31 Des 2011 ... Yogyakarta - Cerita yang sederhana jika digarap dengan baik bisa jadi sangat
menarik. ... Karena dianggap membuat lelaki sekampung mesum,. Salimah
kemudian diusir oleh Haji Ahmad, guru mengajinya saat ia masih ...
http://www.indonesiakreatif.net/index.php/id/news/read/1275
Goyang Penasaran: Cermin Kemunafikan Sosial 31 Desember 2011 | Views (386) Oleh : Jaya Limas Yogyakarta - Cerita yang sederhana jika digarap dengan baik bisa jadi sangat menarik. Hal itulah yang berhasil dilakukan oleh Naomi Srikandi dalam pementasan sandiwara Goyang Penasaran yang diadaptasi dari karya cerpen Intan Paramadhita. Goyang Penasaran adalah salah satu cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen berjudul Kumpulan Budak Setan dan merupakan persembahan untuk Abdullah Harahap, penulis cerita horor picisan pada era 70 sampai 80-an.
Sandiwara Goyang Penasaran yang hanya diperuntukkan untuk penonton berusia 18 tahun ke atas ini menceritakan tentang penyanyi dangdut bernama Salimah. Salimah hidup di kampung tempat goyang dangdut diterima, dihidupkan, sekaligus dihujat banyak orang. Banyak laki-laki yang rela bertekuk lutut di bawah lekuk pinggulnya termasuk Solihin, pemuda perlente yang kemudian menjadi kepala desa dan telah beristri. Karena dianggap membuat lelaki sekampung mesum, Salimah kemudian diusir oleh Haji Ahmad, guru mengajinya saat ia masih kembang perawan. Di akhir cerita Salimah mati dipukuli oleh penduduk kampung. Pementasan mengambil lokasi di Studio Teater Garasi, Yogyakarta. Halaman parkir kecil di depannya di tutup dengan kain hitam dan seorang (aktor yang berperan sebagai) Hansip menjaga di depannya. Baru ketika pertunjukan akan dimulai, penonton diijinkan masuk ke area pertunjukan dan diarahkan untuk duduk di kursi yang disusun dengan beragam ketinggian. Di depan penonton terlihat panggung kecil yang menampilkan musholla kecil yang ketika pertunjukan berjalan ternyata juga menjadi kamar Salimah ketika dindingnya digeser dan panggung pertunjukan dangdut di atasnya.
Pemanfaatan ruang untuk pertunjukan ini memang mengagumkan. Hampir semua area di sekeliling penonton dimanfaatkan dengan baik. Dari tempat parkir motor yang menjadi tempat nongkrong preman kampung sampai dengan sumur yang menjadi tempat Salimah mencuci piring kotor dari warungnya. Taman kecil di samping sumur juga dimanfaatkan dengan baik sebagai lokasi pembantaian Salimah. Dengan pemanfaatan ruang yang hampir tidak banyak merubah kondisi aslinya, pertunjukan ini bisa dikatakan sebagai pertunjukan situs khusus dan ruang menjadi daya tarik utama dalam pertunjukan ini.
Pemanfaatan ruang yang maksimal ini juga didukung dengan tata cahaya yang akurat. Penonton cukup mengikuti cahaya lampu untuk mengetahui perpindahan lokasi adegan yang kadang di samping penonton dan kadang jauh di depan penonton. Pada saat adegan penampakan hantu Salimah di beberapa lokasi sekaligus secara bergantian, suasana horor yang diinginkan berhasil diciptakan dengan menempatkan beberapa aktor secara strategis tempat yang berbeda dan penggunaan lampu sorot dengan perhitungan waktu yang tepat. Sandiwara Goyang Penasaran dibuka dengan adegan Salimah yang sedang berdandan di kamarnya. Kemudian tiba-tiba lampu panggung dangdut menyala diikuti Salimah yang bernyanyi sambil bergoyang dengan dijaga oleh Hansip. Penonton yang diperankan oleh para aktor nampak memadati depan panggung sambil ikut bernyanyi, berjoget, menenggak alkohol, dan menggoda Salimah. Setelah pentas dangdut selesai, penonton yang tersisa membicarakan tentang goyangan Salimah. Adegan terus berlanjut ke pentas dangdut yang tiba-tiba digerebek massa yang dipimpin oleh seorang tokoh agama. Ketika keributan lewat dan sepi kembali, muncul seorang waria yang menemukan sepatu dan syal bulu Salimah yang tertinggal. Seketika dipakainya dan bergaya seperti Salimah. Adegan lalu melompat ke tempat parkir di mana tiga orang preman kampung lagi nongkrong, gitaran sambil membicarakan soal Salimah. Kemudian melompat ke adegan Salimah dan Haji Ahmad yang mencoba menciumnya saat belajar mengaji.
Alur penceritaan yang tidak linear baru terasa setelah adegan penampakan hantu Salimah yang terus berlanjut ke adegan Salimah sedang mencuci piring di sumur. Adegan sebelumnya yaitu ketika Salimah dirayu Haji Ahmad seolah masih linear. Baru ketika di adegan Haji Ahmad diculik, terlihat perbedaan bahwa Haji Ahmad terlihat lebih tua dan memiliki jenggot. Dengan berganti-ganti kostum dan rias wajah, para aktor yang terlibat dalam sandiwara ini masingmasing memainkan dua karakter. Muhammad Nur Qomaruddin, Irfanuddien Ghozali dan Theodorus Christanto yang berperan sebagai preman kampung, masing-masing juga berperan sebagai Haji Ahmad, Solihin, dan Subhan. Sementara Ari Dwianto selain berperan sebagai Salimah juga berperan sebagai waria. Dialog dalam sandiwara ini cukup vulgar. Obrolan di antara para preman tentang Salimah layaknya apa yang kita dengar sehari-harinya mengenai perempuan yang menarik secara seksualitas. Obrolan-obrolan seputar tubuh. Permasalahan tentang kemunafikan dalam masyarakat juga terangkat ketika para preman membicarakan tentang posisi mereka yang di satu pihak merupakan penggemar Salimah namun juga terlibat dalam penggerebekan dan pengusiran Salimah karena mereka dibayar. Hal yang sepertinya lumrah dewasa ini di mana orang cenderung berpihak pada sesuatu yang menguntungkan. Pemilihan gaya bahasa yang digunakan juga sangat mendukung lokalisasi pertunjukan. Penggunaan bahasa Indonesia berlogat ibukota mengidentifikasikan bahwa cerita ini mengambil tempat di sebuah kota kecil atau desa di pesisir utara Jawa yang tidak terlalu jauh dari ibukota. Gaya berceloteh para aktor yang lepas dan santai memperdekat jarak antara pemain dengan penonton. Hal yang jarang dijumpai dalam pementasan teater pada umumnya yang biasanya dialog para aktor selalu menegaskan jarak dengan penonton.