Fungsi dan Grafik Fungsi dan Grafik Diferensial dan ... - EE Cafe

125 downloads 1797 Views 1MB Size Report
Dalam buku ini penulis mencoba menyajikan bahasan matematika bagi ... vi Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral. Bab 10: Turunan ...
Sudaryatno Sudirham

Studi Mandiri

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral

ii

Darpublic

Studi Mandiri

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral

oleh

Sudaryatno Sudirham

i

Hak cipta pada penulis, 2010

SUDIRHAM, SUDARYATNO Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral Oleh: Sudaryatmo Sudirham Darpublic, Bandung fdg-1110

http://www.ee-cafe.org Alamat pos: Kanayakan D-30, Bandung, 40135. Fax: (62) (22) 2534117

ii

Kata Pengantar Dalam buku ini penulis mencoba menyajikan bahasan matematika bagi pembaca untuk memperoleh pengertian dengan lebih mudah tentang kalkulus. Walaupun materi yang dibahas adalah materi matematika, namun uraian dengan bahasa matematika telah dicoba untuk sangat dibatasi. Pendefinisian dan pembuktian formula-formula diganti dengan pernyataan-pernyataan serta gambaran grafis yang lebih mudah difahami. Penulis berharap bahwa pengertian dasar yang bisa diperoleh dari buku ini akan mendorong minat untuk mendalami materi lebih lanjut. Buku ini dutujukan untuk umum. Bahan utama isi buku adalah catatan penulis sewaktu mengikuti kuliah di Institut Teknologi Bandung, sedangkan contoh-contoh hubungan diferensial dan soal-soal persamaan diferensial penulis ambil dari buku “Analisis Rangkaian Elektrik”. Bahasan dibatasi pada fungsi-fungsi dengan peubah bebas tunggal berupa bilangan nyata. Karakterisasi fungsi-fungsi serta perhitungan diferensial dan integral sangat dipermudah dengan bantuan komputer. Hal demikian banyak dilakukan dalam meghadapi persoalan yang kompleks. Namun buku ini tidak membahas cara perhitungan dengan menggunakan komputer tersebut, melainkan menyajikan bahasan mengenai pengertian-pengertian dasar tentang fungsi serta hitungan diferensial dan integral. Akhir kata, penulis harapkan tulisan ini ada manfaatnya. Saran-saran pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan lebih lanjut.

Bandung, Nopember 2010 Wassalam, Penulis

iii

> A. Schopenhauer, 1788 – 1860

dari Mini-Encyclopédie, France Loisirs ISBN 2-7242-1551-6

iv

Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Bab 1: Pengertian Tentang Fungsi dan Grafik Fungsi. Domain. Kurva, Kekontinyuan, Simetri. Bentuk Implisit. Fungsi Bernilai Tunggal dan Bernilai Banyak. Fungsi dengan Banyak Peubah Bebas. Koordinat Polar. Pembatasan Bahasan dan Sajian Bahasan. Bab 2: Fungsi Linier Fungsi Tetapan. Fungsi Linier – Persamaan Garis Lurus. Pergeseran Kurva. Perpotongan Garis. Bab 3: Gabungan Fungsi Linier Fungsi anak Tangga. Fungsi Ramp. Pulsa. Perkalian Ramp dan Pulsa. Gabungan Fungsi Ramp. Bab 4: Mononom dan Polinom Mononom: Mononom Pangkat Dua; Mononom Pangkat Tiga. Polinom: Fungsi Kuadrat. Penambahan Mononom Pangkat Tiga. Bab 5: Bangun Geometris Persamaan Kurva. Jarak Antara Dua Titik. Parabola. Lingkaran. Elips. Hiperbola. Kurva berderajat Dua. Perputaran Sumbu. Bab 6: Fungsi Trigonometri Peubah Bebas Bersatuan Derajat. Peubah Bebas Bersatuan Radian. Fungsi Trigonometri Inversi. Bab 7: Gabungan Fungsi Sinus Fungsi Sinus Dan Cosinus. Kombinasi Fungsi Sinus. Spetrum Dan Lebar Pita. Bab 8: Fungsi Logaritma. Natural, Eksponensial, Hiperbolik Fungsi Logaritma Natural. Fungsi Exponensial. Fungsi Hiperbolik. Bab 9: Turunan Fungsi-Fungsi (1) Pengertian Dasar. Mononom. Polinom. Nilai Puncak. Garis Singgung.

iii v 1

15

27

37

55

69

85

95

105

v

Bab 10: Turunan Fungsi-Fungsi (2) Fungsi Perkalian Dua Fungsi. Fungsi Pangkat Dari Suatu Fungsi. Fungsi Rasional. Fungsi Implisit. Fungsi Berpangkat Tidak Bulat. Kaidah Rantai. Diferensial dx dan dy.

121

Bab 11: Turunan Fungsi-Fungsi (3) Fungsi Trigonometri. Fungsi Trigonimetri Inversi. Fungsi Trigonometri Dari Suatu Fungsi. Fungsi Logaritmik. Fungsi Eksponensial. Bab 12: Integral (1) Integral Tak Tentu. Penggunaan Integral Tak Tentu. Luas Sebagai Suatu Integral. Penggunaan Dalam Praktek. Bab 13: Integral (2) Luas Sebagai Suatu Integral - Integral Tentu. Penerapan Integral. Luas Bidang Di Antara Dua Kurva. Bab 14: Integral (3) Volume Sebagai Suatu Integral. Panjang Kurva. Nilai Rata-Rata Suatu Fungsi. Pendekatan Numerik. Bab 15: Persamaan Diferensial Pengertian. Solusi. Persamaan Diferensial Orde Satu Dengan Peubah Yang Dapat Dipisahkan. Persamaan Diferensial Homogen Orde Satu. Persamaan Diferensial Linier Orde Satu. Solusi Pada Berbagai Fungsi Pemaksa. Bab 16: Persamaan Diferensial (2) Persamaan Diferensial Linier Orde Dua. Tiga Kemungkinan Bentuk Solusi. Bab 17: Koordinat Polar Relasi koordinat Polar dan Koordinat Sudut-siku. Persamaan Kurva Dalam Koordinat Polar. Persamaan Garis Lurus. Parabola, Elips, Hiperbola. Lemniskat dan Oval Cassini. Luas Bidang. Indeks Referensi Biodata penulis

133

141

161

169

179

193

201

213 215 216

vi Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 1 Pengertian Tentang Fungsi dan Grafik 1.1. Fungsi Apabila suatu besaran y memiliki nilai yang tergantung dari nilai besaran lain x, maka dikatakan bahwa besaran y tersebut merupakan fungsi besaran x. Contoh: panjang batang logam merupakan fungsi temperatur. Secara umum suatu fungsi dituliskan sebagai sebuah persamaan

y = f (x)

(1.1)

Perhatikan bahwa penulisan y = f (x) bukanlah berarti y sama dengan f kali x, melainkan untuk menyatakan bahwa y merupakan fungsi dari x yang tidak lain adalah sebuah aturan atau sebuah ketentuan berapakah y akan memiliki nilai jika kepada x kita berikan suatu nilai. y dan x adalah peubah (variable) yang dibedakan menjadi peubah-takbebas (y) dan peubah-bebas (x). Peubah-bebas x adalah simbol dari suatu besaran yang bisa memiliki nilai sembarang dari suatu set bilangan. Sementara peubah-tak-bebas y memiliki nilai yang tergantung dari nilai yang dimiliki x. Dilihat dari nilai yang dimiliki oleh ruas kiri dan ruas kanan, (1.1) adalah sebuah persamaan. Namun kedua ruas itu memiliki peran yang berbeda. Kita ambil contoh dalam relasi fisis

LT = L0 (1 + λT ) dengan LT adalah panjang sebatang logam pada temperatur T, L0 adalah panjang pada temperatur nol, T temperatur dan λ adalah koefisien muai panjang. Panjang batang tergantung dari temperatur; makin tinggi temperatur makin panjang batang logam. Namun sebaliknya, makin panjang batang logam tidak selalu berarti temperaturnya makin tinggi. Jika logam tersebut mengalami beban tarikan misalnya, ia akan bertambah panjang namun tidak bertambah temperaturnya. Walaupun nilai x di ruas kanan (1.1) bisa berubah secara bebas, sementara ruas kiri tergantung dari ruas kanan, namun nilai x tetap harus ditenttukan sebatas mana ia boleh bervariasi. 1

1.2. Domain Domain ialah rentang nilai (interval nilai) di mana peubah-bebas x bervariasi. Dalam kebanyakan aplikasi, rentang nilai ini bisa berbentuk sebagai berikut: a). rentang nilai berupa bilangan-nyata yang terletak antara dua nilai a dan b. Kita tuliskan rentang nilai ini sebagai a 1; perpotongan dengan kurva dari fungsi yang berpangkat rendah terjadi pada nilai y yang besar.

Contoh Fungsi Mononom Pangkat Dua. Kita ambil beberapa contoh peristiwa fisis. 1). Suatu benda dengan massa m yang mendapat gaya F akan memperoleh percepatan a sehingga kecepatan benda sebagai fungsi waktu (apabila kecepatan awal adalah nol) dapat dinyatakan sebagai v(t ) = at (lihat contoh fungsi linier sub-bab-2.7). Jarak yang ditempuh mulai dari titik awal adalah

s(t ) =

1 2 at 2

2). Dalam tabung katoda, jika kecepatan awal elektron adalah nol, dan waktu tempuh dari anoda ke katoda adalah t, maka kecepatan elektron pada waktu mencapai katoda adalah

vk = at

41

anoda ]

katoda l

(lihat contoh fungsi linier sub-bab-2.7). Waktu tempuh dapat dihitung dari formula s(t ) =

1 2 at , di mana s(t) 2

= l. 3). Dalam teori atom, di mana elektron dipandang sebagai gelombang, fungsi gelombang dari elektron-bebas dibawah pengaruh medan sentral adalah ψ = e jkr dengan k adalah vektor bilangan gelombang yang searah dengan rambatan gelombang.

k =

2π , λ : panjang λ

gelombang Energi kinetik elektron gelombang, Ek , adalah

Ek = me massa electron,

sebagai Ek

h 2k 2 2me

h suatu konstanta.

k

Ek dan k memiliki relasi mononomial pangkat dua (Dari Bab-8, ref. [4])

Mononom Pangkat Ganjil. Pangkat ganjil paling kecil adalah 1 dan dalam hal demikian ini kita mendapatkan persamaan garis y = kx . Pangkat ganjil berikutnya adalah 3, 5, 7 dan seterusnya. Gb.4.5. memperlihatkan kurva fungsi mononom berpangkat ganjil. Kurva fungsi mononom pangkat ganjil simetris terhadap titik asal. Ia bernilai positif untuk x positif dan bernilai negatif untuk x negatif. Makin tinggi pangkat mononom makin cepat perubahan nilai y untuk x > 1.

42 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Untuk x < 1 kurva makin landai yang berarti makin tajam “pembengkokan” garis lurus yang terjadi di dalam rentang −1 ≤ x ≤ 1 . 3 2

-1.5

-1

0 -1 0

-0.5

y = 2x5 y = 2x3

y = 2x

1

0.5

1

1.5

-2 -3

Gb.4.5. Kurva fungsi mononom pangkat ganjil. Apabila peningkatan pangkat disertai juga dengan peningkatan koefisien k, perpotongan kurva dengan garis y = kx bisa terjadi pada nilai x < 1.

4.2. Polinom Pangkat Dua Fungsi polinom pangkat dua berbentuk

y = ax 2 + bx + c

(4.4)

Berikut ini kita akan melihat apa yang terjadi pada proses penambahan mononom demi mononom. Untuk penggambaran kurva masing-masing mononom dalam tinjauan fungsi (4.4) diambil semua koefisien mononom positif. Dengan mengambil nilai-nilai a = 2, b = 15, dan c = 13, kurva masing-masing mononom diperlihatkan pada Gb.4.6. 150

y 2

y2=15x

y1=2x

y3=13

0 -10

0

x

-150

Gb.4.6. Kurva masing-masing mononom dari fungsi kuadrat. 43

Jika kurva y2 = 15x ditambahkan pada y1 = 2x2 maka kurva y1 akan bertambah tinggi di sebelah kanan titik [0,0] dan menjadi rendah di sebelah kiri titik [0,0] seperti terlihat pada Gb.4.7.a. 150

y1=2x2

y

y4=2x2+15x 0 -10

x

0

x = −15/2 y2=15x -150 150

(a)

y

sumbu simetri

y4=2x2+15x

−15/4 0 -10

0

x

−15/2

-150

(b) 150

sumbu simetri

y5 = 2x2+15x+13

y

y4 = 2x2+15x 0 -10

(c)

0

x

-150

Gb.4.7. Penjumlahan y1 = 2x2 , y2 = 15x, dan y3 = 13 44 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Karena y2 = 15 x melalui titik [0,0] dan y1 = 2x2 juga melalui titik [0,0] maka penjumlahan kedua kurva akan memberikan kurva

y4 = y1 + y2 = 2 x 2 + 15 x

(4.5)

yang juga melalui titik [0,0]. Selain di x = 0 kurva penjumlahan ini juga memotong sumbu-x di x = −15 / 2 karena dua titik ini (yaitu x = 0 dan

x = −15 / 2 ) memenuhi persamaan y3 = 2 x 2 + 15 x = 0 . Kurva ini memiliki sumbu simetri yang memotong sumbu-x di x = −15 / 4 seperti terlihat pada Gb.4.7.b. Jika kemudian tetapan 13 ditambahkan pada y4 tebentuklah y5 = 2 x 2 + 15 x + 13

(4.6)

yang merupakan pergeseran dari y4 ke arah positif sumbu-y sebesar 13 skala, seperti terlihat pada Gb.4.7.c. Kita lihat sekarang bentuk umum fungsi pangkat dua (4.4)

y = ax 2 + bx + c yang dapat kita tuliskan sebagai 2

b  b  b2   +c y = a x 2 + x  + c = a x +  − a  2a  4a   2

b  b 2 − 4ac  = a x +  − 2a  4a 

(4.7)

Kurva dari fungsi (4.7) ini dapat kita fahami sebagai berikut: kurva y b adalah kurva y = ax2 yang tergeser sejajar sumbu-x sejauh − 2a kemudian

tergeser

lagi

sejajar

sumbu-y

sejauh

 b 2 − 4ac  . −  4a   

Perhatikan Gb.4.8.

45

y = ax2 +bx +c

y

0

}



y = ax2

x2

x1

x

0

b 2a

-50

 b 2 − 4 ac   −  4a   

Gb.4.8. Pergeseran kurva y = ax2 sejajar sumbu-x ke kiri sejauh –b/2a kemudian tergeser lagi sejajar sumbu-y ke bawah sejauh –(b2−4ac)/4a.

b dan kurva memotong sumbu-x di 2a sebelah kiri dan kanan sumbu simetri ini, yaitu di x1 dan x2 . Dari persamaan (4.7) kita dapatkan Sumbu simetri terletak pada x = −

2

2

b  b 2 − 4ac b  b 2 − 4ac   y = a x + = 0 → a x +  =  − 2a  4a 2a  4a   2

b  b 2 − 4ac b  b 2 − 4ac   → →x + x = ± +   =  2a  2a    4a 2 4a 2

x1, x2 = −

b b 2 − 4ac ± 2a 2a

(4.8)

yang kita kenal sebagai akar-akar persamaan kuadrat. Keadaan kritis terjadi pada waktu kurva fungsi kuadrat bersinggungan dengan sumbu-x; dua akar nyata dari persamaan kuadrat menjadi sama besar. Hal ini terjadi jika pergeseran sejajar sumbu-y bernilai nol

46 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral



b 2 − 4ac = 0 ⇒ (b 2 − 4ac) = 0 4a

(4.9)

Jika (b 2 − 4ac) < 0 maka kurva tidak memotong sumbu-x. Keadaan ini memberikan akar kompleks yang belum akan kita bahas. Tinjauan di atas memberikan hal-hal berikut: 1. Jika c = 0, maka fungsi menjadi y = ax 2 + bx yang memotong sumbu-

b b dan memiliki sumbu simetri di x = − 2a a menjadi sumbu simetri kurva fungsi kuadrat

x di x = 0 dan x = − yang

juga 2

y = ax + bx + c . 2.

Nilai

puncak

fungsi

y = ax 2 + bx + c

y = ax 2 + bx ditambah c yaitu y = −

adalah

2

nilai

puncak

2

b b − 4ac + c atau − . 4a 4a

3. Fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c memotong sumbu-x di

x1,2 = −

b b 2 − 4ac ± 2a 2a

47

4.3. Mononom dan Polinom Pangkat Tiga Fungsi mononom pangkat tiga kita tuliskan y = kx3 . Jika k positif, fungsi ini akan bernilai positif untuk x positif dan bernilai negatif untuk x negatif. Jika k negatif maka keadaan akan menjadi sebaliknya. Kurva fungsi ini diperlihatkan pada Gb.4.9. 500 y

y =−3x3

400 300 200

y = 2x3

100 0 -5 -4 -3

-2 -1 0 -100

1

2

3

4

x

5

-200

y = 2x

3

-300 -400

y =−3x

3

-500

Gb.4.9. Kurva fungsi y = kx3. Fungsi mononom yang tergeser sejajar dengan sumbu-x dengan pergeseran sebesar a skala diperoleh dengan mengganti peubah x dengan (x − a), dan jika tergeser sejajar sumbu-y sebesar b skala kita peroleh dengan mengganti y dengan (y − b) . Fungsi mononom pangkat tiga yang tergeser akan menjadi

y = k ( x − a )3 + b

(4.10)

dengan bentuk kurva diperlihatkan pada Gb.4.10.

48 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y

600 400

y = 10x3

200 0 -5

-3

-1

1

3

x

5

-200

y = 10(x−2)3

-400

y = 10(x−2)3 + 100

-600

Gb.4.10. Kurva fungsi pangkat tiga tergeser. Jika mononom pangkat tiga ditambahkan pada polinom pangkat dua, terbentuklan polinom pangkat tiga, dengan persamaan umum yang berbentuk

y = ax3 + bx 2 + cx + d

(4.11)

Karena y = kx3 naik untuk x positif (pada k positif) maka penambahan ke fungsi kuadrat akan menyebabkan kurva fungsi kuadrat naik di sebelah kanan titik-asal [0,0] dan turun di sebelah kiri [0,0]. Kita ambil a = 4 untuk menggambarkan y1 = ax 3 dan b =19, c = −80, d = −200 untuk menggambarkan kurva fungsi y2 = bx 2 + cx + d seperti terlihat pada Gb.4.11.a.

49

2000

y

y1= 4x3

y 2 = 19 x 2 − 80 x − 200 0 10

0

x

0

x

10

(a) -2000

2000

y y3 = y1 + y 2

y2

= 4 x 3 + 19 x 2 − 80 x − 200 0 -10

10

y1

(b)

-2000

Gb.4.11. Mononom pangkat tiga y1 dan fungsi kuadrat y2. Dengan a positif maka kurva y1 bernilai positif untuk x > 0 dan bernilai negatif untuk x < 0. Kurva fungsi kuadrat y2 telah kita kenal. Jika y1 ditambahkan pada y2 maka nilai-nilai y2 di sebelah kiri titik [0,0] akan berkurang sedangkan yang di sebelah kanan titik [0,0] akan bertambah. Kurva yang kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.9.b. Terlihat pada gambar ini bahwa penjumlahan y1 dan y2 menghasilkan kurva y3 yang memotong sumbu-x di tiga titik. Ini berarti bahwa persamaan pangkat tiga ax 3 + bx 2 + cx + d = 0 (dengan nilai koefisien yang kita ambil) memiliki tiga akar nyata, yang ditunjukkan oleh perpotongan fungsi y3 dengan sumbu-x tersebut.

50 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Hal demikian tidak selalu terjadi. Jika koefisien a kurang positif, penurunan kurva y1 di daerah x negatif tidak terlalu tajam. Hal ini menyebabkan pengurangan nilai y2 didaerah ini juga tidak terlalu banyak. Kita akan memperoleh kurva seperti ditunjukkan pada Gb.4.12.a. Di sini fungsi pangkat tiga memotong sumbu-x di tiga tempat akan tetapi yang terlihat hanya dua. Titik potong yang ke-tiga berada jauh di x negatif. Makin kecil nilai a (tetap positif) akan makin jauh letak titik perpotongan yang ke-tiga ini. 2000

y2 y 3 = y1 + y 2 -10

10

y1

-2000

(a) a kurang positif 2000

y2

-10

15

y3 = y1+y2 y1 -2000

(b) a terlalu positif Gb.4.12. Pengaruh nilai a kurva fungsi pangkat tiga y = y1 + y2. Jika koefisien a terlalu positif, penurunan y1 di daerah negatif sangat tajam. Pengurangan y2 di daerah ini terjadi sangat besar. Kurva yang kita 51

peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.12.b. Di sini kurva tidak memotong sumbu-x di daerah negatif. Hanya ada satu titik potong di sumbu-x positif. Jika a = 0 akan terjadi fungsi kuadrat yang sudah kita bahas di sub-bab sebelumnya. Kita lihat sekarang keadaan di mana a bernilai negatif. Nilai a negatif akan membuat kurva y1 bernilai positif di daerah x negatif dan bernilai negatif di daerah x positif. Hal ini menyebabkan nilai y2 akan bertambah di daerah negatif dan akan berkurang di daerah positif. Jika a tidak terlalu negatif, kurva yang kita peroleh akan berbentuk seperti terlihat pada Gb.4.13.a.

y 3 = y1 + y 2 2000

y2 y1 0 -10

0

15

-2000

(a)

y 3 = y1 + y 2 y2 y1 0 -10

(b)

0

15

-2000

Gb.4.13. Fungsi pangkat tiga y3 = y1 + y2 dengan a negatif. Kurva berpotongan dengan sumbu-x di tiga tiga tempat. Akan tetapi perpotongan yang ke-tiga berada jauh di daerah x positif. Makin negatif a 52 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

makin jauh letak titik perpotongan tersebut. Jika a terlalu negatif kurva berpotongan dengan sumbu-x di satu tempat, seperti terlihat pada Gb.4.13.b.

CATATA4: Sesungguhnya perpotongan kurva fungsi pangkat tiga dengan sumbu-x tidak semata-mata ditentukan oleh nilai koefisien a pada mononom pertama ax3. Bentuk dan posisi kurva fungsi kuadratnya, juga akan menentukan letak titik potong. 4.4. Domain, Kekontinyuan, Simetri Peubah x pada semua fungsi polinom dapat mengambil nilai dari −∞ sampai +∞. Nilai peubah y akan mengikuti nilai x. Fungsi polinom kontinyu dalam rentang x tersebut. Demikian pula halnya jika kita mempunyai fungsi yang merupakan hasilkali antara polinom dengan polinom, y = y1 × y 2 . Kita telah melihat bahwa kurva mononom pangkat dua y = kx 2 simetris terhadap sumbu-y karena penggantian x dengan −x tidak mengubah fungsi ini. Hal ini juga akan berlaku untuk semua kurva mononom yang berpangkat genap. Kenyataan ini menimbulkan istilah simetri genap untuk fungsi-fungsi yang simetris terhadap sumbu-y; misalnya fungsi cosinus yang akan kita pelajari di bab lain. Kita juga telah melihat bahwa kurva mononom pangkat tiga y = kx 3 simetris terhadap titik asal [0,0]. Penggantian y dengan −y dan penggantian x dengan −x tidak akan mengubah fungsi ini. Hal ini berlaku pula untuk semua kurva mononom berpangkat ganjil. Istilah simetri ganjil diberikan pada fungsi yang simetris terhadap titik asal [0,0], seperti fungsi sinus yang akan kita pelajari di Bab-6. Penjumlahan antara mononom berpangkat genap dengan mononom berpangkat ganjil tidak menghasilkan kurva yang memiliki sumbu simetri. Hal ini disebabkan karena kaidah untuk terjadinya simetri bagi mononom berpangkat genap tidak sama dengan kaidah yang diperlukan untuk terjadinya simetri pada kurva mononom berpangkat ganjil. Keadaan khusus terjadi pada mononom berpangkat satu yang juga merupakan mononom berpangkat ganjil. Kurva dari fungsi ini juga simetris terhadap titik asal [0,0]. Namun fungsi ini adalah fungsi linier dengan kurva yang berbentuk garis lurus, berbeda dengan kurva fungsi mononom pangkat tiga. Kelinieran ini menyebabkan penjumlahan 53

dengan kurva mononom pangkat dua menghasilkan pergeseran kurva fungsi pangkat dua; kurva yang tergeser ini memiliki sumbu simetri yang sejajar dengan sumbu-y.

Soal-Soal 1.

2.

Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.

y1 = 4 x 2 ;

y2 = 5x 2 − 7 ;

y3 = 3x 2 − 12 ;

y 4 = −4 x 2 + 8

Dari soal nomer-1, tentukanlah koordinat titik perpotongan antara kurva-kurva fungsi berikut ini

y1 dan y 2 ; 3.

y 3 dan y 4

Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.

y1 = 5 x 2 − 10 x ; 4.

y 2 dan y3 ;

y 2 = 3x 2 − 12 x ;

y3 = −4 x 2 + 2 x

Dari soal nomer-3, selidikilah koordinat titik perpotongan kurva-kurva fungsi berikut.

y1 dan y 2 ; y 2 dan y3 ; y1 dan y3 5.

Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.

y1 = 5 x 2 − 10 x − 7 ; y 2 = 3 x 2 − 12 x + 2 ; y3 = −4 x 2 + 2 x + 8 6.

Dari soal nomer-5, selidikilah koordinat titik perpotongan kurva-kurva fungsi berikut.

y1 dan y 2 ;

y 2 dan y 3 ; y1 dan y3

54 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 5 Bangun Geometris 5.1. Persamaan Kurva Persamaan suatu kurva secara umum dapat kita tuliskan sebagai F ( x, y ) = 0

(5.1)

Persamaan ini menentukan tempat kedudukan titik-titik yang memenuhi persamaan tersebut. Jadi setiap titik pada kurva akan memenuhi persamaan dan setiap titik yang memenuhi persamaan harus pula terletak pada kurva. Berikut ini adalah karakteristik umum suatu kurva. Beberapa di antaranya telah kita pelajari di bab pertama.

Simetri. Kurva suatu fungsi mungkin simetris terhadap garis atau titik tertentu jika fungsi tidak berubah apabila x kita ganti dengan −x maka kurva fungsi tersebut simetris terhadap sumbu-y; b) jika fungsi tidak berubah apabila x dan y dipertukarkan, kurva funsi tersebut simetris terhadap garis-bagi kuadran I dan III. a)

c)

jika fungsi tidak berubah apabila y diganti dengan −y, kurva funsi tersebut simetris terhadap sumbu-x.

d) jika fungsi tidak berubah jika x dan y diganti dengan −x dan −y, kurva fungsi tersebut simetris terhadap titik-asal [0,0].

ilai Peubah. Dalam melihat bentuk-bentuk geometris hanya nilai-nyata dari y dan x yang kita perhatikan. Apabila dalam suatu persamaan terdapat pangkat genap suatu peubah maka akan terlibat suatu nilai yang berasal dari akar pangkat dua (pangkat genap) dari peubah tersebut. Dalam keadaan demikian kita anggap bahwa bilangan negatif tidak memiliki akar, karena kita belum membahas bilangan kompleks. Hal ini telah dikemukakan di bab pertama dalam sub-bab pembatasan pembahasan. Contoh: y 2 + x 2 = 1 . Jika kita cari nilai y kita dapatkan

y = ± 1− x2 55

Apabila nilai mutlak x lebih besar dari 1, maka nilai bilangan di bawah tanda akar akan negatif. Dalam hal demikian ini kita membatasi x hanya pada rentang −1 ≤ x ≤ 1 . Karena kurva ini simetris terhadap garis y = x, maka ia memiliki nilai juga terbatas pada rentang −1 ≤ y ≤ 1 .

Titik Potong Dengan Sumbu Koordinat. Koordinat titik potong dengan sumbu-x dapat diperoleh dengan memberi nilai y = 0, sedangkan koordinat titik potong dengan sumbu-y diperoleh dengan memberi nilai x = 0. Contoh: y 2 + x 2 = 1 . Titik potong dengan sumbu-x adalah P[1,0] dan Q[−1,0]. Titik potong dengan sumbu-y adalah R[0,1] dan S[0,−1]. Contoh: xy = 1. Dengan memberi nilai x = 0 kita tidak akan mendapatkan solusi untuk y. Demikian pula memberi y = 0 tidak akan memberi solusi untuk x. Kurva persamaan ini tidak memotong sumbu-x maupun sumbu-y. Asimptot. Suatu titik P[x,y] pada kurva yang bergerak sepanjang kurva menjauhi titik-asal mungkin akan semakin dekat dengan suatu garis tertentu, namun tidak akan menyentuhnya. Garis tersebut merupakan asimptot dari kurva. Contoh: y 2 ( x 2 − x) = x 2 + 10 . 2 Persamaan ini memberikan y = ± x + 10

x( x − 1)

Apa yang berada di dalam tanda akar, tidak boleh negatif. Hal ini berarti jika x harus positif maka ia tidak boleh lebih kecil dari satu agar x(x−1) positif; jika x negatif maka x(x−1) akan tetap positif. Jadi haruslah x < 0 atau x > 1. Tidak ada bagian kurva yang berada antara x = 0 dan x = 1. Garis vertikal x = 0 dan x = 1 adalah asimptot dari kurva. Lihat Gb.5.1.

56 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

4

y

0 -4

4

0

-4

Gb.5.1. Garis asimptot (ditunjukkan oleh garis patah-patah). Persamaan kurva ini juga bisa dituliskan sebagai y2 =

x 2 + 10 x2 − x

=

1 + 10 / x 2 1 − 1/ x

Jika x → ±∞ maka y = 1, dan y = ±1. Garis mendatar y = 1 dan y = −1 juga merupakan asimptot dari kurva. 2

Soal-Soal: Tentukan sumbu simetri, titik-titik potong dengan sumbu koordinat, dan garis asimptot kurva-kurva dari fungsi berikut: 1 1 y= y = x2 + 1 ; ; y=x+ ; 2 x x +1 1 y= y = x2 − 1 ; . 2 x −1

5.2. Jarak Antara Dua Titik Jika koordinat dua titik diketahui, misalnya P[xp,yp) dan Q[xq,yq], maka jarak antara keduanya adalah

PQ = ( x p − xq ) 2 + ( y p − yq ) 2

(5.2)

Formula ini sangat bermanfaat jika kita hendak mencari tempat kedudukan titik yang berjarak tertentu dari suatu titik lain. Kita akan melihatnya pada ulasan bentuk-bentuk geometris berikut ini.

57

Soal-Soal: 1). Diketahui dua titik P(-2,1) dan Q(2,-3). Dengan menggunakan persamaan persamaan (5.2) tentukan tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap P dan Q. 2). Diketahui dua titik P(-1,0) dan Q(2,0). Dengan menggunakan persamaan persamaan (5.2) tentukan tempat kedudukan R yang sedemikian rupa sehingga RP = 2× RQ.

5.3. Parabola Kita telah melihat bentuk kurva

y = kx 2

(5.3)

yang simetris terhadap sumbu-y. Bentuk kurva ini disebut parabola. Dalam persamaan ini, ada suatu nilai k sedemikian rupa sehingga jarak antara satu titik P yang terletak pada kurva dengan titik Q yang terletak di sumbu-y sama dengan jarak antara titik P dan suatu garis tertentu, seperti diperlihatkan pada Gb.5.2. Titik Q disebut titik fokus parabola, dan garis tertentu y = −p disebut garis direktriks dan titik puncak parabola berada di tengah antara titik fokus dan direktriknya. y y=kx

2

P[x,y] Q[0,p] [0,0]

x R[x,−p]

Gb.5.2. Titik fokus dan garis direktriks. Hubungan antara k dan p dapat dicari sebagai berikut.

PQ = (PR − p) 2 + x 2 = ( y − p) 2 + x 2 = y 2 − 2 py + p 2 + x 2 PR = ( y + p)

58 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Karena PQ = PR, maka

y 2 − 2 py + p 2 + x 2 = y + p y 2 − 2 py + p 2 + x 2 = y 2 + 2 py + p 2 + x 2 = +4 py atau y=

x2 1 1 yang berarti k = atau p = 4p 4p 4k

Dengan demikian persamaan parabola dapat kita tuliskan

y=

1 2 x 4p

(5.4)

dengan direktiks y = −p dan titik fokus Q[0,p].

Contoh: Persamaan parabola y = 0,5 x 2 dapat kita tuliskan

y=

1 2 1 x = x2 2 4 × 0,5

dan parabola ini memiliki direktrik y = − p = −0,5 dan titik fokus di Q[0,(0,5)].

Soal-Soal: Tentukan titik fokus dan direktrik parabola-parabola berikut:

y2 + 4x = 8 ;

x2 − 8 y = 4 ;

x2 + 2x − 4 y − 3 = 0 ;

y2 + x + y = 0

5.4. Lingkaran Lingkaran merupakan tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap satu titik tertentu. Titik tertentu itu disebut titik pusat lingkaran. Jika titik tertentu itu adalah titik-asal [0,0] maka jarak suatu titik X[x,y] ke titik-asal adalah

XO = x 2 + y 2 59

Jika jarak ini tertentu, r misalnya, maka

x2 + y2 = r Oleh karena itu persamaan lingkaran dengan titik pusat [0,0] adalah

x2 + y2 = r 2

(5.5)

dengan r adalah jari-jari lingkaran. Jika titik pusat lingkaran tidak berimpit dengan titik asal, kita dapat melihatnya sebagai lingkaran tergeser. Lingkaran dengan titik pusat di P[a,b] mempunyai persamaan

( x − a ) 2 + ( y − b) 2 = r 2

(5.6)

Gb.5.3. memperlihatkan bentuk lingkaran dengan jari-jari 1 yang disebut lingkaran-satuan, berpusat di [0,0] dengan persamaan x 2 + y 2 = 1 . y 1 y1 0,5

-1

1

[0,0]

x

0,5

-1 Gb.5.3. Lingkaran Pada Gb.5.3 ini pula diperlihatkan lingkaran dengan r2 = 0,4 berpusat di [(0,5),(0,5)] yang berarti lingkaran tergeser sejajar sumbu-x sebesar 0,5 skala dan sejajar sumbu-y sebesar 0,5 skala, dengan persamaan

( x − 0,5) 2 + ( y − 0,5) 2 = 0,4

60 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Soal-Soal: Tentukan persamaan dan cari titik-titik potong dengan sumbu-sumbu koordinat lingkaran berikut 1) Titik pusat di P(1,2), jari-jari 4. 2) Titik pusat di Q(-2,1), jari-jari 5. 3) Titik pusat R(2,3) jari-jari 3. 4) Titik pusat S(3,2) jari-jari 2.

5.5. Elips Elips adalah tempat kedudukan titik yang jumlah jarak terhadap dua titik tertentu adalah konstan. Kedua titik tertentu tersebut merupakan X[x,y] dua titik fokus dari elips. Perhatikan Gb.5.4. Misalkan diketahui posisi dua titik P[−a,0] dan Q(a,0]. Jarak antara titik sembarang X[x,y] dengan kedua titik tersebut masing-masing adalah

P[-c, 0]

Q[c, 0]

x

Gb.5.4. Elips 2

XP = ( x + c) + y

2

dan

XQ = ( x − c) 2 + y 2 Jika jumlah antara keduanya adalah konstan, misalkan 2a, maka

( x + c ) 2 + y 2 + ( x − c ) 2 + y 2 = 2a Jika suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan dan kedua ruas di kuadratkan, akan kita peroleh

( x + c ) 2 + y 2 = 4a 2 − 4a ( x − c ) 2 + y 2 + ( x − c ) 2 + y 2 yang dapat disederhanakan menjadi

a−

c x = ( x − c) 2 + y 2 a 61

Jika kedua ruas di kuadratkan kita dapatkan

c2 2 x = x 2 − 2cx + c 2 + y 2 2 a

a 2 − 2cx +

yang dapat disederhanakan menjadi

x2 a2

+

y2 a2 − c2

=1

Kita perhatikan penyebut pada suku ke-dua ruas kiri persamaan terakhir ini, dengan melihat pada Gb.5.4. Pada segitiga XPQ, jumlah dua sisi selalu lebih besar dari sisi yang ketiga, (XP + XQ) > PQ atau 2a > 2c, sehingga penyebut suku ke-2 di ruas kiri selalu positif dan memiliki akar nyata; misalkan persamaan elips

a 2 − c 2 = b . Dengan demikian kita mendapatkan x2 a2

+

y2 b2

=1

(5.7)

Titik-titik potong dengan sumbu-x adalah [±a,0] dan titik-titik potong dengan sumbu-y adalah [0,±b]. Jadi suatu elips dilingkupi oleh satu segi panjang 2a×2b; 2a adalah sumbu panjang elips dan 2b adalah sumbu pendeknya. (Perhatikan bahwa jika a = b yang berarti c = 0, kita mendapatkan persamaan lingkaran). Apabila titik fokus elips tidak terletak pada sumbu-x, kita bisa melihatnya sebagai elips tergeser. Persamaan elips tergeser adalah

( x − p) 2

a2

+

( y − q)2

b2

=1

(5.8)

dengan p adalah pergeseran sejajar sumbu-x dan q adalah pergeseran sejajar sumbu-y. Gb.5.5. adalah elips dengan persamaan

( x − 0,5) 2 ( y − 0,25) 2 + =1 1 0,5 2

62 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

1 y

0 0

-1

x

1

2

-1

Gb.5.5. Elips tergeser.

Soal-Soal: Tentukan titik-titk fokus dan gambarkan (skets) elips berikut: 1) 9 x 2 + 4 x 2 = 36 ; 2) 4 x 2 + 9 y 2 = 144 ; 3) 4 x 2 + y 2 = 1 ; 4) 16( x − 2) 2 + 9( y + 3) 2 = 144

5.6. Hiperbola Hiperbola merupakan tempat kedudukan titik-titik yang selisih jaraknya antara dua titik tertentu adalah konstan. Penurunan persamaan hiperbola dapat dilakukan seperti halnya dengan penurunan persamaan elips di atas. Perhatikan Gb.5.6. Misalkan diketahui posisi dua titik P[−c,0] dan Q(c,0]. Jarak antara titik sembarang X[x,y] dengan kedua titik tersebut masingmasing adalah

XP = ( x + c) 2 + y 2

dan

XQ = ( x − c) 2 + y 2

63

y X(x,y)

Q[c,0]

P[-c,0]

x

Gb.5.6. Posisi titik X terhadap P[-c,0] dan Q[c,0]. Jika selisih antara XP dan XQ harus tetap, misalnya 2a, maka

( x + c) 2 + y 2 − ( x − c) 2 + y 2 = 2a Suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan dan kedua ruas di kuadratkan, kemudian dilakukan penyederhanaan

(c / a ) x − a = ( x − c ) 2 + y 2 Jika kedua ruas dikuadratkan akan diperoleh

x2 a2



y2 c2 − a2

=1

Kita lihat lagi Gb.5.6. Dalam segitiga PXQ, selisih (XP−XQ) = 2a selalu lebih kecil dari PQ = 2c. Jadi a < c sehingga penyebut pada suku kedua ruas kiri selalu positif, misalkan dapatkan persamaan

x2 a2



y2 b2

c 2 − a 2 = b 2 . Dengan demikian kita =1

(5.9)

Inilah persamaan hiperbola, dengan bentuk kurva seperti pada Gb.5.7.

64 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y

+∞ X(x,y) a c

-c -a

x

−∞ Gb.5.7. Kurva hiperbola Dengan memberi nilai y = 0, kita dapatkan titik potong hiperbola dengan sumbu-x yaitu [±a,0]. Dengan memberikan nilai x = 0, kita tidak memperoleh solusi untuk y. Kurva tidak memotong sumbu-y; tidak ada bagian kurva yang terletak antara x = −a dan x = a.

Soal-Soal: Gambarkan (skets) hiperbola berikut: 1)

x2 y 2 − =1 ; 9 16

2)

y 2 x2 − =1 ; 9 16

3)

x2 y 2 − =1 ; 16 9

4)

x2 y 2 − = −1 9 16

5.4. Kurva Berderajat Dua Parabola, lingkaran, elips, dan hiperbola adalah bentuk-bentuk khusus kurva berderajat dua, atau kurva pangkat dua. Bentuk umum persamaan berderajat dua adalah

Ax 2 + Bxy + Cy 2 + Dx + Ey + F = 0

(5.10)

Persamaan parabola adalah bentuk khusus dari (5.10) dengan B = C = D = F = 0; A = 1; E = −4 p

65

1 2 x . 4p Lingkaran satuan adalah bentuk khusus dari (5.10) dengan

sehingga diperoleh persamaan (5.4) y =

B = D = E = 0;

A = 1; C = 1;

F = −1

Bahkan persamaan garis luruspun merupakan keadaan khusus dari (5.10), di mana A = B = C = 0; D = −a; E = 1; F = −b yang memberikan persamaan garis lurus y = ax + b . Namun dalam kasus terakhir ini persamaan berderajat dua (5.10) berubah status menjadi persamaan berderajat satu. Bentuk Ax2 dan Cy2 adalah bentuk-bentuk berderajat dua yang telah sering kita temui pada persamaan kurva yang telah kita bahas. Namun bentuk Bxy, yang juga merupakan bentuk berderajat dua, belum pernah kita temui. Dalam sub-bab berikut ini hal tersebut akan kita lihat.

5.5. Perputaran Sumbu Koordinat Dalam bangun geometris yang sudah kita lihat, mulai dari parabola sampai hiperbola, tidak satupun mengandung bentuk Bxy. Hal Ini sesungguhnya merupakan konsekuensi dari pemilihan koordinat. Dalam bangun hiperbola misalnya, kita telah memilih titik-titik fokus P[−c,0] dan Q[c,0] sehingga hiperbola simetris terhadap sumbu-x dan memotong sumbu-x di x = ±a. Sekarang akan kita coba memilih titik fokus di P[−a,−a] dan Q[a,a] seperti pada Gb.5.8. y Q[a,a] P[-a,-a]

x

Gb.5.8. Titik fokus di P[-a.-a] dan Q[a,a] Selisih jarak XP dan XQ yang tetap kita misalkan 2a

( x + a ) 2 + ( y + a ) 2 − ( x − a ) 2 + ( y − a ) 2 = 2a 66 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Jika suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan kemudian kedua ruas dikuadratkan dan dilakukan penyederhanaan, akan kita peroleh

x + y − a = ( x − a) 2 + ( y − a ) 2 Jika ruas kanan dan kiri dikuadratkan lagi kita dapatkan

2 xy = a 2

(5.11)

Mempetukarkan x dengan y tidak mengubah persamaan ini. Kurva persamaan ini simetris terhadap garis y = x, yaitu garis bagi kuadran II dan III seperti terlihat pada Gb.5.9. 5

0 -5

0

-5

Gb.5.9. Kurva 2xy = a2. Kalau kita bandingkan kurva Gb.5.9 ini dengan kurva hiperbola sebelumnya pada Gb.5.7. terlihat bahwa kurva pada Gb.5.9. memiliki sumbu simetri yang terputar 45o berlawanan dengan arah perputaran jarum jam, dibandingkan dengan sumbu simetri Gb.5.7 yaitu sumbu-x. Apakah memang demikian? Kita akan lihat secara umum mengenai perputaran sumbu ini. Perhatikan Gb.5.10. y

P[x,y] P[x’,y’]

y’

x’

Q’

β α

O

x

Q

Gb.5.10. Perputaran sumbu. 67

Sumbu x-y diputar sebesar α menjadi sumbu x’-y’. Titik P dapat dinyatakan dengan dua koordinat P[x,y] dengan referensi sumbu x-y, atau P[x’,y’] dengan referensi sumbu x’-y’. Dari Gb.5.10. kita dapatkan x = OQ = OP cos(α + β) (5.12) y = PQ = OP sin(α + β) Sementara itu

x' = OQ' = OP cos β y ' = PQ' = OP sin β Dengan kesamaan (lihat fungsi trigonometri di Bab-6) cos(α + β) = cos α cos β − sin α sin β

sin(α + β) = sin α cos β + cos α sin β Dengan (5.13) dan (5.14), maka (5.12) menjadi x = x' cos α − y ' sin α

y = x' sin α + y ' cos α

(5.13)

(5.14)

(5.15)

Persamaan (5.15) inilah persamaan rotasi sumbu. Kita coba aplikasikan (5.15) pada (5.11) yang memiliki kurva pada Gb.5.10, di mana rotasi sumbu terjadi pada sudut 45o sehingga

cos α = sin α = 1 / 2 . Oleh karena itu kita peroleh x'− y ' x'+ y ' dan y = x= 2 2 Nilai x dan y ini kita masukkan ke (5.11) dan kita mendapatkan x '− y ' x'+ y ' 2 × = ( x' ) 2 − ( y ' ) 2 = a 2 2 2 Bentuk persamaan ini sama dengan bentuk persamaan (5.9); pada (5.9) sumbu simetri adalah sumbu-x, sedangkan di sini sumbu simetri adalah sumbu-x’ yaitu sumbu-x yang diputar 45o. Dengan pembahasan mengenai perputaran sumbu ini, menjadi lengkaplah pergeseran kurva yang kita bahas. Pergeseran kurva sejajar sumbu-x dan sumbu-y yang telah kita bahas sebelumnya dapat pula kita pandang sebagai pergeseran atau translasi sumbu koordinat. Dengan demikian kita mengenal translasi dan rotasi sumbu koordinat, di mana sumbu-sumbu simetri dari suatu kurva tidak berimpit dengan sumbu koordinat, dan titik simetri tidak berimpit dengan titik asal [0,0]. 68 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 6 Fungsi Trigonometri 6.1. Peubah Bebas Bersatuan Derajat Berikut ini adalah fungsi-fungsi trigonometri dengan sudut θ sebagai peubah-bebas.

y1 = sin θ;

y2 = cos θ

sin θ ; cos θ 1 y5 = sec θ = ; cos θ

cos θ sin θ 1 y6 = csc θ = . sin θ

y3 = tan θ =

y 4 = cot θ =

(6.1)

Untuk menjelaskan fungsi trigonometri, kita gambarkan lingkaransatuan, yaitu lingkaran berjari-jari satu. Bentuk lingkaran ini diperlihatkan pada Gb.6.1. Kita menggunakan referensi arah positif berlawanan dengan arah jarum jam; artinya sudut θ makin besar jika jarijari r berputar berlawanan dengan arah perputaran jarum jam.

y 1 P r

-1

O [0,0]

θ



Q

1

x

P’ -1 Gb.6.1. Lingkaran berjari-jari 1.

69

Fungsi sinus. Dengan membuat jari-jari r = OP = 1, maka

PQ = PQ (6.2) r PQ = 0 pada waktu θ = 0o, dan membesar jika θ membesar sampai mencapai maksimum PQ = 1 pada waktu θ = 90o. Kemudian PQ menurun lagi dan mencapai PQ = 0 pada waktu θ = 180o. Sesudah itu PQ menjadi negatif (arah ke bawah) dan mencapai minimum PQ = −1 pada waktu θ = 270o, kemudian meningkat lagi mencapai PQ = 0 pada waktu θ = 360o. Setelah itu keadaan akan berulang, dan satu siklus berikutnya terjadi pada waktu θ = 720o. Kejadian berulang lagi dan demikian seterusnya. Kejadian satu siklus kita sebut satu perioda. Secara singkat kita memperoleh sin θ =

sin 0o = 0; sin 90o = 1; sin 180o = 0; sin 270o = −1; sin 360o = 0 Fungsi Cosinus. Karena telah ditetapkan r = 1, maka

cos θ =

OQ = OQ r

(6.3)

OQ = 1 pada waktu θ = 0, dan mengecil jika θ membesar sampai mencapai minimum OQ = 0 pada waktu θ = π/2. Kemudian OQ meningkat lagi tetapi negatif dan mencapai OQ = −1 pada waktu θ = π. Sesudah itu OQ mengecil dan tetap negatif dan mencapai minimum OQ = 0 pada waktu θ = 1,5π, kemudian meningkat lagi mencapai OQ = 1 pada waktu θ = 2π. Setelah itu keadaan akan berulang, dan satu siklus berikutnya terjadi pada waktu θ = 4π. Kejadian berulang lagi dan demikian seterusnya. Secara singkat

cos 0o = 1; cos 90o = 0; cos180o = −1; cos 270o = 0; cos 360o = 1 Pada Gb.6.1, jika sin(θ) = PQ dan cos(θ) = OQ, sedangkan dalil Pitagoras memberikan PQ2 + OQ2 = OP2 =1, maka

sin 2 (θ) + cos 2 (θ) = 1

(6.4.a)

Dari Gb.6.1. dapat kita peroleh juga 70 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

sin(−θ) =

P′Q −PQ = = − sin θ r r

(6.4.b)

OQ = cos θ r

(6.4.c)

cos(−θ) =

Pada segitiga siku-siku OPQ maupun OP’Q sisi tegak selalu lebih kecil dari sisi miring. Oleh karena itulah sinθ maupun cosθ akan bernilai antara −1 dan +1.

Fungsi Tangent.

tan θ = tan(−θ) =

PQ OQ

P′Q −PQ = = − tan θ OQ OQ

(6.4.d)

(6.4.e)

Nilai tanθ akan menjadi 0 jika θ = 0o, dan akan menuju +∞ jika θ menuju 90o karena pada waktu itu PQ juga ∞ dan tan(−θ) akan menuju −∞ pada waktu θ menuju −90o. Jadi tanθ bernilai antara −∞ sampai +∞. Nilai tanθ = 1 bila θ = 45o karena pada waktu itu PQ = OQ; tan(−θ) = −1 jika θ = −45o. Lihat pula kurva pada Gb.6.5.

Fungsi Cotangent.

cot θ = cot(−θ) =

OQ PQ

OQ OQ = = − cot θ ′ P Q − PQ

(6.4.f)

(6.4.g)

Nilai cotθ akan menuju +∞ jika θ menuju 0o karena PQ akan menuju 0 walau OQ menuju 0; cotθ = 0 jika θ = 90o karena OQ = 0. Sebaliknya cotθ akan menuju −∞ jika θ menuju −0 karena P’Q akan menuju −0; cotθ = 0 jika θ = −90o karena P’Q menuju −∞. Lihat pula kurva Gb.6.6.

71

Fungsi Secan dan Cosecan

sec θ =

1 r = cos θ OQ

(6.4.h)

csc θ =

1 r = sin θ PQ

(6.4.i)

Nilai secθ menuju ∞ jika θ menuju 90o karena OQ menuju 0 dan secθ = 1 pada waktu θ = 0o karena pada waktu itu OQ = r atau cosθ = 1. Sementara itu cscθ akan menuju ∞ jika θ menuju 0 karena sinθ menuju 0. Lihat pula Gb.6.7.

Relasi-Relasi. Relasi-relasi yang lain dapat kita turunkan dengan mengunakan Gb.6.2., yaitu y

sinα cosβ sinα

1

sinα sinβ

cosα

β α

-1

cosα sinβ

β

1

[0,0]

x

cosα cosβ

-1 Gb.6.2. Relasi-relasi

sin(α + β) = sin α cos β + cos α sin β cos(α + β) = cos α cos β − sin α sin β

(6.5)

Karena sin(−β) = − sin β dan cos(−β) = cos β maka kita peroleh pula

sin(α − β) = sin α cos β − cos α sin β cos(α − β) = cos α cos β + sin α sin β

(6.6)

72 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

6.2. Kurva Fungsi Trigonometri Dalam Koordinat x-y Bilangan-nyata dengan desimal yang tidak terbatas, π, digunakan untuk menyatakan besar sudut dengan r s satuan radian. Jumlah radian dalam sudut θ θ didefinisikan dengan persamaan s θ= , s = rθ (6.7) r o Jika θ = 360 maka s menjadi penuh satu keliling lingkaran, atau s = 2πr . Jadi jumlah radian dalam sudut 360o adalah 2π. Dengan demikian maka ukuran sudut

θ1 = 180o adalah π rad. θ2 = 90o adalah 0,5π rad. θ3 = 1o adalah (π / 180) rad. dst. Fungsi Sinus. Dengan menggunakan satuan radian, fungsi trigonometri akan kita gambarkan pada sistem koordinat x-y, yang kita ketahui bahwa sumbu-x adalah sumbu bilangan-nyata, termasuk π. Bentuk kurva fungsi sinus

y = sin(x)

(6.8)

terlihat pada Gb.6.3. yang dibuat untuk nilai x dari −2π sampai +2π. Fungsi ini mencapai nilai maksimum +1 pada x = π/2 atau θ = 90o, mencapai nilai nol pada x = π atau θ = 180o, mencapai minimum −1 (arah negatif) pada x = 1,5π atau θ = 270o, kembali nol pada x = 2π atau θ = 360o; inilah satu perioda. y

1,5 1 0,5

−2π

−π

0 -0,5

0

π

2π x

-1 -1,5

Gb.6.3. Kurva fungsi sinus dalam dua perioda. 73

Fungsi Cosinus. Kurva fungsi cosinus y = cos(x)

(6.9)

terlihat pada Gb.6.4. Fungsi ini mencapai nilai maksimum +1 pada x = 0 atau θ = 0o, mencapai nilai nol pada x = π/2 atau θ = 90o, mencapai minimum −1 (arah negatif) pada x = π atau θ = 180o, kembali nol pada x = 1,5π atau θ = 270o, dan ke nilai maksimum +1 lagi setelah satu perioda, 2π. 1,5

y

1

perioda

0,5

−π

0 -0,5

0

π



x

-1 -1,5

Gb.6.4. Kurva fungsi cosinus. Fungsi sinus maupun fungsi cosinus adalah fungsi periodik dengan perioda sama sebesar 2π, dengan nilai maksimum dan minimum yang sama yaitu +1 dan −1. Perbedaan antara keduanya terlihat, yaitu

sin( x) = − sin(− x)

sedangkan

cos( x) = cos(− x)

(6.10)

Fungsi sinus simetris terhadap titik-asal [0,0], dan disebut memiliki simetri ganjil. Fungsi cosinus simetris terhadap sumbu-y dan disebut memiliki simetri genap. Dengan memperbandingkan Gb.6.3. dan Gb.6.4 kita lihat bahwa fungsi sinus dapat dipandang sebagai fungsi cosinus yang tergeser sejajar sumbu-x sebesar π/2. Oleh karena itu fungsi sinus dapat kita nyatakan dalam cosinus

y = sin( x) = cos( x − π / 2)

(6.11)

Fungsi Tangent. Selanjutnya kita lihat fungsi

y = tan( x) =

sin( x) cos( x)

(6.12)

74 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Karena cos(x) = 0 pada x = +π/2 dan −π/2, maka tan(x) bernilai tak hingga pada x = +π/2 dan −π/2.

y

3 2 1

-1,5π -π

0 -0,5π 0 -1

0,5π π

1,5π

-2 -3

Gb.6.5. Kurva y = tan(x)

Fungsi Cotangent. Fungsi ini adalah kebalikan dari fungsi tangent.

y = cot( x) =

cos( x) 1 = sin( x) tan( x )

(6.13)

Karena sin(x) = 0 pada x = 0, maka cot(x) bernilai tak hingga pada x = 0. Lihat Gb.6.6. 3 2 1 -1,5π -π

0 -0,5π 0 -1

0,5π π

1,5π

-2 -3

Gb.6.6. Kurva y = cot (x)

75

Fungsi Secan. Fungsi ini adalah kebalikan fungsi cosinus.

y = sec( x) =

1 cos( x)

(6.14.a)

Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.7.a. Perhatikan bahwa sec(x) bernilai 1 pada x = 0 karena pada nilai x itu cos(x) juga bernilai 1.

Fungsi Cosecan. Fungsi ini adalah kebalikan fungsi sinus.

y = csc( x) =

1 sin( x)

(6.14.b)

Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.7.b. csc(x) bernilai ∞ pada x = 0 kara pada nilai x ini sin(x) bernilai 0. 3 2 1

-1,5π -π

0 -0,5π 0 -1

0,5π

π

1,5π

0,5π

π

1,5π

-2 -3

(a) y = sec(x) 3 2 1

-1,5π -π

0 -0,5π 0 -1 -2

(b) y = csc(x)

-3

Gb.6.7. Kurva y = sec(x) dan y = csc(x) 76 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Soal-Soal: Skets kurva fungsi-fungsi berikut:

y = 2 sin x ;

y = 3 sin 2 x ;

y = 3 cos(2 x + π / 4) ;

y = 2 cos 3x ;

y = 2 tan( x / 3)

6.3. Fungsi Trigonometri Inversi Sinus Inversi. Jika fungsi sinus kita tuliskan sinus inversi dituliskan sebagai

y = arcsin x atau

y = sin( x ) , maka fungsi

y = sin −1 x

(6.15)

Perhatikan bahwa sin−1x bukan berarti 1/sinx, melainkan inversi sinus x yang bisa kita baca sebagai: y adalah sudut yang sinusnya sama dengan x. Karena fungsi sinus adalah periodik dari −∞ sampai +∞ maka fungsi

y = sin −1 x tidaklah bernilai tunggal. Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.8.a. Ia akan terlihat bernilai tunggal jika kita membatasi nilai y; kita hanya meninjau fungsi sinus inversi pada − π ≤ y ≤ π . Dengan pembatasan ini 2 2 maka kita hanya terlibat dengan nilai-nilai utama dari sin−1x. Jadi nilai utama y = sin −1 x terletak pada − π ≤ sin −1 x ≤ π . Kurva fungsi 2 2 y = sin −1 x yang dibatasi ini terlihat pada Gb.6.8.b. Perhatikanlah bahwa pada x = 0, y = sin−1x = 0 karena pada y = 0 sin(y) = 0 = x. Pada x = 1, y = sin−1x = π/2 karena sin(y) = sin(π/2) = 1 = x.

Contoh:

y = sin −1(1) = 0,5π ; y = sin −1 (−1) = −0,5π y = sin −1 (0,5) =

π ; 6

y = sin −1 (−0,5) = −

π 6 77

y 2π

π 0,5π -1

0

0

1

y

x

0,25π 0

−π

-1

-0,5

0

0,5

x

1

-0,25π

−2π -0,5π

a)

Gb.6.8. Kurva y = sin−1x

b)

Jika kita bandingkan Gb.6.8. (fungsi sinus inversi) dengan Gb.6.3. (fungsi sinus) terlihat bahwa jika sumbu-y pada Gb.6.8. kita gambarkan horizontal sedangkan sumbu-x kita gambarkan vertikal, maka kita akan memperoleh bentuk kurva fungsi sinus pada Gb.6.3. pada rentang π π − ≤ y ≤ , yaitu rentang di mana kita membatasi nilai y pada fungsi 2 2 sinus inversi, atau rentang nilai utama fungsi sinus inversi.

Cosinus Inversi. Fungsi cosinus inversi kita peroleh melalui hubungan

y = cos −1 x =

π − sin −1 x 2

(6.16)

Hubungan ini berasal dari relasi segitiga siku-siku. Jika sudut lancip segitiga siku-siku adalah α dan β, maka β = π / 2 − α dan sin α = cos β . Oleh karena itu jika sin α = x maka cos β = x sehingga

cos −1 x = β = π / 2 − α = π / 2 − sin −1 x 78 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Karena dengan pembatasan − π ≤ y ≤ π pada fungsi sinus inversi 2 2 π π − 1 memberikan − ≤ sin x ≤ maka nilai-nilai utama dari cos −1 x akan 2 2 − 1 terletak pada 0 ≤ cos x ≤ π . Gb.6.9.b. memperlihatkan kurva fungsi cosinus inversi pada nilai utama. Perhatikan bahwa jika sumbu-x digambar vertikal sedang sumbu-y digambar horizontal, kita dapatkan fungsi cosinus seperti pada Gb.6.4. dalam rentang 0 ≤ x ≤ π . y

π

y -1

0

0

1



0,75π

x

0,5π 0,25π

−π

0 -1

-0,5

0

a)

0,5

x

1

b) Gb.6.9. Kurva y = cos

−1

x

Tangent Inversi. Fungsi tangent inversi adalah

y = tan −1 x dengan nilai utama −

(6.17)

π π < tan −1 x < 2 2

Untuk fungsi ini, nilai y = ±(π / 2) tidak kita masukkan pada pembatasan untuk y karena nilai tangent akan menjadi tak hingga pada nilai y tersebut. Gb.6.10.a. memperlihatkan kurva y = tan −1 x lengkap sedangkan Gb.6.10.b. dibatasi pada nilai − 0,5π < y < 0.5π . 79

1,5π

y

π

0,5π

0,5π

y 0,25π

-3

-2

-1

0

-0,5π

0

1

2

3

x 0 -10

0

-5



-0,25π

-1,5π

-0,5π

a) Gb.6.10. Kurva

y = tan

b) −1

5

x 10

x

Jika kita mempertukarkan posisi sumbu-x dan sumbu-y pada Gb.6.10.b ini, kita akan memperoleh kurva pada Gb.6.5. yaitu kurva fungsi tangent, dalam rentang π π − < tan −1 x < 2 2 Inilah batas nilai-nilai utama fungsi tangent inversi.

Cotangent inversi. Fungsi ini diperoleh melalui hubungan π y = cot −1 x = − tan −1 x 2 dengan nilai utama 0 < cot −1 x < π

(6.18)

0 dan π tidak masuk dalam pembatasan y karena pada nilai tersebut y menjadi tak hingga. Hubungan (6.18) diperoleh dari segitiga siku-siku. Jika sudut lancip segitiga siku-siku adalah α dan β, maka β = π / 2 − α dan tan α = cot β . Oleh karena itu jika tan α = x maka cot β = x sehingga

cot −1 x = β = π / 2 − α = π / 2 − tan −1 x Kurva fungsi cotangent inversi terlihat pada Gb.6.11.

80 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral



y

0,5π

0 -10

0

-5

5

Gb.6.11. Kurva y = cot

x −1

10

x

Pertukaran posisi sumbu-x dan sumbu-y Gb.6.11. ini akan memberikan bentuk kurva fungsi cotangent pada Gb.6.6.

Fungsi Secan Inversi. Selanjutnya kita memperoleh fungsi secan inversi

y = sec−1 x = cos −1

1 x

(6.19)

dengan nilai utama 0 ≤ sec−1 x ≤ π . π

0,75π 0,5π 0,25 0 -4

-3

-2

-1

0

1

2

Gb.6.12. Kurva y = sec

3 −1

4

x

Fungsi Cosecan Inversi.

1 x π dengan nilai utama − ≤ csc−1 x ≤ π 2 2 csc −1 x = sin −1

(6.20)

81

Pertukaran posisi sumbu-x dan sumbu-y pada gambar kurva kedua fungsi terakhir ini juga akan memberikan bentuk kurva fungsi non-konversinya. 0,5π y 0,25π

0 -4

-3

-2

-1

0

1

2

3 x 4

-0,25π

-0,5π

Gb.6.12. Kurva y = csc−1 x

Hubungan Fungsi-Fungsi Inversi. Hubungan antara fungsi inversi dengan fungsi-fungsi non-inversi dapat kita cari dengan menggunakan gambar segitiga siku-siku. 1). Dari fungsi y = sin −1 x , yaitu sudut y yang sinus-nya adalah x dapat kita gambarkan segitiga siku-siku dengan sisi miring sama dengan 1 seperti terlihat di bawah ini. 1

x

y

1 − x2 Dari gambar ini selain fungsi y = sin −1 x dan sin y = x , kita dapat peroleh x cos y = 1 − x 2 , tan y = , dst. 1 − x2 2). Dari fungsi cosinus inversi y = cos −1 x dapat kita gambarkan segitiga siku-siku seperti di bawah ini. 82 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

1

1 − x2

y x Selain cos y = x dari gambar ini kita dapatkan

sin y = 1 − x 2 ,

tan y =

1 − x2 , x

dst.

3). Dari fungsi y = tan −1 x , kita gambarkan segitiga seperti di bawah ini.

1+ x2 x y 1 Selain tan y = x , kita peroleh

sin y =

x

1 + x2

cos y =

,

1 1 + x2

,

dst

4). Dari fungsi y = sec −1 x kita gambarkan

x

x2 −1

y 1 Dari gambar ini kita peroleh

tan y = 1 − x 2 , sin y =

x2 − 1 , dst. x 83

Soal-Soal: 1) Dari fungsi y = cot −1 x tentukan sin y dan cos y 2) Dari fungsi y = csc −1 x tentukan tan y dan cos y

84 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 7 Gabungan Fungsi Sinus 7.1. Fungsi Sinus Dan Cosinus Banyak peristiwa terjadi secara siklis sinusoidal, seperti misalnya gelombang cahaya, gelombang radio pembawa, gelombang tegangan listrik sistem tenaga, dsb. Peristiwa-peristiwa itu merupakan fungsi waktu, sehingga kita akan melihatnya dengan menggunakan waktu sebagai peubah bebas, dengan simbol t, satuan detik. Dalam peristiwa sinusoidal, jumlah siklus yang terjadi setiap detik disebut frekuensi siklus, dengan simbol f , dengan satuan Hertz (1 Hz = 1 siklus per detik). Jadi jika fungsi sinus memiliki perioda T0 maka 1 f0 = (7.1) T0 Sebagaimana dikemukakan di bab sebelumnya, kita menggunakan jumlah radian untuk menyatakan sudut. Karena satu siklus perubahan sudut bersesuaian dengan perubahan sebesar 2π radian, maka f siklus per detik bersesuaian dengan 2πf radian per detik. Jadi di samping frekuensi siklus f kita memiliki frekuensi sudut dengan simbol ω, dengan satuan radian per detik. Relasi antara frekuensi siklus (f) dengan frekuensi sudut (ω), dan juga dengan perioda (T0), adalah 2π ω = 2πf 0 = (7.2) T0 Suatu fungsi cosinus yang memiliki amplitudo (nilai puncak) A dituliskan sebagai  2πt   y = A cos ωt = A cos (7.3)   T0 

Catatan: Sebelum kita lanjutkan pembahasan kita, ada sedikit catatan yang perlu dicermati. Di bab sebelum ini kita menyatakan fungsi sinus y = sin(x) atau fungsi cosinus y = cos(x) dengan x sebagai peubah bebas dengan satuan radian. Pada (7.3) kita menyatakan fungsi cosinus y = cos ωt dengan t sebagai peubah bebas dengan satuan detik. Faktor ω-lah yang membuat satuan detik menjadi radian; ω disebut frekuensi susut, satuan rad/detik. 85

Gb.7.1. memperlihatkan kurva fungsi cosinus. Jika fungsi cosinus ini kita geser ke arah positif sebesar ¼ perioda kita akan mendapatkan fungsi sinus. Gb.7.2.

 2πt  π   y = A cos ωt −  = A sin ωt = A sin  2   T0 

(7.4)

y A

0

T0

t

0

-A

 2πt   Gb.7.1. Fungsi cosinus y = A cos ωt = A cos   T0  y A

T0

0 0

t

-A

 2πt  π  = A cos ωt −  Gb.7.2. Fungsi sinus y = A sin ωt = A sin  2   T0  Pergeseran fungsi cosinus sebesar Ts diperlihatkan pada Gb.7.3. Persamaan kurva cosinus tergeser ini adalah

 2πt 2πTs   − y = A cos ω(t − Ts ) = A cos T0   T0

86 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y A

T0

0 0

Ts

t

-A

Gb.7.3. Fungsi cosinus tergeser Kita perhatikan bahwa puncak pertama fungsi cosinus menunjukkan pergeseran. Pada Gb.7.1. pergeseran adalah nol. Pada Gb.7.3. pergeseran adalah Ts . Pada Gb.7.2. pergeseran adalah π/2 yang kemudian menjadi kurva fungsi sinus. Jadi akan sangat mudah menuliskan persamaan suatu fungsi sinusoidal sembarang, yaitu dengan menuliskannya dalam bentuk cosinus, dengan memasukkan pergeseran yang terjadi yaitu yang ditunjukkan oleh posisi puncak yang pertama. Untuk selanjutnya, peristiwa-peristiwa yang berubah secara sinusoidal kita nyatakan dengan menggunakan fungsi cosinus, yang dianggap sebagai bentuk normal Perhatikanlah bahwa Ts adalah pergeseran waktu dalam detik, sehingga fungsi sinusoidal dengan pergeseran Ts kita tuliskan (Gb.7.3)

y = A cos ω(t − Ts ) yang dapat pula kita tuliskan

y = A cos(ωt − ωTs ) Pada penulisan terakhir ini, ωTs mempunyai satuan radian, sama dengan satuan ωt. Selanjutnya 2πTs ϕ = ωTs = (7.5) T0 disebut sudut fasa dari fungsi cosinus dan menunjukkan posisi puncak pertama dari fungsi cosinus. Fungsi cosinus dengan sudut fasa ϕ kita tuliskan

y = cos(ωt − ϕ)

(7.6) 87

Jika ϕ = π/2 maka kita mempunyai fungsi sinus. Jadi untuk mengubah fungsi sinus ke dalam format normal (menggunakan fungsi cosinus) kita menambahkan pergeseran sebesar π/2 pada fungsi cosinus.

7.2. Kombinasi Fungsi Sinus. Dalam tinjauan selanjutnya, jika disebut fungsi sinus, yang dimaksudkan adalah fungsi sinus yang dinyatakan dalam bentuk normal, yaitu cosinus. Fungsi sinus adalah fungsi periodik. Fungsi-fungsi periodik lain yang bukan sinus, dapat dinyatakan sebagai jumlah dari fungsi-fungsi sinus. Atau dengan kata lain suatu fungsi periodik dapat diuraikan menjadi jumlah dari beberapa komponen sinus, yang memiliki amplitudo, sudut fasa, dan frekuensi yang berlainan satu sama lain. Dalam penguraian itu, fungsi akan terdiri dari komponen-komponen yang berupa komponen searah (nilai rata-rata dari fungsi), komponen sinus dengan frekuensi dasar f0 , dan harmonisa yang memiliki frekuensi harmonisa nf0 . Sebaliknya dapat juga dikatakan bahwa jumlah dari beberapa fungsi sinus yang memiliki amplitudo, frekuensi, serta sudut fasa yang berlainan, akan membentuk fungsi periodik, walaupun bukan berbentuk sinus. Gb.7.4. memperlihatkan beberapa bentuk fungsi periodik; bentuk fungsi-fungsi periodik ini tergantung macam komponen sinus yang menyusunnya. Frekuensi harmonisa adalah nilai frekuensi yang merupakan kelipatan bulat n dari frekuensi dasar f0. Frekuensi f0 kita sebut sebagai frekuensi dasar karena frekuensi inilah yang menentukan perioda T0 = 1/f0 . Frekuensi harmonisa dimulai dari harmonisa kedua (2fo), harmonisa ketiga (3f0), dan seterusnya, yang secara umum kita katakan harmonisa ke-n mempunyai frekuensi nf0 .

7.3. Spektrum Dan Lebar Pita. Spektrum. Jika kita menghadapi suatu fungsi periodik, kita bisa mempertanyakan bagaimana komponen-komponen sinusoidalnya. Bagaimana penyebaran amplitudo dan sudut fasa setiap komponen, atau dengan singkat bagaimana spektrum fungsi tersebut. Kita juga mempertanyakan bagaimana sebaran frekuensi dari komponenkomponen tersebut.

88 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y 4

y

4

0 -5

t

15 -4

y = 3 cos 2f0t

0 -5

15 -4

4

y = 1 + 3 cos 2f0t

y

0 -5

t

15

t

-4

y = 1 + 3 cos 2πf 0t − 2 cos(2π(2 f 0 )t )

1 -5

15 -4

y = 1 + 3 cos 2πf 0t − 2 cos(2π(2 f 0 )t + π / 4) Gb.7.4. Beberapa fungsi periodik. Berikut ini kita akan melihat suatu contoh fungsi yang dinyatakan dengan persamaan y = 10 + 30 cos(2πf 0t ) + 15 sin (2π(2 f 0 )t ) − 7,5 cos(2π(4 f 0 )t )

Fungsi ini merupakan jumlah dari satu komponen konstan dan tiga komponen sinus. Komponen konstan sering disebut komponen berfrekuensi nol karena y(t) = A cos(2πft) = A jika f = 0. Komponen sinus yang pertama adalah komponen sinus dasar karena komponen inilah yang mempunyai frekuensi paling rendah tetapi tidak nol. Suku ketiga dan keempat adalah harmonisa ke-2 dan ke-4; harmonisa ke-3 tidak ada. Fungsi ini dinyatakan dengan campuran fungsi sinus dan cosinus. Untuk melihat bagaimana spektrum fungsi ini, kita harus menuliskan tiap suku dengan bentuk yang sama yaitu bentuk normal (standar). Telah dikatakan 89

di depan bahwa bentuk normal pernyataan fungsi sinusoidal adalah menggunakan fungsi cosinus, yaitu y = A cos(2πft + ϕ) . Dengan menggunakan kesamaan

sin(2πft ) = cos(2πft − π / 2)

dan − cos(2πft ) = cos(2πft + π)

persamaan fungsi di atas dapat kita tulis y = 10 + 30 cos( 2πf 0t ) + 15 cos( 2π2 f 0t − π / 2) + 7,5 cos( 2π4 f 0t + π)

Dalam pernyataan terakhir ini semua suku telah kita tuliskan dalam bentuk standar, dan kita dapat melihat amplitudo dan sudut fasa dari tiap komponen seperti dalam tabel berikut. Frekuensi Amplitudo Sudut fasa

0 10 −

f0 30 0

2 f0 15 −π/2

4 f0 7,5 π

Fungsi yang kita ambil sebagai cintoh mungkin merupakan pernyataan suatu sinyal (dalam rangkaian listrik misalnya). Tabel ini menunjukkan apa yang disebut sebagai spektrum dari sinyal yang diwakilinya. Suatu spektrum sinyal menunjukkan bagaimana komposisi baik amplitudo maupun sudut fasa dari semua komponen cosinus sebagai fungsi dari frekuensi. Sinyal yang kita bahas ini berisi empat macam frekuensi, yaitu : 0, f0 , 2f0 , dan 4f0. Amplitudo dari setiap frekuensi secara berturut-turut adalah 10, 30, 15, dan 7,5 satuan (volt misalnya, jika ia adalah sinyal tegangan). Sudut fasa dari komponen sinus yang berfrekuensi f0 , 2f0 dan 4f0 berturut turut adalah 0, −π/2, dan π radian. Dari tabel tersebut di atas kita dapat menggambarkan dua grafik yaitu grafik amplitudo dan grafik sudut fasa, masing-masing sebagai fungsi frekuensi. Grafik yang pertama kita sebut spektrum amplitudo (Gb.7.5.a) dan grafik yang kedua kita sebut spektrum sudut fasa (Gb.7.5.b).

90 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Amplitudo

40 30 20 10 0 0

1

2

3

4

5

Frekuensi [×f0]

Gb.7.5.a. Spektrum Amplitudo

Sudut Fasa

2π π/2

0 0

1

2

3

4

5

−π/2 −2π

Frekuensi [×f0]

Gb.7.5.b. Spektrum sudut fasa. Penguraian fungsi periodik menjadi penjumlahan harmonisa sinus, dapat dilakukan untuk semua bentuk fungsi periodik dengan syarat tertentu. Fungsi persegi misalnya, yang juga periodik, dapat diuraikan menjadi jumlah harmonisa sinus. Empat suku pertama dari persamaan hasil uraian fungsi persegi ini adalah sebagai berikut :

A cos(2π3 f 0t − π / 2) 3 A A + cos(2π5 f 0t − π / 2) + cos(2π7 f 0t − π / 2) + .... 5 7

y = A cos(2πf 0t − π / 2) +

Dari persamaan ini, terlihat bahwa semua harmonisa mempunyai sudut fasa sama besar yaitu –π/2; amplitudonya menurun dengan meningkatnya frekuensi dengan faktor 1/n; tidak ada komponen konstan dan tidak ada harmonisa genap. Tabel amplitudo dan sudut fasa adalah seperti berikut.

91

Frekuensi:

0

f0

2f0

3f0

4f0

5f0

..

nf0

Amplitudo:

0

A

0

A/3

0

A/5

..

A/n

Sudut Fasa:

-

-π/2

-

-π/2

-

-π/2

..

-π/2

Gb.7.6. berikut ini memperlihatkan bagaimana fungsi persegi dibangun dari harmonisa-harmonisanya.

a)

c)

b)

d)

e)

Gb.7.10. Uraian fungsi persegi. a). sinus dasar. b). harmonisa-3 dan sinus dasar + harmonisa-3. c). harmonisa-5 dan sinus dasar + harmonisa-3 + harmonisa-5. d). harmonisa-7 dan sinus dasar + harmonisa-3 + harmonisa-5 + harmonisa-7. e) hasil penjumlahan yang dilakukan sampai pada harmonisa ke-21.

Lebar Pita. Dari contoh fungsi persegi di atas, terlihat bahwa dengan menambahkan harmonisa-harmonisa pada sinus dasarnya kita akan makin mendekati bentuk persegi. Penambahan ini dapat kita lakukan terus sampai ke suatu harmonisa tinggi yang memberikan bentuk fungsi yang kita anggap cukup memuaskan artinya cukup dekat dengan bentuk yang kita inginkan. Pada spektrum amplitudo, kita juga dapat melihat bahwa makin tinggi frekuensi harmonisa akan makin rendah amplitudonya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk fungsi persegi saja melainkan berlaku secara umum. Oleh karena itu secara umum kita dapat menetapkan suatu batas 92 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

frekuensi tertinggi dari suatu fungsi periodik, dengan menganggap amplitudo harmonisa-harmonisa yang frekuensinya di atas frekuensi tertinggi ini dapat diabaikan. Batas frekuensi tertinggi tersebut dapat kita tetapkan, misalnya frekuensi harmonisa yang amplitudonya tinggal 2% dari amplitudo sinus dasar. Jika batas frekuensi tertinggi kita tetapkan, batas frekuensi terendah juga perlu kita tetapkan. Batas frekuensi terendah adalah frekuensi sinus dasar jika bentuk fungsi yang kita tinjau tidak mengandung komponen konstan. Jika mengandung komponen konstan maka frekuensi terendah adalah nol. Selisih dari frekuensi tertinggi dan terendah disebut lebar pita (band width).

93

Soal-Soal: Fungsi Sinus, Gabungan Sinus, Spektrum 1.

Tentukan persamaan bentuk kurva fungsi sinus berikut ini dalam format cosinus y = A cos( x − x s ) : a). Amplitudo 10, puncak pertama terjadi pada x = 0, frekuensi siklus 10 siklus/skala. b). Amplitudo 10, puncak pertama terjadi pada x = 0,02, frekuensi siklus 10 siklus/skala. c). Amplitudo 10, pergeseran sudut fasa 0o, frekuensi sudut 10 rad/skala. d). Amplitudo 10, pergeseran sudut fasa +30o, frekuensi sudut 10 rad/skala.

2.

Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini y = 4 + 5 sin 2π2000t − 2 cos 2π4000t + 0,2 sin 2π8000t

Dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%, tentukan lebar pita fungsi ini. 3.

Ulangi soal sebelumnya untuk fungsi berikut. y = 3 cos(2π1000t − 60o ) - 2sin2π2000t + cos2π8000t

4.

Ulangi soal sebelumnya untuk fungsi berikut. y = 10 cos 100t + 2 cos 300t + cos 500t + 0.2 cos1500t + 0,02 cos 5000t

5.

Ulangi soal sebelumnya untuk fungsi berikut. y = 10 + 10 cos 2π500t + 3 cos 2π1000t + 2 cos 2π1500t + 0,2 cos 2π2000t

94 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 8 Fungsi Logaritma 4atural, Eksponensial, Hiperbolik 8.1. Fungsi Logarithma 4atural. Definisi. Logaritma natural adalah logaritma dengan menggunakan basis bilangan e. Bilangan e ini, seperti halnya bilangan π, adalah bilangannyata dengan desimal tak terbatas. Sampai dengan 10 angka di belakang koma, nilainya adalah e = 2,7182818284 Bilangan e merupakan salah satu bilangan-nyata yang sangat penting dalam matematika: (8.1) ln e = 1

ln e a = a ln e = a

(8.2)

Kita lihat sekarang fungsi logaritma natural. Fungsi logaritma natural dari x dituliskan sebagai (8.3) y = ln x Fungsi ini didefinisikan melalui integral (mengenai integrasi akan kita pelajari pada Bab-12), yaitu

ln x =

x1

∫1 t dt

(8.4)

Di sini kita akan melihat definisi tersebut secara grafis di mana integral dengan batas tertentu seperti (8.4) berarti luas bidang antara fungsi 1/t dan sumbu-x yang dibatasi oleh t = 1 dan t = x . Perhatikan Gb.8.1. Nilai fungsi y = ln x adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, dalam rentang antara t = 1 dan t = x. 6 y

5 4

1/t

3

ln x

2 1

t x 3 4 Gb.8.1. Definisi ln x ditunjukkan secara grafis. 0

0

1

2

95

Kurva fungsi y = ln x dalam koordinat x-y adalah seperti pada Gb.8.2. Nilai ln x = 1 terjadi pada nilai x = e. 2 y 1,5

y = ln x

1 0,5 0 -0,5

0

1

2

e 3

x

4

-1 -1,5 -2

Gb.8.2. Kurva y = ln x.

Sifat-Sifat. Sifat-sifat logaritma natural mirip dengan logaritma biasa. Jika x dan a adalah positif dan n adalah bilangan rasional, maka:

ln ax = ln a + ln x x ln = ln x − ln a; a ln x n = n ln x ln e = 1

(8.5)

ln e x = x ln x bernilai negatif untuk x < 1 Soal-Soal Dengan membagi luas bidang di bawah kurva (1/t) pada Gb.8.1 dalam segmen-segmen selebar ∆t = 0,1 dan mendekati luas segmen sebagai luas trapesium, hitunglah 1). ln 1,5

2). ln 2 ;

3). ln 0,5

96 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

8.2. Fungsi Eksponensial Antilogaritma dan Fungsi Eksponensial. Antilogaritma adalah inversi dari logaritma; kita melihatnya sebagai suatu fungsi x = ln y

(8.6)

Mengingat sifat logaritma sebagaimana disebutkan di atas, ekspresi ini ekivalen dengan

y = ex

(8.7)

yang disebut fungsi eksponensial. Fungsi eksponensial yang penting dan sering kita jumpai adalah fungsi eksponensial dengan eksponen negatif; fungsi ini dianggap mulai muncul pada x = 0 walaupun faktor u(x), yaitu fungsi anak tangga satuan, tidak dituliskan.

y = ae −bx ; x ≥ 0

(8.8)

Eksponen negatif ini menunjukkan bahwa makin besar bx maka nilai fungsi makin kecil. untuk suatu nilai b tertentu, makin besar x fungsi ini akan makin menurun. Makin besar b akan makin cepat penurunan tersebut. Dengan mengambil nilai a = 1, kita akan melihat bentuk kurva fungsi eksponensial (8.8) untuk beberapa nilai b, dalam rentang x ≥ 0 seperti terlihat pada Gb.8.3. Pada Gb.8.3. ini terlihat bahwa makin besar nilai b, makin cepat fungsi menurun. y 1

e− x

0,8

e−2x

0,6 0,4 0,2 0 0

0,5

1

1,5

2

2,5

Gb.8.3. Perbandingan kurva y = e

−x

3

3,5 x 4

dan y = e−2x.

97

Penurunan kurva fungsi eksponensial ini sudah mencapai sekitar 36% dari nilai awalnya (yaitu nilai pada x = 0), pada saat x = 1/b. Pada saat x = 5b kurva sudah sangat menurun mendekati sumbu-x, nilai fungsi sudah di bawah 1% dari nilai awalnya. Oleh karena itu fungsi eksponensial biasa dianggap sudah bernilai nol pada x = 5/b. Persamaan umum fungsi eksponensial dengan amplitudo A adalah

y = Ae − at u (t )

(8.9)

Faktor u(t) adalah fungsi anak tangga satuan untuk menyatakan bahwa kita hanya meninjau keadaan pada t ≥ 0. Fungsi ini menurun makin cepat jika a makin besar. Didefinisikanlah

τ=

1 a

(8.10)

sehingga (8.9) dituliskan

y = Ae −t / τu (t )

(8.11)

τ disebut konstanta waktu; makin kecil τ, makin cepat fungsi eksponensial menurun.

Gabungan Fungsi Eksponensial. Gabungan fungsi eksponensial yang banyak dijumpai dalam rekayasa adalah eksponensial ganda yaitu penjumlahan dua fungsi eksponensial. Kedua fungsi mempunyai amplitudo sama tetapi berlawanan tanda; konstanta waktu dari keduanya juga berbeda. Persamaan fungsi gabungan ini adalah

(

)

y = A e −t / τ1 − e −t / τ 2 u (t )

(8.12)

Bentuk kurva dari fungsi ini terlihat pada Gb.8.4. Fungsi ini dapat digunakan untuk memodelkan surja. Gelombang surja (surge) merupakan jenis pulsa yang awalnya naik dengan cepat sampai suatu nilai maksimum tertentu kemudian menurun dengan agak lebih lambat. Surja tegangan yang dibangkitkan untuk keperluan laboratorium berbentuk “mulus” namun kejadian alamiah yang sering dimodelkan dengan surja tidaklah mulus, misalnya arus terpaan petir.

98 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

A5

y1 = Ae − t / τ1 y 2 = Ae − t / τ2

4

(

y = A e − t / τ1 − e − t / τ2

3

)

2 1

00 0

1

2

3

4

t/ τ

5

Gb.8.4. Kurva gabungan dua fungsi eksponensial.

Soal-Soal 1.

Gambarkan dan tentukan persamaan kurva fungsi eksponensial yang muncul pada x = 0 dan konstanta τ , berikut ini : a). ya = amplitudo 5, τ = 2. b). yb = amplitudo 10, τ = 2. c). yc = amplitudo −5, τ = 4.

2.

Dari fungsi pada soal 10, gambarkanlah bentuk kurva fungsi berikut.

a). y d = y a + yb b). y e = y a + y c c). y f = y a + yb + y c 3.

Gambarkanlah bentuk kurva fungsi berikut.

{

} }u( x)

a). y1 = 10 1 − e −0,5 x u ( x)

{

b). y 2 = 10 − 5e

−0, 2 x

99

8.3. Fungsi Hiperbolik Definisi. Kombinasi tertentu dari fungsi eksponensial membentuk fungsi hiperbolik, seperti cosinus hiperbolik (cosh) dan sinus hiperbolik (sinh)

cosh v =

e v + e −v e v − e −v ; sinh v = 2 2

(8.13)

Persamaan (8.13) ini merupakan definisi dari cosinus hiperbolik dan sinus hiperbolik. Definisi ini mengingatkan kita pada fungsi trigonometri biasa cosinus dan sinus. Pada fungsi trigonometri biasa, jika x = cosθ dan y = sinθ maka fungsi sinus dan cosinus ini memenuhi persamaan “lingkaran satuan” (berjari-jari 1), yaitu

x 2 + y 2 = 1 = sin 2 θ + cos 2 θ . Pada fungsi hiperbolik, jika x = cosh v dan y = sinh v, maka fungsifungsi ini memenuhi persamaan “hiperbola satuan”:

x2 − y2 = 1 Hal ini dapat kita uji dengan mensubstitusikan cosh v untuk x dan sinh v untuk y dan kita akan mendapatkan bahwa persamaan “hiperbola satuan” akan terpenuhi. Kita coba:

e 2 v + 2 + e −2 v e 2 v − 2 + e −2 v 4 − = =1 x 2 − y 2 = cosh 2 v − sinh 2 v = 4 4 4 Bentuk kurva fungsi hiperbolik satuan terlihat pada Gb. 8.5. dengan

x = cosh v =

e v + e −v e v − e −v ; y = sinh v = 2 2 4 v=∞ y 3 2 v = 0 P[x,y] 1 x 0 1 2 3 4 -1 0 -2 -3 -4 Gb.8.5. Kurva fungsi hiperbolik satuan.

100 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Jika kita masukkan

x = cosh v =

e v + e −v e v − e −v ; y = sinh v = 2 2

maka titik P[x,y] akan berada di bagian positif kurva tersebut. Karena ev selalu bernilai positif dan e−v = 1/ev juga selalu positif untuk semua nilai nyata dari v, maka titik P[x,y] selalu berada di bagian positif (sebelah kanan sumbu-y) kurva hiperbolik. Mirip dengan fungsi trigonometri, fungsi hiperbolik yang lain didefinisikan sebagai

tanh v =

sinh v e v − e −v ; = cosh v e v + e − v

coth v =

cosh v e v + e −v = sinh v e v − e − v

(8.14)

sech v =

1 2 = ; cosh v ev + e − v

csch v =

1 2 = sinh v ev − e − v

(8.15)

Identitas. Beberapa identitas fungsi hiperbolik kita lihat di bawah ini. 1). cosh 2 v − sinh 2 v = 1 . Identitas ini telah kita buktikan di atas. Identitas ini mirip dengan identitas fungsi trigonometri biasa. 2). 1 − tanh 2 v = sech 2v . Identitas ini diperoleh dengan membagi identitas pertama dengan cosh2v. 3). coth 2 v − 1 = csch 2 v . Identitas ini diperoleh dengan membagi identitas pertama dengan sinh2v. 4). cosh v + sinh v = eu . Ini merupakan konsekuensi definisinya. 5).

cosh v − sinh v = e −u . definisinya.

Ini

juga

merupakan

konsekuensi

101

Kurva-Kurva Fungsi Hiperbolik. Gb.8.6 berikut ini memperlihatkan kurva fungsi-fungsi hiperbolik.

y

4 3 2 1

1 x e 2 -2

y = sinh x

0 -1

0

-1

1

2



-2

x

1 −x e 2

-3 -4

(a)

4

y

y = cosh x 3 2 1

y = sech x

0 -2

-1

0

1

x

2

-1

b)

4

y = cosh x y

3 2 1

1 x e 2 -2

y = sinh x

0 -1

-1

0

1

2

x

-2 -3

c)

-4

102 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y

4 3

y = coth x

2 1

y = tanh x

0 -2

-1

-1

y = coth x

0

1

x

2

-2 -3 -4

d)

y

4

y = cschx

3

y = sinh x

2 1 0 -2

-1

-1

0

1

x

2

-2

y = cschx

-3 -4

e) Gb.8.6. Kurva-kurva fungsi hiperbolik.

103

Soal-Soal 1). Turunkan relasi sinh(u + v) dan cosh(u + v) . 2). Diketahui sinh v = −3 / 4 . Hitung cosh v, coth v, dan csch v. 3). Diketahui sinh v = −3 / 4 . Hitung cosh v, tanhv, dan sech v.

104 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 9 Turunan Fungsi-Fungsi (1) (Fungsi Mononom, Fungsi Polinom) 9.1. Pengertian Dasar Kita telah melihat bahwa apabila koordinat dua titik yang terletak pada suatu garis lurus diketahui, misalnya [x1,y1] dan [x2,y2], maka kemiringan garis tersebut dinyatakan oleh persamaan

m=

∆y ( y2 − y1) = ∆x ( x2 − x1)

(9.1)

Untuk garis lurus, m bernilai konstan dimanapun titik [x1,y1] dan [x2,y2] berada. Bagaimanakah jika yang kita hadapi bukan garis lurus melainkan garis lengkung? Perhatikan Gb.9.1. y = f(x) P2

y

∆y P1 ∆x x

(a) y = f(x)

y P′2

∆y′

P1 ∆x′

x (b) Gb.9.1. Tentang kemiringan garis. Pada Gb.9.1.a. ∆y/∆x merupakan kemiringan garis lurus P1P2 dan bukan kemiringan garis lengkung y = f(x). Jika ∆x kita perkecil, seperti terlihat pada Gb.9.1.b., ∆y/∆x menjadi ∆y′/∆x′ yang merupakan kemiringan garis lurus P1P′2. Jika ∆x terus kita perkecil maka kita dapatkan 105

kemiringan garis lurus yang sangat dekat dengan titik P1, dan jika ∆x mendekati nol maka kita mendapatkan kemiringan garis singgung kurva y di titik P1. Jadi jika kita mempunyai persamaan garis y = f (x) dan melihat pada suatu titik tertentu [x,y], maka pada kondisi dimana ∆x mendekati nol, persamaan (9.1) dapat kita tuliskan

lim

∆x → 0

∆y f ( x + ∆x) − f ( x) = lim = f ′( x) ∆x ∆x →0 ∆x

(9.2)

f ′(x) merupakan fungsi dari x karena untuk setiap posisi titik yang kita tinjau f ′(x) memiliki nilai berbeda; f ′(x) disebut fungsi turunan dari f (x) , dan kita tahu bahwa dalam hal garis lurus, f ′(x) bernilai konstan dan merupakan kemiringan garis lurus tersebut. Jadi formulasi (9.1) tidak hanya berlaku untuk garis lurus. Jika ∆x mendekati nol, maka ia dapat diaplikasikan juga untuk garis lengkung, dengan pengertian bahwa kemiringan m adalah kemiringan garis lurus yang menyinggung kurva lengkung di titik [x,y]. Perhatikan Gb. 9.2. y (x2,y2) (x1,y1)

x Gb.9.2. Garis singgung pada garis lengkung. Jika fungsi garis lengkung adalah y = f (x) maka f ′(x) pada titik [x1,y1] adalah kemiringan garis singgung di titik [x1,y1], dan f ′(x) di titik (x2,y2) adalah kemiringan garis singgung di [x2,y2]. Bagaimana mencari f ′(x) akan kita pelajari lebih lanjut.

∆y seperti yang dinyatakan oleh ∆x (9.2) benar ada, fungsi f(x) memiliki turunan di titik tersebut dan dikatakan sebagai “dapat didiferensiasi di titik tersebut” dan nilai Jika pada suatu titik x1 di mana lim

∆x → 0

106 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

∆y merupakan nilai turunan di titik tersebut (ekivalen dengan ∆x → 0 ∆x kemiringan garis singgung di titik tersebut). lim

Persamaan (9.2) biasanya ditulis

dy d ∆y = ( y ) = lim dx dx ∆x → 0 ∆x f ( x + ∆x) − f ( x) = lim = f ′( x) ∆x ∆x →0

(9.3)

dy kita baca “turunan terhadap x dari fungsi y”, atau “turunan fungsi y dx terhadap x”. Penurunan ini dapat dilakukan jika y memang merupakan fungsi x. Jika tidak, tentulah penurunan itu tidak dapat dilakukan. Misalnya y merupakan fungsi t , y = f (t ) ; maka penurunan y hanya bisa dilakukan terhadap t, tidak terhadap x. y′ =

dy df (t ) = = f ′(t ) dt dt

9.2. Fungsi Mononom Kita lihat uraian-uraian berikut ini. 1). y0 = f ( x) = k , bernilai konstan. Di sini

y0′ = lim

∆x → 0

f ( x + ∆x) − f ( x) 0 = =0 ∆x ∆x

2). y1 = f1( x) = 2 x ⇒ f1′( x) = lim 2( x + ∆x) − 2 x = 2∆x = 2 ∆x → 0 ∆x ∆x

107

y

10 8

f 1 ( x) = 2 x

6 4

f1′( x) = 2

2 0 0

1

2

3

x 4

5

Gb.9.3. Fungsi mononom y = 2x dan turunannya. Kurva f1′( x) membentuk garis lurus sejajar sumbu-x; ia bernilai konstan 2 untuk semua x. 3). y2 = f 2 ( x) = 2 x 2

2( x + ∆x) 2 − 2 x 2 2( x 2 + 2 x∆x + ∆x 2 ) − 2 x 2 = lim ∆x ∆x →0 ∆x → 0 ∆x = lim (2 × 2 x + 2∆x) = 4 x

f 2′ ( x) = lim

∆x →0

Turunan fungsi ini membentuk kurva garis lurus dengan kemiringan 4. 4). y3 = f 3 ( x) = 2 x 3 2( x + ∆x)3 − 2 x 3 ∆x ∆x → 0

f 3′ ( x) = lim

2( x 3 + 3 x 2 ∆x + 3 x∆x 3 + ∆x 3 ) − 2 x 3 ∆x ∆x → 0

= lim

= lim 2 × 3 x 2 + 2 × 3 x∆x 2 + 2∆x 2 = 6 x 2 ∆x → 0

Turunan fungsi ini membentuk kurva parabola.

108 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

5). Secara umum, turunan mononom

y = f ( x ) = mx n

(9.4)

y′ = (m × n) x ( n −1)

(9.5)

adalah

Jika n pada (9.4) bernilai 1 maka kurva fungsi y = f (x) akan berbentuk garis lurus dan turunannya akan berupa nilai konstan,

y′ = f ′( x) = k Jika n > 1, maka turunan fungsi akan merupakan fungsi x, y′ = f ′(x) . Dengan demikian maka fungsi turunan ini dapat diturunkan lagi dan kita mendapatkan fungsi turunan berikutnya y′′ = f ′′(x) yang mungkin masih juga merupakan fungsi x dan masih dapat diturunkan lagi untuk memperoleh fungsi turunan berikutnya lagi

y′′′ = f ′′′(x) dan demikian seterusnya. y ′ = f ′( x) =

dy kita sebut turunan pertama, dx

y ′′ = f ′′( x) =

d 2 y turunan kedua, dx 2

y ′′′ = f ′′′( x) =

d 3 y turunan ke-tiga, dst. dx 3

Contoh: y4 = f 4 ( x) = 2 x 3 y′4 = 2(3) x (3−1) = 6 x 2 ;

y4′′ = 6(2) x (2 −1) = 12 x;

y4′′′ = 12

6) Dari (9.4) dan (9.5) kita dapat mencari titik-potong antara kurva suatu fungsi dengan kurva fungsi turunannya. Fungsi

mononom

y = f ( x ) = mx n

memiliki

turunan

y′ = (m × n) x ( n −1) . Koordinat titik potong P antara kurva mononom f(x) dengan turunan pertamanya diperoleh dengan 109

y = y′ → mx n = (m × n) x ( n −1) ⇒ xP = n dan yP = mxPn Koordinat titik potong kurva mononom dengan kurva-kurva turunan selanjutnya dapat pula dicari. Gb.9.4. memperlihatkan kurva mononom y = x 4 dan turunanturunannya y′ = 4x 3 , y′′ = 12x 2 , y′′′ = 24 x , y′′′′ = 24 .

200

y ′′ = 12x 2

y = x4

y ′ = 4x 3 100

y ′′ = 12x

y ′′′ = 24 x

2

y ′′′′ = 24

0 -3

-2

-1

y ′ = 4x 3

0

1

2

3

4

-100

Gb.9.4. Mononom dan fungsi turunan-nya.

9.3. Fungsi Polinom Polinom merupakan jumlah terbatas dari mononom. Kita lihat contohcontoh berikut. 1). y1 = f1 ( x) = 4 x + 2

f1′( x) = lim

∆x → x

{4( x + ∆x) + 2} − {4 x + 2} = 4 ∆x

Kurva fungsi ini dan turunannya terlihat pada Gb.9.5.

110 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

10 y

f1(x) = 4x + 2

8 6

f1′(x) = 4

4 2 0 -1

-0,5

-2

0,5

0

1

1,5

x

2

-4

Gb.9.5. f1(x) = 4x + 2 dan turunannya. Suku yang bernilai konstan pada f1(x), berapapun besarnya, positif maupun negatif, tidak memberikan kontribusi dalam fungsi turunannya. 2). y2 = f 2 ( x) = 4( x − 2) ⇒ f 2 ( x) = 4 x − 8 ⇒ f 2′ ( x) = 4 10 y

f 2′ ( x) = 4

5 0 -1

0

1

2

3

x

4

-5 -10

f 2 ( x ) = 4( x − 2)

-15

Gb.9.6. f2(x) = 4(x – 2) dan turunannya. 3). y3 = f 3 ( x) = 4 x 2 + 2 x − 5

{4( x + ∆x)

2

}{

}

+ 2( x + ∆x ) − 5 − 4 x 2 + 2 x − 5 ∆x ∆x → 0 = 4 × 2x + 2 = 8x + 2

y3′ = lim

4). y4 = f 4 ( x) = 5 x3 + 4 x 2 + 2 x − 5 y4′ = lim

∆x → 0

{5( x + ∆x)

3

}{

}

+ 4( x + ∆x) 2 + 2( x + ∆x) − 5 − 5 x 3 + 4 x 2 + 2 x − 5 ∆x

= 5 × 3x 2 + 4 × 2 x + 2 = 15 x 2 + 8x + 2

111

5) Secara Umum: Turunan suatu polinom, yang merupakan jumlah beberapa mononom, adalah jumlah turunan masing-masing mononom dengan syarat setiap mononom yang membentuk polinom itu memang memiliki turunan.

9.4. 4ilai Puncak Kita telah melihat bahwa turunan fungsi di suatu nilai x merupakan kemiringan garis singgung terhadap kurva fungsi di titik [x,y]. Jika titik [xp,yp] adalah titik puncak suatu kurva, maka garis singgung di titik [xp,yp] tersebut akan berupa garis mendatar yang kemiringannya nol. Dengan kata lain posisi titik puncak suatu kurva adalah posisi titik di mana turunan pertama fungsi bernilai nol.

Polinom Orde Dua. Kita ambil contoh fungsi polinom orde dua (fungsi kuadrat):

y = 2 x 2 + 15 x + 13 Turunan pertama fungsi ini adalah y′ = 4 x + 15 Jika kita beri y ′ = 0 maka kita dapatkan nilai xp dari titik puncak yaitu xp = −(15/4) = −3,75 Jika nilai xp ini kita masukkan ke fungsi asalnya, maka akan kita dapatkan nilai puncak yp.

y p = 2 x p 2 + 15 x p + 13 = 2(-3,75)2 + 15 × (−3,75) + 13 = −15,125 Secara umum, xp dari fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c dapat diberoleh dengan membuat

y′ = 2ax + b = 0

(9.6)

sehingga diperoleh

xp = −

b 2a

(9.7)

112 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Nilai puncak, yp dari fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c dapat diperoleh dengan memasukkan xp

y p = ax p 2 + bx p + c = −

b2 b 2 − 4ac +c=− 4a 4a

(9.8)

Maksimum dan Minimum. Bagaimanakah secara umum menentukan apakah suatu nilai puncak merupakan nilai minimum atau maksimum? Kita manfaatkan karakter turunan kedua di sekitar nilai puncak. Lihat Gb.9.7.

P

y

y′ y′

x Q

Gb.9.7. Garis singgung di sekitar titik puncak. Turunan pertama di suatu titik pada kurva adalah garis singgung pada kurva di titik tersebut. Di sekitar titik maksimum, mulai dari kiri ke kanan, kemiringan garis singgung terus menurun sampai menjadi nol di titik puncak kemudian menjadi negatif. Ini berarti turunan pertama y′ di sekitar titik maksimum terus menurun dan berarti pula turunan kedua di titik maksimum bernilai negatif. Sebaliknya, di sekitar titik minimum, mulai dari kiri ke kanan, kemiringan garis singgung terus meningkat sampai menjadi nol di titik puncak kemudian menjadi positif. Ini berarti turunan pertama y′ di sekitar titik minimum terus menurun dan berarti pula turunan kedua di titik minimum bernilai positif. Jadi apabila turunan kedua di titik puncak bernilai negatif, titik puncak tersebut adalah titik maksimum. Apabila turunan kedua di titik puncak bernilai positif, titik puncak tersebut adalah titik minimum.

113

Dalam kasus fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c , turunan pertama adalah y′ = 2ax + b dan turunan kedua adalah y′′ = 2a . Jadi pada fungsi kuadrat, apabila a bernilai positif maka ia memiliki nilai minimum; jika a negatif ia memiliki nilai maksimum.

Contoh: Kita lihat kembali contoh fungsi kuadrat yang dibahas di atas.

y = 2 x 2 + 15 x + 13 Nilai puncak fungsi ini adalah y p = −15,125 dan ini merupakan nilai minimum, karena turunan keduanya y′′ = 4 adalah positif. Lihat pula Gb.10.5.c.

Contoh: Kita ubah contoh di atas menjadi:

y = −2 x 2 + 15 x + 13 Turunan pertama fungsi menjadi

y′ = −4 x + 15 , yang jika y′ = 0 memberi x p = +3,75 Nilai puncak adalah

y p = −2(3,75)^ 2 + 15 × 3,75 + 13 = +41,125 Turunan kedua adalah y′′ = −4 bernilai negatif. Ini berarti bahwa nilai puncak tersebut adalah nilai maksimum.

Contoh: Dua buah bilangan positif berjumlah 20. Kita diminta menentukan kedua bilangan tersebut sedemikian rupa sehingga perkaliannya mencapai nilai maksimum, sementara jumlahnya tetap 20. Jika salah satu bilangan kita sebut x maka bilangan yang lain adalah (20−x). Perkalian antara keduanya menjadi

y = x(20 − x) = 20 x − x 2 Turunan pertama yang disamakan dengan nol akan memberikan nilai x yang memberikan ypuncak.

y′ = 20 − 2 x = 0 memberikan x = 10 114 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

dan nilai puncaknya adalah

y puncak = 200 − 100 = 100 Turunan kedua adalah y′′ = −2 ; ia bernilai negatif. Jadi ypuncak yang kita peroleh adalah nilai maksimum; kedua bilangan yang dicari adalah 10 dan (20−10) = 10. Kurva dari fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.9.8. y

120 100 80 60 40 20

0 -5 -20 0 -40

5

10

15

20

x 25

Gb.9.8. Kurva y = x(20 − x)

Kurva tersebut memotong sumbu-x di

y = x(20 − x) = 0 ⇒ x1 = 0 dan x2 = 20 Dalam contoh di atas kita memperoleh hanya satu nilai maksimum; semua nilai x yang lain akan memberikan nilai y dibawah nilai maksimum ypuncak yang kita peroleh. Nilai maksimum demikian ini kita sebut nilai maksimum absolut. Jika seandainya ypuncak yang kita peroleh adalah nilai minimum, maka ia akan menjadi minimum absolut, seperti pada contoh berikut.

Contoh: Dua buah bilangan positif berselisih 20. Kita diminta menentukan kedua bilangan tersebut sedemikian rupa sehingga perkaliannya mencapai nilai minimum, sementara selisihnya tetap 20. Jika salah satu bilangan kita sebut x (positif) maka bilangan yang lain adalah (x + 20). Perkalian antara keduanya menjadi 115

y = x( x + 20) = x 2 + 20 x Turunan pertama yang disamakan dengan nol akan memberikan nilai x yang memberikan ypuncak.

y′ = 2 x + 20 = 0 sehingga x = −10 dan nilai puncak adalah

y puncak = 100 − 200 = −100 Turunan kedua adalah y′′ = +2 ; ia bernilai positif. Jadi ypuncak yang kita peroleh adalah nilai minimum; kedua bilangan yang dicari adalah −10 dan (−10+20) = +10. Kurva fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.9.9. y 40 20 -25

-20

-15

-10

0 -5 -20 0

x 5

-40 -60 -80 -100 -120

Gb.9.9. Kurva y = x( x + 20)

Polinom Orde Tiga. Fungsi pangkat tiga diberikan secara umum oleh

y = ax3 + bx 2 + cx + d

(9.10)

Turunan dari (10.29) adalah

y′ = 3ax 2 + 2bx + c

(9.11)

Dengan membuat y ′ = 0 kita akan mendapatkan xp.

y′ = 0 = 3ax p 2 + 2bx p + c Ada dua posisi nilai puncak, yaitu 116 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

x p1, x p 2 = =

− 2b ± 4b 2 − 12ac 6a

(9.12)

2

− b ± b − 3ac 3a

Dengan memasukkan xp1 dan xp2 ke penyataan fungsi (10.11) kita peroleh nilai puncak yp1 dan yp2. Namun bila xp1 = xp2 berarti dua titik puncak berimpit atau kita sebut titik belok.

Contoh: Kita akan mencari di mana letak titik puncak dari kurva fungsi y = 2 x 3 − 3x 2 + 3 dan apakah nilai merupakan nilai minimum atau maksimum.

puncak

Jika turunan pertama fungsi ini kita samakan dengan nol, akan kita peroleh nilai x di mana puncak-puncak kurva terjadi.

y′ = 6 x 2 − 6 x = 6 x( x − 1) = 0 memberikan x = 0 dan x = 1 Memasukkan nilai x yang diperoleh ke persamaan asalnya memberikan nilai y, yaitu nilai puncaknya.

x = 0 memberikan y puncak = +3 x = 1 memberikan y puncak = +2 Jadi posisi titik puncak adalah di P[0,3] dan Q[1,2]. Apakah nilai puncak ypuncak minimum atau maksimum kita lihat dari turunan kedua dari fungsi y

y′′ = 12 x − 6 Untuk x = 0 ⇒ y′′ = −6 Untuk x = 1 ⇒ y′′ = +6 Jadi nilai puncak di P[0,3] adalah suatu nilai maksimum, sedangkan nilai puncak di Q[1,2] adalah minimum. Kurva dari fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.9.10.

117

15

y 10

P[0,3]

Q[1,2]

R

5 0 -2

-1,5

-1

-0,5

-5

-10

0

0,5

1

1,5

2

x

2,5

ys

-15 -20 3

Gb.9.10. Kurva y = 2 x − 3x 2 + 3 dan garis singgung di R.

9.5. Garis Singgung Persamaan garis singgung pada titik R yang terletak di kurva suatu fungsi y = f (x) secara umum adalah y s = mx dengan kemiringan m adalah turunan pertama fungsi di titik R.

Contoh: Lihat fungsi y = 2 x 3 − 3x 2 + 3 yang kurvanya diberikan pada Gb.9.10. Turunan pertama adalah y′ = 6 x 2 − 6 x = 6 x( x − 1) . Titik R dengan absis xR = 2 , memiliki ordinat yR = 2 × 8 − 3 × 4 + 3 = 7 ; jadi koordinat R adalah R(2,7). Kemiringan garis singgung di titik R adalah m = 6 × 2 × 1 = 12 . Persamaan garis singgung ys = 12 x + K . Garis ini harus melalui R(2,7) dengan kata lain koordinat R harus memenuhi persamaan garis singgung. Jika koordinat R kita masukkan ke persamaan garis singgung akan kita dapatkan nilai K.

ys = 12 x + K ⇒ 7 = 12 × 2 + K ⇒ K = 7 − 24 = −17 . Persamaan garis singgung di titk R adalah ys = 12 x − 17

118 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

9.6. Contoh Hubungan Diferensial Berikut ini adalah beberapa contoh relasi diferensial. (ref. [3] Bab-2)

Arus Listrik. Arus litrik adalah jumlah muatan listrik yang mengalir per detik, melalui suatu luas penampang tertentu. Ia merupakan laju aliran muatan. Kalau arus diberi simbol i dan muatan diberi simbol q maka

dq dt Satuan arus adalah ampere (A), satuan muatan adalah coulomb (C). Jadi 1 A = 1 C/detik. i=

Tegangan Listrik. Tegangan listrik didefinisikan sebagai laju perubahan energi per satuan muatan. Kalau tegangan diberi simbol v dan energi diberi simbol w, maka dw v= dq Satuan daya adalah watt (W). Satuan energi adalah joule (J). Jadi 1 W = 1 J/detik.

Daya Listrik. Daya listrik didefinisikan sebagai laju perubahan energi. Jika daya diberi simbol p maka

p=

dw dt

Dari definisi tegangan dan arus kita dapatkan

p=

dw dw dq = = vi dt dq dt

Karakteristik Induktor. Karakteristik suatu piranti listrik dinyatakan dengan relasi antara arus yang melewati piranti dengan tegangan yang ada di terminal piranti tersebut. Jika L adalah induktansi induktor, vL dan iL masing-masing adalah tegangan dan arus-nya, maka relasi antara arus dan tegangan induktor adalah di vL = L L dt Karakteristik Kapasitor. Untuk kapasitaor, jika C adalah kapasitansi kapasitor, vC dan iC adalah tegangan dan arus kapasitor, maka

iC = C

dvc dt 119

Soal-Soal 1.

Carilah turunan fungsi-fungsi berikut untuk kemudian menentukan nilai puncak

y1 = 5 x 2 − 10 x − 7; y2 = 3 x 2 − 12 x + 2 ; y3 = −4 x 2 + 2 x + 8 2.

Carilah turunan fungsi-fungsi berikut untuk kemudian menentukan nilai puncak

y1 = 2 x 3 − 5 x 2 + 4 x − 2 ; y2 = x 4 − 7 x 3 + 2 x 2 + 6 ; y3 = 3 x 7 − 7 x 3 + 21x 2

120 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 10 Turunan Fungsi-Fungsi (2) (Fungsi Perkalian Fungsi, Fungsi Pangkat Dari Fungsi, Fungsi Rasional, Fungsi Implisit) 10.1. Fungsi Yang Merupakan Perkalian Dua Fungsi Misalkan kita memiliki dua fungsi x, v(x) dan w(x) , dan kita hendak mencari turunan terhadap x dari fungsi y = vw . Misalkan nilai x berubah sebesar ∆x, maka fungsi w berubah sebesar ∆w, fungsi v berubah sebesar ∆v, dan fungsi y berubah sebesar ∆y. Perubahan ini terjadi sedemikian rupa sehingga setelah perubahan sebesar ∆x hubungan y = vw tetap berlaku, yaitu

( y + ∆y ) = (v + ∆v)( w + ∆w) = (vw + v∆w + w∆v + ∆w∆v)

(10.1)

Dari sini kita dapatkan

∆y ( y + ∆y ) − y ( wv + v∆w + w∆v + ∆w∆v) − vw = = ∆x ∆x ∆x ∆w ∆v ∆v∆w =v +w + ∆x ∆x ∆x

(10.2)

Jika ∆x mendekati nol maka demikian pula ∆v dan ∆w, sehingga ∆v∆w ∆x juga mendekati nol. Persamaan (10.2) akan memberikan dy d (vw) dw dv = =v +w dx dx dx dx

(10.3)

Inilah formulasi turunan fungsi yang merupakan hasilkali dari dua fungsi.

Contoh: Kita uji kebenaran formulasi ini dengan melihat suatu fungsi mononom y = 6 x 5 yang kita tahu turunannya adalah y ′ = 30 x 4 . Kita pandang sekarang fungsi y sebagai perkalian dua fungsi y = vw dengan v = 2 x 3 dan w = 3x 2 . Menurut (10.3) turunan dari y menjadi 121

y′ =

d (2 x 3 × 3x 2 ) = 2 x 3 × 6 x + 3x 2 × 6 x 2 = 12 x 4 + 18x 4 = 30 x 4 dx

Ternyata sesuai dengan apa yang diharapkan. Bagaimanakah d (uvw) jika u, v, w ketiganya adalah fungsi x. Kita dx aplikasikan (10.3) secara bertahap seperti berikut. d (uvw) d (uv)( w) dw d (uv) = = (uv) +w dx dx dx dx dw dv du   = (uv) + wu +v  dx dx   dx dw dv du = (uv) + (uw) + (vw) dx dx dx

(10.4)

Contoh: Kita uji formula ini dengan mengambil fungsi penguji sebelumnya, yaitu y = 6 x 5 yang kita tahu turunannya adalah

y ′ = 30 x 4 . Kita pandang sekarang fungsi y sebagai perkalian tiga fungsi y = uvw dengan u = 2 x , v = 3x 2 , dan w = x . Menurut (10.9) turunan dari y adalah

dy d (uvw) = = (2 x 2 × 3x 2 )(1) + (2 x 2 × x)(6 x) dx dx + (3x 2 × x)(4 x) = 6 x 4 + 12 x 4 + 12 x 4 = 30 x 4 Ternyata sesuai dengan yang kita harapkan.

10.2. Fungsi Yang Merupakan Pangkat Dari Suatu Fungsi Yang dimaksud di sini adalah bagaimana turunan dy jika y = vn dengan dx v adalah fungsi x, dan n adalah bilangan bulat. Kita ambil contoh fungsi

y1 = v 6 = v 3 × v 2 × v dengan v merupakan fungsi x. aplikasikan formulasi (10.4) akan kita dapatkan

Jika kita

122 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

dy1 dv dv 2 dv 3 = (v 3 v 2 ) + (v 3 v ) + (v 2 v ) dx dx dx dx  dv dv dv  dv 2  dv = v5 + v4 v + v  + v3 v2 +v  dx dx dx  dx  dx  dv dv dv dv   dv = v5 + 2v 5 + v5 + v4v +v  dx dx dx dx dx   dv = 6v 5 dx

   

Contoh ini memperlihatkan bahwa

dv 6 dv 6 dv dv = = 6v 5 dx dv dx dx yang secara umum dapat kita tulis

dv n dv = nv n −1 dx dx

(10.5)

Contoh: Kita ambil contoh yang merupakan gabungan antara perkalian dan pangkat dua fungsi.

y = ( x 2 + 1) 3 ( x 3 − 1) 2 Kita gabungkan relasi turunan untuk perkalian dua fungsi dan pangkat suatu fungsi.

dy d ( x 3 − 1) 2 d ( x 2 + 1) 3 = ( x 2 + 1) 3 + ( x 3 − 1) 2 dx dx dx = ( x 2 + 1) 3 2( x 3 − 1)(3 x 2 ) + ( x 3 − 1) 2 3( x 2 + 1) 2 2 x = 6 x 2 ( x 2 + 1) 3 ( x 3 − 1) + 6 x( x 3 − 1) 2 ( x 2 + 1) 2 = 6 x( x 3 − 1)( x 2 + 1) 2 (2 x 3 + x − 1)

123

10.3. Fungsi Rasional Fungsi rasional merupakan rasio dari dua fungsi v y= w

(10.6)

Tinjauan atas fungsi demikian ini hanya terbatas pada keadaan w Kita coba memandang fungsi ini sebagai perkalian dari dua fungsi:

y = vw −1

≠ 0.

(10.7)

Kalau kita aplikasikan (10.3) pada (10.7) kita peroleh

dy d  v  d (vw −1 ) dw −1 dv = =v + w −1  = dx dx  w  dx dx dx dv dv − v dv 1 dv = −vw −2 + w −1 = + dx dx w 2 dx w dx =

dw  1  dv −v w  2  dx dx  w

dw   dv −v w  d  v   dx dx  =   dx  w  w2

atau

(10.8)

Inilah formulasi turunan fungsi rasional. Fungsi v dan w biasanya merupakan polinom dengan v mempunyai orde lebih rendah dari w. (Pangkat tertinggi peubah x dari v lebih kecil dari pangkat tertinggi peubah x dari w).

Contoh: 2 1). y = x − 3 x3

dy x 3 (2 x) − ( x 2 − 3)(3x 2 ) = dx x6 =

2 x 4 − (3 x 4 − 9 x 2 )

x6

=

− x2 + 9 x4

2). y = x 2 + 1 x2 124 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

2 dy x 2 × 0 − 1× 2x = 2x + = 2x − 4 dx x3 2 3). y = x + 1 ; dengan x 2 ≠ 1 (agar penyebut tidak nol) x2 −1

dy ( x 2 − 1)2 x − ( x 2 + 1)2 x = dx ( x 2 − 1) 2 =

2x 3 − 2x − 2x 3 − 2x 2

( x − 1)

2

=

− 4x 2

( x − 1) 2

10.4. Fungsi Implisit Sebagian fungsi implisit dapat diubah ke dalam bentuk explisit namun sebagian yang lain tidak. Untuk fungsi yang dapat diubah dalam bentuk eksplisit, turunan fungsi dapat dicari dengan cara seperti yang sudah kita pelajari di atas. Untuk mencari turunan fungsi yang tak dapat diubah ke dalam bentuk eksplisit perlu cara khusus, yang disebut diferensiasi implisit. Dalam cara ini kita menganggap bahwa fungsi y dapat didiferensiasi terhadap x. Kita akan mengambil beberapa contoh. Contoh: 1).

x 2 + xy + y 2 = 8 . Fungsi implisit ini merupakan sebuah persamaan. Jika kita melakukan operasi matematis di ruas kiri, maka operasi yang sama harus dilakukan pula di ruas kanan agar kesamaan tetap terjaga. Kita lakukan diferensiasi (cari turunan) di kedua ruas, dan kita akan peroleh dy dx dy +y + 2y =0 dx dx dx dy ( x + 2 y) = −2 x − y dx 2x + x

Untuk titik-titik di mana ( x + 2 y ) ≠ 0 kita peroleh turunan

dy 2x + y =− dx x + 2y Untuk suatu titik tertentu, misalnya [1,2], maka

125

dy 2+2 =− = −0,8 . dx 1+ 4 Inilah kemiringan garis singgung di titik [1,2] pada kurva fungsi y bentuk implisit yang sedang kita hadapi. 2). x 4 + 4 xy 3 − 3 y 4 = 4 . Fungsi implisit ini juga merupakan sebuah persamaan. Kita lakukan diferensiasi pada kedua ruas, dan kita akan memperoleh d (4 x) d (3 y 4 ) dy 3 + y3 − =0 dx dx dx dy dy 4 x 3 + 4 x(3 y 2 ) + 4 y 3 − 12 y 3 =0 dx dx dy = −4( x3 + y 3 ) (12 xy 2 − 12 y 3 ) dx 4x 3 + 4x

Di semua titik di mana ( xy 2 − y 3 ) ≠ 0 kita dapat memperoleh turunan dy − ( x3 + y3 ) = dx 3( xy 2 − y3 )

10.5. Fungsi Berpangkat Tidak Bulat Pada waktu kita mencari turunan fungsi yang merupakan pangkat dari suatu fungsi lain, y = vn , kita syaratkan bahwa n adalah bilangan bulat. Kita akan melihat sekarang bagaimana jika n merupakan sebuah rasio p dengan p dan q adalah bilangan bulat dan q ≠ 0, serta v adalah n= q fungsi yang bisa diturunkan.

y = v p/q

(10.9)

Fungsi (10.9) dapat kita tuliskan

yq = v p

(10.10)

yang merupakan bentuk implisit fungsi y. Jika kita lakukan diferensiasi terhadap x di kedua ruas (10.10) kita peroleh

qy q −1

dy dv = pv p −1 dx dx

126 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Jika y ≠ 0, kita dapatkan

dy d (v p / q ) pv p −1 dv = = dx dx qy q −1 dx

(10.11)

Akan tetapi dari (10.9) kita lihat bahwa

(

y q −1 = v p / q

)

q −1

= v p −( p / q )

sehingga (10.11) menjadi

dy d (v p / q ) pv p −1 dv = = dx dx qv p −( p / q ) dx p dv = v ( p −1) − p +( p / q) q dx p dv = v ( p / q )−1 q dx

(10.12)

Formulasi (10.12) ini mirip dengan (10.5), hanya perlu persyaratan bahwa v ≠ 0 untuk p/q < 1.

10.6. Kaidah Rantai Apabila kita mempunyai persamaan x = f (t )

dan

y = f (t )

(10.13)

maka relasi antara x dan y dapat dinyatakan dalam t. Persamaan demikian disebut persamaan parametrik, dan t disebut parameter. Jika kita eliminasi t dari kedua persamaan di atas, kita dapatkan persamaan yang berbentuk

y = F ( x)

(10.14)

Bagaimanakah dy = F ′( x) dari (10.14) ber-relasi dengan dx dy dx = g ′(t ) dan = f ′(t ) ? dt dt Pertanyaan ini terjawab oleh kaidah rantai berikut ini.

127

y = F (x) dapat diturunkan terhadap x dan x = f (t ) dapat diturunkan terhadap t, maka y = F ( f (t ) ) = g (t ) dapat diturunkan terhadap t menjadi dy dy dx (10.15) = dt dx dt Jika

Relasi ini sudah kita kenal.

10.7. Diferensial dx dan dy Pada pembahasan fungsi linier kita tuliskan kemiringan garis, m, sebagai

m=

∆y ( y 2 − y1 ) = ∆x ( x 2 − x1 )

kita lihat kasus jika ∆x mendekati nol namun tidak sama dengan nol. Limit ini kita gunakan untuk menyatakan turunan fungsi y(x) terhadap x pada formulasi

dy ∆y = lim = f ′( x) dx ∆x→0 ∆x Sekarang kita akan melihat dx dan dy yang didefinisikan sedemikian rupa sehingga rasio dy/dx , jika dx≠ 0, sama dengan turunan fungsi y terhadap x. Hal ini mudah dilakukan jika x adalah peubah bebas dan y merupakan fungsi dari x: y = F (x)

(10.16)

Kita ambil definisi sebagai berikut 1.

dx, kita sebut sebagai diferensial x, merupakan bilangan nyata berapapun nilainya, dan merupakan peubah bebas yang lain selain x;

2.

dy, kita sebut sebagai diferensial y, adalah fungsi dari x dan dx yang dinyatakan dengan

dy = F ' ( x )dx

(10.17)

Kita telah terbiasa menuliskan turunan fungsi y terhadap x sebagai 128 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

dy = f ′( x) . dx Perhatikanlah bahwa ini bukanlah rasio dari dy terhadap dx melainkan turunan fungsi y terhadap x. Akan tetapi jika kita bersikukuh memandang relasi ini sebagai suatu rasio dari dy terhadap dx maka kita juga akan memperoleh relasi (10.17), namun sesungguhnya (10.17) didefinisikan dan bukan berasal dari relasi ini. Pengertian terhadap dy lebih jelas jika dilihat secara geometris seperti terlihat pada Gb.10.1. Di titik P pada kurva, jika nilai x berubah sebesar dx satuan, maka di sepanjang garis singgung di titik P nilai y akan berubah sebesar dy. Diferensial dx dianggap bernilai positif jika ia “mengarah ke kanan” dan negatif jika “mengarah ke kiri”. Diferensial dy dianggap bernilai positif jika ia “mengarah ke atas” dan negatif jika “mengarah ke bawah”. y y dy dx P P dx dy θ θ x x y

y dy

dx P

P dx

dy θ x

θ x

Gb.10.1. Penjelasan geometris tentang diferensial. dy = tan θ ; dy = (tan θ)dx dx 1. 2.

dy adalah laju perubahan y terhadap perubahan x. dx dy adalah besar perubahan nilai y sepanjang garis singgung di titik P pada kurva, jika nilai x berubah sebesar dx skala. 129

Dengan pengertian diferensial seperti di atas, kita kumpulkan formula turunan fungsi dan formula diferensial fungsi dalam Tabel-10.1. Dalam tabel ini v adalah fungsi x. Tabel-10.1 Turunan Fungsi

Diferensial

1.

dc = 0 ; c = konstan dx

1. dc = 0 ; c = konstan

2.

dcv dv =c dx dx

2. dcv = cdv

3.

d (v + w) dv dw = + dx dx dx

3. d (v + w) = dv + dw

4.

dvw dw dv =v +w dx dx dx

4. d (vw) = vdw + wdv

v d   w dv − v dw  w dx = dx 5. 2 dx w

 v  wdv − vdw 5. d   =  w w2

6.

dv n dv = nv n−1 dx dx

6. dv n = nv n −1 dv

7.

dcx n = cnx n−1 dx

7. d (cx n ) = cnx n−1dx

Ada dua cara untuk mencari diferensial suatu fungsi. 1.

Mencari turunannya lebih dulu (kolom kiri Tabel-10.1), kemudian dikalikan dengan dx.

2.

Menggunakan langsung formula diferensial (kolom kanan Tabel-10.1)

Kita ambil suatu contoh: cari dy dari fungsi

y = x 3 − 3x 2 + 5x − 6

130 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Turunan y adalah :

y ′ = 3x 2 − 6 x + 5

sehingga

dy = (3 x 2 − 6 x + 5)dx

Kita dapat pula mencari langsung dengan menggunakan formula dalam tabel di atas: dy = d ( x 3 ) + d (−3x 2 ) + d (5 x) + d (−6) = 3x 2 dx − 6 xdx + 5dx = (3x 2 − 6 x + 5)dx

131

Soal-Soal : Carilah turunan fungsi-fungsi berikut. y = ( x − 1) 3 ( x + 3) 2 ; y = ( x 3 − 2 x) 4 ; y = ( x + 2) 2 ( x 2 + 1) − 3

y=

2x + 1 x2 − 1

; 2

 x + 1 y=  ;  x − 1 2x y= 3x 2 + 1

2 xy + y 2 = x + y; x2 y2 = x2 + y2; x3 + y3 = 1 ; x−y =2 x − 2y

132 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 11 Turunan Fungsi-Fungsi (3) (Fungsi-Fungsi Trigonometri, Trigonometri Inversi, Logaritmik, Eksponensial) 11.1. Turunan Fungsi Trigonometri Jika y = sin x maka

dy d sin x sin( x + ∆x) − sin x = = dx dx ∆x sin x cos ∆x + cos x sin ∆x − sin x = ∆x Untuk nilai yang kecil, ∆x menuju nol, sin∆x = ∆x dan cos∆x = 1. Oleh karena itu d sin x (11.1) = cos x dx Jika y = cos x maka

dy d cos x cos( x + ∆x) − cos x cos x cos ∆x − sin x sin ∆x − cos x = = = ∆x dx dx ∆x Jik ∆x menuju nol, maka sin∆x = ∆x dan cos∆x = 1. Oleh karena itu d cos x (11.2) = − sin x dx Turunan fungsi trigonometri yang lain tidak terlalu sulit untuk dicari.

d tan x d  sin x  cos 2 x − sin x(− sin x) 1 = = sec2 x =  = 2 dx dx  cos x  cos x cos 2 x d cot x d  cos x  − sin 2 x − cos x(cos x ) −1 = = − csc2 x =  = 2 2 dx dx  sin x  sin x sin x

d sec x d  1  0 − (− sin x) sin x = = = sec x tan x  = 2 dx dx  cos x  cos x cos 2 x d csc x d  1  0 − (cos x) − cos x =  = = − csc x cot x = dx dx  sin x  sin 2 x sin 2 x 133

Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.

y = tan(4 x 2 ) ;

y = 5 sin 2 (3x) ; y = 3 cos 2 x

y = cot(3 x + 6) ; y = sec 4 x − tan 4 x ;

y = sin 3 (2 x) − cos(2 x) y = (csc x + cot x) 2

Contoh-Contoh Dalam Praktik Rekayasa. Berikut ini kita akan melihat turunan fungsi trigonometri dalam rangkaian listrik. (ref. [3] Bab-4). 1). Tegangan pada suatu kapasitor merupakan fungsi sinus vC = 200sin400t volt. Kita akan melihat bentuk arus yang mengalir pada kapasitor yang memiliki kapasitansi C = 2×10-6 farad ini. Hubungan antara tegangan kapasitor vC dan arus kapasitor iC adalah

iC = C

dvC dt

Arus yang melalui kapasitor adalah

dvC d = 2 × 106 × (200 sin 400t ) = 0,160 cos 400t ampere dt dt Daya adalah perkalian tegangan dan arus. Jadi daya yang diserap kapasitor adalah iC = C

pC = vC iC = 200 sin 400t × 0,16 cos 400t = 32 cos 400t sin 400t = 16 sin 800t watt Bentuk kurva tegangan dan arus terlihat pada gambar di bawah ini. 200

vC iC 100 pC

vC iC

pC

0 0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

t [detik]

-100 -200

Pada waktu tegangan mulai naik pada t = 0, arus justru sudah mulai menurun dari nilai maksimumnya. Dengan kata lain kurva arus mencapai nilai puncak-nya lebih dulu dari kurva tegangan; dikatakan 134 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

bahwa arus kapasitor mendahului tegangan kapasitor. Perbedaan kemunculan ini disebut perbedaan fasa yang untuk kapasitor besarnya adalah 90o; jadi arus mendahului tegangan dengan beda fasa sebesar 90o. Kurva daya bervariasi secara sinusoidal dengan frekuensi dua kali lipat dari frekuensi tegangan maupun arus. Variasi ini simetris terhadap sumbu waktu. Kapasitor menyerap daya selama setengah perioda dan memberikan daya selama setengah perioda berikutnya. Secara keseluruhan tidak akan ada penyerapan daya netto; daya ini disebut daya reaktif. 2). Arus pada suatu inductor L = 2,5 henry merupakan fungsi sinus terhadap waktu sebagai iL = −0,2cos400t ampere. Berapakah tegangan antara ujung-ujung induktor dan daya yang diserapnya ? Hubungan antara tegangan induktor vL dan arus induktor iL adalah di vL = L L dt vL = L

diL d = 2,5 × (− 0,2 cos 400t ) = 2,5 × 0,2 × sin 400t × 400 = 200 sin 400t dt dt

Daya yang diserap inductor adalag tegangan kali arusnya.

pL = v LiL = 200 sin 400t × (−0.2 cos 400t ) = −40 sin 400t cos 400t = −20 sin 800t W Kurva tegangan, arus, dan daya adalah sebagai berikut. vL 200 iL pL 100

vL

iL pL

0 -100

0

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05 t[detik]

-200

Kurva tegangan mencapai nilai puncak pertama-nya lebih awal dari kurva arus. Jadi tegangan mendahului arus atau lebih sering dikatakan bahwa arus ketinggalan dari tegangan (hal ini merupakan kebalikan dari kapasitor). Perbedaan fasa di sini juga 90o, artinya arus ketinggalan dari tegangan dengan sudut fasa 90o. Daya bervariasi secara sinus dan simetris terhadap sumbu waktu, yang berarti tak terjadi transfer energi netto; ini adalah daya reaktif. 135

11.2. Turunan Fungsi Trigonometri Inversi 1) y = sin −1 x

x = sin y ⇒ dx = cos ydy ⇒

1

x

y

1− x

dy 1 = dx cos y

dy 1 = dx 1 − x2

2

2) y = cos −1 x

x = cos y ⇒ dx = − sin ydy ⇒ 1

1 − x2

y x

−1 dy = dx sin y dy −1 = dx 1 − x2

3) y = tan −1 x x = tan y ⇒ dx =

1+ x

2

y 1

x

dy ⇒

dy = cos 2 y dx

x = cot y ⇒ dx = y x

cos 2 y

dy 1 = dx 1 + x 2

4) y = cot −1 x

1+ x2

1

1

−1

sin 2 y

dy ⇒

dy = − sin 2 y dx dy −1 = dx 1 + x 2

136 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

5) y = sec −1 x

⇒ x = sec y =

x

x

y 1

6) y = csc −1 x x

x2 − 1

−1

 dy cos 2 y x 1   = = × 2   2 dx sin y x  x −1  1 = x x2 − 1

x = csc y =

1

y

2

1 0 − (− sin x) ⇒ dx = dy cos y cos 2 y

1 0 − (cos x) ⇒ dx = dy sin y sin 2 y

dy sin 2 y 1 = =− × dx − cos y x2 =

x x2 − 1

−1 x x2 − 1

Soal-Soal 1). Jika α = sin −1 (0.5) carilah cos α , tan α , sec α , dan csc α . 2). Jika α = cos −1 (−0.5) carilah sin α , tan α , sec α , dan csc α . 3). Hitunglah sin −1 (1) − sin −1 (−1) . 4). Hitunglah tan −1 (1) − tan −1 (−1) . 5). Hitunglah sec −1 (2) − sec −1 (−2) .

11.3. Fungsi Trigonometri Dari Suatu Fungsi Jika v = f(x), maka

d (sin v) d (sin v) dv dv = = cos v dx dv dx dx d (cos v) d (cos v) dv dv = = − sin v dx dv dx dx 137

d (tan v) d  sin v  cos2 x + sin 2 x dv dv = sec 2 v =  = 2 dx dx  cos v  dx dx cos x d (cot v) d  cos v  2 dv . (Buktikan!). =   = − csc v dx dx  sin v  dx d (sec v) d  1  0 + sin v dv dv =  = sec v tan v = 2 dx dx  cos v  cos v dx dx d (csc v) d  1  dv . (Buktikan!). =   = − csc v cot v dx dx  sin v  dx Jika w = f(x), maka

1 d (sin −1 w) dw . (Buktikan!). = dx 1 − w2 dx d (cos −1 w) 1 dw . (Buktikan!). =− 2 dx dx 1− w 1 dw . (Buktikan!). d (tan −1 w) = dx 1 + w2 dx d (cot −1 w) 1 dw . (Buktikan!). =− dx 1 + w2 dx

d (sec−1 w) 1 dw . (Buktikan!). = dx w w2 − 1 dx d (csc−1 w) 1 dw . (Buktikan!). =− 2 dx w w − 1 dx Soal-Soal : Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.

y = sin −1 (0,5 x) ; 1 x y = tan −1 ; 3 3

y = cos −1(2 x) y = sec−1 4 x

138 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

11.4. Turunan Fungsi Logaritmik Walaupun kita belum membicarakan tentang integral, kita telah mengetahui bahwa fungsi f ( x) = ln x didefinisikan melalui suatu integrasi (lihat bahasan tentang fungsi logaritmik sub-bab 8.1) x1 f ( x) = ln x = dt ( x > 0) 1 t



y = ln x adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, di selang antara t = 1 dan t = x pada Gb.11.1. 6 5 4 y

1/t

lnx

3

ln(x+∆x)−lnx

2 1 0 0

1

2

x

3x

t 4

x+∆x 1/(x+∆x) 1/x Gb.11.1. Definisi lnx dan turunan lnx secara grafis. Kita lihat pula

ln( x + ∆x) − ln( x) 1  =  ∆x ∆x 

x + ∆x 1

 (11.3) dt  t  Apa yang berada dalam tanda kurung (11.3) adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, antara t = x dan t = x + ∆x. Luas bidang ini lebih kecil dari luas persegi panjang (∆x × 1/x). Namun jika ∆x makin kecil, luas bidang tersebut akan makin mendekati (∆x × 1/x); dan jika ∆x mendekati nol luas tersebut sama dengan (∆x × 1/x). Pada keadaan batas ini (11.3) akan bernilai (1/x). Jadi d ln x 1 = dx x

∫x

(11.4) 139

Jika v adalah v = f(x), kita mencari turunan dari lnv dengan memanfaatkan kaidah rantai. Kita ambil contoh: v = 3x 2 + 4

1 6x d ln v d ln v dv d (3 x 2 + 4) = = = dx dv dx 3x 2 + 4 dx 3x 2 + 4 Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut. x y = ln( x 2 + 2 x) ; y = ln ; y = ln(cos x) ; y = ln(ln x) 2 + 2x 11.5. Turunan Fungsi Eksponensial Fungsi eksponensial berbentuk

y = ex

(11.5)

Persamaan (11.5) berarti ln y = x ln e = x , dan jika kita lakukan penurunan secara implisit di kedua sisinya akan kita dapatkan

d ln y 1 dy = = 1 atau dx y dx

dy = y = ex dx

(11.6)

Jadi turunan dari ex adalah ex itu sendiri. Inilah fungsi eksponensial yang tidak berubah terhadap operasi penurunan yang berarti bahwa penurunan dapat dilakukan beberapa kali tanpa mengubah bentuk fungsi. Turunanturunan dari y = e x adalah

y′ = e x y′′ = e x y′′′ = e x dst. Formula yang lebih umum adalah jika eksponennya merupakan suatu fungsi, v = v(x ) . dev de v dv dv = = ev dx dv dx dx Kita ambil contoh: y = e tan

−1

(11.7)

x −1

−1 dy d tan −1 x e tan x = e tan x = dx dx 1 + x2

Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut. y = x 2e x ; y =

e x − e−x 2

; y=

e x − e− x x

e +e

−x

;

y = esin

−1

x

;

y = e1 / x

140 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 12 Integral (1) (Macam Integral, Pendekatan 4umerik) Dalam bab sebelumnya, kita mempelajari salah satu bagian utama kalkulus, yaitu kalkulus diferensial. Berikut ini kita akan membahas bagian utama kedua, yaitu kalkulus integral. Dalam pengertian sehari-hari, kata “integral” mengandung arti “keseluruhan”. Istilah “mengintegrasi” bisa berarti “menunjukkan keseluruhan” atau “memberikan total”; dalam matematika berarti “menemukan fungsi yang turunannya diketahui”. Misalkan dari suatu fungsi f(x) yang diketahui kita diminta untuk mencari suatu fungsi y sedemikian rupa sehingga dalam rentang nilai x tertentu, misalnya a< x < b, dipenuhi persamaan dy = f ( x) (12.1) dx Persamaan seperti (12.1) ini, yang menyatakan turunan fungsi sebagai fungsi x (dalam beberapa hal ia mungkin juga merupakan fungsi x dan y) disebut persamaan diferensial. Sebagai contoh: dy = 2x2 + 5x + 6 dx

d2y

dy + 3x 2 y 2 = 0 dx dx Pembahasan yang akan kita lakukan hanya mengenai bentuk persamaan diferensial seperti contoh yang pertama. 2

+ 6 xy

12.1. Integral Tak Tentu Suatu fungsi y = F (x) dikatakan sebagai solusi dari persamaan diferensial (12.1) jika dalam rentang a< x < b ia dapat diturunkan dan dapat memenuhi

dF ( x) = f ( x) dx

(12.2)

Perhatikan bahwa jika F(x) memenuhi (12.2) maka F ( x) + K dengan K adalah suatu nilai tetapan sembarang, juga akan memenuhi (12.2) sebab 141

d [F ( x) + K ] dF ( x) dK dF ( x) = + = +0 dx dx dx dx Jadi secara umum dapat kita tuliskan

∫ f ( x)dx = F ( x) + K

(12.3)

(12.4)

yang kita baca: integral f(x) dx adalah F(x) ditambah K. Persamaan (12.2) dapat pula kita tulisan dalam bentuk diferensial, yaitu

dF ( x ) = f ( x )dx yang jika integrasi dilakukan pada ruas kiri dan kanan akan memberikan

∫ dF ( x) = ∫ f ( x)dx

(12.5)

Jika kita bandingkan (12.5) dan (12.4), kita dapat menyimpulkan bahwa

∫ dF ( x) = F ( x) + K

(12. 6)

Jadi integral dari diferensial suatu fungsi adalah fungsi itu sendiri ditambah suatu nilai tetapan. Integral semacam ini disebut integral tak tentu; masih ada nilai tetapan K yang harus dicari. Kita ambil dua contoh untuk inegrasi integrasi tak tentu ini 1) Cari solusi persamaan diferensial

dy = 5x 4 dx

Kita tuliskan persamaan tersebut dalam bentuk diferensial

dy = 5 x 4 dx Menurut relasi (9.4) dan (9.5) di Bab-9,

d ( x 5 ) = 5 x 4 dx Oleh karena itu





y = 5 x 4dx = d ( x 5 ) = x 5 + K 2). Carilah solusi persamaan

dy = x2 y dx

Kita tuliskan dalam bentuk diferensial dy = x 2 y dx

dan kita

kelompokkan peubah dalam persamaan ini sehingga ruas kiri 142 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

mengandung hanya peubah tak bebas y dan ruas kanan hanya mengandung peubah bebas x. Proses ini kita lakukan dengan membagi kedua ruas dengan √y.

y −1 / 2 dy = x 2 dx

(

)

Ruas kiri memberikan diferensial d 2 y1 / 2 = y −1 / 2 dy dan ruas kanan

1  memberikan diferensial d  x3  = x 2 dx , sehingga 3 

(

)

1  d 2 y1 / 2 = d  x 3  3  Jika kedua ruas diintegrasi, diperoleh 2 y1 / 2 + K1 = 2 y1 / 2 =

1 3 x + K 2 atau 3

1 3 1 x + K 2 − K1 = x 3 + K 3 3

Dua contoh telah kita lihat. Dalam proses integrasi seperti di atas terasa adanya keharusan untuk memiliki kemampuan menduga jawaban. Beberapa hal tersebut di bawah ini dapat memperingan upaya pendugaan tersebut. 1. Integral dari suatu diferensial dy adalah y ditambah konstanta sembarang K.

∫ dy = y + K 2.

Suatu konstanta yang berada di dalam tanda integral dapat dikeluarkan

∫ ady = a ∫ dy 3.

Jika bilangan n ≠ −1, maka integral dari yndy diperoleh dengan menambah pangkat n dengan 1 menjadi (n + 1) dan membaginya dengan (n + 1).



y n dy =

y n +1 + K, n +1

jika n ≠ −1

Penggunaan Integral Tak Tentu. Dalam integral tak tentu, terdapat suatu nilai K yang merupakan bilangan nyata sembarang. Ini berarti 143

bahwa integral tak tentu memberikan hasil yang tidak tunggal melainkan banyak hasil yang tergantung dari berapa nilai yang dimiliki oleh K. Dalam pemanfaatan integral tak tentu, nilai K diperoleh dengan menerapkan apa yang disebut sebagai syarat awal atau kondisi awal. Kita akan mencoba memahami melalui pengamatan kurva. Jika kita gambarkan kurva y = 10x 2 kita akan mendapatkan kurva bernilai tunggal seperti Gb.12.1.a. Akan tetapi jika kita melakukan integrasi

10 x3 dx tidak hanya satu kurva yang dapat memenuhi syarat akan 3 tetapi banyak kurva seperti pada Gb.12.1.b; kita akan mendapatkan satu kurva jika K dapat ditentukan. yi = 10x2 +Ki



y = 10x2 100

100

y

-3

-1

K3 K2 K1

50

50

-5

y

1

3

x

5

-5

-3

-1

1

3

x

5

a) b) Gb.12.1. Integral tak tentu memberikan banyak solusi. Sebagai contoh kita akan menentukan posisi benda yang bergerak dengan kecepatan sebagai fungsi waktu yang diketahui. Kecepatan sebuah benda bergerak dinyatakan sebagai v = at = 3t , dengan v adalah kecepatan, a adalah percepatan yang dalam soal ini bernilai 3, t waktu. Kalau posisi awal benda adalah s 0 = 3 pada waktu t = 0, tentukanlah posisi benda pada t = 4. Kita ingat pengertian-pengertian dalam mekanika bahwa kecepatan ds adalah laju perubahan jarak, v = ; sedangkan percepatan adalah laju dt dv . Karena kecepatan sebagai fungsi t perubahan kecepatan, a = dt diketahui, dan kita akan mencari posisi (jarak), maka kita gunakan relasi ds yang memberikan ds = vdt v= dt 144 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

sehingga integrasinya memberikan

t2 + K = 1,5t 2 + K 2 Kita terapkan sekarang kondisi awal, yaitu s0 = 3 pada t = 0.



s = atdt = 3

3 = 0 + K yang memberikan K = 3 Dengan demikian maka s sebagai fungsi t menjadi s = 1,5t 2 + 3 sehingga pada t = 4 posisi benda adalah s4 = 27

Luas Sebagai Suatu Integral. Kita akan mencari luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva y = f (x) , sumbu-x, garis vertikal x = p, dan x = q. Sebagai contoh pertama kita ambil fungsi tetapan y = 2 seperti terlihat pada Gb.12.2. y y = f(x) =2 2 ∆Apx

Apx 0 p

x

x+∆x

q

x

Gb.12.2. Mencari luas bidang di bawah y = 2. Jika luas dari p sampai x adalah Apx, dan kita bisa mencari fungsi pertambahan luas ∆Apx yaitu pertambahan luas jika x bertambah menjadi x+∆x, maka kita dapat menggunakan fungsi pertambahan tersebut mulai dari x = p sampai x = q untuk memperoleh Apq yaitu luas dari p sampai q. Pertambahan luas yang dimaksud tentulah

∆A px = 2∆x atau

∆Apx ∆x

= 2 = f ( x)

(12.7)

Jika ∆x diperkecil menuju nol maka kita dapatkan limit

lim

∆A px

∆x → 0

∆x

=

dApx dx

= f ( x) = 2

(12.8)

Dari (12.8) kita peroleh





Apx = dApx = 2dx = 2 x + K

(12.9)

145

Kondisi awal (kondisi batas) adalah Apx = 0 untuk x = p. Jika kondisi ini kita terapkan pada (12.9) kita akan memperoleh nilai K yaitu (12.10) 0 = 2 p + K atau K = −2 p sehingga

A px = 2 x − 2 p

(12.11)

Kita mendapatkan luas Apx (yang dihitung mulai dari x = p) merupakan fungsi x. Jika perhitungan diteruskan sampai x = q kita peroleh

A pq = 2q − 2 p = 2(q − p)

(12.12)

Inilah hasil yang kita peroleh, yang sudah kita kenal dalam planimetri yang menyatakan bahwa luas segi empat adalah panjang kali lebar yang dalam kasus kita ini panjang adalah (q − p) dan lebar adalah 2. Bagaimanakah jika kurva yang kita hadapi bukan kurva dari fungsi tetapan? Kita lihat kasus fungsi sembarang dengan syarat bahwa ia kontinyu dalam rentang p ≤ x ≤ q seperti digambarkan pada Gb.12.3. y

f(x+∆x )

f(x)

y = f(x)

∆Apx

Apx 0 p

x

x+∆x

q

x

Gb.12.3. Fungsi sembarang kontinyu dalam a ≤ x ≤ b Dalam kasus ini, ∆Apx bisa memiliki dua nilai tergantung dari apakah dalam menghitungnya kita memilih ∆Apx = f(x)∆x atau ∆Apx = f(x+∆x)∆x. Namun kita akan mempunyai nilai

∆A px = f ( x)∆x ≤ f ( x 0 )∆x ≤ f ( x + ∆x)∆x

(12.13)

dengan x0 adalah suatu nilai x yang terletak antara x dan x+∆x. Jika ∆x kita buat mendekati nol kita akan mempunyai

∆A px = f ( x)∆x = f ( x0 )∆x = f ( x + ∆x)∆x

(12.14)

Dengan demikian kita akan mendapatkan limit 146 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

lim

∆x →0

∆A px ∆x

=

dA px dx

= f ( x)

(12.15)

Dari sini kita peroleh



A px = dA px =

∫ f ( x)dx = F ( x) + K

(12.16)

Dengan memasukkan kondisi awal Apx = 0 untuk x = p dan kemudian memasukkan nilai x = q kita akan memperoleh

A pq = F (q) − F ( p) = F ( x)] qp

(12.17)

12.2. Integral Tentu Integral tentu merupakan integral yang batas-batas integrasinya jelas. Konsep dasar integral tentu adalah luas bidang yang dipandang sebagai suatu limit. Kita akan menghitung luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva y = f(x), sumbu-x, garis x = p, dan x = q, yaitu luas bagian yang diarsir pada Gb.12.4.a. Sebutlah luas bidang ini Apq. Bidang ini kita bagi dalam n segmen dan kita akan menghitung luas setiap segmen dan kemudian menjumlahkannya untuk memperoleh Apq. Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.12.4.b, kita akan memperoleh luas yang lebih kecil dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqb (jumlah luas segmen bawah). Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.12.4.c, kita akan memperoleh luas yang lebih besar dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqa (jumlah luas segmen atas). Kedua macam perhitungan tersebut di atas akan mengakibatkan terjadinya error. Antara Apqb dan Apqa ada selisih seperti terlihat pada Gb.12.4.d. Jika x0k adalah suatu nilai x di antara kedua batas segmen kek, yaitu antara xk dan (xk+∆x), maka berlaku

f ( xk ) ≤ f ( x0k ) ≤ f ( xk + ∆x)

(12.18)

147

y

(a) 0 p y

(b) 0 p y

(c) 0 p y

y = f(x)

x2

xk

xk+1

xn

x

y = f(x)

x2

xk

xk+1

xn

x

xk

xk+1

xn

x

y = f(x)

x2

y = f(x)

x xk xk+1 xn (d) 0 p x2 Gb.12.4. Menghitung luas bidang di bawah kurva. Jika pertidaksamaan (12.18) dikalikan dengan ∆xk yang yang cukup kecil dan bernilai positif, maka

f ( xk )∆xk ≤ f ( x0k )∆xk ≤ f ( xk + ∆x)∆xk

(12.19)

Jika luas segmen di ruas kiri, tengah, dan kanan dari (12.19) kita jumlahkan dari 1 sampai n (yaitu sebanyak jumlah segmen yang kita buat), kita akan memperoleh 148 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

n



n

f ( xk )∆xk ≤

k =1



n

f ( x0 k )∆xk ≤

k =1

∑ f ( xk + ∆x)∆xk

(12.20)

k =1

Ruas paling kiri adalah jumlah luas segmen bawah, Apqb; ruas paling kanan adalah jumlah luas segmen atas, Apqa; ruas yang di tengah adalah jumlah luas segmen pertengahan, kita namakan An. Jelaslah bahwa

A pqb ≤ An ≤ A pqa

(12.21)

Nilai An dapat dipakai sebagai pendekatan pada luas bidang yang kita cari. Error yang terjadi sangat tergantung dari jumlah segmen, n. Jika n kita perbesar menuju tak hingga dan semua ∆xk menuju nol, maka luas bidang yang kita cari adalah

A pq = lim Apqb = lim An = lim A pqa ∆x k →0

∆x k →0

∆x k → 0

(12.22)

Jadi apabila kita menghitung limitnya, kita akan memperoleh nilai limit yang sama, apakah kita menggunakan penjumlahan segmen bawah, atau atas, atau pertengahannya. Limit yang sama ini disebut integral tertentu, dituliskan

Apq =

q

∫p f ( x)dx

(12.23)

Integral tertentu (12.23) ini terkait dengan integral tak tentu (9.12)

Apq =

q

∫p f ( x)dx = F ( x)]p = F (q) − F ( p) q

(12.24)

Jadi untuk memperoleh limit bersama dari penjumlahan segmen bawah, penjumlahan segmen atas, maupun penjumlahan segmen pertengahan dari fungsi f(x) dalam rentang p ≤ x ≤ q, kita cukup melakukan:

∫ f ( x)dx ;

a.

integrasi untuk memperoleh F ( x ) =

b. c. d.

masukkan batas atas x = q untuk mendapat F(q); masukkan batas bawah x = p untuk mendapat F(p); kurangkan perolehan batas bawah dari batas atas, F(q) − F(p).

Walaupun dalam pembahasan di atas kita mengambil contoh fungsi yang bernilai positif dalam rentang p ≤ x ≤ q , namun pembahasan itu berlaku pula untuk fungsi yang dalam rentang p ≤ x ≤ q sempat bernilai negatif. Kita hanya perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut dengan Apx dalam pembahasan sebelumnya. Pendefinisian yang baru ini akan berlaku umum, yaitu 149

Apx adalah luas bidang yang dibatasi oleh y = f (x) dan sumbu-x dari p sampai x, yang merupakan jumlah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x. Agar lebih jelas kita mengambil contoh pada Gb 13.2. Kita akan menghitung luas antara y = x 3 − 12 x dan sumbu-x dari x = −3 sampai x = +3. Bentuk kurva diperlihatkan pada Gb.12.5.

y = x 3 − 12 x

20 10

x

0 -4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

-10 -20

Gb.12.5. Kurva y = x 3 − 12 x Di sini terlihat bahwa dari x = −3 sampai 0 kurva berada di atas sumbu-x dan antara x = 0 sampai +3 kurva ada di bawah sumbu-x. Untuk bagian yang di atas sumbu-x kita mempunyai luas

 x4 Aa = ( x − 12 x)dx = − 6x 2  −3 4 



0

0

3

= −0 − (20,25 − 54) = 33,75 −3

Untuk kurva yang di bawah sumbu-x kita dapatkan 3

 x4 Ab = ( x − 12 x)dx = − 6 x 2  = 20,25 − 54 − (0) = −33,75 0 4 



3

3

0

Luas yang kita cari adalah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x

Apq = Aa − Ab = 33,75 − (−33,755) = 67,5 Contoh ini menunjukkan bahwa dengan pengertian yang baru mengenai Apx, formulasi A=

q

∫p f ( x)dx = F (q) − F ( p))

tetap berlaku untuk kurva yang memiliki bagian baik di atas maupun di bawah sumbu-x. 150 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Dengan demikian maka untuk bentuk kurva seperti pada Gb.12.6. kita dapatkan

Apq = − A1 + A2 − A3 + A4 yang kita peroleh dari

Apq =

q

∫p f ( x)dx = F (q) − F ( p))

y y = f(x) A2

p

A4 A3

A1

q

x

Gb.12.6. Kurva memotong sumbu-x di beberapa titik.

Luas Bidang Di Antara Dua Kurva. Kita akan menghitung luas bidang di antara kurva y1 = f1( x) dan y2 = f 2 ( x) pada batas antara x = p dan x = q . Kurva yang kita hadapi sudah barang tentu harus kontinyu dalam rentang p ≤ x ≤ q . Kita tetapkan bahwa kurva y1 = f1( x) berada di atas

y2 = f 2 ( x) meskipun mungkin mereka memiliki bagian-bagian yang berada di bawah sumbu-x. Perhatikan Gb.12.7. y

p

y1

x

0

x+∆x

q

x

y2

Gb.12.7. Menghitung luas bidang antara dua kurva. Rentang p ≤ x ≤ q kita bagi dalam n segmen, yang salah satunya diperlihatkan pada Gb.12.7. dengan batas kiri x dan batas kanan (x+∆x), dimana ∆x = (q − p ) / n .

151

Luas segmen dapat didekati dengan Asegmen = { f1 ( x) − f 2 ( x)}∆x

(12.25)

yang jika kita jumlahkan seluruh segmen akan kita peroleh x = q − ∆x

n



Asegmen =

∑ { f1( x) − f 2 ( x)}∆x

(12.25)

x= p

1

Dengan membuat n menuju tak hingga sehingga ∆x menuju nol kita sampai pada suatu limit n→∞

A pq = lim

q

∑ Asegmen = ∫p { f1( x) − f 2 ( x)}dx

(12.26)

1

Kita lihat beberapa contoh. 1). Jika y1 = 4 dan y2 = −2 berapakah luas bidang antara y1 dan y2 dari x1 = p = −2 sampai x2 = q = +3.

Apq =

+3

∫−2 ({4 − (−2)}dx = 6 x]−2 = 18 − (−12) = 30 +3

Hasil ini dengan mudah dijakinkan menggunakan planimetri. Luas yang dicari adalah luas persegi panjang dengan lebar y1 − y2 = 6 dan panjang x2 − x1 = 5 . 2). Jika y1 = x 2 dan y2 = 4 berpakah luas bidang yang dibatasi oleh y1 dan y2. Terlebih dulu kita cari batas-batas integrasi yaitu nilai x pada perpotongan antara y1 dan y2.

y1 = y2 → x 2 = 4 ⇒ x1 = p = −2, x2 = q = 2 Perhatikan bahwa y1 adalah fungsi pangkat dua dengan titik puncak minimum yang berada pada posisi [0,0]. Oleh karena itu bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya, berada di di bawah y2 = 4. 2

 − 8  16 − 16 32 8  x3   − = (4 − x )dx =  4 x −  =  8 −  −  − 8 − Apq = =   −2 3  3  3  3 3 3  -2 



2

2

Jika kita terbalik dalam memandang posisi y1 terhadap y2 kita akan melakukan kesalahan:

152 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

2

  x3 8   −8  − 16 + 16 ( x − 4)dx =  + 8 = − 4 x  =  − 8  −  Apq * = − =0   3 −2 3 3 3 3     - 2  



2

2

3). Jika y1 = − x 2 + 2 dan y2 = − x berapakah luas bidang yang dibatasi oleh y1 dan y2. Terlebih dulu kita perhatikan karakter fungsi-fungsi ini. Fungsi y1 adalah fungsi kuadrat dengan titik puncak maksimum yang memotong sumbu-y di y = 2. Fungsi y2 adalah garis lurus melalui titik asal [0,0] dengan kemiringan negatif −1, yang berarti ia menurun pada arah x positif. Dengan demikian maka bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya berada di atas y2. Batas integrasi adalah nilai x pada perpotongan kedua kurva.

y1 = y2 ⇒ − x 2 + 2 = − x atau − x 2 + x + 2 = 0 x1 = p =

− 1 + 12 + 8 − 1 − 12 + 8 = −1 ; x2 = q = =2 −2 −2 2

  x3 x 2 + + 2 x  Apq = (− x + 2 + x)dx =  −   3 −1 2  −1 



2

2

 8   −1 1  =  − + 2 + 4 −  − + − 2  = 4,5 3 3 2     Penerapan Integral Tentu. Pembahasan di atas terfokus pada penghitungan luas bidang di bawah suatu kurva. Dalam praktik kita tidak selalu menghitung luas melainkan menghitung berbagai besaran fisis, yang berubah terhadap waktu misalnya. Perubahan besaran fisis ini dapat pula divisualisasi dengan membuat absis dengan satuan waktu dan ordinat dengan satuan besaran fisis yang dimaksud. Dengan demikian seolah-olah kita menghitung luas bidang di bawah kurva. Berikut ini dua contoh dalam kelistrikan. 1). Sebuah piranti menyerap daya 100 W pada tegangan konstan 200V. Berapakah energi yang diserap oleh piranti ini selama 8 jam ? 153

Daya adalah laju perubahan energi. Jika daya diberi simbol p dan energi diberi simbol w, maka dw yang memberikan w = dt

p=

∫ pdt

Perhatikan bahwa peubah bebas di sini adalah waktu, t. Kalau batas bawah dari wktu kita buat 0, maka batas atasnya adalah 8, dengan satuan jam. Dengan demikian maka energi yang diserap selama 8 jam adalah w=

8

8

∫0 pdt = ∫0100dt = 100t 0 = 800 Watt.hour [Wh] 8

= 0,8 kilo Watt hour [kWh]

2). Arus yang melalui suatu piranti berubah terhadap waktu sebagai i(t) = 0,05 t ampere. Berapakah jumlah muatan yang dipindahkan melalui piranti ini antara t = 0 sampai t = 5 detik ? Arus i adalah laju perubahan transfer muatan, q. i=

dq sehingga dt



q = idt

Jumlah muatan yang dipindahkan dalam 5 detik adalah 5

∫0

q = idt =

5

∫0

0,05tdt =

0,05 2 t 2

5

= 0

1,25 = 0,625 coulomb 2

Pendekatan umerik. Dalam pembahasan mengenai integral tentu, kita fahami bahwa langkah-langkah dalam menghitung suatu integral adalah: 1. Membagi rentang f(x) ke dalam n segmen; agar proses perhitungan menjadi sederhana buat segmen yang sama lebar, ∆x. 2.

Integral dalam rentang p ≤ x ≤ q dari f(x) dihitung sebagai q

∫p

n

f ( x)dx = lim

∆x → 0

∑ f ( xk )∆xk k =1

dengan f(xk) adalah nilai f(x) dalam interval ∆xk yang besarnya akan sama dengan nilai terendah dan tertinggi dalam segmen ∆xk jika ∆x menuju nol.

154 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Dalam aplikasi praktis, kita tentu bisa menetapkan suatu nilai ∆x sedemikian rupa sehingga jika kita mengambil f(xk) sama dengan nilai terendah ataupun tertinggi dalam ∆xk, hasil perhitungan akan lebih rendah ataupun lebih tinggi dari nilai yang diharapkan. Namun error yang terjadi masih berada dalam batas-batas toleransi yang dapat kita terima. Dengan cara ini kita mendekati secara numerik perhitungan suatu integral, dan kita dapat menghitung dengan bantuan komputer. Sebagai ilustrasi kita akan menghitung kembali luas bidang yang dibatasi oleh kurva y = x 3 − 12 x dengan sumbu-x antara x = −3 dan x = +3. Luas ini telah dihitung dan menghasilkan Apq = 67,5 . Kali ini perhitungan

Apq =

3

∫−3 ( x

3

− 12 x)dx

akan kita lakukan dengan pendekatan numerik

dengan bantuan komputer. Karena yang akan kita hitung adalah luas antara kurva dan sumbu-x, maka bagian kurva yang berada di bawah sumbu-x harus dihitung sebagai positif. Jika kita mengambil nilai ∆x = 0,15 maka rentang −3 ≤ x ≤ 3 akan terbagi dalam 40 segmen. Perhitungan menghasilkan 40

Apq =

∑ ( xk 3 − 12 xk ) = 67,39875 ≈ 67,4 k =1

Error yang terjadi adalah sekitar 0,15%. Jika kita mengambil ∆x = 0,05 maka rentang −3 ≤ x ≤ 3 akan terbagi dalam 120 segmen. Perhitungan menghasilkan 120

Apq =

∑ ( xk 3 − 12 xk ) = 67,48875 ≈ 67,5 k =1

Error yang terjadi adalah sekitar 0,02%. Jika kita masih mau menerima hasil perhitungan dengan error 0,2%, maka hasil pendekatan numerik sebesar 67,4 cukup memadai. Perhitungan numerik di atas dilakukan dengan menghitung luas setiap segmen sebagai hasilkali nilai minimum ataupun nilai maksimum masing-masing segmen dengan ∆x. Satu alternatif lain untuk menghitung luas segmen adalah dengan melihatnya sebagai sebuah trapesium. Luas setiap segmen menjadi 155

Asegmen = ( f ( xk min ) + f ( xkmaks ) ) × ∆x / 2

(12.27)

Perhitungan pendekatan numerik ini kita lakukan dengan bantuan komputer. Kita bisa memanfaatkan program aplikasi yang ada, ataupun menggunakan spread sheet jika fungsi yang kita hadapi cukup sederhana.

Soal-Soal: 1.

Carilah titik-titik perpotongan fungsi-fungsi berikut dengan sumbu-x kemudian cari luas bidang yang dibatasi oleh kurva fungsi dengan sumbu-x.

y = 2x − x2 ; 2.

y 2 − y3 = x

Carilah luas bidang yang dibatasi oleh kurva dan garis berikut.

Luas antara kurva y 2 = x dan garis x = 4 Luas antara kurva y = 2 x − x 2 dan garis x = −3 3.

Carilah luas bidang yang dibatasi oleh dua kurva berikut.

y = x 4 − 2x 2 dan y = 2 x 2 − 5 dan

y = 2x 2 y = −2 x 2 + 5

12.3. Volume Sebagai Suatu Integral Di sub-bab sebelumnya kita menghitung luas bidang sebagai suatu integral. Berikut ini kita akan melihat penggunaan integral untuk menghitung volume.

Balok. Kita ambil contoh sebuah balok seperti tergambar pada Gb.12.8. Balok ini dibatasi oleh dua bidang datar paralel di p dan q. Balok ini diiris tipis-tipis dengan tebal irisan ∆x sehingga volume balok, V, merupakan jumlah dari volume semua irisan.

∆x

Gb.12.8. Balok Jika A(x) adalah luas irisan di sebelah kiri dan A(x+∆x) adalah luas irisan di sebelah kanan maka volume irisan ∆V adalah

A( x)∆x ≤ ∆V ≤ A( x + ∆x)∆x Volume balok V adalah 156 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

q

V=

∑ A( x )∆x p

dengan A(x ) adalah luas rata-rata irisan antara A(x) dan A(x+∆x). Apabila ∆x cukup tipis dan kita mengambil A(x) sebagai pengganti A(x ) maka kita memperoleh pendekatan dari nilai V, yaitu q

V≈

∑ A( x)∆x p

Jika ∆x menuju nol dan A(x) kontinyu antara p dan q maka q

q

∑ A( x)∆x = ∫p A( x)dx ∆x → o

V = lim

(12.28)

p

Rotasi Bidang Segitiga Pada Sumbu-x. Satu kerucut dapat dibayangkan sebagai P y segitiga yang berputar sekitar salah satu sisinya. Sigitiga ini akan menyapu satu volume kerucut seperti terlihat pada O Q x Gb.12.9. Segitiga OPQ, dengan OQ ∆x berimpit dengan sumbu-x, berputar mengelilingi sumbu-x. Gb.12.9. Rotasi Segitiga OPQ mengelilingi sumbu-x Formula (12.28) dapat kita terapkan disini. Dalam hal ini A(x) adalah luas lingkaran dengan jari-jari r(x); sedangkan r(x) memiliki persamaan garis OP.

V=

h

h

h

∫0 A( x)dx = ∫0 π[r ( x)] dx = ∫0 πm x dx 2

2 2

(12.29)

dengan m adalah kemiringan garis OP dan h adalah jarak O-Q. Formula (12.29) akan memberikan volume kerucut

πm 2 h3 π(PQ/OQ)2 h3 h = = πr 2 3 3 3 dengan OQ = h dan r adalah nilai PQ pada x = h. Vkerucut =

(12.30)

Bagaimanakah jika OQ tidak berimpit dengan sumbu-x? Kita akan memiliki kerucut yang terpotong di bagian puncak. Volume kerucut 157

terporong demikian ini diperoleh dengan menyesuaikan persamaan garis OP. Jika semula persamaan garis ini berbentuk y = mx berubah menjadi

y = mx + b dengan b adalah perpotongan garis OP dengan sumbu-y. Rotasi Bidang Sembarang. Jika f(x) kontinyu pada a ≤ x ≤ b , rotasi bidang antara kurva fungsi ini dengan sumbu-x antara a ≤ x ≤ b sekeliling sumbu-x akan membangun suatu volume benda yang dapat dihitung menggunakan relasi (12.10).

y

f(x)

0 a

b

x

∆x

Gb.12.10. Rotasi bidang mengelilingi sumbu-x Dalam menghitung integral (12.28) penyesuaian harus dilakukan pada A(x) dan batas-batas integrasi.

A( x) = π(r ( x) )2 = π( f ( x) )2 sehingga

V=

b

∫a π( f ( x)) dx 2

Gabungan Fungsi Linier. Jika f(x) pada (12.31) merupakan gabungan fungsi linier, kita akan mendapatkan situasi seperti pada Gb.12.11.

(12.31) y

2000

0 a

b

x

∆x

Gb.12.11. Fungsi f(x) merupakan gabungan fungsi linier. Fungsi f(x) kontinyu bagian demi bagian. Pada Gb.12.11. terdapat tiga rentang x dimana fungsi linier kontinyu. Kita dapat menghitung volume total sebagai jumlah volume dari tiga bagian.

Fungsi f(x) Memotong Sumbu-x. Formula (12.29) menunjukkan bahwa dalam menghitung volume, f(x) dikuadratkan. Oleh karena itu jika ada bagian fungsi yang bernilai negatif, dalam penghitungan volume bagian ini akan menjadi positif. 12.4. Panjang Kurva Pada Bidang Datar Jika kurva y = f (x) kita bagi dalam n segmen masing-masing selebar ∆x, maka ∆l dalam segmen tersebut adalah 158 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

∆l = PQ = ∆x 2 + ∆y 2 Salah satu segmen diperlihatkan pada Gb.12.12. Ada satu titik P′ yang terletak pada kurva di segmen ini yang terletak antara P dan Q di mana turunan fungsi y ′( P ′) , yang merupakan garis singgung di P′, sejajar dengan PQ. Menggunakan pengertian y′(P′) ini, ∆l dapat dinyatakan sebagai

∆l = ∆x 2 + [( y′(P′) )∆x]2 = 1 + ( y′(P′) )2 ∆x y = f(x)

y

Q P

∆l

∆y

∆x x a b Gb.12.12. Salah satu segmen pada kurva y = f (x) . Setiap segmen memiliki y′(P′) masing-masing yaitu y ′k , dan ∆l masing-masing yaitu ∆lk . Jika n dibuat menuju ∞, panjang kurva dari x = a ke x = b adalah n

lab = lim

n →∞



n

∆lk = lim

n →∞

k =1



∆x → 0

k =1

lab =

atau

1 + ( yk′ )2 ∆x = lim

b

∫a

n



1 + ( yk′ )2 ∆x

k =1

2

 dy  1 +   dx  dx 

(12.32)

Perlu kita ingat bahwa panjang suatu kurva tidak tergantung dari posisi sumbu koordinat. Oleh karena itu (12.32) dapat ditulis juga sebagai b′

2

 dx  lab = 1 +   dy a′  dy  bebas.



dengan a′ dan b′ adalah batas-batas peubah

159

12.5. 4ilai Rata-Rata Suatu Fungsi Untuk fungsi y = f (x) yang kontinyu dalam rentang p ≤ x ≤ q nilai rata-rata fungsi ini didefinisikan sebagai q 1 ( yrr ) x = f ( x)dx (12.33) q− p p



(Penulisan (yrr)x untuk menyatakan nilai rata-rata fungsi x) Definisi (12.33) dapat kita tuliskan

( y rr ) x ⋅ (q − p) =

q

∫p f ( x)dx

(12.34)

Ruas kanan (12.34) adalah luas bidang antara kurva fungsi y = f (x) dengan sumbu-x mulai dari x = p sampai x = q. Ruas kiri (12.34) dapat ditafsirkan sebagai luas segi empat dengan panjang (q − p) dan lebar (yrr)x. Namun kita perlu hati-hati sebab dalam menghitung ruas kanan (12.34) sebagai luas bidang antara kurva fungsi y = f (x) dengan sumbux bagian kurva yang berada di bawah sumbu-x memberi kontribusi positif pada luas bidang yang dihitung; sedangkan dalam menghitung nilai ratarata (12.33) kontibusi tersebut adalah negatif. Sebagai contoh, kita ambil fungsi y = x 3 − 12 x .

Luas bidang antara

3

y = x − 12 x dengan sumbu-x dari x = −3 sampai x = +3 adalah positif, A pq = 67,5

(telah pernah kita hitung). Sementara itu jika kita

menghitung nilai rata-rata fungsi ini dari x = −3 sampai x = +3 hasilnya adalah (yrr)x = 0 karena bagian kurva yang berada di atas dan di bawah sumbu-x akan saling meniadakan.

160 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 13 Integral (2) (Integral Tak Tentu) Dalam bab sebelumnya kita telah mengenal macam-macam perhitungan integral. Salah satu cara mudah untuk menghitung integral adalah dengan pendekatan numerik, walaupun cara ini memberikan hasil yang mengandung error. Namun error dalam pendekatan numerik bisa ditekan sampai pada batas-batas toleransi. Dalam bab ini kita akan melihat perhitungan integral tak tentu secara analitis dari macam-macam fungsi.

13.1. Integral Fungsi Tetapan:

∫ adx = ax + K

∫ adx

karena dax = adx



Contoh: y = 2dx = 2 x + K 13.2. Integral Fungsi Mononom:

∫ x dx n

Karena dx n = x n −1dx dengan syarat n ≠ −1, maka





Contoh: y = 2 x 2 dx = 2 x 2 dx = 13.3. Integral Fungsi Polinom

∫ (x

n



x n dx =

x n +1 +K n +1

2 3 x +K 3

+ x m )dx

Polinom merupakan jumlah terbatas dari mononom. Integral suatu polinom sama dengan jumlah integral mononom yang menyusunnya. Karena d ( x n + x m ) = x n dx + x m dx maka



( x n + x m )dx =

x n +1 x m +1 + + K, n +1 m +1

dengan syarat n ≠ −1, m ≠ −1

Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.

∫ 5dx ; ∫ 2 xdx; ∫ 4 x dx; ∫ (2 x + 5)dx ; 1 2 3 2 ∫0 ( x − 2 x + 4)dx ; ∫ (4 x + 6 x + 4 x + 2)dx 4

161

13.4. Integral Fungsi Pangkat Dari Fungsi: Jika v adalah polinom, maka

d



∫v

n

v n dv =

dx v n +1 dv + K n +1

karena

v n +1 = v n dv dengan syarat n ≠ −1. Formulasi ini digunakan untuk n +1

mencari

∫ v dx . n



Contoh: Hitunglah y = (2 x + 1) 2 dx Misalkan v = 2 x + 1 → dv = 2dx → dx =

dv 2

8 x 3 + 12 x 2 + 6 x + 1 v2 v3 dv = +K= +K 2 6 6 4 1 = x3 + 2 x 2 + x + + K 3 6 Kita coba untuk meyakinkan hasil ini dengan hasil yang akan diperoleh jika polinom kita kuadratkan lebih dulu.



y = (2 x + 1) 2 dx =



4 x3 4 x 2 + + x + K′ 3 2 Hasil perhitungan sama dengan hasil sebelumnya,





y = (2 x + 1) 2 dx = (4 x 2 + 4 x + 1)dx =

K ′ = K + 1/ 6 . Contoh: Hitunglah y =



3x

dx 1 − x2 dv dv Misalkan 1 − x 2 = v → = −2 x → dx = dx − 2x y=



3x 1− x 2

dx =

dv 3 −1 / 2 3 v1/ 2 =− = −3 1 − x 2 v dv = − 1/ 2 − 2x 2 2 1 / 2 v 3x



Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.

∫ ( x + 1)

2

dx ;



4 x + 1dx ;



2 + 5 x dx ;

1

∫ (3x + 2)2 dx ; ∫

x 2 x2 + 1

dx

162 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

dv

∫v

13.5. Integral Fungsi Berpangkat -1: Karena

d (ln v) =

dv , v

dv

∫v

maka

= ln v + K .

Integrasi

memecahkan masalah persyaratan n ≠ −1 pada integrasi

Contoh: Carilah integral y =

ini

∫ v dx . n

2x

∫ x 2 + 1 dx

dv dv = 2 x → dx = 2x dx 2x 2 x dv dx = = ln v + K = ln( x 2 + 1) + K 2 v 2x x +1

Misalkan v = x 2 + 1 →

y=





Soal-Soal: Carilah integral tak tentu berikut ini.



dx ; 2x + 3

x 2 dx

dx

xdx

xdx

xdx

∫ 4 − x3 ; ∫ 2 − 3x ; ∫ x + 1 ; ∫ 1 − x 2 ; ∫ 4 x 2 + 1



13.6. Integral Fungsi Eksponensial: ev dv Karena dev = ev dv maka

∫ e dv = e v

v

+K

Soal-Soal:



e 2 x dx ;



2

xe x dx ;



e x dx

∫ 1 + 2e x

e x / 3dx ;



13.7. Integral Tetapan Berpangkat Fungsi : a v dv Karena da v = a v ln adv maka



a v dv =

av +K ln a



Contoh: Carilah y = 32 x dx

dv dv = 2 → dx = Misalkan v = 2x → dx 2



y = 32 x dx =



3v 1 32 x dv = +K 2 2 ln 3 163

13.8. Integral Fungsi Trigonometri

∫ cos vdx = sin v + K Karena d cos v = − sin vdx maka ∫ sin vdx = − cos v + K

Karena d sin v = cos vdv maka

Relasi diferensial dan integral fungsi trigonometri yang lain termuat dalam Tabel-13.1.



Contoh: Carilah integral tak tentu y = sin 2 xdx

dv dv = 2 → dx = dx 2 sin v − cos v cos 2 x y = sin 2 xdx = dv = =− 2 2 2

Misalkan v = 2 x →





Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.

∫ sin 4 xdx ; ∫ cos(2 x + 2)dx ; ∫ 4 cos 3xdx . 2 ∫ 2 sin x cos xdx ; ∫ sin x cos xdx . 2 2 ∫ sin xdx ; ∫ cos axdx sin 2 x 2 ∫ cos x sin xdx ; ∫ 2 − cos 2 x dx . 13.9. Integral Fungsi Hiperbolik

∫ cosh vdv = sinh v + K Karena d (cosh v ) = sinh vdv maka ∫ sinh vdv = cosh v + K

Karena d (sinh v) = cosh v maka

Relasi diferensial dan integral fungsi hiperbolik yang lain termuat dalam Tabel-13.1.



Contoh: Carilah y = cosh(2 x + 1)dx

dv dv = 2 → dx = dx 2 1 1 cosh(v)dv = sinh v + K y = cosh(2 x + 1)dx = 2 2 1 = sinh(2 x + 1) + K 2

Misalkan v = 2 x + 1 →





164 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Soal-Soal: Carilah integral berikut



sinh x

dx ;

x

∫ tanh xdx ; ∫ cosh

2

2 xdx ;

sinh x

∫ cosh 4 x dx ; ∫ tanh

2

xdx

13.10. Integral Menghasilkan Fungsi Trigonometri Inversi Integral fungsi-fungsi yang berbentuk

∫v



dv

,

1 − v2

dv

dan setrusnya mulai nomer 20 v2 − 1 menghasilkan fungsi-fungsi trigonometri inversi.

Contoh: Carilah y =



sampai

31,

dx 1 − 4x 2

Jika kita membuat pemisalan v = 1 − 4 x 2 maka

dx =

dv

∫ 1 + v2 ,

dv = −8 x atau dx

dv . Kalau pemisalan ini kita masukkan dalam persoalan − 8x

integral yang diberikan, kita akan mendapatkan bentuk

∫v

−1 / 2

dv − 8x

yang tidak dapat diproses lebih lanjut; persoalan integral tidak dapat ter-transformasi menjadi integral dalam peubah v. Namun bentuk

dx



ini dapat kita transformasi menjadi bentuk

1 − 4x2

yang termuat dalam Tabel-13.1, yaitu nomer 20. Kita misalkan v = 2x dv dv = 2 atau dx = . Persoalan integral kita yang akan memberikan 2 dx menjadi dx dv 1 dv y= = = 2 2 2 1 − 4x 2 1− v 1 − v2



yang menghasilkan



y=



1 −1 1 sin v + K = sin −1 (2 x) + K 2 2

Soal-Soal: Carilah integral tak tentu berikut ini. dx dx dx dx ; ; ; ; x 4 + x2 1 + 4x2 1 − x2 4 + x2









dx

∫ 1 − x2 165

13.9. Relasi Diferensial dan Integral Berikut ini daftar formula untuk deferensial beserta pasangan integralnya. Beberapa di antaranya perlu untuk diingat, misalnya formula 1 sampai 9 dan 16, 17 yang sering kita temui. Tabel-13.1.



dv dx dx 2. d (kv) = kdv

1. dv = v + K

3. d (v + w) = dv + dw

3. (dv + dw) = dv + dw

1. dv =

4. dv n = nv n −1dv 5. d (ln v) =

dv v

6. dev = ev dv 7. da v = a v ln adv 8. d (sin v) = cos vdv 9. d (cos v) = − sin vdv 10. d (tan v) = sec2 vdv 11. d (cot v) = − csc2 vdv 12. d (sec v) = sec v tan vdv 13. d (csc v) = − csc v cot vdv 14. d (sinh v) = cosh v 15. d (cosh v) = sinh vdv 16. d (tanh v) = sec h 2vdv

2.

∫ kdv = k ∫ dv ∫





4. v n dv =



n +1

v + C ; n≠1 n +1

dv

∫ v = ln v + K 6. ∫ ev dv = ev + K 5.

av +K ln a

∫ 8. ∫ cos vdv = sin v + K 9. ∫ sin vdv = − cos v + K 10. ∫ sec2 vdv = tan v + K 11. ∫ csc2 vdv = − cot v + K 12. ∫ sec tan vdv = sec v + K 13. ∫ csc cot vdv = − csc v + K 14. ∫ cosh vdv = sinh v + K 15. ∫ sinh vdv = cosh v + K 16. ∫ sec h 2vdv = tanh v + K 7. a v dv =

166 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

17. d (coth v) = − csc h 2vdv 18. d (sechv) = − sec hv tanh vdv 19. d (cschv) = − csc hv coth vdv

dv

20. d (sin −1 v) =

20.

1 − v2 −dv

21. d (cos −1 v) =

1− v 22. d tan −1 v = 23. d cot −1 v = 24. d sec−1 v =

∫ 18. ∫ sec hv tanh vdv = −sechv + K 19. ∫ cschv coth vdv = −coshv + K 17. csc h 2vdv = − coth v + K

21. 2

dv 2

1+ v −dv

2

1+ v dv 2

− dv v v −1

26. d (sinh

−1

dv

v) =

27. d (cosh −1 v) =

1+ v2 dv

29. d (coth −1 v) = 30. d (sec h −1v) =

1− v dv

2

1− v −dv v 1− v

31. d (csc h −1v) =

2

−dv v 1+ v

2

dv

−1

24.

∫v

dv



26. ∫ 27.

2

= − cos −1 v + K ′

1 − v2

∫ 1 + v2 = − cot

2

dv

dv

23.

v −1 28. d (tanh −1 v) =

1− v

= sin −1 v + K

2

∫ 1 + v 2 = tan

25.

2



dv

22.

v v −1 25. d csc−1 v =





dv

−1

v+K

= sec−1 v + K , v >0

2

v −1

dv v v2 − 1 dv 1+ v 2

= sinh −1 v + K

2

dv

= − csc −1 v + K , v >0

= cosh −1 v + K

v −1

dv

−1

28.

∫ 1 − v 2 = tanh

29.

∫ 1 − v2 = coth

30.

∫v

31.

v+K

dv

∫v

dv 1− v

2

dv 1+ v

2

v + K ; jika |v|1

= − sec h −1 v + K ; = − csc h −1 v + K ;

167

Catatan Tentang Isi Tabel-13.1. Dengan menggunakan relasi-relasi dalam Tabel-13.1 kita dapat melakukan proses integrasi fungsi-fungsi mencakup: Fungsi mononom dan polinom: Fungsi polinom berpangkat:

∫ vdv dv

∫ v dv ; ∫ v n

∫ e dv ; ∫ a dv Fungsi trigonometri: ∫ cos vdv ; ∫ sin vdv ; ∫ sec2 vdv ; ∫ csc2 vdv ; ∫ sec tan vdv ; ∫ csc cot vdv . tetapi tidak: ∫ tan vdv ; ∫ cot vdv ; ∫ sec vdv ; ∫ csc vdv . 2 Fungsi hiperbolik: ∫ cosh vdv ; ∫ sinh vdv ; ∫ sec h vdv ; 2 ∫ csc h vdv ; ∫ sec hv tanh vdv ; ∫ cschv coth vdv . tetapi tidak: ∫ tanh vdv ; ∫ coth vdv ; ∫ sec hvdv ; ∫ csc hvdv . v

Fungsi exponensial:

v

Integrasi fungsi aljabar yang menghasilkan fungsi trigonometri inversi dan fungsi hiperbolik inversi, seperti

∫ ∫

dv

;

1− v

2

dv

;

v2 − 1

dv

∫ 1 + v2 ; ∫ v ∫ 1 − v2 ; ∫ v dv

dv

;

2

v −1 dv 1 − v2

;



∫v

dv

;

1 + v2

dv 1 + v2

.

tetapi tidak mengintegrasi fungsi inversi seperti

∫ sin

−1

vdv ;

∫ tan

−1



xdx ; sinh

−1

vdv ;

∫ tanh

−1

vdv

Tabel-13.1 tidak memuat relasi integrasi fungsi-fungsi aljabar yang berbentuk

dv

∫ a2 + v2 ; ∫

a 2 ± v 2 dv;



v 2 − a 2 dv; dsb

168 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 14 Integral (3) (Integral Tentu) 14.1. Luas Sebagai Suatu Integral. Integral Tentu Integral tentu merupakan integral yang batas-batas integrasinya jelas. Konsep dasar dari integral tertentu adalah luas bidang yang dipandang sebagai suatu limit. Kita akan menghitung luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva y = f(x), sumbu-x, garis vertikal x = p, dan x = q, yaitu luas bagian yang diarsir pada Gb.14.1.a. Sebutlah luas bidang ini Apq. Bidang ini kita bagi dalam n segmen dan kita akan menghitung luas setiap segmen dan kemudian menjumlahkannya untuk memperoleh Apq. Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.14.1.b, kita akan memperoleh luas yang lebih kecil dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqb (jumlah luas segmen bawah). Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.14.1.c, kita akan memperoleh luas yang lebih besar dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqa (jumlah luas segmen atas). Kedua macam perhitungan tersebut di atas akan mengakibatkan terjadinya galat (error). Antara mereka ada selisih seperti digambarkan pada Gb.14.1.d. Jika x0k adalah suatu nilai x di antara kedua batas segmen ke-k, yaitu antara xk dan (xk+∆x), maka berlaku

f ( xk ) ≤ f ( x0k ) ≤ f ( xk + ∆x)

(14.1)

Jika pertidaksamaan (14.1) dikalikan dengan ∆xk yang yang cukup kecil dan bernilai positif, maka

f ( xk )∆xk ≤ f ( x0k )∆xk ≤ f ( xk + ∆x)∆xk

(14.2)

169

y

(a)

(b)

(c)

0 p y

0 p y

0 p y

y = f(x)

x2

xk+1

xn q

x

xk xk+1

xn q

x

xk xk+1

xn q

x

xk

y = f(x)

x2

y = f(x)

x2

y = f(x)

xk xk+1 xn q x (d) 0 p x2 Gb.14.1. Menghitung luas bidang di bawah kurva.

170 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Sekarang luas segmen di ruas kiri, tengah, dan kanan dari (14.2) kita jumlahkan dari 1 sampai n (yaitu sebanyak jumlah segmen yang kita buat), kita akan memperoleh n



n

f ( xk )∆xk ≤

k =1



n

f ( x0 k )∆xk ≤

k =1

∑ f ( xk + ∆x)∆xk

(14.3)

k =1

Ruas paling kiri adalah jumlah luas segmen bawah, Apqb; ruas paling kanan adalah jumlah luas segmen atas, Apqa; ruas yang di tengah adalah jumlah luas segmen pertengahan, kita namakan An. Jelaslah bahwa

A pqb ≤ An ≤ A pqa

(14.4)

Nilai An dapat dipakai sebagai pendekatan pada luas bidang yang kita cari. Galat (error) yang terjadi sangat tergantung dari jumlah segmen, n. Jika n kita perbesar menuju tak hingga, seraya menjaga agar semua ∆xk menuju nol, maka luas bidang yang kita cari adalah

Apq = lim A pqb = lim An = lim Apqa

(14.5)

Jadi apabila kita menghitung limitnya, kita akan memperoleh nilai limit yang sama, apakah kita menggunakan penjumlahan segmen bawah, atau atas, atau pertengahannya. Limit yang sama ini disebut integral tertentu, dituliskan

Apq =

q

∫p f ( x)dx

(14.6)

Integral tertentu (14.6) ini terkait dengan integral tak tentu (9.12)

Apq =

q

∫p f ( x)dx = F ( x)]p = F (q) − F ( p) q

(14.7)

Jadi untuk memperoleh limit bersama dari penjumlahan segmen bawah, penjumlahan segmen atas, maupun penjumlahan segmen pertengahan dari fungsi f(x) dalam rentang p ≤ x ≤ q, kita cukup melakukan:

∫ f ( x)dx ;

a.

integrasi untuk memperoleh F ( x) =

b. c. d.

masukkan batas atas x = q untuk mendapat F(q); masukkan batas bawah x = p untuk mendapat F(p); kurangkan perolehan batas bawah dari batas atas, F(q) − F(p).

171

Walaupun dalam pembahasan di atas kita mengambil contoh fungsi yang bernilai positif dalam rentang p ≤ x ≤ q , namun pembahasan itu berlaku pula untuk fungsi yang dalam rentang p ≤ x ≤ q sempat bernilai negatif. Kita hanya perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut dengan Apx dalam pembahasan sebelumnya. Pendefinisian yang baru ini akan berlaku umum, yaitu Apx adalah luas bidang yang dibatasi oleh y = f (x) dan sumbu-x dari p sampai x, yang merupakan jumlah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x. Agar lebih jelas kita mengambil contoh pada Gb 14.2.

y y = x3−12x 20 10

x

0 -4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

-10 -20

Gb.14.2. Kurva y = x 3 − 12 x Kita akan menghitung luas antara y = x 3 − 12 x dan sumbu-x dari x = −3 sampai x = +3. Bentuk kurva diperlihatkan pada Gb.14.2 Di sini terlihat bahwa dari x = −3 sampai 0 kurva berada di atas sumbu-x dan antara x = 0 sampai +3 kurva ada di bawah sumbu-x. Untuk bagian yang di atas sumbu-x kita mempunyai luas

 x4 Aa = ( x − 12 x)dx = − 6x2  −3 4 



0

0

3

−3

= −0 − (20,25 − 54) = 33,75 Untuk kurva yang di bawah sumbu-x kita dapatkan

Ab =

3

∫0

( x3 − 12 x)dx =

 x4 − 6x2  4 

3

0

= 20,25 − 54 − (0) = −33,75 172 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Luas yang kita cari adalah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x

Apq = Aa − Ab = 33,75 − (−33,755) = 67,5 Contoh ini menunjukkan bahwa dengan pengertian yang baru mengenai Apx, formulasi

A=

q

∫p f ( x)dx = F (q) − F ( p))

tetap berlaku untuk kurva yang memiliki bagian baik di atas maupun di bawah sumbu-x. Dengan demikian maka untuk bentuk kurva seperti pada Gb.14.3. kita dapatkan

Apq = − A1 + A2 − A3 + A4 yang kita peroleh dari

Apq =

q

∫p f ( x)dx = F (q) − F ( p))

y y = f(x) A2

p A1

A4 A3

q

x

Gb.14.3. Kurva memotong sumbu-x di beberapa titik.

173

14.2. Luas Bidang Di Antara Dua Kurva Kita akan menghitung luas bidang di antara kurva y1 = f1( x) dan

y2 = f 2 ( x) pada batas antara x = p dan x = q . Kurva yang kita hadapi sudah barang tentu harus kontinyu dalam rentang p ≤ x ≤ q . Kita tetapkan bahwa kurva y1 = f1( x) berada di atas y2 = f 2 ( x) meskipun mungkin mereka memiliki bagian-bagian yang berada di bawah sumbu-x. Perhatikan Gb.14.4. Rentang p ≤ x ≤ q kita bagi dalam n segmen, yang salah satunya diperlihatkan pada Gb.14.4. dengan batas kiri x dan batas kanan (x+∆x), dimana ∆x = (q − p ) / n . y

y1

∆Apx p

x

0

x+∆x

q

x

y2

Gb.14.4. Menghitung luas bidang antara dua kurva. Luas segmen dapat didekati dengan

Asegmen = { f1 ( x) − f 2 ( x)}∆x

(14.8)

yang jika kita jumlahkan seluruh segmen akan kita peroleh x = q − ∆x

n



Asegmen =

∑ { f1( x) − f 2 ( x)}∆x

(14.9)

x= p

1

Dengan membuat n menuju tak hingga sehingga ∆x menuju nol kita sampai pada suatu limit n →∞

Apq = lim

q

∑ Asegmen = ∫p { f1( x) − f 2 ( x)}dx

(14.10)

1

Kita akan melihat beberapa contoh

Contoh 1: Jika y1 = 4 dan y 2 = −2 berapakah luas bidang antara y1 dan y2 dari x1 = p = −2 sampai x2 = q = +3.

Apq =

+3

∫−2 ({4 − (−2)}dx = 6 x]−2 = 18 − (−12) = 30 +3

174 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Hasil ini dengan mudah dijakinkan menggunakan planimetri. Luas yang dicari adalah luas persegi panjang dengan lebar y1 − y2 = 6 dan panjang x2 − x1 = 5 .

Contoh 2: Jika y1 = x 2 dan y 2 = 4 berpakah luas bidang yang dibatasi oleh y1 dan y2. Terlebih dulu kita cari batas-batas integrasi yaitu nilai x pada perpotongan antara y1 dan y2.

y1 = y2 → x 2 = 4 ⇒ x1 = p = −2, x2 = q = 2 Perhatikan bahwa y1 adalah fungsi pangkat dua dengan titik puncak minimum yang berada pada posisi [0,0]. Oleh karena itu bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya, berada di di bawah y2 = 4. 2

Apq

 x 3  (4 − x )dx ==  4 x −  =  −2 3    -2



2

2

8  − 8  16 − 16 32  − = 8 −  −  − 8 − = 3  3  3 3 3  Jika kita terbalik dalam memandang posisi y1 terhadap y2 kita akan melakukan kesalahan: 2

  x3 ( x − 4)dx =  − 4 x  Apq * =   3 −2  - 2 



2

2

8  −8  − 16 + 16 + 8 = − =0  − 8 −  3 3 3   3  Contoh 3: Jika y1 = − x 2 + 2 dan y2 = − x berapakah luas bidang yang dibatasi oleh y1 dan y2. Terlebih dulu kita perhatikan karakter fungsi-fungsi ini. Fungsi y1 adalah fungsi kuadrat dengan titik puncak maksimum yang memotong sumbu-y di y = 2. Fungsi y2 adalah garis lurus melalui titik asal [0,0] dengan kemiringan negatif −1, yang berarti ia menurun pada arah x positif. Dengan demikian maka bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya berada di atas y2. 175

Batas integrasi adalah nilai x pada perpotongan kedua kurva.

y1 = y2 → − x 2 + 2 = − x atau − x 2 + x + 2 = 0 x1 = p =

− 1 + 12 + 8 − 1 − 12 + 8 = −1; x2 = q = =2 −2 −2 2

  x3 x 2 = (− x + 2 + x)dx =  − + + 2 x    3 −1 2  −1 



Apq

2

2

 8   −1 1  =  − + 2 + 4 −  − + − 2  = 4,5 3 3 2     14.3. Penerapan Integral Pembahasan di atas terfokus pada penghitungan luas bidang di bawah suatu kurva. Demikian juga di bab sebelumnya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan visualisasi. Dalam praktek kita tidak selalu menghitung luas melainkan menghitung berbagai besaran fisis yang berubah terhadap waktu misalnya. Perubahan besaran fisis ini dapat pula divisualisasi dengan membuat absis dengan satuan waktu dan ordinat dengan satuan besaran fisis yang dimaksud. Dengan demikian seolaholah kita menghitung luas bidang di bawah kurva. Berikut ini dua contoh dalam kelistrikan.

Contoh 1: Sebuah piranti menyerap daya 100 W pada tegangan konstan 200V. Berapakah energi yang diserap oleh piranti ini selama 8 jam ? Daya adalah laju perubahan energi. Jika daya diberi simbol p dan energi diberi simbol w, maka

p=

dw yang memberikan w = dt

∫ pdt

Perhatikan bahwa peubah bebas di sini adalah waktu, t. Kalau batas bawah dari waktu kita buat 0, maka batas atasnya adalah 8, dengan satuan jam. Dengan demikian maka energi yang diserap selama 8 jam adalah

w=

8

∫0

8

∫0

8

pdt = 100dt = 100t 0

= 800 Watt.hour [Wh] = 0,8 kilo Watt hour [kWh] 176 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Contoh 2: Arus yang melalui suatu piranti berubah terhadap waktu sebagai i(t) = 0,05 t ampere. Berapakah jumlah muatan yang dipindahkan melalui piranti ini antara t = 0 sampai t = 5 detik ? Arus i adalah laju perubahan transfer muatan, q.

i=

dq sehingga q = idt dt



Jumlah muatan yang dipindahkan dalam 5 detik adalah 5

∫0

q = idt =

5

∫0

0,05tdt =

0,05 2 t 2

5

= 0

1,25 = 0,625 coulomb 2

14.4. Pendekatan 4umerik Dalam pembahasan mengenai integral tentu, kita fahami bahwa langkahlangkah dalam menghitung suatu integral adalah: 1.

Membagi rentang f(x) ke dalam n segmen; agar proses perhitungan menjadi sederhana buat segmen yang sama lebar, ∆x.

2.

Integral dalam rentang p ≤ x ≤ q dari f(x) dihitung sebagai q

∫p

n

f ( x)dx = lim

∆x → 0

∑ f ( xk )∆xk k =1

dengan f(xk) adalah nilai f(x) dalam interval ∆xk yang besarnya akan sama dengan nilai terendah dan tertinggi dalam segmen ∆xk jika ∆x menuju nol. Dalam aplikasi praktis, kita tentu bisa menetapkan suatu nilai ∆x sedemikian rupa sehingga jika kita mengambil f(xk) sama dengan nilai terendah ataupun tertinggi dalam ∆xk, hasil perhitungan akan lebih rendah ataupun lebih tinggi dari nilai yang diharapkan. Namun error yang terjadi masih berada dalam batas-batas toleransi yang dapat kita terima. Dengan cara ini kita mendekati secara numerik perhitungan suatu integral, dan kita dapat menghitung dengan bantuan komputer. Sebagai ilustrasi kita akan menghitung kembali luas bidang yang dibatasi oleh kurva y = x 3 − 12 x dengan sumbu-x antara x = −3 dan x = +3. Lauas

177

ini telah dihitung dan menghasilkan Apq = 67,5 . Kali ini kita melakukan perhitungan pendekatan secara numerik dengan bantuan komputer.

Apq =

3

∫−3 ( x

3

− 12 x)dx

Karena yang akan kita hitung adalah luas antara kurva dan sumbu-x, maka bagian kurva yang berada di bawah sumbu-x harus dihitung sebagai positif. Jika kita mengambil nilai ∆x = 0,15 maka rentang −3 ≤ x ≤ 3 akan terbagi dalam 40 segmen. Perhitungan menghasilkan 40

A pq =

∑ ( xk 3 − 12 xk ) = 67,39875 ≈ 67,4 k =1

Error yang terjadi adalah sekitar 0,15%. Jika kita mengambil ∆x = 0,05 maka rentang −3 ≤ x ≤ 3 akan terbagi dalam 120 segmen. Perhitungan menghasilkan 120

Apq =

∑ ( xk 3 − 12 xk ) = 67,48875 ≈ 67,5 k =1

Error yang terjadi adalah sekitar 0,02%. Jika kita masih mau menerima hasil perhitungan dengan error 0,2%, maka hasil pendekatan numerik sebesar 67,4 cukup memadai. Perhitungan numerik di atas dilakukan dengan menghitung luas setiap segmen sebagai hasilkali nilai minimum ataupun nilai maksimum masing-masing segmen dengan ∆x. Satu alternatif lain untuk menghitung luas segmen adalah dengan melihatnya sebagai sebuah trapesium. Luas setiap segmen menjadi

Asegmen = ( f ( xk min ) + f ( xkmaks ) ) × ∆x / 2

(14.13)

Perhitungan pendekatan numerik ini kita lakukan dengan bantuan komputer. Kita bisa memanfaatkan program aplikasi yang ada, ataupun menggunakan spread sheet jika fungsi yang kita hadapi cukup sederhana.

178 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 15 Persamaan Diferensial (Orde Satu) 15.1. Pengertian Persamaan diferensial adalah suatu persamaan di mana terdapat satu atau lebih turunan fungsi. Persamaan duferensial diklasifikasikan sebagai: 1. Menurut jenis atau tipe: ada persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Jenis yang kedua tidak kita pelajari di buku ini, karena kita hanya meninjau fungsi dengan satu peubah bebas. 2. Menurut orde: orde persamaan diferensial adalah orde tertinggi turunan fungsi yang ada dalam persamaan. tiga; 3.

d2y 2

adalah orde dua;

d3y dx3

adalah orde

dy adalah orde satu. dx

dx Menurut derajat: derajat suatu persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari turunan fungsi orde tertinggi. 2

5

 d3y   d 2 y  y Sebagai contoh:  3  +  2  + 2 = e x adalah persamaan  dx   dx  + x 1     diferensial biasa, orde tiga, derajat dua. Dalam buku ini kita hanya akan membahas persamaan diferensial biasa, orde satu dan orde dua, derajat satu.

15.2. Solusi Suatu fungsi y = f(x) dikatakan merupakan solusi suatu persamaan diferensial jika persamaan tersebut tetap terpenuhi dengan digantikannya y dan turunannya dalam persamaan tersebut oleh f(x) dan turunannya. Kita ambil satu contoh:

179

y = ke − x adalah solusi dari persamaan dy + y = 0 karena turunan y = ke

−x

dt dy − x adalah = −ke , dan jika ini kita masukkan dalam dt

persamaan akan kita peroleh − ke − x + ke − x = 0 Persamaan terpenuhi. Pada contoh di atas kita lihat bahwa persamaan diferensial orde satu mempunyai solusi yang melibatkan satu tetapan sembarang yaitu k. Pada umumnya suatu persamaan orde n akan memiliki solusi yang mengandung n tetapan sembarang. Pada persamaan diferensial orde dua yang akan kita bahas di bab berikutnya, kita akan menemukan solusi dengan dua tetapan sembarang. Nilai dari tetapan ini ditentukan oleh kondisi awal.

15.3. Persamaan Diferensial Orde Satu Dengan Peubah Yang Dapat Dipisahkan Solusi suatu persamaan diferensial bisa diperoleh apabila peubah-peubah dapat dipisahkan; pada pemisahan peubah ini kita mengumpulkan semua y dengan dy dan semua x dengan dx. Jika hal ini bisa dilakukan maka persamaan tersebut dapat kita tuliskan dalam bentuk

f ( y )dy + g ( x)dx = 0

(15.1)

Apabila kita lakukan integrasi kita akan mendapatkan solusi umum dengan satu tetapan sembarang K, yaitu

∫ f ( y)dy + ∫ g ( x)dx) = K

(15.2)

Kita ambil dua contoh. 1).

dy e x dy = = ex− y . Persamaan ini dapat kita tuliskan dx e y dx sehingga kita dapatkan persamaan dengan peubah terpisah e y dy − e x dx = 0 dan

∫ e dy − ∫ e dx = K y

x

sehingga e y − e x = K atau e y = e x + K

180 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

2).

dy 1 = . Pemisahan peubah akan memberikan bentuk dx xy ydy −

sehingga

dx = 0 dan x

dx

∫ ydy − ∫ x

=K

y2 − ln x = K atau y = ln x 2 + K ′ 2

15.4. Persamaan Diferensial Homogen Orde Satu Suatu persamaan disebut homogen jika ia dapat dituliskan dalam bentuk

dy  y = F  dx x

(15.3)

Persamaan demikian ini dapat dipecahkan dengan membuat peubah bebas baru y v= x Dengan peubah baru ini maka dy dv y = vx dan =v+ x dx dx Persamaan (14.2) menjadi dv v+x = F (v ) (15.4) dx yang kemudian dapat dicari solusinya melalui pemisahan peubah.

dx dv + =0 x v − F (v )

(15.5)

Solusi persamaan aslinya diperoleh dengan menggantikan v dengan y/x setelah persamaan terakhir ini dipecahkan. Kita ambil contoh: ( x 2 + y 2 )dx + 2 xydy = 0 2 Persamaan ini dapat kita tulis x 2 (1 + y )dx + 2 xydy = 0 atau 2

x

181

(1 +

y2 x2

)dx = −2

y dy 1 + ( y / x) 2 dy sehingga =− = F ( y / x) x dx 2( y / x )

yang merupakan bentuk persamaan homogen. Peubah baru v = y/x memberikan

y = vx dan

dy dv =v+ x dx dx

dan membuat persamaan menjadi

v+x

1 + v2 1 + 3v 2 1 + v2 dv dv atau x =− = −v − =− 2v 2v 2v dx dx

Dari sini kita dapatkan

dv 2

(1 + 3v ) / 2v

=−

dx x

atau

dx 2vdv + =0 x 1 + 3v 2

Kita harus mencari solusi persamaan ini untuk mendapatkan v sebagai fungsi x. Kita perlu pengalaman untuk ini. Kita tahu bahwa

d (ln x) 1 = . Kita coba hitung dx x

d ln(1 + 3x 2 ) d ln(1 + 3x 2 ) d (1 + 3 x 2 ) 1 = = (6 x ) 2 dx dx d (1 + 3x ) 1 + 3x 2 Kembali ke persamaan kita. Dari percobaan perhitungan di atas kita dapatkan solusi dari dx 2vdv + =0 x 1 + 3v 2 1 1 adalah ln x + ln(1 + 3v 2 ) = K = ln K ′ atau 3 3

3 ln x + ln(1 + 3v 2 ) = K = ln K ′ sehingga x 3 (1 + 3v 2 ) = K ′ Dalam x dan y solusi ini adalah

(

)

(

)

x 3 1 + 3( y / x) 2 = K ′ atau x x 2 + 3 y 2 = K ′

182 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

15.5. Persamaan Diferensial Linier Orde Satu Dalam persamaan diferensial linier, semua suku berderajat satu atau nol. Dalam menentukan derajat ini kita harus memperhitungkan pangkat dari peubah dan turunannya; misal y(dy/dx) adalah berderajat dua karena y dan dy/dx masing-masing berpangkat satu dan harus kita jumlahkan untuk menentukan derajat dari y(dy/dx). Persamaan diferensial orde satu yang juga linier dapat kita tuliskan dalam bentuk

dy + Py = Q dx

(15.6)

dengan P dan Q merupakan fungsi x atau tetapan. Persamaan diferensial bentuk inilah selanjutnya akan kita bahas dan kita akan membatasi pada situasi dimana P adalah suatu tetapan. Hal ini kita lakukan karena kita akan langsung melihat pemanfaatan praktis dengan contoh yang terjadi pada analisis rangkaian listrik. Dalam analisis rangkaian listrik, peubah fisis seperti tegangan dan arus merupakan fungsi waktu. Oleh karena itu persamaan diferensial yang akan kita tinjau kita tuliskan secara umum sebagai

a

dy + by = f (t ) dt

(15.7)

Persamaan diferensial linier orde satu seperti ini biasa kita temui pada peristiwa transien (atau peristiwa peralihan) dalam rangkaian listrik. Cara yang akan kita gunakan untuk mencari solusi adalah cara pendugaan. Peubah y adalah keluaran rangkaian (atau biasa disebut tanggapan rangkaian) yang dapat berupa tegangan ataupun arus sedangkan nilai a dan b ditentukan oleh nilai-nilai elemen yang membentuk rangkaian. Fungsi f(t) adalah masukan pada rangkaian yang dapat berupa tegangan ataupun arus dan disebut fungsi pemaksa atau fungsi penggerak. Persamaan diferensial seperti (15.7) mempunyai solusi total yang merupakan jumlah dari solusi khusus dan solusi homogen. Solusi khusus adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan (15.7) sedangkan solusi homogen adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan homogen

a

dy + by = 0 dt

(15.8)

183

Hal ini dapat difahami karena jika f1(t) memenuhi (15.7) dan fungsi f2(t) memenuhi (15.8), maka y = (f1+f2) akan memenuhi (15.7) sebab

dy d ( f1 + f 2 ) + by = a + b( f1 + f 2 ) dt dt df df df = a 1 + bf1 + a 2 + bf 2 = a 1 + bf1 + 0 dt dt dt

a

Jadi y = (f1+f2) adalah solusi dari (15.7), dan kita sebut solusi total yang terdiri dari solusi khusus f1 dari (15.7) dan solusi homogen f2 dari (15.8).

Peristiwa Transien. Sebagaimana telah disebutkan, persamaan diferensial seperti (14.7) dijumpai dalam peristiwa transien, yaitu selang peralihan dari suatu keadaan mantap ke keadaan mantap yang lain.. Peralihan kita anggap mulai terjadi pada t = 0 dan peristiwa transien yang kita tinjau terjadi dalam kurun waktu setelah mulai terjadi perubahan yaitu dalam kurun waktu t > 0. Sesaat setelah mulai perubahan kita beri tanda t = 0+ dan sesaat sebelum terjadi perubahan kita beri tanda t = 0−. Solusi Homogen. Persamaan (15.8) menyatakan bahwa y ditambah dengan suatu koefisien konstan kali dy/dt, sama dengan nol untuk semua nilai t. Hal ini hanya mungkin terjadi jika y dan dy/dt berbentuk sama. Fungsi yang turunannya mempunyai bentuk sama dengan fungsi itu sendiri adalah fungsi eksponensial. Jadi kita dapat menduga bahwa solusi dari (15.8) mempunyai bentuk eksponensial y = K1est . Jika solusi dugaan ini kita masukkan ke (15.8), kita peroleh

aK1se st + bK1e st = 0

atau

K1(as + b ) y = 0

(15.9)

Peubah y tidak mungkin bernilai nol untuk seluruh t dan K1 juga tidak boleh bernilai nol karena hal itu akan membuat y bernilai nol untuk seluruh t. Satu-satunya cara agar persamaan (15.9) terpenuhi adalah

as + b = 0

(15.10)

Persamaan (15.10) ini disebut persamaan karakteristik sistem orde pertama. Persamaan ini hanya mempunyai satu akar yaitu s = −(b/a). Jadi solusi homogen yang kita cari adalah

ya = K1e st = K1e −(b / a ) t

(15.11)

Nilai K1 masih harus kita tentukan melalui penerapan suatu persyaratan tertentu yang kita sebut kondisi awal yaitu kondisi pada t = 0+ sesaat 184 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

setelah mulainya perubahan keadaan. Ada kemungkinan bahwa y telah mempunyai nilai tertentu pada t = 0+ sehingga nilai K1 haruslah sedemikian rupa sehingga nilai y pada t = 0+ tersebut dapat dipenuhi. Akan tetapi kondisi awal ini tidak dapat kita terapkan pada solusi homogen karena solusi ini baru merupakan sebagian dari solusi. Kondisi awal harus kita terapkan pada solusi total dan bukan hanya untuk solusi homogen saja. Oleh karena itu kita harus mencari solusi khusus lebih dulu agar solusi total dapat kita peroleh untuk kemudian menerapkan kondisi awal.

Solusi khusus. Solusi khusus dari (15.7) tergantung dari bentuk fungsi pemaksa f(t). Seperti halnya dengan solusi homogen, kita dapat melakukan pendugaan pada solusi khusus. Bentuk solusi khusus haruslah sedemikian rupa sehingga jika dimasukkan ke persamaan (15.7) maka ruas kiri dan ruas kanan persamaan itu akan berisi bentuk fungsi yang sama. Jika solusi khusus kita sebut yp, maka yp dan turunannya harus mempunyai bentuk sama agar hal tersebut terpenuhi. Untuk berbagai bentuk f(t), solusi khusus dugaan yp adalah sebagai berikut.

Jika f (t ) = 0 , maka y p = 0 Jika f (t ) = A = konstan, maka y p = konstan = K Jika f (t ) = Aeαt = eksponensial, maka y p = eksponensial = Keαt Jika f (t ) = A sin ωt , atau f (t ) = A cos ωt , maka y p = K c cos ωt + K s sin ωt Perhatikan : y = K c cos ωt + K s sin ωt adalah bentuk umum fungsi sinus maupun cosinus . Solusi total. Jika solusi khusus kita sebut yp, maka solusi total adalah

y = y p + ya = y p + K1e s t

(15.12)

Pada solusi lengkap inilah kita dapat menerapkan kondisi awal yang akan memberikan nilai K1.

Kondisi Awal. Kondisi awal adalah kondisi pada awal terjadinya perubahan yaitu pada t = 0+. Dalam menurunkan persamaan diferensial pada peristiwa transien kita harus memilih peubah yang disebut peubah 185

status. Peubah status harus merupakan fungsi kontinyu. Nilai peubah ini, sesaat sesudah dan sesaat sebelum terjadi perubahan harus bernilai sama. Jika kondisi awal ini kita sebut y(0+) maka

y (0 + ) = y ( 0 − )

(15.13)

Jika kondisi awal ini kita masukkan pada dugaan solusi lengkap (14.12) akan kita peroleh nilai K1.

y (0 + ) = y p (0 + ) + K1 → K1 = y (0 + ) − y p (0 + )

(15.14)

yp(0+) adalah nilai solusi khusus pada t = 0+. Nilai y(0+) dan yp(0+) adalah tertentu (yaitu nilai pada t = 0+). Jika kita sebut

y (0+ ) − y p (0 + ) = A0

(15.15)

y = y p + A0 e s t

(15.16)

maka solusi total menjadi

15.6. Solusi Pada Berbagai Fungsi Pemaksa Tanpa Fungsi Pemaksa, f(t) = 0. Jika f(t) =0 maka solusi yang akan kita peroleh hanyalah solusi homogen saja. Walaupun demikian, dalam mencari soluai kita akan menganggap bahwa fungsi pemaksa tetap ada, akan tetapi bernilai nol. Hal ini kita lakukan karena kondisi awal harus diterapkan pada solusi total, sedangkan solusi total harus terdiri dari solusi homogen dan solusi khusus (walaupun mungkin bernilai nol). Kondisi awal tidak dapat diterapkan hanya pada solusi homogen saja atau solusi khusus saja. Contoh: Dari suatu analisis rangkaian diperoleh persamaan dv + 1000v = 0 dt untuk t > 0. Kondisi awal adalah v(0+) = 12 V.

Persamaan karakteristik : s + 1000 = 0 → s = −1000 Dugaan solusi homogen : va = A0e −1000t Dugaan solusi khusus : v p = 0 (karena tidak ada fungsi pemaksa) Dugaan solusi total : v = v p + A0e st = 0 + A0e −1000t 186 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Kondisi awal : v (0 + ) = v(0 − ) = 12 V. Penerapan kondisi awal pada dugaan solusi total memberikan : 12 = 0 + A0 → A0 = 12 Solusi total menjadi : v = 12 e −1000 t V Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 10 menghasilkan persamaan dv + 3v = 0 dt

V, analisis transien

Persamaan karakteristik : s + 3 = 0 → s = −3 Dugaan solusi homogen : va = A0 e −3 t Dugaan solusi khusus : v p = 0 Dugaan solusi total : v = v p + A0 e − 3t Kondisi awal : v (0 + ) = 10 V Penerapan kondisi awal memberikan : 10 = 0 + A0 Solusi total menjadi : v = 10 e −3t V Fungsi Pemaksa Berbentuk Anak Tangga. Kita telah mempelajari bahwa fungsi anak tangga adalah fungsi yang bernilai 0 untuk t < 0 dan bernilai konstan untuk t > 0. Jadi jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka fungsi pemaksa anak tangga dapat kita tuliskan sebagai f(t) = A (tetapan). Contoh: Suatu analisis rangkaian memberikan persamaan

10−3

dv + v = 12 dt

dengan kondisi awal v(0+) = 0 V.

Persamaan karakteristik : 10−3 s + 1 = 0 → s = −1 / 10 −3 = −1000 Dugaan solusi homogen : va = A0e −1000 t

187

Karena f(t) = 12 konstan, kita dapat menduga bahwa solusi khusus akan bernilai konstan juga karena turunannya akan nol sehingga kedua ruas persamaan tersebut dapat berisi suatu nilai konstan.

Dugaan solusi khusus : v p = K Masukkan v p dugaan ini ke persamaan : 0 + K = 12 ⇒ v p = 12 Dugaan solusi total : v = 12 + A0e −1000 t V Kondisi awal : v(0 + ) = v(0−) = 0. Penerapan kondisi awal memberikan : 0 = 12 + A0 → A0 = −12 Solusi total menjadi : v = 12 − 12 e −1000t V Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 11 V, analisis transien menghasilkan persamaan

dv + 5v = 200 dt Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5 Dugaan solusi homogen : va = A0 e − 5 t Dugaan solusi khusus : v p = K → 0 + 5K = 200 → v p = 40 Dugaan solusi lengkap : v = v p + A0 e −5t = 40 + A0 e −5t Kondisi awal : v(0 + ) = 11 V. Penerapan kondisi awal memberikan : 11 = 40 + A0 → A0 = −29 Tanggapan total : v = 40 − 29 e −5t V. Fungsi Pemaksa Berbentuk Sinus. Berikut ini kita akan mencari solusi jika fungsi pemaksa berbentuk sinus. Karena solusi homogen tidak tergantung dari bentuk fungsi pemaksa, maka pencarian solusi homogen dari persamaan ini sama seperti apa yang kita lihat pada contoh-contoh sebelumnya. Jadi dalam hal ini perhatian kita lebih kita tujukan pada pencarian solusi khusus. Dengan pengertian bahwa kita hanya memandang kejadian pada t > 0, bentuk umum dari fungsi sinus yang muncul pada t = 0 kita tuliskan y = A cos(ωt + θ) 188 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Melalui relasi

y = A cos(ωt + θ) = A{cos ωt cos θ − sin ωt sin θ} bentuk umum fungsi sinus dapat kita tuliskan sebagai

y = Ac cos ωt + As sin ωt dengan Ac = A cos θ dan

As = − A sin θ

Dengan bentuk umum seperti di atas kita terhindar dari perhitungan sudut fasa θ, karena sudut fasa ini tercakup dalam koefisien Ac dan As. Koefisien Ac dan As tidak selalu ada. Jika sudut fasa θ = 0 maka As = 0 dan jika θ = 90o maka Ac = 0. Jika kita memerlukan nilai sudut fasa θ dari fungsi sinus yang dinyatakan dengan pernyataan umum, kita dapat A menggunakan relasi tan θ = s . Ac Turunan fungsi sinus akan berbentuk sinus juga. Oleh karena itu, penjumlahan y = sinωt dan turunannya akan berbentuk fungsi sinus juga.

y = Ac cos ωt + As sin ωt ; dy = − Ac ω sin ωt + As ω cos ωt ; dt d2y dt

2

= − Ac ω2 cos ωt − As ω2 sin ωt

Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 0 V suatu analisis transien dv + 5v = 100 cos10t menghasilkan persamaan dt

Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5 Dugaan solusi homogen : va = A0e −5 t Fungsi pemaksa berbentuk sinus. Solusi khusus kita duga akan berbentuk sinus juga.

189

Dugaan solusi khusus : v p = Ac cos10t + As sin 10t Substitusi solusi khusus ini ke persamaan memberikan : − 10 Ac sin 10t + 10 As cos 10t + 5 Ac cos 10t + 5 As sin 10t = 100 cos10t → −10 Ac + 5 As = 0 dan 10 As + 5 Ac = 100 → As = 2 Ac → 20 Ac + 5 Ac = 100

⇒ Ac = 4 dan As = 8

Solusi khusus : v p = 4 cos 10t + 8 sin 10t Dugaan solusi total : v = 4 cos 10t + 8 sin 10t + A0 e − 5 t Kondisi awal v(0 + ) = 0. Penerapan kondisi awal : 0 = 4 + A0 → A0 = −4 Jadi : v = 4 cos 10t + 8 sin 10t − 4e − 5t V Contoh: Apabila kondisi awal adalah v(0+) = 10 V, bagaimanakah solusi pada contoh sebelum ini? Solusi total telah diperoleh; hanya kondisi awal yang berubah. Solusi total : v = 4 cos 10t + 8 sin 10t + A0 e −5t Kondisi awal v(0 + ) = 10 → 10 = 4 + A0 → A0 = 6 Jadi : v = 4 cos 10t + 8 sin 10t + 6 e − 5 t V

Ringkasan. Solusi total terdiri dari solusi khusus dan solusi homogen. Solusi homogen merupakan bagian transien dengan konstanta waktu yang ditentukan oleh tetapan-tetapan dalam persamaan, yang dalam hal rangkaian listrik ditentukan oleh nilai-nilai elemen rangkaian. Solusi khusus merupakan solusi yang tergantung dari bentuk fungsi pemaksa, yang dalam hal rangkaian listrik ditentukan oleh masukan dari luar; solusi khusus merupakan bagian mantap atau kondisi final.

190 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y = y p (t ) + A0 e− t / τ

Solusi khusus :  ditentukan oleh fungsi pemaksa.  merupakan komponen mantap; tetap ada untuk t →∞.

Solusi homogen :  tidak ditentukan oleh fungsi pemaksa.  merupakan komponen transien; hilang pada t →∞; sudah dapat dianggap hilang pada t = 5τ.  konstanta waktu τ = a/b pada (14.10)

Soal-Soal: 1.

2.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut. dv a). + 10v = 0 , v(0 + ) = 10 ; dt dv b). + 15v = 0 , v (0 + ) = 5 dt Carilah solusi persamaan diferensial berikut. di a). + 8i = 0 , i (0 + ) = 2 ; dt di b). + 10 4 i = 0 , i (0 + ) = −0,005 dt

191

3.

4.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut. dv a). + 10v = 10u (t ) , v(0 + ) = 0 ; dt dv b). + 10v = 10u (t ) , v(0 + ) = 5 dt Carilah solusi persamaan diferensial berikut.

di + 10 4 i = 100u (t ) , i(0 + ) = 0 ; dt di b). + 10 4 i = 100u (t ) , i (0 + ) = −0,02 dt

a).

5.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut.

dv + 5v = 10 cos(5t )u (t ) , v (0 + ) = 0 ; dt dv b). + 10v = 10 cos(5t )u (t ) , v (0 + ) = 5 dt

a).

192 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 16 Persamaan Diferensial (2) (Orde Dua) 16.1. Persamaan Diferensial Linier Orde Dua Secara umum persamaan diferensial linier orde dua berbentuk

a

d2y dt

2

+b

dy + cy = f (t ) dt

(16.1)

Pada persamaan diferensial orde satu kita telah melihat bahwa solusi total terdiri dari dua komponen yaitu solusi homogen dan solusi khusus. Hal yang sama juga terjadi pada persamaan diferensial orde dua yang dengan mudah dapat ditunjukkan secara matematis seperti halnya pada persamaan orde pertama. Perbedaan dari kedua macam persamaan ini terletak pada kondisi awalnya. Pada persamaan orde dua terdapat dua kondisi awal dan kedua kondisi awal ini harus diterapkan pada dugaan solusi total. Dua kondisi awal tersebut adalah

y (0+ ) = y (0− ) dan

dy + (0 ) = y ' (0 − ) dt

(16.2)

Solusi homogen. Solusi homogen diperoleh dari persamaan rangkaian dengan memberikan nilai nol pada ruas kanan dari persamaan (4.25), sehingga persamaan menjadi

a

d2y dt

2

+b

dy + cy = 0 dt

(16.3)

Agar persamaan ini dapat dipenuhi, y dan turunannya harus mempunyai bentuk sama sehingga dapat diduga y berbentuk fungsi eksponensial ya = Kest dengan nilai K dan s yang masih harus ditentukan. Kalau solusi dugaan ini dimasukkan ke (16.3) akan diperoleh :

aKs 2e st + bKse st + cKe st = 0 atau

(

)

Ke st as 2 + bs + c = 0

(16.4)

193

Fungsi est tidak boleh nol untuk semua nilai t . Kondisi K = 0 juga tidak diperkenankan karena hal itu akan berarti ya = 0 untuk seluruh t. Satusatunya jalan agar persamaan ini dipenuhi adalah

as 2 + bs + c = 0

(16.4)

Persamaan ini adalah persamaan karakteristik persamaan diferensial orde dua. Secara umum, persamaan karakteristik yang berbentuk persamaan kwadrat itu mempunyai dua akar yaitu:

s1, s2 =

− b ± b 2 − 4ac 2a

(16.5)

Akar-akar persamaan ini mempunyai tiga kemungkinan nilai, yaitu: dua akar riil berbeda, dua akar sama, atau dua akar kompleks konjugat. Konsekuensi dari masing-masing kemungkinan nilai akar ini terhadap bentuk solusi akan kita lihat lebih lanjut. Untuk sementara ini kita melihat secara umum bahwa persamaan karakteristik mempunyai dua akar. Dengan adanya dua akar tersebut maka kita mempunyai dua solusi homogen, yaitu:

ya1 = K1e s1t

dan

ya 2 = K 2 e s 2 t

(16.6)

Jika ya1 merupakan solusi dan ya2 juga merupakan solusi, maka jumlah keduanya juga merupakan solusi. Jadi solusi homogen yang kita cari akan berbentuk

ya = K1e s1t + K 2e s 2t

(16.7)

Konstanta K1 dan K2 kita cari melalui penerapan kondisi awal pada solusi total.

Solusi Khusus. Sulusi khusus kita cari dari persamaan (16.1). Solusi khusus ini ditentukan oleh bentuk fungsi pemaksa, f(t). Cara menduga bentuk solusi khusus sama dengan apa yang kita pelajari pada persamaan orde satu. Kita umpamakan solusi khusus ykhusus = yp. Solusi Total. Dengan solusi khusus yp maka solusi total menjadi

y = y p + ya = y p + K1e s1t + K 2e s 2t

(16.8)

194 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

16.2. Tiga Kemungkinan Bentuk Solusi Sebagaimana disebutkan, akar-akar persamaan karakteristik yang berbentuk umum as2 + bs + c = 0 dapat mempunyai tiga kemungkinan nilai akar, yaitu: a). Dua akar riil berbeda, s1 ≠ s2, jika {b2− 4ac } > 0; b). Dua akar sama, s1 = s2 = s , jika {b2−4ac } = 0 c). Dua akar kompleks konjugat s1 , s2 = α ± jβ , jika {b2−4ac } < 0. Tiga kemungkinan nilai akar tersebut akan memberikan tiga kemungkinan bentuk solusi yang akan kita lihat berikut ini, dengan contoh solusi pada persamaan diferensial tanpa fungsi pemaksa.

Dua Akar yata Berbeda. Kalau kondisi awal y(0+) dan dy/dt (0+) kita terapkan pada solusi total (16.8), kita akan memperoleh dua persamaan yaitu

y (0 + ) = y p (0 + ) + K1 + K 2 dan y ' (0+ ) = y′p (0+ ) + s1K1 + s2 K 2 (16.9) yang akan menentukan nilai K1 dan K2. Jika kita sebut

A0 = y (0 + ) − y p (0 + )

dan

B0 = y′(0 + ) − y′p (0 + )

dan

s1K1 + s2 K 2 = B0

(16.10)

maka kita peroleh

K1 + K 2 = A0 dan dari sini kita memperoleh s A − B0 K1 = 2 0 s2 − s1

dan

s A − B0 K2 = 1 0 s1 − s2

sehingga solusi total menjadi

s A − B0 s1t s1 A0 − B0 s2 t y = yp + 2 0 e + e s2 − s1 s1 − s2

(16.11)

Berikut ini kita lihat suatu contoh. Seperti halnya pada persamaan orde pertama, pada persamaan orde dua ini kita juga mengartikan solusi persamaan sebagai solusi total. Hal ini didasari oleh pengertian tentang kondisi awal, yang hanya dapat diterapkan pada solusi total. Persamaan yang hanya mempunyai solusi homogen kita fahami sebagai persamaan dengan solusi khusus yang bernilai nol.

195

Contoh: Dari analisis transien suatu rangkaian listrik diperoleh persamaan

d 2v 2

dt dengan kondisi awal

+ 8,5 × 103

dv + 4 × 106 v = 0 dt

v(0+)=15 V dan dv/dt(0+) = 0

Persamaan karkteristik : s 2 + 8,5 × 103 s + 4 × 106 = 0 → akar - akar : s1 , s2 = −4250 ± 103 (4,25) 2 − 4 s1 = −500,

s2 = −8000 ( dua akar riil berbeda).

Dugaan solusi total : v = 0 + K1e −500t + K 2 e −8000t (solusi homogen nol) Kondisi awal : a). v(0 + ) = v(0 − ) = 15 V → 15 = K1 + K 2 ⇒ K 2 = 15 − K1 b).

dv + (0 ) = 0 → 0 = K1s1 + K 2 s2 = K1s1 + (15 − K1 ) s2 dt − 15(−8000) − 15s2 = 16 ⇒ K 2 = 15 − K1 = −1 = ⇒ K1 = s1 − s2 − 500 + 8000

Solusi total : v = 16e − 500 t − e −8000 t V (hanya terdiri dari solusi homogen).

Dua Akar yata Sama Besar. Kedua akar yang sama besar tersebut dapat kita tuliskan sebagai

s1 = s dan s2 = s + δ ; dengan δ → 0 Dengan demikian maka solusi total dapat kita tulis sebagai y = y p + K1e s1t + K 2e s 2t = y p + K1e st + K 2e( s + δ)t

(16.12)

(16.13)

Kalau kondisi awal pertama y(0+) kita terapkan, kita akan memperoleh

y (0+ ) = y p (0+ ) + K1 + K 2 → K1 + K 2 = y (0 + ) − y p (0+ ) = A0 Jika kondisi awal kedua dy/dt (0+) kita terapkan, kita peroleh

196 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y′(0 + ) = y′p (0+ ) + K1s + K 2 ( s + δ) → ( K1 + K 2 ) s + K 2δ = y′(0+ ) − y ′p (0+ ) = B0 Dari kedua persamaan ini kita dapatkan

B − A0 s A0 s + K 2δ = B0 → K 2 = 0 δ B − A0 s → K1 = A0 − 0 δ

(16.14)

Solusi total menjadi

B − A0 s  st B0 − A0 s ( s + δ)t  y = y p +  A0 − 0 e e + δ δ    B − A0 s  B0 − A0 s δ t  st = y p +  A0 − 0 e e + δ δ   

(16.15.a)

  1 eδ t  st  e = y p +  A0 + ( B0 − A0 s) − +  δ δ     Karena

  δt  1 eδ t   = lim  e − 1  = t lim  − + δ →0 δ δ  δ →0 δ  

maka solusi total dapat kita tulis

y = y p + [A0 + ( B0 − A0 s) t ] e st

(16.15.b)

Solusi total seperti dinyatakan oleh (16.15.b) merupakan bentuk khusus yang diperoleh jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar sama besar. A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal. Dengan demikian kita dapat menuliskan (16.15.b) sebagai

y = y p + [K a + K b t ] e st

(16.15.c)

dengan nilai Ka yang ditentukan oleh kondisi awal, dan nilai Kb ditentukan oleh kondisi awal dan s. Dalam rangkaian listrik, nilai s tergantung dari elemen-elemen yang membentuk rangkaian dan tidak ada kaitannya dengan kondisi awal. Dengan kata lain, jika kita mengetahui bahwa persamaan karakteristik rangkaian mempunyai akar-akar yang sama besar (akar kembar) maka bentuk tanggapan rangkaian akan seperti yang ditunjukkan oleh (16.15.c). 197

Contoh: Pada kondisi awal v(0+)=15 V dan dv/dt(0+)=0, analisis transien rangkaian listrik memberikan persamaan d 2v dt

2

+ 4 × 103

dv + 4 × 106 v = 0 dt

Persamaan karakteristik : s 2 + 4000s + 4 × 106 = 0 akar - akar : s1, s2 = −2000 ± 4 × 106 − 4 × 106 = −2000 = s Di sini terdapat dua akar sama besar; oleh karena itu solusi total akan berbentuk : v = v p + (K a + Kb t ) e st = 0 + (K a + K b t ) e st , karena v p = 0. Aplikasi kondisi awal pertama pada solusi total ini memberikan v(0+ ) = 15 = K a . Aplikasi kondisi awal kedua

dv + (0 ) = 0 dt

dv = Kb e st + (K a + Kbt ) s e st dt dv + → (0 ) = 0 = K b + K a s → K b = − K a s = 30000 dt

memberikan

Jadi : v = (15 + 30000t ) e − 2000 t V

Akar-Akar Kompleks Konjugat. Kita belum membahas bilangan kompleks di buku ini. Kita baru memandang fungsi-fungsi yang memiliki nilai bilangan nyata. Namun agar pembahasan menjadi lengkap, berikut ini diberikan solusinya. Dua akar kompleks konjugat dapat dituliskan sebagai

s1 = α + jβ

dan

s2 = α − j β

Solusi total dari situasi ini adalah

y = y p + K1e (α + jβ) t + K 2e( α − jβ) t

(

)

= y p + K1e + jβ t + K 2e − jβ t e αt

(16.16)

Aplikasikan kondisi awal yang pertama, y(0+), 198 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

y (0+ ) = y p (0+ ) + (K1 + K 2 ) K1 + K 2 = y (0 + ) − y p (0+ ) = A0 dv + (0 ) = y′(0+ ) , Aplikasi kondisi awal yang kedua, dt dy dy p = + jβK1e jβt − jβ K 2e − jβt e αt dt dt →

(

(

)

)

+ K1e jβt + K 2e − jβt α eαt Kita akan memperoleh dy + (0 ) = y ′(0 + ) = y′p (0 + ) + ( jβK1 − jβK 2 ) + (K1 + K 2 ) α dt → jβ(K1 − K 2 ) + α(K1 + K 2 ) = y′(0 + ) − y′p (0 + ) = B0

K1 + K 2 = A0 B − αA0 jβ(K1 − K 2 ) + α(K1 + K 2 ) = B0 → K1 − K 2 = 0 jβ

K1 =

A0 + ( B0 − αA0 ) / jβ 2

K2 =

A0 − ( B0 − αA0 ) / jβ 2

Solusi total menjadi

 A + ( B0 − αA0 ) / jβ + jβ t A0 − ( B0 − αA0 ) / jβ − jβ t  αt + y = yp +  0 e e e 2 2    e + jβ t + e − jβ t ( B0 − αA0 ) e + jβ t − e − jβ t = y p +  A0 +  2 2j β 

 αt e  

  ( B − αA0 ) sin β t  eαt = y p +  A0 cos β t + 0 β   (16.17) A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal sedangkan α dan β memiliki nilai tertentu (dalam rangkaian listrik ditentukan oleh nilai elemen rangkaian). Dengan demikian solusi total dapat kita tuliskan sebagai

y = y p + (K a cos βt + K b sin βt ) eαt

(16.18) 199

dengan Ka dan Kb yang masih harus ditentukan melalui penerapan kondisi awal. Ini adalah bentuk solusi total khusus untuk persamaan diferensial yang memiliki persamaan karakteristik dengan dua akar kompleks konjugat. Persamaan (16.8) menunjukkan bahwa bila persamaan karakteristik memberikan dua akar kompleks konjugat, maka solusi persamaan diferensial orde dua akan terdiri dari solusi khusus yp ditambah fungsi sinus yang teredam.

Soal-Soal: 1.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut. d 2v

a).

dt 2

d 2v

b).

dt 2 d 2v

c).

dt

2.

2

dv dv + + 10v = 0 ; v(0 + ) = 0, (0 ) = 15 dt dt

+4

dv dv + + 4 v = 0 ; v (0 + ) = 0 , (0 ) = 10 dt dt

+4

dv dv + + 5v = 0 ; v(0 + ) = 0 , (0 ) = 5 dt dt

Carilah solusi persamaan diferensial berikut. d 2v

a).

dt 2

b). c).

3.

+7

+ 10

d 2v dt 2 d 2v dt 2

dv dv(0) + 24v = 100u (t ) ; v(0 + ) = 5, = 25 dt dt

+ 10 +8

dv dv(0) + 25v = 100u (t ); v(0 + ) = 5, = 10 dt dt

dv dv(0) + 25v = 100u (t ); v(0 + ) = 5, = 10 dt dt

Carilah solusi persamaan diferensial berikut. a). b).

c).

d 2v dt 2 d 2v dt 2

d 2v dt 2

+6

dv dv + + 8v = 100[cos 1000 t ] u (t ) , v(0 + ) = 0, (0 ) = 0 dt dt

+6

dv dv + + 9v = 100[cos 1000 t ] u (t ) , v(0 + ) = 0, (0 ) = 0 dt dt

+2

dv dv + + 10v = 100[cos 1000 t ] u (t ) , v(0 + ) = 0, (0 ) = 0 dt dt

200 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Bab 17 Koordinat Polar Sampai dengan Bab-16 kita membicarakan fungsi dengan kurva-kurva yang digambarkan dalam koordinat sudut-siku, x-y. Di bab ini kita akan melihat sistem koordinat polar.

17.1. Relasi Koordinat Polar dan Koordinat Sudut-siku Pada pernyataan posisi satu titik P[xP,yP] pada sistem koordinat sudutsiku terdapat hubungan

yP = r sin θ ; xP = r cos θ

(17.1)

dengan r adalah jarak antara titik P dengan titik-asal [0,0] dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh arah r dengan sumbu-x, seperti terlihat pada Gb. 17.1. y

P[r,θ]

yP r θ

[0,0]

xP

x

Gb.17.1. Posisi titik P pada sistem koordinat polar. Dalam koordinat polar, r dan θ inilah yang digunakan untuk menyatakan posisi titik P. Posisi titik P seperti pada Gb. 17.1. dituliskan sebagai P[r,θ].

17.2. Persamaan Kurva Dalam Koordinat Polar Di Bab-5 kita telah melihat persamaan lingkaran berjari-jari c berpusat di O[a,b] dalam koordinat sudut-siku, yaitu

( x − a ) 2 + ( y − b) 2 = c 2 201

Kita dapat menyatakan lingkaran ini dalam koordinat polar dengan mengganti x dan y menurut relasi (17.1), yaitu

(r cos θ − a) 2 + (r sin θ − b) 2 = c 2

(17.2.a)

yang dapat dituliskan sebagai

(r 2 cos 2 θ − 2ra cos θ + a 2 ) + (r 2 sin 2 θ − 2rb sin θ + b 2 ) − c 2 = 0

(r

2

)

− 2r (a cos θ + b sin θ) + a 2 + b 2 − c 2 = 0

r (r − 2(a cos θ + b sin θ) ) + a 2 + b 2 − c 2 = 0 (17.2.b) dengan bentuk kurva seperti Gb.17.2.a Jika lingkaran ini berjari-jari c = a dan berpusat di O[a,0] maka persamaan (17.2.b) menjadi r (r − 2a cos θ) = 0

(17.2.c)

Pada faktor pertama, jika kita mengambil r = 0 , kita menemui titik pusat. Faktor ke-dua adalah

r − 2a cos θ = 0

(17.2.d)

merupakan persamaan lingkaran dengan bentuk kurva seperti pada Gb.17.2.b. y

y

P[r,θ]

P[r,θ]

r

r

θ

b

x

[0,0]

θ [0,0]

x a

a

(a)

(b) Gb.17.2. Lingkaran

Berikut ini tiga contoh bentuk kurva dalam koordinat bola.

202 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

Contoh: r = 2(1 − cos θ) . Bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.17.3 yang disebut kardioid (cardioid) karena bentuk yang seperti hati. 3

P[r,θ]

y

2

r

1

θ

0 -3

-5

-1

1 x

-1 -2 -3

Gb.17.3 Kurva kardioid, r = 2(1 − cos θ) Perhatikan bahwa pada θ = 0, r = 0; pada θ = π/2 , r = 2; pada θ = π, r = 4; pada θ = 1,5π, r = 2.

Contoh: r 2 = 16 cos θ . Bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.17.4 3

y P[r,θ]

2

r

1

θ

0 -5

-3

-1

1

3

x

5

-1 -2 -3

Gb.17.4 Kurva r 2 = 16 cos θ Perhatikan bahwa pada θ = 0, r = 4; pada θ = π/2 , r = 0; pada θ = π, r = 4; pada θ = 1,5π, r = 0.

Contoh: rθ = 2 . Untuk θ > 0 bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.17.5

203

y

2

r

1

θ

0,5 0

-1

y=2

P[r,θ]

1,5

0 -0,5 θ = π θ = 3π -1

1

2

3

x

θ = 4π θ = 2π

Gb.17.5 Kurva rθ = 2 Pada persamaan kurva ini jika θ = 0 maka 0 = 2; suatu hal yang tidak benar. Ini berarti bahwa tidak ada titik pada kurva yang bersesuaian dengan θ = 0. Akan tetapi jika θ mendekati nol maka r mendekati ∞; garis y = 2 merupakan asimptot dari kurva ini. Perhatikanlah bahwa perpotongan kurva dengan sumbu-x tidak berarti θ = 0 dan terjadi pada θ = π, 2π, 3π, 4π, dst.

17.3. Persamaan Garis Lurus Salah satu cara untuk menyatakan persamaan kurva dalam koordinat polar adalah menggunakan relasi (17.1) jika persamaan dalam koordinat sudut-siku diketahui. Hal ini telah kita lakukan misalnya pada persamaan lingkaran (17.2.a) menjadi (17.2.b) atau (17.2.c). Berikut ini kita akan menurunkan persamaan kurva dalam koordinat polar langsung dari bentuk / persyaratan kurva. Gb.17.6 memperlihatkan kurva dua garis lurus l1 sejajar sumbu-x dan l2 sejajar sumbu-y. y

l1

y l2

P[r,θ]

r O

θ a

b

P[r,θ]

r θ

x

O

x

Gb.17.6 Garis lurus melalui titik-asal [0,0]. Garis l1 berjarak a dari titik-asal; setiap titik P yang berada pada garis ini harus memenuhi 204 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

r cos θ = a

(17.3)

Inilah persamaan garis l1. Garis l2 berjarak b dari titik-asal; setiap titik P yang berada pada garis ini harus memenuhi

r sin θ = b

(17.4)

Inilah persamaan garis l2. Kita lihat sekarang garis l3 yang berjarak a dari titik asal dengan kemiringan positif seperti terlihat pada Gb.17.7. Karena garis memiliki kemiringan tertentu maka sudut antara garis tegak-lurus ke l3, yaitu β juga tertentu. Kita manfaatkan β untuk mencari persamaan garis l3. Jika titik P harus terletak pada l3 maka r cos(β − θ) = a

(17.5)

Inilah persamaan garis l3. P[r,θ]

y l3 A

α

r

a

β O

θ x

Gb.17.7. Garis lurus l3 berjarak a dari [0,0], memiliki kemiringan positif. Jika kita bandingkan persamaan ini dengan persamaan (17.3) terlihat bahwa persamaan (17.5) ini adalah bentuk umum dari (17.3), yang akan kita peroleh jika kita melakukan perputaran sumbu. Jika perputaran kita lakukan sedemikian rupa sehingga memperoleh kemiringan garis positif, maka akan kita peroleh persamaan garis seperti (17.5). Apabila perputaran sumbu kita lakukan sehingga garis yang kita hadapi, l4, memiliki kemiringan negatif, seperti pada Gb.17.8., maka persamaan garis adalah (17.6) r cos(θ − β) = a

205

y P[r,θ]

l4

r a β

θ x

O

Gb.17.8. Garis lurus l4 berjarak a dari [0,0], kemiringan negatif.

17.4. Parabola, Elips, Hiperbola Ketiga bangun geometris ini telah kita lihat pada Bab-5 dalam koordinat sudut-siku. Kita akan melihatnya sekarang dalam koordinat polar.

Eksentrisitas. Pengertian sehari-hari dari istilah eksentrik adalah menyimpang dari yang umum. Dalam matematika, eksentrisitas adalah rasio antara jarak suatu titik P terhadap titik tertentu dengan jarak antara titik P terhadap garis tertentu. Titik tertentu itu disebut titik fokus dan garis tertentu itu disebut direktriks; kedua istilah ini telah kita kenal pada waktu pembahasan mengenai parabola di Bab-5. Sesungguhnya, dengan pengertian eksentrisitas ini kita dapat membahas sekaligus parabola, elips, dan hiperbola. Perhatikan Gb.17.8. Jika es adalah eksentrisitas, maka

es =

PF PD

(17.7) y

D

P[r,θ]

r θ A

F

B

x

k direktriks

Gb.17.8. Titik fokus dan garis direktriks. Jika kita mengambil titik fokus F sebagai titik asal, maka

PF = r 206 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

dan dengan (17.7) menjadi r = es PD ; sedangkan

PD = AB = AF + FB = k + r cos θ sehingga r = es (k + r cos θ) = es k + es r cos θ Dari sini kita dapatkan

r=

es k 1 − es cos θ

(17.8)

Nilai es menentukan persamaan bangun geometris yang kita akan peroleh.

Parabola. Jika es = 1 , yang berarti PF = PD, maka

r=

k 1 − cos θ

(17.9)

Inilah persamaan parabola. Perhatikan bahwa jika θ mendekati nol, maka r mendekati tak hingga. Jika θ = π/2 maka r = k. Jika θ = π titik P akan mencapai puncak kurva dan r = k/2, yang berarti bahwa puncak parabola berada di tegah-tengah antara garis direktriks dan titik fokus. Hal ini telah kita lihat di Bab-5.

Elips. Jika es < 1, misalnya es = 0,5 , PF = PD/2, maka

r=

k 2 − cos θ

(17.10)

Inilah persamaan elips. maka penyebut pada Perhatikan bahwa karena −1 ≤ cos θ ≤ +1 persamaan (17.10) tidak akan pernah nol. Oleh karena itu r selalu mempunyai nilai untuk semua nilai θ. Jika θ = 0 maka r = k, titik P mencapai jarak terjauh dari F. dan jika θ = π/2 maka r = k/2 . Jika θ = π maka r = k/3, titik P mencapai jarak terdekat dengan F.

Hiperbola. Jika es > 1 , misal es = 2 , berarti PF = 2 × PD , maka

r=

2k 1 − 2 cos θ

(17.11)

Inilah persamaan hiperbola. 207

Jika θ mendekati π/3 maka r menuju tak hingga. Jika θ = π / 2 maka r = 2k. Jika θ = π , titik P ada di puncak kurva, dan r = k/3 = PF.

17.4. Lemniskat dan Oval Cassini Di laut Aegea di hadapan selat Dardanella, terdapat sebuah pulau yang penting dalam mitologi Yunani yaitu pulau Lemnos atau Limnos. Pulau vulkanik ini berbentuk tak beraturan dengan dua teluk yang menjorok dalam ke daratan di pantai utara dan pantai selatan. Giovanni Domenico Cassini dikenal juga dengan nama Jean Dominique Cassini (1625 – 1712) adalah astronom Italia. Cassini menemukan empat di antara sembilan atau sepuluh satelit planet Saturnus. Ia pula yang menemukan celah cincin Saturnus, antara cincin terluar dengan cincin ke-dua yang paling terang; celah itu kemudian disebut Cassini’s division. Bangun-geometris yang disebut lemniskat dan oval Cassini merupakan situasi khusus dari kurva yang merupakan tempat kedudukan titik-titik yang hasil kali jaraknya terhadap dua titik tertentu bernilai konstan. Misalkan dua titik tertentu tersebut adalah F1[a,π] dan F2[a,0]. Lihat Gb.17.9. θ = π/2

P[r,θ]

r θ=π

θ F1[a,π]

F2[a,0]

θ=0

Gb.17.9. Menurunkan persamaan kurva dengan persyaratan PF1×PF2 = konstan Dari Gb.17.9. kita dapatkan

(PF1 )2 = (r sin θ)2 + (a + r cos θ)2 = r 2 + a 2 + 2ar cos θ

(PF2 )2 = (r sin θ)2 + (a − r cos θ)2 = r 2 + a 2 − 2ar cos θ Misalkan hasil kali PF1 × PF2 = b 2 , maka kita peroleh relasi

208 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

(

)(

b 4 = r 2 + a 2 + 2ar cos θ × r 2 + a 2 − 2ar cos θ

)

= r 4 + a 4 + 2a 2 r 2 − (2ar cos θ) 2 4

4

2 2

(17.12)

2

= r + a + 2a r (1 − 2 cos θ) Kita manfaatkan identitas trigonometri

cos 2θ = cos2 θ − sin 2 θ = 2 cos 2 θ − 1 untuk menuliskan (17.12) sebagai

b 4 = r 4 + a 4 − 2a 2 r 2 cos 2θ

(17.13)

Jika b kita buat ber-relasi dengan a yaitu b = ka maka persamaan (17.13) ini dapat kita tuliskan

0 = r 4 − 2a 2 r 2 cos 2θ + a 4 (1 − k 4 ) Untuk r > 0, persamaan ini menjadi

r 2 = a 2 cos 2θ ± a 2 cos 2 2θ − (1 − k 4 )

(17.14)

Lemniskat. Bentuk kurva yang disebut lemniskat ini diperoleh pada kondisi khusus (17.14) yaitu k = 1, yang berarti b = a atau

PF1 × PF2 = a 2 . Pada kondisi ini persamaan (17.14) menjadi 0 = r 2 (r 2 − 2a 2 cos 2θ) Faktor pertama r = 0 akan memberikan sebuah titik. Faktor yang ke-dua memberikan persamaan

r 2 = 2a 2 cos 2θ Dengan mengambil a = 1, kurva dari persamaan ini terlihat pada Gb.17.10.

209

θ = π/2 0,6

0,2

θ=π -1,5

-1

0

-0,5 0 -0,2

θ=0 0,5

1

1,5

-0,6

Gb.17.10. Kurva persamaan (17.14), k = 1 = a. Bentuk lemniskat masih akan diperoleh pada k > 1, misalnya k = 1,1. Pada keadaan ini, dengan tetap mengambil a = 1, bentuk kurva yang akan diperoleh terlihat seperti pada Gb.17.11. θ = π/2 1,5 1 0,5

θ=π -2

θ=0

0 -1

0

1

2

-0,5 -1 -1,5

Gb.17.11. Kurva persamaan (17.14), k = 1,1 & a = 1.

Oval Cassini. Kondisi khusus yang ke-tiga adalah k < 1, misalkan k = 0,8. Dengan tetap mengambil a = 1, bentuk kurva yang diperoleh adalah seperti pada Gb.17.12, yang disebut “oval Cassini”. Kurva ini terbelah menjadi dua bagian, mengingatkan kita pada Cassini’s division di planet Saturnus.

210 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

θ = π/2 1,5 1 0,5

θ=π -2

θ=0

0 0

-1

1

2

-0,5 -1 -1,5

Gb.17.12. Kurva persamaan (17.14), k = 0,8 & a = 1.

17.5. Luas Bidang Dalam Koordinat Polar Kita akan menghitung luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva dan dua garis masing-masing mempunyai sudut kemiringan α dan β. Lihat Gb.17.12 y

θ=β

∆θ

θ

θ=α x

Gb.17.12. Mencari luas bidang antara kurva dan dua garis. Antara α dan β kita bagi dalam n segmen. β−α ∆θ = n Luas setiap segmen bisa didekati dengan luas sektor lingkaran. Antara θ dan (θ + ∆θ) ada suatu nilai θk sedemikian rupa sehingga luas sektor lingkaran adalah

Ak = (rk 2 ∆θ) / 2 Luas antara θ = α dan θ = β menjadi

211

Aαβ =

∑ (rk 2∆θ) / 2 = ∑ ( f (θk ))2 ∆θ / 2

Jika n menuju ∞, ∆θ menuju nol, kita dapat menuliskan luas bidang menjadi

Aαβ = lim = atau

∆θ →0 1 β

∑ (rk 2∆θ) / 2 = ∆lim ∑ [ f (θ)]2 ∆θ / 2 θ →0

∫ [ f (θ)] dθ 2

2 α

Aαβ =

β r2

∫α 2 dθ

(17.15)

Penutup Bab-17 adalah bab terakhir tulisan ini. Penulis rasa cukup ringan untuk dibaca. Sudah barang tentu untuk memahami lebih jauh kalkulus pembaca perlu mempelajari buku-buku referensi matematika yang memang ditujukan untuk belajar matematika; bahkan mengikuti kuliah matematika.

212 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik, Diferensial dan Integral

I4DEKS a akar kompleks 198 akar nyata 195, 196 anak tangga 27, 187 antilogaritma 97 b banyak 11, 12 c cardioid 203 cosecan 72, 76, 81 cosinus 70, 74, 78, 85 cotangent 71, 75, 80 d diferensial 166 domain 2 e eksentrisitas 206 eksponensial 97, 98, 140, 163 elips 61, 207 f fungsi 1 fungsi pemaksa 186, 187 g garis lurus 15, 204 garis singgung 113, 118 geometris 55 gigi gergaji 32 h hiperbola 63, 207 hiperbolik 100, 101, 164

i implisit 7 integral 141, 143, 145, 147, 153, 156, 161, 166, 169, 176 inversi 77, 82, 136, 165 k kekontinyuan 5 kemiringan 15 kondisi awal 185 kurva 2 l lebar pita 88, 92 lemniskat 208 lingkaran 59, 202 linier 15 logarithma natural 95 logaritmik 133, 139 luas bidang 174, 211 m mononom 37, 39, 41, 42, 48, 107, 161 nilai puncak 112 nilai rata-rata 160 numerik 141, 177 o orde dua 193, 195 orde satu 179, 181, 183 oval cassini 210

213

p parabola 58, 207 parametrik 14 pergeseran 16, 87 perpotongan 21 persamaan diferensial 179, 193 peubah 1 peubah-bebas 1, 12 peubah-tak-bebas 1 polar 13, 201 polinom 37, 43, 48, 110, 161 pulsa 29, 31 r ramp 29, 31 rantai 127 rasional 124 rentang 2

s secan 72, 76, 81 simetri 6 sinus 70, 73, 77, 85, 88, 188 spektrum 88, 91 t tangent 71, 74, 79 tetapan 15, 161 trigonometri 69, 164, 165 tunggal 9 turunan 105, 136, 139

214 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik – Diferensial dan Integral

Referensi 1.

2.

3. 4. 5.

Catatan-catatan penulis dalam kuliah matematika di Institut Teknologi Bandung, tahun 1963 – 1964, sebagai bahan utama tulisan dalam buku ini. George B Thomas, “Calculus And Analytic Geometry”, addison Wesley, 1956, buku pegangan dalam mengikuti kuliah matematika di ITB, tahun 1963 - 1964. Sudaryatno Sudirham: ”Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB, ISBN 979-9299-54-3, 2002. Sudaryatno Sudirham: ”Analisis Rangkaian Elektrik”, e-book, 2010. Sudaryatno Sudirham, “Mengenal Sifat Material 1”, e-book, 2010.

215

Biodata Penulis Nama: Sudaryatno Sudirham Lahir: di Blora pada 26 Juli 1943 Istri: Ning Utari Anak: Arga Aridarma Aria Ajidarma. 1971 : Jurusan Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung. 1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung. 1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia 1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis 1981 : INPT - Toulouse − Perancis; DEA 1982; Doktor 1985. Mata Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”; “Pengantar Teknik Elektro”; “Pengantar Rangkaian Elektrik”; “Material Elektroteknik”; “Phenomena Gas Terionisasi”; “Dinamika Plasma”; “Dielektrika”; “Material Biomedika”. Buku dan Artikel: “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB, 2002, 2005; “Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut Energi Jaringan Distribusi”; Penerbit ITB, 2009; “Fungsi dan Grafik, Diferensial Dan Integral”; Penerbit ITB, Penerbit ITB, 2009, e-book 2010; “Analisis Rangkaian Elektrik (1)”, e-book, 2010; “Analisis Rangkaian Elektrik (2)”, e-book, 2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, e-book, 2010;

216 Sudaryatno Sudirham, Fungsi dan Grafik – Diferensial dan Integral

Fungsi dan Grafik Diferensial dan Integral 217