meskipun aksi gerilya pemberontakan ini terus berlangsung sampai 1961.
Setelah ..... tahun 1965, adalah reaksi spontan rakyat atas pemberontakan G30S/
PKI.
PERISTIWA 1965 : GERAKAN 30 SEPTEMBER, PENGHANCURAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN DAMPAKNYA Oleh : Paul Moedikdo
1. Ajakan menatap ulang peristiwa tahun 1965. Gus Dur, sesudah menjadi Presiden, tiga kali mengajak rakyat Indonesia untuk secara berani dan jujur meninggalkan cara memandang fakta sejarah thn. 1965, sebagaimana di-indoktrinasikan Orde Baru. Pertama sewaktu beliau bulan desember tahun yang lalu, mengatakan bahwa orang Indonesia di luar negeri yang semata-mata karena disangka komunis atau bersimpati dengan komunisme dicabut paspornya, sehingga menjadi orang buangan tanpa kewarganegaraan, akan dikembalikan paspor/kewarganegaraan Indonesia-nya, sehingga bisa pulang ke-tanah air, sebab kata beliau mereka bukan penjahat, melainkan korban kesewenang-wenangan. Kedua kali sewaktu beliau bulan Maret tahun ini ,di muka khalayak ramai meminta maaf, karena banyak orang Islam, pengikut NU terlibat aktif dalam pembantaian tahun 1965. Dan ketiga kali sewaktu mengemukakan sarannya agar MPR mencabut TAP MPRS No. XXV/1966. Kita maklumi, bahwa sebagian elit politik Indonesia melawan kehendak baik Gus Dur dengan begitu keras, sehingga rasa bersyukur dan harapan tinggi Ibaruri Aidit (lihat wawancara dengannya di homepage forum leuven) dan ribuan orang buangan atau nyangsangan senasib, tinggal kosong blong. Kita juga baca, bahwa dalam bulan-bulan berikutnya pelbagai tokoh memberi pernyataan bahwa pembunuhan orang komunis waktu itu adalah wajar dan bahwa di Indonesia tidak ada tempat untuk paham komunisme atau marxisme. Jadi masih sama saja dengan yang apa yang di-indoktrinasikan Orde Baru Soeharto. Akhirnya kita alami, bahwa dalam pidato pertanggunganjawab sebagai Presiden, di muka S.U. MPR bulan Agustus lalu, Gus Dur, mengingat MPR tidak berkehendak untuk membicarakannya, menarik kembali sarannya untuk mencabut TAP MPRSXXV/1966. Rupanya arus pendapat yang emoh meninjau 35 tahun kebelakang, ketimbang masalah yang mendesak sekarang, dan hari depan Indonesia, seperti ditandaskan oleh beberapa tokoh politik terkemuka, berhasil menyisihkan ajakan Presiden Abdulrahman Wahid. 1.1.
Mawas Diri dan Tinjauan Ulang tahun 65
Panitia Sarasehan Leuven melawan arus pendapat di atas dengan ajakan melepas diri dari cengkeraman indoktrinasi lebih dari 30 tahun Orde Baru dan melakukan MAWAS DIRI DAN PENINJAUAN ULANG. Ditandaskannya : “peristiwa '65 diduga menjadi salah satu akar pokok dari permasalahan bangsa Indonesia sekarang ini, dari masalah KKN, ketidakadilan, kemiskinan, kerusuhan bermotif SARA, sampai bobroknya moral masyarakat.”(home-page ForumLeuven). Menatap secara mandiri dan jujur apa yang terjadi tahun 1965 diharapkan membantu kita mendeteksi dampaknya, yaitu ciri-ciri jahat khas dari cara kerja, organisasi dan budaya yang diselubungi negara Pancasila Orde Baru. Ciri-ciri yang tidak menghilang begitu saja dengan lengsernya Presiden Soeharto. Maka, peninjauan-
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
1
ulang peristiwa 1965 diharapkan juga menyadarkan kita akan dampak tersebut yang melawan arus reformasi dewasa. Khususnya bagi generasi pasca 65, diharapkan memperoleh bekal berharga supaya tidak mengulang kesalahan generasi pendahulunya.
1.1.1. Konteks Politik Internasional dan Nasional tahun 1965. Mawas diri dan peninjauan ulang dimulai hari ini. Kita telah mendengarkan dan mendiskusikan risalah-risalah tentang Perang Dingin antara blok Amerika Serikat melawan Blok Komunis. Disebut Perang Dingin karena kedua Blok menghindari perang bersenjata langsung antara Negara Raksasa Nuklir Amerika Serikat dan Negara Raksasa Nuklir Uni Sovyet/Republik Rakyat Tiongkok. Tetapi disebut Perang, karena memang ada polarisasi politik tajam dan kedua Blok menggunakan pelbagai rekayasa, bahkan dengan men-supply/menggunakan senjata dalam upaya memperebutkan pengaruh di banyak negara di seluruh dunia. Seperti pada tahun 1950 Republik Rakyat Korea Utara menyerang Korea Selatan, Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya mengirimkan senjata dan pasukannya ke sana. Lalu tentara Republik Rakyat Cina membantu Korea Utara dan perang Korea, tanpa melampaui batas Korea, berlangsung sampai 1953. Hasilnya adalah pengembalian status quo perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti pada tahun 1950. Di Vietnam Selatan campur tangan bersenjata A.S dimulai segera setelah Perancis meninggalkan bekas jajahannya karena pada tahun 1954 kalah perang kolonial. Pada tahun itu, berdirilah Republik Rakyat (Komunis) Vietnam-Utara dan Republik Vietnam-Selatan (non-komunis). Tetapi di Vietnam Selatan, gerilya komunis Vietcong aktif, dan A.S.mengirim beberapa ratus “penasehat-militer” ke sana. Jumlah “penasehat-militer” yang setiap tahun bertambah banyak. Pada akhir tahun 1960-an, jumlahnya lebih dari 500.000 orang. Pemerintah Amerika Serikat, baik dari partai Republik maupun dari partai Demokrat, bertekad mencegah perluasan daerah kekuasaan komunis. Menurut teori domino, kalau sebuah negara jatuh ke tangan komunis maka, negara tetangganya mungkin menyusul. Karena itu pemerintah Amerika Serikat, awal tahun 1958, membantu secara subversif, melalui CIA, Angkatan Darat dan Angkatan Laut-nya, pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia. Pimpinan PRRI/Permesta adalah sejumlah panglima-panglima daerah dan tokoh-tokoh partai Masyumi dan PSI yg antikomunis dianggap lebih pro- Barat daripada Bung Karno, seorang nasionalis yang menganggap Amerika Serikat, sebagai neo-kolonial. Konferensi Asia-Afrika yang pertama di-Bandung (1955) yang juga dihadiri oleh Republik Rakyat Cina a.l. bertujuan membendung dominasi Amerika Serikat di dunia. Perlawanan bersenjata besar-besaran PRRI/PERMESTA dapat ditundukkan dalam waktu beberapa bulan meskipun aksi gerilya pemberontakan ini terus berlangsung sampai 1961. Setelah sebuah kapal terbang pembom Amerika yang mau membantu pemberontak ditembak jatuh di pertengahan 1958, pemerintah A.S. secara resmi mengutuk segala intervensi,dan menawarkan bantuannya kepada Angkatan Darat Indonesia. Terhitung sejak tahun itu, bantuan 20 juta dollar/tahun diberikan kepada Angkatan Darat untuk melawan komunisme, agaknya tanpa sepengetahuan pemerintah Indonesia. Berlainan dengan para pemimpin militer PRRI/PERMESTA yang setelah menyerah diberi amnesti, P.S.I. dan Masyumi, karena keterlibatannya pada pemberontakan tahun 1960 di atas justru dibubarkan dan sejumlah tokoh PSI (a.l. Sjahrir) dan tokoh Masyumi (a.l.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
2
Mohammad Roem dan Prawoto) sejak 1962 dipenjarakan tanpa suatu pemeriksaan oleh Pengadilan. Atas desakan KASAD, Jenderal AH. Nasution, pada tahun 1959, Bung Karno mendekritkan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD’45 yang memudahkan pelaksanaan demokrasi terpimpin. Menurut pandangan AH. Nasution, UUD’45 lebih baik, karena pemerintahan presidensiil tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, seperti terlalu sering terjadi di Indonesia. Lagipula AH. Nasution menginginkan agar juga ABRI di beri fungsi sosial-politik di samping fungsi militernya. UUD’45 memberi peluang untuk ABRI, sebagai golongan fungsional menempatkan wakil-wakilnya di lembaga negara tertinggi (DPR, MPR dan DPA). Sejak 1957, Presiden Soekarno mengemukakan gagasannya bahwa demokrasi parlementer tidak cocok dengan kepribadian Indonesia dan harus diganti dengan sistim demokrasi terpimpin. Tetapi waktu itu beliau masih menolak saran Jenderal AH Nasution untuk menggunakan UUD 1945 sebagai dasar konstitusional. Sebagaimana juga beliau menolak, pada tahun 1952, desakan Jenderal AH Nasution, untuk membubarkan parlemen. Dengan berlakunya UUD’45 dan demokrasi terpimpin, sistim pemerintahan otoriter, dengan dukungan penuh pimpinan Angkatan Darat menggantikan pemerintahan parlementer. Campur tangan militer di bidang politik dan ekonomi sejak diumumkan keadaan darurat perang (1957) sudah besar dan kini bertambah besar. Tetapi Bung Karno dapat membatasi ketergantungannya dari militer. Beliau membubarkan parlemen hasil pemilihan umum pertama di Indonesia (1955) serta membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dengan penunjukan anggota-anggota yang menjamin dukungan terhadapnya (1960). Dengan kemampuan demagoginya beliau memobilisasi sokongan luas masyarakat dalam kegiatan politik menurut "ajaranajarannya" sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Beliau menjadikan "penyelesaian revolusi menuju sosialisme Indonesia" sebagai tujuan politik. Dan sebagai sarana ialah: "demokrasi dan ekonomi terpimpin" (dalam akronim MANIPOL/USDEK) dan NASAKOM (yakni, kerja sama antara aliran politik Nasionalis, Agama dan Komunis di bawah pimpinannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi). Juga hukum dan peradilan mesti tunduk kepada revolusi. Karenanya, azas pemisahan kekuasaan negara (Trias Politica) dihapus. Sikap anti-imperialisnya-pun makin dinyatakan. Salah satu tahap "penyelesaian revolusi" Soekarno adalah pembebasan Irian-Barat (bagian bekas Nederlands-Indie yang emoh diserahkan oleh Belanda). Upaya ini mendapat prioritas agar tanah-air Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 menjadi utuh. Hampir satu setengah milyar dollar AS (pinjaman dari Uni Sovyet) dipergunakan untuk untuk pembelian kapal-kapal perang dan terbang, termasuk penambahan persenjataan dan personalia angkatan darat dan angkatan bersenjata pada umumnya, serta latihan,-pasukan relawan. Akhirnya perjuangan "pembebasan" Irian-Barat berhasil tanpa pertempuran besar-besaran. Belanda meninggalkannya dan PBB meyerahkannya kepada Indonesia.(1963). Dalam pada itu, kondisi ekonomi yang diabaikan, makin memburuk. Pelaksanaan "penyelesaian revolusi" nampak terutama dalam bentuk verbal: indoktrinasi ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, MANIPOL USDEK dan NASAKOM yang diwajibkan untuk diajarkan di lembaga-lembaga pengajaran, politik dan pemerintahan. Dalam siaran radio, koran-koran dan penerbitan lain, orang berlomba-lomba menunjukkan lafal ajaran-ajaran itu. Akan tetapi kesatuan pikiran dalam masyarakat hanyalah di permukaan dan semu. Pertentangan kepentingan antara pelbagai kekuatan politik malah meruncing. Pembebasan Irian-Barat dapat dikatakan FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
3
mendapat dukungan seluruh masyarakat. Tetapi terhadap perubahan -perubahan dalam masyarakat Indonesia sendiri untuk menuju pembagian hak milik dan hasil usaha secara lebih merata, sebagai pelaksanaan keadilan sosial atau sosialisme Indonesia, tidak tercapai karena pertentangan di antara pelbagai golongan dan partai politik. Kaum tidak berpunya, kaum buruh, proletar dan marhaen, mendambakannya. Tetapi orang yang bermodal, orang yang memiliki tanah luas menolaknya. Polarisasi ini diperuncing oleh kondisi ekonomi yang memburuk. Ini nampak dalam penyusunan UUPA (Pokok Agraria) dan UUBH (Bagi Hasil) oleh DPR-GR (1959-1960), serta lebih-lebih dalam praktek perubahan pemilikan dan bagi hasil dibidang pertanian menurut undang-undang tersebut. Setelah di UUPA diundangkan, pelaksanaannya justru macet. Pegawai pemerintah yang bertugas di bidang ini tampaknya kurang berhasil. Sejak semula PKI melancarkan kampanye pelaksanaan "land- reform", dengan penerangan, penelitian dan publikasi (a.l. hal 7 Setan Desa: tuan-tanah, lintahdarat, bandit-desa, tengkulak-idjon, petani kaya dan kapitalis-birokrat termasuk pamong desa). Setelah pada tahun 1963 ada paceklik, maka ‘aksi sepihak' dilaksanakan yakni memimpin serta mendampingi tindakan-tindakan tani kecil dan buruh tani untuk memaksakan pelaksanaan UUPA/UUBH, dengan menduduki tanah pertanian dan menahan sebagian hasil serta menuntut retooling pegawai pemerintah yang gagal. Aksi-aksi sepihak yang dijalankan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali dan sebagai akibat menimbulkan konflik-konflik sosial. Meskipun di banyak tempat pemerintah daerah mencoba menyejukkan keadaan, umumnya mereka memihak pemilik-pemilik tanah. Pertentangan keras, bahkan dengan penggunaan senjata tajam, terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara organisasi komunis dengan organisasi NU. Sedangkan di Bali, komunis bertentangan keras dengan PNI. Keadaan menjadi gawat sehingga sewaktu Presiden Soekarno berada di luar negeri, pejabat presiden Leimena mengeluarkan instruksi penghentian aksi sepihak pada pertengahan tahun 1964. Bung Karno dalam pidato kenegaraannya tahun itu memberikan dukungan tidak langsung kepada aksi sepihak dengan menunjukkan simpati pada buruh tani dan mengecam kelambanan pelaksanaan UUPA/UUBH. Pertentangan terus meruncing hingga terjadi penembakan mati tiga buruh tani oleh polisi di Boyolali. Kemudian, bulan desember 1964, dilakukan musyawarah di Istana Presiden di Bogor yang dihadiri perwakilan dari semua partai. Aksi sepihak itupun dibicarakan. Hasil musyawarah, antara lain, menyerukan agar masalah-masalah nasional seperti pelaksanaan UUPA dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Diserukan juga bahwa pejabat dan petani diwajibkan untuk musyawarah tanpa menggunakan ancaman kekerasan dan senjata. Kedua belah pihak dalam pertentangan tentang tanah menafsirkan deklarasi Bogor sebagai kemenangan dan aksi sepihak lambat laun dihentikan. Akan tetapi di bawah permukaan saling benci dan dendam membara. Sementara itu tahun 1961 Inggeris dan negara Malaya (merdeka tahun 1957) dengan dukungan A.S mempersiapkan pembentukan federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura dan bekas jajahan Brunei, Sabah dan Serawak di Kalimantan Utara. Rencana ini ditentang RRT. Juga Bung Karno memandangnya suatu proyek Nekolim yang mesti dilawan. Tetapi keberatan RRT dan Indonesia tidak digubris dan pembentukan Federasi dilaksanakan tahun 1963. Bung Karno lalu memproklamasikan Konfrontasi mengganyang Malaysia. Meskipun dengan mulut didukung oleh militer dan semua partai, konfrontasi ini jauh lebih sedikit disokong ketimbang operasi pembebasan Irian-Barat. Khususnya di kalangan Angkata Darat ada kekhawatiran terhadap petualangan perang terbuka dengan Inggeris. Itu sebabnya pimpinan Angkatan Darat mengrongrong dan mencegah Laksamana Udara Omar Dhani yang
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
4
diangkat Presiden sebagai Panglima Komando-Siaga melawan Malaysia untuk secara efektif menggunakan Angkatan-Darat. Bahkan sejak 1964, Angkatan-Darat juga melakukan perundingan rahasia dengan Malaysia dan Inggeris, agar perangan besar terbuka jangan pernah terjadi. Perundingan ini dilakukan pertama kali oleh Jenderal Yani dan kemudian dilanjutkan dibawah tanggung jawab Jenderal Soeharto yang menugaskan Let.Kol. Ali Murtopo (Kepala OPSUS) untuk memelihara hubungan rahasia dengan Malaysia/Inggeris. Dari semua partai politik, PKI-lah yang paling kuat mendukung Konfrontasi, a.l. dengan tuntutannya mengadakan latihan relawan dan pembentukan Angkatan (bersenjata) ke-V, demi pengganyangan Malaysia. Bung Karno sendiri makin sengit menyerang Nekolim dan Imperialisme dalam pidatopidatonya. Beliau membagi negara-negara di dunia dalam 'nefos' (negara-negara baru dan progresif) dan 'oldefos' (negara-negara lama yang nekolim atau konservatif). Tahun 1964, beliau mengucapkan "go to hell with your aid' terhadap Amerika Serikat. Amerika memang menghentikan bantuannya pada Indonesia sejak tahun 1964, kecuali bantuan langsung kepada Angkatan-Darat yang justru digandakan. Sepanjang Demokrasi Terpimpin, beberapa kali dibentuk persekutuan/organisasi untuk membendung pertumbuhan pesat pengaruh PKI dalam kehidupan politik-sosial, a.l. Liga Demokrasi atas prakarsa PSI, Masyumi (1960), Manifesto Kebudayaan (Manikebu) oleh sekelompok sastrawan yang membela nilai-nilai humanisme dalam sastra dan kebudayaan umumnya vs. pemihakan revolusioner LEKRA (komunis) dan LKN (nasionalis) (1963) dan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) oleh Adam Malik dan wartawan lain yang menjabarkan pikiran politik Soekarno tetapi melawan pengaruh politik komunis (1964). Tetapi setiap kali usaha-usaha di atas kandas karena Presiden Soekarno mem-veto-nya. Sering ditandaskan oleh Bung Karno, bahwa dalam sosialisme Indonesia tidak ada tempat untuk komunistofobi. Hanya Angkatan Darat yang anti-komunis bertahan secara kuat. Karena itu bagi banyak orang yang menolak otoriterisme Demokrasi Terpimpin dan pengaruh komunisme, Angkatan Darat menjadi harapan, namun mereka pada saat sama melupakan peranan Angkatan Darat dalam pembentukan dan pengisian sistim Demokrasi Terpimpin, khususnya kemandirian Angkatan Darat yang tumbuh subur di dalamnya dan bahaya besar militerisme . Keadaan ekonomi Indonesia makin merosot dengan inflasi yang menjulang. Sedangkan suhu ketegangan politik justru naik dalam tahun 1965. Januari 1965 Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Bulan berikutnya, 21 surat kabar anti komunis dilarang terbit. Angkatan Darat langsung menerbitkan dua surat kabar sendiri. Semangat anti-Amerika dipanaskan oleh berita-berita tentang peningkatan pemboman dahsyat Vietnam oleh Amerika dan perusahaan A.S. diduduki oleh serikat– serikat buruh kiri. Angkatan Darat mengambil alih pengelolaan perusahaan asing tersebut. Bulan April 65, Menteri Luar-Negeri RRT berkunjung ke Jakarta dan mendukung saran Aidit untuk membentuk angkatan bersenjata kelima di samping AD, AU, AL dan Kepolisian. Angkatan ini akan diisi oleh relawan yang dipersenjatai untuk menyerang Malaysia. Usulan ini didukung juga oleh AU, Partindo dan PNI. Bung Karno menyatakan bahwa PKI adalah contoh teladan kekuatan revolusioner. Dalam perayaan meriah H.U.T.ke-45 PKI, bulan Mei 1965, beliau memuji-muji PKI. PKI yang dalam pemilihan umum tahun 1955 menjadi partai besar ke-empat, memang paling menonjol dukungannya pada bung Karno, sebagai Pemimpin Besar Revolusi. PKI semakin banyak anggotanya, juga karena banyak pengikut Bung Karno menggabungkan diri dengan PKI. Mereka menyeberang bukan karena tertarik pada ideologi komunis tapi mengingat keberpihakan PKI pada rakyat kecil (lebih nyata daripada PNI). Tahun 1965, Bung Karno jatuh sakit sehingga timbul desas-desus
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
5
bahwa ia akan meninggal. Bahkan dokter-dokter dari RRT datang untuk mengobatinya sampai sembuh. Pada pidato 17 Agustus 1965, beliau mengumumkan terbentuknya Poros Anti-Imperialis: Jakarta-PnomPenh-Hanoi-Beijing, suatu keterikatan Republik Indonesia dengan 4 negara komunis, dan menyerukan agar rakyat dipersenjatai. Keadaan ekonomi semakin parah pada kwartal terakhir tahun ‘65, harga beras 9 kali harga pada permulaan tahun dan harga dolar dipasar gelap menjulang dari Rp 5100 menjadi Rp 50.000. Desas-desus kemungkinan Kudeta, baik oleh Angkatan Darat maupun oleh PKI dibisik-bisikkan secara luas.Tanggal 27 September Jenderal Ahmad Yani menyatakan Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan Kelima. Ketegangan mencekam masyarakat, khususnya di ibu kota. 2. Peristiwa 1965 : Rentetan Konflik Bersenjata Dengan Korban Jiwa . Konteks pol-ek-sos di atas harus diingat sewaktu kita mawas diri dan melakukan peninjauan-ulang. Peristiwa 1965 dapat dirumuskan sebagai rentetan konflik bersenjata yang menghasilkan korban jiwa. Biasanya rentetan konflik dengan korban jiwa tahun 1965 dipandang sebagai satu keseluruhan yang diakibatkan operasi G30S/PKI. Ini tidak tepat. Memang persamaan dari semua konflik yang kita sebut peristiwa 1965 adalah penggunaan senjata dan jatuhnya korban jiwa. Akan tetapi, di samping persamaan ini, konflik-konflik di atas justru menonjol perbedaannya. Peristiwa 1965 memang terdiri dari konflik-konflik bersenjata yang disebabkan dua operasi militer yang berbeda dari dari sudut pandang waktu kejadian, lama berlangsung, jumlah korban dan dampaknya atas negara, masyarakat dan bangsa Indonesia. Operasi militer pertama adalah yang dilakukan oleh pasukan yang tergabung dalam Gerakan Tigapuluh September. Sedangkan yang kedua dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Di bawah ini berturut-turut kedua operasi militer akan dibahas. 2.1 Operasi Gerakan Tigapuluh September. Fakta sejarah adalah sebagai berikut: Gerakan 30 September (terdiri dari pasukan Angkatan Darat, a.l. gabungan resimen Cakrabirawa dan divisi Diponegoro, Angkatan Udara dan sepasukan relawan dari or-mas komunis pemuda rakyat yang dilatih oleh Angkatan Udara dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia) dini hari 1oktober 1965 menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat di Jakarta, serta menduduki beberapa gedung strategis di lapangan Merdeka dan mengepung Istana presiden. Pada hari itu juga melalui radio Jakarta disiarkan lima pengumuman, berturut-turut tentang operasi militer melidungi presiden yang dipimpin overste Untung, komandan batalyon dari Cakrabirawa untuk melawan Dewan Jenderal yang berniat merebut kekuasaan; tentang keselamatan presiden Soekarno yang tetap memegang pimpinan negara, tetapi juga tentang pembentukan Dewan Revolusi dengan ketua Let.Kol. Untung (tanpa menyebut Presiden Soekarno); pembubaran kabinet; dan penurunan pangkat semua perwira tinggi dan menengah menjadi Let. Kol.. Pengumuman terakhir menunjukan kedunguan politik pimpinan Gerakan 30 september, sebab selain tidak menyebut Bung Karno, juga memunculkan permusuhan dengan pemerintah, partai-partai politik serta massa pendukungnya, serta dengan para panglima dan pimpinan ABRI lainnya, padahal kekuatan senjatanya terbatas dan dukungan rakyat belum ada. Pengumuman terakhir juga bertentangan dengan
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
6
pengumuman sebelumnya dan menunjukan kesimpangsiuran dalam komando pimpinan. Bagaimanapun juga presiden Soekarno yang pada malam hari 30 September bermalam di luar Istana, mengingat keadaan genting, dini hari 1 Oktober, dinasehatkan pergi ke lapangan terbang Halim agar segera dapat menyelamatkan diri dengan pesawat terbang. Di sana jenderal Soepardjo salah seorang pimpinan Gerakan 30 September menghadap presiden dan melapor. Bung Karno terkejut sewaktu mendengar hal pembunuhan enam jenderal, di antaranya panglima Angkatan Darat jenderal Yani, serta memerintahkan agar pertumpahan darah selanjutnya dihentikan. Kemudian ia berunding dengan pengawalnya (a.l. jenderal Sabur dan Soenarjo), siapa yang akan mengganti untuk sementara waktu jenderal Yani. Pilihannya jatuh pada jenderal Pranoto, meskipun pada saat itu Laksmana Udara Oemar Dhani yang juga hadir pada perundingan menyatakan bahwa jenderal Soeharto-lah perwira AD paling senior. Dalam pada itu, jenderal Soeharto yang oleh Gerakan 30 september dipandang sebagai kawan, bahkan menurut overste Latief telah diberi tahu tentang rencana operasi penculikan para jenderal sebelumnya, kemudian justru memimpin pasukan untuk mengepung dan menumpas Gerakan ini. Setelah mengetahui akan diserang, sore hari tanggal 1oktober, pasukan-pasukan Gerakan 30 september mulai buyar. Separuh dari pasukan militer yang menduduki Lapangan Merdeka menyeberang keKOSTRAD dan separuh lagi mundur ke-Halim. Dalam tembak-menembak pagi hari 2 oktober, yang terjadi di-Lubang Buaya, di-sekitar markas komando, lapangan terbang Halim, seorang tewas dan dua orang terluka sebelum pasukan-pasukan pendukung gerakan 30 september tersebut menyeberang atau melarikan diri. Maka tamat-lah Gerakan itu di-ibu kota. Apa yang mengherankan ialah bahwa Harian Rakyat, koran PKI di Jakarta, yang terbit 2 Oktober, mencantumkan pernyataan mendukung Gerakan 30 september yang sekaligus disebutnya sebagai urusan intern AD, padahal gerakan tersebut nyata sudah gagal. Di luar Jakarta, hanya di Jawa-Tengah, Gerakan 30 September di bawah pimpinan kolonel Soeherman melakukan operasi militer di Yogyakarta, Semarang dan Solo. Di Yogya, komandan dan kepala -staf ditawan dan kemudian dibunuh, tetapi di Semarang Panglima Divisie lolos dan dari Magelang langsung melancarkan serangan pembalasan. Pada 2 oktober, Semarang direbut kembali tanpa perlawanan. Kolonel Soeherman melarikan diri dari Semarang dengan pasukannya. Tetapi di solo pada tanggal 5 oktober pasukannya menyebrang ke pihak AD. Dengan demikian, tamat pula gerakan 30 september sebagai operasi militer di luar Jakarta. Banyak karangan dan buku tentang Gerakan ini sudah diterbitkan. Akan tetapi, meskipun semua penulis cenderung sepaham tentang terjadinya penculikan dan pembunuhan enam jenderal di Jakarta serta pembunuhan komandan dan kepala staf resimen di Yogyaa pada tanggal 1oktober 1965 serta keberhasilan penumpasan Gerakan ini secara militer di bawah pimpinan jenderal Soeharto. Para pakar berbeda pendapat mengenai seluk-beluk latarbelakangnya dan tujuan akhirnya. Dalam garis besar yang dipandang sebagai pelaku utama/dalang G30S oleh pelbagai pakar adalah sbb: 1. Sekelompok perwira menengah Angkatan Darat yang mau bertindak terhadap para jenderal yang merongrong kebijakan Pemimpin Besar Revolusi; 2. Pemimpin-pemimpin tertentu Partai Komunis Indonesia melalui Biro Chususnya, untuk merebut kekuasaan; 3. CIA/Pemerintah AS untuk memprovokasi PKI; 4. Intel Inggris yang bertemu dengan komplotan AS; 5. Presiden Soekarno; dan 6. Jenderal Soeharto sendiri..
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
7
Bahan utama adalah risalah-risalah persidangan MAHMILUB (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang mengadili semua pelaku utama yang manjalankan penculikan dan pembunuhan. Akan tetapi mustahil menarik suatu kesimpulan yang pasti dari risalah persidangan MAHMILUB, karena rekayasa penguasa begitu kentara. Kita terpaksa menunggu penelitian lanjut sebagaimana disarankan Pak Sitor, yang berdasarkan fakta yang lebih meyakinkan dapat menjawab pertanyaan yang belum terjawab oleh penelitian yang sudah-sudah. Apa yang diutarakan profesor Holtzappel dan pakar lain tentang Gerakan 30 September di Saresahan ini merupakan bahan berharga untuk penelitian lanjut itu. Penelitian yang segera mesti dilakukan, agar masih bisa menggunakan bahan wawancara, baik dari peserta G30S yang masih hidup dan waras seperti Pak Abdul Latief, anggota pasukan AD yang menyeberang maupun terkena hukum, termasuk dari para perwira yang bekerja sama erat dengan Jenderal Soeharto yang seolah-olah dengan “fore-knowledge” tentang Gerakan 30 September, mampu menumpasnya secara efektif dalam waktu demikian singkat. Sampai dengan sekarang fakta yang jelas hanyalah siapa yang melaksanakan operasi Gerakan 30 september itu . Apa yang relevan adalah bahwa risalah persidangan MAHMILUB tentang Biro Chusus yang langsung dipimpin Aidit, tidak memberi bukti bahwa semua anggota Komite Sentral apa lagi semua anggota biasa atau simpatisan PKI mengetahui tentang kerjanya Biro Chusus (yang memang rahasia), apalagi tentang rencana aksi penculikan 30 september 1965. Anggapan bahwa PKI, sebagai keseluruhan terlibat G30S belum pernah dibuktikan kebenarannya. Kita tahu juga bahwa presiden Soekarno-pun menolak pendapat bahwa PKI sebagai partai terlibat dalam G30S. Karena itu beliau menolak pengutukan dan pembubaran PKI, meskipun keblingeran beberapa angota pimpinan PKI diangapnya sebagai salah-satu faktor bahwa Gerakan itu terjadi. Sewaktu presiden Soekarno mendapat laporan dari jenderal Soeparjo, salah seorang pimpinan Gerakan 30 september tentang penculikan dan pembunuhan para jenderal dan memerintahkan pemberhentian pertumpahan darah, beliau jelas tidak merasa terancam. Apakah beliau sepenuhnya percaya atas kesetiaan jenderal Soeparjo atau memandang enteng Let.Kol. Untung dengan Dewan Revolusinya tidaklah jelas. Apa yang terang adalah bahwa beliau memandang dirinya sanggup mencari suatu penyelesaian politik dari apa yang agaknya dipandangnya sebagai terutama konflik intern Angkatan Darat. Akan tetapi, jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, seketika mendengar bahwa Let.kol. Untung-lah (mantan anak didik tokoh PKI, Alimin), yang memimpin G30S, menyatakan bahwa ia segera mendapatkan firasat. Dalam rapat staf Kostrad ditegaskannya: “Mereka mengadakan gerakan kup untuk merebut kekuasaan negara secara paksa dan pasti didalangi PKI (Otobiografi hal.119-121)”. Berdasar anggapan bahwa keseluruhan partai komunis dan ormas-ormas yang berafiliasi dengan PKI terlibat dalam Gerakan 30 september, maka segera dilancarkan operasi penghancuran PKI. Berikut akan dibahas prakarsa dan modus operandi nya. 2.2 Operasi Penghancuran Partai Komunis Indonesia Penguasa Orde Baru sering mengemukakan, bahwa penghancuran PKI pada tahun 1965, adalah reaksi spontan rakyat atas pemberontakan G30S/PKI. Malah juga pakar asing terkenal berpendapat bahwa terbunuhnya ratusan ribu anggota dan FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
8
simpatisan PKI adalah sekadar karena amok rakyat anti-komunis (Geertz,p.6-10). Kebenarannya adalah bahwa pengejaran, penganiayaan, penangkapan dan pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI yang menghancurkan partai komunis terbesar di dunia (di luar UniSovyet dan RRT) adalah hasil operasi militer. Laporan CIA kepada Gedung Putih tertanggal 8 Oktober 1965, merujuk pada suatu rapat jenderal (tertanggal 5 Oktober 1965) yang dipimpin jenderal Soeharto dan jenderal AH Nasution dan menghasilkan kesepakatan perihal pelaksanaan rencana penghancuran PKI (Robinson p.283 n.25). Tanggung-jawab atas rencana dan segala cara-cara pelaksaan operasi militer ini diakui dengan bangga oleh Jenderal Soeharto. Dalam Otobiografi-nya dengan lugas dinyatakan: Sejak menyaksikan....apa yang didapat diLubang Buaya, kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka dimana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan dipegunungan tempat pelarian mereka. Mereka masih mencoba mendirikan kubu pertahanan sewaktu kami mengejar mereka. Tetapi saya tidak mau melibatkan Angkatan Darat secara langsung........kecuali pada saat –saat yang tepat dan terpaksa. Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing dari benihbenih yang jahat.((hal.136) Rangkaian kata-kata yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan utamanya, setelah membuyarkan Gerakan 30 September di Jakarta pada awal Oktober 1965 sama dengan perumusan tujuan operasi militer yang akan dilancarkannya, yakni: menghancurkan PKI,menumpas perlawanan mereka dimana-mana...... Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam menunjuk kepada maksud memberikan bantuan kepada rakyat, (perumusan yang menyelubungi untuk: mengikut sertakan atau melibatkan rakyat dalam kegiatan utamanya itu), yakni: untuk ...membersihkan daerahnya masing-masing dari benih-benih yang jahat. Kalimat ini-pun tidak dapat ditafsir lain dari upaya untuk membersihkan daerahnya masing-masing dari orang yang menganut atau bersimpati kepada faham komunisme. Orang yang mengucap kalimat tersebut bukanlah sedang berangan-angan. Ia seorang jenderal yang berpengalaman tempur. Pada waktu, hal-hal di atas dipikirkannya atas awal Oktober 1965, Jendral Soeharto de fakto ialah penguasa militer tertinggi di Jakarta dan diseluruh Indonesia. Pernyataan dalam Otobiografi-nya di atas mengungkap dengan gamblang bukan saja tujuan operasi-militer di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, melainkan juga cara pelaksanaan, modus operandi, atau barangkali boleh juga disebut strategi operasi militer Penghancuran PKI yang kemudian memang dilaksanakan. Strategi Jenderal Soeharto bercabang dua, yakni: 1. Menggerakkan Angkatan Darat sebagai lembaga mandiri di dalam negara R.I.; dan 2. Melibatkan rakyat dengan rekayasa atau paksaan dalam pelaksanaan operasi militer. Kedua point akan saya bahas berturut-turut., 2.2.1. Menggerakkan Angkatan Darat sebagai lembaga mandiri. Di atas sudah disebut bahwa Presiden Soekarno menolak anggapan bahwa PKI sebagai partai terlibat dalam Gerakan 30 September, meskipun mengakui keterlibatan oknum-oknum PKI tertentu dalam G30S. Beliau juga memandang gerakan tersebut
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
9
lebih sebagai konflik intern dalam Angkatan Darat (dengan campur tangan Nekolim, CIA dan Inggeris) ketimbang usaha serius mengambil-alih kekuasaan Negara (Nawaksara dan Tambahan Nawaksara). Karena itu beliau menolak membubarkan PKI. Beliau hendak berupaya memecahkan konflik yang ditimbulkan G30S secara politik, agar status-quo sebelumnya pulih kembali. Jenderal Soeharto memang ditugaskan/diberi wewenang oleh Presiden Soekarno untuk memulihkan ketertiban dan keamanan yang terganggu oleh G30S. Tetapi operasi penghancuran PKI melampaui batas wewenang yang diterimanya dari Soekarno. Penghancuran PKI jelas-jelas bertolakbelakang dengan kebijakan yang hendak ditempuh Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Pemerintahan yang sah. Meskipun ini diketahui Jenderal Soeharto, operasi militer penghancuran PKI tetap dilaksanakannya. Dengan lain perkataan, Jenderal Soeharto menempatkan Angkatan Darat yang pada waktu itu berada di bawah pimpinannya di luar jangkauan pemerintahan sipil dan sekaligus di atas hukum, satu dan lain karena mengabaikan ketentuan konstitusional yang menetapkan Presiden RI sebagai Panglima Tertinggi TNI. Namun kejadian ini bukan untuk pertama kali. Di atas telah disebut bahwa sebagai Panglima Kostrad, dengan menentang kebijakan Bung Karno, ia mengutus Let.Kol. Ali Murtopo untuk melakukan hubungan dan rundingan rahasia dengan Inggeris dan Malaysia. Juga sudah disebut rong-rongan dan pencegahan penggunaan pasukan Angkatan Darat dalam operasi melawan Malaysia dan penerimaan bantuan militer dari Amerka Serikat, bahkan setelah Bung Karno menandaskan “Go to hell with your aid!” Operasi penghancuran PKI tahun 1965 memandirikan Angkatan Darat secara jauh lebih radikal ketimbang tindakan pimpinan Angkatan Darat sebelumnya. Sebab dilakukan terbuka, terang-terangan melawan kebijakan Presiden di muka khalayak ramai. Kewibawaan Presiden Soekarno yang tidak mampu mencegahnya dirong-rong dan lagipula ditujukan untuk memusnahkan partai politik yang merupakan pendukung paling kuat dari beliau sehingga makin melemahkan kekuasaannya. Membuat Angkatan Darat mandiri dari pemerintahan sipil, berarti membuat Angkatan Darat ibarat Negara terpisah di dalam struktur Negara R.I., tidak terjangkau oleh pengawasan maupun hukum negara. Angkatan Darat hanya tunduk pada hukum dan aturan Angkatan Darat belaka dan karenanya memiliki kekebalan terhadap hukum nasional yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Operasi penghancuran PKI mencakup penangkapan, panganiayaan, pemenjaraan dan pembunuhan massal bangsa Indonesia sendiri. Mereka ini pada umumnya tidak ada kesalahannya, kecuali menjadi anggota atau simpatisan PKI. Partai politik yang pada waktu itu sah menurut hukum negara dan malah disebut partai teladan oleh Presiden Soekarno. Pasukan Angkatan Darat pimpinan Soeharto menjalankan operasi penghancuran PKI tanpa tedeng alingaling, tanpa ada pencegahan atau teguran atas nama hukum oleh petugas hukum, seolah-olah Angkatan Darat betul-betul memiliki kekebalan hukum. Pengejaran, penangkapan dan pembunuhan massal juga dilakukan oleh rakyat. Tetapi berbeda dengan apa yang diajarkan selama Orde Baru tidak terjadi spontan, tanpa campur-tangan Angkatan Darat, melainkan selalu konteks operasi penghancuran PKI. Operasi militer tersebut memang memperhitungkan, menyiapkan, merekayasa dan membiarkan rakyat turut melakukan pembunuhan massal tersebut. Bagaimana itu berlangsung akan dituturkan dalam paragraf berikut.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
10
2.2.2.Melibatkan rakyat dengan rekayasa atau paksaan. Berkaitan dengan operasi penghancuran PKI, jenderal Soeharto berkata: “Tetapi saya tidak mau melibatkan Angkatan Darat secara langsung dalam pertentangan-pertentangan itu,kecuali pada saat-saat tepat dan terpaksa.Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing dari benih-benih yang jahat (Otobiografi hal. 136).” Meskipun penghancuran PKI dianggap sebagai “kegiatan utamanya (idem)”, Jenderal Soeharto lebih suka rakyat-lah yang sebanyak mungkin melakukannya. Dengan kata-kata lain, lebih suka sebanyak mungkin meminjam tangan rakyat dalam melaksanakannya. Dalam paragraf 1.1.1. di atas telah diterangkan bahwa menjelang Peristiwa 1965, nampak peruncingan polarisasi antara di satu pihak golongan komunis, golongan kiri lainnya dan pengikut Bung Karno yang dapat menerima PKI sebagai kekuatan revolusioner, termasuk sebagian faksi Angkatan Bersenjata, dan pada lain pihak golongan anti-komunis, anti Demokrasi-Terpimpin dan Pimpinan Angkatan Darat dan bagian lain dari Angkatan Bersenjata. Apa yang bagaimanapun hendak dicegah, baik oleh Jenderal Soeharto maupun oleh Bung Karno, adalah meletusnya perang saudara antara kedua golongan tersebut di atas. Namun dalam operasi penumpasan G30S, yang tampak pro- kiri, jenderal Soeharto berhasil mencegah dukungan besar-besaran dari masyarakat terhadap G30S, dengan mengedepankan ketaatannya sendiri pada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan pada ajaran-ajarannya, sekaligus menekankan tujuan G30S untuk merebut kekusaan negara dari tangan Presiden Soekarno. Kedunguan politik pimpinan G30S telah membantu Jenderal Soeharto. Melibatkan rakyat dalam operasi penghancuran PKI, satu dan lain agar rakyat tidak melawan maupun mencegahnya, malah berbalik mendukung dan membantu Angkatan Darat, dilakukan dengan cara-cara berikut: 1. 2. 3. 4.
Mengidentikkan G30S dengan PKI; Mengingkari kemanusiaannya orang komunis, menggambarkannya sebagai makhluk kejam, a-susila dan atheis; Menyalahgunakan rasa keagamaan untuk menghasut dan menanam kebencian terhadap komunis; Menggerakkan demonstrasi massal menuntut pembubaran dan/atau pembasmian PKI
Kita akan meneropong ke-empat butir di atas satu per satu secara lebih mendalam. 2.2.2.1. Mengidentikkan G30S dengan PKI Kekuasaan militer waktu itu de fakto berada dalam genggaman jenderal Soeharto, sehingga media masa kiri dapat dilenyapkannya dan tiga surat kabar tentara, Berita-Yudha, Angkatan Bersenjata dan koran baru Api Pancasila, serta seluruh media pers (radio, surat kabar dan majalah) yang berada di bawah ancaman pemberangusan, FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
11
setiap hari menyiarkan berita-berita yang disiapkan oleh Angkatan Darat. Operasi konyol G30S di Jakarta terus menerus digambarkan sebagai upaya kudeta yang didalangi oleh PKI ataupun sebagai pemberontakan PKI untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Gerakan 30 September tidak disingkat dengan akronim G30S, melainkan dengan G30S/PKI,sehingga pada PKI dilekatkan cap pemberontak brutal. Pesan yang terus menerus didengungkan adalah, antara lain, karena sesudah Madiun, G30S merupakan pemberontakan kedua kali, maka janganlah PKI diberi kesempatan untuk mencobanya lagi dan maka itu bubarkan/basmilah PKI. 2.2.2.2. Mengingkari kemanusiaannya orang komunis, penggambaran mereka sebagai mahluk kejam, asusila dan atheis Kebengisan, kelicikan dan kebiadaban PKI atau dengan merujuk kepada Polisi Rahasia Nazi-Jerman, Gestapo, dilukiskan rinci. Mula-mula berkisar pada penculikan dan pembunuhan 6 jenderal angkatan darat, dan luka parah yang diderita anak perempuan Jenderal Nasution karena tembakan penculik. Pada tanggal 4 Oktober 1965, penggalian kembali dan pengangkatan jenazah para jenderal dari sumur tua di Lubang Buaya dilakukan di bawah sorotan wartawan dan kamera TV, radio dan media pers lainnya. Kini kita ketahui bahwa ada Visum et Repertum, Laporan Pemeriksaan Bedah Mayat, tertanggal 5 Oktober 1965 dari tim lima dokter ahli ilmu dokter kehakiman, terbentuk atas perintah jenderal Soeharto sendiri, yang melukiskan di bawah sumpah secara terperinci kondisi jenazah. Visum et Repertum ini jelas mengingkari adanya luka-luka karena sayatan atau pencongkelan mata dan menyebut a.l. keutuhan alat kelamin pada korban penculikan G30S. Namun demikian, Pimpinan Angkatan Darat tidak pernah mengumumkan hasil Visum et Repertum tersebut kepada khalayak ramai. Sebaliknya bermunculan foto mayat-mayat yang sudah mulai membusuk dan rusak di TV, di koran dan majalah, disertai uraian bahwa tanda-tanda bekas penganiayaan di sekujur tubuh para korban, membuktikan kekejaman dan kebiadaban G30S/PKI. Bahkan juga jenderal Soeharto sendiri memberi pernyataan seperti itu. Rekayasa berita untuk menghasut kebencian rakyat makin meningkat dengan pemberitaan dusta dipelbagai surat kabar perihal orgi seksual anggota Gerwani dengan Pemberontak G30S/PKI menjelang pembunuhan para jenderal. Dikatakan bahwa sembari melakukan orgi seksual anggota Gerwani dengan pemberontakGestapu/PKI, mereka menganiaya, menconkel mata dan menyayati tubuh dan alat kelamin para jenderal dengan pisau silet sampai mati. Berita ini, konon, diperoleh berdasarkan “pengakuan” perempuan-perempuan muda yang turut serta dalam orgi di atas. Tidak ada seorangpun dari saksi-saksi ini kemudian diseret kemuka pengadilan. Kita harus simpulkan bahwa pengakuan tersebut yang kemudian digembar-gemborkan media massa pada waktu itu adalah fitnah semata. Fitnah semacam ini, tentang kebiadaban, kekejian dan ke-a-susilaan anggota PKI maupun simpatisan PKI berfungsi untuk meniadakan rasa salah rakyat, apabila kemudian mereka dilibatkan untuk menganiaya, bahkan membunuh makhluk biadab dan a-susila tersebut. 2.2.2.3. Penyalahgunaan Rasa Keagamaan untuk Menghasut, Menanam Rasa Kebencian terhadap Komunis Tidak jarang komunis disebut tidak bertuhan, atheis, malah musuh Tuhan, karena, begitu dikatakan, falsafah marxisme/leninnisme tidak mengakui adanya roh. Jadi juga tidak mengakui Tuhan, Roh Maha Sempurna dan karena itu jelas anti-Tuhan. Pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa hampir semua anggota PKI, seperti juga
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
12
hampir semua bangsa Indonesia beragama dan bahwa kebanyakan dari mereka menjadi anggota partai bukan karena menganut falsafah materialisme, melainkan lebih karena mengharapkan partai tersebut mau memperjuangkan kepentingannya. Akan tetapi, hasutan-hasutan seperti di atas memang bukan bermaksud mengabarkan kebenaran, melainkan menanamkan kebencian, menabur gagasan bahwa memerangi PKI adalah wajib hukumnya dan mungkin tidak haram membunuh orang komunis. 2.2.2.4 Menggerakkan Pembasmian PKI
Demonstrasi
Massal
Menuntut
Pembubaran
dan/atau
Terhitung sejak tanggal 2 Oktober 1965 dengan dorongan Angkatan Darat didirikan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu) dari pemuda antikomunis yang dipimpin Subchan dari NU dan Harry Tjan dari PMKRI. Kesatuan Aksi ini memelopori demonstrasi mahasiswa /pelajar yang terus menerus mengutuk Gestapu/PKI dan semua organisasi komunis. Lalu menyusul pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda/PelajarIndonesia) dan demonstrasi serupa makin marak. Setelah orgi seksual dengan perbuatan sadis anggota GERWANI disoroti di media massa, maka KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia) melakukan unjuk rasa massal dan emosional menuntut pembubaran organisasi wanita komunis yang telah menurunkan harkat-derajat wanita Indonesia. Dalam upacara penguburan jenazah anak perempuan jenderal Nasution,dan kemudian para jenderal yang dibunuh, kesedihan, kebencian dan dendam massa meluap-luap. Tidak jarang unjuk rasa massal diikuti penyerangan, pembongkaran dan penghancuran terhadap gedung-gedung organisasi komunis. Demonstrasi besar-besaran ini, yang menandakan dukungan sosial memperkuat dan memperdalam emosi yang ditimbulkan oleh kabar berita perihal kebusukan komunis. Angkatan Darat, kemudian, mengadakan operasi penangkapan tokoh-dan anggota kader PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya di ibukota maupun sekitarnya. Setelah itu disebarkan desasdesus di jalanan dan dikabarkan di koran tentang ditemukannya bukti-bukti rencana pemberontakan tersimpan di dalam rumah/gedung orang komunis, seperti alat pencongkel mata dan senjata lain, daftar nama musuh komunis yang mesti dibunuh dsbnya. Sebagai orang yang mengalami peristiwa di atas dan sebagai kriminolog yang meninjaunya secara retrospektif, rekayasa membangkitkan dan meningkatkan kebencian/kemarahan rakyat terhadap PKI dan organisasi pendukungnya harus dikatakan sangat efektif. Memang ini merupakan prasyarat agar rakyat mau “melindungi dirinya sendiri” , dan Angkatan Darat dapat memberikan bantuan kepada rakyat, untuk, seperti dikatakan Jenderal Soeharto, membersihkan daerahnya masingmasing dari benih-benih yang jahat dengan, a.l. melakukan pembantaian masal penduduknya yang beraliran kiri. Di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pembersihan daerah oleh rakyat dari benih-benih jahat cukup terdokumentasi sehingga kita dapat menelaahnya. 3.
Pembantaian masal penduduk beraliran kiri
Di atas (par.2.1) dikemukakan bahwa Jawa Tengah, satu-satunya daerah di luar Ibu kota, tempat G 30 S di bawah kol.Suherman mengadakan gerakan militer tanggal 1 Oktober 1965, dengan menduduki kota Semarang, Jogya dan Solo. Di Jawa Tengah dukungan penduduk pada G30S lebih tampak ketimbang di Jakarta. Akan tetapi, setelah mengetahui akan diserang oleh Pangdam Diponegoro dengan batalyon
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
13
Kavaleri, pasukan-pasukan G30S, sama seperti yang terjadi di Jakarta, melarikan diri atau menyebrang. Semarang ditinggalkan tanpa perlawanan pada tanggal 2 Oktober ‘65. Setelah pasukan G30S di Solo pada tanggal 5 Oktober 1965 menyeberang dan bergabung kembali dengan pasukan TNI, riwayat militer G30S-pun tamat di sana. Perkembangan ini terpengaruh juga oleh perkembangan di Jakarta. Tetapi ketegangan antara ketiga batalyon yang pernah mendukung G30S dengan pasukan lain, baru menghilang setelah pertengahanOktober RPKAD di bawah komando Kol.SarwoEdhie diperintahkan jenderal Soeharto ke Jawa Tengah. Ketiga batalyon tersebut kemudian pindah ke daerah lain. Menurut Sarwo Edhie sendiri (Crouch, p. 151 & Hughes, p.151), seizin Jakarta, kelompok pemuda Islam dan nasionalis dilatih beberapa hari, dipersenjatai dan di bawah pimpinan dan kerja sama dengan RPKAD melakukan pembersihan di desa-desa. Semua anggota organisasi komunis dikumpulkan dan ditangkapi. Setelah mengalami interogasi singkat yang dipandang aktivis dibunuh dan pendukung pasif dimasukkan pelbagai tempat tahanan, seperti sekolah, tangsi militer, kantor-kantor pemerintahan atau lainnya dan penjara. Di dalam tahanan, mereka yang ditangkap masih belum aman, karena berdasarkan daftar keanggotaan yang disita, atau berdasar keterangan informan, ditetapkan siapa yang akan dibunuh. Biasanya tengah malam mereka ini dibawa dengan truk militer keluar kota. Ditempat pembunuhan kadang-kadang sudah ada lubang kuburan masal yang digali oleh penduduk desa. Ada kalanya yang akan dibunuh disuruh menggali lubang besar sendiri. Kalau militer yang membunuh biasanya digunakan senjata api.Tetapi kalau diserahkan pada rakyat biasanya digunakan arit atau senjata tajam lain. Banyak orang dipenggal kepalanya sambil jongkok/berlutut dipinggir lobang kuburannya. Juga terjadi, informan mendatangkan pasukan pembersihan pada satu desa yang dikatakannya seratus prosen komunis. Maka seluruh penduduk desa itu, laki dan perempuan tanpa kecuali dibantai, kecuali anak yang paling kecil. Di dalam satu desa penduduk bukan komunis ditunjuk untuk membunuh tetangganya yang komunis. Desa bukan komunis ditunjuk membasmi desa komunis (Hughes, p.154-155). Bahkan juga di-kota-kota terjadi pembantaian. Mahasiswa bukan komunis dilawankan dengan mahasiswa komunis, dosen bukan komunis dengan dosen komunis, sehingga terdapat banyak lowongan di kalangan mahasiswa dan dosen, setelah gelombang pembunuhan reda. Seorang pengelola hotel di Yogya menceritakan bahwa pada suatu hari, militer mendatangi hotelnya dan menembak mati 13 pegawainya (Hughes, p.156-157). Pembunuhan di Jawa Timur baru terjadi setelah komandan-komandan pasukan di sana mengetahui bahwa pembantaian di Jawa Tengah disetujui terang-terangan oleh Pimpinan Angkatan Darat di Jakarta. Pada akhir Oktober ’65, aksi pembersihan besarbesaran, di kota-kota dilaksanakan, biasanya di bawah pengawasan Angkatan Darat. Tetapi di daerah pedesaan, para kiyai dan ulama, kebanyakan anggota NU, dianjurkan oleh militer untuk mengambil tindakan sendiri. Maka mereka memobilisasi santri pesantren untuk memburu dan membunuh anggota dan simpatisan PKI. Pemuda Ansor berkeliling dari desa ke desa, berdakwah agar umat muslim menbasmi kaum atheis. Pertengahan November ‘65 pembantaian terjadi diseluruh pelosok Jawa-Timur. Di beberapa desa juga anak-anak menjadi korban pembantaian. Di lain tempat hanya aktivis partai yang dibunuh. Sering kali militer menonton saja, dan menyediakan truk untuk angkutan koban, tetapi tak jarang mereka berperan lebih aktif (Crouch, p.151152). Seorang jenderal Angkatan Darat yang waktu itu bertugas di sana, memberi perhitungan sbb: kira-kira ada 3000 desa di Jawa Timur. Setiap desa ada anggota PKInya dan dari setiap desa PKI kehilangan 10 sampai 15 orang anggota karena
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
14
dibersihkan oleh pemuda Ansor. Jadi antara 30 dan 45 ribu yang terbunuh.Tetapi mungkin juga sampai100 ribu. Sering kali korban tidak dikubur, tetapi dilempar dikali. Banyaknya mayat yang terapung di kali Berantas, menyebabkan orang dipinggir muaranya emoh makan ikan dari kali itu. Pembunuhan massal di Jawa-Timur dikaitkan oleh pelakunya dengan dendam mereka karena tindakan komunis sendiri dimasa lalu (Hughes p.158159). Akan tetapi fakta-nya adalah bahwa pembantaian orang komunis pada akhir bulan Oktober-November 1965 terjadi karena diberi contoh, dianjurkan dan diizinkan oleh Angkata Darat. Pembunuhan massal ini terjadi bukan sebagai pembelaan diri dalam pertempuran dalam perang saudara karena pemberontakan PKI . Tetapi lebih sebagai perbuatan algojo yang dimulai oleh Angkatan Darat, lalu ditugaskan pada rakyat pengikut NU dan diizinkan Angkatan Darat, terhadap korban yang tak memberi perlawanan. Biarpun di Bali, terjadi pertentangan dengan kekerasan antara PNI dan PKI yang meruncing sejak aksi sepihak komunis tahun 1964, pada bulan Oktober 1965 belum terjadi pergolakan. Baru setelah penguasa militer di Bali berubah sikap dan menjadi anti PKI, serta kampanye fitnah dilancarkan tentang komunis, a.l. bahwa GERWANI a-susila dan sadis, dan lebih-lebih setelah RPKAD dan pasukan dari Brawijaya tiba di Bali, maka operasi penghancuran PKI, c.q. pembunuhan orang komunis secara massal dilaksanakan juga sehebat-hebatnya. Sebagaimana di Jawa agama Islam disalahgunakan, di Bali, agama Hindupun digunakan untuk menanam kebencian pada dan, membenarkan bahkan mengharuskan pembunuhan orang komunis. Peranan Angkatan Darat dalam pembunuhan massal di Bali sama seperti di Jawa: memberi contoh, mendorong, memberi bantuan dan membiarkan. Hasilnya diperkirakan 80.000 orang terbunuh dalam periode Desember s/d awal tahun 1966 (Robinson, p.273-303). Pasti banyak faktor pol-ek-sos-bud setempat yang rumit turut mengkondisikan pembunuhan massal di Indonesia pada tahun 1965 yang patut diteliti dan diperhatikan agar kita dapat memahaminya dengan baik. Akan tetapi, apapun yang turut mengkondisikannya, dendam dan ketakutan karena aksi komunis selama masa demokrasi terpimpin, kefanatikan agama, tradisi kekerasan, hasrat merebut milik orang dsb-nya, kesemuanya itu tidak dengan sendirinya akan menyebabkan terjadinya pembantaian, tanpa peranan aktif Angkatan Darat yang melaksanakan operasi penghancuran PKI. Bahkan di lain daerah, seperti juga di Aceh dan Sumatera Timur, yang juga mengalami pembunuhan massal, peranan Angkatan Darat sama dengan yang digambarkan di atas. Di daerah lain seperti Jawa Barat dimana penguasa militer tidak melakukan, tidak menganjurkan dan tidak mengizinkan pembunuhan massal, rakyatpun tidak melakukannya. Perkiraan jumlah korban jiwa operasi penghancuran PKI pada tahun 1965 sangat berbeda, dari 150.000 s/d 1000.000 jiwa (Cribb, p.12). Angka manapun yang paling mendekati ketepatan, peristiwa berdarah yang mengerikan sekali itu merupakan kejahatan berat menurut hukum, bahkan kejahatan melawan kemanusiaan menurut hukum internasional, seperti juga dikemukakan oleh Tristam Moeliono dalam makalah untuk sarasehan ini. Konsep “crimes against humanity” ini terus dikembangkan dalam hukum internasional sejak permulaan abad ini. Pada dewasa ini diterapkan pada pelanggaran hak azasi yang begitu jahat, sehingga tidak ada pembatasan waktu dan tempat untuk diadili. Jadi menghilangkan daluarsa penuntutan
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
15
serta larangan daya retroktif serta memberi wewenang kepada semua negara untuk mengadili-nya. Sekalipun korban pembunuhan massal, semuanya terlibat G30S (suatu pegandaian yang berlawanan dengan akal sehat dan memang tidak pernah terbukti), tindak perencanaan dan pelaksanaan pembantaian terhadap para korban tetap harus dipandang sebagai pelanggaran hak azasi manusia paling funamental, hak atas kehidupan. Pembunuhan tersebut yang dilakukan dengan menyalahgunakan lembaga negara c.q . Angkatan Darat, harus dipandang sebagai kejahatan melawan kemanusiaan, tidak beda taraf kejahatannya dengan kejahatan pembunuhan massal oleh rejim NAZI atau rejim komunis di UniSovyet dan di Kamboja. Tulisan ini dimaksud bukan untuk menganjurkan ataupun mengikhtiarkan suatu penuntutan hukum terhadap jenderal Soeharto yang paling bertanggung jawab atas kejahatan melawan kemanusiaan di atas itu, juga tidak terhadap para pelakunya yang menurut hukum pidana bertanggungjawab secara individu, melainkan sebagai ajakan untuk mawas diri dalam menatap peristiwa tersebut, jangan mendiamkan apalagi membenarkannya. Tetapi mengakuinya sebagai kejahatan besar, kejahatan melawan kemanusiaan, yakni tidak saja kemanusiaan dari korban dan sanak saudaranya, tetapi juga kemanusiaan dari kita semua. Pengakuan itu dapat membantu kita untuk melihat dampak buruknya yang sampai hari ini merusak negara dan bangsa Indonesia.Saya akan melukiskan dampak-dampak ini secara garis besar.
4 .Dampak-dampak kejahatan melawan kemanusiaan 1965 1.
Dampak atas negara. Seharusnya negara sebagai alat utama bangsa dalam usahanya membangun masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi de fakto muncul sebagai organisasi kekuasaan besar.
2.
Dampak atas kita semua, bangsa Indonesia, cara kita berpikir dan bertindak dan dengan begitu membentuk masyarakat dan budaya Indonesia; Dampak atas korban langsung; kejahatan melawan kemanusiaan di atas ibarat anak beranak dan terus menerus menimbulkan korban langsung lagi, yang sampai sekarang terabaikan;
3.
4.1. Dampak atas Negara Orde Baru jenderal Suharto Peristiwa september 1965 seperti sudah dtuturkan di atas melawan kekuasaan Presiden Soekarno yang bercitra membangun masyarakat sosialis, berdampak selanjutnya atas perkembangan politik Indonesia dan akhirnya mengesampingkan Soekarno dan menaikkan jenderal Suharto ke tahkta kekuasaan. Ini kita maklumi semua. Akan tetapi sebutan Orde Baru bagi tata kenegaraan yang dikuasai Suharto menyesatkan. Sebab mengesankan lahirnya tata kenegaraan yang berbeda sama sekali dari yang sebelumnya. Sedangkan dampak peristiwa September 1965, khususnya operasi penghancuran PKI , justru melestarikan dan memperkokoh beberapa ciri tata kenegaraan dan budaya demokrasi terpimpin. .Ada juga ciri tertentu yang terdapat pada negara dan masyarakat semasa demokrasi terpimpin yang dilenyapkan oleh pembantaian massal tahun 1965. Baik ciri yang diperkukuh, maupun akibat dari lenyapnya ciri tertentu dari negara dan masyarakat akan ditelaah.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
16
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
17
4.1.1. Dampak atas tata negara R.I.: Kemandirian Politik Angkatan Darat dalam negara R.I. Dampak perbuatan jahat bukan hanya dirasakan oleh korban, melainkan juga oleh pelakunya. Dampak terhadap pelaku sering berhubungan dengan hasil kejahatan tetapi bisa juga tergantung dari modus-operandi-nya, cara bagaimana perbuatan dilakukan. Modus operandi bisa juga mempengaruhi perubahan watak pelaku. Bagaimanapun, sesudah pembantaian massal tahun 1965, nampak perkembangan politik yang berubah cepat dan kemudian terjadi pergantian pemerintahan. Sistim Demokrasi Terpimpin dinyatakan sebagai Orde Lama dan tamat riwayatnya dan tata negara dan tata politik yang dinamakan Orde Baru dimulai. Kita akan menelusuri apa dampak pembantaian masal dalam proses perubahan politik ini. Dalam sistem Demokrasi Terpimpin ada tiga kekuatan politik yang menonjol: di sisi kanan Angkatan Darat,di tengah Bung Karno dan di sisi kiri PKI . Dikatakan bahwa Angkatan Darat dan PKI merupakan dua organisasi terkuat di Indonesia yang kurang lebih seimbang. Bung Karno-lah yang menjaga perimbangan itu. Karenanya beliau merupakan kekuatan politik sendiri. Pembantaian massal tahun 1965 menghancurkan saingan politik terkuat dari Angkatan Darat dan, dengan demikian, sangat menperkuat posisinya.Tetapi bukan itu saja dampak pembantaian massal. Sewaktu melancarkan operasi penghancuran PKI, Jenderal Suharto yang dibantu oleh Jenderal Nasution, menggerakkan Angkatan Darat sebagai lembaga mandiri dari pemerintahan sipil dan melibatkan rakyat kedalam operasi militer itu dengan rekayasa atau paksa. Dampak pertama dari pelaksanaan pembantaian masal sekaligus penghancuran PKI adalah perkukuhan kemandirian politik Angkatan Darat dalam negara R.I yang sudah diusahakan oleh Nasution sebelum dan selama Demokrasi Terpimpin. Pengukuhan kemandirian politik Angkatan Darat di dalam negara berarti bahwa Angkatan Darat menjurus menjadi negara sendiri dalam negara R.I.. Berarti Angkatan Darat memiliki kebebasan lebih besar baik dari campur tangan pemerintah sipil, maupun dari lembaga negara lainnya (DPR, MPR dan Pengadilan sipil). Dengan begitu Angkatan Darat lebih menjurus memiliki kekebalan hukum. Dengan lain perkataan, citra otoriter Angkatan Darat bertambah. Karena pengaruhnya atas R.I. kuat, maka juga citra otoriter R.I. dalam Orde Baru juga menguat, melampaui apa yang terjadi dalam masa Demokras Terpimpin. Dampak kedua dari berhasilnya pembantaian massal dengan melibatkan rakyat, adalah bertambahnya kemampuan Angkatan Darat untuk melibatkan rakyat dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuannya bertambah, karena kesiagaan rakyat untuk mengawasinya berkurang, dengan lenyapnya kekuatan kiri dan bertambah angkernya Angkatan Darat dan ketakutan rakyat terhadap Angkatan Darat yang tega membinasakan lawan. Dengan bertambahnya kemampuan Angkatan Darat, sekaligus bertambah pula kepercayaan pimpinannya bahwa melibatkan rakyat dengan rekayasa atau paksa untuk tujuan militer adalah wajar dan efektif. Dengan lain perkataan citra demokrasi Angkatan Darat berkurang. Sama halnya juga citra demokrasi Orde Baru rendah, lebih rendah ketimbang waktu demokrasi Terpimpin. Perkembangan politik tahun 1966 menghasilkan rekayasa politik Supersemar , kekuasaan KOPKAMTIB yang makin besar, pembentukan MPRS yang bersih dari pendukung Sukarno, namun dengan perwakilan Angkatan Darat yang kuat di bawah pimpinan Jenderal Nasution, pencopotan segala kekuasaan dari Sukarno dan
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
18
pelimpahan kekusaan negara tertnggi kepada Jenderal Suharto oleh MPRS. Perkembangan politik 1966 menunjukkan bagaimana modus operandi pembantaian massal juga digunakan Jenderal Suharto untuk merebut kekusaan kenegaraan tertinggi dari tangan Presiden Sukarno, yakni dengan menggerakkan Ankatan Darat sebagai lembaga yang mandiri dan melibatkan rakyat untuk tujuan Angkatan Darat. Terhitung sejak tahun berikutnya dan selama lebih dari 30 tahun, jenderal dan Presiden Suharto tetap menjalankan modus operandi yang sama. Rekayasa persidangan DPR dan MPRS disusul penggiringan pemilihan umum, pengebirian sistim kepartaian politik, kemunculan KORPRI dan GOLKAR, pengendalian kehidupan politik, pemilihan Presiden oleh MPR dan penilaian pertanggunganjawabannya oleh MPR menjadi sandiwara dukungan penuh, dan semuanya dijalankan dalam rangka melibatkan rakyat untuk memajukan kepentingan Presiden. Bersamaan dengan itu peluasan DWIFUNGSI Angkatan Darat menambah jaminan kemandirian Angkatan Darat. Kemandirian AngkatanDarat yang bertambah ,dilambangkan oleh lembaga pelaksanaan hukum istimewa KOPKAMTIB, didirikan oleh Soeharto untuk menanggulangiG30S/PKI dan berkembang menjadi lembaga pengawasan keamanan yang paling berkuasa. 4.1.2.
Dampak atas Masyarakat dan Rakyat: Perusakan Citra Moral dan Hukum
Saya kira kemunafikan yang begitu menonjol selama Orde Baru juga berkaitan dengan pembantaian massal tahun 1965. Bukankah pembantaian dan modus operandinya sendiri merupakan kejahatan melawan kemanusiaan, yang mustahil diingkari kekejemannya, kekejiannya, kejahatannya bagi semua orang. Kejahatan itu bukan diakui kejahatannya dan disesalkan terjadinya, malah dianggap terpuji, dirayakan sebagai perbuatan amal, perbuatan yang merupakan kemenangan Pancasila atas pemberontakan G30 S/PKI, bukti kesaktian Pancasila. Kejahatan melawan kemanusiaan itu selama lebih dari 30 tahun didiamkan oleh hampir seluruh bangsa Indonesia. Kemunafikan merusak kejujuran,bukan hanya dalam berbicara, melainkan juga dalam perbuatan. Nama Orde Baru sendiri munafik, sebab merupakan dalam banyak hal hanya lanjutan demokrasi tepimpin. Fungsi moral dan hukum yang penting adalah menentukan tujuan apa yang wajar kita ikhtiarkan. Fungsi lain adalah pembatasan cara dan sarana yang dapat kita gunakan agar ikhtiar kita wajar, etis dan adil. Pembantaian massal dan modus operandi-nya bukan saja merupakan kejahatan melawan kemanusian, tetapi sebagai tindakan politik melecehkan citra moral dan hukum, dalam memilh cara dan sarana untuk mencapai tujuan politik Dampak pembenarannya atau pendiamannya adalah juga merajalelanya paham dan praktik bahwa tujuan menghalalkan semua cara; bahwa hukum sekedar sarana untuk mencapai tujuan dan selalu dapat dikesampingkan. Pengakuan Presiden Suharto yang dicetak dan disebarkan luas bahwa penembakan misterius yakni penembakan mati ribuan penjahat dengan mayatnya ditinggalkan begitu saja, misterius juga tidak, sebab dilakukan atas perintahnya.Tandasannya: Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, merupakan ungkapan ketidakpedulian citra hukum pada Kepala Negara dan PemimpinPemerintahan R.I selama lebih dari 30 tahun.(Otobiografi,p.389-390) Pembenaran dan pendiaman pembantaian masaal merongrong/merusak morele referentie kader, kerangka moral dan hukum yang secara efektif menjadi rujukan
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
19
tindakan orang, menumbuhkan budaya kekerasan semasa orde baru, serta mejangkitkan kejahatan lain (yang paling jahat boleh dan sudah dilakukan sehingga tidak ada hambatan untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain). 4.1.2.1. Dampak Lain Usaha Penguasa Mengendalikan Rakyat (modus operandi pembantaia masal) Pemeliharaan ketakutan akan komunisme dan memajukan agama sebagai sarana untuk memerangi komunisme sebagai atheisme, menimbulkan akibat sampingan bahwa setiap golongan memutlakkan doktrin agama-nya sendiri, menyuburkan fanatisme agama, keduanya merongrong toleransi antar agama. Penindasan sewenang-wenang dari orang yang disangka musuh Orde Baru menyebabkan bahwa teror mencekam masyarakat,/rakyat, menyuburkan budaya panutan, sehingga penguasa semakin cenderung dan mampu bertindak sewenangwenang. Penumpasan setiap gerakan kiri yang bersumber marxisme/sosialime yang sejak zaman kolonial menjadi bagian gerakan politik Indonesia, memiskinkan kehidupan politik Indonesia karena menyebabkan hilangnya cita-cita sosialis: keadilan sosial sebagai cita-cita nasional. Kecurigaan terhadap kesadaran buruh, pelarangan terhadap gerakan buruh yang benar-benar memperjuangkan kepentingan buruh menghilangkan solidaritas horizontal dan memudahkan perpecahan nasional. Perpecahan dalam organisasi dan golongan memang merupakan alat yang pemerintah biasa gunakan untuk merebut/melestarikan penguasaan. Kursus-kursus wajib penghayatan & pengamalan Pancasila, meyebarluaskan kemunafikan dan sinisme terhadap nilai-nilai luhur,karena menyelubungi praktek kehidupan politik dan masyarakat yang melanggarnya terang-terangan. 4.1.3. Dampak atas korban langsung: kejahatan melawan kemanusiaan diatas ibarat anak beranak dan terus menerus menimbulkan kejahatan dan korban langsung lagi. Seolah-olah untuk membenar-benarkan alasan bahwa ratusan ribu orang anggota dan simpatisan PKI dibunuh dalam pembantaian masal th 1965,karena mereka berbahaya,maka sanak saudara,kawan,,keluarga,setiap orang yang dapat dipandang berfikir sama dengan mereka dianggap berbahaya. Pada th 1965 puluhan ribu orang beraliran politik kiri dipenjarakan dan tahuntahun berikut setelah aksi-aksi penertiban/pembersiha personil Aparatur Negara dan dikalangan organisasi politik /massa jumlah itu bertambah terus Alasan resmi adalah keterlibatan mereka dalam G30S/PKI.Mereka dibagi dalam 3 golongan,A,B,danC. Perumusan dasar resmi pengklassifikasian menunjukkan, bahwa kebanyakan dari “tapol”(tahanan politik) ditahan berlawanan dengan hukum .,sebab dari semula jelas bahwa golongn B dan C tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan untuk diajukan kepengadilan .Golongan A adalah mereka yang nyata-nyata terlibat secara langsung,ikut merencanakan atau mengetahui adanya prencanaan gerakan penchianatan tetapi tidak melaporkannya kepada yang berwajib.Akan tetapi ternyata juga tidak semua dari golongan ini memenuhi persyaratan untuk diajukan kepengadilan misalnya karena tidak ada bukti,Golongan B dan C yang ditahan karena keterlibatan secara tidak langsung ditahan semata-mata
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
20
karena aliran atau pandangan politiknya.Pada th 1968 klassifikasi dilakukan terhadap hampir 64.000 tapol.Dari 1965sd1980 golongan A berjumlah hampir 1.900orang,termasuk LetKol Untung,tetapi jugaLaksamana UdaraOmarDhani Dari th 1969 sd 1972 ,10.000 orang gol.B ,seperti pak Hersri,dikirim kepulau Buru.Golongan C mulai dilepaskan akhir th 60-an,golonganB akhir th70-an .Setelah kembali dimasyarakat,mereka dilarang kerja dikantor pemerintah dan banyak perusahaan takut memberi pekerjaan kepada orang yang kartu pengenalnya menujukkan bahwa ia ex-tapol.dan banyak orang takut bergaul dengannya, takut ketularan cap kiri.Ketakutan ini bukan tanpa dasar,sebab proses pembersihan oleh petugas KOPKAMTIB dan pembantunya terus menerus dilakukan.Bergaul dengan exTapol bisa menandakan berfikir atau bersimpati kiri dan itu saja cukup untuk diklasifikasi terlibat tak langsung. Orang Indonesia beraliran kiridiluar negeri ,sekalipun sedang melakukan perjalanan dinas,juga dianggap terlibat dalam G30S/Pki dan karenanya paspornya bisa disita oleh Kedutaan R.I.dinegara tempat dia sedang dinas,tamasya atau belajar.Penyitaan paspor membikin orang kehilangan kewarganegaraan dan segala hak berdasarkan itu.Ia tergantung dari pertolongan dan kasihan orang asingDiEropa ratusan orang indonesia mengalami nasib ini, yang juga ada kaitannya dengan permulaanOrde Baru Orde Baru Soeharto yang memprihatinkan kita. 5. Penutup Presiden Soeharto sudah lengser sejak 21Mei, 1998 .Pemilihan Umum yang bebas telah dilaksanakan dan Gus Dur sudah lebih dari setahun PresidenR.I. Memang dalam masa reformasi dewasa ini sudah dicapai perbaikan-perbaikan tertentu,seperti kebebasan berfikir dan berbicara seperti kita lakukan dalam saresehan ini. Tetapi keadaan Indonesia tetap memprihatinkan Ekonomi masih ambradul saja, para koruptor besar masih bebas saja, Kerusuhan di Maluku dan Aceh belum reda.Peledakan bom–bom diJakarta mencemaskan,Para tokoh politik lebih mementingkan golongan dan diri sendiri dari pada kepentingan umum Pemerintahan Gus Dur seperti tidak mampu melaksanakan kebijakannyaBarangkali kita akan lebih memahami keadaan sekarang,kalau kita ingat bahwa dengan lengsenya Presiden Soeharto tida k lenyap juga struktur kekuasaan Orde Baru dan budayanya,yang sudah kelihatan pada operasi pembantaian massal 1965.Penampakannya tak menyenangkan,tetapi kita harus menatapnya untuk cari jalan keluarnya.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
21