DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI TERHADAP. PERILAKU REMAJA DI
SEKITARNYA. Abdi Sitepu. Abstract. Prostitution is a social problem which
influence ...
DAMPAK LOKALISASI PROSTITUSI TERHADAP PERILAKU REMAJA DI SEKITARNYA Abdi Sitepu Abstract Prostitution is a social problem which influence moral growth. The profession as a prostitute always is done with powerless condition to get chance increase income and get better life. In various and different background, the prostitute profession be done with out take notice the caused will be appeared. The prostitution can be caused big numbers of social problem to prostitute’s self, their family, and social environment. There are big numbers of fear which appeared of prostitution, because it just not cause the problem in family and young generation, but also appear the bad fear about more to spread to widen sexual diseases. This study tries to understand the impact of prostitution setting to youth behavior in environment prostitution setting. Impact description is necessary because knowing prostitution setting impact will be knew positive and negative impact of the prostitution setting to young generation behavior. Keywords: negative impact, prostitution setting, young behavior Pendahuluan Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik, yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup, baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani, maupun kebutuhan sosial. Manusia berpacu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya demi mempertahankan kehidupan diri sendiri, maupun keluarganya. Berbagai upaya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup dikerjakan manusia agar dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kenyataannya, dalam usaha mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dihadapi adanya kesulitan-kesulitan, terutama yang dialami kaum wanita di Indonesia. Sering kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja di luar rumah untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga tidaklah mudah karena lapangan kerja yang sangat terbatas di samping tingkat pendidikan yang rendah. Dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki menyebabkan mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat dapat menghasilkan uang. Akhirnya banyak wanita yang dengan terpaksa terjun ke dalam bisnis pelacuran. Kita mengetahui bahwa salah satu bisnis seks adalah pelacuran, yang merupakan penyakit
masyarakat yang belum dapat dituntaskan penyelesaiannya. Aktivitas pelacuran dipandang masyarakat sebagai sisi hitam kebidupan sosial kita. Menurut Verkuyt (1984: 133 ), baik dahulu maupun sekarang kita sering berdua haluan, di mana kita melarang pelacuran tetapi sebaliknya kita terima juga sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain mengekang kebutuhan biologis (libido) seksual dapat mengakibatkan bahaya, bahkan menimbulkan gangguan jiwa jika tidak diberi jalan keluar dalam promiskuitas/pelacuran (Soekamto 1996: 103) Kontradiksi pelacuran dari segi agama dengan keberadaan manusia itu sebagai makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan biologis terkadang membuat kita harus menempatkan secara hati-hati. Sebab bila tidak maka manusia akan menganggap nilai-nilai agama dapat di kesampingkan pada saat melakukan pelacuran. Menurut Gavin Jones (dalam Allison 1995: 21) pelacuran adalah tidak lebih dari pengeksplotasian wanita sebagai pemuas nafsu seks oleh seorang laki-laki dan untuk itu diberi imbalan sejumlah uang sesuai dengan tarif atau kesepakatan bersama. Bisnis seks menjalar ke mana-mana, daerah pinggiran makin ramai ketika lokalisasi di tengah kota diusik. Semua kebijakan pemerintah bersifat semu dan malu-malu, kelihatan sekali bahwa pelacuran itu merupakan
Abdi Sitepu adalah Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU
172
Sitepu, Dampak Lokalisasi Prostitusi...
bentuk kegiatan bisnis yang sangat menjanjikan. Di Medan sendiri masih banyak di jumpai wanita tuna susila yang beroperasi di pinggiran jalan pada malam hari, di hotel-hotel, di Jalan Nibung, dan di Bandar Baru, serta di tempat lokalisasi Sicanang Belawan. Di sini pelacur wanita adalah komoditi, ada seninya dan seni berbisnis seks itu terletak pada cara mengemasnya. Ada pengusaha seks (mucikari, germo, mami) yang mengemas wanita secara tersamar dan rapi sehingga para wanita yang dijajakannya tidak terlihat mencolok sebagai pelacur. Tidak berbeda dengan bisnis lainnya, bisnis seks pun mengenal istilah "calo", yaitu seseorang yang berperan sebagai penghubung antara konsumen dan mucikari. Para pekerja seks umumnya diatur secara cermat dan memiliki jaringan bisnis yang luas terutama pekerja seks kelas tinggi. Begitu juga dengan pekerja seks kelas rendah yang biasanya mangkal di komplek - komplek yang fasilitasnya minim, penghasilan mereka tergantung pada "aturan main" yang ditentukan organisasi dan mediator. Sebaliknya, tak jarang pengusaha seks mengemas bisnisnya secara terang-terangan, sehingga menimbulkan kesan seronok. Para pelacur dibiarkan mangkal di tepi jalan, di mulut gang, dan agresif menawarkan diri. Secara umum bila dilihat aktivitas kehidupan para pelacur dan mucikari di semua tempat di Indonesia hampir dapat dikatakan sama. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh perkembangan industri pariwisata yang semakin marak. Tersedianya restoran, pub, discotik, karaoke, panti pijat, bar, hotel sehingga mengarah kepada kehidupan pelacuran yang semakin bebas. Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran berasal dari bahasa Latin, yaitu pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan, pergendakan. Ditinjau dari sudut psycopathologic, prostitusi adalah suatu kelakuan yang menyimpang dari norma-norma susila, dalam arti kata tidak sesuai dengan norma- norma susila. Selanjutnya Kartini Kartono (1997: 207) mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut. 1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang
(promiskuitas) disertai eksploitas dan komersialisasi seks yang impersional tanpa afeksi sifatnya. 2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan menjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seks dengan imbalan pembayaran. 3. Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-1aki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul, dengan mendapatkan upah. Pelacuran sebagai Masalah Sosial Pelacuran merupakan masalah sosial yang berpengaruh terhadap perkembangan moral. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum. Selanjutnya dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai tingkatan yang dilakukan secara terorganisir maupun individu. Profesi sebagai pelacur dijalani dengan rasa tidak berdaya untuk merambah kemungkinan hidup yang lebih baik. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda, profesi sebagai pelacur mereka jalani tanpa menghiraukan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh praktik pelacuran dapat menyebabkan berbagai permasalahan baik pada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sosialnya. Permasalahan itu dapat berupa pengaruh pada dirinya, yaitu: 1. Merasa tersisih dari kehidupan sosial (dissosiasi). Seseorang menjadi pelacur pasti merasa tersisih dari pergaulan sosial karena profesi pelacur bukanlah pekerjaan yang halal. 2. Terjadinya perubahan dalam pandangan hidup. Mereka tidak lagi memiliki pandangan hidup dan masa depan yang baik. 3. Perubahan terhadap penilaian moralnya. Seorang pelacur tidak pernah berpikir mana yang baik dan mana yang buruk, yang penting bagi mereka adalah bagaimana caranya mendapatkan uang dan dapat hidup mewah. Faktor-Faktor Pendorong Timbulnya Pelacuran Adapun faktor-faktor penyebab timbulnya pelacuran tersebut antara lain: 1. Kurangnya pengertian penduduk, pendidikan, dan buta huruf sehingga
173
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 172-176
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
menghalalkan pelacuran untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup dan mendapatkan kemewahan dengan jalan singkat. Adanya nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, keroyalan seks, histeris dan hiperseks sehingga merasa tidak puas dengan relasi seks dengan satu pria/suami. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan imferior. Jadi ada adjusment yang negatif terutama terjadi pada masa puber dan adolesen. Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anakanak puber pada masalah seks yang kemudian tercebur ke dalam dunia pelacuran oleh bujukan bandit-bandit seks. Pada masa kanak-kanak pernah melakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan sehingga ketagihan atau terbiasa melakukan banyak relasi seks secara bebas. Gadis-gadis dari daerah slum dengan lingkungan yang immoril yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka sehingga terkondisionir mentalnya dengan tindakan-tindakan asusila. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan cabul, gang-gang anak muda yang mempraktikkan relasi seks. Aspirasi materi yang tinggi daripada wanita dan kesenangan, ketamakan terhadap pakaian-pakaian yang indah dan perhiasan mewah, ingin hidup bermewah-mewah tetapi malas bekerja. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah atau ibu kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain, sehingga anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak lalu menghibur diri dengan tetjun ke dunia pelacuran. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan narkotika dan minuman dengan kadar alkohol tinggi, banyak yang menjadi pelacur untuk membeli obat-obat tersebut dan lain-lain.
Dampak Lokalisasi terhadap Perilaku Remaja Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa di mana individu dalam proses pertumbuhannya terutama fisik telah mencapai ketenangan dalam kematangan. Remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin yaitu "adolescere" yang berarti tumbuh atau tumbuh 174
menjadi dewasa, di mana ia mengalami periodeperiode pertumbuhan fisiknya sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock 1993: 206). Dalam memberikan pengertian mengenai remaja dalam masyarakat Indonesia yaitu dengan penetapan tentang batasan remaja berdasarkan batasan usia adalah sulit. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman suku maupun adat istiadat. Maka dari itu tidak adanya keseragaman yang berlaku secara nasional. Namun yang menjadi pedoman umum kita dapat mernakai batasan usia dari 11 - 24 tahun dan belum menikah. Adapun seseorang yang telah menikah tidak dapat dikatakan sebagai remaja. Adapun pertimbangan-pertimbangan kita adalah sebagai berikut: 1. Usia 11 tahun merupakan usia yang pada umumnya telah tampak tandatanda dari bentuk fisiknya. 2. Usia 11 tahun telah dianggap sudah akil balig. 3. Pada usia tersebut telah memiliki bentuk kesempurnaan dari perkembangan jiwanya. 4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal. 5. Pengertian remaja dapat diberi batasan yaitu remaja yang belum menikah. Menurut Elizabeth. B. Hurlock, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya (Hurlock 1993: 207), yaitu: 1. Masa remaja sebagai periode yang penting, masa di mana pertentangan fisik yang cepat. 2. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. 3. Masa remaja sebagai masa perubahan yang terdiri dari lima perubahan yang sama hampir bersifat universal, yaitu: - Perubahan meningkatnya emosional - Perubahan pada struktur tubuh - Perubahan pada minat dan peran - Perubahan pada minat dan pola perilaku dan nilai-nilai dan - Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. 4. Masa remaja sebagai usia bermasalah 5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas 6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, maksudnya timbulnya anggapan negatif pada masa remaja dari masyarakat. 7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, yakni memandang kehidupan dari kacamatanya dari diri sendiri.
Sitepu, Dampak Lokalisasi Prostitusi...
8. Masa remaja sebagai ambang masa remaja yaitu adanya kegelisahan akibat semakin mendekatnya usia kematangan yang sah. Gilmer membagi masa remaja ada tiga fase yakni masa praremaja berkisar antara usia 10 - 13 tahun, masa remaja awal 13 - 17 tahun, dan masa remaja akhir antara usia 18 - 21 tahun pada pria. Pada wanita masa praremaja diawali pada usia berkisar 10 dan 11 tahun, masa remaja awal antara usia 12 - 16 tahun, dan masa remaja akhir berkisar 17 - 21 tahun (Sulaeman, 1995: 3). Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya perilaku seks bebas di kalangan remaja menurut R. Sembiring, yakni: 1. Interaksi dan komunikasi yang kurang baik, baik kualitas dan kuantitas dengan orang tua maupun otoritas lain, untuk itu orang tua terlalu sibuk dan atau remaja enggan serta merasa sukar dan rikuh untuk melaksanakannya. 2. Disiplin hidup yang kurang mantap serta disiplin diri yang tidak terarah sehingga pikiran dan tubuh tidak atau kurang terkendali, terlebih-lebih dalam hal seksualitasnya. 3. Lingkungan hidup remaja masa kini yang cenderung menggelitik atau merangsang remaja, seperti: - Sarana kebebasan mengungkapkan seksualitas yang tersedia luas berupa pub, diskotik, motel, dan panti pijat. - Fasilitas komunikasi transportasi yang serba mutakhir misalnya telepon, handy talki, taksi dan lain-lain yang pada awalnya untuk kemudahan, namun kenyataannya justru dipakai untuk kemungkaran. - Merebaknya bahan bacaan dan tontonan pornografis yang begitu mudah diperoleh. 4. Pendidikan seks yang tidak atau kurang baik diberikan dirumah maupun di sekolah sehingga informasi lebih banyak diperoleh melalui teman sebaya atau sumber yang tidak atau kurang tahu atau salah tahu tentang seks (Sembiring 1992: 4). Kemajuan Indonesia di masa yang akan datang sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya. Masyarakat sebagai subyek pembangunan diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut da1am rangka memasuki era globalisasi dan teknologi canggih. Remaja merupakan salah satu lapisan kelompok dalam masyarakat yang merupakan generasi penerus dan calon pemimpin pada masa mendatang. Karenanya perlu perhatian yang serius dari semua lembaga agar para remaja bisa menapaki kehidupannya yang lebih kreatif, mampu mengembangkan potensi pada hal-hal
yang bermanfaat, mengingat kondisi remaja yang berada pada tahap pancaroba. Pengertian dan penafsiran atas hubungan seks berbeda antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hal ini di pengaruhi pula oleh kondisi masyarakat yang majemuk yang terdiri berbagai sub, agama, dan budayanya. Tidak terlepas pula dengan perkembangan masyarakat yang pada akhirnya memang tidak dapat diisolasikan dari perpaduan nilai-nilai baru sehingga keinginan untuk beradaptasi ataupun berimitasi juga hampir tidak mungkin untuk dicegah. Hal tersebut berpengaruh pula kepada kehidupan remaja yang berada pada kondisi yang belum stabil. Sehingga dimungkinkan dapat dengan mudah terpengaruh akibat nilainilai yang ada dalam masyarakat seiring dengan kemajuan zaman. Faktor keluarga berpengaruh sebagai pembentuk utama pribadi si anak dalam penanaman norma-norma dan nilai-nilai yang dimiliki dan dipegang teguh olehnya. Pengaruh lingkungan juga memegang peranan penting terhadap pembentukan diri anak dalam pergaulannya. Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin canggih sangat berpengaruh dalam menebarkan nilai-nilai budaya asing. Lalu lintas informasi yang masuk lewat teknologi komunikasi seperti televisi, video, parabola, majalah, internet lambat atau cepat, mau tidak mau akan berpengaruh terhadap kebudayaan, gaya hidup dan pandanganpandangan tentang moral, etika, ajaran-ajaran dan prinsip hidup lainnya. Masalah keterlibatan remaja dalam bisnis seks merupakan masalah yang menarik untuk dibicarakan dan menjadi pembahasan atau diskusi yang hangat dewasa ini. Semakin meningkatnya jumlah mereka yang terlibat daIam bisnis seks, bukan saja merupakan masalah kota tertentu saja, akan tetapi sudah merupakan masalah sosial yang menyangkut masalah nasional. Akibat yang ditimbulkan oleh masalah ini cukup sering dan tidak lagi dianggap persoalan biasa karena mereka merupakan generasi muda yang akan meneruskan kontinuitas-kontinuitas keseim-bangan eksistensi bangsa (Waspada, 27 Januari 1999). Hasi1 penelitian tim dari Universitas Diponegoro (UNDIP) dan Dinas Kesehatan Semarang pada bulan April 1995 menyebutkan perilaku seks di kalangan siswa SLTA menyimpulkan 10% dari 6000 siswa di Jawa Tengah pernah melakukan hubungan senggama (intim). Sedang laboratorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menjaring 800 responden yang berdomisili di kota-kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya dan Ujung
175
Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2004, Volume 3, Nomor 3, Halaman 172-176
Pandang berumur 15 s.d. 22 tahun 2% sudah pemah melakukan hubungan seksual (Gatra, 15 April 1997). Pada tahun 1994 di Medan yang merupakan kota terbesar ketiga, menurut Baren Ratur Sembiring 124 remaja yang berusia antara 14 s.d. 21 tahun datang dalam keadaan hamil, 70% melakukan hubungan seksual di rumah, sedikitnya 10 orang perbulan hamil datang kepadanya (Gatra, 5 Mei 1997). Menurut Lembaga Konsetor sahabat remaja di Medan, berdasarkan data 1990, 80 remaja usia 14 s.d. 21 tahun dan berpendidikan SLTP hingga akademis/universitas. Secara psikologi remaja masih memiliki kejiwaan yang labil, pada masa labil ini mereka bertingkah laku menyimpang, perilaku menyimpang ini biasa menyimpang dari norma hukum, norma agama, dan norma yang dianut masyarakat. Pada masa ini remaja sering bersifat mencoba-coba atau bersikap berpetualang tanpa mereka mengetahui perbuatan yang mereka lakukan itu baik atau buruk, pada masa itu keakuan lebih ditonjolkan. Yang lebih ironisnya ada pihak ketiga yang memanfaatkan keluguan mereka dengan melibatkan dalam bisnis seks dengan iming-iming pekerjaan yang menghasilkan banyak uang tanpa harus bekerja keras. Beberapa dampak yang ditimbulkan oleh pelacuran adalah: 1. Menimbukan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit, seperti Syphilis dan Gonorrhoe (kencing nanah). 2. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya merupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan. 3. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi. 4. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin, dan lain-lain). 5. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. 6. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. 7. Terjadinya disfungsi seksual, misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satiriasis, ejakulasi prematur, yaitu pembuangan sperma sebelum zakar melakukan penetrasi dalam vagina atau liang senggama, dan lain-lain. Kesimpulan 1. Remaja merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam kesinambungan kehidupan bangsa. 176
2. Remaja memiliki ciri sebagai orang yang belum matang dalam berbagai hal, terutama dalam menerima dan menginternalisasi nilai-nilai, sehingga sangat rawan terhadap pengaruh. 3. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain membuktikan, bahwa remaja, yang seharusnya belum terlibat dalam aktivitas seks, ternyata sudah banyak terlibat dalam aktivitas seks. 4. Lokalisasi merupakan kegiatan terorganisir dari seks komersial, yang berorientasi nilainilai ekonomis, sehingga para pelakunya akan berupaya mengajak remaja untuk terlibat. 5. Usaha mengajak remaja untuk terlibat dalam bisnis seks sangat berbahaya mengingat remaja memiliki sifat yang antara lain mudah terpengaruh. Daftar Pustaka Gilbert & Reinda Lumoindong, 1996, Pelacuran di Balik Seragam Sekolah, Yayasan Andi, Yogyakarta. Gunarsa, Singgih, 1984, Psikologi Perkembangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. ______, 1991, Psikologi Praktis: Anak, Remaja, Keluarga, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. ______, 1993, Psikologi untuk Keluarga, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Hull, Terrence, Dkk, 1997, Pelacuran di Indonesia, PT Penebar Swadaya, Surabaya. Hurlock, B. Elizabeth, 1993, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta. Kartono, Kartini,1997, Pathologi Sosial, CV Rajawali, Jakarta. Murray, J, Allison, 1995, Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta, PT. Pustaka, LP3ES Indonesia, Jakarta. Rini, Asfiah, Tanjung, 1999, Komunikasi Interpersonal dan Pencegaban HIV/ AIDS ( Skripsi ), Medan. Sembiring, Ratur, Baren, 1992, Ciri, Kausa dan Alternatif Solusi Perilaku Seks Bebas, Pusat & Informasi Kesehatan Remaja. Gatra, 15 April 1997. ____, 15 Mei 1997. ____, 15 Juli 1997. Waspada, 27 Januari 1999.