Transformasi Nilai dalam Inovasi Epilog Memilih Rute Inovasi

Prolog Dari Iptek menuju Inovasi

P

erkembangan   ilmu   pengetahuan   dan   teknologi   (iptek)  sering   dikaitkan   dengan   ‘kemajuan   bangsa’.   Sebagian  kalangan   bahkan   meyakini   bahwa   iptek   itu   merupakan   agen,  atau   kekuatan,   perubahan.   Pertanyaannya   adalah:   bagaimana,  secara aktual, iptek itu menghasilkan perubahan ke arah yang  kita   inginkan?   Pertanyaan   ini   penting   untuk   bisa   kita   jawab,  karena   dalam   kondisi   bangsa   Indonesia   hari   ini   kita  membutuhkan sumber­sumber perubahan.  Mari kita lihat kehadiran sejumlah teknologi di masyarakat.  Telepon seluler merupakan sejenis teknologi canggih, yang kini  digunakan meluas di masyarakat. Dengan alat ini di genggaman  tangan,   kita   dapat   berbincang­bincang   dengan   orang­orang  terdekat—saudara, kerabat, kolega, atau mitra bisnis, kapan saja  dan di mana saja kita mau. Serupa dengan contoh ini, kehadiran  jalan­jalan   tol,   kereta   api,   pesawat   terbang   menimbulkan  mobilitas sosial yang tinggi, dan memperluas lingkup kegiatan  ekonomi. Dalam industri­industri manufaktur modern, jaringan  komputer­komputer   membuat   kegiatan   produksi   menjadi  sesederhana   ‘pasang­dan­mainkan’   (‘plug­and­play’),   dan  ‘klik’. Kalau kita masuk ke dalam kehidupan pribadi, di bidang  kesehatan misalnya, sekarang kita sudah bisa merekayasa tubuh, 

organ   tubuh,   dan   bahkan   meremajakan   sel­sel   tubuh.   Masih  sangat   banyak   contoh­contoh   serupa   yang   mungkin  ditambahkan di sini.  Apakah   pemaparan   contoh­contoh   ini   sudah   menjawab  pertanyaan di atas? Belum! Yang belum diuraikan adalah proses  aktual   dari   perubahan   yang   ditimbulkan   oleh   iptek.   Telepon  seluler, mesin uap, komputer, jalan tol, organ buatan, ini semua  merupakan   benda­benda.   Komunikasi,   mobilitas   sosial,  perdagangan dan kesehatan merupakan hal­hal dalam kategori  yang   lain,   yang   menyangkut   manusia,   komunitas   dan  masyarakat.   Maksud   pertanyaan   di   atas   adalah,   bagaimana  perkembangan   iptek   dapat   menimbulkan   perubahan   pada  manusia dan masyarakat. Kalau kita meyakini peran iptek sebagai sumber perubahan,  kita   menghadapi   sejumlah   pertanyaan   yang  harus   kita   jawab.  Misalnya, bagaimana iptek dapat memberikan kemampuan pada  masyarakat   untuk   mendapatkan   apa­apa   yang   dibutuhkan:  pangan, kesehatan, tempat tinggal, transportasi, komunikasi, dan  energi, dan juga rasa aman? Di ranah ekonomi, bagaimana iptek  dapat   meningkatkan   produktivitas   nasional,   meningkatkan  kesejahteraan   secara   merata,   memberikan   pilihan­pilihan  lapangan kerja, dan menjamin keberlanjutan ekonomi? Terkait  dengan   konteks   yang   lebih   luas,   bagaimana   iptek   dapat  berkontribusi  dalam memulihkan kerusakan lingkungan akibat  ‘perlombaan   ekonomi   global’,   mewujudkan   perdamaian,  kesetaraan sosial dan demokrasi? Ini   semua,   pada   intinya,   merupakan   pertanyaan   tentang  hubungan antara perkembangan iptek dan penciptaan nilai­nilai  ekonomik,  sosial dan lingkungan—hubungan antara iptek dan 

inovasi. Sebenarnya pertanyaan­pertanyaan seperti ini bukanlah  hal   yang   baru.   Sejumlah   konsep   atau   model   telah   diusulkan  sebagai   jawaban,   dan   bahkan   telah   menjadi   bagian   dari  kebijakan   dan   program­program   pembangunan   nasional.   Tapi  yang   masih   perlu   kita   temukan   adalah   model   atau   jawaban  alternatif,   karena   model­model   yang   ada   masih   mengandung  kelemahan, dan belum efektif. Berikut ini akan dibahas terlebih  dahulu, model­model yang telah dikenal luas.  Model-Model ‘Instrumentalis’ Dalam model pembangunan yang populer di periode 1950  sampai 1970­an, kita mengenal konsep alih iptek (science and  technology   transfer).   Badan­badan   internasional   (seperti  Perserikatan   Bangsa­Bangsa   dan   Bank   Dunia)   sejak   dekade  1950­an gencar mempromosikan program­program alih iptek ke  negara­negara   berkembang.   Hal   ini   dimaksudkan   untuk  membantu  negara­negara berkembang mengejar ketertinggalan  mereka.  Konsep   alih   iptek   ini   didasarkan   atas   asumsi   bahwa  ketersediaan iptek merupakan sumber perubahan dan kemajuan  bangsa.   Di   masa   itu,   negara­negara   maju   (para   pemenang  Perang Dunia II) telah memiliki cadangan iptek yang berlimpah,  maju   dan   teruji.   Negara­negara   tersebut   memandang   perlu,  upaya pengalihan iptek ke negara­negara yang masih tertinggal.  Pandangan demikian tercermin dalam pidato  presiden Amerika  Serikat   di   masa   itu   (akhir   1940­an),   Hary   Truman,   ketika  memproklamasikan berakhirnya era kolonialisasi,  “The economic life of (the poor) is primitive and stagnant …   Their   poverty   is   a   handicap   and   a   threat,  …  We   must 

embark on a bold new program for making the benefits of   our scientific advances and industrial program available for  the improvement and growth of underdeveloped areas, … “ Pengalihan   iptek   ini   ditempuh   melalui   beberapa   cara,   seperti  melalui   program­program bantuan  (hibah  dan pinjaman),  atau  melalui   penanaman   modal   asing   (PMA)   ke   negara­negara  berkembang,   yang   disertai   dengan   impor   iptek.   Program­ program seperti ini menembus Indonesia sejak awal 1970­an. Model yang lain, tentang hubungan antara iptek dan inovasi,  bertolak   pada   kritik   atas   program­program   alih   iptek.  Dikhawatirkan   bahwa   program­program   seperti   ini   justru  menimbulkan   kebergantungan   negara­negara   berkembang  terhadap   negara­negara   pemberi   bantuan.   Atas   dasar   ini,  disarankan   bahwa   negara­negara   berkembang   harus  mengembangkan   iptek   secara   mandiri.   Model   ini   dikenal  sebagai model ‘tekno­nasionalis’. Dalam model ini,  iptek yang  berada   di   negara­negara   maju   tetap   dijadikan   rujukan.   Hanya  saja,   pengembangan   iptek   tersebut   dilakukan   secara   mandiri  oleh negara­negara berkembang, agar tidak lagi tertinggal dan  bergantung pada negara­negara maju.  Model yang lain  muncul belakangan, sejak 1980­an, ketika  agenda liberalisasi pasar meluas di arena internasional. Model  ini menyarankan bahwa bukan iptek yang harus pertama­tama  dikembangkan,   melainkan   pertumbuhan   ekonomi   lewat  mekanisme  pasar. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,  pendapatan   negara   akan   meningkat   dan   daya   beli   masyarakat  menjadi   tinggi.   Ketika   hal   ini   dicapai,   maka   iptek   yang  dibutuhkan   untuk   kemajuan   bangsa    dapat   diperoleh  di  pasar  internasional. Sebutlah ini sebagai model pasar liberal.

Model   pasar   liberal   berbeda   dari   model   alih   iptek,   meski  keduanya   menekankan  pertumbuhan   ekonomi  dan   penanaman  modal asing. Dalam model alih iptek, ditekankan adanya impor  dan adopsi iptek, agar negara­negara berkembang mendapatkan  stok, atau persediaan iptek yang cukup untuk bisa berkembang.  Tapi dalam model pasar liberal, alih iptek kurang mendapatkan  penekanan.   Asumsinya,   segala   sesuatu   dapat   dengan   mudah  diperoleh di pasar global.   Ketiga model yang didiskusikan di atas—model alih iptek,  model   tekno­nasionalisme,   dan   model   pasar   liberal,   memiliki  kesamaan   dalam   asumsi   dasar,   bahwa   hubungan   antara   iptek  dan   masyarakat   bersifat  instrumental.   Diasumsikan   bahwa  ketika   iptek   sudah   berada   di   tangan   masyarakat,   maka  perubahan   akan   segera   terjadi   tanpa   perlu   upaya­upaya   yang  berarti.   Dikarenakan   adanya   asumsi   seperti   ini,   ketiga   model  tersebut   dapat   dikatakan   berwatak   instrumentalis,   atau  berorientasi pada instrumen.  Dalam   asumsi   instrumentalis,   iptek   adalah   instrumen  perubahan,   dan   masyarakat   merupakan   subjek   pemakai  instrumen.   Masyarakat   akan   segera   mengalami   perubahan,  begitu   iptek   berada   di   tangan   mereka.   Dalam   cara   berpikir  seperti ini, perhatian ditujukan terutama pada instrumen, sarana,  atau alat, tapi bukan pada subjek yang menggunakan instrumen  tersebut. Sebagian periset menyebut pendekatan instrumentalis  sebagai pendekatan linier, atau model linier dari inovasi, karena  mengasumsikan   aliran   pengaruh   yang   linier,   satu   arah,   dari  instrumen ke subjek (lihat Gambar 1). Jadi,   dalam   model   alih   iptek,   instrumen   untuk   perubahan  masyarakat   di   negara­negara   berkembang   disediakan   oleh 

negara­negara maju. Dalam model tekno­nasionalis, disarankan  bahwa instrumen itu dikembangkan sendiri oleh negara­negara  berkembang,   untuk  menghindari  kebergantungan  instrumental.  Sedangkan   dalam   model   pasar   liberal,   disarankan   bahwa  instrumen   itu   diperoleh   di   pasar   global,   lantaran   langkah   ini  lebih hemat. Yang   kurang   mendapat   perhatian   dalam   ketiga   model  tersebut   adalah   peran   subjek,   yakni   manusia   dan   masyarakat.  Faktor­faktor   intrinsik   dari   masyarakat   dan   institusi­institusi  sosial   cenderung   terabaikan.   Kalaupun   model­model  instrumentalis tersebut menekankan pentingnya pengembangan  sumber   daya  manusia  (SDM), seperti  melalui  pendidikan  dan  pelatihan,   tujuannya  adalah  untuk  menyiapkan  para  pengguna  iptek yang trampil dan disiplin, atau untuk menghasilkan para  periset iptek yang menapak­tilas iptek­iptek di negara maju.

Pemerintah Industri Lembaga Iptek Negara­negara maju (Produsen iptek)

 Aliran pengaruh Alih iptek asing ‘Tren’ iptek global Pasokan pasar global

Pemerintah Industri Lembaga iptek Pengguna akhir Negara­negara berkembang (Konsumen iptek)

Gambar 1. Aliran Pengaruh Linier, Satu Arah, sebagai Implikasi Pendekatan Instrumentalis terhadap Inovasi.

Sejumlah  kritik   dari   berbagai   sudut   pandang   telah  dilontarkan   terhadap   model,   atau   pendekatan   instrumentalis 

tersebut. Dapat disebutkan di sini sekelumit di antaranya, seperti  dari   sudut   pandang   antropologi   (Goonatilake,   1984;   Hess,  1995),   sosiologi   (Rip   dan   Misa,   1995),   kebijakan   publik  (Ahmad, 1988; Lee, 1997), ekonomi (Etzkowitz 2007; Nelson,  1993), sejarah (Mitcham, 1994).  Sejumlah   model   baru   telah   intensif   dikembangkan   sejak  awal   1990­an,   dan   membawa   perubahan   dalam   kebijakan­ kebijakan   publik.   Secara   garis   besar,   kebaruan   dalam   model­ model ini terletak pada penekanan atau orientasinya, yakni pada  masyarakat,   sebagai   subjek   dari   perkembangan   iptek   dan  inovasi.   Dalam   model­model   inovasi   yang   baru,   kapabilitas  masyarakat dan institusi­institusi sosial menjadi fokus perhatian.  Pendekatan Kapabilitas Dalam artian sederhana, kapabilitas merupakan kemampuan  untuk   melakukan   sesuatu,   guna   mendapatkan   hasil   yang  dikehendaki.   Jadi,   kapabilitas   mengandung   makna   kebebasan  seseorang, atau suatu masyarakat, untuk mendapatkan apa­apa  yang   diinginkan.   Kapabilitas   ini   tidak   otomatis   terbangun  dengan meningkatnya jumlah iptek yang dihasilkan/digunakan,  ataupun   dengan   meningkatnya   pendapatan/uang.   Terdapat  faktor­faktor intrinsik yang harus berkembang agar kapabilitas  ini menjadi kuat.  Dalam   literatur   tentang   pembangunan,   pendekatan  berorientasi   pada   kapabilitas   diusulkan   oleh   Amartya   Sen,  seorang   ahli   ekonomi   penerima   hadiah   nobel,   penulis   buku  “Development   as   Freedom”   (1999).   Secara   khusus   Sen  mengkritik pendekatan ekonomik yang dianut oleh badan­badan 

pembangunan   dunia,   seperti   Bank   Dunia,   yang   terlalu  menekankan   tingkat   pendapatan.   Meski   tingkat   pendapatan  merupakan   ukuran   kesejahteraan   yang   penting,   tapi   ini   tidak  selalu   terkait   dengan   kemampuan.   Pendapatan   atau   daya   beli  diperlukan oleh masyarakat. Tapi ini tidak otomatis memberikan  kapabilitas.   Banyak   hal  yang  harus  dipikirkan   dan  dikerjakan  untuk   membangun   kapabilitas   masyarakat,   yang   bagi   Sen  merupakan aspek pokok dari freedom.  Carl   Mitcham,  seorang antropolog  yang menekuni  sejarah  teknologi di Barat, memperlihatkan bahwa perubahan jenis atau  bentuk teknologi dari zaman­ke zaman mencerminkan evolusi  dari   kapabilitas   masyarakat.   Jadi,   ketika   moda   produksi   di  masyarakat   industrial   berubah   dari  mekanik  ke  otomatik,   ini  bukan   semata­mata   akibat   penemuan   komputer.   Sebaliknya,  perubahan   dalam   kebudayaan   dan   kepranataan   sosial   menjadi  faktor   instrinsik   dari   masyarakat,   yang   memicu   perubahan  dalam teknologi: dari mesin­mesin penghasil tenaga ke mesin­ mesin informasi (komputer­komputer).  Dalam   bukunya  “Thinking   Through   Technology”   (1994),  Mitcham   menguraikan   kapabilitas   manusia   ke   dalam   empat  unsur: (i) material yang menjadi objek perbuatan; (ii) kegiatan  atau perbuatan mentransformasi objek­objek; (iii) pengetahuan  yang memandu kegiatan; dan (iv) kehendak (atas perbuatan dan  hasilnya)   yang   menggerakkan   kegiatan.   Keempat   unsur   ini  saling berkaitan dan membentuk kapabilitas manusia. Kehendak  (mencakup   motivasi   dan   keputusan)   dan  pengetahuan   merupakan   faktor­faktor   yang  intrinsik  pada   diri  manusia.   Keduanya   saling   terkait   dengan   erat.   Pengetahuan 

berkembang   melalui   proses   mental   (yakni   berpikir).   Tanpa  motivasi   yang   kuat,   kegiatan   berpikir   menjadi   lemah   daya,  mudah   menyerah.   Pengetahuan   memberikan   kecerahan,   dan  menjadi   panduan   dalam   berbuat.   Kehendak   dan   pengetahuan  manusia   merupakan   penggerak   dan   pemandu   kegiatan  manipulatif   atas   objek­objek   material   (termasuk   juga   hayati).  Kehendak,   pengetahuan   dan   perbuatan   ini   menghasilkan  serangkaian   transformasi   pada   objek­objek   material/hayati  tersebut.  Mesin,   jaringan   komputer,   bangunan,  pesawat   ruang  angkasa   merupakan   artifak   teknologis,   yang   hadir   melalui  perbuatan manipulatif manusia, dan dibuat untuk menghasilkan  apa­apa   yang   dikehendaki   manusia.   Yang   dituju   tidak   selalu  material (kebutuhan pangan, perlindungan fisis), tapi juga non­ material.  Misalnya,   menaklukkan   alam   jelas   bukan   tujuan   material,  karena hukum­hukum alam tidak pernah diubah oleh manusia.  Sering   yang   manusia   lakukan   adalah   mendemonstrasikan,  bahwa   dia   tidak   lagi   terbelenggu   oleh   batasan   alamiah.  Membebaskan diri dari kungkungan alamiah merupakan tujuan  yang bersifat non­material. Dengan ilustrasi seperti ini, Mitcham  berargumen bahwa perubahan teknologi merupakan bagian dari  perubahan   humanisme   dan   kebudayaan   manusia,   bukan  sebaliknya. Hanya   saja,   sebagaimana   dicatat   oleh   Goonatilake,  antropolog   dari   Argentina,   banyak   ilmuwan   di   negara­negara  berkembang melihat kemajuan teknologi di Barat secara parsial,  lalu   berkesimpulan   bahwa   iptek   menjadi   sumber   perubahan  kebudayaan.   Lalu   mereka   terperangkap   dalam   pemikiran 

instrumentalis.   Alih­alih   bekerja   mengupayakan   transformasi  kebudayaan, mereka menapak­tilas iptek di negara­negara Barat,  dengan   harapan   kebudayaan   mereka   akan   ikut   berubah.  Akibatnya,   banyak   iptek   di   negara­negara   berkembang   tidak  orisinal. Dalam istilah yang digunakan Goonatilake, kreativitas  para ilmuwan di negara­negara berkembang itu ‘teraborsi,’ atau  mati sebelum tumbuh dewasa.  Jadi, kemajuan iptek suatu bangsa memang mencerminkan  kapabilitas   bangsa   tersebut.   Tapi   ini   bukan   dalam   artian  instrumentalis,   bahwa  produk  iptek   itulah   kekuatan  perubahannya.   Terdapat   faktor­faktor   intrinsik   dalam  masyarakat   yang   mengalami   perubahan,   yang   kemudian  terwujudkan   dalam   hal­hal   yang   kasat   mata.   Sebuah   pepatah  klasik menyatakan, “  men sana in corpore sano,” yang lazim  diartikan  “dalam  badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat.”  Dalam penafsiran instrumentalis, badan yang sehat merupakan  penyebab   jiwa   yang   sehat.   Tentu   penafsiran   ini   tidak  sepenuhnya benar. Banyak orang yang sakit jiwa, tapi badannya  sehat   dan   berusia   panjang.   Slogan   di   atas   dapat   ditafsirkan  sebaliknya.   Jiwa   yang   sehat   merupakan   faktor   intrinsik   yang  diperlukan   untuk   menyehatkan   badan.   Ini   penafsiran   dalam  pendekatan kapabilitas. Jadi,  mengikuti   slogan   klasik   di   atas,   kita   bisa   membuat  slogan, “dibalik iptek yang maju, terdapat bangsa yang maju.”  Dalam   penafsiran   instrumentalis,   iptek   yang   maju   merupakan  sumber   kemajuan   bangsa.   Tapi   dalam   penafsiran   yang  menekankan   kapabilitas,   artinya   adalah   bahwa   kapabilitas  bangsa   merupakan   pra­kondisi,   baik   bagi   kemajuan   bangsa  maupun iptek. 

Kalau  gagasan   Mitcham   tentang   kapabilitas   manusia  diperluas, diekstrapolasi ke ranah masyarakat, maka kapabilitas  iptek   dapat   dipahami   sebagai   kemampuan   masyarakat   untuk  memanipulasi   objek­objek   di   lingkungannya,   untuk  mendapatkan   yang   mereka   kehendaki,   atau   yang   mereka  putuskan sebagai tujuan bersama. Dengan memperluas konsep  Mitcham, kapabilitas iptek masyarakat dapat diuraikan ke dalam  faktor­faktor sebagai berikut:  • Lingkungan material/hayati dari suatu masyarakat;  • Kegiatan   atau   aktivitas   kolektif   melalui   ko­ordinasi  antara berbagai institusi; • Pengetahuan kolektif yang berkembang melalui interaksi  sosial, komunikasi dan pembelajaran; dan • Kehendak, motif atau keputusan (politik) kolektif untuk  mencapai tujuan bersama. Keterpautan   antara   keempat   faktor   dari   kapabilitas   iptek  tersebut   dapat   divisualkan   dalam   bentuk   diagram   sebagai  berikut (Gambar 2): Masyarakat dengan faktor-faktor intrinsik

Objek-objek material/ hayati di lingkungan masyarakat

Interaksi dan Pembelajaran Kegiatan Kolektif Motif dan Keputusan Bersama Kegiatan manipulatif menghubungkan faktor intrinsik dengan lingkungan

Transformasi pada Objek-Objek Material/Hayati

Gambar 2. Faktor-Faktor Kapabilitas Iptek (Diadopsi, dengan beberapa modifikasi, dari Mitcham (1994)).

Kalau salah satu unsur dari kapabilitas iptek ini tidak ada,  atau   rendah   tingkatnya,   maka   efek   keseluruhannya   adalah  kapabilitas yang rendah. Misalnya, saat ini teknologi bioenergi  telah dikuasai di sejumlah negara Eropa. Tapi sumber­sumber  pertanian   energi   yang   mereka   miliki   sangat   terbatas.   Hal   ini  sangat   membatasi   kapabilitas   mereka   dalam   menghasilkan  bioenergi.   Jadi,   tanpa   ketersediaan   sumber   daya   alam,  penguasaan   iptek   tidak   langsung   memberikan   kapabilitas.  Sebaliknya   juga   berlaku.   Keberlimpahan   sumber   daya   alam  tidak   banyak   artinya   tanpa   penguasaan   iptek.   Ini   terjadi   di  Indonesia.  Penguasaan iptek juga tidak banyak artinya tanpa keputusan  kolektif  dan kegiatan­kegiatan  yang terko­ordinasi. Kalau kita  tengok   bangsa   India,   mereka   memiliki   banyak   ilmuwan   dan  insinyur, sebagian bekerja di mancanegara. Tapi kalau tidak ada  keputusan   kolektif   untuk   mentransformasikan   pengetahuan   ke  dalam   bentuk   artifak,   tidak   banyak   manfaat   praktis   yang  dihasilkan.   Belakangan  ini India  gencar  membangun  berbagai  institusi untuk mengkoordinasikan interaksi dan pembelajaran,  untuk   memacu   kegiatan­kegiatan     industrial   mereka.   Ketika  keputusan   kolektif   dilaksanakan,   institusi­institusi   dibangun,  dan  interaksi diko­ordinasikan, maka keberadaan para ilmuwan  tersebut menjadi lebih berharga.

Sebaliknya,   keputusan   politik   tanpa   didukung   oleh  penguasaan   iptek   juga   bisa   tidak   efektif.  Cina   merupakan  bangsa   besar   dengan   determinasi   politik   yang   kuat.   Tapi  kekuatan   iptek   Cina   jauh   di   bawah   Jepang,   yang   telah  membangun   kekuatan   iptek   sejak   era   Restorasi   Meiji.   Sejak  kepemimpinan Deng Xiaoping (awal 1970­an), Cina melakukan  langkah­langkah   besar   untuk   membangun   kekuatan   iptek  nasional. Mereka mengirim generasi muda untuk belajar iptek di  negara­negara Barat, untuk kemudian dikembangkan di dalam  negeri.   Cina   membangun   berbagai   kepranataan,   institusi,   dan  mengikutertakan   para   pengusaha   Cina,   untuk   menumbuhkan  pasar domestik yang berdaya saing. Saat ini produk­produk Cina  telah menembus pasar dunia. Contoh­contoh di atas mengilustrasikan bagaimana keempat  unsur kapabilitas masyarakat (lihat Gambar 2) berfungsi saling  memperkuat satu pada yang lain. Kalau salah satu unsur tidak  dimiliki   oleh   suatu   masyarakat,   maka   kapabilitas   masyarakat  tersebut   akan   menjadi   rendah.   Prinsip   ini   dapat  dinyatakan  dalam bentuk hubungan kualitatif sebagai berikut:  Kapabilitas Iptek Masyarakat = Keputusan Kolektif x Interaksi dan Pembelajaran x Ko-ordinasi Kegiatan x Ketersediaan Sumber Material Lokal

Dalam   pernyataan   ini   dipilih   lambang   perkalian,   ‘x’,   bukan  lambang   penjumlahan   ‘+’,   untuk   menekankan   bahwa   unsur­

unsur tersebut saling menguatkan, atau saling melemahkan, satu  pada yang lain. Kita tahu bahwa 1 + 0 = 1. Tapi 1 x 0 = 0. Pendekatan   instrumentalis   tidak   selalu   menimbulkan  peningkatan kapabilitas iptek. Misalnya, program alih iptek atau  impor iptek yang diadopsi negara­negara berkembang umumnya  tidak   berhasil   memacu   pembelajaran   di   dalam   negeri.   Hal  seperti ini terjadi di Indonesia dalam dekade 1970­an dan 1980­ an,   terutama   di   sektor   manufaktur   (lihat   diskusi   tentang   ini  dalam   Thee   (1997)).   Dalam   model   pembangunan   ekonomik  berbasis pasar, kapabilitas iptek bahkan dipandang tidak perlu,  dan diganti dengan daya beli. Asumsinya, dengan kemampuan  membeli segala hal yang dibutuhkan bisa diperoleh dari pasar  global.   Tentu   saja   asumsi   ini   bisa   diperdebatkan.   Dengan  membeli, kita bisa memiliki. Tapi kemampuan dan kapabilitas  tidak didapat dari sekadar memiliki.  Konsep ‘Sistem Inovasi’ Istilah   ‘inovasi’   berasal   ‘innovare,’   istilah   dalam   Bahasa  Latin yang berarti penggunaan cara atau sarana yang baru, untuk  menghasilkan nilai yang baru. Di Indonesia, ada ungkapan yang  bermakna   serupa,   dilontarkan   oleh   Ki   Hajar   Dewantoro  beberapa   dekade   yang   lalu.   Yaitu   slogan,   “niteni,   niroake,  nambahake.”  Niteni  itu   mencermati   (to   inquire)   suatu   objek.  Niroake  artinya   meniru  (to  replicate,  to  imitate,  to  simulate).  Nambahake  artinya menambahkan secara keseluruhan,  to add  value. Meski sudah lama dikenal, bukan dalam artian ini konsep  inovasi yang belakangan mendapat perhatian besar.  Banyak   negara   saat  ini   tengah   mengembangkan  kebijakan  dan kepranataan untuk membangun kapabilitas inovasi, bukan di 

ranah  individual atau organisasional, tapi dalam ranah sebuah  negara­bangsa.   Konsep   “sistem   inovasi   nasional”   (SIN)   yang  banyak   dibicarakan   sejak   awal   1990­an,   misalnya.   Mengacu  pada   kapabilitas   negara­bangsa,   bukan   kapabilitas   organisasi­ organisasi tertentu, ataupun individu­individu secara terisolasi.  Banyak   kajian   lintas­disiplin   (melibatkan   ekonomi,  sosiologi, ilmu politik, dan lain­lain) dilakukan di mancanegara  untuk   mempelajari   bentuk­bentuk   transformasi   kelembagaan  dan   interaksi   sosial   yang   mampu   mensirkulasikan   ‘aliran’  pengetahuan,   untuk   tujuan   penguatan   daya   saing   industri­ industri   nasional.   Dari   hasil­hasil   riset   mereka,   model­model  tentang   sistem   inovasi   mulai   dirumuskan.   Sebagai   ilustrasi,  dalam   bukunya   “National   Innovation   Systems,”   ahli   ekonomi  Richard Nelson (1993) mendefinisikan sistem inovasi sebagai: “a   set   of   institutions   whose   interactions   determine   the   innovative performance of national economies.”   Dalam rumusan seperti ini, meski nilai ekonomik merupakan hal  yang   dipentingkan,   nilai­nilai   lain   seperti   kelestarian  lingkungan,   keberlanjutan,   dan   kesetaraan   sosial   juga   makin  mendapat perhatian. Kalau kita tengok literatur, kita akan dapati adanya variasi  dalam   definisi­definisi   sistem   inovasi.   Tapi   dari   berbagai  definisi   tersebut,  terdapat  kesamaan  konseptual,  yakni   adanya  penekanan pada unsur­unsur: • • •

jaringan institusi di sektor publik dan swasta nasional;  interaksi   dalam   aspek­aspek   teknis,   komersial,   legal,  finansial, sosial, kultural;  pengetahuan dan pembelajaran; 

• • •

pengembangan, penyebaran dan pemanfaatan iptek;  kinerja perusahaan­perusahaan;  kekuatan yang berakar dalam budaya; 

  Kalau kita cermati unsur­unsur di atas, kita dapat simpulkan  bahwa   rumusan   konseptual   dari   sistem   inovasi   memberikan  penekanan   pada   kapabilitas  inovasi   sebagai   kekuatan   sebuah  masyarakat­bangsa. Dengan perkataan lain, model­model sistem  inovasi tersebut dikembangkan dengan pendekatan kapabilitas,  bukan   pendekatan   instrumentalis.   Hal   ini   penting   untuk   kita  garis bawahi. Diyakini  oleh   para   penyusun   model   inovasi,   bahwa  terbangunnya kapabilitas inovasi tidak terjadi dalam suatu arena  yang   terisolasi   dari   lingkungannya,   tapi   merupakan   hasil   dari  interaksi   di   antara   seluruh   elemen­elemen   dari   sebuah   sistem  sosial (Nelson, 1993; Mowery dan Rosenberg, 1998; Etzkowitz,  2007).   Terjadinya   perkembangan   iptek,   dan   pemanfaatannya  baik di sektor publik maupun di sektor swasta, merupakan hasil  dari terbangunnya kapabilitas inovasi tersebut.  Meningkatnya perhatian  banyak negara pada sistem inovasi  tidak terlepas dari perubahan geo­politik.  Sejak awal 1990­an,  setelah   Perang   Dingin   berakhir,   terjadi   pergeseran­pergeseran  geo­politik   seperti,   antara   lain:  dari   konflik  ideologis  ke  arah  persaingan   industrial;   dari   pertumbuhan   ekonomik   ke  pembangunan berkelanjutan, dan dari ‘masyarakat industrial’ ke  ‘masyarakat   berbasis   pengetahuan.’   Pergeseran­pergeseran   ini  pada gilirannya membawa implikasi dalam kebijakan ekonomi,  kebijakan iptek, dan pendidikan tinggi. 

Mass   (2002)   mencatat   bahwa  negara­negara   OECD  (Organization   for   Economic   Co­operation   and   Development)  memfokuskan   kebijakan   inovasi   dengan   memberi   penekanan  pada   interaksi   antara   berbagai   pelaku   inovasi,   dan   proses  pengembangan   pengetahuan   secar   multidisiplin.   Tujuan   dari  kebijakan   ini   adalah   untuk   memperbesar   sumbangan   ilmu  pengetahuan   pada   peningkatan   kualitas   kehidupan   sosial,  peningkatan daya saing ekonomi, serta pelestarian biosfer.  Kategori Pelaku Iptek/Inovasi Pendekatan   kapabilitas   berbeda   dari   pendekatan  instrumentalis   dalam   menyoroti   siapa­siapa   yang   dipandang  sebagai   pelaku   iptek.   Dalam   pendekatan   instrumentalis,  umumnya   para   penghasil   iptek   (lembaga   riset   iptek   dan  perguruan tinggi) yang disoroti, sedangkan para pengguna iptek  kurang   diperhatikan.   Dalam   pendekatan   kapabilitas,   yang  dikategorikan   sebagai  pelaku iptek  mencakup siapa saja yang  keputusan,   pengetahuan,   dan   kegiatannya   mempengaruhi  perkembangan, penyebaran dan pemanfaatan iptek.  Para   akademisi   (ilmuwan   dan   periset)   tentu   saja   menjadi  ‘ujung   tombak’   dalam   hal   pengembangan   iptek.   Tapi   sering  mereka tidak  terlibat langsung dalam pemanfaatan iptek. Para  pelaku   usaha   berperan   banyak   dalam   pemanfaatan   iptek,   dan  penyebarannya. Dalam kasus­kasus tertentu, para pelaku usaha  juga   melakukan   riset   dan   menghasilkan   variasi   iptek.  Pemerintah,   sebagai   penetap   kebijakan   dan   perumus   regulasi,  berpengaruh   besar   dalam   pengembangan,   penyebaran   dan  pemanfaatan   iptek.   Misalnya,   kalau   pemerintah   memutuskan  untuk   membangun   pasar   domestik   yang   tangguh,   ini   akan 

membuat   aktivitas   ekonomi   menjadi   kekuatan   penghela   riset  iptek. Ini yang belakangan terjadi di Brazil dan Cina. Amerika  Serikat (AS) menerapkan kebijakan demikian sejak awal 1900­ an.  Melaui   subsidi   sebagai   instrumen,   pemerintah   juga  mempengaruhi  mana iptek yang berkembang,  dan mana  yang  tidak.   Misalnya,   kalau   transportasi   jalan   raya   yang   disubsidi,  maka teknologi perkeretaapian akan lamban perkembangannya,  seperti   yang   pernah   terjadi   di   AS.   Dan   kalau   pemanfaatan  minyak   dan   gas   bumi   yang   disubsidi,   maka   teknologi   energi  terbarukan menjadi lamban perkembangannya.  Jadi,  dalam   pendekatan   kapabilitas   terhadap   inovasi,  terdapat   tiga   kategori   pelaku   inovasi   yang   utama,   yaitu   para  akademisi   (Academicians),   para   pelaku   bisnis  (Businessmen/wowen),   dan   para   penyelenggara   pemerintahan  (Government   agencies).   Dalam   diskusi   selanjutnya,   para  akademisi   akan   disebut   sebagai   pelaku   A,   pebisnis   sebagai  pelaku B, dan penyelenggara pemerintahan sebagai pelaku G.  Selain para pelaku A, B dan G, tentu terdapat juga unsur­ unsur lain dari masyarakat sipil yang mempengaruhi kapabilitas  inovasi:   Lembaga   Swadaya   Masyarakat,   kelompok­kelompok  aktivis pecinta lingkungan, forum pengawas demokrasi, pelaku  media   massa,   lembaga   perlindungan   konsumen,   dan   lain­lain.  Peran   mereka   dapat   signifikan   dalam   mengarahkan  perkembangan,   penyebaran   iptek   ataupun   pemanfaatan   iptek.  Tapi   peran   mereka   lebih   sering   sebagai   mediator   atau  pengendali, bukan sebagai motor.  Secara   sederhana,   konfigurasi  pelaku­pelaku  inovasi  dapat  divisualkan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Sebagai 

catatan, gambar tersebut tidak dimaksudkan untuk mengabaikan  peran penting dari pelaku­pelaku mediator.  Enam Tema Prioritas Nasional Hari   ini,   bangsa   Indonesia   tengah   berupaya   keras   untuk  memantapkan   kehidupan   yang   demokratis,   dan   sekaligus  bangkit dari keterpurukan ekonomik. Belajar dari apa­apa yang  kita alami di masa lalu, kita tahu bahwa kesejahteraan saja tidak  cukup   untuk   membangun   kapabilitas   inovasi   yang   tangguh.  Krisis   energi,   krisis   pangan,   dan   kerapuhan   kita   dalam  menyikapi  bencana alam membuktikan bahwa banyak kosong  dalam bangunan kapabilitas inovasi bangsa Indonesia.  Indonesia  telah   memutuskan   untuk   turut   mendukung  ketercapaian Millenium Development Goals (MDGs). Ini berarti  bahwa kita ikut serta dalam gerakan global untuk ‘memerangi’  sumber­sumber   kemiskinan.   Di   sisi   lain,   kita   juga   telah  menyepakati   ketentuan­ketentuan   persaingan   dagang   dalam  WTO,   dan   ketentuan­ketentuan   lingkungan   dalam   Protokol  Kyoto.   Ini   berarti   kita   siap   menjadi   pelaku   ekonomi   yang  berdaya   saing   di   arena   global,   dan   turut   menjaga   kelestarian  biosfer   demi   generasi   masa   depan.   Ini   semua   berimplikasi  bahwa   kita   harus   merumuskan   langkah­langkah   yang   tepat  untuk   bisa   membangun   kapabilitas   inovasi   nasional   yang  tangguh.  Sesuai dengan yang digariskan dalam rencana pembangunan  jangka   menengah   (RPJM)   periode   2005­2010,   terdapat   enam  tema   yang   ditetapkan   sebagai   prioritas   dalam   pengembangan  iptek   nasional.   Secara  terinci,   agenda   nasional   tentang  pengembangan iptek dipaparkan dalam dokumen Agenda Riset 

Nasional   (ARN)   periode   2006­2009.   Tema   yang   pertama  berkenaan   dengan   keamanan   pasokan   pangan.   Yang   ingin  dijawab adalah bagaimana banga Indonesia mampu mencukupi  kebutuhan pangan, dengan kualitas gizi yang baik. Yang ke dua  tentang kemampuan dalam peenyediaan obat, dan peningkatan  kesehatan tubuh secara menyeluruh.  Tema­tema berikutnya mengenai informasi dan komunikasi,  dan   transportasi.   Yang   ingin   dibangun   adalah   kemampuan  dalam   penyediaan   akses,   yang   terjangkau   (affordable)   bagi  seluruh masyarakat Indonesia. Tema ke lima berkenaan dengan  keamanan   pasokan   energi,   yakni   bagaimana   kita   dapat  membangun   kemampuan   untuk   menghasilkan   energi,   tanpa  terlalu   bergantung   pada  minyak  dan  gas  bumi.   Yang  terakhir  terkait   dengan   kemandirian   dalam   pertahanan   dan   keamanan  nasional.   Sampai   batas   tertentu,   kita   perlu   mampu   memenuhi  kebutuhan akan teknologi pertahanan dan keamanan nasional. Keseluruhan   tema­tema   itu   saling   berkaitan,   saling  memperkuat, satu dengan yang lain, dan tersatukan oleh tujuan  bersama   (lihat   Gambar   4).   Tema­tema   ini   berwatak   multi­ dimensional,   dan   karenanya   membutuhkan   riset   dan  pengembangan  iptek secara  multi­  atau bahkan lintas­disiplin,  mencakup  hard   sciences  (berbagai   disiplin   ilmu   alam   dan  teknologi) dan soft sciences (ilmu­ilmu sosial dan kemanusiaan).  Ini merupakan tantangan tersendiri, karena kita belum terbiasa  dengan   kegiatan   riset   multidisiplin.   Interaksi   antarpelaku  iptek/inovasi   juga   penting   dalam   pelaksanaan   agenda   iptek  nasional, karena  stakeholder  dari masing­masing tema tersebut  mencakup beragam pelaku A, B, G dan pelaku­pelaku lain yang  menjadi komponen masyarakat sipil, seperti LSM, pelaku media  massa, dan lain­lain. 

Keseluruhan   diskusi   dalam   Prolog   ini   bekenaan   dengan  tantangan­tantangan:   perubahan   paradigma   tentang   iptek   dan  inovasi; masalah­masalah bangsa; desakan faktor­faktor global.  Yang   menjadi   cita­cita   adalah   menjawab   tantangan   tersebut.  Sebagai   langkah   awal   yang   penting   untuk   ditempuh   adalah  mengenali realitas kita, kondisi riel dari kapabilitas inovasi kita.  Untuk   mengenali   realitas   kita,   dalam   bagian   selanjutnya   kita  akan menyimak penuturan para pelaku inovasi, yakni pelaku A,  B dan G. Regulasi/De­regulasi Legitimasi Sosialisasi Perencanaan dan implementasi program Penyaluran Dana

: Pelaku Iptek : Kegiatan yang Relevan

Badan Legislatif Badan Departemen­ Perencana Departemen Teknis Kementerian Iptek

G

Akademi Ilmu Pengetahuan

Lembaga­ Lembaga Riset

A

B

Perguruan­ Perguruan Tinggi

Lembaga Penyalur Dana Industri­ Industri Pengguna Manufaktur Akhir Badan Pemasaran/ Distribusi Transaksi Produsen­

Kesehatan

Penelitian dan Obat Pengajaran/ Pelatihan Komersialisasi Hasil Riset Advokasi Kebijakan Penelitian Industrial

Konsumen Ketahanan Persaingan Pangan Antarprodusen

Ketersediaan & Keterjangkauan Akses

Standar­standar Penanaman Modal Perlindungan Konsumen Perlindungan Lingkungan

Gambar 3. Konfigurasi Pelaku-Pelaku A, B, G Penopang Kemandirian Ketahanan Energi Baru dan Kapabilitas Daya SaingInovasi TUJUANMasyarakat. Keberlanjutan

Pertahanan dan Keamanan

Basis Legal & Kepranataan

Informasi dan Komunikasi

Terbarukan

BERSAMA

Basis Pengetahuan

Transportasi

Gambar 4. Enam Tema Iptek Prioritas dan Tujuan Kolektif (Diadopsi, dengan penyederhanaan, dari Dokumen Agenda Riset Nasional 2006-2009).

“I believe you can choose to approach the world creatively or not creatively. There’s always the possibility of turning over any task in an unusual, creative way.’

Tod Machover—komposer musik, Opera of The Future, MIT’s Media Lab.

Dialog Bagian Satu Agenda 6 dalam Konteks

Dalam Dialog Bagian Satu ini ini kita akan menyimak pengalaman para pelaku A, B dan G dalam merintis inovasi, dan pandangan mereka atas arti penting dari keselarasan hubunganhubungan A-B-G. Para partisipan dialog adalah mereka yang bergerak di bidang-bidang yang relevan dengan keenam tema prioritas riset nasional (Agenda 6). Tentu saja para partisipan dialog ini tidak mewakili keseluruhan pelaku A, B dan G. Meski demikian, kita akan lihat bahwa dari pengalaman mereka terangkat fakta-fakta yang relevan untuk memahami kapabilitas inovasi nasional. Khususnya, akan kita dapati arti penting dari interaksi dalam keberagaman, dan pembelajaran lewat interaksi, dalam upaya membangun kapabilitas inovasi.

Conversation should be pleasant without scurrility, witty without affectation, free without indecency, learned without conceitedness, novel without falsehood. — William Shakespeare

Industri, bukan Pabrik Dialog dengan Rama Prihandana (RP) Pelaku di Bidang Pangan Direktur Utama PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)

Topik : • Antara produsen dan pedagang • Peluang inovasi produk pertanian

KK: Kami ingin berbincang-bincang, bertukar pendapat, pemikiran dan gagasan. Di negaranegara berindustri maju itu ekonominya tumbuh dengan ditopang oleh hubungan yang serasi antara akademisi, pebisnis dan pemerintah. Itu yang saya sebut sebagai hubungan A-B-G. Jadi, isunya adalah bagaimana hubungan A-B-G itu bisa harmonis. Nah, dari kacamata pelaku BUMN bagaimana ini dilihat? RP: Kalau dari yang kasat mata saja, terlihat mereka masih jalan sendiri-sendiri. Asyik dengan dunianya masing-masing. Kalau menurut saya, dalam situasi sekarang sedang susah-susahnya mereka diselaraskan, karena ‘mahal’-nya koordinasi. KK: Menurut Pak Rama, apa yang membawa pada situasi seperti itu? RP: Kita ambil suatu ‘contoh kasus’, misalnya,

pengembangan bio-energi sebagai energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan. Kami sebagai pelaku BUMN selama ini hanya menggunakan sumber energi atau minyak yang berasal dari fosil. Tidak terpikir sama sekali sebelumnya untuk mengadakan kegiatan riset guna mencari sumber energi alternatif. Jadi, kalau tidak terpikirkan oleh pelaku badan usaha untuk mengadakan riset, lalu bagaimana kami bisa menyalurkan dan mengembangkan inovasi serta bergandengan dengan akademisi? Pasti tidak akan terjadi hal itu. Selama ini, RNI merekrut para lulusan dari lingkungan akademik hanya untuk menangani alat produksi saja. Tidak ada aktivitas riset. Kami menjalankan business as usual saja. Lalu pertanyaannya, mengapa tidak melakukan riset? Karena itu tadi, Pemerintah tetap berpegang pada minyak fosil yang bersubsidi. Apa pun hitungannya di atas kertas, kan kami mesti membuat studi awal. Hitungannya itu, dari awalnya saja sudah tidak tampak menjanjikan, karena adanya faktor subsidi. Yang ke dua, para pelaku usaha ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu pedagang dan produsen. Antara kedua kelompok ini saja terdapat kesenjangan pengetahuan yang lebar. Banyak orang berpandangan bahwa tidak enak menjadi produsen, risikonya besar. Lebih enak menjadi pedagang: turn over-nya tinggi, risikonya kecil, untungnya besar. Itu menurut

banyak orang. Kalau menurut saya, ada yang tidak seimbang di sana. Karena kekeliruan para produsen, akhirnya risiko yang seharusnya ditanggung oleh para pedagang, dibebankan pada produsen atau konsumen. Mengapa terjadi seperti itu? Itu karena para birokrat yang menangani hukum dagang belum jeli melihatnya. Hubungan antara konsumen, produsen dan pedagang itu, dari sisi teori, seharusnya winwin atau saling menguntungkan. Seharusnya ada keseimbangan antara keuntungan yang didapatkan dan risiko yang ditanggung, serta saling bergantung satu pada yang lain. Kalau tidak seimbang, itu karena salah mengaturnya, terutama dalam mengatur keseimbangan tanggung jawab antara para pelaku. Sekarang masalahnya, mengapa para birokrat menjadi kurang kreatif, atau kurang produktif dalam mengembangkan, memperdalam, dan menyempurnakan aturan-aturan yang ada? Salah satu, dan yang utama, faktornya adalah kesejahteraan dari para pegawai negeri. Ambil contoh misalnya, profesi guru. Yang saya ketahui dan lihat di periode 1960-an itu luar biasa profesi ini. Menjadi guru adalah salah satu idaman orang. Jadi guru itu enak. Pada tahun 1960-an, gaji guru relatif berharga kalau dirujukkan pada harga motor, harga sepeda, atau harga rumah. Hari ini, berapa gaji guru? Coba kita bandingkan dengan harga sepeda, atau harga rumah?

KK: Itu perbandingan yang bagus! RP: Harus kita bandingkan gaji guru ini dengan harga kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kalau guru pada 1960-an itu menjadi idaman, rasanya kebutuhan tersier waktu itu terjangkau. Kalau gaji guru sekarang, untuk menjangkau kebutuhan primer saja, Insya Allah, bukan begitu?! Guru itu, kalau tidak membuat kursus di luar sekolah, atau mencari pendapatan sampingan, tidak hidup lo, Pak! Saya dulu bekerja di Batam. Gaji saya 20 juta rupiah lebih, sebagai direktur utama. Nyamanlah keadaan di Batam itu. Nyamannya itu karena banyak tamu. Kebanyakan pelanggan itu berasal dari luar Batam dan selalu ingin tahu banyak tentang Batam. Mungkin dalam satu minggu itu bekerja di kantor dua hari saja. KK: Di sana di perusahaan apa? RP: Di sebuah BUMN, PT. (Persero) Batam, perusahaan yang menangani jasa kepelabuhanan, Kawasan Berikat, perdagangan, dan juga oil logistic. Jadi, saya menangani aktivitas di pelabuhan laut, pergudangan, dan administrasi Kawasan Berikat. Distribusi barang-barang yang diawasi itu di bawah kendali saya. Jadi, saya mengendalikan mulai dari beras sampai minuman beralkohol. Di tahun 1999 saya dipindahkan ke Wisma Nusantara, mewakili Pemerintah di sana. Take home pay-nya saja 12.000 dolar AS. Dengan gaji

sebesar itu jam kerjanya sampai jam 5 sore. Saya malu! Jadi saya cari apa-apa lagi yang bisa dikerjakan. Kami terus berusaha berinovasi baik dalam aspek administrasi, operasional, maupun kreasi-kreasi baru guna menyumbangkan tenaga dan pikiran kami untuk kepentingan perusahaan. Kembali ke hubungan A-B-G tadi, belum ada titik temunya. Komponen-komponen A-B-G ini terpisah baik secara administrasi maupun sasaran kerjanya, dan akibatnya berjalan sendiri-sendiri. Saya sudah asyik dengan dunia saya, dan dalam dunia saya, Anda tidak dibutuhkan. Ini yang pertama. Yang ke dua, karena saya tidak menciptakan alternatif sumber penghasilan yang baru, maka tidak tercipta lapangan kerja baru. Karena tidak tercipta lapangan kerja, maka sebagian rakyat menganggur. Semuanya ini saling terkait. ~0~ Saya juga tidak mengerti secara pasti situasi BUMN kita ini, mengapa selama ini kita hanya membuat pabrik CPO (crude palm oil)? Mengapa tidak membuat pabrik minyak goreng? Pertanyaan ini tidak ada yang bisa menjawab secara tegas dan gamblang. Kalau BUMN yang bergerak di sektor perkebunan mengubah kegiatannya, dengan mengolah bahan baku menjadi bahan semi jadi, dan kemudian menjadi bahan jadi, ini otomatis akan masuk ke berbagai bentuk produk akhir, kan. Begitu masuk ke produk hilir kita akan berada di

pasar, di sektor riel. Dan begitu masuk ke sektor riel, ruang gerak perusahaan akan menjadi lebih luas dan leluasa. KK: Contohnya saja, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) yang menghasilkan teh. Ini belum berlangsung lama. Baru 10 tahun dia membuat teh celup. Sebelumnya hanya mengeskpor teh gelundungan. RP: Saya tidak mengerti hal itu. Misalnya, saya mau ekspor CPO. Saya bisa hitung, pasar saya siapa. Tidak banyak. Tapi begitu saya hasilkan minyak goreng, semua mal, pasar swalayan, pasar tradisional, sampai warung-warung membutuhkannya. Pasarnya itu tiba-tiba menjadi begitu besar! Nah, besarnya pasar ini kan identik dengan meningkatnya turn over ekonomi negeri ini. Mengapa tidak? Tapi yang terjadi, malah upaya seperti ini 'dihantam' kiri-kanan. Saya sudah mengolah pucuk tebu untuk menjadi pakan ternak. Saya sudah mulai dapatkan ruang ekspor ke Korea Selatan dan Jepang. Kalau Jepang dan Korea Selatan jauh-jauh mencari pucuk tebu ke sini, mengapa para petani di sini tidak digalakkan agar sapinya bisa makan pucuk tebu? Mengapa dibiarkan para petani tetap menggunakan rumput gajah sebagai makanan sapi? Seandainya ternaknya diberi makan pucuk tebu, tanah yang ditanami rumput gajah bisa ditanami tanaman yang lain-lain, sehingga lebih produktif. Ini salah satu bentuk pembodohan yang

tidak kita sadari! Lahan kita yang subur hanya ditanami rumput gajah. Lantas mereka bilang, "Kalau rumput gajah kan tanahnya, ya, tanah saya sendiri. Kalau pucuk tebu, saya harus beli." Saya bilang, "Pak, pucuk tebu itu memang beli. Tapi tanah Bapak kalau ditanami cabe kan menghasilkan uang juga." Yang harus dihitung adalah hasil penjualan cabe itu harus melebihi harga beli pucuk tebu. Begitu, kan? Dan itu harusnya bisa. Pucuk tebu itu limbah. Sementara kalau lahan dipakai untuk cabe, labu, atau lainnya, itu adalah produk inti. Mestinya harganya lebih bagus daripada pucuk tebu. Kalau Pemerintah melihat ada BUMN yang mulai berinovasi, kan mestinya disambut, diadakan riset atau pembimbingan masyarakat. Itu akan berdampak luar biasa pada peningkatan produktivitas, baik dalam ‘kaca mata’ BUMN maupun ekonomi nasional. Salah satu program yang saya jalankan pada tahun 2002 adalah untuk mengatasi kerugian yang dialami PT. RNI, dan yang utama adalah defisit cash flow. Ternyata itu semua disebabkan pabrik gula yang defisit, karena harga gula tidak bisa bersaing di pasar. Harga gula di pasar 2600-2750 rupiah per kilogram. Sementara harga pokok produksi kurang lebih 3500 rupiah per kilogram. Jauh, kan?! Lalu dicari cara bagaimana menurunkan harga pokok. Kalau kita berbicara soal pabrik gula, mungkin

kita hanya berpikir untuk memproduksi gula sebanyak-banyaknya, dengan kualitas sebaikbaiknya. Nah, kalau berpikir industri berbasis tebu, kita harus memikirkan juga bagaimana memanfaatkan lahan tebu yang kosong, pucuk tebu, daun kering, ampas tebu dan lain-lain. Jadi, banyak yang bisa dikerjakan, selain menghasilkan gula sebagai produk utama. Kami mengelola BUMN bukan untuk mencari omset yang sebesar-besarnya, bukan untuk merekrut pegawai sebanyak-banyaknya. Itu semua hanya dampak, saya kira. Yang utama adalah mecari untung. Bagaimana meningkatkannya, begitu kan? Saya definisikan dan siapkan beberapa langkah. Pertama, kami harus menaikkan pendapatan. Tapi biaya produksinya tidak boleh naik. Meningkatkan pendapatan ini bisa dengan menaikkan produktivitas, bisa juga menaikkan harga. Ke dua, omsetnya tetap, tapi biaya produksinya kami turunkan melalui program efisiensi. Yang paling bagus memang omset naik, efisiensi terjadi. Yang ke tiga, kami manfaatkan semua by-product yang selama ini disebut limbah. Bagaimana limbah ini dihilangkan, atau kami olah kembali sehingga bernilai tambah. Pembiayaan di pabrik gula ini cukup besar, karena penggunaan energi yang luar biasa. Misalnya pada waktu itu, 18 persen dari komponen harga pokok produksi itu adalah untuk energi, yaitu minyak bakar, IDO atau residu. Saya terpicu untuk mencari pengganti minyak bakar itu dengan

yang lebih murah. Yang kami lakukan adalah menggunakan sampah tebu yang namanya bagas. Tahun berikutnya, kami pakai daun kering tebu yang kami sebut daduk. Tahun ke tiga, kami kombinasikan dengan grajen yang kami ambil dari tukang gergaji kayu. Dalam 3 tahun pertama itu, 2003-2005, penggunaan minyak bakar menurun drastis, dari 18 juta liter per tahun menjadi 10 juta liter per tahun.

Regulasi/De-regulasi Dialog dengan Edie Haryoto (EH) Pelaku di Bidang Transportasi; Direktur Utama PT. Angkasa Pura II

Topik: • Kemitraan publik-swasta • Antara regulator dan operator • Adopsi teknologi baru

KK: Saya melihat bahwa salah satu faktor untuk mewujudkan ekonomi yang inovatif itu adalah keselarasan aktivitas antara pelaku riset dan pelaku pasar. Aktivitas itu selaras ketika para periset menengok peluang inovasi di arena pasar, dan pelaku pasar menengok peluang adopsi hasil riset untuk inovasi. Nah, ini kalau kita kaitkan dengan peranan kebijakan pemerintah, menjadi AB-G: academics, business, government. Memang ini tidak ada sangkut-pautnya dengan 'anak baru gede.' Namun ada sifat yang menarik pada 'anak baru gede' itu, yang subur di masa mereka, tapi mungkin menghilang dengan bertambahnya usia. Sifat itu adalah saling berbagi, atau resource sharing. Di antara mereka itu, kalau kita perhatikan, baju milik A, besoknya dipakai oleh B. Besoknya lagi oleh C. Selain sifat ini, begitu

mereka sudah kompak, tantangan apapun mereka hadapi. EH: Hari ini saya baru mengalami kejadian yang sangat menarik. Tadi saya undang tim dari Bappenas, membahas Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 yang demikian terkenal itu. Perpres No. 67 tahun 2005 itu mengatur tentang pembangunan infrastruktur. Dari sisi pehubungan udara, yang paling penting kan mengurangi barrier to entry, supaya industri jasa penerbangan tumbuh cepat. Tapi itu semua dibicarakan tanpa membahas masalah bandara. Padahal pesawat itu sampai saat ini masih perlu bandara. Jadi, kapabilitas bandara itu kan menjadi masalah yang sangat penting. Nah, itu perlu kita kerjakan. Kita pun bersemangat menyambut Infrastructure Summit. Lalu diterbitkan Perpres No. 67 itu, yang mengatur bahwa semua harus ditenderkan, mengatur bagaimana bekerja sama dengan swasta, dan sebagainya. Kami ingin membangun infrastruktur dengan kapabilitas layanan empat juta penumpang, dan kami ingin merealisasikannya. Padahal kapabilitas Bandara Polonia, Medan, hanya 800 ribu. Lalu kami mencari para calon investor. Kami punya tanah, dan lainlain. Mereka tidak hanya memberi uang, tapi juga teknologi, dan sebagainya. Kami ingin menjadi world class begitu, Pak. Ketika proses baru berjalan, keluar Perpres No. 67 yang menetapkan mekanisme tender.

Saya sampaikan, "Ini tanah milik Kami, tanah Angkasa Pura. Saya mau bekerja sama, mau membangun infrastruktur." Tapi kami diberi tahu, "Tidak bisa, harus lewat tender!" Angkasa Pura harus ikut tender? Saya menjadi bingung, Pak. Disebutkan bahwa Angkasa Pura itu BUMN. Jadi, sama seperti swasta, harus ikut tender. Saya bertanya, "Kalau yang menang bukan Kami, bagaimana?" Jawabnya, "Ya, Anda sewakan tanah!" Wah, kan tidak betul ini, Pak?! Saya sampaikan persoalan ini ke beberapa instansi terkait, tapi penjelasannya tidak sinkron satu sama lain. Akhirnya saya undang tim Bappenas itu. Jadi, kalau Perpres No. 67 dibaca begitu saja yang tertulis, maka kalau kami mau membangun bandara baru, kami mesti ikut tender. KK: Karena asetnya belum milik Anda? EH: Tanah milik Angkasa Pura. Jadi, kalau ikut tender, kalau nanti yang menang pihak lain, silahkan dia bekerja sama dengan Angkasa Pura, karena Angkasa Pura yang punya tanah. Tapi ada Peraturan Pemerintah (PP) lain yang menetapkan bahwa Bandara Polonia adalah Angkasa Pura. Ada PP lain lagi yang menyatakan bahwa Bandara Kualanamu, kalau dibangun, itu sebagai pengganti Bandara Polonia. Artinya kan kami punya kompetensi di sini. Kan begitu, Pak? Berarti kami boleh bekerja sama dengan pihak swasta, meski tentu harus sesuai prosedur yang ditetapkan, transparan dan adil.

KK: Ini persoalan yang banyak dikeluhkan ..., uncertainty. EH: Kita menghadapi banyak masalah kapabilitas. Bandara Soekarno-Hatta 18 juta kapabilitasnya. Volume penumpangnya 31 juta. Disarankan masalah ini dimasukkan dalam pembahasan Infrastructure Summit. Lalu kami susun perencanaan bisnisnya. Setelah jelas semua untuk diputuskan, akhirnya menjadi bingung semua bagaimana memrosesnya. Dalam kaitannya dengan Infrastructure Summit itu, saya ikut roadshow. Pertama ke London. Kami nyatakan bahwa kami ingin membangun infrastruktur, dan kami ingin tahu apakah ada pihak yang berminat. Ada pihak yang bertanya, dari British Petroleum, ke pembicara, "Pak, kami berminat sekali di bidang perminyakan, tapi kan kami harus kerja sama dengan Pertamina. Padahal kan sulit Pertamina itu?!" Kemudian roadshow ke New York. Dibuka oleh Presiden SBY. Dari peserta Summit ada yang berkomentar, "Kalau mau deal dengan Indonesia, di luar negeri saja. Nanti ditandatangani oleh Duta Besar. Itu bayar juga, tapi lebih murah." Ini serius lo, Pak. Asal bicara saja itu orang! Menurut saya, ya ini bisnis, yang 'kacamata'nya berbeda sama sekali dengan birokrasi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana regulasi itu bisa mendukung kegiatan bisnis. Kalau memang yang diinginkan Pemerintah adalah bagaimana

bisnis ini bisa maju, regulasi harus bisa mendukung. Tapi yang ditekankan sekarang ini, bagaimana bisnis menyesuaikan diri dengan regulasi. Makanya terhambat. Dalam kaitannya dengan Infrastructure Summit tadi, kelihatannya sedikit sekali projek yang jadi. KK: Sebenarnya, regulasi dan de-regulasi itu apa esensinya? Dalam ilmu kontrol, menurut teorinya, regulasi dilakukan kalau ada fluktuasi yang magnitudenya besar. Akibatnya, dinamika berkurang. Tapi kalau dinamika terlalu rendah, dilakukan de-regulasi. Jadi, regulasi dan de-regulasi itu merupakan aksi untuk mengatur dinamika, sesuai dengan objektif yang kita inginkan. Apakah prinsip ini berlaku dalam ekonomi? ~0~ EH: Mari kita bahas masalah jasa penerbangan. Masalah teknologinya. Pesawat itu perlu dipandu, mengapa? Sedangkan pilot tahu posisi pesawat dengan kompas atau sekarang dengan GPS. Nah, masalahnya pilot tidak tahu posisi pesawat lain, kan begitu. Saya tahu posisi saya, tapi posisi pesawat lain saya tidak tahu. Yang tahu adalah mereka yang memantau di ground (Air Traffic Control). Diciptakanlah radar-radar. Pada tahap berikutnya, ada yang namanya “surveillance broadcast.” Ini berfungsi untuk memberitahukan posisi saya, sehingga pesawat-pesawat yang lain bisa tahu posisi saya. Jadi, pesawat tidak perlu dipandu, kecuali setelah mendekati bandara.

Nah, sekarang berkembang gagasan bahwa peran ini semua diambil alih oleh Pemerintah. Padahal, nanti yang mengelola adalah pihak bandara. Pemerintah seharusnya kuat sekali memainkan peran sebagai regulator, bukan operator. Re-check itu bukan tugas Pemerintah, tapi tugas perusahaan penerbangan untuk menjaga keselamatan. Pemerintah hanya memastikan saja bahwa semuanya berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Pemerintah yang melakukan oversight bahwa maskapai penerbangan melakukan itu semua. Jika tidak, kenakan sanksi. Tapi bukan hanya di sektor perhubungan udara saja Pemerintah perlu berperan demikian. Di sektor perkeretaapian sama saja. Untuk menurunkan penumpang yang naik ke atap gerbong, pihak KAI tidak punya kewenangan apa-apa. Itu kewenangan polisi. Kalau pun punya kewenangan, bagaimana bisa memaksa penumpang turun dari atap? Saya ambil contoh apa-apa yang terjadi pada waktu saya mengundurkan diri dari posisi direktur utama PT. KAI. Jadi, kalau ada dua stasiun A dan B, dan ada kereta api yang berangkat dari stasiun A ke B, maka yang memberangkatkan adalah stasiun B. Bukan stasiun A. Stasiun B memberi kabar ke A bahwa lintasan kereta dari A ke B aman, tidak ada kereta api yang lain di situ. Lantas diperagakan tanda berwarna putih, yang artinya "siap". Setelah itu berganti menjadi tanda berwarna merah, yang artinya “siap diberangkatkan.” Sesudah itu baru

sinyal bisa digerakkan. Kalau masih putih, sinyal tidak akan bisa bergerak. Walaupun ini teknologi kuno, terbukti masih manjur, Pak. Tidak akan ada kereta api yang bisa berangkat bila tidak diberi izin. Nah, sekarang ini yang terjadi semuanya serba elektronik. Tapi cara kerjanya sama. Sekarang dipakai panel-panel. Saya hanya tinggal menekan tombol rute dengan sinyal elektronik. Kalau tombol di panel tidak pernah ditekan, tidak akan ada kereta api yang diberangkatkan karena ada mekanisme interlocking. Nah, yang jadi masalah pada waktu itu alat penggerak itu rusak, karena diganjal batu oleh seseorang. Sedangkan kabelnya dicuri orang. Akibatnya tidak bisa berkomunikasi dengan menggunakan alat elektronik. Dalam situasi seperti ini, seharusnya pengendalian diambil alih oleh pusat pengendali Manggarai. Di situ ada monitor besar. Masalahnya, Manggarai belum lama tersambar petir sehingga tidak bisa berfungsi. Maka semuanya kembali lagi ke teknologi konvensional, yaitu menggunakan telepon. Sebenarnya komunikasi lewat telepon sudah biasa dipraktikkan untuk memberi tahu bahwa kereta api akan diberangkatkan. Tapi karena kebiasaan ini sudah ditinggalkan sejak adanya peralatan elektronika, terjadi mis-komunikasi. Kedua kereta api sama-sama berangkat. Terjadilah peristiwa yang sangat tidak diinginkan oleh semua pihak.

Jadi, bukannya teknologi yang dipakai itu kurang canggih. Sudah elektronik, 100% aman. Yang tidak dilakukan adalah membuat rencana A, rencana B, jika sewaktu-waktu terjadi kerusakan peralatan. KK: Kalau dalam pengelolaan jalan tol hal itu wajib: ada rencana A, ada rencana B. Juga ada rencana C, yaitu pengoperasian secara manual. EH: Di kasus kereta api juga begitu. Tapi pada kenyataannya, tidak selalu berhasil. Masalahnya, di ujung-ujungnya tadi sederhana. Ada yang mencuri kabel.

Konsistensi Regulasi Dialog dengan Hilmi Panigoro (HP) Pelaku di Bidang Energi CEO Medco Energi Internasional

Topik: • Konsistensi dalam regulasi • Kesenjangan teknologi industriperguruan tinggi • Pilihan tanaman energi

KK : Saya sedang mengkaji kasus bencana 'lumpur Lapindo' itu, Pak Hilmi. Apa yang akan terjadi jika dalam lima tahun ke depan, kita masih tidak mampu menanggulanginya? Saya sudah berkomunikasi ke berbagai pihak di penjuru bumi lewat Internet, melalui jalur relasi saya. Data yang saya dapat, proses semburan lumpur seperti itu paling cepat tiga bulan baru berhenti, dan paling lama lebih dari 21 tahun! Yang terjadi di Gurun Sahara itu sudah 21 tahun, dan sekarang masih terus berlangsung. Tapi dalam kasus Sahara itu tidak menimbulkan ancaman, karena tidak berada di tengah kota. Apa yang dialami Lapindo ini juga sebetulnya bukan yang pertama. Sebelumnya juga pernah terjadi di Kalimantan. HP:

Semburan

lumpur

yang

terjadi

di

Kalimantan itu keringnya cepat, dan volumenya kecil. Lokasinya di area berawa-rawa. Begitu disumbat, amblas, dan habis sendiri. Tapi dalam kasus Lapindo ini, terkesan kurang hati-hati dalam perencanaan pengeborannya. Sebenarnya semburan lumpur itu bisa dihindari jika dilakukan oleh orang yang lebih berkompeten, dan lebih memperhatikan prosedur dan standar yang berlaku. KK: Dalam sebuah artikel, tulisan seorang profesor benama Bill Gath, diformulasikan bahwa: Korupsi = (monopoli akuntabilitas.

+

disgrace)

-

HP: Jadi, yang keluar 350.000 barel/hari itu air semuanya. Itu semua sesungguhnya air yang mengalami tekanan-lebih (over-pressured), lalu naik ke atas, sambil mengikis bebatuan di atasnya, dan bercampur dengan tanah. Sesungguhnya tidak ada zat beracun di situ. Karena ini, saya berpendapat bahwa kalau memang air, lebih baik dibuang ke laut. Paling-paling menjadi delta tambahan. Anggap saja ini reklamasi pantai. KK: Atau kalau dibuang ke laut dalam, juga tidak apa-apa. Buang saja ke area di bawah garis termoklin, yaitu lebih dalam dari 100 meter di bawah permukaan laut. Karena faktor gravitasi, air akan naik dan material lainnya akan jatuh ke dasar laut. Saya mengkritik teman-teman saya yang melarang pembuangan lumpur ke laut. Dalam

kasus-kasus yang dialami perusahaan asing, mereka membolehkan pembuangan tailing ke laut, asalkan persyaratan tertentu dipenuhi. Mengapa tidak dipakai saja persyaratan itu untuk kasus lumpur Lapindo? Lokasi pembuangan yang ideal adalah ke arah Pasuruan, bukan ke arah Surabaya. Selain lautnya tidak dalam, laut dekat Surabaya menjadi area lalu lintas kapal. ~0~ Kalau kita tengok negara-negara yang maju sistem inovasinya, perkembangan teknologi dapat membawa kontribusi ekonomik. Ini bisa terjadi, antara lain, ketika ada keselarasan antara kebijakan pemerintah, agenda riset dan pengembangan iptek, serta pertumbuhan di sektor riel. Mereka di negara-negara itu sudah membuktikan bahwa keselarasan dalam tiga hal ini menjadi faktor penting bagi pertumbuhan ekonomik, dengan landasan yang kokoh. Yang saya ingin bicarakan adalah situasi di sektor bisnis kita. Menurut Pak Hilmi, sebagai seorang pelaku bisnis, apa yang Anda harapkan dari Pemerintah dan dunia akademik? HP: At the end of the day, yang kita bicarakan adalah value. Kalau berbicara tentang value, bukankah ini goal dari Pemerintah juga? Pemerintah ingin kita, di sektor bisnis ini, mampu menghasilkan keuntungan dan tumbuh-berkembang, sehingga menciptakan lapangan

kerja dan menghasilkan pajak yang terus meningkat. Hal ini akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomik nasional, kan? Sekarang, bagaimana itu bisa tercapai dengan efektif? Kalau dari Pemerintah, satu hal yang harus dijamin, yaitu kepastian. Bagus atau tidak bagusnya suatu produk itu relatif. Tapi yang lebih penting adalah kepastian, baik dalam soal perburuhan maupun perpajakan. Yang penting adalah konsistensi Pemerintah dalam memberikan platform usaha kepada siapa pun. Sekali lagi, bagus atau tidak bagus itu sifatnya relatif. Namun, makin tinggi konsistensi dari suatu negara, makin banyak bidang usaha yang bisa kita kembangkan. Mengenai hubungan dengan universitas, aktivitas riset dan pengembangan kalau bisa kita kerjakan bersama. Tapi hubungan antara universitas dan industri di Indonesia tidak sebagus yang terjadi di luar negeri. Sebagai gambaran, kebetulan saya pernah kuliah di luar negeri, dan juga di dalam negeri. Suatu saat ketika sekolah di luar, saya harus mengerjakan tugas yang memerlukan simulasi komputer. Saya kerjakan ini di ruang komputer, penyedianya adalah perusahaan komputer terkemuka dengan Landmark perangkat lunak yang terbaru di dunia peminyakan. Ini semua disediakan secara cumacuma. Mereka berpandangan bahwa ketika mahasiswa nantinya lulus dan menjadi mastermaster di bidang perminyakan, mereka juga yang akan memakai perangkat lunak tersebut. Hal

seperti itu yang tidak terjadi di sini. Memang belakangan ini kolaborasi ke arah seperti itu sudah dimulai. Tapi perangkat lunak yang digunakan di universitas, kalaupun berasal dari industri, adalah yang bekas, atau belum tentu mewakili the state of technology yang sesungguhnya. Jadi, terlihat sekali keterpisahan antara universitas dan industri. KK: Mengenai peran Pemerintah tadi, konsistensi dalam bentuk apa yang Anda inginkan? Apakah yang Pemerintah mesti lakukan agar sektor riel tergerak untuk mengalokasikan anggaran untuk riset dan pengembangan? HP: Bagi perusahaan tertentu, seperti di bidang farmasi, riset dan pengembangan itu menjadi aktivitas yang inti. Sebab dengan cara itu mereka bisa melakukan eksplorasi. Tapi di bidang perminyakan, eksplorasi itu bukan bersumber dari riset dan pengembangan. Jadi agak berbeda situasinya. Dan perlu dibedakan antara perusahaan yang sebesar kita dengan perusahaanperusahaan asing yang kapitalisasinya mencapai 200-300 miliar dolar AS. Sedangkan kita hanya berkisar 1,5 miliar dolar AS. Skalanya berbeda. Mereka mungkin lebih intensif dalam melakukan riset dan pengembangan. KK: Itu betul. Mereka melakukan hal itu karena memang di negara maju diberlakukan insentif bagi industri yang melaksanakan riset dan pengembangan. Itu yang sedang kita tiru.

HP: Itu bagus, Pak! Apakah kegiatan itu untuk filantrofi, atau sebagai insentif, maka industri akan dengan senang hati menyambutnya. KK: Bahkan Singapura bergerak lebih jauh lagi. Mereka memberlakukan skema yang disebut ‘matching fund’. Dari total PDB Singapura, 2 persen untuk riset dan pengembangan. Sebagai perbandingan, Indonesia hanya mengalokasikan 0,1 %. Dalam 5 tahun Singapura akan menaikkan menjadi 2,5 %. Mereka menganggarkan 70% dari sumber dana pemerintah, dan 30% dari industri swasta. Insentif tetap diberikan. Saya sedang memformulasikan ini dengan kawan-kawan di sektor ekonomi. ~0~ HP: Soal kepastian tadi, yang diperlukan di sektor bisnis adalah, misalnya, begitu aturan itu dibuat, aturan itu konsisten dengan aturan yang lain. Lalu juga konsistensi dalam penegakan aturan itu sendiri. Baru-baru ini keluar aturan mengenai perbankan. Kalau Anda seorang kreditor yang meminjamkan uang ke perusahaan, maka jika perusahaan itu bankrut atau terjadi malpractice di dalamnya, maka kreditor tadi bisa menuntut. Ketika tuntutan diajukan, persoalan ini masuk ke sistem legal yang melibatkan kurator, dan elemenelemen sistem legal lainnya. Ini semua berjalan dengan konsisten. Tapi apa yang terjadi di Indonesia? Sekarang ini

pengusaha-pengusaha besar yang ngemplang terhadap kreditor dari luar negeri itu selalu bisa menang dalam peradilan di sini. Mereka ini bisa membuat kepastian hukum yang seharusnya ada, menjadi luntur. Menjadi tugas Pemerintah untuk memastikan bahwa hal seperti itu tidak terjadi. Anda tahu, berapa kali UU Perburuhan berubah sejak Presiden Soeharto turun? Bahkan setiap menteri baru memerintah, aturan diganti. Sekarang ini, kalau perusahaan memberhentikan orang karena orang itu melakukan tindak pidana, harus tetap diberi pesangon. Itu masalah di luar isu korupsi. Tidak ada konsistensi. Padahal kalau membuat usaha, perencanaan usaha harus disusun dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Kalau aturan itu diubah-ubah, maka perencanaan menjadi sulit dijalankan. KK: Ada faktor 3L yang menentukan: Labor activity, Legal certainty dan Law enforcement. Ketiga hal ini yang menjadikan Indonesia tidak masuk dalam peringkat atas di daftar investasi. HP: Apalagi dalam sektor industri migas. Hari ini hampir tidak ada investasi untuk eksplorasi migas di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar itu setiap tahun membelanjakan sekian miliar dolar untuk eksplorasi. Mereka akan memilih di negaranegara mana mereka akan melakukan eksplorasi, dengan melihat daftar 100 negara penghasil minyak di dunia. Di jajaran ini Indonesia berada dalam kategori country risk.

KK: Indonesia berada di peringkat ke-60, kalah jauh dari Vietnam. ~0~ KK: Pabrik bio-etanol di Lampung yang dibangun oleh Medco, dikatakan sebagai yang terbesar di Indonesia. Padahal di Brazil ada sekitar 112-114 buah pabrik yang akan dibangun, dan untuk seukuran yang Anda bangun, hanya berada di peringkat terbawah. Saya sudah bangga sekali dengan yang Medco punya. Tapi ternyata di Brazil, seukuran seperti itu yang paling bawah. HP: Pabrik bio-etanol di Lampung itu bertujuan untuk ekspor. Sekarang ini, kalau saya menjual produknya di dalam negeri, harus dioplos dengan bensin, karena belum ada regulasinya. Kecuali kalau saya menjualnya ke Pertamina. Tapi Pertamina belum bisa membeli untuk jangka 10 tahun ke depan. Jadi saya jual ke luar negeri dengan kontrak selama 10 tahun. Hasilnya akan saya pakai untuk membangun pabrik yang lainnya. Kalau pasar domestik Indonesia sudah ada, akan dibuat pabrik lagi. Kami sudah ada perencanaan untuk membangun pabrik lain yang ke-2,3,4,5 dan seterusnya. Saya sedang lakukan pembicaraan dengan bupati-bupati. Saya sampaikan bahwa kami membutuhkan lahan minimum seluas 15.000 hektar, bisa untuk menanam tebu atau jagung. KK: Di Kalimantan Tengah ada lahan seluas 23.000 hektar yang cukup bagus bukan hanya untuk sawit, tapi juga untuk tebu.

HP: Bank berani memberi 70 persen dari biaya pembangunan pabrik. KK: Jadi, begitu proposal disampaikan ke bank, bank akan melihat apakah ini bank-able. HP: Medco Energi ini perusahaan kecil. Jadi kami tidak mampu membuat riset sendiri. Ada aktivitas riset dalam skala kecil yang melibatkan universitas. Tujuannya, kami mencari sesuatu yang bisa dikomersialkan secara cepat. Kami mencari tahu, mana-mana sumber etanol yang paling bagus, apakah itu singkong, tebu atau jagung. Saya dengar di Amerika Serikat jagung paling diminati karena bisa dipanen secara mekanik, sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga manusia. KK: Tebu juga bisa. Dari banyak studi, kalau tebu itu bisa ditanam, maka tebu paling bagus. Sepenuhnya mekanik. Dari segi tanah juga yang terbaik. AS melirik ke jagung karena memang tanahnya paling cocok dengan jagung. Tidak bisa menanam tebu di sana. Satu hal lagi, setelah Brazil sukses dengan bioetanol dan berhasil mendongkrak ekonominya, sekarang mereka punya program pengentasan kemiskinan. Program itu bernama “Bio-diesel for the Inclusive of Brazilian.” Jadi, mereka tidak akan memproduksi bio-diesel secara besar-besaran dengan skala ekonomi seperti etanol, melainkan small mining untuk rakyat. Mamona, atau Jarak, menjadi tanaman andalan. Tanaman itu kurang

efektif buat industri semacam Medco. Yang cocok buat Anda adalah tebu, CPO, atau singkong. HP: CPO saya tidak berani. KK: Mengapa? HP: Karena CPO ini harganya meningkat terus. KK: Tebu juga begitu. Komoditas seperti CPO dan tebu mengikuti harga minyak. Itu seperti ada afiliasi. Hebatnya minyak kan begitu, ada afiliasi dengan komoditas lain. Sekarang ini dengan harga minyak naik, Brazil ‘berkipas-kipas’ lantaran diuntungkan. Di Brazil saat ini ditetapkan bahwa gasolin itu 20 persennya adalah etanol. Ini wajib dipatuhi. Dengan ketetapan itu maka otomatis pasar langsung terwujud. Dan yang menetapkan berapa persen kandungan etanolnya, apakah 18,19,20, atau 21 persen, adalah menteri pertanian. Di sana tidak ada gasolin murni. Dalam setiap liter gasolin sudah ada 20 persen etanol. Sebanyak 30 persen jumlah mobil di sana sudah merupakan mobil yang bisa dipakai untuk bahan bakar bioetanol. Sebanyak 65 persen mobil baru juga demikian. Secara otomatis, dunia otomotif juga menyesuaikan. Setiap pemilik mobil tidak perlu mencari SPBU khusus, sebab semua SPBU bisa cocok. Padahal belum lama ini Brazil menemukan minyak di tengah lautan lepasnya. Ini merupakan bonus bagi negara itu. Kebutuhan dalam negerinya

sudah terpenuhi melalui saluran pipa-pipa. Satusatunya negara di dunia yang etanolnya sudah didistribusikan dengan pipa-pipa adalah Brazil. Kebun yang mereka punya juga tidak terlau besar, hanya 6 juta hektar. Lahan sawit kita juga 6 juta hektar luas totalnya. Berarti angka itu sangat mungkin kita penuhi. HGU yang tidak terpakai mencapai 16 juta hektar, sudah saya cek ke sejumlah pejabat yang terkait. Dua tahun HGU tidak dipakai, gugur. Tinggal dipindahkan melalui BPN. Hanya saja, laju kemampuan kita seberapa jauh? Sebab perusahaan besar sekali pun tidak mampu membuka lahan 100.000 hektar per tahun. Bukan masalah uangnya. Kalau uangnya ada, bagaimana dengan pengadaan bibitnya? Yang hebat lagi di Brazil, tebu tidak hanya dimanfaatkan siropnya saja. Sampai daun dan batangnya pun diperas habis, sampai ke ujungnya. Saat ini industri sawit juga sudah melakukan hal yang sama. Tandas-nya dikonversikan dengan mesin pendidih. Kalau semua tandas sawit dimanfaatkan jadi listrik, bisa menyediakan sejumlah daya listrik se-Sumatra. Sebagian dibakar, sebagian dikompos, tapi masih tetap sisa. HP: Dengan harga singkong hari ini, dikali dua, jatuhnya itu per barel 40 dolar AS. Jadi jangan naik lagi. Paling tidak dalam 10 tahun ke depan, naiknya 10 kali lipat.

Perencanaan Lintas-Sektor Dialog dengan Herman Darnel Ibrahim (HDI) Pelaku di Bidang Energi; Direktur Transmisi dan Distribusi PLN Jakarta

Topik: •Pentingnya kemampuan rekayasa • Ko-ordinasi dalam perencanaan • Pengelolaan listrik nasional

HDI: Kalau kami tengok apa yang terjadi setelah 25 tahun ini, masih belum lahir sebuah perusahaan yang menguasai rekayasa. Kalau orang-orangnya, per individu, mungkin sudah ada yang menguasai rekayasa. Di lingkungan kami ada PLN Engineering. Tapi dalam membuat desain, pendekatannya masih copy-and-paste. Tidak ada optimasi dalam desain. Dulu itu, saya ingat, ada seorang dosen ITB yang merintis pendirian perusahaan bernama Informa, bergerak dalam bidang kontraktor dan rekayasa. Juga ada Sitakonas. Pada awalnya banyak didampingi oleh konsultan asing sebagai mitra. Tapi tidak bisa bertahan lama. Kalau sekarang sudah ada perusahaan seperti PT. Rekayasa Industri. Lalu PLN mendirikan juga PT. Rekadaya. Itulah yang menjadi harapanharapan. Hanya saja kapabilitas perusahaan-

perusahaan itu masih terbatas. Kalau permintaan pasar dalam negeri diserahkan semua pada mereka, akan kewalahan mereka memenuhi permintaan itu. Mereka bisa berperan dalam bidang rekayasa tenaga listrik. Tapi sudah banyak pelaku lain dari Jepang, juga dari Inggris dan Kanada. Dalam bidang tenaga listrik itu, bidang pembangkit yang boleh dibilang paling rumit. Sebenarnya tidak terlalu rumit juga. Hanya saja, perlu ada individu-individu yang spesialis di bidang pembangkit ini. Biasanya, desain dasar untuk pembangkit itu dibuat oleh perusahaan konsultan asing. Pertanyaannya adalah pembangkit jenis apa yang ingin kami buat di dalam negeri? Dulu, saya lihat, pembangkit jenis diesel yang paling cocok. Tapi setelah subsidi BBM dihapuskan, pertanyaan tentang jenis pembangkit harus dikaitkan dengan bahan bakar alternatif yang dipilih. Tetap yang termudah untuk skala kecil itu diesel. Sebab, Indonesia kan terdiri dari sebegitu banyak pulau, dan sebegitu banyak kawasan yang terisolasi. Mungkin kami punya diesel itu sampai 4000-5000 unit. Tapi berapa besar kapabilitas pembangkit secara keseluruhan? Satu wilayah itu 500-600 unit. Tapi tidak kami kembangkan lagi, karena BBM sudah mahal. Sekarang, dalam bidang pembangkit, pilihan bahan bakar alternatifnya bisa solar. Kalau lihat harga BBM sekarang, solar atau hibrida akan lebih menguntungkan.

Jadi, masalah penyediaan listrik Indonesia, justru yang rumit bukan pasokan yang berskala besar. Yang rumit justru bagaimana melistriki yang kecil-kecil. Mungkin teknologi tepat guna yang perlu dicari, terutama dengan berubahnya harga minyak. Kalau dulu memang BBM disubsidi. Dan itu jauh lebih murah dari sel surya (solar cell). Memang sel surya itu terbatas energi yang dihasilkannya, dan tidak nyaman juga. Banglades yang paling banyak mengembangkan sel surya. Mungkin pilihan yang lain adalah yang sesuai dengan alam kita, yaitu teknologi mini-hidro dan mikro-hidro. Ada PT. Barata yang bisa membuat sel surya. Tapi mungkin kalau dihitung seluruhnya, dan dikerjakan dalam satu paket seluruhnya, baru skala ekonominya tercapai. Sekarang, dengan mahalnya minyak, yang harus dijawab adalah bagaimana memenuhi kebutuhan yang berskala kecil di wilayah-wilayah yang terisolasi. Kalau untuk kebutuhan berskala besar, ini mudah dijawab dengan memakai batu bara atau gas. Tapi kalau untuk wilayah yang terisolasi, kalau dibentang jaringan akan terlalu panjang. Jadi harus diupayakan sumber daya setempat. Kalau memang ada aliran air sungai, mestinya bisa jadi sumber energi. Kalau seluruh Indonesia disurvei potensi sumber-sumber energi lokalnya, kemudian digarap secara besar-besaran, tidak satu-satu, mungkin kebutuhan energi listrik nasional bisa dijawab. Tapi kalau penyelesaiannya satu-satu, secara parsial, tidak akan tumbuh.

KK: Kaya dengan sumber minyak itu bisa jadi faktor kuat, tapi juga bisa jadi faktor lemah. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengelola sumber minyak itu untuk kepentingan jangka panjang. Dampak negatifnya seperti yang terjadi di negara-negara Arab itu, kalau tidak pandai-pandai. Sebaliknya, embargo yang semula dianggap sebagai perangkap atau membuat orang kerdil, tapi malah menjadikan orang kuat. Misalnya ini terjadi pada negara-negara Amerika Latin, atau bahkan Cina. Cina itu pernah diembargo puluhan tahun. Sekarang dia menjadi bangsa yang kuat. HDI: Kalau memang ulet, orang yang diembargo itu justru bisa menjadi kuat. Teorinya, menurut saya, orang yang diembargo akan tambah kuat. Kalau kita dikasih kesusahan, kita akan lebih terpacu. Hanya saja, ini bergantung pada mentalitas orang. Ada juga orang yang kalau mengalami kesusahan malah pasrah saja. Dia tidak bangun, karena dia masih bisa menikmati kesusahan itu. ~0~ Pada awal saya masuk PLN, apa saja yang kami lakukan selalu memakai jasa konsultan asing. Ada yang dari Perancis, Inggris, Selandia Baru dan Jepang. Sekarang kami sudah bisa melakukan rekayasa, dengan menggunakan desain-desain yang sudah ada. Dokumen-dokumen dari desain itu ditinggalkan di sini oleh para konsultan, lalu kami copy-and-paste. Jadi, kalau ditanya apakah

penguasaan kami di bidang rekayasa itu sudah baik, jawabannya adalah belum optimal. Katakanlah kami tidak perlu membayar orang lagi untuk membuat desain yang baru. Tapi desain yang kami buat juga belum tentu kompetitif. Membuat sendiri justru tidak sehemat kalau menggunakan jasa konsultan. Misalnya, desain yang kami buat malah menjadi over designed. Ada hal-hal yang tidak perlu, tapi dimasukkan ke dalam desain. Itu menambah biaya, dan harus dibayar sepanjang umur pakai alat tadi, kan. Untuk bisa berdaya saing di bidang listrik, garis besar strateginya adalah memanfaatkan campuran bahan bakar (fuel mix), karena bahan bakar menjadi faktor dominan. Kalau kami bisa memperkirakan profil harga dan ketersediaan bahan bakar, maka kami bisa lebih tepat mengatur keekonomiannya. Kita bisa mencontoh strategi negara-negara maju juga. Misalnya dengan penggunaan energi nuklir. Untuk energi nuklir, harga uranium tidak berubah dengan naik-turunnya harga minyak. Tapi, yang punya uranium itu siapa? Kalau kita nanti membeli uranium, apakah nanti kita tidak akan diembargo? Mungkin pertanyaannya ke situ lagi. Kita tidak menguasai teknologi energi nuklir, kan? Apakah kita tidak akan didikte harganya oleh si penjual? Strategi yang ke dua, untuk berdaya saing, adalah dengan meningkatkan efisiensi melalui

rekayasa dan perencanaan keseimbangan kapabilitas (capacity balance). Jadi, faktor bahan bakar dan faktor rekayasa ini yang paling berpengaruh terhadap biaya. Kalau dalam bidang rekayasa kami sudah jagoan, maka biaya akan berkurang. Di lingkungan kami, banyak hal-hal yang setelah diaudit, tidak dimasukkan kembali sebagai umpan balik ke dalam tahap desain. Mestinya kan setelah suatu desain diaudit, dilihat mana yang efisien dalam desain itu. Sering terjadi bahwa komponen kami beli itu ternyata tidak penting, dan hanya aksesoris saja. Itu kami beli biasanya karena ditawari oleh pabrikan-pabrikan asing. Kalau kami tidak punya pengetahuan yang memadai, kami akan sulit memutuskan apakah menerima atau menolak tawaran-tawaran itu. Contohnya, saya baru saja mengunjungi sebuah gardu induk. Dalam gardu induk itu terdapat gedung kontrol dan panel-panel. Desain gedung itu bisa tahan untuk guncangan gempa sampai sekitar 10 skala Richter. Sebetulnya, mungkin tidak perlu sekokoh itu, yang akibatnya menjadi sangat mahal. Dan luasnya juga berlebihan. Kalau saya pergi ke negara yang lebih maju, mereka tidak punya gedung kontrol sebesar itu. Mereka taruh saja panel-panel itu. Lalu dipasang sistem pengendali jarak jauh. Idealnya, semua yang sudah dibuat itu diaudit, diperiksa. Dalam pembangkit-pembangkit itu

banyak komponen yang fungsinya aksesoris saja. Waktu dibeli disangka komponen utama, tapi ternyata tidak diperlukan. KK: Jadi isu-isu utamanya itu, pertama keamanan pasokan. Yang kedua kerekayasaan. Kalau operasi dan pemeliharaan bagaimana? HDI: Operasi dan pemeliharaan temasuk yang penting juga. Hanya saja dalam keputusan awal, kerekayasaan dan perencanaan yang menentukan. Misalnya, perencanaan lokasi gardu induk. Ini kadang-kadang tidak efisien juga. Kami kan harus membuat perkiraan. Kalau untuk sistem pembangkit, kami tidak perlu melakukan zonasi. Tapi untuk sistem distribusi dan penempatan gardu induk, perlu zonasi. Kalau zonasi meleset, itu akan berakibat ada gardu induk yang cepat penuh, dan ada gardu induk yang setelah dibangun 10 tahun bebannya rendah terus. Itu bisa terjadi. Kami tidak bisa mengatur konsumen. Kalau kami minta supaya konsumen mendaftar ke gardugardu yang belum penuh, itu tidak realistis. Ditambah lagi, dalam perencanaan kami perlu memperkirakan jalur-jalur transmisi dan distribusi. Dengan tidak adanya kepastian tata ruang, ini mempersulit perencanaan transmisi dan distribusi. Idealnya kami mengikuti sistem di negara maju. Industri-industri harusnya berlokasi di sebuah kawasan tertentu, jumlahnya sekian per kilometer persegi, kebutuhan listriknya sekian. Di negara maju itu semua dihitung. Kalau kami belum bisa

begitu. Kami masih hanya melihat tren, atau data historis saja. Perencanaan zonasi ini memang masih menjadi 'momok' bagi banyak pihak. Saya pernah coba mengumpulkan orang untuk membuat zonasi. Semua kantor wilayah tidak punya rencana induk (master plan) propinsi, yang kami perlukan untuk penentuan distribusi. Jadi, ibu kota propinsi mau seperti apa ke depannya, tidak ada gambarannya. Kami hanya melihat dari perkembangan yang terjadi saja. Idealnya kami harus punya rencana induk itu, dan perencanaan distribusi listrik harus dikoordinasikan dengan perencanaan tata ruang. KK: Apakah rencana tata ruang kawasan harus direspon oleh PLN? HDI: Harus direspon. Tapi sampai sekarang ini, kami merespon apa-apa yang sudah terjadi. Misalnya, untuk daerah perumahan, seharusnya kebutuhan tenaga listrik per kilometer perseginya berbeda dengan daerah komersial. Kalau ke depannya daerah perumahan itu menjadi komersial, kan berarti butuh tambahan gardu. Perubahan seperti ini tidak pernah final. Kawasan yang sudah mapan pun masih mungkin berubah lagi. Ini membuat perencanaan distribusi listrik menjadi tidak efisien. Yang sudah kami coba sekarang, semua ibu kota propinsi kami minta menyusun rencana induk untuk distribusi energi. Perencanaan untuk pembangkit dan transmisi itu harus dimulai dari

hilir, dari apa-apa yang harus dilayani di sisi permintaan. Kemudian mundur: di mana perlu diletakkan gardu induk? Lalu mundur lagi: di mana harus diletakkan pembangkit? Penentuan lokasi pembangkit itu bisa dilakukan dengan metode optimasi, seperti dalam perencanaan transportasi. Misalnya, bagaimana meminimumkan biaya transmisi kalau sumber energinya berasal dari luar wilayah? Tapi kalau sumber energinya lokal, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), berarti kan pembangkitnya harus di wilayah yang sama. Lalu dihitung dan dibandingkan dengan alternatif kalau sumber energi berasal dari luar wilayah. Saya juga sudah coba meningkatkan kerja sama dengan perguruan tinggi. Tapi mungkin terganggu juga akhir-akhir ini, dengan terbitnya UU Persaingan Usaha. Sekarang saya tidak bisa lagi menunjuk perguruan tinggi mitra. KK: Kepres No. 80? HDI: Kepres No. 80 dan UU Persaingan Usaha, keduanya tidak membolehkan penunjukan secara langsung. Kalau kami coba adakan tender, belum tentu perguruan tinggi yang akan ikut. KK: Dalam Kepres No. 80 itu, Anda boleh menunjuk langsung, tapi pendekatannya kemudian swa-kelola. Jadi, perguruan tinggi ditunjuk sebagai 'perpanjangan tangan.' Swa-kelola namanya. HDI: Tapi kalau untuk sekaligus memperbaiki

industri dan membangun kemampuan dalam negeri, memang diperlukan suatu kebijakan yang melampaui apa-apa yang ada sekarang ini. Misalnya, kita mau membangun pembangkit kecilkecil, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berskala kecil. Setelah kita hitung, katakanlah sekarang ada 4000 MW pembangkit diesel yang tersebar. Katakan itu mau kita ganti setiap tahunnya sebanyak 300MW, diganti dengan PLTU berskala 3-5MW. Mestinya bisa dibuat kebijakan pemerintah yang mengharuskan itu semua dikerjakan di dalam negeri, dengan segala biayanya. Kebijakan seperti ini yang belum muncul. Ini akan menjawab kebutuhan pasokan energi, dan sekaligus membangun industri dalam negeri. Mungkin dengan menggunakan dana perbankan dalam negeri saja, itu sudah bisa dilaksanakan, karena berskala kecil. ~0~ KK: Kembali ke faktor penentu tadi, Pak. Pertama, kepastian pasokan energi. Ke dua, masalah pembangkit. Ke tiga, distribusi, yang notabene pasar. Nah, kalau ketiga faktor ini yang menjadi penentu, bagaimana PLN mengelolanya? Berarti penting sekali PLN memiliki rencana induk. Kalau pembangkit itu mau dibangun sedekat mungkin ke sumber energi, maka ongkos transmisi yang kita harus pikirkan. Kalau dibangun sedekat mungkin ke pasar, ongkos distribusi bahan baku yang kita pikirkan.

Contohnya, sampai sekarang kita pertanyakan mengapa dibangun pembangkit listrik yang begitu besar, 3500 MW, di Banten. Padahal Banten bukan sumber energi. Akibatnya kita harus menanggung beban untuk mengirim batu bara dari Sumatera dan Kalimantan. Mengapa pembangkit itu tidak dibangun di Sumatera Selatan? HDI: Atau bahkan di sekitar Jakarta? KK: Ya. Kalau di Banten kan ke sumber energi jauh, ke pasar jauh. Yang dekat ke pasar itu Muara Karang. HDI: Yang diperdebatkan di DPR baru-baru ini adalah pengetatan tarif. PLN itu perusahaan yang kalau diganggu keuangannya, dampaknya tidak langsung. Misalnya, kalau dilakukan pengetatan tarif tahun ini, implikasinya baru terjadi 3 sampai 5 tahun lagi. Karena kalau diketatkan tahun ini, tidak akan terjadi investasi tahun ini. Kalau tidak ada investasi, layanan kami tahun ini belum terganggu. Seandainya ada investasi tahun ini, akan dipakai selama 5 tahun ke depan. Kalau membangun pembangkit sekarang, dampaknya terjadi pada 5 tahun ke depan. Kalau membangun transmisi, selesainya 3 tahun. Kalau distribusi, setahun. Jadi, kalau tidak ada investasi tahun ini, dampaknya adalah tidak ada peningkatan kapabilitas pada 3 sampai 5 tahun ke depan. Bagi PLN, biaya pemeliharaan itu tidak fluktuatif. Biaya pegawai dan biaya administrasi juga tidak fluktuatif. Yang fluktuatif itu biaya bahan

bakarnya. Begitu harga bahan bakar naik, dan tarif listrik tetap, harus ada efisiensi. Tapi mau diefisienkan yang mana lagi? Begitu investasi terhenti, pelayananlah yang di kemudian hari akan terganggu. PLN adalah perusahaan yang satu-satu sumber hidupnya berasal dari pembayaran tarif oleh pelanggan. Apa pun biaya yang harus dikeluarkan PLN, sumber uangnya dari pelanggan. Dan apa pun yang didapat dari pelanggan, akan dipakai hanya untuk kelistrikan, bukan untuk membangun mal, atau bisnis yang lainnya. PLN bukan konglomerat. Hanya memproduksi listrik. Saat ini konsumsi minyak bumi oleh PLN sekitar 30%. 10 juta kiloliter minyak bumi dibutuhkan untuk memproduksi kira-kira 25 miliar kWh, dari 110 miliar kWh total produksi. Biaya untuk konsumsi BBM 60 triliun rupiah per tahun. Kalau dibagi dengan total penjualan saja sudah menjadi 600 rupiah tiap kWh. Jadi kalau tidak ada subsidi, tidak akan ada gaji, tidak akan ada biaya adminsitrasi dan pemeliharaan, apalagi biaya pembangunan. Hasil penjualan listrik hanya habis buat BBM. Solusi kami untuk masalah ini sebenarnya ada. Ke satu, dalam jangka yang lebih panjang, membangun PLN bersumber energi batu bara untuk menggantikan konsumsi BBM. Ke dua, sosialisasi penghematan energi listrik. Ini sangat menentukan. Saat ini marginal cost kami berasal

dari faktor BBM. Setiap kenaikan produksi listrik, bebannya dipikul oleh BBM. Jadi, kalau kami lakukan penghematan konsumsi listrik, penggunaan BBM juga akan berkurang. Di negara-negara Barat itu, toko buka ditentukan jamnya. Dengan ditentukan jam bukanya, energi listrik yang dipakai akan berkurang. Dalam jam-jam kantor itu sebenarnya kita bisa bekerja efisien, sehingga tidak perlu bekerja sampai malam. Toko juga tidak perlu buka sampai malam, dan pelanggan tetap bisa berbelanja. Mal-mal bisa pakai lisensi buka malam dengan digilir, tidak usah semuanya. Pengetahuan kami tentang konservasi energi masih minimum.

Kesinambungan Milestones Dialog dengan Suryatin Setiawan (SS) Pelaku di Bidang Informasi dan Komunikasi; Mantan Direktur Bisnis Jasa PT. Telkom Indonesia

Topik: • Determinasi dalam kebijakan • Milestones program TIK • Keutuhan rantai-nilai inovasi

KK: Saya melihat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu berpotensi untuk berperan sebagai bonding agent, atau agen pengikat ke tiga elemen A-B-G ... SS: Ya! Dan juga sebagai enabler yang membuat kita makin produktif dan lebih transparan. TIK itu semacam 'bumbu' yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. KK: Kalau kenyataannya potensi-potensi itu semua belum terealisasi, apa yang keliru? SS: Ya, kita bisa lihat Malaysia ketika dipimpin Mahathir. Sektor informasi dan komunikasi berkembang pesat mulai dari infrastruktur sampai ke industri manufakturnya. Mahathir berdiri di depan, dan memberitahu bangsanya jalan ke arah mana yang akan ditempuh, objektif apa yang dikejar, sumber-sumber daya apa yang dilibatkan.

Kemudian dia memandu perjalanan itu. Kalau tidak ada kepemimpinan seperti yang dia tegakkan, semua pihak akan mengusulkan gagasan dan pendekatannya sendiri-sendiri. Dan masing-masing pihak ini merasa benar. Akibatnya, tidak akan ada program yang terealisasi, atau program-program berjalan hanya dalam ranah yang sempit, sesuai kepentingan dan dukungan kelompok. Jadi, diperlukan kombinasi pendekatan antara bottom-up dan top-down. Kelebihan pendekatan top-down adalah efektivitas. Tapi pendekatan seperti ini bisa kurang sesuai dengan situasi sosiopolitik saat ini. KK: Kalau kita lihat kasus Malaysia, seandainya saja Mahathir masih tetap memimpin dan sukses, itu kan betul-betul top-down! Dia mulai dengan memegang tali komando, mendirikan Putera Jaya, baru dia turunkan ke tingkat bawah. Itu kan efektif. SS: Betul, efektif itu. Hanya saja, rupanya dia belum berhasil menumbuhkan akarnya. Dia tinggalkan yang dirintisnya sebelum akarnya tumbuh kuat. Pendekatan top-down itu memang efektif, cepat berjalan dan menyeluruh. Tapi agar ini terus bertahan, harus ada jejak-jejak yang nyata dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi. Dengan begitu, kalau terjadi pergantian kepemimpinan, masyarakat dan pemimpin baru itu bisa melanjutkan apa-apa yang sudah terlihat nyata. Dalam proses pergantian kepemimpinan di Malaysia, tampaknya akar itu kurang kuat.

Jadi, pada intinya perubahan itu perlu bersistem. Membangun sistem itu memang lambat. Tapi bila ini berlangsung secara konsisten, maka akan bersinambung ke masa depan. Kalau tidak konsisten, apa-apa yang sudah dirintis bisa hilang. KK: Ya, betul! Di Malaysia itu sistemnya belum sempat terbangun dengan mantap. Sinten dan sistem, keduanya penting. Sinten dalam bahasa Jawa artinya siapa, atau pelaku. Kehadiran tokoh penghela perubahan itu perlu. Tapi terbangunnya sistem juga diperlukan bagi kesinambungan perubahan itu. Di Malaysia sudah ada pemimpin yang menggerakkan perubahan. Tapi kalau belum terwujud sebagai sistem, ketika terjadi pergantian orang-orang, sistemnya pun terpengaruh dan berubah. Sementara itu kalau kita lihat di negaranegara berindustri maju, mereka telah berhasil membangun sistem secara mantap. Ketika orangorangnya berganti, sistemnya tetap bertahan dan stabil. Kita lihat misalnya bagaimana komputerisasi terjadi di sana. Budaya tulis-cetak dengan medium kertas telah maju dan mapan. Mereka mampu melakukan pencatatan, pengolahan data, dan lainlain. Lalu ketika muncul kebutuhan akan kecepatan, ketepatan, dan integritas, muncul gagasan untuk menggunakan media elektronik. Lalu berkembanglah penggunaan komputer sebagai jawabannya. Komputerisasi terjadi melalui pengembangan struktur baru, yang ditopang oleh

kultur dan struktur yang sudah mapan. Nah, kembali ke kasus Malaysia, tampaknya Mahathir ingin mulai dengan struktur, dengan harapan akan diikuti dengan perubahan kultural. Ini yang belum berhasil. Kalau Indonesia, baik struktur maupun kultur belum tersedia untuk menopang komputerisasi. Sudah banyak orang tahu bahwa kalau kita bisa membangun TIK, banyak masalah informasi bisa dijawab. Bukan mustahil TIK bisa dimanfaatkan KPK, Timnas TIPIKOR, atau lembaga-lembaga lain yang penting untuk membangun good governance. Tapi, meski sudah banyak orang tahu potensi TIK, mengapa belum terlihat perkembangan yang cukup berarti? SS: Ya ..., motornya itu ..., harus ada mesin penggerak yang kuat! KK: Bukankah kita sudah punya tim telematika nasional? Rasanya ini sudah lama dibentuk. Apa lagi yang masih kurang? SS: Ya, kita sudah punya tim nasional sejak 1996, di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Waktu itu saya dipanggil untuk ikut membantu program Nusantara-21. Lalu dibentuk Tim Telematika. Tapi belum cukup lama ini berjalan, semua hilang ketika terjadi Krisis Moneter. Di era Reformasi Tim Telematika tidak banyak berperan, karena banyak agenda reformasi yang lebih menjadi prioritas. ~0~

Kita juga pernah punya program besar, yakni Satelit Palapa. Kehadiran Satelit Palapa, dan bagaimana dia memenuhi fungsinya sebagai salah satu medium komunikasi yang menjangkau seluruh Nusantara, boleh dibilang berjalan dengan konsisten. Begitu terbang di angkasa, dia tetap di sana dan bisa dipakai. Yang menarik adalah ketika Palapa meluncur, terjadi perkembangan kegiatan manufaktur yang bagus sekali. Ketika Palapa meluncur, Pemerintah, dalam situasi politik waktu itu, masih sanggup menugasi tiga perusahaan nasional yang sebelumnya tidak punya apa-apa, yaitu PT. INTI, RFC (Radio Frequency Company), dan LEN (Lembaga Elektronika Nasional). Kebutuhan pasokan komponen nasional disediakan oleh ketiga perusahaan itu. PT. INTI untuk wilayah timur, LEN wilayah barat, sisanya RFC. Itu pengembangan manufaktur yang efeknya besar sekali. Saya ikut disertakan dalam pengembangan industri itu. Kami mulai segalanya dari nol: membangun jalur produksi, merekrut orang, pengadaan perlengkapan produksi, pengembangan prototipe, dan lain-lain, sampai semuanya berjalan. Jadi, ini semua membentuk serangkaian milestones. Hanya sayangnya, yang kemudian hilang konsistensinya itu. Pada milestone berikutnya kami mendapatkan dana dari UNDP untuk membangun sistem komunikasi satelit berbasis data paket. Nah,

teknologi data paket ini merupakan dasar dari teknologi Internet yang sekarang populer. Jadi, itu boleh dibilang teknologi yang berorientasi jauh ke depan. Projek itu sendiri, karena bersumber dana dari UNDP, berpola multinasional. Dalam projek itu terlibat periset dari Inggris, Jepang dan Indonesia. Tapi, sesudah ini semua dikerjakan, tidak dipakai! Ketika produk itu selesai, dengan usaha yang lumayan berat, kami sampaikan laporan ke jajaran pimpinan waktu itu. Kami bawa produk itu. Komentar yang mereka lontarkan hanya, "Wah, di Amerika ada produk serupa yang jauh lebih maju!" Mendengar komentar ini, kami, para insinyur, rasanya seperti ditampar. Itu peristiwa yang sangat berkesan bagi saya. Saya tidak bisa lupa. Para pimpinan itu sepertinya tidak menunjukkan apresiasi sedikit pun. Mereka berkomentar begitu tanpa tahu apa isi produk yang dibuat, sebuah teknologi yang sebetulnya berorientasi jauh ke depan. Nah, konsistensi itu yang tidak ada. Akhirnya apa-apa yang sudah dicapai dengan berhasil menjadi lenyap. Konsistensi tidak ada, pola tidak ada. Jadi, kita selalu gagal untuk menyambung milestone yang satu ke milestone yang berikutnya. Kalau Jepang, mereka sangat konsisten dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka telah meraih suatu kesadaran bersama, tanpa perlu diwacanakan atau ditulis lagi, bahwa mereka harus menyelamatkan bangsa Jepang. Dan untuk kepentingan nasional ini, apaapa yang sudah baik tidak diutak-utik terus-

menerus. Mana-mana yang sudah baik diteruskan. Kita sering memulai sesuatu, tapi setelah sedikit berkembang, mundur ke awal lagi. Kita ini seperti bergerak dalam permainan "ular-tangga." Jadi setelah bergerak sekian langkah, ketika sampai di mulut ular terus turun lagi ke belakang. Saat ini momentumnya memang tengah diciptakan kembali. ~0~ KK: Kalau kita kembali pada unsur-unsur A-B-G, kira-kira apa faktor yang perlu bekerja yang membuat TIK menjadi pemersatu bangsa? Kita tahu bahwa dalam kasus Palapa, agenda TIK nasional memerankan TIK sebagai pemersatu. Nah, apa yang hilang sekarang ini, yang kalau muncul bisa menggerakkan TIK sebagai pemersatu bangsa? Tadi kita sudah bicarakan faktor kepemimpinan yang kuat dan konsisten. SS: Saya kira faktor yang lain adalah kesadaran. Kita ini kan bukan termasuk bangsa yang, maaf saya katakan ini, disegani dalam kancah percaturan antarbangsa-bangsa. Ini suatu keadaan yang sudah berada di dasar jurang keterpurukan. Ini yang harus kita sadari. Atas kesadaran ini mestinya kita mau mengesampingkan perbedaan-perbedaan, dan mulai melangkah maju dengan lebih cepat. Salah satu enabler-nya, ya TIK itu. Kita mulai bangun kapabilitas, menjadi lebih transparan, sehingga orang lain menjadi lebih percaya pada kita. Jadi, kolektivitas itu unsur yang

hilang di Indonesia. Kalau perusahaan-perusahaan besar sekarang sudah mengandalkan TIK. Tapi Pemerintah masih agak lamban. Dunia akademik juga masih lamban dalam pemanfaatan TIK. Di beberapa komponen sosial di masyarakat, TIK sudah menjadi faktor daya untuk hidup dan berkembang. Hanya saja secara kolektif, ini belum terjadi. KK: Di kampus, ketika saya menjabat rektor ITB, upaya ke arah itu cukup kuat. Tapi tentunya ada agenda-agenda lain yang juga menjadi prioritas. Kami berupaya menggelar semacam information highways, atau jalan raya informasi di dalam kampus. Kami percaya kalau highway ini ada, informasi akan mengalir. Sirkulasi informasi dalam kampus itu terjadi. Namun, ini justru memperkokoh posisi bahwa kampus itu 'menara gading.' Mengapa demikian? Karena ada kesenjangan dengan dunia luar. Di dalam kampus kita gunakan ‘jalan raya,’ tapi di luar kita menemui ‘jalan-jalan sempit’ lagi. Jadi, saya merasa ini kemajuan, tapi sekaligus juga memperkokoh keadaan ‘menara gading.’ SS: Masalah information highways itu, kalau ingin bisa dimengerti oleh masyarakat umum dan mendapat dukungan, bisa kita analogikan dengan jalan raya fisis. Kalau Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan jalan-jalan raya fisis, mengapa tidak ada anggaran untuk membangun jalan raya informasi? Semua urusan

ini diserahkan pada para operator. Tidak bisa begitu! Mestinya dibicarakan dalam kabinet mapun parlemen, bahwa pemerintah, sebagai penanggung jawab tumbuhnya infrastruktur umum di Indonesia, perlu membangun jalan raya informasi itu. Bahwa kalau nanti para perusahaan operator mau bergabung, itu silahkan, dan seharusnya begitu. KK: Bukankah mengenai infrastruktur informasi itu sudah kuat keinginan Pemerintah? Kalau kita lihat, memindahkan sektor pos dan telekomunikasi dari Departemen Perhubungan untuk menjadi sebuah departemen tersendiri merupakan langkah yang strategis. Ini menunjukkan suatu strategic intent. Hanya saja, mereka yang ‘menyambut bola’ yang masih kebingungan, bagaimana memainkan bola itu. Lalu, peluang yang ada. Kita punya infrastrcture summit. Departemen Kominfo itu selalu dilibatkan. Tapi mereka belum bisa menawarkan apa pun. Padahal strategic intent ada, dan peluang ada. SS: Betul sekali itu! Jadi, infrastructure summit sebagai milestone. Yang saya belum melihat, karena saya bukan bagian dari Pemerintah, apakah sudah ada pembicaraan bahwa dalam APBN ada alokasi untuk infrastruktur informasi? Ini penting sekali! Kalau memang ada, sangat bagus. Apalagi kalau Parlemen secara politis mendukung. KK: Uang yang berasal dari PNBP, yang berasal dari para operator itu, dikembalikan ke negara kok!

Artinya, bola sudah digelindingkan, strategic intent kuat, dan peluang ada. Tapi yang menyambut bola tidak tahu apa yang harus dimainkan. Sebetulnya, konsep sudah ada. Teruskan saja Nusantara-21. SS: Jadi, ini sesuatu yang tipikal kita. Yakni, gagal menerjemahkan gagasan yang besar ke dalam langkah-langkah praktis. Kita kenal slogan “the devil is the detail.” Jadi, penjabaran langkahlangkah praktis secara rinci itu yang tidak ada pengawalnya. Gagasan yang besar akan berhenti di tataran gagasan, kecuali ada yang mengawal penerjemahannya secara rinci ke dalam langkahlangkah praktis. Kan, begitu PNBP itu disetorkan ke Departemen Keuangan, semua orang tahu bahwa itu tidak akan kembali ke sektor terkait. Karena untuk bisa kembali ke sektor itu, proses politisnya rumit sekali. Jadi, secara praktis tidak mungkin PNBP yang berasal dari sektor telekomunikasi kembali ke sektor itu. KK: Ya, tampaknya kendaraan-kendaraan yang dibentuk untuk mengantarkan ke tempat tujuan, justru mogok. SS: Kalau kita coba perluas, masalahnya adalah mesin birokrasi. Apakah mesin birokrasi itu mampu menerjemahkan gagasan-gagasan besar ke dalam realitas? Ini pertanyaan penting. Gonta-ganti kabinet tidak akan ada artinya kalau mesin birokrasi ini tidak mampu menerjemahkan gagasan tersebut. Dalam tubuh pemerintahan itu terdapat unsur-unsur yang berubah melalui Pemilu, tapi ada

yang terus bertahan tetap. Yang tetap itu mesin birokrasi. Ini yang sangat penting perannya. KK: Sebetulnya mekanisme pendanaan matching fund sudah ada. Dana ini ada yang bentuknya moneter, ada yang bukan moneter. Misalnya dalam bentuk jaminan uang di bank. SS: Jadi penjabaran rincinya mekanisme pendanaan itu, permasalahan tender secara merupakan faktor penting.

sampai ke termasuk transparan,

KK: Betul! Termasuk kalau highway sudah ada, harus diterjemahkan bagaimana operator akan bekerja, seperti apa aturan mainnya, dan lain-lain. SS: Highways itu cukup dalam bentuk ring besarnya. SY: Masih ada permasalahan lain, terkait dengan penerjemahan terinci itu. Dalam kasus Satelit Palapa, penerjemahan itu komprehensif, sampai pada program televisi masuk desa dan program Klompencapir. Ini semua membuat intended value atau benefit itu betul-betul menjadi nyata. Nah, sekarang ini, apakah orang-orang yang merumuskan agenda TIK mampu menjadikan kenyataan manfaat-manfaat TIK itu? Misalnya, bagaimana TIK bisa betul-betul bermanfaat bagi sektor kesehatan? SS: Ya, TIK itu facet-nya jamak. TIK itu payung besarnya. Tapi apa yang masuk dalam kategori TIK itu beragam sekali, termasuk TV. Tapi, TIK dalam

arti yang lebih sempit, sebagai fasilitas informasi yang membuat kita bekerja lebih efektif, lebih transparan, ini memerlukan ketrampilan untuk memanfaatkannya. Dunia usaha yang ingin berdaya saing sudah memanfaatkan TIK. Nah, sekarang, sektor mana lagi yang akan memanfaatkan TIK? Ini pertanyaannya, kan? Kita ingin pemerintahan itu memanfaatkan TIK. Kalau bisa kita bergerak cepat untuk memasukkan TIK dalam operasi dan prosedur kerjanya, sehingga manfaatnya terasa bagi masyarakat. Memang masyarakat bukan pengoperasi. KK: Sebetulnya itu kan kita bisa lakukan dengan meneruskan kisah sukses sebelumnya. Dalam kasus PALAPA dan TVMD, itu kan sudah menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat. Sekarang juga komunikasi seluler sudah menjadi bagian dari gaya hidup, dan sudah membawa nilai tambah. Nah, bagaimana ini didifusikan, dirembeskan ke area-area aktivitas sosial yang lain. SS: Memang kalau dibandingkan dengan Palapa, ada perbedaan. Affordability atau keterjangkauan! Telepon itu sudah affordable. Tapi, begitu Internet diterjemahkan ke dalam akses dan komputer, muncul persoalan baru. Ini menjadi tidak affordable seperti halnya telepon. Jadi, manfaatnya itu harus dibuat terasa. Dan ini mudah, asal dieksekusi. Kalau orang merasakan

bahwa hidup jadi lebih mudah, pesan tiket pesawat jadi mudah, maka dia akan meminta layanan itu. KK: BRI itu mengembangkan layanan ATM di desa-desa. Kalau tidak bisa tanda tangan, ya cap jempol. SS: Lalu pertanyaannya, apakah peran kita dalam produksi TIK? Untuk komponen perangkat keras, pertanyaannya apakah kita mampu berproduksi seefisien Cina, sehingga harganya bersaing? Kalau bisa, kita buat. Kalau tidak bisa, lupakan saja, karena buang-buang energi. Tapi kalau perangkat lunak, itu tidak terbatas. Beberapa eksperimen telah dimulai. Misalnya, kita punya Bali Camp. Hanya saja belum ada yang bersemi. Pertanyaannya, mengapa belum ada yang bersemi? Ada sesuatu yang tidak benar di sini. Lahan kita kurang subur bagi kultivasi kreativitas seperti itu. Di India, lahan kreativitas seperti itu sangat subur. KK: Kalau India ‘the land of plenty,’ sedangkan kita ‘the plenty of lands.’ SS: (Ha ha ha ... !) Nah, itu perlu kita cermati mengapa semua inisiasi kreatif itu tidak berhasil bersemi. Benihnya sudah ada. Dan orang-orang kreatif itu punya relasi-relasi global. Peluangnya juga ada. Tapi lahannya yang tidak subur. Pengindustrian kreativitas menjadi suatu kekuatan ekonomi itu yang kita gagal terus. Kalau kita lihat Korea Selatan, kreativitasnya sederhana. Mereka mengganti nada ring menjadi musik. Tapi setelah

ini ditemukan, rantai nilainya itu mereka bangun sampai ke hilir. Itu menjadi bisnis besar. Sekarang para artis masuk ke bisnis itu. Tidak ada pembajakan seperti dalam produksi DVD. Penghasilan mereka meningkat. Seniman musik Indonesia meraih penghasilan besar dari bisnis ring tone itu. Gagasannya sederhana. Tapi mereka tidak berhenti di fase itu. Rantai nilainya dibangun. Mulai dari platform, perangkat lunak, IPR connection, semuanya dikembangkan. Kreativitas menjadi suatu kekuatan ekonomi. Memang ini suatu upaya multi-disiplin mulai dari riset, pengembangan, komersialisasi, sampai menjadi komoditas di pasar. Ini suatu upaya multi-disiplin.

Embargo sebagai Pemicu Dialog dengan Budi Santoso (BS) Pelaku di Bidang Pertahanan Direktur Utama PT. Pindad

Topik: • Kesenjangan periset-pebisnis • Pengaruh bantuan teknologi • Faktor endogen dari inovasi

KK: Tema yang ingin diketengahkan adalah keselarasan hubungan antara akademikus, pebisnis dan pemerintah. Bagaimana Pak Budi menengok hal ini, khususnya di sektor pertahanan dan keamanan? BS: Saya melihat akademikus itu, kalau dia ingin memulai sesuatu, cenderung berdasarkan pemikiran yang lebih mendalam. Tapi 'penyakit'nya akademikus itu, lantaran begitu percaya dengan teori tadi, begitu diperjalanan ternyata kita meleset dari target, dia tidak akan membelokkan arah perjalanan agar sesuai dengan target tersebut. Dia terus saja berjalan. Saya sendiri dulu di sekolah juga mengalami hal seperti itu. Saya dulu hampir setahun terlambat menyelesaikan program doktor. Waktu itu saya diingatkan seorang profesor bahwa saya salah, tapi saya lawan karena tidak sesuai dengan teori yang

saya anut. Mungkin tipikal akademikus seperti itu. Sikap ini berbeda dari yang diperlihatkan kawankawan saya yang bergerak di bidang bisnis. Bagi dia itu yang menjadi perhatian utama adalah targetnya. Kalau memulai suatu tujuan, dia jalan saja tanpa banyak teori. Kemudian arah jalannya akan disesuaikan dengan targetnya. Berbeda lagi dengan pemerintah. Dalam bekerja, pemerintah akan melihat ke kiri dan ke kanan. Dia akan membuat suatu outline, nanti jalannya akan seperti apa, targetnya seperti apa. Belum tentu jalan yang ditempuh itu hal-hal yang baik, akhirnya juga belum tentu hal-hal yang baik. Tapi karena memang sudah aturannya begitu, itulah jalan yang mereka coba. Tidak jarang mereka mendengarkan pendapat akademikus dan pendapat pebisnis. Tapi orang pemerintahan akan membuat jalan sendiri. Yang agak sulit adalah menyatukan antara orang bisnis dengan akademikus. Dan ini hanya bisa diatasi dengan menciptakan suatu jembatan. Seorang akademikus, ketika berkiprah di pemerintahan, terkadang masih terpengaruh oleh sikap lamanya. Misalnya, kalau dia sudah yakin dengan jalannya, dia tidak mau belok lagi. Tapi ada juga orang yang bisa menjembatani komunikasi antara periset dengan pebisnis, karena dia bisa membuat jalan penghubungnya. Dia adalah orang yang tahu hubungan antara keduanya. Jalan yang ditempuhnya tidak lurus, agak bengkok, tapi sinambung dari awal sampai ke

akhir. Mengenai kemampuan teknologi kami, untuk membuat laras senjata saja bisa menghabiskan waktu empat tahun. Itu sampai berganti-ganti orang. Kami ini kalau mau mencari orang yang tahu teknologi pembuatan senjata, tidak tahu ke mana sekolahnya. Akhirnya kami terpaksa mencoba belajar sendiri, trial and error. Kami tidak tahu ke mana sekolahnya. Ada sekolah yang sesuai, di Inggris dan Belgia. Tapi tidak semua orang boleh masuk. Kebanyakan tentara kita berangkat ke luar negeri untuk belajar tentang penggunaan alat, bukan pembuatan alat. Maka kami harus mencari orang yang agak 'menyimpang' sedikit dari yang lain. Saat ini kami juga mengirim orang untuk belajar dan menjadi ahli propelan bahan peledak. KK: Propelan dari bahan padat atau cair? BS: Bahan padat. KK: Saya mau membuat komponen seperti itu, tapi dari bahan cair, untuk roket. BS: Kalau dari bahan cair yang diperlukan bukan ahli bahan peledak, tapi ahli metalurgi. KK: Bahan yang dibutuhkan itu kerosen dan oksigen cair, kan? Saya membuatnya di Narogong. Sudah saya pertemukan Pak Budi Sadewo dengan Pak Said Jenie. LAPAN sudah menandatangani perjanjian bahwa mereka tidak akan main ke sektor itu. Kami akan membuat model ketapel.

Yang namanya flight dynamic dan propelan, mekanika dan booster-nya kan sama semua. Biar saja LAPAN yang membuat, lalu dikembangkan oleh BPPT. BS: Kalau yang terbuat dari bahan cair sejak zaman Perang Dunia II memang sudah ada ahlinya. KK: Saya akan menyewa tenaga ahli dari mana saja, yang sudah purna-bakti, seperti dari Cina dan Rusia. ~0~ BS: Upaya pembuatan senjata di Indonesia pertama kali dimulai di era 1950-an. Ketua timnya waktu itu Jendral Ahmad Yani. Mulai saat itu ada banyak kontrak-kontrak yang diberi nama Koya, singkatan dari Komisi Yani. Pabrik senjata Pindad itu sendiri diresmikan pada bulan Mei, tahun 1965, beberapa bulan sebelum Jendral Ahmad Yani meningal. Kita mendapatkan lisensi dari Jerman dan Italia, sehingga banyak terlibat tenaga ahli dari kedua negara itu. Pada era 1970-an, Amerika Serikat tahu bahwa Indonesia mempunyai kemampuan teknologi itu. Karena itu mereka memberikan bantuan senjatasenjata bekas yang pernah digunakan di masa perang Vietnam, dengan tujuan agar Indonesia tidak membuat senjata lagi. Hal yang sama dilakukan Amerika Serikat ke Israel. Amerika Serikat sering memberi senjata gratis ke Israel agar mereka tidak maju dalam persenjataan. Banyak negara memberi bantuan bukan untuk

dikembangkan, melainkan mejadi 'kerangkeng.' Praktik seperti itu membuat kita tidak berkembang. Di sekitar tahun 1982-83 baru kami mulai lagi berkeinginan membuat senjata. TNI yang merintisnya dengan mengambil lisensi dari Belgia. Mengapa mengambil dari Belgia? Karena di saat pemilihan senjata, antara M16 dari AS dan G33 dari Jerman, ternyata AS membolehkan kita membeli senjata apa saja, asal bukan frame-nya. Jadi, kalau kami mau membuat 10.000 pucuk senjata, kami diberi 10.000 frame juga. Sedangkan oleh Jerman, kami dibolehkan beli semuanya kecuali komponen penahan peluru di dalamnya, yang patennya dia pegang. Kalau kami terikat kontrak dengan AS dalam pembuatan senjata, begitu kontrak selesai maka semua peralatan harus dihancurkan. Ini juga dialami oleh Singapura waktu mereka membuat M16, di mana semua peralatannya harus dihancurkan begitu selesai kontrak. Akhirnya kami pilih FNC dengan lisensi dari Belgia. Ini bukan yang terbaik. Tapi negara itu membebaskan semuanya. Sayangnya saat itu FNC masih ‘bayi, bahkan tentara Belgia pun belum memakainya. Jadi, tentara Indonesia dijadikan tentara 'percobaan'-nya. Baru kemudian mulai tahun 1995 kami mencoba memecahkan masalahmasalah yang ada. Saat itu masih banyak orang FNC di Bandung. Tapi pada perioda 1998-96, Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan

keuangan. Saya pertama kali masuk ke Pindad saat itu atas perintah Pak Habibie. Dia bilang, "Kamu urus Pindad, tapi tak ada uang untuk Pindad." Itu pada akhir tahun 1995. Untungnya saat itu bukan tahun 1998, jadi kami masih memiliki waktu sebelum terjadinya krisis moneter. Karena tidak ada uang untuk menyewa tenaga dari luar, kami mulai belajar membuat dan memperbaiki senjata sendiri. Itu sekitar tahun 2002-2003. Dan satu lagi yang menjadi titik tolak yang baik bagi industri senjata dalam negeri, adalah pemberlakuan embargo dari AS. Begitu diembargo, langsung kami menjadi kreatif untuk membuat senjata sendiri. KK: Mulai tahun berapa embargo berlaku? BS:1999, saat kasus Timor-Timur. Pembuatan senjata kami lakukan berdasarkan pesanan dari TNI. Yang kami buat atas kemauan kami sendiri hanya prototipe, yang jumlahnya bisa 10 sampai 100. Saya pernah membuat senjata sampai 100 buah, lalu yang jelek dibuang lagi. Pembuatan senjata untuk tentara itu harus memenuhi sebuah syarat. Kalau orang membuat 20 senjata, lalu dibongkar dan dirakit kembali, harus jadi 20 senjata lagi. Tapi kalau kami masih hand-made. Kalau 20 dibongkar, saat dipasang lagi hanya 2 atau 3 saja yang jadi. Untuk sampai ke tahap itu prosesnya butuh waktu. Itu berlaku untuk setiap jenis senjata. Dan semuanya tidak bisa dijual. Mungkin hanya dipakai sendiri. Produk

senjata lebih banyak kami jual secara politik, seperti melalui hubungan pemerintah-kepemerintah. Ini berbeda dengan peluru, yang lebih seperti komoditas, seperti beras. KK: Ya, seperti peluru di Amerika Latin yang kemarin dipakai, ternyata buatan Pindad! Waktu itu kelompok separatis Kolombia dilacak, dan diketahui pelurunya buatan Pindad. BS: Itu mereka beli dari Ekuador atau Peru. Kedua negara ini membeli dari Pindad. Keduanya berperang waktu itu. Begitu peluru tersisa, dijual lagi ke Kolumbia. Kami punya semua catatan transaksi jual-beli itu. Ekspor kami tidak banyak, hanya sekitar 20 %. Kalau senjata, lebih banyak ke negara tetangga. Tapi semua negara besar selalu punya pabrik senjata sendiri. Malaysia, bahkan Singapura yang ‘kecil’ itu saja punya, Thailand juga. Burma justru yang paling mandiri dari semua negara ASEAN, karena dia diembargo. Kalau kita lihat negara yang dikekang seperti Burma, Iran dan Afrika Selatan, justru maju di bidang senjata. Iran kini sudah punya pesawat tempur sendiri. AS sempat terkejut. Sebab pesawat F14 yang diembargo AS sejak jatuhnya Syah Iran ternyata masih bisa terbang, karena mereka mampu membuat suku cadang sendiri. Kita baru diembargo sebentar saja sudah tidak bisa menerbangkan F16. KK: Iran memang luar biasa. Menurut berita, yang dipakai Libanon untuk membalas serangan

Israel, roketnya buatan Iran. BS: Yang menembak kapalnya Israel juga buatan Iran, tapi dibeli dari Cina. Mereka mampu membuat sendiri semuanya. KK: Embargo pandai, ya!

benar-benar

membuat

orang

BS: Kalau kita lihat sejarahnya, Iran itu baru sekali diembargo. Indonesia sudah sering. Tahun 1950-an kita bergantung pada negara-negara Barat. Tahun 1960-an pindah ke Rusia. Tahun 1970-an ke Barat lagi. Tahun 1990-an kita cari 'pasar gelap.' Tapi kita tidak pernah merasa kalau kita itu diembargo. Kini kami ada kebijakan bahwa sebaiknya senjata dan bahan senjata, selama masih bisa dibuat di dalam negeri, ya kami buat sendiri. KK: Presiden SBY pernah menyampaikan dalam sebuah pidato, bahwa beliau melarang pembelian produk senjata impor menggunakan dana APBN, apabila masih bisa diproduksi di dalam negeri. Itu pidato beliau di IPTN dan di Pindad. BS: Untuk pengembangan rudal, saya punya prinsip yang berbeda dengan Pak Habibie. Beliau berprinsip bahwa kita berawal dari akhir. Secara politik itu betul. Tapi untuk membuat sesuatu yang mendasar, kita menjadi tidak independen dengan pendekatan seperti itu. Apalagi kalau membuat senjata, kami harus membuat sendiri dasarnya. Kalau untuk pesawat, mungkin bisa kita membeli mesinnya dari AS. Namun kalau tidak diberi

mesinnya, kita jadi tidak bisa membuat apa-apa. Untuk senjata tidak bisa seperti itu. Untuk rudal, misalnya, kami tidak bisa membeli bahan dari mana-mana, lalu membuat sendiri. Kalau bahannya tidak ada, maka kami tidak bisa membuat sendiri lagi. Jadi, yang pertama-tama kita harus siapkan adalah orangnya. Seperti ketika membuat peluru kendali, tiga tahun yang lalu, seluruh staf saya tidak ada yang tahu cara pembuatan peluru kendali. Sampai akhirnya saya meminta peluru kendali dari TNI yang tidak dipakai. Saya harus menandatangani perjanjian bahwa kalau peluru itu meledak, harus bertanggungjawab. Dan ketika peluru itu datang, kami bingung. Kami bingung bagaimana membongkarnya, mana bagian depannya, mana belakangnya. Kalau salah kan bisa meledak. Setelah sukses, kami baru mengerti apa saja komponennya, dan mulai belajar membuat satu per satu. Saya sekarang bekerja sama dengan beberapa universitas untuk membuat komponen bahan peledak. Misalnya reaktornya satu gram, lalu kami coba membuat sendiri campuran kimianya, agar tidak perlu mencari dari luar lagi. KK: Kalau di kepolisian bagaimana? BS: Kalau kepolisian itu tidak banyak memakai peralatan, juga senjata dan peluru. Peralatan yang mereka perlukan bukan tank atau panser perang. Untuk peralatan lain mereka sering tenderkan,

seperti water cannon untuk dalam negeri. Walau kami kalah tender, tapi sudah bagus bahwa mereka ada kesadaran untuk memilih buatan dalam negeri. KK: Untuk pesawat tempur kita masih impor. Tahun ini kita sudah membeli perlengkapannya. Sukhoi juga. Jadi, bukan lagi pesawat terbang, tapi sudah menjadi pesawat tempur. Selama ini kan pesawat Sukhoi kita masih merupakan pesawat terbang 'termahal' sedunia. Saat ini kita punya 12 Hercules yang bisa terbang semua. Kemarin ada 2 yang saya konversikan untuk pembuatan hujan buatan. Untuk tahun 2007 saya akan buat water bomb. Saya minta 1 water container dari Ciracas untuk air. Ternyata mahal sekali. 400.000 rupiah itu untuk menjatuhkan air 40 ton. Hanya sekali pakai lalu pecah. Saya mau buat tank yang bisa dibuka sekaligus, tapi harus dibuat agar bisa terbang pada ketinggian yang rendah, dengan pergeseran central gravity. Sebab kalau pakai hujan buatan, kita jadi sangat bergantung pada cuaca. Kalau water bomb tidak. Atau ada pesawat yang bisa menerbangkan 10 ton sekali terbang. Karena kalau kita beli dari Rusia, sekitar 5 juta dolar AS lebih mahal dari Sukhoi kosong. Yang buatan Rusia ini bisa membawa air 40 ton tanpa pendaratan. Cukup men-scoop lalu terbang lagi. BS: Ada beberapa yang memakai helikopter?

KK: Itu yang jenis water bucket. Ya, kita juga pakai itu kemarin, tapi kecil-kecil. Ada yang hanya bisa menampung 350 liter dan 1 ton. Sedangkan yang Puma, kemahalan biayanya kalau hanya untuk menampung air. BS: Hercules kita sudah tua-tua, ya? Waktu kasus Aceh, hanya empat buah yang bisa terbang. KK: Sekarang terbangkan lagi!

12

buah

sudah

bisa

kita

BS: Pesawat Hercules kita usianya sudah lebih tua dari pilotnya. Maka pilotnya harus berbaik-baik dengan pesawatnya. KK: Tapi sampai sekarang masih dirawat terus. Itu pesawat angkut yang paling sukses. Kita punya sampai seri 138. BS: Di AS juga masih pakai pesawat jenis B52 yang walau usianya sudah tua, tapi masih dipakai terus. KK: Pihak kepolisian sudah mau pesan water cannon ke Pindad? BS: Ya, baru tendernya saja. Kalau dipikir, lebih baik kita ikut tender di luar negeri ketimbang di dalam negeri. KK: Memang prosedur itu harus dibenahi lebih dulu. Prosedur yang ada saat ini memungkinkan kita itu lebih mudah ikut tender dengan pihak asing. Lalu setelah mereka menang, baru kita ambil dari pihak asing. Kalau kita kontrak langsung

dengan sesama instansi negara, per tanggal 20 Desember administrasi sudah harus beres semua. Sementara kalau deal dengan perusahaan asing, asal 20 Desember LC sudah dibuka, maka beres. Barang bisa dikirimkan tahun depan. Jadi, aturan ini yang harus diubah lebih dulu. Sampai-sampai tentara kita mengimpor senjata dari Singapura, padahal senjatanya buatan Bandung. BS: Sebenarnya bukan salah tentaranya. KK: Ya, aturannya yang harus diubah. Jadi kita belum boleh melakukan kontrak melebihi tahun anggaran. Setiap tutup buku, harus dibereskan semua. Ini juga berlaku di DPR, karena setiap anggaran bergantung pada ketentuan-ketentuan yang masa berlakunya setahun. BS: Jadi, lebih baik kita buat perusahaan di luar negeri. KK: Jadi di sektor pertahanan dan keamanan itu, selain terdapat masalah teknologis, tampaknya juga terdapat masalah ekonomik. Ini adalah isu yang fundamental: bagaimana di negara ini kita bisa menyelaraskan nalar teknologi dan nalar ekonomi.

Perbedaan Paradigma Ilmu Dialog dengan Irwan Hidayat (IH) Pelaku di Bidang Kesehatan Presiden Direktur PT. Jamu Sido Muncul

Topik: • Posisi obat tradisional • Antara iptek modern dan tradisional • Kepranataan pengobatan tradisional

KK: Pak Irwan itu bergulat untuk mendobrak 'tembok' persepsi, bahwa jamu itu tidak bisa memasyarakat. Dalam dunia pengobatan nasional posisi jamu terpinggirkan oleh serbuan obatobatan Barat (Western medicine), mulai dari dokter, farmasi, sampai kelembagaannya. Produkproduk Sido Muncul awalnya bergerak di pinggiran, di 'papan bawah,' dan sekarang sudah menjadi salah satu produk kesehatan unggulan. IH: Ah, pernyataan Pak Kus ini hanya untuk menyenangkan saya saja, biar saya "terlena," seperti judul lagunya Ikke Nurjanah ... (ha ha ha). Kuku Bima ini perluasan merek saja, sebab kalau saya membangun merek baru akan menjadi mahal. Saya tidak akan bisa bertahan. KK: Karena Kuku Bima-nya sudah ada yang dalam bentuk jamu, lalu dibuat versi instan.

Inovasi yang menarik perhatian itu mungkin bukan Kuku Bima, tapi Vitamin C 1000 dalam bentuk saset. IH: Vitamin 1000 miligram sengaja dibuat berbentuk saset. Produk yang sudah ada berbentuk tablet. Kemarin beritanya keluar di surat kabar. Mereka bilang, vitamin 1000 hanya dikemas dalam bentuk botol, bukan saset. Saya segera menulis untuk meluruskan, bahwa Sido Muncul C 1000 dibuat dalam bentuk bubuk, dan dikemas dalam saset supaya terlindung dari ultraviolet. Produk ini dibuat dalam bentuk bubuk supaya kadar vitamin C-nya lebih stabil. Saya bilang ini diproduksi oleh industri farmasi PT. Sido Muncul, Semarang. KK: Kalau ini sih tidak ada lawannya. IH: Kalau ini murah harganya. Dan orang kan minum vitamin C hanya sekali dalam sehari. Harapan saya, orang lebih rasional. Biar kaya, tetap rasional. Justru makin kaya orang makin rasional. Lalu, apakah Tolak Angin benar-benar bisa menolak angin? Saya tidak mau jawab begitu saja. Kami lakukan uji toksisitas dulu, seperti yang lazim dilakukan di dunia kedokteran. Terus kami lakukan uji khasiatnya. Kami melibatkan para periset dari Universitas Diponegoro, ahli imunologi. Hasilnya, kalau orang sehat mulai masuk angin, limfositnya turun. Kalau minum Tolak Angin, dari kadar 48 naik menjadi 70. Dari 50-40 responden 70 persen mengalami

kenaikan dengan baik. Minggu ke dua dia masih naik, sampai minggu ke tiga dan ke empat. Terus diikuti apakah limfositnya yang ada PH1, PH2, dan seterusnya. Nah, kalau dari satu dan dua, serta satu dan tiga tidak seimbang, itu orang alergi. Makanya sekarang saya melihat, kalau orang tua banyak yang menderita kanker, alergi, dan beberapa penyakit seperti rematik, minimal dengan minum produk ini akan menyeimbangkan PH1 dan PH2. Seperti yang dikenal di Cina itu, prinsip yin-yang. Kami tidak tahu seperti apa mekanisme yin-yang itu. ~0~ KK: Pertanyaannya, bagaimana kita memposisikan jamu sebagai 'tuan rumah,' dengan cara fortifikasi terhadap pasar domestik? Dari sejak awal kan jamu sudah ada di masyarakat kita. Tapi mengapa dengan mulai datangnya sistem pengobatan Barat, mulai dari orangnya, keahliannya, teknologinya, kapitalnya, sampai produk-produk obatnya, jamu ini menjadi termarjinalkan. Fakta yang terakhir memperlihatkan bahwa dari nilai pasar total untuk obat-obatan, jamu memegang tidak lebih dari 15%. Sisanya yang 85% didominasi obat-obatan Barat yang notabene nilai ekonomiknya akan ke luar lagi. Memang asalnya dari luar semua, baik bahan bakunya, ahlinya, teknologinya, maupun kapitalnya. Nah, bagaimana caranya mengembalikan jamu ke posisinya semula di pasar domestik?

IH: Awalnya dulu semua pengobatan menggunakan bahan alami. Obat itu sendiri kan asalnya dari jamu, dari bahan alami dengan komposisi yang sederhana. Misalnya, teh itu mengandung tamin, kafein, dan lain-lain. Lalu orang mengisolasi kafein dari tamin, sebab dipikir akan lebih bagus efeknya. Karena ada tamin, kafein tidak bekerja dan menjadi netral. Tapi begitu tamin dihilangkan, tinggal kafein saja, dia bisa memacu detak jantung. Ini efeknya bagus. Tapi waktu itu diproduksi, dirasa kemahalan biayanya. Maka dicari tiruannya dari bahan-bahan kimia murni. Itu dulu begitu awalnya. Nah, waktu ditemukan penisilin, parasetamol, aspirin, industri obat alami menjadi terpinggirkan karena telah ditemukan obat tiruan dari bahan kimia murni. Kalau sakit, efek obat sintetis ini langsung terasa. Misalnya, bakteri langsung dibunuh dengan penisilin. Jamu atau obat alami itu langsung ditinggalkan orang. Tapi lama-lama orang juga sadar, dan mulai mempersoalkan apakah vaksinasi itu benar. Apakah kalau orang itu sakit karena bakteri, lalu bakteri ini langsung dibunuh, apakah penyembuhan seperti ini benar? Itu menjadi pertanyaan-pertanyaan besar di dunia medis. Tubuh itu kan sebenarnya mekanismenya begini. Kalau dia luka dia memproduksi kortison. Kalau kemasukan bakteri, antibodinya dipacu tumbuh. Masalahnya orang tidak punya cukup waktu untuk itu. Sakit hari ini, besok mau

bepergian. Jadi dikasih antibiotik dulu hari ini, agar besok bisa kerja. Dalam situasi seperti itu pengobatan modern terlihat lebih menarik dibandingkan jamu. Tapi sekarang orang sadar bahwa orang bisa hidup sehat dari nutrisi dan gaya hidup. Kalau nutrisinya baik dan gaya hidupnya baik, diperkirakan standar kesehatannya akan jauh lebih baik. Makanya, di seluruh dunia, di negara mana pun, industri jamu memang kalah dengan industri obat modern. Hanya saja saat ini, ketika negara-negara lain sedang berlomba-lomba untuk memajukan industri jamu dan pengobatan alamiah, negara kita masih belum bergerak. Ini masalah pokoknya. Mengapa? Karena pemahaman ilmu kedokteran semuanya berasal dari luar sana. Dan kedokteran di Barat itulah yang akan mulai memasukkan obatobat alami itu ke pasar domestik kita. Pasti itu! Jadi, riset obat-obat alamiah dimulai di dunia Barat dulu, lalu masuk ke sini. Kita mesti keluar dari belenggu kebiasaan seperti itu. Cina dan India sudah berhasil. Makin banyak orang yang berobat ke sana. Dan kalau kita tidak berani melakukan sesuatu, dalam bidang pengobatan apa saja, menurut saya kita tidak akan bisa membangun bukti. Pembuktiannya tidak akan didapat. Justru orang lain yang temukan. Cina dan India berhasil karena mereka berani keluar dari paradigma-paradigma Barat yang dominan di dunia farmasi. Kita mesti berani melangkah, tentunya disesuaikan dengan kondisi dan situasi

masyarakat kita. Diperlukan peraturan mendukung langkah-langkah seperti ini.

yang

KK: Peraturannya seperti apa, Pak? Ketentuan WTO (World Trade Organization) kita sudah tandatangani ... . IH: Kalau yang sederhana kan begini. Kalau misalnya obat itu harus diuji secara klinis, peraturan uji klinisnya kan ada fase 1, fase 2, fase 3, fase 4. Padahal sebenarnya pengujian klinis itu kan terdiri dari dua sistem: naturopati dan alopati. Yang ke dua, menurut saya, sistem riset itu juga harus disesuaikan. Jadi, misalnya, obat itu harus dikaji sampai sedemikian rupa, dan didaftarkan dulu ke mahkamah etik kedokteran. Peraturannya seperti itu. Kemudian dipublikasikan. Lalu dilihat apakah ada klaim atau tidak dari masyarakat. Setiap obat yang kita makan membebani metabolisme. Yang penting adalah mencari dosis yang paling tepat untuk menstimulasi. Konsepnya, dicari dosis yang tepat sebagai stimulator. Kalau itu sudah ditemukan, kemudian kita lakukan uji khasiat. Khasiatnya untuk apa? Misalnya, untuk menambah darah. Kita uji, naik atau tidaknya kadar darah merah atau hemoglobin (Hb). Lalu kalau kita mengiklankan obat itu, kita daftarkan dulu ke badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan). Tanaman Indonesia seperti meniran itu luar biasa khasiatnya. Segala sumber penyakit itu asalnya karena berkurangnya kekebalan tubuh.

Kalau yang saya lihat, penyakit seperti kanker itu sumbernya sistem kekebalan tubuh. Kemudian alergi, terusannya asma. Ini alergi yang terjadi di daerah pernapasan, lalu kontraksi. Jadi kan sumbernya harus diketahui dulu. Risetnya juga harus disesuaikan. Dalam hal ini dibutuhkan mitra. Sekarang ini sekitar ada 100.000 pengobat yang tidak terstandarkan. Ada yang mengaku sebagai pengobat, tapi sebenarnya tidak berkompeten. Tapi kan tidak bisa dilarang, karena tidak ada standarnya. Ada yang mengaku ahli tifus, ahli penyakit kronis, ahli mengobati wasir tanpa operasi, tanpa disuntik atau apa pun. Jadi, jalan keluarnya mereka itu dibina dulu. Lalu diberi nama bukan pengobat, tapi herbalis, yang merekomendasikan obat-obat alami. Yang diajarkan pada mereka apa? Yang diajarkan adalah bagaimana mendiagnosis penyakit, mengenali simptom, membaca laporan darah, dan juga pendekatannya apakah dipijat, diberi obat, dan lain-lain. Misalnya, kanker itu salah satu gejalanya adalah tubuh mengeluarkan darah atau cairan, karena luka. Kalau diketahui gejalanya, bisa direkomendasikan untuk pergi ke spesialis kanker. Kalau sekarang kan tidak begitu. Yang tifus didiagnosis hepatitis. Atau sebaliknya. Yang kanker dibilang bisa diobati. Banyak pasien yang menjadi korban yang bungkam (silent victim). Kebanyakan mereka orang miskin yang bersikap nrimo. Ongkosnya saja untuk melapor mereka tidak

punya. Dia sudah tidak mampu membayar untuk melakukan delik pengaduan. Dalam situasi seperti itu menurut saya pemerintah perlu mengambil suatu langkah. Mengapa? Pertama, tren di dunia ini menunjukkan bahwa obat-obat alami ini memang obat-obat yang makin banyak digunakan, karena bisa menjadi pendukung, dan bisa untuk pengobatan sendiri. Misalnya, seseorang terkena diabetes, dia minum obat-obat Barat. Tapi dari riset yang kami lakukan, itu dihilangkan separuh. Dengan diberi jamu, ada efeknya. Berarti kan mengurangi lebih jauh lagi. Di Cina, obat-obat tradisional diakui secara klinis. Di rumah sakit disediakan obat-obat Barat dan obatobat tradisional. KK: Di Cina sendiri, bagaimana sih hubungan antara pengobatan Barat dan Timur? IH: Dikembangkan keduanya secara bersamaan, Pak. Jadi, ada dokter Timur, ada dokter Barat. Duaduanya diakui. Asuransi juga berlaku untuk keduanya. Di India sudah mulai seperti itu. Di Seattle, Amerika Serikat, juga dikembangkan naturopati. Indonesia kan memiliki banyak industri jamu dan pengobat tradisional. Mereka ini ada juga yang baik, yang mestinya menjadi target pembinaan oleh pemerintah. Yang belum berhasil juga perlu dikembangkan, agar tidak merugikan masyarakat lebih jauh. Kalau yang dikembangkan hanya pengobatan Barat, ya, yang menikmati dunia Barat lagi.

Ketika membuat Vitamin C 1000 ini, saya harus terlebih dulu membeli paten ke orang Jepang. Setiap paten, lisensi, kita mesti bayar. Sekarang kita berpikir untuk keluar dari perangkapperangkap seperti ini. Sebagai upaya bekerja sama dengan ilmuwan, Sido Muncul melakukan uji toksisitas dengan melibatkan para periset dari Universitas Sanatha Darma. Kemudian untuk Tolak Angin, uji khasiatnya dilakukan dengan melibatkan Lembaga riset Bioteknologi di Universitas Diponegoro. Pengakuan itu ada dua jalur. Di dunia kedokteran kita harus mematuhi tata krama dunia kedokteran. Tapi di luar dunia kedokteran, ada tata karma yang lain, yaitu sebagai obat bebas. Yang saya lakukan adalah menempuh jalur yang kiri, sebab yang satu juga tidak mau mengakui. Misalnya, dokter memberi resep Sido Muncul, tentu pasien akan bertanya-tanya, apakah dokternya tidak keliru memberikan resep. Kemarin saya ajak 200 dokter ke Semarang. Saya tunjukkan pusat produksi kami, bagaimana kami membuat uji toksisitas, dan bagaimana pengolahan bahan supaya produknya juga terstandarkan. Saya lebih bangga dengan cara-cara seperti ini, daripada berkutat di jalur kedokteran. Tapi saya juga banyak bicara di perguruan tinggi, seperti Universitas Diponegoro, dan masuk ke publikasi seperti "Man's Obsession." Jadi, itu hal yang harus dilakukan oleh pengusaha, dan itu sudah saya lakukan.

Memang ada riset tentang kencing manis, yang kalau dikombinasikan dengan jamu bisa lebih baik pengobatannya. Tapi kalau itu saya komunikasikan lewat iklan, itu terlalu mahal. Kalau saya masuk lewat kedokteran, tidak ada jaringan. Maka harus ada jalur tengah, yakni para pengobat tradisional yang dibina itu. Ini supaya masyarakat perjamuan juga bisa menikmati kemajuan Indonesia. Kalau tidak, mereka hanya jadi penonton. Padahal mereka selama bertahun-tahun sudah berupaya mengembangkan. Berpuluh-puluh tahun, mulai dari tahun 1825, ketika pabrik jamu paling tua didirikan. Itu 27 tahun sebelum Fakultas Kedokteran Jawa didirikan. Bagi saya, yang penting produk itu aman, berkhasiat, ada sertifikasinya yang didapatkan dari riset, kemudian masyarakat percaya dan mau mencoba. Buat saya itu sudah cukup. Bagi saya yang meresahkan adalah para silent victim, korban-korban yang bungkam saja. Saya punya pengalaman, ini tentang pembantu saya. Dia bilang, "Pak Irwan saya mau pulang." "Kenapa?" "Ini saya mau ke dukun, ada ahli tifus." Padahal sakitnya hanya tenggorokan, infeksi. Dia bilang mau ke ahli tifus. Banyak orang juga pergi ke tempat-tempat yang salah tapi dibiarkan saja. Artinya, ini karena mereka tidak punya uang. Sebenarnya penyakitnya bisa disembuhkan. Misalnya, cacingan itu kan gejalanya kelihatan. Misalnya dia punya hepatitis. Sebenarnya penyakit ringan. Tapi karena tidak mampu membiayai

pengobatan, dan tidak bisa ke dokter, akhirnya penyakitnya menjadi serius. Pengobat itu juga tidak punya standar. Harusnya mereka dibina, dan diganti namanya jadi herbalis. Mengapa? Pertama, itu akan menyelamatkan banyak orang. Ke dua, industri jamu ini bisa punya mitra. Sesuai dengan globalisasi, harus dibuat aturan yang kompetitif. SY: Kalau tidak salah, Departemen Kesehatan sudah punya lembaga yang membina para pengobat tradisional. Dananya dari pemerintah. Yang menjadi persoalan itu di sisi kelembagaannya. Kelembagaan pengobatan tradisional itu tidak selengkap dan sekuat kelembagaan pengobatan Barat. Dalam pengobatan Barat terdapat fakultas kedokteran, rumah sakit, badan asuransi, perusahaan obat, asosiasi dokter, lembaga perlindungan konsumen, dan juga mahasiswa-mahasiswa. Ini membuat siklus pengetahuan itu utuh dan lengkap. Dalam kasus pengobatan tradisional, kelembagaannya sangat kurang unsur-unsurnya. IH: Ya, otomatis tidak ada. Justru karena tidak berkembang pengetahuannya itu kita mesti masuk ke situ. Ini supaya orang tidak menjadi korban. Ada ratusan ribu orang yang mengaku bisa melakukan pengobatan. Tapi standarnya apa? Fakultas kedokteran Jawa yang pertama itu yang mendirikan bukan pemerintah, tapi Belanda. Dokter pertamanya Cipto Mangunkusumo dan

Wahidin Sudirohusodo. Dan menurut saya, yang membina semestinya Pemerintah. Kalau kita mau, para pengobat tradisional itu dilatih dengan kursus singkat dan kursus lanjutan. Yang diajarkan adalah bagaimana mendiagnosis penyakit, dan menentukan apa saja obatnya. Meskipun dia tidak bisa melakukan pengobatan, minimal dia tahu, daripada tidak tahu sama sekali. Misalnya dia tahu A, B, C, D, sedangkan dokter tahu sampai Z. Nanti ada perkembangan di mana mereka membuat perkumpulan khusus untuk penyakit tertentu. Sama dengan yang terjadi di kedokteran, dulu semuanya dokter umum. Lamakelamaan tercipta spesialis-spesialis, karena ada permintaannya. Hal yang sama akan terjadi pada para pengobat tradisional itu. Mereka akan bekerja sama dengan industri-industri jamu yang kecilkecil.

Peran Badan Intermediasi Dialog dengan Boenjamin Setiawan (BjS) Pelaku di Bidang Kesehatan Komisaris Utama PT. Kalbe Farma Tbk.

Topik: • Intermediasi dalam komersialisasi riset • Iptek modern dan tradisional • Komunikasi perisetpebisnis

KK: Kalau kita menengok ke luar negeri, katakanlah Amerika Serikat, kebijakan publik di sana sudah mampu menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan aktivitas filantropis. Lingkungan ini ditumbuhkan melalui insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Contoh untuk yang non-fiskal, perusahaan mana pun yang mendonasikan sejumlah dana ke sektor pendidikan, dana itu bisa diperhitungkan sebagian, atau bahkan seluruhnya, sebagai pajak. Begitu, kan. Nah, situasi seperti itu yang kita perlukan, Pak. BjS: Ini kami baru merintis, bersama-sama dengan berbagai pihak, untuk mendirikan pusat studi stem cell, Pak. KK: Stem cell merupakan isu yang kontroversial.

Stem cell itu inti dari sel kita, cikal bakal dari sel kita. Sel kita kan bertambah umur, dan ikut menjadi tua. Tapi kita punya stem cell yang masih asli, yaitu dari ari-ari waktu kita dilahirkan. Kalau itu bisa diambil dan disimpan kembali ke tubuh kita, maka dia akan mengalami peremajaan. Itu gagasannya. Mengapa saya bilang kontroversial? Yang menjadi perdebatan, stem cell ini datang dari mana nanti? Kalau datang dari saya sendiri, katakanlah dari ari-ari saya yang masih dalam freezer, maka dia masih bisa dipakai. Tidak ada isu etika di sini. Tapi kalau stem cell itu diambil dari seorang bayi, lalu dimasukkan ke tubuh saya, itu kan punya orang lain. Bagaimana kemudian kode etiknya? Oleh karena itu, di beberapa negara berkembang terjadi pro dan kontra terhadap stem cell. BjS: Tapi kalau stem cell, sebagian besar sudah dibolehkan. Hanya embrionic stem cell yang berasal dari embrio. ~0~ Kembali ke masalah kebijakan publik tadi, saya punya kumpulan macam-macam dokumen kebijakan riset seperti di Malaysia dan Thailand, mencakup kebijakan insentif pajak, begitu Pak. Berbicara tentang kerja sama universitas dan industri, saya melihat mindset-nya, budayanya, itu keduanya berbeda. Universitas biasanya diurus oleh pemerintah. Kalau industri kan selalu berusaha hidup dari keuntungan. Kesannya hanya

mencari keuntungan saja. Kalau dari industri, riset universitas terkesan terlalu teoretis. Jadi masih ada persepsi-persepsi yang keliru. Ini di seluruh dunia begitu, Pak. Di Australia, mereka membangun Cooperative Research Center, atau CRC. Idenya dari akademisi, manajemennya dari industri. Sampai sekarang di Indonesia belum ada yang seperti itu. Kalau kita bisa membuat model begitu, saya kira akan bermanfaat sekali. Ada beberapa projek kerja sama dengan BATAN. Itu bisa diangkat menjadi CRC. KK: Justru itu yang menjadi cita-cita saya. Tadi Bapak menengok bahwa ada kesenjangan antara kehidupan akademik dan kehidupan industrial. Menurut saya, jangan dileburkan keduanya. Biar mereka tetap hidup di ranahnya masing-masing. Yang diperlukan adalah badan intermediasi. Kita harus mengembangkan badan yang sejenis CRC. Tugasnya adalah mengarahkan riset akademik pada permintaan pasar. Sebaliknya, isu-isu komersial ditengok dari sudut pandang akademik. Nah, badan seperti ini harus berupa NonGovernmental Organization, bukan milik pemerintah. Di seluruh dunia juga begitu. Coba kita lihat tumbuhnya Silicon Valley. Pemerintah setempat bekerja sama dengan universitas. Pemerintah memberi lahannya, kemudian universitas mencari entrepreneur dengan infrastruktur murah, dan kapital murah.

Datangnya dari pemerintah lokal, industri lokal, lewat program filantropis. Dalam setiap kawasan ekonomi khusus seperti itu seharusnya ada semacam CRC. Tidak akan ada industri yang bisa berkembang kalau murni industri saja, tanpa ada unsur akademik. Tapi juga jangan murni akademik. Jadi harus ada antarmuka atau interface di situ antara lembaga akademik dan industri yang berorientasi profit. Kemudian perlu ada pusat riset yang mulai memikirkan kewirausahaan social, yaitu kewirausahaan yang mengemban misi sosial. ~0~ SY: Bagaimana pandangan Bapak mengenai peluang bagi pengobatan tradisional? Ada yang melihat ini berpotensi karena berbasis sumber lokal, tapi ditolak karena tidak sesuai dengan pengobatan Barat. BjS: Saya melihat, antara pengobatan tradisional dan pengobatan Barat memang titik tolaknya berbeda. Konsep Barat selalu melihatnya basis saintifik, jadi harus melalui pengujian klinis fase ke-1, 2, 3, lalu masalah pemasarannya. Pengobatan tradisional itu kelemahannya adalah tidak ada buktinya. Semua berdasarkan studi kasus. Dulu pernah ada obat yang telah digunakan sejak tahun 1940-an, obat asma yang manjur sekali. Tapi waktu dilakukan uji klinis, tidak ada efeknya. KK: Dalam ilmu-ilmu yang Pak Boen anut, juga saya dan kawan-kawan anut, kita terikat pada

rumus: input-proses-output. Pada waktu kita bicara soal input-proses-output, kita banyak sekali melakukan penyederhanaan. Ini dilakukan untuk mengendalikan eksperimen, sehingga kalau kita beri input tertentu, dengan proses tertentu, maka output bisa diprediksi. Kalau perilaku input-ouputnya tidak seperti yang diprediksi, hasil eksperimen tidak bisa diterima. Upaya pengendalian eksperimen seperti ini bisa berlaku, karena kita sudah potong di sanasini, sehingga menjadi sederhana. Sedangkan, mungkin, pengobatan tradisional itu basisnya holistik, sehingga tidak memungkinkan penyederhanaan menjadi input-proses-output. Apakah bukan di situ perbedaannya? BjS: Kalau saya melihat sisi praktisnya saja. Kalau obat tradisional ini, jangan ditanyakan efektifnya. Yang penting masyarakat itu percaya atau tidak. KK: Albert Einstein pernah bilang, kira-kira bunyinya, bahwa penyederhanaan itu memberikan kepastian, tapi bukan kenyataan. Sedangkan kenyataan itu tidak bisa disederhanakan, dan menimbulkan ketidakpastian kalau dilihat dalam kacamata ilmiah. Artinya, dalam ketidakpastian itu sendiri terkandung banyak informasi tentang kenyataan yang kita hadapi. BjS: Saya percaya begitu. KK: Kalau fitofarmaka, itu sudah merupakan penyederhanaan dari pengobatan tradisional. Jadi,

dia yang menjadi titik temu antara dua ini, antara pengobatan Barat dan tradisional. SY: Di ITB ada riset di bidang fitofarmaka. Hanya penetrasi ke masyarakat yang dilihat sangat sulit, karena legitimasinya tidak bisa berkembang. Apakah dia legal atau tidak, masalah standarisasi, masih belum terjawab. Tapi ini potensial, karena bisa memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. KK: Di beberapa negara seperti Jerman dan Kanada, mereka punya dua jenis dokter, yaitu dokter medis dan dokter natural. MIT sudah mempunyai program master dalam bidang akupunktur. BjS: Kalau saya perkirakan, obat-obatan Barat itu total pasarnya pada tahun 2006 sekitar 2 sampai 3 triliun rupiah di Indonesia. Kalau obat tradisional sekitar 10-15 persen dari total pasar obat-obatan. Tapi itu lumayan mempengaruhi. ~0~ KK: Kita perlu lebih mengenali kekayaan alam Indonesia, sebagai potensi untuk obat. Baik preventif maupun kuratif. Selama ini kita tidak punya alat untuk mendeteksi signature dari komponen alam kita ini. Logikanya, kita punya mikroskop berukuran nano. Itu sebabnya kami paksa cari uang, untuk pengadaan magnetic resonator untuk LIPI. BjS: Kemampuan-kemampuan analitik yang ada

di Indonesia, kita belum banyak tahu. Jadi, industri perlu tahu kemampuan yang ada di Indonesia ini, supaya bisa saling memanfaatkan. KK: Kami punya Business Technology Center (BTC). BjS: Diswastakan? KK: Saya sedang mencari mitra untuk spin-off ke industri. Masih diperlukan aturan-aturan pendukung. Misalnya untuk mengatur mobilitas para pelakunya dan masalah resource sharing. BjS: Saya mau usulkan kalau Pemerintah, dalam hal ini kementerian ristek, menyediakan dana 100 miliar rupiah misalnya, lalu industri boleh mengajukan usulan projek riset yang bisa dikomersialkan. KK: Sudah dicoba, Pak, yang namanya Riset Unggulan Kemitraan (RUK). Kami juga punya Riset Unggulan Nasional, dengan 100% dana dari Pemerintah. Kalau RUK itu, Pemerintah sekian persen, swasta sekian persen. Banyak yang kurang berhasil, meski ada juga yang berhasil dengan baik. Salah satu yang berhasil adalah tentang kereta uji. Di Indonesia itu semua lintasan kereta api kan harus diuji. Satu-satunya kereta uji yang kita punya itu kita impor 100 tahun yang lalu dari Belanda. Lalu saya sampaikan ke PT. INKA, sebagai BUMN penghasil kereta api, agar mereka membuat satu buah kereta uji. Itu kami beri nama Fujika, Fasilitas Uji Dinamika Kereta Api. Ternyata kita bisa!

Isu besar yang kami hadapi, kereta uji ini bisa dioperasikan untuk keperluan PT. KAI (Kereta Api Indonesia), dengan catatan ini menjadi milik mereka. Ini masuk akal. Kepemilikannya harus dipindahkan dulu. Ini yang sedang saya pikirkan. Bagaimana uang Pemerintah lewat kementerian ristek, dan uang Pemerintah lewat PT. INKA, bisa menghasilkan sebuah aset nasional yang namanya FUJIKA? Bagaimana kepemilikan aset ini dialihkan ke PT. KAI? Banyak aturan yang yang harus dipelajari terkait dengan masalah ini. BjS: Kami sendiri masih butuh riset dan pengembangan. Misalnya tentang insulin, yang sudah lama ada. Sekarang ada produk baru, yang pemakaiannya dengan disemprotkan. Ini untuk orang yang takut disuntik. Produk itu laku, dan sudah dipatenkan. Ini salah satu contoh riset tentang drug delivery. Riset itu di mana-mana diakui sebagai sumber inovasi. Inovasi itu penting. Pemerintah Korea Selatan mendorong masyarakatnya agar menjadi lebih inovatif. Dengan inovasi akan tercipta lapangan pekerjaan, dan nilai tambah ekonomi meningkat. Tapi kita hanya bisa mengekspor sumber daya alam kita, seperti gelondongan kayu. Sumber daya alam kita itu tidak benar-benar ditingkatkan nilai ekonomiknya. Mengapa? Karena dana riset untuk pengembangannya kurang sekali! Ini yang masih terjadi sampai sekarang, sepertinya Pemerintah

kurang mendorong perubahannya. Saya pernah usulkan ke Universitas Indonesia untuk mendirikan pusat inovasi. Tapi katanya tidak boleh universitas itu mendirikan pusat inovasi.

Petikan Hikmah: Interaksi Melintas-Batas Creativity requires the courage to let go of certainties. — E ric Fromm; Ahli Psikologi

D

ialog di bagian satu ini melukiskan sebuah cuplikan, atau  fragmen, dari realitas hubungan A-B-G. Gambaran ini memang tidak mewakili keseluruhan interaksi A-B-G. Meski demikian apa-apa yang terungkap adalah faktual, dan tentunya bermakna dalam konteksnya tersendiri. Beberapa hal dapat ditarik dari  dialog tersebut, berkenaan dengan iptek dan kapabilitas inovasi.  ‘Potret’ Kapabilitas Inovasi Kita Penuturan   para   partisipan   dialog   tersebut   memberikan  ‘sinyal­sinyal’   yang   mencerminkan   kapabilitas   inovasi   kita.  Diskusi   di   sini   tidak   dimaksudkan   untuk   membuat   penilaian­ penilaian mengenai kinerja kelembagaan, ataupun kinerja dalam  pengembangan iptek. Yang ingin digarisbawahi adalah apa­apa  yang menjadi sumber permasalahan.  Kita   mulai   dengan   kemampuan   dalam   kerekayasaan.   Ini  sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan layanan publik yang  melibatkan mesin­mesin, seperti layanan listrik oleh PLN, juga  tentunya layanan bahan bakar oleh Pertamina dan layanan air  minum   oleh   PDAM,  dan  lain­lain.   Kemampuan   kerekayasaan  dibutuhkan   dalam   pengoperasian,   pemeliharaan,   keselamatan 

kerja,   termasuk   juga   perencanaan   pengembangan   untuk  meningkatkan kualitas layanan. Dalam kasus yang dialami PLN,  sebagaimana   diungkapkan   oleh   seorang   partisipan   dialog,  terdapat hambatan­hambatan dalam pengembangan kemampuan  kerekayasaan   di   bidang   kelistrikan.   Salah   satu   faktor   yang  penting   adalah   proses   pembelajaran   di   lingkungan   industri  (dalam hal ini PLN sebagai BUMN). Proses pembelajaran ini  yang masih memerlukan pengembangan. Meski konsultan asing  telah lama terlibat dalam membuat rancangan­rancangan, yang  belum intensif terjadi adalah pengembangan dari dalam, yakni  pengembangan   kemampuan   kerekayasaan   dari   perusahaan  nasional kita. Di   bidang   pertahanan,   kemampuan   kerekayasaan   dipacu  untuk tumbuh justru di waktu terjadi embargo, ketika bantuan  dari   luar   negeri   dihentikan/dikurangi.   Sebaliknya,   ketika  bantuan­bantuan   asing   dalam   persenjataan   mengalir   lancar   ke  dalam   negeri,   kita   justru   ‘terkunci­mati’   untuk   bisa  mengembangkan produk persenjataan. Salah satu penyebabnya  adalah   perjanjian­perjanjian   yang   menyertai   bantuan­bantuan  asing   tersebut,   yang   membatasi   ruang­gerak   kita   untuk  melakukan pengembangan iptek pertahanan.  Tentu saja, bidang pertahanan nasional tidak bisa dilepaskan  begitu   saja   dari   pengaruh   kepentingan   asing.   Pengembangan  iptek   pertahanan   di   sebuah   negara   dapat   menimbulkan  ‘kekhawatiran’ pada negara­negara lain. Tapi, kalau kita tengok  pengalama   AS,   Cina,   India,   Jepang,   dan   lain­lain,  pengembangan   iptek   pertahanan   merupakan   faktor   kuat  penghela perkembangan iptek. Mungkin yang perlu kita lakukan  adalah   menunjukkan   bahwa   kalau   kita   mengembangkan   iptek  pertahanan,  itu untuk tujuan pemeliharaan perdamaian. Bukan 

untuk melakukan invasi.  Di   bidang   TIK,   ketika   program   nasional   Satelit   Palapa  digulirkan,   sebenarnya   hal   ini   telah   memicu   perkembangan  kemampuan   kita   dalam   manufaktur   elektronika.   Sejumlah  perusahaan nasional berdiri, dan para akademisi berperan serta  secara aktif dan produktif. Hanya saja, program itu tampaknya  memang   tidak   ditujukan   untuk   membangun   kekuatan   industri  elektronika   nasional.   Kepentingan   politik   dari   pemerintah   di  masa itu lebih dominan menentukan arah pengembangan TIK.  Para   pelaku   swasta   nasional   tidak   distimulasi   untuk   berperan  aktif. Di periode akhir 1970­an dn awal 1980­an, kemampuan  akademisi kita di bidang elektronika sudah cukup maju. Dan di  masa   itu   masih   terbuka   peluang   untuk   membangun   kekuatan  pasar domestik, karena permintaan dalam negeri (akan telepon,  televisi   dan   komponen­komponen   pendukung   telekomunikasi)  cukup tinggi.    Saat ini, ketika pelaku TIK dari manca negara  sudah mendominasi pasar domestik, menjadi terbatas ruang bagi  pelaku nasional untuk bermain di sektor manufaktur pendukung  TIK.   Peluang   yang   tersisa   tinggal   di   sektor   layanan   jasa  operator. Dalam   industri   pangan,   peluang   untuk   melakukan  diferensiasi produk terbuka cukup lebar. Kita memiliki variasi  produk   pertanian   yang   dapat   digunakan   sebagai   bahan   baku  industri pangan. Peluang pasar juga ada, baik domestik maupun  internasional. Hanya saja, diperlukan regulasi dan insentif untuk  memacu   para   pelaku   industri   untuk   kompetitif.   Untuk   bisa  bertahan   kompetitif,   secara   umum   memang   ada   dua   langkah  yang dapat ditempuh: efisiensi dan diferensiasi produk. Efisiensi  dapat   dilakukan   dengan   cara   mencari   ‘celah­celah’   untuk  menurunkan biaya produksi. Tapi dalam pendekatan diferensiasi 

produk,   yang   menjadi   fokus   adalah   pengembangan   produk,  apakah   dengan   diferensiasi   bahan   baku,   penggunaan   proses  yang baru, atau melakukan kombinasi iptek untuk menghasilkan  produk   dengan   mutu   yang   unik.   Kalau   berhasil,   diferensiasi  produk akan menghela perkembangan iptek, dan menghasilkan  perluasan pasar.  Sedangkan   mengenai   pendekatan   efisiensi,   kalau   tidak  dilakukan   dengan  sebuah misi  jangka  panjang, ini  justru bisa  menyebabkan rendahnya kreativitas dan turunnya mutu produk.  Kalau kita tengok Cina, misalnya, efisiensi yang tinggi dicapai  perusahaan­perusahaan   swasta   Cina   setelah   pemerintah  melakukan   langkah­langkah   besar   dalam   membangun  kapabilitas   inovasi   nasional.   Dengan   perkataan   lain,   efisiensi  belum tentu mendorong proses inovasi, tapi kapabilitas inovasi  dapat menghasilkan efisiensi. Di bidang kesehatan, peluang untuk riset dan pengembangan  iptek terbuka lebar. Salah satu faktornya adalah pasar domestik  yang besar. Masyarakat selalu membutuhkan produk kesehatan  yang   lebih   baik   dan   terjangkau.   Pengobatan   tradisional  bersumberkan   bahan   baku   dan   pengetahuan   yang   berakar  lokal/tradisional.   Dalam   pengobatan   tradisional,   kerja   sama  dengan akademisi telah dirintis, melalui inisiasi pelaku bisnis.  Salah   satu   pendorongnya   adalah   kebutuhan   untuk   bersaing  dengan   pengobatan   Barat.   Pengobatan   Barat   tentu   memiliki  sumbangan   yang   signifikan   juga   dalam   memberikan   layanan  kesehatan   bagi   masyarakat.   Hanya   saja,   besarnya   komponen  impor dari produk­produk obat Barat akan membatasi peluang  kita untuk membangun kapabilitas inovasi di bidang kesehatan.  Seluruh partisipan dialog, dari sudut pandang yang berbeda, 

menyatakan bahwa para pelaku A, B dan G  bergerak di jalurnya  masing­masing. Dengan perkataan lain, terjadi divergensi dalam  arah gerak para pelaku A, B, G. Para partisipan dialog tersebut  juga menyatakan harapannya, bahwa keselarasan antara pelaku­ pelaku   A,   B,   G   dapat   dijalin   dengan   lebih   baik.   Misalnya,  keselarasan   antara   regulasi   dan   dinamika   bisnis   dipandang  sangat   penting   bagi   para   pelaku   usaha,   baik   BUMN   maupun  swasta   nasional.   Juga   dikemukakan   kesenjangan­kesenjangan  antara iptek yang dipelajari di kampus dan iptek yang digunakan  di industri;  antara perilaku para periset dan perilaku pebisnis.  Terpadunya perencanaan­perencanaan layanan publik di sektor­ sektor   yang   berbeda,   juga   merupakan   hal   yang   dipandang  penting.  Dari   apa­apa   yang   dikemukan  oleh   para   partisipan   dialog  tersebut, kita dapat lihat pentingnya regulasi bagi kinerja bisnis.  Bagi para pelaku usaha, swasta maupun BUMN, kepastian legal  dan regulasi yang responsif terhadap dinamika bisnis diperlukan  agar perencana bisnis dapat melakukan kalkulasi­kalkulasi dan  mengambil   keputusan   investasi  dengan   risiko  kegagalan   yang  kecil.   Cara­cara   yang   ditempuh   perusahaan­perusahaan   dalam  bersaing, pada gilirannya, akan menentukan apakah ada peluang  bagi   komersialisasi   hasil   riset   atau   tidak.   Kalau   perusahaan­ perusahan   menerapkan   pola  business­as­usual,   hanya   melihat  biaya   produksi   sebagai   faktor   daya   saing,   peluang   bagi   kerja  sama riset antara industri dan perguruan tinggi menjadi kecil.  Jadi,   regulasi   mempengaruhi   dinamika   persaingan,   dan   ini  berimplikasi pada peluang komersialisasi riset.  Sebaliknya, apa­apa yang dikembangkan di kampus­kampus  juga   mempengaruhi   perusahaan­perusahaan   dan   lembaga­ lembaga pemerintahan, secara langsung ataupun tidak langsung. 

Misalnya, kurikulum yang dijalankan di kampus­kampus akan  memberi bekal pengetahuan dan ketrampilan tertentu pada para  sarjana,   yang   menjadi   kompetensi   awal   ketika   mereka   di  kemudian   hari   bekerja   di   perusahaan   ataupun   lembaga  pemerintahan. Begitu juga, arah dari aktivitas riset di kampus  dan lembaga riset akan menentukan, apakah pengetahuan yang  dihasilkan   akan   relevan   atau   tidak   dengan   tantangan   yang  dihadapi perusahaan atau lembaga pemerintahan.  Jadi,  perusahaan­perusahaan,   baik   BUMN   maupun   swasta  nasional,   berpotensi   menjadi   kekuatan   penghela   riset   iptek,  kalau mereka saling bersaing melalui diferensiasi produk. Tapi  untuk ini dibutuhkan regulasi dan insentif untuk mengarahkan  persaingan dalam koridor seperti itu. Yang menjadi pembatas di  sini  adalah   para pelaku  swasta asing. Mereka jauh lebih  kuat  dalam banyak hal. Selain dukungan pemerintah mereka masing­ masing (kita tahu bahwa banyak negara mendorong perusahaan  swasta mereka untuk berekspansi ke pasar internasional), juga  didukung oleh stok iptek di perguruan­perguruan tinggi mereka.  Jadi,   perusahaan­perusahaan   swasta   asing   itu   tidak   terisolasi.  Mereka   memiliki   hubungan­hubungan   A­B­G   nasional   yang  lebih kuat. Kompetisi tidak pernah terjadi murni B lawan B. Diskusi di atas mengilustrasikan bahwa keselarasan dalam  jalinan   hubungan   A­B­G   merupakan   faktor   penting   bagi  peningkatan kapabilitas inovasi bangsa. Ini dikarenakan pelaku­ pelaku A, B dan G itu sendiri sebenarnya saling mempengaruhi.  Meski masing­masing pelaku A, B, G berada dalam ‘dunia’­nya  masing­masing,   dan   bergerak   di   arahnya   sendiri­sendiri,  kenyataannya mereka juga bisa saling membatasi/melemahkan  satu   sama   lain,   atau   juga   bisa   saling   memperkuat   dan  memperluas ruang untuk berinovasi. 

Meski terdapat perbedaan-perbedaan antara para pelaku A-B-G, perbedaan-perbedaan itu justru merupakan sumber pembelajaran yang penting. Perguruan tinggi dapat memanfaatkan pengalaman para pelaku industri untuk melihat peluang-peluang riset dan pengembangan, dan sebaliknya para pelaku industri dapat memanfaatkan proses akademik di kampus untuk pengembangan pengetahuan dan ketrampilan, dan untuk melihat hasil-hasil riset yang potensial untuk diferensiasi produk. Pemerintah memerlukan industri-industri sebagai 'mesin' untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomik, dan para pelaku usaha memerlukan dukungan pemerintah dalam menyediakan iklim persaingan usaha yang fair dan sehat. Tentang Heterogenitas Pelaku A, B, G Tapi,   bahwa   masing­masing   pelaku   A,   B,   dan   G   berada  dalam dunianya sendiri­sendiri dan bergerak di jalurnya masing­ masing, ini bukan lantas berarti bahwa antara mereka terdapat  pertentangan   kepentingan.   Kalau   kita   tengok   lebih   cermat,  perbedaan   antara   para   pelaku   A,   B   dan   G   ini   terkait   dengan  perbedaan dalam kerangka kerja praktis, yakni perbedaan dalam  orientasi, tujuan, tolok ukur kemajuan, kaidah, dan pengetahuan  praktis. Kerangka kerja praktis dari akademisi tentu berbeda dari  para birokrat, kerangka kerja praktis pelaku bisnis berbeda dari  kerangka   kerja   praktis   akademisi,   dan   seterusnya.   Boleh  dibilang bahwa, lantaran perbedaan­perbedaan ini, para pelaku  A, B, dan G itu heterogen. Dan heterogenitas ini tentu saja dapat 

menimbulkan konsekuensi­konsekuensi praktis.  Apa­apa   yang   dilihat   sebagai  peluang   oleh   pelaku   bisnis,  misalnya, belum tentu dilihat sebagai peluang yang sama oleh  pembuat regulasi. Misalnya, ketika untuk tujuan efisiensi suatu  perusahaan menggunakan bahan baku yang baru, ini bisa dilihat  sebagai   penyimpangan   terhadap   aturan   oleh   regulator.   Bagi  pengusaha,   kepastian   dan  konsistensi  legal  (seperti  dalam  hal  perburuhan   dan   perpajakan)   lebih   utama   diperbaiki,   bukan  teknologi.  Tentunya   seorang   periset   teknologi   akan   berpandangan  berbeda   mengenai   hal   ini.   Teknologi   yang   dipelajari   di  lingkungan   akademik   juga  bisa sangat  berbeda   dari  teknologi  yang   digunakan   di   perusahaan­perusahaan.   Ini   menimbulkan  kesenjangan   teknologis   antara   perguruan   tinggi   dan   industri,  seperti dalam teknologi perminyakan. Bagi  para   akademisi,   pada   umumnya,   profit   dari   produk  bukan   hasil   yang   langsung   dia   inginkan.   Sebab   kemajuan  akademik   tidak   diukur   dari   profit,   meski   hasil   riset   yang  dipatenkan   membawa   manfaat   komersial.   Sebaliknya,   bagi  pelaku   usaha   tidak   penting   apakah   teknologi   yang   digunakan  dalam produksi itu teknologi garda depan (frontier) atau bukan,  orisinal   atau   tidak.   Kecanggihan   teknologi   bukan   tolok   ukur  dalam   persaingan   antara   perusahaan­perusahaan,   meski  teknologi merupakan faktor produksi yang penting.  Bagi   pemerintah   dan   perusahaan   swasta,   meski   keduanya  sering bertemu membicarakan produktivitas ekonomi, keduanya  mungkin   berbeda dalam kepentingan­kepentingan.  Daya saing  jelas   sangat   berarti   bagi   pelaku   usaha.   Tapi   bagi   pemerintah,  mungkin saja peningkatan daya beli masyarakat dan pendapatan 

negara yang dinilai lebih berarti.  Pemerintah   merupakan   pemegang   amanah   untuk  menyelenggarakan   layanan   publik,   menetapkan   kebijakan­ kebijakan, dalam koridor konstitusi negara. Kebijakan­kebijakan  yang ditetapkan ini akan menentukan bagaimana suatu masalah  publik   dijawab:   apa   prinsip­prinsipnya,   keadaan   seperti   apa  yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, bagaimana regulasi  dijalankan,   serta   bagaimana   institusi   difungsikan.   Kualitas  layanan publik, dan ketercapaian sasaran­sasaran pembangunan  merupakan   hal­hal   yang  mendapat   perhatian   dari   para   pelaku  pemerintahan.  Sementara  itu,   para   pelaku   bisnis/usaha   swasta—berskala  besar,   menengah   ataupun   kecil—boleh   dibilang   mereka   itu  ‘ujung   tombak’   ekonomi.   Melalui   serangkaian   aktivitas  produksi,   distribusi,   dan   konsumsi   yang   mereka   gerakkan,  terjadi   penyerapan   tenaga   kerja,   dihasilkan   barang/jasa   yang  dibutuhkan   konsumen,   dan   diperoleh   pendapatan   negara.  Perusahaan­perusahaan swasta tersebut tentunya saling berbeda  strategi   untuk   memajukan   bisnisnya   dan   bertahan   kompetitif,  dan   berbeda   dalam   jenis   dan   tingkat   risiko   yang   dihadapi.  Dalam industri farmasi, ruang bagi kegiatan riset cukup longgar.  Sedangkan dalam industri eksplorasi, pengembangan teknologi  bukan   faktor   kompetitif.   Khususnya   perusahaan   milik   negara  (yakni   BUMN),   berbeda   dari   perusahaan   swasta,   mengemban  misi   negara   (misi   layanan   publik),   selain   juga   perlu   mampu  bersaing.  Kalau yang dihasilkan pelaku pemerintahan adalah layanan  publik dan produk regulasi, yang dihasilkan perusahaan swasta  adalah komoditas, maka yang dihasilkan oleh akademisi adalah 

pengetahuan   dan   sarjana­sarjana.   Aktivitas   inti   dalam  perguruan­perguruan  tinggi  dan   lembaga­lembaga  riset   adalah  menghasilkan   pengetahuan   yang   baru,   memelihara,   dan  menyebarluaskan pengetahuan. Para sarjana lulusan perguruan  tinggi   merupakan   ‘pembawa’   pengetahuan,   yang   kemudian  menyebar luas ketika mereka bekerja di perusahaan­perusahaan,  lembaga­lembaga   pemerintahan,   atau   organisasi­organisasi  sosial lainnya. Para sarjana tersebut juga merupakan produsen  pengetahuan  melalui riset, khususnya sarjana tingkat doktoral.  Seperti   halnya   lembaga   pemerintahan,   perguruan   tinggi   juga  mengemban   misi   negara,   yakni   menghasilkan   ‘kolam  pengetahuan’  yang dapat dimanfaatkan  oleh masyarakat,  serta  menyelenggarakan pendidikan.  Dikarenakan   heterogenitas   ini,   yaitu   perbedaan­perbedaan  dalam kerangka kerja praktis, menjadi wajar bila masing­masing  pelaku A, B dan G terlihat bergerak di arahnya sendiri­sendiri.  Tapi, seperti diperlihatkan dalam Tabel 1, tidak terlihat aspek­ aspek perbedaan yang secara intrinsic bertentangan. Lalu, kalau  demikian, apakah perbenaan ini merupakan halangan bagi kita  untuk membangun kapabilitas inovasi nasional?  Tabel 1. Ilustrasi mengenai Aspek-Aspek Perbedaan antara Pelaku-Pelaku A, B, G.

Pelaku A

Pelaku B

Pelaku G

Kegiatan  Menghasilkan  Inti pengetahuan

Menghasilkan  komoditas

Menyelenggarakan  layanan publik

Orientasi

Orisinalitas,  invensi,  discovery

Profit dan  kepuasan  pelanggan 

Kesejahteraan  publik,   keteraturan  administratif

Metode

Riset  akademik 

Transaksi  komersial 

Birokrasi

Bentuk  Pengeta­ huan

Eksploratif,  eksplanatori

Praktis,  operasional

Praktis,  operasional

Memulai dengan Interaksi Melintas-Batas Jadi, perbedaan­perbedaan yang terdapat antara para pelaku  A, B dan G merupakan sumber yang penting bagi pembelajaran.  Pengetahuan   baru   yang   dihasilkan   melalui   pembelajaran  tersebut   akan   memberikan   pilihan­pilihan   alternatif,   yang  kemudian dapat diseleksi untuk mendapatkan hasil yang lebih  baik.   Tanpa   adanya   alternatif­alternatif,   perbaikan   menjadi  mustahil. Dan tanpa pembelajaran dan pengetahuan yang baru,  tidak   akan   tersedia  alternatif.  Tapi, untuk mendapatkan manfaat dari perbedaan, kita perlu lompat melampaui (beyond) perbedaan itu, dan menjalin keselarasan ‘di atas’ perbedaan-perbedaan tersebut.

Kalau kita tengok individu-individu yang berbeda pandangan, interaksi antara mereka dapat menghasilkan ‘modal sosial’ melalui komunikasi. Mereka dapat berbagi pengalaman dan bertukar cara pandang, sehingga dihasilkan cara pandang yang baru dan rasa saling percaya. Tapi dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan, masing-masing individu perlu mencoba mengenakan ‘kaca mata’ milik individu yang lain, dan melihat dunia dari ‘kaca mata’ yang lain tersebut. Ini merupakan praktik berempati. Dan bila semua partisipan komunikasi mencoba untuk saling berempati, akan didapatkan suatu gambaran tentang realitas yang kaya perspektif, lebih berwarna, dan lebih holistik. Gambaran yang holistik ini kemudian menjadi lingua franca, atau protokol, yang memandu interaksi dan kolaborasi antara partisipan komunikasi. Kembali ke relasi-relasi A-B-G, langkah awal yang penting dalam membangun kapabilitas inovasi adalah melalui interaksi dan komunikasi secara ‘melintas–batas.’ Ini merupakan interaksi yang melampaui (beyond) hal-hal yang rutin, melampaui sekat-sekat formal kelembagaan, dan melampaui kotak-kotak disiplin ilmu dan bidang profesi. Dalam situasi yang formal, interaksi akan cenderung mekanistik, dan berpola tanya-jawab. Yang diperlukan adalah komunikasi yang disertai dengan upaya untuk saling berbagi (sharing), saling belajar (mutual learning), untuk mencapai kemajuan bersama. Dengan cara demikian,

missing links menjadi linkage yang baru, dan akhirnya pengetahuan yang baru dihasilkan. Belajar melalui interaksi dan komunikasi merupakan aspek esensial dari inovasi. Regulasi/De­regulasi Sosialisasi Perencanaan Penyaluran Dana

: Pelaku Inovasi

G

Misi Pemerintah Kebijakan Inovasi Kepentingan Publik dan Pasar

Agenda Akademik Potensi Komersialisasi Potensi Kemitraan dengan Industri

Tantangan dalam Persaingan Bisnis Prospek Ekonomik Peluang Pengembangan Produk

Misi Pemerintah Kebijakan Inovasi Kepentingan Publik

Kebutuhan Pengembangan Produk dan Efisiensi Produksi

A

B Agenda Riset Industrial Potensi Komersialisasi

Penelitian Komersialisasi Advokasi Kebijakan Penelitian Industrial

Transaksi Persaingan Perlindungan Lingkungan

Gambar 5. Ilustrasi mengenai Isu-Isu yang Relevan bagi Interaksi dan Komunikasi antara Pelaku-Pelaku A, B, G.

A state is not a mere society, having a common place,... Political society exists for the sake of noble

actions, and not of mere companionship. — Aristoteles