pelaku kejahatan tersebut adalah penduduk usia remaja. 1 Staf pada Pusat ....
wanita yang terjadi hampir setiap delapan detik, serta pergaulan bebas dan.
GENDER DAN KEPENDUDUKAN SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBANGUNAN DI INDONESIA Oleh Asep Sopari1
Pendahuluan Pada tahun 2005, penduduk Indonesia berjumlah 219,204.7 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 109,403.0 jiwa adalah wanita, dan 623,079,0 jiwa adalah wanita usia 15‐49 tahun yang dalam demografi termasuk kategori penduduk usia reproduksi, yaitu penduduk (wanita) yang secara biologis memiliki potensi untuk hamil dan melahirkan. Dua dekade kemudian (sekitar tahun 2025), anak yang dilahirkannya menjadi penduduk usia remaja. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2025 jumlah penduduk usia muda (usia 0‐14 tahun) sebanyak 22,8 persen dari total penduduk 273,219.2 juta jiwa. Jika separuhnya dari mereka pada usia emasnya diasuh oleh pembantu atau babysitter‐‐atau anggota keluarga lainnya selain orangtua‐‐karena ditinggalkan ibunya bekerja di sektor publik menjadi direktris sebuah bank atau kepala cabang pemasaran sebuah perusahaan swasta terkemuka, kemungkinan besar apa yang dikhawatirkan Fukuyama akan terbukti: terjadinya guncangan besar ‘the great distruption’. Menurut Fukuyama, dalam buku The Great Distruption: Human Nature and Reconstitution of Social Order, guncangan besar merupakan sebuah kondisi ketidakteraturan, disharmoni, sebagaimana guncangan gempa dengan skala tinggi yang menyebabkan semua orang berhamburan tak tentu arah karena masing‐ masing mempunyai tujuan sendiri‐sendiri. Guncangan besar, menurut penulis buku terkenal The End of History and The Last Man ini, ditandai oleh meningkatnya secara drastis sejumlah patologi sosial seperti kejahatan (kriminalitas), perceraian, dan kehancuran kehidupan rumah tangga. Dengan mengambil perumpamaan kasus di Amerika (sebagai representasi negara maju yang telah menerapkan pembangunan berprespektif gender), sebagian besar dari pelaku kejahatan tersebut adalah penduduk usia remaja. 1 Staf pada Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN Pusat dan Mahasiswa Magister Studi Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1
Secara teoritis maupun empiris tingginya komposisi penduduk pada kelompok usia tertentu bukan merupakan penyebab langsung dari tingginya jumlah kejahatan, tapi pergeseran dalam norma sosial yang berkaitan dengan reproduksi, keluarga, dan hubungan antarjenis merupakan salah satu penyebab munculnya guncangan besar itu. Dan, masih menurut Fukyuma, feminisme dan perubahan‐perubahan dalam peran gender menjadi musabab dari pergeseran sosial tersebut. Peran gender dan pembangunan berprespektif gender Gender berasal dari kata “gender” (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin. Namun jenis kelamin di sini bukan seks secara biologis, melainkan sosial budaya dan psikologis. Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu, pembagian peranan antara pria dengan wanita dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan lingkungan/budaya. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain‐lain. Hal itu berarti, peran gender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita (Aryani, 2002; Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003; Sudarta, 2005). Dalam perkembangan gender berikutnya dikenal ada tiga jenis peran gender, yaitu peran produktif, peran reproduktif, dan peran sosial. Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik. Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat‐alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain‐lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik. Peran sosial adalah peran yang
2
dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong‐royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama (Kantor Menneg Peranan Wanita, 1998; Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003; Sudarta, 2005). Kesadaran akan konsep dan peran gender ini yang menyebabkan munculnya kesadaran terhadap adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap salah satu jenis kelamin‐‐dalam hal ini wanita‐‐di masyarakat. Kesadaran dan pemikiran ini‐‐yang kemudian dinamakan feminisme‐‐ melontarkan kritik terhadap teori pembangunan yang menjadi sumber kebijakan negara dalam melakukan pembangunan. Setelah dilakukan berbagai kajian, diketahui bahwa memang ada korelasi positif antara ketimpangan perlakuan dan kesempatan yang terjadi pada wanita dengan kegagalan pembangunan sebuah negara. Todaro, misalnya, mengemukakan bahwa ada hubungan terbalik antara pendidikan wanita dengan jumlah anak per keluarga, terutama di kalangan penduduk yang taraf pendidikannya relatif rendah. Artinya, semakin tinggi pendidikan seorang wanita, tingkat fertilitas atau kecenderungan untuk memiliki anaknya akan semakin rendah/sedikit; sebaliknya, pendidikan wanita yang rendah cenderung memiliki anak yang banyak (Todaro, 2008). Menurut Todaro, diskriminasi dalam hal pendidikan terhadap wanita akan menghambat pembangunan ekonomi karena: (1) dibandingkan dengan pria, tingkat pengembalian ‘rate of return’ dari pendidikan wanita lebih tinggi dibanding pria; (2) peningkatan pendidikan wanita akan meningkatkan produktivitasnya dalam pertanian, pabrik, meningkatkan partisipasi angkatan kerja, pendewasaan usia perkawinan, fertilitas yang rendah, dan perbaikan kesehatan dan gizi anak; (3) kesehatan dan gizi anak serta ibu yang terdidik akan melahirkan generasi yang berkualitas; (4) perbaikan peran dan status wanita dalam pendidikan akan memutuskan lingkaran setan kemiskinan. Pemikiran tentang pentingnya kesetaran dan keadilan gender ‘gender aquality and equity’ ini diterima dan diadopsi, bahkan menjadi kesepakatan internasional (di antaranya ICPD Flatform dan Millenium Development Goals/MDGs) yang mengikat dan wajib dijalankan oleh negara‐negara di dunia
3
serta melahirkan konsep Pembangunan Berprespektif Gender ‘Engendering Development’. Pembangunan berprespektif gender mengandung pengertian sebagai upaya mengintegrasikan masalah gender dalam pembangunan melalui pemenuhan hak‐hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, kredit, pekerjaan, dan peningkatan peranserta dalam kehidupan publik (Bank Dunia, 2005). United Nation Development Program (UNDP) kemudian menyusun tolok ukur keberhasilan pembangunan melalui formula Human Development Index/HDI, yaitu indikator komposit/gabungan yang terdiri dari tiga ukuran: kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge), dan tingkatan pendapatan riil (sebagai ukuran living standards). Karena adanya isu kesetaraan gender kemudian menyusun formula baru yang mengakomodasi perspektif gender, yaitu Genderrelated development Index/GDI (indikatornya sama dengan HDI, namun dengan memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara perempuan dan laki‐laki: selisih yang semakin kecil antara GDI dan HDI menyatakan semakin rendahnya kesenjangan gender) dan Gender Empowerment Measurement/GEM yang menitikberatkan pada partisipasi, dengan cara mengukur ketimpangan gender di bidang ekonomi (perempuan dalam angkatan kerja dan rata‐rata upah di sektor non‐pertanian), politik (perempuan di parlemen), dan pengambilan keputusan (perempuan pekerja profesional, pejabat tinggi, dan manajer). Berkarier di publik, bekerja di domestik: sebuah polemik Secara agregat, jumlah penduduk wanita di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan pria. Sex ratio (perbandingan jumlah penduduk laki‐laki dengan jumlah penduduk perempuan per 100 penduduk perempuan) penduduk di Indonesia pada tahun 2005 adalah 100.4. Artinya, setiap 100 penduduk laki‐ laki, ada 104 penduduk wanita. Perluasan kesempatan wanita untuk mengakses pendidikan telah menambah angka partisipasi wanita dalam pendidikan, meskipun untuk kategori pendidikan tinggi proporsinya masih jauh di bawah pria. Konsekuensinya terhadap perencanaan pembangunan yang harus dilakukan pemerintah adalah menyediakan lapangan kerja bagi penduduk wanita. Jika tidak
4
dilakukan, permasalahan yang muncul kemudian adalah meningkatnya jumlah penganggur wanita terdidik. Secara demografi, penduduk usia produktif (15‐64 tahun) adalah penduduk usia kerja yang menanggung konsumsi penduduk usia tidak produktif (usia 0‐14 dan 65+ tahun). Berarti, apabila ada penduduk yang tidak bekerja/sedang mencari pekerjaan/menganggur, akan menambah beban ketergantungan (devendency ratio) yang harus ditanggung penduduk usia produktif yang benar‐benar bekerja. Artinya, secara ekonomi, wanita/pria usia produktif dan terdidik yang menganggur “tidak menguntungkan” negara karena logikanya ada cost yang sudah dikeluarkan negara untuk biaya pendidikan, tapi tidak menghasilkan apa‐apa untuk negara dan malah menjadi beban. Ketersediaan pasar‐kerja untuk wanita merupakan faktor penting yang disarankan oleh pembangunan berprespektif gender untuk mewadahi penduduk wanita usia kerja yang sudah terdidik. Dalam paham kapitalisme, yang dianut sebagian besar negara‐negara maju, penduduk adalah tenaga kerja sekaligus pasar konsumen bagi produknya. J.M. Keynes, dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (pertama kali terbit 1936), yang pemikirannya dalam beberapa hal diadopsi negara penganut kapitalisme, memandang pentingnya menciptakan lapangan pekerjaan sebesar‐besarnya. Dalam paham kapitalisme, manusia (tenaga kerja) adalah faktor produksi yang harus di‐manage untuk menghasilkan keuntungan. Menurut perspektif Marxian, di sistem ekonomi kapitalistik, tenaga kerja tak ada bedanya dengan mesin produksi. Wanita bekerja sebenarnya bukanlah hal baru dalam budaya masyarakat Indonesia. Di jaman purba, ketika berburu dan meramu menjadi aktivitas untuk mencari penghidupan, wanita/istri bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukar dengan barang lain untuk dikonsumsi keluarga. Karena sistem yang berlaku dengan cara barter, pekerjaan wanita‐‐meski sepertinya berkutat di sektor domestik‐‐mengandung nilai ekonomi tinggi. Begitu pun yang terjadi ketika budaya masyarakat berkembang menjadi agraris dan industri, keterlibatan wanita sangat besar. Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, sebenarnya tidak ada wanita yang benar‐benar menganggur: ia melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya seperti mengelola sawah, membuka warung di rumah, mengkreditkan pakaian, dan lain‐
5
lain. Masalahnya ada pada cara pandang tentang bekerja sebagai peran produktif atau peran di sektor publik, yang intinya “pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa” (baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan), tapi yang terjadi justru menekankan pada “sektor publik” yang hanya diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan di luar rumah. Hal ini kemudian yang menjadikan pekerjaan di sektor publik hanya dipahami sebagai karir atau bekerja kantoran (yang bekerja di kantor). Konsep bekerja bagi wanita di luar rumah ini‐‐yang berkiblat pada paham kapitalisme yang karena mengejar profit‐‐mensyaratkan jumlah jam kerja tertentu. Padahal, ketika jumlah jam kerja lebih banyak (yang justru baik menurut paham kapitalisme), mengharuskan wanita mengurangi waktunya untuk melakukan pekerjaan lain yang secara psikologis tidak dapat disubstitusikan kepada orang lain, yaitu pengasuhan anak (nursery) dalam keluarga. Dalam paham kapitalisme yang materialistik, pembangunan adalah proses produksi, dan outcome‐nya adalah produk (barang atau jasa), sementara ukuran keberhasilan dari sebuah pembangunan adalah keuntungan materialistik yang sebesar‐ besarnya. Dengan demikian, ada aspek lain yang diabaikan (atau perspektif post‐ developmentalism
menyebutnya
dengan
istilah
‘dikorbankan’)
dalam
pembangunan, terutama pembangunan SDM, yaitu aspek psikologis. Ketiadaan aspek psikologis‐‐termasuk di dalamnya contentment atau kepuasan/ kebahagiaan‐‐dalam kalkulasi keberhasilan pembangunan versi modernism ini menjadi salah satu kritik post‐developmentalism atas modernism yang materialistik. Dalam perspektif gender, seharusnya, esensi paling penting dari pendidikan bagi wanita bukan semata untuk menghasilkan materi‐‐yang kerapkali menjadi dalih untuk berkarier di luar rumah demi memberikan yang terbaik bagi anak‐‐melainkan sebagai upaya meningkatkan kapasitas dan potensi diri untuk (1) menaikkan posisi tawar wanita dalam pengambilan keputusan (baik sebagai istri atau anak dalam keluarga maupun sebagai anggota/warga negara dalam konteks masyarakat/negara); dan (2) meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan wanita sebagai ibu di rumah tangga untuk mendidik dan membesarkan anak melalui pengasuhan. Dengan demikian, produk yang
6
dihasilkan dari pembangunan berprespektif gender bukan hanya besaran materi (barang dan jasa) untuk mendongkrak ekonomi keluarga, melainkan juga terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan serta terbentuknya generasi bangsa yang berkualitas. Dengan kata lain, dalam konteks keluarga, pembangunan berprespektif gender seharusnya berdampak bukan hanya pada keluarga yang sejahtera (sebagai ukuran ketercukupan materi), melainkan juga keluarga yang harmonis (sebagai ukuran ketercukupan aspek psikologis dan minimalnya konflik). Keluarga dan “Guncangan Besar” Keluarga adalah unit kerjasama sosial yang mendasar. Orangtua (suami‐istri) harus bekerjasam untuk menghasilkan keturunan, menanamkan nilai‐nilai, dan mendidik anak‐anaknya. James Coleman (1988, dalam Fukuyama, 2005) mengartikan modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang tertanam dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial serta berguna untuk pengembangan kognitif atau sosial anak. Kecenderungan sesama anggota keluarga untuk bekerja sama tidak saja memudahkan upaya membesarkan anak, melainkan juga memperlancar kegiatan‐kegiatan sosial lainnya, seperti untuk menjalankan usaha. Menurut Goode (1983), ada empat fungsi universal keluarga inti, yaitu fungsi seksual, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi pendidikan, sedangkan BKKBN mengeluarkan konsep delapan fungsi keluarga, yaitu fungsi agama, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pelestarian lingkungan.
Namun yang terjadi akan lain jika kondisinya berubah. Menurut sebagian
besar teori sosial klasik, ketika masyarakat berubah menjadi modern, peranan keluarga akan semakin tidak penting dan digantikan oleh ikatan‐ikatan sosial yang bersifat pribadi. Akibatnya fungsi‐fungsi keluarga sebagai tempat persemaian nilai‐nilai moral, mendidik anak dan sebagainya menjadi hilang. Pengganti dari fungsi‐fungsi tersebut dikreasi sedemikian rupa menjadi lembaga/institusi sosial yang bersifat ekonomis (diperjual‐belikan). Dalam perkembangan selanjutnya, perubahan juga berimbas pada anggota keluarga: awalnya pria menjadi bread winner, kemudian wanita mulai mencari kerja di luar rumah karena diperlukan
7
biaya yang besar untuk membeli pengganti fungsi‐fungsi yang sudah hilang tersebut. Modernisasi secara materi didukung oleh modernisasi pola pikir, terutama dalam memandang gender, tidak saja menyebabkan keluarga terabaikan, tapi menumpuk menjadi konflik antara pria dan wanita, terutama dalam hal pembagian peran gender. Modernisasi menuntut keluarga untuk memiliki materi yang lebih supaya bisa membayar pengganti fungsi‐fungsi tertentu yang hilang, di pihak lain mindset tentang relasi gender, yang sebelumnya terjadi pembagian peran dan wilayah yang jelas dengan tugas‐fungsi yang juga jelas, menjadi tidak karuan. Tingginya kebutuhan akan materi menyebabkan meningkatnya pamor peran produktif gender dan mengakibatkan terabaikan/diabaikannya peran reproduktif, padahal hampir semua fungsi keluarga tergantung pada peran ini. Konflik tentang peran gender merupakan salah satu penyebab perceraian. Angka perceraian di AS meningkat dengan tajam semenjak tahun 1960‐an ketika modernisasi mulai menjadi bagian dari ciri individu: freedom, rational, dan welfare. Hal tersebut menyebabkan jumlah anak yang dibesarkan di keluarga yang dikepalai wanita telah mencapai 50 persen pada tahun 1980‐an. Perceraian dengan beban pengasuhan anak‐anak, telah menyebabkan semua peran gender dilakukan oleh satu orang aktor dan semua fungsi keluarga dibebankan hanya pada satu pihak. Fenomena lain adalah meningkatnya kasus kekerasan terhadap wanita yang terjadi hampir setiap delapan detik, serta pergaulan bebas dan keengganan menikah menyebabkan tingginya angka perkosaan wanita, yaitu enam menit sekali (Kompas, 4 September 1995). Lebih ironis lagi, menurut laporan majalah Fortune (edisi 2 September 1995), banyak wanita eksekutif mengalami stress karena merasakan kekecewaan, ketidakpuasan dan kekhawatiran, bahkan mengalami gangguan hubungan sosial dalam keluarga (Republika, 24 September 1995). Studi tentang kepuasan hidup wanita bekerja yang pernah dilakukan oleh Ferree (1976) menunjukkan, bahwa wanita yang bekerja menunjukkan tingkat kepuasan hidup hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Hasil penelitian Freudiger, P. (1983), yang dimuat dalam Journal of Marriage and the Family edisi 45 dan 213 s.d. 219 (tentang ukuran kebahagiaan
8
hidup wanita yang sudah menikah, ditinjau dari 3 kategori: wanita bekerja, wanita pernah bekerja, dan wanita yang belum pernah bekerja) menunjukkan bahwa bagi para istri dan ibu bekerja, kebahagiaan perkawinan adalah tetap menjadi hal yang utama, dibandingkan dengan kepuasan kerja. Studi lain masih menyangkut kebahagiaan kehidupan para ibu bekerja, yang dilakukan oleh Walters dan McKenry (1985) menunjukkan, bahwa mereka cenderung merasa bahagia selama para ibu bekerja tersebut dapat mengintegrasikan kehidupan keluarga dan kehidupan kerja secara harmonis. Jadi, adanya konflik peran yang dialami oleh ibu bekerja, akan menghambat kepuasan dalam hidupnya. Perasaan bersalah (meninggalkan perannya sementara waktu sebagai ibu rumah tangga) yang tersimpan, membuat sang ibu tersebut tidak dapat menikmati perannya dalam dunia kerja. Remaja pelaku kejahatan Dampak lain dari diabaikannya peran reproduktif gender, di antaranya adalah pengasuhan anak, adalah pada kepribadian anak yang akan muncul dan termanifestasikan menjadi perilaku pada usia remaja atau sebelumnya ketika mereka sudah dapat mengekspresikan diri. Hasil studi menunjukkan bahwa anak yang semasa kecilnya tidak mendapatkan pengasuhan yang baik dari orangtuanya cenderung akan menjadi remaja yang berpotensi besar untuk melakukan perilaku menyimpang. Anak yang tidak dibesarkan dengan pengasuhan yang optimal dari orangtuanya tidak jauh beda dengan anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan karena sama‐sama dibesarkan dengan pengasuhan yang tidak maksimal. Di beberapa negara maju, dimana peran produktif gender lebih dominan dan wanita/ibu memilih berkarier di luar rumar seperti Amerika, jumlah remaja menjadi ancaman yang patut diperhitungkan. Fukuyama bahkan menamakan kelompok penduduk usia remaja ini sebagai segerombolan Suku Barbar yang dapat melakukan apa saja. Kenakalan remaja (delinkuensi) adalah semua bentuk atktivitas remaja yang belum dewasa akan hukum yang bertentangan dengan norma‐norma sosial terutama norma hukum kenakalan remaja merupakan suatu bentuk ketimpangan penanganan terhadap pendidikan anak akibat ketidak mampuan orang tua,
9
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Kenakalan remaja biasanya terjadi di kota‐kota atau di masyarakat yang telah mendapatkan pengaruh modernitas dan kehidupan urban. Proses terjadinya melalui beberapa tahapan. Pertama, sense of value yang kurang ditanamkan orang oleh orangtua karena ketidakmampuan, ketidakmauan, atau tidak adanya kesempatan karena kesibukan. Kedua, timbulnya organisasi‐organisasi informal (geng) yang berprilaku menyimpang sehingga tidak di sukai oleh masyarakat. Ketiga, timbulnya upaya‐upaya remaja untuk mengubah keadaan dan disesuaikan dengan youth values. Dari sebuah penelitian diketahui bahwa 90 persen anak usia 8‐16 tahun telah membuka situs porno di internet (Nuryati, 2008). Studi tersebut menyebutkan rata‐rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Saat ini terdapat 4,2 juta situs porno yang tersedia di internet, dan catatan tentang penggunaan internet di Indonesia, dari 100 situs internet yang paling sering dikunjungi, tujuh di antaranya merupakan situs porno. Dampaknya adalah sekitar 28,5 persen para remaja telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan 10 persen di antaranya akhirnya menikah dan memiliki anak. Hal ini menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) pada remaja yang angkanya menunjukkan kecenderungan meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahun (Kompas, 4 Agustus 2009), berarti akan lahir 150.000 hingga 200.000 anak yang tidak akan mengenyam pengasuhan yang maksimal dari orangtuanya. Tingginya angka hubungan seks pranikah di kalangan remaja erat kaitannya dengan meningkatnya jumlah aborsi saat ini yang mencapai sekitar 2,3 juta kasus, dan 15‐20 persen diantaranya dilakukan remaja. Hal ini pula yang menjadikan tingginya angka kematian ibu di Indonesia, dan tertinggi di Asia Tenggara. Selain itu, ancaman HIV/AIDS menanti di depan mata. Lebih dari setengah dari total pengidap HIV/AIDS, adalah penduduk kelompok usia 19‐25 tahun. Pada kasus lain, 75 persen pengguna narkoba adalah remaja berusia antara 15‐25 tahun dan jumlah tersebut cenderung terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan Asian Harm Reduction Network (AHRN) terhadap remaja pengguna narkoba di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok menemukan mereka mengkonsumsi narkoba pada umur 9 tahun.
10
Kebanyakan memulai dengan mengkonsumsi “boti” (obat tidur) seperti diazepam/valium. Sisanya memulai dengan konsumsi ganja (Tempo, 1 Desember 2009). AHRN menemukan terjadi peningkatan penggunaan narkoba di usia yang semakin dini. Dari lebih 500 responden remaja pengguna narkoba, termasuk pelajar dan mahasiswa yang diwawancarai, separuhnya atau 50 persen memulai penggunaan narkoba mulai umur 9‐15 tahun. Oleh karena itu tidak heran jika setiap tahunnya, menurut BPS, terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hukum yang dilakukan anak‐anak di bawah usia 16 tahun. Sebagian besar perkara berkenan dengan tindak kriminal ringan seperti pencurian, pelecehan seksual hingga perkosaan serta pembunuhan. Dari seluruh anak yang ditangkap hanya sekitar separuh yang diajukan ke pengadilan dan 83 persen dari mereka kemudian dipenjarakan. Harga yang harus dibayar Dewasa ini kaum wanita cenderung memilih berperan ganda. Hasil pengumpulan pendapat umum yang dilakukan LP3ES (Republika, 18/08/95) membuktikan bahwa sebanyak 229 dari 231 responden yang mencantumkan jenis pekerjaan sebagai ibu rumah tangga menginginkan pekerjaan lain. Tampaknya menjadi “ibu rumah tangga saja” bukanlah idaman wanita. Wanita “masa kini” merasa bangga bila tak cuma berperan sebagai ibu rumah tangga saja. Berkarir bagi mereka saat ini lebih dikaitkan dengan kemandirian dan eksistensi diri. Selain soal eksistensi bagi pribadi wanita itu sendiri, dengan berprespektif gender, pembangunan direkonstruksi menjadi menuntut sumbangan peran dari kaum wanitanya. Tak sedikit pula yang menjadikan kemiskinan dan beban ekonomi sebagai alasan. Namun beban tersebut adalah beban yang dipaksakan, bukan semata karena kehidupan yang terlampau miskin, tetapi kebutuhan akan uang yang semakin meningkat untuk membeli peran dan fungsi mereka yang ditinggalkan. Tampaknya segala hal selalu diukur dengan uang. Inilah yang mendorong kaum wanita untuk bekerja menopang beban nafkah keluarga. Dengan demikian disamping terbebani kewajiban mengasuh dan mendidik anak, seorang ibu juga menjadi seolah‐olah dituntut untuk membantu suami mencari
11
uang. Suami mereka perlu dibantu melunasi cicilan rumah, menyekolahkan anak‐ anak, membayar uang kursus anak dan sebagainya. Besarnya dampak yang diakibatkan oleh pilihan berkarir di luar rumah dan meninggalkan tugas pengasuhan (bahkan hampir semua peran domestik), merupakan konsekuensi yang harus diterima dari mindset gender dan yang terprogram dalam pembangunan berprespektif gender. Jika tujuan awalnya adalah meningkatkan status pendidikan wanita dan menghapus kemiskinan struktral yang disebabkan oleh budaya patriarkhi yang menutup kesempatan kepada wanita, tentuju saja sudah tercapai, tetapi keuntungan yang didapat harus digunakan untuk dampak yang diakibatkan dari semua itu. Proyeksi tahun 2025 jumlah penduduk usia muda (usia 0‐14 tahun) sebanyak 22,8 persen dari total penduduk 273,219.2 juta jiwa, jika separuhnya dari mereka di usia emasnya diasuh oleh pembantu atau babysitter karena ditinggalkan ibunya bekerja di sektor publik, kemungkinan besar ‘the great distruption’ yang diungkapkan Fukuyama akan terbukti dengan indikator angka kejahatan dan perilaku menyimpang yang dilakukan remaja terus meningkat. Dengan demikian, prestasi dan konstribusi wanita dalam pembangunan dengan, misalnya, menggunakan indikator meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun yang akan datang harus dibayar dengan dampak yang ditimbulkannya, yaitu: (1) disharmoni (untuk tidak menyebut konflik berkepanjangan) kehidupan suami‐istri dengan indikator meningkatnya angka perceraian atau bahkan lebih ekstrim lagi meningkatnya kasus pembunuhan salah satu pasangan suami‐istri oleh pasangannya sendiri; (2) terbengkalainya pengasuhan anak sebagai manifestasi telah gagalnya keluarga menjalankan peran dan fungsinya dengan indikator meningkatnya kenakalan remaja dan remaja pelaku kejahatan; dan (3) disharmoni hubungan wanita‐pria dalam masyarakat sebagai manifestasi ketidaksiapan keduanya dalam menerima dan menciptakan‐‐ atau bahkan salah kaprah dalam memaknai‐‐gagasan tentang kesetaraan dan keadilan gender dengan indikator meningkatnya kasus perkosaan dan pelecehan seksual serta perselingkuhan. Hal tersebut semestinya harus diperhitungkan oleh pemerintah melalui kebijakan pembangunannya di masa yang akan datang. Bukan hal yang tidak
12
mungkin jika pertanyaan yang muncul dalam perencanaan pembangunan (misalnya infrastruktur) ke depan adalah berapa banyak penjara khusus untuk anak dan remaja serta untuk anak dan remaja wanita yang dibutuhkan untuk menampung anak dan remaja pelaku kejahatan? Berapa jumlah rumah sakit ketergantungan obat/RSKO dan tempat rehabilitasi yang perlu dibangun untuk remaja yang kecanduan narkoba? Berapa jumlah obat HIV/AIDS yang perlu disediakan setiap tahunnya untuk remaja pengidap penyakit tersebut? Berapa jumlah panti sosial yang perlu dibangun untuk menampung anak‐anak yang ditelantarkan orangtuanya?
Namun demikian, hal ini bukan berarti konsep kesetaraan dan keadilan
gender harus ditolak dan kembali ke sistem patriarki, melainkan mencoba memikirkan ulang implementasinya dengan latarbelakang dan kondisi Indonesia untuk memperkecil dampak yang ditimbulkannya. Daftar Pustaka Bank Dunia. 2005. Pembangunan Berprespektif Gender: Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia. Jakarta: Dian Rakyat. Coleman, James. 1988. “Social Capital in the Creation of Human Capital”, dalam Yukuyama, 2005. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Jakarta: Gramedia. Fakih, Mansour. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press. Fukuyama, Prancis. 2005. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Jakarta: Gramedia. Nuryati, Siti. 2008. “Anak Indonesia yang Dirundung Malang” (makalah) Todaro, M, dan Stephen C. Smith. 2008. Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Yayasan Kesejahteraan Fatayat. 2002. Anotasi 50 Buku Penguatan Hak Reproduksi Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat. Majalah Tempo, 1 Desember 2009 Majalah Fortune, edisi 2 September 1995 Harian Umum Kompas, 4 Agustus 2009 Harian Umum Republika, 18 Agustus 1995 Harian Umum Republika, 24 September 1995
13