hubungan kelompok referensi, aksessibilitas dan kelengkapan ...

7 downloads 1129 Views 250KB Size Report
kebersihan gigi dan mulut). Menurut Striffer dkk. (1983), kebutuhan merupakan keputusan pertama yang menentukan tingkah laku seseorang untuk meminta ...
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Permintaan Konsumen 2.1.1 Permintaan Pengertian permintaan (demand) tidak terpisah dari arti kebutuhan (need) dan keinginan (want). Kebutuhan adalah sesuatu yang dirasa kurang dari diri manusia itu sendiri, keinginan (want) adalah sesuatu yang dirasa kurang karena lingkungan, dan permintaan (demand) adalah keinginan yang disertai dengan daya beli. Demand merupakan ungkapan permintaan dari keinginan dan kebutuhan (Irawan dkk., 1996). Permintaan adalah keinginan terhadap produk spesifik yang didukung oleh

kemampuan dan kesediaan

permintaan

untuk membelinya. Dengan demikian

adalah kebutuhan dan keinginan yang didukung oleh daya beli

(Kotler dan Andersen, 1995). Kotler dan Andersen (1995) menyatakan bahwa kebutuhan manusia (human need) adalah ketidakberadaan beberapa kepuasan dasar seperti: kebutuhan makanan, pakaian, tempat terlindung, keamanan hak milik

dan harga diri, kesehatan termasuk juga

kesehatan gigi dan mulut.

Keinginan (want) adalah hasrat pemuas kebutuhan yang spesifik yaitu cara pemenuhan kebutuhan dengan beberapa pemilihan untuk memuaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin seseorang kebutuhannya sedikit, misalnya hanya pencegahan penyakit gigi dan mulut namun keinginannya banyak karena dipengaruhi oleh kondisi sosial seperti pendidikan, keluarga dan atau perusahaan.

9

10

Menurut Tjiptoherijanto dan Soesetyo (1994), hubungan antara kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang rumit. Hal tersebut

terlihat

pada argumentasi

bahwa: seseorang

keinginan untuk menjadikan status kesehatannya

sering mempunyai

lebih baik dari yang

dimilikinya pada saat ini, namun tidak semua orang melakukan upaya secara aktif untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Dokter

mengambil kesimpulan

bahwa disatu sisi seseorang

berkeinginan dan meminta pelayanan kesehatan tertentu tetapi tidak sesuai dengan kebutuhannya, dan disisi lain

ada beberapa aspek kesehatan yang

seharusnya lebih diperhatikan tetapi luput dari perhatian seseorang, (misalnya kebersihan gigi dan mulut). Menurut Striffer dkk. (1983), kebutuhan merupakan keputusan pertama yang menentukan tingkah laku seseorang untuk meminta pengobatan atau tidak. Jika keputusan meminta pengobatan diserta dengan kemauan dan kemampuan untuk membayar maka kondisi tersebut disebut effective demand. Dinyatakan pula bahwa effective demand identik dengan pemanfaatan (utilization), karena jika seseorang mempunyai

effective demand, maka mereka akan meminta dan

menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut Alkatiri dkk. (1997), permintaan terhadap pelayanan kesehatan secara kasar dapat diukur dengan melihat pada kecenderungan angka atau tingkat pemanfaatan

dari pelayanan kesehatan yang diberikan. Pemanfaatan

pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu keputusan bersama yang diambil antara pasien dengan pemberi pelayanan kesehatan. Dengan demikian

11

perlu disimak secara lebih teliti apakah ada permintaan ini terjadi karena adanya pengaruh dari pemberi pelayanan kesehatan (supplier induced demand) atau dari penderita sendiri. Elwood (2006), mengatakan bahwa potential demand merupakan suatu kekuatan yang besar menentukan suatu permintaan dan mempunyai hal yang sangat penting untuk mempengaruhi konsumen dalam memilih suatu produk atau jasa pelayanan kesehatan, misalnya kebutuhan terhadap kesehatan gigi dan mulut. Menurut Kageles (1961, cit. Hendrartini,1995), yang mengembangkan konsep Rossenstock, ada 4 faktor yang mempengaruhi seseorang

meminta

perawatan gigi, yaitu: 1) Adanya ancaman kesakitan yang menjadikan seseorang merasa bahwa dirinya mudah terkena penyakit gigi; 2) Adanya keyakinan pada orang tersebut bahwa penyakit gigi dapat dicegah; 3) Adanya pandangan bahwa penyakit gigi sebagai suatu penyakit yang dapat berakibat parah; dan 4) Adanya perasaan akan mendapatkan sesuatu yang berharga untuk kesehatan giginya. 2.1.2 Konsumen Menurut Kotler dan Armstrong (2003), konsumen atau pelanggan diartikan sebagai orang-orang yang membeli dan menggunakan produknya atau orangorang yang berinteraksi dengan perusahaan setelah menghasilkan produk. Di dalam organisasi terdapat 2 konsumen

yaitu konsumen internal dan konsumen

eksternal. Konsumen internal adalah

pelanggan yang berperan besar dalam

menentukan kualitas manusia, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa. Konsumen eksternal adalah

pelanggan yang berperan

12

menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan internal. Secara tradisional pengembangan produk. situasi global

konsumen

kepada konsumen

eksternal tidak dilibatkan dalam

Apabila cara tradisional tersebut berlangsung dalam

yang penuh persaingan maka produk ataupun jasa tidak akan

berkembang. Lain halnya dengan pendekatan mutu, konsumen eksternal maupun internal merupakan bagian dari pengembangan produk. Konsumen dalam organisasi pelayanan kesehatan menurut Kuncoro (1996), antara lain: 1) konsumen eksternal yaitu pasien, keluarga pasien, teman pasien, pemerintah, asuransi kesehatan, lembaga sosial masyarakat. 2) Konsumen internal yaitu

dokter, perawat, bidan, perawat gigi, dokter gigi dan tenaga

kesehatan lain yang terlibat dalam suatu pelayanan kesehatan. Permintaan konsumen menurut Berkowitz (1996), adalah jumlah barang atau jasa yang akan dibeli konsumen pada periode waktu dan keadaan tertentu. Dijelaskan pula bahwa fungsi permintaan

konsumen adalah jumlah barang

atau jasa yang diminta sesuai dengan penilaian konsumen terhadap barang ataupun jasa. Permintaan konsumen terhadap jasa pelayanan kesehatan tergantung pada kebutuhan yang berbasis pada aspek fisiologis, dan tergantung juga pada keputusan dokter perlu tidaknya mendapatkan pelayanan medis. 2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan (demand) Menurut Sorkin (1984), salah satu

model

terbaik yang dikenal dari

permintaan untuk pelayanan kesehatan adalah model tingkah laku yang diajukan oleh Andersen yang disebut dengan Andersen’s Behavioral Model of Health

13

Services Use. Menurut model ini, keputusan seseorang untuk meminta pelayanan kesehatan tergantung pada tiga faktor yaitu: 1. Faktor predisposing, faktor ini menggambarkan karakteristik individu yang mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan, yang terdiri dari tiga faktor yaitu: a) faktor demografi meliputi: usia, jenis kelamin, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga; b) faktor struktur sosial meliputi: jenis pekerjaan, status sosial, pendidikan ras dan kesukuan; c) faktor kepercayaan kesehatan, merupakan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. 2. Faktor enabling (pendukung), yaitu suatu kondisi atau keadaan yang membuat seseorang mampu melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Faktor ini dibagi menjadi dua yaitu 1) sumber daya keluarga meliputi penghasilan keluarga, kemampuan membeli jasa pelayanan dan keikutsertaan dalam asuransi kesehatan; b) sumber daya masyarakat meliputi jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan dan rasio penduduk dengan tenaga kesehatan. 3. Faktor

need

(kebutuhan),

merupakan

faktor

yang

paling

langsung

berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Thomas dan Mejia (1978, cit. Suwoto, 1995) juga menyatakan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan permintaan di sektor kesehatan yang dapat mempengaruhi permintaan Faktor-faktor tersebut antara lain:

konsumen terhadap pelayanan kesehatan. faktor karakteristik

populasi (umur,

pengetahuan), faktor ekonomi, faktor tingkat pendidikan, faktor accesibility, faktor status kesehatan, faktor ketersediaan sumber daya, tenaga, sarana

14

kesehatan, faktor tehnologi perawatan kesehatan, faktor pengalaman sebelumnya dan faktor kelompok referensi. Berdasarkan uraian tersebut diatas, faktor-faktor yang berhubungan dengan dengan permintaan

konsumen terhadap pelayanan

kesehatan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu:

umur, pengetahuan, tingkat pendidikan, pengalaman

sebelumnya dan status kesehatan. Faktor eksternal yaitu: accesibility, kelompok referensi. dan faktor ketersediaan fasilitas kesehatan Beberapa faktor tersebut di atas yang terkait dengan penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1). Faktor umur Menurut Kotler dan Clarke

(1987, cit. Soleman, 2005), pola umur

mempengaruhi permintaan fasilitas perawatan kesehatan. Kebutuhan kesehatan sebagian besar

berkaitan dengan

umur. Struktur umur

suatu populasi

merupakan suatu gambaran yang lebih vital dari susunan populasi untuk dipertimbangkan

dalam perencanaan

kesehatan. Struktur umur

di negara

berkembang memiliki proporsi penduduk muda yang lebih besar dan proporsi penduduk usia tua lebih kecil dibandingkan dengan negara maju. Penduduk yang lebih tua hampir

selalu memiliki

tingkat

permintaan

yang lebih tinggi

terhadap jasa pelayanan kesehatan. Jumlah orang yang berumur diatas 65 tahun dalam satu komunitas mengenai potensi

bisa merupakan

permintaan akan

indikator faktor tunggal

perawatan

yang baik

penyakit tertentu. Menurut

Trisnantoro (2004), faktor umur sangat mempengaruhi permintaan konsumen

15

terhadap pelayanan kesehatan preventif dan kuratif. Fenomena ini terlihat pada pola demografi di negara-negara maju yang berubah menjadi masyarakat tua. Menurut Cohen dan Bryant (1984), kelompok umur dewasa muda mempunyai pola permintaan

pelayanan kesehatan gigi yang lebih baik

dibandingkan dengan kelompok

umur yang lain, disebabkan oleh karena

kelompok umur ini mempunyai kebutuhan akan perawatan kesehatan gigi yang lebih tinggi, berdasarkan pola kecendrungan menderita karies gigi tahap awal dan gejala awal dari kelainan jaringan gingiva. Sebaliknya pada umur tua yang banyak menderita kehilangan gigi asli ternyata kurang menyadari kebutuhan perawatan gigi pada giginya, sehingga mengakibatkan rendahnya permintaan akan perawatan gigi pada usia lanjut. Hendrartini (1995), menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi di RS Sardjito dan RS Bethesda, menyimpulkan bahwa faktor umur

mempunyai pengaruh

bermakna terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi. 2). Faktor pendidikan Menurut Notoatmodjo (2003), permintaan konsumen dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan berhubungan dengan pendidikan dan perilaku masyarakat. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, dapat mengakibatkan

penyakit-penyakit yang terjadi

dalam

masyarakat sering sulit terdeteksi. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak memperoleh

pelayanan

kesehatan yang layak. Pendidikan

16

kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini dan sekolah merupakan sarana yang baik

bagi pendidikan kesehatan

serta merupakan

perpanjangan

tangan

pendidikan kesehatan bagi keluarga. Oleh karena itu lingkungan sekolah, baik lingkungan

fisik

maupun lingkungan

sosial

yang sehat, akan sangat

berpengaruh terhadap perilaku sehat anak-anak (murid). Menurut Cohen dan Bryant (1984), secara umum permintaan pelayanan kesehatan meningkat sesuai dengan kenaikan tingkat pendidikan. Ada perbedaan permintaan pelayanan kesehatan gigi antara mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah dengan mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Yule dan Parkin (1985, cit. Hendrartini, 1995) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi analisis permintaan pelayanan kesehatan gigi dan menyimpulkan bahwa disamping faktor ekonomi, tingkat pendidikan seseorang variabel

merupakan

penting yang mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan gigi.

Hasil penelitian Hendrartini (1995), menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan bermakna antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi di RS Sardjito dan RS Bethesda, yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi di RS. Hasil penelitian

Laela (2001), menunjukkan adanya

hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan terhadap permintaan pelayanan kesehatan gigi di Klinik AKG Depkes Bandung. 3). Faktor pengetahuan

17

Menurut Notoatmojo ( 1993), pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi

setelah

orang

melakukan

penginderaan

terhadap

suatu

obyek.

Penginderaan terjadi melalui panca indera dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendengaran dan pengelihatan. Menurut

Sarwono

(2004), pengetahuan yang dimiliki oleh individu merupakan salah satu faktor yang menentukan untuk mencari dan meminta upaya

pelayanan kesehatan.

Dinyatakan pula bahwa semakin tinggi pengetahuan individu tentang akibat yang ditimbulkan oleh suatu penyakit, maka semakin tinggi upaya pencegahan yang dilakukan. Hasil penelitian Andari (2006), pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Bangli Propinsi Bali. 4). Faktor fasilitas kesehatan Menurut Kotler (2005), penampilan fasilitas jasa akan mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen untuk meminta pelayanan jasa. Oleh karena itu perlu dilakukan pengorganisasian fasilitas pelayanan kesehatan yang baik. Pendapat tersebut mendukung pendapat

Kotler (1995, cit. Dharmmesta dan

Handoko, 2000) yang menyatakan bahwa kelengkapan fasilitas, tata ruang yang benar dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pembeli/pasien seperti perasaan aman, nyaman dan rasa puas.

Tjiptono (2000), menyatakan fasilitas jasa akan

berpengaruh terhadap persepsi konsumen. Semakin lengkap fasilitas perawatan yang diasuransikan oleh pemerintah dan swasta, maka permintaan konsumen akan pelayanan kesehatan di beberapa negara semakin meningkat (Trisnantoro, 2004). Penelitian Andari (2006), analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

18

keputusan pasien dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Bangli, menyimpulkan bahwa semakin lengkap pasilitas pelayanan kesehatan semakin tinggi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Bangli. 5). Faktor accesibility ( keterjangkauan) Lane

dan Lindquist (1988) serta Javalgi dkk. (1991) menyimpulkan

bahwa faktor kedekatan tempat pelayanan kesehatan dengan rumah tempat tinggal menjadi faktor urutan pertama terhadap permintaan konsumen dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut Caroline dan Claire (1990), faktor jarak merupakan faktor penting dalam pilihan penderita menggunakan sarana pelayanan kesehatan. Andari (2006) menyimpulkan bahwa semakin dekat lokasi pelayanan kesehatan semakin tinggi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Bangli. Namun hasil ini berbeda dengan penelitian Hendrartini (1995), variabel jarak mempunyai korelasi negatif terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan secara statistik tidak bermakna. 6). Faktor pengalaman sebelumnya Menurut Dharmmesta dkk. (2000) keputusan konsumen dalam memilih dan meminta jasa pelayanan dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Konsumen

yang terpuaskan akan membuat rekomendasi positif

kepada

konsumen yang lain, dan konsumen yang tidak terpuaskan akan kembali keseleksi awal serta konsumen yang kecewa akan membuat rekomendasi negatif terhadap

19

konsumen lain. Penelitian Andari (2006)

menyimpulkan

semakin baik

pengalaman sebelumnya, semakin tinggi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Kota Denpasar. 7). Faktor kelompok referensi Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000), kelompok referensi (reference group) adalah kelompok sosial yang menjadi ukuran seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk keperibadian dan perilakunya. Kelompok referensi ini juga mempengaruhi perilaku seseorang dalam meminta pelayanan kesehatan. Menurut Azwar (2000), berbagai

bentuk media cetak dan elektronik

membawa pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Informasi baru terhadap suatu hal dapat memberikan landasan kognitif baru bagi

terbentuknya sikap. Media massa

berperan dalam pembentukan dan

perubahan seseorang, sehingga bentuk informasi sugesti dalam media massa selalu dimanfaatkan untuk meningkatkan dan memperkenalkan suatu produk. Hasil penelitian Andari (2006) didapatkan bahwa kelompok referensi mempunyai pengaruh yang positif terhadap pemanfaatan puskesmas di Kecamatan Bangli. Hasil ini mendukung penelitian Laela (2001), kelompok referensi mempunyai hubungan yang bermakna terhadap permintaan pelayanan kesehatan gigi di AKG Bandung.

20

2.2 Pelayanan Preventif (preventive care) di Puskesmas Depkes RI (1999) menunjukkan bahwa

penyakit gigi dan mulut yang paling

utama di Indonesia adalah karies gigi dan penyakit periodontal. Data tersebut menunjukkan bahwa pada akhir Pelita VI penduduk Indonesia menderita karies gigi sebanyak 90,90%. Menurut Sriyono (2005), pelayanan kesehatan gigi yang dilakukan oleh puskesmas, Rumah sakit, institusi kesehatan lainnya maupun praktek pribadi, meningkat pesat selama sepuluh tahun terakhir ini. Namun ternyata peningkatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan gigi ini tidak diikuti dengan makin meningkatnya

status

kesehatan

gigi dan mulut

penduduk

Indonesia. Dengan demikian diperlukan upaya-upaya pencegahan penyakit gigi dan mulut untuk menahan laju perkembangan penyakit gigi dan mulut terutama karies gigi. Menurut Kidd dan Joyston-Bechal (1992), karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan proses

fermentasi karbohidrat oleh aktivitas bakteri, yang ditandai dengan

adanya

demineralisasi jaringan keras gigi. Selanjutnya akan diikuti oleh

kerusakan bahan organiknya, akibatnya terjadi invasi bakteri dan kematian pulpa serta penyebaran infeksi ke jaringan periapikal dan dapat menimbulkan rasa sakit. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya karies gigi

menurut Kidd

dan Joyston-Bechal (1992), antara lain adalah beberapa jenis karbohidrat seperti

21

sukrosa

dan glukosa yang selanjutnya mengalami

proses fermentasi

oleh

bakteri-bakteri tertentu dalam mulut sehingga terbentuk asam, maka terjadi penurunan pH dalam mulut sampai di bawah 5. Kondisi seperti ini akan mengakibatkan demineralisasi pada email gigi, akhirnya karies mulai terbentuk. Terjadinya karies merupakan perpaduan antra 4 faktor yang saling mendukung, yaitu: kuman, sisa makanan, gigi dan waktu . Menurut Kidd dan Joyston-Bechal (1992), karies gigi

merupakan

penyakit yang dapat dicegah, hal ini dapat dilihat dari terjadinya penurunan angka karies gigi di negara-negara maju. Dalam upaya pencegahan karies gigi ini kerjasama antara petugas kesehatan dengan pasien sangat dibutuhkan. Pencegahan terjadinya karies gigi dimulai dari pemeriksaan plak, menyikat gigi sampai pada penggunaan fluor dan penambalan pit dan fissure. Penambalan pit dan fissure

merupakan tindakan

yang dilakukan

untuk

menutupi pit dan fissure yang dalam dengan bahan pengisi /pelapis dengan tujuan untuk mencegah terjadinya karies gigi (Depkes RI, 1995). Menurut Tarigan (1987), pencegahan karies pasca erupsi gigi geligi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1) Pengaturan diet, yaitu dengan mengurangi frekwensi mengkonsumsi makanan yang mengandung gula, karena makanan tersebut merupakan salah satu pendukung terjadinya karies; 2) Plak kontrol, yaitu tindakan pencegahan terjadinya penumpukan dental plak dan deposit-deposit lainnya pada permukaan gigi dengan cara menyikat gigi yang teratur;

3) Penggunaan fluor merupakan metode yang paling efektif

22

untuk mencegah karies. Fluor dapat diberikan secara lokal maupun sistemik. Pemberian fluor secara sistemik dapat dilakukan melalui fluoridasi air minum, fluoridasi garam dapur, fluoridasi air susu

dan tablet fluor.

Pemberian fluor

secara lokal dapat diberikan dengan aplikasi topikal larutan fluor, kumur-kumur dengan larutan fluor, menyikat gigi dengan pasta gigi. Menurut Sriyono (2005), prinsip tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan mengintervensi

salah satu

atau semua faktor penyebab

penyakit.

Pelayanan pada tahap prepatogenesis adalah merupakan pelayanan pencegahan primer. Pelayanan pencegahan oleh Jong (1993, cit. Sriyono, 2005), dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu: 1) Pelayanan kedokteran gigi pencegahan primer

diselenggarakan

di masyarakat meliputi: fluoridasi air minum

masyarakat, fluoridasi air minum sekolah, program suplemen fluor, program kumur dengan fluor, program silen untuk anak sekolah; 2) Pelayanan kedokteran gigi pencegahan primer diselengarakan oleh profesi dental, meliputi: Apliksi topikal fluor oleh profesional, pit dan fisur silen, konseling diet, program kontrol plak, tes aktivitas karies; 3) Pelayanan

kedokteran gigi

pencegahan primer

diselenggarakan oleh individu meliputi: pasta gigi mengandung fluor, aplikasi produk fluor secara topikal, praktek kebersihan mulut. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka kesehatan gigi masyarakat Indonesia masih jauh dari memuaskan. Menurut data yang ada pada Departemen Kesehatan, prevalensi penyakit gigi dan mulut di Indonesia sebesar 75%. Penyebab penyakit gigi dan mulut ini banyak macamnya, yang terpenting diantaranya adalah karena pengetahuan masyarakat akan kesehatan gigi yang

23

menyangkut kebersihan gigi dan mulut (oral hygiene) masih sangat Untuk meningkatkan derajat kesehatan gigi, maka pemerintah

rendah.

melaksanakan

berbagai kegiatan, salah satu diantaranya ialah melaksanakan upaya kesehatan gigi yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Puskesmas ( Depkes RI, 1999b). Upaya kesehatan gigi puskesmas sampai saat ini belum dapat berjalan dengan optimal oleh karena adanya berbagai kendala, baik sarana, tenaga, biaya operasional maupun

kondisi

sosial dan ekonomi masyarakat. Mengingat

kendala-kendala di atas telah dikembangkan suatu model pelayanan berupa pelayanan berlapis (level of care ) sesuai dengan sumber daya yang ada, meliputi Primary Health Care (PHC) dan sistim rujukan berjenjang. Salah satu model pelayanan berlapis kesehatan gigi dan mulut dengan sistim rujukan berjenjang melalui pendekatan PHC adalah pelayanan yang bersifat pencegahan (Depkes RI, 2000). Preventive

care

adalah

pelayanan yang bersifat pencegahan

dan

merupakan salah satu lapisan/jenjang (lapis kedua) dari lima model pelayanan berlapis kesehatan gigi dan mulut dengan sistim rujukan berjenjang melalui pendekatan PHC (Primary Health Care) yang dilaksanakan di puskesmas dan rumah sakit. Pelayanan ini terdiri dari pelayanan pencegahan yang ditujukan kepada komunitas, pelayanan pencegahan yang ditujukan kepada kelompok, dan pelayanan pencegahan yang ditujukan kepada individu. Pelayanan pencegahan yang ditujukan kepada komunitas meliputi: 1) fluoridasi air minum; 2) pemasaran pasta gigi yang berfluor; 3) kampanye

24

kesehatan gigi melalui media massa untuk memperbaiki kesadaran, pengetahuan, sikap dan prilaku masyarakat. kelompok

Pelayanan pencegahan yang ditujukan kepada

meliputi; 1) promosi kesehatan gigi dan mulut melalui program

pendidikan kepada kelompok tertentu; 2) program pemberian tablet fluor; 3) program kumur-kumur dengan fluor

dan gerakan

sikat gigi massal;

4)

pemberian fluor secara topikal; 5) fissure sealant dan 6) pembersihan karang gigi (scalling). Pelayanan pencegahan yang ditujukan kepada individu meliputi; 1) pemeriksaan gigi dan mulut pada pasien perorangan, termasuk temuan-temuan penyakit gigi dan mulut serta rujukan bila diperlukan; 2) memberi nasehat dan petunjuk kepada perorangan mengenai kebersihan mulut, konsumsi fluor, diet, perilaku yang membahayakan kesehatan dan pemeriksaan diri sendiri; 3) aplikasi fluor secara topikal; 4) fissure sealant; 5) pembersihan karang gigi (scalling); 6) deteksi dini penyakit gigi; dan 7) penumpatan ART (Atraumatic Restorative Treatment). Pelayanan pencegahan tersebut dapat diberikan oleh tenaga perawat gigi. Kondisi Indonesia yang sangat majemuk dengan sumber daya yang berbedabeda, menjadikan penerapan pelayanan kesehatan gigi akan berbeda di suatu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu pelayanan kesehatan gigi harus disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing mulai dari pelayanan darurat dasar sampai dengan pelayanan profesional dengan pendekatan model pelayanan berlapis/berjenjang. Jika di daerah sudah tersedia fasilitas pelayanan kesehatan gigi (BPG Puskesmas) dan sudah tersedia tenaga kesehatan gigi baik perawat gigi maupun dokter gigi maka pelayanan kesehatan

25

gigi pencegahan yang ditujukan kepada

individu (pasien)

dapat dilakukan

antara lain: 1) praktek kebersihan gigi dan mulut; 2) pembersihan karang gigi (scalling); 3) fissure sealant; 4) aplikasi topikal, dan 5) ART (Depkes RI, 2000). Menurut Depkes RI (2000), selain pelayanan pencegahan (preventive care) lapisan/jenjang yang lain yaitu; basic emergency care, self care, simple care, moderate care, dan complex care.

Basic emergency care merupakan

pelayanan pada lapis pertama yaitu merupakan pelayanan darurat dasar yang harus dapat melayani siapa saja dan dimana saja. Upaya menghilangkan atau mengurangi rasa sakit dapat diberikan oleh kader kesehatan, atau oleh petugas kesehatan misalnya bidan di desa. Self Care merupakan pelayanan lapis ketiga yaitu pelayanan pelihara diri yang dapat dilakukan perorangan dalam masyarakat, meliputi: 1) pelaksanaan pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut yang memadai; 2) kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan yang tepat; 3) menghindari kebiasaan – kebiasaan yang tidak baik untuk kesehatan gigi dan mulut; 4) menggunakan fluor sesuai dengan yang dianjurkan; 5) pemeriksaan diri sendiri dan mencari pengobatan yang tepat sedini mungkin; dan 6) mematuhi nasehat-nasehat dari tenaga profesional kesehatan. Pelayanan self care dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat baik tenaga kesehatan maupun non tenaga kesehatan. Simple Care merupakan pelayanan lapis keempat, yaitu suatu pelayanan profesional sederhana atau pelayanan medik gigi dasar umum meliputi: 1) pembersihan karang gigi; 2) ekstraksi tanpa komplikasi; 3) tumpatan gigi; 4)

26

●tindakan interseptik ortodontik; dan 5) pelayanan rujukan. Pelayanan simple care dapat diberikan pada tingkat puskesmas oleh dokter gigi atau perawat gigi yang telah mendapat wewenang dari atasan. Moderate Care

merupakan lapis kelima

yaitu

suatu pelayanan

professional di bidang kedokteran gigi atau pelayanan medik gigi dasar khusus seperti tingkatan spesialistik kedokteran gigi. Pelayanan ini meliputi: 1) terapi penyakit periodontal yang lanjut; 2) ekstraksi; 3) pengobatan endodontik untuk gigi yang berakar satu;

4) restorasi lebih dari satu permukaan; 5) protesa cekat;

6) protesa lepasan; 7) tindakan ortodonti; 8) fraktur gigi; 9) lesi selaput lendir mulut; dan 10) rujukan kepada spesialis bila diperlukan. Pelayanan moderate care hanya dapat dilakukan pada tingkat rumah sakit kelas D dan C oleh tenaga dokter gigi yang telah mendapat pendidikan tambahan dalam bidang kedokteran gigi (dokter gigi plus). Pelayanan lapis keenam adalah Complex Care, yaitu suatu pelayanan professional

oleh tenaga spesialis baik sendiri

maupun

tim. Pelayanan ini

meiliputi:

1) penyakit periodontal yang komplek; 2) ekstraksi dengan

komplikasi; 3) tindakan endodontik gigi berakar lebih dari satu; 4) pelayanan protetik yang complicated;

5) tindakan ortodonti korektif; 6) perawatan trauma

muka dan rahang; 7) pengobatan lesi selaput lendir mulut; 8) terapi disfungsi sendi

temporo mandibular;

dan

9) tindakan pada pasien-pasien

mempunyai penyakit lain (Depkes RI, 2000).

yang