Dekadensi Mor. Dekadensi Moral. Merebak. Lokus Peradaban Islam. Masih
Sekitar Mushalla. Dekadensi moral telah merebak kemana-mana; di segala
tempat ...
Dekadensi Mor al Moral Mer ebak Mere Lokus Peradaban Islam Masih Sekitar Mushalla Dekadensi moral telah merebak kemana-mana; di segala tempat, di segala ruang, di segala keadaan. Baik yang dilakukan orang dewasa, para pemuda, maupun kaum remaja. Bahkan yang miris, moralitas yang dekaden itu telah pula ditiru anak-anak. Lantas yang menjadi pertanyaan pentingnya, apa sesungguhnya yang menjadi penyebab merebaknya dekadensi moral tersebut?
10
Drs. Marzuki Mustamar, M.Ag mencoba memetakan analisis. Menurutnya, pertama hal itu disebabkan kurangnya kesadaran orangtua dalam mendidik anak-anak. Mungkin saja itu dilatarbelakangi mudanya usia pernikahan dan wawasan agama yang kurang. Yang kedua, orangtua sekarang lebih disibukkan dengan masalah ekonomi. Suami dan istri sama-sama sibuk bekerja, sehingga anak-anak kurang mendapatkan perhatian, komunikasi dan kasih sayang. Yang ketiga, lanjut dosen Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maliki Malang ini, karena kurang harmo-
nisnya hubungan suami-istri. Dan keempat, karena faktor lingkungan. Bahkan masyarakat yang hidup di lingkungan pesantren, masjid maupun TPQ, tak serta merta memperoleh jaminan menjadi baik. Sebab jumlah kiai, ustadz dan guru ngaji tidaklah sebanyak dulu. Sebab kini kalau tidak bekerja tak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri. Sementara masyarakat pun tidak peduli dengan keberadaan mereka. Faktor yang kelima, diperparah dengan merebaknya pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat, kebiasaan cangkrukan yang
MPA 321 / Juni 2013
01 LAYOUT A - HAL 1 - 19 - JUNI 2013.pmd
10
5/29/2013, 9:49 AM
disertai minum-minuman keras, serta penyalahgunaan narkoba. Yang keenam, lingkungan yang tidak islami. Oleh karenanya, sangat sulit untuk membiasakan anak-anak mengenal dan mempraktekkan kehidupan yang islami. Apalagi, lanjut pria kelahiran Blitar 22 September 1966 ini, saat ini benar-benar sulit mencari sosok pemimpin shaleh yang bisa menjadi panutan. “Lha bagaimana bisa memperbaiki dan memimpin masyarakat kalau pemimpinnya sendiri tidak bisa dijadikan uswah,” tukasnya bernada tanya. Di sisi lain, tutur Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Malang ini, orang-
Kedua, dengan melakukan kerja sama dari berbagai pihak dengan dilandasi niat semata-mata karena Allah SWT. Antar kiai, guru dan yang lainnya harus saling bekerja sama, saling mendukung untuk mewujudkan tujuan bersama. Dan bukan sebaliknya, justru saling mencurigai dan menjatuhkan. Dan itu membutuhkan kesabaran dan kesepakatan dengan orangtua siswa dalam mendidik anak. Yang ketiga, di tingkat eksekutif pemerintahan hendaknya membuat regulasi atau aturan-aturan yang mengikat orangtua atau siapapun ikut bertanggung jawab terhadap moralitas anak. “Ketika anak melakukan perbuatan yang melanggar, maka
kehidupan keluarga,” simpulnya. Menurut Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini, fenomena kemerosotan atau dekadensi moral di masyarakat memang terasa ironis. Syiar dan dakwah Islam yang tiap pagi tayang di TV, di setiap khutbah jum’at, di majlis-majlis taklim, seolah sia-sia. “Semuanya lebih terkesan pada aspek formal dan material saja,” kritiknya. Suami Luluk Humaidah dengan tiga anak ini lantas menelisik; apa sih hubungannya atau pengaruh para sarjana lulusan agama yang begitu banyak dengan dekadensi moral? Seolah para sarjana itu kok tidak punya pengaruh apa-apa. Sebab menurut-
Drs. Marzuki Mustamar, M.Ag
Nadjib Hamid, S.Sos. M.Si
Prof. M. Mas’ud Said, P.hD
tua dan guru sulit untuk mencegah dampak negatif kemajuan dan kecanggihan teknologi. Anak-anak begitu bebas mengakses informasi dari internet. Suguhan tayangan TV pun lebih banyak mempertontokan perilaku dan sifat antagonis, dengan tujuan untuk merusak karakter anak bangsa. “Pada akhirnya mereka sulit menemukan figur teladan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya. Pengasuk PP Sabilurrosyad Gasek Karangbesuki Malang ini mencoba menelorkan solusi. Pertama, dengan ibda’ binafsik yakni memperbaiki diri sendiri sebelum berbicara atau menyeru kepada orang lain. Ini bisa dimulai dari para kiai, ulama’, pejabat dan guru sehingga muncul kewibawaannya.
orangtua ikut bertanggung jawab. Termasuk ketika pemerintah menelantarkan warganya, juga harus ikut bertanggung jawab,” katanya penuh harap. Demi menyelamatkan generasi bangsa, tutur Nadjib Hamid, S.Sos. M.Si, peran keluarga sangat besar dan penting dalam penanggulangan moralitas. Namun seberapa banyak di antara kita yang masih teguh memelihara keluarga. “Bacaan kita, lingkungan kita, tontonan kita, telah demikian mendominasi waktu anak-anak kita. Seberapa banyak bila dibandingkan degan waktu pertemuan dengan orang tuanya,” paparnya. “Itu semua tentu akan sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak. Faktanya, teknologi sudah demikian menyandera
nya, pendekatannya masih bersifat materialistik. Padahal ada aspekaspek spiritualitas yang harus dimiliki oleh setiap orang. Diakuinya, hal itu memang tidak mudah dan tak setiap orang bisa mengimplementasikan. Banyak orang yang secara material tidak lulus sarjana, tetapi dakwahnya lebih mudah diterima di masyarakat. Sebaliknya, yang secara formal dan material tercukupi malah tidak mampu mengubah perilaku masyarakat. Ini merupakan pelajaran penting bahwa tidak secara otomatis bila lulusan sarjana agama mesti akan lebih baik, karena itu hanya sekedar formalitas dan materialistik. Oleh karenanya, anggota KPU Jatim ini mengingatkan bahwa amat penting setiap
MPA 321 / Juni 2013
01 LAYOUT A - HAL 1 - 19 - JUNI 2013.pmd
11
5/29/2013, 9:49 AM
11
orang, instansi, lembaga, institusi apapun untuk dimi’rajkan agar terbangun masyarakat yang lebih bermoral, jauh dari perilaku korup, dan sebagainya. Maka yang menjadi lebih bermakna, adalah bagaimana menjaga dan menanamkan nilai-nilai keislaman. Artinya, nilai-nilai islami itu jauh lebih penting dari formalitas Islam. “Kalau bisa ya memang harus mengemban keduanya.. secara formal Islam dan sekaligus islami,” imbuhnya. Kalau merujuk pada sejarah Isra’ Mi’raj, sambung anggota FKUB dan BAZ Jatim ini, dalam konteksnya adalah membenahi perilaku masyarakat. Bila itu dianggap sebagai simbol perubahan, maka Nabi Muhammad saja sebelum melaksanakan tugasnya musti dimi’rajkan dulu oleh Allah SWT. “Bisa dibayangkan, Nabi SAW saja yang sudah mendapat bimbingan masih harus dikuatkan mentalnya dengan dimi’rajkan,” tandasnya. Itu merupakan prasyarat, jika kita ingin membenahi masyarakat yang lebih baik maka kita harus dimi’rajkan lebih dulu. Gampangnya, Mi’raj itu bisa dianalogkan sebagai ‘naik kelas’. Jadi seseorang harus melalui berbagai tahapan, ujian, jika ingin berjuang mengubah dan memperbaiki kehidupan masyarakat. Sementara kita, kata pria yang tengah menempuh S3 di IAIN jurusan Hukum Islam ini, malah merasa sudah cukup dengan apa yang kita miliki. Dalam hal shalat misalnya, masih banyak orang yang mengerjakan shalat sebatas struktural saja; sekedar gugur kewajiban. Padahal seharusnya, bagaimana mewujudkan shalat itu lebih fungsional. Shalat untuk melawan kemungkaran. “Shalat kita belum memberi ruh pada amaliah kita,” tukasnya singkat. Prof. M. Mas’ud Said, P.hD menyodorkan telaah, bahwa dekadensi moral sesungguhnya bukan semata karena kurangnya ajaran agama. Namun juga disebabkan pengajaran agama yang tidak merasuk sebagai sistem sosial. Ini menunjukkan praktek keberagamaan kita tidak kontekstual. “Kita hanya mengajarkan dogma yang terpisah dengan proses sosial dan proses sistem kepemerintahan,”
12
Munculnya dendam kesumat dan api amarah masyaratat, sesungguhnya juga disulut kesumpegan dan ketidakadilan sosial, ditopang pula oleh keputusasaan sosial, serta ajaran ananiyah yang justru dilembagakan oleh sebagian pemimpin kelompok dan bahkan lembaga keagamaan. terangnya. Munculnya dendam kesumat dan api amarah masyaratat, tutur Asisten Staf Khusus Presiden RI bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah di Sekretariat Kabinet ini, sesungguhnya juga disulut kesumpegan dan ketidakadilan sosial, ditopang pula oleh keputusasaan sosial, serta ajaran ananiyah yang justru dilembagakan oleh sebagian pemimpin kelompok dan bahkan lembaga keagamaan. Doktor bidang Ilmu Pemerintahan dari School of Political and International Studies Flinders University Australia ini pun menyodorkan fakta lain. Bahwa modernitas juga ikut andil paling besar dalam memecah kepribadian, serta menyapu adat istiadat luhur kita. “Seseorang dengan berpengetahuan agama di tempat tertentu, karakternya bisa berubah ketika berada dalam situasi yang mainstream kebudayaannya berbeda dengan asal dimana mereka berada,” katanya mengingatkan. Untuk mencegahnya, sambung Ketua Yayasan Sabilillah Malang ini, maka lembaga pendidikan agama harus meletakkan dirinya pada aras yang lebih tinggi. Dengan demikian agama akan dipakai sebagai sistem berkeluarga dan sistem sosial. Sayangnya, agama di Indonesia belum menjadi arus utama lingkungan pemerintahan dan sistem sosial.
Yang tampak ironi, saat ini masjid sudah ramai orang shalat. Pengajian pun sudah marak dimana-mana. Tapi anehnya, kata pria kelahiran Sidoarjo 8 Maret 1964 ini, kenapa kemunkaran masih saja banyak terjadi. Menurutnya, karena selama ini kita mengajarkan agama tanpa keteladanan. Menurut Wakil Ketua PP Lakspesdam NU ini, shalat kita masih teraleniasi dari kehidupan yang lebih luas dan nyata yang terfleksi dalam kerja, bersosial dan bernegara. Keberagamaan kita rupanya masih berputar pada panggung masjid, lantai mushalla, dan di pelataran tempattempat yang dianggap suci. “Jadi belum berada di panggung kehidupan secara lebih luas. Belum menjadi arus utama kebudayaan dunia,” paparnya. “Kita ini hanyalah konsumen nilai. Kita belum menjadi penyebar nilai yang baik,” kritiknya jujur. Untuk itulah, sambung anggota Dewan Pakar MIPI ini, perlu adanya reformasi kegeragamaan. Termasuk pembangunan peradaban besar Islam yang bisa dimulai dari lembaga pendidikan Islam. Sebab hanya sedikit lembaga pendidikan tinggi Islam yang memiliki reputasi intelektualime pembaharu secara internasional. Selama berabad-abad nilai ibadah mahdhah telah menjadi ukuran tunggal hingga sekarang. Jadi perlu gerakan mentransformasi penyatuan iman dan amal dalam bentuk keberagamaan bil hal. “Jadi tak hanya membangun masjid atau mushalla, tetapi tempat pendidikan dan rumah sakit, menolong yang lemah, menegakkan keadilan, demokrasi, anti korupsi dan sebagainya,” urainya. Sebab sejak dulu, lanjut Ketua Litbang PW NU Jawa Timur ini, pengertian ibadah kerap dipahami dengan pelaksanaan apa yang ada dalam rukun Islam. Secara sosial, nilai umat Islam yang baik itu ialah individu. “Sing sregep shalat, bayar zakat dengan timbangan yang benar, mampu melaksanakan haji, serta mengaji yang lancar dan benar,” ungkapnya. “Nah, itulah yang membuat lokus peradaban Islam masih hanya sekitar Mushallah,” pungkasnya. Laporan: Mey.S, Dedy Kurniawan (Surabaya), Syaifudin Ma’arif (Malang).
MPA 321 / Juni 2013
01 LAYOUT A - HAL 1 - 19 - JUNI 2013.pmd
12
5/29/2013, 9:49 AM