8 Apr 2013 ... Dyah Pratiwi. Dewan Redaksi. Imam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C.
Appy, Hari Sugeng Raharjo,. Endang R. Budi Astuti, Pulih ...
BULETIN
ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013
Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Siddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci Pemimpin Redaksi Libraliana Badilangoe Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum Redaksi Pelaksana Ellia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email:
[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
DARI MEJA REDAKSI
Pembaca Buletin Yang Berbahagia, di tahun 2013 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 1, Edisi Januari – April 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel. Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia melakukan penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), yaitu mengenai Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum., disarikan menjadi artikel yang dimuat dalam buletin edisi kali ini. Selain itu, masih terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buletin juga menurunkan artikel mengenai Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, yang ditulis oleh Sdr. Rio Fafen Ciptaswara, S.H., MH; Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, oleh Sdr. Alex Kurniawan S.H., M.H; Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal, oleh: Sdr. Josua Sitompul, S.H., IMM; serta artikel mengenai Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah, oleh Sdr. Dayanto, S.H.,M.H. Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan April 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca. Jakarta, April 2013
Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN VOLUME 11, NOMOR 1, JANUARI – APRIL 2013 Halaman Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................
i
Daftar Isi.................................................................................................................................................
iii
Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat....................
1 - 18
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum. Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan..........................................
19 - 38
Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H. Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.......................................
39 - 69
Alex Kurniawan S.H., M.H. Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal....................................................................
71 - 94
Josua Sitompul, S.H., IMM. Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah....................................................................................
95 - 105
Dayanto, S.H., M.H. Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.......................... 107 - 110 Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.................... 111 - 137 Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
KETERKAITAN POSISI BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DENGAN PENGISIAN JABATAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA YANG MEMERLUKAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 1
Oleh : Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum2 Abstrak Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process intitutionalized” (teori kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah menciptakan keseimbangan baru. Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan. Kata kunci: Bank Indonesia, lembaga negara, pengisian jabatan, dewan gubernur BI, persetujuan, dpr.
A. Pendahuluan
independensinya amat dipengaruhi oleh theory of delegation monetery. Dalam hal ini, para politisi
Keberadaan Bank Sentral berikut atribut yang
menyerahkan urusan-urusan pengelolaan sumber
berkaitan dengan posisi kelembagaan dan
daya keuangan yang bersifat teknokratik kepada organ khusus yang dibentuk untuk itu. Dengan mekanisme kelembagaan itu, maka akan berpengaruh
1
2
Sebagian Analisis Penelitian “Formulasi Pengaturan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Peneliti FH UNS: Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum, 2012
kepada decetion making role of governing bodies
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta
perekonomian dipandang sebagai fenomena pasar
dari Bank Sentral. Dalam pola pembagian kekuasaan negara sampai dengan abad ke-18, masalah-masalah
1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
(market) yang berkembang dalam dinamika
perekonomian. Pertama, ditinjau dari kronologi
masyarakat sendiri, sehingga tidak memerlukan
penyusunannya, sampai dengan abad ke-18, masalah
pengaturan yang ketat oleh negara. Cara pandang
tersebut tidak pernah menjadi pemikiran penyusunan
demikian ini juga mempengaruhi penyusunan
konstitusi. Kedua, ditinjau dari kelembagaan,
konstitusi. Meskipun sejak disahkannya konstitusi
ketentuan mengenai perekonomian bukanlah
Amerika Serikat pada tahun 1789, negara-negara
merupakan aspirasi atau tujuan pembentukan
yang menganut paham demikian, kecuali Inggris,
konstitusi, akan tetapi merupakan instrumen pragmatis
selalui memiliki naskah konstitusi tertulis, tetapi
dalam rangka penegakan hak melalui mekanisme
konstitusinya tidak memuat ketentuan mengenai
pengadilan (judicial enforcement). Ketiga, kenyataan
ekonomi sama sekali.
American exeptionalism, yang terwujud dalam absennya gerakan sosial yang mempengaruhi
Konstitusi Amerika Serikat, yang acapkali disebut
konstitusioanlisme. Keempat, ditinjau dari segi realitas,
sebagai konstitusi modern yang pertama kali, tidak
dalam kurun waktu 1960-an dan 1970, Mahkamah
ada satu pasal pun yang berkaitan dengan soal-soal
Agung mempunyai pandangan yang sempit mengenai
perekonomian. Sampai sekarang konstitusi tersebut
bagaimanakah pemenuhan hak-hak yang
sudah mengalami perubahan sebanyak 27 kali.
berhubungan dengan perekonomian tersebut.3
Perubahan I sampai dengan Perubahan X dilakukan
Dengan mengambil kenyataan ini, maka rintisan
secara serentak dan sering dikenal sebagai ”Bill of
pendirian Bank Sentral tidak berhubungan dengan
Rights” karena isinya menyangkut hak asasi.
pengelolaan sumber daya perekonomian dan
Sementara itu, 17 perubahan lainnya dlakukan secara
pemenuhan hak-hak asasi di bidang sosial dan
terpisah. Pendek kata, dalam keseluruhan teks
ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada kebutuhan
konstitusi Amerika Serikat tidak diketemukan satu
pencarian sumber pembiayaan dari Pemerintah.
pasal atau ayat pun yang mengatur mengenai persoalan hak-hak ekonomi, apalagi mengenai sistem
B. Mencari Keseimbangan: Dari Theory of
perekonomian seperti yang lazim diatur dalam
Delegation Monetery menuju Theory of
konstitusi negara-negara sosialis komunis. Kalaupun
Combines Process Intitutionalized
ada ketentuan yang berkaitan dengan perekonomian dan keuangan, hanya yang berhubungan dengan
Dalam perkembangan selanjutnya, relasi pemisahan
kebijaksanaan administrasi negara di bidang keuangan,
kekuasaan negara dalam konteks theory of delegation
perpajakan, dan anggaran. Meskipun demikian,
monetary tidak mencukupi untuk menjelaskan
ketentutan-ketentuan tersebut tentu pada waktunya
bagaimanakah struktur Bank Sentral. Sebagai suatu
mempengaruhi dinamika perekonomian yang terjadi
kenyataan dinamis, utamanya relasi Bank Sentral
di dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuan-
dengan Parlemen tidak diposisikan dalam pembicaraan
ketentuan mengenai moneter, perpajakan, dan
pembagian kekuasaan, akan tetapi ditentukan oleh
anggaran itu lebih berkaitan dengan administrasi
6 (enam) faktor. Pertama, tujuan pembangunan
negara dibandingkan misalnya dengan peran pasar
ekonomi mempengaruhi aktivitas dan formulasi
dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan
kelembagaan Bank Sentral. Pembangunan, terutama
dalam manajemen kekayaan alam yang secara
di negara-negara yang berpendapatan rendah,
langsung berkaitan dengan ciri-ciri liberalisme atau
menyebabkan aktivitas Bank Sentral mengarah juga
sosialisme. Menurut Carr R. Sunstein, ada 4 (empat) hal yang menyebabkan konstitusi Amerika Serikat sampai sekarang tidak pernah mengatur mengenai
2
3
Cass R. Sunstein, “Why Does the American Constitution Lack Social and Economic Guarantees?,Chicago Law and Legal Theory Working Paper, No. 36, Januari, 2003, hlm. 4.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
kepada sektor quasi fiskal.4 Bahkan di negara-negara
peminjaman kredit kepada Pemerintah.6 Konstitusi
berkembang, Bank Sentral mengarah kepada
di negara-negara yang mengalami transisi biasanya
instrumen moneter dengan campur tangan politik
mengatur pula ketentuan mengenai nominasi dan
yang kuat dalam melaksanakan tujuan-tujuannya.
rekrutmen pejabat Bank Sentral. Keenam, kontinuitas.
Kedua, faktor sejarah, kebiasaan, dan tradisi. Amat
Faktor ini ditentukan oleh seberapa sering ketentuan
jarang Undang-Undang mengatur Bank Sentral secara
Undang-Undang Bank Sentral diubah dan tingkat
komprehensif. Oleh sebab itu, dalam praktik seringkali
detail pengaturannya. Undang-Undang mengenai
diwarnai dengan perubahan-perubahan ketentuan
The Federal Reserve System di Amerika Serikat
yang bersifat parsial. Ketiga, faktor politik. Faktor ini
termasuk kategori Undang-Undang yang mempunyai
menyebabkan desain Bank Sentral bervariasi dalam
ketegori rinci, sementara di negara lain tidak dijumpai
derajat otonomi dan akuntabilitasnya. Politik diakui
ketentuan semacam itu. Di negara lain, Undang-
perannya, akan tetapi dalam beberapa hal pada saat
Undang diubah beberapa kali dalam kurun waktu
politik menciptakan lingkungan negara yang lemah
tertentu. Di Khazaztan, Undang-Undang Bank Sentral
akan memberikan dorongan yang besar untuk
1995 telah diubah sebanyak 16 kali sampai tahun
menciptakan independensi tinggi kepada Bank Sentral.
2003. Undang-Undang di Denmark sejak ditetapkan
Perlindungan terhadap pemecatan atas pejabat Bank
tahun 1936, hanya 4 (empat) kali mengalami
Sentral menjadi bagian yang penting. Akhirnya,
perubahan kecil (1938, 1939, 1967, dan 1969).7
struktur Bank Sentral–relasi dengan Parlemen, kepala negara, kabinet, atau kementerian–akan ditentukan
Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur
oleh sistem politik. Keempat, tradisi legal yang dianut.
kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya
Mayoritas Bank Sentral merupakan badan hukum,
gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan
sepenuhnya dimiliki negara, dan diatur oleh Undang-
pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan
Undang, akan tetapi sangat sedikit Bank Sentral yang
yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan
merupakan perusahaan terbuka dan ada kepemilikan
ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process
saham pribadi. Struktur pemerintahan akan
intitutionalized” (teori kombinasi proses kelembagaan).
menentukan hukum korporasi yang berlaku. Dalam
Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di
tradisi Anglo Saxon misalnya, perusahaan hanya
dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan
mempunyai satu organ, sementara di negara Eropa
pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya
perusahaan mempunyai struktur organ pelaksana
menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip
dan organ
pengawas.5
Kelima, faktor konstitusi.
dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang
Umumnya negara-negara demokrasi lama tidak
saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang
mengatur soal Bank Sentral dalam konstitusi. Hanya
bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk
sedikit negara, antara lain Afrika Selatan, yang
melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks.
menetapkan tugas Bank Sentral dalam konstitusi.
Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas
Sejumlah negara di kawasan Amerika Latin usai krisis
mata rantai saling ketergantungan yang menuntut
tahun 1980-an mengubah konstitusi, termasuk
adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan
mengatur rinci mengenai Bank Sentral dan larangan
itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi
4
Diskusi selengkapnya: Snoh Unakul dan Supachai Panitchpakdi, 1987, Role of Central Banks in Economic Development, paper prepared for the Twelfth SEANZA Central Banking Course, Bank of Thailand (Bangkok).
6
Lihat: Eva Gutiérrez, “Inflation Performance and Constitutional Central Bank Independence: Evidence from Latin America and the Caribbean,” IMF Working Paper No. 03/53 (Washington: International Monetary Fund).
5
Lihat dalam: Douglas Branson, Douglas, “The Very Uncertain Prospect of ‘Global’ Convergence in Corporate Governance,” Cornell International Law Journal, 2001, Vol. 34, No, 2, hlm. 321–362.
7
Pembahasan selengkapnya, periksa: Peter Moser, “Checks and Balances, and the Supply of Central Bank Independence,” European Economic Review, 1999, Vol. 43, hlm. 1569–1593.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
yang kemudian membuat penyesuaian baru yang
Hongaria14, Latvia15, Filipina16, Polandia17, Slovenia18,
diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan
Thailand, dan Venezuela19. Ketiga, Dewan Gubenur
itu adalah emnciptakan keseimbangan baru.
direktur tanpa campur tangan Pemerintah seperti antara lain di Bulgaria20, Kroasia21, Republik Ceko22,
Berdasarkan argumen menurut ”theory of combines
Estonia23, Hungaria24, Latvia25, Lithuania26, Polandia27,
process intitutionalized”, maka relasi antara parlemen
Romania28, Rusia29, dan Turki30. Keempat, Dewan
dengan Bank Sentral adalah untuk menciptakan
Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)
keseimbangan baru diantara keduanya di hadapan
tahun seperti antara lain di Argentina31, Brazil32,
Pemerintah. Khususnya berkaitan dengan isu pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral, keseimbangan itu menjadi penting untuk ditekankan. Terutama pada negara-negara berkembang, pola keseimbangan itu tercipta ke dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut. Pertama, Pemerintah terlibat langsung dalam pengisian jabatan board dan masa jabatan Dewan Gubernur lebih pendek. Kedua, Pemerintah pada umumnya
14 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary. 15 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.
terwakili dalam Dewan Gubernur.Ketiga, Bank Sentral
16 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines Juli, 1992.
menikmati sedikit proteksi legal, terutama ketika
17 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.
berselisih dengan Pemerintah.
18 Bank of Slovenia Act of July 2002.
Dalam pengisian jabatan Dewan Gubernur itu dapat berlangsung dalam salah satu atau variasi diantara 5
19 “Law on the Central Bank of Venezuela", terakhir diubah 4 September 2001.
(lima) prosedur berikut ini. Pertama, Gubernur direkrut
20 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.
tanpa campur tangan Pemerintah. Pola ini diterapkan
21 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.
di negara Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia, Latvia, Lithuania, Malaysia, Pakistan, Polandia, Romania, Slovakia, Slovenia, dan Turki. Kedua,
22 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.
Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)
23 Law on the Central Bank of the Republic of Estonia of 18 May 1993, last amendment–RT I 1999,16, 271.
tahun. Hal ini antara lain dipraktikkan di Argentina8,
24 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.
Brazil9, Bulgaria10, China11, Kroasia12, Republik Ceko13,
25 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002. 26 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.
8
Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, diubah terakhir pada September 2003 (Law 25, 780).
9
Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.
27 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003. 28 Law on the Statute of the National Bank of Romania of May 26, 1998, terakhir diubah dengan Law No. 156 of October 12, 1999. 29 Federal Law No. 86-FZ on the Central Bank of the Russian Federation (The Bank of Russia) of June 27, 2002.
10 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002. 11 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.
30 The Law on the Central Bank of the Republic of Turkey (Law No. 1211), terakhir diubah 25 April 2001.
12 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.
31 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, terakhir diubah 21 September 2003 (Law 25,780).
13 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.
32 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.
4
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Bulgaria33, Chile34, China35, Kroasia36, Republik Ceko37,
ketika terjadi perselisihan dengan Pemerintah, kecuali
Hongaria38,
di negara seperti Angola, Bahamas, Bangladesh,
Latvia39,
Lithuania40,
dan
Filipina.41
Kelima,
tidak ada perwakilan Pemerintah dalam Dewan Gubernur seperti di Afrika
Selatan42,
Peru43,
dan
Thailand.44
Kolumbia, Haiti, Iran, dan Vietnam. Untuk hal yang ketiga ini dalam praktiknya undang-undang akan menentukan secara berbeda-beda. Misalnya, (i) Pemerintah akan mematuhi keputusan Bank Sentral
Selanjutnya, relasi keseimbangan baru antara
dan akan menunda kebijaksanaannya dalam waktu
Pemerintah, Parlemen, dan Bank Sentral sekurang-
tertentu seperti di Chile; (ii) Parlemen akan melakukan
kurangnya akan berpengaruh kepada 3 (tiga) hal
intervensi atau sekurang-kurangnya melakukan dengar
penting. Pertama, derajat campur tangan Pemerintah
pendapat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan
dalam menentukan kebijaksanaan moneter. Di negara
Norwegia; dan (iii) Pemerintah mengajukan perdebatan
berkembang, kecenderungan campur tangan
umum di Parlemen seperti di Selandia Baru.
Pemerintah tidak ada dalam memformulasikan kebijaksanaan moneter, kecuali di negara seperti
Format pengisian jabatan Dewan Gubernur45
Bahamas, Bangladesh, Barbados, Benin, Burkina Faso,
mencakup isu komposisi, kualifikasi, serta masalah
Côte d’Ivoire, Guinée Bissau, Mali, Niger, Senegal
pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian. Di
danTogo.Kedua, penentuan stabilitas moneter sebagai
bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-
salah satu fungsi Bank Sentral. Nyaris semua negara
masing isu tersebut.
menganut ketentuan ini kecuali negara seperti Comoros, Iran, dan Sudan. Ketiga, proteksi legal
Kebanyakan undang-undang di sejumlah negara
Bank Sentral di hadapan Pemerintah. Pada kebanyakan
menetapkan jumlah anggota Dewan Gubernur adalah
negara berkembang, proteksi Bank Sentral lebih besar
antara 7-9 orang.Banyak studi yang mengatakan bahwa jumlah yang ideal adalah antara 5-9 orang, sekalipun diantara praktik tersebut jumlah yang kecil dan yang besar tetap saja mampu melakukan
33 Law on the Bulgarian National Bank, amended as of 2002. 34 Law 18,840, Basic Constitutional Act of the Central Bank of Chile, terakhir diubah 31 Mei 2002.
pekerjaan dengan baik. Bank Sentral Swiss hanya mempunyai 3 (tiga) anggota, sementara The Federal Reserve System mempunyai 19 anggota (walaupun
35 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.
hanya 12 yang mempunyai hak suara) dan Bank
36 Law on the Croatian National Bank, new law enacted on April 5, 2001.
komposisi ini dalam praktik kebanyakan Gubernur
37 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah pada 1 Mei 2002. 38 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary. 39 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002. 40 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.
Sentral Eropa mempunyai 22 anggota.46 Dalam (Governor) secara otomatis merupakan Ketua (Chairman).47 Pada Bank of Japan terdiri atas seorang Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan 6 (enam) anggota Policy Board. Bundesbank di Jerman memiliki seorang Presiden, seorang wakil, dan 6 (enam) anggota Executive Board. Di Finlandia meliputi seorang
41 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines of July, 1992. 42 South African Reserve Bank Act of August 1, 1989, terakhir diubah tahun 2000.
45 Selain Dewan Gubernur, istilah lain yang acapkali dipakai adalah Executive Board, Policy Board, atau lainnya.
43 Central Reserve Bank of Peru Organic Law, Decree-Law No. 26123 of January 1, 1993.
46 Berger et al (2006)
44 Bank of Thailand Act 2485.
47 Istilah lain adalah Presiden.
5
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Chairman dan maksimum 5 (lima) anggota. Kanada
warganegara yang bersangkutan, yang ditetapkan
menetapkan Dewan Gubernur meliputi seorang
oleh International Monetery Fund dan diambil dari
Gubernur, seorang Deputi Gubernur, dan 12 anggota
negara tetangga. Pada akhir masa jabatan, otoritas
Boards of Director. Di Ghana, The Board of Director
setempat memberikan kewargenaraan dan mereka
meliputi seorang Gubernur, 2 (dua) Deputi Gubernur,
dicalonkan kembali.
dan 8 (delapan) directors, dan 1 (satu) orang yang mewakili Menteri Keuangan.
Syarat kapasitas profesional diuji dalam mekanisme fit and proper test untuk tercapai standar moralitas
Aturan Dewan Gubernur juga mencakup ketentuan-
tertentu seperti di Bank Sentral Eropa, berperikelakuan
ketentuan yang berhubungan dengan kualifikasi atau
tidak tercela (Filipina), atau integritas yang tidak
syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Ada
meragukan (Filipina). Syarat tidak pernah menjalani
syarat yang merujuk kepada kapasitas profesional,
hukuman pidana, kecuali denda, juga lazim
misalnya pengalaman dalam sektor perbankan,
diperlakukan seperti di Bostwana. Syarat lain misalnya
keuangan, ekonomi, dan hukum; serta lapangan lain
tidak pailit, tetapi di sejumlah negara memperkenankan
seperti akuntansi, auditor, dan perdagangan
dalam lampau waktu tertentu. Di Peru misalnya, syarat
internasional seperti persyaratan di Kolumbia.
itu mencakup ketidakmampuan pajak atau tidak
Di negara yang mengalami transisi ekonomi, untuk
terdaftar sebagai wajib pajak.Bolivia melarang calon
Gubernur dan Deputi Gubernur lazim dipersyaratkan
yang memiliki kepemilikan saham di institusi keuangan.
harus sudah pernah menjabat dalam kedudukan serupa untuk jangka waktu tertentu. Beberapa negara
Sementara itu, masa jabatan dan kemungkinan
menetapkan batas usia tertentu bagi Gubernur dan
pengangkatan kembali Dewan Gubernur antara Bank
Deputi Gubernur. Di Cape Verde mengatur bahwa
Sentral yang satu dengan yang lain tidak selalu sama.
Dewan Gubernur minimal mempunyai pengalaman
Sebagai contoh di The Federal Reserve System
8 (delapan) tahun di sektor perbankan. Di Venezuela,
mempunyai masa jabatan 14 tahun dan tidak dapat
calon harus berumur minimal 30 tahun. Filipina
dicalonkan kembali. Dua dari anggota Dewan
menetapkan batas usia minimal 35 tahun dan untuk
Gubernur dipilih sebagai Chairman dan wakil untuk
keanggotaan Dewan Moneter sekurang-kurangnya
masa jabatan 4 (empat) tahun dan diangkat kembali
40 tahun. Di Namibia, calon harus berumur serendah-
selama masih dalam jangka jabatan 14 tahun. Semua
rendahnya 21 tahun dan maksimal 65 tahun saat
anggota Executive Board (termasuk Presiden dan
dilantik. Pada Bank Sentral Belgia, Dewan Gubernur
wakilnya) di Bank Sentral Eropa mempunyai masa
berhenti saat mencapi usia 67 tahun, yang atas
jabatan 8 (delapan) tahun dan tidak dapat dipilih
rekomendasi Menteri Keuangan dapat terus bertugas
kembali. Finlandia mengatur bahwa masa jabatan
sampai usia 70 tahun. Papua Nugini mensyaratkan
Gubernur adalah 7 tahun dan dalam keanggotaan
berhentinya Dewan Gubernur saat usia 70 tahun.
Dewan Gubernur dapat dipilih sampai 3 (tiga) kali
Di negara yang lain, jika dipersyaratkan bahwa Dewan
masa jabatan, kecuali untuk menjabat Gubernur
Gubernur merupakan pejabat karir birokrasi,
maksimal 2 (dua) periode masa jabatan.
ketentuan batras usia tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
Masalah pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota Dewan Gubenur masing-
6
Syarat kewarganegaraan acapkali juga menjadi salah
masing berbeda-beda. Sebagai contoh, pada The
satu persyaratan.Tetapi salah satu contoh menarik di
Federal Reserve System diusulkan oleh Presiden untuk
Bosnia Herzegovina. Mengingat situasi yang sulit pada
nendapat persetujuan Senat. Sedangkan Chairman
waktu itu, Undang-Undang mengatur bahwa untuk
dan wakilnya ditunjuk dari anggota Dewan Gubernur
pertama kalinya Dewan Gubernur tidak merupakan
oleh Presiden dan dikonfirmasi oleh Senat. Di Albania,
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Gubernur dicalonkan oleh Presiden atas usul Bank
Kabinet sebanyak 8 negara; (v) memerlukan persetujuan
Sentral, sementara untuk anggota masing-masing
Menteri Keuangan sebanyak 5 negara, dan (vi)
dicalonkan oleh Parlemen (3 orang), Presiden (1
memerlukan persetujuan yang menggabungkan
orang); serta Kabinet, Dewan Gubernur, Menteri
sejumlah pihak sebanyak 10 negara.49
Keuangan, dan Gubernur Bank Sentral masing-masing 1 (satu) orang. Di Armenia, Gubernur dan Deputi
Jika ditelaah, maka mekanisme pengusulan,
Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan
pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Gubernur
Parlemen, sementara sebanyak 5 (lima) anggota yang
pada Bank Sentral akan meliputi tipe sebagai berikut:
lain diangkat oleh Presiden. Di Belarusia, Gubernur
(i) mekanisme oleh Bank Sentral sendiri; (ii) mekanisme
diangkat oleh Presiden atas persetujuan Parlemen,
dengan campur tangan (usul) Bank Sentral; (iii)
sementara Parlemen dan Kabinet berhak mengusulkan
mekanisme yang melibatkan Pemerintah dan
masing-masing 1 (satu) anggota Dewan Gubernur.
Parlemen; (iv) mekansime yang melibatkan Pemerintah
Di Rusia Gubernur diangkat oleh Presiden dengan
secara kolektif; dan mekanisme atas kehendak
persetujuan Parlemen, sementara 13 anggota lainnya
Pemerintah atau Parlemen secara pribadi. Dengan
diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan saran
demikian, tafsiran keseimbangan antara Pemerintah
Gubernur.Sementara pengangkatan seluruh anggota
dan Parlemen berhadapan dengan Bank Sentral
Dewan Gubernur atas kehendak Presiden sepenuhnya
diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara.
terjadi di Republik Ceko, sedangkan di Bulgaria, Kroasia, dan Ukraina sepenuhnya di bawah kendali
Sedangkan alasan-alasan untuk melakukan
Parlemen.
pemberhentian (dismissal) diatur secara tidak sama diantara banyak negara, yang pada garis besarnya
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lybek dan Jo Anne
Morrist48
terhadap 100 Bank Sentral
mencakup 3 (tiga) bentuk. Pertama, bersifat nonpolitik seperti Albania, Armenia, Republik Ceko,
menyimpulkan bahwa mekanisme pengusulan Dewan
Estonia, Hongaria, dan Rusia.Kedua, kegagalan
Gubernur dilakukan dengan kategori sebagai berikut:
menjalankan kewajiban perbankan seperti di Bulgaria.
(i) diusulkan oleh Kepala Negara/Presiden sebanyak
Ketiga, perselisihan kebijaksanaan moneter antara
31 negara; (ii) diusulkan oleh Parlemen sebanyak 12
Bank Sentral dengan Pemerintah dan/atau Parlemen
negara; (iii) diusulkan oleh Menteri Keuangan sebanyak
seperti di Georgia.Keempat, tidak terikat syarat dan
17 negara; (iv) diusulkan oleh Perdana Menteri
kondisi tertentu seperti di Rumania.
sebanyak 5 negara; (v) diusulkan oleh Kabinet sebanyak 12 negara dan (vi) diusulkan dengan variasi yang
C. Praksis di Indonesia
menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 23 negara. Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa
Sehubungan dengan Dewan Gubernur Bank
mekanisme pengangkatan meliputi variasi-variasi
Indonesia, ketentuan UU No. 13 Tahun 1968 Pasal
sebagai berikut: (i) memerlukan persetujuan
15 mengatakan bahwa Gubernur dan Direktur
Presiden/Kepala Negara sebanyak 51 negara; (ii)
diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter
memerlukan persetujuan Parlemen sebanyak 23
untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
negara; (iii) memerlukan persetujuan Perdana Menteri
Komposisi Dewan Gubernur meliputi Direksi yang
sebanyak 3 negara; (iv) memerlukan persetujuan
terdiri atas satu orang Gubernur dan minimal 5 atau 7 orang Direktur.Pasal 16 menyebutkan bahwa Direksi
48 Tonny Lybek and JoAnne Morrist, “Central Bank Governance: A Survey of Board and Management”, IMF Working Paper, Desember 2004, hlm. 33.
49 Ibid.
7
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
bertanggung jawab kepada Pemerintah. Pasal 17
Dalam Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3
menyebutkan bahwa Presiden dapat memberhentikan
Thn. 2004 diatur syarat-syarat calon anggota Dewan
Gubernur dan Direktur, meskipun masa jabatannya
Gubernur, selain (i) harus warganegara Indonesia,
belum berakhir. Sebagai tambahan, anggota Direksi
juga (ii) harus memiliki integritas akhlak dan moral
tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain,
yang tinggi; dan (iii) memiliki keahlian dan pengalaman
kecuali karena kedudukannya (Pasal 18). Sementara
di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau
itu, Pasal 22 menyebutkan bahwa Komisaris
hukum. Pada bagian Penjelasan Pasal 40, dikatakan
Pemerintah mengawasi pengurusan Bank Indonesia
bahwa syarat keahlian berdasarkan pendidikan dan
sebagai perusahaan dan boleh hadir dalam Rapat
keilmuan, sedangkan yang berhubungan dengan
Direksi. Pengambilan keputusan dilakukan atas dasar
pengalaman terutama berhubungan dengan karier
musywarah untuk mencapai mufakat (kolektif).Dengan
calon dalam salah satu bidang, yaitu ekonomi,
ketentuan ini, Bank Indonesia memiliki political
keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang
independence terbatas.
berkaitan dengan tugas-tugas Bank Sentral. Dalam hal ini, syarat jabatan Dewan Gubernur tidak
Pada masa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968,
mencakup persyaratan umur baik dalam kualifikasi
rekrutmen Dewan Gubernur menunjukkan
minimal ataupun maksimal.Persyaratan lebih
mekanisme sebagai berikut: (i) Pengangkatan
mengarah kepada kualifikasi profesional.Tidak ada
dilakukan oleh Presiden secara
pribadi50
seperti yang
berlaku di Republik Ceko; (ii) Pengusulan jabatan
ketentuan bahwa calon harus berasal dari pejabat karir di Bank Sentral.
dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii) pengangkatan dilakukan dengan beberapa kualifikasi;
Mengenai mekanisme pengusulan, pencalonan, dan
(iv) Masa jabatan adalah 5 tahun; (v) Pemberhentian
pengangkatan diatur dalam Pasal 41 UU No. 23 Thn.
dilakukan oleh Presiden secara
pribadi51;
(vi) terdapat
1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004.Pengusulan, pencalonan,
ketentuan untuk memungkinkan pengangkatan
dan pengangkatan oleh Presiden setelah mendapat
kembali dalam masa jabatan untuk satu periode; dan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
(vii) terdapat ketentuan rangkap jabatan, kecuali
Pencalonan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior
karena kedudukannya.
merupakan wewenang penuh dari Presiden, sedangkan calon Deputi Gubernur diusulkan oleh
Political independence bagi Bank Indonesia meningkat
Presiden berdasarkan usul Gubernur untuk sebanyak-
cukup tajam dengan berlakunya UU No. 23 Thn.
banyak 3 (tiga) orang calon. Jika calon Gubernur,
1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Komposisi Dewan
Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur ditolak
Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib
Gubernur Senior dan 7 sampai 9 orang Deputi.
mengajukan calon baru. Jika para calon baru itu tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan
50 Berturut-turut Gubernur Bank Indonesia adalah Radius Prawiro (19671973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), dan Soedrajat Djiwandono (1993-1998). 51 Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (19671998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.
8
yang sama atau Deputi Gubenur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lamanya masa jabatan anggota Dewan Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Adapun masalah pemberhentian Dewan Gubernur
itu juga masa jabatan gubernur bank sentral mendekati
diatur dan ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) UU No.
akhir periode.54 Untuk mengisi jabatan Gubernur BI,
23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Pada pokoknya,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2
Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam
(dua) orang calon–Agus Martowardoyo55 dan Raden
masa jabatan, kecuali mengundurkan diri, terbukti
Pardede56--untuk mendapatkan persetujuan Dewan
melakukan tindak pidana kejahatan, dan inipun
Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan
menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan
pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit
hukum tetap; tidak dapat hadir secara fisik untuk
and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan
waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh
alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; dinyatakan
Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang
pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada
sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan
kreditur berdasarkan putusan pengadilan yang telah
yang kemudian memancing perdebatan seru di balik
berkekuatan hukum tetap; atau berhalangan tetap
drama pengisian Gubernur BI itu. Namun memang
yaitu meninggal dunia, mengalami cacat fisik atau
penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan sebagai
cacat mental sehingga tidak mampu melaksanakan
upaya politis untuk ”mempengaruhi” independensi
tugas dengan baik; atau karena kehilangan
BI sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan
kewarganegaraan Indonesia. Pemberhentian terhadap
kontur kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan
anggota Dewan Gubernur ini harus dilakukan dengan
dalam hubungan antarlembaga negara.
Keputusan Presiden.Selain itu, anggota Dewan Gubernur tidak dapat dihukum karena telah
Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian
mengambil keputusan atau kebijakan sesuai dengan
jabatan Gubernur BI pernah terjadi pada masa
tugas dan kewenangannya (Pasal 45). Sebagai
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-
tambahan, anggota Dewan Gubernur tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena kedudukannya (Pasal 47). Sementara itu, Pasal 43 mengatur bahwa wakil Pemerintah boleh hadir dalam Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa hak suara atau veto. Pelaksanaan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengalami dinamika sendiri.Ketika Bank Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan akibat ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka52 dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi53, maka bersamaan
52 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.
53 YPPI diduga mengalirkan ”dana gelap” sebesar Rp127,75 miliar di mana sebesar Rp96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp31,5 miliar diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid. Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April 1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya kembali menjadi YPPI. 54 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126. 55 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006. 56 Pardede adalah doctor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.
9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
2001). Waktu itu sang presiden ingin Prijadi
mengalami kegoncangan ketika ia mencalokan
Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi
Burhanuddin Abdullah sebagai calon tunggal ke DPR.
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ternyata tidak mungkin, karena menurut aturan yang
Jika ditelaah, sehubungan dengan pengusulan,
berlaku, Prijadi tidak lulus fit and proper test yang
pencalonan, dan pengangkatan Dewan Gubernur
diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan minta
menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk
2004 dapat dianalisis sebagai berikut. Dalam hal
mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar
pengisian jabatan Gubernur, maka mengandung
indikasi terlibat skandal Bank Bali. Syahril menolak
norma-norma: (i) pengangkatan dilakukan oleh
dan akhirnya memang dia memang dikriminalkan
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii)
dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum itu
pengusulan dilakukan secara pribadi oleh Presiden;
dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan
(iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau
perubahan terhadap undang-undang bank sentral
persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah
yang pada intinya memungkinkan Presiden mencopot
5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan
Gubernur BI pada masa jabatan jika dinilai tidak
masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam
mempunyai kinerja yang baik. Tetapi, seperti ditulis
masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan
oleh Kwik Kian
Gie57,
proses perubahan undang-
undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam
undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah
masa jabatan berikutnya; dan (vii) terdapat larangan
mencapai keberhasilan.
untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena kedudukannya. Selanjutnya untuk Deputi Gubernur
Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia,
Senior berlaku norma-norma sebagai berikut: (i)
Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara
pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan
mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari
Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan oleh
posisi Gubernur BI, karena yang bersangkutan menolak
Presiden secara pribadi; (iii) terdapat ketentuan
penerapan kebijakan Currency Board System (CBS)
mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan
untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar
tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (vi) ada
Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang
keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu
Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat
tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali
menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi
menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat
yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun
diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya;
1967.58
(vii) terdapat larangan rangkap jabatan kecuali karena
Barangkali Presiden Megawati Soekarnoputri
(2001-2004) yang beruntung karena pada masa
kedudukannya; dan (viii) pengangkatan dilakukan
jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak
secara berkala. Untuk tingkat Deputi Gubernur, ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengandung
57 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, hlm. 81. 58 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (19881993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (19982003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril Sabirin yang ”berprestasi” karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang paling independen semenjak berdirinya republik ini.
10
norma-norma sebagai berikut: (i) pengusulan dilakukan Bank Sentral kepada Presiden; (iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali
account the effects switching jobs might have on
karena kedudukannya; (viii) terdapat pengangkatan
both his personal and professional lives.”59 Dengan
jabatan secara bertahap; dan (ix) tidak ada wakil
adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka
Pemerintah dalam Dewan Gubernur.
akan timbul suatu penilaian bahwa “Rational candidates seeking to maximize their electoral
Diantara mekanisme pengisian jabatan Dewan
prospects must go hunting where the ducks are,
Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.
tailoring their appeal to those prospective voters who
3 Thn. 2004 terdapat hal yang perlu mendapatkan
are both likely to turn out and susceptible to
perhatian secara khusus. Jika diperhatikan, ketentuan
conversion”.60 Selanjutnya, “The important question
Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
here is whether the candidates know where there
2004 mengenai syarat rekrutmen bersifat sangat
are ducks and, having found them, if they can
umum yaitu hanya mencakup: (i) harus warganegara
distinguish the live birds from the decoys. More
Indonesia; (ii) harus memiliki integritas, akhlak, dan
specifically, if a potential candidate does not think
moral yang tinggi; serta (iii) harus memiliki keahlian
that there are enough voters in the area where he
dan pengalaman dalam bidang ekonomi, keuangan,
lives who will support his candidacy, he will likely
perbankan, atau hukum. Selain syarat warganegara,
choose not to run for office.”61
kedua syarat yang terakhir dapat dipilah menjadi 2 (dua) kategori yaitu kategori kompetensi moralitas
Di dalam praktik, “persetujuan” Dewan Perwakilan
dan kompetensi profesional. Untuk kompetensi
Rakyat menjalankan mekanisme “fit and proper test”
moralitas pengujiannya menjadi lebih abstrak
untuk mempertimbangkan calon Dewan Gubernur
dibandingkan dengan kompetensi profesional. Oleh
yang diajukan oleh Presiden. Mekansime itu sendiri
sebab itu, jika kedua persyaratan tersebut masuk
tidak diatur dalam UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.
dalam kualifikasi ”persetujuan” Dewan Perwakilan
3 Thn. 2004. Sementara dalam praktik, pelaksanaannya
Rakyat akan menimbulkan kompleksitas tersendiri.
merujuk kepada Peraturan Tata Tertib Dewan
Apalagi ”persetujuan” tidak semata-mata kata akhir,
Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan “fit and proper test”
akan tetapi juga mekanisme semenjak awal sampai
itu sebagai berikut: (i) Presiden menyampaikan surat
pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat.
resmi yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan
Dapat saja terjadi bahwa seorang calon mempunyai
Rakyat yang berisi daftar nama calon anggota Dewan
kapasitas profesional, akan tetapi bagaimanakah jika
Gubernur sejumlah 2 (dua) calon untuk masing-
proses pengujian kompetensi moralitas itu diwarnai
masing jabatan; (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
dengan tindakan-tindakan tercela seperti penyuapan
menerima surat tersebut dan kemudian menetapkan
atau korupsi, akankah hal tersebut berpengaruh
secara resmi penerimaan pengusulan calon tersebut;
kepada legitimasi calon? Sebaliknya, jika kompetensi
(iii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menindaklanjuti
moralitas tidak menimbulkan persoalan, apakah
dengan pemberitahuan kepada alat kelengkapan
klausula undang-undang mengenai ”mempunyai
terkait untuk melaksanakan “fit and proper test” dan
keahlian dan pengalaman” utnuk kompetensi
ditembuskan kepada tiap-tiap fraksi; (iv) Alat
profesional dapat diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
sebagai lembaga politik? Dalam pengisian jabatan tersebut, kategori yang hendak dicari adalah ”the values an individualplaces on the benefits of a central bank position.” Seperti
59 Lihat dalam: Watson, Richard A. and Rondal G. Downing, 2009, The Politics of the Bench and the Bar: Judicial Selection Under the Missouri Nonpartisan Court Plan. New York, John Wiley and Sons, Inc.
dikatakan oleh Watson dan Dwaning, dalam kategori
60 Ibid.
ini maka, “This is a series of decisions that takes into
61 Ibid.
11
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
kemudian melaksanakan kegiatan “fit and proper
kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi
test” yang biasanya terbuka untuk umum; (v) Alat
dasar pendapat untuk menyatakan validitas “fit and
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
proper test.” Sebagai sebuah realitas politik yang
kemudian menetapkan keputusan untuk menerima
kemudian menjadi ketentuan Undang-Undang proses
atau menolak calon yang diusulkan oleh Presiden,
semacam itu tidak perlu dinilai berlebihan terhadap
yang biasanya dengan pemungutan suara; (vi) Alat
Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pengisian jabatan
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
di Indonesia yang memerlukan persetujuan parlemen,
kemudian menyampaikan secara resmi keputusan “fit
akan tetapi persoalan yang sangat penting di
and proper test” kepada Ketua Dewan Perwakilan
Indonesia adalah keterputusan bias ideology antara
Rakyat dengan tembusan kepada alat kelengkapan
calon yang diputuskan dengan kinerja. Hampir
yang merencanakan kegiatan Dewan (Badan
persoalan itu tidak pernah muncul. Ideology resmi
Permusyawaratan); (vii) Ketua Dewan Perwakilan
partai nyaris tidak menjadi dasar untuk menguji
Rakyat kemudian menyampaikan hasil keputusan
kapasitas calon yang nantinya akan tercermin dalam
pencalonan tersebut dalam rapat paripurna menurut
putusan-putusan yang ditetapkan oleh calon.63
Peraturan Tata Tertib untuk dimintakan persetujuan kepada seluruh anggota Dewan, yang lazimnya
Ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
mengikuti apa yang sudah diputuskan alat kelengkapan
2004 sendiri tidak memberikan penjelasan terhadap
terkait; dan (viii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
makna “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat itu
menyampaikan keputusan Dewan kepada Presiden.
sendiri. Sebagai perbandingan, ketentuan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan UU No.
Selain perdebatan dari sisi legitimasi hukum mengenai
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.64
mekanisme dan pelaksanaan “fit and proper test”
Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kepolisian
persoalan juga mencakup isu batasan dan sifat
pertama kali pada masa pemerintahan Presiden
“pengujian” yang tidak tegas apakah mencakup
Megawati Soekarnoputri (2002), calon yang diajukan
kompetensi moralitas atau kompetensi profesional
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi
calon. Sebuah “fit and proper test” yang menilai
Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya satu
calon yang sudah memenuhi persyaratan Undang-
orang dan diikuti kemudian pada masa pemerintahan
Undang untuk jabatan tertentu seperti anggota
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan
Dewan Gubernur tentu lebih tepat apabila menguji
pengisian jabatan pada tahun 2005, 2007, dan 2009.65
kompetensi moralitas guna menemukan calon yang
Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional
mempunyai “kepribadian dan kecakapan yang tidak
Indonesia pertama kali dipraktikkan pada masa
tercela” seperti di Filipina. Menurut Moh. Nadjib
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Immanullah, pengujian itu mendekati mekanisme
untuk mengisi jabatan Panglima Tentara Nasional
“hearing” di Senat Amerika Serikat dalam menentukan calon anggota The Federal Reserve System.62 Tidak pada tempatnya, jika argumentasi ini diikuti, bahwa “fit and proper test” oleh lembaga politik semacam Dewan Perwakilan Rakyat merambah pengujian terhadap penilaian komptensi profesional calon. Akan tetapi, Hari Purwadi menolak jika sifat politik
62 Pendapat dalam Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.
12
63 Pendapat Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.,Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011. 64 Kedua undang-undang ini menindaklanjuti Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 65 Untuk pertama kali, Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Jenderal (Pol) Da’I Bachtiar sebagai satu-satunya calon dan preseden ini diikuti oleh Presiden Yudhoyono ketika mencalonkan Jenderal (Pol) Soetanto (2005), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Dhanuri (2007), dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo (2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Indonesia pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun 2008 dan
2010.66
Persoalan pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia
Sekalipun pada awalnya dikritik
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat amat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena hanya satu
erat dengan sifat independensi bank sentral. Dalam
calon, tetapi proses pemberian persetujuan selama
kasus Indonesia, independensi itu harus dipahami–
ini tidak pernah mengalami hambatan sama sekali.
yang dapat saja menunjukkan ketidakmutlakan
Artinya “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat
independensi itu–sekurang-kurangnya terhadap 3
menjadi bermakna operaisonal ketika calon yang
(tiga) aspek. Pertama, walaupun terdapat keterkaitan
diajukan oleh Presiden hanya satu.
antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral,
Pengalaman sebelumnya berbeda dalam pengisian
inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan
jabatan Gubernur Bank Indonesia. Untuk mengisi
moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi
jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang
secara keseluruhan, meskipun terpisah namun
Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calon–Agus
kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan,
Martowardoyo dan Raden Pardede--untuk
perdagangan, atau kebijaksanaan lainnya harus tetap
mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
saling mendukung. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat
(DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan
Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis,
setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada
maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar,
18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap
inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili
calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut.
kepentingan masyarakat pada umumnya.
Kemudian Presiden mengajukan Boediono (Menteri Koordinator Perekonomian) sebagai calon Gubernur
Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian
Bank Indonesia. Seperti sudah diramalkan oleh banyak
jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang
pihak, pencalonan Menteri Koordinator Perekonomian
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Boediono untuk posisi Gubernur Bank Indonesia
memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status
berjalan mulus. Pada 8 April 2008 yang lalu, Dewan
kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan
Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuan
nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme
bagi profesor ekonomi Universitas Gadjah Mada itu
itu guna menghindari politicking yang berlebihan.
untuk menduduki posisi di lembaga yang berperan
Untuk posisi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior,
penting sebagai otoritas moneter di republik ini. Atas
hendaknya dapat dilaksanakan dalam satu paket
dasar pengalaman itu, maka ketika Boediono menjadi
pemilihan. Presiden dapat menetapkan sendiri
Wakil Presiden (2009), untuk mengisi jabatan
mekanisme untuk pengusulan jabatan tersebut dan
Gubernur Bank Indonesia, Presiden mengajukan
masing-masing hanya satu calon untuk kemudian
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin
dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Nasution sebagai satu-satunya calon pada Oktober
Sementara itu, untuk anggota Dewan Gubernur,
2010 yang lalu dan memperoleh persetujuan Dewan
dalam hal ini Deputi Gubernur dilakukan pengisian
Perwakilan Rakyat. Ada kemungkinan bahwa praktik
jabatan secara berkala dan tidak perlu memerlukan
pengisian jabatan dengan mengajukan satu calon
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengusulan
akan menjadi konvensi ketatanegaraan.
calon dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden dan kemudian ditetapkan oleh Presiden. Pemisahan mekanisme yang berlaku untuk Gubernur dan Deputi Gubernur Senior dengan anggota Dewan
66 Presiden Yudhoyono mengajukan Marsekal Djoko Suyanto sebagai satusatunya calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (2005), lalu Jenderal Djoko Santoso (2008), dan Laksamana Agus Suhartono (2010).
Gubernur dilakukan minimal dengan 3 (tiga) alasan. Pertama, mengingat kelembagaan Bank Indonesia
13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
sebagai organ konstitusi dengan status yang
kebijaksanaan lainnya. Ketiga, dengan terpilihnya
independen, maka tugas dan wewenang Gubernur
pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang
dan Deputi Gubernur amat strategis karena mengelola
demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga,
sumber daya ekonomi dan politik sebagai otoritas
nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan
moneter menurut ketentuan Undang-Undang.
mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya.
Oleh sebab itu, sebagai mekanisme keseimbangan baru berdasarkan ”theory of combines process intitutionalized”, penting untuk dilakukan prosedur pemilihan yang mengikuti proses demokrasi politik terhadap kedua jabatan itu. Kedua, guna menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan political appointee, dapat saja diatur bahwa calon Gubernur diusulkan oleh Presiden, sedangkan kriteria Deputi Gubernur Senior diusulkan oleh Presiden dengan memperhatikan persyaratan bahwa calon yang bersangkutan telah pernah atau sedangkan menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur atau jabatan tertentu di lingkungan Bank Indonesia yang disetarakan dengan eselon I pada Kementerian/ Lembaga. Kedua, Deputi Gubernur amat dekat dengan fungsi teknokratis bank sentral, sehingga pengisian jabatan menggunakan pendekatan prinsip karir dibandingkan political appointee. Oleh sebab itu, penting untuk dipertimbangkan bahwa calon berasal dari lingkungan jabatan Bank Indonesia yang memenuhi syarat. Ketentuan-ketentuan tersebut mensyaratkan peninjauan kembali terhadap ketentuan Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. D. Kesimpulan Pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral yang di Indonesia harus dipahami menurut 3 (tiga) aspek, yaitu pertama, walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan sehingga tidak artinya memisahkan kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau
14
DAFTAR PUSTAKA
Abner S. Greene, “Checks andBalances in an Era of Presidential Lawmaking”, 1994, University Chicago Law Review Vol. 61. Adam N. Steinman, “A Constitution for Judicial Lawmaking”, University of Pitsburgh Law Review, 2004, Vol. 64. Adam Posen, “Why Central Bank Independence Does Not Cause Low Ination: There is No Institutional Fix for Politics”, dalam Finance and the International Economy 7: The Amex Bank Review Prize Essays, Oxford: Oxford University Press, 2003. Amy J. Weisman, “Separation of Powers in Post-Communist Government: A Constitutional Case Study of the Russian Federation”, American University Journal of International Law and Policy, 1995, Vol. 10. Alison Marston Danner, “Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the International Criminal Court and the Independent Counsel”, Stanford Law Review, 2003, Vol. 20, No. 55. Andrews Heywood, 2002, Politics, New York, Palgrave. Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila. Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengkera Normatif, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita. Allan Drazen, “Central Bank Independence, Democracy, and Dollarization”, Journal of Applied Economics, Vol. V, No. 1, May 2002. Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama, 2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu, Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bernard Schwartz, “Curiouser and Curiouser: The Supreme Court’s Separation of Powers Wonderland”, Notre Dame Law Review, 1990, Vol. 65. Bill Orr, “Are the IMF and the World Bank on the right tack?”, ABA Banking Journal, Marc 1990. Bordo Michael D. dan Kydland Finn E., “The Gold Standard As a Rule: An Essay in Exploration, Explorations”, Economic History, 2005, Vol. 32, No. 4. Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford, OxfordUniversity Press.
15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University Press. Brucke Ackerman, “The New Separation of Power”, Harvard Law Review, No. 3 Vol. 113, Januari 2000. B.S. Bernanke and F.S. Mishkin, “Inflation targeting: A new framework for monetary policy?”,The Journal of Economic Perspectives, Vol.11, No. 2 1997. Calvin Jillson dan Rick K. Wilson, 1994, Congressional Dynamics: Structure, Coordination, and Choice in the First American Congress, 1774–1789, Stanford, Stanford University Press. Carl Levin, “The Independent Counsel Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance”, 1987, Hofstra Law Review, No. 16. C.D. Romer, ”Is the Stabilization of the Postwar Economy a Figment of the Data?”, The American Economic Review, 2006, Vol. 76, No. 3. Christopher A. Ford, “The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience”, Case West of Journal International Law, 1996, Vol. 28 No. 3. Clive B. Briault, et.al., “Independence and Accountability”, Bank of England Working Papers Series, No. 49. Cukierman, 1992, Central Bank Strategy, Credibility, and Independence, Cambridge: MIT Press. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press. Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi Press. John D. Huber and Charles R. Shipan, Deliberate Discretion? The Institutional Foundationsof Bureaucratic Autonomy, New York, Cambridge University Press, New York, 2002. John Ferejohn and Charles Shipan, “Congressional Inuence on Bureaucracy”, Journal of Law, Economics, and Organization, 1990, Vol. 6. John Ferejohn, “Judicializing Politics, Politicizing Law”, Law & Contemporer Problems, 2002, Vol. 65. Maqdir Ismail, “Independensi Bank Sentral dalam UU dan Praktik di Indonesia”, Jurnal Legislasi, Vol. 3, No. 3, September 2006. Marc Flandreau, “The French Crime of 1873: An Essay on the Emergence of the International Gold Standard, 18701880”, The Journal of Economic History, 1996, Vol. 56, No. 04. M. Dawam Rahardjo et.al., 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo.
16
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta, Penerbit Kanisius. Martin A. Rogoff, “The French (R)evolution of 1958–1998”, Columbia Journal of Europe, Vol. 3. Martin S. Flaherty, “The Most Dangerous Branch”, 1988, Yale Law Journal No. 105. P. L. Siklos, 2002, The Changing Face of Central Banking, Cambridge: Cambridge University Press. R. Bade dan M. Parkin, 1984, Central Bank Laws and Monetary Policy, Department of Economics, University of Western Ontario, Canada. R.B. Barsky,” The Fisher Hypothesis and the Forecastability and Persistence of Inflation”, Journal of Monetary Economics, 2007, Vol. 19, No. 1. R.J. Barro dan Gordon D. B. Gordon, “A Positive Theory of Monetary Policy in a Natural-Rate Model”, Journal of Political Economy, 2003, Vol. 91. Rett R. Ludwikowski, “Mixed” Constitutions – Product of an East-Central European Constitutional Melting Pot”, Birmigham International Law Journal, 1998, Vol. 1 No. 16. Robert Elgie, “Democratic Accountabilyt and Central Bank Independence”, Wets European Politics, 1998, Vol. 21, No.3. Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New York, Free Press. Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard University Press. Stanley Fisher, “Central Bank Independence Revisited”, AEA Paper and Proceeding, 1995, Vol. 85, No. 2. Stephen G Cecchetti, “Making Monetary Policy: Objectives and Rules”, Oxford Review of Economic Policy, 2000, Vol.16, No. 4. Thomas Hart Benton, 1990, Abridgment of the Debates of Congress, from 1789 to 1856, D. Appleton and Company, New York. Sain Gailmard dan John W. Patty, “Separation of Power, Information, and Beuracratic Structure”, Working Paper Series September 2008. Skully Ahsan & Wickramanayake, “Determinants of Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy Implications, JOAAG, Vol. 1. No. 1, 2006. Soebagijo, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Stanley Elkins dan Eric McKittrick, 1993, The Age of Federalism: The Early American Republic: 1788-1800, New York, Oxford University Press. Stephen L. Carter, “The Independent Counsel Mess”, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988. Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung, Penerbit Alumni. Sudarwan Darwin, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia. Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University Press. Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional Law, Boston, LittleBrown. Thomas W. Merrill, “The Constitution and the Cathedral: Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco Advertising”, New York University Law Review, Vol. 93, 1999. Thomas O. Sargentich, “The Contemporary Debate about Legislative-Executive Separation of Powers”, Cornell Law Review, 1997, Vol. 72. T.J. Jordan, “Disinflation Costs, Accelerating Inflation Gains, and Central Bank Independence”, Weltwirschaftliches Archive Vol 133. Ubdaibir S. Das, et.al., “Financial Regulators”, A Quartley Magazine of the IMF, 2002. V.D. Grilli Masciandaro dan G. Tabellini , “Institutions and Policies”, Economic Policy , 1991, Vol. 6. V. Grilli, D. Masciandaro, dan G. Tabellini, “Political and Monetary Institutions and Public Financial Policies in the Industrial Countries”, Economic Policy, 1991, Vol. 6. Wahyudi Djafar, “Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Oktober 2010. William B. Gwyn, “The Indeterminacy of Separation of Powers”, George Washington Law Review, 1999. William Poole, “Central Bank Transparancy: Why and How?”, The Philadelphia Fed Policy Forum Federal Reserve Bank of Philadelphia, 2001, No. 30.
18
OUTLOOK PENGAWASAN PERBANKAN PASCA TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN 1
Oleh : Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.2
Abstrak Blurry effect di perbankan dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari.Dengan adanya blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Kunci keberhasilan Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Selain itu, untuk mencapai sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi normal maupuan kondisi krisis. Kata kunci: pasca OJK, pengawasan perbankan.
A. Pendahuluan
perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan ke kondisi sebelum krisis.3
Krisis ekonomi yang terjadi baik dalam skala nasional
1
2
maupun internasional, kerap melahirkan krisis multi
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2008, kembali
dimensi, baik dari sektor perbankan, keuangan,
terjadi krisis ekonomi dunia yang merupakan domino
maupun terhadap biaya sosial yang timbul dan
effect dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat
berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap
yang menggelembung (bubble) dan mengakibatkan
perbankan nasional. Krisis ekonomi yang menghantam
kesulitan solvabilitas serta berdampak pada
Asia di tahun 1997-1998 misalnya, dimana krisis ini
dilikuidasinya berbagai lembaga keuangan di negara-
dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Bath di Thailand
negara besar yang ada di dunia, yang antara lain
yang kemudian berimbas pada penambahan beban
menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan
perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk
sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis
Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi
kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-
minus 13%. Sementara dari segi sosial, diperlukan
negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura,
waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan
Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia.4
Resume dari Penulisan Hukum milik Penulis yang berjudul “Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia”, pada Agusutus 2012. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
3
Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta, hal. 1.
4
Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, Hal. 12.
19
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa
financial conglomerates, which is likely to produce
salah satu penyebab runtuhnya perekonomian
important changes in the nature and dimensions of
Indonesia saat itu adalah karena dengan sejumlah
the individual intermediaries, as well as in the degree
tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di
of consolidation of the banking and financial industri;
bidang moneter, mengakibatkan terpecahnya fokus
and (2) growing securitization of the traditional forms
Bank Indonesia antara kebijakan moneter, kestabilan
of banking activity and the proliferation of sophisticated
nilai rupiah dan pengawasan perbankan, sehingga
ways of bundling, repackaging, and trading risks,
kinerja Bank Indonesia tidak menjadi optimal ketika
which weaken the classic distinction between equity,
menangani krisis. Hal ini seperti inilah yang kemudian
debt, and loans, bringing changes in the nature and
menjadi alasan dirumuskannya suatu konsep
dimensions of the financial markets”7. Dengan adanya
pemisahan tugas pengawasan perbankan nasional
blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk
dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral kepada suatu
pengawasan yang terintegrasi antara perbankan,
Lembaga Pengawas Jasa Keuangan5, dengan tujuan
pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan
agar Bank Indonesia dapat fokus untuk melakukan
non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari
tugasnya dalam pengaturan kebijakan moneter.
fenomena tersebut.
Disisi lain, pesatnya pertumbuhan dan kemajuan di
Selanjutnya Prof. Donato Masciandro juga
bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, telah
mengungkapkan bahwa dengan diperlukannya suatu
menciptakan kompleksitas kegiatan jasa keuangan
pengawasan yang terintegerasi, maka muncul suatu
yang dinamis dan saling terkait antar masing masing
perdebatan terkait bentuk lembaga pengawasnya,
subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun
yakni berupa Multi Financial Authorites ataukah
kelembagaan, sehingga mendorong pertumbuhan
Single Financial Authority, dan menurut beliau, apabila
entitas bisnis menjadi suatu bentuk konglomerasi
melihat kesuksesan beberapa negara Eropa dan Asia,
yang menawarkan berbagai produk keuangan di lini
maka bentuk Single Financial Authority merupakan
bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun
solusi yang terbaik.8
lembaga pembiayaan non bank lainnya secara sekaligus. Hal seperti ini kemudian menimbulkan
Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri
suatu blurry effect di dunia bisnis perbankan sehingga
pembentukan Financial Authority di amanatkan dalam
dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko
Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun
finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup
1999 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2004,
konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang
dimana dikatakan bahwa; “Tugas mengawasi Bank
dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh
akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
sistem keuangan nasional di kemudian
hari6.
Undang-undang”, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Donato Masciandaro mengatakan bahwa “The blurring effect causes two
Namun urgensi dan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan
interdependent phenomena: (1) the emergence of
ini kemudian menjadi dipertanyakan, mulai dari segi
5
Vide Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
6
Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”, Jakarta, hal. 9.
20
7
DonatoMasciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco, hal. 1.
8
Ibid, hal. 2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
legalitas Otoritas Jasa Keuangan (yang seharusnya terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember
20109
negara berkembang adalah fungsi pengawasan yang tetap berada di bawah Bank Sentral.
namun pada praktiknya baru terbentuk pada 22 November 2011), hingga manfaat atas dibentuknya
Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik
lembaga ini.
struktur finansial antara negara berkembang dengan negara maju seperti adanya penggunaan sistem
Beberapa pakar ekonomi dan perbankan menyatakan
perbankan, dimana pada negara maju seperti Eropa
bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidaklah
dan Jepang, menggunakan Universal Banking System
memberikan manfaat yang signifikan, salah satunya
sehingga memerlukan suatu bentuk pengawas yang
adalah karena pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
terintegerasi. Sementara di negara-negara berkembang
tentunya akan berpotensi menimbulkan konflik
seperti di ASEAN, lebih mengandalkan Commercial
dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Hal
Banking System sehingga tidak diperlukan lembaga
tersebut tercermin dalam Undang-undang Otoritas
pengawas yang mengawasi jasa keuangan secara
Jasa Keuangan yang memisahkan antara kewenangan
terintegerasi.
microprudential dan macroprudential. Disisi lain, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat
juga menimbulkan suatu masalah tersendiri. Hal ini
dominan dalam transmisi kebijakan moneter, sehingga
dapat dilihat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang
Bank Sentral dalam menjalankan fungsi moneternya,
pada pokoknya mengatur adanya kewajiban pelaku
haruslah memiliki informasi yang cukup atas
kegiatan di sektor keuangan (salah satunya adalah
pertumbuhan dan pergerakan bank di negaranya.
bank) untuk membayar pungutan kepada Otoritas
Apabila Bank Sentral tidak mendapatkan cukup
Jasa Keuangan selaku pengatur dan pengawas jasa
informasi, maka ketika terjadi krisis, respon yang
keuangan. Adanya kewajiban ini menjadi suatu
dikeluarkan oleh Bank Sentral pun akan menjadi
permasalahan tersendiri, karena bagaimana mungkin
lambat, sementara Otoritas Jasa Keuangan pun pasti
pengawasan perbankan dapat menjadi efektif apabila
tidak dapat berbuat banyak karena fungsi Lender of
Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas memungut
Last Resort berada di tangan Bank Sentral. Alhasil,
bayaran dari obyek yang diawasi, hal ini sangat
dengan pemisahan kewenangan seperti itu, maka
berpotensi menimbulkan terjadinya moral hazard
dikhawatirkan kinerja kedua lembaga tersebut tidak
antara Otoritas Jasa Keuangan dan bank, sehingga
akan optimal.
sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang dilakukan akan berupa pengawasan yang “tebang
Selain itu, Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano
pilih” dan tidak Independen. Alhasil, pengawasan
mengemukakan bahwa “The Central Bank of 48
yang semula ditujukan untuk meringankan tugas Bank
Countries (57% of total) have the authority of banking
Indonesia, hanya akan menjadi suatu permasalahan
supervison and of these 48 countries, 39 (81%)
baru.
are developing and emerging
economies.”10
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk pengawasan yang paling banyak dipilih oleh negara
B. Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia
9
Vide Pasal 34 ayat (2) UU 3/04 tentang Bank Indonesia.
10 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute, hal. 10.
Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki tujuan tunggal yakni untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter, penyelenggaraan sistem pembayaran yang
21
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
aman dan efisien serta pengaturan dan pengawasan
lebih independen karena akan membuat Otoritas
bank. Sebagai evaluasi atas dua krisis keuangan besar
Jasa Keuangan menjadi tidak tergantung pada
yang menimpa Indonesia, yakni krisis keuangan asia
pemerintah. Hal tersebut, sejalan dengan yang
1997/1998 dan krisis keuangan global 2008/2009,
disampaikan oleh Sigit Pramono, dimana ia
maka sebagai upaya untuk menghindarkan krisis
mengatakan bahwa jika dana operasional Otoritas
atau setidaknya meminimalkan dampak ketika krisis
Jasa Keuangan berasal dari APBN, maka
di masa akan datang, sekaligus membantu Bank
independensi Otoritas Jasa Keuangan tentu akan
Indonesia untuk fokus dalam tugasnya mencapai
sangat minim.11
kestabilan moneter maka pengaturan dan pengawasan bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Namun demikian, dengan adanya konsep pungutan yang dilakukan oleh lembaga pengawas
Namun demikian, pembentukan Otoritas Jasa
terhadap objek pengawasannya, maka tentu akan
Keuangan dengan serangkaian ketentuannya, dirasa
berpotensi sangat besar untuk menimbulkan suatu
memiliki potensi untuk menimbulkan konflik antara
ekses, yang pada gilirannya akan memberikan
Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia.
dampak negatif pada independensi, akuntabilitas serta kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan dalam
1. Konflik dalam Sumber Pendanaan Otoritas
melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan
Jasa Keuangan
dalam sektor jasa keuangan.
Anggaran pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan
a) Timbulnya Moral Hazards
merupakan salah satu hal yang cukup banyak
Salah satu permasalahan yang berpotensi
disoroti oleh berbagai kalangan, baik akademisi,
untuk muncul apabila Otoritas Jasa Keuangan
praktisi perbankan maupun dari pihak Bank
mengenakan pungutan adalah adanya
Indonesia sendiri. Hal tersebut dikarenakan di
pandangan bahwa pungutan tersebut akan
dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 21 tahun
berpotensi menimbulkan moral hazard antara
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan
Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas
bahwa Otoritas Jasa Keuangan memiliki
dengan para pelaku sektor jasa keuangan,
kewenangan untuk menarik pungutan terhadap
dalam hal ini perbankan misalnya, selaku objek
setiap pelaku di sektor jasa keuangan yang mana
yang diawasi, sehingga sangat dikhawatirkan
salah satunya berasal dari sektor perbankan, dan
nantinya pengawasan yang dilakukan oleh
sehubungan dengan kewenangan itu pula maka
Otoritas Jasa Keuangan akan berupa
setiap pelaku di sektor jasa keuangan kemudian
pengawasan yang “tebang pilih” dan tidak
dibebani dengan kewajiban untuk membayar
Independen.
pungutan tersebut. Pemberlakuan kewenangan untuk melakukan Secara filosofis, pungutan yang dikenakan oleh
pungutan ini, diawali oleh pandangan bahwa
Otoritas Jasa Keuangan ini pada hakikatnya
apabila mengacu kepada bentuk pendanaan
ditujukan sebagai sumber alternatif dalam
operasional BaFin di Jerman maupun APRA
pendanaan operasional Otoritas Jasa Keuangan,
di Australia, maka dapat diketahui bahwa
yang mana pada awalnya, sumber pendanaan
para auditee juga melakukan pembayaran
Otoritas Jasa Keuangan berasal dari APBN.
kepada lembaga pengawas tersebut, sehingga
Sehingga dengan adanya pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka tentunya diharapkan akan membuat Otoritas Jasa Keuangan
22
11 Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
independensi dari lembaga pengawas menjadi
daripada pengawasan yang dilakukan terhadap
lebih independen karena tidak tergantung dari
auditee yang membayar dengan nilai yang
anggaran negara. Namun disini penulis
lebih kecil.
berpendapat bahwa, meskipun sisi positif dari ketentuan mengenai pungutan ini adalah akan
Sehubungan dengan pendapat di atas, dan
memberikan independensi terhadap Otoritas
seperti yang telah dijelaskan pada bab
Jasa Keuangan, khususnya dalam hal financial
sebelumnya, perbankan merupakan sektor
independence, namun pembentuk Undang-
jasa keuangan yang memiliki 2 (dua)
undang juga seharusnya memperhatikan
karakteristik utama. Pertama, perbankan
bahwa kondisi sosial-bisnis di suatu negara
merupakan sektor jasa keuangan yang tumbuh
tentu berbeda dengan kondisi sosial-bisnis di
dan berkembang atas dasar kepercayaan dari
negara lainnya. Sementara apabila melihat
masyarakat, yang mana terlihat dari adanya
Indonesia sendiri, dapat diketahui bahwa
penghimpunan dana yang berasal dari
kondisi sosial-bisnis di Indonesia sebagai Negara
masyarakat. Sementara karakteristik kedua,
berkembang, khususnya di dalam industri
adalah bahwa perbankan merupakan sektor
sektor jasa keuangan seperti perbankan
jasa keuangan yang sangat rentan terhadap
misalnya, masih sangat rentan terhadap moral
berbagai macam risiko, baik risiko kredit, risiko
hazards yang berkembang.
likuiditas, risiko hukum, risiko operasional maupun risiko sistemik.
Moral Hazard yang penulis maksud dalam hal ini adalah bahwa tingkat kedisiplian seperti
Apabila dengan adanya pungutan yang
dalam hal pelaksanakan Good Corporate
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ini
Governance oleh para auditee akan cenderung
kemudian mengakibatkan pengawasan
menurun seiring dengan meningkatnya celah-
menjadi lebih longgar atau tidak prudent,
celah hukum dalam ketentuan perundang-
maka nantinya fungsi pengawasan yang
undangan, sehingga nantinya akan
pada hakikatnya ditujukan untuk dapat
memberikan dampak pada kepercayaan
meminimalisir risiko-risiko di sektor perbankan
masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.
sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan, tidak akan
Pasal 37 UU Otoritas Jasa Keuangan yang
tercapai. Sehingga pada gilirannya nanti, akan
memberikan ketentuan adanya pungutan ini,
memberikan dampak terhadap stabilitas sistem
dapat dikatakan merupakan celah hukum
keuangan yang merupakan tanggung jawab
yang sangat berpotensial menimbulkan moral
macroprudential dari Bank Indonesia.
hazards tersebut. Hal ini dikarenakan dengan adanya pungutan ini, maka dikhawatirkan
b) Biaya Ekstra
bahwa para auditee akan lebih cenderung
Selain potensi moral hazards yang akan
untuk berpikir bahwa lebih baik membayar
mungkin ditimbulkan, permasalahan lainnya
untuk tidak diawasi, daripada membayar
adalah dengan adanya pungutan ini, maka
namun diawasi dengan lebih ketat, dan
nantinya akan membebani industri perbankan.
sekalipun memang harus diawasi maka
Hal ini dikarenakan, sebagai sektor yang sangat
auditee yang membayar dengan nilai yang
rentan terhadap risiko, maka Bank Indonesia
lebih tinggi tentu memiliki daya tawar untuk
selaku bank sentral memiliki kewenangan
menekan Otoritas Jasa Keuangan agar
untuk menentukan besaran jumlah Giro Wajib
melakukan pengawasan secara lebih longgar
Minimum yang harus disediakan oleh setiap
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
bank,12 sementara Lembaga Penjamin
lebih dari sebelum adanya Otoritas Jasa
Simpanan selaku lembaga penjamin dalam
Keuangan. Dengan demikian, dikhawatirkan
sektor perbankan, juga mewajibkan kepada
tanggung jawab Bank Indonesia di bidang
setiap bank untuk membayar premi secara
moneter nantinya akan terganggu.
berkala kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagai bentuk penjaminan.13
2. Konflik dalam Disparitas Kewenangan
Apabila sektor perbankan kemudian dibebani
Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki
lagi dengan biaya tambahan berupa adanya
tanggung jawab untuk mencapai dan menjaga
kewajiban pungutan yang harus dikeluarkan
stabilitas moneter sekaligus stabilitas sistem
oleh bank kepada Otoritas Jasa Keuangan,
keuangan. Kedua stabilitas tersebut merupakan
maka tentu akan sangat membebani
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan
operasional perbankan, yang mana hal tersebut
harus selalu disinergikan untuk mencapai
tentunya akan berimbas pada jumlah dana
kestabilan nilai rupiah. Hal tersebut dikarenakan
yang dapat dikucurkan oleh bank kepada
kebijakan moneter memiliki dampak terhadap
masyarakat dalam bentuk kredit.
stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, dimana stabilitas keuangan merupakan pondasi dasar
Permasalahan alokasi kredit tersebut patut
dalam penentuan arah kebijakan moneter untuk
untuk dikhawatirkan, karena hingga saat ini,
mencapai stabilitas moneter.
salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Bank Indonesia adalah terkait kurang
Muliaman D. Hadad mengatakan bahwa secara
optimalnya alokasi kredit yang dilakukan oleh
umum stabilitas sistem keuangan memperlihatkan
perbankan, karena meskipun Bank Indonesia
ketahanan keuangan terhadap goncangan
telah menurunkan BI Rate secara signifikan,
perekonomian, sehingga fungsi intermediasi,
namun pertumbuhan Loan to Deposit Ratio
sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap
(LDR) belum meningkat sesuai dengan apa
berjalan dengan semestinya. Sementara stabilitas
yang diharapkan, sehingga Bank Indonesia
moneter hanya dapat terwujud dengan adanya
selalu mencari jalan untuk mengarahkan
stabilitas sistem keuangan, karena sistem keuangan
perbankan agar dapat menekan biaya
merupakan media transmisi kebijakan moneter.14
operasionalnya, serta menurunkan bunga
Selanjutnya, dikatakan pula bahwa stabilitas
pinjaman. Dengan demikian, alokasi kredit
menjadi penting karena sistem keuangan yang
dapat lebih ditingkatkan, sehingga dapat
stabil akan menciptakan kepercayaan para
mendorong perkembangan ekonomi.
penyimpan dana dan investor untuk menanamkan
Permasalahannya adalah apabila industri
dananya pada lembaga keuangan. Dengan
perbankan kemudian harus dibebani lagi
kestabilan sistem keuangan, akan mendorong
dengan biaya ekstra untuk membiayai
fungsi intermediasi keuangan yang efisien,
operasional Otoritas Jasa Keuangan, maka
sehingga pada akhirnya mendorong investasi dan
dikhawatirkan LDR perbankan akan terganggu,
pertumbuhan ekonomi, mendorong semakin beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumber daya perekonomian.15
12 Vide PBI No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing. 13 Vide Pasal 6 ayat (1) butir a jo. Pasal 9 butir c UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
24
14 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 136. 15 Ibid., hal. 137.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Secara umum, pemantauan dan penilaian terhadap
Services (FSS) yang memiliki kedudukan sejajar
stabilitas sistem keuangan dilakukan dengan dua
dengan BoK.17
pendekatan, yakni macroprudential dan microprudential. Dalam prakteknya otoritas yang
a) Arah Kebijakan
melaksanakan macroprudential membutuhkan
Selama ini, kebijakan Bank Indonesia di sektor
akses yang cepat dan mudah terhadap data
moneter dibuat dengan memperhatikan
microprudential dan kewenangan resmi tanpa
kebijakan di sektor perbankan dan sistem
hambatan untuk memperoleh data tambahan
pembayaran, sehingga kebijakan di ketiga
lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global
sektor tersebut dapat berjalan beriringan dan
yang terjadi telah membrikan pelajaran bahwa
saling mendukung. Hal ini dapat dilakukan
sangat diperlukan hubungan yang erat antara
karena Bank Indonesia memiliki kewenangan
kewenangan dalam microprudential dan
baik kewenangan secara macroprudential,
kewenangan dalam macroprudential dalam
maupun secara microprudential, sehingga
merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat pada
Bank Indonesia memiliki keleluasaan untuk
saat genting. Namun dengan adanya otoritas jasa
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan
keuangan, berarti ada pemisahan secara tegas
dari masing-masing sektor secara cepat dan
antara pengawasan yang bersifat microprudential
menyeluruh, dan selanjutnya dijadikan dasar
dan pengawasan yang bersifat macroprudential
untuk mengeluarkan kebijakan.
terhadap lembaga keuangan/bank di Indonesia. Padahal kedua aspek microprudential dan
Ferguson menyatakan bahwa hubungan
macroprudential adalah aspek yang sulit untuk
antara kebijakan moneter, kelancaran sistem
dipisahkan karena keduanya akan saling
pembayaran dan kondisi perbankan merupakan
mempengaruhi sehingga dalam perkembangan
hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena
pemikiran di beberapa negara yang menerapkan
informasi yang diperoleh Bank Sentral dari
pemisahan justru ada upaya untuk menyatukan
pengawasan bank memiliki peran yang sangat
kembali.16
penting dalam proses pembuatan kebijakan moneter, begitupun sebaliknya dimana
Di Korea Selatan misalnya, pemisahan
stabilitas sektor moneter memberikan
kelembagaan otoritas pemangku kewenangan
kontribusi yang sangat besar bagi arah
makromoneter dan mikroperbankan yang
pengembangan sektor perbankan. Sehingga
dilakukan pada tahun 1999, atas saran dari IMF,
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Bank
justru berujung pada kurang pekanya institusi
Sentral dapat mengeluarkan kebijakan moneter
pemangku otoritas keuangan di negara tersebut
yang baik karena memiliki kewenangan
dalam merespon guncangan krisis pada tahun
terhadap pengawasan bank, dan sebaliknya
2008. Bank of Korea (BoK), sebagai institusi
Bank Sentral dapat pula mengeluarkan
pemegang otoritas makromoneter menjadi lemah
peraturan yang tepat terhadap pengembangan
dan tidak memiiliki akses langsung pada kondisi
perbankan, karena Bank Sentral memiliki
perbankan pada saat yang krusial. Sebab akses
kewenangan di bidang moneter.18
pada data dan kondisi perbankan dimonopoli oleh satu institusi lain, yakni Financial Supervisory 17 Ibid.,hal. 168.
16 Ibid.,hal. 167.
18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Sehubungan dengan pendapat diatas, penulis
secara cepat dan tepat waktu dalam mengakses
berpendapat bahwa apabila kewenangan
dan mendapatkan informasi perbankan
microprudential dipisahkan dari Bank Indonesia
yang dibutuhkan, tetapi juga terletak pada
selaku Bank Sentral, maka dikhawatirkan arah
pengumpulan infomasi yang digunakan
perkembangan kebijakan perbankan yang
lembaga pengawas, sangat berbeda dengan
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, akan
informasi yang dibutuhkan oleh Bank Sentral
cenderung dilakukan tanpa melihat bagaimana
selaku otoritas moneter. Hal ini dikarenakan
dampak dari kebijakan perbankan tersebut
lembaga pengawas hanya akan terfokus untuk
terhadap sektor moneter. Hal ini dikarenakan
menjaga kesehatan industri perbankan,
arah kebijakan moneter dan perbankan
sehingga secara alamiah akan memiliki
cenderung untuk bertolak belakang antara
pandangan yang berbeda dengan pandangan
satu dengan lainnya. Ini dapat dilihat dimana
dari otoritas moneter.19
otoritas moneter cenderung untuk menaikan rate, yang mana hal tersebut ditujukan agar
Pihak dari Bank Indonesia mengatakan bahwa,
target inflasi dapat dicapai dengan baik ataupun
selama ini ketika kewenangan microprudential
dijaga kestabilannya. Sementara disisi lain,
masih dimiliki oleh Bank Indonesia, maka Bank
perbankan ingin agar rate yang rendah agar
Indonesia akan terbantu dalam menentukan
bank dapat melakukan investasi dengan lebih
arah kebijakannya, karena dalam setiap
banyak. Penyesuaian dari kedua pandangan
kebijakan moneter yang dikeluarkan atau dalam
seperti ini diperlukan, karena apabila ratenya
perhitungan risiko didalam sistem pembayaran,
telalu tinggi, maka investasi tidak akan lancar,
khususnya terkait kebijakan macroprudential
sehingga pergerakan dan pertumbuhan
yakni stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia
perekonomian negara menjadi lambat.
selalu mempertimbangkan kondisi micro yang
Sementara apabila ratenya terlalu rendah,
ada di sektor perbankan. Contohnya adalah
maka pergerakan arus ekonomi dapat menjadi
ketika negara sedang menghadapi krisis
terlalu cepat, sehingga tidak bagus pula
ekonomi, maka BI Rate yang ditentukan pun
bagi pertumbuhan ekonomi negara. Oleh
akan menyeseuaikan dengan kondisi micro
karenanya, maka Bank Sentral pada dasarnya
dari sektor perbankan. Hal ini dapat dilihat
memerlukan kewenangan microprudential
ketika kondisi perbankan sedang baik atau
dan macroprudential agar kebijakan yang
kondisi perekonomian sedang lesu, maka BI
dikeluarkan dapat mensinergikan antara
Rate akan dipertahankan atau diturunkan,
kebijakan moneter dan kebijakan sistem
dengan demikian penyaluran kredit dari bank
keuangan.
akan lebih lancar. Sementara ketika perbankan sedang tidak sehat atau pertumbuhan
Pendapat penulis diatas juga didukung oleh
perekonomian terlalu cepat, maka BI Rate akan
pendapat Haubrich yang juga mengatakan
dinaikan, dengan demikian kondisi permodalan
bahwa permasalahan adanya pemisahan
dari perbankan dapat senantiasa terjaga, dengan
kewenangan microprudential tidak hanya
terjaganya permodalan dari bank, maka potensi
terletak pada keterbatasan Bank Sentral untuk
untuk collapse-nya bank akan terminimalisir.
18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .
19 Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland, hal. 8.
26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Dengan berbagai pendapat diatas, maka
Penulis menilai bahwa, potensi terjadinya
penulis berpendapat bahwa dengan adanya
konflik dalam pengalihan kewenangan
pengalihan kewenangan microprudential
microprudential kepada Otoritas Jasa Keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka potensi
juga dapat dilihat dari sistem pembayaran ini,
konflik yang paling rentan terjadi adalah kondisi
dimana risiko-risiko dalam perbankan hanya
dimana masing-masing otoritas, yakni Bank
dapat diketahui oleh Bank Indonesia apabila
Indonesia selaku otoritas moneter dan Otoritas
Bank Indonesia memiliki informasi yang cukup
Jasa Keuangan selaku otoritas perbankan,
terkait perbankan, dan informasi yang
akan mengeluarkan kebijakan yang cenderung
dibutuhkan tersebut hanya dapat diakses
yang saling bertentangan satu sama lainnya
secara penuh apabila Bank Indonesia memiliki
apabila informasi yang dimiliki oleh masing-
kewenangan dalam microprudential. Apabila
masing otoritas tidaklah secara menyeluruh.
kewenangan microprudential tersebut kemudian dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan,
b) Sistem Pembayaran
maka di khawatirkan Bank Indonesia selaku
Sistem pembayaran merupakan bagian yang
lembaga settlement tidak akan dapat
tidak terpisahkan dari sistem keuangan dan
melakukan penilaian terhadap risiko secara
perbankan suatu negara. Keberhasilan sistem
penuh terhadap bank peserta kliring, sehingga
pembayaran akan menunjang perkembangan
ditakutkan nantinya Bank Indonesia tidak
sistem keuangan dan perbankan, sebaliknya
dapat/terlambat dalam mengatasi kesulitan
risiko ketidaklancaran atau kegagalan sistem
bank, apabila tiba-tiba terdapat bank yang
pembayaran akan berdampak negatif pada
mengalami gagal bayar atau terlambat bayar.
kestabilan ekonomi secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem
Salah satunya adalah terkait kontrol terhadap
pembayaran perlu diatur dan dijjaga keamanan
risiko sistemik, yaitu risiko yang muncul ketika
serta kelancarannya oleh bank sentral, sekaligus
suatu bank tidak dapat mengatasi atau
sebagai otoritas sistem
pembayaran.20
terlambat mengatasi risiko kredit atau risiko likuiditas yang berkepanjangan, dan ketika
Sejalan dengan hal diatas, Bank Indonesia
hal tersebut berdampak pada bank-bank
selaku Bank Sentral dan otoritas sistem
lainnya, dan terlambat untuk diantisipasi secara
pembayaran di Indonesia tentu kemudian
cepat oleh bank sentral, maka tentu akan
memiliki kewenangan dan tanggung jawab
berdampak pada stabilitas sistem keuangan
sebagai lembaga settlement,21 yang mana
secara menyeluruh.
bertugas untuk mengatur mekanisme transaksi atau pelunasan warkat antar bank, serta
Jika dengan pengalihan microprudential ini
melakukan penilaian terhadap risiko-risiko
mengakibatkan Bank Indonesia tidak dapat
yang sedang/atau akan dihadapi oleh bank-
atau terlambat mengakses informasi-informasi
bank selaku peserta kliring.22
yang diperlukan dalam pengaturan risiko, maka tentu akan memicu timbulnya potensi kekacauan stabilitas keuangan yang seharusnya dijaga oleh Bank Indonesia, karena salah satu
20 Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta, hal. 209
pilar dari kestabilan sistem keuangan adalah kelancaran sistem pembayaran.
21 Vide Pasal 16 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia 22 Bank Indonesia, Op.Cit., hal. 210.
27
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c) Lender of Last Resort
oleh Bank Indonesia ini diwujudkan dalam
Potensi konflik yang sangat dikhawatirkan
berbagai fasilitas yang diberikan, baik FPJP/S,
oleh Bank Indonesia maupun berbagai praktisi
FLI/S, maupun FPD. Hal yang kemudian
perbankan lainnya apabila terjadi pemisahan
dikhawatirkan ketika terjadi pengalihan
microprudential dan macroprudential dari
kewenangan microprudential adalah bahwa
Bank Indonesia adalah kekhawatiran akan
LoLR dikhawatirkan tidak akan dapat dijalankan
menjadi kurang optimalnya fungsi Bank
dengan maksimal apabila Bank Indonesia tidak
Indonesia sebagai lender of last resort (LoLR)
memiliki atau terlambat untuk mengolah data
ketika negara sedang menghadapi krisis.
bank yang harus segera diselamatkan. Dengan adanya keterlambatan atau kelalaian tersebut,
Haubrich mengatakan bahwa dalam kondisi
maka penanganan krisis pun akan menjadi
krisis keuangan, peran Bank Sentral menjadi
bermasalah, dan pada gilirannya akan
sangat penting. Hal tersebut didukung dengan
membahayakan sistem keuangan negara
adanya kewajiban dari Bank Sentral untuk
secara keseluruhan.
mengatasi krisis keuangan, sehingga untuk dapat menjalankan kewajiban tersebut dengan
Keterlambatan dan kelalaian dalam menangani
baik, Bank Sentral tentu harus memiliki
krisis ini dapat dilihat dari kasus Northern
pengetahuan dan informasi yang cukup
Bank di Inggris, dimana kondisi pada saaat
mengenai aspek microprudential, yakni berupa
itu adalah dengan adanya pemisahan
informasi mengenai kondisi perbankan dan
microprudential dari Bank of England (BoE)
bagaimana perbankan beroperasi secara
yang dialihkan kepada Financial Services
harian.23
Hal tersebut dikarenakan, meskipun
Agency (FSA), maka mengakibatkan BoE tidak
aspek microprudential hanya berkutat dalam
memiliki informasi yang cukup terkait kondisi
upaya menjaga kesehatan individual perbankan,
Northern Bank, hal tersebut dikarenakan
namun konsekuensi dari kegagalan individual
seluruh informasi yang dimiliki terkait aspek
perbankan dapat meruntuhkan perekonomian
microprudential dari perbankan hanya terdapat
negara secara menyeluruh, oleh karenanya
di FSA. Alhasil, ketika terjadi krisis, BoE tidak
Bank Sentral harus dapat memiliki dan
dapat menjalankan LoLR tepat pada waktunya,
mengakses informasi yang cukup dalam aspek
karena BoE harus mengkaji ulang kondisi bank
microprudential agar dapat meminimalisir
sebelum dapat memberikan bantuan likuiditas
dampak krisis yang sedang/akan
terjadi.24
darurat sehingga akhirnya Northern Bank telah di rush terlebih dahulu oleh nasabahnya,
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank
sebelum sempat diantisipasi oleh BoE.
Indonesia selaku Bank Sentral Indonesia, memiliki fungsi sebagai lender of last resort
Dari pengalaman dari BoE ini, maka dapat
sebagai upaya untuk menyelamatkan bank-
dilihat bahwa pada saat kondisi krisis,
bank yang mengalami kesulitan likuiditas,
kecepatan memperoleh informasi yang
ataupun solvabilitas. Fungsi LoLR yang dimiliki
lengkap merupakan faktor yang sangat penting, sehingga apabila Bank Sentral memiliki informasi yang lengkap, maka Bank
23 Haubrich, Op.Cit., hal. 9. 24 Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 13.
28
Sentral dapat mengambil kebijakan yang tepat sesegera mungkin untuk mengatasi permasalahan yang ada dan sekaligus mencegah memburuknya keadaan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Dengan beralihnya kewenangan
Namun dengan keberadaan ex-officio didalam
microprudential dari Bank Indonesia ke Otoritas
keanggotan DK inilah yang penulis khawatirkan
Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan Bank
akan berdampak pada kinerja masing-masing
Indonesia akan menjadi kurang responsif
lembaga, baik Otoritas Jasa Keuangan maupun
dalam mengatasi krisis khususnya terkait
Bank Indonesia. Kekhawatiran tersebut dilandasi
pelaksanaan LoLR ini, sehingga sangat
pemikiran bahwa dengan adanya ex-officio ini,
dikhawatirkan pengalaman yang menimpa
maka nantinya dalam setiap pengambilan
BoE dan FSA, akan turut dialami oleh Bank
keputusan tidak akan lepas dari conflict of interest
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
di dalam Otoritas Jasa Keuangan itu sendiri, sehingga akan menimbulkan permasalahan tersendiri.
3. Konflik dalam Dewan Komisioner Potensi timbulnya conflict of interest yang Pasal 2 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan
dimaksud dapat dilihat didalam Pasal 1 angka 2
menyatakan bahwa “Otoritas Jasa Keuangan adalah
jo. Pasal 10 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan,
lembaga yang independen dalam melaksanakan
dimana dinyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan
tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
dipimpin oleh DK yang bersifat kolektif dan
tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
kolegial. Sifat kolektif dan kolegial ini, apabila
secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini”,
berdasarkan penjelasan pasal 10 ayat (2) UU
namun independensi tersebut menjadi sedikit
Otoritas Jasa Keuangan, memiliki artian bahwa
dipertanyakan dikala di dalam Pasal 1 jo. Pasal 10
setiap pengambilan keputusan DK dilakukan
UU Otoritas Jasa Keuangan, diatur bahwa Otoritas
secara bersama-sama dan didasarkan musyawarah
Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan Komiisioner
untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan
(DK), berjumlahkan 9 (sembilan) orang dan 2 (dua)
dan kekeluargaan di antara anggota DK.
anggota diantaranya merupakan ex-officio dari Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia.
Permasalahan yang timbul adalah apabila ternyata dalam musyawarah tersebut tidak mendapatkan
Salah satu landasan adanya ex-officio pada
satu suara, atau terdapat pertentangan diantara
keanggotaan DK ini adalah adanya pemikiran
anggotanya, maka menurut pasal 24 ayat (7) UU
bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas
Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan bahwa
di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan
keputusan akan ditetapkan berdasarkan suara
keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, yakni
terbanyak. Dengan demikian, maka tentu
otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, maka
memberikan akibat yakni setiap anggota yang
diperlukan keterwakilan dari kedua otoritas tersebut
kalah suara harus tunduk dan turut serta
secara ex-officio. Hal tersebut dimaksudkan agar
bertanggung jawab dalam pelaksanaan keputusan
koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan
suara terbanyak.
di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih baik. Secara khusus,
Konsekuensi itulah, yang menurut Harry Azhar
ex-officio dirasa diperlukan untuk memastikan
akan berpotensi menimbulkan gejolak di dalam
kebutuhan koordinasi dan pertukaran informasi
DK Otoritas Jasa Keuangan, karena seperti yang
untuk menjaga dan memelihara stabilitas sistem
telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam
keuangan.25
keanggotaan DK Otoritas Jasa Keuangan, terdapat 2 (dua) ex-officio yang terdiri dari Bank Indonesia
25 Vide Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
dan Kementerian Keuangan. Dengan adanya kedua ex-officio ini, maka dikahawatirkan akan
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
mengakibatkan timbulnya perdebatan mengenai
adanya ex-officio dari Bank Indonesia ini, maka
arah kebijakan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini
secara tidak langsung dapat berimbas pada
dikarenakan, Bank Indonesia dan Kementrian
terlanggarnya Independensi Bank Indonesia yang
Keuangan dapat diumpamakan sebagai dua kubu
seharusnya bebas dari campur tangan pihak
raksasa, yang mana telah berkembang dengan
manapun.
culture yang berbeda selama bertahun-tahun, sehingga tentu pola pikir atau pandangan yang
C. Upaya Optimalisasi Pengaturan dan Pengawasan
menjadi pegangan dari kedua unsur ini tentu
Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa
akan berbeda, dan dengan sifat kolektif kolegial
Keuangan
ini, maka tiap kubu ini dikhawatirkan akan mempertahankan argument yang menguntungkan
Sungguh ironis, ketika Indonesia tengah sibuk
lembaganya. Sehingga keputusan yang dikeluarkan
membangun Otoritas Jasa Keuangan, negara lain
pun akan tergantung dari bagaimana tarik ulur
yang sebelumnya telah memisahkan pengawasan
dari kedua belah pihak ini.
banknya dari Bank Sentral, kini mulai mengarah untuk mengembalikan wewenang pengawasan bank kepada
Selain itu pula, dengan adanya tarik ulur dalam
bank sentralnya. Inggris sebagai pelopor berdirinya
argumentasi terkait keputusan di dalam Otoritas
lembaga sejenis Otoritas Jasa Keuangan, bahkan telah
Jasa Keuangan ini pula, maka dikhawatirkan
mengembalikan peran FSA ke dalam BoE. Selain itu,
pengambilan keputusan di Otoritas Jasa Keuangan
Jerman pun, dicanangkan tengah serius menggodok
akan “mandek” sehingga berakibat pada inefisiensi
rencana mengembalikan fungsi pengawasan Bafin
kinerja Otoritas Jasa Keuangan yang tentunya
kepada Bundesbank.26
berakibat pada keterlambatan koordinasi dan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal
Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa
pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, khususnya
penggunaan sistem pengawasan perbankan dan
ketika sedang mengalami krisis.
pengelolaan moneter yang terpisah diarasa tidak efisien dalam mewujudkan sistem keuangan yang
Disisi lain, apabila mengacu pada Pasal 4 UU Bank
sehat dan stabil. Misalnya ketika terjadi likuiditas,
Indonesia, dapat diketahui bahwa Bank Indonesia
Bank Sentral akan bergerak kurang cepat karena
adalah lembaga negara yang independen dalam
keterlambatan penyampaian informasi dari lembaga
melaksanakan tugas dan wewenangnya serta
pengawas.27 Bahkan berdasarkan penelitian yang
bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau
dilakukan oleh Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano,
pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa Negara-negara berkembang
penulis berpendapat bahwa dengan adanya ex-
lebih memilikih sistem pengawasan yang berada di
officio dari Bank Indonesia yang diwakili oleh
bawah Bank Sentral.28
anggota dewan gubernur Bank Indonesia, yang mana kemudian diketahui bahwa ex-officio ini
Memang harus diakui bahwa pembentukan suatu
merupakan anggota dalam struktur keanggotaan
lembaga baru selalu menimbulkan konsekuensi
DK Otoritas Jasa Keuangan, akan menimbulkan
tersendiri, khususnya mengenai Otoritas Jasa Keuangan
konsekuensi juridis berupa setiap keputusan yang
ini sendiri. Meskipun demikian, pembentukan Otoritas
dikeluarkan oleh DK Otoritas Jasa Keuangan, tentu akan mengikat pula terhadap setiap anggota DK Otoritas Jasa Keuangan, termasuk di dalamnya
30
26 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 241.
Bank Indonesia sebagai anggota ex-officio.
27 Loc.Cit.
Dengan demikian, penulis menilai bahwa dengan
28 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, Loc.Cit.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Jasa Keuangan sudah saatnya disambut dengan baik
Sementara menurut penulis, koordinasi yang
dan pola konstruksi pemikiran yang harus dibangun
dilakukan antara Bank Indonesia dan Otoritas
kedepannya adalah pemikiran mengenai upaya yang
Jasa Keuangan dapat mencontoh keberhasilan
harus dilakukan agar dapat mendorong optimalisasi
yang dilakukan oleh FSA dan BoE di Jepang. Hal
pengaturan dan pengawasan perbankan kedepannya.
tersebut dapat dilihat, dimana dengan adanya pengalihan fungsi pengawasan kepada Financial
1. Pembangunan Koordinasi antar Lembaga Terkait
Supervision Agency (FSA), maka Bank of Japan (BoJ) hanya menangani mengenai perumusan dan implementasi dari ketentuan dan kebijakan
Hal pertama yang menjadi kunci keberhasilan
sistem moneter. Namun demikian, BoJ tetap
Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme
memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas
koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Hal
sistem keuangan, dan oleh karenanya maka BoJ
tersebut dikarenakan dalam pelaksanaan tugas
memiliki kewenangan untuk melakukan on-site
Otoritas Jasa Keuangan, potensi benturan antara
examination terhadap bank maupun lembaga
Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lainnya,
keuangan non-bank. Dengan kewenangan
khususnya Bank Indonesia. Oleh karenanya
tersebut, BoJ bisa mendapatkan informasi yang
diperlukan mekanisme koordinasi yang perlu
lengkap terkait kesehatan lembaga keuangan
dibangun dengan baik. Selain itu, untuk mencapai
secara harian, sehingga fungsi lender of last resort
sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan
yang diemban oleh BoJ dapat dijalankan dengan
krisis, sharing information antar otoritas sangat
baik. Selain itu, koordinasi yang dibangun juga
diperlukan baik dalam kondisisi normal maupun
berupa adanya kewenangan dari BoJ untuk
kondisi krisis.
memanggil pihak FSA untuk memberikan laporan ketika diperlukan, begitupun sebaliknya.29
Pihak BAPEPAM – LK mengungkapkan bahwa koordinasi tersebut akan dibangun dengan
Selain itu, koordinasi yang dilakukan oleh APRA
membangun mekanisme komunikasi secara rutin
dengan RBA di Australia pun dapat dijadikan
antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia,
contoh, hal ini dapat dilihat dimana ketika fungsi
Lembaga Penjamin Simpanan dan Kementerian
pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan
Keuangan, dengan demikian diharapkan akan
kepada APRA, RBA kemudian memiliki fokus
terbangun sarana pertukaran informasi yang
dalam menentukan kebijakan moneter, menjaga
terintegrasi sehingga Otoritas Jasa Keuangan dan
stabilitas sistem keuangan dan menjaga kelancaran
Bank Indonesia dapat berbagi seluruh informasi
sistem pembayaran. Khusus mengenai stabilitas
tentang perbankan dengan menjaga kerahasiaan
sistem keuangan dan kelancaran sistem
secara optimal. Dengan demikian, pertukaran
pembayaran, RBA selaku Bank Sentral kemudian
informasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan
membentuk 2 (dua) Department baru yang mana
Bank Indonesia ketika menangani bank yang
secara struktural berada di bawah Bank Sentral,
mengalami kesulitan likuiditas dapat dilakukan
yakni a) Financial Stability Department yang
dengan baik. Hal ini dapat diwujudkan secara
bertugas untuk melakukan analisis sistem
bertahap, dimana pada awalnya akan dibentuk
keuangan di Australia dan sistem keuangan secara
berbagai macam MoU antara Otoritas Jasa
global; dan b) Payment Policy Department yang
Keuangan dengan lembaga-lembaga terkait, baik yang bersifat Nasional maupun yang bersifat Internasional. 29 The Group of Thirty, Op.Cit., hal. 150.
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
bertugas untuk menangani sistem kliring,
sejumlah penyesuaian di dalam Bank Indonesia,
menganalisa sistem pembayaran dan mendukung
khususnya terkait upaya meningkatkan kinerja
kerangka/mekanisme sistem pembayaran.
dalam kebijakan moneter dan kelancaran
Sementara kordinasi dengan APRA dibangun
sistem pembayaran; dan
dengan membentuk The RBA/APRA Coordination
c) Menjaga Kualitas SDM, artinya bahwa Otoritas
Committee, dimana dalam satu tahun terdapat
Jasa Keuangan merupakan lembaga yang
jadwal rutin pertemuan formal antara RBA dan
dibentuk untuk mewujudkan suatu mekanisme
APRA sebanyak tiga sampai empat kali pertemuan
yang lebih profesional dan kredibel. Oleh
untuk membahas perkembangan sistem keuangan
karenanya, pola rekrutmennya terhadap
dan perbankan di Australia. Selain itu, RBA dan
pegawai perlu dijaga secara baik. Salah satunya
APRA dapat pula melakukan pertemuan-
adalah dengan menerapkan competency-based
pertemuan informal manakala kedua lembaga
recruitment system yang terbuka dan dilakukan
tersebut merasa membutuhkan pertukaran
oleh pihak yang independen.
informasi.30 Selain ketiga hal diatas, permasalahan kompetensi 2. Alokasi Sumber Daya Manusia
dan kecukupan jumlah SDM juga merupakan salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam
Salah satu aspek terpenting agar kinerja
rangka optimalisasi kinerja Otoritas Jasa Keuangan.
pengaturan dan pengawasan perbankan adalah
Hal ini dikarenakan dalam melakukan pengawasan
dengan meningkatkan manajemen sumber daya
perbankan, diperlukan jumlah pengawas yang
manusia (SDM) yang dimiliki oleh Otoritas Jasa
cukup dan memiliki kompetensi yang baik.
Keuangan, baik terhadap kepemimpinan DK, maupun terhadap setiap pegawai, khususnya
Permasalahannya adalah apabila semua pengawas
yang berugas sebagai pengawas. Sehubungan
Bank Indonesia ditarik menjadi pegawai Otoritas
dengan hal itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal
Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan pengawasan
yang perlu diperhatikan agar kinerja pengaturan
yang dilakukanpun tidak akan berbeda dengan
dan pengawasan perbankan dapat lebih
yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia.
dioptimalkan, yakni:
Padahal alasan didirikannya Otoritas Jasa
a) Kepemimpinan, artinya bahwa apabila terdapat
Keuangan adalah adanya ketidakpercayaan
pemimpinan yang memiliki karakter yang kuat
terhadap kemampuan pengawas Bank Indonesia
dan independen, maka kinerja Otoritas Jasa
dalam melakukan pengawasan bank. Sehingga
Keuangan akan dapat terjaga dengan baik;
apabila kemudian pengawas Otoritas Jasa
b) Pembenahan Organisasi. Dalam hal ini,
Keuangan yang bertugas melakukan pengawasan
pembenahan tidak hanya dilakukan terhadap
bank, hanya merupakan pegawai yang di eksodus
kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, namun
dari pengawas Bank Indonesia, maka pengawasan
diperlukan juga pembenahan terhadap
yang dilakukan pun tidak akan ada bedanya,
kelembagaan Bank Indonesia. Artinya bahwa
sehingga bentuk alokasi SDM seperti ini hanya
dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan,
akan menghasilkan pemborosan yang sia-sia.31
maka struktur di dalam Bank Indonesia tentu akan berubah, oleh karenanya diperlukan
30 K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta, hal. 11.
32
31 Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta, hal. 7.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Oleh karenanya penulis berpendapat, diperlukan
Sehubungan dengan hal tersebut, maka kinerja
suatu pembaharuan atau revitalisasi mekanisme
Otoritas Jasa Keuangan untuk menciptakan GCG
atau standarisasi terhadap metode pengawasan
dalam rangka memperkuat kondisi internal
yang dilakukan oleh pengawas. Dengan demikan
perbankan nasional, mutlak diperlukan agar
maka celah-celah yang selama ini dianggap tidak
Perbankan Nasional dapat melihat bahwa GCG
berhasil diatasi oleh pegawai Bank Indonesia, akan
bukan hanya sekedar aksesori belaka, tetapi
dapat diatasi oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan.
merupakan suatu sistem nilai dan praktek yang sangat fundamental agar berbagai kasus yang
3. Peningkatan Good Corporate Governance
menimpa dunia perbankan tidak terulang kembali di kemudian hari.
Bismar Nasution mengungkapkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi industri
4. Penyesuaian Sistem Perbankan
keuangan, khususnya perbankan saat ini, sebenarnya bukanlah dikarenakan telah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
menyatunya berbagai produk lintas sektoral,
terdapat dua sistem perbankan yang berlaku di
namun lebih terkait lemahnya penerapan Good
dunia, yaitu commercial banking system dan
Corporate Governance (GCG), dan permasalahan
universal banking system. Di dalam commercial
GCG tidak akan selesai hanya dengan beralihnya
banking system, terdapat aturan yang melarang
kewenangan pengawasan.32
bank melakukan kegiatan non-bank seperti asuransi. Sementara universal banking system,
Hal tersebut dapat dilihat dimana kasus BLBI
membolehkan bank melakukan kegiatan usaha
maupun kasus Bank Century, sebenarnya berasal
non-bank seperti investasi dan asuransi.
dari permasalahan internal dari bank-bank itu sendiri. Salah satunya adalah dikarenakan bank-
Layaknya negara-negara berkembang pada
bank tersebut tidak melaksanakan GCG di dalam
umumnya, saat ini apabila berdasarkan Pasal 10
manajemen bank itu sendiri dengan baik, sehingga
jo. Pasal 14 UU Perbankan, dapat dilihat bahwa
terpaksa Bank Indonesia harus menanggulangi
bentuk sistem perbankan yang berlaku di
penyelesaian permasalahan atas krisis insolvensi
Indonesia adalah commercial banking system,
yang menimpa bank-bank bermasalah tersebut
dimana kegiatan usaha perbankan masih harus
agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih
terpisah dengan kegiatan usaha non-bank lainnya.
besar terhadap perekonomian nasional apabila
Oleh karenanya, struktur pengawasan yang
krisis tersebut tidak segera ditangani.
dilakukanpun pada umumnya berupa institutional approach ataupun functional aproach, dimana
Saat ini, seperti kata Halim Alamsyah, upaya untuk
contohnya adalah seperti yang selama ini
memperkuat GCG pada bank-bank, mutlak
diterapkan di Indonesia, yakni dengan BI untuk
diperlukan. Hal tersebut ditujukan agar kepentingan
pengawasan perbankan dan BAPEPAM-LK untuk
nasabah dan industri perbankan dapat terlindungi,
pengawasan non-perbankan.
karena tanpa GCG maka industri perbankan tidak dapat berkembang secara cepat dan sehat.33
Namun seiring dengan globalisasi yang terjadi di sektor jasa keuangan, maka perkembangan produk-produk jasa keuangan pun semakin
32 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 219. 33 Halim Alamsyah dalam Donald Banjarnahor, 2011, “Perkuat GCG, BI akan Sempurnakan Aturan”.
berkembang, sehingga menyebabkan terjadinya konvergensi produk lintas sektoral. Konvergensi ini menyebabkan timbulnya permasalahan terkait
33
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
pengaturan dan pengawasan, karena produk-
diharapkan pelaksanaan kinerja Otoritas Jasa Keuangan
produk yang dihasilkan sudah sedemikian
dapat berjalan dengan baik dikemudian hari:
menyatunya sehingga sulit menentukan regulasi yang tepat, apakah Bank Indonesia selaku otoritas
1. Meskipun berdasarkan Pasal 7 UU Otoritas Jasa
perbankan, ataukah BAPEPAM-LK selaku otoritas
Keuangan dikatakan bahwa pengawasan
pasar keuangan. Sehingga mau tidak mau harus
microprudential sepenuhnya telah beralih dari
diakui bahwa meskipun Indonesia menganut
Bank Indonesia menjadi kewenangan Otoritas
commercial banking system, namun dengan
Jasa Keuangan, namun penulis berpendapat
seiring perkembangan bisnis di dalam industri
bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem
keuangan, maka penulis menilai bahwa secara
keuangan dan agar dapat menjalankan fungsi
perlahan Indonesia telah memasuki era universal
lender of last resort tepat pada waktunya, maka
banking system.
penulis berpendapat bahwa seperti halnya BoJ, Bank Indonesia selayaknya memiliki kewenangan
Kemudian dengan pembentukan Otoritas Jasa
untuk melakukan daily on-site examination, yang
Keuangan, khususnya terkait pengaturan di dalam
mana ketentuan tersebut harus dituangkan
Pasal 5 UU Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat
kedalam MoU antara Otoritas Jasa Keuangan,
bahwa struktur pengawasan yang dianut oleh
dengan demikian potensi terhambatnya pertukaran
Indonesia telah berubah menjadi integerated
informasi akan lebih diminimalisir.
approach, padahal sistem pengawasan tersebut pada umumnya hanya diterapkan di negara-
2. Pungutan yang akan dikenakan Otoritas Jasa
negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang,
Keuangan merupakan hal yang sangat krusial,
yang mana hal tersebut dikarenakan negara-
oleh karenanya harus secepatnya diatur lebih
negara tersebut secara konstitusionil memang
lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan,
menganut universal baniking system. Oleh
khususnya terkait besaran nominal yang harus
karenanya, agar pengaturan dan pengawasan
dikeluarkan oleh para pelaku sektor jasa keuangan.
perbankan kedepannya dapat dijalankan dengan
Penulis sendiri berpendapat bahwa agar pungutan
lebih optimal, harus diadakan suatu pembaharuan
ini nantinya tidak membebani industri perbankan,
sistem perbankan, yang mana pembaharuan
maka sebaiknya sumber pungutan ini merupakan
tersebut secara konstitusionil harus dinyatakan
dana yang dibagi dua dengan premi yang harus
secara tegas bahwa industri perbankan dapat
dikeluarkan kepada LPS.
melakukan usaha diluar perbankan, atau universal banking system. Hal ini haruslah dilakukan, agar
3. Masih mengenai pungutan tersebut, di dalam
dapat memberikan peluang investasi yang lebih
pasal 37 ayat (5) UU Otoritas Jasa Keuangan,
besar kepada para pelaku sektor jasa keuangan,
dikatakan bahwa “apabila pungutan yang
sekaligus memberikan kepastian hukum terkait
diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan
perlindungan kepada para nasabah/konsumen
Otoritas Jasa Keuangan untuk tahun anggaran
sektor jasa keuangan apabila dikemudian hari
berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan kepada
terjadi kasus seperti Antaboga Sekuritas dan Bank
kas negara”. Ketentuan di dalam pasal ini
Century.
menimbulkan suatu pertanyaan tersendiri, yang mana membuat Otoritas Jasa Keuangan seakan-
D. Penutup
akan menjelma sebagai suatu BUMN sehingga pungutan yang diterima apabila “berlebih” akan
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis kemudian
menjadi pemasukan bagi negara. Penulis
memberikan beberapa saran dan pendapat, sehingga
berpendapat bahwa, ketentuan pasal ini kurang
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
tepat, karena selama ini ketentuan biaya yang
memenuhi kebutuhan Otoritas Jasa Keuangan
harus dikeluarkan oleh bank, baik GWM di Bank
pada saat pungutan dari pihak yang melakukan
Indonesia maupun premi kepada Lembaga
kegiatan sektor jasa keuangan di industri
Penjamin Simpanan, merupakan pengeluaran
keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan
yang sifatnya untuk menjaga likuiditas bank
operasional…..”. Pasal ini dirasa penulis
sehingga hak-hak nasabah dapat terlindungi,
bertentangan dengan Penjelasan Pasal 37 ayat
artinya dana yang dikeluarkan oleh bank pun
(1) yang menyatakan bahwa “…..Pungutan
pada saat diperlukan akan berfungsi untuk
digunakan untuk membiayai anggaran Otoritas
menolong bank tersebut pula. Sehingga apabila
Jasa Keuangan yang tidak dibiayai APBN..”. Kedua
terdapat kelebihan pembiayaan di dalam GWM
penjelasan pasal tersebut bertentangan, karena
dan Premi, tentu akan memberikan keuntungan
di dalam penjelasan pasal 34 ayat (2), dapat
kepada industri perbankan. Sementara di dalam
disimpulkan bahwa sumber pendanaan utama
Pasal 37 ayat (5) ini, mengharuskan kelebihan
Otoritas Jasa Keuangan adalah pungutan,
pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa
sehingga APBN hanya digunakan ketika pungutan
Keuangan haruslah disetor ke negara, maka
tersebut belumlah cukup membiayai operasional
penulis merasa hal tersebut tentulah tidak
Otoritas Jasa Keuangan. Sementara di dalam
memberikan manfaat apa-apa, khususnya kepada
penjelasan pasal 37 ayat (1), dapat disimpulkan
pihak perbankan. Selain itu, ketentuan mengenai
bahwa sumber pendanaan Otoritas Jasa Keuangan
pungutan, pada dasarnya ditujukan agar Otoritas
adalah APBN, sehingga pungutan hanya dikenakan
Jasa Keuangan mendapatkan financial
ketika pendanaan dari APBN belumlah cukup
independence sehingga tidak tergantung pada
membiayai operasional Otoritas Jasa Keuangan.
APBN. Apabila terdapat kelebihan dana yang
Dari pengaturan kedua pasal ini, penulis menilai
kemudian harus diserahkan kepada negara,
bahwa kedua pasal ini menimbulkan multitafsir
dikhawatirkan financial independence ini akan
dan ambiguitas sehingga penilaian tiap orang
sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, penulis
akan berbeda-beda, padahal seperti yang telah
berpendapat ketentuan di dalam pasal 37 ayat
dijelaskan sebelumnya, suatu peraturan
(5) harus diatur lebih lanjut, atau dilakukan judicial
perundang-undangan yang baik haruslah tidak
review.
menimbulkan multitafsir. Oleh karenanya, ketentuan terkait kedua pasal ini perlu diatur
4. Berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun
lebih lanjut atau dilakukan judicial review.
2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, ditentukan bahwa suatu peraturan
5. Sehubungan dengan pembentukan suatu otoritas
perundang-undangan yang dibuat haruslah
jasa keuangan yang ditujukan untuk mengatur
memberikan suatu kejelasan tujuan, sehingga
dan mengawasi sektor jasa keuangan secara
tidaklah boleh menimbulkan suatu ambiguitas
terintegerasi, maka tentu diperlukan pula suatu
ataupun multitafsir. Namun, ternyata di dalam
mekanisme yang mengatur mengenai penanganan
UU Otoritas Jasa Keuangan, masih terdapat
pada saaat negara menghadapi krisis keuangan,
beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir,
yakni dengan mekanisme Jaring Pengaman Sistem
yang mana dirasa penulis bertentangan antara
Keuangan (JPSK). JPSK maupun Otoritas Jasa
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat
Keuangan merupakan dua hal yang sama-sama
dilihat didalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU
penting, tanpa adanya pengaturan lebih jelas
Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa
mengenai JPSK yang dituangkan dalam suatu
“….pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan yang
peraturan perundang-undangan, maka penulis
bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk
khawatir Indonesia akan kurang tanggap dalam
35
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
memitigasi gejolak krisis yang suatu saat akan terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya, pengaturan mengenai JPSK harus segera dibentuk. 6. Dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka tentu Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dibentuk sebagai acuan Bank Indonesia dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri perbankan, tentu menjadi tidak relevan lagi hal tersebut dikarenakan keenam pilar API telah menjadi tugas dan kewenangan dari Otoritas Jasa Keuangan, oleh karenanya perlu restrukturisasi lebih lanjut mengenai API, apabila API masih diberlakukan oleh Bank Indonesia, maka tentu pilar-pilar di dalamnya harus dirubah dan disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan. Sementara apabila API kemudian dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka tentu API harus direstrukturisasi ulang dikarenakan Otoritas Jasa Keuangan tidak hanya berfungsi untuk membangun dan menjaga industri perbankan, melainkan mencakup seluruh industri di sektor jasa keuangan.
36
DAFTAR PUSTAKA
Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta. Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Donato Masciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco. Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland. K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta. Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute. Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta. Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands. Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta. Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”, Jakarta. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009 UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
38
KAJIAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN LIKUIDASI BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN Oleh : Alex Kurniawan S.H., M.H.
Abstrak Akibat tekanan krisis pada tahun 1997, 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL). Selain likuidasi 16 Bank pada tahun 1997 juga terdapat pencabutan ijin usaha bank yang terjadi pada tahun 2004 dan tahun 2005. Dalam prakteknya pelaksanaan likuidsi untuk 16 BDL menghadapi beberapa kendala, khususnya pada saat likuidasi telah melampaui batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Menghadapi kendala tersebut Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan seluruh sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah. Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam Likudasi menghadapi berbagai permasalahan hukum, akibatnya untuk penyelesaian 4 bank dalam likuidasi yang dicabut izin usahanya pada periode tahun 2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap (“enggan”) untuk menerima penyerahan aset ke-4 BDL tersebut padahal ke 4 BDL tersebut mempunyai permasalahan yang hampir sama. Kata Kunci : Likuidasi, BLBI, Perbankan, Bank Dalam Likuidasi
A. PENDAHULUAN
Dollar terus memburuk. Permasalahan itu berdampak kepada perekonomian Indonesia. Hal tersebut diawali
Sebelum tahun 1997 pertumbuhan ekonomi nasional
dengan merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap mata
meningkat secara pesat. Kurs Rupiah cenderung stabil,
uang Amerika Serikat. Gejolak kurs itu membuat
investasi asing terus meningkat. Swasta diberi
sejumlah bank mengalami kerugian, terutama bank
kesempatan meminjam kepada kreditur asing.
yang mempunyai pinjaman dalam mata uang asing
Stabilnya nilai rupiah itu membuat para peminjam
dan tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta
merasa tak perlu untuk melindungi nilainya terhadap
asingnya. Akumulasi kerugian bank akibat gejolak
mata uang asing. Tidak ada perlindungan terhadap
kurs, ditambah dengan memburuknya arus kas (cash-
rupiah itu belakangan menimbulkan masalah besar
flow) menyebabkan kesulitan likuiditas.1
pada saat Indonesia dihantam krisis moneter. Permasalahan ekonomi dunia diawali pada Juli 1997, pada saat itu mata uang sejumlah negara asia, yaitu Korea Selatan, Thailand, Malaysia merosot drastis, nilai tukarnya terhadap mata uang asing terutama
1
Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).
39
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Akibat semakin banyak bank mengalami saldo debet
4. Seluruh biaya yang berkaitan dengan penutupan
yang bersifat sistemik, Bank Indonesia menganggap,
bank dan rehabilitasi bank Pemerintah menjadi
kewenangan yang dimilikinya sebagai lender of the
beban Pemerintah melalui APBN. Caranya dengan
last resort, sesuai Pasal 32 Ayat (3) Undang-undang
menerbitkan surat utang (bond) yang dijamin
Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, tak
Pemerintah.
cukup untuk mengatasi likuiditas. Bank Indonesia lalu membawa permasalahan ini kepada Pemerintah.
Dalam rangka menindaklanjuti LoI IMF tanggal 31 Oktober 1997 juga, pada 1 November 1997
Pemerintah mengambil jalan menutup bank yang
Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Keuangan,
tidak dapat diselamatkan lagi. Namun untuk
mencabut izin usaha 16 Bank, sehingga berstatus
mencegah merosotnya kepercayaan masyarakat
Bank Dalam Likuidasi. Pengurus bank diperintahkan
terhadap perbankan nasional, simpanan nasabah di
mengadakan RUPS Luar Biasa guna membubarkan
bank yang ditutup diberikan bantuan likuditas melalui
badan hukum bank. Tim Likuidasi masing-masing
Bank
Indonesia.2
bank dibentuk, yang pembentukannya diatur dalam Surat Menteri Keuangan RI Nomor Peng-86/MK/1997
Namun mengingat tekanan krisis semakin berat dan
tentang pencabutan izin usaha bank umum.
kepercayaan terhadap perekonomian nasional semakin merosot, akhirnya Pemerintah mengundang IMF untuk
Sebagai tindak lanjut LoI IMF tersebut selain 16 bank
memberikan bantuan teknis dan pinjaman.
dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL)3, juga 4 bank dinyatakan sebagai Bank Take Over (BTO), 10
Pada tanggal 31 Oktober 1997 letter of intent (LoI)
bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan 39 bank
Indonesia-IMF ditandatangani. Letter of Intent berisi
sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Selain
sejumlah langkah yang akan dilakukan Pemerintah
itu, dalam upaya pemulihan perbankan, Pemerintah
Indonesia untuk menyehatkan perekonomian. LoI
melakukan penguatan modal (rekapitalisasi) terhadap
Oktober 1997 itu antara lain berisi sebagai berikut:
10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 9 bank
1. Restrukturisasi yang dilakukan secara
umum.
komprehensif merupakan kunci keberhasilan; 2. Bank-bank insolvent yang tidak sanggup
Sementara likuidasi 16 Bank yang dicabut ijin usahanya
membayar kewajibannya yang tak mungkin
pada tahun 1997 belum selesai, Bank Indonesia
diselamatkan, ditutup. Bank-bank lemah namun
mencabut lagi ijin usaha bank pada tahun 2004 yaitu
masih bisa diselamatkan diharuskan menyusun
PT. Bank Dagang Bali dan PT. Bank Asiatic yang dicabut
dan melaksanakan rencana rehabilitasinya.
ijin usahanya secara bersamaan oleh Bank Indonesia
3. Program restrukturisasi terdiri dari empat bagian.
yaitu pada tanggal 8 April 2004. Di samping itu
Pelaksanaannya dibantu IMF, Bank Dunia dan
terdapat 2 bank yang sebelumnya merupakan bank
Bank Pembangunan Asia. Due dillingence
BBKU yaitu PT. Bank Ratu dan PT. Bank Prasidha yang
terhadap bank dilakukan untuk mengetahui
tidak dapat diselesaikan oleh BPPN karena terdapat
derajat kesehatannya. Bank sehat tetap di bawah
gugatan dari pemegang sahamnya, sehingga baru
Bank Indonesia, sedangkan yang tidak sehat disembuhkan di BPPN. 3
2
Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).
40
Ke-16 Bank Dalam Likuidasi yang dilikuidasi pada 1 November 1997 itu adalah Bank Pinaesaan, Bank Industri, Anrico Bank, Astria Raya Bank, Bank Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna Internasional, Sejahtera Bank Umum, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Jakarta, Bank Kosagraha Semesta, Bank Mataram Dhanaarta, South East Asia Bank, Bank Pacific, Bank Dwipa Semesta, dan Bank Citrahasta Dhanamanunggal.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dilakukan pencabutan izin usaha dan dilakukan proses
a. Harus segera diambil langkah penyelesaian agar
likuidasi pada tahun 2004. Selanjutnya terdapat bank
biaya operasional tidak bertambah.
yang dicabut izin usahanya pada tanggal 13 Januari
b. Kreditur dalam hal ini yang terbesar adalah
2005 yaitu PT. Bank Global Internasional Tbk. Penyebab
Pemerintah karena telah membayarkan dana
bank-bank tersebut dicabut ijin usahanya berbeda
penjaminan, berhak memperoleh pembayaran
dengan pencabutan ijin usaha 16 bank pada tahun
secara maksimal.
1997. Penyebab bank tersebut dicabut ijin usahanya bukan akibat krisis tetapi karena kondisi kesehatan
Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas,
bank yang memburuk dan terjadinya fraud yang
Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam
dilakukan oleh pemegang saham bank.
Likuidasi menghadapi berbagai permasalahan, yaitu: a. Berbagai permasalahan hukum yang melekat pada
Dalam prakteknya pelaksanaan likuidasi untuk 16
aset.
Bank Dalam Likuidasi menghadapi baberapa kendala,
b. Dokumen yang tidak sempurna.
yaitu antara lain:
c. Permasalahan penetapan harga jual aset dan nilai
1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama 5
tagih piutang.
tahun dan 180 hari telah terlewati, namun Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan pertanggung-
Akibatnya untuk penyelesaian 4 bank5 dalam likuidasi
jawaban kepada RUPS karena masih adanya aset
yang dicabut izin usahanya pada periode tahun
dan kewajiban BDL yang belum dapat diselesaikan.
2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap
2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan
(“enggan”) untuk menerima penyerahan aset ke-4
untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa
BDL tersebut padahal ke 4 bank dalam likudasi tersebut
likuidasi dan masa lelang
mempunyai permasalahan yang hampir sama.
3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang masih
B. IDENTIFIKASI MASALAH
tersisa apabila batas waktu likuidasi berakhir. 4. Pertanggungjawaban likuidasi yang diajukan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas
kepada pemegang saham, apabila pertanggung-
dan untuk memfokuskan pembahasan pada topik
jawaban tersebut ditolak oleh pemegang saham
“Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi
maka likuidasi menjadi tidak selesai.
Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Selanjutnya dalam menghadapi kendala tersebut Bank
Lembaga Penjamin Simpanan”, maka perlu
Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian
dirumuskan mengenai pokok permasalahan yang
likuidasi 14
BDL4
dengan cara penyerahan seluruh
akan dibahas sebagai berikut:
sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada
1. Bagaimanakah kekuatan hukum penyelesaian
Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai
likudasi bank dengan cara penyerahan aset bank
pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada
dalam likuidasi kepada Pemerintah sebagai kreditur
Pemerintah. Adapun pertimbangan digunakannya
mayoritas?
penyelesaian dengan cara tersebut adalah:
2. Bagaimanakah kekuatan hukum Tim Likuidasi dalam penyelesaian likuidasi tersebut?
4
Dari 16 BDL terdapat 2 BDL yaitu PT. Bank Andromeda (DL) telah selesai likuidasinya karena telah menyelesaikan kewajiban dana talangan Pemerintah dan PT. Bank Umum Majapahit (DL) yang sudah menyelesaikan likuidasi karena sudah tidak mempunyai aset yang dapat dicairkan.
5
Dari Bank yang dilkuidasi pada tahun 2004/2005 terdapat 1 bank yang telah menyelesaikan proses likudasinya yaitu Pt. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi)
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3. Alternatif penyelesaian likuidasi bank selain dengan
dipersamakan dengan itu, berdasarkan
cara penyerahan aset bank dalam likuidasi kepada
persetujuan atau kesepakatan pinjam
Pemerintah sebagai kreditur mayoritas?
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
C. PEMBAHASAN
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
1. Analisa Hukum Terhadap Penyelesaian Likuidasi 16 Bank Yang Dicabut Izin Usahanya
Dalam UU Perbankan istilah kredit memiliki
Pada Tahun 1997
arti khusus yaitu meminjamkan uang dengan menunjuk perjanjian pinjam meminjam sebagai
Penyelesaian likuidasi 16 Bank Dalam Likuidasi
acuan dari perjanjian kredit.6 Perjanjian pinjam
adalah dengan cara menyerahkan sisa aset
meminjam dalam KUH Perdata diatur dalam
Bank Dalam Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada
Pasal 1754, yaitu:
Pemerintah selaku kreditur mayoritas, sebelum
“Pinjam meminjam adalah persetujuan dengan
RUPS mengenai pertanggungjawaban akhir Tim
mana pihak yang satu memberikan kepada
Likuidasi. Dengan berbagai ragam permasalahan
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
hukum yang terjadi dalam penyelesaian Bank
barang yang menghabis karena pemakaian
Dalam Likuidasi, dan dengan memperhatikan
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan
bahwa hukum positif tidak mengatur permasalahan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
yang ada, penyelesaian likuidasi dengan cara
dari macam dan keadaan yang sama pula”.
demikian merupakan solusi hukum yang dapat diterapkan untuk menambah penerimaan negara
Dalam pemberian kredit bank akan mengikat
sebagai pengembalian dana penjaminan yang
debitur dengan perjanjian kredit. Perjanjian
telah diberikan.
kredit adalah perjanjian pokok, dengan perjanjian jaminan merupakan acessor-nya.
Alternatif penyelesaian likuidasi bank ini terdapat
Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan
beberapa nilai positifnya walaupun terdapat
bergantung pada perjanjian pokok. Dalam
beberapa kendala atau kelemahan dalam
perjanjian kredit apabila debitor menerima
pelaksanaanya.
semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank maka ia berkewajiban
a. Penyelesaian aset kredit
untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Ditinjau dari hukum perdata kedudukan Pemerintah atas aset yang diserahkan oleh
Seperti telah diuraikan di atas bahwa kredit
Tim Likuidasi dapat dilihat berdasarkan jenis
merupakan piutang atas nama, maka apabila
aset yang berikan yaitu: Untuk jenis aset berupa
jenis piutang ini akan dialihkan kepada pihak
aset kredit secara perdata merupakan piutang
lain maka menurut Pasal 613 KUHPerdata yang
bank kepada nasabah debiturnya, piutang ini
mengatur tentang cessie menyebutkan bahwa
merupakan piutang atas nama.
“penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
dengan jalan membuat sebuah akta otentik
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang
42
6
Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
atau di bawah tangan, dengan mana hak-
perlekatan, karena daluwarsa, karena
hak atas kebendan itu dilimpahkan kepada
pewarisan, baik menurut undang-undang
orang lain”
maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas
Tagihan tertentu disebut sebagai tagihan atas
suatu peristiwa perdata untuk memindahkan
nama berdasarkan ciri, krediturnya tertentu
hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
dan diketahui dengan baik oleh
debitur.7
berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Tagihan kepada order adalah tagihan-tagihan yang menunjuk orang tertentu kepada siapa
Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka
tagihan harus dilunasi, tetapi disertai dengan
unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan
hak untuk memindahkannya kepada orang
Pasal 584 KUHPerdata adalah:9
lain melalui endosemen, sedangkan tagihan
1. Adanya penyerahan;
atas tunjuk (aan toonder) adalah tagihan-
2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;
tagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi
3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak
untuk memnudahkan pengalihannya) tidak
milik;
tertentu.8
4. Dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dengan benda itu.
Karena dalam Pasal 613 KUHPerdata objek penyerahan yang diatur adalah tagihan atas
Tindakan menyerahkan tidak pernah berdiri
nama dan benda benda tak bertubuh lainnya,
sendiri, tindakan tersebut selalu merupakan
maka pasal tersebut sebenarnya mau
buntut dari suatu peristiwa perdata/rechtitel.
memberikan petunjuk bagaimana kepemilikan
Peristiwa perdata/rechtitel adalah dasar dari
suatu tagihan atas nama dan benda tak
tindakan menyerahkan yang bisa timbul dari
bertubuh lainnya bisa beralih dari pemilik yang
undang-undang, seperti kewajiban mengganti
satu (pemilik asal/ceden) kepada pemilik yang
rugi atas dasar tindakan melawan hukum (Pasal
baru (cessionaris).
1365 BW) atau kewajiban pengembalian atas dasar adanya pembayaran yang tidak terutang
Jadi apabila cessie itu dilakukan oleh Tim
(Pasal 1359 BW dan 1360 BW). Kewajiban
Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
penyerahan juga bisa timbul berdasarkan
613 KUHPerdata, maka terjadi peralihan hak
perjanjian yaitu pada perjanjian obligatoir.10
atas piutang tersebut dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah. Jadi Pemerintahlah yang menjadi
Dalam cessie, karena cessie merupakan
pemilik piutang itu.
perjanjian, maka sesuai dengan ciri perjanjian terhadap penyerahan oleh cedent harus ada
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal
penerimaan oleh cessionaris. Dengan adanya
584 KUHPerdata yaitu “Hak milik atas sesuatu
penyerahan dan penerimaan, maka cessie
kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara
telah terlaksana dengan baik.
lain, melainkan dengan pemilikan, karena
7
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959).
9
Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).
8
Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).
10 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti).
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Berdasarkan Pasal 584 BW, pada dasarnya
Ketika bank masih beroperasi aset kredit
yang melalui suatu penyerahan bisa menjadikan
merupakan aset milik bank, pada saat bank
orang lain sebagai pemilik benda yang
tersebut dilikuidasi maka aset tersebut menjadi
diserahkan adalah mereka yang mempunyai
aset Bank Dalam Likuidasi. Begitupun dengan
kewenangan tindakan pemilikan, yang pada
kepengurusannya. Pasal 10 Peraturan
umumnya adalah sipemilik benda atau
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 diatas
kuasanya.
mengatur Tim Likuidasi merupakan pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi. Mengacu
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pada ketentuan likudasi tersebut maka Tim
hak milik atas suatu tagihan nama, berdasarkan
Likuidasi merupakan pihak yang berhak dan
penyerahan, beralih kepada cessionaris, jika
berwenang untuk menyerahkan aset kredit
penyerahan
itu:11
tersebut kepada Pemerintah.
1. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata (rechetitel)
Selanjutnya untuk kepentingan penagihan
2. Dituangkan dalam suatu akta;
piutang itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal
3. Diserahkan oleh pemilik benda yang
613 ayat (2) KUH Perdata yaitu:
bersangkutan.
“Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan
Apabila ketentuan tersebut dikaitkan dengan
itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis
tindakan Tim Likuidasi menyerahkan aset kredit
disetujui dan diakuinya”.
kepada Pemerintah, perlu dilihat apakah Tim Likuidasi merupakan pihak yang berhak atau
Jadi penyerahan piutang dari Bank Dalam
pihak yang secara hukum dapat dianggap
Likuidasi yang dalam hal ini dilakukan oleh Tim
sebagai pemilik pituang.
Likuidasi kepada Pemerintah cq Kementerian Keuangan baru mengikat debitur setelah terjadi
Terkait dengan hal tersebut ketentuan likudasi
pengalihan itu diberitahukan kepada debitur
(Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1995
sesuai Pasal 613 (KUHPerdata).
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank) mengatur sebagai berikut:
b. Penyelesaian Aset Properti
Pasal 10
Aset properti yang diserahkan terdiri dari 2
(1) Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh
macam:
Tim Likuidasi. (2) Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,
a. Barang Jaminan Yang Diambil Alih (BJDA) b. Aset tetap milik pemegang saham bank,
tanggung jawab dan kepengurusan bank
baik yang diserahkan oleh pemegang
dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.
saham maupun yang disita Tim Likuidasi
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Tim
dari pemegang saham.
Likuidasi berwenang mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan
Tindak lanjut atas serah terima aset tetap/BJDA
dalam penyelesaian hak dan kewajiban
dilakukan pembuatan Akta Kuasa Jual.
bank tersebut.
Selanjutnya atas aset tetap/Barang Jaminan Yang Diambil Alih pencairannya dilakukan melalui mekanisme penjualan lelang. Hasil
11 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010).
44
bersih lelang tersebut akan menjadi pengurang kewajiban dari Bank Dalam Likuidasi.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Barang Jaminan Yang Diambil Alih atau dikenal
Jika pendaftaran ini belum dilakukan maka
pula dengan istilah Agunan yang Diambil Alih
peralihan tersebut tidak mengikat bagi pihak
(AYDA) adalah aktiva yang diperoleh Bank,
ketiga.
baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara
c. Penyerahan Aset Pemegang Saham
sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan
Kepada Pemerintah
kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik
Apakah aset milik pemegang saham dapat
agunan dalam hal debitur tidak memenuhi
diserahkan oleh Tim Likuidasi kepada
kewajibannya kepada Bank.
Pemerintah. Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 25
Barang Jaminan Yang Diambil Alih ini
Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
merupakan aset milik bank sehingga setelah
Pembubaran dan Likuidasi Bank, mengatur
bank dilikuidasi merupakan aset Bank Dalam
sebagai berikut:
Likuidasi, oleh karena itu Tim Likuidasi sebagai
Pasal 24
pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi
(1) Dalam hal harta kekayaan bank dalam
berwenang untuk menyerahkan aset tersebut
likuidasi tidak cukup untuk memenuhi
kepada kreditur dalam hal ini Pemerintah.
seluruh kewajiban bank dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya wajib
Jaminan dalam kredit bank dapat berupa hak
dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota
tanggungan atas tanah, surat-surat berharga
dewan komisaris serta pemegang saham
ataupun fiducia atas barang-barang bergerak.
yang turut serta menjadi penyebab kesulitan
Dengan penyerahan yang dilakukan oleh
keuangan yang dihadapi oleh bank atau
Tim Likuidasi maka BJDA itu beralih kepada
menjadi penyebab kegagalan bank.
Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah berhak
(2) Dalam hal direksi bank yang dicabut izin
untuk mengambil pelunasan yang diambil alih
usahannya tidak bersedia melaksanakan
tersebut. Untuk mengambil alih jaminan itu
tugas dan kewajiban berkaitan dengan
haru diperhatikan ketentuan Pasal 16 Undang-
pencabutan izin usaha bank, atau direksi
undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
dalam keadaan tidak hadir, maka tanpa
Tanggungan yang mengatur bahwa “ (1) Jika
mengurangi tanggung jawab direksi yang
piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
bersangkutan, untuk kepentingan nasabah
beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan,
penyimpan dana Bank Indonesia
atau sebab sebab lain, Hak Tanggungan
membentuk Tim Pengelola Sementara
tersebut ikut beralih karena hukum kepada
untuk menjalankan fungsi direksi sampai
kreditor yang baru. (2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
dengan terbentuknya Tim Likuidasi. (3) Direksi yang tidak bersedia melaksanakan
ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang
tugas dan kewajiban berkaitan dengan
baru kepada Kantor Pertanahan.”
pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank, atau yang dengan sengaja
Berdasarkan ketentuan tersebut peralihan
tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam
jaminan dari Bank Dalam Likuidasi kepada
ayat (1), dapat dikategorikan telah
Pemerintah didaftarkan oleh Pemerintah.
melakukan pelanggaran terhadap Peraturan
Demikan pula halnya dengan BJDA yang diikat
Pemerintah ini, dan dapat dikenakan
dengan fiducia. Pemerintah sebagai kreditur
ancaman pidana dan sanksi administratif
baru wajib mendaftarkan peralihan tersebut.
sebagaimana tercantum dalam Pasal 23.
45
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Berdasarkan ketentuan di atas, bukan hanya
Sementara itu teori hukum perusahaan
pemegang saham bahkan pengurus pun
mengajarkan bahwa Perseroan Terbatas harus
apabila menjadi penyebab kesulitan keuangan
dikelola sesuai dengan ketentuan dalam
yang dihadapi oleh bank atau menjadi
anggaran dasar perseroan dan peraturan
penyebab kegagalan bank maka mereka
perundang-undangan yang berlaku. Anggaran
bertanggung jawab untuk membayar
dasar adalah kontrak antara pendiri perseroan
kewajiban bank apabila aset bank dalam
dengan Pemerintah. Terkait erat dengan tujuan
likuidasi tidak mencukupi untuk membayar
perusahaan. Direksi wajib menggunakan
kewajiban bank dalam likuidasi.
kewenangan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tersebut. Direksi memiliki resonable
Mengenai apakah pemegang saham dapat
discretion yang harus dijalankan dengan iktikad
diminta pertanggungjawaban untuk membayar
baik untuk mencapai tujuan perusahaan.
kewajiban bank. Dr. Zulkarnain Sitompul
Kewenangan tersebut tidak dapat diganggu
berpendapat bahwa ada dua pendekatan
kecuali mereka bersalah karena melakukan
hukum yang dapat digunakan. Menggunakan
penipuan (fraud) dan misappropriation.
hukum perusahaan, Perseroan Terbatas (PT)
Jika Direksi melakukan kegiatan tidak sesuai
adalah badan hukum yang memiliki hak dan
dengan tujuan atau kewenangannya maka
tanggung jawab terpisah dengan pemegang
secara hukum direksi telah melakukan ultra
sahamnya. Sebagai badan hukum, Perseroan
vires (di luar kewenangan). Konsekwensinya
Terbatas memiliki utang dan kewajiban lainnya
membayar ganti rugi dan ancaman pidana
atas namanya sendiri. Hal tersebut berarti
serta keterkaitannya dengan keabsahan
bahwa baik utang maupun kewajiban
perjanjian.12
perusahaan bukan merupakan tanggung jawab pemegang saham. Demikian pula sebaliknya
Terkait dengan prinsip piercing the corporate
perseroan tidak bertanggung jawab terhadap
veil ini, M Yahya Harahap, SH berpendapat
utang dan kewajiban para pemegang
bahwa dakam rangka meningkatkan tegaknya
sahamnya. Akan tetapi ketentuan ini dapat
keadilan dan mencegah ketidakwajaran, pada
dikecualikan apabila terdapat kondisi yang
keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip
dalam hukum perusahaan disebut pierce the
keterpisahan perseroan dari pemegang saham
corporate veil. Kondisi tersebut secara teoretis
secara kasuistik perlu disingkirkan dan dihapus
adalah pertama, terjadi penipuan (fraud)
dengan cara menembus tembok atau tabir
atau ketidakadilan (unfairness) bagi pihak
perseroan atas perisai tanggung jawab
ketiga (misalnya kreditur) dalam pengurusan
terbatas.13 Konsekuensi hukum atas
perseroan. Kedua, pemegang saham tidak
penyingkapan tabir atau piercing the corporate
memperlakukan perseroan sebagai badan
veil ini adalah:
yang terpisah akan tetapi menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Ketiga, perseroan kekurangan modal. Keempat, kondisi lainnya yang dapat menciptakan ketidakadilan (fairness) apabila perseroan tetap diakui sebagai badan hukum. Piercing the corporate veil dapat pula dinyatakan telah terjadi apabila diperlukan untuk mencegah terjadinya penipuan atau untuk menciptakan keseimbangan (equity).
46
12 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diambil dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggungjawab-pemilik_pilar.pdf. 13 M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
-
-
Hilang atau hapus perlindungan tanggung-
hukumnya jelas. Pertama, bahwa terbatasnya
jawab terbatas pemegang saham yang
tanggung jawab pemegang saham telah hilang
digariskan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang
sehingga mereka bertanggung jawab secara
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
pribadi. Harta kekayaan milik mereka harus
Terbatas.14
diambil untuk membayar seluruh kewajiban
Dengan sendirinya pemegang saham ikut
bank. Kedua, komisaris, direksi atau pejabat
memikul risiko bersama-sama dengan
eksekutif lainnya yang bukan pemegang
perseroan dari harta pribadi pemegang
saham juga bertanggung jawab secara pribadi
saham yang bersangkutan.
karena tidak mengurus bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harta benda mereka
Menggunakan pendekatan hukum perbankan15
juga dapat diambil untuk membayar kewajiban
yang secara tegas mengatur pemilik bank
bank. Sedangkan ancaman pidana juga perlu
bertanggung jawab penuh atas kewajiban
diterapkan.
bank apabila mereka ikut menyebabkan terjadinya kebangkrutan. Bahkan Undang-
Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas,
undang Perbankan mengancam pemegang
maka dalam kasus Bank Dalam Likuidasi yang
saham dengan pidana penjara minimal 7
terkait dengan penggunaan dana Bantuan
tahun ditambah denda paling sedikit 10 milyar,
Likuiditas Bank Indonesia dan dana Penjaminan
apabila pemegang saham menyuruh dewan
Pemerintah dapat dipastikan bahwa terdapat
komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya
beberapa pemegang saham Bank Dalam
untuk melakukan atau tidak melakukan
Likuidasi yang dapat diminta pertanggung-
tindakan yang mengakibatkan bank tidak
jawaban untuk membayar kewajiban Bank
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
Dalam Likuidasi kepada Pemerintah.
untuk memastikan ketaatan bank terhadap hukum perbankan. Ancaman pidana yang
d. Kedudukan Pemerintah Sebagai Pihak
sama juga berlaku bagi komisaris, direksi,
Yang Menerima Aset Bank Dalam Likudasi
pegawai bank dan pihak terafiliasi dengan
Pasal 584 KUHPerdata mengatur bahwa “Hak
bank. Faktanya bank yang dicabut ijin usahanya
milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh
banyak yang tidak mentaati rambu-rambu
dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan,
hukum yang telah ditetapkan, misalnya bank
karena perlekatan, karena kadaluarsa, karena
melakukan pelanggaran batas maksimum
pewarisan, baik menurut undang-undang
pemberian kredit dan melakukan transaksi
maupun menurut wasiat, dan karena
fiktif. Dengan kondisi seperti itu dan ketentuan
penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas
hukum perusahaan dan perbankan sebagai-
suatu peristiwa perdata untuk memindahkan
mana dikemukakan di atas konsekwensi
hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka
14 Pasal 3 ayat (1) berbunyi “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.” 15 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggungjawab-pemilik_pilar.pdf
unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan Pasal 584 KUHPerdata adalah:16
16 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: National Legal Reform Program, Gramedia 2010).
47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
1. Adanya penyerahan;
obyektif dapat terjadi dengan mengganti atau
2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;
mengubah isi daripada perikatan. Penggantian
3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak
perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas
milik;
suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi
4. Dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dengan benda itu.
lain. Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang
Menurut Pasal 584 KUHPerdata, hak milik atas
tertentu.
sesuatu kebendaan dapat diperoleh antara lain karena penyerahan berdasarkan atas suatu
2. Kewenangan Tim Likuidasi dalam
peristiwa perdata termasuk memindahkan hak
menjalankan tugasnya setelah jangka waktu
milik dilakukan oleh seorang yang berhak
likuidasi berakhir
berbuat bebas atas kebendaan itu. Berbeda dengan dengan penyelesaian 16 Bank Dalam proses penyerahan aset Bank Dalam
Dalam Likuidasi, penyelesaian 4 Bank Dalam
Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah,
Likuidasi19 sampai tulisan ini dibuat masih belum
peristiwa perdatanya adalah pembayaran dana
mendapatkan solusi penyelesaian mengingat:
talangan Pemerintah dalam hal ini dapatlah
1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama
dikatakan bahwa bank telah melakukan in
5 tahun dan 180 hari telah terlewati, namun
betaling geving (pelunasan) untuk menutup
Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan
hutangnya kepada Pemerintah. In betaling
pertanggungjawaban kepada Rapat Umum
geving (pelunasan) ini pada hakekatnya dapat
Pemegang Saham karena masih adanya aset
juga dikatakan suatu novasi
objektif.17
dan kewajiban Bank Dalam Likuidasi. 2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan
J. Satrio berpendapat bahwa Novasi objektif didasarkan pada Pasal 1413 sub 1, jelasnya atas dasar kata-kata “membuat perikatan
untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa likuidasi dan masa lelang 3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur
hutang baru” dan disini kata perikatan hutang
tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang
harus diartikan sebagai kewajiban perikatan
masih tersisa apabila batas waktu likuidasi
atau prestasi perikatan atau dengan perkataan
terlewati.
lain objek perikatannya. Objek perikatan antara
4. Kementerian Keuangan selaku kreditur
lain meliputi objek prestasi daripada perikatan
mayoritas dan selaku pihak yang telah
yang bersangkutan dan penggantian yang
memberikan dana talangan untuk
dimaksud di sini adalah penggantian objek
membayarkan kewajiban Bank Dalam Likuidasi
prestasi perikatan.18
kepada nasabah penyimpan belum bersedia melakukan serah terima sisa aset dari 4 Bank
Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah
Dalam Likuidasi yang dilikuidasi tahun 2004/
ada diganti dengan perikatan lain. Novasi
2005.
17 Prof. Dr. Siti Ismijati, Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011. 18 J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).
48
19 Pada tahun 2004/2005 sebenarnya ada 5 bank yang dicabut ijin usahanya yaitu: PT. Bank Ratu, PT. Bank Prasidha, PT. Bank Dagang Bali, PT. Bank Asiatic, dan PT. Bank Global. Namun PT. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi) sudah menyelesaikan likuidasinya dengan cara menyerahkan sisa aset kepada Pemerintah.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Penyelesaian dengan cara penyerahan sisa aset
(2) Apabila penyelesaian tugas sebagaimana
Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah menurut
dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat
penulis merupakan alternatif penyelesaian atau
kesulitan yang tinggi maka jangka waktu
merupakan solusi yang cukup ideal walaupun
yang diperkenankan adalah selama- lamanya
terdapat beberapa kelemahan/permasalahan yang
5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim
dihadapi Pemerintah selaku pihak penerima aset.
Likuidasi. (3) Apabila Likuidasi Bank tidak dapat
Namun demikian dalam hal Pemerintah memutuskan
diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-
untuk tidak dapat menerima aset 4 Bank Dalam
mana dimaksud dalam ayat (2), penjualan
Likuidasi sebagai pembayaran kewajiban Bank
harta Bank dilakukan secara lelang.
Dalam Likuidasi tersebut, maka perlu dicari solusi
(4) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
penyelesaian lain mengingat proses penyelesaian
dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang
likuidasi yang sudah hampir berjalan selama sekitar
Negara atau lembaga lain atas permohonan
8 tahun, padahal ketentuan likuidasi yang berlaku
Tim Likuidasi dengan menggunakan
hanya memberi batas selama 5 tahun 180 hari.
metode harga penawaran tertinggi. (5) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
Untuk itu sebelum dikaji mengenai solusi dengan
dalam ayat (4) diselesaikan selambat-
cara apa penyelesaian likuidasi 4 Bank Dalam
lambatnya dalam jangka waktu 180 hari
Likuidasi, perlu terlebih dahulu dikaji mengenai
sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan
kewenangan Tim Likuidasi dalam menjalankan
Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud
tugasnya setelah jangka waktu likuidasi berakhir
dalam ayat (2).
termasuk bagaimana memperkuat kewenaagan Tim Likuidasi dari sisi hukum.
Salah satu permasalahan yang cukup krusial dalam penyelesaian likuidasi bank baik bank
a. Pemberian Kewenangan Tim Likuidasi
yang dilikuidasi pada tahun 1997 maupun
Setelah Jangka Waktu Likuidasi Berakhir.
2004/2005 adalah masalah kewenangan Tim
Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal
Likuidasi setelah jangka waktu likudasi
12 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan
1999 mengatur sebagai berikut:
likuidasi telah berakhir.
(1) Pelaksanaan likuidasi bank wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima)
Setelah jangka waktu likuidasi berakhir Tim
tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya
Likuidasi mulai mendapat hambatan dalam
Tim Likuidasi.
melaksanakan tugasnya, khususnya dalam
(2) Dalam hal likuidasi bank tidak dapat
melakukan upaya penagihan kepada para
diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-
debiturnya. Hambatan tersebut antara lain
mana dimaksud dalam ayat (1), penjualan
muncul pada saat Tim Likuidasi melakukan
harta bank dalam likuidasi dilakukan secara
gugatan untuk melakukan penagihan kepada
lelang.
debitur. Terkait dengan permasalahan ini salah
Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR
satu contoh adalah kasus gugatan dari PT. Bank
diatur sebagai berikut:
Pinaesaan (Dalam Likuidasi) kepada debiturnya
(1) Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya
PT. AMF (sebuah lembaga keuangan non-bank
secara efisien dan efektif sehingga dapat
yang salah satu usahanya adalah menerbitkan
menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu
menerbitkan promisory note). Dalam mengelola
singkat.
dana pada PT. Bank Pinaesaan (dalam Likuidasi),
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Tim Likuidasi menempatkan sebagian dananya
(1) Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya
dengan membeli promisory note kepada PT.
secara efisien dan efektif sehingga dapat
AMF, namun pada saat Tim Likuidasi akan
menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu
mencairkan promisory note tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati, PT. AMF
singkat. (2) Apabila penyelesaian tugas sebagaimana
melakukan wanprestasi yaitu tidak dapat
dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat
menyediakan dana untuk mencairkan promisory
kesulitan yang tinggi maka jangka waktu
note milik PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi).
yang diperkenankan adalah selama-lamanya
Karena wanprestasi tersebut Tim Likuidasi PT.
5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim
Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) menggungat PT. AMF. Namun dalam putusan Pengadilan
Likuidasi. (3) Apabila Likudasi Bank tidak dapat
Jakarta Pusat No. 121/PDT.G/2005/PN.JKT.PST
diselesaikan dalam jangka waktu
gugatan tersebut di tolak oleh Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bahwa
penjualan harta Bank dilakukan secara
Tim Likuidasi PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) tidak dalam kapasitasnya sebagai
lelang. (4) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
Tim Likuidasi karena berdasarkan ketentuan
dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang
likudasi jangka waktu likuidasi telah berakhir.
Negara atau lembaga lain atas permohonan Tim Likuidasi dengan menggunakan metode
Dengan memperhatikan permasalahan di atas, pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi
harga penawaran tertinggi. (5) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
untuk tetap melaksanakan tugasnya
dalam ayat (4) diselesaikan selambat-
menyelesaikan proses likuidasi (melakukan
lambatnya dalam jangka waktu 180 hari
penjualan aset dan membayar kewajiban Bank
sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan
Dalam Likuidasi) setelah berakhirnya jangka
Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud
waktu likuidasi menjadi sangat diperlukan
dalam ayat (2).
untuk kelancaran proses likuidasi. Berdasarkan ketentuan di atas sudah tegas Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal
bahwa jangka waktu likuidasi adalah paling
12 PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan
lama 5 Tahun dan apabila tidak selesai maka
Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
dapat dilanjutkan dengan melakukan
mengatur bahwa Pelaksanaan likuidasi bank
pelelangan. Dengan ketentuan tersebut apakah
wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling
otomatis Tim Likuidasi juga sudah tidak
lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
berwenang untuk menyelesaikan tugasnya
dibentuknya Tim Likuidasi. Dalam hal likuidasi
dalam proses likuidasi bank.
bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Atas permasalahan tersebut Prof. DR. Phillipus
penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan
M. Hadjon berpendapat bahwa20 “Ketentuan
secara lelang.
5 Tahun 180 hari merupakan persoalan cacat di dalam pengaturannya. Berakhirnya jangka
Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KE/DIR tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum mengatur bahwa:
50
20 Prof. DR. Philipus M. Hadjon, Diskusi Terbatas Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, (Jakarta: Bank Indonesia, 8 November 2004).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
waktu 5 tahun 180 hari tidak secara otomatis
Pasal 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1992
Tim Likuidasi bubar sebab Tim Likuidasi
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
mempunyai legalitas. Oleh karena itu selama
dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,
Tim Likuidasi belum dibubarkan oleh Rapat
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan
Umum Pemegang Saham maka Tim Likuidasi
SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR menempatkan
masih memiliki kewenangan untuk melakukan
posisi RUPS sebagai lembaga yang cukup sentral
pencairan aset dan menyelesaikan kewajiban
dimana bank setelah izin usahanya dicabut
Bank Dalam Likuidasi”.
oleh Bank Indonesia, kemudian diperintahkan untuk mengadakan RUPS guna membubarkan
Berangkat dari pendapat tersebut penulis
badan hukum bank dan membentuk Tim
berpendapat bahwa secara hukum kewenangan
Likuidasi untuk kemudian melaui dilakukan
Tim Likuidasi untuk melakukan tugasnya dalam
proses likuidasi.21
menyelesaikan proses likuidasi Bank Dalam Likuidasi harus diperkuat dengan dasar hukum
Hal ini berbeda dengan ketentuan likuidasi
yang memadai. Oleh karena itu untuk
yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2004
memperkuat kedudukan hukum Tim Likuidasi
tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
adalah dengan memberikan kewenangan
yang mengatur bahwa ketika bank bermasalah
kepada Tim Likuidasi untuk dapat melakukan
dan diputuskan untuk tidak diselamatkan,
tugasnya dalam menyelesaikan proses likuidasi
dan oleh karenanya LPS membayarkan dana
walaupun jangka waktu likuidasi telah berakhir
penjaminan kepada nasabah Bank Dalam
(memperpanjang jangka waktu tugas Tim
Likuidasi, LPS mengambil alih wewenang
Likuidasi). Terdapat beberapa cara yang dapat
RUPS. Untuk keperluan pemberesan atas aset
dilakukan untuk memperpanjang jangka waktu
dan kewajiban BDL tersebut LPS membentuk
pelaksanaan tugas Tim Likuidasi, yaitu:
Tim Likuidasi yang akan bertanggungjawab
a. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
kepada LPS (bukan kepada RUPS).
Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi berdasarkan keputusan Rapat Umum
Selain pada saat pembentukan Tim Likuidasi
Pemegang Saham (RUPS).
dalam ketentuan likuidasi diatur bahwa
b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku otoritas
kewenangan Tim Likuidasi juga dalam hal pembubaran atau pengakhiran likuidasi.
pengawas Bank Dalam Likuidasi. c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi melalui penetapan pengadilan.
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 mengatur dalam hal Tim Likuidasi dibentuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham,
b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Tim Likuidasi wajib menyusun Neraca Akhir
Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi
Likuidasi guna dilaporkan kepada Bank
berdasarkan keputusan Rapat Umum
Indonesia dan dipertanggungjawabkan kepada
Pemegang Saham (RUPS)
Rapat Umum Pemegang Saham.
Dalam ketentuan likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR) diatur bahwa Tim Likuidasi dibentuk dan dibubarkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
21 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006)
51
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Dalam hal neraca akhir likuidasi telah disetujui
Selanjutnya Pasal 13 mengatur sebagai berikut:
Bank Indonesia, dan Rapat Umum Pemegang
(1) Dalam melaksanakan tugas dan
Saham telah menerima pertangungjawaban
wewenangnya anggota Tim Likuidasi
Tim Likuidasi maka Rapat Umum Pemegang
dilarang memperoleh keuntungan untuk
Saham:
diri sendiri.
a. meminta Tim Likuidasi: -
(2) Anggota Tim Likuidasi bertanggung jawab
mengumumkan berakhirnya likuidasi
secara pribadi apabila dalam melaksanakan
dan perseroan dengan menempatkan
tugasnya melanggar ketentuan
dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
dan dalam surat kabar harian yang -
mempunyai peredaran luas;
Selanjutnya dalam Pasal 20 SK Dir BI No.
memberitahukan kepada instansi yang
32/53/KEP/DIR diatur bahwa tanggung jawab
berwenang;
pengelolaan bank beralih dari pengurus bank
memberitahukan kepada Departemen
kepada Tim Likuidasi.
Perindustrian dan Perdagangan agar nama badan hukum bank tersebut
Pasal 25 ayat (2) mengatur wewenang Tim
dicoret dari Daftar Perusahaan;
Likuidasi antara lain:
b. membubarkan Tim Likuidasi.
-
mewakili Bank Dalam Likuidasi di dalam dan di luar pengadilan.
Berdasarkan ketentuan di atas dalam proses likuidasi Rapat Umum Pemegang Saham
-
memutuskan hubungan kerja terhadap pegawai.
berperan dalam proses pengakhiran likuidasi yaitu dalam bentuk menerima pertanggung-
Memperhatikan ketentuan likuidasi di atas,
jawaban Tim Likuidasi dan juga melakukan
sebagian tugas dan wewenang Tim Likuidasi
pembubaran Tim Likuidasi.
menurut penulis hampir sama dengan tugas dan wewenang Direksi pada Bank yang
Selanjutnya terkait dengan kedudukan Tim
masih beroperasi. Begitupun dengan
Likuidasi dalam Peraturan Pemerintah No. 25
pengangkatannya, Tim Likuidasi dan Direksi
Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
sama-sama diangkat oleh Rapat Umum
Pembubaran dan Likuidasi diatur sebagai
Pemegang Saham. Sehubungan dengan itu
berikut:
maka wajar apabila disebutkan bahwa dalam ketentuan likuidasi ini kedudukan Rapat Umum
Pasal 10 mengatur bahwa:
Pemegang Saham masih cukup sentral.
(1) Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh
Berdasarkan uraian di atas, maka perpanjangan
Tim Likuidasi. (2) Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,
tugas Tim Likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir dapat dilakukan melalui
tanggung jawab dan kepengurusan bank
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham,
dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.
adapun jangka waktu perpanjangan tersebut
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Likuidasi berwenang mewakili bank dalam
disesuaikan dengan kondisi Bank Dalam Likuidasi tersebut.
likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dalam penyelesaian hak dan kewajiban
Namun demikian perpanjangan jangka waktu
bank tersebut.
atau pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi melalui keputusan Rapat Umum
52
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Pemegang Saham sangat tergantung dari
pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan
itikad baik para pemegang saham untuk
kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat
menyelesaikan likuidasi. Tanpa itikad baik dari
tinggal pemohon.23
para pemegang saham untuk memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi pelaksanaan
Perkara permohonan termasuk dalam
Rapat Umum Pemegang Saham tidak akan
pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan
terjadi, dan tidak ada pihak lain termasuk
permohonan yang diajukan itu, hakim akan
otoritas pengawas bank dalam likuidasi dalam
memberikan suatu penetapan. Pengadilan
hal ini Bank Indonesia yang bisa memaksa
Negeri hanya berwenang untuk memeriksa
para pemegang saham untuk melakukan rapat.
dan mengabulkan permohonan (penetapan), apabila hal itu ditentukan dalam undang-
c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
undang atau yurisprudensi.24
Likuidasi melalui penetapan pengadilan. Peranan pengadilan dalam ketentuan likuidasi
Dalam undang-undang tidak ada ketentuan
antara lain adalah atas permohonan dari
yang mengatur mengenai perpanjangan jangka
Bank Indonesia, mengeluarkan penetapan
waktu Tim Likuidasi ataupun ketentuan yang
pembubaran badan hukum bank, penunjukan
mengatur mengenai proses likuidasi ketika
tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi
jangka waktunya berakhir, namun dalam
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yurisprudensi setidaknya telah ada 2 penetapan
yang berlaku dalam hal para pemegang saham
Pengadilan Negeri yang mengeluarkan
tidak dapat menyelenggarakan Rapat Umum
penetapan perpanjangan masa tugas Tim
Pemegang Saham untuk memutuskan hal
Likuidasi, yaitu Penetapan Pengadilan Negeri
tersebut.
Jakarta Selatan Nomor 321/PDT.P/2003/ PN.JAKSEL tanggal 17 Nopember 2003 adalah
Mengingat peranan pengadilan dalam
penetapan untuk perpanjangan masa tugas
menetapkan pembentukan Tim Likuidasi,
Tim Likuidasi Bank Industri (DL) dan Penetapan
apakah pengadilan juga dapat mengeluarkan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
putusan/penetapan untuk memberikan
20/PDT.P/2004/PN.JAKSEL tanggal 9 Februari
kewenangan kepada Tim Likuidasi (menetapkan
2004 untuk perpanjangan masa tugas Tim
perpanjangan jangka waktu Tim Likuidasi)
Likuidasi PT. Bank Harapan Sentosa (DL).
guna menyelesaikan tugasnya dalam proses likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir.
Berdasarkan yurisprudensi di atas, maka salah
Untuk mengajukan pernetapan tersebut pihak
satu cara yang dapat dilakukan untuk
yang berkepentingan harus mengajukan
memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi
permohonan kepada Ketua Pengadilan.
adalah dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri.
Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata22 yang diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh
23 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994). 22 M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
24 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994).
53
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
d. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku
1999, Rapat Umum Pemegang Saham
otoritas pengawas Bank Dalam Likuidasi
memang masih mempunyai kedudukan yang
Kedudukan Bank Indonesia dalam ketentuan
cukup sentral karena masih berperan dalam
likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 tahun
pembentukan Tim Likuidasi dan sekaligus
1999 dan SK Dir Bi No. 32/53/KEP/DIR) adalah
pembubarannya. Namun demikian peraturan
sebagai berikut:
likuidasi tersebut sudah mengantisipasi dalam
-
melakukan pengawasan atas pelaksanaan
hal pemegang saham tidak kooperatif dalam
pembubaran badan hukum dan likuidasi
pelaksanaan likuidasi (karena biasanya likuidasi
bank.
bank merupakan sesuatu yang dihindari oleh
memberikan persetujuan terhadap calon
para pemegang saham). Dalam prakteknya
anggota Tim Likuidasi.
hampir selalu pemegang berusaha untuk
meminta kepada Pengadilan untuk
melawan tindakan penutupan bank tersebut.
melakukan pembubaran badan hukum Bank,
Tidak jarang pula pemegang saham yang
penunjukan Tim Likuidasi, memerintahkan
menggugat Bank Indonesia sebagai lembaga
pelaksanaaan likuidasi sesuai dengan
yang mempunyai otoritas untuk mencabut
ketentuan dan memerintahkan agar Tim
izin usaha bank.
-
Likuidasi mempertanggungjawabkan
-
-
-
pelaksanaan likuidasi kepada Bank Indonesia,
Berangkat dari pemikiran tersebut dalam
dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham
ketentuan likuidasi diatur bahwa apabila
tidak dapat diselenggarakan.
pemegang saham tidak dapat mengadakan
memberhentikan Tim Likuidasi apabila tidak
rapat umum pemegang saham untuk
dapat menjalankan tugas dengan baik dan
melakukan pembubaran badan hukum dan
atau terbukti melakukan pelanggaran
pembentukan Tim Likuidasi, maka Bank
terhadap ketentuan perundang-undangan
Indonesia sebagai otoritas pengawas bank
yang berlaku.
dalam likuidasi diberikan wewenang untuk
memberikan persetujuan Neraca Akhir
meminta ke pengadilan untuk menetapkan
Likuidasi.
pembentukan Tim Likuidasi. Bahkan untuk
menerima laporan dan
pengakhiran likuidasi dan pembubaran Tim
pertanggungjawaban Neraca Akhir
Likuidasi bagi Tim Likuidasi yang dibentuk
Likuidasi yang disusun oleh Tim Likuidasi,
berdasarkan Penetapan Pengadilan, Bank
dalam hal Tim Likuidasi dibentuk
Indonesia lah yang melakukan pembubaran
berdasarkan penetapan pengadilan.
Tim Likuidasi tersebut.
meminta Tim Likuidasi: mengumumkan berakhirnya likuidasi dan perseroan dengan
Dalam proses likuidasi bank, kedudukan Bank
menempatkan dalam Berita Negara
Indonesia selain sebagai pengawas juga
Republik Indonesia dan dalam surat kabar
bertindak sebagai regulator untuk Bank Dalam
yang mempunyai peredaran luas;
Likuidasi. Dengan posisi Bank Indonesia
memberitahukan kepada instansi yang
tersebut Bank sebagai lembaga negara
berwenang; memberitahukan kepada
mempunyai kewenangan publik dalam
Departemen Perindustrian dan Perdagangan
melaksanakan tugasnya termasuk dalam
agar nama badan hukum bank tersebut
menyelesaikan permasalahan likuidasi bank.
dicoret dari daftar perusahaan. -
54
membubarkan Tim Likuidasi.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Bank Indonesia sebagai lembaga administrasi
Likuidasi. Sebagaimana disebutkan di atas,
negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu
bahwa diskresi digunakan untuk menyelesaikan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri
persoalan-persoalan penting dan mendesak
menyelesaikan berbagai permasalahan pelik
serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif.
yang membutuhkan penanganan secara cepat,
Penyelesaian likuidasi merupakan permasalahan
sementara peraturan terhadap permasalahan
yang bersifat penting dan mendesak. Penting
itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu
karena terkait dengan kepastian hukum dalam
dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga
penyelesaian likuidasi termasuk penyelesaian
legislatif yang kemudian dalam hukum
pengembalian uang penjaminan Pemerintah
administrasi negara diberikan kewenangan
yang digunakan bank untuk mengembalikan
bebas berupa diskresi.
dana nasabah. Bersifat mendesak karena proses likuidasi bank telah berlangsung lama dan
S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan
telah melewati jangka waktu yang ditentukan
diskresi, discretion (Inggris), discretionair
oleh ketentuan.
(Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak atau mengambil
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas
keputusan dari para pejabat administrasi negara
bank dalam likuidasi punya cukup landasan
yang berwenang dan berwajib menurut
hukum untuk memberikan kewenangan
pendapat sendiri.
kepada Tim Likudasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir.
Produk hukum dari Badan/Pejabat administrasi Pemerintahan yang berupa dokumen-dokumen yang mengandung materi penetapan yang
3. Alternatif Penyelesaian Likuidasi 4 Bank Yang Dicabut Ijin Usahanya Tahun 2004/2005
bersifat konkrit, individual dan final dalam hukum administrasi disebut dengan keputusan
Seperti telah diuraikan di atas, pemberian
(Beschikking), sedangkan dokumen-dokumen
kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah masa
yang mengandung materi pengaturan yang
likuidasi berakhir atau pemberian kewenangan
bersifat umum disebut peraturan (regeling).
kepada Tim Likuidasi untuk menyelesaikan
Sedangkan peraturan kebijaksanaan adalah
likuidasi Bank Dalam Likuidasi diperlukan untuk
(beleid regels), adalah merupakan produk
memberikan landasan hukum bagi Tim Likuidasi
hukum yang lahir dari kewenangan mengatur
dalam menyelesaikan likuidasi Bank Dalam
kepentingan umum secara mandiri atas dasar
Likuidasi. Baik dengan cara penyelesaian likuidasi
prinsip freies
ermessen.25
melalui penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah maupun dengan alternatif
Berdasarkan terori yang diuraikan di atas Bank
penyelesaian yang lain.
Indonesia sebagai badan admintrasi negara mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan
Terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang
diskresi atau peraturan kebijaksanaan untuk
dapat ditempuh untuk menyelesaikan proses
memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi
likuidasi 4 Bank Dalam Likuidasi dalam hal
atau memperpanjang jangka waktu kerja Tim
penyelesaian dengan jalan penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi tidak dapat dilakukan.
25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177.
55
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
a. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan
a. Pengurusan diri pribadi dan harta kekayaan
sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada
anak-anak yang belum dewasa selama
Balai Harta Peninggalan
belum ditunjuk seorang wali atas mereka
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri
(Pasal 359 KUHPerdata atau disebut juga
Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun
Wali Sementara).
1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan
b. Sebagai wali pengawas (Pasal 356 KUHPerdata)
menentukan bahwa Balai Harta Peninggalan
c. Mewakili kepentingan anak-anak belum
adalah unit pelaksana penyelenggara hukum
dewasa dalam hal ada pertentangan
di bidang harta peninggalan dan perwalian
dengan kepentingan wali (Pasal 370
dalam lingkungan Departemen Kehakiman,
KUHPerdata)
yang berada di bawah dan bertanggungjawab
d. Pengurusan harta kekayaan anak-anak
langsung kepada Direktur Jenderal Hukum
belum dewasa dalam hal pengurusan itu
dan Peraturan Perundangundangan melalui
dicabut dari wali mereka (Pasal 338
Direktur
Perdata.26
KUHPerdata) e. Pengampuan atas anak yang masih dalam
Selanjutnya dalam Rancangan Undang-Undang
kandungan (Pasal 348 KUHPerdata)
tentang Balai Harta Peninggalan, Balai Harta
f. Pendaftaran dan pembukaan surat-surat
Peninggalan adalah unit pelaksana teknis dalam
wasiat (Pasal 41 dan 42 OV dan Pasal 937
lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selanjutnya membidangi perwalian,
dan Pasal 942 KUHPerdata). g. Pengurusan harta peninggalan yang tidak
pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan
ada kuasanya (onbeheerde
tidak terurus, pendaftaran surat wasiat, surat
nalatenschappen; Pasal 1126, Pasal 1127
keterangan waris, dan kepailitan.27
dan 1128 KUHPerdata), demikian pula pengurusan barang-barang peninggalan
Sejak kemerdekaan hingga sekarang ini secara
dari penumpang-penumpang dan awak
struktural Balai Harta Peninggalan merupakan
kapal yang meninggal dunia, hilang atau
unit organisasi sekaligus unit kerja yang berada
tertinggal pada kapal-kapal Indonesia (Stb.
dibawah dan oleh karenanya bertanggung
1886/131).
jawab langsung kepada Direktur Jenderal
h. Pengurusan boedel-boedel dari orang-
Administrasi Hukum Umum Departemen
orang yang tidak hadir (boedel van
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
afwezigen), (Pasal 463 KUHPerdata).
Indonesia melalui Direktorat Perdata. Tugastugas Balai Harta Peninggalan di Indonesia
Tugas Balai Harta Peninggalan mewakili dan
diatur secara terpisah di berbagai peraturan
mengurus kepentingan orang-orang (badan
perundangan yang ada, yang pada pokoknya
hukum) yang karena hukum atau putusan
antara lain sebagai berikut:
hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat terpenuhi perlindungan atau terayominya
26 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.0180 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan 27 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
56
hak asasi manusia, khususnya yang karena hukum dan penetapan pengadilan dianggap tidak cakap bertindak di bidang hak milik (personal right) berdasarkan peraturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
perundang-undangan yang berlaku.28 Secara
Dengan memperhatikan tugas-tugas dari Balai
lengkap tugas Balai Harta Peninggalan yaitu
Harta Peninggalan, baik yang berlaku sekarang
melakukan pengawasan dalam hal Perwalian,
maupun yang tercantum dalam Rancangan
Pengampuan, mengurus harta peninggalan yang
Undang-Undang. Terdapat beberapa tugas
tak ada kuasanya, mengurus harta kekayaan
dari Balai Harta Peninggalan yang bisa
orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak
dikaitkan dengan pengurusan sisa aset Bank
hadir, membuka dan mendaftarkan wasiat
Dalam Likuidasi, yaitu mengurus harta
terakhir pewaris, pembuatan Surat Keterangan
peninggalan yang tidak terurus, dan mengurus
Hak Waris dan Kurator dalam Kepailitan, dan
harta kekayaan orang (subyek hukum) yang
tugas baru yang merupakan amanah dari Bank
dinyatakan tidak hadir.
Indonesia yaitu menerima dan mengelola hasil transfer dana secara tunai yang tidak diklaim
b. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan
oleh pihak yang mentransfer maupun pihak
untuk mengurus harta kekayaan orang
yang ditransfer setelah dilakukan pemanggilan
(subyek hukum) yang dinyatakan tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
hadir
undangan di bidang perbankan29, sehingga
Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid)
secara sosiologi bahwa Balai Harta Peningalan
diatur dalam buku I Bab XVIII Kitab Undang-
merupakan lembaga yang diharapkan dapat
Undang Hukum Perdata mulai Pasal 463 - 465.
memberikan pelayanan hukum di bidang harta
Abdul Kadir Muhammad mengemukakan
peninggalan bagi yang
membutuhkan.30
unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai berikut:32
Dalam Rancangan Undang-Undang Balai Harta
1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu
Peninggalan, tugas Balai Harta Peninggalan
anggota keluarga mungkin suami, mungkin
adalah:31
istri, mungkin anak.
Melaksanakan penyelesaian masalah perwalian,
2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya
pengampuan, ketidakhadiran, dan harta
tidak ada di lingkungan keluarga dimana
peninggalan tidak terurus.
mereka berdiam serta mempunyai hak dan
a. Melaksanakan penyelesaian pembukaan dan pendaftaran surat wasiat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
kewajiban hukum. 3. Bepergian atau meninggalkan tempat kediaman, artinya menuju dan berada di
b. Membuat surat keterangan waris.
tempat lain karena suatu keperluan atau
c. Melaksanakan penyelesaian masalah
tanpa keperluan.
kepailitan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan persetujuan dan sepengetahuan anggota keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga. 5. Tak diketahui dimana tempat ia berada, artinya tempat lain yang dituju dan dimana
29 Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
ia berada tidak diketahui sama sekali,
30 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ 31 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
32 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000).
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
karena yang bersangkutan tidak memberi
Dalam penetapan ketidakhadiran dapat
kabar atau karena sulit berkomunikasi.
sekaligus ditunjuk Balai Harta Peninggalan
Tidak memberi kabar mungkin karena ada
setempat yang akan bertugas mengurus dan
halangan, misalnya terjadi perang,
yang mewakili serta membela segala
pemberontakan, kecelakaan, bencana
kepentingan si tak hadir itu selama
alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang
ketidakhadirannya, akan tetapi dengan tidak
dengan sengaja supaya tidak berurusan
mengurangi kewenangan hakim untuk
lagi dengan keluarganya (putus asa).
menunjuk seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda dari si yang tak hadir
Ketidakhadiran tidak hanya berlaku untuk
atau kepada isteri atau suaminya untuk
orang perseorangan namun dalam prakteknya
keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata).
berlaku juga untuk subjek hukum (badan
Selanjutnya setelah penetapan tentang
hukum). Unsur-unsur suatu obyek tertentu
ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan
untuk dapat dinyatakan ketidakhadiran
hukum yang tetap, maka pengurus atau
seseorang sehubungan dengan pengurusan
wakilnya akan melaksanakan segala tindakan
hartanya yaitu:33
pengurusan maupun tindakan pemilikan bila
1. Adanya orang yang telah meninggalkan
perlu sesuai dengan kepentingan atau
tempat tinggalnya;
kekayaan tak hadir dimaksud.
2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tak hadir untuk memenuhi kepentingannya
Permohonan itu bisa karena permohonan yang
atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah
diajukan oleh pihak yang berkepentingan
berakhir;
dengan harta kekayaan tak hadir itu sesuai
3. Adanya harta kekayaan dari orang yang dinyatakan tak hadir; 4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna
dengan prosedur dan syarat-syarat yang diperlukan, yang tentu saja sebelum keputusan dikeluarkan sangat diperlukan adanya tahapan-
mengurus seluruh atau sebagian harta
tahapan yang harus dilalui oleh baik organ
kekayaan itu;
negara di satu pihak maupun warga
5. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri
masyarakat di pihak lain. Dalam praktek
setempat tentang ketidakhadiran
tahapan itu didahului dengan meletakkan atau
(afweizigheid) seseorang;
menempelkan pengumuman selama 3 x 2
6. Adanya permintaan dari yang berkepentingan atau tuntutan Kejaksaan.
minggu berturut-turut di papan pengumuman yang terdapat di Pengadilan Negeri setempat dan sesudah lampau waktu tersebut maka
Setelah menerima salinan Penetapan dari
Pengadilan Negeri akan memutuskan untuk
Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan
menerbitkan penetapan (beschikking)
sudah dapat bertindak mewakili dan mengurus
ketidakhadiran dimaksud. Penetapan Hakim
harta orang yang dinyatakan tidak hadir
yang dimaksudkan menjadi dasar bagi Balai
diantaranya sebagaimana diatur dalam Pasal
Harta Peninggalan setempat dalam
456, 463, 464, KUHPerdata.
melaksanakan tugasnya sebagai pengurus harta kekayaan serta yang mewakili dan yang membela segala kepentingan dari si tak hadir
33 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/
58
tadi, akan tetapi penetapan hakim dimaksud baru dapat dilaksanakan oleh Balai Harta Peninggalan setempat sesudah penetapan itu
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
mempunyai kekuatan hukum (in kracht van
penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi
gewijsde).34
kepada Balai Harta Peninggalan, yaitu: 1. Adanya subjek hukum yang tidak hadir,
Apabila dikaitkan dengan penyelesaian likuidasi
dalam hal ini kreditur Bank Dalam Likuidasi.
sebelumnya perlu dikaji terlebih dahulu apakah
Untuk menentukan ketidak hadiran ini
yang dimaksud dengan subjek hukum ini
harus dilakukan pengumuman bagi para
termasuk Pemerintah yang dalam hal ini
kreditur atau apabila krediturnya
merupakan kreditur Bank Dalam Likuidasi.
Pemerintah, Pemerintah dapat menyatakan tidak hadir dan pernyataan tersebut yang
Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum
dijadikan sebagai dasar penetapan hakim
dalam tindakan perdata, maka Pemerintah
mengenai ketidakhadiran tersebut.
merupakan badan hukum, karena menurut
2. Adanya harta kekayaan dari orang yang
Apeldoorn, negara, propinsi, kotapraja dan
dinyatakan tak hadir, dalam hal ini sisa
lain sebagainya adalah badan hukum. Hanya
aset Bank Dalam Likuidasi.
saja pendiriannya tidak dilakukan secara
3. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna
khusus, melainkan tumbuh secara historis.35
mengurus seluruh atau sebagian harta
Pemerintah dianggap sebagai badan hukum,
kekayaan itu, alasan yang mendesak dalam
karena Pemerintah menjalankan kegiatan
hal ini adalah penyelesaian likuidasi bank
komersial (acts jure gesionis).
yang berlarut-larut, ketentuan yang ada tidak mengaturnya dan terdapat potensi
Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat di temukan dalam pasal 1653 BW, yang
pengembalian keuangan negara. 4. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri
menyebutkan:
setempat tentang ketidakhadiran
“ Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan
(afweizigheid) seseorang;
orang-orang sebagai badan hukum juga di
5. Adanya permintaan dari yang
akui undang-undang, entah badan hukum itu
berkepentingan dalam hal ini bisa
diadakan oleh kekuasaan umum atau di akui
dilakukan oleh Tim Likuidasi ataupun oleh
sebagai demikian, entah pula badan hukum
Bank Indonesia.
itu di terima sebagai yang di perkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka
tertentu yang tidak bertentangan dengan
pemikiran penyelesaian likuidasi bank dengan
undang-undang atau kesusilaan”.
cara menyerahkan pengurusan kepada Balai Harta Peninggalan patut dipertimbangkan
Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa
diatur dalam Undang-undang tentang Balai
hal yang dapat dijadikan dasar untuk
Harta Peninggalan yang saat ini sedang
mendukung penyelesaian likudasi dengan
dilakukan pembahasan oleh Pemerintah. c. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan dalam mengurus harta peninggalan yang
34 Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009). 35 L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982)
tidak terurus Pengertian peninggalan yang tidak terurus (Onbeheerde) adalah tidak ada yang menguasai/memiliki/mengurus, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan (Pasal 520, 1126
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
KUHPerdata/BW). Sedangkan untuk harta tak
melakukan langkah-langkah antara lain:38
terurus berdasarkan (Pasal 1126, 1127, 1128
1. Pendaftaran budel bila dirasakan perlu;
KUHPerdata/BW) dapat diberikan batasan
2. Melakukan penyegelan terhadap budel
yaitu ”Jika suatu warisan terbuka, tidak seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli waris yang dikenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus”.
tersebut; 3. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri setempat; 4. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan;
Berdasarkan ketentuan di atas, Unsur-unsur harta tak terurus antara
lain:36
5. Mengumumkan dalam Berita Negara dan sedikitnya 2 (dua) surat kabar dengan ikhtisar
1. Adanya orang yang meninggal dunia;
pengumuman mengenai pemanggilan para
2. Adanya harta yang ditinggalkan oleh
ahli waris atau pihak yang berkepentingan;
almarhum/almarhumah; 3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada para ahli waris menolak adanya warisan tersebut; 4. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan pengurusan harta peninggalan itu;
Terkait dengan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan diatur bahwa: 1. Apabila suatu warisan terbuka, tidak ada
Dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan,
seorangpun yang menggugat atau semua
definisi Harta Peninggalan tidak terurus adalah
ahli waris yang dikenal menolaknya maka
suatu warisan yang tidak seorangpun
warisan tersebut merupakan harta
menggugat atau semua ahli waris yang dikenal
peninggalan tak terurus.
menolaknya.37
2. Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan pengurusan atas
Proses pengurusan harta peninggalan diawali
setiap harta peninggalan tidak terurus
dengan adanya Penetapan dari Pengadilan
dan wajib memberitahukannya kepada
Negeri Setempat akan adanya ketidakhadiran
kejaksaan.
maupun harta tak terurus. Pengurusan harta
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat
tak terurus dilakukan dengan adanya proses
mengenai harta peninggalan terurus atau
pemeriksaan harta peninggalan seseorang
tidak terurus maka atas permintaan yang
yang telah meninggalan dunia yang akta
berkepentingan atau atas usul jaksa demi
kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan
kepentingan umum, pengadilan
Sipil yang dilaporkan kepada Balai Harta
mengeluarkan penetapan.
Peninggalan. Setelah menerima laporan
4. Dalam jangka waktu paling lambat 14
kematian tersebut, Balai Harta Peninggalan
(empat belas) hari setelah adanya penetapan,
wajib mengurus harta tersebut dengan
pengadilan wajib menyampaikan salinan penetapan tersebut kepada Balai Harta Peninggalan.
36 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ 37 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
60
38 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
5. Balai Harta Peninggalan wajib
Tugas Balai Harta Peninggalan untuk
mengumumkan adanya harta tidak terurus
menyelesaikan kepailitan telah diatur dalam
sebagaimana dalam surat kabar dan Berita
Pasal 13 Peraturan Kepailitan Stb. 1905 No.
Negara.
217. Kemudian sekarang diatur dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 70 ayat (1) huruf a UU
Apabila dikaitkan dengan permasalahan
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
penyelesaian likuidasi bank, setelah Tim
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Likuidasi diberikan perpanjangan waktu untuk
(PKPU). Dalam undang-undang tersebut
menyelesaikan likuidasi namun masih terdapat
disebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta
aset yang tidak dapat dicairkan dan Bank
Peninggalan atau orang perseorangan yang
Indonesia sebagai pengawas bank dalam
diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus
likuidasi sudah memandang likuidasi harus
dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah
segera diakhiri. Aset tersebut ditawarkan
pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan
kepada kreditur, dalam hal kreditur melakukan
Undang-Undang ini.
penolakan atau menolak untuk menerima aset bank dalam likuidasi tersebut. Tim
Secara esensial terdapat persamaan karakter
Likuidasi dapat meminta pengadilan untuk
antara kepailitan dan likuidasi bank. Keduanya
mengeluarkan penetapan bahwa aset tersebut
merupakan lembaga exit policy dengan fokus
merupakan harta yang tidak terurus. Atas
menyelesaikan hak dan kewajiban atas suatu
dasar penetapan pengadilan tersebut maka
badan hukum yang tidak dapat lagi menjalankan
pengurusan aset tersebut diserahkan kepada
usahanya.39
Balai Harta Peninggalan. Terkait dengan permasalahan ini Zulkarnain Atas dasar pemikiran tersebut maka pengaturan
Sitompul40 berpendapat bahwa secara teoritis,
penyelesaian likuidasi bank dalam likuidasi
terdapat dua mekanisme penyelesaian bank
dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan
bermasalah yaitu melalui proses kepailitan dan
merupakan salah satu solusi penyelesaian
melalui proses likuidasi. Pada awalnya di banyak
permasalahan likuidasi bank.
negara, hukum perbankan tidak mengatur kepailitan bank. Bank bermasalah diselesaikan
d. Memberikan tugas penyelesaian likuidasi
dengan hukum kepailitan umum. Bank yang
bagi Balai Harta Peninggalan
ijin usahanya dicabut dilikuidasi berdasarkan
Selain pemikiran yang telah diuraikan di atas,
ketentuan hukum perusahaan. Kemudian,
terdapat alasan lain yang dapat digunakan
di negara-negara yang hukum kepailitannya
sebagai landasan usulan penyelesaian
tidak memberikan perlindungan yang cukup
permasalahan likuidasi melalui Balai Harta
bagi nasabah dan kreditur lainnya atau tidak
Peninggalan, yaitu dalam RUU tentang Balai
memberikan perlindungan bagi sistem
Harta Peninggalan, Balai Harta Peninggalan
perbankan, prosedur likuidasi khusus
diberikan tugas tambahan yaitu melaksanakan penyelesaian asset eks bank dalam likuidasi. Dasar pemikiran tersebut adalah dengan melihat bahwa salah satu tugas dari Balai Harta Peninggalan dapat bertindak selaku kurator dalam kepailitan.
39 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) 40 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
diberlakukan bagi bank dan diatur dalam
a. Pengurusan dan pemberesan harta pailit.
hukum perbankan. Alasannya adalah
Dalam ketentuan likuidasi diatur juga
penerapan hukum kepailitan umum kepada
bahwa Tim Likuidasi bertugas untuk
bank bermasalah menimbulkan kesulitan. Pada saat krisis perbankan misalnya, pengadilan
pemberesan aset Bank Dalam Likuidasi. b. Mengumumkan putusan hakim tentang
akan kewalahan menyelesaikan banyaknya
pernyataan pailit dalam berita negara dan
bank bermasalah. Kondisi ini menjadi
surat kabar yang ditetapkan hakim
pembenaran terhadap pengecualian bank dari
pengawas. Begitupun dalam ketentuan
prosedur kepailitan melalui pengadilan. Oleh
likuidasi diatur mengenai kewajiban
karena itu bank-bank bermasalah diselesaikan melalui mekanisme extra judicial.
mengumumkan. c. Menyelamatkan harta pailit. Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang
Berdasarkan pendapat di atas ditinjau dari sisi
untuk melakukan penyelamatan aset Bank
lembaganya likuidasi dan kepailitan mempunyai
Dalam Likuidasi termasuk melakukan
beberapa kesamaan. Selanjutnya dari sisi pelaksanaanya dapat kita perbandingkan antara tugas kurator dengan tugas Tim Likuidasi.
gugatan. d. Menyusun inventaris harta pailit. Tim Likuidasi juga diwajibkan untuk menyusun neraca berupa neraca verifikasi dan neraca
Berdasarkan Pasal 16 UU No. 37 Tahun 2004
akhir likuidasi.
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
e. Menyusun daftar hutang dan piutang harta
Pembayaran Utang (PKPU), Kurator berwenang
pailit. Dalam likuidasi hal ini tercantum
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
dalam neraca verifikasi.
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal
f. Berwenang membuka surat yang ditujukan
putusan pailit diucapkan meskipun terhadap
pada si pailit (yang berkaitan dengan harta
putusan tersebut diajukan kasasi atau
pailit). Kedudukan Tim Likuidasi adalah
peninjauan kembali.
bertindak untuk dan atas nama Bank Dalam Likuidasi oleh karena itu Tim Likuidasi
Begitupun dengan Tim Likuidasi dalam
berwenang untuk melalukan segala
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999
tindakan yang berkaitan dengan hak dan
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran
kewajiban Bank Dalam Likuidasi.
dan Likuidasi Bank mengatur bahwa Tugas
g. Memindahtangankan harta pailit,
Tim Likuidasi adalah melakukan tindakan
menyimpan harta pailit dan membungakan
penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank
uang tunai. Dalam ketentuan likuidasi hal
sebagai akibat pencabutan izin usaha dan
ini termasuk dalam wewenang Tim
pembubaran badan hukum bank.
Likuidasi dalam menyelesaian pencairan aset dan pembayaran kewajiban Bank
Terdapat beberapa kesamaan antara tugas dan wewenang kurator dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi
yaitu:41
Dalam Likuidasi. h. Berwenang untuk membuat perdamaian. Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang untuk melakukan perundingan
41 Perbandingan antara tugas dan kewenagan kurator sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR.
62
dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan harta kekayaan dan penagihan terhadap para debitur.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
i. Kurator harus menyampaikan laporan
itu cukup berdasar apabila dalam undang-
kepada hakim pengawas mengenai keadaan
undang tentang Balai Harta Peninggalan yang
harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap
sedang disusun diatur juga mengenai tugas
3 bulan. Untuk Tim Likuidasi penyampaian
Balai Harta Peninggalan untuk menyelesaikan
pelaporan kepada Bank Indonesia.
likuidasi dan dapat bertindak sebagai Tim
j. Selama menjalankan tugasnya dapat diganti
Likuidasi.
dengan kurator oleh pengadilan setiap waktu setelah memanggil dan mendengar
e. Penyelesaian likudasi melalui penyerahan
Kurator, dan mengangkat kurator lain dan
sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada
atau mengangkat kurator tambahan.
Pemegang Saham.
Dalam ketentuan likudasi kewenangan
Alternatif penyelesaian ini merupakan salah
untuk mengganti Tim Likuidasi merupakan
satu alternatif yang pernah ditawarkan oleh
kewenangan Bank Indonesia.
Bank Indonesia kepada Kementerian Keuangan
k. Sebagai pengemban tugas pengurusan
dalam rangka penyelesaian likuidasi bank yang
terhadap harta pailit, kurator mempunyai
disampaikan melalui surat Bank Indonesia
hak untuk mendapatkan imbalan sebagai-
Nomor 6/4/GBI/DPIP Tanggal 9 Juni 2004
mana ketentuan Pasal 76 UU No. 37 Tahun
Tentang Penyelesaian Akhir Likuidasi 16 Bank
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Dalam Likuidasi. Yaitu alternatif penyelesaian
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
dengan cara Tim Likuidasi mengagendakan
bahwa imbalan jasa yang dibayarkan kepada
penyelesaian sisa aset yang merupakan hak
kurator ditetapkan berdasarkan pedoman
Pemerintah dalam pelaksanaan RUPS dan
yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
meminta RUPS menetapkan sisa aset diserahkan
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
kepada Pemerintah selaku kreditur mayoritas.
dibidang hukum dan perundang-undangan. Pedoman imbalan jasa kurator berpedoman
Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
pada Keputusan Menteri Kehakiman RI
1999 mengatur bahwa setelah pelaksanaan
No. M. 09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang
tahap pembayaran yang terakhir, masih
Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Kurator
terdapat kelebihan harta, Tim Likuidasi
dan Pengurus. Ketentuan mengenai
membagikan sisa dimaksud kepada para
pemberian honor dan fee kepada Tim
pemegang saham secara pro rata. Selanjutnya
Likuidasi juga diatur dalam ketentuan
tagihan yang timbul setelah proses likuidasi
likuidasi.
dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang saham.
Dengan memperhatikan uraian di atas, terdapat beberapa kesamaan antara likuidasi dengan
Kemudian Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.
kepailitan juga antara tugas kurator dan tugas
25 Tahun 1999 mengatur dalam hal harta
Tim Likuidasi. Sehubungan dengan itu apabila
kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup
Balai Harta Peninggalan yang selama ini telah
untuk memenuhi seluruh kewajiban bank
melakukan tugas sebagai korator, dan
dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya
mengingat karakteristik yang sama antara
wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan
tugas kurator dengan Tim Likuidasi, maka
anggota dewan komisaris serta pemegang
secara praktek Balai Harta Peninggalan juga
saham yang turut serta menjadi penyebab
dalam melakukan tugas Tim Likuidasi dalam
kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank
menyelesaikan proses likuidasi. Oleh karena
atau menjadi penyebab kegagalan bank.
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Selanjutnya dalam Pasal 32 SK Dir BI No.
untuk mempertanggungjawabkan hasil
32/53/KEP/DIR sebagai ketentuan pelaksanaan
kerjanya kepada pemegang saham sebelum
dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999
Tim Likuidasi tersebut dibubarkan oleh
diatur Dalam rangka melakukan tugas untuk
pemegang saham melalui Rapat Umum
membagikan sisa harta kepada pemegang
Pemegang Saham.
saham berlaku ketentuan: a. Apabila setelah pelaksanaan tahap
Sehubungan dengan posisi pemegang saham
pembayaran terakhir masih terdapat
seperti itu maka terdapat kemungkinan apabila
kelebihan harta, Tim Likuidasi membagikan
proses likuidasi sudah tidak dapat dilanjutkan
sisa harta dimaksud kepada para pemegang
oleh Tim Likuidasi karena kewajiban Bank
saham secara pro rata sesuai dengan
Dalam Likuidasi masih ada dan masih terdapat
kepemilikan jumlah saham.
aset yang tidak dapat dicairkan, maka pada
b. Tagihan yang timbul setelah proses likuidasi
akhir likuidasi yaitu pada saat Tim Likuidasi
dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi
mempertanggungjawabkan hasil kerjanya
yang menjadi hak pemegang saham.
kepada Rapat Umum Pemegang Saham, sekaligus dalam Rapat Umum Pemegang
Ketentuan likuidasi mengatur penyerahan aset
Saham tersebut, Tim Likuidasi menyerahkan
bank dalam likuidasi kepada pemegang saham
seluruh aset dan kewajiban kepada Pemegang
dilakukan dalam hal seluruh kewajiban bank
Saham.
dalam likuidasi telah diselesaikan dan masih terdapat sisa aset. Tentunya kondisi tersebut
Namun demikian dalam Rapat Umum
akan jarang ditemui dalam kasus bank dalam
Pemegang Saham harus diputuskan bahwa
likuidasi. Karena kondisi bank dalam likuidasi
setiap pencairan aset bank dalam likuidasi
secara umum masih punya banyak kewajiban
oleh pemegang saham harus digunakan untuk
kepada kreditur dalam hal ini yang paling
membayar kewajiban kepada kreditur dalam
banyak kepada Pemerintah, dan masih terdapat
hal ini Pemerintah. Untuk memperkuat hasil
aset yang tidak dapat dicairkan karena aset
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
bank dalam likuidasi banyak aset yang
tersebut masing-masing pemegang saham
bermasalah.
perlu diikat secara hukum yaitu dengan membuat pernyataan bahwa setiap pencairan
Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa
aset akan digunakan untuk membayar
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
kewajiban kepada kreditur dalam hal ini
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Pemerintah.
Undang-undang No. 10 Tahun 1998, Peraturan
64
Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI
Tentunya pemilihan alternatif penyelesaian
No. 32/53/KEP/DIR menempatkan posisi Rapat
seperti ini diperlukan itikad baik dari para
Umum Pemegang Saham sebagai lembaga
pemegang saham untuk menyelesaikan
yang cukup sentral dimana bank setelah izin
likuidasi dan menyelesaikan kewajiban kepada
usahanya dicabut oleh Bank Indonesia,
Pemerintah. Karena apabila pemegang saham
kemudian diperintahkan untuk mengadakan
tidak beritikad baik dan malah sebaliknya
RUPS guna membubarkan badan hukum bank
mereka membuat keputusan yang
dan membentuk Tim Likuidasi untuk kemudian
menguntungkan para pemegang saham, maka
melalui dilakukan proses likuidasi. Selain itu
tindakan tersebut akan menimbulkan potensi
pada akhir likuidasi Tim Likuidasi diwajibkan
hilangnya pengembalian uang Pemerintah.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
4. Pengaturan Pengakhiran Likuidasi Bank
jangka waktu pelaksanaan likuidasi (maksimal 4
Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor
tahun), Tim Likuidasi melakukan evaluasi mengenai
24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin
potensi sisa aset. Dalam hal masih terdapat potensi
Simpanan
pencairan aset maka Tim Likuidasi mengajukan perpanjangan jangka waktu likuidasi untuk
Tidak seperti halnya ketentuan likuidasi dalam
menyelesaikan pencairan sisa aset tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 yang
Adapun syarat perpanjangan tersebut yaitu: a.
masih mendudukan posisi pemegang saham dalam
Perkiraan nilai pencairan aset melebihi biaya yang
posisi yang cukup sentral yaitu berperan dalam
dibutuhkan untuk pencairan aset tersebut termasuk
pembentukan dan pembubaran Tim Likuidasi dan
biaya operasional likuidasi akibat dari perpanjangan
juga berpengaruh dalam menerima pertanggung-
tersebut, dan b. jangka waktu pelaksanaan
jawaban hasil kerja Tim Likuidasi, dalam UU LPS
likuidasi bank masih dapat diperpanjang.
diatur bahwa segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang
Dalam hal tidak terdapat potensi pencairan aset,
RUPS diambil alih oleh LPS. Dengan dilakukannya
maka Tim Likuidasi dapat melakukan:
pengambilalihan segala hak dan wewenang
a. penghapusan aset yang sebelumnya dinilai nihil
pemegang saham, termasuk hak dan wewenang
dalam Neraca Sementara Likuidasi43 (sebelum
RUPS, LPS dapat melakukan pemberesan aset dan
melakukan penghapusan aset tersebut Tim Likuidasi
kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh LPP.
wajib memberitahukan rencana penghapusan
Kewenangan melakukan pemberesan aset dan
aset tersebut kepada LPS paling lambat 7 hari
kewajiban dimaksudkan untuk memaksimalkan
sebelum tanggal penghapusan aset tersebut dan
pengembalian (recovery) dana
penjaminan.42
wajib melaporkan hasilnya kepada LPS); dan b. menawarkan sisa aset selain aset sebagaimana
Dengan pengambilalihan segala hak dan
huruf a sebagai pembayaran non tunai kepada
wewenang pemegang saham, termasuk hak dan
LPS selaku kreditur prioritas.
wewenang RUPS oleh LPS mengakibatkan pelaksanaan likuidasi oleh Tim Likuidasi menjadi
Dalam hal LPS menolak penawaran sisa aset
terbebas dari pengaruh para pemegang saham
tersebut atau masih terdapat sisa aset setelah
sehingga Tim Likuidasi dapat menjalankan tugasnya
dilaksanakan pembayaran dalam bentuk non tunai
lebih profesional tanpa adanya campur tangan
kepada LPS maka Tim Likuidasi menawarkan sisa
dari pemegang saham.
aset tersebut kepada kreditur selain LPS sesuai urutan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat
Begitupun juga halnya terkait dengan pengakhiran
(1).44
likuidasi, Peraturan LPS (PLPS) rupanya telah meminimalkan segala kemungkinan terjadinya kebuntuan dalam proses pengakhiran likuidasi seperti yang selama ini terjadi. Dalam PLPS Nomor 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank, diatur bahwa dalam hal masih terdapat aset yang belum bisa dicairkan dalam waktu 3 bulan sebelum berakhirnya
42 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan.
43 Neraca sementara likuidasi adalah neraca pertanggal pencabutan ijin usaha yang disusun oleh Tim Likuidasi berdasarkan neraca penutupan yangtelah diaudit dengan memperhitungkan aset berdasarkan nilai likuidasi (vide Pasal 1 angka 19 PLPS No. 1/PLPS/2011). 44 Pasal 38 PLPS No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank mengatur bahwa ururan pembayaran adalah: a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terhutang dan biaya operasional kantor; d. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan atau pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. Pajak terutang; f. Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g. Hak kreditur lainnya.
65
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Apabila sampai dengan batas waktu yang
a. Penyerahan pengurusan likuidasi kepada
ditentukan tidak ada kreditur yang bersedia atau
Balai Harta Peninggalan. Solusi penyelesaian
tidak memberikan tanggapan untuk menerima
dengan cara ini secara hukum dimungkinkan,
sisa aset sebagai pembayaran non tunai maka
sehingga dapat menjadi pertimbangan
kreditur yang bersangkutan dianggap melepaskan
untuk dijadikan materi undang-undang
haknya terhadap sisa aset yang ditawarkan
tentang Balai Harta Peninggalan yang
tersebut. Dalam kondisi demikian namun masih
sekarang sedang disusun oleh Pemerintah.
terdapat kewajiban yang belum diselesaikan maka
b. Melalui penyerahan sisa aset bank dalam
Tim Likuidasi mengajukan penghapusan sisa aset
likuidasi kepada pemegang saham, dimana
kepada LPS sebagai RUPS. Atas sisa aset tersebut
dalam penyerahan tersebut pemegang
LPS dapat melakukan penagihan/pencairan baik
saham harus dimintakan komitmen bahwa
lain.45
setiap pencairan aset bank dalam likuidasi
oleh LPS sendiri maupun menunjuk pihak
tersebuit diprioritaskan untuk membayar 5.1. Simpulan dan Saran
kewajiban bank dalam likuidasi kepada
Atas dasar hasil analisa dan dengan mengacu dari
para krediturnya yang dalam hal ini kreditur
berbagai literatur, berdasarkan sumber data baik
terbesar adalah Pemerintah.
primer maupun sekunder, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan
5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka sebagai
aset dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah
masukan atas permasalahan tersebut kiranya perlu
sebagai kreditur mayoritas dan sebagai pihak
dilakukan hal-hal sebagai berikut :
yang menggantikan kedudukan nasabah
1. Bank Indonesia dan Pemerintah agar segera
penyimpan secara hukum mempunyai dasar
mengambil sikap dalam menyelesaikan
yang kuat. Oleh karena itu penyelesaian
permasalahan likuidasi bank khususnya
likuidasi bank dengan cara tersebut merupakan
penyelesian likuidasi bank yang dicabut izin
alternatif yang patut dipertimbangkan untuk penyelesaian likuidasi bank yang dicabut izin usahanya pada periode 2004/2005. 2. Secara hukum pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah berakhirnya jangka waktu likuidasi mutlak diberikan, hal ini diperlukan untuk memberikan legitimasi kepada Tim
usahanya pada tahun 2004/2005. 2. Proses likuidasi harus segera diselesaikan karena akan menimbulkan berbagai dampak hukum, yaitu: a. Tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian likuidasi bank. b. Penurunan nilai aset BDL yang berpotensi
Likuidasi sehingga menunjang kelancaran Tim
mengurangi pengembalian uang Pemerintah.
Likuidasi dalam melaksanakan tugasnya untuk
c. Biaya Operasional yang tetap harus dibayar
menyelesaikan likuidasi. 3. Terdapat beberapa alternatif yang dapat
oleh BDL termasuk honor TL dan Staf Pendukung sehingga akan mengurangi
ditempuh untuk menyelesaikan likuidasi selain
pengembalian uang Pemerintah.
dengan pola penyelesaian melalui penyerahan
d. Kemungkinan adanya tuntutan dari
sisa aset bank dalam likuidasi kepada
kreditur dan pemegang saham atas aset
Pemerintah, yaitu dengan cara:
yang masih dikelola oleh Tim Likuidasi, sehingga akan berpotensi mengurangi jumlah aset yang dapat dikuasai oleh Pemerintah sebagai pembayaran kewajiban
45 Pasal 45 PLPS No. 1/PLPS/20011.
66
BDL kepada Pemerintah.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan pengurusan likuidasi kepada Balai Harta Peninggalan kiranya perlu dilakukan kajian oleh Pemerintah sehingga dapat dijadikan materi dalam undang-undang tentang Balai Harta Peninggalan yang saat ini tengah disusun oleh Pemerintah.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000). Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002). L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982) J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti). J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996). M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010). Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177. Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ Siti Ismijati, Prof. Dr., Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011. Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009). Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959). Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Undang-undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994). Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
69
Halaman ini sengaja dikosongkan
PERLINDUNGAN PRIVASI DAN DATA PRIBADI: SUATU TELAAHAN AWAL Oleh : Josua Sitompul, S.H., IMM.1
Abstrak Dalam era digital, semakin banyak produk yang diubah dalam bentuk digital dan diperdagangkan melalui berbagai mekanisme transaksi elektronik. Data pribadi telah menjadi komoditas yang harus diserahkan sebelum pengguna atau pelanggan menikmati produk yang ia pilih. Hal ini dapat mengancam privasi seseorang. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan, salah satunya, membangun regulasi yang kuat untuk melindungi privasi dan data pribadi. Artikel ini mendiskusikan konsep perlindungan privasi dalam Konstitusi Indonesia dan penerapannya dalam beberapa undang-undang. Kesimpulannya, perlindungan terhadap privasi bukan suatu perhatian utama para pendiri Republik dalam penyusunan UUD 1945. Akan tetapi, perubahan signifikan terjadi sejak reformasi. Berdasarkan pembahasan perubahan konstitusi Indonesia dan beberapa undang-undang dalam artikel ini, kesimpulan lain yang dapat diangkat untuk dikembangkan ialah bahwa Indonesia terbuka untuk menerima ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui secara Internasional sebagai hak asasi, termasuk privasi, sepanjang sesuai dengan Pancasila. Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri pribadi yang dilindungi oleh Konstitusi, dan perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap privasi. Pengembangan regulasi untuk melindungi data pribadi perlu dititikberatkan pada perlindungan terhadap diri pibadi. Kata Kunci : privasi, data pribadi; perlindungan
A. Latar Belakang
dapat diakses oleh anak berumur 10 tahun. Video klip serta film-film terbaru sudah dapat dinikmati
Keterhubungan manusia di seluruh dunia dan
bahkan diunduh dari berbagai website, seperti
keteraksesan terhadap informasi secara global adalah
4shared.com, youtube.com, dan onlinewatchmovie.net.
dua manfaat perkembangan teknologi informasi yang
Skandal-skandal besar yang dilakukan oleh para
fundamental. Dengan Internet, informasi dapat diakses
birokrat2 dan selebritis maupun peristiwa baik yang
dan tersebar secara cepat dan luas. Berbagai informasi
penting maupun yang dianggap remeh3 yang terjadi
yang dahulu sangat sulit diperoleh karena terbentur
di ujung belahan dunia kini tersedia di cyberspace.
waktu dan tempat kini dapat diakses dengan mudah
Informasi-informasi ini dapat diakses secara bebas
di Internet. Lagu-lagu luar negeri era 50-an, 60-an, atau 70-an yang pada zamannya hanya dapat dimiliki oleh segelintir orang dalam piringan hitam besar kini
1
Kasie Penindakan, Direktorat Keamanan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
2
Skandal Silvio Berlusconi misalnya dari http://www.bbc.co.uk/news/worldeurope-14960214, diakses tanggal 29 Desember 2011.
3
Foto bayi pasangan selebritis Bollywood, Aishwarya Raid an Abhishek Bachchan, dihargai Rp2.6 milar, diakses 29 Desember 2011 dari http://www.lintas.me/article/4ecdd3c760e53726a6000899.
71
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dan gratis; yang dibutuhkan hanya Internet serta
Bagaimana pengguna dapat mendapatkan kepastian
komputer, laptop, atau smartphone. Di sisi lain, dengan
bahwa data yang ia berikan tidak disalahgunakan?
bantuan Internet, transaksi berbagai produk dapat
Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi isu penting
dilakukan dengan cepat dan mudah. Kita hanya perlu
dalam wacana perlindungan terhadap privasi,
memilih4 barang atau jasa yang dibutuhkan dari
sebagaimana telah diangkat dalam berbagai media
berbagai penyedia, mengisi data yang diperlukan
belakangan ini.6 Kondisi ini membawa pada satu
pada format yang tersedia, membayarnya dengan
pertanyaan penting, yaitu bagaimana sistem hukum
menggunakan kartu kredit ataupun uang elektronik
di Indonesia perlu dikembangkan untuk melindungi
seperti paypal, dan menunggu produk. Demikian pula
privasi – secara khusus data pribadi – warga negara
dengan aplikasi-aplikasi menarik dalam smartphone
dalam dunia siber?
seperti whatsApp, ChatOn, dan Email yang dapat mengintegrasikan semua kontak yang pengguna
Sebagai negara yang memiliki pengguna Internet
miliki sehingga memudahkannya untuk berkomunikasi.
sebanyak 30 juta dalam regional Asia dan tingkat pertumbuhan internet yang meningkat sebesar
Akan tetapi, dalam melakukan transaksi elektronik
1,400% dalam kurun waktu 2000-20107, privasi dalam
seperti ini, seseorang memberikan data kepada pihak
cyberspace tentunya harus menjadi concern utama
yang kemungkinan besar ia tidak kenal. Informasi
berbagai pihak. Pertumbuhan pengguna facebook8
mengenai nama, alamat, email, dan nomor yang
di Indonesia meningkat drastis dari tahun 2009 dengan
dapat dihubungi serta nomor kartu kredit adalah data
jumlah 2.3 juta meningkat menjadi 20.7 juta pengguna
yang lazim dipersyaratkan dalam suatu transaksi
di tahun 2010 dan pada tahun 2011 jumlah pengguna
secara elektronik. Begitu juga dengan penggunaan
menjadi 35.1 juta; dengan kata lain pertumbuhan
aplikasi atau layanan dalam smartphone. Penyedia
pengguna facebook di Indonesia dalam kurun waktu
layanan aplikasi kerap meminta akses terhadap kontak,
2009-2011 adalah 1,412%. Statistik ini menjadikan
SMS, MMS, bahkan gambar atau video yang ada
Indonesia menjadi negara kedua pengguna facebook
dalam gadget pengguna.
terbesar setelah Amerika Serikat.9 Internet juga
Setelah transaksi dilakukan, setelah produk telah diterima oleh pembeli, selama pengguna masih menggunakan layanan aplikasi, apa yang dilakukan
6
Kebocoran Data Pribadi Gawat, Senin 18 Februari 2013, 08:16 diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/02/18/08161710/Kebocoran. Data.Pribadi.Gawat, tanggal 14 Maret 2013; UU Cybercrime Sangat Penting bagi Indonesia, Selasa, 12 Maret 2013, 04:47, diakses dari http://www.beritasatu.com/digital-life/101381-uu-cybercrime-sangatpenting-bagi-indonesia.html, tanggal 14 Maret 2013.
7
Suber Internet World Stats, http://www.internetworldstats.com/stats.htm dan http://www.internetworldstats.com/stats3.htm, diakses pada 11 Januari 2011.
8
Facebook merupakan salah satu situs jejaring sosial yang memberikan berbagai layanan interaktif. Sebelum dapat menggunakan layanan yang diberikan facebook, seseorang harus melakukan registrasi dengan memberikan informasi nama, alamat email, jenis kelamin, dan tanggal lahir. Setelah melakukan registrasi, pengguna dapat menambahkan berbagai informasi lainnya dalam akun yang diberikan facebook, seperti riwayat pendidikan, pekerjaan, kegemaran (buku, makanan, musik, film). Pengguna juga dapat memperbarui status mereka, atau menambahkan foto atau video pribadi. Facebook menghubungkan antara pengguna dan teman-temannya serta kelompok yang diminati. Semua informasi yang diberikan pengguna dapat memberi petujuk mengenai siapa, karakter, termasuk status sosial pengguna.
9
http://www.nickburcher.com/2011/04/facebook-usage-statistics-1stapril.html, diakses tanggal 30 Desember 2011.
oleh penyedia terhadap data yang telah diberikan? As, Neft (2003) mengingatkan “[t]here is an enormous amount of information about is in other people’s hands, and one thing is certain – some of us will be harmed by it. We just don’t know who, when, or how badly.5 Apakah akan segera dihapus, tetap disimpan, atau ditransaksikan dengan pihak lain?
4
Dalam hasil pencarian buku di amazon.com, ada 4.384 textbooks yang memuat kata privacy sebagai judul, sedangkan dalam hasil pencarian aksesoris komputer di ebay.com, ada 30.325 halaman yang masingmasing halaman memuat 50 produk. diakses 29 December 2011.
5
Nehf, James P., Recognizing the Societal Value in Information Privacy (January 20, 2003). Washington Law Review, Vol. 78, pp. 1-92, 2003. Diakses dari SSRN: http://ssrn.com/abstract=1989235
72
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
memberikan dampak positif pada kegiatan transfer
banyaknya tulisan yang telah dihasilkan maupun
dana di Indonesia. Penyelesaian akhir transaksi
pembahasan akademis yang diselenggarakan, usaha
pembayaran yang dilakukan transaksi dapat dilakukan
mendefinisikan dan menentukan ruang lingkup privasi
secara seketika (real-time). Berdasarkan catatan Bank
adalah seperti usaha mendefinisikan dan menentukan
Indonesia, pada tahun 2009 rata-rata transaksi kliring
ruang lingkup hukum, yaitu usaha yang perlu
setiap hari di Indonesia tercatat 341 ribu dengan total
meskipun tidak dapat komprehensif dan konklusif.
nominal mendekati Rp6.5 triliun. Berdasarkan Sistem
Solove (2002) menilai bahwa penentuan konsep
Real Time Gross Settlement Bank Indonesia, untuk
privasi sangat penting dalam pembentukan hukum
periode yang sama, rata-rata setiap hari mencapai
dan kebijakan; privasi merupakan bagian penting
47 ribu transaksi dengan total nominal hampir Rp178
dari kemerdekaan seseorang, demokrasi, dan
triliun.
kesejahteraan sosial.11 Solove mengakui bahwa privasi masih merupakan konsep yang samar karena masih
Salah satu konsep pengaturan dalam dunia siber ialah
terus berkembang seiring perkembangan waktu,
perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata
teknologi, dan zaman.
diberikan pula dalam dunia siber. Dalam dunia riil terdapat masyarakat yang terdiri dari kumpulan
Mengingat privasi bukanlah konsep asali yang diatur
manusia yang saling berinteraksi yang membutuhkan
dalam Konstitusi Indonesia pertama, untuk memahami
aturan dalam bersikap tindak mulai dari norma sosial
ruang lingkup dan konsep privasi yang dianut dalam
sampai hukum, yaitu norma yang memberikan sanksi
Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia,
yang memaksa dari negara. Dunia siber terdiri dari
perlu dibahas terlebih dahulu konsep privasi yang
masyarakat yang berasal dari dunia nyata dan akibat
berlaku secara internasional dan mengambil salah
aktivitas dalam dunia siber dapat berdampak nyata
contoh best practices yang berlaku di negara Amerika
dalam dunia riil. Oleh karena itu, dalam dunia siber
Serikat. Negara ini memiliki sejarah perkembangan
dibutuhkan aturan untuk mengatur masyarakat yang
privasi dalam sistem hukum common law yang
ada dan berinteraksi di dalamnya. Mengingat dalam
panjang serta didukung dengan literatur yang
dunia riil perlindungan terhadap privasi merupakan
memadai. Konsep-konsep yang dianut oleh negara
isu penting karena privasi merupakan salah satu hak
tersebut dijadikan pisau analisa dalam memahami
asasi yang diakui dalam konstitusi di banyak Negara,
privasi dalam Konstitusi dan perundang-undangan.
maka seharusnya, privasi seseorang dalam dunia siber
Lebih lanjut, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai
juga harus dilindungi sebagai hak asasi. Bagaimana
sejarah pengaturan privasi dalam Konstitusi serta
Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia
pengaturan privasi dalam beberapa undang-undang,
membangun konsep perlindungan privasi dan
yaitu UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2008 tentang
perlindungan data pribadi? Pemahaman ini akan
ITE, UU Perbankan, serta UU KIP. Dalam tulisan ini
memberikan dasar yang kuat untuk menentukan
ditegaskan bahwa perlindungan data pribadi
konsep perlindungan privasi dalam dunia siber, termasuk
merupakan bagian dari perlindungan privasi
pengembangan peraturan perundang-undangan terkait.
seseorang.
Privasi merupakan terminologi yang umum digunakan masyarakat dan merupakan subjek yang telah dibahas oleh sarjana dari berbagai sisi.10 Akan tetapi, terlepas
10 Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan privasi adalah hak untuk menyendiri (the right to be let alone).
11 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law review, Vol. 90, hal. 1093.
73
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
B. Pengaturan Privasi di Amerika Serikat
memperbaiki informasi jika terjadi kekeliruan. Akan tetapi, pada tahun 1860, pertanyaan
1. Sejarah Pengaturan Privasi
bertambah menjadi hampir 150 pertanyaan yang juga meminta informasi pribadi. Kebijakan
Pengaturan privasi di Amerika Serikat memiliki sejarah yang
panjang.12
Pada masa revolusi di
publikasi hasil sensus tetap berlangsung hingga pada tahun 1870. Ketika sensus tahun 1890,
Amerika Serikat, pengaturan privasi ditekankan
reaksi masyarakat sangat keras karena dalam
kepada kebebasan warga negara dari gangguan
sensus tersebut dimintakan informasi pribadi
yang dilakukan oleh pemerintah melalui tindakan
mengenai riwayat penyakit, ketidakmampuan,
penggeledahan atau penyitaan berdasarkan surat
kondisi keuangan seseorang. Menanggapi gejolak
perintah yang tidak spesifik tanpa ada bukti yang
tersebut, Kongres mengeluarkan pengaturan
cukup untuk melakukan tindakan-tindakan
untuk merahasiakan hasil sensus penduduk.17
tersebut. Akibatnya, munculah pergolakan untuk menegakkan hak privasi yang mendorong
Demikian juga dalam penyelenggaraan telegrafi
diterbitkannya Bill of Rights yang dikukuhkan
yang menimbulkan permasalahan privasi. Teknologi
dalam Amandemen Konstitusi yang Ketiga13,
telegrafi yang dipatenkan pada tahun 1837 atas
Keempat14
nama Samule Morse, berkembang pesat sebagai
dan
Kelima.15,16
alternatif media komunikasi. Akan tetapi, seiring Selain penggeledahan dan penyitaan, masalah
dengan perkembangan teknologi telegrafi,
privasi di Amerika Serikat juga muncul terkait
teknologi penyadapanpun semakin berkembang.
dengan sensus penduduk, persuratan, dan
Pada Perang Sipil (Civil War) yang terjadi dalam
telegrafi. Sensus penduduk yang diadakan
kurun waktu 1861 – 1865, penyadapan terhadap
pertama kali tahun 1790 hanya meminta warga
telegraf menjadi salah satu metode penting untuk
untuk menjawab empat pertanyaan. Hasil sensus
mengumpulkan informasi mengenai rencana dan
dipublikasikan di tempat umum agar warga dapat
kekuatan musuh. Meskipun Perang Sipil telah diselesai, praktik penggunaan penyadapan telegraf untuk mengumpulkan informasi tetap dilaksanakan.
12 Daniel J. Solove, 2006, A Brief History of Information Privacy Law, http://papers.ssrn.com/sol3/papers. cfm?abstract_id=914271 diakses 17 November 2010. 13 Third Amendment to the US Constitution: “No Soldier shall, in time of peace be quartered in any house, without the consent of the Owner, nor in time of war, but in a manner to be prescribed by law.” 14 Foruth Amendment to the US Consitution: “The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized.” 15 Fifth Amendment to the US Consitution: “No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.” 16 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:4-1:5.
74
Hal ini menimbulkan gejolak yang besar di masyarakat sehingga pada tahun 1880, rancangan undang-undang untuk melindungi privasi telegraf dikemukakan di Kongres.18 Dengan semakin berkembangnya teknologi kamera dan fotografi serta persuratkabaran, usaha perlindungan terhadap privasi menghadapi lingkungan yang baru. Distribusi surat kabar meningkat dengan pesat karena berkembangnya
17 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:6. 18 Priscilla Regan dalam Robert Ellis Smith, Ben Franklin’s Web Site: Privacy and Curiosity from Plymouth Rock to the Internet 12 (2000), supra note 18 hal 69, dalam Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1: 7-1:8.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
“yellow journalism”, yaitu jurnalisme yang memuat
ketidaknyamanan kepada orang lain, baik berupa
berita yang tidak mementingkan kebenaran dan
bau, kebisingan, asap, dan sebagainya.
keakuratan informasi, tetapi mementingkan berita utama yang menarik untuk meningkatkan oplah.19
Warren dan Brandeis menegaskan bahwa hukum
Berita skandal-skandal dan gossip terhadap orang-
juga harus mengatur privasi yaitu “the right to be
orang tanpa fakta yang akurat menimbulkan
let alone”.20 Yang mereka maksud dengan privasi
keresahan masyarakat yang besar. Hal inilah yang
ialah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan
menjadi latar belakang Warren dan Brandeis (1890)
diri yang meliputi emosi, pikiran, atau perasaan
menerbitkan sebuah artikel “The Right to Privacy”.
dalam berbagai bentuk aktivitas tanpa ada gangguan, khususnya gangguan dalam bentuk
Warren dan Brandeis melihat adanya kekosongan
publikasi atas dan dalam bentuk akses terhadap
hukum dalam melindungi privasi seseorang.
hasil ekspresinya tanpa ada persetujuan dari orang
Menurut mereka, sejarah Sistem Common Law
tersebut. Selain itu, termasuk ruang lingkup privasi
telah menunjukkan bahwa hukum melindungi
ialah segala informasi yang berkaitan dengan
properti dan pribadi seseorang. Akan tetapi, seiring
seseorang; informasi tersebut biasanya berasal
perkembangan waktu, lingkup terhadap “properti”
dari ekspresi atau aktivitas sehari-hari, seperti fakta
dan “pribadi” berubah. Perlindungan terhadap
mengenai hubungan seseorang dengan orang
“properti” mencakup tidak hanya yang berwujud,
lain. Tujuan dari perlindungan privasi menurut
tetapi juga yang tidak berwujud. Sedangkan
mereka adalah “the peace of mind or the relief
perlindungan terhadap “pribadi” tidak hanya
afforded by the ability to prevent any publication
terhadap fisik seseorang, tetapi juga perasaan dan
at all”. Dengan demikian, seseorang dapat
intelektualitas. Sistem hukum Common Law telah
mengembangkan kehidupan pribadinya dengan
mengenal adanya pengaturan mengenai larangan
maksimal.
menciderai tubuh seseorang, dan telah memperluas pengaturan tersebut hingga larangan mencoba
Warren dan Brendeis mengemukakan bahwa pada
menciderai seseorang. Selain perlindungan
dasarnya sistem common law telah memberikan
terhadap fisik seseorang, hukum juga melindungi
perlindungan terhadap privasi dengan memberikan
martabat atau nama baik orang dengan melalui
hak kepada setiap orang untuk menentukan
pelarangan terhadap penyerangan kehormatan
sampai sejauhmana segala aspek pribadinya akan
atau nama baik seseorang (slander atau libel).
atau dapat dikomunikasikan kepada pihak lain.
Tidak hanya itu saja, hukum juga dinilai perlu
Setiap orang tidak dapat dipaksa untuk
untuk melindungi inteliktualitas seseorang
mengekspresikan dirinya, dan terhadap hasil
sehingga dikembangkanlah pengaturan tentang
ekspresinya – dalam bentuk tulisan, lukisan, ucapan
intellectual property yang meliputi hak cipta,
atau bentuk lainnya – setiap orang juga diberikan
paten, merk, dan rahasia datang. Kemudian telah
hak untuk membatasi publikasi terhadap hasil
dikembangkan pula pengaturan mengenai “the
ekspresinya itu. Lebih lanjut menurut mereka21
law of nuisance” yaitu perlindungan terhadap
perlindungan terhadap privasi berbeda dengan
kenyamanan (easement) yang melarang seseorang
perlindungan terhadap nama baik seseorang
untuk melakukan tindakan yang menimbulkan
karena pada dasarnya nilai perlindungan terhadap
19 http://en.wikipedia.org/wiki/Yellow_journalism, diakses pada 8 Februari 2011. Dua surat kabar yang pada waktu itu menghadirkan Yello Jurnalism ialah New York World dan New York Journal.
20 Warren dan Brandeis, Ibid. 21 Warren dan Brandeis, Op.cit.
75
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
privasi bersifat spiritual. Sedangkan nilai
c. Hak privasi menjadi hilang dalam hal orang
perlindungan terhadap nama baik (pengaturan
yang bersangkutan memberikan persetujuan
mengenai libel dan defamation) bersifat materil.
terhadap publikasi atas informasi pribadinya. d. Yang menjadi esensi dari perlindungan
Perlindungan terhadap privasi juga berbeda dengan
terhadap privasi bukanlah benar atau tidaknya
perlindungan terhadap kekayaan intelektual.
informasi yang dipublikasikan, tetapi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
perlindungan terhadap publikasi informasi
esensi privasi bersifat spiritual, maka perlindungan
tanpa persetujuan orang yang berhak.
yang diberikan oleh hukum seharusnya berupa ketenangan batin seseorang (peace of mind).
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa
Di lain pihak, hukum hak atas kekayaan intelektual
artikel Warren dan Brendies mempengaruhi sistem
memberikan perlindungan terhadap hasil
hukum common law di Amerika Serikat dengan
intelektualitas seseorang yang bernilai ekonomis
mulai diterimanya pengaturan hukum privasi dalam
berupa keuntungan yang dapat diperoleh dari
bentuk tort (privacy tort). Pada awalnya privacy
produksi dan pendistribusian hasil intelektualitas
tort diterapkan dalam kasus seperti publikasi foto
yang dimaksud. Sebuah diary yang berisi rahasia
seorang perempuan yang sedang menjalani operasi
pribadi seseorang dan dipublikasi oleh orang lain
caesar, pemasangan kamera tersembunyi di dalam
tanpa persetujuannya mungkin tidak melanggar
kamar yang disewa oleh pasangan, publikasi
hak atas kekayaan intelektual, tetapi dapat
penyakit seorang wanita yang menurutnya
melanggar hak privasi pemilik diary karena yang
memalukan, dan publikasi gambar telanjang yang
tidak dikehendaki oleh pemilik justeru publikasi
diambil oleh polisi, serta penggunaan gambar
terhadap konten yang terdapat dalam diary
seseorang untuk kepentingan iklan tanpa
tersebut, dan bukanlah keuntungan yang timbul
persetujuan.22
dari publikasi buku yang dimaksud. Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, William Warren dan Brendeis mengakui bahwa ruang
Prosser23 mengumpulkan preseden-preseden tort
lingkup hak privasi perlu diperjelas, tetapi sebagai
kasus invasi terhadap privasi dan
gambaran, beberapa pedoman pengaturan
mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori,
terhadap hak privasi dapat dilihat dari aspek-
yaitu:
aspek berikut.
1) penerobosan (intrusi) ke dalam kehidupan
a. Hak privasi tidak melarang publikasi hal-hal
pribadi seseorang, seperti mencari informasi
yang berkaitan dengan kepentingan publik
pribadi seseorang dengan melakukan
atau kepentingan umum. Akan tetapi,
penyadapan;
seseorang tetap memiliki hak untuk memilih
2) pengungkapan fakta-fakta yang memalukan
untuk tidak mempublikasi informasi tanpa
tentang seseorang kepada publik, misalnya
persetujuannya. Beberapa aspek yang menurut
mempublikasikan kebiasaan seseorang
mereka masuk dalam ruang lingkup privasi
memakan kotoran hidung;
ialah kehidupan pribadi, kebiasaan, hubungan atau relasi seseorang. b. Pengaturan terhadap privasi tidak melarang publikasi privasi seseorang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau berdasarkan perintah pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.
76
22 Danielle Keats Citron, Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106. 23 William L. Prosser, Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3) publikasi yang membuat masyarakat salah
lingkup privasi ke dalam tiga kelompok. Kelompok
menilai seseorang, seperti gossip-informasi yang
pertama adalah privasi dalam arti ruang fisik, yaitu
tidak lengkap dan cenderung dibuat samar;
bahwa seseorang memiliki ruang fisik pribadi yang
4) penggunaan atribut dari identitas seseorang
terpisah dari publik dan tidak boleh dilanggar oleh
untuk mengambil keungungan tanpa
siapapun. Konsep ruang fisik ini didasarkan pada
persetujuan, seperti penggunaan foto
Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat.
seseorang untuk iklan tanpa persetujuan;
Kelompok kedua ialah privasi dalam arti kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan tanpa campur-
2. Ruang Lingkup Privasi
tangan atau intervensi dari pemerintah atau orang lain. Kelompok terakhir ialah privasi dalam arti
Solove menegaskan bahwa banyak sarjana
hak yang diberikan kepada seseorang untuk
berusaha untuk menentukan ruang lingkup privasi
mengontrol pemrosesan informasi pribadinya; yang
dengan memberikan kriteria-kriteria privasi untuk
termasuk dalam pemrosesan ialah pengumpulan,
membedakan terminologi tersebut dengan
pengungkapan dan penggunaan. Menurut Kang,
terminologi lainnya. Tujuan memberikan batasan
ketiga kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan
mengenai konsep privasi ialah untuk menentukan
satu sama lain secara tegas.
karakteristik-karakteristik yang unik dari privasi sehingga penggunaan terminologi ‘privasi’ dapat
Menurut Kang, perlindungan terhadap privasi
mencakup hal-hal yang termasuk dalam ruang
dapat didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung
lingkup privasi itu
sendiri.24
dalam privasi. Pertama, pengaturan mengenai privasi dapat melindungi diri dari hal-hal yang
Lebih lanjut menurutnya, konsep privasi sangat
memalukan; dalam budaya tertentu, pengungkapan
dipengaruhi secara terus menerus oleh
tindakan atau kelakuan seseorang dapat
perkembangan sejarah dan budaya masyarakat.
mempermalukan orang tersebut meskipun kelakuan
Oleh karena itu, konsep privasi dapat berubah
atau tindakan tersebut tidak dapat disalahkan.
dan meluas cakupannya sehingga apa yang dulu
Misalnya tindakan buang air kecil; semua orang
dianggap bagian dari publik dapat menjadi suatu
melakukannya, tetapi mengambil foto orang yang
hal yang pribadi. Salah satu bagian penting dalam
melakukan buang air kecil dan menaruhnya di
perkembangan sejarah dan budaya masyarakat
internet dapat mempermalukan orang tersebut.
ialah perkembangan teknologi yang juga
Kedua, pengaturan terhadap privasi memberikan
mempengaruhi konsep privasi dari masa ke masa.
dasar dalam hubungan yang bersifat intim;
Hukum, menurutnya, harus memberikan
kebebasan seseorang untuk memberikan informasi
kelenturan yang besar untuk mengkonsepsikan
kepada orang lain yang dapat mengungkapkan
masalah-masalah
privasi.25
dirinya sebenarnya dapat menciptakan hubungan yang bersifat intim, seperti persahabatan atau
Perkembangan ruang lingkup privasi juga diangkat
kekasih. Oleh karena itu, privasi terhadap informasi
oleh Jerry Kang (1998).26 Kang membagi ruang
seperti ini perlu dilindungi. Ketiga, perlindungan terhadap privasi melindungi seseorang dari penggunaan informasi pribadi yang tidak sesuai.
24 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, 2002, California Law Review, Vol 90, hal. 1095-1096. 25 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law Review, Vol. 90: 1087, 1088-1154, Hal. 1146. 26 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, April 1998, Vol. 50, No. 4, hal.202-1203.
Penyalahgunaan tersebut dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, penggunaan informasi yang tidak benar atau sesuai dapat berdampak pada keputusan yang keliru. Informasi mengenai catatan tindakan kriminal seseorang dapat membuat orang
77
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
tersebut sulit mendapatkan pekerjaan. Kedua,
2. Informasi yang bukan pribadi (nonpersonal
pengambilan dan penggunaan informasi yang
information). Untuk ruang lingkup privasi ini,
benar untuk tujuan selain peruntukkannya dapat
Jerry Kang mengemukakan konsep “residual
menimbulkan kerugian. Pengambilan informasi
privacy interest”31 terhadap informasi yang
nomor telepon dari buku kuning dan
bukan pribadi, khususnya mengenai anonimitas.
menggunakannya untuk melakukan penipuan
Menurutnya, meskipun informasi telah dibuat
atau pengumpulan informasi kartu kredit
samar karena individu yang memberikan
seseorang yang melakukan transaksi elektronik
informasi telah diganti menjadi sosok anonim,
dengan bantuan skimmer dan menggunakannya
orang tersebut masih memiliki hak privasi
untuk melakukan transaksi online adalah contoh-
terhadap sisa informasi sepanjang ia memiliki
contoh yang dimaksud.27
kepentingan terhadap informasi tersebut karena ia berhak atas seluruh proses, mulai dari
Kang mengambil ruang lingkup privasi informasi
pengumpulan, pengungkapan, dan penggunaan
dari the National Information Infrastructure tentang
informasi. Selain itu, menurut Kang, dalam
Privacy and the National Information Infrastructure:
hal informasi dapat menggambarkan suatu
Principles for Providing and Using Personal
grup secara langsung, tetapi tidak secara
Information, bahwa yang dimaksud dengan privasi
langsung menggambarkan seseorang dalam
terhadap informasi ialah “an individual’s claim to
grup tersebut, informasi yang dimaksud
control the terms under which personal
termasuk bagian dari informasi pribadi. Akan
information – information identifiable to an
tetapi ia menegaskan bahwa hak privasi hanya
individual – is acquired, disclosed, and used.”28
diberikan kepada individu, dan bukan grup atau organisasi.
Ruang lingkup privasi terhadap informasi ialah: 1. Informasi pribadi (personal information), yang dimaksud dengan informasi pribadi ialah “information identifiable to the
individual”29.
Lebih lanjut, Solove juga mengajukan konsep taksonomi dari privasi dengan menentukan masalah-masalah yang dapat mengganggu privasi,
“Pribadi” memiliki makna hubungan antara
khususnya tindakan-tindakan yang melanggar
informasi tertentu dengan seseorang, sehingga
privasi. Melalui taksonomi ini, diharapkan sistem
terlepas apakah informasi tersebut bersifat
hukum dapat memahami ruang lingkup privasi
sensitif, privat, atau
memalukan.30
dan membentuk aturan-aturan hukum yang melindungi privasi. Dalam taksonomi yang dimaksud, terminologi “privasi” adalah terminologi
27 Jerry Kang, hal. 1212-1214. 28 Jerry Kang, hal. 1205. Lihat juga Privacy Working Group Information Policy Committee Information Infrastructure Task Force (IITF), 6 Juni 1995, diakses dari http://aspe.hhs.gov/datacncl/niiprivp.htm pada tanggal 2 Januari 2012. Yang mau ditekankan di sini ialah bahwa perhatian utama tentang pentingnya perlindungan terhadap informasi pribadi telah ditegaskan sejak tahun 1995. 29 Diambil dari IITF 30 Jerry Kang, hal. 1206-1207. Informasi dapat mengarahkan kepada atau menggambarkan seseorang dengan tiga cara: (a) hubungan antara penulis informasi dan seseorang. Suatu informasi dapat dibuat atau disiapkan oleh seseorang dalam suatu komunikasi antara dirinya dengan pihak lain. Informasi tersebut dapat berupa surel pribadi, atau foto-foto pribadi; (b) informasi dapat mendeskripsikan seseorang selain berdasarkan hubungan antara penulis dan seseorang. Contohnya adalah informasi mengenai golongan darah, jenis kelamin, tanggal lahir, tinggi dan berat-
78
payung32 dan model taxonomi yang dibangun
badan, sidik jari, atau DNA. Informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai seseorang, termasuk hubungan sosial, catatan kriminal, atau tingkat pendidikannya serta aktivitas yang dilakukannya; (c) informasi selain dua kategori tersebut tetapi masih bersifat pribadi jika informasi tersebut dipetakan lebih jauh. Nomor Keamanan Sosial (Social Security Number) bukanlah informasi yang dibuat oleh seseorang dan juga tidak menyatakan aktivitasnya. Akan tetapi, dengan menggunakan alat atau perangkat tertentu, SSN dapat memberikan informasi yang detail mengenai kehidupan seseorang. 31 Jerry Kang, hal. 1209. 32 Daniel J. Solove, A Taxonomy of Privacy, University of Pennsylvania Law Review Vol. 154, No. 3, January 2006, pp. 477 s.d. 560.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Solove menempatkan individu sebagai pusat dari
Kang (1998) juga memiliki kesimpulan yang serupa.
privasi. Ia mengajukan empat kelompok tindakan
Ia melihat pengumpulan informasi pribadi oleh
yang dapat melanggar privasi, yaitu pengumpulan
para pihak yang bertransaksi secara garis besar
informasi, pengolahan informasi, diseminasi
tidak diatur oleh undang-undang. Amerika Serikat
informasi, dan invasi.
tidak memiliki satu undang-undang privasi yang komprehensif (omnibus) yang mengatur sektor
3. Konstitusionalitas Privasi terhadap Informasi
privat atau swasta dalam mengelola informasi pribadi, seperti dimiliki di beberapa negara Eropa.
Terkait dengan privasi terhadap informasi, Cate dan Litan
(2001)33
memberikan argumen bahwa
Pengaturan informasi pribadi di Amerika Serikat beragam, tergantung dari cara penerimaannya,
berdasarkan Konstitusi di Amerika Serikat,
siapa yang melakukan, dan bagaimana informasi
perlindungan terhadap hak privasi sebagai hak
tersebut akan digunakan.37 Sayangnya, menurut
asasi baik dalam dunia konvensional maupun
Kang, hukum federal di Amerika tidak mengatur
dunia siber hanya diterapkan terhadap tindakan
perlindungan informasi privasi seseorang terhadap
yang dilakukan
pemerintah.34
Mereka mengangkat
fakta bahwa Amandemen Keempat Konstitusi Amerika
Serikat35
ditujukan untuk melindungi
invasi yang dilakukan oleh sektor privat atau swasta karena doktrin state action38 yang dianut di Amerika, dan ketidakjelasan sampai sejauh
privasi seseorang dari campur tangan pemerintah
mana Konstitusi melindungi informasi privasi
karena perlindungan yang diberikan hanya
seseorang. Dengan demikian, sistem tort mengenai
ditujukan kepada penggeledahan dan penyitaan
invasi terhadap privasi di Amerika tidak memberikan
yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini
pembatasan yang efektif terhadap pengelolaan
aparat penegak hukum. Akan tetapi, di sisi lain,
informasi.39
berbagai pihak telah melihat perlunya perlindungan terhadap privasi terhadap sektor privat, seperti
Ada beberapa statuta yang mengatur sektor
pembatasan dalam pengumpulan dan penggunaan
tertentu mengenai informasi pribadi, seperti
informasi pribadi dalam bisnis. Sayangnya, konsep
konsumen kartu kredit, pendidikan, komunikasi
tersebut masih belum didukung dalam putusan-
elektronik, catatan kendaraan bermotor. Akan
putusan pengadilan di negara Amerika. Oleh
tetapi, tidak ada dari statuta tersebut yang
karena itu, mereka mengusulkan bahwa urgensi
membatasi para pihak yang bertransaksi untuk
perlindungan privasi terhadap sektor privat dapat
mengumpulkan informasi.40
didasarkan pada Amendement Pertama Konstitusi AS.36 33 Fred Cate and Robert E. Litan, Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, tanggal 30 Desember 2011. 34 Cate dan Litan, hal. 4. 35 The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized. 36 Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances.
37 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, Vol. 50, 1998 , hal. 1230. 38 Doktron state action adalah konsep hukum di Amerika Serikat yang mengakui bahwa perlindungan yang diberikan Konstitusi – seperti dalam Amandement XIV dan I – hanya dimaksudkan kepada kewenangan memaksa negara terhadap individu, dan bukan kewenangan memaksa yang dilakukan individu terhadap individu lainnya, http://rationalwiki.org/wiki/State_action_doctrine, diakses 1 Maret 2012. 39 Kang, hal. 1230-1231. Kang mengangkat contoh bahwa Privacy Act Amerika yang diundangkan tahun 1974 juga hanya ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan bukan terhadap sektor swasta. 40 Jerry Kang, hal. 1232.
79
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Fan (2011) juga mengangkat wacana bahwa
ruang seseorang yang dapat dibawanya dan
sistem hukum Amerika Serikat masih mencari
bagian itu dilindungi dari gangguan yang tidak
konstitusionalitas perlindungan privasi terhadap
diinginkan, termasuk hak seseorang untuk
informasi.41
mengungkap jati dirinya sebagai bentuk
Menurut Fan – secara hipotetis –
Konstitusi memberikan perlindungan tersebut
otonomitas seseorang.43
berdasarkan pemahaman bahwa hak privasi terhadap informasi lahir dari intuisi moral
Meskipun dalam Amandemen XIV tidak
masyarakat yang menuntut adanya keseimbangan
menyebutkan adanya perlindungan terhadap
kewenangan antara negara dan warganya,
privasi secara eksplisit, hakim pada kasus Griswold
termasuk pembatasan kewenangan negara dalam
v. Connecticut memberikan pertimbangan bahwa
melakukan invasi terhadap privasi seseorang.
perlindungan privasi dapat ditemukan dalam ‘penumbra’44 dan ‘emanasi’ (pancaran) Konstitusi.
Lebih lanjut menurut Fan, meskipun dalam
Namun demikian, beberapa pengadilan yang
Konstitusi Amerika Serikat tidak secara tegas
menekankan legalitas memberikan pertimbangan
tertulis eksistensi hak tersebut, perlindungan hak
bahwa menginterpretasikan secara sangat luas
privasi tetap tercakup dalam Konstitusi karena
mengenai hak konstitusi yang tidak secara tegas
pada dasarnya perlindungan terhadap privasi
menyatakan hak tersebut merupakan suatu
merupakan perlindungan terhadap kebebasan
tindakan yang tidak tepat sistem yurisprudensi.45
yang dilindungi Konstitusi, khususnya berdasarkan Amandemen XIV Konstitusi AS.42 Seseorang bebas
Fan mengemukakan bahwa “privacy is a
memutuskan pilihan tanpa ada campur tangan
transitional lens that helps us view liberty in a
orang lain, termasuk pemerintah. Konstitusi
new light.” Intuisi dapat menjadi salah satu
melindungi kebebasan seseorang karena pada
pedoman yang sangat kuat dalam memberikan
dasarnya manusia adalah makhluk otonom, dan
pertimbangan hukum di pengadilan karena intusi
ada hubungan yang kuat antara privasi dengan
menyatukan pengalaman yang mungkin sulit
otonomi manusia, yaitu bahwa konsep privasi
untuk diterjemahkan secara perkataan. Akan
adalah penegasan dari kebebasan manusia dari
tetapi Fan juga mengingatkan bahwa intuisi dapat
interferensi orang lain. Privasi adalah bagian dari
menimbulkan bias sehingga penggunaan intuisi perlu dilakukan secara berhati-hati.46 C. Pengaturan Privasi dalam Instrumen Internasional
41 Marry D. Fan, Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011. 42 Putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika terhadap Griswold v. Connecticut adalah salah satu perlindungan terhadap privasi seseorang dalam menentukan pilihan. Permasalahan dalam sengketa antara Negara Bagian Connecticut dan Grisworld adalah bahwa hukum Negara Bagian Connecticut pada waktu itu melarang segala bentuk penggunaan obat atau alat yang dapat mencegah pembuahan. Griswold membuka klinik kontrol kelahiran di Connecticut yang mengakibatkan ia ditahan, diadili, dan dinyatakan bersalah karena telah menyarankan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kelahiran. Terhadap keputusan tersebut, Griswold melakukan banding dengan dasar bahwa larangan penggunaan alat kontrasepsi oleh undang-undang Connecticut telah melanggar Amandemen XIV Konstitusi AS; Supreme Court memutuskan bahwa hukum Connecticut tersebut telah melanggar Konstitusi. Amandemen XIV Konsitusi AS: ‘no state shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law...nor deny any person the equal protection of the laws.”
80
dan Regional 1. The Universal Declaration of Human Rights The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) merupakan pernyataan resmi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa yang berisi pengakuan
43 Fan menyarikan dari pertimbangan Hakim Distrik Robert Carter, hal. 14. 44 Penumbra ialah bayangan kabur yang terjadi pada saat gerhana bulan. 45 The Sixth Circuit in J.P. v. DeSanti, dalam Fan, hal. 14. 46 Fan, hal. 27.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi
Pasal 17 ICCPR memberikan perlindungan dari
manusia pada tahun 1948. UDHR merupakan
gangguan terhadap privasi, keluarga, rumah, atau
respons negara-negara terhadap kejahatan
korespondensi yang dilakukan secara sewenang-
kemanusiaan yang terjadi pada waktu Perang
wenang dan tidak sah, termasuk pelanggaran
Dunia II. Isi deklarasi ini menekankan perlindungan
terhadap martabat atau reputasi seseorang. Yang
hak-hak asasi manusia sebagai individu. Kemudian,
dimaksud “tidak sah” (unlawful) adalah tindakan
pada tahun 1966, UDHR dijadikan dua instrumen
yang dilakukan tidak berdasarkan perundang-
internasional, yaitu International Covenant on Civil
undangan. Dengan kata lain, gangguan terhadap
and Political Rights (ICCPR) dan the International
privasi hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud
(ICESCR). Ketiganya disebut sebagai The
dengan “sewenang-wenang” (arbitrary) ialah
International Bill of Human Rights. Pada dasarnya
tindakan yang dilakukan melampaui kewenangan
ICCPR mengatur pembatasan kewenangan negara
yang diberikan perundang-undangan. Dengan
terhadap hak-hak asasi individu. Hak-hak sipil dan
kata lain, meskipun perundang-undangan
politik sebagai hak asasi yang diatur dalam ICCPR
memberikan kewenangan untuk mengganggu/
merupakan hak-hak negatif, yaitu hak-hak yang
melanggar privasi seseorang, kewenangan tersebut
akan terpenuhi apabila peran negara terbatas. Di
tidak boleh digunakan secara subjektif oleh
lain pihak, ICESCR mewajibkan peranan negara
pengemban kewenangan. Kewenangan-
dalam memenuhi hak-hak asasi manusia di bidang
kewenangan yang dapat menimbulkan gangguan
ekonomi sosial dan budaya. Dengan kata lain,
atau pelanggaran terhadap privasi harus disebutkan
peranan aktif negara dibutuhkan untuk menjamin
secara eksplisit dan detail dalam perundang-
pemenuhan hak asasi
manusia.47
undangan, termasuk situasi-situasi yang diizinkan oleh perundang-undangan mengenai gangguan
Perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi dinyatakan dalam Pasal 12
UDHR.48 Lebih
lanjut,
terhadap privasi. Oleh karena itu, tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap alat
privasi dikategorikan sebagai hak asasi manusia
komunikasi termasuk perekaman percakapan pada
dalam bidang sipil dan politik yang diatur dalam
dasarnya merupakan hal yang dilarang.49
Pasal 17 ICCPR, yaitu: (1) No one shall be subjected to arbitrary or
Penerapan dari ketentuan ini ialah, antara lain,
unlawful interference with his privacy, family,
penggeledahan terhadap rumah seseorang harus
home or correspondence, nor to unlawful
dibatasi hanya terhadap pencarian alat bukti yang
attacks on his honour and reputation.
diperlukan dan tidak boleh menimbulkan gangguan
(2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.
atau ancaman. Selain itu, pengumpulan dan penyimpanan informasi dalam komputer, bank data, dan media lainnya, oleh pemerintah, individu, atau institusi harus diatur dengan undang-undang sehingga informasi mengenai kehidupan pribadi seseorang tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak
47 Ifdal Kasim, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, hal. 2, diakses dari http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, pada tanggal 17 Desember 2011. 48 Yaitu “no one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.”
memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang
49 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.
81
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
untuk menerima, mengolah dan menggunakan
ekspansi perdagangan serta kesejahteraan individu.
informasi tersebut. Oleh karena itu, setiap individu
Data pribadi didefinisikan sebagai setiap informasi
harus diberikan hak untuk mengetahui data
yang terkait dengan individu yang teridentifikasi
pribadinya yang dapat disimpan dan untuk tujuan
atau dapat diidentifikasi. Sedangkan yang dimaksud
apa. Setiap individu juga berhak untuk memeriksa
dengan pemrosesan data ialah segala bentuk
datanya yang dikontrol oleh instansi pemerintah,
pengoperasian atau pengelolaan data pribadi baik
individu, atau institusi privat lainnya. Individu juga
secara otomatis maupun manual yang mencakup
diberikan hak untuk mengubah atau mengganti
pengumpulan, perekaman, pengorganisasian,
informasi yang pernah diberikannya pada
penyimpanan, penyesuaian, penggunaan,
pemerintah, instutusi privat, dan
individu.50
pengungkapan, pendiseminasian, dan penghapusan data pribadi.
Meskipun ICCPR tidak memberikan definisi atau ruang lingkup privasi, tetapi Pasal 17 ICCPR
Negara-negara anggota menyadari adanya
memberikan dasar bagi perlindungan terhadap
perbedaan tingkatan perlindungan terhadap privasi
informasi pribadi sebagai hak asasi manusia.
yang dapat membatasi transmisi data pribadi dari
Selain itu, prinsip penting lainnya ialah bahwa
satu negara anggota ke negara anggota lainnya.
perlindungan terhadap informasi pribadi seseorang
Instrumen ini bertujuan untuk menghilangkan
menjadi tanggung jawab pihak yang mengumpulkan
hambatan pemrosesan data dengan menyesuaikan
atau menyimpan informasi yang dimaksud, seperti
tingkat perlindungan data di negara-negara
pemerintah, pelaku usaha, atau komunitas.
anggota, bukan dengan menurunkan tingkat perlindungan privasi tetapi dengan memastikan
2. Directive 95/46/EC
bahwa perlindungan privasi diberikan dalam tingkatan yang tinggi. Beberapa prinsip penting
Directive 95/46/EC on the Protection of Individuals
dalam pemrosesan data yang diatur dalam
with Regard to the Processing of Personal Data
instrumen ini ialah, antara lain, pertama pemrosesan
on the Free Movement of Such Data (Directive
data pribadi harus dilakukan secara sah dan sesuai
95/46/EC) merupakan instrumen regional Uni
hukum (lawful) serta fair terhadap individu yang
Eropa yang ditetapkan pada tahun 1995.
bersangkutan. Pada dasarnya, untuk dapat
Perlindungan terhadap data pribadi, menurut
dikatakan sah dan sesuai hukum, pemrosesan
instrumen ini, sebagaimana terlihat dari judulnya,
data pribadi harus didasarkan pada persetujuan
merupakan bagian dari usaha perlindungan
dari individu tersebut, dan didasarkan pada
terhadap pribadi. Lebih tegasnya menurut
perlindungan terhadap kepentingan individu yang
instrumen ini, sistem pemrosesan data didesain
merupakan bagian penting dari hidupnya.
untuk mengabdi pada manusia dan sistem yang
Pemrosesan data disebut fair apabila individu
dibangun harus menghormati hak-hak dan
memahami bahwa data pribadinya diolah, dan ia
kebebasan-kebebasan mendasar, khususnya hak
dapat mengetahui proses pengolahannya, serta
privasi. Sistem pemrosesan data dilain pihak juga
mengetahui dari mana data tentang dirinya
harus memiliki dampak positif dengan memberikan
diperoleh, dan mendapatkan informasi tersebut
kontribusi terhadap kemajuan ekonomi dan sosial,
dengan akurat dan lengkap. Kedua, data yang diproses harus secukupnya, relevan, dan tidak berlebihan dalam hubungannya dengan tujuan pemrosesan data. Ketiga, tujuan yang dimaksud
50 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.
82
harus dinyatakan secara eksplisit dan sah serta ditentukan pada saat pengumpulan data.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Negara anggota dapat menentukan secara spesifik
APEC Privacy Framework menegaskan sembilan
kondisi-kondisi dimana data pribadi dapat
prinsip dalam perlindungan privasi terhadap
diungkapkan kepada pihak ketiga untuk
informasi. Prinsip pertama ialah harus ada
kepentingan marketing. Akan tetapi, terhadap
perlindungan dari segala bentuk penyalahgunaan
hal ini, individu yang bersangkutan diberikan hak
terhadap informasi yang diberikan individu.
untuk menolak pemrosesan data tersebut dengan
Sehubungan dengan itu, perlu ada pengaturan
tidak dikenakan biaya dan tanpa perlu menyatakan
mengenai kewajiban yang memperhitungkan
alasan penolakannya.
resiko dan pengaturan sanksi yang sesuai dengan penyalahgunaan. Kedua, pengelola informasi
Perlindungan data pribadi warga negara-negara
pribadi harus menyediakan informasi yang jelas
anggota tidak hanya diberikan dalam pemrosesan
dan dapat diakses dengan mudah mengenai
data dalam lingkup perdagangan negara-negara
kebijakan dan tindakan mereka terhadap informasi
anggota, tetapi juga dalam hal perdangangan
pribadi. Ketiga, pengumpulan informasi pribadi
internasional. Maksudnya, perlindungan data
harus dibatasi hanya kepada informasi yang relevan
pribadi yang diproses di luar negara anggota harus
dengan tujuan pengumpulan, dan informasi harus
sama dengan standar yang diberikan negara
diperoleh secara sah dan sesuai hukum (lawful),
anggota berdasarkan Directive 95/46/EC. Apabila
serta fair dan patut. Pengumpulan informasi harus
negara ketiga tidak dapat memberikan jaminan
dilakukan berdasarkan pemberitahuan kepada,
yang sama maka transfer data pribadi kepada
atau persetujuan dari individu yang bersangkutan.
negara ketiga tidak boleh dilakukan.
Sehubungan dengan itu, prinsip keempat menegaskan bahwa penggunaan informasi pribadi
3. APEC Privacy Framework
yang telah dikumpulkan harus digunakan hanya untuk memenuhi tujuan dari pengumpulan, dan
Negara-negara anggota APEC menyadari
tujuan lain yang sama dengan itu.
pentingnya perlindungan privasi terhadap informasi (information privacy) dan pengaturan pertukaran
Prinsip kelima mengatur bahwa sepanjang
informasi negara anggota. Negara anggota juga
dimungkinkan, individu harus mendapat
menyadari bahwa rendahnya kepercayaan dan
mekanisme yang jelas dan dapat dimengerti dan
keyakinan konsumen terhadap perlindungan privasi
diakses dengan mudah dalam menentukan pilihan
dan keamanan transaksi secara online adalah
terkait dengan pengumpulan, penggunaan, dan
kondisi yang dapat menghambat perkembangan
pengungkapan informasi pribadi mereka. Keenam,
perdagangan secara elektronik. Teknologi yang
informasi pribadi harus terjaga keakuratan,
ada memudahkan pengumpulan, penyimpanan,
kelengkapan, dan keterbaruannya sesuai dengan
dan pengaksesan informasi secara global yang
tujuan penggunaan informasi. Ketujuh, pengelola
memberikan manfaat besar baik secara ekonomi
informasi pribadi harus melindungi informasi
maupun sosial bagi pelaku usaha, individu,
pribadi yang ada padanya dengan menerapkan
termasuk pemerintah. Akan tetapi di sisi lain,
berbagai bentuk pengamanan yang proporsional
teknologi yang ada juga membuat individu semakin
untuk menghadapi resiko seperti kehilanggan
sulit untuk memiliki kontrol terhadap data pribadi
atau akses yang tidak sah, perusakan, penggunaan,
mereka. APEC Privacy Framework merupakan
pengubahan, pengungkapan, serta bentuk
“ethical information practices in on- and off-lne
penyalahgunaan lainnya. Kedelapan, individu
context to bolster the confidence of individuals
harus dapat menerima konfirmasi dari penggelola
and businesses”.
informasi mengenai pengelolaan informasi yang ia berikan. Individu juga harus dapat berkomunikasi
83
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dengan pengelola, termasuk mempertanyakan keakuratan informasi, dan dapat meminta
D. Pengaturan Privasi dalam Perundang-undangan di Indonesia
pengelola untuk memperbaiki, mengubah, atau menghapus informasi. Terakhir, pengelola informasi harus mematuhi prinsip-prinsip tersebut di atas.
1. Perkembangan Pengaturan Privasi dalam Konstitusi
Apabila pengelola akan mentransfer informasi pribadi kepada orang atau organisasi lain, baik
Pengaturan hak privasi sebagai hak asasi manusia
dalam lingkup domestik maupun internasional,
dalam konstitusi dan peraturan perundang-
ia harus memperoleh persetujuan dari individu,
undangan di Indonesia telah dimulai pada sidang-
atau mengambil langkah-langkah yang hati-hati
sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
untuk memastikan bahwa pihak penerima
Persiapan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI dibentuk
informasi akan melindungi informasi tersebut
pada tanggal 29 April 1945 dengan tujuan
konsisten dengan prinsip-prinsip yang dimaksud.51
menyusun rancangan UUD 1945. Dalam sidangsidang tersebut, pendapat Soekarno dan Soepomo
Menurut Green (2012), APEC Privacy Framework
di satu sisi serta pendapat Mohammad Hatta dan
merupakan instrumen regional yang paling lemah
Muhammad Yamin di sisi lain membentuk dua
melindungi privasi dibandingkan EU Directive atau
kutub aliran mengenai urgensi pengaturan hak
OECD. Directive 95/46/EC, di lain pihak merupakan
warga negara dalam konstitusi pertama Indonesia.
instrumen regional yang paling banyak digunakan
Soekarno dan Soepomo berargumen bahwa hak
sebagai acuan dalam penyusunan regulasi privasi.
warga negara tidak perlu dimasukkan dalam
Dari 39 negara di luar Eropa yang ia teliti, 33
konstitusi. Menurut Soekarno, pengaturan hak
diantaranya dipengaruhi oleh Directive 95/46/EC
warga negara dalam konstitusi Indonesia
dalam penyusunan regulasi privasi. Bahkan
merupakan ciri negara yang berlandaskan paham
menurutnya, Directive 95/46/EC memiliki potensi
liberalisme serta individualisme. Paham-paham
untuk dijadikan sebagai instrumen
internasional.52
yang merupakan buah dari revolusi Perancis tersebut telah menyebabkan lahirnya imperalisme dan kapitalisme dan menimbulkan berbagai permasalahan besar di dunia. Konstitusi Indonesia seharusnya tidak berdasarkan liberalisme dan individualism, tetapi berlandaskan paham kekeluargaan, gotong-royong, serta keadilan sosial.53 Soepomo memiliki cara pandang yang berbeda mengenai tidak-perlu-diaturnya hak warga negara
51 Beberapa kritik terhadap instrumen ini adalah bahwa APEC Privacy Framework merupakan instrumen yang lebih lemah dalam mengatur privasi dibandingkan instrumen internasional lainnya. Selain itu, instrumen ini tidak mengatur perlindungan data secara rinci. Implementation of the APEC Privacy Framework in National Regulation, Abu Bakar Munir, Workshop on International Data Sharing and Biometric Identification, Singapore, 2-3 Juli 2009 diakses dari http://www.hideproject.org/downloads/ws-singapore/HIDE_WS-Annex_ IIId-Presentation_Abu_Bakar_Bin_Munir-20090702.pdf pada tanggal 18 Maret 2013. 52 Greenleaf, Graham , The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299.
84
dalam konstitusi. Ia berargumen bahwa negara Indonesia harus dibangun berdasarkan konsep negara integralistik, yaitu kesatuan antara negara dan seluruh rakyatnya. Dalam konsep negara integralistik, individu merupakan suatu bagian organik dari negara sehingga “hak individu menjadi
53 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
tidak relevan dalam paham negara integralistik,
terus berkembang dan akan tetap menjadi
yang justeru relevan adalah kewajiban asasi kepada
permasalahan hukum. Perumusan hak asasi
negara”.54
manusia dalam UUD 1945 bukanlah perumusan akhir. Meskipun pengaturan hak asasi akan terus
Sebaliknya Mohammad Hatta dan Muhammad
berkembang, tetapi, menurutnya, pengaturan
Yamin tegas perpendapat perlunya mencantumkan
tersebut haruslah didasarkan pada Pancasila
hak warga negara dalam konstitusi. Hatta menilai
sebagai kristalisasi nilai dan norma kehidupan
bahwa kekuasaan yang besar yang diberikan
bangsa dan negara Indonesia.58 Dengan kata lain,
kepada negara dapat melahirkan otoritarianisme
konstitusi sebagai sumber dari segala sumber
seperti yang terjadi di Jerman sekitar tahun 1940an,
hukum dapat mengatur hak-hak asasi manusia
sedangkan negara Indonesia akan didasarkan pada
sesuai dengan perkembangan dalam bangsa
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengaturan
Indonesia dengan tetap berpegang pada nilai-
hak warga negara dalam konstitusi merupakan
nilai Pancasila.
pertanggungjawaban negara kepada rakyat. Ia menekankan bahwa diantara berbagai hak
Purbopranoto melihat bahwa perumusan hak asasi
warga negara yang perlu diatur dalam konstitusi,
manusia dalam UUD 1945 belum disusun secara
hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
sistematis, dan hanya ada empat pasal yang
mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan
mengatur hak asasi manusia, yaitu Pasal 27, Pasal
merupakan hak yang harus dimunculkan dalam
28, Pasal 29, dan Pasal 30. Keempat pasal ini
konstitusi. Yamin menegaskan bahwa pengaturan
merupakan inti dasar kenegaraan berdasarkan
hak warga negara dalam konstitusi merupakan
perundingan pada pendiri bangsa pada waktu itu
satu keharusan dalam memberikan perlindungan
yang terdiri dari berbagai aliran.59 Perumusan UUD
kepada warga negara yang merdeka.55
1945 hanya memakan waktu 40 (empat puluh) hari, yaitu sejak 29 Mei 1945 s.d. 16 Juli 1945.60
Konsep Hatta dan Yamin diterima untuk
Ketergesa-gesaan inipun diakui oleh Soekarno’
dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
Konstitusi Indonesia adalah UUD kilat.61
tetapi dalam lingkup yang terbatas, yaitu bahwa hak yang diatur dalam UUD merupakan hak warga
Abdul Hakim mencermati bahwa dalam
negara, dan bukan hak asasi manusia – hak hakiki
penyusunan Konsitusi ada begitu banyak
yang melekat sebagai seorang
manusia.56
keberagaman yang harus disatukan, seperti budaya,
Terminologi hak asasi manusia tidak dijumpai
aliran pemikiran, dan kepentingan di antara
dalam pembukaan, batang tubuh, maupun
golongan masyarakat. Oleh karena itu, para pendiri
penjelasan UUD
1945.57
Menurut Purbopranoto (1975) pengaturan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi akan 58 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4, hal. 13. 59 Kuntjoro Purbopranoto, hal. 28. 54 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.
56 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 240.
60 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002) mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995.
57 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), hal. 61.
61 Majda el-Muhtaj, hal. 72, mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995. hal. 426.
55 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238-239.
85
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
republik ini belum menekankan pada perlindungan
tersebut maka “titik berat perumusan UUDS itu
hak asasi manusia, tetapi membangun checks and
adalah terlegak pada perlindungan hak-hak azasi
balances antar organ-organ negara legislatif,
manusia sebagai individu.”65
eksekutif, dan yudikatif.62 Menurut Purbopranoto, Pasal 12 Universal Hak privasi belum diatur dalam naskah asli
Declaration of Human Rights66 telah dimasukkan
konstitusi karena – apabila dihubungkan dengan
dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UUD RIS dan UUD
diskusi para pendiri republik mengenai urgensi
Sementara.67 Akan tetapi mencermati perumusan
pengaturan hak warga negara dalam konstitusi–
dalam kedua konstitusi tersebut, pengaturan
pengaturan hak privasi dianggap sebagai
privasi sebagai bagian penting dari Pasal 12
penerimaan faham individualisme dan liberalisme
Universal Declaration of Human Rights tidak
yang kuat ditentang pada waktu itu ke dalam
diatur. Hal ini menunjukkan bahwa privasi masih
sistem pemerintahan serta budaya dan norma
merupakan simbol dari individualisme dan
masyakarat Indonesia.
liberalisme barat yang masih bertentangan – atau setidak-tidaknya belum dapat diterima – dalam
Perdebatan pengaturan hak asasi manusia dalam
sistem pemerintahan serta budaya bangsa.68
konstitusi juga muncul pada pembahasan UUD Republik Indonesia Serikat63 dan UUD Sementara.
Oleh karena itu, melihat perkembangan
Dalam sidang-sidang Konstituante di tahun 1957-
pengaturan hak asasi manusia dalam Konstitusi
1959, konsep hak asasi manusia sebagai natural
sejak tahun 1945 hingga 1950, dapat disimpulkan
rights telah diterima.64 Dalam Bagian 5 UUD RIS
bahwa negara Indonesia terbuka untuk menerima
diatur mengenai “Hak dan Kebebasan Dasar
ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui
Manusia”. Demikian juga dalam Bagian V UUD
secara Internasional sebagai hak asasi serta terbuka
Sementara diatur mengenai “Hak-hak dan
untuk mengaturnya dalam Konstitusi. Akan tetapi,
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”.
penerimaan dan pengaturan hak asasi manusia
Purbopranoto memberikan catatan penting
dalam Konstitusi harus berdasarkan nilai-nilai yang
mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam
terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara
tiga konstitusi Indonesia. Menurutnya hak-hak
dan “ruh murni bangsa” Indonesia; Pancasila
asasi yang diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal
merupakan ideologi bangsa dalam menerima atau
29, dan Pasal 30 UUD 1945 didasarkan pada
menolak suatu paham, termasuk menerima atau
“hidup kemasyarakatan Indonesia secara murni”
menolak suatu hak atau kebebasan yang diakusi
sedangkan pengaturan hak asasi dalam UUD
sebagai hak asasi manusia dalam instrumen
Sementara “sudah terang dipengaruhi oleh
internasional ke dalam Konstitusi Indonesia.
Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 … dan Konstitusi RIS tahun 1949.” Karena pengaruh Universal Declaration of Human Rights 65 Purbopranoto, Hal. 51.
62 Abdul Hakim G. Nusantara, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 318. 63 UUD RIS 1949 berlaku sejak 27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950, sedangkan UUD Sementara berlaku sejak 17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959. 64 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 241.
86
66 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 67 Purbopranoto, Apendix. 68 Tahun 1959, Soekarno yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden, membubarkan Konstituante dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli. Dalam Dekrit itu, Presiden memerintahkan untuk kembali kepada UUD 1945.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Demikian juga dengan penerimaan privasi sebagai
diri manusia, yaitu sifat individu – yaitu manusia
hak dasar manusia dalam Konstitusi. Perlindungan
sebagai pribadi kodrati – dan sifat komunal atau
terhadap privasi memiliki semangat atau paham
sosial – manusia sebagai bagian dari masyarakat.
individualis. Paham perlindungan terhadap privasi merupakan paham yang dinilai banyak pihak
Privasi sebagai hak asasi manusia dapat diletakkan
termasuk para pendiri bangsa sebagai bagian dari
dalam Konstitusi berdasarkan sila kemanusiaan
paham liberal. Oleh karena itu, tidak tolak
yang adil dan beradab. Karena sila ini merupakan
penerimaan dan pengaturan privasi sebagai bagian
dasar dari pengaturan hak atau kebebasan asasi
dari hak asasi manusia Indonesia juga harus
manusia, termasuk tanggung jawab seseorang
didasarkan pada “ruh murni bangsa” yang
terhadap Negara.71 Sebagaimana diungkapkan
terkandung dalam Pancasila. Salah satu nilai asali
oleh Purbopranoto bahwa perikemanusiaan
bangsa Indonesia ialah komunalistik. Terhadap
mencakup “segala pandangan hidup yang tertuju
nilai asali komunalistik ini, Supomo menegaskan
pada manusia, baik dalam pergaulannya dalam
bahwa kolektivisme atau komunalistik merupakan
masyarakat, maupun dalam hubungannya dengan
bagian penting yang hidup dalam hukum adat
negara.” Berpijak pada konsep ini, pengaturan
Indonesia, satu sistem hukum yang tidak dimiliki
privasi dalam Konstitusi negara Indonesia dapat
oleh negara-negara lain pada umumnya yang
diterima dalam konteks komunalistik yang
menjadi karakter bangsa. Dalam hukum adat,
merupakan sifat asli bangsa, artinya perlindungan
esensi kedudukan seorang individu berada dalam
terhadap privasi seseorang tunduk kepada
hubungannya dengan masyarakat. Menurut
kepentingan umum. Dalam hal tidak ada
Supomo ‘dalam hukum adat Indonesia itu bukanlah
kepentingan umum yang menjadi penghalang,
individu yang primair tetapi masyarakat. Dalam
privasi merupakan hak dasar yang harus dijunjung
suasana hukum adat orang itu terutama adalah
tinggi.
anggota masyarakatnya.’69 Manusia sejak awalnya memiliki sifat komunal, dan bukan individual.
Perubahan signifikan mengenai pengaturan hak
Menurutnya “manakala ada pertentangan antara
asasi manusia dalam konsitusi terjadi setelah
kepentingan seseorang dengan kepentingan
reformasi dimulai di Tahun 1998. Dalam kurun
masyarakat, maka haruslah kepentingan seseorang
waktu 4 tahun (1999 – 2002), Konstitusi RI telah
itu tunduk, sebab kepentingan masyarakat itu
diamandemen sebanyak empat kali.72 Pengaturan
adalah kepentingan semua warga (kepentingan
hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan
umum)... Di sinilah letak prinsip yang merupakan
hasil Amandemen II berdasarkan keputusan sidang
azas kehidupan bangsa kita yang asli, yakni yang
Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 7-18
menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat
Agustus 2000. Dalam Konstitusi Amandemen II
bersama yang bersifat kolektif dan tidak
ditambahkan satu bab tentang Hak Asasi Manusia
individualistis atau perseorangan.”70 Berdasarkan pemikiran Supomo dan Purbopranoto di atas, dapat ditegaskan di sini bahwa pada intinya setiap manusia memiliki dua sifat dasar yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dalam
69 Purbopranoto, hal. 51. 70 Purbopranoto, hal. 64-65.
71 Purbopranoto, hal. 50. 72 Amandemen I merupakan hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan (MPR) Rakyat tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen I menekankan mengenai fungsi dan kewenangan Presiden. Amandemen III merupakan hasil Sidang Umum MPR tanggal 1-9 November 2001. Dalam Konstitusi ditambahkan ketentuan, antara lain Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pada tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR kembali melakukan sidang dan menghasilkan Amandemen IV yang merupakan penyempurnaan dan penambahan pasal-pasal terkait dengan Dewan Pertimbangan Agung, Pendidikan dan Kebudayaan, serta Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.
87
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
(dalam BAB XA). Pengaturan hak asasi manusia
perlindungan privasi, khususnya data pribadi dalam
dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen telah
beberapa undang-undang.
mengakomodir beberapa pengaturan-pengaturan hak asasi dalam ICCPR maupun ICESCR. Kemudian
a. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
ketentuan dalam BAB XA diatur lebih lanjut dalam
(UU HAM)
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
UU HAM juga tidak memberikan ruang lingkup
Manusia (UU HAM).
yang tegas mengenai privasi. Pasal 4 UU HAM mengatur bahwa hak untuk hidup, hak untuk
Dalam UUD NRI 1945 tidak digunakan terminologi
tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
“privasi”. Konstitusi Indonesia juga tidak mengatur
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
secara tegas perlindungan terhadap privasi sebagai
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
hak asasi, tetapi Konstitusi Indonesia memberikan
dan persamaan di hadapan hukum, dan hak
pernyataan yang tegas bahwa perlindungan
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
terhadap diri pribadi seseorang merupakan hak
berlaku surut adalah hak-hak manusia yang
asasi. Perlindungan terhadap diri pribadi dapat
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
berupa perlindungan terhadap keamanan dan
dan oleh siapapun. Tidak ada penjelasan
kenyamanan seseorang, termasuk kebebasan
apakah ‘hak privasi’ diterjemahkan sebagai
dalam mengekspresikan dirinya secara emosional.
‘hak kebebasan pribadi’. Jika demikian, ruang
Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian
lingkup privasi menjadi sangat luas karena
dari perlindungan terhadap diri pribadi. Dalam
pada Bagian Kelima dalam BAB III UU HAM
dunia siber, perlindungan terhadap data pribadi
diatur mengenai ruang lingkup hak atas
merupakan bagian dari perlindungan terhadap
kebebasan pribadi. Dalam bagian tersebut,
privasi yang merupakan bagian dari perlindungan
hak atas kebebasan pribadi meliputi hak:
terhadap diri seseorang.
1) untuk tidak diperbudak atau diperhamba74; 2) atas keutuhan pribadi baik rohani maupun
2. Ruang Lingkup Privasi berdasarkan Peraturan
jasmani75; 3) untuk memeluk agama dan beribadah76;
Perundang-undangan
4) untuk memilih dan mempunyai keyakinan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “privasi” didefinisikan dengan “kebebasan pribadi” atau “keleluasaan
pribadi”.73
Meskipun definisi yang
sederhana ini belum dapat menjelaskan ruang lingkup privasi, tetapi definisi ini dapat dijadikan patokan dasar, yaitu bahwa ruang lingkup privasi adalah kebebasan-kebebasan atau keleluasaan-
politik77; 5) hak untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat78; 6) untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai79; 7) mendirikan partai politik atau organisasi lainnya80;
keleluasaan yang diberikan peraturan perundangundangan kepada seseorang sebagai pribadi atau individu. Dalam bagian di bawah ini, diulas secara umum mengenai pengaturan yang terkait dengan
74 Pasal 20 UU 39/1999. 75 Pasal 21 UU 39/1999. 76 Pasal 22 UU 39/1999. 77 Pasal 23 ayat (1) UU 39/1999. 78 Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999.
73 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ diakses 23 Desember 2011.
88
79 Pasal 24 ayat (1) UU 39/1999. 80 Pasal 24 ayat (2) UU 39/1999.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
8) menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk
mogok81;
9) memiliki, memperoleh, mengganti, atau
b. UU ITE UU ITE mempersamakan hak pribadi dengan hak privasi. Dalam penjelasan Pasal 26 UU ITE
mempertahankan status
diatur bahwa hak pribadi (privacy rigths)
kewarganegaraannya serta memilih
mencakup (a) hak untuk menikmati kehidupan
kewarganegaraan82;
pribadi dan bebas dari segala macam
dan
10)secara bebas bergerak, berpindah, dan
gangguan; (b) hak untuk dapat berkomunikasi
bertempat tinggal dalam, serta
dengan Orang lain tanpa tindakan dimata-
meninggalkan dan masuk kembali ke
matai; (c) hak untuk tidak diawasi akses
wilayah negara Republik
Indonesia.83,84
informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang; dan (d) hak untuk menikmati
Akan tetapi, batasan yang lebih sempit dapat
perlindungan data pribadi yang dipertukarkan
mengacu dalam Pasal 31 ayat (1) UU HAM.
atau ditransaksikan secara elektronik. Yang
Dalam pasal tersebut diatur bahwa tempat
dimaksud dengan data Pribadi adalah data
kediaman siapapun tidak boleh diganggu.
perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat,
Kemudian dalam penjelasannya disebutkan
dan dijaga kebenaran serta dilindungi
bahwa yang dimaksud dengan “tidak boleh
kerahasiaannya.86
diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat
Lebih jauh diatur dalam PP 82/2012 sebagai
kediamannya. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1)
peraturan pelaksanaan UU ITE, penyelenggara
UU HAM, salah satu privasi dapat diartikan
Sistem Elektronik dibebani kewajiban untuk
sebagai “kehidupan pribadi”. Konteks atau
menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan
ruang lingkup privasi dari pasal ini adalah
Data Pribadi yang dikelolanya. Selain itu,
kehidupan pribadi (privasi) dalam kediaman
Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib
seseorang. Maksudnya, seseorang memiliki
menjamin bahwa perolehan, penggunaan,
kebebasan atau keleluasaan untuk bertindak
dan pemanfaatan Data Pribadi berdasarkan
atau berbuat apa saja dalam kediamannya,
persetujuan pemilik Data Pribadi, kecuali
dan kebebasan itu tidak boleh diganggu oleh
ditentukan lain oleh peraturan perundang-
siapapun juga.
undangan, serta wajib menjamin penggunaan atau pengungkapan data dilakukan
UU HAM menekankan bahwa semua hak dan
berdasarkan persetujuan dari pemilik Data
kebebasan yang diatur di dalamnya hanya
Pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan
dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-
yang disampaikan kepada pemilik Data Pribadi
undang. Demikian juga dengan privasi, terlepas
pada saat perolehan data. Tidak hanya itu
makna yang terkandung dalam privasi bersifat
saja, Penyelenggara Sistem Elektronik juga
luas atau sempit, pembatasan terhadap privasi
wajib memberitahukan secara tertulis kepada
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan
pemilik Data Pribadi jika terjadi kegagalan
undang-undang.85
dalam perlindungan rahasia Data Pribadi yang dikelolanya.
81 Pasal 25 UU 39/1999. 82 Pasal 26 UU 39/1999. 83 Pasal 27 UU 39/1999. 84 Perlu ditelaah lebih lanjut apakah ketentuan dalam Pasal 20 s.d. Pasal 27 UU 39/1999 dapat disebut sebagai hak privasi (hak pribadi). 85 Pasal 73 UU ITE.
86 Pasal 1 butir 27 PP 82/2012
89
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. UU Perbankan
nasabah ialah identitas yang lazim disediakan
Aspek perlindungan terhadap privasi atau data
oleh nasabah kepada bank dalam rangka
pribadi yang diangkat dari UU Perbankan dan
melakukan transaksi keuangan dengan bank.90
aturan terkaitnya ialah aspek rahasia bank dan
Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari
aspek penggunaan data nasabah. Pengaturan
nasabah dalam hal bank akan memberikan
mengenai rahasia bank merupakan bagian
dan/atau menyebarluaskan data pribadi
penting dalam perlindungan privasi, khususnya
nasabah kepada lain untuk tujuan komersial,
data pribadi nasabah. Pengaturan ini merupakan
yaitu penggunaan data pribadi untuk
satu langkah preventif dalam menjaga
memperoleh keuntungan. Dalam permintaan
kepercayaan nasabah penyimpan. Ruang
persetujuan tersebut, bank wajib terlebih
lingkup rahasia bank ialah segala sesuatu yang
dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi
berhubungan dengan keterangan mengenai
dari pemberian atau penyebarluasan data
nasabah penyimpan dan simpanannya.87 Bank
pribadi kepada pihak lain. Permintaan
Wajib merahasiakan keterangan mengenai
persetujuan dapat dilakukan bank sebelum
Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
atau sesudah nasabah melakuken transaksi
Pengecualian terhadap kewajiban ini ialah
yang berkaitan dengan produk bank. Nasabah
bahwa untuk kepentingan perpajakan,
harus menandatangani formulir khusus –
kepentingan penyelesaian utang-piutang,
sebagai bentuk persetujuan – yang memberikan
kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
kewenangan bagi bank dalam memberikan
bank wajib memberikan keterangan mengenai
atau menyebarluaskan data pribadinya. Apabila
Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
bank akan menggunakan data pribadi
Pembukaan rahasia bank wajib terlebih dahulu
seseorang atau sekelompok orang dari pihak
memperoleh perintah atau izin tertulis dari
lain untuk tujuan komersial, bank wajib
pimpinan Bank Indonesia. Pengecualian lainnya
memiliki jaminan tertulis dari pihak tersebut
terhadap kewajiban menjaga rahasia bank ialah
bahwa orang atau sekelompok orang yang
untuk kepentingan tukar menukar informasi
dimaksud telah memberikan persetujuan
antar bank, dan permintaan/persetujuan tertulis
tertulis kepada pihak lain itu untuk
dari nasabah atau kuasanya serta permintaan
menyebarkan data pribadi mereka.91
ahli waris yang sah. Selain itu, keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan
d. UU KIP
bukan merpakan keterangan yang wajib
UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
dirahasiakan oleh bank.88
Publik (KIP)92 juga memberikan gambaran
Terkait dengan kewajiban menjaga rahasia bank, bank juga wajib menerapkan transparansi informasi mengenai penggunaan data pribadi nasabah.89 Yang dimaksud dengan data pribadi
90 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. 91 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
87 Pasal 1 butir 28 UU Perbankan. 88 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. 89 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
90
92 UU KIP dibentuk dalam rangka mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Negara menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan, program, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. UU 14/2008 juga bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
mengenai hak pribadi.93 Menurut undang-
(5) catatan yang menyangkut pribadi
undang ini, yang dimaksud dengan Informasi
seseorang yang berkaitan dengan
Publik ialah informasi yang dihasilkan, disimpan,
kegiatan satuan pendidikan formal dan
dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu
satuan pendidikan nonformal.
badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara
E. Beberapa Catatan
dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik.94
Berpijak pada konsep privasi yang dikemukakan oleh Warren dan Brandeis yang kemudian diterima dalam
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan
sistem common law di Amerika, perlindungan
oleh badan publik kepada publik, antara lain
terhadap privasi mengandung tiga unsur. Pertama,
adalah informasi yang berkaitan dengan hak-
esensi dari perlindungan terhadap privasi ialah tidak
hak pribadi.95 Hak pribadi yang dimaksud
adanya gangguan dari pihak manapun terhadap
adalah privasi dalam konteks informasi “yang
seseorang dalam mengekspresikan dirinya dengan
bersifat pribadi” atau informasi yang merupakan
berbagai bentuk atau cara. Kedua, tujuan dari
“rahasia pribadi seseorang” yang tidak dapat
perlindungan privasi ialah untuk memberikan “the
diungkap kepada pihak lain. Menurut UU KIP
peace of mind or the relief afforded by the ability to
informasi tersebut termasuk Informasi Publik
prevent any publication at all”. Dengan demikian,
yang dikecualikan, yaitu:
seseorang dapat mengembangkan kehidupan pribadinya dengan maksimal. Ketiga, satu-satunya
(a) Informasi Publik yang apabila dibuka dapat
dasar pihak lain untuk dapat mempublikasi ekspresi
mengungkapkan isi akta otentik yang
atau hasil ekspresi seseorang adalah persetujuan
bersifat pribadi dan kemauan terakhir
orang yang bersangkutan; pengecualiannya adalah
ataupun wasiat seseorang;
adanya ketentuan peraturan perundang-undangan, perintah pengadilan, atau otoritas yang berwenang.
(b) Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
Ruang lingkup privasi sama banyaknya dengan jumlah
dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
ranting pohon beringin. Menentukan ruang lingkup
(1) riwayat dan kondisi anggota keluarga;
privasi membutuhkan waktu dan usaha yang besar–
(2) riwayat, kondisi dan perawatan,
jika tidak dapat dikatakan mustahil. Konsep privasi
pengobatan kesehatan fisik, dan psikis
merupakan konsep yang terus berkembang dari masa
seseorang;
ke masa. Konsep privasi yang dikemukakan Warren
(3) kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; (4) hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan
dan Brandeis pada awalnya mengangkat satu pihak yang disoroti secara tajam oleh masyarakat sebagai pihak selain pemerintah yang berpotensi melanggar
kapabilitas, intelektualitas, dan
privasi, yaitu pers. Akan tetapi, seiring dengan
rekomendasi kemampuan seseorang;
perkembangan teknologi, bermunculan pihak lain
dan/atau
yang dapat mengumpulkan dan pengungkapkan informasi seseorang secara global, mulai dari penyelenggara email atau situs jejaring sosial sampai
93 Salah satu Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik ialah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. (Pasal 6 ayat (3) huruf c UU 14/2008)
pada penyelenggara transaksi elektronik. Pihak yang mengelola informasi memiliki kewenangan yang besar
94 Pasal 1 butir 2 UU KIP.
dalam mengolah informasi yang diberikan. Mereka
95 Pasal 6 ayat (3) huruf a.
memiliki akses terhadap sebagian kehidupan pribadi
91
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
seseorang. Oleh karena itu, kewenangan yang
negara yang menghargai dan melindungi privasi
dimaksud berpotensi melanggar privasi orang lain
(pribadi) warga negara. Sistem yang dimaksud juga
sehingga sudah sepatutnya kewenangan dan
harus dapat memenuhi kebutuhan pengembangan
kemampuannya ini dibatasi.
perekonomian dan perdagangan baik domestik maupun internasional serta peningkatan kesejahteraan
Setiap data memiliki nilai. Nilai tersebut bisa berupa
masyarakat, termasuk harus dapat melindungi
nilai non-ekonomis dan ekonomis yang dapat
kepentingan nasional.
dipengaruhi oleh begitu banyak faktor. Demikian juga data pribadi. Data pribadi memiliki nilai bagi orang
Konstitusi Indonesia tidak mengatur secara tegas
yang memberikan, yang mengolah, atau pihak lain
perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi, tetapi
yang terkait. Data pribadi seseorang merupakan
Konstitusi Indonesia memberikan pernyataan yang
bagian dari privasi individu tersebut; perlindungan
tegas bahwa perlindungan terhadap diri pribadi
terhadap data pribadi merupakan bagian dari
seseorang merupakan hak asasi. Perlindungan
perlindungan privasi seseorang. Lebih tegasnya,
terhadap diri pribadi dapat berupa perlindungan
perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian
terhadap keamanan dan kenyamanan seseorang,
dari perlindungan terhadap individu atau pribadi
termasuk kebebasan dalam mengekspresikan dirinya
sebagai hak asasi yang diatur dalam Konstitusi.
secara emosional. Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri
Teknologi memudahkan masyarakat dalam melakukan
pribadi. Dalam dunia siber, perlindungan terhadap
transaksi dengan cepat dan efisien. Teknologi juga
data pribadi merupakan bagian dari perlindungan
memudahkan pemrosesan data dalam rangka agregasi,
terhadap privasi yang merupakan bagian dari
integrasi, dan klasifikasi. Setiap individu yang
perlindungan terhadap diri seseorang. Oleh karena
melakukan transaksi secara online, atau setiap individu
itu, pembentukan regulasi terkait privasi dan data
yang memberikan informasi pribadinya sebagai salah
pribadi perlu menitikberatkan pada perlindungan
satu syarat penggunaan layanan, pada batas tertentu
terhadap diri pribadi seseorang dari berbagai aspek,
akan sampai pada suatu kondisi bahwa ia tidak punya
termasuk keamanan, kenyamanan, dan kebebasan
pilihan selain mengungkap identitas atau memberikan
dalam mengekspresikan diri secara emosional.
data pribadinya agar transaksi tersebut dapat berlangsung atau layanan yang dimaksud dapat
Perundang-undangan Indonesia telah mengatur
digunakan. Pada saat itu nilai data pribadi harus
perlindungan terhadap privasi, termasuk data pribadi,
dipertukarkan dengan layanan yang diberikan dalam
secara parsial. Tampaknya pembentukan regulasi
satu transaksi elektronik. Penyalahgunaan teknologi
mengenai data pribadi dalam transaksi elektronik
juga memudahkan penyalahgunaan data pribadi,
akan lebih memungkinkan daripada pembentukan
baik yang sifatnya mengganggu privasi maupun
undang-undang omnibus mengenai privasi.
sampai kepada tindak pidana. Masyarakat mengharapkan data pribadinya terjaga kerahasiaan, integritas, serta ketersediaannya. Masyarakat mengharapkan pihak yang mengumpulkan dan mengolah data pribadinya dapat bertindak dengan sah dan sesuai hukum (lawful) serta fair dan beritikad baik. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk membangun, memfasilitasi, dan mengembangkan sistem perlindungan data warga
92
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Barker, Lucius J. dan Barker Jr., Twiley W. (editors). 1978. Civil Liberties and the Constitution: Cases and Commentaries, 3rd Edition, Prentice Hall. Inc, New Jersey, United States. Cate, Fred dan Litan, Robert E. Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, diakses 30 Desember 2011. Citron, Danielle Keats. Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106. d’Entreves, Maurizio Passerin dan Vogel, Ursula. Ed. 2000. Public & Private: Legal, Political, and Pholosophical Perspective, (Routledge, Taylor & Francis Group), New York, US. el-Muhtaj, Majda. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Prenada Media, Jakarta. Greenleaf, Graham, The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299. Fan, Marry D. Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011. Kang, Jerry, Information Privacy in Cyberspace Transactions. Stanford Law Review, Vol. 50, p. 1193, 1998, http://ssrn.com/abstract=631723, diakses 18 Maret 2013. Kasim, Ifdal. Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, diakses dari 17 Desember 2011. Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Penerbit Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Cetakan II. Laski, Harold J. 1948. Liberty in Modern State, London, George Allen & UNWIN Ltd. Lau, Lawrence J. “Economic Growth in the Digital Era”, http://www.stanford.edu /~ljlau/Presentations/Presentations/031129.pdf, diakses pada 17 Januari 2011.
93
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Newman, Edwin S. 1979. Civil Liberty and Civil Rights, 6th Edition, Oceana Publications, Inc, United States. Nusantara, Abdul Hakim G. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 313 s.d. 323. Pollack, Ervin H. (Editor). 1971. Human Rights, Amintaphill I. Jay Steward Publications, Inc. New York, United States. Prosser, William L. Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960. Purbopranoto, Kuntjoro. 1975. Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4 EYD PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Reitman, Alan. Ed. 1968. The Price of Liberty Perspectives on Civil Liberties by Members of the ACLU, W.W. Norton & Company, Inc, First Edition, US. Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta. Solove, Daniel J. dan Schwartz, Paul M. 2011. Information Privacy Law, Fourth Edition, United States: Wolters Kluwer. ________. Conceptualizing Privacy. California Law Review, Vol. 90, p. 1087, 2002. http://ssrn.com/abstract=313103, diakses 17 Maret 2013. ________. A Brief History of Information Privacy Law. PROSKAUER ON PRIVACY, PLI, 2006; GWU Law School Public Law Research Paper No. 215, http://ssrn.com/abstract=914271, diakses 18 Maret 2013. ________. A Taxonomy of Privacy. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 154, No. 3, p. 477, January 2006; GWU Law School Public Law Research Paper No. 129, http://ssrn.com/abstract=667622, diakses 18 Maret 2013. Stone, Richard. 1997. Textbook on Civil Liberties, 2nd Edition, Blackstone Press Limited, Great Britan. Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890 http://groups.csail.mit.edu/mac/classes/6.805/articles/privacy/Privacy_brand_warr2 .html, diakses 31 Januari 2011. Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
94
PERSPEKTIF YURIDIS PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH Oleh : Dayanto, S.H., M.H. 1
Abstrak Penulis dalam tulisan ini menguraikan berbagai bentuk pengawasan yang diatur secara yuridis dalam berbagai ketentuan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah. Di tengah pengelolaan keuangan daerah yang rentan dengan praktik korupsi dan berbagai perilaku penyalahgunaan kewenangan (on misbruik van recht), maka pengawasan sebagai bagian yang vital dalam proses pengelolaan keuangan daerah perlu dioptimalkan melalui peningkatan profesionalisme pengawasan baik secara internal maupun secara eksternal oleh lembaga-lembaga pengawas, pemantapan sinergitas dan koordinasi yang erat antar berbagai lembaga pengawas, serta membuka ruang partisipasi masyarakat secara demokratis dalam proses pengawasan. Kata Kunci: Pengawasan, Keuangan Daerah
A. PENDAHULUAN
Akibat kegagalan pengelolaan keuangan tersebut maka keberadaan pemerintahan negara dalam
Akhir-akhir ini masalah pengelolaan keuangan daerah
bahaya, terjadi kegonjangan ekonomi, politik, dan
banyak mendapatkan sorotan tajam dari publik.
sosial yang bukan saja akan mengakibatkan
Media massa hampir tiap hari menampilkan kasus-
pembangunan kehidupan bangsa mengalami stagnasi
kasus yang menyangkut pengelolaan keuangan
tetapi lebih jauh dari itu akan terjadi kemunduran
daerah secara tidak bertanggung jawab pada berbagai
dan bahkan kegentingan.
instansi pemerintah daerah dari tingkat Propinsi sampai tingkat Kabupaten/Kota. Pengelolaan secara
Pemeriksaan terhadap 480 laporan keuangan
tidak bertanggung jawab ini hadir dalam bentuk
pemerintah daerah tahun 2006 oleh BPK hasilnya
berbagai praktek korupsi keuangan daerah. Padahal
sangat menyedihkan. Dari sejumlah itu hanya ada
dalam melaksanakan tugas menciptakan keadilan
tiga daerah yang menyandang opini paling tinggi
sosial bagi rakyat di saerah, maka pengelolaan
atau wajar tanpa pengecualian terhadap laporan
keuangan daerah merupakan aspek vital dalam
keuanganya. Selain itu sejumlah pelanggaran juga
pengelolaan negara secara keseluruhan.
mencuat dalam pemeriksaan diatas. Bahkan dibeberapa daerah telah terindikasi adanya praktik korupsi dengan berbagai modus.
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon, dilahirkan di Lesane, Maluku Tengah, 6 April 1983. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2005) dan S2 pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (2011) dengan konsentrasi Hukum Kenegaraan. Saat ini dipercayakan menjadi Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon 2013-2017. email:
[email protected]
Dari hasil pemeriksaan BPK diatas bisa disimpulkan bahwa masih banyak daerah yang performansinya buruk karena tidak mematuhi aturan dan standar pelaporan keuangan. Masih banyak kasus pengeluaran
95
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
uang yang belum ada anggarannya dalam APBD dan
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
proses pengadaan barang atau tender. Hingga saat
menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;
ini betapa sulitnya pemerintah daerah menyusun performansi anggaran dengan baik, padahal
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang
perkembangan teknologi telematika telah menyajikan
Keuangan Negara (UUKN) ditegaskan bahwa:
solusi yang berhubungan dengan hal itu. Hasil
Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada
pemeriksaan BPK terasa kontradiktif ketika kita
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
membuka LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggung-
efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan
jawaban) Kepala
Daerah2.
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Relevansi pengelolaan keuangan daerah ditemukan
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) tersebut mewajibkan
dengan diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003
kepada setiap penyelenggara negara untuk
tentang Keuangan Negara yang diatribusi dari Pasal
mengartikulasikan nilai-nilai ketertiban, ketaatan pada
23C UUD NRI 1945. Dalam Pasal (1) UU No. 17 tahun
aturan, efisiensi, ekonomis, efektifitas, transparansi,
2003 mendefenisikan Keuangan Negara sebagai
dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
negara, dimana yang dimaksud dengan pengelolaan
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
adalah mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan,
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
pertanggungjawaban.3
kewajiban tersebut. Sedangkan Pasal (2) UU No. 17 Tahun 2003 menegasakan bahwa keuangan negara
Khusus mengenai pengawasan sebagai bagian dari
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal (1 ) ayat 1,
elemen pengelolaan, dibentuk lembaga pengawasan
meliputi:
dengan berbagai klasifikasi sifatnya baik pengawasan
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan
intern maupun pengawasan ekstern untuk menjalankan
dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
fungsi dan kewenangan pengawasan itu dapat
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
ditemukan pada level konstitusional (UUD) maupun
layanan umum pemerintah negara dan membayar
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan negara;
B. KEUANGAN DAERAH SEBAGAI BAGIAN DARI
d. Pengeluaran negara;
KEUANGAN NEGARA
e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah;
Sejak awal kedudukan keuangan negara yang sangat
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
vital dalam aktivitas kehidupan bernegara itu telah
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
disadari oleh para pendiri bangsa (the founding father
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
and mother) dengan mengatur perihal keuangan
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
negara ini kedalam Bab VIII UUD 1945 tentang “Hal
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
Keuangan” yang terdiri satu pasal yakni Pasal 23.
negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;
2
Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 23 Mei 2013.
96
3
Nilai-nilai tersebut sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan yang bertumpu pada good governance yakni pengelolaan keuangan Negara yang bernuansa solid, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, serta partisipatif. Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2, hlm. 47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Terjadinya reformasi pada tahun 1998 yang salah satu
(local governance) yang diatur dalam UU Nomor 32
agendanya adalah perubahan konstitusi, maka materi
Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, karena
pengaturan dalam Bab VIII UUD 1945 yang sebelumnya
bagaimanapun, urusan keuangan daerah akan
hanya terdiri dari satu pasal, kini mengalami diversifikasi
menjadi local policy (kebijakan lokal/daerah).
menjadi lima pasal dan bahkan pada Bab VIII UUD 1945 (lama) yang sebelumnya mengatur tentang
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUKN, keuangan
suatu Badan Pemeriksaan keuangan didalam Pasal
negara didefinisikan sebagai:
23 ayat (5), maka pada perubahan UUD 1945 ini
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
ditambahkan dengan Bab VIIIA tentang Badan
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari tiga buah pasal.
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
Transformasi dari negara hukum formil yang juga
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
disebut sebagai nachtwachterstaat atau negara jaga malam menjadi negara hukum materil yang juga
Kemudian dalam Pasal 2 UUKN menegasakan bahwa
disebut welfare state atau negara kesejateraan di
keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam
penghujung abad ke-20, maka menyejahterakan
Pasal 1 ayat (1), meliputi :
rakyatnya merupakan tugas utama negara yang
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan
harus dilakukan secara aktif dan
dinamis.4
Hukum
dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
keuangan negara di Indonesia juga berada pada alur
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
perkembangan ini.
layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
Mengenai keuangan daerah, Peraturan Pemerintah
c. Penerimaan negara;
No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
d. Pengeluaran negara;
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, memberi
e. Penerimaan daerah;
definisi:
f. Pengeluaran daerah;
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
daerah;
(Pasal 1 angka 1).
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah
Konsepsi yang demikian tidaklah terpaut jauh dengan
dan/atau kepentingan umum;
kerangka definisi keuangan negara yang diatur tiga
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
tahun kemudian, sebagaimana disebutkan dalam
menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
4
Keuangan Negara. Selain itu, memperbincangkan
Menurut Jimly Asshiddiqie5, ruang lingkup keuangan
diskursus keuangan daerah tidaklah bisa dipisahkan
negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal (2)
dengan konstruksi hukum Pemerintahan Daerah
UUKN tersebut terjadi perluasan pengertian keuangan
Lihat Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, hlm. 28-30 . Lihat juga E. Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, hlm.21
5
Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 196197
97
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
negara. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 23E
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
ayat (2) UUD 1945 pada Perubahan Ketiga yang
Berbagai pendapat ahli tentang pengawasan yang
menentukan bahwa “Hasil pemeriksaan keuangan
di identifikasi oleh Syafiie8, antara lain Lyndal F.
negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
Urwick yang mengartikan pengawasan adalah
dengan kewenangannya”. Padahal, pada ketentuan
upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan
sebelumnya hasil pemeriksaan keuangan itu cukup
peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi
hanya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
yang telah dikeluarkan.
(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri merupakan partner DPR
Bagi Sondang Siagian, pengawasan adalah proses
dibidang pengawasan keuangan.
pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan
Di dalam perubahan ketentuan ini sudah terkandung
yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang
maksud untuk memperluas pengertian keuangan
telah ditentukan sebelumnya. Sementara itu
negara yang harus diperiksa oleh BPK, sehingga tidak
menurut George R Terry, pengawasan dapat
terbatas hanya dalam hubungannya dengan Anggaran
dirumuskan sebagai proses penentuan apa yang
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga
harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila
(APBD) di daerah-daerah.
perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana, yaitu selaras
Dengan demikian, keuangan daerah merupakan
dengan standar.
bagian yang inheren dalam keuangan negara. Artinya ketika membicarakan keuangan negara berarti secara
Jika dikaitkan dengan pengawasan terhadap
otomatis juga menyagkut didalamnya keuangan
keuangan negara maka berbagai pengertian di
daerah. Karena itu ruang lingkup dan asas-asas
atas mempertegas bahwa bahwa pengawasan
pengelolaan keuangan daerah mengacu pada ruang
merupakan ruang lingkup yang tidak bisa
lingkup dan asas-asas pengelolaan keuangan negara.
dipisahkan dari pengelolaan keuangan negara
Ruang lingkup pengelolaan keuangan negara,
secara keseluruhan. Artinya pengawasan
meliputi: Perencanaan keuangan negara; Pelaksanaan
merupakan unsur yang integral dalam proses
keuangan negara; Pengawasan keuangan negara;
pengelolaan keuangan negara, sehingga
dan Pertanggung jawaban keuangan
negara6.
pengelolaan keuangan negara itu dapat sesuai dengan yang direncanakan.
C. PENGAWASAN TERHADAP KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan jenis-jenis pengawasan, Fachruddin9, mengklasifikasikan pengawasan
1. Pengertian dan Klasifikasi Pengawasan
sebagai berikut: Menurut W. Riawan
Tjandra7
pengawasan
merupakan sarana untuk menghubungkan target
1. Pengawasan dipandang dari “kelembagaan”
dengan realisasi setiap program/kegiatan/proyek
yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol, dapat diklasifikasikan atas:
6
Lihat Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 15
7
W. Riawan Tjandra, 2006. Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, hlm. 130
98
8
Syafiie, dalam Ibid, hlm. 131
9
Dalam Ibid, hlm. 133-135
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
a. Kontrol intern (internal control),
b. Pengawasan dari segi “kemanfaatan”
pengawasan yang dilakukan oleh suatu
(opportunitas), pengawasan dimaksudkan
badan/organ yang secara struktural masih
untuk menilai segi kemanfaatan
termasuk organisasi dalam lingkungan
(doelmatigheid). Kontrol internal secara
pemerintah. Bentuk kontrol semacam ini
hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian
dapat digolongkan sebagai jenis kontrol
segi hukum (rechtmatigheid) sekaligus segi
tekhnis-administratif atau built-in control;
kemanfaatan (opportunitas).
b. Kontrol ekstern (external control), pengawasan yang dilakukan oleh badan/
4. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan
organ yang secara struktur organisasi berada
dapat dibedakan atas:
di luar pemerintah dalam arti eksekutif.
a. Pengawasan “negatif repressif”, pengawasan yang dilakukan setelah suatu
2. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan, meliputi hal-hal berikut: a. Kontrol a-priori, pengawasan dilakukan
tindakan dilakukan; b. Pengawasan “negatif preventif” atau positif, pengawasan yang dilakukan dengan
sebelum dilakukan tindakan atau
cara badan pemerintah yang lebih tinggi
dikeluarkannya suatu keputusan atau
menghalangi terjadinya kelalaian pemerintah
ketetapan pemerintah atau peraturan
yang lebih rendah.
lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori mengandung
5. Disamping itu, masih dipandang dari cara
unsur pengawasan preventif yaitu untuk
pengawasan dengan mengutip pendapat
mencegah atau menghindarkan terjadinya
Hertogh, pengawasan dapat dibedakan pula
kekeliruan;
atas:
b. Kontrol a-pasteriori, pengawasan dilakukan
a. Pengawasan unilateral (unilateral control),
sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau
pengawasan yang penyelesaiannya secara
ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah.
sepihak dilakukan oleh pengawas; b. Pengawasan refleksif (reflexive control),
Pengawasan ini mengandung bentuk
pengawasan yang penyelesaiannya
pengawasan represif yang bertujuan
dilakukan melalui proses timbal balik melalui
mengoreksi tindakan yang keliru.
dialog dan negosiasi antara pengawas dan yang diawasi.
3. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi, dapat diklasifikasi atas:
2. Pengawasan Internal
a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas), pengawasan dimaksudkan untuk menilai
Dalam ayat (1) dan (2) Pasal 58 UU No. 1 tahun
segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid).
2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN)
Kontrol peradilan atau judicial control
ditentukan bahwa:
secara umum masih dipandang sebagai
(1) Dalam rangka meningkatkan kinerja,
pengawasan segi hukum (legalitas)
transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan
walaupun terlihat adanya perkembangan
keuangan negara, Presiden selaku Kepala
baru yang mempersoalkan pembatasan
Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan
itu;
sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh.
99
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana
(2) Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem
peraturan pemerintah.
Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah
Ketentuan pasal ini memiliki setidak-tidaknya dua makna penting dalam pengelolaan keuangan
pusat dan pemerintah daerah. (3) Pengawasan Intern adalah seluruh proses
negara. Pertama, pengaturan tentang perlunya
kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan,
keberadaan sistem pengendalian intern untuk
dan kegiatan pengawasan lain terhadap
meningkatkan kinerja, transparansi, dan
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
dalam rangka memberikan keyakinan yang
Kedua, memberikan kewenangan atribusi bagi
memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan
Presiden sebagai kepala pemerintah untuk
sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan
mengatur dan menyelenggarakan sistem
secara efektif dan efisien untuk kepentingan
pengendalian intern di lingkungan pemerintah
pimpinan dalam mewujudkan tata
melalui peraturan pemerintah.
kepemerintahan yang baik.
Sementara itu, berdasarkan penjelasan Pasal 58
Selanjutnya untuk menopang sistem pengendalian
Ayat (1) UUPN bahwa Menteri Keuangan selaku
intern ini maka Peraturan Pemerintah No. 60
Bendahara Umum Negara menyelenggarakan
Tahun 2008 tentang SPIP mengisyaratkan adanya
sistem pengendalian intern di bidang
berbagai aparat pengawas intern pemerintah
perbendaharaan, Menteri/pimpinan lembaga
(APIP)10, yakni, Badan Pengawasan Keuangan dan
selaku pengguna anggaran/pengguna barang
Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP,
menyelenggarakan sistem pengendalian internal
Inspektorat Jenderal atau nama lain Inspektorat
bidang pemerintahan masing-masing, dan
Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.
Gubernur/Bupati/Walikota mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
a. Inspektorat Propinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60
Terkait dengan itulah maka diterbitkan Peraturan
Tahun 2008 tentang SPIP juga mengisyaratkan
Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem
adanya Inspektorat Provinsi dan Inspektorat
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagai
Kabupaten/Kota sebagai aparat pengawas intern
amanat Pasal 58 Ayat (2) UUPN. Dimana dalam
di daerah (Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3)
Pasal 1 ayat (6) dan (7) Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah tentang SPIP itu disebutkan
tentang SPIP ini, ditegaskan bahwa, Inspektorat
bahwa :
Provinsi adalah aparat pengawasan intern
(1) Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang
pemerintah yang bertanggung jawab langsung
integral pada tindakan dan kegiatan yang
kepada Gubernur sedangkan Inspektorat
dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan
Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern
dan seluruh pegawai untuk memberikan
pemerintah yang bertanggung jawab langsung
keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
kepada bupati/walikota.
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
100
10 Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan
Dalam Pasal 25 PP No. 75 Tahun 2005 tersebut
terhadap seluruh kegiatan dalam rangka
menentukan bahwa Inspektur Provinsi dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja
pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab
perangkat daerah provinsi yang didanai dengan
kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab
provinsi. Sedangkan Inspektorat Kabupaten/Kota
kepada Bupati/ Walikota. Inspektur Provinsi dalam
melakukan pengawasan terhadap seluruh
pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,
kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas
mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah
dan fungsi satuan kerja perangkat daerah
Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota dalam
kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran
pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,
Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota11.
mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota.
Sementara itu dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2005 tentang
3. Pengawasan Eksternal
Pedoman pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ditegaskan
a. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
bahwa:
Secara historis, cikal bakal gagasan
1. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan
pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan
di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas
berasal dari Raad Van Rekenkamer pada
Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan
zaman Hindia Belanda yang berfungsi sebagai
kewenangannya.
external auditor terhadap kinerja keuangan
2. Aparat Pengawas Intern Pemerintah
pemerintah.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit
Dalam Pasal 23E UUD NRI 1945, ditegaskan
Pengawasan Lembaga Pemerintah Non
bahwa BPK adalah lembaga yang bebas dan
Departemen, Inspektorat Provinsi, dan
mandiri yang berwenang untuk memeriksa
Inspektorat Kabupaten/Kota.
pengelolaan dan tanggung jawab tentang
3. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana
keuangan negara12. Dimana hasil pemeriksaan
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat
keuangan negara itu diserahkan kepada Dewan
pengawas pemerintah.
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
4. Pejabat pengawas pemerintah sebagaimana
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah13.
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga
Kedudukan BPK yang bebas dan mandiri ini
Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat,
selaras dengan salah satu asas pengelolaan
oleh Gubernur ditingkat provinsi, dan oleh
keuangan negara yakni asas pemeriksaan
Bupati/Walikota ditingkat kabupaten/kota
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
dan mandiri sebagai asas yang memberikan
5. Tata cara dan persyaratan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian dan peningkatan kapasitas pejabat pengawas pemerintah daerah diatur dengan peraturan Menteri.
11 Lihat Pasal 49 Ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP
12 Lihat Pasal 23E Ayat (1) UUD NRI 1945: “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” 13 Lihat Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI 1945: “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai kewenangannya”.
101
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
kebebasasn bagi badan pemeriksa keuangan
dan kekayaan negara dalam arti luas. Kedua,
untuk melakukan pemeriksaan keuangan
perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang
negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh
dilakukan tidak saja dilaporkan PRD di tingkat
siapapun.
pusat tetapi juga kepada DPD dan DPRD Propinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.
Selain itu, kedudukan kelembagaan BPK ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan
Ketiga, perluasan juga terjadi terhadap lembaga
legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan
atau badan/badan hukum yang menjadi objek
dengan fungsi pengawasan yang dijalankan
pemeriksaan oleh BPK, yaitu dari sebelum
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk
hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
pemerintahan yang merupakan subjek hukum
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan
tata negara dan/atau subjek hukum administrasi
demikian, laporan hasil pemeriksaan yang
negara meluas sehingga mencakup pula organ-
dilakukan oleh BPK ini harus dilaporkan atau
organ yang merupakan subjek hukum perdata
disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.
seperti perusahaan daerah, BUMN, ataupun perusahaan swasta dimana di dalamnya
Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI yang disahkan
terdapat kekayaan negara.
pada perubahan ketiga ini secara drastis memperluas pengertian keuangan negara.
Dalam BAB III Undang-Undang No. 15 Tahun
Padahal, pada ketentuan sebelumnya hasil
2006 tentang Badan Pemeriksa diatur ketentuan
pemeriksaan keuangan itu cukup hanya
mengenai tugas dan wewenang BPK. Pada
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 6 Ayat (3) ditegaskan bahwa Pemeriksaan
(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan
BPK mencakup pemeriksaan keuangan,
Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan
merupakan partner DPR dibidang pengawasan
tujuan tertentu. Penjelasan umum Undang-
keuangan. Di dalam perubahan ketentuan ini
Undang No. 15 Tahun 2004 tentang
sudah terkandung maksud untuk memperluas
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
pengertian keuangan negara yang harus
Keuangan Negara menguraikan tentang
diperiksa oleh BPK, sehingga tidak terbatas
lingkup kewenangan BPK untuk melakukan 3
hanya dalam hubungannya dengan Anggaran
(tiga) jenis pemeriksaan, yakni:
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi
1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan
juga dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
daerah-daerah.14
atas laporan keuangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam
Dari jangkauan fungsi pemeriksaannya, tugas
rangka memberikan pernyataan opini
BPK sekarang menjadi makin luas. Ada tiga
tentang tingkat kewajaran informasi yang
perluasan yang dapat dicatat disini15. Pertama,
disajikan dalam laporan keuangan
perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan
pemerintah.
APBN menjadi pemeriksaan atas pelaksanaan
2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan
APBN dan APBD serta pengelolaan keuangan
atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektifitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan
14 Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi ….op.cit. hlm. 196-197
manajemen oleh aparat pengawas intern
15 Ibid
pemerintah. Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945
102
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
mengamanatkan BPK untuk melaksanakan
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan
pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan
investigatif guna mengungkap adanya indikasi
negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
kerugian negara/daerah/ atau unsur pidana.
mengidentifikasikan hal-hal yang perlu
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur
menjadi perhatian lembaga perwakilan.
pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut
Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang
ketentuan perundang-undangan. Hasil
dibiayai dengan keuangan negara/daerah
pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun
diselenggarakan secara ekonomis dan efisien
dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan
serta memenuhi sasarannya secara efektif.
segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu,
Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat
adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
menyusun laporan interim pemeriksa. Laporan
tujuan khusus, di luar pemeriksaan
interim pemeriksa diterbitkan sebelum suatu
keuangan dan pemeriksaan kinerja.
pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan
Termasuk dalam pemeriksaan atas hal-hal
tujuan untuk segera dilakukan tindakan
yang berkaitan dengan keuangan dana
pengamanan dan/atau pencegahan
pemeriksaan investigasi.
bertambahnya kerugian. Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja
Pemeriksaan BPK memiliki kebebasan dan
akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan
kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan,
rekomendasi sedangkan pemeriksaan dengan
yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan
tujuan tertentu akan menghasilkan rekomendasi.
pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan
Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat
dalam menentukan objek yang akan diperiksa,
diberikan oleh pemeriksa dalam pemeriksaan
kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur
keuangan, yakni :
tersendiri dalam undang-undang atau
a. opini wajar tanpa pengecualian
pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.
(unqualified opinion) b. opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Dalam merencanakan tugas pemeriksaan BPK
c. opini tidak wajar (adversed opinion)
dapat mempertimbangkan informasi dari
d. pernyataan menolak memberikan opini
pemerintah, bank sentral, dan masyarakat.
(disclaimer of opinion)
Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang dibentuk dalam
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan
upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan
keuangan pemerintah oleh BPK kepada DPRD
nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
menerima laporan keuangan dari Pemerintah
dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Daerah. Selain disampaikan kepada DPRD,
Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk
laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan
hasil penelitian dan pengembangan kajian,
oleh BPK kepada pemerintah.
pendapat dan keterangan organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari masyarakat.
103
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
2. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan
Propinsi/Kabupaten/Kota
untuk melakukan Pengawasan Internal terhadap
Pasal 292 dan 343 Undang-Undang No. 27
keuangan daerah adalah: Inspektorat Propinsi
Tahun 2009 tentangMajelis Permusayawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
dan Inspektorat Kabupaten/Kota. 3. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
untuk melakukan pengawasan Eksternal terhadap
Rakyat Daerah (UU MD3), menegaskan bahwa
keuangan daerah adalah: Badan Pemeriksa
DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota mempunyai
Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan;
Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
Ketiga fungsi dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi/Kabupaten/kota.
Saran Dari uraian diatas maka beberapa hal yang dapat
Dalam Pasal 293 dan Pasal 344 UU MD3, DPRD
disarankan adalah:
provinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas dan
1. Perlunya peningkatan profesionalisme dalam
wewenang untuk melaksanakan pengawasan
melakukan proses pengawasan baik secara
terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan
internal maupun secara eksternal oleh lembaga-
anggaran pendapatan dan belanja daerah
lembaga yang diberikan kewenangan.
provinsi/kabupaten/kota. Hal ini merupakan
2. Perlunya sinergitas dan koordinasi yang erat antar
suatu penegasan bahwa tugas dan wewenang
berbagai lembaga pengawas sehingga proses
DPRD adalah melaksanakan pengawasan
pengawasan dapat berlangsung secara
terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan
berkesinambungan dan tidak tumpang-tindih
dan belanja daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
(overlapping). 3. Perlunya membuka ruang partisipasi masyarakat
Fungsi pengawasan terhadap pengelolaan
secara demokratis dalam proses pengawasan atas
keuangan daerah yang dilakukan oleh memiliki
pengelolaan keuangan negara.
relasi yang erat dengan BPK, hal ini berkaitan dengan perluasan lingkup keuangan negara yang meliputi keuangan daerah dimana BPK diberikan tanggung jawab utama untuk melakukan audit (pemeriksaan) terhadap pengelolaan keuangan negara, termasuk di dalamnya keuangan daerah. D. PENUTUP Kesimpulan Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Di pandang dari sudut kelembagaan maka secara yuridis dalam pengawasan keuangan daerah di Indonesia dikenal dua macam bentuk pengawasan yakni: Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal.
104
DAFTAR PUSTAKA
Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 20 Februari 2010. Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2. Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, 1960.
105
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013 No. Peraturan
Tanggal
Satker
15/1/PBI/2013
18 Februari 2013
DPIP
Perihal Lembaga Pengelolaan Informasi Perkreditan
107
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013 Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
15/1/DPNP
15 Januari 2013
DPNP
Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
15/2/DPNP
04 Februari 2013
DPNP
Kepemilikan Tunggal pada
15/3/DPM
28 Februari 2013
DPM
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.
15/4/DPNP
06 Maret 2013
DPNP
Kepemilikan Saham Bank Umum
15/5/DSM
06 Maret 2013
DSM
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri
15/6/DPNP
08 Maret 2013
DPNP
Kegiatan Usaha Bank Umum
15/7/DPNP
08 Maret 2013
DPNP
Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti
15/8/DPbS
27 Maret 2013
DPbS
Pembukaan Jaringan Kantor BUS dan UUS Berdasarkan Modal Inti
15/9/DSM
27 Maret 2013
DSM
Penerimaan Devisa Hasil Eksport
15/10/DPNP
28 Maret 2013
DPNP
Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada BI.
15/11/DPNP
08 April 2013
DPNP
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum
15/12/DASP
08 April 2013
DASP
Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
15/13/DASP
12 April 2013
DASP
Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik oleh BPR dan Lembaga
15/14/DPNP
24 April 2013
DPNP
Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 PerihalLaporan Berkala Bank Umum
15/15/DPNP
29 April 2013
DPNP
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
109
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan
Tanggal
Satker
Perihal
15/16/DInt
29 April 2013
DInt
Perlaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri
15/17/DInt
29 April 2013
DInt
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan
15/18/DASP
30 April 2013
DASP
Perubahan Atas SEBI No. 11/13/DASP tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nilai Nominal Nota Debit dan Transfer Kredit dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
110
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013
Peraturan :
Peraturan Bank Indonesia 15/1/PBI/2013 Tanggal 18 Februari 2013 Tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan
Berlaku
:
Sejak tanggal 18 Februari 2013
Latar Belakang Sejak tahun 1975, Bank Indonesia telah mengelola informasi perkreditan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas sebagai otoritas moneter dan perbankan, serta melayani kebutuhan industri keuangan, khususnya dalam mendukung kelancaran penyaluran penyediaan dana dan manajemen risiko. Penyediaan informasi perkreditan oleh Bank Indonesia masih terbatas pada produk informasi yang bersifat standar, dengan cakupan data mayoritas dari perbankan dan beberapa lembaga keuangan non bank. Dalam perkembangannya, industri keuangan membutuhkan informasi perkreditan yang lebih komprehensif dengan cakupan data yang lebih luas mencakup juga data dari luar industri keuangan. Sebagaimana international best practices, pada umumnya produk informasi perkreditan yang lebih komprehensif disediakan oleh pengelola informasi perkreditan yang dikelola swasta (private credit bureau). Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu dibukanya pengelolaan informasi perkreditan oleh swasta yang selanjutnya akan dikenal dengan nama Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Melalui LPIP, nantinya diharapkan kebutuhan industri keuangan akan informasi perkreditan yang lebih komprehensif akan terpenuhi, sehingga akan meningkatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan yang akan mendorong terjadinya stabilitas sistem keuangan. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013 a. Persyaratan bagi pihak yang akan mendirikan LPIP, antara lain: 1) Badan hukum LPIP wajib berbentuk Perseroan Terbatas; 2) Modal disetor LPIP minimal Rp50 Milyar; 3) Kepemilikan saham maksimal oleh satu pihak adalah ≤ 51%; dan 4) Pihak yang dapat menjadi pemegang saham LPIP adalah badan hukum Indonesia. b. Tahapan perizinan LPIP yaitu dibagi menjadi 2 (dua): persetujuan prinsip dan izin usaha. c. Jenis kegiatan usaha LPIP yaitu menghimpun dan mengolah data perkreditan dan/atau data lainnya untuk menghasilkan informasi perkreditan. d. Persyaratan pengurus LPIP antara lain minimal 1 Direktur LPIP memiliki pengalaman dan/atau pengetahuan mengenai informasi perkreditan.
111
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
e. Sumber data LPIP yaitu data perkreditan dan/atau data lainnya, baik yang bersumber dari lembaga keuangan maupun non lembaga keuangan. f. Pengelolaan data yang dilakukan LPIP, dimana LPIP wajib melakukan langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data. Selain itu LPIP wajib menempatkan server dan database di dalam wilayah Republik Indonesia. g. Kewajiban LPIP untuk menyediakan informasi perkreditan yang mempunyai nilai tambah. h. Pihak-pihak yang dapat diberikan informasi perkreditan adalah Lembaga Keuangan, non Lembaga Keuangan, LPIP lain, Debitur atau Nasabah, dan/atau pihak lain dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan. i. Penanganan dan penyelesaian pengaduan khususnya kewajiban bagi LPIP untuk memiliki kebijakan dan prosedur tertulis. j. Pengawasan oleh BI terhadap LPIP mencakup on-site dan off-site. Pengawasan on-site dilakukan melalui pemeriksaan langsung, sedangkan off-site dilakukan dengan analisa terhadap laporan-laporan yang disampaikan oleh LPIP kepada BI. k. Jenis-jenis laporan yang disampaikan LPIP meliputi: laporan bulanan, laporan semesteran, laporantahunan, rencana bisnis tahunan, dan laporan insidentil lainnya. l. Sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan LPIP berdasarkan PBI ini, yaitu tegurantertulis, kewajiban pembayaran, dan pencabutan izin usaha.
112
RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
Berlaku
:
Tanggal 15 Januari 2013
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan pengaturan kembali dari SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Latar belakang dan tujuan penerbitan SE BI ini adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi informasi, meningkatkan good governance, dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan antara lain melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik. 2. Pokok-pokok pengaturan kembali dalam SE BI ini meliputi antara lain: a. Penambahan segmen kredit baru di dalam pelaporan dan publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yakni SBDK kredit mikro. Kredit mikro adalah kredit yang disalurkan kepada usaha mikro. Adapun definisi usaha mikro berdasarkan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. b. Terdapat penegasan bahwa SBDK merupakan suku bunga terendah yang dipergunakan sebagai indikator besaran suku bunga kredit yang akan dikenakan oleh Bank kepada nasabah. c. Semua Bank umum konvensional wajib mempublikasikan SBDK ke masyarakat serta melaporkan tabel komponen perhitungan SBDK kepada Bank Indonesia. d. Sebagai salah satu bentuk edukasi dan transparansi kepada nasabah, Bank wajib memberikan informasi mengenai SBDK dan suku bunga kredit dalam surat pemberitahuan persetujuan kredit (offering letter) atau dokumen lainnya kepada calon debitur sebelum penandatanganan perjanjian kredit. e. Publikasi SBDK melalui surat kabar dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember untuk posisi SBDK akhir bulan yang bersangkutan. f. Kewajiban pelaporan dan publikasi SBDK memiliki masa transisi sebagai berikut: 1. Bagi Bank yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih pada posisi akhir bulan Desember 2012 dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), kewajiban pelaporan dan kewajiban publikasi untuk segmen kredit mikro dilakukan sejak posisi akhir bulan Februari 2013. 2. Bagi Bank yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) pada posisi akhir bulan Desember 2012 dalam LBU, kewajiban pelaporan untuk segmen kredit mikro dan kewajiban publikasi untuk segmen kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR) dilakukan sejak posisi akhir bulan Juni 2013. g. Dengan berlakunya SE BI ini maka SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
113
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/2/DPNP tanggal 4 Februari 2013 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia
Berlaku
:
Sejak tanggal 4 Februari 2013
Latar Belakang Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, maka perlu diatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan penerapannya. Surat Edaran ini mengatur mengenai pelaksanaan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia dengan cara merger atau konsolidasi, membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan, dan membentuk Fungsi Holding. Pokok-Pokok Pengaturan meliputi antara lain: 1. Terdapat 3 (tiga) opsi dalam melakukan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, yaitu: a. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya. b. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company/BHC). c. Membentuk Fungsi Holding. 2. Bank Indonesia memberikan insentif dalam rangka merger atau konsolidasi untuk memenuhi kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. Selain itu, juga diatur mengenai tata cara dan batas waktu pelaksanaan merger atau konsolidasi, serta kewenangan Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan/atau calon pengurus Bank hasil merger atau konsolidasi. 3. Pengaturan mengenai BHC, antara lain: a. Tata cara dan batas waktu pelaksanaan pembentukan BHC dan pengalihan saham dari PSP kepada BHC. b. Tugas BHC. c. Permodalan BHC. d. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding Company) yang bertindak sebagai BHC. e. Kewenangan Bank Indonesia untuk menyetujui atau menolak permohonan pembentukan BHC dan calon PSP dan/atau pengurus BHC. 4. Pengaturan mengenai Fungsi Holding, antara lain: a. Jenis PSP yang dapat membentuk Fungsi Holding, yaitu hanya PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia dan instansi Pemerintah Republik Indonesia. b. Tata cara dan batas waktu pembentukan Fungsi Holding. c. Kewenangan Bank Indonesia memberikan persetujuan atas pembentukan Fungsi Holding.
114
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
5. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank, termasuk melakukan pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan. 6. BHC dan Fungsi Holding menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia seperti: a. program kerja strategis BHC atau Fungsi Holding. b. Laporan pengawasan BHC atau Fungsi Holding terhadap Bank. c. Laporan prudential lainnya. 7. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia No.9/32/DPNP tanggal 12 Desember 2007 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan :
Surat Edaran No. 15/3/DPM tanggal 28 Februari 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank
Berlaku
:
18 Maret 2013
I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank, khususnya pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh pedagang valuta asing (PVA). Hal ini diharapkan dapat mendukung upaya Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah. II. Penyempurnaan pengaturan meliputi: 1. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh PVA hanya dalam bentuk uang kertas asing secara fisik. Penyerahan dana rupiah dalam penyelesaian transaksi tersebut dapat dilakukan melalui pemindahbukuan antar rekening. 2. Permintaan valuta asing oleh perusahaan penyelenggara transfer dana kepada bank dengan nilai nominal di atas USD 100 ribu per bulan hanya dapat dipenuhi oleh bank apabila perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan underlying nasabah yang bukan merupakan PVA. 3. Penyempurnaan pengaturan mengenai dokumen underlying yang wajib diserahkan oleh PVA apabila melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank. 4. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 18 Maret 2013, namun khusus ketentuan yang mengatur Pedagang Valuta Asing diberlakukan pada tanggal 1 Mei 2013.
115
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tanggal 6 Maret 2013 perihal Kepemilikan Saham Bank Umum
Berlaku
:
Sejak tanggal 6 Maret 2013
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. 2. Pokok-pokok pengaturan SE BI ini meliputi antara lain: a. Penerapan batas maksimum kepemilikan saham bank bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan perusahaan induk diatur berikut ini. 1. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Pemda yang akan mendirikan atau mengakuisisi bank dipersamakan dengan batas kepemilikan bagi badan hukum bukan lembaga keuangan yaitu 30% untuk masing-masing Pemda. 2. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Perusahaan Induk di bidang Perbankan yang dibentuk untuk memenuhi PBI Kepemilikan Tunggal dikecualikan dari batas maksimum kepemilikan saham. Namun apabila kemudian perusahaan induk tersebut akan melakukan akuisisi bank lainnya, maka batas maksimum kepemilikan saham adalah sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dari Perusahaan Indukdi bidang Perbankan tersebut. b. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, pemegang saham Bank dapat meningkatkan kepemilikan saham dengan kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan sesuai dengan ketentuan dalam PBI Kepemilikan Saham Bank Umum. c. Setelah tanggal 31 Desember 2013, Pemegang saham yang memiliki saham Bank kurang dari batas maksimum kepemilikan saham dapat meningkatkan kepemilikan saham sampai dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank. Sedangkan bagi Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan saham Bank dapat melakukan penambahan kepemilikan saham sepanjang tidak menambah persentase kepemilikan sahamnya. d. Pemegang saham langsung Bank wajib menyesuaikan kepemilikan saham sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham, apabila perubahan pengendalian dimaksud berupa: 1. Perubahan pemegang saham Bank langsung atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT); dan/atau 2. Perubahan persentase kepemilikan saham Bank oleh pemegang saham langsung atau perubahan persentase kepemilikan PSPT pada Bank yang secara tidak langsung mempengaruhi jumlah pengendalian pada Bank. e. Persyaratan khusus bagi calon PSP berupa WNA/badan hukum asing dan calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham lebih dari 40% berupa penilaian Tingkat Kesehatan (TKS), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko, dan modal inti (tier 1) menggunakan posisi penilaian 1 (satu) tahun terakhir. Sedangkan pemenuhan persyaratan peringkat investasi yang digunakan adalah posisi peringkat investasi paling lama 1 (satu) tahun sebelum yang bersangkutan menjadi PSP bank.
116
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
f. Pemberian persetujuan Bank Indonesia kepada calon pemegang saham untuk memiliki saham bank lebih dari 40% dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Persetujuan untuk memiliki saham bank sebesar 40% terlebih dahulu; 2. Persetujuan untuk dapat meningkatkan jumlah kepemilikan dengan kewajiban mengajukan kembali permohonan untuk meningkatkan kepemilikan saham apabila bank yang dimiliki memiliki TKS dan GCG 1 atau 2 selama 3 periode berturut-turut dalam periode 5 tahun. g. Komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia bagi PSP asing, dikaitkan dengan prioritas pembangunan Indonesia mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dikeluarkan Bapenas. h. Calon pemegang saham berupa lembaga keuangan asing atau lembaga keuangan asing yang akan memiliki saham bank lebih dari 40% wajib mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan dari negara asal termasuk rekomendasi bahwa otoritas home country PSP Bank akan mendukung kebijakan otoritas pengawas di tempat kedudukan Bank (host country) di bidang pengawasan yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kinerja Bank dan/atau memelihara stabilitas sistem keuangan di tempat kedudukan Bank (host country). i. Calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% wajib pula memiliki komitmen untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang dimiliki jika Bank yang dimiliki diperkirakan mengalami kesulitan memenuhi rasio KPMM sesuai profil risiko di masa yang akan datang. j. Kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off) unit usaha syariah paling lama akhir Desember 2028.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/5/DSM Tanggal 7 Maret 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri
Berlaku
:
7 Maret 2013
1. Surat Edaran Nomor 15/5/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 Tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.14/24/DSM tanggal 7 September 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank. 2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan aturan sebelumnya mencakup: a. Penyesuaian Batas Waktu Penyampaian Laporan (BWPL) dan Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan (BWPKL) apabila hari terakhir jatuh pada hari Sabtu, Minggu, libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menjadi hari kerja selanjutnya. b. Perubahan sanksi denda maksimum untuk laporan tidak benar dan/atau tidak lengkap dari semula Rp20.000.000,(dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah).
117
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. Perubahan sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan dari semula Rp1.000.000,- (satu juta Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah) menjadi Rp500.000,- (lima ratus ribu Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah). d. Perhitungan hari keterlambatan yang semula berdasarkan hari kalender menjadi hari kerja. e. Perubahan sanksi denda tidak menyampaikan laporan dari semula Rp20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah). f. Subjek sanksi denda dikenakan kepada pelapor yang sudah melewati 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan pertama. g. Perubahan rekening pembayaran sanksi denda pelaporan dari rekening kas negara menjadi rekening Bank Indonesia. h. Perubahan batas waktu penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda dari semula akhir bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima pelapor menjadi akhir bulan berikutnya setelah tanggal penerbitan surat penetapan sanksi. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 2013 dan berlaku surut sejak pelaporan data PL bulan Desember 2012 yang disampaikan pada bulan Januari 2013.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/6/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Kegiatan Usaha Bank Umum berdasarkan Modal Inti
Berlaku
:
Tanggal 8 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. SE ini mewajibkan Bank melakukan identifikasi dan menyampaikan action plan atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan kelompok kegiatan usaha Bank berdasarkan modal inti (BUKU) serta mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan sebelum menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang bukan merupakan produk dan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi. Substansi Pengaturan: 1. Bank dapat melakukan kegiatan usaha berupa penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai cakupan produk dan aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU. BUKU dibedakan menjadi 4 kelompok, BUKU 1 sampai dengan BUKU 4. Semakin tinggi modal inti Bank, semakin tinggi BUKU dan semakin luas cakupan produk yang dapat diterbitkan atau aktivitas yang dapat dilaksanaakan oleh Bank. 2. Penerbitan produk dan aktivitas baru Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk atau aktivitas yang diperkenankan pada masing-masing BUKU; b. rencana penerbitan produk yang belum pernah diterbitkan atau aktivitas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tersebut;
118
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang merupakan produk atau aktivitas dasar tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia; d. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang bukan merupakan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas tinggi, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia; dan e. menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. 3. Produk atau aktivitas baru yang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia adalah produk atau aktivitas yang bukan merupakan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi antara lain meliputi: a. Penghimpunan dana berupa penerbitan surat utang dan atau pinjaman yang memiliki fitur ekuitas, serta sekuritisasi aset; b. Aktivitas treasury berupa structured product dan credit derivative; c. Keagenan dan kerjasama berupa aktivitas bancassurance, kustodian, wali amanat, dan trust; dan d. Kegiatan sistem pembayaran antara lain berupa penyelengaraan kliring, penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan penyelenggara Uang Elektronik (e-money), phone banking, SMS banking, mobile banking, dan internet banking. 4. Produk atau aktivitas baru yang tidak wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia antara lain meliputi: a. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dasar antara lain penghimpunan dana dalam bentuk giro, tabungan, sertifikat deposito dan pinjaman yang diterima serta penyaluran dana dalam bentuk kredit, pembelian surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada bank lain; b. aktivitas penjualan produk-produk yang diterbitkan oleh Pemerintah, misalnya aktivitas agen penjual Surat Utang Negara (SUN) dan aktivitas agen penjual Obligasi Ritel Indonesia (ORI); c. penanaman dana dalam rangka investasi, misalnya pembelian Reksa Dana pendapatan tetap, penempatan pada SBI, dan pembelian surat berharga korporasi; d. penyaluran dan penghimpunan dana dalam rangka pengelolaan likuiditas, antara lain Penempatan antar Bank, penerimaan pinjaman antar Bank; e. penerimaan pinjaman dari pihak lain, misalnya pinjaman antar Bank dan pinjaman dari non Bank seperti lembaga multilateral; dan f. pengembangan dari produk atau aktivitas konvensional yang pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank. 5. Tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. Pencantuman rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan oleh Bank dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan penerbitan atau pelaksanaan aktivitas baru; b. Pengajuan permohonan Persetujuan Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan c. Pengajuan laporan Realisasi Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas Baru kepada Bank Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah produk diterbitkan atau aktivitas baru dilaksanakan.
119
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
6. Bank wajib melakukan identifikasi terhadap produk atau aktivitas Bank yang telah diterbitkan atau dilaksanakan tetapi tidak menjadi cakupan produk atau aktivitas BUKU Bank. Selanjutnya, Bank harus menyampaikan rencana tindak (action plan) atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan BUKU Bank yang dapat berupa: a. Rencana penambahan Modal inti; atau b. Rencana penyesuaian Kegiatan Usaha. 7. Rencana tindak wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Maret 2013, dan Bank Indonesia melakukan penilaian atas rencana tindak Bank. Berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia, Bank wajib melakukan revisi atas Rencana Bisnis Bank dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Juni 2013. 8. Bank wajib melakukan penambahan Modal dan/atau menyesuaikan Kegiatan Usaha yang mencakup produk dan aktivitas, kegiatan valuta asing, dan kegiatan Penyertaan Modal paling lama: a. 3 (tiga) tahun sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui oleh Bank Indonesia; atau b. 5 (tahun) sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui Bank Indonesia, bagi Bank yang dimiliki Pemerintah Daerah. 9. Bab Peralihan dalam SE ini diatur antara lain mengenai: a. Penentuan BUKU Bank berdasarkan Modal Inti, untuk pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti Bank pada akhir bulan Desember 2012. b. Bagi Bank yang sebelum berlakunya SE Bank Indonesia ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan BUKU, wajib menyampaikan rencana tindak pemenuhan Modal Inti atau rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha kepada Bank Indonesia. c. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, wajib disampaikan oleh Bank yang tidak mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU sampai dengan akhir bulan Maret 2013. d. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang sampai dengan akhir bulan Maret 2013 telah mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum berdasarkan BUKU. Namun Bank wajib menyampaikan laporan dan bukti pendukung pemenuhan Modal Inti minimum kepada pengawas Bank yang bersangkutan sebagai dasar penyesuaian BUKU Bank. e. Informasi yang harus disampaikan dalam Rencana tindak pemenuhan Modal Inti dan Rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha adalah sebagaimana diatur dalam SE BI ini. f. Bagi Bank yang telah menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas yang berdasarkan SE Bank Indonesia ini wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia, tetap dapat memelihara produk atau aktivitas tersebut tanpa harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia, sepanjang merupakan cakupan produk atau aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU Bank. g. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang pada posisi akhir Desember 2012 tidak memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU, namun mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk tetap dapat melakukan Kegiatan Usaha tertentu berdasarkan pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional, termasuk Bank yang dalam penanganan atau penyelamatan LPS. 10.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dengan berlakunya SE Bank Indonesia ini, maka SE Bank Indonesia No.11/35/DPNP tanggal 31 Desember 2009 perihal Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
120
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/7/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti
Berlaku
:
Tanggal 8 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan: •
Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
•
SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank (Theoretical Capital). Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional.
Substansi Pengaturan: 1. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank Umum dan pemerataan pembangunan dalam masingmasing zona. 2. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh. 3. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing-masing Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1 dan 2. 4. Bank Umum memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. 5. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September. 6. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 7. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti.
121
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
8. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 6 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio kredit. 9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan kredit kepada UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio kredit, dan melakukan pemupukan modal. 10. Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM) untuk menetapkan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. 11. Perhitungan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September. 12. Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 13. Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur sebagai berikut: a.
pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau
b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6. 14. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4. 15. Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. 16. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. 17. Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku, dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut. 18. Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013.
122
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
19. Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan Desember 2012. 20. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti
Berlaku
:
Tanggal 27 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan: •
Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
•
SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank (Theoretical Capital), dengan tetap mempertimbangkan pengembangan perbankan syariah ke depan. Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional.
Substansi Pengaturan: 1. SE ini berlaku untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). 2. Delivery channel dan layanan syariah tidak diperhitungkan sebagai Pembukaan Jaringan Kantor Bank. 3. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing zona. 4. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh. 5. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing-masing Bank berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1 dan 2. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. 6. Bank memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. Yang dimaksud dengan kantor Bank yang sudah ada (existing) adalah kantor yang telah berdiri kurang atau sama dengan 2 (dua) tahun. Perhitungan alokasi Modal Inti untuk UUS menggunakan Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya.
123
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
7. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September. 8. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti. 10. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan. Penilaian pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM atau UMK untuk UUS dihitung dengan menggunakan jumlah penyaluran pembiayaan dan kredit kepada UMKM atau UMK yang dilakukan UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi. 11. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan pembiayaan kepada UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan, dan melakukan pemupukan modal. 12. Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Operating Margin (NOM) untuk menetapkan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. Khusus untuk UUS, penilaian pencapaian tingkat efisiensi (rasio BOPO dan Net Interest Margin) dihitung menggunakan pencapaian rasio efisiensi UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi. 13. Perhitungan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September. 14. Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia 15. Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur sebagai berikut: a.
pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau
b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6. 16. Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud dalam angka 15 untuk Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan ketentuan:
124
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
a.
Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor konvensional maka kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP berupa KC atau KCP konvensional atau syariah.
b. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor syariah maka kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP syariah. 17. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4. 18. Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. 19. Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku, dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut. 20. Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013. 21. Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan Desember 2012.
Peraturan :
Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
Berlaku
27 Maret 2013
:
Ringkasan : 1. Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/25/PBI/2012 Tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. 2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini mencakup: a. Istilah/terminologi yang umum dalam perdagangan internasional didefinisikan secara eksplisit dalam ketentuan umum, seperti operational leasing, financial leasing, dan usance L/C. b. Aturan tentang kewajiban penerimaan DHE termasuk pemberian contoh-contohnya, seperti penerimaan DHE tidak wajib dikonversi ke rupiah dan penerimaan DHE dapat dilakukan dalam valuta yang berbeda dari yang tercantum di PEB.
125
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. Ketentuan mengenai penyampaian data, keterangan, dan informasi berikut contohnya, antara lain nilai DHE yang disampaikan dalam laporan rincian transaksi ekspor adalah nilai setelah memperhitungkan biaya-biaya, cara penghitungan selisih kurang antara nilai DHE dan nilai PEB, serta jenis dokumen pendukung yang harus disampaikan eksportir. d. Penghitungan dan mekanisme pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE kepada eksportir, seperti penyampaian surat pemantauan penerimaan DHE kepada eksportir/pemilik barang terkait belum terpenuhinya ketentuan penerimaan DHE sebelum dikeluarkannya surat pengenaan sanksi serta penyampaian tembusan surat pengenaan sanksi kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta instansi terkait. e. Tatacara pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor, yaitu antara lain berupa bukti-bukti yang harus disampaikan eksportir serta kegiatan verifikasi oleh Bank Indonesia atas bukti-bukti tersebut. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 2013.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomer 15/10/DPNP tanggal 28 Maret 2013 perihal Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank Indonesia
Berlaku
:
Sejak tanggal 28 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan: • Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/17/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust). • SE ini mengatur bahwa Bank wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha penitipan dengan pengelolaan secara berkala untuk setiap kantor unit kerja Trustee kepada Bank Indonesia. • SE ini memberikan pedoman penyusunan laporan kegiatan Trust kepada seluruh Bank Umum. Substansi Pengaturan: 1. Pokok-pokok pengaturan SE ini adalah mengenai mekanisme, format dan bentuk laporan yang disertai petunjuk teknis penyusunan laporan kegiatan Trust. 2. Laporan yang disampaikan paling kurang mencakup informasi mengenai: a. Sumber Daya Manusia unit kerja Trustee b. Perjanjian Trust dan Settlor. c. Kegiatan Trust. d. Posisi Aset dan Kewajiban Trust. 3. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
126
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum
Berlaku
:
Tanggal 8 April 2013
Latar Belakang Pengaturan: • Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/16/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. • SE BI ini mengatur FPJP terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan, persetujuan, tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan penggunaan FPJP. • Pada saat SE BI ini mulai berlaku, SE BI No.10/39/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Substansi Pengaturan: I. Persyaratan FPJP 1. Umum a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP adalah Bank yang: 1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek 2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi 3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. b. FPJP diberikan sebesar plafon FPJP yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan oleh Bank. c. Pencairan FPJP sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan jangka waktu FPJP. d. Jangka waktu FPJP: 1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 hari kalender. 2) Jangka waktu FPJP dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan paling lama 90 hari kalender. e. Biaya bunga FPJP sebesar tingkat suku bunga Lending Facility ditambah 100 basis poin. 2. Agunan FPJP a. Bank menjamin FPJP dengan agunan milik Bank berupa SBI, SBIS, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Aset Kredit. b. Obligasi Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1) Bank memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau 2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN.
127
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. Aset Kredit hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1) Bank memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau 2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi. II. Pengajuan FPJP 1. Permohonan FPJP. Bank dapat mengajukan permohonan FPJP paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana kebutuhan FPJP pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB. 2. Permohonan perpanjangan FPJP. Apabila pada saat FPJP jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJP, Bank dapat memperpanjang FPJP dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJP sesuai kebutuhan. 3. Permohonan Penambahan Plafon FPJP. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJP Bank dapat mengajukan penambahan plafon FPJP sesuai kebutuhan, dengan ketentuan: a. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJP; b. Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan c. Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko. III. Perhitungan Nilai Agunan FPJP 1. Agunan berupa SBI dan/atau SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJP. 2. Agunan berupa SBN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJP, 3. Agunan berupa Obligasi Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar: a. 120% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas. b. 135% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat teratas. c. 140% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat kedua teratas. d. 145% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas. 4. Agunan berupa Aset Kredit a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai baki debet Aset Kredit 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan FPJP. b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJP yang dijamin dengan Aset Kredit. IV. Persetujuan FPJP Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJP dalam hal: 1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau perpanjangan FPJP. 2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank.
128
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
V. Pelaksanaan Pemberian FPJP 1. Pencairan FPJP. Dalam hal permohonan FPJP disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJP sebesar kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang tidak melebihi plafon FPJP yang disetujui. 2. Pemantauan FPJP a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJP dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja. b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJP. c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJP secara harian. d. Penghentian pencairan FPJP. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJP dalam hal: 1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil resiko Bank 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP. b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan. e. Pengakhiran FPJP, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJP dalam hal: 1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJP sehingga nilai sisa plafon lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan. 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP setelah jangka waktu berakhir; dan b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJP. VI. Pelunasan FPJP 1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJP saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJP. 2. Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan mendahulukan pembayaran biaya bunga FPJP kemudian pelunasan pokok FPJP. VII. Eksekusi Agunan FPJP Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP dalam hal: 1. FPJP jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJP, atau perjanjian FPJP diakhiri; dan 2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi biaya bunga dan/atau nilai pokok FPJP.
129
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
VIII. Biaya FPJP Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJP menjadi beban Bank penerima FPJP, antara lain berupa: 1. biaya bunga FPJP sampai dengan FPJP dilunasi; 2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJP dan pengikatan agunan FPJP; 3. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Obligasi Korporasi di otoritas penatausahaan surat berharga dimaksud; 4. biaya proses eksekusi agunan; 5. biaya lainnya terkait pemberian FPJP.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/12/DASP tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
Berlaku
:
8 April 2013
Ringkasan : 1. Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing Di Pasar Perdana Domestik, maka untuk Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 tentang Lelang Surat Utang Negara Di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara (SUN) perlu dilakukan perubahan. Perubahan ini disebabkan karena ketentuan lama belum mengatur pelaksanaan lelang tambahan untuk SUN (Green shoe option). 2. Pengertian dari Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) adalah penjualan SUN di Pasar Perdana dalam mata uang rupiah dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang. 3. Salah satu perubahan di dalam SE BI ini yaitu terhitung mulai tanggal 8 April 2013, kenaikan incremental bid yield lelang SUN di pasar perdana akan berubah dari 1/32 akan menggunakan kelipatan 1/100. 4. Mekanisme setelmen atas hasil Lelang SUN dan/atau Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) sesuai dengan sistem akan menggunakan opsi batal seluruhnya (gross to net). 5. Bank Indonesia mengadakan Lelang SUN Tambahan berdasarkan rencana Lelang SUN Tambahan yang ditetapkan oleh Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. Lelang SUN Tambahan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB dan/atau pada hari kerja dan waktu lain yang ditetapkan Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. 6. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur mengenai: a. Tata cara lelang 1) Ketentuan dan persyaratan 2) Pelaksanaan lelang 3) Penentuan pemenang lelang 4) Pengumuman hasil lelang
130
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
b. Tata cara penatausahaan SUN 1) Setelmen hasil lelang 2) Setelmen hasil lelang buyback 3) Setelmen Obligasi Ritel Negara (ORI) 4) Setelmen hasil transaksi SUN secara langsung 5) Prosedur pembayaran kupon dan/atau pelunasan pokok 6) Setelemen transaksi SUN di pasar sekunder 7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 April 2013. 8. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah dengan SE BI No12/30/DASP tanggal 10 November 2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank
Berlaku
:
Sejak diterbitkan yaitu 12 April 2013 dan berlaku surut sejak tanggal 1 November 2012
Ringkasan : 1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan karena adanya perubahan formulir dan penambahan jenis informasi yang dilaporkan untuk kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank melalui sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU). 2. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup: a. ruang lingkup laporan; b. format dan jenis laporan; c. tata cara penyampaian laporan secara on-line dan off-line; d. tata cara penyampaian laporan dalam hal terjadi gangguan teknis; dan e. hak akses. 3. Perubahan formulir yang wajib disampaikan oleh pelapor yaitu: a. Form 301 Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit; b. Form 302 Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit; c. Form 303 Laporan Bulanan Acquirer; d. Form 304 Laporan Bulanan Infrastruktur; e. Form 305 Laporan Triwulanan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelesaian Akhir (Settlement); f. Form 306 Laporan Bulanan Fraud APMK dan Uang Elektronik (Electronic Money); g. Form 307 Laporan Bulanan Penerbit Kolektibilitas Kartu Kredit; h. Form 309 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan Permasalahan Yang Diadukan);
131
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
i. Form 310 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan Yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan); j. Form 311 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan); k. Form 312 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif); dan l. Form 313 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa). 4. Penambahan jenis informasi yang wajib disampaikan oleh pelapor adalah informasi yang terkait dengan Uang Elektronik (Electronic Money) bagi pelapor yang berupa Lembaga Selain Bank (LSB) yang menyelenggarakan kegiatan Uang Elektronik (Electronic Money) yang dilaporkan melalui form: a. Form 302, Form 306, Form 309, Form 310, Form 311, Form 312, Form 313 dalam hal LSB bertindak sebagai Penerbit Uang Elektronik (Electronic Money). b. Form 303, Form 304, dan Form 306 dalam hal LSB bertindak sebagai Acquirer Uang Elektronik (Electronic Money). c. Form 305 dalam hal LSB bertindak sebagai Perusahaan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk Uang Elektronik (Electronic Money). 5. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.10/4/UKMI tanggal 8 Februari 2008 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/14/DPNP tanggal 24 April 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum
Berlaku
:
24 April 2013
Ringkasan : 1. Penyempurnaan SE BI mengenai LBBU dilakukan dalam rangka: a. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; dan b. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. 2. Penyempurnaan dilakukan untuk formulir: a. laporan risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book) (Formulir 9.a), sesuai dengan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar. Penyempurnaan tersebut meliputi penyelarasan dengan kategori portofolio dan bobot risiko terkait kategori portofolio sesuai SE BI mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit.
132
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
b. laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) (Formulir 14), sesuai dengan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Penyempurnaan tersebut meliputi penambahan kolom informasi kredit mikro dan penghapusan baris informasi terkait cadangan kerugian penurunan nilai. 3. Laporan terkait SBDK mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan April 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Mei 2013, sedangkan Laporan terkait risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book) mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan Juni 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Juli 2013.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum
Berlaku
:
Tanggal 29 April 2013
Latar Belakang Pengaturan: Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Surat Edaran tersebut adalah terbitnya ketentuan mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan Risiko (Risk Based Bank Rating/RBBR) yang menetapkan Good Corporate Governance (GCG) sebagai salah satu faktor dalam penilaian tingkat kesehatan Bank Umum, sehingga perlu dilakukan harmonisasi dengan ketentuan mengenai GCG yang telah ada sebelumnya. Pokok-Pokok Pengaturan: 1. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, yaitu paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember. 2. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan secara komprehensif dan terstruktur dengan mengintegrasikan faktor-faktor penilaian ke dalam 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure, governance process, dan governance outcome. 3. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar GCG, penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan terhadap 11 (sebelas) Faktor Penilaian Pelaksanaan GCG, yaitu: 1) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris; 2) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi; 3) kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite; 4) penanganan benturan kepentingan; 5) penerapan fungsi kepatuhan; 6) penerapan fungsi audit intern; 7) penerapan fungsi audit ekstern; 8) penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern; 9) penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposures);
133
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
10) transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank, laporan pelaksanaan GCG, dan pelaporan internal; dan 11) rencana strategis Bank. Selain kesebelas faktor tersebut, perlu diperhatikan pula informasi lainnya terkait penerapan GCG Bank. 4. Penilaian pelaksanaan GCG Bank dilakukan secara individual maupun secara konsolidasi. 5. Peringkat Faktor GCG ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat Faktor GCG yang lebih kecil mencerminkan penerapan GCG yang lebih baik. 6. Laporan Penilaian Sendiri (Self Assessment) Pelaksanaan GCG dalam Laporan Pelaksanaan GCG yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan stakeholders Bank lainnya disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank dalam 1 (satu) tahun terakhir. 7. Bagi Bank yang memperoleh Peringkat GCG 3,4, atau 5 wajib menyampaikan action plan. Action plan disampaikan sesuai dengan tata cara penyampaian sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Namun, Bank dapat menyampaikan action plan lebih awal, bersamaan dengan penyampaian Laporan Penilaian (self assessment) Pelaksanaan GCG secara individual. 8. Laporan pelaksanaan action plan GCG berikut waktu penyelesaian dan kendala/hambatan penyelesaiannya (apabila ada) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada tata cara penyampaian laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. 9. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia No.15/15/DPNP, maka beberapa aturan di bawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku: a. Surat Edaran BI No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum; b. Lampiran III.4 Penilaian Faktor Good Corporate Governance (GCG) dalam Surat Edaran BI No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 perihal Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013 Tanggal 29 April 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri
Berlaku
:
sejak 29 April 2013
Ringkasan : 1. Surat Edaran BI No.15/16/DInt tanggal 29 April 2013 ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.13/1/DInt tanggal 20 Januari 2012 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri yang hanya berlaku sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.
134
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
2. Pokok-pokok perubahan dalam Surat Edaran:
No.
Semula
Menjadi
A.
Batas akhir Laporan Data Pokoko ULN dan/atau perubahannya serta laporan Data Rekapitulasi ULN.
Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
B.
Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan.
Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan untuk setiap pelapor dengan jumlah keseluruhan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).
Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah)
C.
Pengenaan sanksi denda atas ketidaklengkapan dan/atau ketidak- benaran Laporan data rekapitulasi ULN berupa Realisasi dan Posisi ULN
Tidak diatur
Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).
D.
Subjek sanksi denda
Pelaporan baru
Pelapor yang sudah melewati 3 periode penyampaian laporan terhitung sejak pertama kali melapor
E.
Pembayaran sanksi administratif berupa denda.
Ke rekening Kas Negara
Ke rekening Bank Indonesia.
F.
Kondisi force majeure
Tidak diatur
Disesuaikan dengan PBI 14/21/PBI/2012
3. Sanksi administratif berupa denda mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang disampaikan pada bulan Februari 2014. 4. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka surat Edaran Bank Indonesia No. 13/1/DInt tanggal 20 Januari 2011 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri masih tetap berlaku untuk penyampaian Laporan ULN sampai dengan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.
135
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/17/DInt tanggal 29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan
Berlaku
:
Sejak tanggal 29 April 2013
Ringkasan : 1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari penerbitan PBI No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) yang mengintegrasikan ketentuan Lalu Lintas Devisa (LLD) dan Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL). 2. Surat Edaran Bank Indonesia ini bertujuan untuk pengaturan teknis pelaporan kegiatan LLD, khususnya laporan rencana utang luar negeri, perubahan rencana utang luar negeri, dan informasi keuangan, yang akan dilakukan secara on-line mulai tanggal 1 Agustus 2013. 3. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini terdiri dari: a. Jenis perusahaan yang menjadi pelapor b. Cakupan laporan c. Format laporan dan tata cara pelaporan d. Penyampaian laporan e. Tata cara pengenaan sanksi f. Analisis manajemen resiko 4. Pokok-pokok pengaturan dalam SE BI ini mencakup:
Ruang lingkup
136
Pengaturan
Cakupan laporan
1. Laporan rencana ULN jangka panjang untuk 1 thn berjalan terdiri dari: a. Laporan rencana ULN baru dan perpanjangan (roll over) ULN lama b. Analisis manajemen risiko c. Penilaian peringkat 2. Laporan Perubahan Rencana ULN, mencakup perubahan recana ULN dan analisis manajemen risiko 3. Informasi Keuangan mencakup: a. Laporan keuangan tahunan b. Laporan keuangan interim
Tata cara penyampaian laporan
Dilakukan secara Online, melalui website pelaporan seluruh kegiatan LLD: https://www.bi.go.id/lkpbuv2 (media offline hanya digunakan apabila terdapat gangguan teknis pada website pelaporan, yaitu dengan media email attachment, CD/flashdisk, atau media lainnya).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Ruang lingkup
Pengaturan
Batas waktu penyampaian laporan
1. Laporan Rencana ULN jangka panjang disampaikan paling lambat tgl.15 Maret tahun berjalan. 2. Laporan Perubahan Rencana ULN disampaikan paling lambat tgl.1 Juli tahun berjalan. 3. Laporan Informasi Keuangan: a. Laporan keuangan tahunan disampaikan paling lambat tgl.15 Juni tahun berjalan (untuk laporan tahunan periode Januari s.d. Desember tahun sebelumnya). b. Laporan keuangan interim disampaikan paling lambat tgl.15 Desember (untuk laporan interim periode Januari s.d. Juni tahun berjalan)
Toleransi keterlambatan
Sejak batas waktu penyampaian laporan yang telah ditetapkan s.d. akhir bulan berjalan.
Sanksi
Pelapor yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan akan dikenakan sanksi administratif berupa Surat Peringatan.
4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2013. 5. Pengenaan sanksi mulai berlaku sejak pelaporan Rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2014. 6. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.12/37/DInt tanggal 23 Desember 2010 perihal Tata Cara Pelaporan Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank serta Format Indikator Keuangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2013.
Peraturan :
Surat Edaran Bank Indonesia No.15/18/DASP tanggal 30 April 2013 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/13/DASP Tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nominal Nota Debet Dan Transfer Kredit Dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
Berlaku
:
Sejak 31 Mei 2013
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran dan memberikan alternatif layanan yang lebih luas kepada masyarakat untuk melakukan transfer kredit melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). 2. Perubahan pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yaitu merubah batas nominal transfer kredit yang dapat dikliringkan melalui Kliring Kredit dalam penyelenggaraan SKNBI yang sebelumnya paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi menjadi paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per transaksi.
137
Halaman ini sengaja dikosongkan
138