DIMENSI HUMANISME DALAM PUISI-PUISI KARYA RIEKE DIAH ...

25 downloads 214 Views 81KB Size Report
Puisi-puisi karya Rieke Diah Pitaloka banyak mengandung dimensi humanisme karena mengangkat realitas sosial dan kebudayaan yang ada dalam ... Rieke Diah Pitaloka, diharapkan pembaca dapat memetik nilai-nilai yang terkandung di .
DIMENSI HUMANISME DALAM PUISI-PUISI KARYA RIEKE DIAH PITALOKA: Kajian Semiotik Michael Riffaterre Sri Utorowati Universitas Muhammadiyah Purwokerto A. Pendahuluan Humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik (Alwi, dkk. 2003: 412). Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sangat penting di dalam kehidupan manusia. Humanisme merupakan tema yang senantiasa terdapat di dalam karya sastra. Hal ini dapat memberikan efek batin terhadap pembaca. Puisi-puisi karya Rieke Diah Pitaloka banyak mengandung dimensi humanisme karena mengangkat realitas sosial dan kebudayaan yang ada dalam kehidupan saat ini, sehingga mudah dipahami maknanya. Penyair mampu menuangkan wawasan, pandangan dan pengalaman batinnya dengan baik ke dalam puisinya sehingga sangat menarik bagi pembaca. Rieke Diah Pitaloka mampu menyampaikan pesan moral dan kemanusiaan yang membuat pembaca menjadi berpikir, merenung, prihatin, menangis, dan gembira. Itu semua dikarenakan efek kesan batin yang ditimbulkan, apabila pembaca membaca puisi-puisinya. Seorang penyair mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan diri dan tidak harus tunduk pada kaidah bahasa, sebagaimana diyakini adanya lisentia poetica. Puisi-puisi karya Rieke Diah Pitaloka mempunyai keindahan bahasa yang diolahnya dan bentuk pengekspresian yang khas sehingga berkesan bagi pembacanya. Itulah sebabnya, penulis mencoba mengkaji dimensi humanisme yang terdapat dalam puisi-puisi karya Rieke Diah Pitaloka. Dengan mengungkap sisi humanisme yang terkandung dalam puisi-puisi karya Rieke Diah Pitaloka, diharapkan pembaca dapat memetik nilai-nilai yang terkandung di dalamnya atau memahaminya dengan baik. B. Dimensi Kemanusiaan dalam Puisi Dimensi sering diartikan sebagai ukuran, sedangkan kemanusiaan adalah sifat-sifat manusia; secara manusia; sebagai manusia. Jadi, dimensi kemanusiaan adalah ukuran sifatsifat (hal-hal) yang penting dan berguna bagi kelayakan hidup umat manusia serta kesadaran untuk menghormati dan menghargai harkat dan martabat orang lain (Alwi, dkk. 2003:714). Pengalaman kemanusiaan di dalam kehidupan manusia yang tercermin dalam jiwa manusia dapat berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik-buruk, berjiwa gotong royong, dan sebagainya. Bila perasaan ini terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin, konflik-konflik kejiwaan, rasa belas kasihan, rasa simpati,

1

dan sebagainya. Pendeknya, segala pengalaman yang hanya dapat dirasakan oleh manusia. Dalam karya sastra puisi, dapat tersirat tema kemanusiaan yang apabila dibaca dapat memberikan efek kesan kepada pembaca. Menurut Waluyo (1995:112) di dalam tema kemanusiaan, manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat, dan kedudukan tidak boleh menjadi sebab pembedaan terhadap kemanusiaan seseorang. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam karya sastra puisi terdapat ukuran kemanusiaan seperti rasa kasih sayang, rasa peduli, dapat membedakan baik dan buruk, mengakui persamaan derajat manusia serta hak dan kewajibannya di antara sesama manusia, saling mencintai, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan keadilan, rela berkorban untuk kepentingan orang lain, dan saling menghormati antarsesama manusia. C. Analisis Semiotik Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (dalam Ratna 2004) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dikatakan oleh Pelz “Die Wissenschaft von den Zeichen allgemein wird als Semiotik (auch Semiologi) bezeichnet” yaitu bahwa pengetahuan tentang tanda-tanda secara umum disebut sebagai semiotik (juga semiologi). Muhadjir (2002) mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda dalam bahasa dan karya sastra. Pendekatan semiotik adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda. Semiotika adalah model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala sastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat. Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya. Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam wacana mempunyai makna. Sujiman (1996:5) mendefinisikan semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Aminuddin (1995:124) semiotik adalah sistem lambang atau tanda dalam teks sastra dan merupakan realitas yang dihadapkan kepada pembaca yang sudah ada

2

potensi komunikasi, ditandai dengan digunakannya lambang kebahasaan di dalamnya. Menurut Riffaterre (dalam Pradopo 2005:134-135) hal utama yang harus dilakukan dan diperhatikan adalah konvensi bahasa dan konvensi sastra. Konvensi bahasa di dalamnya mengandung pengertian bahwa bahasa mempunyai makna, maka bahasa di dalam karya sastra harus dipahami secara kebahasaan, sebab fungsi utama bahasa adalah sebagai medium dalam karya sastra. Dari konvensi bahasa itu, terciptalah pembacaan heuristik, yakni upaya perebutan makna berdasarkan struktur bahasanya, atau pembacaan semiotika tingkat pertama. Jadi, karya sastra dimaknai berdasarkan arti pada struktur bahasa yang ada, sedangkan dalam konvensi sastra dapat dilakukan dengan pembacaan hermeneutika. Konvensi sastra memposisikan bahwa hakikat sastra itu mempunyai penafsiran ganda sehingga karya sastra merupakan ketaklangsungan ekspresi. Riffaterre (dalam Jabrohim 2001:75) mengemukakan bahwa sajak, dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusi selera dinamis, tetapi ada satu hal yang tetap tinggal, yaitu sajak menyatakan konsep ketaklangsungan ekspresi. Untuk dapat menentukan makna karya sastra, kita harus mencari karakteristik karya sastra tersebut. Hal itu dapat ditempuh dengan jalan pembacaan hermeneutika. Metode hermeneutika ini, merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan bekerja secara terus-menerus lewat pembacaan teks sastra secara berulang-ulang. Dengan pembacaan berulang-ulang, pembaca dapat mengingat peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian di dalam teks sastra yang baru dibacanya. Selanjutnya, pembaca menghubungkan kejadian-kejadian tersebut antara yang satu dengan lainnya sampai ia dapat mengemukakan makna karya sastra pada sistem sastra yang tertinggi, yaitu makna keseluruhan teks sastra sebagai sistem tanda (Sangidu 2004: 19). Sangidu (2004:24) mengemukakan bahwa dalam pemaknaan karya sastra perlu diperhatikan matriks. Matriks merupakan kata kunci yang selanjutnya ditransformasikan menjadi uraian-uraian tentang masalah yang terjabarkan dalam peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam teks sastra. D. Analisis Dimensi Humanisme Manusia Humanisme merupakan pandangan yang melihat semua manusia sebagai satu unit tunggal, terlepas dari kelas, kebangsaan, kebudayaan, dan agama. Humanisme menolak setiap bentuk diskriminasi (Muthahhari 2002). Semangat dasar humanisme tampak pada keyakinan bahwa martabat manusia harus terlihat sebagai individu yang memiliki otonomi sendiri. Suseno (1992) mengemukakan, martabat berarti derajat atau pangkat. Jadi, martabat manusia mengungkapkan apa yang merupakan keluhuran manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain yang ada di bumi. Dengan demikian, humanisme telah melindungi martabat manusia dari segala bentuk manipulasi, penjajahan, dan kesewenangan sistem-sistem kekuasaan.

3

Menurut Hadikusumo (1996) dimensi humanisme manusia meliputi empat hal, yaitu dimensi humanisme manusia sebagai makhluk individu, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila, dan dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama. 1. Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Individu Kesadaran manusia akan keindividualitasan dirinya bisa mengarah pada dua dimensi yaitu dimensi kedirian dan dimensi keegoisan. Menurut Walgito (2001) manusia mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, adanya dorongan untuk mengabdi kepada dirinya sendiri. Karena itu, dalam tindakan-tindakannya manusia kadang-kadang menjurus kepada kepentingan pribadi. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kebebasan untuk menentukan dan memutuskan yang terbaik untuk dirinya pribadi. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk individu terdapat dalam puisi Pitaloka berikut ini.

AKU-RAMADHAN-IBU Ruas-ruas sahur setiap ramadhan mengingatkan pada ibu saat aku kanak kanak selepas subuh aku temani suara mesin jahit ibu menelusuri kain bunga-bunga yang kami beli di pasar “biar kamu bisa pakai baju baru,” katanya saat aku gadis selepas subuh aku ditemani gumam ibu menghitung untung dagangan yang kami jual keliling kampung “biar kita bisa buat kue,” katanya saat aku dewasa selepas subuh rindu ibu tak pernah pupus bu, sebentar lagi lebaran seperti biasa, setangkai sedap malam akan kutaruh di pusaramu (Pitaloka 2005: 33)

4

Pada puisi tersebut, digambarkan dimensi humanisme manusia sebagai makhluk individu. Dalam puisi itu, terdapat kerinduan yang sangat mendalam di hati seorang anak kepada ibunya, meskipun ibunya telah meninggal dunia. Fromm (2005:62) mengungkapkan bahwa hubungan ibu dan anak sesuai dengan sifatnya, merupakan hubungan ketidaksetaraan, dan cinta ibu dianggap sebagai jenis cinta yang paling tinggi dan suci di antara semua ikatan emosional. Dalam puisi tersebut, dilukiskan seorang anak yang tidak akan bisa melupakan sosok seorang ibu. Hal ini tercermin dalam bait ke-6 saat aku (telah) dewasa // selepas (salat) subuh (perasaan) rindu (kepada) ibu tak pernah pupus //. Pada bait tersebut, si aku (lirik) merasa bahwa kerinduan terhadap ibunya tidak pernah hilang atau tidak dapat dilupakan, meskipun si aku (lirik) telah menjadi dewasa. Kerinduan itu akan selalu muncul setiap saat. Pada puisi Aku-Ramadhan-Ibu dilukiskan adanya kesadaran kedirian yang mencakup perasaan yang kompleks di dalam diri seseorang terhadap ibunya yaitu kerinduan yang tidak pernah hilang. Secara ukuran kemanusiaan, cinta ibu adalah sepanjang masa meskipun telah dipisahkan oleh kematian tapi akan selalu dikenang. Seperti tercermin pada bait terakhir berikut ini. bu, sebentar lagi lebaran seperti biasa, setangkai sedap malam akan kutaruh di pusaramu Kata kunci dalam puisi ini adalah Aku-Ramadhan-Ibu. Hal ini dikarenakan kata Aku-Ramadhan-Ibu menjadi pembuka tabir pemaknaan puisi itu sendiri yang menceritakan hubungan antara anak dengan ibunya. Makna yang terkandung di dalam puisi ini yakni bila bulan ramadan tiba, sosok aku (lirik) selalu teringat masa kanak-kanak dan masa gadisnya. Waktu itu ia selalu menemani ibunya berjualan keliling kampung agar bisa membuat kue lebaran dan baju baru untuknya. Setelah menginjak dewasa, aku (lirik) tidak lagi merasakan ramadan bersama ibunya, karena ibunya telah meninggal dunia. Namun, kerinduan aku (lirik) terhadap ibunya tidak pernah hilang, dan itu diungkapkannya dengan cara menaruh bunga sedap malam di pusara ibunya. 2. Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Sosial Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial terdapat pada puisi Pitaloka berikut ini.

5

BAGIMU NEGRI KAMI BERBAGI

(memperingati 50 tahun KAA) bagimu negri, kami ubah sumpek kota dengan taman seribu bunga di setiap perempatan lampu merah, di sudutsudut gedung perkantoran megah, kami bangun jalan tol Jakarta-Bandung, biar tamu-tamu betah, biar proyek-proyek bebas hambatan, biar kami bisa berbagi dengan kawan-kawan satu visi, membangun negri lelang. bagimu negri kami bersihkan lapak-lapak kaki lima kami sapu gerobak-gerobak baso soto atau gorengan kami rapikan pedagang-pedagang asongan biar tamu-tamu merasa nyaman dan aman biar kami leluasa transaksi tanpa perlu memandang wajah orang-orang susah biar kami berbagi dengan kawan-kawan satu visi membangun negri penjilat bagimu negri, kami mengabdi demi terwujudnya keadilan untung yang rata, kami berjanji akan berbagi demi makmurnya bank dan saku kalau perlu kami berjibaku karena bagimu negri kami berjanji jadi makelar sejati yang pandai berbagi dengan kawan-kawan satu visi menyanyikan lagu diiringi black piano hartamu negri, jiwa raga kami !!! (Pitaloka 2005: 3 ) Pencerminan dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial terdapat pada bait ke-1 bagimu negri, kami (telah) (meng) ubah (suasana) sumpek kota (ini) dengan taman // seribu bunga (yang terdapat) di setiap perempatan lampu merah (dan) di sudutsudut gedung perkantoran (yang) megah, // kami (telah) (mem) bangun jalan tol (yang menghubungkan kota) Jakarta-Bandung biar tamu-tamu (pada) betah // biar proyekproyek (ter) bebas (dari) hambatan (dan) biar kami bisa // berbagi dengan kawan-kawan (yang) satu visi (dalam) membangun negri lelang (ini) //.

6

Bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut, sangat mudah dipahami. Dalam puisi itu dilukiskan negeri lelang yang telah diubah menjadi indah dengan dibangunnya taman seribu bunga pada setiap perempatan lampu merah dan sudut-sudut gedung perkantoran yang megah. Selain itu, telah dibangun juga jalan tol agar dalam perjalanan terbebas dari hambatan, sehingga para investor asing betah dan dapat bekerja sama berbagi keuntungan melelang negeri ini. Bagian yang paling fokus, di tengah kepentingan para cukong dan pejabat, mereka semua adalah penjilat. Hal itu terdapat pada bait berikut: bagimu negeri kami bersihkan lapak-lapak kaki lima. Kami sapu gerobak-gerobak baso, soto atau gorengan. Kami rapikan pedagang-pedagang asongan biar tamu-tamu merasa nyaman dan aman. Biar kami leluasa transaksi tanpa perlu memandang wajah orang-orang susah. Biar kami berbagi dengan kawan-kawan satu visi membangun negeri penjilat. Pada puisi ini dilukiskan pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan pengusaha dan pejabat yang merampas kehidupan rakyat kecil. Puisi ini bertemakan pembelaan terhadap kaum lemah dan memprotes pejabat agar tidak merampas hak-hak mereka. Hubungan antarmanusia sevisi terhadap kekayaan bumi, penguasaan tanah, tumbuhan dan pembangunan dijadikan bentuk pengabdian kepada negeri ini. Hal itu terdapat pada pernyataan berikut ini. Bagimu negri kami mengabdi demi terwujudnya untung yang rata, kami berjanji akan berbagi. Demi makmurnya bank dan saku kalau perlu kami berjibaku karena bagimu negeri kami berjanji jadi makelar sejati yang pandai berbagi dengan kawan-kawan satu visi menyanyikan lagu diiringi black piano (yaitu lagu) hartamu negeri, jiwa raga kami. Dari pernyataan tersebut, tampak makin jelas bahwa jerit tangis orang kecil sangat tidak berarti, yang penting isi saku sendiri. Dalam puisi tersebut, jelas tergambarkan karakter manusia yang tidak berjiwa sosial. Mereka hanya mementingkan kelompoknya saja. Ditinjau dari matriksnya yakni bagimu negri, jelas bahwa yang digambarkan sebagai pengabdian kepada negeri ini adalah cara-cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Pengusaha tidak berpihak kepada rakyat kecil. Penguasa juga tidak berpihak kepada rakyat kecil, tetapi yang penting mendapatkan keuntungan pribadi. Kekayaan alam, pembangunan kota dikelola hanya untuk keuntungan sepihak saja, sehingga mengakibatkan rakyat kecil menjadi korban. Mereka tidak lagi mempunyai naluriah untuk hidup bermasyarakat. Padahal sebagai makhluk sosial, mereka tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain atau kelompok lain. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial, juga terdapat pada puisi Pitaloka berikut ini.

7

DI ANTARA BERKAS PEMBEBASAN (Hatta dan Freedom Institute)1 kujumpai kau di selembar naskah kumal proklamasi kau tetap saja jadi geram yang menghujam berdebam-debam di hati para kuli yang legam kau semayam di temaram subuh dukuh yang kusam padamu aku mengadu mengajak menggugat sepotong reklame milik orang-orang yang rajin teriakkan pembebasan namun jiwa mereka telah kebas menempel di tandas-tandas seperti ampas… padamu aku mengadu lorong kemiskinan yang kau runtuhkan dibangun kembali orang-orang yang mengaku karang padahal mereka hanya mahir mengarang berdendang riang saat orang-orang tunggang langgang diterjang bandang. saat ilmu jadi sombong kiblat telah bolong mereka melolong demi cukong sembunyi di tong-tong kosong Hatta…, Hatta… pinjamkan kacamatamu biar pandang tak jadi suram Hatta…, Hatta… pinjamkan kacamatamu sebelum ranah ini jadi karam!! (Pitaloka 2005: 26-27) Jika ditelaah, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial yang terdapat pada puisi tersebut sangatlah kompleks. Hal ini terlihat pada bait ke-2 padamu aku (hendak) mengadu // mengajak menggugat sepotong reklame // milik orang-orang yang rajin (men) teriakkan (tentang) pembebasan // namun jiwa mereka telah kebas // (dan)

8

menempel di tandas-tandas seperti ampas // padamu aku (ingin) mengadu // (tentang) lorong (lorong) kemiskinan yang (telah) kau runtuhkan //. Pada puisi tersebut, digambarkan sebuah protes sosial terhadap sepotong reklame yang diteriakkan oleh orang yang menyuarakan kebebasan, namun ternyata hanya purapura dan malah menyebabkan kemiskinan orang yang lemah. Kepura-puraan menyuarakan kebebasan tercermin jelas pada bait ke-4 saat ilmu jadi sombong // kiblat telah bolong // mereka melolong demi (kemakmuran para) cukong // (yang ber) sembunyi di (balik) tongtong kosong //. Pada bait itu, tercermin bahwa orang sudah tidak menghargai ilmu atau aturan, melainkan mereka hanya memikirkan kemakmuran para cukong. Makna yang terkandung dalam puisi tersebut adalah bahwa kebebasan yang kita miliki sejak proklamasi 17 Agustus 1945 ternyata hingga saat ini kebebasan itu masih saja dijajah dan ditindas. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita sendiri tidak menghargai kebebasan yang kita raih dari tangan penjajah dahulu. Orang yang pintar, membodohi orang yang lemah, tidak menaati aturan, yang ada hanya uang. Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat kita harus dapat menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Kekhawatiran itu dapat dilihat pada bait berikut. Hatta..., Hatta...// (tolong) pinjamkan kacamatamu // biar pandang (an) tak (men) jadi suram // Hatta..., Hatta... // (tolong) pinjamkan kacamatamu // sebelum ranah ini (men) jadi karam //. Matriks puisi tersebut adalah pembebasan. Dalam hal ini, pembebasan dimaknai sebagai kemerdekaan. Pembebasan merupakan sesuatu yang tinggi nilainya. Namun pada puisi yang berjudul Di Antara Berkas Pembebasan (Hatta dan Freedom Institute) pembebasan dipermainkan oleh sekelompok orang tertentu yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Dalam puisi Pitaloka tersebut, manusia dengan kehidupan sosialnya lebih berupaya mewujudkan dan memerdekakan kelasnya tanpa berupaya demi kemajuan bersama. Hal ini dapat dilihat pada puisi Bagimu Negri Kami Berbagi (Memperingati 50 tahun KAA), pada bait biar kami (bisa) berbagi dengan kawan-kawan satu visi (dalam) membangun negeri penjilat (ini) //. Lalu pada puisi Di Antara Berkas Pembebasan (Hatta dan Freedom Institute) mereka melolong demi (kemakmuran para) cukong //. Jika ditelaah maknanya, puisi Pitaloka dapat diinterpretasikan bahwa dalam puisi tersebut terdapat masalah-masalah sosial seperti penggusuran orang yang lemah demi tercapainya kepentingan pribadi, pembangunan gedung-gedung yang akhirnya merusak taman-taman sehingga keindahannya tidak terjaga. Zaman sekarang, banyak orang pintar membodohi orang yang lemah dan tidak mempunyai belas kasihan, sehingga membuat orang lain tertindas. Di sinilah yang menjadi tolok ukur dimensi humanismenya, di mana manusia yang seharusnya hidup bermasyarakat saling berdampingan, malah bertindak dan bertingkah laku tidak baik yang dapat menyakiti masyarakat/orang lain, sehingga menimbulkan masalah-masalah sosial yang merendahkan martabat manusia itu sendiri.

9

3. Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Susila Tidak dapat dipungkiri bahwa orang yang telah mencapai sisi manusiawi, maka dia akan memperlihatkan kelembutan hati kepada semua orang atau juga kepada segala sesuatu, bahkan kepada orang yang telah kehilangan sisi kemanusiaannya (Muthahhari 2002: 257). Orang-orang yang telah mencapai sisi manusiawi, akan memperlihatkan kebaikan hati, sekalipun kepada orang yang telah memusuhinya. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila adalah dengan mengukur sejauh mana kedalaman manusia itu untuk dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Dalam hal ini, manusia ditekankan sebagai makhluk yang menilai. Apabila dilihat dari sumbernya, nilai susila dapat berasal dari Tuhan dan dari manusia. Namun dalam diri manusia terdapat nilai yang dianggap tidak bisa diubah dan nilai yang dibiarkan berubah (Hadikusumo 1996: 14). Penggambaran dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila tercermin pada puisi berikut ini:

PANCASILA 1. Ketuhanan Yang Maha Esa Betulkah artinya : boleh hakimi orang yang beda keyakinan boleh caci orang yang beda agama boleh habisi orang yang beda kitab suci 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab Betulkah artinya : boleh perkosa semaunya boleh rampok seenaknya boleh bunuh sesukanya 3. Persatuan Indonesia Betulkah artinya : boleh sama-sama jadi maling boleh sama-sama jadi penipu boleh sama-sama jadi koruptor 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan Betulkah artinya : boleh sepakat pilih pemimpin yang bengis boleh sepakat pilih pemimpin yang sadis boleh sepakat pilih pemimpin yang culas 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Betulkah artinya : boleh jadikan rakyat sesat boleh jadikan rakyat melarat boleh jadikan rakyat sekarat

10

JIKA KAU ANGGAP BETUL KUSUMPAHI KAU BERKARAT SAMPAI KIAMAT!!! KUSUMPAHI KAU TERSIKSA DUNIA AKHIRAT!!! (Pitaloka 2005: 18) Pembacaan heuristik pada puisi tersebut mencerminkan sila-sila dari Pancasila yang pemaknaannya sangat kompleks menurut versi penyairnya. Pada bait ke-1 (apakah kita) boleh (meng) hakimi orang yang (ber) beda keyakinan? // (apakah) boleh (men) caci orang yang (ber) beda agama? // (dan) boleh (kah) (meng) habisi orang yang (ber) beda kitab suci? // Pada bait ke-2 (apakah kita) boleh (mem) perkosa semaunya? // (apakah) boleh (me) rampok seenaknya? // (dan) boleh (kah) (kita) (mem) bunuh (orang) sesukanya? //. Pada bait ke-3 (apakah kita) boleh (ber) sama-sama (men) jadi maling? // (apakah) boleh (ber) sama-sama (men) jadi penipu? // (dan) boleh (kah) (kita) (ber) sama sama (men) jadi koruptor? // Pada bait ke-4 (apakah kita) boleh (ber) sepakat (mem) pilih pemimpin yang bengis? // (apakah) boleh (ber) sepakat (mem) pilih pemimpin yang sadis? // (dan) boleh (kah) (kita) (ber) sepakat (mem) pilih pemimpin yang culas? // . Pada bait ke-5 (apakah kita) boleh (men) jadikan rakyat (hidup) sesat? // boleh (kah) (men) jadikan rakyat (hidup) melarat? // (dan) boleh (kah) (kita) (men) jadikan rakyat (hidup) sekarat? //. Pancasila mengandung nilai-nilai fundamental yang dipertahankan oleh masyarakat dari dulu hingga sekarang. Jika direnungkan dengan penuh seksama, maka apa yang dikatakan penyair merupakan sesuatu yang harus kita jawab. Hal itu terdapat pada pernyataan berikut. Jika kau anggap betul // kusumpahi kau berkarat sampai kiamat // kusumpahi kau tersiksa dunia akhirat //. Bait terakhir puisi Pitaloka telah mempertanyakan makna sila-sila Pancasila kepada pembacanya, karena kehidupan bangsa kita bertindak demikian. Hati nurani masih berharap agar para pemimpin benar-benar berjiwa Pancasila yang sebenarnya. Oleh karena itu, aku (lirik) menyumpahi pembacanya yang membenarkan makna sila-sila Pancasila seperti yang dituangkannya dalam puisinya tersebut. Aku (lirik) sangat memprihatinkan kondisi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ternyata masih banyak yang melanggar pandangan hidup, pegangan hidup seperti yang tercantum dalam sila-sila Pancasila menurut versi penyairnya. Dalam bait kedua misalnya, kemanusiaan yang adil dan beradab // betulkah artinya boleh perkosa semaunya // boleh rampok seenaknya // boleh bunuh sesukanya //. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kata kunci dalam puisi ini, adalah Pancasila yang diuraikan ke dalam sila-sila. Namun, di dalam sila-sila itu terdapat makna puisi yang merupakan pelanggaran nilai-nilai Pancasila yang telah dilupakan oleh para penyelenggara bangsa dan negara ini. Kehidupan nyata sudah jauh dari harapan cita-cita luhur pendiri bangsa dan negara ini. Apabila manusia menyadari dirinya sebagai makhluk susila, maka di dalam perbuatannya akan dapat membedakan antara nilai yang baik dan nilai yang buruk.

11

Puisi Pitaloka yang menggambarkan humanisme manusia sebagai makhluk susila juga terdapat di dalam puisi berikut. LONDO Ireng Aku berjalan menuju timur namun tak kujumpai matahari barat menelannya memuntahkannya jadi limbah kemiskinan barat mengemasnya dalam: sebungkus burger sekaleng soft drink sekerat steik segelas wine dan tanah dan air dan yang di atas dan yang di dalam bumi digadaikan budak-budak berkulit coklat berhati putih dan matahari tak lagi terbit ke timur barat mengunyahnya memuntahkannya jadi sobekan kemiskinan …… aku harus belajar dalam gelap (Pitaloka 2005: 16) Sungguh tajam pengamatan Pitaloka yang memikirkan nasib bangsanya sendiri yang diibaratkan Londo Ireng. Ditinjau dari pembacaan hermeneutikanya, puisi itu menggambarkan keadaan nasib bangsa kita. Aku (lirik) mengibaratkan pengembaraannya sebagai berikut: … Aku berjalan menuju (ke) timur, namun tak kujumpai matahari, (bangsa) barat (telah) menelannya, (kemudian) memuntahkannya (men) jadi limbah kemiskinan, (bangsa) barat (lalu) mengemasnya (ke) dalam: sebungkus burger, sekaleng soft drink, sekerat steik, segelas wine, dan tanah dan air dan yang di atas dan yang di dalam bumi, (semua) digadaikan (oleh) budak-budak (yang) berkulit coklat (tetapi) berhati putih … Nasib bangsa ini sangat menyedihkan. Telah tergambar betapa gelapnya kehidupan di negeri ini. Dicobanya mencari penerangan ke timur, tetapi tidak ada tanda-tanda matahari menyinarinya. Di timur tetap gelap, sebaliknya pencerahan dari barat juga tidak ditemukan, malah memangsanya habis-habisan seluruh isi kehidupan bangsa ini, dan sisanya dimuntahkan menjadi limbah kemiskinan. Bangsa ini telah dikemas dengan

12

budaya-budaya barat menjadi sebungkus burger, sekaleng soft drink, sekerat steik, dan segelas wine. Seluruh kekayaan alam Indonesia telah digadaikan bangsanya sendiri yang menjadi budak-budak berkulit coklat namun berhati putih. Kekayaan budaya dan alam negara ini sudah habis menjadi barang gadaian. Jika sudah demikian adanya, menjadikan matahari sebagai lambang penerangan dan sumber kehidupan, tidak lagi terbit dari timur ke bangsa ini, karena negara barat telah mengunyahnya hingga menjadi sisa-sisa limbah kemiskinan. Penjajah ideologi, politik, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan telah mencengkeram di sebuah negara merdeka dan melahirkan sebuah negara menjadi sobekan kemiskinan. Semua itu, hanya karena ulah para penguasa dan pembuat kebijakan yang telah menggadaikannya kepada kapitalis kolonialis barat. Akhirnya, kehidupan bangsa ini menjadi hidup dalam kegelapan “aku harus belajar dalam gelap”. Demikianlah ketajaman ungkapan Pitaloka dalam puisinya Londo Ireng yang melambangkan penjajahan oleh bangsanya sendiri. Para penguasa dan pengusaha pribumi pun akhirnya ikut ditelan gelombang barat dan dicetak jadi boneka-boneka negara barat. Mereka ikut-ikutan jadi penguasa berkarakter Londo tetapi Londo yang berkulit hitam. Akhirnya, bangsa Indonesia harus belajar dalam suasana yang gelap sampai sekarang. Kata kunci, dalam puisi tersebut adalah Londo Ireng yang diibaratkan seperti penjajahan terhadap bangsanya sendiri. Penguasa yang diberi amanah oleh rakyat tidak melindungi dan memakmurkan bangsanya, tetapi malah bertindak seperti perilaku penjajah Belanda yang disapa Londo. Namun, karena warna kulit kita termasuk coklat dan agak hitam, maka penguasa yang demikian disimbolkan sebagai Londo Ireng. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila juga terdapat dalam puisi Ups! di bawah ini.

UPS! Luapkan limpahkan saja semua rindu itu selagi nafas belum berhenti atau maut tiba-tiba menjemput dan suaramu menghilang tertimbun tanah Ayo tanggalkan

13

lepaskan semua kain yang membalut mari kita bersenang-senang saja segera mulai permainan pura-pura jadi adam dan hawa cengkrama di taman eden Ayo tak usah malu-malu atau lama-lama waktu kita hanya sesaat tak perlu pikir kata sesat mari pura-pura saja jadi adam dan hawa yang jalankan hasrat ciptaan Tuhan Ups! alarm berbunyi saatnya kita pulang mari kenakan kedok pura-pura biar suamiku suamimu tetap percaya cinta dan tubuh kita hanya untuk mereka Ups! (Pitaloka 2005: 76-77) Ayo // tanggalkan (dan) lepaskan semua kain yang membalut // mari kita bersenangsenang saja // (dan) segera (me) mulai permainan (ini) // (dengan) (ber) pura-pura (men) jadi Adam dan Hawa // (ber) cengkrama di taman eden //. Pembacaan heuristik tersebut, belumlah memberi pemaknaan yang jelas sehingga diperlukan pembacaan hermeneutika yang berkaitan dengan dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila. Puisi yang berjudul Ups! karya Pitaloka, menggambarkan keberadaan seorang wanita yang tergoda kesetiaannya sehingga berselingkuh dengan laki-laki lain. Dilihat dari citra dirinya, wanita tersebut tidak menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai seorang istri. Pada puisi tersebut, digambarkan seorang wanita yang lebih memilih untuk mendengarkan pilihan hatinya, yakni memilih untuk selingkuh atau tidak setia. Padahal wanita itu sudah bersuami. Kedudukannya sebagai seorang istri telah diuji, apakah akan bertahan dengan kesalahannya ataukah akan menghentikannya sebagai bentuk penyesalan terhadap kesalahan yang telah diperbuat terhadap suaminya. Manusia sesungguhnya adalah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan. Hal ini yang menjadi sumber kesadaran tertinggi untuk selalu memperbaiki diri dari kesalahankesalahan yang telah diperbuat. Wanita dalam puisi itu, telah menuruti hawa nafsunya sehingga berselingkuh. Namun sesungguhnya wanita itu menyadari bahwa tindakan yang

14

dilakukannya itu merupakan sesuatu yang salah. Hal ini disebabkan oleh tipisnya iman wanita tersebut sehingga mudah terjerumus dalam jurang kenistaan. Wanita dalam puisi itu, seperti memakai topeng kepura-puraan. Di satu sisi, wanita itu tidak setia namun ada kesadaran yang mendalam dalam hatinya, bahwa ia adalah seorang istri pendamping suami yang menyadari akan statusnya. Kesadaran wanita yang menyadari dirinya sebagai makhluk susila yang harus setia kepada suaminya terdapat dalam bait berikut. … Ups! Alarm berbunyi Saatnya kita pulang Mari kenakan kedok pura-pura Biar suamimu, suamiku tetap percaya Cinta dan tubuh kita Hanya untuk mereka Ups! Pada bait terakhir puisi itu, telah digambarkan bahwa sesungguhnya di balik kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh seseorang terdapat kesadaran dalam hati nuraninya yang menyadarkannya bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang salah, dan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang istri. Hal ini yang menjadi ukuran kemanusiaan ditinjau dari segi manusia sebagai makhluk susila yang senantiasa dapat membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Kesadaran tentang hati nurani pada dasarnya memberitahukan kepada kita akan tindakan yang sepantasnya untuk dilakukan. Wanita dalam puisi itu sesungguhnya mengetahui apa yang menjadi kewajibannya. Kata ‘alarm berbunyi’ merupakan sebuah bentuk pengingat bagi wanita itu agar kembali kepada suaminya // cinta dan tubuh kita // hanya untuk mereka //. Sebuah kesalahan sesungguhnya dapat dimaafkan apabila ada penyesalan yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Di hatinya terdapat niat dan tekad untuk memperbaiki serta tidak akan mengulangi kesalahan yang telah diperbuatnya. Manusia yang khilaf senantiasa terbuka pintu maaf dan itu hanya dapat dicapai dengan jalan bertobat sehingga jalan yang diambilnya merupakan jalan yang benar. Kata kunci dalam puisi tersebut adalah pura-pura. Pura-pura di sini diartikan berbuat seolah-olah. Istri atau wanita yang seharusnya setia tetapi berbuat seolah-olah setia. Seorang istri dalam puisi itu, ditinjau dari dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila, mencerminkan bahwa seorang istri tersebut menyadari akan kesalahan yang telah diperbuatnya dan memutuskan untuk kembali kepada suaminya sebagai bentuk kesadaran dari dalam hatinya. Bagaimana pun seorang istri harus setia kepada suaminya.

15

Manusia sebagai makhluk susila dengan dimensi kemanusiaannya, hendaknya dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan hal yang buruk. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma (Hadikusumo 1996: 14). Puisi Ups! merupakan penggambaran bahwa manusia tidak bisa dilepaskan dari budi nurani yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Manusia hendaknya sadar akan norma yang ada dalam masyarakat sehingga akan selalu menjaga citra dirinya dengan baik. 4. Dimensi Humanisme Manusia sebagai Makhluk Beragama Di dalam puisi Pitaloka tercermin penggambaran manusia sebagai makhluk beragama yang menyadari adanya Tuhan, yaitu terdapat dalam puisi Enam Manusia Ciptaan Tuhan.

ENAM MANUSIA CIPTAAN TUHAN Buat Adji Bho Lelaki yang memilih tidak punya kekasih Perempuan yang memilih tidak punya kekasih Lelaki yang memilih jadi kekasih perempuan Perempuan yang memilih jadi kekasih lelaki Lelaki yang memilih jadi kekasih lelaki Perempuan yang memilih jadi kekasih perempuan Ibarat mejikuhibiniu Yang muncul dalam bias rintik hujan Yang kita dendangkan saat kanak-kanak Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan Begitu juga enam jenis manusia Semuanya ciptaan Tuhan Indah bukan ? (Pitaloka 2005: 5) Pembacaan heuristik pada puisi tersebut, mencerminkan dimensi humanisme yang sangat erat yakni hubungan manusia dengan Tuhan. Pada bait ke-1 lelaki yang (telah) memilih tidak (mem) punya (i) (seorang) kekasih // perempuan yang (telah) memilih tidak (mem) punya (i) (seorang) kekasih // lelaki yang (telah) memilih (men) jadi kekasih (seorang) perempuan // perempuan yang (telah) memilih (men) jadi kekasih (seorang) lelaki // lelaki yang (telah) memilih (men) jadi kekasih (seorang) lelaki // (dan) perempuan yang (telah) memilih (men) jadi kekasih (seorang) perempuan //. Pada bait ke-2 (mereka) (di)

16

ibarat (kan) (seperti warna) mejikuhibiniu // yang muncul dalam bias rintik (rintik) hujan // yang (sering) kita dendangkan saat kanak-kanak //. Pada bait ke-3 (dengan menyanyikan) pelangi-pelangi ciptaan Tuhan // begitu juga (dengan) enam jenis manusia // semuanya (adalah) ciptaan Tuhan // (sangat) indah bukan?//. Sesudah dilakukan pembacaan heuristik, lalu ditingkatkan lagi ke pembacaan hermeneutika yang berkaitan dengan dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama. Puisi Pitaloka tersebut, merupakan puisi yang mencerminkan keanekaragaman manusia. Betapa Tuhan itu Maha Agung sehingga sang penyair mengakui akan kebesaranNya. Fenomena manusia yang terjadi di dalam puisi Pitaloka adalah terdapat enam sifat manusia seperti lelaki yang memilih tidak punya kekasih, perempuan yang memilih tidak punya kekasih, lelaki yang memilih menjadi kekasih perempuan, perempuan yang memilih menjadi kekasih lelaki, lelaki yang memilih menjadi kekasih lelaki, dan perempuan yang memilih menjadi kekasih perempuan. Enam sifat manusia itu semuanya ciptaan Tuhan. Meskipun kita tahu hubungan yang lazim terjadi adalah antara laki-laki dengan perempuan. Dalam kenyataan hidup meskipun ada saja yang tidak pantas, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa walaupun ada hubungan yang tidak pantas, namun semuanya merupakan ciptaan Tuhan. Walaupun jika dilihat dari ukuran kemanusiaan hal itu tidak pantas, namun semuanya dikembalikan kepada Tuhan, bahwa semua itu merupakan kehendak dan keanekaragaman ciptaan-Nya. Sebagai manusia, kita tidak boleh merendahkan manusia yang lain walaupun tidak sesuai kodratnya. Matriks puisi tersebut, adalah manusia ciptaan Tuhan. Itulah kebesaran Tuhan yang menciptakan isi alam semesta ini sesuai dengan karakter dan fungsinya masingmasing. Manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya juga memiliki karakter yang berbedabeda. Manusia harus senantiasa mengingat bahwa hidup hanya sementara, sehingga dalam bertindak dan memutuskan harus sesuai dengan ajaran Tuhan serta menghormati hak-hak manusia lain dan menyadari bahwa manusia diciptakan untuk selalu beriman kepada-Nya. E. Simpulan Adapun simpulan mengenai dimensi humanisme dalam puisi-puisi karya Rieke Diah Pitaloka adalah sebagai berikut: 1. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk individu. Ini terlihat dari kebebasan menentukan dan memutuskan yang terbaik untuk dirinya pribadi yang menimbulkan kesadaran tentang dimensi kedirian dari setiap manusia untuk bertindak menurut kehendaknya. 2. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini merupakan simbol bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri. Namun di dalam kehidupan sosialnya hanya untuk mencapai kepentingan sendiri dan memajukan golongannya sehingga mengakibatkan manusia lain tertindas dan menderita.

17

3. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila. Dimensi ini berkaitan dengan ukuran kemanusiaan manusia yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Dalam hal ini manusia ditekankan sebagai makhluk yang menilai. 4. Dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama. Dimensi ini berangkat dari pengakuan manusia tentang adanya Tuhan dan kesadaran manusia itu sendiri, bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya di dalam kehidupan ini.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasai Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Fromm, Erich. 2005. The Art of Loving Memaknai Hakikat Cinta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hadikusumo, Kunaryo. 1996. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press. Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia. Muhadjir, Noeng. 2002.Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Muthahhari, Murtadha. 2002. Manusia dan Alam Semesta. Jakarta: Lentera. Pitaloka, Rieke Diah. 2005. Ups!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Pradopo, Rachmat Djoko 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat UGM Yogyakarta. Sudjiman, Panuti. 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia. Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi. Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

18