HUBUNGAN PANJANG-BERAT DAN JENIS KELAMIN KERANG ...

121 downloads 643 Views 425KB Size Report
KERANG HIJAU (Perna viridis L) BERDASARKAN LOKASI. YANG BERBEDA DI PERAIRAN DESA KALISANGKA. KEPULAUAN KANGEAN KABUPATEN ...
HUBUNGAN PANJANG-BERAT DAN JENIS KELAMIN KERANG HIJAU (Perna viridis L) BERDASARKAN LOKASI YANG BERBEDA DI PERAIRAN DESA KALISANGKA KEPULAUAN KANGEAN KABUPATEN SUMENEP Nihrawi1 Indah Wahyuni Abida2; Muhammad Zainuri2 1)

Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura 2) Dosen Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura E-mail: [email protected]

ABSTRACT Research has been conducted in the waters of the Village Kalisangka Sumenep Kangean islands in August 2012, within purposes, 1). Knowing the length-weight relationship and sex of green mussel (Perna viridis L) living in different locations, 2). Knowing the sex ratio of green mussels, 3). Knowing the relationship of temperature, salinity, pH, brightness, DO, current speed and substrate types in each location to the length-weight relationship and sex of green mussel (Perna viridis L). Sampling Methods applied at low tide with a transect squares measuring 1 x 1 m2 as much as 3 transects in each location, the highest tides, middle and low tide. Samples were obtained using Microsoft office excel processed to determine the pattern of length-weight relationship and correlation coefficients. Length-weight relationship and sex of mussels from all three stations have a constant value of b is less than 3, so that growth includes a negative allometrik growth pattern, where growth is faster than the shell with increasing severity. Male mussels are more than the female mussels, in number it is shown by the large male sex ratio = 51.1905% and females = 48.8095%. However, ideally, if a larger number of female individuals, the population is said to be ideal for the organism to multiply further. However, ideally, if a larger number of female individuals, the population is said to be ideal for organisms to be Factor physics, chemistry archipelagic waters Kalisangka village Kangean support for growing mussels. Keywords:

Length-weight relationship, sex ratio, mussels, aquatic Village Kalisangka dagingnya yang enak, kerang hijau memiliki prosentase nilai gizi yang cukup tinggi. Kandungan gizi kerang hijau terdiri dari protein 64,6 %, asam amino 19 %, lemak 4,9 % dan 4,9 kadar abu (Tan 1977).

PENDAHULUAN Salah satu biota yang berpotensi di perairan Kangean adalah kerang hijau (Perna viridis L). Kerang tersebut merupakan hewan yang hidup di daerah estuari, dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat pesisir. Selain rasa 1

Kehidupan kerang hijau dapat dijumpai di daerah pasang surut yang memiliki substrat berlumpur dan berpasir. Kebanyakan kerang hijau (Perna viridis L) berdiam diri di dalam lumpur ketika air surut, agar terhindar dari serangan predator. Keberadaan kerang hijau (Perna viridis L) saat ini mulai berkurang, dikarenakan pengambilan secara besar-besaran oleh masyarakat, karena memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga banyak masyarakat menjadikannya sebagai mata pencaharian mereka. Hubungan panjang berat kerang hijau merupakan faktor yang sangat penting di dalam sebuah penelitian, hubungan panjang berat digunakan untuk mengetahui pola pertumbuhan kerang, yang terdiri dari pertumbuhan allometrik positif dan allometrik negatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di perairan Ratnagiri India, bahwa kerang hijau memperlihatkan pembalikan jenis kelamin (sex reversal) dari jantan ke betina pada bulan Mei dan dari betina ke jantan pada bulan Oktober-November. Ukuran panjang kerang hijau ketika pertama kali matang adalah antara 20-30 mm setelah mencapai umur 2-3 bulan (Nagabushanam dan Mane 1978). Informasi mengenai penelitian hubungan panjang-berat dan jenis kelamin berdasarkan lokasi yang berbeda di perairan Desa Kalisangka sampai saat ini belum ada yang meneliti, mengingat kondisi tersebut maka penelitian ini diharapkan dapat menjadi penunjang untuk pengelolaan lingkungan dalam kaitannya dengan kegiatan budidaya kerang hijau di perairan Desa Kalisangka kepulauan Kangean. Perbedaan lokasi tentunya juga dapat memberikan hasil yang berbeda pula terhadap hasil penelitian yang

menghubungkan antara panjang-berat dan jenis kelamin kerang hijau (Perna viridis L), sehingga dibutuhkan penelitian untuk mengkaji hubungan panjang berat dan jenis kelamin pada kerang hijau (Perna viridis L) berdasarkan lokasi yang berbeda. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan panjang-berat dan jenis kelamin kerang hijau (Perna viridis L) yang hidup pada lokasi yang berbeda dan mengetahui rasio kelamin kerang hijau serta mengetahui hubungan suhu, salinitas, pH, kecerahan, DO, kecepatan arus dan jenis substrat di masing-masing lokasi (pertambakan, pemukiman dan muara sungai) terhadap panjang-berat dan jenis kelamin kerang hijau (Perna viridis L).

METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2012. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali, dengan selang waktu antar pengambilan sampel adalah satu minggu. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan transek dengan ukuran 1 x 1 m2. Penentuan titik transek disesuaikan dengan keberadaan kerang di lapangan (disengaja). Metodelogi Pengambilan Data a. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan stratified sistematik sampling. Posisi stasiun diambil sejajar dengan garis pantai yang terdiri dari tiga stasiun dengan kondisi perairan yang berbeda. Diantara ketiga perairan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut; stasiun pertama, sampel yang diambil dengan kondisi perairan dekat dengan pertambakan, stasiun kedua, sampel yang diambil dengan kondisi perairan dekat dengan pemukiman dan 2

stasiun yang ketiga adalah sampel yang diambil dekat dengan aliran sungai.

Gambar 2. Jenis kelamin kerang hijau (Setyobudiandi 2004) c. Analisa Data 1. Analisis Hubungan Panjang Berat kerang hijau (Perna viridis L). Hubungan allometrik antara panjang dan berat dengan menggunakan rumus yang ikemukakan kily (1989) sebagai berikut: W=aLb Keterangan: W = Berat kerang contoh (gram) L = Panjang total kerang contoh (cm) a dan b = Bilangan konstanta yang dicari dari regresi linier Nilai b digunakan untuk menduga pola pertumbuhan kedua parameter yang dianalisa. Asumsi hukum kubik ini adalah, bahwa idealnya seluruh hewan, dimana setiap pertambahan panjang akan menyebabkan pertambahan berat dengan kuantitas pangkat tiganya. Persamaan tersebut dapat diplotkan dengan menggunakan regresi linier sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: LogW = Loga + bLogL atau Y = a + bx Korelasi parameter dari hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b yaitu: 1. Bila b = 3 dikatakan hubungan yang isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan berat). 2. Bila nilai b # 3 dikatakan memiliki hubungan yang allometrik. 3. Bila b > 3 Allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan)

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Dalam satu stasiun terdapat tiga transek dengan ukuran masing-masing transek sebesar 1 x 1 m2 dengan jarak masing-masing transek 15 m. Posisi transek ditarik secara tegak lurus garis pantai. Transek pertama diletakkan pada daerah pasang tertinggi, transek kedua diletakkan di daerah tengah dan transek ketiga diletakkan di daerah surut terendah. Metode ini berlaku untuk semua stasiun (Tuwo et al. 1996). Pengambilan sampel dilakukan pada saat air laut dalam keadaan surut. Kerang pada permukaan substrat di identifikasi morfologi dan jenis kelamin dilakukan di Laboratorium SMK N 1 Arjasa. b. Pengamatan Jenis Kelamin Pengamatan jenis kelamin kerang hijau dilakukan dengan cara visual dengan metode kolorimetrik (dengan cara melihat warna tubuh kerang hijau untuk menentukan jenis kelamin tersebut). Jenis kelamin betina kelihatan berwarna oranye (kekuningan) dan jenis kelamin jantan berwarna putih sampai merah kecoklatan.

3

4. Bila b < 3 Allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan). 2. Rasio Kelamin Rasio ini menunjukkan perbandingan antara frekuensi atau jumlah kerang hijau (Perna viridis L) jantan dengan betina. Perbandingan kelamin dipakai untuk menduga keberhasilan pemijahan. Jika individu betina lebih besar, maka populasi tersebut dikatakan ideal bagi organisme untuk berkembang biak lebih lanjut. Untuk menghitung rasio kelamin, dipergunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1997). Pj = (A/B) x 100% dimana : pj = proporsi jenis (jantan / betina) A = jumlah jenis kerang tertentu (jantan / betina) B = jumlah total individu kerang secara keseluruhan

Tabel 1. Nilai konstanta a dan b pada hubungan panjang cangkang dan berat total kerang hijau. Stasiun Kelamin Jmh a b R2 Jantan 13 0,16 2,10 0,74 I Betina 13 0,46 1,68 0,41 Jantan 17 0,16 2,18 0,78 II Betina 15 1,25 1,02 0,40 Jantan 13 0,12 2,45 0,84 III Betina 13 0,79 1,29 0,43 Sumber: Data primer yang diolah (2012). Keterangan : a dan b : bilangan konstanta yang dicari dari regresi linear R2 : koefisien korelasi

Hasil tabel diatas merupakan hasil dari perhitungan data antara hubungan panjang cangkang terhadap berat total dan jenis kelamin kerang hijau yang diperoleh dari lokasi yang berbeda yaitu pertambakan, pemukiman, dan dekat dengan muara sungai, yang menyebabkan perbedaan hasil nilai konstanta b antara jantan dan betina salah satunya disebabkan karena perbedaan kecepatan tumbuh antara jantan dan betina, sesuai dengan pernyataan Setyobudiandi (2000) menyatakan bahwa, kerang hijau jantan lebih cepat tumbuh dibandingkan kerang hijau betina, sedangkan yang menyebabkan perbedaan antar lokasi yaitu diduga karena perbedaan ketersediaan makanan di perairan tersebut (Vakily 1989). Pengukuran kualitas perairan menunjukkan perairan Desa Kalisangka kepulauan Kangean sangat mendukung untuk pertumbuhan kerang hijau, sehingga dapat dikatakan bahwa, yang menyebabkan perbedaan nilai konstanta b antar lokasi yaitu kemungkinan karena perbedaan ketersediaan makanan di perairan tersebut. Pola pertumbuhan menunjukkan bahwa, kerang hijau (Perna viridis L) yang hidup di daerah dekat dengan

e. Pengukuran Kualitas Perairan Faktor lingkungan diukur secara purpossive (disengaja). Pengukuran dilakukan pada saat air laut pasang, dengan pengamatan langsung di lapang yang meliputi suhu, salinitas, pH, kecerahan, DO, dan kecepatan arus serta titik koordinat lokasi ditentukan dengan GPS.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Panjang - Berat Dan Jenis Kelamin Kerang Hijau (Perna viridis L) Hasil penelitian ditunjukkan pada tabel 1. Hasil perhitungan hubungan panjang dan berat total secara keseluruhan menghasilkan nilai konstanta b yang bernilai kurang dari 3. Setiap stasiun memiliki nilai konstanta b yang berbeda-beda dengan koefisien korelasi yang berbeda-beda pula.

4

pertambakan, dekat dengan pemukiman maupun dekat dengan muara sungai mengacu pada pola pertumbuhan allometrik negatif. Berdasarkan penjelasan Effendi (1979) bahwa, allometrik negatif merupakan pertumbuhan panjang lebih cepat dari pada pertambahan beratnya.

3

1 2

5,7 5,8

3,00 3,00

0,0194 0,0188

Sumber: Data primer yang diolah (2012). Keterangan: SN = Stasiun M = Minggu S = Suhu Sal = Salinitas K = Kecerahan KA = Kecepatan Arus

1. Stasiun I (Area Pertambakan) Kondisi perairan penelitian yang ada di stasiun I memiliki kecepatan arus berkisar antara 0,0194-0,0188 m/det. Kisaran kecepatan arus tersebut merupakan tergolong arus yang tidak terlalu deras, sesuai dengan pernyataan Setyobudiandi (2000) menyatakan bahwa, kerang hijau dapat tumbuh dengan baik pada kisaran arus yang tidak terlalu deras karena akan berpengaruh terhadap pengambilan makanannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran kecerahan yang ada di stasiun I sebesar 3,55 meter. Kisaran ini masih tergolong normal, sesuai dengan pernyataan Wibawa (1984) mengatakan bahwa, kisaran kecerahan yang baik untuk kehidupan kerang hijau adalah 3,50-4,0 meter. Tabel 2. Hasil pengukuran parameter lingkungan.

Nilai kandungan oksigen terlarut (DO) yang terdapat pada stasiun I berkisar antara 5,5-5,7 ppm. Kisaran tersebut merupakan kisaran yang mampu mendukung kehidupan bivalvia. Kebutuhan oksigen bervariasi tergantung oleh jenis stadia dan aktivitasnya. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi jumlah dan jenis bivalvia di perairan. Semakin tinggi kadar oksigen maka jumlah bentos semakin besar. Kisaran suhu, salinitas dan pH perairan yang ada di stasiun I adalah 29-30 oC, 31-33 ppt dan 6,20-6,23. Nilai tersebut merupakan kisaran yang normal dan mampu mendukung kehidupan organisme seperti kerang hijau, sesuai dengan pernyataan Kastoro (1982) bahwa, kisaran suhu normal agar jenis kerang-kerangan dapat hidup di daerah tropis yaitu 2035 oC dengan fluktuasi tidak lebih dari 5 oC. Asikin (1982) dan Wibawa M S Sal SN pH (1984) menyatakan bahwa, Ke (oC) (ppt) perkembangan kerang hijau dari larva 1 29 33 6,20 hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh 1 2 30 31 6,23 salinitas, pada tingkat larva, salinitas 1 30 33 6,41 21-33 ppt memungkinkan larva 2 2 29 32 6,31 tersebut akan tumbuh normal dan 1 30 30 6,19 berkembang menjadi tingkat 3 berikutnya sebagai veleger. Odum 2 29 31 6,24 (1996), Setyobudiandi (2001), dan M DO K KA SN Ke (mg/l) (meter) (meter/detik) Fuller (1974) menyatakan bahwa, nilai pH dapat menunjukkan kualitas 0,0260 1 5,5 3,55 1 perairan sebagai lingkungan hidup, air 0,0283 2 5,7 3,55 yang agak basa dapat mendorong 0,0266 1 5,4 3,80 proses pembongkaran bahan organik 2 0,0253 2 5,5 3,80 yang ada dalam air menjadi mineral5

mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan dan fitoplankton. Derajat keasaman (pH) suatu perairan untuk kehidupan bivalvia berkisar antara 5,68,3, jadi nilai pH dalam penelitian ini masih dalam batas toleransi untuk hidup dan berkembang bagi kerang hijau. Hasil perhitungan hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) jantan menunjukkan nilai konstanta b = 2,102 dengan nilai koefisien korelasi = 74,0 dan kerang hijau betina menunjukkan nilai konstanta b = 1,680 dengan nilai koefisien korelasi = 41,9. Nilai tersebut menandakan pola pertumbuhan allometrik negatif, dimana pertumbuhan cangkang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Hal tersebut dikarenakan berbagai macam faktor yang diantaranya seperti yang disebutkan oleh Setyobudiandi (2000) bahwa, pertumbuhan kerang hijau (Perna viridis L) dipengaruhi oleh kondisi perairan yang meliputi kedalaman, kekeruhan, arus dan kandungan oksigen terlarut.

Gambar 4. Hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) betina stasiun I (Area pertambakan). Pola hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) di stasiun I dapat dilihat pada gambar 3 dan 4. Dilihat dari nilai koefisien korelasinya bahwa kerang hijau jantan memiliki nilai koefisien korelasi (R2) = 0,740 dan kerang hijau betina memiliki nilai koefisien korelasi (R2) = 0,419. Karena kerang hijau jantan memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerang hijau betina. pertumbuhan cangkang hampir seiring dengan pertambahan beratnya. Pernyataan mengenai perbedaan hasil koefisien korelasi antara kerang jantan dan betina dijelaskan oleh Setyobudiandi (2000) bahwa, umumnya kerang hijau jantan lebih cepat tumbuh daripada kerang hijau betina, sehingga hasil kerang hijau jantan memberikan hasil nilai koefisien lebih besar dibandingkan dengan kerang hijau betina. 2. Stasiun II (Area Pemukiman) Perhitungan hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) jantan menunjukkan nilai konstanta b = 2,180 dengan koefisien korelasi 78,7 dan kerang hijau betina menunjukkan nilai konstanta b = 1,023 dengan koefisien korelasi 40,7. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh dari stasiun I yang menggambarkan pertumbuhan kerang tersebut termasuk pertumbuhan allometrik negatif.

Gambar 3. Hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) jantan di stasiun I (Area pertambakan).

6

Gambar 5. Hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) jantan stasiun II (Area pemukiman).

Gambar 8. Hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) betina stasiun III (Area muara sungai). Tabel 3. Sebaran ukuran kerang hijau (Perna viridis L). Ukuran Penyebaran Jenis Panjang Lebar Berat Kelamin Cangkang Cangkang Total (cm) (cm) (gr) Jantan 3,1 – 5,1 1,1 – 2,7 2 – 6 Betina 3,7 – 5,6 1,3 – 2,9 5 – 8 Pola penyebaran ukuran pertumbuhan kerang hijau yang hidup di perairan Kangean, khususnya perairan desa Kalisangka terlihat seperti Tabel 3. Kerang hijau jantan mempunyai pola penyebaran ukuran berkisar antara 3,1-5,1 cm, dengan berat total berkisar antara 2-6 gr, sedangkan pada kerang hijau betina mempunyai pola penyebaran ukuran antara 3,7-5,6 cm, dengan berat total berkisar antara 5-8 cm. Pola seperti ini menunjukkan kerang hijau jantan memiliki ukuran lebih bervariasi dibandingkan dengan kerang hijau betina. Penelitian yang dilakukan oleh Rubianti (2001) di muara Kamal, teluk Jakarta, memperlihatkan bahwa nilai konstanta b untuk jantan lebih besar dibandingkan dengan nilai konstanta b untuk betina. Misalnya pada stasiun I, nilai konstanta b untuk jantan dan betina adalah b = 2,32 dan b = 2,22. Stasiun II, nilai konstanta b untuk jantan dan betina adalah b = 2,69 dan b = 2,21. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Setyobudiandi (2000) bahwa, umumnya kerang hijau jantan lebih cepat tumbuh daripada kerang hijau betina. Pertumbuhan kerang sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan, seperti parameter perairan maupun jenis dasar perairan tersebut. Parameter perairan yang yang ada di stasiun III merupakan parameter tergolong normal

Gambar 6. Hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) betina stasiun II (Area pemukiman) 3. Stasiun III (Area muara sungai) Hasil yang diperoleh dari perhitungan hubungan panjang cangkang dan berat total kerang hijau (Perna viridis L) jantan di stasiun III memiliki nilai konstanta b = 2,450 dengan koefisien korelasi 84,9 dan kerang hijau betina memiliki nilai konstanta b = 1,229 dengan koefisien korelasi 43,0. Pola hubungan tersebut menggambarkan pola allowmetrik negatif.

Gambar 7. Hubungan panjang dan berat kerang hijau (Perna viridis L) jantan stasiun III (Area muara sungai).

7

yang mampu mendukung pertumbuhan kerang hijau, dimana pada stasiun III ini memiliki kisaran perairan antara suhu 29-30 0C, salinitas 30-31 ppt, pH 6,19-6,24, DO 5,7-5,8, kecerahan 3,00 dan kecepatan arus 0,0188-0,0194 meter/detik. Kisaran tersebut sesuai dengan pernyataan Wibawa (1984) menyatakan bahwa, suhu yang ditolerir oleh bivalvia dalam hidup dan kehidupannya berkisar antara 26-32°C. Nilai kisaran ini mampu mendukung hidup yang layak dalam ekosistem dimana bivalvia itu hidup. Kenaikan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme air, akibat meningkatnya laju metabolisme akan meningkatkan konsumsi oksigen dalam air menjadi berkurang. Suhu juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor penutupan vegetasi dari pepohonan yang tumbuh disekitar perairan tersebut. Selain itu juga Setyobudiandi (2001), dan Fuller (1974) dalam Hutabarat (1991), menjelaskan tentang kualitas air untuk kehidupan bivalvia bahwa, salinitas yang ditolerir oleh bivalvia dalam hidup dan kehidupannya berkisar antara 27-35 ppt, untuk fase larva dan 25-30 ppt untuk yang dewasa 30-35 ppt, derajat keasaman (pH) suatu perairan untuk kehidupan bivalvia berkisar antara 5,68,3. Kebutuhan oksigen bervariasi tergantung oleh jenis stadia dan aktivitasnya. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi jumlah dan jenis bivalvia di perairan. Semakin tinggi kadar oksigen maka jumlah bentos semakin besar. Nilai oksigen terlarut di perairan Desa Kalisangka di semua stasiun pengamatan termasuk dalam kriteria

yang sangat baik. Hal ini didukung dengan pernyataan Tahir (2002), yang menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh bivalvia berkisar antara 5,50 mg/l sampai 6,00 mg/l. Semakin tinggi kandungan oksigen dalam ekosistemnya semakin baik pula kehidupan Kerang hijau yang mendiaminya. Kecepatan arus di di stasiun III ini tergolong lebih deras dibandingkan dengan stasiun I dan II, seperti terlihat dalam Tabel 2. hal tersebut diduga ada pengaruh dari aliran sungai, akan tetapi kecepatan arus yang ada di stasiun III ini masih bisa di tolerir oleh kerang hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyobudiandi (2000), menyatakan bahwa Kerang hijau dapat tumbuh dengan baik pada kisaran arus yang tidak terlalu deras karena akan berpengaruh terhadap pengambilan makanannya. Rasio Kelamin Rasio ini menunjukkan perbandingan antara frekuensi atau jumlah kerang hijau (Perna viridis L) jantan dengan betina. Perbandingan kelamin dipakai untuk menduga keberhasilan pemijahan. Tabel 4. Jumlah kerang yang dikumpulkan di perairan desa Kalisangka JENIS RASIO JUMLAH KELAMIN KELAMIN 51,1905% Jantan 43 48,8095% Betina 41 TOTAL 84 Sumber: Data primer yang diolah (2012).

Sebanyak 84 sampel kerang hijau (Perna viridis L) yang diteliti dari perairan Desa Kalisangka, didapatkan 43 ekor kerang hijau yang berjenis kelamin jantan dan 41 ekor betina. Kerang hijau betina lebih tersebar pada semua ukuran yakni, mulai dari selang kelas panjang cangkang 3,7-5,6 cm 8

dengan lebar cangkang 1,3-2,9 cm, dan berat total 5-8 gr, bila dibandingkan dengan kerang hijau jantan yang lebih banyak ditemukan pada ukuran selang kelas yang lebih kecil, yakni mulai dari 3,1-5,1 cm, dengan lebar cangkang 1,12,7 cm, dan berat total 2-6 gr. Kerang hijau betina memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan kerang hijau jantan. Dilihat dari segi kuantitas, kerang hijau jantan yang diperoleh dari hasil pengambilan 84 sampel kerang hijau didapatkan dalam jumlah yang lebih banyak, hal tersebut diperlihatkan oleh besarnya rasio kelamin kerang hijau jantan yang lebih besar yakni 51,1905%, sedangkan rasio kelamin betina hanya sebesar 48,8095%. Berbeda dengan hasil penelitian Niswari (2004) di perairan Cilincing Jakarta Utara, hasil rasio kelamin menunjukkan bahwa, jumlah kerang hijau betina lebih banyak dibandingkan dengan kerang hijau jantan, yakni 256 ekor kerang hijau betina dan 189 ekor kerang hijau jantan. Diduga tingkat kekebalan tubuh individu betina lebih bisa mentolerir keberadaan bahan-bahan pencemar di wilayah perairan Cilincing, sehingga dapat dikatakan bahwa perairan Desa Kalisangka tergolong perairan yang masih normal, karena yang lebih banyak ditemukan adalah kerang hijau jantan dibandingkan dengan kerang hijau betina. Idealnya, jika jumlah individu betina lebih besar, maka populasi tersebut dikatakan ideal bagi organisme untuk berkembangbiak lebih lanjut. Selain itu juga berdasarkan penelitian Rubianti (2001) yang dilakukan di perairan Ratnagiri India bahwa, kerang hijau memperlihatkan pembalikan jenis kelamin (sex reversal) dari jantan ke betina pada bulan Mei dan dari betina ke jantan pada bulan Oktober-November dengan

ukuran panjang kerang hijau ketika pertama kali matang gonad adalah antara 20-30 mm setelah mencapai umur 2-3 bulan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hubungan panjang-berat dan jenis kelamin kerang memiliki nilai konstanta b yang berbeda-beda, dan nilai konstanta kurang dari 3, sehingga pertumbuhan tersebut termasuk pola pertumbuhan allometrik negatif, dimana pertumbuhan cangkang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. 2. Kerang hijau jantan lebih banyak dari yang betina, dengan rasio jantan = 51,1905% dan betina = 48,8095%. 3. Faktor fisika, kimia perairan Desa Kalisangka kepulauan Kangean mendukung untuk pertumbuhan kerang hijau Saran Secara keseluruhan pengamatan mengenai hubungan panjang cangkang dan berat total kerang hijau (Perna viridis L) yang dilaksanakan di perairan Kepulauan Kangean, menggambarkan pola pertumbuhan allometrik negatif. Maka dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan timbangan digital dengan tingkat kepercayaan yang paling tinggi demi kesempurnaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA Asikin T, 1982. Kerang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. 41 Hal. Effendi, M.L., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal. 9

Tuwo, A. Rohani, A.R. Saru, A. Rani, C., 1996. Kajian Struktur Komunitas Makrozoobentos Pada Hutan Bakau Hasil Rehabilitasi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

Hutabarat, 1991. Siklus reproduksi bivalvia. Program Pasca Sarjana. Program Studi Ilmu Kelautan. IPB. (Tidak Dipublikasikan) 19 Hal. Kastoro, W., 1982. Beberapa aspek biologis kerang hijau, (Mytilus viridis) dari perairan Binaria Ancol Teluk Jakarta. Tesis. Universitas Nasional Jakarta.

Vakily, J. M., 1989. The Biology and Culture of Mussels of Genus Perna ICLARM Studies and Reviews No. 17. Manila. 63 Hal.

Nagabushanam, R. and Mane, U.H., 1978. Seaseonal variation in the biochemical composition of (Mytilus viridis) at Ratnagiri on the west coast of India. Hidrobiologia. 57(1): 69-72.

Wibawa, S.S., 1984. Studi makanan dan kebiasaan makan kerang hijau (Mytilus viridis L) di Pulau Onrust Jakarta. Karya Ilmiah (tidak dipublikasikan). FAPERIKANAN. IPB. Bogor.

Niswari, A. P., 2004. Studi morfometrik kerang hijau (Perna viridis L) di perairan Cilincing, Jakarta Utara. Program Studi Ilmu Kelautan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Skripsi. 1-99 hal.

Winanto. T., 1999. Siklus Reproduksi Bivalvia. Program Pasca Sarjana. Program Studi Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (Tidak Dipublikasikan) 19 Hal.

Rubianti, R., 2001. Pertumbuhan kerang hijau (Perna viridis L) di muara Kamal, Teluk Jakarta. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Skripsi. 1- 76 hal. Setyobudiandi, I., 2000. Sumberdaya Hayati Moluska Kerang Mytilidae. Buku Pegangan. FPIK. IPB. Bogor. Tan, E.L., 1977. Nutritive value of mytilus viridis as apotential protein source for animal feeds. J.S.N.A.S. 1(2):82-85.

10