Eksistensi(alisme) Santri Dalam Puisi - Kemenag Jatim

15 downloads 138 Views 438KB Size Report
tologi puisi, baik tunggal maupun ... dan sosialisasi puisi di Indonesia ber- .... program Studi Ilmu Agama Islam melalui beasiswa S2 untuk Guru Madrasah MTs /.
Eksistensi(alisme) Santri Dalam Puisi Oleh A. Syauqi Sumbawi

Konstelasi sastra (puisi) Indonesia kontemporer menunjukkan fenomena penting seiring perkembangan unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Munculnya berbagai antologi puisi, baik tunggal maupun bersama, baik melalui media cetak, buku, maupun internet (blog-blog sastra), dari berbagai kalangan dan kelompok pecinta puisi – terutama yang lahir secara indie dan mandiri, merupakan salah satu bukti konkrit

30

dari fenomena di atas. Secara kuantitas, meskipun belum sampai pada level ideal, tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut menjadi sinyal positif bahwa introduksi dan sosialisasi puisi di Indonesia berjalan cukup baik. Sementara secara kualitas, “kekayaan” khazanah puisi yang “menyebar” dan tidak diimbangi dengan keberadaan para kritikus dan kerja kritik puisi yang memadai, sedikit banyak menyebabkan ku-

rangnya karya-karya puisi yang bisa dijadikan sebagai “tonggak” oleh para kritikus – sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. Meski bersifat subyektif, signifikansi kerja kritik sangat diharapkan sebagai salah satu bentuk apresiasi dan pembuka pintu tafsir sebuah karya puisi di ruang publik, di samping sebagai kayu bakar yang mengobarkan api kreatif dan memperluas perspektif atas sebuah karya puisi. Akan tetapi minimnya kri-

MPA 318 / Maret 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd 30

2/26/2013, 9:31 AM

tikus bukan merupakan masalah besar, karena dalam konteks ini, masyarakat (pembaca) adalah apresiator dan “pemilik asli” dari kerja kritik tersebut. Salah satu yang penting dicatat dari dinamika di atas, adalah eksistensi penyair “santri” dan karya-karya puisinya dalam memperkaya khazanah perpuisian Indonesia. Dalam perspektif sosial, tipologi yang dikemukakan Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java, yang membagi masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) dalam tiga varian, yaitu santri, priyayi dan abangan – kendati dalam pro-kontra – sedikit banyak memberikan identifikasi tentang varian santri di atas. Sederhananya, apa yang disebut Geertz sebagai santri merujuk pada mereka yang secara kultural lebih dekat dengan normativitas Islam, dibandingkan dua varian lainnya. Kemudian pertautan antara istilah “santri” dan “pesantren” mengidentifikasikan santri sebagai kalangan yang (pernah) terlibat dalam sosialisasi dan institusionalisasi ajaran-ajaran Islam, yang lebih khusus merujuk pada lembaga pendidikan Islam, terutama kalangan pesantren. Meskipun demikian, dalam tataran universal, tidak bisa dinafikan bahwa notabene santri adalah seorang anak manusia, sebagaimana yang lain, dengan eksistensi dan segala konsekuensi yang melekat pada dirinya. Secara teologis, terdapat beberapa terminologi yang dimunculkan al-Qur’an mengenai eksistensi(alisme) manusia, yaitu al-basyr, alinsan, al-naas, bani Adam, al-ins, abd Allah, dan khalifah Allah. Dari terminologi teologis di atas yang kemudian dikombinasikan dengan perspektif filosofis-antropologis, setidaknya didapatkan sebuah formulasi pemahaman atas eksistensi(alisme) manusia berkaitan dengan perannya dalam kehidupan secara luas; yaitu pertama, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu mengembangkan segala potensi yang terkandung dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kedua, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan aktif dan positif dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Ketiga, sebagai hamba Tuhan yang harus mengerti

esensi dirinya. Dan keempat, sebagai khalifah Tuhan di muka bumi yang bertugas sebagai pengelola segala potensi yang ada di dunia yang diarahkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan sebagai laknat. Menilik konsep teologis manusia di atas, maka eksistensi(alisme) santri tentunya tidak terkungkung dalam sisi “ke-santri-an” ansich, tetapi terlibat dalam peran-peran kemanusiaannya secara utuh. Dalam konteks ini, maka seorang santri dituntut berperan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam wilayah puisi. Istilah “puisi” memang lahir dalam tradisi modern, sebagai akibat dari difusi kebudayaan Barat di dunia Timur yang berlangsung deras terutama pada paruh pertama abad ke20 – masa terakhir kolonialisme Barat. Akan tetapi secara historis, wilayah puitika tidak pernah sepi dari aktivasi kalangan santri. Pada masa klasik, misalnya, Ali bin Abi Thalib, Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Fariduddin Attar, al-Hallaj, Abu Nuwas, Ibn Arabi, merupakan tokoh-tokoh “santri” (sufi) yang tidak bisa diabaikan perannya dalam wilayah tersebut. Kemudian pada masa berikutnya di Nusantara, Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Hamzah Fansuri, dan sebagainya. Sementara pada paruh terakhir abad ke-20, muncul A. Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, dan lain-lain, yang merupakan pionirpionir santri (kyai) dalam memperkaya

khazanah puisi Indonesia modern, terutama dengan munculnya wacana baru yang disebut puisi religius dan puisi profetik. Perkembangan puisi Indonesia kontemporer menempatkan kalangan santri pada posisi penting, dengan eksplorasi estetika yang lebih luas dan kompleks, seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan peran sosiologis atas eksistensinya dalam kehidupan. Pada konteks ini, karya puisi kalangan santri berbaur dengan karya puisi kalangan lainnya, dalam kelindan universalisme puisi itu sendiri. Di samping itu, istilah santri merupakan terminologi yang lahir dalam dimensi sosio-religio-kultural, yang tentunya tidak dalam “satu kamar” dengan dimensi estetika (puisi). Karena itu, penyebutan “puisi santri” mengandung ambiguitas dan bias makna. Dalam konteks ini, yang ada yaitu puisi itu sendiri dengan keluasan yang ada pada dirinya. Sementara istilah santri dapat berfungsi sebagai identifikasi terhadap dimensi sosioreligio-kultural penyair, yang pada gilirannya – tidak bisa diabaikan – turut membentuk karakteristik unsurunsur estetik dalam karya-karya puisinya. Sebagai catatan akhir, asumsi bahwa kalam Tuhan – ayat-ayat kauniyah – hanya bisa diungkapkan dengan puitis, dalam konteks ini, barangkali merupakan sesuatu yang tidak keliru adanya.z

A. Syauqi Sumbawi, teman belajar dan berkesenian bagi siswa-siswi di MA AlMunawwaroh Kembangbahu Lamongan. Sebagian tulisannya (cerpen dan puisi) dipublikasikan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional, termasuk Mimbar Pembangunan Agama. Juga terantologi bersama dalam Dian Sastro For President; End of Trilogy (2005), Malam Sastra Surabaya (2005), Absurditas Rindu (2006), Sepasang Bekicot Muda (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Gemuruh Ruh (Pustaka Pujangga, 2008), Laki-laki Tak Bernama (DKL, 2008), Tabir Hujan (2010), Sehelai Waktu (2011), Kabar Debu (2011), dan lain-lain. Sementara novelnya berjudul Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (Novel, 2007). Sedangkan naskah berjudul “Wiranggaleng” masuk Sepuluh Besar pada Lomba Naskah Fragmen Sejarah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Tahun 2011 dan dipentaskan di Taman Budaya Cak Durasim Surabaya. Menyelesaikan pendidikan S2 (Tahun 2011)di Pascasarjana UIN MALANG program Studi Ilmu Agama Islam melalui beasiswa S2 untuk Guru Madrasah MTs/ MA Angkatan III Tahun 2009 yang dilaksanakan oleh (Mapenda) Kementerian Agama RI. Sebagian karya tulisnya mendapatkan penghargaan, antara lain yaitu Juara Harapan I Lomba Karya Tulis Ilmiah 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Tahun 2012yang diselenggarakan oleh MPR RI danJuara I Lomba Cipta Esai PDRI Tingkat Nasional Tahun 2012dalam rangka peringatan “Hari Bela Negara” yang dilaksanakan oleh Komunitas Seni Intro Payakumbuh yang bekerjasama dengan YPP PDRI dan LP3SM.Beralamat di Desa Jotosanur RT 2 RW 3 No. 319 Tikung Lamongan 62281.

MPA 318 / Maret 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd 31

2/26/2013, 9:31 AM

31