Dilema Antara Kualitas dan Biaya - Pojok Media

31 downloads 90 Views 176KB Size Report
menciptakan pendidikan bermutu, anggaran pendidikan harus ditingkatkan”. Pertanyaanya, apakah sekolah bermutu harus dengan biaya mahal? Memang ...
Dilema Antara Kualitas dan Biaya

T

ahun ajaran baru 2009-2010 akan segera dimulai, banyak orang tua bingung memikirkan anak-anaknya

yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena tak punya cukup biaya. Untuk biaya hidup saja susah, apalagi harus membiayai urusan administrasi, legalisasi, beli formulir, dan lain-lain terkait pendaftaran di sekolah yang baru.

Kemirisan tersebut seperti satu dari jutaan buih di laut kesedihan

para

orang

tua

berekonomi

rendah

untuk

menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang berkualitas. Lebih-lebih, asumsi “ada uang, apapun bisa dibeli”, termasuk pendidikan berkualitas, sudah diyakini masyarakat umum. Namun bagi orang yang mempunyai uang “tidak bernomor seri” sangat leluasa menentukan pilihan sekolah untuk anaknya.

Seorang

pakar

pendidikan

pernah

berujar

“untuk

menciptakan pendidikan bermutu, anggaran pendidikan harus ditingkatkan”. Pertanyaanya, apakah sekolah bermutu harus dengan biaya mahal? Memang, untuk membangun gedung dan melengkapi sarana membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi menggaji guru dan karyawan dengan jumlah

1

memadai sehingga bisa bekerja sungguh-sungguh. Tapi, apakah dengan mahalnya biaya bisa menjamin kualitas pendidikannya?

Sayangnya, anggapan pendidikan bermutu harus mahal, sudah tertancap

di

benak

masyarakat

maupun

pengelola

pendidikan, dan sulit dihapuskan. Tapi, pendidikan bermutu tak selalu harus identik dengan biaya yang mahal. Pengelola pendidikan harus cerdik menciptakan pendidikan bermutu dengan biaya yang terjangkau masyarakat, termasuk warga kurang mampu. Dibanding dengan biaya sekolah lanjutan atau setingkat SMU di Singapura yang juga berstandar bagus, biaya pendidikan yang diklaim bermutu di Indonesia masih terbilang mahal. Di Jakarta biaya rata-rata per bulan per siswa berkisar Rp 2,5 juta, sedangkan di Singapura hanya 130-170 dollar Singapura (Rp 970 ribu – Rp 1,2 juta).

Menjamurnya

sekolah-sekolah

unggulan

berawal

dari

kemirisan pengelola dan pelaku pendidikan atas nafas pendidikan Indonesia yang terengah-engah. Selalu saja tertinggal gerbong kemajuan jaman. Kualitas pendidikan dan hasil didik pun sangat jauh dari harapan menyetarai kualitas internasional. Andaipun ada sekolah berkualitas, itupun terbatas pada sekolah swasta unggulan atau sekolah negeri yang mendapat sokongan kuat dari pemerintah. Dan jumlah sekolah tersebut bisa dihitung jari. Inisiatif beberapa kalangan swasta mendobrak kejumudan ini tentunya sangat

2

dibutuhkan.

Ternyata jumlah sekolah swasta lebih banyak

dari negeri

yang dipersiapkan pemerintah, kiranya sangat

patut kita angkat topi atas jasa sekolah-sekolah swasta yang telah sangat membantu pemerintah dalam proses pengadaan dan pelayanan pendidikan. Namun sayang, jasa yang luar biasa ini tidak diapresiasi dengan bersikap seimbang baik dalam pengayoman maupun perhatian terhadap sekolahsekolah swasta. Yang terjadi malah dikotomi yang tak henti terhadap sekolah swasta dari sekolah negeri. Hal inilah yang dianggap oleh sebagian besar orang sebagai biang mahalnya pendidikan di Indonesia. Sekolah negeri banyak disokong pemerintah, mulai dari fasilitas, pembangunan gedung hingga gaji para guru. Sedangkan sekolah swasta, andai ada bantuan untuk sekolah, itupun tidak rutin, bahkan sering kali pencairannya tersendat-sendat.

Kualitas tinggi yang dikejar sekolah-sekolah swasta, berimbas pada mahalnya biaya pendidikan yang harus dibayar oleh peserta didik. Karena memang, segala kebutuhan anggaran sekolah, dibebankan kepada siswa. Selama pemerintah tidak memperhatikan

sekolah

swasta

dan

tidak

mengajak

stakeholder lain untuk membantu sekolah swasta, dilema akan selalu terjadi. Sehingga menjadi sangat maklum jika sekolah unggulan yang diniatkan mencetak anak didik berkualitas dan bermutu menjadi mahal. Jadi, ketika pemerintah

dengan

segala

3

keterbatasannya

masih

mendikotomi swasta dan negeri, yang terjadi sekolah swasta biayanya akan tetap mahal.

Tapi mengapa sekolah mahal tetap diminati? Fenomena ini disebabkan karena dua kegagalan pendidikan nasional: kurangnya perhatian negara dari segi finansial, dan lemahnya sekolah negeri –yang dibiayai pemerintah- dalam membangun karakter, khususnya karakter nilai, kejujuran, dan kerja keras. Sekolah-sekolah negeri umumnya hanya mengejar aspek kognitif akademis saja. Karena itulah mengapa sekolahsekolah swasta unggulan tetap diminati, berapapun biayanya. Efektivitas pembentukan perilaku anak di sekolah negeri masih sangat tertinggal jauh.

Di atas segalanya, sekolah harus mampu secara moral menciptakan orang-orang yang memiliki karakter. Setelah sekolah melahirkan orang-orang yang jujur dan pemberani, pekerja keras, dan kreatif, maka ia siap menghadapi tuntutan global. Dan kualitasnya setaraf dengan lembaga pendidikan luar negeri. Sementara ini masih ada ketimpangan pemikiran. Pendidikan berkualitas dan bermutu, masih dianggap identik dengan

prestasi

akademik,

dengan

mengesampingkan

potensi, minat, dan bakat siswa.

Dengan anggaran pendidikan 20% dari APBN, seharusnya guru-guru yang mendapat alokasi dari APBN itu bisa mendidik dan

memberikan

pengaruh

yang

4

kuat

dalam

sistem

pendidikan membentuk

nasional. karakter,

Sebab,

pendidikan

terjangkau

secara

itu

utamanya

finansial

dan

bermutu secara akademik. Tapi, meningkatnya mutu dan kualitas pendidikan tak selamanya harus membuat pendidikan menjadi mahal. Karena masih banyak pendidikan ‘pinggiran’ yang ternyata mampu melahirkan orang-orang sukses. Ini tak lain karena programnya yang konsisten dalam melatih kecerdasan intelektual, dan mampu membangun kematangan emosional peserta didiknya.

Pendidikan kini telah masuk ranah bisnis. Seberapa besar cost produksi suatu barang, sebesar itu pula konsumen dibebankan harganya. Terlebih dalam teori pasar, jika barang sedikit atau cenderung tak ada, semahal apapun barang itu pasti konsumen akan membayarnya. “PR” besar bangsa Indonesia untuk menghapus ironi pendidikan yang tidak berpihak kepada rakyat pada umumnya. Masyarakat yang saat ini butuh kualitas, tapi masih dihantui biaya mahal.

5