hubungan faktor pelatihan kesehatan reproduksi dengan ...

12 downloads 219 Views 340KB Size Report
Globalisasi informasi membawa dampak yang besar bagi remaja. Besarnya ... orangtuanya cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman.
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Remaja sehat menjadi aset bangsa yang sangat berharga bagi kelangsungan pembangunan dimasa mendatang. Dengan demikian status kesehatan remaja merupakan hal yang perlu dipelihara dan ditingkatkan agar dapat menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat, tangguh, dan produktif serta mampu bersaing (Depkes RI, 2009a). Menurut WHO dalam Depkes RI (2009b) kelompok remaja yaitu penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, di Indonesia memiliki proporsi kurang lebih 1/5 dari jumlah seluruh penduduk. Ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia dimana jumlah remaja diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah penduduk dunia (Depkes RI, 2009b). Masa remaja sangat erat kaitannya dengan perkembangan psikis pada periode yang dikenal sebagai masa pubertas yang diringi dengan perkembangan seksual (BKKBN, 2011). Kondisi ini menyebabkan remaja menjadi rentan terhadap masalah-masalah perilaku berisiko, seperti melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (Napza), yang keduanya dapat membawa risiko terhadap penularan Infeksi Menular Seksual (IMS), Human Immuno-deficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (BKKBN, 2011). Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang ini menyebabkan remaja dimanapun ia menetap, mempunyai sifat khas yang sama yaitu mempunyai rasa

1

2

keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atau perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang (Depkes RI, 2007a). Remaja merupakan salah satu kelompok penduduk yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik negatif maupun positif (BKKBN, 2002). Hal-hal negatif seperti seks dan narkoba, selain dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan dan kematian akibat overdosis, juga memberikan risiko yang tinggi dalam penularan HIV dan AIDS pada remaja (Sulaimanzen, 2007). Problematika yang dialami remaja, khususnya yang terkait dengan penyimpangan perilaku yang timbul dari faktor internal dan eksternal. Ketidakmampuan remaja untuk mengendalikan daya eksploratif dari rasa keingintahuan (curiousity) dan rentannya daya selektivitas (screening) terhadap pengaruh luar secara gradual maupun instan membawa kepada penyimpangan perilaku remaja (Depdiknas, 2009). Globalisasi informasi membawa dampak yang besar bagi remaja. Besarnya rasa keingintahuan remaja mengenai reproduksi mendorong remaja untuk mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk teman sebaya, orang tua, sekolah dan media informasi (Rahayu, 2008). Untuk itu diperlukan informasi yang benar dan bertanggung jawab, sehingga remaja dapat memiliki perilaku reproduksi yang sehat (Suparmi, 2006). Teman disini lebih diartikan sebagai teman yang bisa menjadi tempat bertanya, karena Dewi, 2003)

remaja

memilih peer-group (Riyanti and

3

Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap remaja ternyata berkaitan dengan iklim keluarga itu sendiri. Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orang tuanya kurang baik (Yusuf, 2008). Hall & Lindzey (1985), menyatakan bersama dengan teman sebaya, remaja merasakan kehadiran seseorang yang dapat mengerti serta memahami dirinya, sehingga remaja dapat menaruh kepercayaan yang besar terhadap seorang teman. Sedangkan menurut Santrock (1998),

remaja memandang seorang sahabat

sebagai seorang yang dapat diajak untuk berbagi masalah, untuk dapat mengerti serta memahami pikiran serta perasaan mereka, persahabatan dapat menimbulkan perasaan nyaman, persahabatan dapat terbentuk karena adanya kesamaan antara individu yang terlibat ataupun karena perbedaan. Remaja cenderung curhat (curahan hati) kepada teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orangtua atupun guru. Namun seringkali teman sebayanya tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang kesehatan remaja, sehingga justru dapat memberikan informasi yang tidak benar atau tidak tepat. Oleh karena itu dibutuhkan konselor sebaya yang terlatih untuk menjadi tempat curhat dan memotivasi teman sebaya untuk mengembangkan pribadi yang lebih matang dan sehat (Kemenkes RI, 2010a) Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Kelompok teman sebaya memiliki aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh remaja

4

sebagai anggota kelompoknya. Atas dasar itu, maka penting sekali konselor sebaya dipilih dari remaja itu sendiri (Kemenkes RI, 2010a). Berbagai intervensi telah dilakukan baik oleh instansi pemerintah maupun lembaga sosial masyarakat (LSM) di antaranya, program kelompok siswa peduli AIDS dan narkoba (KSPAN), Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi remaja (PKBR), Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR), dan penyuluhan-penyuluhan kesehatan reproduksi remaja melalui program usaha kesehatan sekolah (UKS). Meskipun banyak program telah dilakukan namun permasalahan remaja masih sangat memprihatinkan. Hal ini didukung dengan hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI),

remaja mengaku mempunyai teman

yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah usia 14-19 tahun (perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%), usia 20-24 tahun (perempuan 48,6%, laki-laki 46,5%) (BKKBN, 2011). Berdasarkan Kemenkes RI (2010b), jumlah kasus AIDS di Indonesia yang dilaporkan hingga Desember 2010 mencapai 24.131 kasus, dimana 45,48% adalah kelompok remaja. Jumlah penyalahgunaan napza diketahui 1,5% dari penduduk Indonesia, dimana 78% diantaranya usia 20-24 tahun, 800 ribu pelajar dan mahasiswa menggunakan jarum suntik dan 60% pengguna jarum suntik sudah terjangkit HIV dan AIDS (BNN, 2008). Salah satu penyebab munculnya masalah kesehatan reproduksi di kalangan remaja adalah kurangnya pengetahuan yang terkait dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam memberikan pemahaman kepada remaja. Pola ceramah langsung dinilai kurang tepat, karena hal ini cenderung menyebabkan remaja pasif

5

sebagai pendengar sehingga ilmu yang tertinggal juga relatif sedikit (Franklin et al., 2001; Wigh et al., 2002, Wood, 2003; Pangkahila, 2005). Strategi yang dikembangkan oleh Kemenkes RI untuk meningkatkan pengetahuan remaja, dalam hal ini siswa SMP dan

SMA adalah dengan

menggunakan strategi pelatihan konselor sebaya, suatu pola pembelajaran yang menitikberatkan informasi dari dan untuk siswa itu sendiri, dengan pola ini siswa menjadi lebih aktif dan pengetahuan yang ada berasal dari upaya pencarian sendiri. Pelatihan konselor sebaya ini telah di lakukan di Provinsi Bali sejak tahun 2008 dengan jumlah peserta 20 orang SMA/SMK, tahun 2009 dilatih 20 orang SMA/SMK, dan tahun 2010 peserta dari SMP berjumlah 10 orang dan SMA/SMK berjumlah 10 orang (berasal dari SMP dan SMA/SMK Kabupaten/Kota se Bali) Tujuan pelatihan konselor sebaya adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan remaja dalam bidang kesehatan reproduksi remaja agar nantinya dapat menyebarluaskan kepada teman-temannya dan di lingkungannya, sehingga remaja dapat terhindar dari hal-hal yang merugikan dirinya, keluarga dan lingkungannya. Di samping itu untuk meningkatkan rasa percaya diri pada remaja dalam memberikan konseling kepada teman-temannya yang mempunyai masalah kesehatan dan masalah lain yang memerlukan bantuan dalam penyelesaiannya. Dari hasil pelatihan konselor sebaya dapat dilhat adanya peningkatan pengetahuan, berdasarkan nilai pretest dan posttest saat pelatihan. Namun untuk mengimplementasikan pengetahuan dan ketrampilan konseling remaja di sekolah perlu dukungan dan pengakuan dari sekolah.

6

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dibeberapa sekolah yang siswanya telah mendapat pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja, pada umumnya remaja belum bisa mengimplementasikan pengetahuan dan ketrampilannya di sekolah. Disamping itu, sejak dilakukan pelatihan konselor sebaya dari tahun 2008 di Provinsi Bali, belum ada yang melakukan evaluasi terhadap efektivitas pelatihan ini. Terkait dengan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui “Apakah ada Hubungan Faktor Pelatihan Kesehatan Reproduksi dengan Implementasi Pasca Pelatihan pada Konselor Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja di Provinsi Bali” .

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan telah dilaksanakan pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja di Provinsi Bali , maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara : 1. Proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya dengan implementasi pasca pelatihan 2. Ketepatan materi pelatihan dengan implementasi pasca pelatihan 3. Proses pelatihan dengan implementasi pasca pelatihan 4.

Rencana Tindak Lanjut yang dibuat oleh remaja dengan implementasi pasca pelatihan

7

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui Hubungan Faktor Pelatihan Kesehatan Reproduksi dengan Implementasi Pasca Pelatihan pada Konselor Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja di Provinsi Bali. 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui secara mendalam hubungan antara: 1. Proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja dengan implementasi pasca pelatihan 2. Ketepatan materi pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja dengan implementasi pasca pelatihan 3. Proses pelatihan yang diinginkan oleh remaja dengan implementasi pasca pelatihan 4. Rencana tindak lanjut yang dibuat oleh remaja dengan implementasi pasca

pelatihan

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis 1. Sebagai masukan untuk pemegang program Dinas Kesehatan dalam mengambil kebijakan khususnya program kesehatan reproduksi remaja. 2. Sebagai masukan bagi Dinas Pendidikan dalam membuat program yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja

8

1.4.2 Manfaat Akademik Sebagai pengkayaan khasanah acuan untuk mengetahui secara mendalam hubungan factor pelatihan kesehatan reproduksi terhadap implementasi pasca pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja

9

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka Menurut BKKBN (2011) konselor sebaya adalah remaja yang mempunyai komitmen dan motivasi untuk memberikan konseling bagi remaja sebayanya yang telah mengikuti pelatihan konseling dengan menggunakan modul dan kurikulum standar. Waktu pelatihan yang diperlukan untuk menjadi konselor sebaya adalah selama 41 jam pelajaran ( satu jam pelajaran : 45 menit), dengan lama pelatihan lima hari efektif (BKKBN, 2008). Senada dengan pendapat Suwarjo (2008) konselor sebaya adalah remaja terlatih yang direkrut dari jaringan kerja sosial memungkinkan terjadinya sejumlah kontak yang spontan dan informal. Kontakkontak tersebut juga dapat memperbaiki atau meningkatkan iklim sosial dan dapat menjadi jembatan penghubung antara konselor profesional dengan para siswa (remaja) yang tidak sempat atau tidak bersedia berjumpa dengan konselor. Konselor sebaya dibangun melalui langkah-langkah sebagai berikut: 2.1.1 Pemilihan calon konselor sebaya. Syarat calon konselor sebaya adalah remaja yang mempunyai minat yang kuat dan suka rela untuk membantu teman sebaya diseleksi dengan mengikuti pengisian kuesioner tes modalitas/brain profile, untuk mengetahui kecocokan antara minat dan karakter remaja dengan tugas konselor sebaya (Kemenkes RI, 2010a). Untuk menjadi seorang konselor sebaya bukanlah hal mudah. Hal penting

10

dalam pemilihan terhadap calon konselor sebaya bukan hanya pada kemampuan penguasaan materi, namun akhlak, kepribadian, dan perilaku sehari-hari apakah dapat menjadi panutan bagi teman-teman sebayanya (BKKBN, 2002). Pemilihan didasarkan pada karakteristik-karakteristik tertentu seperti, memiliki minat untuk membantu, dapat diterima orang lain, toleran terhadap perbedaan sistem nilai, energik, secara sukarela bersedia membantu orang lain, memiliki emosi yang stabil, dan memiliki prestasi belajar yang cukup baik atau minimal rerata, serta mampu menjaga rahasia (Suwarjo, 2008). Dalam setiap kelas dapat dipilih tiga atau empat siswa yang memenuhi kriteria (BKKBN, 2011). 2.1.2 Ketepatan Materi Pelatihan Materi-materi

pelatihan

yang

meliputi

keterampilan

konseling

dan

keterampilan resiliensi dikemas dalam modul-modul yang disajikan secara berurutan (Suwarjo, 2008). Pengetahuan yang wajib dimiliki oleh konselor sebaya menurut BKKBN, (2006) adalah pengetahuan-pengetahuan; 1) Seksualitas yang meliputi tumbuh kembang remaja, alat, system, dan proses reproduksi, konsekuensi hubungan seks pranikah serta kehamilan yang tidak diinginkan (KTD); 2) Penyakit menular seksual termasuk HIV dan AIDS; 3) Narkotika, psikotropika, zat adiktif lainnya. Menurut Suwarjo (2008) calon konselor sebaya dibekali kemampuan untuk membangun komunikasi interpersonal secara baik. Sikap dan keterampilan dasar konseling yang meliputi kemampuan berempati, kemampuan melakukan attending, keterampilan bertanya, keterampilan merangkum pembicaraan, asertifitas, genuineness, konfrontasi, dan keterampilan pemecahan masalah,

11

merupakan kemampuan-kemampuan yang dibekalkan dalam pelatihan konselor sebaya. Penguasaan terhadap kemampuan membantu diri sendiri dan kemampuan untuk membangun komunikasi interpersonal secara baik akan memungkinkan seorang remaja memiliki sahabat yang cukup. Masih menurut Suwarjo, (2008) selain kemampuan-kemampuan untuk membangun komunikasi interpersonal, keterampilan untuk mengembangkan resiliensi (daya lentur) juga merupakan keterampilan yang perlu dilatihkan. Resiliensi merupakan kemampuan penting bagi individu untuk menghadapi berbagai situasi dan suasana adversif yang seringkali tidak dapat dielakkan dalam kehidupan. Keterampilan-keterampilan untuk mengembangkan resiliensi adalah: keterampilan untuk menghindari perangkap-perangkap pikiran, mendeteksi “gunung es”, menantang keyakinankeyakinan, penempatan pikiran dalam perspektif, penenangan dan pemfokusan, serta real-time resiliensi. Dengan menguasai keterampilan keterampilan tersebut individu mampu membantu diri sendiri dan teman lain dalam pengambilan keputusan secara bijak dalam menghadapi berbagai suasana aversif yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan sehari-hari. Widodo (2009), dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa belum semua remaja mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi yang benar dan lengkap. Mereka justru mendapat informasi dari teman-temannya yang tidak paham masalah kesehatan reproduksi atau dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat memperbesar kemungkinan makin kompleksnya permasalahan mengenai kesehatan reproduksi pada remaja. Kisara Youth Clinic, 2009) mencatat, lebih dari sepertiga konsultasi masalah pacaran

12

berkaitan dengan aktifitas seksual remaja. Terdapat kecenderungan remaja, baru akan berkonsultasi setelah melakukan aktifitas seksual aktif. Remaja berhubungan seksual pranikah karena coba-coba dan tanpa direncanakan, terbawa suasana, dan munculnya dorongan seksual akibat rangsangan media pornografi. Menurut Djaelani, et.al.

(1994) sekitar 94,3 persen remaja menyatakan

membutuhkan pelayanan konsultasi dan sangat berharap bahwa pemberi pelayanan berusaha menjangkau mereka dan tidak hanya pasif menunggu diklinik mereka. Kurniawan (2008), melakukan studi cross sectional untuk mengetahui faktorfaktor yang berpengaruh terhadap praktek kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Purbalingga dengan besar sampel 110 remaja dari populasi 1053, secara deskriptif diperoleh hasil pengetahuan responden 55,4% dalam kategori sedang dan 26,4% berpengetahuan baik serta hanya 18,2% yang berpengetahuan rendah. Responden yang pernah mengakses Informasi kesehatan reproduksi 39,1%, sering sebanyak 28,2% dan tidak pernah 32,7%, sedangkan sebagian besar praktek kesehatan reproduksi responden buruk (47,3%) dan hanya 17,3% yang prakteknya baik. 2.1.3 Proses Pelatihan Tujuan utama pelatihan konselor sebaya adalah agar remaja memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam melakukan konseling kesehatan reproduksi remaja (BKKBN, 2008). Dalam proses pelatihan diperlukan pendekatan pembelajaran yang dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran,

13

yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Dilihat dari pendekatan pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: 1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach), dan 2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan dalam Makmun (2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu: 1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya. 2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran. 3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran. 4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha. Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah: 1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.

14

2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif. 3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran. 4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan. Sementara itu, Kemp dalam Sanjaya (2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Demikian juga menurut David dalam Sanjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Sanjaya, 2008). Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: 1) ceramah; 2) demonstrasi; 3) diskusi; 4) simulasi; 5) laboratorium; 6) pengalaman lapangan; 7) brainstorming; 8) debat, 9) simposium,

15

dan sebagainya. Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh Fuadi (2001), menyatakan pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan dengan metode yang tepat serta melibatkan remaja secara aktif dapat meningkatkan skor pengetahuan. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Kinder, (1994), bahwa penggunaan metode yang tepat dalam penyajian materi pendidikan kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting, karena dapat mengetahui proses pemecahan masalah dan pencapaian hasil yang efektif. Menurut Norlita, dkk (2005), kesehatan reproduksi memerlukan pendekatan baik teknis, medis maupun bentuk metode pemberian informasi, sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh remaja. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode yang tepat meliputi : tujuan pendidikan, sifat materi pendidikan, peserta, fasilitator, waktu, serta yang paling penting adalah pendekatan pembelajaran, (Hamalik, 2002). Alternatif metode yang dapat digunakan pada pendidikan kesehatan reproduksi remaja adalah simulasi dan brainstorming, karena kedua metode ini memiliki kekuatan untuk mengajak semua peserta secara aktif memecahkan masalah yang sedang dibahas,

16

(Surakhmad, 1994). Hal ini telah dibuktikan oleh Norlita, dkk (2005), dengan melakukan penelitian untuk melihat keefektivan metode simulasi dan metode brainstorming untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja, secara praktis kedua metode tersebut terbukti efektif meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. 2.1.4 Implementasi Pasca Pelatihan Konselor Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja Menurut Sylviani (2008), dukungan sekolah terhadap program konselor sebaya dalam bentuk sarana prasarana, kebijakan, dana untuk melakukan kegiatan tertentu dan jejaring. Disamping itu perlu adanya dukungan dari guru dalam pendampingan konselor sebaya saat melakukan konsling teman sebaya. Dukungan dari petugas kesehatan diperlukan dalam hal pembinaan teknis program. Penelitian-penelitian yang dilakukan tentang pengaruh tutor sebaya (Allen, 1976; Gartner, Kohler and Reissman, 1971) dalam Suwarjo (2008) menunjukkan bahwa penggunaan teman sebaya (tutor sebaya) dapat memperbaiki prestasi dan harga diri siswa-siswa lainnya. Beberapa siswa lebih senang belajar dari teman sebayanya. Tindall & Gray (1985), mengemukakan konseling teman sebaya mencakup hubungan membantu yang dilakukan secara individual (one-to-one helping relationship), kepemimpinan kelompok, kepemimpinan diskusi, pemberian pertimbangan, tutorial, dan semua aktivitas interpersonal manusia untuk membantu atau menolong. Definisi lain menekankan konseling teman sebaya sebagai suatu metode, seperti dikemukakan Kan (1996) “Peer counseling is the

17

use problem solving skills and active listening, to support people who are our peers”. Laursen (2005), menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat modern seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993). Penelitian yang dilakukan Buhrmester dalam Santrock 2004), menunjukkan bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005), bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan (attachment). Gladding (1995), mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada remaja. Penelitian yang dilakukan Hartup (1996, 2000, 2001; Hartup & Abecassiss, 2002; dalam Santrock, 2004) selama tiga dekade menunjukkan bahwa teman sebaya dapat menjadi sumber-sumber kognitif dan emosi sejak masa kanak-kanak sampai dengan masa tua. Teman sebaya dapat memperkuat harga diri dan perasaan bahagia. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Cowie and Wellace (2000) juga menemukan bahwa dukungan teman sebaya banyak

18

membantu atau memberikan keuntungan kepada anak-anak yang memiliki problem sosial dan problem keluarga, dapat membantu memperbaiki iklim sekolah, serta memberikan pelatihan keterampilan sosial.

2.2

Konsep, Landasan Teori, dan Model Penelitian

2.2.1 Konsep Remaja Remaja adalah periode perkembangan selama dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak–kanak menuju masa dewasa, biasanya diantara usia 13 dan 20 tahun (Perry & Potter, 2005). Golinko (1984) dalam Rice (1990), kata remaja berasal dari bahasa latin adelescene yang berarti to grow atau to grow maturity (Jahja, 2011). Menurut Papalia, Olds dan Fielman (2001), Santrock (2003) mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Menurut WHO dalam Fatimah (2006), remaja adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan saat : 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanakkanak menuju dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri.

19

Batasan usia remaja , yaitu remaja awal usia 10 – 14 tahun dan remaja akhir 15 – 20 tahun (Fatimah, 2006). Ditinjau dari sudut batas usia tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transisional. Hal ini berarti, keremajaan merupakan gejala sosial yang bersifat sementara karena berada di antara usia anak-anak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya, mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak, usia remaja sudah dianggap dewasa sedangkan orang dewasa masih menganggap usia remaja sebagai anak kecil (Soekanto, 1990). Masa remaja dengan rentang usia berkisar 10 sampai 24 tahun adalah suatu fase peralihan dari masa kanak-kanak (dependent) menuju masa dewasa (independent) dan normal terjadi pada kehidupan manusia (Pramesemara , 2008). Dalam periode tersebut seorang remaja akan banyak mengalami perkembangan dan pertumbuhan guna mencari identitas dan jati dirinya. Berbagai perubahan akan muncul baik dari sisi psikologis, fisik (pubertas) dan sosial lingkungan (Triswan, et al, 1998). Remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah remaja menurut WHO, 2003 yaitu kelompok penduduk dalam rentang 10-19 tahun, yang masih duduk di bangku SMP dan SMA/SMK. 2.2.2 Ciri – ciri Masa Remaja Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik maupun psikologis. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1995), remaja mempunyai ciri umum seperti, kegelisahan, pertentangan, ada keinginan besar untuk mencoba segala hal, dan untuk mencoba sering kali

20

diarahkan pada diri sendiri maupun orang lain. Ciri-ciri yang unik, yang terjadi pada masa remaja akan saling berkaitan dengan perkembangan dan pengalaman pada masa anak-anak dan dewasa (Santrock, 2003). Pada masa awal remaja adalah waktu di mana konflik orang tua dengan remaja meningkat lebih dari konflik orang tua dengan anak. Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan pendewasaan remaja dan pendewasaan orang tua, meliputi perubahan biologis, pubertas,

perubahan

kognitif termasuk meningkatnya idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati diri, dan harapan yang tak tercapai (Santrock, 2003 ). Menurut Papalia, Olds dan Fieldman ( 2001) ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja : 1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal sebagai masa strom dan stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang di tujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak–anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan bertanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk diawal–awal masa kuliah.

21

2. Perubahan fisik pada organ seks luar, antara lain ; klitoris bertumbuh sedikit lebih besar, selaput dara menjadi sedikit lebih tebal dan kuat, labia mayor dan labia minor menjadi lebih besar dan keriput. Sedangkan perubahan bagian dalam, antara lain ; indung telur tumbuh menjadi besar, rahim bertumbuh sebesar kepalan, setiap bulan rahim akan mendapat lapisan dinding baru dan melepaskan lapisan yang lama (menstruasi). 3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja, banyak hal–hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak–kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja. Sehingga diharapkan untuk mengarahkan ketertarikan mereka pada hal–hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, juga dengan lawan jenis dan dengan orang dewasa. 4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak– kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa. 5. Perubahan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Disatu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi disisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

22

2.2.3 Tugas-tugas Perkembangan Remaja Menurut Konopka, dalam Pikunas (1976); Kaczman dan Riva, (1996) dalam Jahya, (2011) salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa remaja. Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat (Jahja, 2011). Masa remaja ditandai dengan berkembangnya sikap dependen kepada orang tua kearah independen, minat seksualitas, dan kecendrungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika dan isu-isu moral (Yusuf, 2008). William

Kay,

dalam

Jahja

(2011),

mengemukakan

tugas-tugas

perkembangan remaja sebagai berikut : 1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya 2. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas 3. Mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok 4. Menemukan model yang dijadikan identitasnya 5. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuan sendiri 6. Memperkuat self-control atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup

23

7. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanakkanakan. Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2001) tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion. Menurut Hurlock (1994), pada masa remaja timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. 2.2.4 Peranan Sekolah Dalam Mengembangkan Tugas-Tugas Perkembangan Remaja Hurlock (1994) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian remaja, baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orang tua (Yusuf, 2008). Berbagai permasalahan remaja dapat dicegah/diantisipasi melalui pendidikan kesehatan reproduksi yang terprogram ke institusi sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler untuk penyelenggaraan pelatihan dan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi (Indarsita, 2002). Mengingat remaja SMP dan SMA pada umumnya menghabiskan tujuh jam sehari di sekolah (Sarlito, 2007). Banyaknya waktu yang dihabiskan remaja di sekolah

akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah dapat dijadikan sarana untuk membekali diri dengan pengetahuan dan kemampuan dalam melindungi diri dari perilaku yang menyimpang (Rahayu, 2008).

24

Menurut Havighurt dalam Yusuf (2008), sekolah mempunyai peranan atau tanggung

jawab

penting

dalam

membantu

remaja

mencapai

tugas

perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu sekolah seyogyanya berupaya untuk menciptakan iklim yang kondusif atau kondisi yang dapat memfasilitasi remaja untuk mencapai perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan remaja menyangkut aspek-aspek kematangan personal, kematangan dalam mencapai filsafat hidup, dan kematangan dalam beriman. 2.2.5 Kesehatan Reproduksi remaja Dalam konferensi kependudukan di Kairo 1994, disebutkan bahwa Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau gangguan disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi fungsi serta prosesnya. Reproduksi sehat berkaitan dengan sikap dan perilaku sehat dan bertanggung jawab seseorang berkaitan dengan alat reproduksi dan fungsi-fungsinya serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan

yang mungkin timbul (Depkes RI, 2007). Kesehatan

Reproduksi Remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja (Depkes RI, 2007). Kesehatan reproduksi merupakan suatu kondisi terpenuhinya proses reproduksi dalam keadaan sehat, baik bersifat fisik, mental dan sosial, bukan hanya terbebas dari sakit atau kelainan proses reproduksi saja. Hal yang menjadi perhatian utama dalam kesehatan reproduksi adalah penyakit infeksi yang terkait dengan organ reproduksi dan peningkatatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan reproduksi sehingga dapat dilakukan sistem pencegahan sedini

25

mungkin terhadap semua permasalahan yang menyangkut kesehatan reproduksi (Sadli , 2005; Dickson, 2007). Kesehatan reproduksi pada konsepnya bukan hanya membicarakan masalah seksual semata, namun lebih luas dari itu mencakup semua aspek tentang struktur dan fungsi organ reproduksi dan faktor yang mempengaruhi fungsi reproduksi tersebut (Pangkahila , 2005). Berdasarkan konsep ini pendidikan kesehatan reproduksi harus diberikan sedini mungkin, termasuk dalam hal ini siswa SMP dan SMA yang merupakan kelompok remaja. Pengenalan masalah kesehatan reproduksi kepada siswa SMP dan SMA akan memberikan kontribusi berupa peningkatan pengetahuan dan pemahaman sehingga diharapkan akan memperkecil pola perilaku reproduksi menyimpang, seperti seks bebas, pernikahan dini dan lainsebagainya. Pada prinsipnya pendidikan tentang kesehatan reproduksi bagi siswa SMP dan SMA bertujuan untuk memberikan pengertian yang benar kepada siswa tersebut, mampu meluruskan berbagai mitos dan informasi yang salah, membentuk perilaku seksual yang sehat, mampu mencegah masalah seksual yang terjadi di masyarakat serta untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran dalam hubungan antar manusia (Pangkahila, 2005; Tjiptoherijanto,2004). Isu-isu yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi

kadang

merupakan isu yang pelik dan sensitif, seperti hak-hak reproduksi, kesehatan seksual, IMS termasuk HIV dan AIDS, kebutuhan khusus remaja dan perluasan jangkauan pelayanan ke lapisan masyarakat kurang mampu atau mereka yang tersisih (Harahap, 2003). Remaja dan permasalahannya yang akhir-akhir ini

26

menjadi sorotan adalah berkaitan dengan seputar kesehatan alat-alat reproduksi, hubungan dengan pacar, masturbasi, masalah hubungan seksual sebelum menikah, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, obat-obat terlarang dan IMS (Nurrohman, 2006). Beberapa permasalahan remaja berkaitan dengan aktifitas seksual yaitu berupa kasus-kasus kekerasan seksual yang mengakibatkan trauma, hubungan seksual pranikah (HSPN), kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi pada remaja, pernikahan di usia muda, penularan IMS ataupun HIV dan AIDS pada remaja, penyalahgunaan narkoba hingga kriminalitas pada remaja yang nampaknya masih belum banyak diangkat dan dibahas secara mendalam. Semua keadaan tersebut ibarat “Ice Berg Phenomena” yang terlihat hanya puncaknya, padahal didasarnya masih banyak kasus belum terdeteksi (BKKBN, 2011) United Nation Population Fund Ascosiation(UNFPA) dan BKKBN (2002) menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, sekitar 2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia dimana 20% nya dilakukan oleh remaja. Fakta lain menunjukkan bahwa sekitar 15% remaja usia 10-24 tahun yang jumlahnya mencapai 52 juta telah melakukan hubungan seksual diluar nikah (Kurniawan, 2008). 2.2.6 Konselor Sebaya Konselor

Sebaya

(SMP/SMA/sederajat),

adalah

anak

karang

remaja taruna,

yang berasal Poskestren,

dari

sekolah pemuda

masjid/gereja/keagamaan lainnya, pekerja industri, anak jalanan, dan lain-lain yang dilatih dengan materi tertentu sehingga mampu memberikan informasi dan

27

membantu menyelesaikan masalah kesehatan pada teman sebayanya. Konselor sebaya

harus mampu merujuk masalah kesehatan yang dihadapi remaja di

fasilitas rujukan yang tersedia (Depkes RI, 2008). Konselor sebaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak remaja yang berasal dari sekolah (SMP dan SMA/SMK) yang mendapat pelatihan di Provinsi Bali tahun 2010. Siswa SMP dan SMA/SMK sesuai dengan usia perkembangannya berada pada masa remaja. Pada masa ini, ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat. Hal ini antara lain karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami mereka. Keadaan ini sering menjadikan remaja sebagai suatu kelompok yang eksklusif karena hanya sesama merekalah dapat saling memahami. Sebagian besar siswa lebih sering membicarakan

masalah-masalah

serius

mereka

dengan

teman

sebaya,

dibandingkan dengan orang tua dan guru pembimbing. Untuk masalah yang sangat seriuspun (misalnya, hubungan seksual dan kehamilan di luar nikah, dan keinginan melakukan aborsi) mereka bicarakan dengan teman, bukan dengan orang tua atau guru mereka (Suwarjo, 2008). Menurut Yusuf (2008) kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan penting bagi perkembangan kepribadiannya. Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papilia & Olds, 2001). Hasil penelitian lainnya yang dikemukakan oleh Hans Sebald (Sigelman & Shaffer, 1995) bahwa teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam memilih, cara berpakaian, hobi, perkumpulan, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.

28

Kelompok teman sebaya merupakan konteks paling alami dan aman bagi remaja, karena hubungan dengan teman sebaya merupakan interaksi mendalam (Holmes, 1991). Hal ini sesuai dengan pendapat Tobias and Ricer (1998) dalam Kurniawan, 2008,

bahwa faktor keluarga kemungkinan faktor kedua setelah

teman sebaya yang mempengaruhi keputusan remaja terlibat dalam seksual aktif dan kehamilan. Oleh karena itu sangat potensial apabila kelompok remaja siswa SMP dan SMA/SMK dijadikan sasaran pendidikan dan pembinaan kesehatan reproduksi, agar memiliki pengetahuan dan sikap positif terhadap seksualitas sehingga dapat menangkal berbagai permasalahan kesehatan yang dapat terjadi pada remaja tersebut (Kurniawan, 2008). Konselor sebaya merupakan suatu bentuk pendidikan psikologis yang disengaja dan sistematik. Konselor sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja (Suwarjo, 2008). Secara khusus konseling teman sebaya tidak memfokuskan pada evaluasi isi, namun lebih memfokuskan pada proses berfikir, proses-proses perasaan dan proses pengambilan keputusan. Dengan cara yang demikian, konselor sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect. Menurut Suwarjo (2008) Istilah konselor

sebaya kadang menimbulkan

kekhawatiran bagi sementara orang karena khawatir berkonotasi dengan konselor professional. Oleh karena itu beberapa orang menyebut ″konselor sebaya″ dengan sebutan ″fasilitator″, atau ″konselor yunior″. Terlepas dari berbagai sebutan yang

29

digunakan, yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana remaja berhubungan satu sama lain, dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan itu dapat digunakan untuk meningkatkan perkembangan mereka. Konselor sebaya secara kuat menempatkan keterampilan-keterampilan komunikasi untuk memfasilitasi eksplorasi diri dan pembuatan keputusan. Konselor sebaya bukanlah konselor profesional atau ahli terapi. Konselor sebaya adalah para siswa (remaja) yang memberikan bantuan kepada siswa lain di bawah bimbingan konselor ahli. Dalam konseling sebaya, peran dan kehadiran konselor ahli tetap diperlukan. Pada hakekatnya peer counseling adalah counseling through peers. 2.2.7 Program Pelatihan Konselor Sebaya Kegiatan pemberian informasi, layanan serta pendidikan mengenai kesehatan reproduksi remaja saat ini memang bukan hal yang baru lagi. Permasalahan remaja yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi

sering kali berakar dari

kurangnya informasi, pemahaman dan kesadaran untuk mencapai keadaan sehat secara reproduksi. Banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan hal ini, mulai dari pemahaman mengenai perlunya pemeliharaan kebersihan alat reproduksi, pemahaman mengenai proses-proses reproduksi serta dampak dari perilaku yang tidak bertanggung jawab seperti kehamilan tak diinginkan, aborsi, penularan penyakit menular seksual termasuk HIV dan AIDS, dan pengaruh Napza (BKKBN, 2003). Program pelatihan konselor sebaya sebagai salah satu alternatif pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja diharapkan mampu secara efektif memberikan pengertian dan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi serta

30

permasalahan remaja pada umumnya. Program konselor sebaya pada dasarnya menggunakan konsep pemberdayaan remaja untuk mengatasi masalah remaja. Dalam hal ini proses transfer informasi berlangsung dari remaja oleh remaja dan untuk remaja (Arfani, 2003). Program ini erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi yang merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi yang nantinya akan terjadi perubahan sikap dan perilaku sehingga remaja lebih bertanggung jawab (Khasanah, 2004). Senada dengan penelitian Budi Santoso, pada siswa SMK TJ di Kelurahan Ratu Jaya Depok bahwa terjadi perubahan perilaku siswa yaitu peningkatan pengetahuan, sikap dan kognitif skill dengan kesimpulan bahwa konselor sebaya merupakan bentuk intervensi efektif yang dapat diaplikasikan dalam pencegahan penyalahgunaan Napza di sekolah.

Pelatihan konselor sebaya juga dapat merupakan suatu bentuk treatment bagi para konselor sebaya dalam membantu perkembangan psikologis remaja (Suwarjo, 2008). Hubungan pertemanan bagi remaja sering kali menjadi sumber terbesar bagi terpenuhinya rasa senang, dan juga dapat menjadi sumber frustrasi yang paling mendalam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa teman memungkinkan untuk saling bantu satu sama lain dengan cara yang unik dan tidak dapat diduga oleh para orang tua dan para pendidik. Para siswa SMA menjelaskan seorang teman sebagai orang yang mau mendengarkan, mau membantu, dan dapat berkomunikasi secara mendalam. Menurut Rose (1989) dalam Purnamaningsih (1996) pendekatan kelompok sebaya dengan model konselor sebaya merupakan salah satu bentuk usaha yang

31

bisa dipakai untuk membantu remaja dalam memecahkan permasalahannya. Penelitian yang dilakukan di Bandung menunjukan bahwa pendidikan kesehatan melalui metode pendidik sebaya dapat mempengaruhi atau meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja dalam pencegahan kehamilan tidak diinginkan (Iryanti, 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Belu-NTT terdapat perbedaan yang bermakna yaitu peningkatan nilai rerata pengetahuan dan sikap remaja pasca perlakuan dengan metode peer education (Djulianus, 2007). 2.2.8 Implementasi Menurut Usman (2002) dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya mengenai Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan. Implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Setiawan (2004), mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut : “Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif” Senada dengan yang dikemukan oleh Harsono (2002) , implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tindakan dalam rangka penyempurnaan suatu program.

32

2.2.9 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan antara proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya dengan implementasi pasca pelatihan 2. Ada hubungan antara ketepatan materi pelatihan dengan implementasi pasca pelatihan 3. Ada hubungan antara proses pelatihan dengan implementasi pasca pelatihan 4.

Ada hubungan antara rencana tindak lanjut yang dibuat oleh remaja dengan implementasi pasca pelatihan

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori L.W Green Green (1991) mengidentifikasi tiga faktor yang dapat mempengaruhi ketrampilan dan perilaku seseorang, baik individual maupun secara kolektif, aksiaksi organisasi dalam kaitan dengan lingkungan, yang masing-masing memiliki pengaruh yang berbeda-beda yaitu : 1. Predisposing factors, yaitu faktor-faktor yang memberikan dasar rasional atau motivasi untuk mempengaruhi individu maupun kelompok antara lain proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja. 2. Enabling factors, yaitu faktor-faktor yang memungkinkan sebuah motivasi untuk direalisasikan, diantaranya materi pelatihan dan proses pelatihan 3. Reinforsing factors, yaitu faktor-faktor yang memberikan pengaruh berkelanjutan dan berkontribusi terhadap penyebarluasan materi kesehatan

33

reproduksi remaja, dalam hal ini dukungan dari kepala sekolah, guru dan petugas kesehatan. 2.3.2 Teori Kurt Lewin Lewin (1970) berpendapat bahwa perubahan perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving force) dan kekuatan-kekuatan penahan/penghambat (restining force). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perilaku pada diri seseorang yaitu : 1. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku, dalam hal ini berupa pelatihan konselor sebaya pada remaja. 2. Kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini terjadi karena adanya stimulusstimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut, seperti proses seleksi peserta pelatihan, ketepatan materi kesehatan reproduksi yang diberikan pada remaja, serta proses pelatihan. 3. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun. Adanya efektivitas pelatihan konselor sebaya terhadap kesehatan reproduksi remaja. Berdasarkan teori Lewin dalam Sarwono (2011) menggambarkan tingkah laku-tingkah laku yang akan selalu ada pada remaja adalah : 1. Pemalu dan perasa, tetapi sekaligus juga cepat marah dan agresif sehubungan dengan belum jelasnya batas-batas antara berbagai sektor dilapangan psikologis remaja

34

2. Ketidakjelasan ini menyebabkan remaja terus menerus merasakan pertentangan antarsikap, nilai, ideologi, dan gaya hidup. Remaja menjadi tidak punya tempat berpijak yang bisa memberinya rasa aman, kecuali dalam hubungannya dengan teman-teman sebayanya. 3. Konflik sikap, nilai dan ideologi tersebut muncul dalam bentuk ketegangan emosi yang meningkat. 4. Ada kecendrungan remaja untuk mengambil posisi yang sangat ekstrem dan mengubah kelakuannya secara drastis, akibatnya sering muncul tingkah laku radikal dan membrontak di kalangan remaja. 5. Bentuk-bentuk khusus dari tingkah laku remaja pada berbagai individu yang berbeda akan sangat ditentukan oleh sifat dan kekuatan dorongan-dorongan yang saling berkonflik tersebut. Kerangka teori Lewin dapat dilihat pada gambar 2.1.

Faktor Penghambat

Status Quo

Faktor Pendorong

Gambar 2.1 : Teori Lewin (1970)

35

2.4. Model Penelitian Penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Faktor Pelatihan Kesehatan Reproduksi Dengan

Implementasinya

Pada

Konselor Sebaya Kesehatan

Reproduksi Remaja di Provinsi Bali. Mengacu pada Green (1991) dan Lewin (1970), maka dapat dibuat konsep penelitian sebagai berikut :

36

37

2.5 Definisi Operasional 1. Remaja adalah kelompok umur antara 10-19 tahun yang masih duduk dibangku SMP dan SMA 2. Informan adalah remaja SMP dan SMA yang telah mendapat pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi di Provinsi Bali tahun 2010 2. Calon konselor sebaya adalah siswa/siswi yang masih mengikuti pendidikan SMP dan SMA 3. Proses seleksi adalah cara-cara yang dilakukan sekolah untuk memilih calon peserta pelatihan baik melalui seleksi disekolah, berdasarkan minat, sukarela dari siswa. 4. Ketepatan Materi Pelatihan adalah materi-materi pelatihan yang menurut remaja cocok bagi mereka, baik berdasarkan modul Depkes, maupun cara penyajian materi dengan gambar-gambar/ alat peraga. 5. Proses Pelatihan adalah pendekatan yang dilakukan saat pelatihan yang dirasakan paling cocok bagi remaja. 6. RTL adalah rencana tindak lanjut yang dibuat oleh remaja saat pelatihan atas bimbingan dari pelatih 7. Tindak lanjut untuk implementasi adalah implementasi yang dilakukan oleh remaja setelah mendapat pelatihan 8. Dukungan adalah

penyediaan fasilitas, sarana prasarana oleh sekolah,

dukungan yang diberikan oleh guru serta dukungan petugas kesehatan berupa pembinaan teknis program.

38

9. Implementasi pasca pelatihan konselor sebaya adalah kegiatan yang telah dilakukan remaja di sekolah berupa konseling teman sebaya yang akan dilihat melalui observasi di sekolah terhadap tempat konseling, buku catatan hasil konseling, dan lain-lain.

39

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian 3.1.1 Rancangan Penelitian Desain dalam penelitian ini adalah penelitian observasional (kualitatif) dengan pendekatan fenomenologi mengacu pada paradigma naturalistik yang berusaha untuk memahami dan mengamati suatu fenomena yang terjadi secara alamiah untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang fenomena yang diteliti (Daymon and Hallowway, 2008). Alasan menggunakan metode kualitatif adalah untuk menggali dan memperoleh jawaban secara mendalam mengenai: 1) Proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja, 2) Ketepatan materi pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja, 3) Proses pelatihan yang diinginkan oleh remaja dan, 4) Implementasi pasca pelatihan yang dilakukan oleh remaja. Disamping itu, program pelatihan konselor sebaya baru dilaksanakan tiga kali di Provinsi Bali, sehingga informasi yang didapat nantinya dapat mendeskripsikan situasi secara komprehensif dalam konteks yang sesungguhnya, dan informasi yang didapat berguna untuk perbaikan program pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja selanjutnya.

40

3.1.2 Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dari penelitian ini adalah Konselor Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja yang telah mendapatkan pelatihan kesehatan reproduksi pada tahun 2010 di Provinsi Bali yang berjumlah 20 orang, diantaranya ; 10 orang SMP dan 10 orang SMA/SMK, kepala sekolah/guru asal remaja yang dilatih tahun 2010 dan pelatih konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja. 2. Sampel Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan purposive sampel dari remaja yang dilatih oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Dalam mengumpulkan data, jumlah sampel yang digunakan adalah 6 orang informan SMP dan 6 orang informan SMA/SMK, 7 orang Kepala sekolah/guru SMP dan SMA/SMK asal remaja yang dilatih tahun 2010, dan 6 pelatih, untuk dilakukan Fokus Group Discussion (FGD).

3.2 Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian ini adalah di Dinas Kesehatan Provinsi Bali untuk melakukan FGD dan di 10 SMP dan 10 SMA/SMK asal remaja yang dilatih tahun 2010 untuk melakukan observasi.

3.3 Jenis dan Sumber Data Data primer didapat dari hasil FGD berupa data tentang ; 1) Proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja, 2)

41

Ketepatan materi pelatihan, 3) Proses pelatihan yang diinginkan oleh remaja, 4) Implementasi pasca pelatihan yang dilakukan oleh remaja. Untuk melihat implementasi serta dukungan sekolah terhadap program konselor sebaya kesehatan reproduksi remaja dilakukan observasi

pada sekolah asal konselor

sebaya, yang dilatih tahun 2010. Data sekunder berupa jumlah dan asal sekolah remaja yang dilatih konselor sebaya kesehatan reproduksi

didapat dari laporan

pelatihan pada Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2008, 2009, 2010, serta jumlah sekolah dan siswa SMP, SMA/SMK didapat dari laporan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Provinsi Bali tahun 2008, tahun 2009 dan tahun 2010

3.4 Instrumen Penelitian Menurut Moleong (2004), alat yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri dan instrumen penelitian yaitu pedoman FGD, pedoman observasi, dan dibantu dengan alat tulis, buku catatan dan alat-alat yang dapat digunakan dalam mendokumentasikan penelitian seperti tape recorder, handycam, dan lain-lain.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Pada perencanaan awal FGD informan remaja akan dipusatkan pada salah satu sekolah, namun informan lebih memilih di Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dengan alasan mereka lebih mudah mencari alamat Dinas Kesehatan, karena sudah pernah berkumpul di Dinas Kesehatan sebelum pelatihan di Hotel Bali

42

Handara tahun 2010. Akhirnya FGD dilaksanakan pada hari minggu tanggal 18 September 2011 di Aula Dinas Kesehatan Provinsi Bali dengan informan 6 orang siswa SMA/SMK, dari sepuluh orang yang diundang. FGD dilaksanakan selama 1 Jam 50 menit mulai pukul 13.03 – 14.53 wita. Fokus Group Discussion kedua dilaksanakan pada tanggal 24 September 2010 dengan mengundang 10 orang informan SMP , atas permintaan mereka juga FGD ditempatkan di Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Kami mengundang informan untuk hadir pukul 09.00 wita, namun yang bisa hadir 6 orang dari 10 orang yang diundang. Setelah dihubungi informan SMPN 5 Bangli tidak bisa hadir karena tidak ada yang mengantar, dan 3 orang lagi tidak bisa dihubungi. Akhirnya FGD bisa dimulai pukul 09.15 wita – 11.20 wita yaitu selama 2 jam 5 menit. Fokus Group Discussion ketiga dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2011 dengan mengundang 12 Kepala Sekolah asal Konselor Sebaya yang dilatih tahun 2010. FGD yang direncanakan mulai pukul 09.00 wita ternyata baru bisa dimulai pukul 09.40 wita, dengan jumlah 7 orang informan. Demikian halnya FGD yang keempat pada tanggal 20 Oktober 2011 dengan mengundang 12 pelatih, ternyata yang bisa hadir hanya 6 orang informan, dan FGD dimulai pukul 09.00 wita-10.05 wita yaitu selama 1 jam 5 menit. Setiap selesai FGD langsung dilakukan transkrip hasil FGD untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan hasil FGD dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai sehingga pada FGD berikutnya dapat diperbaiki dan hasil bisa lebih mendalam sehingga tergali hal-hal baru yang belum terungkap pada FGD sebelumnya.

43

Observasi dilakukan pada 10 SMP dan 10 SMA/SMK asal konselor sebaya, pada tanggal 26 September sampai dengan 8 Oktober 2011.

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Pada penelitian ini menggunakan analisis data secara thematic/content analysis . Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema tertentu (Moleong, 2004). Untuk menentukan keabsahan dan Kredibilitas data dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi, debriefing, member checking dan rich data. Teknik triangulasi dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber yang merupakan proses komparasi terhadap informasi dari subjek yang berbeda yaitu dengan cara membandingkan data hasil FGD informan remaja, dengan informan kunci yaitu kepala sekolah dan pelatih serta data hasil observasi (Moleong, 2004). Debrifing dilakukan oleh pembimbing tesis, yang secara kritis mendiskusikan analisis data, mulai dari koding sampai interpretasi data, dan mendeskripsikan lebih rinci dan mendalam ( Alwasilah, 2008). Member checking dilakukan untuk mengklarifikasi jawaban informan untuk mendapatkan kedalaman informasi (Utarini, 2007). Rich data merujuk pada data yang rinci, lengkap dan beragam mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dan dapat digunakan sebagai bukti terhadap analisis yang dilakukan (Alwasilah, 2008).

44

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisa data penelitian ini disajikan secara naratif, grafik, dan tabel berdasarkan tema dan sub tema penelitian

3.8 Etika Penelitian Kegiatan

pengumpulan

data

dilaksanakan

peneliti

dengan

mempertimbangkan etika penelitian. Etika penelitian, menurut Nursalam (2003) meliputi : 1. Informed consent (informasi untuk responden) Peneliti member penjelasan kepada informan terkait dengan penelitian. Setelah calon informan

memahami atas penjelasan peneliti, selanjutnya

peneliti

memberikan lembar informed consent untuk ditandatangani oleh informan penelitian. 2. Anonimity (tanpa nama) Peneliti tidak mencantumkan nama informan dan hanya diberikan kode atau nomor pada penyajian hasil penelitian. 3. Confidentiality (kerahasiaan informasi) Semua informasi yang telah dikumpulkan dari informan dijamin kerahasiannya oleh peneliti. 4. Bebas dari penderitaan Penelitian ini dipastikan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada informan.

45

5. Risiko (Benefit Ratio) Peneliti secara hati – hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang akan berakibat kepada informan pada setiap tindakan. Dalam penelitian ini, peneliti mengganti biaya transport yang digunakan informan menuju lokasi FGD.