Dalam ilmu mekanika, gerak sebuah 'benda kaku (rigid)' dijelaskan atau ... Untuk
sebuah molekul, diperlukan enam kondisi awal (tiga posisi awal dan tiga.
1
Bagian I. DASAR MEKANIKA FLUIDA
Mekanika Kontinum 2
BAB
1 Mekanika Kontinum
1.1
Pendahuluan
Tujuan utama dari bab ini adalah menurunkan persamaan-persamaan dasar yang menjelaskan gerak dari sebuah ‘benda’ solid atau fluida dari prinsip-prinsip dasar fisika. Dalam ilmu mekanika, gerak sebuah ‘benda kaku (rigid)’ dijelaskan atau diprediksikan dengan menggunakan hukum Newton ke dua. Berbeda dengan ‘benda rigid’ di mana tidak terdapat ‘gerakan relatif’ di antara bagian-bagian dari benda tersebut, ‘benda’ yang akan dipelajari ini terdiri dari bagian-bagian yang dapat bergerak secara relatif.
‘Benda rigid’
‘Benda yang akan dipelajari’
Di bawah ini adalah beberapa cara yang mungkin dipakai untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang menjelaskan gerak di ‘benda’ tersebut : 1. Dinamika molekuler (Molecular Dynamics): Dalam metoda ini ‘benda’ dianggap terdiri dari molekul-molekul yang gerakannya diatur oleh hukum Newton kedua. Metoda ini adalah metoda yang paling tepat
Mekanika Kontinum 3
untuk digunakan karena setiap benda terdiri dari molekul-molekul. Namun, metoda ini sulit diterapkan karena alasan-alasan sebagai berikut
Fi = mi
d 2 xi dt •
x i (t o ), x i (t o )
kondisi awal
Untuk menyelesaikan persamaan di atas dibutuhkan kondisi awal dari molekul i. Untuk sebuah molekul, diperlukan enam kondisi awal (tiga posisi awal dan tiga kecepatan awal).
Untuk menjelaskan gerak sebuah benda yang terdiri dari N
molekul, dibutuhkan 6N kondisi awal.
Namun untuk satu mol gas, misalnya,
terdapat sekitar 1020 molekul. Jadi tidak mungkin kita mengetahui kondisi awal dari molekul-molekul yang membentuk benda tersebut. Sehingga persamaan di atas tidak dapat diintegrasikan. Kesimpulan : walaupun metoda ini merupakan metoda yang paling tepat untuk memodelkan ‘benda’ yang akan dipelajari, namun metoda ini sangat sulit untuk diterapkan. 2. Mekanika Statistik : Metoda ini menggunakan prinsip-prinsip statistik dan teori kemungkinan untuk mengatasi persoalan banyaknya kondisi awal yang perlu diketahui, seperti yang dijelaskan di atas.
Dalam metoda ini sifat-sifat ‘benda’ dijelaskan dengan
menggunakan f: ‘statistical distribution function’ yang didefinisikan sebagai berikut. f = f ( x1 ,..., x n ; P1 ,..., Pn ; t )
Pi : momentum i
fdx1 ...dx n dP1 ...dPn = kemungkinan molekul-molekul dalam sistem mempunyai koordinat dan momentum antara xi, Pi dan xi + dxi, Pi + dPi (kemungkinan molekul satu mempunyai koordinat antara x1 dan x1 + dx1 dan momentum antara P1 dan P1 + dP1, molekul dua mempunyai koordinat antara x2 dan x2 + dx2 dan momentum antara P2 dan P2 + dP2, … dan seterusnya).
Mekanika Kontinum 4
Evolusi dari f sendiri dijelaskan dengan persamaan
df ( x1 ,..., x n ; P1 ,..., Pn ; t ) =0 dt
(Teorema Louiville)
Fungsi distribusi f dapat digunakan untuk menghitung nilai rata-rata seperti, n = ∫ fdv , v = u =
1 fvdv . n∫
Nilai-nilai seperti n dan v ≡ u adalah nilai makroskopik atau nilai yang dapat diukur secara langsung. Persamaan-persamaan makroskopik didapatkan dari persamaan Louiville (mengambil ‘moment’ dari persamaan diatas) yaitu dengan mengalikan persamaan Liouiville dengan vn (n = 0, 1, 2) kemudian mengintegrasikan hasilnya. Namun, karena f merupakan fungsi dari seluruh molekul yang ada dalam sistem, persamaan yang didapat sangatlah kompleks dan sulit untuk diintegrasikan. Namun, untuk kasus ‘low density gas’ di mana interaksi antara molekul-molekul dapat diabaikan sehingga f = f ( x, v) (f hanya fungsi dari koordinat dan kecepatan dari sebuah molekul), persamaan yang didapat menjadi lebih sederhana. Persamaan yang didapat disebut ‘persamaan Boltzmann’. Namun, sekali lagi persamaan ini hanya dapat diterapkan untuk kasus ‘low density gas’. 3. Mekanika Kontinum (Continuum Mechanics) Metoda ini adalah metoda yang akan kita pergunakan. Dalam metoda ini struktur molekul dari zat atau ‘benda’ diabaikan dan ‘benda’ dianggap sebagai suatu kesatuan yang kontinyu yang bagian-bagiannya dapat bergerak secara relatif. Yang dimaksud dengan kontinyu disini adalah benda tersebut merupakan suatu kesatuan apabila dilihat secara makroskopik. Contohnya adalah sebuah papan tulis atau sekumpulan gas.
Kita ketahui bahwa papan tulis yang dibuat dari kayu,
misalnya, terbentuk dari kumpulan molekul-molekul yang terpisah-pisah (diskrit). Namun, mata kita tidak melihat kenyataan tersebut. Apa yang kita lihat adalah suatu kesatuan yang kontinyu.
Demikian pula dengan sekumpulan gas.
Gas
tentunya terdiri dari molekul-molekul yang terpisah-pisah, namun kita tidak merasakan hal tersebut. Udara yang sekarang ada disekitar kita, misalnya, “terasa”
Mekanika Kontinum 5
seperti sesuatu yang kontinyu. Dengan kata lain kita tidak merasakan benturanbenturan setiap molekul secara terpisah-pisah. Model continuum tidak dapat diterapkan apabila ukuran dari bagian ‘benda’ yang dipelajari hampir sama dengan dimensi karakteristik dari molekul-molekul ‘benda’ tersebut. Dimensi karakteristik yang biasa dipakai dalam gas adalah ‘mean free path’
(Λ ) . Λ adalah jarak rata-rata yang dilalui sebuah molekul sebelum
bertumbukan dengan molekul lainya. Λ ≈
1
ρ
.
Jika tekanan gas sangat rendah,
seperti di atmosfer bagian atas, Λ dapat saja sebanding dengan gas yang dipelajari dan model kontinum tidak dapat digunakan.
1.2
Kinematika
Seperti dijelaskan di atas, model kontinum mengangap ‘benda’ sebagai sesuatu yang kontinyu. Benda kontinum biasanya dianggap terdiri dari bagian-bagian yang disebut ‘material element’.
Ukuran elemen-elemen ini sangat kecil, dari sudut pandang
makroskopik, tetapi didalamnya terdapat banyak sekali molekul sehingga walaupun kecil elemen-elemen tersebut adalah sebuah kontinum. Asumsi kontinum menganggap setiap titik dalam ruang yang dipelajari diduduki oleh ‘benda tersebut’. Sehingga terdapat ‘korespondensi satu-satu’ antara ruang dan benda kontinum. Hal ini memungkinkan kita untuk menjelaskan harga dari sebuah variabel dengan menggunakan dua sudut pandang yang berbeda.
Contohnya misalkan kita
menyatakan kecepatan dari sebuah ‘material element’. Yang mempunyai kecepatan itu adalah ‘material element’ tersebut. Tetapi karena setiap titik dalam ruang diduduki oleh bagian dari benda kontinum, kita dapat meyatakan bahwa kecepatan dari ‘material element’ tersebut adalah kecepatan pada sebuah titik dalam ruang yang diduduki oleh ‘materal element’ pada saat itu. Hukum-hukum dasar fisika (seperti hukum Newton II) dituliskan untuk sebuah partikel atau benda rigid yang seluruh elemen dari benda tersebut bergerak dengan kecepatan
Mekanika Kontinum 6
yang sama. Benda continuum yang akan kita pelajari adalah benda yang elemenelemennya atau bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda (ada gerakan relatif antarelemen-elemen di benda continuum). Oleh karena itu, kita harus lebih berhati-hati dalam menerapkan persamaan-persamaan dasar fisika untuk benda kontinum yang akan kita pelajari. Misalnya kita harus mengetahui apa artinya turunan waktu (
d ) dari sebuah benda yang bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan dt
yang berbeda. Hal-hal seperti itulah yang akan dibahas dalam bagian ini.
1.2.1 Sudut Pandang Lagrangian dan Eularian Karena adanya ‘korespondensi satu-satu’ antara benda kontinum dan ruang, maka gerak benda kontinum dapat dijelaskan sebagai berikut : Benda kontinum, kita bayangkan, terdiri dari bagian-bagian kecil yang kita sebut ‘material element’.
Material element ini kita beri label ζ.
Karena adanya
korespondensi satu-satu maka ada ‘mapping’ χ yang menghubungkan setiap ‘material element’ ζ dengan setiap titik x dalam ruang. Sehingga dapat kita nyatakan : x = χ (ζ ) dan ζ = χ −1 ( x)
Artinya : titik x dalam ruang adalah titik yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah material element yang berada di titik x dalam ruang.
Apabila kita perkenalkan sebuah sistem koordinat seperti di atas maka kita dapat tuliskan persamaan di atas sebagai berikut : x = χ (ζ ) , ζ = χ −1 ( x)
Mekanika Kontinum 7
Artinya : posisi x dalam ruang adalah posisi yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah material element yang berada di posisi x dalam ruang. Gerak dari benda kontinum adalah : x = χ (ξ , t ) dan ξ = χ −1 ( x, t )
hubungan diatas menjelaskan dimana posisi ( x ) dari ξ pada waktu t atau ξ adalah partikel/material element yang berada di posisi x pada waktu t. Posisi awal dari partikel ξ ( ξ ) dapat pula kita gunakan untuk alternatif penulisan persamaan di atas, x = χ (ξ , t )
(2.1)
ξ = χ −1 ( x , t )
(2.2)
Persamaan (2.1) menjelaskan deformasi dari sebuah material element yang awalnya berada di posisi ξ sedang (2.2) adalah menelusuri posisi awal dari material element yang yang pada waktu t berada di posisi x .
Asumsi : Dengan adanya χ
−1
maka kita asumsikan bahwa gerakan benda kontinum
adalah gerakan yang kontinyu dan “single valued” (material element tidak dapat dipecah dan menempati 2 tempat yang berbeda juga 2 material element berbeda tidak dapat menempati posisi yang sama). Persamaan (2.1) dan (2.2) menjelaskan 2 sudut pandangan berbeda yang dapat kita gunakan dalam mempelajari mekanika benda kontinum. Apabila kita gunakan (2.1) kita mengikuti gerak dari sebuah material element yang kita beri label ξ . Sudut pandang ini disebut sudut pandang Lagrangian.
Sudut pandang seperti inilah yang digunakan
apabila kita menuliskan hukum Newton II untuk sebuah partikel/benda rigid (kita ikuti gerakan dari partikel/benda rigid tersebut). Sedangkan (2.2) menjelaskan sesuatu yang sama dengan (2.1) tetapi dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda. Disini kita perhatikan sebuah titik dan mengamati “material element” yang berada dititik tersebut pada waktu t.
Untuk
Mekanika Kontinum 8
mengamati gerakan dari benda kontinum maka kita perlu mengamati seluruh titik dalam ruang yang pada waktu tertentu diduduki oleh bagian-bagian berbeda dari benda kontinum. Disini variabel yang independen adalah x dan t. Sudut pandang seperti ini disebut sudut pandang Eulerian. Dengan persamaan (2.1) dan (2.2) kita dapat menyatakan harga dari sebuah variabel F dengan menggunakan 2 sudut pandang yang berbeda; F(x,t) = F[x(ξ ,t)] = F(ξ ,t)
Artinya harga variabel F diposisi x pada waktu t adalah harga F dari partikel yang berada di x pada waktu t.
Jadi kita dapat menyatakan harga F, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang dimiliki oleh partikel, adalah harga disuatu posisi pada ruang. Ini dimungkinkan karena adanya korespondensi satu-satu yang merupakan konsekuensi dari asumsi bahwa “benda” dianggap suatu yang kontinum.
1.2.2 Turunan Material Sekarang kita akan lihat konsekuensi dari kesamaan antara 2 sudut pandang, Lagrangian dan Eulerian, dalam mengevaluasi turunan waktu dari sebuah kuantitas F (ξ , t ) . Turunan waktu dari F (ξ , t ) yang diobservasi oleh pengamat yang bergerak
bersama material element ξ adalah,
dF ∂ F (ξ , t ) = ≡ dt ∂t ∂F 3 ∂F = +∑ ∂t i =1 ∂xi
∂ F ⎡ x(ξ , t ), t ⎤⎦ ξ kons tan ∂t ⎣ ∂F ⎛ ∂xi ⎞ + ( u ⋅∇ ) F ⎜ ⎟ = ∂t ⎝ ∂t ⎠ξ
⎛ ∂x ⎞ Di mana u = ⎜ ⎟ (perubahan waktu dari koordinat partikel ξ ). Kuantitas F bisa ⎝ ∂t ⎠ ξ merupakan skalar, vektor, atau tensor dengan orde yang lebih tinggi lainnya. Sekarang kita akan menuliskan kembali hasil di atas yaitu,
Mekanika Kontinum 9
dF ∂F = + (u ⋅ ∇ )F dt ∂t
(2.3)
Arti dari suku sebelah kiri telah dijelaskan di atas. Hukum-hukum dasar fisika biasanya ⎛d ⎞ dituliskan dengan menggunakan turunan yang mengikuti benda yang bergerak ⎜ F ⎟ . ⎝ dt ⎠
Karena kita dapat menggunakan sudut pandang lainnya (Eulerian) maka turunan tersebut yang juga disebut “turunan material” atau “turunan substansial” dapat dituliskan seperti dalam persamaan
(2.3).
Suku pertama disebelah kanan berarti
turunan waktu dari F di sebuah titik. Suku inilah mempunyai harga nol dalam kasus Steady.
Suku kedua di sebelah kanan menjelaskan perubahan waktu dari F yang
diakibatkan oleh pergerakan material element di daerah di mana terdapat ∇F .
1.2.3 Reynold Transport Theorem Di subbagian ini, kita akan mempelajari cara untuk mengevaluasi turunan material dari integral volume dari sebuah kuantitas F. Ini akan sangat berguna pada waktu kita membahas dinamika benda kontinum nanti. Untuk generalitas, kita misalkan volume dapat berubah-ubah (V=V(t)) dan juga permukaannya bergerak dengan kecepatan
v . Jadi permasalahannya adalah
d F ( x, t ) dV = ? dt V∫( t )
Kita mulai dari definisi
d : dt
lim ⎧⎪ 1 ⎡ d = F x t dV F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t ) dV ( , ) ⎨ ⎢ ∆t → 0 ⎪ ∆t ⎢⎣V ( t∫+ ∆t ) dt V ∫( t ) V (t ) ⎩ d F (t ) dt V ∫( t )
dV =
lim ⎧⎪ 1 ⎡ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t + ∆t ) dV + ⎨ ⎢ ∆t → 0 ⎪ ∆t ⎢⎣V ( t∫+∆t ) V (t ) ⎩
⎤ ⎫⎪ ⎥⎬ ⎥⎦ ⎪⎭
∫
V (t )
F (t + ∆t ) dV −
∫
V (t )
F (t ) dV
⎤ ⎫⎪ ⎥⎬ ⎥⎦ ⎪⎭
Mekanika Kontinum 10
Perhatikan 2 suku terakhir di sebelah kanan lim
∫
∆t → 0 V ( t )
[F (∆t + t ) − F (t )] dV = ∆t
∫
lim
V (t )
∆t → 0
[F (∆t + t ) − F (t )] dV = ∆t
∂F dV t ∂ V (t )
∫
Jadi lim 1 d F (t ) dV = ∫ ∆t → 0 ∆t dt V ( t )
∫
F (t + ∆t ) dV +
V ( t + ∆t ) −V ( t )
∂F dV t ∂ V (t )
∫
Di mana,
∫ F (t + ∆t ) dV ≡ ∫ F (t + ∆t ) dV − ∫ F (t + ∆t ) dV
V ( t + ∆t ) −V ( t )
V ( t + ∆t )
V (t )
adalah perubahan F yang disebabkan oleh perubahan volume
Untuk mengevaluasi integral ini (disebabkan oleh perubahan V), kita perhatikan sketsa di atas. Gambar pertama adalah volume pada waktu t dan yang kedua pada waktu
(t + ∆t ) .
Gambar yang paling kanan adalah kedua volume tersebut apabila kita
tumpukkan volume V(t) “di dalam” volume V (t + ∆t ) . Perbedaan antara kedua volume tersebut adalah daerah yang bertitik-titik dan harga volume didaerah ini adalah
∫
dV . Untuk mendapatkan volume di daerah ini, kita perhatikan bagian kecil
V ( t + ∆t ) −V ( t )
dari daerah tersebut dan ini digambarkan di bagian bawah dalam sketsa di atas. Dari sketsa tersebut jelaslah bahwa volume daerah tersebut adalah (v ⋅ nˆ ∆t dS ) . Dengan demikian maka,
Mekanika Kontinum 11
lim
1 ∆t → 0 ∆t
lim
∫ F (t + ∆t ) dV = ∆t → 0 ∫ F (t + ∆t ) v ⋅ nˆ dS = ∫ F (t ) v ⋅ nˆ dS
V ( t + ∆t ) −V ( t )
S (t )
S (t )
Akhirnya kita gunakan integral-integral ini dan hasilnya adalah ∂F ( x, t ) d F ( x, t ) dV = ∫ dV + ∫ F ( x, t ) v ⋅ n dS ∫ dt V ( t ) ∂T V (t ) S (t )
(2.4)
Persamaan terakhir dikenal dengan sebutan Reynolds Transport Theorem.
Contoh: F = 1 ⇒
d dV = ∫ (v ⋅ nˆ )dS = ∫ (∇.v )dV dt V∫( t ) S (t ) V (t )
Apabila V(t) sangat kecil V (t ) → δ V (t ) maka 1 d (δV ) = ∇ ⋅ V δV dt
1.2.4 Deformasi benda kontinum Di subbagian berikut ini kita akan mempelajari deformasi dari sebuah benda kontinum. Benda kontinum adalah benda yang tidak rigid. Jadi bagian-bagian dari benda ini dapat bergerak secara relatif. Gerak relatif ini menyebabkan terjadinya deformasi benda kontinum.
Kita akan mempelajari deformasi dan laju perubahan dari deformasi
tersebut. Ini nantinya akan berguna dalam memahami gerakan benda kontinum dan juga dalam menentukan persamaan konstitutif yang akan kita bahas nanti. Untuk mempelajari deformasi kita akan amati 2 atau 3 titik didalam benda kontinum (point P dan Q atau point P,Q,dan R) sebelum dan sesudah deformasi. Nanti akan ditunjukkan bahwa perubahan bentuk atau deformasi dijelaskan oleh sebuah matrix C . Sedangkan ‘rate’ dari deformasi dijelaskan oleh matrix D .
Deformasi itu sendiri menyebabkan perubahan panjang dari sebuah segmen dalam kontinum. Selain itu deformasi juga menyebabkan terjadinya perubahan sudut antara dua segmen.
Mekanika Kontinum 12
i) Deformation Gradien Tension : F
ξ3 , x3
Q: x (ξ + dξ,t)
ε + dε
dx= dx lˆ
Q0
ξ + dξ
ξ
dξ = dξ Lˆ P: x(ξ,t) P0
ε
ξ2 , x2
ξ1 , x1
lˆ : unit vektor di arah p pada waktu t
Lˆ : unit vektor di arah P • Q pada waktu t = 0
Untuk mempelajari deformasi benda kontinum, kita perhatikan 2 buah titik P dan Q di dalam material. Pada Waktu t, titik P berada di posisi x dan Q berada di posisi x + d x . Sedangkan pada waktu t = 0 (awalnya), titik P berada di posisi ξ, dan Q berada di posisi
ξ + d ξ . Sekarang kita akan mempelajari hubungan antara dx dan dξ, yaitu vektor yang menghubungkan titik P dan Q pada waktu t dan t = 0. Karena PQ sangat dekat, maka untuk menentukan posisi Q pada waktu t, maka kita dapat menggunakan ekspansi Taylor, x(ξ + d ξ , t ) = x(ξ , t ) +
∂ x (ξ , t ) ∂ξ
Sehingga, d x = x(ξ + d ξ , t ) − x(ξ , t ) =
( ).
⋅ dξ + θ ξ
∂ x(ξ , t ) ∂ξ
2
⋅ dξ
Mekanika Kontinum 13
Apabila kita definisikan F ≡
∂ x(ξ , t ) ∂ξ
, maka d x = F ⋅ dξ .
Tensor orde dua F disebut juga “Deformation Gradien Tensor”. Dengan menggunakan invers dari F , F
−1
−1
⋅ d x = F F ⋅ dξ = dξ
di mana F
•
−1
=
∂ξ ∂x
Stretch Ratio
Sekarang kita akan lihat bagaimana panjang dari PQ , atau panjang dari sebuah ‘material line’ berubah karena deformasi. Pertama-tama kita tuliskan dx
(
d x = F ⋅ d ξ = F ⋅ dξ Lˆ
)
karena d ξ = dξ Lˆ (lihat gambar di atas!). Tetapi d x = dxlˆ sehingga,
dξ l = F ⋅ Lˆ dx
Sekarang, kita cari panjang PQ pada waktu t, dξ 2 dx = l ⋅ d x = l ⋅ F ⋅ L dξ = F⋅L ⋅ F⋅L dx 2 T ⎛ dx ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ = L ⋅ F F ⋅ L ⎝ dξ ⎠
(
)
(
)(
)
atau
( )
λ Lˆ = Lˆ ⋅ C ⋅ Lˆ
T
di mana C ≡ F F
⎛ dx ⎞ dan λ ≡ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ dξ ⎠
Dari persaman di atas dapat dilihat bahwa λ atau rasio dari panjang PQ pada waktu t dan t = 0, dapat dihitung apabila F diketahui.
Mekanika Kontinum 14
•
Perubahan Sudut
R
R
0
dξ’
dy
P
Ф
0
Q
ө
dξ
P
Q0
dx
d ξ ' = dξ ' Mˆ d y = dy mˆ
Selain mengalami perubahan panjang, benda kontinum juga dapat mengalami perubahan sudut antara 2 material line dan deformasi.
Sekarang kita akan lihat
bagaimana sudut antara 2 material line ini berubah. Untuk itu, kita tampilkan sebuah titik baru, yaitu titik R. Sudut antara PQ dan R pada waktu t adalah, dx dy ⋅ cos θ = lˆ ⋅ mˆ = dx dy
Namun, d x = F ⋅ d ξ dan d y = F ⋅ d ξ . Kita dapat gunakan F yang sama untuk d x '
dan d y , karena F adalah fungsi ξ dan t atau harganya tergantung dari titik P. Dengan demikian maka,
( cos θ = lˆ ⋅ mˆ =
F ⋅ dξ ) dx
( F ⋅ dξ ) = ⎛ dξ ⎞ ⋅ ⋅ '
⎛ dξ ' ⎞ ⎟ ⎜ ⎟ F F ⋅⎜⎜ ⎟ dy ⎝ dx ⎠ ⎝ ⎠ T Lˆ ⋅ F F ⋅ Mˆ
dy
(
T
)
' ⎛ dξ ⎞ ˆ T ˆ ⎛⎜ d ξ ⎞⎟ = L F F M =⎜ ⋅ ⋅ ⎟ ⎝ dx ⎠ ⎝ dy ⎠ λ Lˆ λ Mˆ
( ) ( )
atau
(
ˆ
ˆ
) λL(Lˆ⋅ C) λ⋅(MMˆ )
cos θ Lˆ , Mˆ =
Jadi, sama seperti perubahan panjang, perubahan sudut ditentukan oleh F .
Mekanika Kontinum 15
ii) Velocity Gradient Tensor : ∇u
Di i), kita telah pelajari deformasi dari material line. Sekarang kita akan pelajari ‘rate’ dari deformasi tersebut. Pertama-tama kita akan lihat turunan material dari F d d ⎛ ∂ x(ξ , t ) ⎞⎟ ∂ ⎛ dx ⎞ ∂u ∂u ( x, t ) ∂u ∂ x F= ⎜ = = = ⎜ ⎟= dt dt ⎜⎝ ∂ξ ⎟⎠ ∂ξ ⎝ dt ⎠ ∂ξ ∂ξ ∂ x ∂ξ d F = ∇u F dt
•
⎛ dx ⎞ Rate Dari Perubahan Panjang ⎜ ⎟ ⎝ dt ⎠
Mari kita lihat turunan material dari vektor PQ
(
)
dF d (d x ) = d (F ⋅ d ξ ) = ⋅ d ξ = ∇u F ⋅ d ξ dt dt dt Namun, karena d x = dxlˆ , maka,
ˆ d (d x ) = d (dx ) lˆ + dx dl dt dt dt sehingga, d (dx ) ˆ dlˆ = (∇u F ) ⋅ d ξ l + dx dt dt
Sekarang kita cari
(D.B. 1)
d (dx ) , dan ini kita dapatkan dengan mengambil dot product dt
persamaan di atas, d (dx ) dlˆ + dx ⋅ lˆ = lˆ ⋅ (∇u F ) ⋅ d ξ = lˆ ⋅ ∇u ⋅ d x = lˆ ⋅ ∇u ⋅ lˆdx dt dt karena lˆ ⋅ lˆ = 1 maka
( )
d ˆ ˆ dlˆ dlˆ l ⋅ l = 2lˆ = 0 atau lˆ = 0 dt dt dt Jadi, 1 d (dx ) ˆ = l ⋅ ∇u ⋅ lˆ dx dt
Mekanika Kontinum 16
Dari persamaan di atas, kita lihat bahwa ‘rate’ dari perubahan panjang PQ tergantung dari harga ∇u . Oleh karena itu, mari kita lihat ∇u secara lebih mendalam. Pertamatama ∇u dapat kita tuliskan sebagai berikut, ∇u =
(
) (
)
1 1 T T ∇u + (∇u ) + ∇u − (∇u ) 2 2
Ω
D
Dari bentuknya, dapat dilihat bahwa matriks D adalah matriks yang simetrik dan Ω adalah matriks antisimetrik. Sekarang kita lihat 2d x ⋅ Ω ⋅ d x ,
(
)
2d x ⋅ Ω ⋅ d x = d x ⋅ ∇u − (∇u ) ⋅ d x T
= d x ⋅ ∇u ⋅ d x − d x ⋅ (∇u ) ⋅ d x =0 T
lˆ ⋅ Ω ⋅ lˆ = 0 . Dengan demikian, maka ‘rate’ dari perubahan panjang adalah 1 d (dx ) ˆ = l ⋅ ∇u ⋅ lˆ = lˆ ⋅ (D + Ω ) ⋅ lˆ = lˆ ⋅ D ⋅ lˆ dx dt atau
1 d (dx ) ˆ = l ⋅ D ⋅ lˆ dx dt
•
⎛ dθ ⎞ Rate Dari Perubahan Sudut ⎜ ⎟ ⎝ dt ⎠
Untuk melihat ‘rate’ dari perubahan sudut, kita ambil turunan material dari cos θ = lˆ ⋅ mˆ .
d dθ ⎛d cos θ = − sin θ = ⎜ dt dt ⎝ dt
⎞ ⎛d ⎞ lˆ ⎟ ⋅ mˆ + lˆ ⋅ ⎜ mˆ ⎟ ⎠ ⎝ dt ⎠
d ˆ sin θ = lˆ × mˆ dan l dapat ditemukan dengan mengambil dot product persamaan dt
(DB.1) dengan
d ˆ l . Hasilnya adalah, dt
Mekanika Kontinum 17
{ (
)}
dlˆ = ∇u ⋅ lˆ − lˆ ⋅ ∇u ⋅ lˆ lˆ dt
Dengan demikian, maka,
[{ (
)
) }]
}( ) {(
dθ −1 ˆ T = l ⋅ ∇u ⋅ lˆ + mˆ ⋅ (∇u ⋅ mˆ ) lˆ ⋅ mˆ − lˆ ⋅ ∇u + (∇u ) ⋅ mˆ ˆ dt l × mˆ Dengan menggunakan ∇u = D + Ω dan lˆ ⋅ Ω ⋅ lˆ = 0 ,
[{ ( )
}( )
−1 ˆ dθ = l ⋅ D ⋅ lˆ + mˆ ⋅ (D ⋅ mˆ ) lˆ ⋅ mˆ − 2lˆ ⋅ D ⋅ mˆ ˆl × mˆ dt
Jadi, sama seperti
]
dx dθ , juga bergantung dari D . Sehingga dapat disimpulkan dt dt
bahwa kontribusi D di dalam ∇u adalah dalam perubahan panjang dan sudut. Jadi, D menjelaskan gerakan relatif dari bagian-bagian benda yang membuat benda menjadi tidak rigid. Contoh : 1. PQ // eˆ1 sehingga
1 d dx (dx ) = D11 = eˆ1 = lˆ . Jadi dx dt dx
* Dii adalah perubahan waktu dari strain yang paralel dengan eˆ1 2. d y // eˆ1 dan dx // eˆ2 sehingga lˆ = eˆ2 dan mˆ = eˆ1
⇒ lˆ ⋅ mˆ = 0
dθ = −2D21 dt * D21 adalah
1 dari perubahan waktu dari sudut antara 2 segmen yang tadinya // 2
dengan eˆ1 dan eˆ2 axis. •
Rate of Rotation (Ω )
Kita telah buktikan sebelumnya, bahwa apabila kita dekomposisikan tensor ∇u menjadi ∇u = D + Ω , maka D menjelaskan bagaimana panjang sebuah segmen dan sudut antara 2 buah segmen berubah. Sekarang kita akan lihat kontribusi dari Ω ,
Mekanika Kontinum 18
⎡ 0 ⎢ ⎢ ∂u ⎞ 1 ⎢⎛ ∂u Ω = ⎢⎜⎜ 2 − 1 ⎟⎟ 2 ⎢⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ⎢⎛ ∂u 3 ∂u1 ⎞ ⎟⎟ − ⎢⎜⎜ ⎢⎣⎝ ∂x1 ∂x3 ⎠
⎛ ∂u1 ∂u 2 ⎜⎜ − ⎝ ∂x 2 ∂x1
⎞ ⎟⎟ ⎠
0 ⎛ ∂u 3 ∂u 2 ⎜⎜ − ∂ ∂x3 x 2 ⎝
⎞ ⎟⎟ ⎠
⎛ ∂u1 ∂u 3 ⎞ ⎤ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎥ − ⎝ ∂x3 ∂x1 ⎠ ⎥ ⎛ ∂u 2 ∂u 3 ⎞⎥ ⎜⎜ ⎟⎟⎥ − ⎝ ∂x3 ∂x 2 ⎠⎥ ⎥ 0 ⎥ ⎥⎦
Dari matriks Ω di atas, jelaslah bahwa Ω hanya mempunyai 3 independen komponen. Sekarang kita tuliskan dan perhatikan vektor ω ≡ ∇ × u . ⎛ ∂u 3 ∂u 2 − ⎝ ∂x 2 ∂x3
ω = ⎜⎜
⎞ ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎛ ∂u ∂u ⎞ ⎟⎟ eˆ1 + ⎜⎜ 1 − 3 ⎟⎟ eˆ2 + ⎜⎜ 2 − 1 ⎟⎟ eˆ3 ⎝ ∂x1 ∂x 2 ⎠ ⎠ ⎝ ∂x3 ∂x1 ⎠
Apabila kita perhatikan dengan seksama, maka jelaslah bahwa komponen-komponen dari ω adalah komponen-komponen independent dari Ω .
Bahkan, apabila kita
definisikan tensor ∈ijk maka seperti di bawah ini, maka kita dapatkan, 1 Ω ij = − ∈ijk ω k 2 di mana ⎧ 0, (i = j , j = k , k = i ) ⎪ ∈ijk = ⎨ 1, (123 , 312 , 231) atau cyclic . ⎪− 1, (tidak cyclic) ⎩
Juga apabila A dan B adalah vektor, maka, A × B = ∈ijk A j Bk eˆi sehingga, du Di mana d u
(a )
(a )
1 ⎛1 ⎞ ≡ Ω ⋅ d x = − d x ×ω = ⎜ ω ⎟× d x . 2 ⎝2 ⎠
adalah salah satu suku dari, d u = ∇u ⋅ d x = D ⋅ d x + Ω ⋅ d x ≡ d u
(s )
+ du
(a )
Mekanika Kontinum 19
Dalam mekanika partikel, hubungan antara kecepatan partikel Q (u Q ) yang diamati dari rangka acuan I (diam) dan II (bergerak dan berputar dengan Ω ) adalah, U QI = U QII + Ω × x Qdilihat dari II
Jadi, du(α) adalah kecepatan relatif terhadap sebuah titik di mana ada "rigid body rotation" dengan kecepatan angular 1 ω . 2
Kesimpulan tentang ∇u : Dengan mendekomposisikan ∇u menjadi D & Ω kita dapat melihat bahwa ∇u menjelaskan bagaimana benda kontinum (benda yang tidak rigid) bergerak. Bagianbagian dari benda kontinum dapat bergerak secara relatif (sudut antara 2 segmen dapat berubah, panjang antar segmen dapat berubah) dan gerakan relatif ini dijelaskan oleh D. Selain itu benda kontinum dapat juga berotasi seperti benda rigid. Rotasi ini dijelaskan oleh Ω .
Lebih tepatnya Ω menjelaskan perubahan waktu dari rotasi tersebut
(kecepatan angular). •
Strain Tensor
Seringkali dalam engineering, deformasi benda dijelaskan dengan menggunakan apa yang disebut dengan “Strain Tensor”. Untuk itu kita perhatikan hal-hal berikut ini. Pertama-tama perhatikanlah selisih antara panjang awal dan akhir yang dinyatakan sebagai, ds 2 − dS 2 = d x ⋅ d x − d ξ ⋅ d ξ = ( F ⋅ d ξ ) ⋅ ( F ⋅ d ξ ) − d ξ ⋅ d ξ = d ξ ⋅ ( F F − I ) ⋅ d ξ T
atau −1
−1
−1
−1
ds 2 − dS 2 = d x ⋅ d x − d ξ ⋅ d ξ = d x ⋅ d x − ( F ⋅ d x) ⋅ ( F ⋅ d x) = d x ⋅ ( I − ( F )T F ) ⋅ d x
Green/Lagrangian Strain Tensor didefinisikan sebagai, Σ=
1 T (F F − I ) 2
Sedangkan Almansi/Eulerian Strain Tensor didefinisikan sebagai, 1 2
ε = ( I − ( F −1 ) T F −1 )
Mekanika Kontinum 20
Dari definisinya terlihat bahwa Green strain tensor adalah tensor yang berbanding terbalik dengan panjang pada konfigurasi awal (dS), sedangkan Almansi strain tensor berbanding terbalik dengan panjang pada konfigurasi saat itu (ds). Definisi-definisi diatas dapat pula dituliskan dengan menggunakan vektor perpindahan ε (lihat sketsa pada awal sub bagian ini) dimana, d x = dε + dξ sehingga, dx =
∂ε ∂ε −1 ⋅ d x + F ⋅ d x atau d x = F ⋅ d ξ = ⋅ dξ + dξ ∂x ∂ξ
Dari kedua persamaan terakhir dapat dilihat bahwa, F
−1
=I−
∂ε ∂ε dan F = +I ∂x ∂ξ
Akhirnya Green dan Almansi strain tensor dapat dinyatakan seperti, T
T
T T ⎛ ∂ε ⎞ ∂ε ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ∂ ∂ ∂ ε ε ε ∂ε 1 1 ∂ε ⎛⎜ ∂ε ⎞⎟ ) ) dan ε = ( + ⎜⎜ ⎟⎟ − ⎜⎜ ⎟⎟ +⎜ ⎟ Σ= ( + ⎜ ∂ξ ⎟ ∂ξ ∂ ∂ ∂ ∂ 2 x x x x 2 ∂ξ ⎜⎝ ∂ξ ⎟⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Dari definisinya terlihat bahwa kedua tensor diatas adalah tensor orde 2 yang simetris. Karena kedua tensor tersebut adaah fungsi dari F maka kedua strain tensor tersebut menjelaskan deformasi dari benda kontinuum. Kedua strain tensor diatas sering digunakan didalam mekanika solid. Banyak kasus dalam engineering dimana gradien dari vektor perpindahan amatlah kecil (
∂ε ∂ε σ3. Dari T ( nˆ ) = σ ⋅ nˆ , kita lihat bahwa σN adalah
σ N = T ( nˆ ) ⋅ nˆ = σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3 n32 Dengan demikian maka σs2 menjadi,
σ s2 = σ 12 n12 + σ 22 n22 + σ 32 n32 − (σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3 n32 ) . 2
Sekarang kita akan mencari harga minimum dan maksimum dari σs. Namun, perlu diingat bahwa, n12 + n22 + n32 = 1 Dengan demikian maka untuk menentukan harga-harga minimum dan maksimum, kita dapat gunakan metode “Lagrange Multipliers”. Seperti kita ketahui prosedur dalam metode ini adalah membentuk sebuah fungsi,
(
F = σ s2 − λ n12 + n22 + n32
)
di mana λ adalah sebuah multiplier. Karena persamaan di atas adalah fungsi dari n1, n2, n3, maka untuk menentukan harga minimum dan maksimum kita ambil
Mekanika Kontinum 41
∂F ∂F ∂F = 0, = 0, =0. ∂n1 ∂n3 ∂n2 Apabila ini dilakukan maka didapatkan,
( ( (
) ) )
n1 ⎡⎣σ 12 − 2σ 1 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3n32 + λ ⎤⎦ = 0 n2 ⎡⎣σ 22 − 2σ 2 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3 n32 + λ ⎤⎦ = 0 n3 ⎡⎣σ 32 − 2σ 3 σ 1n12 + σ 2 n22 + σ 3n32 + λ ⎤⎦ = 0 Selain itu, n12 ⊕ n22 ⊕ n32 = 1 . Keempat persamaan terakhir dapat diselesaikan untuk mendapatkan n1, n2, n3, dan λ. Satu set solusi adalah, ⎧±1⎫ ⎧0⎫ ⎧0⎫ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ nˆ = ⎨ 0 ⎬ , nˆ = ⎨±1⎬ , nˆ = ⎨ 0 ⎬ ⎪0⎪ ⎪±1⎪ ⎪0⎪ ⎩ ⎭ ⎩ ⎭ ⎩ ⎭
Untuk harga-harga nˆ ini, σ s = 0 . Ini tentunya adalah harga minimum dari σs. Satu set solusi lagi adalah,
⎧ ⎫ ⎪ 0 ⎪ ⎪⎪ ⎪⎪ (σ − σ 3 ) nˆ = ⎨± 1 ⎬ di mana σ s = 2 2 2⎪ ⎪ ⎪± 1 ⎪ ⎪⎩ 2 ⎪⎭ ⎧± 1 ⎫ 2⎪ ⎪ ⎪ ⎪ (σ − σ 1 ) nˆ = ⎨ 0 ⎬ di mana σ s = 3 2 ⎪ 1 ⎪ ⎪± 2 ⎪⎭ ⎩
⎧± 1 ⎫ 2⎪ ⎪ ⎪ 1 ⎪ (σ 1 − σ 2 ) nˆ = ⎨± ⎬ di mana σ s = 2 2⎪ ⎪ ⎪ 0 ⎪ ⎩ ⎭ Karena σ1 > σ2 > σ3 maka nˆ yang terakhir adalah nˆ yang memberikan harga σs yang tertinggi (maksimum).
Mekanika Kontinum 42
1.3.5 Hukum Kekekalan Energi ( Hukum Termodinamika I)
Berikutnya kita akan tuliskan hukum termodinamika I untuk benda kontinum. Hukum ini berbunyi, Untuk sebuah “material volume” yang merupakan sistim tertutup, perubahan waktu dari energi dalam dan energi kinetik sama dengan perubahan waktu dari kerja yang dilakukan terhadap “material volume” oleh gaya-gaya yang beraksi di permukaan dan dalam “material volume” ditambah dengan perubahan waktu dari panas yang diberikan kepada “material volume” tersebut. Berikut ini adalah penjelasan tentang apa yang disebut dengan energi dalam (internal energy). Energi dalam adalah total energi dari molekul-molekul. Energi ini mencakup: energi kinetik translasi dan rotasi , energi dari vibrasi (vibrational energy), dan energi elektronik yang disebabkan oleh pergerakan elektron disekitar nukleus dari molekul. Energi kinetik translasi dan rotasi di sini adalah energi kinetik di luar energi kinetik makroskopik. Walaupun dalam model kontinum kita mengabaikan struktur-struktur molekul, energi-energi ini harus diikutisertakan di dalam penulisan hukum kekekalan energi. Namun, energi-energi tersebut disatukan menjadi apa yang disebut dengan energi dalam. Untuk sebuah material element, energi dalamnya adalah,
ε i = lim ei ∆mi ∆Vi →∈
= lim ρi ei ∆Vi
di mana ei adalah energi dalam per unit massa.
∆Vi →∈
total energi dalam di dalam material volume adalah,
∫( ρ) edV
Vm t
Mekanika Kontinum 43
Berikutnya adalah energi kinetik (makroskopik). Definisi dari energi kinetik dari sebuah material element adalah, KEi =lim ∆Vi →∈
∆mi 2 lim ρ u2 ui = ∆Vi →∈ i i ∆Vi 2 2
Dengan demikian maka energi kinetik dalam Vm(t) adalah,
∫
ρ
Vm ( t )
u2 dV 2
Sekarang kita beralih ke perubahan waktu dari kerja. Definisi dari power untuk sebuah material element adalah,
δ Wi ≡ F i ⋅ ui sehingga,
δW =
∫ ρ G ⋅ udV + ∫ T
Vm ( t )
(
( nˆ )
⋅ udS =
Sm (t )
∫ ρ G ⋅ udV + ∫ ρ G ⋅ udV + ∫ (σ
Vm ( t )
Vm ( t )
T
)
⋅ nˆ ⋅ udS
Sm (t )
)
Karena σ ⋅ nˆ ⋅ u = (σ ⋅ u ) ⋅ nˆ maka, T
δW =
∫ ρ G ⋅ udV + ∫ (σ ⋅ u )⋅ nˆdS
Vm ( t )
Sm (t )
Yang terakhir adalah perubahan waktu dari panas ( δQ ). Ada 2 tipe perpindahan panas dalam mekanika kontinum : i.
Konduksi Panas: ini adalah perpindahan energi dari bagian yang lebih energetik ke bagian tetangganya yang kurang energetik.
Perpindahan energi ini
disebabkan oleh interaksi antar molekul. Sama seperti “surface fence” yang juga disebabkan oleh interaksi antar molekul, konduksi panas dituliskan sebagai integral permukaan, −
∫ q ⋅ nˆdS
S (t )
Tanda minus di depan integral diatas digunakan untuk menjamin apabila panas masuk ke dalam sistem maka δQ adalah positif sesuai konvensi dalam termodinamik. ii.
Radiasi : Apabila panas diberikan kepada zat maka “energy state” dari atomatom dan molekul-molekul naik ke “excited state”. Namun, ada kecenderungan
Mekanika Kontinum 44
dari atom-atom molekul-molekul tersebut untuk kembali ke “energy state” yang lebih rendah. Ini dilakukan dengan emisi energi. Energi ini dipindahkan oleh gelombang elektromagnetik dan tidak membutuhkan medium.
Perpindahan
energi seperti ini disebut radiasi dan langsung dapat dirasakan oleh setiap material element dalam V(t). Contohnya adalah radiasi dari sinar matahari. Perubahan energi ini dituliskan seperti di bawah ini,
∫ ρQdV
V (t )
di mana Q : Energi radiasi (rate)/unit massa. Sekarang kita telah siap untuk menuliskan hukum termodinamika I untuk benda continuum. Hukum ini adalah, ⎛ d u2 ⎜ + ρ e 2 dt Vm∫(t ) ⎜⎝
⎞ ⎟⎟dV = ∫ − q + σ ⋅ u ⋅ nˆ dS + ∫ ρ (G ⋅ u + Q )dV ⎠ Sm (t ) Vm ( t )
(
)
Apabila ρ , e, u, q, σ , G, dan Q kontinyu maka dengan menggunakan (***) dan (*),
∫
ρ
Vm ( t )
d ⎛ u2 ⎜⎜ e + 2 dt ⎝
[ (
]
⎞ ⎟⎟dV = ∫ ∇ ⋅ − q + σ ⋅ u + ρ (G ⋅ u + Q ) dV ⎠ Vm ( t )
)
Terakhir kita gunakan (**) untuk mendapatkan ,
ρ
d ⎛ u2 ⎜⎜ e + 2 dt ⎝
⎞ ⎟⎟ = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ G ⋅ u − ∇ ⋅ q + ρQ ⎠
2.6.b)
atau dengan menggunakan persamaan kontinuitas, ∂ ∂t
⎛
ρ ⎜⎜ e + ⎝
u2 2
⎞ ⎛ u2 ⎟⎟ + ∇ ⋅ ρ ⎜⎜ e + 2 ⎠ ⎝
⎞ ⎟⎟u = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ G ⋅ u − ∇ ⋅ q + ρQ ⎠
2.6.a)
1.3.6 Hukum Termodinamika II Dalam termodinamika, hukum ke II untuk sebuah sistem tertutup dapat dituliskan secara matematis seperti di bawah ini, dS =
δQ T
+σ , σ ≥ 0
dimana S adalah entropi. Hubungan diatas dapat pula dinyatakan sebagai
Mekanika Kontinum 45
dS 1 ~ = δQ + σ , σ~ ≥ 0 dt T Harga dari σ dan σ~ adalah positif untuk proses yang “irreversible” dan nol untuk proses yang internally reversible. Sekarang kita akan tuliskan prinsip ini untuk benda kontinum. Untuk sebuah material element, ∆S i ≡ ∆mi si = ρsi ∆Vi . Dengan demikian maka untuk sebuah material volume, S=
∫
ρ sdV
V (t )
di mana s: entropi / unit mass. Kita telah lihat bahwa perubahan waktu dari panas adalah,
δQ = − ∫ q ⋅nˆ dS + S (t )
∫ ρQdV
V (t )
Dengan demikian maka hukum termodinamika II untuk benda kontinum adalah, q ⋅ nˆ ρQ d ρ sdV = − ∫ dS + ∫ dV + σ , σ~ ≥ 0 ∫ dt V ( t ) T T S (t ) V (t )
atau q ⋅ nˆ d ρQ dS − ∫ dV ≥ 0 ρ sdV + ∫ ∫ dt V ( t ) T T S (t ) V (t )
Apabila ρ dan s adalah fungsi yang kontinyu maka (**) dapat digunakan sehingga,
∫
ρ
V (t )
q ⋅ nˆ ds ρQ dV + ∫ dS − ∫ dV ≥ 0 dt T T S (t ) V (t )
Pertidaksamaan ini memberitahukan kita proses-proses mana yang tidak reversible. Seperti telah dipelajari dalam termodinamika, proses irreversible menyebabkan terjadinya disipasi dari energi (“hilangnya” energi) dari sistem dan lingkungan. Selanjutnya kita lihat “bentuk lokal” dari pertidaksamaan di atas. Seperti biasa, kita asumsikan ρ , s, q, T , dan Q adalah fungsi-fungsi yang kontinyu dan kita gunakan (*), (**), (***) untuk mendapatkan,
ρ
ds 1 1 ρQ + ∇ ⋅ q − 2 q ⋅∇T − ≥0 dt T T T
(2.7.a)
Mekanika Kontinum 46
Bentuk lain dari pertidaksamaan di atas (bentuk yang lebih berguna) didapat dengan mengganti suku ∇ . q . Dari persamaan energi (2.6.6), ∇ ⋅ q = ∇ ⋅ (σ ⋅ u ) + ρ (Q + G ⋅ u ) − ρ
d u2 (e + ) dt 2
Apabila kita ambil perkalian dot antara u dan persamaan momentum didapatkan,
ρ
d u2 = u ⋅ (∇ ⋅ σ ) + ρ G ⋅ u dt 2
Dari kedua persamaan terakhir didapatkan, ∇ ⋅ q = (σ ⋅∇) ⋅ u + ρ Q − ρ
de dt
Sekarang kita perhatikan suku (σ ⋅∇) ⋅ u , (σ ⋅∇) ⋅ u = σ ij
∂u j ⎞ ∂ui 1 ⎛ ∂ui = ⎜ σ ij + σ ji ⎟ ; σ ij = σ ji ∂x j 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠ 1 ⎛ ∂ui ∂u j ⎞ + ⎜ ⎟ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠ = σ ij Dij = σ : D
(σ ⋅∇) ⋅ u = σ ij
di mana perkalian ‘ : ‘ didefinisikan seperti, A : B ≡ Aij B ji .
Selain itu, kita telah gunakan hasil dari konservasi momentum sudut yaitu σ = σ
T
(Jadi
hanya berlaku untuk non–polar medium. Dengan demikian maka , ∇ ⋅ q = σ : D + ρQ − ρ
de dt
Sekarang kita subtitusikan hasil terakhir ke dalam pertidaksamaan dan hasilnya adalah: ⎡ ⎤ ds ⎛ de ⎞ 1 ⎢ ρT dt − ⎜ ρ dt − σ : D ⎟ − T q.∇T ≥ 0 ⎥ ⎝ ⎠ ⎣ ⎦
(2.7.b)
Pertidaksamaan terakhir sangat berguna untuk mendapatkan persamaan–persamaan tambahan untuk melengkapi sistem persamaan kontinum.
Mekanika Kontinum 47
Contoh: Kontinum di mana internal energi e mempunyai bentuk e = e(ε , s ) . Banyak benda kontinum mempunyai e seperti ini.
Elastik solid dan Simple
Compressible Subtance (seperti gas, misalnya) mempunyai ε seperti di atas. Karena e = e (ε , s ) , maka , de ⎛ ∂e ⎞ d ε ⎛ ∂e ⎞ ds ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ds =⎜ ⎟ : +⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ : D+⎜ ⎟ dt ⎝⎜ ∂ε ⎠⎟ dt ⎝ ∂S ⎠ε dt ⎝⎜ ∂ε ⎠⎟ ⎝ ∂s ⎠ε dt s s Berikutnya σ dinyatakan sebagai,
σ = σ eq + σ vis dimana σ
vis
adalah viscous stress dan σ adalah equilibrium stress (seperti tekanan p, eq
misalnya). Dengan demikian maka (2.7.b) menjadi : ⎛
⎛ ∂e ⎞ ⎞ 1 ⎛ ∂e ⎞ ⎞ ds ⎛ eq vis ⎜ + − σ ρ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎟ : D + σ : D − q ⋅∇T ≥ 0 ⎟ ⎟ T ⎝ ∂s ⎠ε ⎠ dt ⎜⎝ ⎝ ∂ε ⎠ s ⎟⎠
ρ ⎜T − ⎜ ⎜ ⎝
Pertidaksamaan ini harus berlaku untuk proses apapun. Untuk memastikan ini maka, ⎛ ∂e ⎞ T =⎜ ⎟ , ⎝ ∂s ⎠ε
⎛∂ e⎞ ⎟⎟ , ⎝ ∂ε ⎠
σ eq = ρ ⎜ ⎜
σ vis : D −
s
1 q ⋅ ∇T ≥ 0 T
Untuk fluida sederhana misalnya, dari termodinamika kita ketahui bahwa,
dE = TdS − pdV Namun dari definisi ε terlihat bahwa dV =V d ε ii sehingga, dE = TdS − pVd ε ii = TdS − pV δ ij d ε ij dan ⎛ ∂E ⎜ ⎜ ∂ε ⎝ ij
Karena dE ≡ mde dan
⎞ ⎟ = − pVδ ij ⎟ ⎠S
V 1 = maka, m ρ ⎛ ∂e ⎜⎜ ⎝ ∂ε ij
⎞ p ⎟⎟ = − δ ij ρ ⎠s
Mekanika Kontinum 48
Dengan demikian maka, ⎛ ∂e ⎞ ⎟ = − p δ ij ⎜ ∂ε ⎟ ij ⎝ ⎠S
σ eq = ρ ⎜
⎛ ∂e ⎞ sedangkan persamaan T = ⎜ ⎟ akan memberikan kita persamaan keadaan. ⎝ ∂s ⎠ε
Akhirnya pada subbagian transport phenomena nanti, kita akan lihat bahwa pertidaksamaan ,
σ vis : D −
1 q ⋅∇T ≥ 0 T
akan memberikan kita hubungan antara ,
σ vis = σ vis
( D ) dan q = q ( ∇T )
Dengan demikian, pertidaksamaan 2.7.b dan e = e ( s, ε ) membantu kita untuk mendapatkan hubungan – hubungan konstitutif yang diperlukan untuk melengkapi sistem persamaan kontinum.
1.3.7 Catatan tentang Termodinamika Benda Kontinum Dalam menuliskan persamaan-persamaan dasar kontinum, kita telah gunakan variabelvariabel seperti T, p, s, e dan lain lain. Variabel-variabel ini adalah variable-variabel Termodinamika yang didefinisikan untuk sistem yang berada dalam keadaan setimbang. Secara global, aliran fluida, misalnya, bukanlah suatu sistem yang setimbang menurut definisi Termodinamika.
Namun kita tetap dapat menerapkan prinsip-prinsip
termodinamika pada sistem fluida untuk keadaan yang lokal dan sesaat. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Apabila dalam sistem terjadi ketidaksetimbangan , sistem tersebut memerlukan waktu
τ (relaxation time) untuk mencapai kesetimbangan kembali. Apabila waktu ( ∆t ) yang dibutuhkan untuk suatu perubahan dalam fluida memenuhi kriteria , ∆t >> τ 1
Mekanika Kontinum 49
maka fluida dapat dianggap dalam keadaan stimbang secara lokal. Kriteria ini berlaku di hampir setiap masalah yang dipelajari dalam mekanika kontinum karena τ 1 , yang merupakan sifat zat, mempunyai harga yang sangat kecil ( τ translation N 2 ≈ 10 −10 s , misalnya). Apabila kriteria di atas tidak terpenuhi, seperti dalam khusus aliran di belakang shock
wave dalam aliran hypersonic misalnya.
Untuk kasus seperti ini maka kita harus
menggunakan “non-equilibrium thermodynamics”.
1.3.8 Bentuk Integral dari Persamaan-persamaan Dasar untuk Volume Atur Sembarang Persamaan-persamaan integral yang telah didapatkan sebelum ini diturunkan dengan menggunakan material volume di mana volume ini selalu terdiri dari elemen-elemen yang sama.
Dalam praktik, penggunaan persamaan-persamaan tersebut kadangkala
lebih mudah untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar untuk sebuah daerah makroskopik (volume atur) yang bukan material volume. Misalkan volume atur tersebut (V(t)) yang dibatasi dengan permukaan S(t) dan bergerak dengan kecepatan v. Sekarang kita tuliskan perubahan waktu dari momentum didalam
V(t), d ∂ ∂ (ρ u ) ρ udV = ∫ dV + ∫ ρ u v ⋅ nˆ dS ∫ dt V ( t ) ∂t ∂t V (t ) S (t )
(I.1)
Di mana di atas telah digunakan Reynolds Transport Theorem Sekarang kita tuliskan hukum kekekalan momentum yang telah kita dapatkan untuk “material volume” Vm(t),
d ∂ρ u T ρ udV = ∫ dV + ∫ ρ u u ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ ⋅ nˆ dS ∫ dt Vm (t ) ∂t Vm ( t ) Sm (t ) Vm ( t ) Sm (t )
(I.2)
Mekanika Kontinum 50
Kemudian kita pilih material volume Vm(t) yang pada suatu saat (instantaneous) sama dengan V(t) atau volume atur kita tadi yang bergerak dengan kecepatan v. Karena pada waktu t kedua volume atur ini sama, maka:
V(t) = Vm(t) dan S(t) = Sm(t) Tetapi ini tidak berarti perubahan waktu dari kedua volume atur tersebut sama, dengan kata lain,
d d ρudV ≠ ρudV ∫ dt V ( t ) dt Vm∫( t ) Dengan demikian maka persamaan (I.2) dapat dituliskan menjadi,
∂ρ u T dV + ∫ ρ u u ⋅ nˆ dS = ∫ ρGdV + ∫ σ ⋅ nˆ dS ∂t V (t ) S (t ) V (t ) S (t )
∫
(I.3)
Namun dari persamaan (I.1)
∂ρ u d dV = ρ udV − ∫ ρ u v ⋅ nˆ dS ∂t dt V∫(t ) V (t ) S (t )
∫
Dengan menggabungkan kedua hasil diatas, (I.3) menjadi,
d ρ udV + ∫ ρ u (u − v) ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ T ⋅ nˆ dS ∫ dt V ( t ) S (t ) V (t ) S (t ) Dengan cara yang sama, kita dapat lakukan hal yang sama untuk persamaan integral kontinuitas, energi, dan pertidaksamaan entropi. Sehingga untuk volume atur V(t) yang bergerak dengan kecepatan v,
o
o
o
d ρdV + ∫ ρ (u − v) ⋅ nˆ dS = 0 dt V∫( t ) S (t )
d ρ udV + ∫ ρ u (u − v) ⋅ nˆ dS = ∫ ρ GdV + ∫ σ T ⋅ nˆ dS …………………… (B) ∫ dt V (t ) S (t ) V (t ) S (t ) d dt =
∫
V (t)
∫
ρ (e +
u2 d ) dV + 2 dt
ρ ( G ⋅ u + Q ) dV +
V (t )
o
…………………………………………... (A)
∫
S (t )
∫
ρ (e +
u2 )( u − v ) ⋅ nˆ dS 2
( σ ⋅ u − q ) ⋅ nˆ dS
………(C)
S (t)
q ⋅ nˆ d ρQ ˆ sdV s u v n dS dS − ∫ + ( − ) ⋅ + dV ≥ 0 …….…………. (D) ρ ρ ∫ ∫ ∫ dt V (t ) T T S (t ) S (t ) V (t )
Mekanika Kontinum 51
1.3.9 Diskontinuitas dalam benda kontinum (Jump Condition) Dalam menurunkan persamaan-persamaan dasar dalam bentuk differensial, diasumsikan bahwa u, ρ , σ , e, q dll adalah fungsi-fungsi yang kontinyu sehingga (*) & (**) dapat dipergunakan. Namun dalam praktik seringkali ditemui persoalan-persoalan di mana variabel-variabel tersebut tidak memenuhi asumsi di atas. Umumnya dalam persoalanpersoalan tersebut asumsi di atas tidak terpenuhi hanya di sebuah permukaan (singular
surface) di dalam atau yang merupakan bagian benda kontinum. Untuk mendapatkan pesamaan-persamaan yang menjelaskan gerak dari kontinum kita harus menggunakan persamaan dalam bentuk integral. Bentuk general dari persamaan-persamaan tersebut adalah:
d ρπdV + ∫ ρπ (u − v) ⋅ nˆ dS − ∫ ρPdV + ∫ P( n ) dS =0 ………(J) dt V∫( t ) S (t ) V (t ) S (t )
dimana,
π
P
P(n)
Massa
1
0
0
Momentum
u
G
T (nˆ ) = σ ⋅ nˆ
xxu
xxG
x × T (nˆ )
G ⋅u + Q
T (nˆ ) ⋅ u − q ⋅ nˆ
Q T
− q ⋅ nˆ
Persamaan
Momentum sudut Energy Entropy
e+
u2 2
s
T
T
Mekanika Kontinum 52
Persoalan semacam ini digambarkan di atas. Di daerah (1) & (2), u, ρ , σ , e, q dan lain-lain adalah fungsi-fungsi kontinyu. Namun di permukaan Λ (Singular Surface) terjadi lompatan harga-harga dari variabel-variabel di atas sehingga untuk daerah V2 U
V1 U Λ
(U adalah union) variabel-variabel tersebut bukanlah fungsi-fungsi yang
kontinyu.
Untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel di daerah (1) & (2) maka kita gunakan volume atur yang bergerak bersama Λ dengan kecepatan v. Karena Λ adalah permukaaan yang sangat tipis maka ketebalan dari volume atur dapat kita pilih sedemikian rupa sehingga limit.t
Æ 0 (lihat gambar). Apabila ini dilakukan maka V1 & V2 Æ 0 (integral volume dalam persamaan (J) adalah 0) sehingga kita dapatkan (juga S1 & S2 Æ Λ ),
∫ {ρπ (u − v) ⋅ nˆ − P( ) }ds = 0 nˆ
S (t )
Sekarang kita tinggal mengevaluasi integral di atas dengan mengingat bahwa nˆ permukaan (1) adalah negatif dari nˆ permukaaan (2) atau nˆ 2 = nˆ = − nˆ1 .
Dengan
demikian maka,
∫ {ρ π (u 2
2
2
Λ
}
− v ) ⋅ n − P(n )2 − ρ1π 1 (u 1 − v ) ⋅ n + P(n )1 ds = 0
(suku P(nˆ )1 memiliki tanda positif karena nˆ1 = −nˆ ) Jadi
{(ρ π (u 2
2
2
(
)}
− v ) ⋅ n − ρ1π 1 (u 1 − v ) ⋅ n ) − P(n )2 − P(n )1 = 0
atau
[ρπ (u − v ) ⋅ n − P( ) ] = 0 nˆ
di mana
[φ ] ≡ φ 2 − φ1 w ≡ u⋅n −v⋅n .
Apabila kita masukkan π dan P(n ) untuk persamaan massa, momentum, energi dan pertidaksamaan entropi maka,
Mekanika Kontinum 53
[ρw] = 0
………………………………………………………………………… [a]
[ρwu − T ( ) ] = 0 n
………………………………………………………………… [b]
⎡ ⎛ u2 ⎞ ⎤ ⎢ ρw⎜⎜ e + ⎟⎟ − T (n ) ⋅ u + q ⋅ n ⎥ = 0 …………………………………………… ... [c] 2 ⎠ ⎣ ⎝ ⎦ q⋅n⎤ ⎡ ⎢ ρws + ⎥ ≥ 0 ……………………………………………………………… ..[d] T ⎣ ⎦ [φ ] ≡ φ 2 − φ1 w ≡ u⋅n −v⋅n ,
1.4
Hubungan Konstitutif
Sampai saat ini, kita tidak pernah membahas hal-hal yang berhubungan dengan sifat (behaviour) dari material (zat) yang kita pelajari.
Persamaan persamaan yang
didapatkan bisa digunakan untuk zat apapun juga. Namun, intuisi kita memahami bahwa udara dan besi, misalnya, akan mempunyai “response” yang berbeda terhadap gaya yang sama.
Bagaimana sebuah material merespon sebuah gaya, misalnya,
haruslah diikutsertakan dalam penulisan persamaan momentum (yang menjelaskan gerak benda tersebut). Demikian juga “response” dari material apabila terjadi/ terdapat perbedaan temperatur di dalam material tersebut, haruslah diikutsertakan di dalam persamaan energi. Respon material seperti yang dijelaskan di atas sebenarnya telah ada di dalam beberapa suku dalam persamaan-persamaan yang telah kita dapatkan. Lebih tepatnya respon material terdapat dalam suku-suku yang menjelaskan interaksi dalam material tersebut, seperti σ dan q .
Fenomena interaksi antar molekul ini sangat tergantung dari struktur molekul-molekul yang membentuk meterial tersebut. Oleh karenanya bentuk dari σ dan q tergantung dari apakah benda yang kita pelajari itu adalah benda padat atau benda fluida (liquid &
gas). Selain itu keadaan material juga menentukan harga dari σ dan q . Harga σ dan q akan berbeda untuk benda/ material yang berada dalam keadaan setimbang dengan
Mekanika Kontinum 54
benda yang dalam keadaan tidak setimbang. Oleh karena itu, untuk mendapatkan σ dan q kita harus mengetahui sifat-sifat dari material yang akan kita pelajari.
Pada umumnya, persamaan untuk σ dan q yang disebut juga persamaan konstitutif haruslah memenuhi prisnsip-prinsip dasar di bawah ini :
a. Principle of Determination Prinsip ini menyatakan bahwa σ dan q ditentukan oleh “sejarah” dari gerak yang telah dilakukan oleh material tersebut dan tidak ditentukan oleh gerak yang akan dilakukan.
b. Principle of Local Action Prinsip ini menyatakan bahwa gerakan material diluar “neighbourhood” dari material point ξ dapat diabaikan dalam menentukan persamaan konstitutif.
c. Principle of Frame Indifference Persamaan konstitutif untuk σ dan q haruslah tidak berubah “invariant” apabila terjadi perubahan rangka acuan (Lihat subbagian tentang frame
indifference). Seperti telah dikatakan sebelumnya, untuk mendapatkan persamaan konstitutif kita perlu mengenal sifat-sifat dari material yang akan kita pelajari lebih mendalam. Inilah yang akan kita lakukan di tiga sub-bagian berikutnya. Karena buku ini adalah buku tentang mekanika fluida, kita akan melakukan pembahasan ini khususnya untuk fluida.
1.4.1 Gaya antar molekul Setiap benda yang ada di dalam alam semesta ini terbentuk oleh atom-atom. Atom-atom ini sendiri terbentuk dari sebuah nukleus, yang terdiri dari proton dan neutron, yang dikelilingi oleh elektron-elektron. Biasanya atom bergabung dengan atom-atom lainnya baik yang sejenis maupun tidak sejenis, untuk membentuk molekul. Apakah sebuah material itu solid, liquid atau gas tergantung dari struktur molekul-molekul yang membentuknya.
Mekanika Kontinum 55
Dalam solid, molekul satu berada pada jarak yang sangat dekat dengan molekul lainnya. Selain itu, setiap molekul menduduki posisi tertentu dan posisi molekul-molekul ini sangat teratur. Molelul-molekul di dalam solid hanya dapat bergerak (berosilasi) di sekitar posisi tetapnya tersebut masing-masing. Kerapatan jarak antarmolekul juga terdapat di dalam liquid. Namun, berbeda dengan solid, molekul-molekul liquid dapat bergerak bebas. Gas mempunyai struktur molekul yang sangat berbeda. Jarak antara molekulnya relatif sangat jauh bila dibandingkan dengan solid dan liquid. Di dalam setiap material, terdapat gaya-gaya yang beraksi antar molekul. Gaya ini disebut “intermolecullar force”. Apabila kita isolasi sepasang molekul, maka gaya yang dirasakan oleh molekul satu akibat adannya molekul lainnya adalah fungsi dari jarak antara kedua molekul tersebut (r). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa gaya tersebut kurang lebih digambarkan di sketsa di bawah ini.
Apabila jarak antar molekul tersebut (r) < r0 maka gaya antar molekul tersebut adalah gaya repulsive (Saling mendorong). Apabila r > r0 maka gaya tersebut adalah gaya
attractive (saling tarik menarik). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa r untuk solid dan liquid adalah sekitar r0 (r~ r0), sedangkan untuk gas r~ 10 r0. Karena untuk gas r~ 10 r0 gaya antarmolekul sangat lemah sehingga gas sering kali diasumsikan sebagai “gas ideal” di mana gaya antar molekulnya dapat diabaikan.
Mekanika Kontinum 56
1.4.2 Material dalam keadaan equilibrium Apabila sebuah material dalam keadaan equilibrium maka benda tersebut secara makroskopik berada dalam keadaan diam dan setiap titik dalam benda tersebut mempunyai temperatur (T) yang sama.
Apabila sebuah solid dalam keadaan
equilibrium kemudian diberikan gaya luar, maka selama gaya luar tersebut tidak terlalu besar, solid tersebut akan mencapai keadaan equilibrium yang kedua dan solid tersebut akan berada dalam keadaan diam secara makroskopik.
Apa yang terjadi secara
mikroskopik dapat dilihat dalam sketsa di bawah:
Misalkan solid tersebut mempunyai struktur seperti di sebelah kiri dalam sketsa di atas. Kemudian solid tersebut di”tekan” dengan gaya Fluar. Bentuk solid tersebut akan berubah seperti gambar di kanan. Dalam keadaan equilibrium baru ini rAC < ro sehingga terdapat gaya repulsive antara A dan C. Sedangkan rAB > ro sehingga terdapat gaya attractive antara A dan B. Gaya-gaya antar molekul ini “melawan” deformasi yang diakibatkan Fluar sedemikian rupa sehingga ada kecenderungan untuk “mengembalikan” molekul-molekul tersebut keposisi semula. Gaya-gaya antarmolekul inilah yan disebut “stress” ( σ ) dalam solid dan dari contoh di atas dapat dilihat bahwa σ = σ ( F ) di mana
F adalah “deformation gradient” yang disebabkan oleh Fluar.
Selain itu, dalam
keadaan equilibrium molekul-molekul dalam solid dapat berosilasi/ bergetar di sekitar posisinya. Getaran ini akan bertambah dengan naiknya temperature, T. Pada T tertentu getaran yang terjadi sedemikian rupa sehingga menyebabkan perubahan r yang cukup signifikan. Ini tentunya akan menyebabkan gaya antar molekul. Oleh karena itu, σ dapat dinyatakan sebagai σ = σ ( F , T ) untuk T yang cukup tinggi.
Mekanika Kontinum 57
Hal yang sangat berbeda terjadi pada fluida (liquid dan gas) dan di sini lah perbedaan yang mendasar antara kedua tipe material tersebut. Apabila fluida diberikan Fluar maka fluida tersebut akan terus bergerak sampai Fluar berhenti beraksi. Dengan kata lain fluida yang diberikan Fluar tidak akan berada dalam keadaan diam. Oleh karena itu untuk mempelajari sifat equilibrium dari fluida, kita lihat fluida yang diam tanpa ada gaya-gaya luar. Berbeda dengan solid, molekul-molekul fluida dapat bergerak dengan leluasa. Dalam keadaan equilibrium, molekul-molekul ini bergerak secara acak dan “isotropic” (tidak mempunyai kecenderungan arah) sehingga secara makroskopik fluida tersebut dalam keadaan diam. Apabila kita letakkan sebuah benda di dalam fluida maka molekul-molekul dari fluida tersebut akan bertumbukkan dengan benda itu. Di bawah ini adalah sketsa di mana “box yang sangat kecil” diletakkan di dalam gas. Titik-titik hitam dalam gambar adalah molekul-molekul gas dan tanda panah menunjukkan arah pergerakan molekul tersebut. Ketika molekul-molekul ini bertumbukkan dengan “box” tersebut, molekul-molekul ini “memberikan” momentum kepada “box”. Perubahan waktu dari momentum per unit area ini adalah “tekanan” (p) yang dirasakan oleh “box” tersebut. Karena molekul-molekul gas, dalam keadaan equilibrium, bergerak secara isotropic maka tekanan yang dirasakan oleh sisi kiri, kanan, atas, bawah, depan, dan belakang adalah sama. Hubungan antara p dengan ρ dan T dapat dilihat dari penjelasan di atas. Kita ketahui bahwa T adalah “ukuran makroskopik” dari kinetik energi molekul-molekul. Apabila T bertambah maka kinetik energi juga bertambah sehingga tumbukan terjadi lebih sering. Demikian pula dengan ρ yang merupakan “ukuran kerapatan” molekul-molekul. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara umum p = p(ρ,T). Sedikit perbedaan terjadi apabila “box” di atas diletakkan dalam liquid. Dalam gas, gerakan molekul yang menuju atau meninggalkan permukaan box tersebut independen dari gerakan molekul lainnya (ideal gas). Dalam liquid ini tidak terjadi dan terdapat gaya interaksi antar molekul sehingga gerakan sebuah molekul dipengaruhi oleh gerakan molekul lainnya.
Misalkan, karena sebuah molekul bertumbukan dengan
Mekanika Kontinum 58
permukaan “box” maka jarak antara molekul tersebut dengan molekul tetangganya berubah (rTA misalnya. Secara makroskopik perubahan temperatur TB menyebabkan perubahan temperatur gas yang berada di dekat pelat B (lapisan I). Dengan kata lain, naiknya TB menyebabkan bertambahnya energi kinetik dari molekul-molekul di lapisan I. Seperti yang terjadi dalam kasus momentum
transport, ketika molekul-molekul ini “menyeberang” ke lapisan II dan bertumbukkan dengan molekul-molekul lainnya, molekul-molekul ini “memindahkan” ekstra energi yang diperoleh karena TB yang lebih tinggi, ke molekul-molekul lainnya di lapisan II. Sekarang sebagian dari molekul-molekul di lapisan II bergerak ke lapisan III dan sebagian lagi kembali ke lapisan I. Molekul-molekul yang bergerak ke lapisan III akan bertumbukkan dengan molekul-molekul di lapisan ini dengan demikian “ekstra” energi kinetik yang diperoleh dari oleh molekul-molekul ini ditransfer ke molekul-molekul di lapisan III. Demikianlah proses “penyebaran” ekstra energi kinetik ini berlanjut ke lapisan-lapisan berikutnya dan dengan demikian secara makroskopik akan terdapat gradien temperatur (∇T ) di dalam gas tersebut.
Proses ini mirip dengan proses
momentum transport yang dijelaskan sebelumnya, namun proses ini tidak harus menyebabkan adanya gerakan makroskopik di dalam gas. Dengan kata lain proses in dapat terjadi di dalam gas yang diam.
Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Bertambahnya energi kinetik berarti molekul-molekul tersebut bergerak lebih cepat. Namun, molekul-molekul yang bergerak lebh cepat ini tetap bergerak secara acak (random) karena proses ini tidak menyebabkan bertambahnya momentum di satu arah saja melainkan bertambahnya momentum di semua arah (yang bertambah adalah
u = u x2 + u y2 + u z2 ). Karena molekul-molekul ini tetap bergerak secara acak maka secara makroskopik gas tersebut dapat saja berada dalam keadaan diam. Namun apabila ∇T yang ditimbulkan cukup tinggi tentu saja gas tersebut akan mulai bergerak (dari
daerah yang mempunyai T yang tinggi ke daerah dengan T yang lebih rendah) Apabila fluida di antara pelat A dan B ini adalah liquid maka proses yang sama akan terjadi namun, tentunya, lebih kompleks karena adanya “intermolecular force”.
Mekanika Kontinum 62
Misalnya, sebuah molekul mempunyai kelebihan energi kinetik dan bergerak lebih cepat. Karena adanya gaya tarik menarik yang kuat maka molekul ini akan menarik beberapa molekul di sekitarnya. Sehingga molekul-molekul tersebut mendapatkan “ekstra” energi kinetik. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa transfer atau transport dari energi antarmolekul yang dijelaskan oleh q secara umum dapat dinyatakan sebagai q = q(∇T ) karena energy transport ini secara makroskopik disebabkan adanya ∇T di dalam fluida.
iii)
Mass Transport
Selain transport momentum dan energi, ada satu fenomena transport lagi yang terjadi di dalam ”fluida campuran”(fluida yang terdiri dari beberapa “species”). Misalkan fluida tersebut terdiri dari 2 species (titik hitam dan titik putih) seperti dalam gambar di atas. Misalkan juga salah satu species (hitam) di lapisan I lebih banyak daripada species lainnya (putih).
Karena molekul-molekul dalam fluida (baik gas maupun liquid)
bergerak secara acak, baik putih maupun yang hitam, maka secara umum akan terdapat flux dari salah satu species yang melewati perbatasan antara lapisan-lapisan tersebut (misalnya flux dari molekul hitam dari lapisan I ke lapisan II dan flux dari molekul putih dari lapisan II ke I). Pergerakan molekul-molekul ini sedemikian rupa sehingga terdapat kecenderungan untuk “meratakan” komposisi dari kedua jenis molekul tersebut di setiap lapisan. Proses ini disebut juga proses difusi dan seperti telah dijelaskan sebelumnya, adalah akibat dari adanya gerakan acak dari molekul-molekul dalam fluida. Karena secara makroskopik proses ini terjadi akibat adanya gradien dari konsentrasi (Ci)
( )
dari salah satu “species” maka flux ini j i dapat dinyatakan sebagai j i = j i (∇C i )
Mekanika Kontinum 63
iv)
General Transport Phenomena
Dari penjelasan di atas (i s.d. iii) kita telah lihat bahwa fenomena transport disebabkan oleh adanya gradien-gradien. Misalnya adanya ∇u menyebabkan momentum transport, ∇T menyebabkan energy transport. Namun, secara umum adanya satu gradien tidak
hanya mengakibatkan terjadinya satu jenis transport tetapi dapat menyebabkan berbagai jenis transport.
Contohnya, misalkan terdapat ∇T
di dalam sistem, selain
menyebabkan energy transport, ∇T dapat pula menyebabkan terjadinya proses difusi (mass transport). Proses ini disebut juga “sorret effect”. Contoh lainnya adalah energy
transport yang disebabkan oleh adanya ∇C (dufour effect). Jadi secara umum, ∇ dapat menyebakan “direct effect”, seperti ∇T menyebabkan energy transport, dan “coupled
effect”, seperti ∇T yang menyebabkan mass transport. Untuk fenomena-fenomena transport, kita dapat gunakan “thermodynamics of
irreversible process” untuk mendapatkan persamaan konstitutif.
Prosedur dari “thermodynamics of irreversible process” adalah sebagai berikut. Pertama, kita cari σ~ dari pertidaksamaan entropi. σ~ yang didapat harus dimanipulasi sedemikian rupa sehingga berbentuk,
σ~ =
1 1 Ji ⋅ X i = J ⋅ X ≥ 0 ∑ T i T
di mana komponen-komponen J adalah flux-flux seperti τ , q , j i dan komponenkomponen X adalah gradien-gradien yang menyebabkan flux J tersebut, misalnya ∇u , ∇T , ∇C .
Contoh: untuk fluida satu species
⎧τ ⎫ ⎧ ∇u ⎫ J ≡ ⎨ ⎬ dan X ≡ ⎨ ⎬ ⎩∇T ⎭ ⎩q ⎭ Gradien-gradien ini dianggap tidak terlalu besar (fluida tidak terlalu jauh dari equilibrium) sehingga ekspansi Taylor dapat digunakan. Dengan demikian maka kita dapat nyatakan,
J = J ( p, T , C i ; X ) =
∂J ( p, T , Ci ;0)X + ...... ∂X
Mekanika Kontinum 64
( J adalah fungsi p, T, Ci karena variabel-variabel ini adalah variable keadaan untuk keadaan equilibrium). Apabila kita definisikan
Ω≡
∂J ∂X
maka
J = Ω⋅ X di mana Ω = Ω( p, T , C i ) .
Salah satu teorema fundamental dalam “thermodynamics of irreversible process” adalah T
Ω = Ω atau Ω ij = Ω ji .
Hubungan ini disebut juga “Onsager reciprocal relation”. Selain itu terdapat sebuah prinsip penting yang disebut “Curie’s principle” yang menyatakan bahwa, Tidak ada “coupling” antara tensor orde ganjil dengan tensor orde genap untuk hubungan linear seperti J = Ω ⋅ X
Metode “thermodynamics of irreversible process” hanya dapat digunakan untuk mendapatkan persamaan konstitutif untuk proses yang irreversible. σ untuk elastic
solid, misalnya, adalah proses yang reversible sehingga metode ini tidak dapat digunakan untuk mendapatkan persamaan konstitutif untuk kasus tersebut. Selain itu, bentuk dari J = Ω ⋅ X haruslah memenuhi prinsip-prinsip dasar untuk persamaan konstitutif (a, b, c). Catatan: Komponen-komponen dari Ωij secara umum adalah tensor yang ordenya dapat berbeda-beda karena komponen-komponen J dan X adalah tensor-tensor dengan orde yang berbeda. Contoh : Fluida homogen (satu species) Kita akan lihat di bab berikutnya bahwa untuk fluida homogen, 1⎛ T⎝
σ~ = − ⎜ q ⋅
∇T ⎞ 1 ⎟ + (τ ⋅ ∇ ) ⋅ u ≥ 0 . T ⎠ T
Mekanika Kontinum 65
Dari sini dapat diidentifikasikan bahwa, ⎧τ ⎫ ⎧ ∇u ⎫ J ≡ ⎨ ⎬ dan X ≡ ⎨ ⎬ ⎩∇T ⎭ ⎩q ⎭
dengan demikian maka persamaan konstitutif adalah (J = Ω ⋅ X ) ,
τ = Ω : ∇u + Ω12 ⋅ ∇T dan q = Ω 21 ⋅ ∇u + Ω 22 ⋅ ∇T . 11
“Onsager reciprocal relation” menyatakan bahwa Ω12 = Ω21. Namun, τ adalah tensor orde genap sedangkan ∇T adalah vektor atau tensor orde satu (ganjil). Oleh karena itu, menurut “Curie’s principle” tidak ada ada coupling antara τ dan ∇T dan juga dengan
q atau ∇u . Dengan demikian maka, Ω12 = Ω 21 = 0
sehingga
τ = Ω : ∇u dan q = Ω 22 ⋅ ∇T 11
Hubungan antara τ dan ∇u dan q dengan ∇T di atas telah memenuhi prinsip dasar a dan b. Akan kita lihat nanti bahwa prinsip dasar c mengharuskan Ω & Ω 22 adalah 11
tensor-tensor yang isotropic.
1.4.4 Persamaan konstitutif untuk fluida (“satu spesies”) Di subbagian ini kita akan lihat contoh dari penerapan prinsip-prinsip dasar untuk persamaan konstitutif. Contoh yang akan dibahas adalah untuk fluida yang homogen (hanya terdiri satu species sehingga ( ∇C i = 0 ). Fluida inilah yang akan kita bahas dalam buku ini. i)
Persamaan untuk heat conduction ( q ) −
Dari penjelasan di subbagian sebelum ini dapat disimpulkan bahwa untuk fluida yang homogen dapat dinyatakan sebagai q = q( p, T ; ∇T ) . Penulisan q sebagai fungsi p, −
−
−
T, ∇T seperti di atas jelaslah telah memenuhi prinsip a) & b) (principle of determinism
Mekanika Kontinum 66
& local action). Sekarang kita akan lihat bagaimana bentuk dari yang memenuhi prinsip c) (principle of material frame indifference). Karena q adalah sebuah vektor maka untuk memenuhi c) q haruslah, (lihat subbagian −
−
frame indifference) q = Q⋅q
(c.1)
Karena q adalah fungsi dari p, T, ∇T kita harus cek apakah variabel-variabel ini −
memenuhi prinsip c). Karena p & T adalah skalar maka, p* = p, T* = T, sekarang bagaimana dengan ∇T
∂T ∂T * * * ˆ ei ) = * eˆi (∇T ) = ( ∂xi ∂x *
Kita telah lihat sebelumnya bahwa T*=T dan eˆi* = Q ⋅ eˆi . Juga xi adalah skalar sehingga
x*i = xi. Dengan demikian maka, (∇T ) * = (
∂T ∂T Q ⋅ eˆi ) * = Q ⋅ eˆi = Q ⋅ ∇T . ∂xi ∂xi
Jadi, *
q = q ( p * , T * ; (∇T ) * ) = q( p, T ; Q ⋅ ∇T ) sehingga persamaan (c.1) menjadi
q ( p , T ; Q ⋅ ∇T ) = Q ⋅ q ( p , T ; ∇T ) Namun persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik untuk sebuah vektor. Dengan demikian maka prinsip c) mengharuskan adalah sebuah fungsi yang isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum adalah ~ q = k ( p, T ; ∇T )∇T
Hukum konduksi Fourier yang kita kenal adalah kasus spesial dari hubungan di atas. Hubungan inilah yang biasanya digunakan untuk fluida yang dibahas dalam subbagian ini. Jadi
Mekanika Kontinum 67
q = − k ( p, T )∇T
(Fourier’s Law of heat conduction)
−
ii)
Persamaan untuk σ (Newtonian Fluid)
Dari diskusi sebelumnya kita ketahui bahwa untuk fluida yang dibahas di sini σ dapat dinyatakan sebagai,
σ = σ ( p , T ; ∇u ) Seperti halnya q , penulisan σ seperti di atas telah memenuhi prinsip a) & b). −
Sekarang kita lihat bagaimana bentuk dari σ
yang memenuhi prinsip c). Untuk
memenuhi c) maka σ haruslah (lihat subbagian frame indifference)
σ * = Qσ Q T
(c.2)
Karena σ adalah fungsi dari p, T & ∇u , kita harus cek bagaimana bentuk dari (∇u ) * (kita telah lihat sebelum ini bahwa T* = T & p* = p). Dari salah satu contoh di subbagian frame indifference, T T (∇u ) * = Q Q + Q∇u ⋅ Q .
Karena ∇u = D + Ω maka (∇u ) * dapat dituliskan seperti, T T T (∇u ) * = Q Q + Q DQ + QΩQ
Dari kedua persamaan terakhir di atas, jelaslah bahwa secara umum ∇u tidak memenuhi prinsip c). ∇u akan memenuhi c) apabila Q = 0 atau apabila kita pilih Q = −Q Ω . Untuk sementara kita pilih Q = −Q Ω dan kita akan lihat nanti apa implikasi dari pilihan ini. Dengan pilihan Q ini maka, (∇u ) * = Q DQ
T
Dengan demikian maka,
σ * = σ ( p *T * ; (∇u ) * ) = σ ( p, T ; (∇u ) * , Q DQ T sehingga persamaan (c.2) menjadi,
σ ( p, T , Q DQ T ) = Qσ ( p, T ; D)Q T .
Mekanika Kontinum 68
Namun, persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik dari sebuah tensor orde 2. Dengan demikian, sekali lagi prinsip c) mengharuskan hubungan konstitutif untuk sebuah fungsi yang isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum untuk sebuah tensor orde 2 adalah ,
σ = η0 I + η1 D + η 2 .D D & ηi = ηi ( P, T , I D , II D , III D ) . I D , II D , III D adalah koefisien dari persamaan untuk “principle value” D yaitu,
det(mI + D) = m 3 + I D m 2 + II D m + III D = 0 ( I D , II D , III D = 0 apabila D = 0 ).
Fluida dengan persamaan konstitutif seperti diatas disebut juga fluida: “Rainner- Rivlin” .
Karena D adalah simetrik maka σ seperti di atas secara otomatis memenuhi
konservasi momentum sudut ( σ = σ ). T
Dari penjelasan fisis yang telah diberikan di bagian sebelumnya kita ketahui apabila ∇u = 0 ( D = 0 ) maka σ = − p I atau σ untuk fluida yang diam adalah tekanan (p).
Dengan demikan maka σ dapat dinyatakan sebagai,
σ = (− p + υ 0 ) I + υ1 D + υ 2 .D D dimana
υ i = υ i ( p, T , I D , II D , III D ) Sekarang kita akan kembali untuk melihat kembali interpretasi fisis dari pilihan kita untuk Q .
Dengan memilih Q = −Q Ω , kita dapatkan persamaan (c.3).
Dalam
persamaan ini tidak terdapat Ω dan kita telah lihat sebelumnya, bahwa Ω menjelaskan rotasi benda rigid. Jadi dengan kata lain pilihan kita menyatakan bahwa Ω tidak menyebabkan adanya stress ( σ ). Ini tentunya sesuai dengan kenyataan fisis yang sebenarnya karena rotasi benda rigid tidak menyebabkan adanya gerakan relatif antara lapisan-lapisan dalam fluida. Dengan demikian maka pilihan kita tadi bukanlah pilihan sembarang melainkan pilihan yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Mekanika Kontinum 69
Persamaan (c.3) adalah bentuk umum untuk material (fluida) yang mempunyai
σ = σ (∇u ) . ”Fluida Newtonian” adalah kasus spesial dari (c.3) di mana hubungan antara σ & D adalah hubungan yang linier. Untuk Fluida Newtonian,
σ = − p I + λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D Di mana
λ = λ ( p, T )
disebut “second viscosity coefficient”
µ = µ ( p, T )
disebut “shear viscosity coefficient”
Model “Fluida Newtonian” ini dapat digunakan untuk hampir semua fluida yang alami seperti udara, air, dan gas& liquid lannya. Namun, terdapat pula fluida alami seperti darah yang tidak dapat dimodelkan sebagai “Fluida Newtonian”. Hubungan antara koefisien seperti k , λ & µ dengan p & T biasanya didapatkan dari eksperimen.
Untuk gas, koefisien ini dapat dihubungkan dengan properti–properti
mikroskopik dengan menggunakan teori kinetik. Kenyataan bahwa harga k , λ & µ tidak didapatkan dari sistem persamaan adalah konsequensi dari penggunaan metode kontinum.
Dasar Mekanika Fluida 70
BAB
2 Dasar Mekanika Fluida
2.1
Sistem persamaan diferensial untuk fluida
Di subbagian sebelum ini, kita telah mendapatkan persamaan konstitutif untuk fluida. Persamaan konstitutif ini menjelaskan hubungan antara tegangan (stress) untuk fluida dengan ∇u (deformasi). Apabila kita akan masukkan ekspresi untuk σ ini ke dalam persamaan-persamaan dasar kontinum maka akan kita dapatkan sistem persamaan yang menjelaskan gerak fluida. Persamaan yang pertama dalam sistem persamaan ini adalah persamaan kontinuitas. Karena dalam persamaan ini tidak terdapat σ maka persamaan ini tidak berubah, yaitu, dρ + ρ∇ ⋅ u = 0 dt
(a)
Persamaan yang kedua adalah persamaan momentum. Di sini terdapat
σ = − pI + τ dimana τ adalah,
τ = λ I (∇ ⋅ u ) + µ (∇u + (∇u ) T ) = λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D . Apabila kita substitusikan σ di atas ke dalam persamaan momentum untuk benda kontinum, maka hasilnya adalah,
Dasar Mekanika Fluida 71
ρ
[
du = ρ G − ∇p + ∇ ⋅ λ (∇ ⋅ u ) I + 2µ D dt
]
(b)
Persamaan diatas disebut juga persamaan Navier-stokes. Seringkali, dalam mempelajari aliran fluida kita dapat gunakan asumsi µ dan λ adalah konstan. Apabila asumsi ini dapat digunakan maka ∇ ⋅ τ menjadi,
[ = λ∇(∇ ⋅ u ) + µ [∇ ⋅ (∇u ) + ∇ u ]
∇ ⋅ τ = λ∇(∇ ⋅ u ) + µ ∇ ⋅ (∇u ) + ∇ ⋅ (∇u ) T
]
2
Sehingga persamaan (b) menjadi,
ρ
du = ρ G − ∇p + (λ + µ )∇(∇ ⋅ u ) + µ∇ 2 u dt
Sekarang kita beralih ke persamaan energi. Selain terdapat σ , dalam persamaan ini juga terdapat q (heat conduction). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, q untuk fluida adalah, q = − k∇T
Dengan demikian maka persamaan energi menjadi,
ρ
d u2 (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) − ∇ ⋅ q − ∇ ⋅ ( pu ) + ∇ ⋅ (τ ⋅ u ) dt 2
atau
ρ
d u2 (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) + ∇ ⋅ (k∇T ) − ∇ ⋅ ( pu ) + ∇ ⋅ (λ (∇ ⋅ u )u ) + ∇ ⋅ (2 µ D ⋅ u ) (c) dt 2
Persamaan energi mempunyai beberapa bentuk alternatif. Salah dari bentuk alternatif adalah persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari entropi sebuah fluid element. Persamaan ini seringkali digunakan untuk menggantikan persamaan energi. Untuk mendapatkan persamaan ini kita harus melakukan beberapa manipulasi terhadap persamaan momentum dan energi. Dalam melakukan manipulasi itu, kita juga akan mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju perubahan energi kinetik dan energi dalam dari sebuah fluid element. Kita mulai mulai proses manipulasi ini dengan mengambil dot product persamaan (b) dengan u (u ⋅ (b) ) dan hasilnya adalah,
Dasar Mekanika Fluida 72
ρu ⋅
du d u2 =ρ = −u ⋅ ∇p + ρ G ⋅ u + u ⋅ (∇ ⋅ τ ) dt dt 2
(KE)
Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi kinetik. Persamaan energi (c) dapat dijabarkan lebih lanjut,
ρ
d u2 (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) − ∇ q − p∇u − u ⋅ ∇p + u ⋅ (∇ ⋅ τ ) + (τ ⋅ ∇) ⋅ u dt 2
Berikutnya persamaan ini akan kita kurangi persamaan (KE) dan hasilnya adalah,
ρ
de = ρQ − p∇ ⋅ u − ∇ ⋅ q + (τ ⋅ ∇) ⋅ u dt
Dari persamaan (a), ∇ ⋅ u = −
ρ
1 dρ sehingga, ρ dt
de p dρ = ρQ + − ∇ ⋅ q + (τ ⋅ ∇) ⋅ u dt ρ dt
(IE)
Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi dalam (internal energy). Namun, apabila kita mengingat hasil termodinamika, persamaan untuk perubahan waktu dari
internal energy dapat diturunkan dengan cara lain. Pertama-tama, hasil dari termodinamika menyatakan bahwa untuk proses yang reversible,
⎛1⎞ p dρ de = T ds − p d ⎜⎜ ⎟⎟ = T ds + ρ ρ ⎝ρ⎠ Sehingga,
ds p dρ ⎛ de ⎞ + ⎜ ρ ⎟ = ρT dt ρ dt ⎝ dt ⎠ rev di mana subscript “rev” adalah untuk mengingatkan kita bahwa hasil di atas adalah untuk proses yang internally reversible. Apabila kita substitusikan hasil ini untuk ρ
de dt
di persamaan (IE) maka hasilnya adalah,
ρT
ds = ρQ − ∇ ⋅ q + (τ ⋅ ∇) ⋅ u dt
atau,
ρ
ds ρQ ∇ ⋅ q (τ ⋅ ∇) ⋅ u = − + dt T T T
(d)
Dasar Mekanika Fluida 73
Persamaan di atas menjelaskan perubahan waktu dari entropi (s). Masih banyak lagi bentuk alternatif dari persamaan energi selain ketiga persamaan diatas (energi kinetik, energi dalam, dan entropi). Bentuk-bentuk alternatif lainnya akan diturunkan di 2.2.1.
2.1.1 Konsekuensi Hukum Termodinamika II (Energy Dissipation) Di subbagian sebelum ini kita telah mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju perubahan entropi untuk sebuah fluid element.
Sekarang kita akan gunakan hasil
tersebut untuk melihat konsekuensi dari Hukum Termodinamika II untuk fluida. Pertama-tama, mari kita ambil integral dari persamaan (d). Apabila ρ, s, Q, T, k, u , dan
τ adalah fungsi-fungsi yang kontinu dan dapat didiferensialkan maka (*) dan (**) dapat digunakan dalam mengambil integral dari persamaan (d). Hasilnya adalah,
∫ρ
V (t )
(τ ⋅ ∇)u ∇ ⋅ (k∇T ) ρQ ds dV + ∫ dV dV + ∫ dV = ∫ T T T dt V (t ) V (t ) V (t )
(x)
di mana V(t) adalah volume material dan kita telah subtitusikan q = − k∇T .
Sekarang kita tuliskan Hukum Termodinamika II untuk benda kontinuum.
∫
V (t )
ρ
q ⋅ nˆ ρQ ds dV ≥ 0 dV + ∫ dS − ∫ T dt T S (t ) V (t )
Berikutnya substitusikan q = − k∇T ke dalam Hukum Termodinamika II diatas dan ubah menjadi integral volume dengan menggunakan (*) sehingga suku kedua dalam integral diatas menjadi,
∫
S (t )
q ⋅ nˆ T
dS =
⎛q⎞ ⎛ 1 k (∇T ) 2 ⎛ − k∇T ⎞ ⎟ ⎜ ⎜ = ∇ ⋅ dV ( ) dV k T = − ∇ ⋅ ∇ + ∇ ⎜ ⎟ ∫ ⎜ T ⎟⎠ V∫(t ) ⎝ T ⎠ V∫(t ) ⎜⎝ T T2 V (t ) ⎝
⎞ ⎟⎟dV ⎠
Dengan demikian maka Hukum Termodinamika II menjadi,
∫
V (t )
ρ
∇ ⋅ (k∇T ) (∇T ) 2 ρQ ds + ∫ k dV ≥ 0 dV − ∫ dV − ∫ 2 T T dt T V (t ) V (t ) V (t )
Sekarang kita substitusikan persamaan (x) ke dalam pertidaksamaan di atas dan hasilnya adalah
Dasar Mekanika Fluida 74
(τ ⋅ ∇) ⋅ u k (∇T ) 2 dV + ∫ dV ≥ 0 2 ∫ T T V (t ) V (t )
(xx)
Hasil di atas menjadi persamaan untuk proses reversible dan pertidaksamaan untuk proses irreversible. Seperti telah kita ketahui dari termodinamika, proses irreversible merupakan proses yang menyebabkan adanya energi yang hilang atau “terdisipasi” di dalam sistem (material volume). Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa q dan τ adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya disipasi (hilangnya) energi dalam sistem fluida. Sebab apabila q = 0 dan τ = 0, maka proses menjadi reversible dan tidak ada energi yang hilang. Selain memberitahukan apa yang menyebabkan terjadinya disipasi energi, Hukum Termodinamika II juga memberikan batasan terhadap harga-harga koefisien λ, µ, dan k. Untuk melihat batasan ini kita akan jabarkan suku (τ ⋅ ∇) ⋅ u ) seperti di bawah ini,
(τ ⋅ ∇ )⋅ u = τ
ij
⎛ ∂u ∂u j ∂u i ⎡ ∂u k = ⎢λ δ ij + µ ⎜⎜ i + ∂x j ⎢⎣ ∂x k ⎝ ∂x j ∂xi
⎞⎤ ∂u i ⎟⎥ ⎟⎥ ∂x ⎠⎦ j
2
⎞ ⎡⎛ ∂u i ∂u j ⎟ ⎢⎜ + ⎟ ⎢⎜ ∂x ∂xi j ⎠ ⎣⎝
2
⎞ ⎛ ∂u ⎟ + 1 µ ⎜ ∂u i + j ⎟ 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎠
⎛ ∂u = λ ⎜⎜ k ⎝ ∂x k
∂u ⎞ 1 ⎛ ∂u ⎟⎟ + µ ⎜ i + j 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎠
⎛ ∂u = λ ⎜⎜ k ⎝ ∂x k
∂u ⎞ 1 ⎛ ∂u ⎟⎟ + µ ⎜ i + j 2 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎠
2
⎞ ⎛ ∂u i ∂u j ⎟+⎜ − ⎟ ⎜ ∂x ∂xi j ⎠ ⎝
⎞⎤ ⎟⎥ ⎟⎥ ⎠⎦
⎞⎛ ∂u i ∂u j ⎟⎜ − ⎟⎜ ∂x ⎠⎝ j ∂xi
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
Penulisan di atas menggunakan “notasi Einstein” untuk mempersingkat penulisan. Apabila kita gunakan notasi vektor maka hasil di atas dapat dituliskan seperti:
(τ ⋅ ∇ )⋅ u = λ ∑ ⎛⎜⎜ ∂∂ux k k =1 ⎝ k 3
2 2 2 2 ⎞ µ 3 ⎛⎜ ∂u i ∂u j ⎞⎟ µ 3 ⎡⎢⎛⎜ ∂u i ⎞⎟ ⎛ ∂u j ⎞ ⎤⎥ ⎟ ⎟⎟ + + + −⎜ ∑ ∑ 2 i =1, j =1 ⎜⎝ ∂x j ∂xi ⎟⎠ 2 i =1, j =1 ⎢⎜⎝ ∂x j ⎟⎠ ⎜⎝ ∂xi ⎟⎠ ⎥ ⎠ ⎣ ⎦ adalah skalar ≡ Φ
( )
2
= λ ∇ ⋅u +
µ 2
=0
Φ
di mana Φ ≥ 0 Apabila kita substitusikan hasil di atas ke dalam pertidaksamaan (xx), maka,
Dasar Mekanika Fluida 75
(∇ ⋅ u ) dV + µ ΦdV ≥ 0 k (∇T ) dV + ∫ λ ∫ ∫ 2 T T V (t ) V (t ) V (t ) 2
2
Karena T ≥ 0 dan Φ ≥ 0 maka dapat dilihat dari pertidaksamaan di atas bahwa,
k, λ , µ > 0 Ini menunjukkan bagaimana Hukum Termodinamika II mengharuskan koefisienkoefisien (k, λ, µ) untuk selalu positif.
2.2
Persamaan-persamaan Pelengkap Sistem Persamaan Fluida
Persamaan-persamaan (a), (b), dan (c) adalah persamaan dasar untuk fluida. Dari sistem persamaan ini, dapat dilihat bahwa kita perlu mengetahui variabel (ρ, u , p, e, T, k, λ,
dan µ) untuk menjelaskan gerak fluida ( G dan Q adalah variabel-variabel eksternal yang biasanya diberikan dan tidak harus didapatkan dari sistem persamaan untuk fluida).
Sedangkan jumlah persamaan (a) sampai dengan (d) hanyalah 5 (enam)
persamaan (persamaan (b) adalah persamaan vektor yang mempunyai 3 komponen). Jadi hanya terdapat 5 persamaan untuk mendapatkan 10 variabel yang tidak diketahui (ρ, u , p, e, T, k, λ, dan µ)
Jadi jelaslah bahwa persamaan (a) sampai dengan (c) tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kita membutuhkan lima persamaan lagi untuk melengkapi “sistem persamaan” fluida. Dua persamaan ini didapatkan dari persamaan termodinamika, yaitu persamaan keadaan seperti:
e = e ( p, T ) & p = ( ρ , T )
(e)
Sedangkan 3 persamaan lagi adalah persamaan yang menjelaskan hubungan antara λ, µ,
k dengan variable-variable termodinamika seperti p dan T.
λ = λ ( p , T ) , k = k ( p , T ) , µ = µ ( p, T )
(f)
Dengan adanya persamaan (e) dan (f), maka lengkaplah sistem persamaan yang kita miliki untuk menyelesaikan permasalahan mekanika fluida (persamaan (a), (b), (c), (e),
Dasar Mekanika Fluida 76
dan (f) ). Bentuk eksplisit dari persamaan (e) dan (f) sendiri tergantung dari jenis fluida tersebut (misalnya fluida ideal atau benda cair). Contoh:
untuk perfect gas persamaan (e) adalah: p = ρRT , ⎛ ∂e ⎞ Cv = ⎜ ⎟ = kons tan ⎝ ∂T ⎠ v sehingga e = C v T + kons tan
Catatan:
Sistem persamaan (a) sampai dengan (f) adalah sistem persamaan untuk fluida yang homogeneous. Dengan kata lain fluida dianggap sejenis dan tidak terjadi reaksi kimia. Apabila fluida tidak homogeneous dan komposisi dari species yang membentuk fluida tersebut berbeda di setiap titik-titik, maka dibutuhkan lagi persamaan tambahan untuk melengkapi sistem persamaan, misalnya persamaan yang menjelaskan konsentrasi (Ci) dari setiap species fluida tersebut. Dalam aerodinamika kasus fluida yang tidak homogeneous terjadi dalam aliran hypersonic. Dalam aliran hypersonic dapat terjadi proses disosiasi dan ionisasi di daerah-daerah yang mempunyai temperatur, T, yang sangat tinggi.
2.2.1 Bentuk alternatif dari persamaan energi. Dalam kasus-kasus tertentu, persamaan (c) bukanlah bentuk yang terbaik untuk digunakan. Dalam kasus-kasus seperti ini kita dapat gunakan persamaan energi dalam bentuk lain; yaitu dengan menggunakan variabel h (entalphi) untuk menggantikan variabel e (internal energy). Definisi entalphy adalah: h = e+
p
ρ
Sehingga, dh = de + dan
1
ρ
dp −
p
ρ2
dρ
Dasar Mekanika Fluida 77
ρ
dh de dp p d ρ =ρ + − dt dt dt ρ dt
Sekarang kita substitusikan persamaan untuk
ρ
de dan hasilnya adalah: dt
dh dp = ρ Q + ∇ ⋅ k ∇T + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + dt dt
(g)
Selain bentuk persamaan energi seperti di atas, ada lagi bentuk alternatif dari persamaan energi, yaitu persamaan untuk laju perubahan temperatur dari sebuah fluid element. Bentuk alternatif persamaan energi seperti ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan perpindahan panas. Selain itu bentuk persamaan energi seperti ini juga lebih nyaman untuk digunakan karena variabel temperatur adalah variabel yang dapat langsung digunakan (tidak seperti energi dalam dan entalpi, misalnya). Untuk mendapatkan bentuk alternatif persamaan energi ini kita mulai dari persaman untuk energi dalam,
ρ
de = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − p ( ∇ ⋅ u ) + ρ Q dt
Sekarang kita akan ubah ekspresi untuk e dalam persamaan di atas dengan menggunakan hasil dari termodinamika. ⎡ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞ de = T ds − p dv = T ⎜ ⎟ dT + ⎢T ⎜ ⎟ − ⎝ ∂T ⎠ v ⎣ ⎝ ∂v ⎠
⎤ p ⎥ dv ⎦
Turunan parsial untuk s dalam persamaan di atas dapat diubah dengan menggunakan definisi untuk Cv dan Helmholtz potensial ψ. ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞ Cv ≡ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ =T⎜ ⎟ , dψ = − pdv − sdt ⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂s ⎠v ⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂T ⎠ v
sehingga ⎛ ∂ψ ⎞ ⎛ ∂ψ ⎞ p = −⎜ ⎟ , s = −⎜ ⎟ ⎝ ∂v ⎠T ⎝ ∂T ⎠v
Karena
∂ 2ψ ∂ 2ψ = ∂v∂T ∂T∂v
maka,
Dasar Mekanika Fluida 78
⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ ⎝ ∂T ⎠v ⎝ ∂v ⎠T
Jadi persamaan untuk energi dalam dapat dituliskan seperti,
ρ Cv Karena v ≡
1
ρ
⎛ ⎛ ∂p ⎞ dT = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + ρ Q − p ( ∇ ⋅ u ) − ρ ⎜ T ⎜ ⎟ − dt ⎝ ⎝ ∂T ⎠v
maka
⎞ dv p⎟ ⎠ dt
dv 1 dρ 1 =− 2 = ∇ ⋅ u , maka persamaan untuk energi dalam dt ρ dt ρ
menjadi:
ρ Cv
dT ⎛ ∂p ⎞ = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − T ⎜ ⎟ ∇ ⋅ u + ρQ dT ⎝ ∂T ⎠v
(h)
Bentuk persamaan energi di atas (g), lebih mudah digunakan karena bentuk ini kita gunakan variabel T (bukan e atau h seperti sebelumnya) karena kondisi batas biasanya ⎛ ∂T ⎞ diberikan dalam bentuk T = Twall atau ⎜ ⎟ ⎝ ∂n ⎠ wall
Satu lagi bentuk alternatif untuk persamaan energi, yaitu bentuk lain dari persamaan (g). dari termodinamika kita tahu bahwa: dh = Tds + vdp .Apabila kita nyatakan s = s ( p, T ) maka persamaan tersebut menjadi, ⎛ ⎛ ∂s ⎞ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ dh = T ⎜ ⎟ dT + ⎜⎜ T ⎜⎜ ⎟⎟ + v ⎟⎟dp ⎝ ∂T ⎠ p ⎝ ⎝ ∂p ⎠ T ⎠ Sekarang, ⎛ dh ⎞ ⎛ ∂h ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞ Cp ≡ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ =T⎜ ⎟ ⎝ dT ⎠ p ⎝ ∂s ⎠ p ⎝ ∂T ⎠ p ⎝ ∂T ⎠ p juga kita ketahui untuk hubungan diferensial untuk Gibbs potential (g): ⎛ ∂q ⎞ ⎛ ∂q ⎞ dq = vdp − sdT atau v = ⎜⎜ ⎟⎟ dan s = ⎜ ⎟ ⎝ ∂T ⎠ P ⎝ ∂p ⎠ T
sehingga ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂v ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ ∂p ⎠ T ⎝ ∂p ⎠ T
dengan demikian persamaan untuk dh menjadi:
Dasar Mekanika Fluida 79
⎛ ⎛ ⎛ 1 ⎞⎞ ⎞ ⎜ ⎜ ∂⎜ ρ ⎟ ⎟ ⎟ ⎝ ⎠ ⎜ ⎟ + 1⎟dp ρ dh = ρC p dT + Tρ ⎜ ⎜ ⎜ ∂p ⎟ ⎟ ⎟ ⎜ ⎜ ⎟ ⎠T ⎝ ⎝ ⎠ ⎛ T ⎛ ∂ρ ⎞ ⎞ ρ dh = ρC p dT + ⎜⎜1 − ⎜⎜ ⎟⎟ ⎟⎟dp ⎝ ρ ⎝ ∂p ⎠ T ⎠ Dengan menggunakan hubungan di atas, persamaan (g) menjadi:
ρC p
dT T ⎛ ∂ρ ⎞ dp = ρ Q + ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u + ⎜ dt ρ ⎝ ∂p ⎟⎠T dt
(i)
2.2.2 Kondisi batas yang harus dipenuhi Untuk menyelesaikan sistem persamaan fluida dibutuhkan kondisi awal (initial conditions) dan kondisi batas (boundary conditions). Kondisi-kondisi ini ditentukan oleh permasalahan yang kita pelajari. Namun untuk kondisi batas kita dapat lebih spesifik. Untuk persamaan momentum (b), kondisi batasnya adalah : u ( x = x wall , t ) = U wall
( x wall = posisi benda)
apabila terdapat benda di dalam aliran yang bergerak dengan kecepatan U wall . Dengan kata lain kondisi batas ini menyatakan bahwa lapisan fluida yang berbatasan dengan permukaan benda bergerak dengan kecepatan benda tersebut. Untuk persamaan energi, kondisi batasnya biasanya diberikan untuk temperatur (T). Seperti telah kita lihat bentuk alternatif dari persamaan energi dapat dituliskan dengan menggunakan T (persamaan (h) atau (i)). Apabila terdapat benda dalam aliran, maka kondisi batas untuk persamaan energi adalah : T ( x = x wall , t ) = Twall atau k
∂T ∂T ( x = x wall , t ) = ⎛⎜ k ⎞⎟ ∂nˆ ⎝ ∂nˆ ⎠ wall
Dasar Mekanika Fluida 80
Kondisi batas yang pertama menyatakan bahwa T dari lapisan fluida yang berbatasan dengan benda adalah T benda. Sedangkan yang kedua menyatakan flux dari T di arah nˆ (normal terhadap benda) dari lapisan fluida yang berbatasan dengan benda adalah flux dari T di arah nˆ yang “keluar/masuk” benda tersebut. Karena q = − k∇T , kondisi batas yang kedua menjelaskan proses perpindahan panas atau heat transfer dari atau ke permukaan benda. Pada kasus-kasus tertentu, kedua kondisi batas untuk persamaan energi ini di gunakan secara bergantian.
Misalnya, kita mempelajari kasus dimana sebuah benda panas
dimasukkan kedalam suatu aliran fluida dengan temperatur yang lebih rendah. Dari pengalaman sehari-hari kita ketahui bahwa pada saat-saat awal, temperatur benda tersebut tidak banyak berubah sehingga pada saat-saat tersebut kondisi batas yang digunakan adalah T ( x = x wall , t ) = Twall . Namun, setelah selang waktu tertentu, mulai ada transfer panas dari benda ke fluida sehingga temperatur benda (Twall) turun. Pada saat ini kondisi batas yang kita gunakan adalah k
∂T ∂T ( x = x wall , t ) = ⎛⎜ k ⎞⎟ . Transfer ∂nˆ ⎝ ∂nˆ ⎠ wall
panas ini terus berlangsung sampai pada akhirnya terjadi kesetimbangan antara temperatur benda dan temperatur fluida disekitarnya dan pada saat itu proses perpindahan panas berhenti sehingga kondisi batasnya adalah k
∂T ( x = x wall , t ) = 0 . ∂nˆ
Kondisi dimana qwall = 0 ini disebut Adiabatic wall condition.
2.3
Bentuk-bentuk non dimensional dari persamaan fluida
Persamaan-persamaan fluida dapat ditulis dalam bentuk nondimensional. Untuk itu, pertama-tama kita definisikan variabel yang tidak berdimensi dibawah ini :
ρ~ ≡
L u p ρ t ~ T , u~ ≡ , ~ ,T ≡ ,~ , τ~ ≡ o τ , p≡ t ≡ µ ouo ρo uo po To t0
C po C Cγ ~ ~ k x ~ G ~ ,k ≡ , Cv ≡ v = v o , G ≡ , γo ≡ x≡ Cvo C po Lo ko go C vo
Dasar Mekanika Fluida 81
Variabel-variabel di atas yang bersubscript “o” adalah variabel-variabel acuan, misalnya u o adalah kecepatan “freestream”, Lo adalah panjang dari benda (chord length dari airfoil) dan lain-lain. Sekarang apabila kita ganti variabel-variabel misalnya ρ = ρ~ρ o , dan seterusnya kedalam persamaan (a) dan (b), maka kita dapatkan : 1 ∂ρ~ ~ ~ ~ + ∇.(ρ u ) = 0 S ∂~ t
(a~ )
t
(b~ )
1 ∂u u = − 1 ∇ p + 1 ∇ ⋅τ + 1 ρ G + ρ u ⋅∇ ρ St ∂t Ru Re Fr
(
)
di mana ∇=
1 ~ ∂ ∂ = = ∇ ~ ∂ x Lo ∂ x Lo
Untuk persamaan energi, kita akan menggunakan persamaan (h) dan kita akan lakukan ini untuk kasus besar Q = 0
⎧ ∂T ⎫ ⎛ ∂p ⎞ + ( u ⋅∇ ) T ⎬ = ∇ ⋅ ( k ∇T ) + (τ ⋅∇ ) ⋅ u − T ⎜ ⎟ ∇ ⋅ u . ⎩ ∂t ⎭ ⎝ ∂t ⎠v
ρ Cv ⎨
Apabila kita subsitusikan variabel di atas ke dalam persamaan ini dan hasilnya lalu dikalikan
Lo γ o , maka : ρ o C poTo u o
Br .γ 0 1 ∂T T = γ o ∇ ⋅ .k∇ T − Br .γ o T ⎛ ∂p ⎞ ∇ ) ⋅ u (c~ ) ρ Cv (τ ⋅∇ + ρ C v u ⋅∇ ⎜ ⎟ ⋅ u + St Re .Pr Ru .Pr ⎝ ∂T ⎠v Re .Pr ∂t
(
)
(
)
di mana : St ≡
touo Lo
(Bilangan Strouhal),
Re ≡
ρ o u o Lo µo
(Bilangan Reynolds),
Pr ≡
C Po µ o ko
(Bilangan Prandtl),
Ru ≡ Fr ≡ Br ≡
ρ o u o2
(Bilangan Ruark)
Po u o2 g o Lo
(Bilangan Froude)
µ o u o2
(Bilangan Brinkman)
k oTo
Selain angka-angka di atas kadangkala digunakan juga : Pe ≡ Pr .Re
(Bilangan Peclet),
Ec ≡
Br Pr
(Bilangan Eckert)
Dasar Mekanika Fluida 82
Catatan : Dapat dilihat dari definisi di atas bahwa harga Pr tergantung dari jenis fluida dan tidak bergantung dari aliran. Persamaan dasar fluida dalam bentuk nondimensional ini (persamaan
(a~ ) -
persamaan (c~ ) )sangat berguna dalam hal-hal berikut : 1. Menyederhanakan persamaan tersebut. Misalnya apabila aliran yang dipelajari ~ mempunyai Re yang tinggi (Re → ∞ ) , maka dapat dilihat dari persamaan b ,
()
suku yang menjelaskan viscous stress dapat diabaikan.
Juga karena Pr
biasanya mempunyai harga sekitar 1, maka suku yang menjelaskan konduksi panas dan viscous dissipation dapat diabaikan dalam persamaan (c~ ) . 2. Biasanya dalam melakukan eksperimen untuk mensimulasikan aliran di sekitar benda kita membuat model yang lebih kecil daripada dimensi benda yang sebenarnya. Persamaan (a~ ) − (c~ ) memberitahu kita bahwa eksperimen dengan model yang lebih kecil ini akan berhasil mensimulasikan aliran dengan tepat apabila harga-harga parameter : γ , S t , Ru , Re , Fr , Pr ,& Br adalah sama seperti pada aliran yang sebenarnya. Ini disebabkan variabel yang terdapat dalam persamaan (a~ ) − (c~ ) tidak berdimensi. Jadi apabila ada dua persoalan (aliran disekitar benda dan aliran disekitar model), maka solusi dari persamaan (a~ ) − (c~ ) untuk kedua aliran tersebut adalah sama apabila harga dari parameter-parameter tersebut sama
2.3.1 Kasus Perfect Gas Dalam aerodinamika biasanya kita mempelajari aliran udara. Udara dapat diasumsikan sebagai perfect gas. Untuk perfect gas, kita dapat menggunakan parameter lain yang lebih umum digunakan dalam aerodinamika seperti M (Mach number). Pertama-tama kita mulai dari definisi Ru Ru ≡
ρ 0 u 02 P0
=
γ 0 ρ 0 u 02 γ 0 P0
Dasar Mekanika Fluida 83
Untuk perfect gas a02 =
γ 0 P0 sehingga, ρ0 Ru =
γ 0 u 02 a
2 0
= γ 0 M 02 .
Sekarang kita lihat
εc ≡ Untuk perfect gas C p0 =
U 02 Br = Pr CP 0T0
γ 0R sehingga, γ 0 −1
u 02 u 02 εc = (γ 0 − 1) = (γ 0 − 1) 2 = (γ 0 − 1) M 02 . γ 0 RT0 a0 Dengan demikian maka persamaan-persamaan (ã) s/d (ĉ) untuk perfect gas menjadi : 1 ∂ρ + ∇ ⋅ ( ρ u ) = 0 St ∂t 1 ∂u 1 1 1 ∇p + ∇ ⋅τ + ρ G ρ + ρ (u ⋅∇ )u = − 2 St ∂t Re Fr γ 0M 0 2 1 ∂T )T = γ 0 (∇ ⋅ k∇ T ) − (γ − 1) P ∇ ⋅ u + γ 0 (γ 0 − 1) M 0 (τ ⋅∇ ) ⋅ u + ρ C v (u ⋅∇ ρ Cv 0 St Re Pr Re ∂t
Dari
persamaan
(d~ ) dapat
dilihat
bahwa
parameter-parameter
(d~ )
“Aerodynamics
Similarity” untuk perfect gas adalah : St, Re, Fr, Pr, Mo, γ.
p⎞ ~ ~ ⎛ ∂~ Catatan: Dalam d suku T ⎜ ~ ⎟ didalam persamaan energi telah diubah sebagai ⎝ ∂T ⎠υ
()
berikut:
ρRT0 ~ p = ρRT ⇒ ~ p= T p0 p⎞ p⎞ p ~ ρRT0 ρRT ~⎛ ∂~ ~⎛ ∂~ T⎜ ~⎟ =T⎜ ~⎟ =T = = ≡~ p p p p ∂ T T ∂ ⎝ ⎠υ ⎝ ⎠ρ 0 0 0
Dasar Mekanika Fluida 84
2.4
Diskontinuitas dalam fluida
Pada bab I kita telah membahas bagaimana mendapatkan persamaan-persamaan continuum apabila terdapat diskontiniutas.
Persamaan-persamaan itu, untuk fluida
Newtonian adalah :
[ρw] = 0 ........................................................................................ (a)
[ρwu − (− p I + τ ) ⋅ nˆ] = 0 …………………………………………(b) ⎡ ⎛ u2 ⎢ ρw⎜⎜ e + 2 ⎣ ⎝
⎤ ⎞ ⎟⎟ − − pu + τ ⋅ u − q ⋅ nˆ ⎥ = 0 …………………………(c) ⎠ ⎦
(
)
q ⋅ nˆ ⎤ ⎡ ⎢ ρws + ⎥ ≥ 0 ………………………………………………...(d) T ⎦ ⎣
dimana w ≡ u ⋅ nˆ -v ⋅ nˆ
Diskontiniutas dapat digolongkan menjadi 2 jenis : i)
Tangensial Discontiunity
Untuk jenis ini tidak ada massa yang melewati permukaan diskontiniutas sehingga:
(u 1 − v ) ⋅ nˆ = (u 2 − v ) ⋅ nˆ = 0
atau w = 0
Untuk kasus ini persamaan (a) lansung terpenuhi. Persamaan (b) dan (c) menjadi :
(− p I + τ )⋅ nˆ = (-p I + τ )⋅ nˆ [(-p I + τ )⋅ u − q ]⋅ nˆ = [(-p I + τ )⋅ u 1
1
2
1
1
1
2
1
2
2
2
]
− q 2 ⋅ nˆ
dan persamaan (d) menjadi :
q ⎞ ⎛ q 2 q1 ⎞ ⎛q ⎜ − ⎟ ⋅ nˆ ≥ 0 atau ⎜ 1 − 2 ⎟ ⋅ nˆ ≤ 0 ⎜T ⎟ ⎜T T ⎟ 2 ⎠ ⎝ 2 T1 ⎠ ⎝ 1 Apabila asumsi inviscid dan adiabatic dapat digunakan maka, p1 = p2
(T.D.I)
dan dari definisi kasus ini (w ≡ 0) maka : u 1 ⋅ nˆ = u 2 ⋅ nˆ
(T.D.2)
Dasar Mekanika Fluida 85
Catatan:
a) Apabila kita gunakan (T.D.I) dan kembali ke persamaan (b) maka kita dapatkan :
w[ρ u ] = 0 karena w ≡ 0 maka persamaan di atas menyatakan bahwa [ρ u ] tidak harus sama dengan nol. Sedangkan persamaan (d), w[ρ ] = 0 , jadi [ρ ] tidak harus sama dengan nol. Jadi ada 2 macam tipe tangential discontinuity: 1. Di mana ρ1 ≠ ρ 2 tetapi u 1 = u 2 . Discontiniuty tipe ini dinamakan contact discontinuity. 2.
( ρ1 = ρ 2 )
tetapi u 1 ≠ u 2 . Karena u 1 ⋅ nˆ = 0 = u 2 ⋅ nˆ maka discontinuity jenis
ini berarti komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan diskontiniutas
(u II ) diskontinyu atau u II1 ≠ u II 2 . Discontinuity jenis ini disebut slip surface. b) Untuk (d) ketidaksamaan menjadi persamaan w[ρs ] = 0 , jadi untuk kedua tipe di atas ( 1) dan 2) ), S1 tidak harus sama dengan S2. ii)
Normal Discontinuity
Untuk jenis ini ada mass flux
(w ≠ 0) .
Untuk discontinuity jenis ini persamaan-
persamaan terpenuhi apabila
ρ1w1 = ρ 2 w2 ρ1w1 u1 − (− p1 I + τ 1 ) ⋅ nˆ = ρ 2 w2 u 2 − (− p2 I + τ 2 ) ⋅ nˆ 2 2 ⎛ ⎛ u1 ⎞ u2 ⎞ ρ1w1 ⎜ e1 + ⎟ − − p1 u1 + τ 1 ⋅ u1 − q1 ⋅ nˆ = ρ 2 w2 ⎜ e2 + ⎟ − − p1 u 2 + τ 2 ⋅ u 2 − q 2 .nˆ 2 ⎠ 2 ⎠ ⎝ ⎝ q ⋅ nˆ q ⋅ nˆ ρ 2 w2 s2 + 2 ≥ ρ1w1s1 + 1 T2 T1
(
)
(
)
Karena nˆ adalah unit vector yang menunjukkan arah normal dari permukaan diskontiniutas maka komponen persamaan kedua di atas yang sejajar dengan permukaan diskontinuitas adalah,
ρ1w1 u //1 = ρ2 w2 u // 2 atau
Dasar Mekanika Fluida 86
u //1 = u // 2 . Jadi untuk normal discontinuity komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan (u//) diskontiniutas harganya kontinyu. Apabila asumsi inviscid dan adiabatic dapat digunakan maka persamaan di atas menjadi,
ρ1 w1 = ρ 2 w2
(ND.1)
ρ1 w1 u 1 + p1 nˆ = ρ2 w2 u 2 + p 2 nˆ
(ND.2)
2 ⎛ u1 ⎜ ρ1 w1 ⎜ e1 + 2 ⎝
2 ⎞ ⎛ u ⎞ ⎟ + p1 u 1 ⋅ nˆ = ρ 2 w2 ⎜ e2 + 2 ⎟ + p 2 u 2 ⋅ nˆ ⎟ ⎜ 2 ⎟⎠ ⎠ ⎝
ρ2 w2 s2 ≥ ρ1w1s1
2.5
(ND.3) (ND.4)
Effect dari Surface Tension
Apabila kita teteskan air di atas meja maka tetesan air tersebut akan membentuk “setengah bola” seperti sketsa sebelah kiri di atas. Apabila kita mempunyai tabung yang diisi oleh air maka permukaan air tersebut akan melengkung seperti sketsa di sebelah kanan. Fenomena-fenomena ini disebabkan oleh apa yang disebut “surface tension”. Secara mikroskopik efek ini disebabkan oleh ketidakseimbangan gaya antar molekul yang dialami oleh molekul-molekul disekitar permukaan. Misalkan dalam kasus tetesan air (sketsa kiri). Kita ketahui bahwa “intermolecular force” dari molekul-molekul tersebut saling tarik menarik. Molekul-molekul di sekitar permukaan mengalami gaya tarik yang disebabkan oleh molekul-molekul air di satu sisi. Namun, di sisi lain terdapat
Dasar Mekanika Fluida 87
molekul-molekul udara yang mempunyai gaya tarik yang sangat lemah. Oleh karena itu molekul-molekul di sekitar permukaan (titik-titik hitam dalam sketsa diatas) akan “ditarik” oleh molekul-molekul air (lihat sketsa ditengah) dan permukaan air akan membentuk “setengah bola”
Secara makroskopik, “tertarik”-nya molekul-molekul di sekitar permukaan ke salah satu sisi dirasakan dengan adanya “surface tension”, yaitu gaya yang parallel dengan permukaan. Sekarang kita lihat kesetimbangan gaya-gaya dipermukaan antara 2 fluida yang berbeda.
Permukaan antara 2 fuida yang berbeda adalah “tangential
discontinuity” dan apabila tidak terdapat “surface tension” maka kesetimbangan gayagaya di permukaan yang membatasi 2 fluida ini dijelaskan oleh persamaan yang paling atas dalam persamaan (TD) yaitu
∫ (− p I + τ 1
S
1
) ⋅ nˆ ds = ∫ (− p 2 I + τ 2 ) ⋅ nˆ dS S
atau
∫ (F
(1)
(2)
− F ) ⋅ nˆ dS = 0
S
di mana F
(i )
≡ − pi I + τ i
Apabila terdapat “surface tension” maka kita perlu tambahkan lagi satu gaya lagi kedalam persamaan kesetimbangan diatas.
∫ (F S
(1)
(2) − F ) ⋅ nˆ dS + ∫ σ tˆ × nˆ dl = 0
(ST.1)
C
Di mana τ : surface tension coefficient, nˆ : unit vektor arah normal dan tˆ : unit vektor di arah yang sejajar dengan kurva c (sejajar dengan dl).
Dasar Mekanika Fluida 88
Sekarang kita akan ubah integral garis diatas menjadi integral area dengan menggunakan salah satu versi dari stokes theorem yaitu
∫ A × d l = ∫ A × tˆ dl = ∫ [(∇ ⋅ A)nˆ − (∇ A) ⋅ nˆ ] dS
C
C
S
Dengan menggunakan teorema ini maka (ST.1) menjadi, ( A = −σ nˆ )
∫( (F
(1)
)
− F ) ⋅ nˆ +∇(σ nˆ)⋅ nˆ −(∇⋅ (σ nˆ))nˆ dS = 0 (2)
S
Sehingga, (F
(1)
−F
( 2)
) ⋅ nˆ = (∇ ⋅ (σ nˆ ))nˆ − ∇(σ nˆ ) ⋅ nˆ
(ST.2)
Sekarang kita akan jabarkan suku kanan dari (ST.2) lebih lanjut
( ∇ ⋅ (σ nˆ ) ) nˆ − ∇ (σ nˆ ) ⋅ nˆ = σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ + ( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − (σ∇nˆ + nˆ∇σ ) ⋅ nˆ . Karena nˆ ⋅∇nˆ = 0 dan nˆ ⋅ nˆ = 1 maka
suku
pada
ruas
kiri
menjadi
= σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ + ( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − ∇σ . Apabila kita gunakan aturan untuk “triple product”: A × B × C = (B ⋅ A)C − (C ⋅ A)B maka,
( ∇σ ⋅ nˆ ) nˆ − ∇σ = − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ sehingga ruas kiri menjadi
σ ( ∇ ⋅ nˆ ) nˆ − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ Namun
∇ ⋅ nˆ
adalah
“mean
curvature”
(kelengkungan rata-rata dari permukaan) atau ⎛1 1 ⎞ ∇ ⋅ nˆ = ⎜ + ⎟ ≡ κ ⎝ R1 R2 ⎠
Dengan demikian maka kesetimbangan gaya-gaya di permukaan (ST.2) menjadi
( F ( ) − F ( ) ) ⋅ nˆ = σκ nˆ − ( nˆ × ∇σ ) × nˆ 1
2
dengan F ( i ) = − Pi I + τ i dan κ > 0 untuk kasus seperti sketsa di atas.
(ST)
Dasar Mekanika Fluida 89
Suku terakhir di kanan dalam persamaan (ST) mempunyai arah yang sejajar dengan permukaan. Untuk kasus inviscid, suku kiri dalam (ST) adalah
( p 2 − p1 )nˆ
dan ini
adalah vektor di arah normal sama seperti σκ nˆ . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk kasus inviscid (τ i = 0 ) ,
( nˆ × ∇σ ×) nˆ = 0 .
Apabila fluida 1 dan 2 dalam keadaan diam maka τ i = 0 . Dengan demikian maka persamaan (ST) menjadi: p 2 − p1 = σκ
(Laplace Formula)
Sekarang kita akan lihat rumus di atas secara mendalam dengan mengamati kasuskaasus di bawah ini: 1) Pemukaan yang datar: Untuk permuakaan yang datar R1 → ∞, R2 → ∞ sehingga
κ → 0 . Dengan demikian untuk permukaan datar kesetimbangan dijelaskan oleh: p 2 = p1 2) κ > 0 : κ positif apabila kelengkungan permukaan yang membatasi kedua fluida adalah seperti dalam sketsa di bawah. Apabila κ positif ( σ selalu positif) maka P2 > P1 (tekanan lebih tinggi di fluida dengan permukaan yang konvex) 3) Apabila tidak terdapat gaya eksternal (seperti gaya gravitasi) maka P2 & P1 adalah konstan. Oleh karena itu, ⎛ 1 1 ⎞ ⎜ + ⎟ = kons tan ⎝ R1 R2 ⎠
Untuk “permukaan bebas” seperti yang terdapat dalam kasus tetesan air hasil diatas berarti berbentuk bola. 4) Apabila 1 adalah udara dan 2 adalah fluida yang berada dalam pengaruh gravitasi maka: P1 = konstan dan P2 = kostan - ρ gz , \dimana 2 adalah koordinat vertikal.
Dasar Mekanika Fluida 90
Untuk kasus ini kondisi equilibrium yang dijelaskan oleh persamaan Laplace menjadi: 1 1 ρ gz + + = kons tan R1 R2 σ
2.6
Asumsi – asumsi yang Sering Digunakan
Telah kita saksikan bahwa persamaan–persamaan dasar fluida adalah persamaan– persamaan yang sangat kompleks. Persamaan momentum, misalnya adalah persamaan diferensial yang nonlinier.
Oleh karena itu persamaan tersebut sangat sulit untuk
diselesaikan secara analitik. Apabila kita ingin menyelesaikan persamaan–persamaan tersebut.
Secara analitik maka kita harus menyederhanakan persamaan–persamaan
tersebut dengan mengasumsikan sesuatu. Berikut ini adalah asumsi-asumsi yang sering digunakan.
2.6.1 Steady : Asumsi ini menyatakan bahwa variabel–variabel aliran ( ρ , u , e, p, T , dll ) di setiap titik ∂ =0 dalam aliran tidak berubah dengan waktu sehingga ∂t . Perlu diingatkan asumsi ini tidak menyatakan bahwa
d = 0. dt
2.6.2 Inviscid : Asumsi ini menyatakan bahwa suku yang menjelaskan efek viskos dalam persamaan– persamaan dapat diabaikan. Asumsi ini dapat digunakan apabila Re sangat tinggi. ~
~
Untuk kasus Re tinggi apabila kita lihat persamaan ( b ) & ( c ) maka suku-suku Br γ o ~ ~ ~ 1 ~ ~ (τ ⋅ ∇) ⋅ u ∇⋅ τ & Re Re Pr
menjadi sangat kecil & dapat diabaikan .
(Pr ~ 1)
Dasar Mekanika Fluida 91
Selain itu apabila harga Re cukup tinggi, suku–suku dalam persamaan ( c~ ) , yaitu
γo Re Pr
~ (∇ ⋅ q~ ) menjadi sangat kecil & dapat diabaikan ( karena Pr ~ 1).
Karena
τ = τ (∇u ) dan q = q(∇T ) maka asumsi ini tidak dapat digunakan di daerah di mana terdapat ∇u dan ∇T yang tinggi seperti daerah di dekat permukaan benda & dalam shockwave. Untuk aliran inviscid, persamaan momentum dan energi menjadi jauh lebih sederhana,
ρ
du = −∇p + ρ G dt
(persamaan Euler)
d u2 ρ (e + ) = ρ (G ⋅ u + Q) − ∇ ⋅ ( pu ) dt 2
Apabila kita bandingkan dengan persamaan umum untuk momentum persamaan Euler adalah satu orde (di x ) lebih rendah. Oleh karena itu persamaan ini tidak memenuhi kondisi batas (boundary condition) u ( x = x wall , t ) = U wall . Kondisi batas kondisi batas yang harus dipenuhi oleh persamaan Euler hanyalah sebagian dari kondisi batas yang dipenuhi oleh persamaan Navier-stokes, yaitu u ( x = x wall , t ) ⋅ nˆ = U wall ⋅ nˆ
Sedangkan, kondisi batas lainnya yang menyatakan bahwa kecepatan aliran fluida didekat permukaan benda yang mempunyai arah sejajar dengan permukaan benda haruslah sama dengan kecepatan benda diarah tersebut tidak dapat dipenuhi. Dengan kata lain, perbedaan kecepatan tangensial antara benda dan fluida didekat benda tersebut (kondisi slip) diperbolehkan dalam aliran inviscid.
2.6.3 Adiabatik: Asumsi ini menyatakan bahwa tidak ada panas yang masuk kedalam sistem. Dengan demikian maka suku yang menjelaskan radiasi termal (ρQ) dapat diabaikan dalam
Dasar Mekanika Fluida 92
persamaan energi. Selain itu asumsi ini juga berarti bahwa transfer panas dibatas-batas fluida juga dapat diabaikan.
2.6.4 Isentropik: Asumsi isentropic menyatakan bahwa aliran fluida adalah aliran yang inviscid & adiabatic. Sehingga, untuk aliran isentropic persamaan (d) menjadi,
ρT
ds ds = 0 atau =0 dt dt
Persamaan ini dapat digunakan untuk menggantikan persamaan energi dalam aliran isentropic. Persamaan ini menyatakan bahwa entropi dari “fluid element” adalah
konstan sepanjang pergerakannya. Bentuk alternatif dari persamaan ini dapat dituliskan sbb. Dari termodinamik, dh = Tds +
1
ρ
dh ds 1 dp ds =T + karena =0 dt dt ds dt dt
dp sehingga
maka , dh 1 dp = dt ρ dt
2.6.5 Konstan S (Homentropik): Asumsi ini menyatakan bahwa entropi (s) adalah kontan di mana pun sehingga ∇s = 0 . Karena dh = Tds +
1
ρ
dp maka ∇h = T∇s +
1
ρ
∇p =
1
ρ
∇p; (T∇s = 0) .
Dengan demikian untuk aliran ini persamaaan momentum menjadi, du 1 = − ∇p + G = −∇h + G ρ dt
Asumsi ini digunakan apabila entropi setiap fluid element mempunyai harga yang sama pada daerah asal aliran (aliran dengan freestream yang seragam, misalnya) dan aliran juga dapat diasumsikan sebagai aliran isentropic. Untuk aliran yang homentropik ada sebuah teorema yang sangat berguna yaitu “Kelvin's Theorem”. Untuk mendapatkan teorema ini kita mulai dari definisi “Circulation”( Γ ).
Dasar Mekanika Fluida 93
Γ = ∫ u ⋅ d l di mana lintasan dalam integral adalah lintasan di dalam fluida. Sekarang kita
lihat
turunan
material
dari
Γ,
dΓ d d ⎛ du ⎞ = ∫ u ⋅ d l = ∫ ⎜ ⋅ d l + u ⋅ (d l ) ⎟ . dt dt dt ⎝ dt ⎠
Apabila kita perhatikan sketsa di sebelah dan ingat bahwa d l berada dalam fluida maka, d dl dl dx (d l ) = d ( ) = d ( ) = d ( ) = d u dt dt dt dt
Dengan demikian maka, ⎛ 2⎞ d u ∫ u ⋅ dt (d l ) = ∫ u ⋅ d u = ∫ d ⎜⎜ 2 ⎟⎟ = 0 , ⎝ ⎠
karena integral tertutup dari sebuah total differential adalah nol. Oleh karena itu maka persamaaan untuk
dΓ menjadi, dt dΓ du ⎛ du ⎞ =∫ ⋅ d l = ∫ ∇ × ⎜ ⎟ ⋅ nˆ ds dt dt ⎝ dt ⎠ s
di mana persamaaan ini didapatkan dengan menggunakan teorema Stokes untuk aliran yang homentropik & G adalah gaya yang konservatif ( G = - ∇ψ ) sehingga du = −∇h + G = −∇(h + ψ ) ≡ −∇(h) . dt
Dengan demikian maka
dΓ = − ∫ ∇ × (∇ h) ⋅ nˆ ds = 0 , karena ∇ × ∇A = 0 untuk setiap dt
skalar A. Jadi kita telah dapatkan sebuah teorema dΓ =0 dt
(Teorema Kelvin).
Sekali lagi lintasan dalam definisi Γ adalah lintasan di dalam fluida & daerah di dalam lintasan tersebut hanya terdapat fluida (tidak ada benda lain). Apabila kita lihat definisi dari Γ & kita gunakan Stokes Theorem maka, Γ ≡ ∫ u ⋅ d l = ∫ (∇ × u ) ⋅ uˆds = ∫ w ⋅ nˆ ds s
s
Dasar Mekanika Fluida 94
Jadi pengertian dari teorema Kelvin adalah sebagai berikut. Apabila kita ikuti sebuah kontur tertutup yang di dalamnya hanya berisi fluida & pada awalnya fluida tersebut tidak mempunyai vortisitas, maka bagian–bagian dalam fluida tersebut tidak akan mempunyai vortisitas seterusnya (apabila aliran fluida tersebut diasumsikan sebagai aliran homentropik & G adalah konservatif ).
Kegunaan teorema ini adalah dalam mempelajari aliran uniform yang melewati sebuah benda. Karena aliran jauh didepan benda tersebut adalah seragam maka aliran tersebut tidak mempunyai ω pada awalnya. Jadi menurut teorema Kelvin pada saat bagian dari fluida tersebut melewati benda maka ω – nya tetap nol & fluida tetap tidak mempunyai ω . Kondisi ω = ∇ × u = 0 dapat digunakan untuk mengganti persamaan momentum untuk kasus– asus seperti ini.
Teorema ini juga membawa kita kepada asumsi
selanjutnya yaitu asumsi irrotasional.
2.6.6 Aliran Irrotasional (aliran potensial) & Rotasional : Asumsi irrotasional menyatakan bahwa ω = 0. Dari pembahasan di 2.6.5 dapat dilihat bahwa asumsi ini berlaku apabila aliran dapat diasumsikan sebagai aliran homentropik dan tidak mempunyai vortisitas pada daerah asal aliran (freestream yang seragam, misalnya). Dengan kata lain aliran irrotasional pasti aliran homentropik tetapi aliran homentropik belum tentu aliran irrotasional. Karena aliran irrotasional pastilah aliran yang homentropik maka asumsi irrotasional hanya dapat digunakan dalam kasus Re yang tinggi dan setiap fluid element mempunyai harga entropi yang seragam pada daerah asal aliran. Persamaan momentum untuk aliran yang homentropik dapat dituliskan seperti di bawah ini dengan menggunakan vector identity: u ⋅∇u = ω × u + ∇
u2 2
(****)
Dengan identitas ini maka persamaaan momentum untuk aliran homentropik & G yang konservatif menjadi,
Dasar Mekanika Fluida 95
∂u u2 + ω × u = −∇(h + + Ψ) ∂t 2
(R)
Sekarang kita akan gunakan persamaan (R) utk mendapatkan persamaan energi untuk aliran irrotational & rotational. a) Aliran Irrotational (ω = 0)
Karena ω = 0 = ∇ × u & untuk setiap skalar φ , ∇ × (∇φ ) = 0 maka untuk aliran irrotational u dapat dinyatakan sebagai u = ∇φ dimana φ disebut “potensial”. Dengan definisi u ini maka persamaan (R) menjadi, ∇(
1 ∂φ + h + (∇φ ) 2 + Ψ ) = 0 ∂t 2
sehingga, 1 ∂φ + h + (∇φ ) 2 + Ψ = f (t ) ∂t 2 Fungsi f(t) dapat kita masukkan ke dalam φ karena apabila kita redefinisikan,
φ '' = φ + f (t ) maka u ' = ∇φ ' = ∇φ = u . Jadi persamaan diatas menjadi ∂φ 1 + h + ∇φ ⋅ ∇φ + Ψ = konstan di manapun didalam fluida ∂t 2 Persamaan di atas adalah persamaan energi untuk aliran irrotational atau dikenal juga dengan “aliran potensial”. b) Aliran Rotational (ω ≠ 0)
Untuk aliran yang steady maka persamaan (R) menjadi, ω × u = −∇(h + Sekarang kita ambil dot product persamaan di atas dengan u, u ⋅ (ω × u ) = −u ⋅ ∇(h +
u2 + Ψ) 2
Karena u tegak lurus dengan ω × u maka, 0 = −u ⋅ ∇(h +
u2 + Ψ) 2
u2 + Ψ) 2
Dasar Mekanika Fluida 96
u Sekarang kita definisikan unit vector Aˆ sebagai ˆA ≡ ∇u
Dengan definisi ini maka, u2 u2 ∂ 0 = Aˆ ⋅ ∇(h + + Ψ) + Ψ ) = (h + 2 ∂A 2
Tetapi ˆA adalah unit vector yang menunjukkan arah streamline (lihat definisi ˆA ). Maka persamaan di atas menjadi, h+
u2 + Ψ ≡ Η = konstan sepanjang streamline 2
(Bernoulli Eqn)
Sekilas persamaan di atas sama dengan persamaan energi untuk aliran irrotational. Namun, konstan di sebelah kanan dari kedua persamaan tersebut berbeda. Dalam kasus irrotational konstan tersebut adalah konstan dimanapun!!!. Sedangkan dalam kasus aliran rotasional konstan tersebut hanyalah konstan sepanjang streamline. Persamaan Bernoulli di atas adalah persamaan Bernoulli yang lebih umum dari persamaan Bernoulli untuk aliran incompressible yang kita kenal selama ini. Kita dapat menggunakan persamaan di atas untuk mendapatkan persamaan Bernoulli untuk kasus incompressible seperti yang dilakukan di bawah ini. Dari termodinamik, de ds p 1 dρ =Τ − dt dt ρ ρ dt
Karena
ds = 0 & persamaan kontinuitas maka dt de p = (∇ ⋅ u ) dt ρ
Untuk kasus incompressible, ∇ ⋅ u = 0 sehingga sepanjang streamline. Karena h = e +
p
ρ
de = 0 atau e adalah konstan dt
= (konstan sepanjang streamline) +
persamaan Bernoulli di atas menjadi, u2 + + Ψ = konstan sepanjang streamline. ρ 2 p
p
ρ
maka
Dasar Mekanika Fluida 97
Persamaan di atas adalah persamaan Bernoulli yang kalian kenal selama ini.
2.6.7 Aliran incompressible Dalam mekanika fluida, seringkali digunakan asumsi incompressible.
Asumsi ini
menyatakan bahwa perubahan massa jenis terhadap waktu dari sebuah fluid element adalah nol (massa jenis setiap fluid element adalah konstan selama pergerakannya). Secara matematis, asumsi ini dapat dinyatakan seperti, 1 dρ = 0 atau ∇ ⋅ u = 0 ρ dt di mana versi sebelah kanan diambil dengan memanfaatkan hukum kekekalan massa (kontinuitas). Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah kapan asumsi ini dapat digunakan? Untuk itu, kita perhatikan persamaan keadaan yaitu, ρ = ρ ( p, Τ) sehingga, 1 dρ 1 ⎛ ∂ρ ⎞ dp 1 ⎛ ∂ρ ⎞ dΤ = ⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ ρ dt ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ Τ dt ρ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ dt dp dΤ 1 dρ =α −β ρ dt dt dt
dimana dari termodinamika kita ketahui bahwa,
α≡
1 ⎛ ∂ρ ⎞ ⎜ ⎟ ρ ⎜⎝ ∂p ⎟⎠ Τ
( α = isothermal compressibility)
β ≡−
1 ⎛ ∂ρ ⎞ ⎜ ⎟ ρ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ
( β = coefficient of thermal expansion)
Sekarang kita nondimensionalkan persamaan diatas. Untuk itu selain nondimensional
~ variable ρ~ , ~ t , p , Τ yang telah diperkenalkan sebelumnya, kita definisikan, α~ ≡ α ~ & β ≡β
α0
β0 .
Dengan menggunakan variabel-variabel tersebut, persamaan menjadi ~ d~ p 1 dρ~ ~ dΤ ~ = α 0 p 0α ~ − β 0 Τ0 β ~ dt dt ρ~ d~t
(a.i.1)
Dasar Mekanika Fluida 98
Dari termodinamik, ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ Cv ≡ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ & de = Τds − pdv ⎝ ∂Τ ⎠ν ⎝ ∂Τ ⎠ ρ sehingga ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ⎜ ⎟ =⎜ ⎟ =Τ ⎝ ∂s ⎠v ⎝ ∂s ⎠ ρ Namun, properti dari partial derivative menyatakan, ⎛ 1 ⎞ ⎛ ∂Τ ⎞ ⎛ ∂e ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂s ⎞ 1 = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ (Τ) ⎜ ⎟ ⎝ ∂e ⎠ ρ ⎝ ∂s ⎠ ρ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎝ Cv ⎠ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ
sehingga, ⎛ ∂s ⎞ C v = Τ⎜ ⎟ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ Berikutnya kita perhatikan manipulasi matematis dibawah ini, ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ dρ = ⎜ ⎟ d ρ + ⎜ ⎟ dT ⎟ ds + ⎜ ⎟ dT , ds = ⎜ ⎝ ∂s ⎠Τ ⎝ ∂Τ ⎠ s ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎝ ∂ρ ⎠Τ ⎫⎪ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎧⎪⎛ ∂s ⎞ dρ = ⎜ ⎟ ⎨⎜⎜ ⎟⎟ dρ + ⎜ ⎟ dT ⎬ + ⎜ ⎟ dT ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎪⎭ ⎝ ∂Τ ⎠ s ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎪⎩⎝ ∂ρ ⎠ Τ ⎧⎪ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫⎪ ⎧⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎫ ⎨1 − ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎬dρ = ⎨⎜ ⎟ + ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎬dT ⎪⎩ ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂ρ ⎠ Τ ⎪⎭ ⎩⎝ ∂Τ ⎠ s ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ Ρ ⎭ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂s ⎞ ⎛ ∂Τ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ = −1 . ⎝ ∂s ⎠ Τ ⎝ ∂Τ ⎠ ρ ⎝ ∂ρ ⎠ s
Dengan demikian maka, ⎛ ∂S ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ ⎛ ∂S ⎞ Cv = T ⎜ ⎟ ⎟ = −T ⎜ ⎟ ⎜ ⎝ ∂T ⎠ ρ ⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂ρ ⎠T
Apabila kita lakukan hal serupa untuk CP maka, ⎛ ∂h ⎞ ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂S ⎞ Cp = ⎜ ⎟ = −T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ∂T ⎠ P ⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂p ⎠T
Dasar Mekanika Fluida 99
Sekarang kita perkenalkan γ ≡ C P CV , ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂S ⎞ −T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂p ⎠T ⎛ ∂p ⎞ ⎛ ∂ρ ⎞ 2 γ= =⎜ ⎟ = a ρα ⎟ ⎜ p ρ ∂ ∂ ⎛ ⎞ S ρ ∂ ∂ ⎛ ⎞ ⎝
⎠S ⎝ ⎠T −T ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ 2 a ⎝ ∂T ⎠ S ⎝ ∂ρ ⎠T
Dengan demikian maka,
ρ oα o =
γo a o2
Sedangkan dari definisi Ru dan Br , po =
ρoU o2 Ru
&
To =
U o2 Pr CPo Br
Akhirnya, apabila kita kembali ke (a.i.1), ⎛ 1 dp Pr dT ⎞ 1 d ρ α − = γ o M o2 ⎜ Bβ ⎟ ρ dt dt ⎠ ⎝ Ru dt Br
(a.i)
di mana Mo ≡
Uo ao
&
B≡
ao2 β o Pr ⎛ β o =⎜ γ oCPo Br ⎜⎝ α o β oCPo
⎞ Pr . ⎟⎟ ⎠ Br
Dari (a.1) dapat dilihat bahwa asumsi incompressible terpenuhi apabila M o2 u ⋅ ∇u atauν
Jadi untuk r ≈
ν U
Dengan
UR U 2R dan ν∇ 2 u ≈ ν 3 . Asumsi di atas menyatakan bahwa 2 r r
ν UR U 2R >> sehingga r
ν U
hasil di atas tidak lagi valid. Untuk mendapatkan u di
daerah yang jauh dari sphere kita perlu memasukkan kembali suku u ⋅∇u . Karena di daerah ini u ≈ U maka suku ini dapat diaproksimasikan sebagai U ⋅∇u . demikian maka persamaan momentum menjadi U ⋅ ∇u = −
1
ρ
∇p + ν ∇ 2 u
Dengan
Dasar Mekanika Fluida 115
Persamaan momentum di atas disebut juga Oseen Improvement. Dengan persamaan ini, apabila kita selesaikan dan hitung drag dari sphere maka didapatkan, ⎛ 3νR ⎞ D = 6πµUR⎜1 + ⎟ 8ν ⎠ ⎝ ⎛ 3UR ⎞ Jadi dengan aproksimasi ini suku tambahan dalam formula untuk drag sebesar ⎜ ⎟ ⎝ 8ν ⎠
2.11 Strategi penyelesaian aliran Re tinggi di sekitar benda
Dalam aerodinamika kita biasanya dihadapi oleh permasalahan seperti yang digambarkan di atas. Sebuah benda rigid diletakkan di dalam aliran. Aliran jauh di depan benda tersebut adalah aliran yang uniform atau seragam. Sekarang kita akan mencoba menggunakan asumsi-asumsi yang telah dibahas sebelum ini untuk menyederhanakan persamaan (a), (b), dan (c).
Dalam subbagian ini hanya akan
dijelaskan strategi untuk menyelesaikan persoalan seperti yang digambarkan di atas. Pertama-tama karena Re sangat tinggi kita dapat gunakan asumsi inviscid di luar lapisan batas. Apabila kita juga bisa menggunakan asumsi adiabatik, maka di luar lapisan batas kita dapat menggunakan asumsi isentropic. Karena keadaan awal freestream seragam (uniform) maka di luar lapisan batas alirannya adalah aliran homentropic.
Dasar Mekanika Fluida 116
Karena aliran di luar lapisan batas adalah aliran homentropik maka kita bisa gunakan teorema Kelvin yang menyatakan bahwa
∧ dΓ = 0 . Karena Γ = ∫ w. n ds untuk reducible dt
circuit c yang bergerak bersama fluida maka apabila kita mempunyai freestream yang seragam/ uniform ( ω = 0 ) ; seperti dalam kasus di atas, aliran di luar lapisan batas juga mempunyai ( ω = 0 ) . Dengan kata lain kita bisa gunakan asumsi irrotational untuk aliran di luar lapisan batas. Sekarang permasalahan yang digambarkan di atas menjadi permasalahan aliran potensial di sekitar benda &lapisan batas. Jadi sekarang untuk sementara kita bisa lupakan lapisan batas & menyelesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda yang permukaannya lapisan batas dari benda tersebut (lihat gambar).
Distribusi tekanan di “benda baru“ ini sama dengan distribusi tekanan untuk benda yang asli. Ini disebabkan karena hasil dari teori lapisan batas yang menyatakan bahwa dp = 0 . Namun, hasil yang didapatkan/ solusi dari permasalahan aliran potensial di dy
sekitar “benda baru“ masih bermasalah seperti yang dapat kita lihat di bawah ini. Apabila kita hitung Γ dengan menggunakan circuit yang reducible yang menutupi ∧
benda tersebut maka Γ = ∫ u.d x = ∫ ω. n ds = 0 . Dengan kata lain benda tersebut tidak c
mempunyai lift karena menurut teorema Kutta-Jukowski A = ρ u∞ Γ = 0 (kita akan pelajari teorema ini di BAB 5). Jadi ada sesuatu yang tidak benar dengan strategi kita dalam menyelesaikan masalah ini.
Dasar Mekanika Fluida 117
Kesalahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Tadi kita gunakan teorema Kelvin untuk mengambil kesimpulan bahwa streamline yang awalnya tidak mempunyai vortisitas akan seterusnya tidak mempunyai vortisitas (karena Γ konstan sepanjang streamline). Namun, kita sebenarnya tidak dapat mengambil kesimpulan seperti di atas
untuk streamline yang menempel pada benda baru tadi.
Karena kita tidak dapat
menggambarkan sebuah reducible circuit yang hanya menutupi fluida untuk streamline yang menempel di “benda baru“ ( lihat gambar ).
Oleh karena itu, untuk streamline ini kita mengetahui apakah streamline tersebut rotasional & inilah yang sebenarnya terjadi. Lebih tepatnya terjadi “flow separation” di mana streamline tersebut “terlepas” dari permukaan “benda baru” (lihat gambar). Jadi di daerah bagian belakang (wake) “benda baru” ada daerah di mana alirannya aliran rotasional. Sekarang apabila kita hitung Γ untuk circuit c seperti gambar di atas, maka untuk yang wake sangat tipis Γ≈∫
c1− 2
u.d x = ∫
c1− 2
∇φ .d x = ∫
c1− 2
dφ = φ2 − φ1
Wake sangat tipis apabila benda tersebut benda slender (benda langsing) seperti airfoil. Jadi Γ tidak sama dengan nol atau “benda baru” kita mempunyai lift.
“Flow
separation” itu sebenarnya terjadi di dalam lapisan batas & disebabkan karena ⎛ dp ⎞ > 0. ⎜ ⎟ permukaan ⎝ dx ⎠ dibenda baru
Posisi dari flow separation dapat ditentukan apabila kita
mengetahui property dari lapisan batas.
Dasar Mekanika Fluida 118
Catatan:
Di BAB 5 kita akan pelajari bahwa untuk benda 2 dimensi, untuk mendapatkan solusi yang unik dari permasalahan aliran potensial di sekitar benda kita harus memasukkan pembatas (“barrier”) tipis seperti wake tadi. Setelah ditambahkan “barrier” maka untuk mendapatkan solusi yang unik, kita harus memberikan harga Γ . Dalam thin airfoil theory harga Γ diberikan di “trailing edge” sesuai dengan apa yang disebut dengan kondisi Kutta.
Dalam praktik kita awalnya tidak mengetahui bentuk boundary layer & titik-titik di mana ada flow separation. Namun, untuk mendapatkan solusi di lapisan batas kita harus mengetahui distribusi tekanan di luar lapisan batas yang merupakan hasil dari potential flow. Jadi permasalahan ini harus diselesaikan secara iteratif seperti berikut :
1. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda 2. hasil dari 1 digunakan untuk menyelesaikan masalah lapisan batas sehingga kita dapatkan bentuk “benda baru” 3. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda baru 4. kembali ke 2 dan lanjutkan iterasi Untuk benda yang tidak slender atau ‘bluff body’, flow separation terjadi lebih awal dari pada yang terjadi pada slender body (lihat gambar). Sehingga “wake” benda tersebut cukup tebal.
Untuk mengetahui atau mempelajari aliran sekitar ‘bluff body’ maka kita perlu menghitung aliran dalam wake tersebut dengan menggunakan persamaan NavierStokes. Catatan: Karena wake dari ‘bluff body’ relative tebal maka drag benda tersebut lebih disebabkan perbedaan tekanan antara bagian muka dan belakang. Drag yang
Dasar Mekanika Fluida 119
disebabkan oleh efek viscous tidak terlalu penting untuk benda seperti ini. Hal sebaliknya terjadi untuk benda slender. Untuk benda ini mempunyai wake yang tipis sehingga drag yang disebabkan oleh tekanan sangat kecil dan kontribusi terbesar untuk drag didapatkan dari friction. .
Vortisitas 120
BAB
3 Vortisitas
3.1
Pendahuluan
Kita telah lihat disubbagian sebelum ini bahwa ada bagian-bagian dalam aliran dimana ∇ × u ≠ 0 atau bagian-bagian ini mempunyai vortisitas (vorticity). Bagian-bagian ini
sangat penting karena, seperti akan kita lihat nanti, vortisitas akan terbentuk pada setiap aliran disekitar benda.
Vortisitas juga menentukan besar gaya-gaya yang beraksi
apabila fluida mengalir disekitar benda.
Oleh karena itu di bab ini kita akan
mempelajari vortisitas lebih mendalam.
3.2
Kinematika Vortisitas
Seperti telah kita lihat sebelumnya vortisitas (ω ) didefinisikan sebagai curl dari kecepatan atau, ω ≡ ∇ × u .
Karena definisi ini, vortisitas mempunyai sifat-sifat
tertentu. Untuk setiap vektor, A, yang kontinu, ∇ ⋅ (∇ × A) = 0 . Karena definisi dari ω di atas maka, ∇ ⋅ ω = ∇ ⋅ (∇ × u ) = 0 atau ∇ ⋅ ω = 0
Vortisitas 121
Hasil ini menunjukkan tidak mungkin terdapat “source/ sink” dari vortisitas di dalam fluida itu sendiri (persamaan diatas serupa dengan persamaan kontinuitas untuk aliran inkompresibel). Sekarang kita akan gunakan hasil di atas untuk mempelajari sifat-sifat dasar dari vorticity. Untuk itu pertama-tama kita perkenalkan apa yang disebut dengan “vortex line”. Vortex line adalah garis yang sejajar dengan arah dari ω . Kumpulan dari
beberapa vortex line membentuk “vortex tube”. (lihat gambar di bawah).
Sekarang kita akan ambil integral volume ∇ ⋅ ω , dimana volume V merupakan volume dari vortex tube dalam gambar di atas. 0 = ∫ ∇ ⋅ ωdV = ∫ ω ⋅ nˆ dS V
S
atau 0 = ∫ ω 1 ⋅ nˆ dS + ∫ ω 2 ⋅ nˆ dS A2 A1 sehingga,
∫ω
A2
2
⋅ nˆdS = − ∫ ω 1 ⋅ nˆ dS . A1
Namun,
∫ ω ⋅ nˆdS = ∫ u ⋅ d l ≡ Γ S
sehingga, Γ1 = − ∫ ω 1 ⋅ nˆdS dan Γ2 = ∫ ω 2 ⋅ nˆ dS A1
A2
Vortisitas 122
Dengan demikian maka hasil di atas menyatakan bahwa, Γ1 = Γ2
atau sirkulasi (circulation) dari sebuah vortex tube adalah konstan sepanjang vortex tube tersebut. Karena Γ menjelaskan kekuatan dari vortex maka hasil ini berarti : 1. Kekuatan dari sebuah vortex tube (vortex line) adalah konstan disetiap “crosssection” –nya sepanjang vortex tube (line) tersebut.
2. Vortex tube (vortex line) tidak dapat berakhir di fluida (apabila berakhir difluida maka Γ = 0 dan ini bertentangan dengan hasil di atas). Vortex tube (vortex line) harus membentuk kurva tertutup (closed loop) atau berakhir di
∞.
Kedua hasil di atas disebut juga Helmholtz vortex theorem ke I dan II. Kedua teorema ini berlaku umum (tidak ada asumsi aliran inviscid, isentropik dll dalam mendapatkan hasil-hasil di atas).
3.3
Dinamika Vortisitas
Setelah melihat kinematika dari vorticity, sekarang kita akan mulai mempelajari dinamika dari vortisitas.
Untuk itu kita membutuhkan persamaan diferensial yang
menjelaskan gerak dari vortisitas. Kita mulai dari persamaan momemtum, ⎞ 1 ⎛ u2 ∂u + ω × u = −∇⎜⎜ + Ψ ⎟⎟ + (∇ ⋅ σ ) ∂t ⎠ ρ ⎝ 2
(V.1)
di mana telah diasumsikan conservative body force G = −∇Ψ dan telah digunakan “vector identity” u ⋅ ∇u = ω × u + ∇
u2 . 2
Sekarang kita ambil curl dari persamaan di atas (∇ × (V .1)) , ∂ω 1 1 + ∇ × (ω × u ) = − 2 ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) + ∇ × (∇ ⋅ σ ) . ∂t ρ ρ
Dari analisis vektor, ∇ × (ω × u ) = ω (∇ ⋅ u ) + (u ⋅ ∇ )ω − (ω ⋅ ∇ )u − u (∇ ⋅ ω ) .
Vortisitas 123
Jadi persamaan untuk ω di atas menjadi, 1 1 ∂ω + (u ⋅ ∇ )ω − (ω ⋅ ∇ )u + ω (∇ ⋅ u ) = − 2 ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) + ∇ × (∇ ⋅ σ ) ρ ρ ∂t
dω dt
Persamaan di atas dapat disederhanakan dengan menggunakan persamaan kontinuitas (persamaan (a)) karena, d ⎛ ω ⎞ 1 d ω ω dρ 1 d ω ω ⎜ ⎟= − = + (∇ ⋅ u ) dt ⎜⎝ ρ ⎟⎠ ρ dt ρ 2 dt ρ dt ρ
Dengan demikian persamaan untuk ω menjadi,
ρ
d ⎛ω ⎞ 1 1 ⎜⎜ ⎟⎟ = (ω ⋅ ∇ )u + ∇ × (∇ ⋅ σ ) − 2 ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) dt ⎝ ρ ⎠ ρ ρ
(V)
Persamaan (V) menyatakan bahwa perubahan waktu dari vortisitas sebuah fluid element (perubahan ini dilihat oleh pengamat yang bergerak bersama fluid element
tersebut) disebabkan oleh ketiga suku di sebelah kanan tanda “ = “. Sekarang kita lihat arti fisik dari suku–suku tesebut . a) ω ⋅ ∇u ω = ω eˆω di mana eω
adalah unit vector di arah ω
Dengan demikian maka, ω ⋅ ∇u = ω (eˆω ⋅ ∇u ) . Namun, kita ketahui bahwa ( eω ⋅ ∇u ) adalah perubahan u diarah eω .
Telah kita lihat sebelumnya bahwa ∇u
menjelaskan deformasi dan rotasi dari sebuah material element (fluid element). Apabila kita lihat sebuah “vortex line“ maka deformasi yang akan dialaminya adalah perubahan panjang (stretching) sedangkan rotasinya berupa “tilting“. Jadi ω ⋅ ∇u menjelaskan bagaimana “ vortex line “ dalam aliran tersebut mengalami “stretching“ dan “tilting“. Oleh karena itu suku ω ⋅ ∇u disebut juga “vortex stretching term“
b)
1
ρ2
∇ρ × (∇ ⋅ σ )
Suku ini tidak sama dengan nol apabila terdapat gradient ρ dan gradient ini tidak sejajar dengan ( ∇ ⋅ σ ). Kita ketahui bahwa ∇ ⋅ σ adalah gaya/ unit volume yang
Vortisitas 124
beraksi pada permukaan fluid element. Adanya ∇ρ berarti distribusi massa dalam fluid element tidak seragam. Ini berarti “ center of mass “ tidak berada pada titik
yang sama dengan “geometric center“ dari fluid element tersebut. Apabila ∇ρ tidak sejajar dengan ∇ ⋅ σ maka akan terjadi rotasi dari fluid element tersebut, sehingga fluid element tersebut mempunyai vortisitas. Untuk lebih memperjelas, perhatikan dua sketsa di bawah ini).
Sketsa pertama memperlihatkan kasus dimana ∇ρ sejajar dengan ∇p . Dari gambar tersebut jelaslah bahwa kasus ini tidak akan menghasilkan rotasi dari fluid element dan fluid element hanya terdorong ke bawah.
Sketsa berikutnya memperlihatkan kasus dimana ∇ρ tidak sejajar dengan ∇p . Dari sketsa tersebut jelaslah bahwa kasus ini akan menghasilkan rotasi dari fluid element.
c)
1
ρ
∇ × (∇ ⋅ σ )
Karena σ = − p I + ∇ ⋅ τ dan ∇ × ∇p = 0 maka kontribusi yang sesungguhnya dari suku ini adalah
1
ρ
∇ × (∇ ⋅ τ ) . Suku ini tidak sama dengan nol apabila terdapat
gradien di arah yang tidak sejajar dengan arah dari ( ∇ ⋅ τ ).
Jadi suku ini
menjelaskan torque dari fluid element yang diakibatkan oleh stress yang mempunyai
Vortisitas 125
“spatial variation“ di arah tertentu. tentunya kontribusi dari torque
Apabila kita perhatikan segumpal fluida ,
di dalam segumpalan itu adalah nol.
Rotasi
gumpalan ini hanya disebabkan oleh torque ∇ × (∇ ⋅ σ ) di permukaan gumpalan
tersebut . Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan waktu dari vortisitas yang juga menjelaskan perubahan waktu dari rotasi sebuah fluid element disebabkan oleh tiga hal yaitu: stretching dan tilting dari vortex line; adanya ∇ρ yang tidak sejajar dengan ∇ ⋅ σ ; dan adanya distribusi stress yang mempunyai variasi spatial tertentu. Karena
“stretching“adalah deformasi dan rotasi dari vortex line, maka suku ini bukanlah suku yang menghasilkan vortisitas. Suku ini hanya memodifikasi distribusi vortisitas yang sudah ada.
Namun ∇ρ × (∇ ⋅ σ ) dan ∇ × (∇ ⋅ σ ) adalah suku yang menyebabkan
timbulnyanya vortisitas. Torque yang dirasakan oleh fluid element karena adanya ∇ρ yang tidak sejajar dengan ∇ ⋅ σ disebut “Baroclinic torque“
Apabila ∇ρ sejajar
dengan ∇ ⋅ σ maka fluida tersebut dikatakan sebagai “ Barotropic fluid“.
3.3.1 Hubungan antara ω dan ∇s Di dalam subbagian ini kita akan dapatkan hubungan antara vortisitas dan gradien dari entropi. Pertama–tama kita asumsikan aliran inviscid. Dengan asumsi ini persamaan momentum menjadi,
ρ
du = −∇p − ρ∇ψ di mana G = −∇ψ dt
apabila kita gunakan ( **** ) maka persamaan ini menjadi , u2 1 ∂u + ω × u = − ∇p − ∇ψ − ∇ ρ 2 ∂t
Dari termodinamik, dh = Tds +
1
ρ
dp sehingga,
⎞ ⎛ u2 ∂u + ω × u = T∇s − ∇⎜⎜ h + + ψ ⎟⎟ = T∇s − ∇H dt 2 ⎠ ⎝
Vortisitas 126
di mana H = h +
u2 + ψ . Banyak kasus di mana H = konstan , termasuk dalam kasus 2
di mana terdapat shock wave. Untuk kasus di mana H = konstan atau dikenal dengan sebutan kasus homenergetic, ∂u + ω × u = T∇ s dt
Apabila aliran adalah aliran steady maka,
ω × u = T ∇s
(Teorema Crocco)
Hasil ini menyatakan bahwa apabila dalam aliran terdapat gradien entropi ( ∇s ) maka aliran tersebut adalah aliran rotational ( ω ≠ 0 ). Namun dalam aliran rotasional tidak harus terdapat ∇s . Contohnya adalah kasus di mana ω × u = 0 sehingga ∇s = 0 .
3.3.2 Persamaan Vortisitas Untuk Aliran Homentropik Untuk aliran homentropik persamaan momentum adalah, du = −∇h + G = −∇(h + ψ ) di mana G = −∇ψ . dt
Apabila kita ambil curl dari persamaan momentum ini maka didapatkan , ∂ω + ∇ × (ω × u ) = 0 ∂t
atau dω − (ω ⋅ ∇ )u + ω (∇ ⋅ u ) = 0 dt
di mana telah digunakan hasil–hasil dari vector analysis yang juga digunakan dalam menurunkan persamaan umum untuk ω . Dengan menggunakan persamaan kontinuitas persamaan di atas menjadi,
d ω ω ( ) = ( ⋅ ∇)u dt ρ ρ
(V.2)
Persamaan ini tentunya dapat pula didapatkan dari persamaan (V) dengan menggunakan
σ = − p I untuk kasus homentropik dan p = p(ρ , S ) = p(ρ ) karena s = konstan .
Vortisitas 127
Apabila harga awal dari ω dan ρ diketahui maka persamaan (V.2) dapat diselesaikan. Pertama–tama kita tuliskan
ω i ∂xi ω C j atau =C⋅F , = ρ ρ ∂ξ j
F=
∂x ∂ξ
di mana C adalah sebuah vektor dan F adalah deformation gradient tensor. Sekarang kita subtitusikan
ω ini ke (V.2) ρ
dFij ∂u d ωi d ( ) = ( Fij C j ) = C j + Fij C j = i Fkj C j + Fij C j ∂x k dt ρ dt dt
di mana telah digunakan
dF dt
= ∇u F (lihat subbagian deformasi dan rotasi benda
kontinum). Namun, (V2) menyatakan bahwa:
⎛ ωi ⎞ ω k ∂ui = F kj C ⎜⎜ ⎟⎟ = ρ ∂xk ⎝ ρ ⎠
d dt
j
∂ui ∂xk
Dengan demikian maka :
Fkj C j
dC j ∂u i ∂u + Fij C j = Fkj C j i atau Fij =0 ∂xk ∂xk dt
Karena F ≠ 0 maka dC = C = 0 atau C = konstan dt
Berikutnya, misalkan ω o atau ρ o adalah harga awal dari ω atau ρ untuk sebuah fluid element. Karena F (t = 0 ) = F 0 = I maka,
ωo = C⋅Fo = C ρo Dengan demikian maka,
ω ω =C⋅F = ⋅ F sehingga solusi dari (V.2) adalah ρ ρo ω ωo = ⋅F ρ ρo
(V.3)
Vortisitas 128
Dari solusi ini kita dapatkan Helmholtz theorem yang ke-3 : ” Untuk aliran homentropik, vortex line adalah material line atau vortex bergerak bersama fluida.”
Bukti: misalkan pada awalnya sebuah material line dξ sejajar dengan vortex line (ω0) atau dξ = ω0 .dσ di mana dσ adalah sebuah skalar dengan dimensi [L ] [S ] (contoh : m.s atau ft.s) karena vortex line ini bergerak maka panjangnya berubah menjadi ⎛ρ ⎞ d x = F ⋅ d ξ = F ⋅ ω 0 dσ = ω ⎜⎜ 0 ⎟⎟dσ ⎝ ρ ⎠
Dengan demikian maka vortex line pada waktu t (sejajar dengan ω ) tetap sejajar dengan material line (d x ) (V.3) juga menyatakan apabila pada awalnya sebuah fluid element tidak mempunyai
ω (ω 0 = 0) maka fluid element tersebut seterusnya tidak akan mempunyai ω . Jadi (V.3) adalah sama dengan Teorema Kelvin.
3.3.3 Persamaan vortisitas untuk aliran incompressible Untuk aliran incompressible, ρ dapat dianggap konstan sehingga ∇ρ = 0 . Dengan demikian maka persamaan (V) menjadi : dω 1 = (ω ⋅ ∇ )u + ∇ × (∇ ⋅ τ ) dt ρ
Karena untuk kasus ini ∇ ⋅ τ = µ∇ 2 u maka persamaan menjadi, dω = (ω ⋅ ∇ )u + υ∇ 2 ω dt
(V.4)
Dalam kasus aliran 2-D, (ω ⋅ ∇ )u = 0 karena ω tegak lurus dengan ∇u dalam kasus ini. Dengan demikian maka untuk kasus ini (V.4) menjadi dω = υ∇ 2 ω dt
Karena untuk kasus 2D, ω hanya mempunyai satu arah,
Vortisitas 129
dω = υ∇ 2ω dt
Persamaan terakhir adalah persamaan difusi (bandingkan dengan persamaan untuk difusi massa dan konduksi panas). Jadi suku υ∇ 2 ω menjelaskan proses difusi dari vortisitas yang dilakukan oleh viscosity. Dengan pengertian fisis dari suku υ∇ 2 ω ini kita kembali ke (V.4). Persamaan ini menjelaskan bahwa dalam aliran incompressible perubahan waktu dari vortisitas sebuah fluid element disebabkan oleh “ stretching dan tilting” serta proses difusi. Kedua proses
ini bukanlah proses yang “membangkitkan” vortisitas melainkan hanya mengubah distribusi dari vortisitas.
3.4
Sumber dari vortisitas
3.4.1 Pendahuluan
Setelah mendapatkan persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari vortisitas, kita akan pelajari bagaimana vortisitas itu sendiri dibangkitkan. Untuk itu kita lihat kasus aliran di sekitar benda di mana aliran “freestream-nya” seragam, maka setiap fluid element di dalam aliran ini pada awalnya tidak mempunyai vortisitas. Untuk aliran
homentropik, ini berarti fluid element–fluid element ini seterusnya tidak akan mempunyai vortisitas selama pergerakannya (ini menurut (V3)).
Namun, tentunya
aliran yang “sebenarnya” tidak dapat diasumsikan sebagai aliran homentropik diseluruh domain fluida dan fluid element yang pada awalnya irotasional dapat menjadi rotasional
(ω ≠ 0) .
Vortisitas 130
3.4.2 Sumber vortisitas didalam aliran Untuk kasus aliran freestream yang supersonic, fluid element menjadi rotasional ketika melintasi shock wave apabila shock yang terbentuk adalah “bow shock wave” atau shock wave yang melengkung. Untuk kasus ini aliran di luar lapisan batas dan shock wave
dapat diasumsikan sebagai aliran inviscid. Oleh karenanya teorema Crocco berlaku sehingga ,
ω × u = T ∇s Akan kita lihat di bab tentang shock wave bahwa untuk shock wave yang “lurus” s (2 ) (entropi di belakang shock) adalah konstan. Namun, untuk shock yang melengkung, s (2 ) adalah fungsi β di mana β adalah sudut antara shock dan free stream (lihat gambar
di atas). Dengan demikian maka untuk kasus bow shock wave terdapat ∇s sehingga
ω × u ≠ 0 . Karena aliran di depan shock adalah aliran irotasional ω = 0 , maka jelaslah bahwa fluid element menjadi rotational ketika melewati shock tersebut. Pembentukan
vortisitas
dalam
kasus
ini
disebabkan oleh baroclinic torque yang terjadi di dalam shock wave. Akan kita lihat di bab shock wave bahwa untuk kasus ini tekanan “lebih peka”
terhadap β dibandingkan dengan ρ. Oleh karena itu garis-garis yang menjelaskan konstan p akan melintasi garis-garis konstan ρ di dalam shock wave (lihat gambar di atas!). Dengan demikian maka ∇ρ tidak sejajar dengan ∇p sehingga ∇p × ∇ρ ≠ 0 dan fluid element mendapatkan baroclinic torque sehingga menjadi rotasional. Untuk kasus aliran freestream yang mempunyai M 0 terdapat beberapa solusi: a) m = 0 : kasus ini adalah kasus aliran disekitar pelat datar yang telah kita pelajari sebelumnya b) 0 0 & u1 naik bersama x2 di daerah di depan xs, maka : ⎛ ∂ 2 u1 ⎞ ⎜⎜ 2 ⎟⎟ > 0 di sekitar x1 = xs x ∂ ⎝ 2 ⎠ x2 = 0 Sehingga dapat disimpuilkan bahwa, ⎛ dp ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ >0 ⎝ dx1 ⎠ x1 = xs
Karena persamaan x2 momentum untuk lapisan batas adalah
dp = 0 maka dapat dx 2
disimpulkan bahwa separasi aliran (separation flow) akan terjadi apabila: dU in dp > 0 atau 1:
κ =1:
01 dengan axis yang dibalik .
κ < 0: u1 =
c u1
κ
b) λ 1 & λ2 ∈ C (λ1 dan λ2 adalah bilangan komplek)
Untuk kasus ini λ2 = λ 1 . Apabila λ1 ≡ α + i β maka, u1 x3
= (α + i β ) u1 ,
u2 x3
= (α − i β ) u 2
Sekarang kita definisikan ,
v ≡ (1 + i ) u + (1 − i ) u 1
1
v ≡ (1 − i ) u + (1 + i ) u 2
1
2
2
(WSL.5)
Lapisan Batas 183
Dengan definisi ini maka ( WSL.5 ) menjadi, v1 v2
x3 x3
= α v1 − β v2 = β v1 + α v2
Dari dua persamaan terakhir, ⎛
dv dv
di mana κ ≡
2 1
=
β ⎜v +
α ⎞ v β 2 ⎟⎠
v +κv2 ⎝ = 1 ⎛α ⎞ κv −v 1 2 β ⎜ v −v ⎟ 1 2 ⎝β ⎠ 1
α . Sekarang kita tuliskan v1 dan v2 dengan menggunakan (r,θ) β
koordinat. v 1 = r cos θ dan v2 = r sin θ
Apabila kita cari v1 dan v2 maka, v v v = r 1 − θv dan v2 = r 2 + θv1 1 2 r r
Dengan demikian maka, ⎛ 1 dr ⎞ v1 + ⎜ ⎟ v2 dv2 r dθ ⎠ ⎝ = = dv1 ⎛ 1 dr ⎞ κv −v 1 2 ⎜ ⎟ v1 − v2 ⎝ r dθ ⎠ v1 + κ v 2
Dari persamaan di atas maka jelaslah bahwa, 1 dr =κ r dθ
atau r = ceiθκ
κ = 0: r = c atau lingkaran dengan radius c.
(WSL.6 )
Lapisan Batas 184
κ ≠ 0: (WSL.6) adalah persamaan untuk “spiral”:
Kasus B
Untuk kasus ini λ ∈ R . Solusi dari persamaan, 1 ⎛ du ⎞ 1 u 1 ⎜ 1 ⎟ = + 1 adalah u = cu + u ln c * u . Apabila kita gambarkan streamline 1 2 2 ⎜ d u ⎟ λ1 u2 λ1 2 ⎝ 2⎠
di u1-u2 plane maka bentuknya seperti,
Apabila pola-pola dibidang u1-u2 atau bidang v1-v2 ini kita transformasikan lagi ke bidang x1-x2 lagi maka pola dibidang x1-x2 akan serupa dengan pola di bidang u1-u2. Satu-satunya perbedaan adalah untuk “saddle point” misalnya, perbedaan di kedua bidang tersebut adalah seperti di sketsa di bawah ini.
Lapisan Batas 185
Jadi dapat disimpulkan bahwa solusi dari (WSL.4) di sekitar “critical point”, yang memberikan kita “wall-streamline pattern” di sekitar critical point ini, dapat berbentuk node, focus, sadlle point, centre. Bentuk-bentuk yang didapatkan tergantung dari harga λ1- λ2. Dari matematika harga λ1- λ2 dapat dihubungkan dengan matriks A karena,
(
2 1 ⎧⎪ λ1,2 = − ⎨tr ( A ) ± ⎡⎣tr ( A ) ⎤⎦ − 4 det ( A ) 2⎪ ⎩
)
1 2
⎫⎪ ⎬ ⎪⎭
(WSL)
di mana tr adalah “trace” dari A ”.
Sekarang hasil-hasil yang kita dapatkan dari matematika tadi dapat kita simpulkan di dalam diagram di bawah ini,
Jadi apabila kita ketahui harga-harga dari komponen-komponen matriks A disekitar sebuah “critical point” maka pola dari wall-streamline di sekitar titik tersebut dapat kita ketahui dari diagram di atas. Dalam menginterprestasikan hasil dari “surface flow visualization”, apabila kita melihat pola-pola seperti dalam diagram di atas maka kita dapat simpulkan bahwa titik di sekitar pola tersebut adalah “critical point”. Kita tinggal tentukan apakah “critical point” tersebut adalah titik stagnasi atau separasi.
Lapisan Batas 186
4.9.1 Struktur-Struktur di Sekitar Critical Points Di subbagian ini, kita akan lihat beberapa contoh dari penggunaan apa yang kita pelajari di subbagian sebelah. Khususnya kita akan pelajari struktur-struktur di sekitar titik separasi. Separasi 2-D
Sebagai contoh pertama, kita akan melihat separasi yang terjadi di aliran 2-D (“plane flow”). Di sebelah, telah digambarkan apa yang terjadi di sekitar titik separasi menurut “teori lapisan batas” (gambar B) dan “Navier Stokes” (gambar A). Menurut teori lapisan batas, aliran di dekat permukaan secara tiba-tiba dibelokkan ke arah x3. Namun, perlu diingatkan di sini bahwa teori lapisan batas adalah aproksimasi dari persamaan Navier-Stokes.
Jadi kejadian yang sebenarnya tentunya dijelaskan oleh
solusi dari persamaan Navier-Stokes”. Di subbagian sebelah kita telah dapatkan “solusi local” persamaan Navier-Stokes di sekitar “critical point” (WSL.1). Sekarang kita akan gunakan solusi tersebut untuk menentukan sudut θ dalam gambar A. Karena kasus ini adalah kasus 2-D, maka η = 0, P1 = 0, ξ1 = 0 Dengan demikian (WSL.1) menjadi, ⎧ u2 ⎫ ⎡ ⎪⎪ x ⎪⎪ ⎢− ξ 2 3 ⎨u ⎬ = ⎢ ⎪ 3⎪ ⎢ 0 ⎪⎩ x3 ⎪⎭ ⎣
P2 ⎤ 2ν ⎥ ⎧ x2 ⎫ ξ 2 ⎥ ⎨⎩ x3 ⎬⎭ ⎥ 2⎦
Slope dari “separation streamline” (s) atau θ dapat kita dapatkan dengan mengambil, ⎛ dx3 ⎜⎜ ⎝ dx 2
⎞ ⎛u ⎞ ⎟⎟ = ⎜⎜ 3 ⎟⎟ ⎠ SL ⎝ u 2 ⎠ x1 =0
⎛ ξ 2 ⎞ x3 ⎛ ξ2 ⎞ ⎛ u3 ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ x3 ⎜ x ⎟ 2⎠ ⎝ 2 ⎠ x2 ⎝ 3 ⎟ = = =⎜ P2 P2 x3 ⎜⎜ u 2 ⎟⎟ x3 − ξ 2 x 2 − ξ2 x 3 ⎠ x1 = 0 ⎝ 2ν 2ν x 2
Lapisan Batas 187
⎛ dx ⎞ x karena di x1 = 0 , ⎜⎜ 3 ⎟⎟ ≈ 3 = tan θ maka persamaan di atas menjadi, ⎝ dx2 ⎠ SL x2
tan θ =
⎛ ξ2 ⎞ ⎜ ⎟ ⎝2⎠
P2 ξ − 2 2ν tan θ
atau tan θ =
3νξ 2 P2
Dengan demikian apabila kita mempunya solusi dari lapisan batas maka ξ2 & P2 dapat ditentukan sehingga kita dapat tentukan θ. Informasi tentang θ adalah sangat penting karena θ adalah slope dari “separation streamline”. “Separation streamline” adalah streamline yang memisahkan antara aliran rotasional (di antara streamline tersebut dengan permukaaan) dengan aliran irrotasional (di atas streamline tersebut).
τ wall
sendiri sama dengan nol hanya di “titik separasi” (x1 = xs) dan dari titik inilah “separation streamline” keluar meninggalkan permukaan membawa fluid element dengan ω ≠ 0 keluar lapisan batas.
Separasi 3-D
Separasi yang terjadi di permukaan benda umumnya bukan separasi 2-D, seperti yang dibahas di sebelah, namun separasi 3-D. Untuk mengerti perbedaan antara kedua jenis separasi ini kita lihat contoh-contoh yang disketsakan di bawah ini :
Dalam kasus di mana terdapat “separation bubble” ini, terdapat dua titik “critical points”, yaitu titik separasi xS dan titik “attachment” xA. Dalam gambar C, 2 wallstreamline bertemu di xS untuk membentuk “separation streamline” (s). Streamline s ini kemudian kembali lagi ke permukaan (di titik xA) kemudian terpecah menjadi dua
Lapisan Batas 188
wall-streamline yang meninggalkan titik xA. Hal yang berbeda terjadi di gambar D. Dalam gambar ini, streamline yang meninggalkan xS (streamline s1) berbeda dengan streamline yang menuju xA (streamline s2). Kasus separasi dan attachment yang disketsakan dalam gambar C adalah kasus separasi 2-D. Gambar D tidak mungkin menggambarkan separasi 2-D karena fluida diantara s1 dan s2 akan terus menerus masuk ke dalam “bubble”. Dalam aliran 2-D ini tidak mungkin terjadi karena ini akan melanggar kontinuitas. Agar tidak melanggar prinsip kontinuitas maka, untuk aliran steady, fluida tersebut harus keluar kearah x1. Oleh karena itu kasus ini adalah kasus 3-D. Selain perbedaan di atas, terdapat pula perbedaan tentang bagaimana vortisitas di transportkan kedalam bubble. Untuk kasus 2-D, vortisitas dari lapisan batas hanya dapat dipindahkan ke dalam “bubble” melalui cara difusi. Sebaliknya untuk kasus separasi 3-D, vortisitas dapat masuk ke dalam “bubble” melalui konveksi yang terjadi karena terdapat fluida yang masuk langsung ke dalam bubble (fluida diantara s1 dan s2). Untuk aliran dengan Re yang tinggi, proses konveksi jauh lebih dominan daripada proses difusi. Oleh karena itu untuk aliran Re yang tinggi, proses separasi biasanya diikuti dengan terbentuknya vortex-vortex. Separasi 2-D hanya terlihat dalam kasuskasus aliran dengan Re yang relative rendah. Dalam kasus separasi 2-D terdapat sebuah streamline yaitu “separation streamline” yang memisahkan antara daerah aliran rotational dengan aliran irrotattional. Dalam kasus separasi 3-D, kita butuhkan sebuah permukaan untuk memisahkan kedua daerah ini. Permukaan ini disebut “separation streamsurface”. Apabila dalam kasus separasi 2-D terdapat titik separasi (separation point) maka untuk separasi 3-D terdapat garis separasi atau “separation line”. Sekarang kita akan lihat “wall-streamline pattern” yang terdapat di dekat “critical points” untuk kasus separasi dan attachment seperti dalam contoh diatas. Gambar E adalah pola disekitar critical point xS. Dari gambar ini terlihat bahwa terdapat “saddle point” di dekat xS untuk kasus ini.
Lapisan Batas 189
Terlihat pula bahwa, hanya terdapat dua streamline yang mencapai titik xS yaitu s1 dan s2.
Kedua streamline inilah yang kemudian bergabung di xS untuk membentuk
streamline yang meninggalkan permukaan. Wall-Streamline lainnya (selain s1 & s2), hanya menuju”separation line”.
Dari contoh ini maka jelaslah bahwa kita dapat
identifikasikan “separation line” sebagai kurva yang dituju oleh wall-streamline. Sepanjang “separation line” (kecuali di xS), τwall ≠ 0. Gambar F menunjukkan pola “wall-streamline” di sekitar critical point xA.
Penjelasan untuk gambar ini serupa
dengan penjelasan untuk gambar E namun arah dari tanda panah perlu diubah. Jadi dalam gambar ini kita dapat identifikasikan “attachment line” sebagai kurva yang ditinggalkan oleh wall-streamline.
Streamline yang terdapat di separation streamsurface disketsakan di gambar G. Di sini terlihat bahwa seluruh streamline pada separation stream-surface ini berawal di titik xS (critical point). Streamline di permukaan ini harus berawal di titik xS karena kita harus memenuhi prinsip kontinuitas.
Lapisan Batas 190
Selain “saddle point”, dapat pula terlihat “focus” di sekitar critical point. “Focus” di permukaan benda menunjukkan bahwa terdapat sebuah vortex yang berawal di permukaan benda tersebut.
Gambar H adalah contoh di mana terdapat dua critical point di permukaan yaitu xS1 (saddle point) dan xS3 (focus).
Bentuk dari streamline-streamline di separation
streamsurface juga digambarkan di sebelah kanan. Selain separation streamsurface, juga terdapat apa yang disebut “open reattachment” (S2). Di permukaan benda, pola wall-streamline untuk reattachment s2 tidak terdapat critical point yang jelas. Reattachment atau separation yang seperti inilah yang disebut “open reattachment atau separation.