HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

41 downloads 11435 Views 1MB Size Report
8 Apr 2013 ... Dyah Pratiwi. Dewan Redaksi. Imam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo,. Endang R. Budi Astuti, Pulih ...
BULETIN

ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013

Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Departemen Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Siddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci Pemimpin Redaksi Libraliana Badilangoe Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Imam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum Redaksi Pelaksana Ellia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH., LLM Dr. Inosentius Samsul, SH., LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH., MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”

Halaman ini sengaja dikosongkan

DARI MEJA REDAKSI

Pembaca Buletin Yang Berbahagia, di tahun 2013 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 11 Nomor 1, Edisi Januari – April 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel. Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia melakukan penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), yaitu mengenai Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum., disarikan menjadi artikel yang dimuat dalam buletin edisi kali ini. Selain itu, masih terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buletin juga menurunkan artikel mengenai Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, yang ditulis oleh Sdr. Rio Fafen Ciptaswara, S.H., MH; Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, oleh Sdr. Alex Kurniawan S.H., M.H; Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal, oleh: Sdr. Josua Sitompul, S.H., IMM; serta artikel mengenai Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah, oleh Sdr. Dayanto, S.H.,M.H. Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan. Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan April 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca. Jakarta, April 2013

Redaksi

i

Halaman ini sengaja dikosongkan

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN VOLUME 11, NOMOR 1, JANUARI – APRIL 2013 Halaman Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................

i

Daftar Isi.................................................................................................................................................

iii

Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat....................

1 - 18

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum. Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan..........................................

19 - 38

Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H. Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.......................................

39 - 69

Alex Kurniawan S.H., M.H. Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal....................................................................

71 - 94

Josua Sitompul, S.H., IMM. Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah....................................................................................

95 - 105

Dayanto, S.H., M.H. Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.......................... 107 - 110 Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia) Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.................... 111 - 137 Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)

iii

Halaman ini sengaja dikosongkan

KETERKAITAN POSISI BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DENGAN PENGISIAN JABATAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA YANG MEMERLUKAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 1

Oleh : Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum2 Abstrak Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process intitutionalized” (teori kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah menciptakan keseimbangan baru. Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan. Kata kunci: Bank Indonesia, lembaga negara, pengisian jabatan, dewan gubernur BI, persetujuan, dpr.

A. Pendahuluan

independensinya amat dipengaruhi oleh theory of delegation monetery. Dalam hal ini, para politisi

Keberadaan Bank Sentral berikut atribut yang

menyerahkan urusan-urusan pengelolaan sumber

berkaitan dengan posisi kelembagaan dan

daya keuangan yang bersifat teknokratik kepada organ khusus yang dibentuk untuk itu. Dengan mekanisme kelembagaan itu, maka akan berpengaruh

1

2

Sebagian Analisis Penelitian “Formulasi Pengaturan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Peneliti FH UNS: Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum, 2012

kepada decetion making role of governing bodies

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta

perekonomian dipandang sebagai fenomena pasar

dari Bank Sentral. Dalam pola pembagian kekuasaan negara sampai dengan abad ke-18, masalah-masalah

1

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(market) yang berkembang dalam dinamika

perekonomian. Pertama, ditinjau dari kronologi

masyarakat sendiri, sehingga tidak memerlukan

penyusunannya, sampai dengan abad ke-18, masalah

pengaturan yang ketat oleh negara. Cara pandang

tersebut tidak pernah menjadi pemikiran penyusunan

demikian ini juga mempengaruhi penyusunan

konstitusi. Kedua, ditinjau dari kelembagaan,

konstitusi. Meskipun sejak disahkannya konstitusi

ketentuan mengenai perekonomian bukanlah

Amerika Serikat pada tahun 1789, negara-negara

merupakan aspirasi atau tujuan pembentukan

yang menganut paham demikian, kecuali Inggris,

konstitusi, akan tetapi merupakan instrumen pragmatis

selalui memiliki naskah konstitusi tertulis, tetapi

dalam rangka penegakan hak melalui mekanisme

konstitusinya tidak memuat ketentuan mengenai

pengadilan (judicial enforcement). Ketiga, kenyataan

ekonomi sama sekali.

American exeptionalism, yang terwujud dalam absennya gerakan sosial yang mempengaruhi

Konstitusi Amerika Serikat, yang acapkali disebut

konstitusioanlisme. Keempat, ditinjau dari segi realitas,

sebagai konstitusi modern yang pertama kali, tidak

dalam kurun waktu 1960-an dan 1970, Mahkamah

ada satu pasal pun yang berkaitan dengan soal-soal

Agung mempunyai pandangan yang sempit mengenai

perekonomian. Sampai sekarang konstitusi tersebut

bagaimanakah pemenuhan hak-hak yang

sudah mengalami perubahan sebanyak 27 kali.

berhubungan dengan perekonomian tersebut.3

Perubahan I sampai dengan Perubahan X dilakukan

Dengan mengambil kenyataan ini, maka rintisan

secara serentak dan sering dikenal sebagai ”Bill of

pendirian Bank Sentral tidak berhubungan dengan

Rights” karena isinya menyangkut hak asasi.

pengelolaan sumber daya perekonomian dan

Sementara itu, 17 perubahan lainnya dlakukan secara

pemenuhan hak-hak asasi di bidang sosial dan

terpisah. Pendek kata, dalam keseluruhan teks

ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada kebutuhan

konstitusi Amerika Serikat tidak diketemukan satu

pencarian sumber pembiayaan dari Pemerintah.

pasal atau ayat pun yang mengatur mengenai persoalan hak-hak ekonomi, apalagi mengenai sistem

B. Mencari Keseimbangan: Dari Theory of

perekonomian seperti yang lazim diatur dalam

Delegation Monetery menuju Theory of

konstitusi negara-negara sosialis komunis. Kalaupun

Combines Process Intitutionalized

ada ketentuan yang berkaitan dengan perekonomian dan keuangan, hanya yang berhubungan dengan

Dalam perkembangan selanjutnya, relasi pemisahan

kebijaksanaan administrasi negara di bidang keuangan,

kekuasaan negara dalam konteks theory of delegation

perpajakan, dan anggaran. Meskipun demikian,

monetary tidak mencukupi untuk menjelaskan

ketentutan-ketentuan tersebut tentu pada waktunya

bagaimanakah struktur Bank Sentral. Sebagai suatu

mempengaruhi dinamika perekonomian yang terjadi

kenyataan dinamis, utamanya relasi Bank Sentral

di dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuan-

dengan Parlemen tidak diposisikan dalam pembicaraan

ketentuan mengenai moneter, perpajakan, dan

pembagian kekuasaan, akan tetapi ditentukan oleh

anggaran itu lebih berkaitan dengan administrasi

6 (enam) faktor. Pertama, tujuan pembangunan

negara dibandingkan misalnya dengan peran pasar

ekonomi mempengaruhi aktivitas dan formulasi

dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan

kelembagaan Bank Sentral. Pembangunan, terutama

dalam manajemen kekayaan alam yang secara

di negara-negara yang berpendapatan rendah,

langsung berkaitan dengan ciri-ciri liberalisme atau

menyebabkan aktivitas Bank Sentral mengarah juga

sosialisme. Menurut Carr R. Sunstein, ada 4 (empat) hal yang menyebabkan konstitusi Amerika Serikat sampai sekarang tidak pernah mengatur mengenai

2

3

Cass R. Sunstein, “Why Does the American Constitution Lack Social and Economic Guarantees?,Chicago Law and Legal Theory Working Paper, No. 36, Januari, 2003, hlm. 4.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

kepada sektor quasi fiskal.4 Bahkan di negara-negara

peminjaman kredit kepada Pemerintah.6 Konstitusi

berkembang, Bank Sentral mengarah kepada

di negara-negara yang mengalami transisi biasanya

instrumen moneter dengan campur tangan politik

mengatur pula ketentuan mengenai nominasi dan

yang kuat dalam melaksanakan tujuan-tujuannya.

rekrutmen pejabat Bank Sentral. Keenam, kontinuitas.

Kedua, faktor sejarah, kebiasaan, dan tradisi. Amat

Faktor ini ditentukan oleh seberapa sering ketentuan

jarang Undang-Undang mengatur Bank Sentral secara

Undang-Undang Bank Sentral diubah dan tingkat

komprehensif. Oleh sebab itu, dalam praktik seringkali

detail pengaturannya. Undang-Undang mengenai

diwarnai dengan perubahan-perubahan ketentuan

The Federal Reserve System di Amerika Serikat

yang bersifat parsial. Ketiga, faktor politik. Faktor ini

termasuk kategori Undang-Undang yang mempunyai

menyebabkan desain Bank Sentral bervariasi dalam

ketegori rinci, sementara di negara lain tidak dijumpai

derajat otonomi dan akuntabilitasnya. Politik diakui

ketentuan semacam itu. Di negara lain, Undang-

perannya, akan tetapi dalam beberapa hal pada saat

Undang diubah beberapa kali dalam kurun waktu

politik menciptakan lingkungan negara yang lemah

tertentu. Di Khazaztan, Undang-Undang Bank Sentral

akan memberikan dorongan yang besar untuk

1995 telah diubah sebanyak 16 kali sampai tahun

menciptakan independensi tinggi kepada Bank Sentral.

2003. Undang-Undang di Denmark sejak ditetapkan

Perlindungan terhadap pemecatan atas pejabat Bank

tahun 1936, hanya 4 (empat) kali mengalami

Sentral menjadi bagian yang penting. Akhirnya,

perubahan kecil (1938, 1939, 1967, dan 1969).7

struktur Bank Sentral–relasi dengan Parlemen, kepala negara, kabinet, atau kementerian–akan ditentukan

Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur

oleh sistem politik. Keempat, tradisi legal yang dianut.

kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya

Mayoritas Bank Sentral merupakan badan hukum,

gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan

sepenuhnya dimiliki negara, dan diatur oleh Undang-

pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan

Undang, akan tetapi sangat sedikit Bank Sentral yang

yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan

merupakan perusahaan terbuka dan ada kepemilikan

ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process

saham pribadi. Struktur pemerintahan akan

intitutionalized” (teori kombinasi proses kelembagaan).

menentukan hukum korporasi yang berlaku. Dalam

Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di

tradisi Anglo Saxon misalnya, perusahaan hanya

dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan

mempunyai satu organ, sementara di negara Eropa

pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya

perusahaan mempunyai struktur organ pelaksana

menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip

dan organ

pengawas.5

Kelima, faktor konstitusi.

dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang

Umumnya negara-negara demokrasi lama tidak

saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang

mengatur soal Bank Sentral dalam konstitusi. Hanya

bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk

sedikit negara, antara lain Afrika Selatan, yang

melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks.

menetapkan tugas Bank Sentral dalam konstitusi.

Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas

Sejumlah negara di kawasan Amerika Latin usai krisis

mata rantai saling ketergantungan yang menuntut

tahun 1980-an mengubah konstitusi, termasuk

adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan

mengatur rinci mengenai Bank Sentral dan larangan

itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi

4

Diskusi selengkapnya: Snoh Unakul dan Supachai Panitchpakdi, 1987, Role of Central Banks in Economic Development, paper prepared for the Twelfth SEANZA Central Banking Course, Bank of Thailand (Bangkok).

6

Lihat: Eva Gutiérrez, “Inflation Performance and Constitutional Central Bank Independence: Evidence from Latin America and the Caribbean,” IMF Working Paper No. 03/53 (Washington: International Monetary Fund).

5

Lihat dalam: Douglas Branson, Douglas, “The Very Uncertain Prospect of ‘Global’ Convergence in Corporate Governance,” Cornell International Law Journal, 2001, Vol. 34, No, 2, hlm. 321–362.

7

Pembahasan selengkapnya, periksa: Peter Moser, “Checks and Balances, and the Supply of Central Bank Independence,” European Economic Review, 1999, Vol. 43, hlm. 1569–1593.

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

yang kemudian membuat penyesuaian baru yang

Hongaria14, Latvia15, Filipina16, Polandia17, Slovenia18,

diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan

Thailand, dan Venezuela19. Ketiga, Dewan Gubenur

itu adalah emnciptakan keseimbangan baru.

direktur tanpa campur tangan Pemerintah seperti antara lain di Bulgaria20, Kroasia21, Republik Ceko22,

Berdasarkan argumen menurut ”theory of combines

Estonia23, Hungaria24, Latvia25, Lithuania26, Polandia27,

process intitutionalized”, maka relasi antara parlemen

Romania28, Rusia29, dan Turki30. Keempat, Dewan

dengan Bank Sentral adalah untuk menciptakan

Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)

keseimbangan baru diantara keduanya di hadapan

tahun seperti antara lain di Argentina31, Brazil32,

Pemerintah. Khususnya berkaitan dengan isu pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral, keseimbangan itu menjadi penting untuk ditekankan. Terutama pada negara-negara berkembang, pola keseimbangan itu tercipta ke dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut. Pertama, Pemerintah terlibat langsung dalam pengisian jabatan board dan masa jabatan Dewan Gubernur lebih pendek. Kedua, Pemerintah pada umumnya

14 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary. 15 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.

terwakili dalam Dewan Gubernur.Ketiga, Bank Sentral

16 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines Juli, 1992.

menikmati sedikit proteksi legal, terutama ketika

17 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.

berselisih dengan Pemerintah.

18 Bank of Slovenia Act of July 2002.

Dalam pengisian jabatan Dewan Gubernur itu dapat berlangsung dalam salah satu atau variasi diantara 5

19 “Law on the Central Bank of Venezuela", terakhir diubah 4 September 2001.

(lima) prosedur berikut ini. Pertama, Gubernur direkrut

20 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.

tanpa campur tangan Pemerintah. Pola ini diterapkan

21 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.

di negara Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia, Latvia, Lithuania, Malaysia, Pakistan, Polandia, Romania, Slovakia, Slovenia, dan Turki. Kedua,

22 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.

Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)

23 Law on the Central Bank of the Republic of Estonia of 18 May 1993, last amendment–RT I 1999,16, 271.

tahun. Hal ini antara lain dipraktikkan di Argentina8,

24 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.

Brazil9, Bulgaria10, China11, Kroasia12, Republik Ceko13,

25 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002. 26 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.

8

Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, diubah terakhir pada September 2003 (Law 25, 780).

9

Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

27 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003. 28 Law on the Statute of the National Bank of Romania of May 26, 1998, terakhir diubah dengan Law No. 156 of October 12, 1999. 29 Federal Law No. 86-FZ on the Central Bank of the Russian Federation (The Bank of Russia) of June 27, 2002.

10 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002. 11 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.

30 The Law on the Central Bank of the Republic of Turkey (Law No. 1211), terakhir diubah 25 April 2001.

12 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.

31 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, terakhir diubah 21 September 2003 (Law 25,780).

13 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.

32 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.

4

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Bulgaria33, Chile34, China35, Kroasia36, Republik Ceko37,

ketika terjadi perselisihan dengan Pemerintah, kecuali

Hongaria38,

di negara seperti Angola, Bahamas, Bangladesh,

Latvia39,

Lithuania40,

dan

Filipina.41

Kelima,

tidak ada perwakilan Pemerintah dalam Dewan Gubernur seperti di Afrika

Selatan42,

Peru43,

dan

Thailand.44

Kolumbia, Haiti, Iran, dan Vietnam. Untuk hal yang ketiga ini dalam praktiknya undang-undang akan menentukan secara berbeda-beda. Misalnya, (i) Pemerintah akan mematuhi keputusan Bank Sentral

Selanjutnya, relasi keseimbangan baru antara

dan akan menunda kebijaksanaannya dalam waktu

Pemerintah, Parlemen, dan Bank Sentral sekurang-

tertentu seperti di Chile; (ii) Parlemen akan melakukan

kurangnya akan berpengaruh kepada 3 (tiga) hal

intervensi atau sekurang-kurangnya melakukan dengar

penting. Pertama, derajat campur tangan Pemerintah

pendapat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan

dalam menentukan kebijaksanaan moneter. Di negara

Norwegia; dan (iii) Pemerintah mengajukan perdebatan

berkembang, kecenderungan campur tangan

umum di Parlemen seperti di Selandia Baru.

Pemerintah tidak ada dalam memformulasikan kebijaksanaan moneter, kecuali di negara seperti

Format pengisian jabatan Dewan Gubernur45

Bahamas, Bangladesh, Barbados, Benin, Burkina Faso,

mencakup isu komposisi, kualifikasi, serta masalah

Côte d’Ivoire, Guinée Bissau, Mali, Niger, Senegal

pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian. Di

danTogo.Kedua, penentuan stabilitas moneter sebagai

bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-

salah satu fungsi Bank Sentral. Nyaris semua negara

masing isu tersebut.

menganut ketentuan ini kecuali negara seperti Comoros, Iran, dan Sudan. Ketiga, proteksi legal

Kebanyakan undang-undang di sejumlah negara

Bank Sentral di hadapan Pemerintah. Pada kebanyakan

menetapkan jumlah anggota Dewan Gubernur adalah

negara berkembang, proteksi Bank Sentral lebih besar

antara 7-9 orang.Banyak studi yang mengatakan bahwa jumlah yang ideal adalah antara 5-9 orang, sekalipun diantara praktik tersebut jumlah yang kecil dan yang besar tetap saja mampu melakukan

33 Law on the Bulgarian National Bank, amended as of 2002. 34 Law 18,840, Basic Constitutional Act of the Central Bank of Chile, terakhir diubah 31 Mei 2002.

pekerjaan dengan baik. Bank Sentral Swiss hanya mempunyai 3 (tiga) anggota, sementara The Federal Reserve System mempunyai 19 anggota (walaupun

35 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.

hanya 12 yang mempunyai hak suara) dan Bank

36 Law on the Croatian National Bank, new law enacted on April 5, 2001.

komposisi ini dalam praktik kebanyakan Gubernur

37 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah pada 1 Mei 2002. 38 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary. 39 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002. 40 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.

Sentral Eropa mempunyai 22 anggota.46 Dalam (Governor) secara otomatis merupakan Ketua (Chairman).47 Pada Bank of Japan terdiri atas seorang Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan 6 (enam) anggota Policy Board. Bundesbank di Jerman memiliki seorang Presiden, seorang wakil, dan 6 (enam) anggota Executive Board. Di Finlandia meliputi seorang

41 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines of July, 1992. 42 South African Reserve Bank Act of August 1, 1989, terakhir diubah tahun 2000.

45 Selain Dewan Gubernur, istilah lain yang acapkali dipakai adalah Executive Board, Policy Board, atau lainnya.

43 Central Reserve Bank of Peru Organic Law, Decree-Law No. 26123 of January 1, 1993.

46 Berger et al (2006)

44 Bank of Thailand Act 2485.

47 Istilah lain adalah Presiden.

5

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Chairman dan maksimum 5 (lima) anggota. Kanada

warganegara yang bersangkutan, yang ditetapkan

menetapkan Dewan Gubernur meliputi seorang

oleh International Monetery Fund dan diambil dari

Gubernur, seorang Deputi Gubernur, dan 12 anggota

negara tetangga. Pada akhir masa jabatan, otoritas

Boards of Director. Di Ghana, The Board of Director

setempat memberikan kewargenaraan dan mereka

meliputi seorang Gubernur, 2 (dua) Deputi Gubernur,

dicalonkan kembali.

dan 8 (delapan) directors, dan 1 (satu) orang yang mewakili Menteri Keuangan.

Syarat kapasitas profesional diuji dalam mekanisme fit and proper test untuk tercapai standar moralitas

Aturan Dewan Gubernur juga mencakup ketentuan-

tertentu seperti di Bank Sentral Eropa, berperikelakuan

ketentuan yang berhubungan dengan kualifikasi atau

tidak tercela (Filipina), atau integritas yang tidak

syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Ada

meragukan (Filipina). Syarat tidak pernah menjalani

syarat yang merujuk kepada kapasitas profesional,

hukuman pidana, kecuali denda, juga lazim

misalnya pengalaman dalam sektor perbankan,

diperlakukan seperti di Bostwana. Syarat lain misalnya

keuangan, ekonomi, dan hukum; serta lapangan lain

tidak pailit, tetapi di sejumlah negara memperkenankan

seperti akuntansi, auditor, dan perdagangan

dalam lampau waktu tertentu. Di Peru misalnya, syarat

internasional seperti persyaratan di Kolumbia.

itu mencakup ketidakmampuan pajak atau tidak

Di negara yang mengalami transisi ekonomi, untuk

terdaftar sebagai wajib pajak.Bolivia melarang calon

Gubernur dan Deputi Gubernur lazim dipersyaratkan

yang memiliki kepemilikan saham di institusi keuangan.

harus sudah pernah menjabat dalam kedudukan serupa untuk jangka waktu tertentu. Beberapa negara

Sementara itu, masa jabatan dan kemungkinan

menetapkan batas usia tertentu bagi Gubernur dan

pengangkatan kembali Dewan Gubernur antara Bank

Deputi Gubernur. Di Cape Verde mengatur bahwa

Sentral yang satu dengan yang lain tidak selalu sama.

Dewan Gubernur minimal mempunyai pengalaman

Sebagai contoh di The Federal Reserve System

8 (delapan) tahun di sektor perbankan. Di Venezuela,

mempunyai masa jabatan 14 tahun dan tidak dapat

calon harus berumur minimal 30 tahun. Filipina

dicalonkan kembali. Dua dari anggota Dewan

menetapkan batas usia minimal 35 tahun dan untuk

Gubernur dipilih sebagai Chairman dan wakil untuk

keanggotaan Dewan Moneter sekurang-kurangnya

masa jabatan 4 (empat) tahun dan diangkat kembali

40 tahun. Di Namibia, calon harus berumur serendah-

selama masih dalam jangka jabatan 14 tahun. Semua

rendahnya 21 tahun dan maksimal 65 tahun saat

anggota Executive Board (termasuk Presiden dan

dilantik. Pada Bank Sentral Belgia, Dewan Gubernur

wakilnya) di Bank Sentral Eropa mempunyai masa

berhenti saat mencapi usia 67 tahun, yang atas

jabatan 8 (delapan) tahun dan tidak dapat dipilih

rekomendasi Menteri Keuangan dapat terus bertugas

kembali. Finlandia mengatur bahwa masa jabatan

sampai usia 70 tahun. Papua Nugini mensyaratkan

Gubernur adalah 7 tahun dan dalam keanggotaan

berhentinya Dewan Gubernur saat usia 70 tahun.

Dewan Gubernur dapat dipilih sampai 3 (tiga) kali

Di negara yang lain, jika dipersyaratkan bahwa Dewan

masa jabatan, kecuali untuk menjabat Gubernur

Gubernur merupakan pejabat karir birokrasi,

maksimal 2 (dua) periode masa jabatan.

ketentuan batras usia tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

Masalah pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota Dewan Gubenur masing-

6

Syarat kewarganegaraan acapkali juga menjadi salah

masing berbeda-beda. Sebagai contoh, pada The

satu persyaratan.Tetapi salah satu contoh menarik di

Federal Reserve System diusulkan oleh Presiden untuk

Bosnia Herzegovina. Mengingat situasi yang sulit pada

nendapat persetujuan Senat. Sedangkan Chairman

waktu itu, Undang-Undang mengatur bahwa untuk

dan wakilnya ditunjuk dari anggota Dewan Gubernur

pertama kalinya Dewan Gubernur tidak merupakan

oleh Presiden dan dikonfirmasi oleh Senat. Di Albania,

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Gubernur dicalonkan oleh Presiden atas usul Bank

Kabinet sebanyak 8 negara; (v) memerlukan persetujuan

Sentral, sementara untuk anggota masing-masing

Menteri Keuangan sebanyak 5 negara, dan (vi)

dicalonkan oleh Parlemen (3 orang), Presiden (1

memerlukan persetujuan yang menggabungkan

orang); serta Kabinet, Dewan Gubernur, Menteri

sejumlah pihak sebanyak 10 negara.49

Keuangan, dan Gubernur Bank Sentral masing-masing 1 (satu) orang. Di Armenia, Gubernur dan Deputi

Jika ditelaah, maka mekanisme pengusulan,

Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan

pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Gubernur

Parlemen, sementara sebanyak 5 (lima) anggota yang

pada Bank Sentral akan meliputi tipe sebagai berikut:

lain diangkat oleh Presiden. Di Belarusia, Gubernur

(i) mekanisme oleh Bank Sentral sendiri; (ii) mekanisme

diangkat oleh Presiden atas persetujuan Parlemen,

dengan campur tangan (usul) Bank Sentral; (iii)

sementara Parlemen dan Kabinet berhak mengusulkan

mekanisme yang melibatkan Pemerintah dan

masing-masing 1 (satu) anggota Dewan Gubernur.

Parlemen; (iv) mekansime yang melibatkan Pemerintah

Di Rusia Gubernur diangkat oleh Presiden dengan

secara kolektif; dan mekanisme atas kehendak

persetujuan Parlemen, sementara 13 anggota lainnya

Pemerintah atau Parlemen secara pribadi. Dengan

diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan saran

demikian, tafsiran keseimbangan antara Pemerintah

Gubernur.Sementara pengangkatan seluruh anggota

dan Parlemen berhadapan dengan Bank Sentral

Dewan Gubernur atas kehendak Presiden sepenuhnya

diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara.

terjadi di Republik Ceko, sedangkan di Bulgaria, Kroasia, dan Ukraina sepenuhnya di bawah kendali

Sedangkan alasan-alasan untuk melakukan

Parlemen.

pemberhentian (dismissal) diatur secara tidak sama diantara banyak negara, yang pada garis besarnya

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lybek dan Jo Anne

Morrist48

terhadap 100 Bank Sentral

mencakup 3 (tiga) bentuk. Pertama, bersifat nonpolitik seperti Albania, Armenia, Republik Ceko,

menyimpulkan bahwa mekanisme pengusulan Dewan

Estonia, Hongaria, dan Rusia.Kedua, kegagalan

Gubernur dilakukan dengan kategori sebagai berikut:

menjalankan kewajiban perbankan seperti di Bulgaria.

(i) diusulkan oleh Kepala Negara/Presiden sebanyak

Ketiga, perselisihan kebijaksanaan moneter antara

31 negara; (ii) diusulkan oleh Parlemen sebanyak 12

Bank Sentral dengan Pemerintah dan/atau Parlemen

negara; (iii) diusulkan oleh Menteri Keuangan sebanyak

seperti di Georgia.Keempat, tidak terikat syarat dan

17 negara; (iv) diusulkan oleh Perdana Menteri

kondisi tertentu seperti di Rumania.

sebanyak 5 negara; (v) diusulkan oleh Kabinet sebanyak 12 negara dan (vi) diusulkan dengan variasi yang

C. Praksis di Indonesia

menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 23 negara. Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa

Sehubungan dengan Dewan Gubernur Bank

mekanisme pengangkatan meliputi variasi-variasi

Indonesia, ketentuan UU No. 13 Tahun 1968 Pasal

sebagai berikut: (i) memerlukan persetujuan

15 mengatakan bahwa Gubernur dan Direktur

Presiden/Kepala Negara sebanyak 51 negara; (ii)

diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter

memerlukan persetujuan Parlemen sebanyak 23

untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.

negara; (iii) memerlukan persetujuan Perdana Menteri

Komposisi Dewan Gubernur meliputi Direksi yang

sebanyak 3 negara; (iv) memerlukan persetujuan

terdiri atas satu orang Gubernur dan minimal 5 atau 7 orang Direktur.Pasal 16 menyebutkan bahwa Direksi

48 Tonny Lybek and JoAnne Morrist, “Central Bank Governance: A Survey of Board and Management”, IMF Working Paper, Desember 2004, hlm. 33.

49 Ibid.

7

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

bertanggung jawab kepada Pemerintah. Pasal 17

Dalam Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3

menyebutkan bahwa Presiden dapat memberhentikan

Thn. 2004 diatur syarat-syarat calon anggota Dewan

Gubernur dan Direktur, meskipun masa jabatannya

Gubernur, selain (i) harus warganegara Indonesia,

belum berakhir. Sebagai tambahan, anggota Direksi

juga (ii) harus memiliki integritas akhlak dan moral

tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain,

yang tinggi; dan (iii) memiliki keahlian dan pengalaman

kecuali karena kedudukannya (Pasal 18). Sementara

di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau

itu, Pasal 22 menyebutkan bahwa Komisaris

hukum. Pada bagian Penjelasan Pasal 40, dikatakan

Pemerintah mengawasi pengurusan Bank Indonesia

bahwa syarat keahlian berdasarkan pendidikan dan

sebagai perusahaan dan boleh hadir dalam Rapat

keilmuan, sedangkan yang berhubungan dengan

Direksi. Pengambilan keputusan dilakukan atas dasar

pengalaman terutama berhubungan dengan karier

musywarah untuk mencapai mufakat (kolektif).Dengan

calon dalam salah satu bidang, yaitu ekonomi,

ketentuan ini, Bank Indonesia memiliki political

keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang

independence terbatas.

berkaitan dengan tugas-tugas Bank Sentral. Dalam hal ini, syarat jabatan Dewan Gubernur tidak

Pada masa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968,

mencakup persyaratan umur baik dalam kualifikasi

rekrutmen Dewan Gubernur menunjukkan

minimal ataupun maksimal.Persyaratan lebih

mekanisme sebagai berikut: (i) Pengangkatan

mengarah kepada kualifikasi profesional.Tidak ada

dilakukan oleh Presiden secara

pribadi50

seperti yang

berlaku di Republik Ceko; (ii) Pengusulan jabatan

ketentuan bahwa calon harus berasal dari pejabat karir di Bank Sentral.

dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii) pengangkatan dilakukan dengan beberapa kualifikasi;

Mengenai mekanisme pengusulan, pencalonan, dan

(iv) Masa jabatan adalah 5 tahun; (v) Pemberhentian

pengangkatan diatur dalam Pasal 41 UU No. 23 Thn.

dilakukan oleh Presiden secara

pribadi51;

(vi) terdapat

1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004.Pengusulan, pencalonan,

ketentuan untuk memungkinkan pengangkatan

dan pengangkatan oleh Presiden setelah mendapat

kembali dalam masa jabatan untuk satu periode; dan

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

(vii) terdapat ketentuan rangkap jabatan, kecuali

Pencalonan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior

karena kedudukannya.

merupakan wewenang penuh dari Presiden, sedangkan calon Deputi Gubernur diusulkan oleh

Political independence bagi Bank Indonesia meningkat

Presiden berdasarkan usul Gubernur untuk sebanyak-

cukup tajam dengan berlakunya UU No. 23 Thn.

banyak 3 (tiga) orang calon. Jika calon Gubernur,

1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Komposisi Dewan

Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur ditolak

Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi

oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib

Gubernur Senior dan 7 sampai 9 orang Deputi.

mengajukan calon baru. Jika para calon baru itu tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan

50 Berturut-turut Gubernur Bank Indonesia adalah Radius Prawiro (19671973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), dan Soedrajat Djiwandono (1993-1998). 51 Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (19671998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.

8

yang sama atau Deputi Gubenur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lamanya masa jabatan anggota Dewan Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Adapun masalah pemberhentian Dewan Gubernur

itu juga masa jabatan gubernur bank sentral mendekati

diatur dan ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) UU No.

akhir periode.54 Untuk mengisi jabatan Gubernur BI,

23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Pada pokoknya,

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2

Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam

(dua) orang calon–Agus Martowardoyo55 dan Raden

masa jabatan, kecuali mengundurkan diri, terbukti

Pardede56--untuk mendapatkan persetujuan Dewan

melakukan tindak pidana kejahatan, dan inipun

Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan

menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan

pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit

hukum tetap; tidak dapat hadir secara fisik untuk

and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan

waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa

menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh

alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; dinyatakan

Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang

pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada

sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan

kreditur berdasarkan putusan pengadilan yang telah

yang kemudian memancing perdebatan seru di balik

berkekuatan hukum tetap; atau berhalangan tetap

drama pengisian Gubernur BI itu. Namun memang

yaitu meninggal dunia, mengalami cacat fisik atau

penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan sebagai

cacat mental sehingga tidak mampu melaksanakan

upaya politis untuk ”mempengaruhi” independensi

tugas dengan baik; atau karena kehilangan

BI sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan

kewarganegaraan Indonesia. Pemberhentian terhadap

kontur kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan

anggota Dewan Gubernur ini harus dilakukan dengan

dalam hubungan antarlembaga negara.

Keputusan Presiden.Selain itu, anggota Dewan Gubernur tidak dapat dihukum karena telah

Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian

mengambil keputusan atau kebijakan sesuai dengan

jabatan Gubernur BI pernah terjadi pada masa

tugas dan kewenangannya (Pasal 45). Sebagai

pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-

tambahan, anggota Dewan Gubernur tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena kedudukannya (Pasal 47). Sementara itu, Pasal 43 mengatur bahwa wakil Pemerintah boleh hadir dalam Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa hak suara atau veto. Pelaksanaan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengalami dinamika sendiri.Ketika Bank Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan akibat ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka52 dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi53, maka bersamaan

52 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.

53 YPPI diduga mengalirkan ”dana gelap” sebesar Rp127,75 miliar di mana sebesar Rp96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang

menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp31,5 miliar diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid. Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April 1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya kembali menjadi YPPI. 54 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126. 55 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006. 56 Pardede adalah doctor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.

9

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

2001). Waktu itu sang presiden ingin Prijadi

mengalami kegoncangan ketika ia mencalokan

Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi

Burhanuddin Abdullah sebagai calon tunggal ke DPR.

Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ternyata tidak mungkin, karena menurut aturan yang

Jika ditelaah, sehubungan dengan pengusulan,

berlaku, Prijadi tidak lulus fit and proper test yang

pencalonan, dan pengangkatan Dewan Gubernur

diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan minta

menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk

2004 dapat dianalisis sebagai berikut. Dalam hal

mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar

pengisian jabatan Gubernur, maka mengandung

indikasi terlibat skandal Bank Bali. Syahril menolak

norma-norma: (i) pengangkatan dilakukan oleh

dan akhirnya memang dia memang dikriminalkan

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii)

dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum itu

pengusulan dilakukan secara pribadi oleh Presiden;

dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan

(iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau

perubahan terhadap undang-undang bank sentral

persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah

yang pada intinya memungkinkan Presiden mencopot

5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan

Gubernur BI pada masa jabatan jika dinilai tidak

masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam

mempunyai kinerja yang baik. Tetapi, seperti ditulis

masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan

oleh Kwik Kian

Gie57,

proses perubahan undang-

undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam

undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah

masa jabatan berikutnya; dan (vii) terdapat larangan

mencapai keberhasilan.

untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena kedudukannya. Selanjutnya untuk Deputi Gubernur

Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia,

Senior berlaku norma-norma sebagai berikut: (i)

Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara

pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan

mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari

Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan oleh

posisi Gubernur BI, karena yang bersangkutan menolak

Presiden secara pribadi; (iii) terdapat ketentuan

penerapan kebijakan Currency Board System (CBS)

mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan

untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar

tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (vi) ada

Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang

keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu

Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat

tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali

menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi

menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat

yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun

diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya;

1967.58

(vii) terdapat larangan rangkap jabatan kecuali karena

Barangkali Presiden Megawati Soekarnoputri

(2001-2004) yang beruntung karena pada masa

kedudukannya; dan (viii) pengangkatan dilakukan

jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak

secara berkala. Untuk tingkat Deputi Gubernur, ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengandung

57 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, hlm. 81. 58 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (19881993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (19982003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril Sabirin yang ”berprestasi” karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang paling independen semenjak berdirinya republik ini.

10

norma-norma sebagai berikut: (i) pengusulan dilakukan Bank Sentral kepada Presiden; (iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali

account the effects switching jobs might have on

karena kedudukannya; (viii) terdapat pengangkatan

both his personal and professional lives.”59 Dengan

jabatan secara bertahap; dan (ix) tidak ada wakil

adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka

Pemerintah dalam Dewan Gubernur.

akan timbul suatu penilaian bahwa “Rational candidates seeking to maximize their electoral

Diantara mekanisme pengisian jabatan Dewan

prospects must go hunting where the ducks are,

Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.

tailoring their appeal to those prospective voters who

3 Thn. 2004 terdapat hal yang perlu mendapatkan

are both likely to turn out and susceptible to

perhatian secara khusus. Jika diperhatikan, ketentuan

conversion”.60 Selanjutnya, “The important question

Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

here is whether the candidates know where there

2004 mengenai syarat rekrutmen bersifat sangat

are ducks and, having found them, if they can

umum yaitu hanya mencakup: (i) harus warganegara

distinguish the live birds from the decoys. More

Indonesia; (ii) harus memiliki integritas, akhlak, dan

specifically, if a potential candidate does not think

moral yang tinggi; serta (iii) harus memiliki keahlian

that there are enough voters in the area where he

dan pengalaman dalam bidang ekonomi, keuangan,

lives who will support his candidacy, he will likely

perbankan, atau hukum. Selain syarat warganegara,

choose not to run for office.”61

kedua syarat yang terakhir dapat dipilah menjadi 2 (dua) kategori yaitu kategori kompetensi moralitas

Di dalam praktik, “persetujuan” Dewan Perwakilan

dan kompetensi profesional. Untuk kompetensi

Rakyat menjalankan mekanisme “fit and proper test”

moralitas pengujiannya menjadi lebih abstrak

untuk mempertimbangkan calon Dewan Gubernur

dibandingkan dengan kompetensi profesional. Oleh

yang diajukan oleh Presiden. Mekansime itu sendiri

sebab itu, jika kedua persyaratan tersebut masuk

tidak diatur dalam UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.

dalam kualifikasi ”persetujuan” Dewan Perwakilan

3 Thn. 2004. Sementara dalam praktik, pelaksanaannya

Rakyat akan menimbulkan kompleksitas tersendiri.

merujuk kepada Peraturan Tata Tertib Dewan

Apalagi ”persetujuan” tidak semata-mata kata akhir,

Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan “fit and proper test”

akan tetapi juga mekanisme semenjak awal sampai

itu sebagai berikut: (i) Presiden menyampaikan surat

pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat.

resmi yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan

Dapat saja terjadi bahwa seorang calon mempunyai

Rakyat yang berisi daftar nama calon anggota Dewan

kapasitas profesional, akan tetapi bagaimanakah jika

Gubernur sejumlah 2 (dua) calon untuk masing-

proses pengujian kompetensi moralitas itu diwarnai

masing jabatan; (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

dengan tindakan-tindakan tercela seperti penyuapan

menerima surat tersebut dan kemudian menetapkan

atau korupsi, akankah hal tersebut berpengaruh

secara resmi penerimaan pengusulan calon tersebut;

kepada legitimasi calon? Sebaliknya, jika kompetensi

(iii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menindaklanjuti

moralitas tidak menimbulkan persoalan, apakah

dengan pemberitahuan kepada alat kelengkapan

klausula undang-undang mengenai ”mempunyai

terkait untuk melaksanakan “fit and proper test” dan

keahlian dan pengalaman” utnuk kompetensi

ditembuskan kepada tiap-tiap fraksi; (iv) Alat

profesional dapat diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

sebagai lembaga politik? Dalam pengisian jabatan tersebut, kategori yang hendak dicari adalah ”the values an individualplaces on the benefits of a central bank position.” Seperti

59 Lihat dalam: Watson, Richard A. and Rondal G. Downing, 2009, The Politics of the Bench and the Bar: Judicial Selection Under the Missouri Nonpartisan Court Plan. New York, John Wiley and Sons, Inc.

dikatakan oleh Watson dan Dwaning, dalam kategori

60 Ibid.

ini maka, “This is a series of decisions that takes into

61 Ibid.

11

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

kemudian melaksanakan kegiatan “fit and proper

kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi

test” yang biasanya terbuka untuk umum; (v) Alat

dasar pendapat untuk menyatakan validitas “fit and

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

proper test.” Sebagai sebuah realitas politik yang

kemudian menetapkan keputusan untuk menerima

kemudian menjadi ketentuan Undang-Undang proses

atau menolak calon yang diusulkan oleh Presiden,

semacam itu tidak perlu dinilai berlebihan terhadap

yang biasanya dengan pemungutan suara; (vi) Alat

Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pengisian jabatan

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait

di Indonesia yang memerlukan persetujuan parlemen,

kemudian menyampaikan secara resmi keputusan “fit

akan tetapi persoalan yang sangat penting di

and proper test” kepada Ketua Dewan Perwakilan

Indonesia adalah keterputusan bias ideology antara

Rakyat dengan tembusan kepada alat kelengkapan

calon yang diputuskan dengan kinerja. Hampir

yang merencanakan kegiatan Dewan (Badan

persoalan itu tidak pernah muncul. Ideology resmi

Permusyawaratan); (vii) Ketua Dewan Perwakilan

partai nyaris tidak menjadi dasar untuk menguji

Rakyat kemudian menyampaikan hasil keputusan

kapasitas calon yang nantinya akan tercermin dalam

pencalonan tersebut dalam rapat paripurna menurut

putusan-putusan yang ditetapkan oleh calon.63

Peraturan Tata Tertib untuk dimintakan persetujuan kepada seluruh anggota Dewan, yang lazimnya

Ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.

mengikuti apa yang sudah diputuskan alat kelengkapan

2004 sendiri tidak memberikan penjelasan terhadap

terkait; dan (viii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

makna “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat itu

menyampaikan keputusan Dewan kepada Presiden.

sendiri. Sebagai perbandingan, ketentuan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan UU No.

Selain perdebatan dari sisi legitimasi hukum mengenai

34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.64

mekanisme dan pelaksanaan “fit and proper test”

Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kepolisian

persoalan juga mencakup isu batasan dan sifat

pertama kali pada masa pemerintahan Presiden

“pengujian” yang tidak tegas apakah mencakup

Megawati Soekarnoputri (2002), calon yang diajukan

kompetensi moralitas atau kompetensi profesional

kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi

calon. Sebuah “fit and proper test” yang menilai

Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya satu

calon yang sudah memenuhi persyaratan Undang-

orang dan diikuti kemudian pada masa pemerintahan

Undang untuk jabatan tertentu seperti anggota

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan

Dewan Gubernur tentu lebih tepat apabila menguji

pengisian jabatan pada tahun 2005, 2007, dan 2009.65

kompetensi moralitas guna menemukan calon yang

Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional

mempunyai “kepribadian dan kecakapan yang tidak

Indonesia pertama kali dipraktikkan pada masa

tercela” seperti di Filipina. Menurut Moh. Nadjib

pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Immanullah, pengujian itu mendekati mekanisme

untuk mengisi jabatan Panglima Tentara Nasional

“hearing” di Senat Amerika Serikat dalam menentukan calon anggota The Federal Reserve System.62 Tidak pada tempatnya, jika argumentasi ini diikuti, bahwa “fit and proper test” oleh lembaga politik semacam Dewan Perwakilan Rakyat merambah pengujian terhadap penilaian komptensi profesional calon. Akan tetapi, Hari Purwadi menolak jika sifat politik

62 Pendapat dalam Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.

12

63 Pendapat Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.,Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011. 64 Kedua undang-undang ini menindaklanjuti Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 65 Untuk pertama kali, Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Jenderal (Pol) Da’I Bachtiar sebagai satu-satunya calon dan preseden ini diikuti oleh Presiden Yudhoyono ketika mencalonkan Jenderal (Pol) Soetanto (2005), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Dhanuri (2007), dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo (2010).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Indonesia pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun 2008 dan

2010.66

Persoalan pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia

Sekalipun pada awalnya dikritik

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat amat

oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena hanya satu

erat dengan sifat independensi bank sentral. Dalam

calon, tetapi proses pemberian persetujuan selama

kasus Indonesia, independensi itu harus dipahami–

ini tidak pernah mengalami hambatan sama sekali.

yang dapat saja menunjukkan ketidakmutlakan

Artinya “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat

independensi itu–sekurang-kurangnya terhadap 3

menjadi bermakna operaisonal ketika calon yang

(tiga) aspek. Pertama, walaupun terdapat keterkaitan

diajukan oleh Presiden hanya satu.

antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral,

Pengalaman sebelumnya berbeda dalam pengisian

inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan

jabatan Gubernur Bank Indonesia. Untuk mengisi

moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi

jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang

secara keseluruhan, meskipun terpisah namun

Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calon–Agus

kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan,

Martowardoyo dan Raden Pardede--untuk

perdagangan, atau kebijaksanaan lainnya harus tetap

mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

saling mendukung. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat

(DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan

Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis,

setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada

maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar,

18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap

inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili

calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut.

kepentingan masyarakat pada umumnya.

Kemudian Presiden mengajukan Boediono (Menteri Koordinator Perekonomian) sebagai calon Gubernur

Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian

Bank Indonesia. Seperti sudah diramalkan oleh banyak

jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang

pihak, pencalonan Menteri Koordinator Perekonomian

memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

Boediono untuk posisi Gubernur Bank Indonesia

memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status

berjalan mulus. Pada 8 April 2008 yang lalu, Dewan

kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan

Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuan

nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme

bagi profesor ekonomi Universitas Gadjah Mada itu

itu guna menghindari politicking yang berlebihan.

untuk menduduki posisi di lembaga yang berperan

Untuk posisi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior,

penting sebagai otoritas moneter di republik ini. Atas

hendaknya dapat dilaksanakan dalam satu paket

dasar pengalaman itu, maka ketika Boediono menjadi

pemilihan. Presiden dapat menetapkan sendiri

Wakil Presiden (2009), untuk mengisi jabatan

mekanisme untuk pengusulan jabatan tersebut dan

Gubernur Bank Indonesia, Presiden mengajukan

masing-masing hanya satu calon untuk kemudian

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin

dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Nasution sebagai satu-satunya calon pada Oktober

Sementara itu, untuk anggota Dewan Gubernur,

2010 yang lalu dan memperoleh persetujuan Dewan

dalam hal ini Deputi Gubernur dilakukan pengisian

Perwakilan Rakyat. Ada kemungkinan bahwa praktik

jabatan secara berkala dan tidak perlu memerlukan

pengisian jabatan dengan mengajukan satu calon

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengusulan

akan menjadi konvensi ketatanegaraan.

calon dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia kepada Presiden dan kemudian ditetapkan oleh Presiden. Pemisahan mekanisme yang berlaku untuk Gubernur dan Deputi Gubernur Senior dengan anggota Dewan

66 Presiden Yudhoyono mengajukan Marsekal Djoko Suyanto sebagai satusatunya calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (2005), lalu Jenderal Djoko Santoso (2008), dan Laksamana Agus Suhartono (2010).

Gubernur dilakukan minimal dengan 3 (tiga) alasan. Pertama, mengingat kelembagaan Bank Indonesia

13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

sebagai organ konstitusi dengan status yang

kebijaksanaan lainnya. Ketiga, dengan terpilihnya

independen, maka tugas dan wewenang Gubernur

pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang

dan Deputi Gubernur amat strategis karena mengelola

demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga,

sumber daya ekonomi dan politik sebagai otoritas

nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan

moneter menurut ketentuan Undang-Undang.

mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya.

Oleh sebab itu, sebagai mekanisme keseimbangan baru berdasarkan ”theory of combines process intitutionalized”, penting untuk dilakukan prosedur pemilihan yang mengikuti proses demokrasi politik terhadap kedua jabatan itu. Kedua, guna menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan political appointee, dapat saja diatur bahwa calon Gubernur diusulkan oleh Presiden, sedangkan kriteria Deputi Gubernur Senior diusulkan oleh Presiden dengan memperhatikan persyaratan bahwa calon yang bersangkutan telah pernah atau sedangkan menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur atau jabatan tertentu di lingkungan Bank Indonesia yang disetarakan dengan eselon I pada Kementerian/ Lembaga. Kedua, Deputi Gubernur amat dekat dengan fungsi teknokratis bank sentral, sehingga pengisian jabatan menggunakan pendekatan prinsip karir dibandingkan political appointee. Oleh sebab itu, penting untuk dipertimbangkan bahwa calon berasal dari lingkungan jabatan Bank Indonesia yang memenuhi syarat. Ketentuan-ketentuan tersebut mensyaratkan peninjauan kembali terhadap ketentuan Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. D. Kesimpulan Pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral yang di Indonesia harus dipahami menurut 3 (tiga) aspek, yaitu pertama, walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan sehingga tidak artinya memisahkan kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau

14

DAFTAR PUSTAKA

Abner S. Greene, “Checks andBalances in an Era of Presidential Lawmaking”, 1994, University Chicago Law Review Vol. 61. Adam N. Steinman, “A Constitution for Judicial Lawmaking”, University of Pitsburgh Law Review, 2004, Vol. 64. Adam Posen, “Why Central Bank Independence Does Not Cause Low Ination: There is No Institutional Fix for Politics”, dalam Finance and the International Economy 7: The Amex Bank Review Prize Essays, Oxford: Oxford University Press, 2003. Amy J. Weisman, “Separation of Powers in Post-Communist Government: A Constitutional Case Study of the Russian Federation”, American University Journal of International Law and Policy, 1995, Vol. 10. Alison Marston Danner, “Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the International Criminal Court and the Independent Counsel”, Stanford Law Review, 2003, Vol. 20, No. 55. Andrews Heywood, 2002, Politics, New York, Palgrave. Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila. Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengkera Normatif, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita. Allan Drazen, “Central Bank Independence, Democracy, and Dollarization”, Journal of Applied Economics, Vol. V, No. 1, May 2002. Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama, 2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu, Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bernard Schwartz, “Curiouser and Curiouser: The Supreme Court’s Separation of Powers Wonderland”, Notre Dame Law Review, 1990, Vol. 65. Bill Orr, “Are the IMF and the World Bank on the right tack?”, ABA Banking Journal, Marc 1990. Bordo Michael D. dan Kydland Finn E., “The Gold Standard As a Rule: An Essay in Exploration, Explorations”, Economic History, 2005, Vol. 32, No. 4. Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford, OxfordUniversity Press.

15

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University Press. Brucke Ackerman, “The New Separation of Power”, Harvard Law Review, No. 3 Vol. 113, Januari 2000. B.S. Bernanke and F.S. Mishkin, “Inflation targeting: A new framework for monetary policy?”,The Journal of Economic Perspectives, Vol.11, No. 2 1997. Calvin Jillson dan Rick K. Wilson, 1994, Congressional Dynamics: Structure, Coordination, and Choice in the First American Congress, 1774–1789, Stanford, Stanford University Press. Carl Levin, “The Independent Counsel Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance”, 1987, Hofstra Law Review, No. 16. C.D. Romer, ”Is the Stabilization of the Postwar Economy a Figment of the Data?”, The American Economic Review, 2006, Vol. 76, No. 3. Christopher A. Ford, “The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience”, Case West of Journal International Law, 1996, Vol. 28 No. 3. Clive B. Briault, et.al., “Independence and Accountability”, Bank of England Working Papers Series, No. 49. Cukierman, 1992, Central Bank Strategy, Credibility, and Independence, Cambridge: MIT Press. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press. Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi Press. John D. Huber and Charles R. Shipan, Deliberate Discretion? The Institutional Foundationsof Bureaucratic Autonomy, New York, Cambridge University Press, New York, 2002. John Ferejohn and Charles Shipan, “Congressional Inuence on Bureaucracy”, Journal of Law, Economics, and Organization, 1990, Vol. 6. John Ferejohn, “Judicializing Politics, Politicizing Law”, Law & Contemporer Problems, 2002, Vol. 65. Maqdir Ismail, “Independensi Bank Sentral dalam UU dan Praktik di Indonesia”, Jurnal Legislasi, Vol. 3, No. 3, September 2006. Marc Flandreau, “The French Crime of 1873: An Essay on the Emergence of the International Gold Standard, 18701880”, The Journal of Economic History, 1996, Vol. 56, No. 04. M. Dawam Rahardjo et.al., 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo.

16

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta, Penerbit Kanisius. Martin A. Rogoff, “The French (R)evolution of 1958–1998”, Columbia Journal of Europe, Vol. 3. Martin S. Flaherty, “The Most Dangerous Branch”, 1988, Yale Law Journal No. 105. P. L. Siklos, 2002, The Changing Face of Central Banking, Cambridge: Cambridge University Press. R. Bade dan M. Parkin, 1984, Central Bank Laws and Monetary Policy, Department of Economics, University of Western Ontario, Canada. R.B. Barsky,” The Fisher Hypothesis and the Forecastability and Persistence of Inflation”, Journal of Monetary Economics, 2007, Vol. 19, No. 1. R.J. Barro dan Gordon D. B. Gordon, “A Positive Theory of Monetary Policy in a Natural-Rate Model”, Journal of Political Economy, 2003, Vol. 91. Rett R. Ludwikowski, “Mixed” Constitutions – Product of an East-Central European Constitutional Melting Pot”, Birmigham International Law Journal, 1998, Vol. 1 No. 16. Robert Elgie, “Democratic Accountabilyt and Central Bank Independence”, Wets European Politics, 1998, Vol. 21, No.3. Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New York, Free Press. Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard University Press. Stanley Fisher, “Central Bank Independence Revisited”, AEA Paper and Proceeding, 1995, Vol. 85, No. 2. Stephen G Cecchetti, “Making Monetary Policy: Objectives and Rules”, Oxford Review of Economic Policy, 2000, Vol.16, No. 4. Thomas Hart Benton, 1990, Abridgment of the Debates of Congress, from 1789 to 1856, D. Appleton and Company, New York. Sain Gailmard dan John W. Patty, “Separation of Power, Information, and Beuracratic Structure”, Working Paper Series September 2008. Skully Ahsan & Wickramanayake, “Determinants of Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy Implications, JOAAG, Vol. 1. No. 1, 2006. Soebagijo, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Stanley Elkins dan Eric McKittrick, 1993, The Age of Federalism: The Early American Republic: 1788-1800, New York, Oxford University Press. Stephen L. Carter, “The Independent Counsel Mess”, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988. Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung, Penerbit Alumni. Sudarwan Darwin, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia. Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University Press. Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional Law, Boston, LittleBrown. Thomas W. Merrill, “The Constitution and the Cathedral: Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco Advertising”, New York University Law Review, Vol. 93, 1999. Thomas O. Sargentich, “The Contemporary Debate about Legislative-Executive Separation of Powers”, Cornell Law Review, 1997, Vol. 72. T.J. Jordan, “Disinflation Costs, Accelerating Inflation Gains, and Central Bank Independence”, Weltwirschaftliches Archive Vol 133. Ubdaibir S. Das, et.al., “Financial Regulators”, A Quartley Magazine of the IMF, 2002. V.D. Grilli Masciandaro dan G. Tabellini , “Institutions and Policies”, Economic Policy , 1991, Vol. 6. V. Grilli, D. Masciandaro, dan G. Tabellini, “Political and Monetary Institutions and Public Financial Policies in the Industrial Countries”, Economic Policy, 1991, Vol. 6. Wahyudi Djafar, “Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Oktober 2010. William B. Gwyn, “The Indeterminacy of Separation of Powers”, George Washington Law Review, 1999. William Poole, “Central Bank Transparancy: Why and How?”, The Philadelphia Fed Policy Forum Federal Reserve Bank of Philadelphia, 2001, No. 30.

18

OUTLOOK PENGAWASAN PERBANKAN PASCA TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN 1

Oleh : Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.2

Abstrak Blurry effect di perbankan dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari.Dengan adanya blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Kunci keberhasilan Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Selain itu, untuk mencapai sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi normal maupuan kondisi krisis. Kata kunci: pasca OJK, pengawasan perbankan.

A. Pendahuluan

perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan ke kondisi sebelum krisis.3

Krisis ekonomi yang terjadi baik dalam skala nasional

1

2

maupun internasional, kerap melahirkan krisis multi

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2008, kembali

dimensi, baik dari sektor perbankan, keuangan,

terjadi krisis ekonomi dunia yang merupakan domino

maupun terhadap biaya sosial yang timbul dan

effect dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat

berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap

yang menggelembung (bubble) dan mengakibatkan

perbankan nasional. Krisis ekonomi yang menghantam

kesulitan solvabilitas serta berdampak pada

Asia di tahun 1997-1998 misalnya, dimana krisis ini

dilikuidasinya berbagai lembaga keuangan di negara-

dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Bath di Thailand

negara besar yang ada di dunia, yang antara lain

yang kemudian berimbas pada penambahan beban

menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan

perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk

sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis

Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi

kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-

minus 13%. Sementara dari segi sosial, diperlukan

negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura,

waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan

Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia.4

Resume dari Penulisan Hukum milik Penulis yang berjudul “Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia”, pada Agusutus 2012. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

3

Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta, hal. 1.

4

Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, Hal. 12.

19

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa

financial conglomerates, which is likely to produce

salah satu penyebab runtuhnya perekonomian

important changes in the nature and dimensions of

Indonesia saat itu adalah karena dengan sejumlah

the individual intermediaries, as well as in the degree

tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di

of consolidation of the banking and financial industri;

bidang moneter, mengakibatkan terpecahnya fokus

and (2) growing securitization of the traditional forms

Bank Indonesia antara kebijakan moneter, kestabilan

of banking activity and the proliferation of sophisticated

nilai rupiah dan pengawasan perbankan, sehingga

ways of bundling, repackaging, and trading risks,

kinerja Bank Indonesia tidak menjadi optimal ketika

which weaken the classic distinction between equity,

menangani krisis. Hal ini seperti inilah yang kemudian

debt, and loans, bringing changes in the nature and

menjadi alasan dirumuskannya suatu konsep

dimensions of the financial markets”7. Dengan adanya

pemisahan tugas pengawasan perbankan nasional

blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk

dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral kepada suatu

pengawasan yang terintegrasi antara perbankan,

Lembaga Pengawas Jasa Keuangan5, dengan tujuan

pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan

agar Bank Indonesia dapat fokus untuk melakukan

non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari

tugasnya dalam pengaturan kebijakan moneter.

fenomena tersebut.

Disisi lain, pesatnya pertumbuhan dan kemajuan di

Selanjutnya Prof. Donato Masciandro juga

bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, telah

mengungkapkan bahwa dengan diperlukannya suatu

menciptakan kompleksitas kegiatan jasa keuangan

pengawasan yang terintegerasi, maka muncul suatu

yang dinamis dan saling terkait antar masing masing

perdebatan terkait bentuk lembaga pengawasnya,

subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun

yakni berupa Multi Financial Authorites ataukah

kelembagaan, sehingga mendorong pertumbuhan

Single Financial Authority, dan menurut beliau, apabila

entitas bisnis menjadi suatu bentuk konglomerasi

melihat kesuksesan beberapa negara Eropa dan Asia,

yang menawarkan berbagai produk keuangan di lini

maka bentuk Single Financial Authority merupakan

bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun

solusi yang terbaik.8

lembaga pembiayaan non bank lainnya secara sekaligus. Hal seperti ini kemudian menimbulkan

Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri

suatu blurry effect di dunia bisnis perbankan sehingga

pembentukan Financial Authority di amanatkan dalam

dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko

Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun

finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup

1999 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2004,

konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang

dimana dikatakan bahwa; “Tugas mengawasi Bank

dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh

akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor

karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan

jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan

sistem keuangan nasional di kemudian

hari6.

Undang-undang”, yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Donato Masciandaro mengatakan bahwa “The blurring effect causes two

Namun urgensi dan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan

interdependent phenomena: (1) the emergence of

ini kemudian menjadi dipertanyakan, mulai dari segi

5

Vide Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

6

Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”, Jakarta, hal. 9.

20

7

DonatoMasciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco, hal. 1.

8

Ibid, hal. 2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

legalitas Otoritas Jasa Keuangan (yang seharusnya terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember

20109

negara berkembang adalah fungsi pengawasan yang tetap berada di bawah Bank Sentral.

namun pada praktiknya baru terbentuk pada 22 November 2011), hingga manfaat atas dibentuknya

Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik

lembaga ini.

struktur finansial antara negara berkembang dengan negara maju seperti adanya penggunaan sistem

Beberapa pakar ekonomi dan perbankan menyatakan

perbankan, dimana pada negara maju seperti Eropa

bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidaklah

dan Jepang, menggunakan Universal Banking System

memberikan manfaat yang signifikan, salah satunya

sehingga memerlukan suatu bentuk pengawas yang

adalah karena pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

terintegerasi. Sementara di negara-negara berkembang

tentunya akan berpotensi menimbulkan konflik

seperti di ASEAN, lebih mengandalkan Commercial

dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Hal

Banking System sehingga tidak diperlukan lembaga

tersebut tercermin dalam Undang-undang Otoritas

pengawas yang mengawasi jasa keuangan secara

Jasa Keuangan yang memisahkan antara kewenangan

terintegerasi.

microprudential dan macroprudential. Disisi lain, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat

juga menimbulkan suatu masalah tersendiri. Hal ini

dominan dalam transmisi kebijakan moneter, sehingga

dapat dilihat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang

Bank Sentral dalam menjalankan fungsi moneternya,

pada pokoknya mengatur adanya kewajiban pelaku

haruslah memiliki informasi yang cukup atas

kegiatan di sektor keuangan (salah satunya adalah

pertumbuhan dan pergerakan bank di negaranya.

bank) untuk membayar pungutan kepada Otoritas

Apabila Bank Sentral tidak mendapatkan cukup

Jasa Keuangan selaku pengatur dan pengawas jasa

informasi, maka ketika terjadi krisis, respon yang

keuangan. Adanya kewajiban ini menjadi suatu

dikeluarkan oleh Bank Sentral pun akan menjadi

permasalahan tersendiri, karena bagaimana mungkin

lambat, sementara Otoritas Jasa Keuangan pun pasti

pengawasan perbankan dapat menjadi efektif apabila

tidak dapat berbuat banyak karena fungsi Lender of

Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas memungut

Last Resort berada di tangan Bank Sentral. Alhasil,

bayaran dari obyek yang diawasi, hal ini sangat

dengan pemisahan kewenangan seperti itu, maka

berpotensi menimbulkan terjadinya moral hazard

dikhawatirkan kinerja kedua lembaga tersebut tidak

antara Otoritas Jasa Keuangan dan bank, sehingga

akan optimal.

sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang dilakukan akan berupa pengawasan yang “tebang

Selain itu, Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano

pilih” dan tidak Independen. Alhasil, pengawasan

mengemukakan bahwa “The Central Bank of 48

yang semula ditujukan untuk meringankan tugas Bank

Countries (57% of total) have the authority of banking

Indonesia, hanya akan menjadi suatu permasalahan

supervison and of these 48 countries, 39 (81%)

baru.

are developing and emerging

economies.”10

Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk pengawasan yang paling banyak dipilih oleh negara

B. Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia

9

Vide Pasal 34 ayat (2) UU 3/04 tentang Bank Indonesia.

10 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute, hal. 10.

Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki tujuan tunggal yakni untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter, penyelenggaraan sistem pembayaran yang

21

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

aman dan efisien serta pengaturan dan pengawasan

lebih independen karena akan membuat Otoritas

bank. Sebagai evaluasi atas dua krisis keuangan besar

Jasa Keuangan menjadi tidak tergantung pada

yang menimpa Indonesia, yakni krisis keuangan asia

pemerintah. Hal tersebut, sejalan dengan yang

1997/1998 dan krisis keuangan global 2008/2009,

disampaikan oleh Sigit Pramono, dimana ia

maka sebagai upaya untuk menghindarkan krisis

mengatakan bahwa jika dana operasional Otoritas

atau setidaknya meminimalkan dampak ketika krisis

Jasa Keuangan berasal dari APBN, maka

di masa akan datang, sekaligus membantu Bank

independensi Otoritas Jasa Keuangan tentu akan

Indonesia untuk fokus dalam tugasnya mencapai

sangat minim.11

kestabilan moneter maka pengaturan dan pengawasan bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Namun demikian, dengan adanya konsep pungutan yang dilakukan oleh lembaga pengawas

Namun demikian, pembentukan Otoritas Jasa

terhadap objek pengawasannya, maka tentu akan

Keuangan dengan serangkaian ketentuannya, dirasa

berpotensi sangat besar untuk menimbulkan suatu

memiliki potensi untuk menimbulkan konflik antara

ekses, yang pada gilirannya akan memberikan

Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia.

dampak negatif pada independensi, akuntabilitas serta kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan dalam

1. Konflik dalam Sumber Pendanaan Otoritas

melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan

Jasa Keuangan

dalam sektor jasa keuangan.

Anggaran pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan

a) Timbulnya Moral Hazards

merupakan salah satu hal yang cukup banyak

Salah satu permasalahan yang berpotensi

disoroti oleh berbagai kalangan, baik akademisi,

untuk muncul apabila Otoritas Jasa Keuangan

praktisi perbankan maupun dari pihak Bank

mengenakan pungutan adalah adanya

Indonesia sendiri. Hal tersebut dikarenakan di

pandangan bahwa pungutan tersebut akan

dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 21 tahun

berpotensi menimbulkan moral hazard antara

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan

Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas

bahwa Otoritas Jasa Keuangan memiliki

dengan para pelaku sektor jasa keuangan,

kewenangan untuk menarik pungutan terhadap

dalam hal ini perbankan misalnya, selaku objek

setiap pelaku di sektor jasa keuangan yang mana

yang diawasi, sehingga sangat dikhawatirkan

salah satunya berasal dari sektor perbankan, dan

nantinya pengawasan yang dilakukan oleh

sehubungan dengan kewenangan itu pula maka

Otoritas Jasa Keuangan akan berupa

setiap pelaku di sektor jasa keuangan kemudian

pengawasan yang “tebang pilih” dan tidak

dibebani dengan kewajiban untuk membayar

Independen.

pungutan tersebut. Pemberlakuan kewenangan untuk melakukan Secara filosofis, pungutan yang dikenakan oleh

pungutan ini, diawali oleh pandangan bahwa

Otoritas Jasa Keuangan ini pada hakikatnya

apabila mengacu kepada bentuk pendanaan

ditujukan sebagai sumber alternatif dalam

operasional BaFin di Jerman maupun APRA

pendanaan operasional Otoritas Jasa Keuangan,

di Australia, maka dapat diketahui bahwa

yang mana pada awalnya, sumber pendanaan

para auditee juga melakukan pembayaran

Otoritas Jasa Keuangan berasal dari APBN.

kepada lembaga pengawas tersebut, sehingga

Sehingga dengan adanya pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka tentunya diharapkan akan membuat Otoritas Jasa Keuangan

22

11 Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

independensi dari lembaga pengawas menjadi

daripada pengawasan yang dilakukan terhadap

lebih independen karena tidak tergantung dari

auditee yang membayar dengan nilai yang

anggaran negara. Namun disini penulis

lebih kecil.

berpendapat bahwa, meskipun sisi positif dari ketentuan mengenai pungutan ini adalah akan

Sehubungan dengan pendapat di atas, dan

memberikan independensi terhadap Otoritas

seperti yang telah dijelaskan pada bab

Jasa Keuangan, khususnya dalam hal financial

sebelumnya, perbankan merupakan sektor

independence, namun pembentuk Undang-

jasa keuangan yang memiliki 2 (dua)

undang juga seharusnya memperhatikan

karakteristik utama. Pertama, perbankan

bahwa kondisi sosial-bisnis di suatu negara

merupakan sektor jasa keuangan yang tumbuh

tentu berbeda dengan kondisi sosial-bisnis di

dan berkembang atas dasar kepercayaan dari

negara lainnya. Sementara apabila melihat

masyarakat, yang mana terlihat dari adanya

Indonesia sendiri, dapat diketahui bahwa

penghimpunan dana yang berasal dari

kondisi sosial-bisnis di Indonesia sebagai Negara

masyarakat. Sementara karakteristik kedua,

berkembang, khususnya di dalam industri

adalah bahwa perbankan merupakan sektor

sektor jasa keuangan seperti perbankan

jasa keuangan yang sangat rentan terhadap

misalnya, masih sangat rentan terhadap moral

berbagai macam risiko, baik risiko kredit, risiko

hazards yang berkembang.

likuiditas, risiko hukum, risiko operasional maupun risiko sistemik.

Moral Hazard yang penulis maksud dalam hal ini adalah bahwa tingkat kedisiplian seperti

Apabila dengan adanya pungutan yang

dalam hal pelaksanakan Good Corporate

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ini

Governance oleh para auditee akan cenderung

kemudian mengakibatkan pengawasan

menurun seiring dengan meningkatnya celah-

menjadi lebih longgar atau tidak prudent,

celah hukum dalam ketentuan perundang-

maka nantinya fungsi pengawasan yang

undangan, sehingga nantinya akan

pada hakikatnya ditujukan untuk dapat

memberikan dampak pada kepercayaan

meminimalisir risiko-risiko di sektor perbankan

masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.

sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan, tidak akan

Pasal 37 UU Otoritas Jasa Keuangan yang

tercapai. Sehingga pada gilirannya nanti, akan

memberikan ketentuan adanya pungutan ini,

memberikan dampak terhadap stabilitas sistem

dapat dikatakan merupakan celah hukum

keuangan yang merupakan tanggung jawab

yang sangat berpotensial menimbulkan moral

macroprudential dari Bank Indonesia.

hazards tersebut. Hal ini dikarenakan dengan adanya pungutan ini, maka dikhawatirkan

b) Biaya Ekstra

bahwa para auditee akan lebih cenderung

Selain potensi moral hazards yang akan

untuk berpikir bahwa lebih baik membayar

mungkin ditimbulkan, permasalahan lainnya

untuk tidak diawasi, daripada membayar

adalah dengan adanya pungutan ini, maka

namun diawasi dengan lebih ketat, dan

nantinya akan membebani industri perbankan.

sekalipun memang harus diawasi maka

Hal ini dikarenakan, sebagai sektor yang sangat

auditee yang membayar dengan nilai yang

rentan terhadap risiko, maka Bank Indonesia

lebih tinggi tentu memiliki daya tawar untuk

selaku bank sentral memiliki kewenangan

menekan Otoritas Jasa Keuangan agar

untuk menentukan besaran jumlah Giro Wajib

melakukan pengawasan secara lebih longgar

Minimum yang harus disediakan oleh setiap

23

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

bank,12 sementara Lembaga Penjamin

lebih dari sebelum adanya Otoritas Jasa

Simpanan selaku lembaga penjamin dalam

Keuangan. Dengan demikian, dikhawatirkan

sektor perbankan, juga mewajibkan kepada

tanggung jawab Bank Indonesia di bidang

setiap bank untuk membayar premi secara

moneter nantinya akan terganggu.

berkala kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagai bentuk penjaminan.13

2. Konflik dalam Disparitas Kewenangan

Apabila sektor perbankan kemudian dibebani

Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki

lagi dengan biaya tambahan berupa adanya

tanggung jawab untuk mencapai dan menjaga

kewajiban pungutan yang harus dikeluarkan

stabilitas moneter sekaligus stabilitas sistem

oleh bank kepada Otoritas Jasa Keuangan,

keuangan. Kedua stabilitas tersebut merupakan

maka tentu akan sangat membebani

adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan

operasional perbankan, yang mana hal tersebut

harus selalu disinergikan untuk mencapai

tentunya akan berimbas pada jumlah dana

kestabilan nilai rupiah. Hal tersebut dikarenakan

yang dapat dikucurkan oleh bank kepada

kebijakan moneter memiliki dampak terhadap

masyarakat dalam bentuk kredit.

stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, dimana stabilitas keuangan merupakan pondasi dasar

Permasalahan alokasi kredit tersebut patut

dalam penentuan arah kebijakan moneter untuk

untuk dikhawatirkan, karena hingga saat ini,

mencapai stabilitas moneter.

salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Bank Indonesia adalah terkait kurang

Muliaman D. Hadad mengatakan bahwa secara

optimalnya alokasi kredit yang dilakukan oleh

umum stabilitas sistem keuangan memperlihatkan

perbankan, karena meskipun Bank Indonesia

ketahanan keuangan terhadap goncangan

telah menurunkan BI Rate secara signifikan,

perekonomian, sehingga fungsi intermediasi,

namun pertumbuhan Loan to Deposit Ratio

sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap

(LDR) belum meningkat sesuai dengan apa

berjalan dengan semestinya. Sementara stabilitas

yang diharapkan, sehingga Bank Indonesia

moneter hanya dapat terwujud dengan adanya

selalu mencari jalan untuk mengarahkan

stabilitas sistem keuangan, karena sistem keuangan

perbankan agar dapat menekan biaya

merupakan media transmisi kebijakan moneter.14

operasionalnya, serta menurunkan bunga

Selanjutnya, dikatakan pula bahwa stabilitas

pinjaman. Dengan demikian, alokasi kredit

menjadi penting karena sistem keuangan yang

dapat lebih ditingkatkan, sehingga dapat

stabil akan menciptakan kepercayaan para

mendorong perkembangan ekonomi.

penyimpan dana dan investor untuk menanamkan

Permasalahannya adalah apabila industri

dananya pada lembaga keuangan. Dengan

perbankan kemudian harus dibebani lagi

kestabilan sistem keuangan, akan mendorong

dengan biaya ekstra untuk membiayai

fungsi intermediasi keuangan yang efisien,

operasional Otoritas Jasa Keuangan, maka

sehingga pada akhirnya mendorong investasi dan

dikhawatirkan LDR perbankan akan terganggu,

pertumbuhan ekonomi, mendorong semakin beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumber daya perekonomian.15

12 Vide PBI No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing. 13 Vide Pasal 6 ayat (1) butir a jo. Pasal 9 butir c UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

24

14 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 136. 15 Ibid., hal. 137.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Secara umum, pemantauan dan penilaian terhadap

Services (FSS) yang memiliki kedudukan sejajar

stabilitas sistem keuangan dilakukan dengan dua

dengan BoK.17

pendekatan, yakni macroprudential dan microprudential. Dalam prakteknya otoritas yang

a) Arah Kebijakan

melaksanakan macroprudential membutuhkan

Selama ini, kebijakan Bank Indonesia di sektor

akses yang cepat dan mudah terhadap data

moneter dibuat dengan memperhatikan

microprudential dan kewenangan resmi tanpa

kebijakan di sektor perbankan dan sistem

hambatan untuk memperoleh data tambahan

pembayaran, sehingga kebijakan di ketiga

lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global

sektor tersebut dapat berjalan beriringan dan

yang terjadi telah membrikan pelajaran bahwa

saling mendukung. Hal ini dapat dilakukan

sangat diperlukan hubungan yang erat antara

karena Bank Indonesia memiliki kewenangan

kewenangan dalam microprudential dan

baik kewenangan secara macroprudential,

kewenangan dalam macroprudential dalam

maupun secara microprudential, sehingga

merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat pada

Bank Indonesia memiliki keleluasaan untuk

saat genting. Namun dengan adanya otoritas jasa

mengumpulkan informasi yang dibutuhkan

keuangan, berarti ada pemisahan secara tegas

dari masing-masing sektor secara cepat dan

antara pengawasan yang bersifat microprudential

menyeluruh, dan selanjutnya dijadikan dasar

dan pengawasan yang bersifat macroprudential

untuk mengeluarkan kebijakan.

terhadap lembaga keuangan/bank di Indonesia. Padahal kedua aspek microprudential dan

Ferguson menyatakan bahwa hubungan

macroprudential adalah aspek yang sulit untuk

antara kebijakan moneter, kelancaran sistem

dipisahkan karena keduanya akan saling

pembayaran dan kondisi perbankan merupakan

mempengaruhi sehingga dalam perkembangan

hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena

pemikiran di beberapa negara yang menerapkan

informasi yang diperoleh Bank Sentral dari

pemisahan justru ada upaya untuk menyatukan

pengawasan bank memiliki peran yang sangat

kembali.16

penting dalam proses pembuatan kebijakan moneter, begitupun sebaliknya dimana

Di Korea Selatan misalnya, pemisahan

stabilitas sektor moneter memberikan

kelembagaan otoritas pemangku kewenangan

kontribusi yang sangat besar bagi arah

makromoneter dan mikroperbankan yang

pengembangan sektor perbankan. Sehingga

dilakukan pada tahun 1999, atas saran dari IMF,

dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Bank

justru berujung pada kurang pekanya institusi

Sentral dapat mengeluarkan kebijakan moneter

pemangku otoritas keuangan di negara tersebut

yang baik karena memiliki kewenangan

dalam merespon guncangan krisis pada tahun

terhadap pengawasan bank, dan sebaliknya

2008. Bank of Korea (BoK), sebagai institusi

Bank Sentral dapat pula mengeluarkan

pemegang otoritas makromoneter menjadi lemah

peraturan yang tepat terhadap pengembangan

dan tidak memiiliki akses langsung pada kondisi

perbankan, karena Bank Sentral memiliki

perbankan pada saat yang krusial. Sebab akses

kewenangan di bidang moneter.18

pada data dan kondisi perbankan dimonopoli oleh satu institusi lain, yakni Financial Supervisory 17 Ibid.,hal. 168.

16 Ibid.,hal. 167.

18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .

25

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Sehubungan dengan pendapat diatas, penulis

secara cepat dan tepat waktu dalam mengakses

berpendapat bahwa apabila kewenangan

dan mendapatkan informasi perbankan

microprudential dipisahkan dari Bank Indonesia

yang dibutuhkan, tetapi juga terletak pada

selaku Bank Sentral, maka dikhawatirkan arah

pengumpulan infomasi yang digunakan

perkembangan kebijakan perbankan yang

lembaga pengawas, sangat berbeda dengan

dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, akan

informasi yang dibutuhkan oleh Bank Sentral

cenderung dilakukan tanpa melihat bagaimana

selaku otoritas moneter. Hal ini dikarenakan

dampak dari kebijakan perbankan tersebut

lembaga pengawas hanya akan terfokus untuk

terhadap sektor moneter. Hal ini dikarenakan

menjaga kesehatan industri perbankan,

arah kebijakan moneter dan perbankan

sehingga secara alamiah akan memiliki

cenderung untuk bertolak belakang antara

pandangan yang berbeda dengan pandangan

satu dengan lainnya. Ini dapat dilihat dimana

dari otoritas moneter.19

otoritas moneter cenderung untuk menaikan rate, yang mana hal tersebut ditujukan agar

Pihak dari Bank Indonesia mengatakan bahwa,

target inflasi dapat dicapai dengan baik ataupun

selama ini ketika kewenangan microprudential

dijaga kestabilannya. Sementara disisi lain,

masih dimiliki oleh Bank Indonesia, maka Bank

perbankan ingin agar rate yang rendah agar

Indonesia akan terbantu dalam menentukan

bank dapat melakukan investasi dengan lebih

arah kebijakannya, karena dalam setiap

banyak. Penyesuaian dari kedua pandangan

kebijakan moneter yang dikeluarkan atau dalam

seperti ini diperlukan, karena apabila ratenya

perhitungan risiko didalam sistem pembayaran,

telalu tinggi, maka investasi tidak akan lancar,

khususnya terkait kebijakan macroprudential

sehingga pergerakan dan pertumbuhan

yakni stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia

perekonomian negara menjadi lambat.

selalu mempertimbangkan kondisi micro yang

Sementara apabila ratenya terlalu rendah,

ada di sektor perbankan. Contohnya adalah

maka pergerakan arus ekonomi dapat menjadi

ketika negara sedang menghadapi krisis

terlalu cepat, sehingga tidak bagus pula

ekonomi, maka BI Rate yang ditentukan pun

bagi pertumbuhan ekonomi negara. Oleh

akan menyeseuaikan dengan kondisi micro

karenanya, maka Bank Sentral pada dasarnya

dari sektor perbankan. Hal ini dapat dilihat

memerlukan kewenangan microprudential

ketika kondisi perbankan sedang baik atau

dan macroprudential agar kebijakan yang

kondisi perekonomian sedang lesu, maka BI

dikeluarkan dapat mensinergikan antara

Rate akan dipertahankan atau diturunkan,

kebijakan moneter dan kebijakan sistem

dengan demikian penyaluran kredit dari bank

keuangan.

akan lebih lancar. Sementara ketika perbankan sedang tidak sehat atau pertumbuhan

Pendapat penulis diatas juga didukung oleh

perekonomian terlalu cepat, maka BI Rate akan

pendapat Haubrich yang juga mengatakan

dinaikan, dengan demikian kondisi permodalan

bahwa permasalahan adanya pemisahan

dari perbankan dapat senantiasa terjaga, dengan

kewenangan microprudential tidak hanya

terjaganya permodalan dari bank, maka potensi

terletak pada keterbatasan Bank Sentral untuk

untuk collapse-nya bank akan terminimalisir.

18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .

19 Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland, hal. 8.

26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Dengan berbagai pendapat diatas, maka

Penulis menilai bahwa, potensi terjadinya

penulis berpendapat bahwa dengan adanya

konflik dalam pengalihan kewenangan

pengalihan kewenangan microprudential

microprudential kepada Otoritas Jasa Keuangan

kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka potensi

juga dapat dilihat dari sistem pembayaran ini,

konflik yang paling rentan terjadi adalah kondisi

dimana risiko-risiko dalam perbankan hanya

dimana masing-masing otoritas, yakni Bank

dapat diketahui oleh Bank Indonesia apabila

Indonesia selaku otoritas moneter dan Otoritas

Bank Indonesia memiliki informasi yang cukup

Jasa Keuangan selaku otoritas perbankan,

terkait perbankan, dan informasi yang

akan mengeluarkan kebijakan yang cenderung

dibutuhkan tersebut hanya dapat diakses

yang saling bertentangan satu sama lainnya

secara penuh apabila Bank Indonesia memiliki

apabila informasi yang dimiliki oleh masing-

kewenangan dalam microprudential. Apabila

masing otoritas tidaklah secara menyeluruh.

kewenangan microprudential tersebut kemudian dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan,

b) Sistem Pembayaran

maka di khawatirkan Bank Indonesia selaku

Sistem pembayaran merupakan bagian yang

lembaga settlement tidak akan dapat

tidak terpisahkan dari sistem keuangan dan

melakukan penilaian terhadap risiko secara

perbankan suatu negara. Keberhasilan sistem

penuh terhadap bank peserta kliring, sehingga

pembayaran akan menunjang perkembangan

ditakutkan nantinya Bank Indonesia tidak

sistem keuangan dan perbankan, sebaliknya

dapat/terlambat dalam mengatasi kesulitan

risiko ketidaklancaran atau kegagalan sistem

bank, apabila tiba-tiba terdapat bank yang

pembayaran akan berdampak negatif pada

mengalami gagal bayar atau terlambat bayar.

kestabilan ekonomi secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem

Salah satunya adalah terkait kontrol terhadap

pembayaran perlu diatur dan dijjaga keamanan

risiko sistemik, yaitu risiko yang muncul ketika

serta kelancarannya oleh bank sentral, sekaligus

suatu bank tidak dapat mengatasi atau

sebagai otoritas sistem

pembayaran.20

terlambat mengatasi risiko kredit atau risiko likuiditas yang berkepanjangan, dan ketika

Sejalan dengan hal diatas, Bank Indonesia

hal tersebut berdampak pada bank-bank

selaku Bank Sentral dan otoritas sistem

lainnya, dan terlambat untuk diantisipasi secara

pembayaran di Indonesia tentu kemudian

cepat oleh bank sentral, maka tentu akan

memiliki kewenangan dan tanggung jawab

berdampak pada stabilitas sistem keuangan

sebagai lembaga settlement,21 yang mana

secara menyeluruh.

bertugas untuk mengatur mekanisme transaksi atau pelunasan warkat antar bank, serta

Jika dengan pengalihan microprudential ini

melakukan penilaian terhadap risiko-risiko

mengakibatkan Bank Indonesia tidak dapat

yang sedang/atau akan dihadapi oleh bank-

atau terlambat mengakses informasi-informasi

bank selaku peserta kliring.22

yang diperlukan dalam pengaturan risiko, maka tentu akan memicu timbulnya potensi kekacauan stabilitas keuangan yang seharusnya dijaga oleh Bank Indonesia, karena salah satu

20 Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta, hal. 209

pilar dari kestabilan sistem keuangan adalah kelancaran sistem pembayaran.

21 Vide Pasal 16 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia 22 Bank Indonesia, Op.Cit., hal. 210.

27

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c) Lender of Last Resort

oleh Bank Indonesia ini diwujudkan dalam

Potensi konflik yang sangat dikhawatirkan

berbagai fasilitas yang diberikan, baik FPJP/S,

oleh Bank Indonesia maupun berbagai praktisi

FLI/S, maupun FPD. Hal yang kemudian

perbankan lainnya apabila terjadi pemisahan

dikhawatirkan ketika terjadi pengalihan

microprudential dan macroprudential dari

kewenangan microprudential adalah bahwa

Bank Indonesia adalah kekhawatiran akan

LoLR dikhawatirkan tidak akan dapat dijalankan

menjadi kurang optimalnya fungsi Bank

dengan maksimal apabila Bank Indonesia tidak

Indonesia sebagai lender of last resort (LoLR)

memiliki atau terlambat untuk mengolah data

ketika negara sedang menghadapi krisis.

bank yang harus segera diselamatkan. Dengan adanya keterlambatan atau kelalaian tersebut,

Haubrich mengatakan bahwa dalam kondisi

maka penanganan krisis pun akan menjadi

krisis keuangan, peran Bank Sentral menjadi

bermasalah, dan pada gilirannya akan

sangat penting. Hal tersebut didukung dengan

membahayakan sistem keuangan negara

adanya kewajiban dari Bank Sentral untuk

secara keseluruhan.

mengatasi krisis keuangan, sehingga untuk dapat menjalankan kewajiban tersebut dengan

Keterlambatan dan kelalaian dalam menangani

baik, Bank Sentral tentu harus memiliki

krisis ini dapat dilihat dari kasus Northern

pengetahuan dan informasi yang cukup

Bank di Inggris, dimana kondisi pada saaat

mengenai aspek microprudential, yakni berupa

itu adalah dengan adanya pemisahan

informasi mengenai kondisi perbankan dan

microprudential dari Bank of England (BoE)

bagaimana perbankan beroperasi secara

yang dialihkan kepada Financial Services

harian.23

Hal tersebut dikarenakan, meskipun

Agency (FSA), maka mengakibatkan BoE tidak

aspek microprudential hanya berkutat dalam

memiliki informasi yang cukup terkait kondisi

upaya menjaga kesehatan individual perbankan,

Northern Bank, hal tersebut dikarenakan

namun konsekuensi dari kegagalan individual

seluruh informasi yang dimiliki terkait aspek

perbankan dapat meruntuhkan perekonomian

microprudential dari perbankan hanya terdapat

negara secara menyeluruh, oleh karenanya

di FSA. Alhasil, ketika terjadi krisis, BoE tidak

Bank Sentral harus dapat memiliki dan

dapat menjalankan LoLR tepat pada waktunya,

mengakses informasi yang cukup dalam aspek

karena BoE harus mengkaji ulang kondisi bank

microprudential agar dapat meminimalisir

sebelum dapat memberikan bantuan likuiditas

dampak krisis yang sedang/akan

terjadi.24

darurat sehingga akhirnya Northern Bank telah di rush terlebih dahulu oleh nasabahnya,

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank

sebelum sempat diantisipasi oleh BoE.

Indonesia selaku Bank Sentral Indonesia, memiliki fungsi sebagai lender of last resort

Dari pengalaman dari BoE ini, maka dapat

sebagai upaya untuk menyelamatkan bank-

dilihat bahwa pada saat kondisi krisis,

bank yang mengalami kesulitan likuiditas,

kecepatan memperoleh informasi yang

ataupun solvabilitas. Fungsi LoLR yang dimiliki

lengkap merupakan faktor yang sangat penting, sehingga apabila Bank Sentral memiliki informasi yang lengkap, maka Bank

23 Haubrich, Op.Cit., hal. 9. 24 Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 13.

28

Sentral dapat mengambil kebijakan yang tepat sesegera mungkin untuk mengatasi permasalahan yang ada dan sekaligus mencegah memburuknya keadaan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Dengan beralihnya kewenangan

Namun dengan keberadaan ex-officio didalam

microprudential dari Bank Indonesia ke Otoritas

keanggotan DK inilah yang penulis khawatirkan

Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan Bank

akan berdampak pada kinerja masing-masing

Indonesia akan menjadi kurang responsif

lembaga, baik Otoritas Jasa Keuangan maupun

dalam mengatasi krisis khususnya terkait

Bank Indonesia. Kekhawatiran tersebut dilandasi

pelaksanaan LoLR ini, sehingga sangat

pemikiran bahwa dengan adanya ex-officio ini,

dikhawatirkan pengalaman yang menimpa

maka nantinya dalam setiap pengambilan

BoE dan FSA, akan turut dialami oleh Bank

keputusan tidak akan lepas dari conflict of interest

Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

di dalam Otoritas Jasa Keuangan itu sendiri, sehingga akan menimbulkan permasalahan tersendiri.

3. Konflik dalam Dewan Komisioner Potensi timbulnya conflict of interest yang Pasal 2 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan

dimaksud dapat dilihat didalam Pasal 1 angka 2

menyatakan bahwa “Otoritas Jasa Keuangan adalah

jo. Pasal 10 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan,

lembaga yang independen dalam melaksanakan

dimana dinyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan

tugas dan wewenangnya, bebas dari campur

dipimpin oleh DK yang bersifat kolektif dan

tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang

kolegial. Sifat kolektif dan kolegial ini, apabila

secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini”,

berdasarkan penjelasan pasal 10 ayat (2) UU

namun independensi tersebut menjadi sedikit

Otoritas Jasa Keuangan, memiliki artian bahwa

dipertanyakan dikala di dalam Pasal 1 jo. Pasal 10

setiap pengambilan keputusan DK dilakukan

UU Otoritas Jasa Keuangan, diatur bahwa Otoritas

secara bersama-sama dan didasarkan musyawarah

Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan Komiisioner

untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan

(DK), berjumlahkan 9 (sembilan) orang dan 2 (dua)

dan kekeluargaan di antara anggota DK.

anggota diantaranya merupakan ex-officio dari Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia.

Permasalahan yang timbul adalah apabila ternyata dalam musyawarah tersebut tidak mendapatkan

Salah satu landasan adanya ex-officio pada

satu suara, atau terdapat pertentangan diantara

keanggotaan DK ini adalah adanya pemikiran

anggotanya, maka menurut pasal 24 ayat (7) UU

bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas

Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan bahwa

di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan

keputusan akan ditetapkan berdasarkan suara

keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, yakni

terbanyak. Dengan demikian, maka tentu

otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, maka

memberikan akibat yakni setiap anggota yang

diperlukan keterwakilan dari kedua otoritas tersebut

kalah suara harus tunduk dan turut serta

secara ex-officio. Hal tersebut dimaksudkan agar

bertanggung jawab dalam pelaksanaan keputusan

koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan

suara terbanyak.

di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih baik. Secara khusus,

Konsekuensi itulah, yang menurut Harry Azhar

ex-officio dirasa diperlukan untuk memastikan

akan berpotensi menimbulkan gejolak di dalam

kebutuhan koordinasi dan pertukaran informasi

DK Otoritas Jasa Keuangan, karena seperti yang

untuk menjaga dan memelihara stabilitas sistem

telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam

keuangan.25

keanggotaan DK Otoritas Jasa Keuangan, terdapat 2 (dua) ex-officio yang terdiri dari Bank Indonesia

25 Vide Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

dan Kementerian Keuangan. Dengan adanya kedua ex-officio ini, maka dikahawatirkan akan

29

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengakibatkan timbulnya perdebatan mengenai

adanya ex-officio dari Bank Indonesia ini, maka

arah kebijakan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini

secara tidak langsung dapat berimbas pada

dikarenakan, Bank Indonesia dan Kementrian

terlanggarnya Independensi Bank Indonesia yang

Keuangan dapat diumpamakan sebagai dua kubu

seharusnya bebas dari campur tangan pihak

raksasa, yang mana telah berkembang dengan

manapun.

culture yang berbeda selama bertahun-tahun, sehingga tentu pola pikir atau pandangan yang

C. Upaya Optimalisasi Pengaturan dan Pengawasan

menjadi pegangan dari kedua unsur ini tentu

Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa

akan berbeda, dan dengan sifat kolektif kolegial

Keuangan

ini, maka tiap kubu ini dikhawatirkan akan mempertahankan argument yang menguntungkan

Sungguh ironis, ketika Indonesia tengah sibuk

lembaganya. Sehingga keputusan yang dikeluarkan

membangun Otoritas Jasa Keuangan, negara lain

pun akan tergantung dari bagaimana tarik ulur

yang sebelumnya telah memisahkan pengawasan

dari kedua belah pihak ini.

banknya dari Bank Sentral, kini mulai mengarah untuk mengembalikan wewenang pengawasan bank kepada

Selain itu pula, dengan adanya tarik ulur dalam

bank sentralnya. Inggris sebagai pelopor berdirinya

argumentasi terkait keputusan di dalam Otoritas

lembaga sejenis Otoritas Jasa Keuangan, bahkan telah

Jasa Keuangan ini pula, maka dikhawatirkan

mengembalikan peran FSA ke dalam BoE. Selain itu,

pengambilan keputusan di Otoritas Jasa Keuangan

Jerman pun, dicanangkan tengah serius menggodok

akan “mandek” sehingga berakibat pada inefisiensi

rencana mengembalikan fungsi pengawasan Bafin

kinerja Otoritas Jasa Keuangan yang tentunya

kepada Bundesbank.26

berakibat pada keterlambatan koordinasi dan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal

Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa

pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, khususnya

penggunaan sistem pengawasan perbankan dan

ketika sedang mengalami krisis.

pengelolaan moneter yang terpisah diarasa tidak efisien dalam mewujudkan sistem keuangan yang

Disisi lain, apabila mengacu pada Pasal 4 UU Bank

sehat dan stabil. Misalnya ketika terjadi likuiditas,

Indonesia, dapat diketahui bahwa Bank Indonesia

Bank Sentral akan bergerak kurang cepat karena

adalah lembaga negara yang independen dalam

keterlambatan penyampaian informasi dari lembaga

melaksanakan tugas dan wewenangnya serta

pengawas.27 Bahkan berdasarkan penelitian yang

bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau

dilakukan oleh Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano,

pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut,

dapat diketahui bahwa Negara-negara berkembang

penulis berpendapat bahwa dengan adanya ex-

lebih memilikih sistem pengawasan yang berada di

officio dari Bank Indonesia yang diwakili oleh

bawah Bank Sentral.28

anggota dewan gubernur Bank Indonesia, yang mana kemudian diketahui bahwa ex-officio ini

Memang harus diakui bahwa pembentukan suatu

merupakan anggota dalam struktur keanggotaan

lembaga baru selalu menimbulkan konsekuensi

DK Otoritas Jasa Keuangan, akan menimbulkan

tersendiri, khususnya mengenai Otoritas Jasa Keuangan

konsekuensi juridis berupa setiap keputusan yang

ini sendiri. Meskipun demikian, pembentukan Otoritas

dikeluarkan oleh DK Otoritas Jasa Keuangan, tentu akan mengikat pula terhadap setiap anggota DK Otoritas Jasa Keuangan, termasuk di dalamnya

30

26 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 241.

Bank Indonesia sebagai anggota ex-officio.

27 Loc.Cit.

Dengan demikian, penulis menilai bahwa dengan

28 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, Loc.Cit.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Jasa Keuangan sudah saatnya disambut dengan baik

Sementara menurut penulis, koordinasi yang

dan pola konstruksi pemikiran yang harus dibangun

dilakukan antara Bank Indonesia dan Otoritas

kedepannya adalah pemikiran mengenai upaya yang

Jasa Keuangan dapat mencontoh keberhasilan

harus dilakukan agar dapat mendorong optimalisasi

yang dilakukan oleh FSA dan BoE di Jepang. Hal

pengaturan dan pengawasan perbankan kedepannya.

tersebut dapat dilihat, dimana dengan adanya pengalihan fungsi pengawasan kepada Financial

1. Pembangunan Koordinasi antar Lembaga Terkait

Supervision Agency (FSA), maka Bank of Japan (BoJ) hanya menangani mengenai perumusan dan implementasi dari ketentuan dan kebijakan

Hal pertama yang menjadi kunci keberhasilan

sistem moneter. Namun demikian, BoJ tetap

Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme

memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas

koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Hal

sistem keuangan, dan oleh karenanya maka BoJ

tersebut dikarenakan dalam pelaksanaan tugas

memiliki kewenangan untuk melakukan on-site

Otoritas Jasa Keuangan, potensi benturan antara

examination terhadap bank maupun lembaga

Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lainnya,

keuangan non-bank. Dengan kewenangan

khususnya Bank Indonesia. Oleh karenanya

tersebut, BoJ bisa mendapatkan informasi yang

diperlukan mekanisme koordinasi yang perlu

lengkap terkait kesehatan lembaga keuangan

dibangun dengan baik. Selain itu, untuk mencapai

secara harian, sehingga fungsi lender of last resort

sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan

yang diemban oleh BoJ dapat dijalankan dengan

krisis, sharing information antar otoritas sangat

baik. Selain itu, koordinasi yang dibangun juga

diperlukan baik dalam kondisisi normal maupun

berupa adanya kewenangan dari BoJ untuk

kondisi krisis.

memanggil pihak FSA untuk memberikan laporan ketika diperlukan, begitupun sebaliknya.29

Pihak BAPEPAM – LK mengungkapkan bahwa koordinasi tersebut akan dibangun dengan

Selain itu, koordinasi yang dilakukan oleh APRA

membangun mekanisme komunikasi secara rutin

dengan RBA di Australia pun dapat dijadikan

antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia,

contoh, hal ini dapat dilihat dimana ketika fungsi

Lembaga Penjamin Simpanan dan Kementerian

pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan

Keuangan, dengan demikian diharapkan akan

kepada APRA, RBA kemudian memiliki fokus

terbangun sarana pertukaran informasi yang

dalam menentukan kebijakan moneter, menjaga

terintegrasi sehingga Otoritas Jasa Keuangan dan

stabilitas sistem keuangan dan menjaga kelancaran

Bank Indonesia dapat berbagi seluruh informasi

sistem pembayaran. Khusus mengenai stabilitas

tentang perbankan dengan menjaga kerahasiaan

sistem keuangan dan kelancaran sistem

secara optimal. Dengan demikian, pertukaran

pembayaran, RBA selaku Bank Sentral kemudian

informasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan

membentuk 2 (dua) Department baru yang mana

Bank Indonesia ketika menangani bank yang

secara struktural berada di bawah Bank Sentral,

mengalami kesulitan likuiditas dapat dilakukan

yakni a) Financial Stability Department yang

dengan baik. Hal ini dapat diwujudkan secara

bertugas untuk melakukan analisis sistem

bertahap, dimana pada awalnya akan dibentuk

keuangan di Australia dan sistem keuangan secara

berbagai macam MoU antara Otoritas Jasa

global; dan b) Payment Policy Department yang

Keuangan dengan lembaga-lembaga terkait, baik yang bersifat Nasional maupun yang bersifat Internasional. 29 The Group of Thirty, Op.Cit., hal. 150.

31

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

bertugas untuk menangani sistem kliring,

sejumlah penyesuaian di dalam Bank Indonesia,

menganalisa sistem pembayaran dan mendukung

khususnya terkait upaya meningkatkan kinerja

kerangka/mekanisme sistem pembayaran.

dalam kebijakan moneter dan kelancaran

Sementara kordinasi dengan APRA dibangun

sistem pembayaran; dan

dengan membentuk The RBA/APRA Coordination

c) Menjaga Kualitas SDM, artinya bahwa Otoritas

Committee, dimana dalam satu tahun terdapat

Jasa Keuangan merupakan lembaga yang

jadwal rutin pertemuan formal antara RBA dan

dibentuk untuk mewujudkan suatu mekanisme

APRA sebanyak tiga sampai empat kali pertemuan

yang lebih profesional dan kredibel. Oleh

untuk membahas perkembangan sistem keuangan

karenanya, pola rekrutmennya terhadap

dan perbankan di Australia. Selain itu, RBA dan

pegawai perlu dijaga secara baik. Salah satunya

APRA dapat pula melakukan pertemuan-

adalah dengan menerapkan competency-based

pertemuan informal manakala kedua lembaga

recruitment system yang terbuka dan dilakukan

tersebut merasa membutuhkan pertukaran

oleh pihak yang independen.

informasi.30 Selain ketiga hal diatas, permasalahan kompetensi 2. Alokasi Sumber Daya Manusia

dan kecukupan jumlah SDM juga merupakan salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam

Salah satu aspek terpenting agar kinerja

rangka optimalisasi kinerja Otoritas Jasa Keuangan.

pengaturan dan pengawasan perbankan adalah

Hal ini dikarenakan dalam melakukan pengawasan

dengan meningkatkan manajemen sumber daya

perbankan, diperlukan jumlah pengawas yang

manusia (SDM) yang dimiliki oleh Otoritas Jasa

cukup dan memiliki kompetensi yang baik.

Keuangan, baik terhadap kepemimpinan DK, maupun terhadap setiap pegawai, khususnya

Permasalahannya adalah apabila semua pengawas

yang berugas sebagai pengawas. Sehubungan

Bank Indonesia ditarik menjadi pegawai Otoritas

dengan hal itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal

Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan pengawasan

yang perlu diperhatikan agar kinerja pengaturan

yang dilakukanpun tidak akan berbeda dengan

dan pengawasan perbankan dapat lebih

yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia.

dioptimalkan, yakni:

Padahal alasan didirikannya Otoritas Jasa

a) Kepemimpinan, artinya bahwa apabila terdapat

Keuangan adalah adanya ketidakpercayaan

pemimpinan yang memiliki karakter yang kuat

terhadap kemampuan pengawas Bank Indonesia

dan independen, maka kinerja Otoritas Jasa

dalam melakukan pengawasan bank. Sehingga

Keuangan akan dapat terjaga dengan baik;

apabila kemudian pengawas Otoritas Jasa

b) Pembenahan Organisasi. Dalam hal ini,

Keuangan yang bertugas melakukan pengawasan

pembenahan tidak hanya dilakukan terhadap

bank, hanya merupakan pegawai yang di eksodus

kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, namun

dari pengawas Bank Indonesia, maka pengawasan

diperlukan juga pembenahan terhadap

yang dilakukan pun tidak akan ada bedanya,

kelembagaan Bank Indonesia. Artinya bahwa

sehingga bentuk alokasi SDM seperti ini hanya

dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan,

akan menghasilkan pemborosan yang sia-sia.31

maka struktur di dalam Bank Indonesia tentu akan berubah, oleh karenanya diperlukan

30 K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta, hal. 11.

32

31 Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta, hal. 7.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Oleh karenanya penulis berpendapat, diperlukan

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kinerja

suatu pembaharuan atau revitalisasi mekanisme

Otoritas Jasa Keuangan untuk menciptakan GCG

atau standarisasi terhadap metode pengawasan

dalam rangka memperkuat kondisi internal

yang dilakukan oleh pengawas. Dengan demikan

perbankan nasional, mutlak diperlukan agar

maka celah-celah yang selama ini dianggap tidak

Perbankan Nasional dapat melihat bahwa GCG

berhasil diatasi oleh pegawai Bank Indonesia, akan

bukan hanya sekedar aksesori belaka, tetapi

dapat diatasi oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan.

merupakan suatu sistem nilai dan praktek yang sangat fundamental agar berbagai kasus yang

3. Peningkatan Good Corporate Governance

menimpa dunia perbankan tidak terulang kembali di kemudian hari.

Bismar Nasution mengungkapkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi industri

4. Penyesuaian Sistem Perbankan

keuangan, khususnya perbankan saat ini, sebenarnya bukanlah dikarenakan telah

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa

menyatunya berbagai produk lintas sektoral,

terdapat dua sistem perbankan yang berlaku di

namun lebih terkait lemahnya penerapan Good

dunia, yaitu commercial banking system dan

Corporate Governance (GCG), dan permasalahan

universal banking system. Di dalam commercial

GCG tidak akan selesai hanya dengan beralihnya

banking system, terdapat aturan yang melarang

kewenangan pengawasan.32

bank melakukan kegiatan non-bank seperti asuransi. Sementara universal banking system,

Hal tersebut dapat dilihat dimana kasus BLBI

membolehkan bank melakukan kegiatan usaha

maupun kasus Bank Century, sebenarnya berasal

non-bank seperti investasi dan asuransi.

dari permasalahan internal dari bank-bank itu sendiri. Salah satunya adalah dikarenakan bank-

Layaknya negara-negara berkembang pada

bank tersebut tidak melaksanakan GCG di dalam

umumnya, saat ini apabila berdasarkan Pasal 10

manajemen bank itu sendiri dengan baik, sehingga

jo. Pasal 14 UU Perbankan, dapat dilihat bahwa

terpaksa Bank Indonesia harus menanggulangi

bentuk sistem perbankan yang berlaku di

penyelesaian permasalahan atas krisis insolvensi

Indonesia adalah commercial banking system,

yang menimpa bank-bank bermasalah tersebut

dimana kegiatan usaha perbankan masih harus

agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih

terpisah dengan kegiatan usaha non-bank lainnya.

besar terhadap perekonomian nasional apabila

Oleh karenanya, struktur pengawasan yang

krisis tersebut tidak segera ditangani.

dilakukanpun pada umumnya berupa institutional approach ataupun functional aproach, dimana

Saat ini, seperti kata Halim Alamsyah, upaya untuk

contohnya adalah seperti yang selama ini

memperkuat GCG pada bank-bank, mutlak

diterapkan di Indonesia, yakni dengan BI untuk

diperlukan. Hal tersebut ditujukan agar kepentingan

pengawasan perbankan dan BAPEPAM-LK untuk

nasabah dan industri perbankan dapat terlindungi,

pengawasan non-perbankan.

karena tanpa GCG maka industri perbankan tidak dapat berkembang secara cepat dan sehat.33

Namun seiring dengan globalisasi yang terjadi di sektor jasa keuangan, maka perkembangan produk-produk jasa keuangan pun semakin

32 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 219. 33 Halim Alamsyah dalam Donald Banjarnahor, 2011, “Perkuat GCG, BI akan Sempurnakan Aturan”.

berkembang, sehingga menyebabkan terjadinya konvergensi produk lintas sektoral. Konvergensi ini menyebabkan timbulnya permasalahan terkait

33

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

pengaturan dan pengawasan, karena produk-

diharapkan pelaksanaan kinerja Otoritas Jasa Keuangan

produk yang dihasilkan sudah sedemikian

dapat berjalan dengan baik dikemudian hari:

menyatunya sehingga sulit menentukan regulasi yang tepat, apakah Bank Indonesia selaku otoritas

1. Meskipun berdasarkan Pasal 7 UU Otoritas Jasa

perbankan, ataukah BAPEPAM-LK selaku otoritas

Keuangan dikatakan bahwa pengawasan

pasar keuangan. Sehingga mau tidak mau harus

microprudential sepenuhnya telah beralih dari

diakui bahwa meskipun Indonesia menganut

Bank Indonesia menjadi kewenangan Otoritas

commercial banking system, namun dengan

Jasa Keuangan, namun penulis berpendapat

seiring perkembangan bisnis di dalam industri

bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem

keuangan, maka penulis menilai bahwa secara

keuangan dan agar dapat menjalankan fungsi

perlahan Indonesia telah memasuki era universal

lender of last resort tepat pada waktunya, maka

banking system.

penulis berpendapat bahwa seperti halnya BoJ, Bank Indonesia selayaknya memiliki kewenangan

Kemudian dengan pembentukan Otoritas Jasa

untuk melakukan daily on-site examination, yang

Keuangan, khususnya terkait pengaturan di dalam

mana ketentuan tersebut harus dituangkan

Pasal 5 UU Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat

kedalam MoU antara Otoritas Jasa Keuangan,

bahwa struktur pengawasan yang dianut oleh

dengan demikian potensi terhambatnya pertukaran

Indonesia telah berubah menjadi integerated

informasi akan lebih diminimalisir.

approach, padahal sistem pengawasan tersebut pada umumnya hanya diterapkan di negara-

2. Pungutan yang akan dikenakan Otoritas Jasa

negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang,

Keuangan merupakan hal yang sangat krusial,

yang mana hal tersebut dikarenakan negara-

oleh karenanya harus secepatnya diatur lebih

negara tersebut secara konstitusionil memang

lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan,

menganut universal baniking system. Oleh

khususnya terkait besaran nominal yang harus

karenanya, agar pengaturan dan pengawasan

dikeluarkan oleh para pelaku sektor jasa keuangan.

perbankan kedepannya dapat dijalankan dengan

Penulis sendiri berpendapat bahwa agar pungutan

lebih optimal, harus diadakan suatu pembaharuan

ini nantinya tidak membebani industri perbankan,

sistem perbankan, yang mana pembaharuan

maka sebaiknya sumber pungutan ini merupakan

tersebut secara konstitusionil harus dinyatakan

dana yang dibagi dua dengan premi yang harus

secara tegas bahwa industri perbankan dapat

dikeluarkan kepada LPS.

melakukan usaha diluar perbankan, atau universal banking system. Hal ini haruslah dilakukan, agar

3. Masih mengenai pungutan tersebut, di dalam

dapat memberikan peluang investasi yang lebih

pasal 37 ayat (5) UU Otoritas Jasa Keuangan,

besar kepada para pelaku sektor jasa keuangan,

dikatakan bahwa “apabila pungutan yang

sekaligus memberikan kepastian hukum terkait

diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan

perlindungan kepada para nasabah/konsumen

Otoritas Jasa Keuangan untuk tahun anggaran

sektor jasa keuangan apabila dikemudian hari

berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan kepada

terjadi kasus seperti Antaboga Sekuritas dan Bank

kas negara”. Ketentuan di dalam pasal ini

Century.

menimbulkan suatu pertanyaan tersendiri, yang mana membuat Otoritas Jasa Keuangan seakan-

D. Penutup

akan menjelma sebagai suatu BUMN sehingga pungutan yang diterima apabila “berlebih” akan

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis kemudian

menjadi pemasukan bagi negara. Penulis

memberikan beberapa saran dan pendapat, sehingga

berpendapat bahwa, ketentuan pasal ini kurang

34

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tepat, karena selama ini ketentuan biaya yang

memenuhi kebutuhan Otoritas Jasa Keuangan

harus dikeluarkan oleh bank, baik GWM di Bank

pada saat pungutan dari pihak yang melakukan

Indonesia maupun premi kepada Lembaga

kegiatan sektor jasa keuangan di industri

Penjamin Simpanan, merupakan pengeluaran

keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan

yang sifatnya untuk menjaga likuiditas bank

operasional…..”. Pasal ini dirasa penulis

sehingga hak-hak nasabah dapat terlindungi,

bertentangan dengan Penjelasan Pasal 37 ayat

artinya dana yang dikeluarkan oleh bank pun

(1) yang menyatakan bahwa “…..Pungutan

pada saat diperlukan akan berfungsi untuk

digunakan untuk membiayai anggaran Otoritas

menolong bank tersebut pula. Sehingga apabila

Jasa Keuangan yang tidak dibiayai APBN..”. Kedua

terdapat kelebihan pembiayaan di dalam GWM

penjelasan pasal tersebut bertentangan, karena

dan Premi, tentu akan memberikan keuntungan

di dalam penjelasan pasal 34 ayat (2), dapat

kepada industri perbankan. Sementara di dalam

disimpulkan bahwa sumber pendanaan utama

Pasal 37 ayat (5) ini, mengharuskan kelebihan

Otoritas Jasa Keuangan adalah pungutan,

pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa

sehingga APBN hanya digunakan ketika pungutan

Keuangan haruslah disetor ke negara, maka

tersebut belumlah cukup membiayai operasional

penulis merasa hal tersebut tentulah tidak

Otoritas Jasa Keuangan. Sementara di dalam

memberikan manfaat apa-apa, khususnya kepada

penjelasan pasal 37 ayat (1), dapat disimpulkan

pihak perbankan. Selain itu, ketentuan mengenai

bahwa sumber pendanaan Otoritas Jasa Keuangan

pungutan, pada dasarnya ditujukan agar Otoritas

adalah APBN, sehingga pungutan hanya dikenakan

Jasa Keuangan mendapatkan financial

ketika pendanaan dari APBN belumlah cukup

independence sehingga tidak tergantung pada

membiayai operasional Otoritas Jasa Keuangan.

APBN. Apabila terdapat kelebihan dana yang

Dari pengaturan kedua pasal ini, penulis menilai

kemudian harus diserahkan kepada negara,

bahwa kedua pasal ini menimbulkan multitafsir

dikhawatirkan financial independence ini akan

dan ambiguitas sehingga penilaian tiap orang

sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, penulis

akan berbeda-beda, padahal seperti yang telah

berpendapat ketentuan di dalam pasal 37 ayat

dijelaskan sebelumnya, suatu peraturan

(5) harus diatur lebih lanjut, atau dilakukan judicial

perundang-undangan yang baik haruslah tidak

review.

menimbulkan multitafsir. Oleh karenanya, ketentuan terkait kedua pasal ini perlu diatur

4. Berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun

lebih lanjut atau dilakukan judicial review.

2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, ditentukan bahwa suatu peraturan

5. Sehubungan dengan pembentukan suatu otoritas

perundang-undangan yang dibuat haruslah

jasa keuangan yang ditujukan untuk mengatur

memberikan suatu kejelasan tujuan, sehingga

dan mengawasi sektor jasa keuangan secara

tidaklah boleh menimbulkan suatu ambiguitas

terintegerasi, maka tentu diperlukan pula suatu

ataupun multitafsir. Namun, ternyata di dalam

mekanisme yang mengatur mengenai penanganan

UU Otoritas Jasa Keuangan, masih terdapat

pada saaat negara menghadapi krisis keuangan,

beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir,

yakni dengan mekanisme Jaring Pengaman Sistem

yang mana dirasa penulis bertentangan antara

Keuangan (JPSK). JPSK maupun Otoritas Jasa

yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat

Keuangan merupakan dua hal yang sama-sama

dilihat didalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU

penting, tanpa adanya pengaturan lebih jelas

Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa

mengenai JPSK yang dituangkan dalam suatu

“….pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan yang

peraturan perundang-undangan, maka penulis

bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk

khawatir Indonesia akan kurang tanggap dalam

35

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

memitigasi gejolak krisis yang suatu saat akan terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya, pengaturan mengenai JPSK harus segera dibentuk. 6. Dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang dimiliki oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka tentu Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dibentuk sebagai acuan Bank Indonesia dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri perbankan, tentu menjadi tidak relevan lagi hal tersebut dikarenakan keenam pilar API telah menjadi tugas dan kewenangan dari Otoritas Jasa Keuangan, oleh karenanya perlu restrukturisasi lebih lanjut mengenai API, apabila API masih diberlakukan oleh Bank Indonesia, maka tentu pilar-pilar di dalamnya harus dirubah dan disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan. Sementara apabila API kemudian dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka tentu API harus direstrukturisasi ulang dikarenakan Otoritas Jasa Keuangan tidak hanya berfungsi untuk membangun dan menjaga industri perbankan, melainkan mencakup seluruh industri di sektor jasa keuangan.

36

DAFTAR PUSTAKA

Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta. Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Donato Masciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco. Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland. K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta. Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute. Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta. Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands. Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta. Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”, Jakarta. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009 UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

37

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing

38

KAJIAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN LIKUIDASI BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN Oleh : Alex Kurniawan S.H., M.H.

Abstrak Akibat tekanan krisis pada tahun 1997, 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL). Selain likuidasi 16 Bank pada tahun 1997 juga terdapat pencabutan ijin usaha bank yang terjadi pada tahun 2004 dan tahun 2005. Dalam prakteknya pelaksanaan likuidsi untuk 16 BDL menghadapi beberapa kendala, khususnya pada saat likuidasi telah melampaui batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Menghadapi kendala tersebut Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan seluruh sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah. Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam Likudasi menghadapi berbagai permasalahan hukum, akibatnya untuk penyelesaian 4 bank dalam likuidasi yang dicabut izin usahanya pada periode tahun 2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap (“enggan”) untuk menerima penyerahan aset ke-4 BDL tersebut padahal ke 4 BDL tersebut mempunyai permasalahan yang hampir sama. Kata Kunci : Likuidasi, BLBI, Perbankan, Bank Dalam Likuidasi

A. PENDAHULUAN

Dollar terus memburuk. Permasalahan itu berdampak kepada perekonomian Indonesia. Hal tersebut diawali

Sebelum tahun 1997 pertumbuhan ekonomi nasional

dengan merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap mata

meningkat secara pesat. Kurs Rupiah cenderung stabil,

uang Amerika Serikat. Gejolak kurs itu membuat

investasi asing terus meningkat. Swasta diberi

sejumlah bank mengalami kerugian, terutama bank

kesempatan meminjam kepada kreditur asing.

yang mempunyai pinjaman dalam mata uang asing

Stabilnya nilai rupiah itu membuat para peminjam

dan tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta

merasa tak perlu untuk melindungi nilainya terhadap

asingnya. Akumulasi kerugian bank akibat gejolak

mata uang asing. Tidak ada perlindungan terhadap

kurs, ditambah dengan memburuknya arus kas (cash-

rupiah itu belakangan menimbulkan masalah besar

flow) menyebabkan kesulitan likuiditas.1

pada saat Indonesia dihantam krisis moneter. Permasalahan ekonomi dunia diawali pada Juli 1997, pada saat itu mata uang sejumlah negara asia, yaitu Korea Selatan, Thailand, Malaysia merosot drastis, nilai tukarnya terhadap mata uang asing terutama

1

Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).

39

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Akibat semakin banyak bank mengalami saldo debet

4. Seluruh biaya yang berkaitan dengan penutupan

yang bersifat sistemik, Bank Indonesia menganggap,

bank dan rehabilitasi bank Pemerintah menjadi

kewenangan yang dimilikinya sebagai lender of the

beban Pemerintah melalui APBN. Caranya dengan

last resort, sesuai Pasal 32 Ayat (3) Undang-undang

menerbitkan surat utang (bond) yang dijamin

Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, tak

Pemerintah.

cukup untuk mengatasi likuiditas. Bank Indonesia lalu membawa permasalahan ini kepada Pemerintah.

Dalam rangka menindaklanjuti LoI IMF tanggal 31 Oktober 1997 juga, pada 1 November 1997

Pemerintah mengambil jalan menutup bank yang

Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Keuangan,

tidak dapat diselamatkan lagi. Namun untuk

mencabut izin usaha 16 Bank, sehingga berstatus

mencegah merosotnya kepercayaan masyarakat

Bank Dalam Likuidasi. Pengurus bank diperintahkan

terhadap perbankan nasional, simpanan nasabah di

mengadakan RUPS Luar Biasa guna membubarkan

bank yang ditutup diberikan bantuan likuditas melalui

badan hukum bank. Tim Likuidasi masing-masing

Bank

Indonesia.2

bank dibentuk, yang pembentukannya diatur dalam Surat Menteri Keuangan RI Nomor Peng-86/MK/1997

Namun mengingat tekanan krisis semakin berat dan

tentang pencabutan izin usaha bank umum.

kepercayaan terhadap perekonomian nasional semakin merosot, akhirnya Pemerintah mengundang IMF untuk

Sebagai tindak lanjut LoI IMF tersebut selain 16 bank

memberikan bantuan teknis dan pinjaman.

dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL)3, juga 4 bank dinyatakan sebagai Bank Take Over (BTO), 10

Pada tanggal 31 Oktober 1997 letter of intent (LoI)

bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan 39 bank

Indonesia-IMF ditandatangani. Letter of Intent berisi

sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Selain

sejumlah langkah yang akan dilakukan Pemerintah

itu, dalam upaya pemulihan perbankan, Pemerintah

Indonesia untuk menyehatkan perekonomian. LoI

melakukan penguatan modal (rekapitalisasi) terhadap

Oktober 1997 itu antara lain berisi sebagai berikut:

10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 9 bank

1. Restrukturisasi yang dilakukan secara

umum.

komprehensif merupakan kunci keberhasilan; 2. Bank-bank insolvent yang tidak sanggup

Sementara likuidasi 16 Bank yang dicabut ijin usahanya

membayar kewajibannya yang tak mungkin

pada tahun 1997 belum selesai, Bank Indonesia

diselamatkan, ditutup. Bank-bank lemah namun

mencabut lagi ijin usaha bank pada tahun 2004 yaitu

masih bisa diselamatkan diharuskan menyusun

PT. Bank Dagang Bali dan PT. Bank Asiatic yang dicabut

dan melaksanakan rencana rehabilitasinya.

ijin usahanya secara bersamaan oleh Bank Indonesia

3. Program restrukturisasi terdiri dari empat bagian.

yaitu pada tanggal 8 April 2004. Di samping itu

Pelaksanaannya dibantu IMF, Bank Dunia dan

terdapat 2 bank yang sebelumnya merupakan bank

Bank Pembangunan Asia. Due dillingence

BBKU yaitu PT. Bank Ratu dan PT. Bank Prasidha yang

terhadap bank dilakukan untuk mengetahui

tidak dapat diselesaikan oleh BPPN karena terdapat

derajat kesehatannya. Bank sehat tetap di bawah

gugatan dari pemegang sahamnya, sehingga baru

Bank Indonesia, sedangkan yang tidak sehat disembuhkan di BPPN. 3

2

Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).

40

Ke-16 Bank Dalam Likuidasi yang dilikuidasi pada 1 November 1997 itu adalah Bank Pinaesaan, Bank Industri, Anrico Bank, Astria Raya Bank, Bank Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna Internasional, Sejahtera Bank Umum, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Jakarta, Bank Kosagraha Semesta, Bank Mataram Dhanaarta, South East Asia Bank, Bank Pacific, Bank Dwipa Semesta, dan Bank Citrahasta Dhanamanunggal.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dilakukan pencabutan izin usaha dan dilakukan proses

a. Harus segera diambil langkah penyelesaian agar

likuidasi pada tahun 2004. Selanjutnya terdapat bank

biaya operasional tidak bertambah.

yang dicabut izin usahanya pada tanggal 13 Januari

b. Kreditur dalam hal ini yang terbesar adalah

2005 yaitu PT. Bank Global Internasional Tbk. Penyebab

Pemerintah karena telah membayarkan dana

bank-bank tersebut dicabut ijin usahanya berbeda

penjaminan, berhak memperoleh pembayaran

dengan pencabutan ijin usaha 16 bank pada tahun

secara maksimal.

1997. Penyebab bank tersebut dicabut ijin usahanya bukan akibat krisis tetapi karena kondisi kesehatan

Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas,

bank yang memburuk dan terjadinya fraud yang

Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam

dilakukan oleh pemegang saham bank.

Likuidasi menghadapi berbagai permasalahan, yaitu: a. Berbagai permasalahan hukum yang melekat pada

Dalam prakteknya pelaksanaan likuidasi untuk 16

aset.

Bank Dalam Likuidasi menghadapi baberapa kendala,

b. Dokumen yang tidak sempurna.

yaitu antara lain:

c. Permasalahan penetapan harga jual aset dan nilai

1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama 5

tagih piutang.

tahun dan 180 hari telah terlewati, namun Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan pertanggung-

Akibatnya untuk penyelesaian 4 bank5 dalam likuidasi

jawaban kepada RUPS karena masih adanya aset

yang dicabut izin usahanya pada periode tahun

dan kewajiban BDL yang belum dapat diselesaikan.

2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap

2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan

(“enggan”) untuk menerima penyerahan aset ke-4

untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa

BDL tersebut padahal ke 4 bank dalam likudasi tersebut

likuidasi dan masa lelang

mempunyai permasalahan yang hampir sama.

3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang masih

B. IDENTIFIKASI MASALAH

tersisa apabila batas waktu likuidasi berakhir. 4. Pertanggungjawaban likuidasi yang diajukan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas

kepada pemegang saham, apabila pertanggung-

dan untuk memfokuskan pembahasan pada topik

jawaban tersebut ditolak oleh pemegang saham

“Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi

maka likuidasi menjadi tidak selesai.

Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang

Selanjutnya dalam menghadapi kendala tersebut Bank

Lembaga Penjamin Simpanan”, maka perlu

Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian

dirumuskan mengenai pokok permasalahan yang

likuidasi 14

BDL4

dengan cara penyerahan seluruh

akan dibahas sebagai berikut:

sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada

1. Bagaimanakah kekuatan hukum penyelesaian

Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai

likudasi bank dengan cara penyerahan aset bank

pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada

dalam likuidasi kepada Pemerintah sebagai kreditur

Pemerintah. Adapun pertimbangan digunakannya

mayoritas?

penyelesaian dengan cara tersebut adalah:

2. Bagaimanakah kekuatan hukum Tim Likuidasi dalam penyelesaian likuidasi tersebut?

4

Dari 16 BDL terdapat 2 BDL yaitu PT. Bank Andromeda (DL) telah selesai likuidasinya karena telah menyelesaikan kewajiban dana talangan Pemerintah dan PT. Bank Umum Majapahit (DL) yang sudah menyelesaikan likuidasi karena sudah tidak mempunyai aset yang dapat dicairkan.

5

Dari Bank yang dilkuidasi pada tahun 2004/2005 terdapat 1 bank yang telah menyelesaikan proses likudasinya yaitu Pt. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi)

41

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3. Alternatif penyelesaian likuidasi bank selain dengan

dipersamakan dengan itu, berdasarkan

cara penyerahan aset bank dalam likuidasi kepada

persetujuan atau kesepakatan pinjam

Pemerintah sebagai kreditur mayoritas?

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

C. PEMBAHASAN

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

1. Analisa Hukum Terhadap Penyelesaian Likuidasi 16 Bank Yang Dicabut Izin Usahanya

Dalam UU Perbankan istilah kredit memiliki

Pada Tahun 1997

arti khusus yaitu meminjamkan uang dengan menunjuk perjanjian pinjam meminjam sebagai

Penyelesaian likuidasi 16 Bank Dalam Likuidasi

acuan dari perjanjian kredit.6 Perjanjian pinjam

adalah dengan cara menyerahkan sisa aset

meminjam dalam KUH Perdata diatur dalam

Bank Dalam Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada

Pasal 1754, yaitu:

Pemerintah selaku kreditur mayoritas, sebelum

“Pinjam meminjam adalah persetujuan dengan

RUPS mengenai pertanggungjawaban akhir Tim

mana pihak yang satu memberikan kepada

Likuidasi. Dengan berbagai ragam permasalahan

pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-

hukum yang terjadi dalam penyelesaian Bank

barang yang menghabis karena pemakaian

Dalam Likuidasi, dan dengan memperhatikan

dengan syarat bahwa pihak yang belakangan

bahwa hukum positif tidak mengatur permasalahan

ini akan mengembalikan sejumlah yang sama

yang ada, penyelesaian likuidasi dengan cara

dari macam dan keadaan yang sama pula”.

demikian merupakan solusi hukum yang dapat diterapkan untuk menambah penerimaan negara

Dalam pemberian kredit bank akan mengikat

sebagai pengembalian dana penjaminan yang

debitur dengan perjanjian kredit. Perjanjian

telah diberikan.

kredit adalah perjanjian pokok, dengan perjanjian jaminan merupakan acessor-nya.

Alternatif penyelesaian likuidasi bank ini terdapat

Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan

beberapa nilai positifnya walaupun terdapat

bergantung pada perjanjian pokok. Dalam

beberapa kendala atau kelemahan dalam

perjanjian kredit apabila debitor menerima

pelaksanaanya.

semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank maka ia berkewajiban

a. Penyelesaian aset kredit

untuk menandatangani perjanjian tersebut.

Ditinjau dari hukum perdata kedudukan Pemerintah atas aset yang diserahkan oleh

Seperti telah diuraikan di atas bahwa kredit

Tim Likuidasi dapat dilihat berdasarkan jenis

merupakan piutang atas nama, maka apabila

aset yang berikan yaitu: Untuk jenis aset berupa

jenis piutang ini akan dialihkan kepada pihak

aset kredit secara perdata merupakan piutang

lain maka menurut Pasal 613 KUHPerdata yang

bank kepada nasabah debiturnya, piutang ini

mengatur tentang cessie menyebutkan bahwa

merupakan piutang atas nama.

“penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

dengan jalan membuat sebuah akta otentik

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang

42

6

Ibid.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

atau di bawah tangan, dengan mana hak-

perlekatan, karena daluwarsa, karena

hak atas kebendan itu dilimpahkan kepada

pewarisan, baik menurut undang-undang

orang lain”

maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas

Tagihan tertentu disebut sebagai tagihan atas

suatu peristiwa perdata untuk memindahkan

nama berdasarkan ciri, krediturnya tertentu

hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak

dan diketahui dengan baik oleh

debitur.7

berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.

Tagihan kepada order adalah tagihan-tagihan yang menunjuk orang tertentu kepada siapa

Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka

tagihan harus dilunasi, tetapi disertai dengan

unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan

hak untuk memindahkannya kepada orang

Pasal 584 KUHPerdata adalah:9

lain melalui endosemen, sedangkan tagihan

1. Adanya penyerahan;

atas tunjuk (aan toonder) adalah tagihan-

2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;

tagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi

3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak

untuk memnudahkan pengalihannya) tidak

milik;

tertentu.8

4. Dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dengan benda itu.

Karena dalam Pasal 613 KUHPerdata objek penyerahan yang diatur adalah tagihan atas

Tindakan menyerahkan tidak pernah berdiri

nama dan benda benda tak bertubuh lainnya,

sendiri, tindakan tersebut selalu merupakan

maka pasal tersebut sebenarnya mau

buntut dari suatu peristiwa perdata/rechtitel.

memberikan petunjuk bagaimana kepemilikan

Peristiwa perdata/rechtitel adalah dasar dari

suatu tagihan atas nama dan benda tak

tindakan menyerahkan yang bisa timbul dari

bertubuh lainnya bisa beralih dari pemilik yang

undang-undang, seperti kewajiban mengganti

satu (pemilik asal/ceden) kepada pemilik yang

rugi atas dasar tindakan melawan hukum (Pasal

baru (cessionaris).

1365 BW) atau kewajiban pengembalian atas dasar adanya pembayaran yang tidak terutang

Jadi apabila cessie itu dilakukan oleh Tim

(Pasal 1359 BW dan 1360 BW). Kewajiban

Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

penyerahan juga bisa timbul berdasarkan

613 KUHPerdata, maka terjadi peralihan hak

perjanjian yaitu pada perjanjian obligatoir.10

atas piutang tersebut dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah. Jadi Pemerintahlah yang menjadi

Dalam cessie, karena cessie merupakan

pemilik piutang itu.

perjanjian, maka sesuai dengan ciri perjanjian terhadap penyerahan oleh cedent harus ada

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal

penerimaan oleh cessionaris. Dengan adanya

584 KUHPerdata yaitu “Hak milik atas sesuatu

penyerahan dan penerimaan, maka cessie

kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara

telah terlaksana dengan baik.

lain, melainkan dengan pemilikan, karena

7

Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959).

9

Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).

8

Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).

10 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti).

43

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Berdasarkan Pasal 584 BW, pada dasarnya

Ketika bank masih beroperasi aset kredit

yang melalui suatu penyerahan bisa menjadikan

merupakan aset milik bank, pada saat bank

orang lain sebagai pemilik benda yang

tersebut dilikuidasi maka aset tersebut menjadi

diserahkan adalah mereka yang mempunyai

aset Bank Dalam Likuidasi. Begitupun dengan

kewenangan tindakan pemilikan, yang pada

kepengurusannya. Pasal 10 Peraturan

umumnya adalah sipemilik benda atau

Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 diatas

kuasanya.

mengatur Tim Likuidasi merupakan pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi. Mengacu

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

pada ketentuan likudasi tersebut maka Tim

hak milik atas suatu tagihan nama, berdasarkan

Likuidasi merupakan pihak yang berhak dan

penyerahan, beralih kepada cessionaris, jika

berwenang untuk menyerahkan aset kredit

penyerahan

itu:11

tersebut kepada Pemerintah.

1. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata (rechetitel)

Selanjutnya untuk kepentingan penagihan

2. Dituangkan dalam suatu akta;

piutang itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal

3. Diserahkan oleh pemilik benda yang

613 ayat (2) KUH Perdata yaitu:

bersangkutan.

“Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan

Apabila ketentuan tersebut dikaitkan dengan

itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis

tindakan Tim Likuidasi menyerahkan aset kredit

disetujui dan diakuinya”.

kepada Pemerintah, perlu dilihat apakah Tim Likuidasi merupakan pihak yang berhak atau

Jadi penyerahan piutang dari Bank Dalam

pihak yang secara hukum dapat dianggap

Likuidasi yang dalam hal ini dilakukan oleh Tim

sebagai pemilik pituang.

Likuidasi kepada Pemerintah cq Kementerian Keuangan baru mengikat debitur setelah terjadi

Terkait dengan hal tersebut ketentuan likudasi

pengalihan itu diberitahukan kepada debitur

(Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1995

sesuai Pasal 613 (KUHPerdata).

tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank) mengatur sebagai berikut:

b. Penyelesaian Aset Properti

Pasal 10

Aset properti yang diserahkan terdiri dari 2

(1) Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh

macam:

Tim Likuidasi. (2) Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,

a. Barang Jaminan Yang Diambil Alih (BJDA) b. Aset tetap milik pemegang saham bank,

tanggung jawab dan kepengurusan bank

baik yang diserahkan oleh pemegang

dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.

saham maupun yang disita Tim Likuidasi

(3) Dalam melaksanakan tugasnya Tim

dari pemegang saham.

Likuidasi berwenang mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan

Tindak lanjut atas serah terima aset tetap/BJDA

dalam penyelesaian hak dan kewajiban

dilakukan pembuatan Akta Kuasa Jual.

bank tersebut.

Selanjutnya atas aset tetap/Barang Jaminan Yang Diambil Alih pencairannya dilakukan melalui mekanisme penjualan lelang. Hasil

11 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010).

44

bersih lelang tersebut akan menjadi pengurang kewajiban dari Bank Dalam Likuidasi.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Barang Jaminan Yang Diambil Alih atau dikenal

Jika pendaftaran ini belum dilakukan maka

pula dengan istilah Agunan yang Diambil Alih

peralihan tersebut tidak mengikat bagi pihak

(AYDA) adalah aktiva yang diperoleh Bank,

ketiga.

baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara

c. Penyerahan Aset Pemegang Saham

sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan

Kepada Pemerintah

kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik

Apakah aset milik pemegang saham dapat

agunan dalam hal debitur tidak memenuhi

diserahkan oleh Tim Likuidasi kepada

kewajibannya kepada Bank.

Pemerintah. Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 25

Barang Jaminan Yang Diambil Alih ini

Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,

merupakan aset milik bank sehingga setelah

Pembubaran dan Likuidasi Bank, mengatur

bank dilikuidasi merupakan aset Bank Dalam

sebagai berikut:

Likuidasi, oleh karena itu Tim Likuidasi sebagai

Pasal 24

pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi

(1) Dalam hal harta kekayaan bank dalam

berwenang untuk menyerahkan aset tersebut

likuidasi tidak cukup untuk memenuhi

kepada kreditur dalam hal ini Pemerintah.

seluruh kewajiban bank dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya wajib

Jaminan dalam kredit bank dapat berupa hak

dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota

tanggungan atas tanah, surat-surat berharga

dewan komisaris serta pemegang saham

ataupun fiducia atas barang-barang bergerak.

yang turut serta menjadi penyebab kesulitan

Dengan penyerahan yang dilakukan oleh

keuangan yang dihadapi oleh bank atau

Tim Likuidasi maka BJDA itu beralih kepada

menjadi penyebab kegagalan bank.

Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah berhak

(2) Dalam hal direksi bank yang dicabut izin

untuk mengambil pelunasan yang diambil alih

usahannya tidak bersedia melaksanakan

tersebut. Untuk mengambil alih jaminan itu

tugas dan kewajiban berkaitan dengan

haru diperhatikan ketentuan Pasal 16 Undang-

pencabutan izin usaha bank, atau direksi

undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

dalam keadaan tidak hadir, maka tanpa

Tanggungan yang mengatur bahwa “ (1) Jika

mengurangi tanggung jawab direksi yang

piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan

bersangkutan, untuk kepentingan nasabah

beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan,

penyimpan dana Bank Indonesia

atau sebab sebab lain, Hak Tanggungan

membentuk Tim Pengelola Sementara

tersebut ikut beralih karena hukum kepada

untuk menjalankan fungsi direksi sampai

kreditor yang baru. (2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada

dengan terbentuknya Tim Likuidasi. (3) Direksi yang tidak bersedia melaksanakan

ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang

tugas dan kewajiban berkaitan dengan

baru kepada Kantor Pertanahan.”

pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank, atau yang dengan sengaja

Berdasarkan ketentuan tersebut peralihan

tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam

jaminan dari Bank Dalam Likuidasi kepada

ayat (1), dapat dikategorikan telah

Pemerintah didaftarkan oleh Pemerintah.

melakukan pelanggaran terhadap Peraturan

Demikan pula halnya dengan BJDA yang diikat

Pemerintah ini, dan dapat dikenakan

dengan fiducia. Pemerintah sebagai kreditur

ancaman pidana dan sanksi administratif

baru wajib mendaftarkan peralihan tersebut.

sebagaimana tercantum dalam Pasal 23.

45

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Berdasarkan ketentuan di atas, bukan hanya

Sementara itu teori hukum perusahaan

pemegang saham bahkan pengurus pun

mengajarkan bahwa Perseroan Terbatas harus

apabila menjadi penyebab kesulitan keuangan

dikelola sesuai dengan ketentuan dalam

yang dihadapi oleh bank atau menjadi

anggaran dasar perseroan dan peraturan

penyebab kegagalan bank maka mereka

perundang-undangan yang berlaku. Anggaran

bertanggung jawab untuk membayar

dasar adalah kontrak antara pendiri perseroan

kewajiban bank apabila aset bank dalam

dengan Pemerintah. Terkait erat dengan tujuan

likuidasi tidak mencukupi untuk membayar

perusahaan. Direksi wajib menggunakan

kewajiban bank dalam likuidasi.

kewenangan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tersebut. Direksi memiliki resonable

Mengenai apakah pemegang saham dapat

discretion yang harus dijalankan dengan iktikad

diminta pertanggungjawaban untuk membayar

baik untuk mencapai tujuan perusahaan.

kewajiban bank. Dr. Zulkarnain Sitompul

Kewenangan tersebut tidak dapat diganggu

berpendapat bahwa ada dua pendekatan

kecuali mereka bersalah karena melakukan

hukum yang dapat digunakan. Menggunakan

penipuan (fraud) dan misappropriation.

hukum perusahaan, Perseroan Terbatas (PT)

Jika Direksi melakukan kegiatan tidak sesuai

adalah badan hukum yang memiliki hak dan

dengan tujuan atau kewenangannya maka

tanggung jawab terpisah dengan pemegang

secara hukum direksi telah melakukan ultra

sahamnya. Sebagai badan hukum, Perseroan

vires (di luar kewenangan). Konsekwensinya

Terbatas memiliki utang dan kewajiban lainnya

membayar ganti rugi dan ancaman pidana

atas namanya sendiri. Hal tersebut berarti

serta keterkaitannya dengan keabsahan

bahwa baik utang maupun kewajiban

perjanjian.12

perusahaan bukan merupakan tanggung jawab pemegang saham. Demikian pula sebaliknya

Terkait dengan prinsip piercing the corporate

perseroan tidak bertanggung jawab terhadap

veil ini, M Yahya Harahap, SH berpendapat

utang dan kewajiban para pemegang

bahwa dakam rangka meningkatkan tegaknya

sahamnya. Akan tetapi ketentuan ini dapat

keadilan dan mencegah ketidakwajaran, pada

dikecualikan apabila terdapat kondisi yang

keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip

dalam hukum perusahaan disebut pierce the

keterpisahan perseroan dari pemegang saham

corporate veil. Kondisi tersebut secara teoretis

secara kasuistik perlu disingkirkan dan dihapus

adalah pertama, terjadi penipuan (fraud)

dengan cara menembus tembok atau tabir

atau ketidakadilan (unfairness) bagi pihak

perseroan atas perisai tanggung jawab

ketiga (misalnya kreditur) dalam pengurusan

terbatas.13 Konsekuensi hukum atas

perseroan. Kedua, pemegang saham tidak

penyingkapan tabir atau piercing the corporate

memperlakukan perseroan sebagai badan

veil ini adalah:

yang terpisah akan tetapi menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Ketiga, perseroan kekurangan modal. Keempat, kondisi lainnya yang dapat menciptakan ketidakadilan (fairness) apabila perseroan tetap diakui sebagai badan hukum. Piercing the corporate veil dapat pula dinyatakan telah terjadi apabila diperlukan untuk mencegah terjadinya penipuan atau untuk menciptakan keseimbangan (equity).

46

12 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diambil dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggungjawab-pemilik_pilar.pdf. 13 M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

-

-

Hilang atau hapus perlindungan tanggung-

hukumnya jelas. Pertama, bahwa terbatasnya

jawab terbatas pemegang saham yang

tanggung jawab pemegang saham telah hilang

digariskan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang

sehingga mereka bertanggung jawab secara

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

pribadi. Harta kekayaan milik mereka harus

Terbatas.14

diambil untuk membayar seluruh kewajiban

Dengan sendirinya pemegang saham ikut

bank. Kedua, komisaris, direksi atau pejabat

memikul risiko bersama-sama dengan

eksekutif lainnya yang bukan pemegang

perseroan dari harta pribadi pemegang

saham juga bertanggung jawab secara pribadi

saham yang bersangkutan.

karena tidak mengurus bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harta benda mereka

Menggunakan pendekatan hukum perbankan15

juga dapat diambil untuk membayar kewajiban

yang secara tegas mengatur pemilik bank

bank. Sedangkan ancaman pidana juga perlu

bertanggung jawab penuh atas kewajiban

diterapkan.

bank apabila mereka ikut menyebabkan terjadinya kebangkrutan. Bahkan Undang-

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas,

undang Perbankan mengancam pemegang

maka dalam kasus Bank Dalam Likuidasi yang

saham dengan pidana penjara minimal 7

terkait dengan penggunaan dana Bantuan

tahun ditambah denda paling sedikit 10 milyar,

Likuiditas Bank Indonesia dan dana Penjaminan

apabila pemegang saham menyuruh dewan

Pemerintah dapat dipastikan bahwa terdapat

komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya

beberapa pemegang saham Bank Dalam

untuk melakukan atau tidak melakukan

Likuidasi yang dapat diminta pertanggung-

tindakan yang mengakibatkan bank tidak

jawaban untuk membayar kewajiban Bank

melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan

Dalam Likuidasi kepada Pemerintah.

untuk memastikan ketaatan bank terhadap hukum perbankan. Ancaman pidana yang

d. Kedudukan Pemerintah Sebagai Pihak

sama juga berlaku bagi komisaris, direksi,

Yang Menerima Aset Bank Dalam Likudasi

pegawai bank dan pihak terafiliasi dengan

Pasal 584 KUHPerdata mengatur bahwa “Hak

bank. Faktanya bank yang dicabut ijin usahanya

milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh

banyak yang tidak mentaati rambu-rambu

dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan,

hukum yang telah ditetapkan, misalnya bank

karena perlekatan, karena kadaluarsa, karena

melakukan pelanggaran batas maksimum

pewarisan, baik menurut undang-undang

pemberian kredit dan melakukan transaksi

maupun menurut wasiat, dan karena

fiktif. Dengan kondisi seperti itu dan ketentuan

penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas

hukum perusahaan dan perbankan sebagai-

suatu peristiwa perdata untuk memindahkan

mana dikemukakan di atas konsekwensi

hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka

14 Pasal 3 ayat (1) berbunyi “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.” 15 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggungjawab-pemilik_pilar.pdf

unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan Pasal 584 KUHPerdata adalah:16

16 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: National Legal Reform Program, Gramedia 2010).

47

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

1. Adanya penyerahan;

obyektif dapat terjadi dengan mengganti atau

2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;

mengubah isi daripada perikatan. Penggantian

3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak

perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas

milik;

suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi

4. Dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dengan benda itu.

lain. Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang

Menurut Pasal 584 KUHPerdata, hak milik atas

tertentu.

sesuatu kebendaan dapat diperoleh antara lain karena penyerahan berdasarkan atas suatu

2. Kewenangan Tim Likuidasi dalam

peristiwa perdata termasuk memindahkan hak

menjalankan tugasnya setelah jangka waktu

milik dilakukan oleh seorang yang berhak

likuidasi berakhir

berbuat bebas atas kebendaan itu. Berbeda dengan dengan penyelesaian 16 Bank Dalam proses penyerahan aset Bank Dalam

Dalam Likuidasi, penyelesaian 4 Bank Dalam

Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah,

Likuidasi19 sampai tulisan ini dibuat masih belum

peristiwa perdatanya adalah pembayaran dana

mendapatkan solusi penyelesaian mengingat:

talangan Pemerintah dalam hal ini dapatlah

1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama

dikatakan bahwa bank telah melakukan in

5 tahun dan 180 hari telah terlewati, namun

betaling geving (pelunasan) untuk menutup

Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan

hutangnya kepada Pemerintah. In betaling

pertanggungjawaban kepada Rapat Umum

geving (pelunasan) ini pada hakekatnya dapat

Pemegang Saham karena masih adanya aset

juga dikatakan suatu novasi

objektif.17

dan kewajiban Bank Dalam Likuidasi. 2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan

J. Satrio berpendapat bahwa Novasi objektif didasarkan pada Pasal 1413 sub 1, jelasnya atas dasar kata-kata “membuat perikatan

untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa likuidasi dan masa lelang 3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur

hutang baru” dan disini kata perikatan hutang

tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang

harus diartikan sebagai kewajiban perikatan

masih tersisa apabila batas waktu likuidasi

atau prestasi perikatan atau dengan perkataan

terlewati.

lain objek perikatannya. Objek perikatan antara

4. Kementerian Keuangan selaku kreditur

lain meliputi objek prestasi daripada perikatan

mayoritas dan selaku pihak yang telah

yang bersangkutan dan penggantian yang

memberikan dana talangan untuk

dimaksud di sini adalah penggantian objek

membayarkan kewajiban Bank Dalam Likuidasi

prestasi perikatan.18

kepada nasabah penyimpan belum bersedia melakukan serah terima sisa aset dari 4 Bank

Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah

Dalam Likuidasi yang dilikuidasi tahun 2004/

ada diganti dengan perikatan lain. Novasi

2005.

17 Prof. Dr. Siti Ismijati, Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011. 18 J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).

48

19 Pada tahun 2004/2005 sebenarnya ada 5 bank yang dicabut ijin usahanya yaitu: PT. Bank Ratu, PT. Bank Prasidha, PT. Bank Dagang Bali, PT. Bank Asiatic, dan PT. Bank Global. Namun PT. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi) sudah menyelesaikan likuidasinya dengan cara menyerahkan sisa aset kepada Pemerintah.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Penyelesaian dengan cara penyerahan sisa aset

(2) Apabila penyelesaian tugas sebagaimana

Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah menurut

dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat

penulis merupakan alternatif penyelesaian atau

kesulitan yang tinggi maka jangka waktu

merupakan solusi yang cukup ideal walaupun

yang diperkenankan adalah selama- lamanya

terdapat beberapa kelemahan/permasalahan yang

5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim

dihadapi Pemerintah selaku pihak penerima aset.

Likuidasi. (3) Apabila Likuidasi Bank tidak dapat

Namun demikian dalam hal Pemerintah memutuskan

diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-

untuk tidak dapat menerima aset 4 Bank Dalam

mana dimaksud dalam ayat (2), penjualan

Likuidasi sebagai pembayaran kewajiban Bank

harta Bank dilakukan secara lelang.

Dalam Likuidasi tersebut, maka perlu dicari solusi

(4) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

penyelesaian lain mengingat proses penyelesaian

dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang

likuidasi yang sudah hampir berjalan selama sekitar

Negara atau lembaga lain atas permohonan

8 tahun, padahal ketentuan likuidasi yang berlaku

Tim Likuidasi dengan menggunakan

hanya memberi batas selama 5 tahun 180 hari.

metode harga penawaran tertinggi. (5) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

Untuk itu sebelum dikaji mengenai solusi dengan

dalam ayat (4) diselesaikan selambat-

cara apa penyelesaian likuidasi 4 Bank Dalam

lambatnya dalam jangka waktu 180 hari

Likuidasi, perlu terlebih dahulu dikaji mengenai

sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan

kewenangan Tim Likuidasi dalam menjalankan

Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud

tugasnya setelah jangka waktu likuidasi berakhir

dalam ayat (2).

termasuk bagaimana memperkuat kewenaagan Tim Likuidasi dari sisi hukum.

Salah satu permasalahan yang cukup krusial dalam penyelesaian likuidasi bank baik bank

a. Pemberian Kewenangan Tim Likuidasi

yang dilikuidasi pada tahun 1997 maupun

Setelah Jangka Waktu Likuidasi Berakhir.

2004/2005 adalah masalah kewenangan Tim

Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal

Likuidasi setelah jangka waktu likudasi

12 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

sebagaimana ditentukan dalam ketentuan

1999 mengatur sebagai berikut:

likuidasi telah berakhir.

(1) Pelaksanaan likuidasi bank wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima)

Setelah jangka waktu likuidasi berakhir Tim

tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya

Likuidasi mulai mendapat hambatan dalam

Tim Likuidasi.

melaksanakan tugasnya, khususnya dalam

(2) Dalam hal likuidasi bank tidak dapat

melakukan upaya penagihan kepada para

diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-

debiturnya. Hambatan tersebut antara lain

mana dimaksud dalam ayat (1), penjualan

muncul pada saat Tim Likuidasi melakukan

harta bank dalam likuidasi dilakukan secara

gugatan untuk melakukan penagihan kepada

lelang.

debitur. Terkait dengan permasalahan ini salah

Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR

satu contoh adalah kasus gugatan dari PT. Bank

diatur sebagai berikut:

Pinaesaan (Dalam Likuidasi) kepada debiturnya

(1) Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya

PT. AMF (sebuah lembaga keuangan non-bank

secara efisien dan efektif sehingga dapat

yang salah satu usahanya adalah menerbitkan

menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu

menerbitkan promisory note). Dalam mengelola

singkat.

dana pada PT. Bank Pinaesaan (dalam Likuidasi),

49

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Tim Likuidasi menempatkan sebagian dananya

(1) Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya

dengan membeli promisory note kepada PT.

secara efisien dan efektif sehingga dapat

AMF, namun pada saat Tim Likuidasi akan

menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu

mencairkan promisory note tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati, PT. AMF

singkat. (2) Apabila penyelesaian tugas sebagaimana

melakukan wanprestasi yaitu tidak dapat

dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat

menyediakan dana untuk mencairkan promisory

kesulitan yang tinggi maka jangka waktu

note milik PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi).

yang diperkenankan adalah selama-lamanya

Karena wanprestasi tersebut Tim Likuidasi PT.

5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim

Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) menggungat PT. AMF. Namun dalam putusan Pengadilan

Likuidasi. (3) Apabila Likudasi Bank tidak dapat

Jakarta Pusat No. 121/PDT.G/2005/PN.JKT.PST

diselesaikan dalam jangka waktu

gugatan tersebut di tolak oleh Pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),

Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bahwa

penjualan harta Bank dilakukan secara

Tim Likuidasi PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) tidak dalam kapasitasnya sebagai

lelang. (4) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

Tim Likuidasi karena berdasarkan ketentuan

dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang

likudasi jangka waktu likuidasi telah berakhir.

Negara atau lembaga lain atas permohonan Tim Likuidasi dengan menggunakan metode

Dengan memperhatikan permasalahan di atas, pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi

harga penawaran tertinggi. (5) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud

untuk tetap melaksanakan tugasnya

dalam ayat (4) diselesaikan selambat-

menyelesaikan proses likuidasi (melakukan

lambatnya dalam jangka waktu 180 hari

penjualan aset dan membayar kewajiban Bank

sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan

Dalam Likuidasi) setelah berakhirnya jangka

Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud

waktu likuidasi menjadi sangat diperlukan

dalam ayat (2).

untuk kelancaran proses likuidasi. Berdasarkan ketentuan di atas sudah tegas Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal

bahwa jangka waktu likuidasi adalah paling

12 PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan

lama 5 Tahun dan apabila tidak selesai maka

Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank

dapat dilanjutkan dengan melakukan

mengatur bahwa Pelaksanaan likuidasi bank

pelelangan. Dengan ketentuan tersebut apakah

wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling

otomatis Tim Likuidasi juga sudah tidak

lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal

berwenang untuk menyelesaikan tugasnya

dibentuknya Tim Likuidasi. Dalam hal likuidasi

dalam proses likuidasi bank.

bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

Atas permasalahan tersebut Prof. DR. Phillipus

penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan

M. Hadjon berpendapat bahwa20 “Ketentuan

secara lelang.

5 Tahun 180 hari merupakan persoalan cacat di dalam pengaturannya. Berakhirnya jangka

Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KE/DIR tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum mengatur bahwa:

50

20 Prof. DR. Philipus M. Hadjon, Diskusi Terbatas Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, (Jakarta: Bank Indonesia, 8 November 2004).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

waktu 5 tahun 180 hari tidak secara otomatis

Pasal 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1992

Tim Likuidasi bubar sebab Tim Likuidasi

tentang Perbankan sebagaimana telah diubah

mempunyai legalitas. Oleh karena itu selama

dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,

Tim Likuidasi belum dibubarkan oleh Rapat

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan

Umum Pemegang Saham maka Tim Likuidasi

SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR menempatkan

masih memiliki kewenangan untuk melakukan

posisi RUPS sebagai lembaga yang cukup sentral

pencairan aset dan menyelesaikan kewajiban

dimana bank setelah izin usahanya dicabut

Bank Dalam Likuidasi”.

oleh Bank Indonesia, kemudian diperintahkan untuk mengadakan RUPS guna membubarkan

Berangkat dari pendapat tersebut penulis

badan hukum bank dan membentuk Tim

berpendapat bahwa secara hukum kewenangan

Likuidasi untuk kemudian melaui dilakukan

Tim Likuidasi untuk melakukan tugasnya dalam

proses likuidasi.21

menyelesaikan proses likuidasi Bank Dalam Likuidasi harus diperkuat dengan dasar hukum

Hal ini berbeda dengan ketentuan likuidasi

yang memadai. Oleh karena itu untuk

yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2004

memperkuat kedudukan hukum Tim Likuidasi

tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

adalah dengan memberikan kewenangan

yang mengatur bahwa ketika bank bermasalah

kepada Tim Likuidasi untuk dapat melakukan

dan diputuskan untuk tidak diselamatkan,

tugasnya dalam menyelesaikan proses likuidasi

dan oleh karenanya LPS membayarkan dana

walaupun jangka waktu likuidasi telah berakhir

penjaminan kepada nasabah Bank Dalam

(memperpanjang jangka waktu tugas Tim

Likuidasi, LPS mengambil alih wewenang

Likuidasi). Terdapat beberapa cara yang dapat

RUPS. Untuk keperluan pemberesan atas aset

dilakukan untuk memperpanjang jangka waktu

dan kewajiban BDL tersebut LPS membentuk

pelaksanaan tugas Tim Likuidasi, yaitu:

Tim Likuidasi yang akan bertanggungjawab

a. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

kepada LPS (bukan kepada RUPS).

Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi berdasarkan keputusan Rapat Umum

Selain pada saat pembentukan Tim Likuidasi

Pemegang Saham (RUPS).

dalam ketentuan likuidasi diatur bahwa

b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku otoritas

kewenangan Tim Likuidasi juga dalam hal pembubaran atau pengakhiran likuidasi.

pengawas Bank Dalam Likuidasi. c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim Likuidasi melalui penetapan pengadilan.

Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 mengatur dalam hal Tim Likuidasi dibentuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham,

b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Tim Likuidasi wajib menyusun Neraca Akhir

Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi

Likuidasi guna dilaporkan kepada Bank

berdasarkan keputusan Rapat Umum

Indonesia dan dipertanggungjawabkan kepada

Pemegang Saham (RUPS)

Rapat Umum Pemegang Saham.

Dalam ketentuan likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR) diatur bahwa Tim Likuidasi dibentuk dan dibubarkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.

21 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006)

51

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Dalam hal neraca akhir likuidasi telah disetujui

Selanjutnya Pasal 13 mengatur sebagai berikut:

Bank Indonesia, dan Rapat Umum Pemegang

(1) Dalam melaksanakan tugas dan

Saham telah menerima pertangungjawaban

wewenangnya anggota Tim Likuidasi

Tim Likuidasi maka Rapat Umum Pemegang

dilarang memperoleh keuntungan untuk

Saham:

diri sendiri.

a. meminta Tim Likuidasi: -

(2) Anggota Tim Likuidasi bertanggung jawab

mengumumkan berakhirnya likuidasi

secara pribadi apabila dalam melaksanakan

dan perseroan dengan menempatkan

tugasnya melanggar ketentuan

dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

dan dalam surat kabar harian yang -

mempunyai peredaran luas;

Selanjutnya dalam Pasal 20 SK Dir BI No.

memberitahukan kepada instansi yang

32/53/KEP/DIR diatur bahwa tanggung jawab

berwenang;

pengelolaan bank beralih dari pengurus bank

memberitahukan kepada Departemen

kepada Tim Likuidasi.

Perindustrian dan Perdagangan agar nama badan hukum bank tersebut

Pasal 25 ayat (2) mengatur wewenang Tim

dicoret dari Daftar Perusahaan;

Likuidasi antara lain:

b. membubarkan Tim Likuidasi.

-

mewakili Bank Dalam Likuidasi di dalam dan di luar pengadilan.

Berdasarkan ketentuan di atas dalam proses likuidasi Rapat Umum Pemegang Saham

-

memutuskan hubungan kerja terhadap pegawai.

berperan dalam proses pengakhiran likuidasi yaitu dalam bentuk menerima pertanggung-

Memperhatikan ketentuan likuidasi di atas,

jawaban Tim Likuidasi dan juga melakukan

sebagian tugas dan wewenang Tim Likuidasi

pembubaran Tim Likuidasi.

menurut penulis hampir sama dengan tugas dan wewenang Direksi pada Bank yang

Selanjutnya terkait dengan kedudukan Tim

masih beroperasi. Begitupun dengan

Likuidasi dalam Peraturan Pemerintah No. 25

pengangkatannya, Tim Likuidasi dan Direksi

Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,

sama-sama diangkat oleh Rapat Umum

Pembubaran dan Likuidasi diatur sebagai

Pemegang Saham. Sehubungan dengan itu

berikut:

maka wajar apabila disebutkan bahwa dalam ketentuan likuidasi ini kedudukan Rapat Umum

Pasal 10 mengatur bahwa:

Pemegang Saham masih cukup sentral.

(1) Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh

Berdasarkan uraian di atas, maka perpanjangan

Tim Likuidasi. (2) Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,

tugas Tim Likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir dapat dilakukan melalui

tanggung jawab dan kepengurusan bank

keputusan Rapat Umum Pemegang Saham,

dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.

adapun jangka waktu perpanjangan tersebut

(3) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Likuidasi berwenang mewakili bank dalam

disesuaikan dengan kondisi Bank Dalam Likuidasi tersebut.

likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dalam penyelesaian hak dan kewajiban

Namun demikian perpanjangan jangka waktu

bank tersebut.

atau pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi melalui keputusan Rapat Umum

52

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Pemegang Saham sangat tergantung dari

pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan

itikad baik para pemegang saham untuk

kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat

menyelesaikan likuidasi. Tanpa itikad baik dari

tinggal pemohon.23

para pemegang saham untuk memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi pelaksanaan

Perkara permohonan termasuk dalam

Rapat Umum Pemegang Saham tidak akan

pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan

terjadi, dan tidak ada pihak lain termasuk

permohonan yang diajukan itu, hakim akan

otoritas pengawas bank dalam likuidasi dalam

memberikan suatu penetapan. Pengadilan

hal ini Bank Indonesia yang bisa memaksa

Negeri hanya berwenang untuk memeriksa

para pemegang saham untuk melakukan rapat.

dan mengabulkan permohonan (penetapan), apabila hal itu ditentukan dalam undang-

c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

undang atau yurisprudensi.24

Likuidasi melalui penetapan pengadilan. Peranan pengadilan dalam ketentuan likuidasi

Dalam undang-undang tidak ada ketentuan

antara lain adalah atas permohonan dari

yang mengatur mengenai perpanjangan jangka

Bank Indonesia, mengeluarkan penetapan

waktu Tim Likuidasi ataupun ketentuan yang

pembubaran badan hukum bank, penunjukan

mengatur mengenai proses likuidasi ketika

tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi

jangka waktunya berakhir, namun dalam

sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yurisprudensi setidaknya telah ada 2 penetapan

yang berlaku dalam hal para pemegang saham

Pengadilan Negeri yang mengeluarkan

tidak dapat menyelenggarakan Rapat Umum

penetapan perpanjangan masa tugas Tim

Pemegang Saham untuk memutuskan hal

Likuidasi, yaitu Penetapan Pengadilan Negeri

tersebut.

Jakarta Selatan Nomor 321/PDT.P/2003/ PN.JAKSEL tanggal 17 Nopember 2003 adalah

Mengingat peranan pengadilan dalam

penetapan untuk perpanjangan masa tugas

menetapkan pembentukan Tim Likuidasi,

Tim Likuidasi Bank Industri (DL) dan Penetapan

apakah pengadilan juga dapat mengeluarkan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

putusan/penetapan untuk memberikan

20/PDT.P/2004/PN.JAKSEL tanggal 9 Februari

kewenangan kepada Tim Likuidasi (menetapkan

2004 untuk perpanjangan masa tugas Tim

perpanjangan jangka waktu Tim Likuidasi)

Likuidasi PT. Bank Harapan Sentosa (DL).

guna menyelesaikan tugasnya dalam proses likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir.

Berdasarkan yurisprudensi di atas, maka salah

Untuk mengajukan pernetapan tersebut pihak

satu cara yang dapat dilakukan untuk

yang berkepentingan harus mengajukan

memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi

permohonan kepada Ketua Pengadilan.

adalah dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri.

Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata22 yang diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh

23 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994). 22 M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

24 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994).

53

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

d. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku

1999, Rapat Umum Pemegang Saham

otoritas pengawas Bank Dalam Likuidasi

memang masih mempunyai kedudukan yang

Kedudukan Bank Indonesia dalam ketentuan

cukup sentral karena masih berperan dalam

likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 tahun

pembentukan Tim Likuidasi dan sekaligus

1999 dan SK Dir Bi No. 32/53/KEP/DIR) adalah

pembubarannya. Namun demikian peraturan

sebagai berikut:

likuidasi tersebut sudah mengantisipasi dalam

-

melakukan pengawasan atas pelaksanaan

hal pemegang saham tidak kooperatif dalam

pembubaran badan hukum dan likuidasi

pelaksanaan likuidasi (karena biasanya likuidasi

bank.

bank merupakan sesuatu yang dihindari oleh

memberikan persetujuan terhadap calon

para pemegang saham). Dalam prakteknya

anggota Tim Likuidasi.

hampir selalu pemegang berusaha untuk

meminta kepada Pengadilan untuk

melawan tindakan penutupan bank tersebut.

melakukan pembubaran badan hukum Bank,

Tidak jarang pula pemegang saham yang

penunjukan Tim Likuidasi, memerintahkan

menggugat Bank Indonesia sebagai lembaga

pelaksanaaan likuidasi sesuai dengan

yang mempunyai otoritas untuk mencabut

ketentuan dan memerintahkan agar Tim

izin usaha bank.

-

Likuidasi mempertanggungjawabkan

-

-

-

pelaksanaan likuidasi kepada Bank Indonesia,

Berangkat dari pemikiran tersebut dalam

dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham

ketentuan likuidasi diatur bahwa apabila

tidak dapat diselenggarakan.

pemegang saham tidak dapat mengadakan

memberhentikan Tim Likuidasi apabila tidak

rapat umum pemegang saham untuk

dapat menjalankan tugas dengan baik dan

melakukan pembubaran badan hukum dan

atau terbukti melakukan pelanggaran

pembentukan Tim Likuidasi, maka Bank

terhadap ketentuan perundang-undangan

Indonesia sebagai otoritas pengawas bank

yang berlaku.

dalam likuidasi diberikan wewenang untuk

memberikan persetujuan Neraca Akhir

meminta ke pengadilan untuk menetapkan

Likuidasi.

pembentukan Tim Likuidasi. Bahkan untuk

menerima laporan dan

pengakhiran likuidasi dan pembubaran Tim

pertanggungjawaban Neraca Akhir

Likuidasi bagi Tim Likuidasi yang dibentuk

Likuidasi yang disusun oleh Tim Likuidasi,

berdasarkan Penetapan Pengadilan, Bank

dalam hal Tim Likuidasi dibentuk

Indonesia lah yang melakukan pembubaran

berdasarkan penetapan pengadilan.

Tim Likuidasi tersebut.

meminta Tim Likuidasi: mengumumkan berakhirnya likuidasi dan perseroan dengan

Dalam proses likuidasi bank, kedudukan Bank

menempatkan dalam Berita Negara

Indonesia selain sebagai pengawas juga

Republik Indonesia dan dalam surat kabar

bertindak sebagai regulator untuk Bank Dalam

yang mempunyai peredaran luas;

Likuidasi. Dengan posisi Bank Indonesia

memberitahukan kepada instansi yang

tersebut Bank sebagai lembaga negara

berwenang; memberitahukan kepada

mempunyai kewenangan publik dalam

Departemen Perindustrian dan Perdagangan

melaksanakan tugasnya termasuk dalam

agar nama badan hukum bank tersebut

menyelesaikan permasalahan likuidasi bank.

dicoret dari daftar perusahaan. -

54

membubarkan Tim Likuidasi.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Bank Indonesia sebagai lembaga administrasi

Likuidasi. Sebagaimana disebutkan di atas,

negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu

bahwa diskresi digunakan untuk menyelesaikan

untuk bertindak atas inisiatif sendiri

persoalan-persoalan penting dan mendesak

menyelesaikan berbagai permasalahan pelik

serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif.

yang membutuhkan penanganan secara cepat,

Penyelesaian likuidasi merupakan permasalahan

sementara peraturan terhadap permasalahan

yang bersifat penting dan mendesak. Penting

itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu

karena terkait dengan kepastian hukum dalam

dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga

penyelesaian likuidasi termasuk penyelesaian

legislatif yang kemudian dalam hukum

pengembalian uang penjaminan Pemerintah

administrasi negara diberikan kewenangan

yang digunakan bank untuk mengembalikan

bebas berupa diskresi.

dana nasabah. Bersifat mendesak karena proses likuidasi bank telah berlangsung lama dan

S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan

telah melewati jangka waktu yang ditentukan

diskresi, discretion (Inggris), discretionair

oleh ketentuan.

(Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak atau mengambil

Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas

keputusan dari para pejabat administrasi negara

bank dalam likuidasi punya cukup landasan

yang berwenang dan berwajib menurut

hukum untuk memberikan kewenangan

pendapat sendiri.

kepada Tim Likudasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir.

Produk hukum dari Badan/Pejabat administrasi Pemerintahan yang berupa dokumen-dokumen yang mengandung materi penetapan yang

3. Alternatif Penyelesaian Likuidasi 4 Bank Yang Dicabut Ijin Usahanya Tahun 2004/2005

bersifat konkrit, individual dan final dalam hukum administrasi disebut dengan keputusan

Seperti telah diuraikan di atas, pemberian

(Beschikking), sedangkan dokumen-dokumen

kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah masa

yang mengandung materi pengaturan yang

likuidasi berakhir atau pemberian kewenangan

bersifat umum disebut peraturan (regeling).

kepada Tim Likuidasi untuk menyelesaikan

Sedangkan peraturan kebijaksanaan adalah

likuidasi Bank Dalam Likuidasi diperlukan untuk

(beleid regels), adalah merupakan produk

memberikan landasan hukum bagi Tim Likuidasi

hukum yang lahir dari kewenangan mengatur

dalam menyelesaikan likuidasi Bank Dalam

kepentingan umum secara mandiri atas dasar

Likuidasi. Baik dengan cara penyelesaian likuidasi

prinsip freies

ermessen.25

melalui penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah maupun dengan alternatif

Berdasarkan terori yang diuraikan di atas Bank

penyelesaian yang lain.

Indonesia sebagai badan admintrasi negara mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan

Terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang

diskresi atau peraturan kebijaksanaan untuk

dapat ditempuh untuk menyelesaikan proses

memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi

likuidasi 4 Bank Dalam Likuidasi dalam hal

atau memperpanjang jangka waktu kerja Tim

penyelesaian dengan jalan penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi tidak dapat dilakukan.

25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177.

55

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan

a. Pengurusan diri pribadi dan harta kekayaan

sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada

anak-anak yang belum dewasa selama

Balai Harta Peninggalan

belum ditunjuk seorang wali atas mereka

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri

(Pasal 359 KUHPerdata atau disebut juga

Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun

Wali Sementara).

1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan

b. Sebagai wali pengawas (Pasal 356 KUHPerdata)

menentukan bahwa Balai Harta Peninggalan

c. Mewakili kepentingan anak-anak belum

adalah unit pelaksana penyelenggara hukum

dewasa dalam hal ada pertentangan

di bidang harta peninggalan dan perwalian

dengan kepentingan wali (Pasal 370

dalam lingkungan Departemen Kehakiman,

KUHPerdata)

yang berada di bawah dan bertanggungjawab

d. Pengurusan harta kekayaan anak-anak

langsung kepada Direktur Jenderal Hukum

belum dewasa dalam hal pengurusan itu

dan Peraturan Perundangundangan melalui

dicabut dari wali mereka (Pasal 338

Direktur

Perdata.26

KUHPerdata) e. Pengampuan atas anak yang masih dalam

Selanjutnya dalam Rancangan Undang-Undang

kandungan (Pasal 348 KUHPerdata)

tentang Balai Harta Peninggalan, Balai Harta

f. Pendaftaran dan pembukaan surat-surat

Peninggalan adalah unit pelaksana teknis dalam

wasiat (Pasal 41 dan 42 OV dan Pasal 937

lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selanjutnya membidangi perwalian,

dan Pasal 942 KUHPerdata). g. Pengurusan harta peninggalan yang tidak

pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan

ada kuasanya (onbeheerde

tidak terurus, pendaftaran surat wasiat, surat

nalatenschappen; Pasal 1126, Pasal 1127

keterangan waris, dan kepailitan.27

dan 1128 KUHPerdata), demikian pula pengurusan barang-barang peninggalan

Sejak kemerdekaan hingga sekarang ini secara

dari penumpang-penumpang dan awak

struktural Balai Harta Peninggalan merupakan

kapal yang meninggal dunia, hilang atau

unit organisasi sekaligus unit kerja yang berada

tertinggal pada kapal-kapal Indonesia (Stb.

dibawah dan oleh karenanya bertanggung

1886/131).

jawab langsung kepada Direktur Jenderal

h. Pengurusan boedel-boedel dari orang-

Administrasi Hukum Umum Departemen

orang yang tidak hadir (boedel van

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

afwezigen), (Pasal 463 KUHPerdata).

Indonesia melalui Direktorat Perdata. Tugastugas Balai Harta Peninggalan di Indonesia

Tugas Balai Harta Peninggalan mewakili dan

diatur secara terpisah di berbagai peraturan

mengurus kepentingan orang-orang (badan

perundangan yang ada, yang pada pokoknya

hukum) yang karena hukum atau putusan

antara lain sebagai berikut:

hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat terpenuhi perlindungan atau terayominya

26 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.0180 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan 27 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

56

hak asasi manusia, khususnya yang karena hukum dan penetapan pengadilan dianggap tidak cakap bertindak di bidang hak milik (personal right) berdasarkan peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

perundang-undangan yang berlaku.28 Secara

Dengan memperhatikan tugas-tugas dari Balai

lengkap tugas Balai Harta Peninggalan yaitu

Harta Peninggalan, baik yang berlaku sekarang

melakukan pengawasan dalam hal Perwalian,

maupun yang tercantum dalam Rancangan

Pengampuan, mengurus harta peninggalan yang

Undang-Undang. Terdapat beberapa tugas

tak ada kuasanya, mengurus harta kekayaan

dari Balai Harta Peninggalan yang bisa

orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak

dikaitkan dengan pengurusan sisa aset Bank

hadir, membuka dan mendaftarkan wasiat

Dalam Likuidasi, yaitu mengurus harta

terakhir pewaris, pembuatan Surat Keterangan

peninggalan yang tidak terurus, dan mengurus

Hak Waris dan Kurator dalam Kepailitan, dan

harta kekayaan orang (subyek hukum) yang

tugas baru yang merupakan amanah dari Bank

dinyatakan tidak hadir.

Indonesia yaitu menerima dan mengelola hasil transfer dana secara tunai yang tidak diklaim

b. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan

oleh pihak yang mentransfer maupun pihak

untuk mengurus harta kekayaan orang

yang ditransfer setelah dilakukan pemanggilan

(subyek hukum) yang dinyatakan tidak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

hadir

undangan di bidang perbankan29, sehingga

Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid)

secara sosiologi bahwa Balai Harta Peningalan

diatur dalam buku I Bab XVIII Kitab Undang-

merupakan lembaga yang diharapkan dapat

Undang Hukum Perdata mulai Pasal 463 - 465.

memberikan pelayanan hukum di bidang harta

Abdul Kadir Muhammad mengemukakan

peninggalan bagi yang

membutuhkan.30

unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai berikut:32

Dalam Rancangan Undang-Undang Balai Harta

1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu

Peninggalan, tugas Balai Harta Peninggalan

anggota keluarga mungkin suami, mungkin

adalah:31

istri, mungkin anak.

Melaksanakan penyelesaian masalah perwalian,

2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya

pengampuan, ketidakhadiran, dan harta

tidak ada di lingkungan keluarga dimana

peninggalan tidak terurus.

mereka berdiam serta mempunyai hak dan

a. Melaksanakan penyelesaian pembukaan dan pendaftaran surat wasiat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

kewajiban hukum. 3. Bepergian atau meninggalkan tempat kediaman, artinya menuju dan berada di

b. Membuat surat keterangan waris.

tempat lain karena suatu keperluan atau

c. Melaksanakan penyelesaian masalah

tanpa keperluan.

kepailitan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan persetujuan dan sepengetahuan anggota keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga. 5. Tak diketahui dimana tempat ia berada, artinya tempat lain yang dituju dan dimana

29 Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

ia berada tidak diketahui sama sekali,

30 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ 31 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

32 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000).

57

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

karena yang bersangkutan tidak memberi

Dalam penetapan ketidakhadiran dapat

kabar atau karena sulit berkomunikasi.

sekaligus ditunjuk Balai Harta Peninggalan

Tidak memberi kabar mungkin karena ada

setempat yang akan bertugas mengurus dan

halangan, misalnya terjadi perang,

yang mewakili serta membela segala

pemberontakan, kecelakaan, bencana

kepentingan si tak hadir itu selama

alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang

ketidakhadirannya, akan tetapi dengan tidak

dengan sengaja supaya tidak berurusan

mengurangi kewenangan hakim untuk

lagi dengan keluarganya (putus asa).

menunjuk seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda dari si yang tak hadir

Ketidakhadiran tidak hanya berlaku untuk

atau kepada isteri atau suaminya untuk

orang perseorangan namun dalam prakteknya

keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata).

berlaku juga untuk subjek hukum (badan

Selanjutnya setelah penetapan tentang

hukum). Unsur-unsur suatu obyek tertentu

ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan

untuk dapat dinyatakan ketidakhadiran

hukum yang tetap, maka pengurus atau

seseorang sehubungan dengan pengurusan

wakilnya akan melaksanakan segala tindakan

hartanya yaitu:33

pengurusan maupun tindakan pemilikan bila

1. Adanya orang yang telah meninggalkan

perlu sesuai dengan kepentingan atau

tempat tinggalnya;

kekayaan tak hadir dimaksud.

2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tak hadir untuk memenuhi kepentingannya

Permohonan itu bisa karena permohonan yang

atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah

diajukan oleh pihak yang berkepentingan

berakhir;

dengan harta kekayaan tak hadir itu sesuai

3. Adanya harta kekayaan dari orang yang dinyatakan tak hadir; 4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna

dengan prosedur dan syarat-syarat yang diperlukan, yang tentu saja sebelum keputusan dikeluarkan sangat diperlukan adanya tahapan-

mengurus seluruh atau sebagian harta

tahapan yang harus dilalui oleh baik organ

kekayaan itu;

negara di satu pihak maupun warga

5. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri

masyarakat di pihak lain. Dalam praktek

setempat tentang ketidakhadiran

tahapan itu didahului dengan meletakkan atau

(afweizigheid) seseorang;

menempelkan pengumuman selama 3 x 2

6. Adanya permintaan dari yang berkepentingan atau tuntutan Kejaksaan.

minggu berturut-turut di papan pengumuman yang terdapat di Pengadilan Negeri setempat dan sesudah lampau waktu tersebut maka

Setelah menerima salinan Penetapan dari

Pengadilan Negeri akan memutuskan untuk

Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan

menerbitkan penetapan (beschikking)

sudah dapat bertindak mewakili dan mengurus

ketidakhadiran dimaksud. Penetapan Hakim

harta orang yang dinyatakan tidak hadir

yang dimaksudkan menjadi dasar bagi Balai

diantaranya sebagaimana diatur dalam Pasal

Harta Peninggalan setempat dalam

456, 463, 464, KUHPerdata.

melaksanakan tugasnya sebagai pengurus harta kekayaan serta yang mewakili dan yang membela segala kepentingan dari si tak hadir

33 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

58

tadi, akan tetapi penetapan hakim dimaksud baru dapat dilaksanakan oleh Balai Harta Peninggalan setempat sesudah penetapan itu

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mempunyai kekuatan hukum (in kracht van

penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi

gewijsde).34

kepada Balai Harta Peninggalan, yaitu: 1. Adanya subjek hukum yang tidak hadir,

Apabila dikaitkan dengan penyelesaian likuidasi

dalam hal ini kreditur Bank Dalam Likuidasi.

sebelumnya perlu dikaji terlebih dahulu apakah

Untuk menentukan ketidak hadiran ini

yang dimaksud dengan subjek hukum ini

harus dilakukan pengumuman bagi para

termasuk Pemerintah yang dalam hal ini

kreditur atau apabila krediturnya

merupakan kreditur Bank Dalam Likuidasi.

Pemerintah, Pemerintah dapat menyatakan tidak hadir dan pernyataan tersebut yang

Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum

dijadikan sebagai dasar penetapan hakim

dalam tindakan perdata, maka Pemerintah

mengenai ketidakhadiran tersebut.

merupakan badan hukum, karena menurut

2. Adanya harta kekayaan dari orang yang

Apeldoorn, negara, propinsi, kotapraja dan

dinyatakan tak hadir, dalam hal ini sisa

lain sebagainya adalah badan hukum. Hanya

aset Bank Dalam Likuidasi.

saja pendiriannya tidak dilakukan secara

3. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna

khusus, melainkan tumbuh secara historis.35

mengurus seluruh atau sebagian harta

Pemerintah dianggap sebagai badan hukum,

kekayaan itu, alasan yang mendesak dalam

karena Pemerintah menjalankan kegiatan

hal ini adalah penyelesaian likuidasi bank

komersial (acts jure gesionis).

yang berlarut-larut, ketentuan yang ada tidak mengaturnya dan terdapat potensi

Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat di temukan dalam pasal 1653 BW, yang

pengembalian keuangan negara. 4. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri

menyebutkan:

setempat tentang ketidakhadiran

“ Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan

(afweizigheid) seseorang;

orang-orang sebagai badan hukum juga di

5. Adanya permintaan dari yang

akui undang-undang, entah badan hukum itu

berkepentingan dalam hal ini bisa

diadakan oleh kekuasaan umum atau di akui

dilakukan oleh Tim Likuidasi ataupun oleh

sebagai demikian, entah pula badan hukum

Bank Indonesia.

itu di terima sebagai yang di perkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka

tertentu yang tidak bertentangan dengan

pemikiran penyelesaian likuidasi bank dengan

undang-undang atau kesusilaan”.

cara menyerahkan pengurusan kepada Balai Harta Peninggalan patut dipertimbangkan

Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa

diatur dalam Undang-undang tentang Balai

hal yang dapat dijadikan dasar untuk

Harta Peninggalan yang saat ini sedang

mendukung penyelesaian likudasi dengan

dilakukan pembahasan oleh Pemerintah. c. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan dalam mengurus harta peninggalan yang

34 Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009). 35 L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982)

tidak terurus Pengertian peninggalan yang tidak terurus (Onbeheerde) adalah tidak ada yang menguasai/memiliki/mengurus, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan (Pasal 520, 1126

59

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

KUHPerdata/BW). Sedangkan untuk harta tak

melakukan langkah-langkah antara lain:38

terurus berdasarkan (Pasal 1126, 1127, 1128

1. Pendaftaran budel bila dirasakan perlu;

KUHPerdata/BW) dapat diberikan batasan

2. Melakukan penyegelan terhadap budel

yaitu ”Jika suatu warisan terbuka, tidak seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli waris yang dikenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus”.

tersebut; 3. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri setempat; 4. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan;

Berdasarkan ketentuan di atas, Unsur-unsur harta tak terurus antara

lain:36

5. Mengumumkan dalam Berita Negara dan sedikitnya 2 (dua) surat kabar dengan ikhtisar

1. Adanya orang yang meninggal dunia;

pengumuman mengenai pemanggilan para

2. Adanya harta yang ditinggalkan oleh

ahli waris atau pihak yang berkepentingan;

almarhum/almarhumah; 3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada para ahli waris menolak adanya warisan tersebut; 4. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan pengurusan harta peninggalan itu;

Terkait dengan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan diatur bahwa: 1. Apabila suatu warisan terbuka, tidak ada

Dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan,

seorangpun yang menggugat atau semua

definisi Harta Peninggalan tidak terurus adalah

ahli waris yang dikenal menolaknya maka

suatu warisan yang tidak seorangpun

warisan tersebut merupakan harta

menggugat atau semua ahli waris yang dikenal

peninggalan tak terurus.

menolaknya.37

2. Balai Harta Peninggalan demi hukum ditugaskan menjalankan pengurusan atas

Proses pengurusan harta peninggalan diawali

setiap harta peninggalan tidak terurus

dengan adanya Penetapan dari Pengadilan

dan wajib memberitahukannya kepada

Negeri Setempat akan adanya ketidakhadiran

kejaksaan.

maupun harta tak terurus. Pengurusan harta

3. Dalam hal ada perbedaan pendapat

tak terurus dilakukan dengan adanya proses

mengenai harta peninggalan terurus atau

pemeriksaan harta peninggalan seseorang

tidak terurus maka atas permintaan yang

yang telah meninggalan dunia yang akta

berkepentingan atau atas usul jaksa demi

kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan

kepentingan umum, pengadilan

Sipil yang dilaporkan kepada Balai Harta

mengeluarkan penetapan.

Peninggalan. Setelah menerima laporan

4. Dalam jangka waktu paling lambat 14

kematian tersebut, Balai Harta Peninggalan

(empat belas) hari setelah adanya penetapan,

wajib mengurus harta tersebut dengan

pengadilan wajib menyampaikan salinan penetapan tersebut kepada Balai Harta Peninggalan.

36 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ 37 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

60

38 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

5. Balai Harta Peninggalan wajib

Tugas Balai Harta Peninggalan untuk

mengumumkan adanya harta tidak terurus

menyelesaikan kepailitan telah diatur dalam

sebagaimana dalam surat kabar dan Berita

Pasal 13 Peraturan Kepailitan Stb. 1905 No.

Negara.

217. Kemudian sekarang diatur dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 70 ayat (1) huruf a UU

Apabila dikaitkan dengan permasalahan

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

penyelesaian likuidasi bank, setelah Tim

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Likuidasi diberikan perpanjangan waktu untuk

(PKPU). Dalam undang-undang tersebut

menyelesaikan likuidasi namun masih terdapat

disebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta

aset yang tidak dapat dicairkan dan Bank

Peninggalan atau orang perseorangan yang

Indonesia sebagai pengawas bank dalam

diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus

likuidasi sudah memandang likuidasi harus

dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah

segera diakhiri. Aset tersebut ditawarkan

pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan

kepada kreditur, dalam hal kreditur melakukan

Undang-Undang ini.

penolakan atau menolak untuk menerima aset bank dalam likuidasi tersebut. Tim

Secara esensial terdapat persamaan karakter

Likuidasi dapat meminta pengadilan untuk

antara kepailitan dan likuidasi bank. Keduanya

mengeluarkan penetapan bahwa aset tersebut

merupakan lembaga exit policy dengan fokus

merupakan harta yang tidak terurus. Atas

menyelesaikan hak dan kewajiban atas suatu

dasar penetapan pengadilan tersebut maka

badan hukum yang tidak dapat lagi menjalankan

pengurusan aset tersebut diserahkan kepada

usahanya.39

Balai Harta Peninggalan. Terkait dengan permasalahan ini Zulkarnain Atas dasar pemikiran tersebut maka pengaturan

Sitompul40 berpendapat bahwa secara teoritis,

penyelesaian likuidasi bank dalam likuidasi

terdapat dua mekanisme penyelesaian bank

dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan

bermasalah yaitu melalui proses kepailitan dan

merupakan salah satu solusi penyelesaian

melalui proses likuidasi. Pada awalnya di banyak

permasalahan likuidasi bank.

negara, hukum perbankan tidak mengatur kepailitan bank. Bank bermasalah diselesaikan

d. Memberikan tugas penyelesaian likuidasi

dengan hukum kepailitan umum. Bank yang

bagi Balai Harta Peninggalan

ijin usahanya dicabut dilikuidasi berdasarkan

Selain pemikiran yang telah diuraikan di atas,

ketentuan hukum perusahaan. Kemudian,

terdapat alasan lain yang dapat digunakan

di negara-negara yang hukum kepailitannya

sebagai landasan usulan penyelesaian

tidak memberikan perlindungan yang cukup

permasalahan likuidasi melalui Balai Harta

bagi nasabah dan kreditur lainnya atau tidak

Peninggalan, yaitu dalam RUU tentang Balai

memberikan perlindungan bagi sistem

Harta Peninggalan, Balai Harta Peninggalan

perbankan, prosedur likuidasi khusus

diberikan tugas tambahan yaitu melaksanakan penyelesaian asset eks bank dalam likuidasi. Dasar pemikiran tersebut adalah dengan melihat bahwa salah satu tugas dari Balai Harta Peninggalan dapat bertindak selaku kurator dalam kepailitan.

39 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) 40 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf

61

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

diberlakukan bagi bank dan diatur dalam

a. Pengurusan dan pemberesan harta pailit.

hukum perbankan. Alasannya adalah

Dalam ketentuan likuidasi diatur juga

penerapan hukum kepailitan umum kepada

bahwa Tim Likuidasi bertugas untuk

bank bermasalah menimbulkan kesulitan. Pada saat krisis perbankan misalnya, pengadilan

pemberesan aset Bank Dalam Likuidasi. b. Mengumumkan putusan hakim tentang

akan kewalahan menyelesaikan banyaknya

pernyataan pailit dalam berita negara dan

bank bermasalah. Kondisi ini menjadi

surat kabar yang ditetapkan hakim

pembenaran terhadap pengecualian bank dari

pengawas. Begitupun dalam ketentuan

prosedur kepailitan melalui pengadilan. Oleh

likuidasi diatur mengenai kewajiban

karena itu bank-bank bermasalah diselesaikan melalui mekanisme extra judicial.

mengumumkan. c. Menyelamatkan harta pailit. Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang

Berdasarkan pendapat di atas ditinjau dari sisi

untuk melakukan penyelamatan aset Bank

lembaganya likuidasi dan kepailitan mempunyai

Dalam Likuidasi termasuk melakukan

beberapa kesamaan. Selanjutnya dari sisi pelaksanaanya dapat kita perbandingkan antara tugas kurator dengan tugas Tim Likuidasi.

gugatan. d. Menyusun inventaris harta pailit. Tim Likuidasi juga diwajibkan untuk menyusun neraca berupa neraca verifikasi dan neraca

Berdasarkan Pasal 16 UU No. 37 Tahun 2004

akhir likuidasi.

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

e. Menyusun daftar hutang dan piutang harta

Pembayaran Utang (PKPU), Kurator berwenang

pailit. Dalam likuidasi hal ini tercantum

melaksanakan tugas pengurusan dan/atau

dalam neraca verifikasi.

pemberesan atas harta pailit sejak tanggal

f. Berwenang membuka surat yang ditujukan

putusan pailit diucapkan meskipun terhadap

pada si pailit (yang berkaitan dengan harta

putusan tersebut diajukan kasasi atau

pailit). Kedudukan Tim Likuidasi adalah

peninjauan kembali.

bertindak untuk dan atas nama Bank Dalam Likuidasi oleh karena itu Tim Likuidasi

Begitupun dengan Tim Likuidasi dalam

berwenang untuk melalukan segala

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999

tindakan yang berkaitan dengan hak dan

tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran

kewajiban Bank Dalam Likuidasi.

dan Likuidasi Bank mengatur bahwa Tugas

g. Memindahtangankan harta pailit,

Tim Likuidasi adalah melakukan tindakan

menyimpan harta pailit dan membungakan

penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank

uang tunai. Dalam ketentuan likuidasi hal

sebagai akibat pencabutan izin usaha dan

ini termasuk dalam wewenang Tim

pembubaran badan hukum bank.

Likuidasi dalam menyelesaian pencairan aset dan pembayaran kewajiban Bank

Terdapat beberapa kesamaan antara tugas dan wewenang kurator dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi

yaitu:41

Dalam Likuidasi. h. Berwenang untuk membuat perdamaian. Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang untuk melakukan perundingan

41 Perbandingan antara tugas dan kewenagan kurator sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR.

62

dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan harta kekayaan dan penagihan terhadap para debitur.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

i. Kurator harus menyampaikan laporan

itu cukup berdasar apabila dalam undang-

kepada hakim pengawas mengenai keadaan

undang tentang Balai Harta Peninggalan yang

harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap

sedang disusun diatur juga mengenai tugas

3 bulan. Untuk Tim Likuidasi penyampaian

Balai Harta Peninggalan untuk menyelesaikan

pelaporan kepada Bank Indonesia.

likuidasi dan dapat bertindak sebagai Tim

j. Selama menjalankan tugasnya dapat diganti

Likuidasi.

dengan kurator oleh pengadilan setiap waktu setelah memanggil dan mendengar

e. Penyelesaian likudasi melalui penyerahan

Kurator, dan mengangkat kurator lain dan

sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada

atau mengangkat kurator tambahan.

Pemegang Saham.

Dalam ketentuan likudasi kewenangan

Alternatif penyelesaian ini merupakan salah

untuk mengganti Tim Likuidasi merupakan

satu alternatif yang pernah ditawarkan oleh

kewenangan Bank Indonesia.

Bank Indonesia kepada Kementerian Keuangan

k. Sebagai pengemban tugas pengurusan

dalam rangka penyelesaian likuidasi bank yang

terhadap harta pailit, kurator mempunyai

disampaikan melalui surat Bank Indonesia

hak untuk mendapatkan imbalan sebagai-

Nomor 6/4/GBI/DPIP Tanggal 9 Juni 2004

mana ketentuan Pasal 76 UU No. 37 Tahun

Tentang Penyelesaian Akhir Likuidasi 16 Bank

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Dalam Likuidasi. Yaitu alternatif penyelesaian

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),

dengan cara Tim Likuidasi mengagendakan

bahwa imbalan jasa yang dibayarkan kepada

penyelesaian sisa aset yang merupakan hak

kurator ditetapkan berdasarkan pedoman

Pemerintah dalam pelaksanaan RUPS dan

yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri

meminta RUPS menetapkan sisa aset diserahkan

yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya

kepada Pemerintah selaku kreditur mayoritas.

dibidang hukum dan perundang-undangan. Pedoman imbalan jasa kurator berpedoman

Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun

pada Keputusan Menteri Kehakiman RI

1999 mengatur bahwa setelah pelaksanaan

No. M. 09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang

tahap pembayaran yang terakhir, masih

Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Kurator

terdapat kelebihan harta, Tim Likuidasi

dan Pengurus. Ketentuan mengenai

membagikan sisa dimaksud kepada para

pemberian honor dan fee kepada Tim

pemegang saham secara pro rata. Selanjutnya

Likuidasi juga diatur dalam ketentuan

tagihan yang timbul setelah proses likuidasi

likuidasi.

dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang saham.

Dengan memperhatikan uraian di atas, terdapat beberapa kesamaan antara likuidasi dengan

Kemudian Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.

kepailitan juga antara tugas kurator dan tugas

25 Tahun 1999 mengatur dalam hal harta

Tim Likuidasi. Sehubungan dengan itu apabila

kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup

Balai Harta Peninggalan yang selama ini telah

untuk memenuhi seluruh kewajiban bank

melakukan tugas sebagai korator, dan

dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya

mengingat karakteristik yang sama antara

wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan

tugas kurator dengan Tim Likuidasi, maka

anggota dewan komisaris serta pemegang

secara praktek Balai Harta Peninggalan juga

saham yang turut serta menjadi penyebab

dalam melakukan tugas Tim Likuidasi dalam

kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank

menyelesaikan proses likuidasi. Oleh karena

atau menjadi penyebab kegagalan bank.

63

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Selanjutnya dalam Pasal 32 SK Dir BI No.

untuk mempertanggungjawabkan hasil

32/53/KEP/DIR sebagai ketentuan pelaksanaan

kerjanya kepada pemegang saham sebelum

dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999

Tim Likuidasi tersebut dibubarkan oleh

diatur Dalam rangka melakukan tugas untuk

pemegang saham melalui Rapat Umum

membagikan sisa harta kepada pemegang

Pemegang Saham.

saham berlaku ketentuan: a. Apabila setelah pelaksanaan tahap

Sehubungan dengan posisi pemegang saham

pembayaran terakhir masih terdapat

seperti itu maka terdapat kemungkinan apabila

kelebihan harta, Tim Likuidasi membagikan

proses likuidasi sudah tidak dapat dilanjutkan

sisa harta dimaksud kepada para pemegang

oleh Tim Likuidasi karena kewajiban Bank

saham secara pro rata sesuai dengan

Dalam Likuidasi masih ada dan masih terdapat

kepemilikan jumlah saham.

aset yang tidak dapat dicairkan, maka pada

b. Tagihan yang timbul setelah proses likuidasi

akhir likuidasi yaitu pada saat Tim Likuidasi

dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi

mempertanggungjawabkan hasil kerjanya

yang menjadi hak pemegang saham.

kepada Rapat Umum Pemegang Saham, sekaligus dalam Rapat Umum Pemegang

Ketentuan likuidasi mengatur penyerahan aset

Saham tersebut, Tim Likuidasi menyerahkan

bank dalam likuidasi kepada pemegang saham

seluruh aset dan kewajiban kepada Pemegang

dilakukan dalam hal seluruh kewajiban bank

Saham.

dalam likuidasi telah diselesaikan dan masih terdapat sisa aset. Tentunya kondisi tersebut

Namun demikian dalam Rapat Umum

akan jarang ditemui dalam kasus bank dalam

Pemegang Saham harus diputuskan bahwa

likuidasi. Karena kondisi bank dalam likuidasi

setiap pencairan aset bank dalam likuidasi

secara umum masih punya banyak kewajiban

oleh pemegang saham harus digunakan untuk

kepada kreditur dalam hal ini yang paling

membayar kewajiban kepada kreditur dalam

banyak kepada Pemerintah, dan masih terdapat

hal ini Pemerintah. Untuk memperkuat hasil

aset yang tidak dapat dicairkan karena aset

keputusan Rapat Umum Pemegang Saham

bank dalam likuidasi banyak aset yang

tersebut masing-masing pemegang saham

bermasalah.

perlu diikat secara hukum yaitu dengan membuat pernyataan bahwa setiap pencairan

Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa

aset akan digunakan untuk membayar

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang

kewajiban kepada kreditur dalam hal ini

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

Pemerintah.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998, Peraturan

64

Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI

Tentunya pemilihan alternatif penyelesaian

No. 32/53/KEP/DIR menempatkan posisi Rapat

seperti ini diperlukan itikad baik dari para

Umum Pemegang Saham sebagai lembaga

pemegang saham untuk menyelesaikan

yang cukup sentral dimana bank setelah izin

likuidasi dan menyelesaikan kewajiban kepada

usahanya dicabut oleh Bank Indonesia,

Pemerintah. Karena apabila pemegang saham

kemudian diperintahkan untuk mengadakan

tidak beritikad baik dan malah sebaliknya

RUPS guna membubarkan badan hukum bank

mereka membuat keputusan yang

dan membentuk Tim Likuidasi untuk kemudian

menguntungkan para pemegang saham, maka

melalui dilakukan proses likuidasi. Selain itu

tindakan tersebut akan menimbulkan potensi

pada akhir likuidasi Tim Likuidasi diwajibkan

hilangnya pengembalian uang Pemerintah.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

4. Pengaturan Pengakhiran Likuidasi Bank

jangka waktu pelaksanaan likuidasi (maksimal 4

Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor

tahun), Tim Likuidasi melakukan evaluasi mengenai

24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin

potensi sisa aset. Dalam hal masih terdapat potensi

Simpanan

pencairan aset maka Tim Likuidasi mengajukan perpanjangan jangka waktu likuidasi untuk

Tidak seperti halnya ketentuan likuidasi dalam

menyelesaikan pencairan sisa aset tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 yang

Adapun syarat perpanjangan tersebut yaitu: a.

masih mendudukan posisi pemegang saham dalam

Perkiraan nilai pencairan aset melebihi biaya yang

posisi yang cukup sentral yaitu berperan dalam

dibutuhkan untuk pencairan aset tersebut termasuk

pembentukan dan pembubaran Tim Likuidasi dan

biaya operasional likuidasi akibat dari perpanjangan

juga berpengaruh dalam menerima pertanggung-

tersebut, dan b. jangka waktu pelaksanaan

jawaban hasil kerja Tim Likuidasi, dalam UU LPS

likuidasi bank masih dapat diperpanjang.

diatur bahwa segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang

Dalam hal tidak terdapat potensi pencairan aset,

RUPS diambil alih oleh LPS. Dengan dilakukannya

maka Tim Likuidasi dapat melakukan:

pengambilalihan segala hak dan wewenang

a. penghapusan aset yang sebelumnya dinilai nihil

pemegang saham, termasuk hak dan wewenang

dalam Neraca Sementara Likuidasi43 (sebelum

RUPS, LPS dapat melakukan pemberesan aset dan

melakukan penghapusan aset tersebut Tim Likuidasi

kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh LPP.

wajib memberitahukan rencana penghapusan

Kewenangan melakukan pemberesan aset dan

aset tersebut kepada LPS paling lambat 7 hari

kewajiban dimaksudkan untuk memaksimalkan

sebelum tanggal penghapusan aset tersebut dan

pengembalian (recovery) dana

penjaminan.42

wajib melaporkan hasilnya kepada LPS); dan b. menawarkan sisa aset selain aset sebagaimana

Dengan pengambilalihan segala hak dan

huruf a sebagai pembayaran non tunai kepada

wewenang pemegang saham, termasuk hak dan

LPS selaku kreditur prioritas.

wewenang RUPS oleh LPS mengakibatkan pelaksanaan likuidasi oleh Tim Likuidasi menjadi

Dalam hal LPS menolak penawaran sisa aset

terbebas dari pengaruh para pemegang saham

tersebut atau masih terdapat sisa aset setelah

sehingga Tim Likuidasi dapat menjalankan tugasnya

dilaksanakan pembayaran dalam bentuk non tunai

lebih profesional tanpa adanya campur tangan

kepada LPS maka Tim Likuidasi menawarkan sisa

dari pemegang saham.

aset tersebut kepada kreditur selain LPS sesuai urutan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat

Begitupun juga halnya terkait dengan pengakhiran

(1).44

likuidasi, Peraturan LPS (PLPS) rupanya telah meminimalkan segala kemungkinan terjadinya kebuntuan dalam proses pengakhiran likuidasi seperti yang selama ini terjadi. Dalam PLPS Nomor 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank, diatur bahwa dalam hal masih terdapat aset yang belum bisa dicairkan dalam waktu 3 bulan sebelum berakhirnya

42 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan.

43 Neraca sementara likuidasi adalah neraca pertanggal pencabutan ijin usaha yang disusun oleh Tim Likuidasi berdasarkan neraca penutupan yangtelah diaudit dengan memperhitungkan aset berdasarkan nilai likuidasi (vide Pasal 1 angka 19 PLPS No. 1/PLPS/2011). 44 Pasal 38 PLPS No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank mengatur bahwa ururan pembayaran adalah: a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terhutang dan biaya operasional kantor; d. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan atau pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. Pajak terutang; f. Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g. Hak kreditur lainnya.

65

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Apabila sampai dengan batas waktu yang

a. Penyerahan pengurusan likuidasi kepada

ditentukan tidak ada kreditur yang bersedia atau

Balai Harta Peninggalan. Solusi penyelesaian

tidak memberikan tanggapan untuk menerima

dengan cara ini secara hukum dimungkinkan,

sisa aset sebagai pembayaran non tunai maka

sehingga dapat menjadi pertimbangan

kreditur yang bersangkutan dianggap melepaskan

untuk dijadikan materi undang-undang

haknya terhadap sisa aset yang ditawarkan

tentang Balai Harta Peninggalan yang

tersebut. Dalam kondisi demikian namun masih

sekarang sedang disusun oleh Pemerintah.

terdapat kewajiban yang belum diselesaikan maka

b. Melalui penyerahan sisa aset bank dalam

Tim Likuidasi mengajukan penghapusan sisa aset

likuidasi kepada pemegang saham, dimana

kepada LPS sebagai RUPS. Atas sisa aset tersebut

dalam penyerahan tersebut pemegang

LPS dapat melakukan penagihan/pencairan baik

saham harus dimintakan komitmen bahwa

lain.45

setiap pencairan aset bank dalam likuidasi

oleh LPS sendiri maupun menunjuk pihak

tersebuit diprioritaskan untuk membayar 5.1. Simpulan dan Saran

kewajiban bank dalam likuidasi kepada

Atas dasar hasil analisa dan dengan mengacu dari

para krediturnya yang dalam hal ini kreditur

berbagai literatur, berdasarkan sumber data baik

terbesar adalah Pemerintah.

primer maupun sekunder, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan

5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka sebagai

aset dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah

masukan atas permasalahan tersebut kiranya perlu

sebagai kreditur mayoritas dan sebagai pihak

dilakukan hal-hal sebagai berikut :

yang menggantikan kedudukan nasabah

1. Bank Indonesia dan Pemerintah agar segera

penyimpan secara hukum mempunyai dasar

mengambil sikap dalam menyelesaikan

yang kuat. Oleh karena itu penyelesaian

permasalahan likuidasi bank khususnya

likuidasi bank dengan cara tersebut merupakan

penyelesian likuidasi bank yang dicabut izin

alternatif yang patut dipertimbangkan untuk penyelesaian likuidasi bank yang dicabut izin usahanya pada periode 2004/2005. 2. Secara hukum pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah berakhirnya jangka waktu likuidasi mutlak diberikan, hal ini diperlukan untuk memberikan legitimasi kepada Tim

usahanya pada tahun 2004/2005. 2. Proses likuidasi harus segera diselesaikan karena akan menimbulkan berbagai dampak hukum, yaitu: a. Tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian likuidasi bank. b. Penurunan nilai aset BDL yang berpotensi

Likuidasi sehingga menunjang kelancaran Tim

mengurangi pengembalian uang Pemerintah.

Likuidasi dalam melaksanakan tugasnya untuk

c. Biaya Operasional yang tetap harus dibayar

menyelesaikan likuidasi. 3. Terdapat beberapa alternatif yang dapat

oleh BDL termasuk honor TL dan Staf Pendukung sehingga akan mengurangi

ditempuh untuk menyelesaikan likuidasi selain

pengembalian uang Pemerintah.

dengan pola penyelesaian melalui penyerahan

d. Kemungkinan adanya tuntutan dari

sisa aset bank dalam likuidasi kepada

kreditur dan pemegang saham atas aset

Pemerintah, yaitu dengan cara:

yang masih dikelola oleh Tim Likuidasi, sehingga akan berpotensi mengurangi jumlah aset yang dapat dikuasai oleh Pemerintah sebagai pembayaran kewajiban

45 Pasal 45 PLPS No. 1/PLPS/20011.

66

BDL kepada Pemerintah.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan pengurusan likuidasi kepada Balai Harta Peninggalan kiranya perlu dilakukan kajian oleh Pemerintah sehingga dapat dijadikan materi dalam undang-undang tentang Balai Harta Peninggalan yang saat ini tengah disusun oleh Pemerintah.

67

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000). Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002). L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982) J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti). J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996). M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010). Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177. Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ Siti Ismijati, Prof. Dr., Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011. Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009). Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959). Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf

68

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Undang-undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994). Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.

69

Halaman ini sengaja dikosongkan

PERLINDUNGAN PRIVASI DAN DATA PRIBADI: SUATU TELAAHAN AWAL Oleh : Josua Sitompul, S.H., IMM.1

Abstrak Dalam era digital, semakin banyak produk yang diubah dalam bentuk digital dan diperdagangkan melalui berbagai mekanisme transaksi elektronik. Data pribadi telah menjadi komoditas yang harus diserahkan sebelum pengguna atau pelanggan menikmati produk yang ia pilih. Hal ini dapat mengancam privasi seseorang. Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan, salah satunya, membangun regulasi yang kuat untuk melindungi privasi dan data pribadi. Artikel ini mendiskusikan konsep perlindungan privasi dalam Konstitusi Indonesia dan penerapannya dalam beberapa undang-undang. Kesimpulannya, perlindungan terhadap privasi bukan suatu perhatian utama para pendiri Republik dalam penyusunan UUD 1945. Akan tetapi, perubahan signifikan terjadi sejak reformasi. Berdasarkan pembahasan perubahan konstitusi Indonesia dan beberapa undang-undang dalam artikel ini, kesimpulan lain yang dapat diangkat untuk dikembangkan ialah bahwa Indonesia terbuka untuk menerima ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui secara Internasional sebagai hak asasi, termasuk privasi, sepanjang sesuai dengan Pancasila. Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri pribadi yang dilindungi oleh Konstitusi, dan perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap privasi. Pengembangan regulasi untuk melindungi data pribadi perlu dititikberatkan pada perlindungan terhadap diri pibadi. Kata Kunci : privasi, data pribadi; perlindungan

A. Latar Belakang

dapat diakses oleh anak berumur 10 tahun. Video klip serta film-film terbaru sudah dapat dinikmati

Keterhubungan manusia di seluruh dunia dan

bahkan diunduh dari berbagai website, seperti

keteraksesan terhadap informasi secara global adalah

4shared.com, youtube.com, dan onlinewatchmovie.net.

dua manfaat perkembangan teknologi informasi yang

Skandal-skandal besar yang dilakukan oleh para

fundamental. Dengan Internet, informasi dapat diakses

birokrat2 dan selebritis maupun peristiwa baik yang

dan tersebar secara cepat dan luas. Berbagai informasi

penting maupun yang dianggap remeh3 yang terjadi

yang dahulu sangat sulit diperoleh karena terbentur

di ujung belahan dunia kini tersedia di cyberspace.

waktu dan tempat kini dapat diakses dengan mudah

Informasi-informasi ini dapat diakses secara bebas

di Internet. Lagu-lagu luar negeri era 50-an, 60-an, atau 70-an yang pada zamannya hanya dapat dimiliki oleh segelintir orang dalam piringan hitam besar kini

1

Kasie Penindakan, Direktorat Keamanan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

2

Skandal Silvio Berlusconi misalnya dari http://www.bbc.co.uk/news/worldeurope-14960214, diakses tanggal 29 Desember 2011.

3

Foto bayi pasangan selebritis Bollywood, Aishwarya Raid an Abhishek Bachchan, dihargai Rp2.6 milar, diakses 29 Desember 2011 dari http://www.lintas.me/article/4ecdd3c760e53726a6000899.

71

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dan gratis; yang dibutuhkan hanya Internet serta

Bagaimana pengguna dapat mendapatkan kepastian

komputer, laptop, atau smartphone. Di sisi lain, dengan

bahwa data yang ia berikan tidak disalahgunakan?

bantuan Internet, transaksi berbagai produk dapat

Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi isu penting

dilakukan dengan cepat dan mudah. Kita hanya perlu

dalam wacana perlindungan terhadap privasi,

memilih4 barang atau jasa yang dibutuhkan dari

sebagaimana telah diangkat dalam berbagai media

berbagai penyedia, mengisi data yang diperlukan

belakangan ini.6 Kondisi ini membawa pada satu

pada format yang tersedia, membayarnya dengan

pertanyaan penting, yaitu bagaimana sistem hukum

menggunakan kartu kredit ataupun uang elektronik

di Indonesia perlu dikembangkan untuk melindungi

seperti paypal, dan menunggu produk. Demikian pula

privasi – secara khusus data pribadi – warga negara

dengan aplikasi-aplikasi menarik dalam smartphone

dalam dunia siber?

seperti whatsApp, ChatOn, dan Email yang dapat mengintegrasikan semua kontak yang pengguna

Sebagai negara yang memiliki pengguna Internet

miliki sehingga memudahkannya untuk berkomunikasi.

sebanyak 30 juta dalam regional Asia dan tingkat pertumbuhan internet yang meningkat sebesar

Akan tetapi, dalam melakukan transaksi elektronik

1,400% dalam kurun waktu 2000-20107, privasi dalam

seperti ini, seseorang memberikan data kepada pihak

cyberspace tentunya harus menjadi concern utama

yang kemungkinan besar ia tidak kenal. Informasi

berbagai pihak. Pertumbuhan pengguna facebook8

mengenai nama, alamat, email, dan nomor yang

di Indonesia meningkat drastis dari tahun 2009 dengan

dapat dihubungi serta nomor kartu kredit adalah data

jumlah 2.3 juta meningkat menjadi 20.7 juta pengguna

yang lazim dipersyaratkan dalam suatu transaksi

di tahun 2010 dan pada tahun 2011 jumlah pengguna

secara elektronik. Begitu juga dengan penggunaan

menjadi 35.1 juta; dengan kata lain pertumbuhan

aplikasi atau layanan dalam smartphone. Penyedia

pengguna facebook di Indonesia dalam kurun waktu

layanan aplikasi kerap meminta akses terhadap kontak,

2009-2011 adalah 1,412%. Statistik ini menjadikan

SMS, MMS, bahkan gambar atau video yang ada

Indonesia menjadi negara kedua pengguna facebook

dalam gadget pengguna.

terbesar setelah Amerika Serikat.9 Internet juga

Setelah transaksi dilakukan, setelah produk telah diterima oleh pembeli, selama pengguna masih menggunakan layanan aplikasi, apa yang dilakukan

6

Kebocoran Data Pribadi Gawat, Senin 18 Februari 2013, 08:16 diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/02/18/08161710/Kebocoran. Data.Pribadi.Gawat, tanggal 14 Maret 2013; UU Cybercrime Sangat Penting bagi Indonesia, Selasa, 12 Maret 2013, 04:47, diakses dari http://www.beritasatu.com/digital-life/101381-uu-cybercrime-sangatpenting-bagi-indonesia.html, tanggal 14 Maret 2013.

7

Suber Internet World Stats, http://www.internetworldstats.com/stats.htm dan http://www.internetworldstats.com/stats3.htm, diakses pada 11 Januari 2011.

8

Facebook merupakan salah satu situs jejaring sosial yang memberikan berbagai layanan interaktif. Sebelum dapat menggunakan layanan yang diberikan facebook, seseorang harus melakukan registrasi dengan memberikan informasi nama, alamat email, jenis kelamin, dan tanggal lahir. Setelah melakukan registrasi, pengguna dapat menambahkan berbagai informasi lainnya dalam akun yang diberikan facebook, seperti riwayat pendidikan, pekerjaan, kegemaran (buku, makanan, musik, film). Pengguna juga dapat memperbarui status mereka, atau menambahkan foto atau video pribadi. Facebook menghubungkan antara pengguna dan teman-temannya serta kelompok yang diminati. Semua informasi yang diberikan pengguna dapat memberi petujuk mengenai siapa, karakter, termasuk status sosial pengguna.

9

http://www.nickburcher.com/2011/04/facebook-usage-statistics-1stapril.html, diakses tanggal 30 Desember 2011.

oleh penyedia terhadap data yang telah diberikan? As, Neft (2003) mengingatkan “[t]here is an enormous amount of information about is in other people’s hands, and one thing is certain – some of us will be harmed by it. We just don’t know who, when, or how badly.5 Apakah akan segera dihapus, tetap disimpan, atau ditransaksikan dengan pihak lain?

4

Dalam hasil pencarian buku di amazon.com, ada 4.384 textbooks yang memuat kata privacy sebagai judul, sedangkan dalam hasil pencarian aksesoris komputer di ebay.com, ada 30.325 halaman yang masingmasing halaman memuat 50 produk. diakses 29 December 2011.

5

Nehf, James P., Recognizing the Societal Value in Information Privacy (January 20, 2003). Washington Law Review, Vol. 78, pp. 1-92, 2003. Diakses dari SSRN: http://ssrn.com/abstract=1989235

72

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

memberikan dampak positif pada kegiatan transfer

banyaknya tulisan yang telah dihasilkan maupun

dana di Indonesia. Penyelesaian akhir transaksi

pembahasan akademis yang diselenggarakan, usaha

pembayaran yang dilakukan transaksi dapat dilakukan

mendefinisikan dan menentukan ruang lingkup privasi

secara seketika (real-time). Berdasarkan catatan Bank

adalah seperti usaha mendefinisikan dan menentukan

Indonesia, pada tahun 2009 rata-rata transaksi kliring

ruang lingkup hukum, yaitu usaha yang perlu

setiap hari di Indonesia tercatat 341 ribu dengan total

meskipun tidak dapat komprehensif dan konklusif.

nominal mendekati Rp6.5 triliun. Berdasarkan Sistem

Solove (2002) menilai bahwa penentuan konsep

Real Time Gross Settlement Bank Indonesia, untuk

privasi sangat penting dalam pembentukan hukum

periode yang sama, rata-rata setiap hari mencapai

dan kebijakan; privasi merupakan bagian penting

47 ribu transaksi dengan total nominal hampir Rp178

dari kemerdekaan seseorang, demokrasi, dan

triliun.

kesejahteraan sosial.11 Solove mengakui bahwa privasi masih merupakan konsep yang samar karena masih

Salah satu konsep pengaturan dalam dunia siber ialah

terus berkembang seiring perkembangan waktu,

perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata

teknologi, dan zaman.

diberikan pula dalam dunia siber. Dalam dunia riil terdapat masyarakat yang terdiri dari kumpulan

Mengingat privasi bukanlah konsep asali yang diatur

manusia yang saling berinteraksi yang membutuhkan

dalam Konstitusi Indonesia pertama, untuk memahami

aturan dalam bersikap tindak mulai dari norma sosial

ruang lingkup dan konsep privasi yang dianut dalam

sampai hukum, yaitu norma yang memberikan sanksi

Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia,

yang memaksa dari negara. Dunia siber terdiri dari

perlu dibahas terlebih dahulu konsep privasi yang

masyarakat yang berasal dari dunia nyata dan akibat

berlaku secara internasional dan mengambil salah

aktivitas dalam dunia siber dapat berdampak nyata

contoh best practices yang berlaku di negara Amerika

dalam dunia riil. Oleh karena itu, dalam dunia siber

Serikat. Negara ini memiliki sejarah perkembangan

dibutuhkan aturan untuk mengatur masyarakat yang

privasi dalam sistem hukum common law yang

ada dan berinteraksi di dalamnya. Mengingat dalam

panjang serta didukung dengan literatur yang

dunia riil perlindungan terhadap privasi merupakan

memadai. Konsep-konsep yang dianut oleh negara

isu penting karena privasi merupakan salah satu hak

tersebut dijadikan pisau analisa dalam memahami

asasi yang diakui dalam konstitusi di banyak Negara,

privasi dalam Konstitusi dan perundang-undangan.

maka seharusnya, privasi seseorang dalam dunia siber

Lebih lanjut, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai

juga harus dilindungi sebagai hak asasi. Bagaimana

sejarah pengaturan privasi dalam Konstitusi serta

Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia

pengaturan privasi dalam beberapa undang-undang,

membangun konsep perlindungan privasi dan

yaitu UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2008 tentang

perlindungan data pribadi? Pemahaman ini akan

ITE, UU Perbankan, serta UU KIP. Dalam tulisan ini

memberikan dasar yang kuat untuk menentukan

ditegaskan bahwa perlindungan data pribadi

konsep perlindungan privasi dalam dunia siber, termasuk

merupakan bagian dari perlindungan privasi

pengembangan peraturan perundang-undangan terkait.

seseorang.

Privasi merupakan terminologi yang umum digunakan masyarakat dan merupakan subjek yang telah dibahas oleh sarjana dari berbagai sisi.10 Akan tetapi, terlepas

10 Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan privasi adalah hak untuk menyendiri (the right to be let alone).

11 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law review, Vol. 90, hal. 1093.

73

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

B. Pengaturan Privasi di Amerika Serikat

memperbaiki informasi jika terjadi kekeliruan. Akan tetapi, pada tahun 1860, pertanyaan

1. Sejarah Pengaturan Privasi

bertambah menjadi hampir 150 pertanyaan yang juga meminta informasi pribadi. Kebijakan

Pengaturan privasi di Amerika Serikat memiliki sejarah yang

panjang.12

Pada masa revolusi di

publikasi hasil sensus tetap berlangsung hingga pada tahun 1870. Ketika sensus tahun 1890,

Amerika Serikat, pengaturan privasi ditekankan

reaksi masyarakat sangat keras karena dalam

kepada kebebasan warga negara dari gangguan

sensus tersebut dimintakan informasi pribadi

yang dilakukan oleh pemerintah melalui tindakan

mengenai riwayat penyakit, ketidakmampuan,

penggeledahan atau penyitaan berdasarkan surat

kondisi keuangan seseorang. Menanggapi gejolak

perintah yang tidak spesifik tanpa ada bukti yang

tersebut, Kongres mengeluarkan pengaturan

cukup untuk melakukan tindakan-tindakan

untuk merahasiakan hasil sensus penduduk.17

tersebut. Akibatnya, munculah pergolakan untuk menegakkan hak privasi yang mendorong

Demikian juga dalam penyelenggaraan telegrafi

diterbitkannya Bill of Rights yang dikukuhkan

yang menimbulkan permasalahan privasi. Teknologi

dalam Amandemen Konstitusi yang Ketiga13,

telegrafi yang dipatenkan pada tahun 1837 atas

Keempat14

nama Samule Morse, berkembang pesat sebagai

dan

Kelima.15,16

alternatif media komunikasi. Akan tetapi, seiring Selain penggeledahan dan penyitaan, masalah

dengan perkembangan teknologi telegrafi,

privasi di Amerika Serikat juga muncul terkait

teknologi penyadapanpun semakin berkembang.

dengan sensus penduduk, persuratan, dan

Pada Perang Sipil (Civil War) yang terjadi dalam

telegrafi. Sensus penduduk yang diadakan

kurun waktu 1861 – 1865, penyadapan terhadap

pertama kali tahun 1790 hanya meminta warga

telegraf menjadi salah satu metode penting untuk

untuk menjawab empat pertanyaan. Hasil sensus

mengumpulkan informasi mengenai rencana dan

dipublikasikan di tempat umum agar warga dapat

kekuatan musuh. Meskipun Perang Sipil telah diselesai, praktik penggunaan penyadapan telegraf untuk mengumpulkan informasi tetap dilaksanakan.

12 Daniel J. Solove, 2006, A Brief History of Information Privacy Law, http://papers.ssrn.com/sol3/papers. cfm?abstract_id=914271 diakses 17 November 2010. 13 Third Amendment to the US Constitution: “No Soldier shall, in time of peace be quartered in any house, without the consent of the Owner, nor in time of war, but in a manner to be prescribed by law.” 14 Foruth Amendment to the US Consitution: “The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized.” 15 Fifth Amendment to the US Consitution: “No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.” 16 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:4-1:5.

74

Hal ini menimbulkan gejolak yang besar di masyarakat sehingga pada tahun 1880, rancangan undang-undang untuk melindungi privasi telegraf dikemukakan di Kongres.18 Dengan semakin berkembangnya teknologi kamera dan fotografi serta persuratkabaran, usaha perlindungan terhadap privasi menghadapi lingkungan yang baru. Distribusi surat kabar meningkat dengan pesat karena berkembangnya

17 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:6. 18 Priscilla Regan dalam Robert Ellis Smith, Ben Franklin’s Web Site: Privacy and Curiosity from Plymouth Rock to the Internet 12 (2000), supra note 18 hal 69, dalam Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1: 7-1:8.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

“yellow journalism”, yaitu jurnalisme yang memuat

ketidaknyamanan kepada orang lain, baik berupa

berita yang tidak mementingkan kebenaran dan

bau, kebisingan, asap, dan sebagainya.

keakuratan informasi, tetapi mementingkan berita utama yang menarik untuk meningkatkan oplah.19

Warren dan Brandeis menegaskan bahwa hukum

Berita skandal-skandal dan gossip terhadap orang-

juga harus mengatur privasi yaitu “the right to be

orang tanpa fakta yang akurat menimbulkan

let alone”.20 Yang mereka maksud dengan privasi

keresahan masyarakat yang besar. Hal inilah yang

ialah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan

menjadi latar belakang Warren dan Brandeis (1890)

diri yang meliputi emosi, pikiran, atau perasaan

menerbitkan sebuah artikel “The Right to Privacy”.

dalam berbagai bentuk aktivitas tanpa ada gangguan, khususnya gangguan dalam bentuk

Warren dan Brandeis melihat adanya kekosongan

publikasi atas dan dalam bentuk akses terhadap

hukum dalam melindungi privasi seseorang.

hasil ekspresinya tanpa ada persetujuan dari orang

Menurut mereka, sejarah Sistem Common Law

tersebut. Selain itu, termasuk ruang lingkup privasi

telah menunjukkan bahwa hukum melindungi

ialah segala informasi yang berkaitan dengan

properti dan pribadi seseorang. Akan tetapi, seiring

seseorang; informasi tersebut biasanya berasal

perkembangan waktu, lingkup terhadap “properti”

dari ekspresi atau aktivitas sehari-hari, seperti fakta

dan “pribadi” berubah. Perlindungan terhadap

mengenai hubungan seseorang dengan orang

“properti” mencakup tidak hanya yang berwujud,

lain. Tujuan dari perlindungan privasi menurut

tetapi juga yang tidak berwujud. Sedangkan

mereka adalah “the peace of mind or the relief

perlindungan terhadap “pribadi” tidak hanya

afforded by the ability to prevent any publication

terhadap fisik seseorang, tetapi juga perasaan dan

at all”. Dengan demikian, seseorang dapat

intelektualitas. Sistem hukum Common Law telah

mengembangkan kehidupan pribadinya dengan

mengenal adanya pengaturan mengenai larangan

maksimal.

menciderai tubuh seseorang, dan telah memperluas pengaturan tersebut hingga larangan mencoba

Warren dan Brendeis mengemukakan bahwa pada

menciderai seseorang. Selain perlindungan

dasarnya sistem common law telah memberikan

terhadap fisik seseorang, hukum juga melindungi

perlindungan terhadap privasi dengan memberikan

martabat atau nama baik orang dengan melalui

hak kepada setiap orang untuk menentukan

pelarangan terhadap penyerangan kehormatan

sampai sejauhmana segala aspek pribadinya akan

atau nama baik seseorang (slander atau libel).

atau dapat dikomunikasikan kepada pihak lain.

Tidak hanya itu saja, hukum juga dinilai perlu

Setiap orang tidak dapat dipaksa untuk

untuk melindungi inteliktualitas seseorang

mengekspresikan dirinya, dan terhadap hasil

sehingga dikembangkanlah pengaturan tentang

ekspresinya – dalam bentuk tulisan, lukisan, ucapan

intellectual property yang meliputi hak cipta,

atau bentuk lainnya – setiap orang juga diberikan

paten, merk, dan rahasia datang. Kemudian telah

hak untuk membatasi publikasi terhadap hasil

dikembangkan pula pengaturan mengenai “the

ekspresinya itu. Lebih lanjut menurut mereka21

law of nuisance” yaitu perlindungan terhadap

perlindungan terhadap privasi berbeda dengan

kenyamanan (easement) yang melarang seseorang

perlindungan terhadap nama baik seseorang

untuk melakukan tindakan yang menimbulkan

karena pada dasarnya nilai perlindungan terhadap

19 http://en.wikipedia.org/wiki/Yellow_journalism, diakses pada 8 Februari 2011. Dua surat kabar yang pada waktu itu menghadirkan Yello Jurnalism ialah New York World dan New York Journal.

20 Warren dan Brandeis, Ibid. 21 Warren dan Brandeis, Op.cit.

75

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

privasi bersifat spiritual. Sedangkan nilai

c. Hak privasi menjadi hilang dalam hal orang

perlindungan terhadap nama baik (pengaturan

yang bersangkutan memberikan persetujuan

mengenai libel dan defamation) bersifat materil.

terhadap publikasi atas informasi pribadinya. d. Yang menjadi esensi dari perlindungan

Perlindungan terhadap privasi juga berbeda dengan

terhadap privasi bukanlah benar atau tidaknya

perlindungan terhadap kekayaan intelektual.

informasi yang dipublikasikan, tetapi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa

perlindungan terhadap publikasi informasi

esensi privasi bersifat spiritual, maka perlindungan

tanpa persetujuan orang yang berhak.

yang diberikan oleh hukum seharusnya berupa ketenangan batin seseorang (peace of mind).

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa

Di lain pihak, hukum hak atas kekayaan intelektual

artikel Warren dan Brendies mempengaruhi sistem

memberikan perlindungan terhadap hasil

hukum common law di Amerika Serikat dengan

intelektualitas seseorang yang bernilai ekonomis

mulai diterimanya pengaturan hukum privasi dalam

berupa keuntungan yang dapat diperoleh dari

bentuk tort (privacy tort). Pada awalnya privacy

produksi dan pendistribusian hasil intelektualitas

tort diterapkan dalam kasus seperti publikasi foto

yang dimaksud. Sebuah diary yang berisi rahasia

seorang perempuan yang sedang menjalani operasi

pribadi seseorang dan dipublikasi oleh orang lain

caesar, pemasangan kamera tersembunyi di dalam

tanpa persetujuannya mungkin tidak melanggar

kamar yang disewa oleh pasangan, publikasi

hak atas kekayaan intelektual, tetapi dapat

penyakit seorang wanita yang menurutnya

melanggar hak privasi pemilik diary karena yang

memalukan, dan publikasi gambar telanjang yang

tidak dikehendaki oleh pemilik justeru publikasi

diambil oleh polisi, serta penggunaan gambar

terhadap konten yang terdapat dalam diary

seseorang untuk kepentingan iklan tanpa

tersebut, dan bukanlah keuntungan yang timbul

persetujuan.22

dari publikasi buku yang dimaksud. Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, William Warren dan Brendeis mengakui bahwa ruang

Prosser23 mengumpulkan preseden-preseden tort

lingkup hak privasi perlu diperjelas, tetapi sebagai

kasus invasi terhadap privasi dan

gambaran, beberapa pedoman pengaturan

mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori,

terhadap hak privasi dapat dilihat dari aspek-

yaitu:

aspek berikut.

1) penerobosan (intrusi) ke dalam kehidupan

a. Hak privasi tidak melarang publikasi hal-hal

pribadi seseorang, seperti mencari informasi

yang berkaitan dengan kepentingan publik

pribadi seseorang dengan melakukan

atau kepentingan umum. Akan tetapi,

penyadapan;

seseorang tetap memiliki hak untuk memilih

2) pengungkapan fakta-fakta yang memalukan

untuk tidak mempublikasi informasi tanpa

tentang seseorang kepada publik, misalnya

persetujuannya. Beberapa aspek yang menurut

mempublikasikan kebiasaan seseorang

mereka masuk dalam ruang lingkup privasi

memakan kotoran hidung;

ialah kehidupan pribadi, kebiasaan, hubungan atau relasi seseorang. b. Pengaturan terhadap privasi tidak melarang publikasi privasi seseorang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau berdasarkan perintah pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.

76

22 Danielle Keats Citron, Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106. 23 William L. Prosser, Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

3) publikasi yang membuat masyarakat salah

lingkup privasi ke dalam tiga kelompok. Kelompok

menilai seseorang, seperti gossip-informasi yang

pertama adalah privasi dalam arti ruang fisik, yaitu

tidak lengkap dan cenderung dibuat samar;

bahwa seseorang memiliki ruang fisik pribadi yang

4) penggunaan atribut dari identitas seseorang

terpisah dari publik dan tidak boleh dilanggar oleh

untuk mengambil keungungan tanpa

siapapun. Konsep ruang fisik ini didasarkan pada

persetujuan, seperti penggunaan foto

Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat.

seseorang untuk iklan tanpa persetujuan;

Kelompok kedua ialah privasi dalam arti kebebasan seseorang untuk menentukan pilihan tanpa campur-

2. Ruang Lingkup Privasi

tangan atau intervensi dari pemerintah atau orang lain. Kelompok terakhir ialah privasi dalam arti

Solove menegaskan bahwa banyak sarjana

hak yang diberikan kepada seseorang untuk

berusaha untuk menentukan ruang lingkup privasi

mengontrol pemrosesan informasi pribadinya; yang

dengan memberikan kriteria-kriteria privasi untuk

termasuk dalam pemrosesan ialah pengumpulan,

membedakan terminologi tersebut dengan

pengungkapan dan penggunaan. Menurut Kang,

terminologi lainnya. Tujuan memberikan batasan

ketiga kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan

mengenai konsep privasi ialah untuk menentukan

satu sama lain secara tegas.

karakteristik-karakteristik yang unik dari privasi sehingga penggunaan terminologi ‘privasi’ dapat

Menurut Kang, perlindungan terhadap privasi

mencakup hal-hal yang termasuk dalam ruang

dapat didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung

lingkup privasi itu

sendiri.24

dalam privasi. Pertama, pengaturan mengenai privasi dapat melindungi diri dari hal-hal yang

Lebih lanjut menurutnya, konsep privasi sangat

memalukan; dalam budaya tertentu, pengungkapan

dipengaruhi secara terus menerus oleh

tindakan atau kelakuan seseorang dapat

perkembangan sejarah dan budaya masyarakat.

mempermalukan orang tersebut meskipun kelakuan

Oleh karena itu, konsep privasi dapat berubah

atau tindakan tersebut tidak dapat disalahkan.

dan meluas cakupannya sehingga apa yang dulu

Misalnya tindakan buang air kecil; semua orang

dianggap bagian dari publik dapat menjadi suatu

melakukannya, tetapi mengambil foto orang yang

hal yang pribadi. Salah satu bagian penting dalam

melakukan buang air kecil dan menaruhnya di

perkembangan sejarah dan budaya masyarakat

internet dapat mempermalukan orang tersebut.

ialah perkembangan teknologi yang juga

Kedua, pengaturan terhadap privasi memberikan

mempengaruhi konsep privasi dari masa ke masa.

dasar dalam hubungan yang bersifat intim;

Hukum, menurutnya, harus memberikan

kebebasan seseorang untuk memberikan informasi

kelenturan yang besar untuk mengkonsepsikan

kepada orang lain yang dapat mengungkapkan

masalah-masalah

privasi.25

dirinya sebenarnya dapat menciptakan hubungan yang bersifat intim, seperti persahabatan atau

Perkembangan ruang lingkup privasi juga diangkat

kekasih. Oleh karena itu, privasi terhadap informasi

oleh Jerry Kang (1998).26 Kang membagi ruang

seperti ini perlu dilindungi. Ketiga, perlindungan terhadap privasi melindungi seseorang dari penggunaan informasi pribadi yang tidak sesuai.

24 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, 2002, California Law Review, Vol 90, hal. 1095-1096. 25 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law Review, Vol. 90: 1087, 1088-1154, Hal. 1146. 26 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, April 1998, Vol. 50, No. 4, hal.202-1203.

Penyalahgunaan tersebut dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, penggunaan informasi yang tidak benar atau sesuai dapat berdampak pada keputusan yang keliru. Informasi mengenai catatan tindakan kriminal seseorang dapat membuat orang

77

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tersebut sulit mendapatkan pekerjaan. Kedua,

2. Informasi yang bukan pribadi (nonpersonal

pengambilan dan penggunaan informasi yang

information). Untuk ruang lingkup privasi ini,

benar untuk tujuan selain peruntukkannya dapat

Jerry Kang mengemukakan konsep “residual

menimbulkan kerugian. Pengambilan informasi

privacy interest”31 terhadap informasi yang

nomor telepon dari buku kuning dan

bukan pribadi, khususnya mengenai anonimitas.

menggunakannya untuk melakukan penipuan

Menurutnya, meskipun informasi telah dibuat

atau pengumpulan informasi kartu kredit

samar karena individu yang memberikan

seseorang yang melakukan transaksi elektronik

informasi telah diganti menjadi sosok anonim,

dengan bantuan skimmer dan menggunakannya

orang tersebut masih memiliki hak privasi

untuk melakukan transaksi online adalah contoh-

terhadap sisa informasi sepanjang ia memiliki

contoh yang dimaksud.27

kepentingan terhadap informasi tersebut karena ia berhak atas seluruh proses, mulai dari

Kang mengambil ruang lingkup privasi informasi

pengumpulan, pengungkapan, dan penggunaan

dari the National Information Infrastructure tentang

informasi. Selain itu, menurut Kang, dalam

Privacy and the National Information Infrastructure:

hal informasi dapat menggambarkan suatu

Principles for Providing and Using Personal

grup secara langsung, tetapi tidak secara

Information, bahwa yang dimaksud dengan privasi

langsung menggambarkan seseorang dalam

terhadap informasi ialah “an individual’s claim to

grup tersebut, informasi yang dimaksud

control the terms under which personal

termasuk bagian dari informasi pribadi. Akan

information – information identifiable to an

tetapi ia menegaskan bahwa hak privasi hanya

individual – is acquired, disclosed, and used.”28

diberikan kepada individu, dan bukan grup atau organisasi.

Ruang lingkup privasi terhadap informasi ialah: 1. Informasi pribadi (personal information), yang dimaksud dengan informasi pribadi ialah “information identifiable to the

individual”29.

Lebih lanjut, Solove juga mengajukan konsep taksonomi dari privasi dengan menentukan masalah-masalah yang dapat mengganggu privasi,

“Pribadi” memiliki makna hubungan antara

khususnya tindakan-tindakan yang melanggar

informasi tertentu dengan seseorang, sehingga

privasi. Melalui taksonomi ini, diharapkan sistem

terlepas apakah informasi tersebut bersifat

hukum dapat memahami ruang lingkup privasi

sensitif, privat, atau

memalukan.30

dan membentuk aturan-aturan hukum yang melindungi privasi. Dalam taksonomi yang dimaksud, terminologi “privasi” adalah terminologi

27 Jerry Kang, hal. 1212-1214. 28 Jerry Kang, hal. 1205. Lihat juga Privacy Working Group Information Policy Committee Information Infrastructure Task Force (IITF), 6 Juni 1995, diakses dari http://aspe.hhs.gov/datacncl/niiprivp.htm pada tanggal 2 Januari 2012. Yang mau ditekankan di sini ialah bahwa perhatian utama tentang pentingnya perlindungan terhadap informasi pribadi telah ditegaskan sejak tahun 1995. 29 Diambil dari IITF 30 Jerry Kang, hal. 1206-1207. Informasi dapat mengarahkan kepada atau menggambarkan seseorang dengan tiga cara: (a) hubungan antara penulis informasi dan seseorang. Suatu informasi dapat dibuat atau disiapkan oleh seseorang dalam suatu komunikasi antara dirinya dengan pihak lain. Informasi tersebut dapat berupa surel pribadi, atau foto-foto pribadi; (b) informasi dapat mendeskripsikan seseorang selain berdasarkan hubungan antara penulis dan seseorang. Contohnya adalah informasi mengenai golongan darah, jenis kelamin, tanggal lahir, tinggi dan berat-

78

payung32 dan model taxonomi yang dibangun

badan, sidik jari, atau DNA. Informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai seseorang, termasuk hubungan sosial, catatan kriminal, atau tingkat pendidikannya serta aktivitas yang dilakukannya; (c) informasi selain dua kategori tersebut tetapi masih bersifat pribadi jika informasi tersebut dipetakan lebih jauh. Nomor Keamanan Sosial (Social Security Number) bukanlah informasi yang dibuat oleh seseorang dan juga tidak menyatakan aktivitasnya. Akan tetapi, dengan menggunakan alat atau perangkat tertentu, SSN dapat memberikan informasi yang detail mengenai kehidupan seseorang. 31 Jerry Kang, hal. 1209. 32 Daniel J. Solove, A Taxonomy of Privacy, University of Pennsylvania Law Review Vol. 154, No. 3, January 2006, pp. 477 s.d. 560.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Solove menempatkan individu sebagai pusat dari

Kang (1998) juga memiliki kesimpulan yang serupa.

privasi. Ia mengajukan empat kelompok tindakan

Ia melihat pengumpulan informasi pribadi oleh

yang dapat melanggar privasi, yaitu pengumpulan

para pihak yang bertransaksi secara garis besar

informasi, pengolahan informasi, diseminasi

tidak diatur oleh undang-undang. Amerika Serikat

informasi, dan invasi.

tidak memiliki satu undang-undang privasi yang komprehensif (omnibus) yang mengatur sektor

3. Konstitusionalitas Privasi terhadap Informasi

privat atau swasta dalam mengelola informasi pribadi, seperti dimiliki di beberapa negara Eropa.

Terkait dengan privasi terhadap informasi, Cate dan Litan

(2001)33

memberikan argumen bahwa

Pengaturan informasi pribadi di Amerika Serikat beragam, tergantung dari cara penerimaannya,

berdasarkan Konstitusi di Amerika Serikat,

siapa yang melakukan, dan bagaimana informasi

perlindungan terhadap hak privasi sebagai hak

tersebut akan digunakan.37 Sayangnya, menurut

asasi baik dalam dunia konvensional maupun

Kang, hukum federal di Amerika tidak mengatur

dunia siber hanya diterapkan terhadap tindakan

perlindungan informasi privasi seseorang terhadap

yang dilakukan

pemerintah.34

Mereka mengangkat

fakta bahwa Amandemen Keempat Konstitusi Amerika

Serikat35

ditujukan untuk melindungi

invasi yang dilakukan oleh sektor privat atau swasta karena doktrin state action38 yang dianut di Amerika, dan ketidakjelasan sampai sejauh

privasi seseorang dari campur tangan pemerintah

mana Konstitusi melindungi informasi privasi

karena perlindungan yang diberikan hanya

seseorang. Dengan demikian, sistem tort mengenai

ditujukan kepada penggeledahan dan penyitaan

invasi terhadap privasi di Amerika tidak memberikan

yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini

pembatasan yang efektif terhadap pengelolaan

aparat penegak hukum. Akan tetapi, di sisi lain,

informasi.39

berbagai pihak telah melihat perlunya perlindungan terhadap privasi terhadap sektor privat, seperti

Ada beberapa statuta yang mengatur sektor

pembatasan dalam pengumpulan dan penggunaan

tertentu mengenai informasi pribadi, seperti

informasi pribadi dalam bisnis. Sayangnya, konsep

konsumen kartu kredit, pendidikan, komunikasi

tersebut masih belum didukung dalam putusan-

elektronik, catatan kendaraan bermotor. Akan

putusan pengadilan di negara Amerika. Oleh

tetapi, tidak ada dari statuta tersebut yang

karena itu, mereka mengusulkan bahwa urgensi

membatasi para pihak yang bertransaksi untuk

perlindungan privasi terhadap sektor privat dapat

mengumpulkan informasi.40

didasarkan pada Amendement Pertama Konstitusi AS.36 33 Fred Cate and Robert E. Litan, Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, tanggal 30 Desember 2011. 34 Cate dan Litan, hal. 4. 35 The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized. 36 Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances.

37 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, Vol. 50, 1998 , hal. 1230. 38 Doktron state action adalah konsep hukum di Amerika Serikat yang mengakui bahwa perlindungan yang diberikan Konstitusi – seperti dalam Amandement XIV dan I – hanya dimaksudkan kepada kewenangan memaksa negara terhadap individu, dan bukan kewenangan memaksa yang dilakukan individu terhadap individu lainnya, http://rationalwiki.org/wiki/State_action_doctrine, diakses 1 Maret 2012. 39 Kang, hal. 1230-1231. Kang mengangkat contoh bahwa Privacy Act Amerika yang diundangkan tahun 1974 juga hanya ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan bukan terhadap sektor swasta. 40 Jerry Kang, hal. 1232.

79

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Fan (2011) juga mengangkat wacana bahwa

ruang seseorang yang dapat dibawanya dan

sistem hukum Amerika Serikat masih mencari

bagian itu dilindungi dari gangguan yang tidak

konstitusionalitas perlindungan privasi terhadap

diinginkan, termasuk hak seseorang untuk

informasi.41

mengungkap jati dirinya sebagai bentuk

Menurut Fan – secara hipotetis –

Konstitusi memberikan perlindungan tersebut

otonomitas seseorang.43

berdasarkan pemahaman bahwa hak privasi terhadap informasi lahir dari intuisi moral

Meskipun dalam Amandemen XIV tidak

masyarakat yang menuntut adanya keseimbangan

menyebutkan adanya perlindungan terhadap

kewenangan antara negara dan warganya,

privasi secara eksplisit, hakim pada kasus Griswold

termasuk pembatasan kewenangan negara dalam

v. Connecticut memberikan pertimbangan bahwa

melakukan invasi terhadap privasi seseorang.

perlindungan privasi dapat ditemukan dalam ‘penumbra’44 dan ‘emanasi’ (pancaran) Konstitusi.

Lebih lanjut menurut Fan, meskipun dalam

Namun demikian, beberapa pengadilan yang

Konstitusi Amerika Serikat tidak secara tegas

menekankan legalitas memberikan pertimbangan

tertulis eksistensi hak tersebut, perlindungan hak

bahwa menginterpretasikan secara sangat luas

privasi tetap tercakup dalam Konstitusi karena

mengenai hak konstitusi yang tidak secara tegas

pada dasarnya perlindungan terhadap privasi

menyatakan hak tersebut merupakan suatu

merupakan perlindungan terhadap kebebasan

tindakan yang tidak tepat sistem yurisprudensi.45

yang dilindungi Konstitusi, khususnya berdasarkan Amandemen XIV Konstitusi AS.42 Seseorang bebas

Fan mengemukakan bahwa “privacy is a

memutuskan pilihan tanpa ada campur tangan

transitional lens that helps us view liberty in a

orang lain, termasuk pemerintah. Konstitusi

new light.” Intuisi dapat menjadi salah satu

melindungi kebebasan seseorang karena pada

pedoman yang sangat kuat dalam memberikan

dasarnya manusia adalah makhluk otonom, dan

pertimbangan hukum di pengadilan karena intusi

ada hubungan yang kuat antara privasi dengan

menyatukan pengalaman yang mungkin sulit

otonomi manusia, yaitu bahwa konsep privasi

untuk diterjemahkan secara perkataan. Akan

adalah penegasan dari kebebasan manusia dari

tetapi Fan juga mengingatkan bahwa intuisi dapat

interferensi orang lain. Privasi adalah bagian dari

menimbulkan bias sehingga penggunaan intuisi perlu dilakukan secara berhati-hati.46 C. Pengaturan Privasi dalam Instrumen Internasional

41 Marry D. Fan, Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011. 42 Putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika terhadap Griswold v. Connecticut adalah salah satu perlindungan terhadap privasi seseorang dalam menentukan pilihan. Permasalahan dalam sengketa antara Negara Bagian Connecticut dan Grisworld adalah bahwa hukum Negara Bagian Connecticut pada waktu itu melarang segala bentuk penggunaan obat atau alat yang dapat mencegah pembuahan. Griswold membuka klinik kontrol kelahiran di Connecticut yang mengakibatkan ia ditahan, diadili, dan dinyatakan bersalah karena telah menyarankan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kelahiran. Terhadap keputusan tersebut, Griswold melakukan banding dengan dasar bahwa larangan penggunaan alat kontrasepsi oleh undang-undang Connecticut telah melanggar Amandemen XIV Konstitusi AS; Supreme Court memutuskan bahwa hukum Connecticut tersebut telah melanggar Konstitusi. Amandemen XIV Konsitusi AS: ‘no state shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law...nor deny any person the equal protection of the laws.”

80

dan Regional 1. The Universal Declaration of Human Rights The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) merupakan pernyataan resmi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa yang berisi pengakuan

43 Fan menyarikan dari pertimbangan Hakim Distrik Robert Carter, hal. 14. 44 Penumbra ialah bayangan kabur yang terjadi pada saat gerhana bulan. 45 The Sixth Circuit in J.P. v. DeSanti, dalam Fan, hal. 14. 46 Fan, hal. 27.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi

Pasal 17 ICCPR memberikan perlindungan dari

manusia pada tahun 1948. UDHR merupakan

gangguan terhadap privasi, keluarga, rumah, atau

respons negara-negara terhadap kejahatan

korespondensi yang dilakukan secara sewenang-

kemanusiaan yang terjadi pada waktu Perang

wenang dan tidak sah, termasuk pelanggaran

Dunia II. Isi deklarasi ini menekankan perlindungan

terhadap martabat atau reputasi seseorang. Yang

hak-hak asasi manusia sebagai individu. Kemudian,

dimaksud “tidak sah” (unlawful) adalah tindakan

pada tahun 1966, UDHR dijadikan dua instrumen

yang dilakukan tidak berdasarkan perundang-

internasional, yaitu International Covenant on Civil

undangan. Dengan kata lain, gangguan terhadap

and Political Rights (ICCPR) dan the International

privasi hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud

(ICESCR). Ketiganya disebut sebagai The

dengan “sewenang-wenang” (arbitrary) ialah

International Bill of Human Rights. Pada dasarnya

tindakan yang dilakukan melampaui kewenangan

ICCPR mengatur pembatasan kewenangan negara

yang diberikan perundang-undangan. Dengan

terhadap hak-hak asasi individu. Hak-hak sipil dan

kata lain, meskipun perundang-undangan

politik sebagai hak asasi yang diatur dalam ICCPR

memberikan kewenangan untuk mengganggu/

merupakan hak-hak negatif, yaitu hak-hak yang

melanggar privasi seseorang, kewenangan tersebut

akan terpenuhi apabila peran negara terbatas. Di

tidak boleh digunakan secara subjektif oleh

lain pihak, ICESCR mewajibkan peranan negara

pengemban kewenangan. Kewenangan-

dalam memenuhi hak-hak asasi manusia di bidang

kewenangan yang dapat menimbulkan gangguan

ekonomi sosial dan budaya. Dengan kata lain,

atau pelanggaran terhadap privasi harus disebutkan

peranan aktif negara dibutuhkan untuk menjamin

secara eksplisit dan detail dalam perundang-

pemenuhan hak asasi

manusia.47

undangan, termasuk situasi-situasi yang diizinkan oleh perundang-undangan mengenai gangguan

Perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi dinyatakan dalam Pasal 12

UDHR.48 Lebih

lanjut,

terhadap privasi. Oleh karena itu, tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap alat

privasi dikategorikan sebagai hak asasi manusia

komunikasi termasuk perekaman percakapan pada

dalam bidang sipil dan politik yang diatur dalam

dasarnya merupakan hal yang dilarang.49

Pasal 17 ICCPR, yaitu: (1) No one shall be subjected to arbitrary or

Penerapan dari ketentuan ini ialah, antara lain,

unlawful interference with his privacy, family,

penggeledahan terhadap rumah seseorang harus

home or correspondence, nor to unlawful

dibatasi hanya terhadap pencarian alat bukti yang

attacks on his honour and reputation.

diperlukan dan tidak boleh menimbulkan gangguan

(2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.

atau ancaman. Selain itu, pengumpulan dan penyimpanan informasi dalam komputer, bank data, dan media lainnya, oleh pemerintah, individu, atau institusi harus diatur dengan undang-undang sehingga informasi mengenai kehidupan pribadi seseorang tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak

47 Ifdal Kasim, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, hal. 2, diakses dari http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, pada tanggal 17 Desember 2011. 48 Yaitu “no one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.”

memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang

49 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.

81

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

untuk menerima, mengolah dan menggunakan

ekspansi perdagangan serta kesejahteraan individu.

informasi tersebut. Oleh karena itu, setiap individu

Data pribadi didefinisikan sebagai setiap informasi

harus diberikan hak untuk mengetahui data

yang terkait dengan individu yang teridentifikasi

pribadinya yang dapat disimpan dan untuk tujuan

atau dapat diidentifikasi. Sedangkan yang dimaksud

apa. Setiap individu juga berhak untuk memeriksa

dengan pemrosesan data ialah segala bentuk

datanya yang dikontrol oleh instansi pemerintah,

pengoperasian atau pengelolaan data pribadi baik

individu, atau institusi privat lainnya. Individu juga

secara otomatis maupun manual yang mencakup

diberikan hak untuk mengubah atau mengganti

pengumpulan, perekaman, pengorganisasian,

informasi yang pernah diberikannya pada

penyimpanan, penyesuaian, penggunaan,

pemerintah, instutusi privat, dan

individu.50

pengungkapan, pendiseminasian, dan penghapusan data pribadi.

Meskipun ICCPR tidak memberikan definisi atau ruang lingkup privasi, tetapi Pasal 17 ICCPR

Negara-negara anggota menyadari adanya

memberikan dasar bagi perlindungan terhadap

perbedaan tingkatan perlindungan terhadap privasi

informasi pribadi sebagai hak asasi manusia.

yang dapat membatasi transmisi data pribadi dari

Selain itu, prinsip penting lainnya ialah bahwa

satu negara anggota ke negara anggota lainnya.

perlindungan terhadap informasi pribadi seseorang

Instrumen ini bertujuan untuk menghilangkan

menjadi tanggung jawab pihak yang mengumpulkan

hambatan pemrosesan data dengan menyesuaikan

atau menyimpan informasi yang dimaksud, seperti

tingkat perlindungan data di negara-negara

pemerintah, pelaku usaha, atau komunitas.

anggota, bukan dengan menurunkan tingkat perlindungan privasi tetapi dengan memastikan

2. Directive 95/46/EC

bahwa perlindungan privasi diberikan dalam tingkatan yang tinggi. Beberapa prinsip penting

Directive 95/46/EC on the Protection of Individuals

dalam pemrosesan data yang diatur dalam

with Regard to the Processing of Personal Data

instrumen ini ialah, antara lain, pertama pemrosesan

on the Free Movement of Such Data (Directive

data pribadi harus dilakukan secara sah dan sesuai

95/46/EC) merupakan instrumen regional Uni

hukum (lawful) serta fair terhadap individu yang

Eropa yang ditetapkan pada tahun 1995.

bersangkutan. Pada dasarnya, untuk dapat

Perlindungan terhadap data pribadi, menurut

dikatakan sah dan sesuai hukum, pemrosesan

instrumen ini, sebagaimana terlihat dari judulnya,

data pribadi harus didasarkan pada persetujuan

merupakan bagian dari usaha perlindungan

dari individu tersebut, dan didasarkan pada

terhadap pribadi. Lebih tegasnya menurut

perlindungan terhadap kepentingan individu yang

instrumen ini, sistem pemrosesan data didesain

merupakan bagian penting dari hidupnya.

untuk mengabdi pada manusia dan sistem yang

Pemrosesan data disebut fair apabila individu

dibangun harus menghormati hak-hak dan

memahami bahwa data pribadinya diolah, dan ia

kebebasan-kebebasan mendasar, khususnya hak

dapat mengetahui proses pengolahannya, serta

privasi. Sistem pemrosesan data dilain pihak juga

mengetahui dari mana data tentang dirinya

harus memiliki dampak positif dengan memberikan

diperoleh, dan mendapatkan informasi tersebut

kontribusi terhadap kemajuan ekonomi dan sosial,

dengan akurat dan lengkap. Kedua, data yang diproses harus secukupnya, relevan, dan tidak berlebihan dalam hubungannya dengan tujuan pemrosesan data. Ketiga, tujuan yang dimaksud

50 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.

82

harus dinyatakan secara eksplisit dan sah serta ditentukan pada saat pengumpulan data.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Negara anggota dapat menentukan secara spesifik

APEC Privacy Framework menegaskan sembilan

kondisi-kondisi dimana data pribadi dapat

prinsip dalam perlindungan privasi terhadap

diungkapkan kepada pihak ketiga untuk

informasi. Prinsip pertama ialah harus ada

kepentingan marketing. Akan tetapi, terhadap

perlindungan dari segala bentuk penyalahgunaan

hal ini, individu yang bersangkutan diberikan hak

terhadap informasi yang diberikan individu.

untuk menolak pemrosesan data tersebut dengan

Sehubungan dengan itu, perlu ada pengaturan

tidak dikenakan biaya dan tanpa perlu menyatakan

mengenai kewajiban yang memperhitungkan

alasan penolakannya.

resiko dan pengaturan sanksi yang sesuai dengan penyalahgunaan. Kedua, pengelola informasi

Perlindungan data pribadi warga negara-negara

pribadi harus menyediakan informasi yang jelas

anggota tidak hanya diberikan dalam pemrosesan

dan dapat diakses dengan mudah mengenai

data dalam lingkup perdagangan negara-negara

kebijakan dan tindakan mereka terhadap informasi

anggota, tetapi juga dalam hal perdangangan

pribadi. Ketiga, pengumpulan informasi pribadi

internasional. Maksudnya, perlindungan data

harus dibatasi hanya kepada informasi yang relevan

pribadi yang diproses di luar negara anggota harus

dengan tujuan pengumpulan, dan informasi harus

sama dengan standar yang diberikan negara

diperoleh secara sah dan sesuai hukum (lawful),

anggota berdasarkan Directive 95/46/EC. Apabila

serta fair dan patut. Pengumpulan informasi harus

negara ketiga tidak dapat memberikan jaminan

dilakukan berdasarkan pemberitahuan kepada,

yang sama maka transfer data pribadi kepada

atau persetujuan dari individu yang bersangkutan.

negara ketiga tidak boleh dilakukan.

Sehubungan dengan itu, prinsip keempat menegaskan bahwa penggunaan informasi pribadi

3. APEC Privacy Framework

yang telah dikumpulkan harus digunakan hanya untuk memenuhi tujuan dari pengumpulan, dan

Negara-negara anggota APEC menyadari

tujuan lain yang sama dengan itu.

pentingnya perlindungan privasi terhadap informasi (information privacy) dan pengaturan pertukaran

Prinsip kelima mengatur bahwa sepanjang

informasi negara anggota. Negara anggota juga

dimungkinkan, individu harus mendapat

menyadari bahwa rendahnya kepercayaan dan

mekanisme yang jelas dan dapat dimengerti dan

keyakinan konsumen terhadap perlindungan privasi

diakses dengan mudah dalam menentukan pilihan

dan keamanan transaksi secara online adalah

terkait dengan pengumpulan, penggunaan, dan

kondisi yang dapat menghambat perkembangan

pengungkapan informasi pribadi mereka. Keenam,

perdagangan secara elektronik. Teknologi yang

informasi pribadi harus terjaga keakuratan,

ada memudahkan pengumpulan, penyimpanan,

kelengkapan, dan keterbaruannya sesuai dengan

dan pengaksesan informasi secara global yang

tujuan penggunaan informasi. Ketujuh, pengelola

memberikan manfaat besar baik secara ekonomi

informasi pribadi harus melindungi informasi

maupun sosial bagi pelaku usaha, individu,

pribadi yang ada padanya dengan menerapkan

termasuk pemerintah. Akan tetapi di sisi lain,

berbagai bentuk pengamanan yang proporsional

teknologi yang ada juga membuat individu semakin

untuk menghadapi resiko seperti kehilanggan

sulit untuk memiliki kontrol terhadap data pribadi

atau akses yang tidak sah, perusakan, penggunaan,

mereka. APEC Privacy Framework merupakan

pengubahan, pengungkapan, serta bentuk

“ethical information practices in on- and off-lne

penyalahgunaan lainnya. Kedelapan, individu

context to bolster the confidence of individuals

harus dapat menerima konfirmasi dari penggelola

and businesses”.

informasi mengenai pengelolaan informasi yang ia berikan. Individu juga harus dapat berkomunikasi

83

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

dengan pengelola, termasuk mempertanyakan keakuratan informasi, dan dapat meminta

D. Pengaturan Privasi dalam Perundang-undangan di Indonesia

pengelola untuk memperbaiki, mengubah, atau menghapus informasi. Terakhir, pengelola informasi harus mematuhi prinsip-prinsip tersebut di atas.

1. Perkembangan Pengaturan Privasi dalam Konstitusi

Apabila pengelola akan mentransfer informasi pribadi kepada orang atau organisasi lain, baik

Pengaturan hak privasi sebagai hak asasi manusia

dalam lingkup domestik maupun internasional,

dalam konstitusi dan peraturan perundang-

ia harus memperoleh persetujuan dari individu,

undangan di Indonesia telah dimulai pada sidang-

atau mengambil langkah-langkah yang hati-hati

sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan

untuk memastikan bahwa pihak penerima

Persiapan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI dibentuk

informasi akan melindungi informasi tersebut

pada tanggal 29 April 1945 dengan tujuan

konsisten dengan prinsip-prinsip yang dimaksud.51

menyusun rancangan UUD 1945. Dalam sidangsidang tersebut, pendapat Soekarno dan Soepomo

Menurut Green (2012), APEC Privacy Framework

di satu sisi serta pendapat Mohammad Hatta dan

merupakan instrumen regional yang paling lemah

Muhammad Yamin di sisi lain membentuk dua

melindungi privasi dibandingkan EU Directive atau

kutub aliran mengenai urgensi pengaturan hak

OECD. Directive 95/46/EC, di lain pihak merupakan

warga negara dalam konstitusi pertama Indonesia.

instrumen regional yang paling banyak digunakan

Soekarno dan Soepomo berargumen bahwa hak

sebagai acuan dalam penyusunan regulasi privasi.

warga negara tidak perlu dimasukkan dalam

Dari 39 negara di luar Eropa yang ia teliti, 33

konstitusi. Menurut Soekarno, pengaturan hak

diantaranya dipengaruhi oleh Directive 95/46/EC

warga negara dalam konstitusi Indonesia

dalam penyusunan regulasi privasi. Bahkan

merupakan ciri negara yang berlandaskan paham

menurutnya, Directive 95/46/EC memiliki potensi

liberalisme serta individualisme. Paham-paham

untuk dijadikan sebagai instrumen

internasional.52

yang merupakan buah dari revolusi Perancis tersebut telah menyebabkan lahirnya imperalisme dan kapitalisme dan menimbulkan berbagai permasalahan besar di dunia. Konstitusi Indonesia seharusnya tidak berdasarkan liberalisme dan individualism, tetapi berlandaskan paham kekeluargaan, gotong-royong, serta keadilan sosial.53 Soepomo memiliki cara pandang yang berbeda mengenai tidak-perlu-diaturnya hak warga negara

51 Beberapa kritik terhadap instrumen ini adalah bahwa APEC Privacy Framework merupakan instrumen yang lebih lemah dalam mengatur privasi dibandingkan instrumen internasional lainnya. Selain itu, instrumen ini tidak mengatur perlindungan data secara rinci. Implementation of the APEC Privacy Framework in National Regulation, Abu Bakar Munir, Workshop on International Data Sharing and Biometric Identification, Singapore, 2-3 Juli 2009 diakses dari http://www.hideproject.org/downloads/ws-singapore/HIDE_WS-Annex_ IIId-Presentation_Abu_Bakar_Bin_Munir-20090702.pdf pada tanggal 18 Maret 2013. 52 Greenleaf, Graham , The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299.

84

dalam konstitusi. Ia berargumen bahwa negara Indonesia harus dibangun berdasarkan konsep negara integralistik, yaitu kesatuan antara negara dan seluruh rakyatnya. Dalam konsep negara integralistik, individu merupakan suatu bagian organik dari negara sehingga “hak individu menjadi

53 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

tidak relevan dalam paham negara integralistik,

terus berkembang dan akan tetap menjadi

yang justeru relevan adalah kewajiban asasi kepada

permasalahan hukum. Perumusan hak asasi

negara”.54

manusia dalam UUD 1945 bukanlah perumusan akhir. Meskipun pengaturan hak asasi akan terus

Sebaliknya Mohammad Hatta dan Muhammad

berkembang, tetapi, menurutnya, pengaturan

Yamin tegas perpendapat perlunya mencantumkan

tersebut haruslah didasarkan pada Pancasila

hak warga negara dalam konstitusi. Hatta menilai

sebagai kristalisasi nilai dan norma kehidupan

bahwa kekuasaan yang besar yang diberikan

bangsa dan negara Indonesia.58 Dengan kata lain,

kepada negara dapat melahirkan otoritarianisme

konstitusi sebagai sumber dari segala sumber

seperti yang terjadi di Jerman sekitar tahun 1940an,

hukum dapat mengatur hak-hak asasi manusia

sedangkan negara Indonesia akan didasarkan pada

sesuai dengan perkembangan dalam bangsa

kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengaturan

Indonesia dengan tetap berpegang pada nilai-

hak warga negara dalam konstitusi merupakan

nilai Pancasila.

pertanggungjawaban negara kepada rakyat. Ia menekankan bahwa diantara berbagai hak

Purbopranoto melihat bahwa perumusan hak asasi

warga negara yang perlu diatur dalam konstitusi,

manusia dalam UUD 1945 belum disusun secara

hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan

sistematis, dan hanya ada empat pasal yang

mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan

mengatur hak asasi manusia, yaitu Pasal 27, Pasal

merupakan hak yang harus dimunculkan dalam

28, Pasal 29, dan Pasal 30. Keempat pasal ini

konstitusi. Yamin menegaskan bahwa pengaturan

merupakan inti dasar kenegaraan berdasarkan

hak warga negara dalam konstitusi merupakan

perundingan pada pendiri bangsa pada waktu itu

satu keharusan dalam memberikan perlindungan

yang terdiri dari berbagai aliran.59 Perumusan UUD

kepada warga negara yang merdeka.55

1945 hanya memakan waktu 40 (empat puluh) hari, yaitu sejak 29 Mei 1945 s.d. 16 Juli 1945.60

Konsep Hatta dan Yamin diterima untuk

Ketergesa-gesaan inipun diakui oleh Soekarno’

dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945

Konstitusi Indonesia adalah UUD kilat.61

tetapi dalam lingkup yang terbatas, yaitu bahwa hak yang diatur dalam UUD merupakan hak warga

Abdul Hakim mencermati bahwa dalam

negara, dan bukan hak asasi manusia – hak hakiki

penyusunan Konsitusi ada begitu banyak

yang melekat sebagai seorang

manusia.56

keberagaman yang harus disatukan, seperti budaya,

Terminologi hak asasi manusia tidak dijumpai

aliran pemikiran, dan kepentingan di antara

dalam pembukaan, batang tubuh, maupun

golongan masyarakat. Oleh karena itu, para pendiri

penjelasan UUD

1945.57

Menurut Purbopranoto (1975) pengaturan hak-hak asasi manusia dalam konstitusi akan 58 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4, hal. 13. 59 Kuntjoro Purbopranoto, hal. 28. 54 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.

56 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 240.

60 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002) mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995.

57 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), hal. 61.

61 Majda el-Muhtaj, hal. 72, mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995. hal. 426.

55 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238-239.

85

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

republik ini belum menekankan pada perlindungan

tersebut maka “titik berat perumusan UUDS itu

hak asasi manusia, tetapi membangun checks and

adalah terlegak pada perlindungan hak-hak azasi

balances antar organ-organ negara legislatif,

manusia sebagai individu.”65

eksekutif, dan yudikatif.62 Menurut Purbopranoto, Pasal 12 Universal Hak privasi belum diatur dalam naskah asli

Declaration of Human Rights66 telah dimasukkan

konstitusi karena – apabila dihubungkan dengan

dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UUD RIS dan UUD

diskusi para pendiri republik mengenai urgensi

Sementara.67 Akan tetapi mencermati perumusan

pengaturan hak warga negara dalam konstitusi–

dalam kedua konstitusi tersebut, pengaturan

pengaturan hak privasi dianggap sebagai

privasi sebagai bagian penting dari Pasal 12

penerimaan faham individualisme dan liberalisme

Universal Declaration of Human Rights tidak

yang kuat ditentang pada waktu itu ke dalam

diatur. Hal ini menunjukkan bahwa privasi masih

sistem pemerintahan serta budaya dan norma

merupakan simbol dari individualisme dan

masyakarat Indonesia.

liberalisme barat yang masih bertentangan – atau setidak-tidaknya belum dapat diterima – dalam

Perdebatan pengaturan hak asasi manusia dalam

sistem pemerintahan serta budaya bangsa.68

konstitusi juga muncul pada pembahasan UUD Republik Indonesia Serikat63 dan UUD Sementara.

Oleh karena itu, melihat perkembangan

Dalam sidang-sidang Konstituante di tahun 1957-

pengaturan hak asasi manusia dalam Konstitusi

1959, konsep hak asasi manusia sebagai natural

sejak tahun 1945 hingga 1950, dapat disimpulkan

rights telah diterima.64 Dalam Bagian 5 UUD RIS

bahwa negara Indonesia terbuka untuk menerima

diatur mengenai “Hak dan Kebebasan Dasar

ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui

Manusia”. Demikian juga dalam Bagian V UUD

secara Internasional sebagai hak asasi serta terbuka

Sementara diatur mengenai “Hak-hak dan

untuk mengaturnya dalam Konstitusi. Akan tetapi,

Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”.

penerimaan dan pengaturan hak asasi manusia

Purbopranoto memberikan catatan penting

dalam Konstitusi harus berdasarkan nilai-nilai yang

mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam

terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara

tiga konstitusi Indonesia. Menurutnya hak-hak

dan “ruh murni bangsa” Indonesia; Pancasila

asasi yang diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal

merupakan ideologi bangsa dalam menerima atau

29, dan Pasal 30 UUD 1945 didasarkan pada

menolak suatu paham, termasuk menerima atau

“hidup kemasyarakatan Indonesia secara murni”

menolak suatu hak atau kebebasan yang diakusi

sedangkan pengaturan hak asasi dalam UUD

sebagai hak asasi manusia dalam instrumen

Sementara “sudah terang dipengaruhi oleh

internasional ke dalam Konstitusi Indonesia.

Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 … dan Konstitusi RIS tahun 1949.” Karena pengaruh Universal Declaration of Human Rights 65 Purbopranoto, Hal. 51.

62 Abdul Hakim G. Nusantara, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 318. 63 UUD RIS 1949 berlaku sejak 27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950, sedangkan UUD Sementara berlaku sejak 17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959. 64 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 241.

86

66 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. 67 Purbopranoto, Apendix. 68 Tahun 1959, Soekarno yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden, membubarkan Konstituante dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli. Dalam Dekrit itu, Presiden memerintahkan untuk kembali kepada UUD 1945.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Demikian juga dengan penerimaan privasi sebagai

diri manusia, yaitu sifat individu – yaitu manusia

hak dasar manusia dalam Konstitusi. Perlindungan

sebagai pribadi kodrati – dan sifat komunal atau

terhadap privasi memiliki semangat atau paham

sosial – manusia sebagai bagian dari masyarakat.

individualis. Paham perlindungan terhadap privasi merupakan paham yang dinilai banyak pihak

Privasi sebagai hak asasi manusia dapat diletakkan

termasuk para pendiri bangsa sebagai bagian dari

dalam Konstitusi berdasarkan sila kemanusiaan

paham liberal. Oleh karena itu, tidak tolak

yang adil dan beradab. Karena sila ini merupakan

penerimaan dan pengaturan privasi sebagai bagian

dasar dari pengaturan hak atau kebebasan asasi

dari hak asasi manusia Indonesia juga harus

manusia, termasuk tanggung jawab seseorang

didasarkan pada “ruh murni bangsa” yang

terhadap Negara.71 Sebagaimana diungkapkan

terkandung dalam Pancasila. Salah satu nilai asali

oleh Purbopranoto bahwa perikemanusiaan

bangsa Indonesia ialah komunalistik. Terhadap

mencakup “segala pandangan hidup yang tertuju

nilai asali komunalistik ini, Supomo menegaskan

pada manusia, baik dalam pergaulannya dalam

bahwa kolektivisme atau komunalistik merupakan

masyarakat, maupun dalam hubungannya dengan

bagian penting yang hidup dalam hukum adat

negara.” Berpijak pada konsep ini, pengaturan

Indonesia, satu sistem hukum yang tidak dimiliki

privasi dalam Konstitusi negara Indonesia dapat

oleh negara-negara lain pada umumnya yang

diterima dalam konteks komunalistik yang

menjadi karakter bangsa. Dalam hukum adat,

merupakan sifat asli bangsa, artinya perlindungan

esensi kedudukan seorang individu berada dalam

terhadap privasi seseorang tunduk kepada

hubungannya dengan masyarakat. Menurut

kepentingan umum. Dalam hal tidak ada

Supomo ‘dalam hukum adat Indonesia itu bukanlah

kepentingan umum yang menjadi penghalang,

individu yang primair tetapi masyarakat. Dalam

privasi merupakan hak dasar yang harus dijunjung

suasana hukum adat orang itu terutama adalah

tinggi.

anggota masyarakatnya.’69 Manusia sejak awalnya memiliki sifat komunal, dan bukan individual.

Perubahan signifikan mengenai pengaturan hak

Menurutnya “manakala ada pertentangan antara

asasi manusia dalam konsitusi terjadi setelah

kepentingan seseorang dengan kepentingan

reformasi dimulai di Tahun 1998. Dalam kurun

masyarakat, maka haruslah kepentingan seseorang

waktu 4 tahun (1999 – 2002), Konstitusi RI telah

itu tunduk, sebab kepentingan masyarakat itu

diamandemen sebanyak empat kali.72 Pengaturan

adalah kepentingan semua warga (kepentingan

hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan

umum)... Di sinilah letak prinsip yang merupakan

hasil Amandemen II berdasarkan keputusan sidang

azas kehidupan bangsa kita yang asli, yakni yang

Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 7-18

menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat

Agustus 2000. Dalam Konstitusi Amandemen II

bersama yang bersifat kolektif dan tidak

ditambahkan satu bab tentang Hak Asasi Manusia

individualistis atau perseorangan.”70 Berdasarkan pemikiran Supomo dan Purbopranoto di atas, dapat ditegaskan di sini bahwa pada intinya setiap manusia memiliki dua sifat dasar yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dalam

69 Purbopranoto, hal. 51. 70 Purbopranoto, hal. 64-65.

71 Purbopranoto, hal. 50. 72 Amandemen I merupakan hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan (MPR) Rakyat tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen I menekankan mengenai fungsi dan kewenangan Presiden. Amandemen III merupakan hasil Sidang Umum MPR tanggal 1-9 November 2001. Dalam Konstitusi ditambahkan ketentuan, antara lain Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pada tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR kembali melakukan sidang dan menghasilkan Amandemen IV yang merupakan penyempurnaan dan penambahan pasal-pasal terkait dengan Dewan Pertimbangan Agung, Pendidikan dan Kebudayaan, serta Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

87

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(dalam BAB XA). Pengaturan hak asasi manusia

perlindungan privasi, khususnya data pribadi dalam

dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen telah

beberapa undang-undang.

mengakomodir beberapa pengaturan-pengaturan hak asasi dalam ICCPR maupun ICESCR. Kemudian

a. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

ketentuan dalam BAB XA diatur lebih lanjut dalam

(UU HAM)

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

UU HAM juga tidak memberikan ruang lingkup

Manusia (UU HAM).

yang tegas mengenai privasi. Pasal 4 UU HAM mengatur bahwa hak untuk hidup, hak untuk

Dalam UUD NRI 1945 tidak digunakan terminologi

tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran

“privasi”. Konstitusi Indonesia juga tidak mengatur

dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

secara tegas perlindungan terhadap privasi sebagai

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

hak asasi, tetapi Konstitusi Indonesia memberikan

dan persamaan di hadapan hukum, dan hak

pernyataan yang tegas bahwa perlindungan

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

terhadap diri pribadi seseorang merupakan hak

berlaku surut adalah hak-hak manusia yang

asasi. Perlindungan terhadap diri pribadi dapat

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

berupa perlindungan terhadap keamanan dan

dan oleh siapapun. Tidak ada penjelasan

kenyamanan seseorang, termasuk kebebasan

apakah ‘hak privasi’ diterjemahkan sebagai

dalam mengekspresikan dirinya secara emosional.

‘hak kebebasan pribadi’. Jika demikian, ruang

Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian

lingkup privasi menjadi sangat luas karena

dari perlindungan terhadap diri pribadi. Dalam

pada Bagian Kelima dalam BAB III UU HAM

dunia siber, perlindungan terhadap data pribadi

diatur mengenai ruang lingkup hak atas

merupakan bagian dari perlindungan terhadap

kebebasan pribadi. Dalam bagian tersebut,

privasi yang merupakan bagian dari perlindungan

hak atas kebebasan pribadi meliputi hak:

terhadap diri seseorang.

1) untuk tidak diperbudak atau diperhamba74; 2) atas keutuhan pribadi baik rohani maupun

2. Ruang Lingkup Privasi berdasarkan Peraturan

jasmani75; 3) untuk memeluk agama dan beribadah76;

Perundang-undangan

4) untuk memilih dan mempunyai keyakinan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “privasi” didefinisikan dengan “kebebasan pribadi” atau “keleluasaan

pribadi”.73

Meskipun definisi yang

sederhana ini belum dapat menjelaskan ruang lingkup privasi, tetapi definisi ini dapat dijadikan patokan dasar, yaitu bahwa ruang lingkup privasi adalah kebebasan-kebebasan atau keleluasaan-

politik77; 5) hak untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat78; 6) untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai79; 7) mendirikan partai politik atau organisasi lainnya80;

keleluasaan yang diberikan peraturan perundangundangan kepada seseorang sebagai pribadi atau individu. Dalam bagian di bawah ini, diulas secara umum mengenai pengaturan yang terkait dengan

74 Pasal 20 UU 39/1999. 75 Pasal 21 UU 39/1999. 76 Pasal 22 UU 39/1999. 77 Pasal 23 ayat (1) UU 39/1999. 78 Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999.

73 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ diakses 23 Desember 2011.

88

79 Pasal 24 ayat (1) UU 39/1999. 80 Pasal 24 ayat (2) UU 39/1999.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

8) menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk

mogok81;

9) memiliki, memperoleh, mengganti, atau

b. UU ITE UU ITE mempersamakan hak pribadi dengan hak privasi. Dalam penjelasan Pasal 26 UU ITE

mempertahankan status

diatur bahwa hak pribadi (privacy rigths)

kewarganegaraannya serta memilih

mencakup (a) hak untuk menikmati kehidupan

kewarganegaraan82;

pribadi dan bebas dari segala macam

dan

10)secara bebas bergerak, berpindah, dan

gangguan; (b) hak untuk dapat berkomunikasi

bertempat tinggal dalam, serta

dengan Orang lain tanpa tindakan dimata-

meninggalkan dan masuk kembali ke

matai; (c) hak untuk tidak diawasi akses

wilayah negara Republik

Indonesia.83,84

informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang; dan (d) hak untuk menikmati

Akan tetapi, batasan yang lebih sempit dapat

perlindungan data pribadi yang dipertukarkan

mengacu dalam Pasal 31 ayat (1) UU HAM.

atau ditransaksikan secara elektronik. Yang

Dalam pasal tersebut diatur bahwa tempat

dimaksud dengan data Pribadi adalah data

kediaman siapapun tidak boleh diganggu.

perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat,

Kemudian dalam penjelasannya disebutkan

dan dijaga kebenaran serta dilindungi

bahwa yang dimaksud dengan “tidak boleh

kerahasiaannya.86

diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat

Lebih jauh diatur dalam PP 82/2012 sebagai

kediamannya. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1)

peraturan pelaksanaan UU ITE, penyelenggara

UU HAM, salah satu privasi dapat diartikan

Sistem Elektronik dibebani kewajiban untuk

sebagai “kehidupan pribadi”. Konteks atau

menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan

ruang lingkup privasi dari pasal ini adalah

Data Pribadi yang dikelolanya. Selain itu,

kehidupan pribadi (privasi) dalam kediaman

Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib

seseorang. Maksudnya, seseorang memiliki

menjamin bahwa perolehan, penggunaan,

kebebasan atau keleluasaan untuk bertindak

dan pemanfaatan Data Pribadi berdasarkan

atau berbuat apa saja dalam kediamannya,

persetujuan pemilik Data Pribadi, kecuali

dan kebebasan itu tidak boleh diganggu oleh

ditentukan lain oleh peraturan perundang-

siapapun juga.

undangan, serta wajib menjamin penggunaan atau pengungkapan data dilakukan

UU HAM menekankan bahwa semua hak dan

berdasarkan persetujuan dari pemilik Data

kebebasan yang diatur di dalamnya hanya

Pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan

dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-

yang disampaikan kepada pemilik Data Pribadi

undang. Demikian juga dengan privasi, terlepas

pada saat perolehan data. Tidak hanya itu

makna yang terkandung dalam privasi bersifat

saja, Penyelenggara Sistem Elektronik juga

luas atau sempit, pembatasan terhadap privasi

wajib memberitahukan secara tertulis kepada

hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan

pemilik Data Pribadi jika terjadi kegagalan

undang-undang.85

dalam perlindungan rahasia Data Pribadi yang dikelolanya.

81 Pasal 25 UU 39/1999. 82 Pasal 26 UU 39/1999. 83 Pasal 27 UU 39/1999. 84 Perlu ditelaah lebih lanjut apakah ketentuan dalam Pasal 20 s.d. Pasal 27 UU 39/1999 dapat disebut sebagai hak privasi (hak pribadi). 85 Pasal 73 UU ITE.

86 Pasal 1 butir 27 PP 82/2012

89

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. UU Perbankan

nasabah ialah identitas yang lazim disediakan

Aspek perlindungan terhadap privasi atau data

oleh nasabah kepada bank dalam rangka

pribadi yang diangkat dari UU Perbankan dan

melakukan transaksi keuangan dengan bank.90

aturan terkaitnya ialah aspek rahasia bank dan

Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari

aspek penggunaan data nasabah. Pengaturan

nasabah dalam hal bank akan memberikan

mengenai rahasia bank merupakan bagian

dan/atau menyebarluaskan data pribadi

penting dalam perlindungan privasi, khususnya

nasabah kepada lain untuk tujuan komersial,

data pribadi nasabah. Pengaturan ini merupakan

yaitu penggunaan data pribadi untuk

satu langkah preventif dalam menjaga

memperoleh keuntungan. Dalam permintaan

kepercayaan nasabah penyimpan. Ruang

persetujuan tersebut, bank wajib terlebih

lingkup rahasia bank ialah segala sesuatu yang

dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi

berhubungan dengan keterangan mengenai

dari pemberian atau penyebarluasan data

nasabah penyimpan dan simpanannya.87 Bank

pribadi kepada pihak lain. Permintaan

Wajib merahasiakan keterangan mengenai

persetujuan dapat dilakukan bank sebelum

Nasabah Penyimpan dan simpanannya.

atau sesudah nasabah melakuken transaksi

Pengecualian terhadap kewajiban ini ialah

yang berkaitan dengan produk bank. Nasabah

bahwa untuk kepentingan perpajakan,

harus menandatangani formulir khusus –

kepentingan penyelesaian utang-piutang,

sebagai bentuk persetujuan – yang memberikan

kepentingan peradilan dalam perkara pidana,

kewenangan bagi bank dalam memberikan

bank wajib memberikan keterangan mengenai

atau menyebarluaskan data pribadinya. Apabila

Nasabah Penyimpan dan simpanannya.

bank akan menggunakan data pribadi

Pembukaan rahasia bank wajib terlebih dahulu

seseorang atau sekelompok orang dari pihak

memperoleh perintah atau izin tertulis dari

lain untuk tujuan komersial, bank wajib

pimpinan Bank Indonesia. Pengecualian lainnya

memiliki jaminan tertulis dari pihak tersebut

terhadap kewajiban menjaga rahasia bank ialah

bahwa orang atau sekelompok orang yang

untuk kepentingan tukar menukar informasi

dimaksud telah memberikan persetujuan

antar bank, dan permintaan/persetujuan tertulis

tertulis kepada pihak lain itu untuk

dari nasabah atau kuasanya serta permintaan

menyebarkan data pribadi mereka.91

ahli waris yang sah. Selain itu, keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan

d. UU KIP

bukan merpakan keterangan yang wajib

UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi

dirahasiakan oleh bank.88

Publik (KIP)92 juga memberikan gambaran

Terkait dengan kewajiban menjaga rahasia bank, bank juga wajib menerapkan transparansi informasi mengenai penggunaan data pribadi nasabah.89 Yang dimaksud dengan data pribadi

90 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. 91 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

87 Pasal 1 butir 28 UU Perbankan. 88 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. 89 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

90

92 UU KIP dibentuk dalam rangka mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Negara menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan, program, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. UU 14/2008 juga bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengenai hak pribadi.93 Menurut undang-

(5) catatan yang menyangkut pribadi

undang ini, yang dimaksud dengan Informasi

seseorang yang berkaitan dengan

Publik ialah informasi yang dihasilkan, disimpan,

kegiatan satuan pendidikan formal dan

dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu

satuan pendidikan nonformal.

badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara

E. Beberapa Catatan

dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan

publik.94

Berpijak pada konsep privasi yang dikemukakan oleh Warren dan Brandeis yang kemudian diterima dalam

Informasi Publik yang tidak dapat diberikan

sistem common law di Amerika, perlindungan

oleh badan publik kepada publik, antara lain

terhadap privasi mengandung tiga unsur. Pertama,

adalah informasi yang berkaitan dengan hak-

esensi dari perlindungan terhadap privasi ialah tidak

hak pribadi.95 Hak pribadi yang dimaksud

adanya gangguan dari pihak manapun terhadap

adalah privasi dalam konteks informasi “yang

seseorang dalam mengekspresikan dirinya dengan

bersifat pribadi” atau informasi yang merupakan

berbagai bentuk atau cara. Kedua, tujuan dari

“rahasia pribadi seseorang” yang tidak dapat

perlindungan privasi ialah untuk memberikan “the

diungkap kepada pihak lain. Menurut UU KIP

peace of mind or the relief afforded by the ability to

informasi tersebut termasuk Informasi Publik

prevent any publication at all”. Dengan demikian,

yang dikecualikan, yaitu:

seseorang dapat mengembangkan kehidupan pribadinya dengan maksimal. Ketiga, satu-satunya

(a) Informasi Publik yang apabila dibuka dapat

dasar pihak lain untuk dapat mempublikasi ekspresi

mengungkapkan isi akta otentik yang

atau hasil ekspresi seseorang adalah persetujuan

bersifat pribadi dan kemauan terakhir

orang yang bersangkutan; pengecualiannya adalah

ataupun wasiat seseorang;

adanya ketentuan peraturan perundang-undangan, perintah pengadilan, atau otoritas yang berwenang.

(b) Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

Ruang lingkup privasi sama banyaknya dengan jumlah

dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:

ranting pohon beringin. Menentukan ruang lingkup

(1) riwayat dan kondisi anggota keluarga;

privasi membutuhkan waktu dan usaha yang besar–

(2) riwayat, kondisi dan perawatan,

jika tidak dapat dikatakan mustahil. Konsep privasi

pengobatan kesehatan fisik, dan psikis

merupakan konsep yang terus berkembang dari masa

seseorang;

ke masa. Konsep privasi yang dikemukakan Warren

(3) kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; (4) hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan

dan Brandeis pada awalnya mengangkat satu pihak yang disoroti secara tajam oleh masyarakat sebagai pihak selain pemerintah yang berpotensi melanggar

kapabilitas, intelektualitas, dan

privasi, yaitu pers. Akan tetapi, seiring dengan

rekomendasi kemampuan seseorang;

perkembangan teknologi, bermunculan pihak lain

dan/atau

yang dapat mengumpulkan dan pengungkapkan informasi seseorang secara global, mulai dari penyelenggara email atau situs jejaring sosial sampai

93 Salah satu Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik ialah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. (Pasal 6 ayat (3) huruf c UU 14/2008)

pada penyelenggara transaksi elektronik. Pihak yang mengelola informasi memiliki kewenangan yang besar

94 Pasal 1 butir 2 UU KIP.

dalam mengolah informasi yang diberikan. Mereka

95 Pasal 6 ayat (3) huruf a.

memiliki akses terhadap sebagian kehidupan pribadi

91

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

seseorang. Oleh karena itu, kewenangan yang

negara yang menghargai dan melindungi privasi

dimaksud berpotensi melanggar privasi orang lain

(pribadi) warga negara. Sistem yang dimaksud juga

sehingga sudah sepatutnya kewenangan dan

harus dapat memenuhi kebutuhan pengembangan

kemampuannya ini dibatasi.

perekonomian dan perdagangan baik domestik maupun internasional serta peningkatan kesejahteraan

Setiap data memiliki nilai. Nilai tersebut bisa berupa

masyarakat, termasuk harus dapat melindungi

nilai non-ekonomis dan ekonomis yang dapat

kepentingan nasional.

dipengaruhi oleh begitu banyak faktor. Demikian juga data pribadi. Data pribadi memiliki nilai bagi orang

Konstitusi Indonesia tidak mengatur secara tegas

yang memberikan, yang mengolah, atau pihak lain

perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi, tetapi

yang terkait. Data pribadi seseorang merupakan

Konstitusi Indonesia memberikan pernyataan yang

bagian dari privasi individu tersebut; perlindungan

tegas bahwa perlindungan terhadap diri pribadi

terhadap data pribadi merupakan bagian dari

seseorang merupakan hak asasi. Perlindungan

perlindungan privasi seseorang. Lebih tegasnya,

terhadap diri pribadi dapat berupa perlindungan

perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian

terhadap keamanan dan kenyamanan seseorang,

dari perlindungan terhadap individu atau pribadi

termasuk kebebasan dalam mengekspresikan dirinya

sebagai hak asasi yang diatur dalam Konstitusi.

secara emosional. Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri

Teknologi memudahkan masyarakat dalam melakukan

pribadi. Dalam dunia siber, perlindungan terhadap

transaksi dengan cepat dan efisien. Teknologi juga

data pribadi merupakan bagian dari perlindungan

memudahkan pemrosesan data dalam rangka agregasi,

terhadap privasi yang merupakan bagian dari

integrasi, dan klasifikasi. Setiap individu yang

perlindungan terhadap diri seseorang. Oleh karena

melakukan transaksi secara online, atau setiap individu

itu, pembentukan regulasi terkait privasi dan data

yang memberikan informasi pribadinya sebagai salah

pribadi perlu menitikberatkan pada perlindungan

satu syarat penggunaan layanan, pada batas tertentu

terhadap diri pribadi seseorang dari berbagai aspek,

akan sampai pada suatu kondisi bahwa ia tidak punya

termasuk keamanan, kenyamanan, dan kebebasan

pilihan selain mengungkap identitas atau memberikan

dalam mengekspresikan diri secara emosional.

data pribadinya agar transaksi tersebut dapat berlangsung atau layanan yang dimaksud dapat

Perundang-undangan Indonesia telah mengatur

digunakan. Pada saat itu nilai data pribadi harus

perlindungan terhadap privasi, termasuk data pribadi,

dipertukarkan dengan layanan yang diberikan dalam

secara parsial. Tampaknya pembentukan regulasi

satu transaksi elektronik. Penyalahgunaan teknologi

mengenai data pribadi dalam transaksi elektronik

juga memudahkan penyalahgunaan data pribadi,

akan lebih memungkinkan daripada pembentukan

baik yang sifatnya mengganggu privasi maupun

undang-undang omnibus mengenai privasi.

sampai kepada tindak pidana. Masyarakat mengharapkan data pribadinya terjaga kerahasiaan, integritas, serta ketersediaannya. Masyarakat mengharapkan pihak yang mengumpulkan dan mengolah data pribadinya dapat bertindak dengan sah dan sesuai hukum (lawful) serta fair dan beritikad baik. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk membangun, memfasilitasi, dan mengembangkan sistem perlindungan data warga

92

DAFTAR PUSTAKA

Literatur Barker, Lucius J. dan Barker Jr., Twiley W. (editors). 1978. Civil Liberties and the Constitution: Cases and Commentaries, 3rd Edition, Prentice Hall. Inc, New Jersey, United States. Cate, Fred dan Litan, Robert E. Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, diakses 30 Desember 2011. Citron, Danielle Keats. Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106. d’Entreves, Maurizio Passerin dan Vogel, Ursula. Ed. 2000. Public & Private: Legal, Political, and Pholosophical Perspective, (Routledge, Taylor & Francis Group), New York, US. el-Muhtaj, Majda. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Prenada Media, Jakarta. Greenleaf, Graham, The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299. Fan, Marry D. Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011. Kang, Jerry, Information Privacy in Cyberspace Transactions. Stanford Law Review, Vol. 50, p. 1193, 1998, http://ssrn.com/abstract=631723, diakses 18 Maret 2013. Kasim, Ifdal. Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, diakses dari 17 Desember 2011. Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Penerbit Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Cetakan II. Laski, Harold J. 1948. Liberty in Modern State, London, George Allen & UNWIN Ltd. Lau, Lawrence J. “Economic Growth in the Digital Era”, http://www.stanford.edu /~ljlau/Presentations/Presentations/031129.pdf, diakses pada 17 Januari 2011.

93

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Newman, Edwin S. 1979. Civil Liberty and Civil Rights, 6th Edition, Oceana Publications, Inc, United States. Nusantara, Abdul Hakim G. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 313 s.d. 323. Pollack, Ervin H. (Editor). 1971. Human Rights, Amintaphill I. Jay Steward Publications, Inc. New York, United States. Prosser, William L. Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960. Purbopranoto, Kuntjoro. 1975. Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4 EYD PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Reitman, Alan. Ed. 1968. The Price of Liberty Perspectives on Civil Liberties by Members of the ACLU, W.W. Norton & Company, Inc, First Edition, US. Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta. Solove, Daniel J. dan Schwartz, Paul M. 2011. Information Privacy Law, Fourth Edition, United States: Wolters Kluwer. ________. Conceptualizing Privacy. California Law Review, Vol. 90, p. 1087, 2002. http://ssrn.com/abstract=313103, diakses 17 Maret 2013. ________. A Brief History of Information Privacy Law. PROSKAUER ON PRIVACY, PLI, 2006; GWU Law School Public Law Research Paper No. 215, http://ssrn.com/abstract=914271, diakses 18 Maret 2013. ________. A Taxonomy of Privacy. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 154, No. 3, p. 477, January 2006; GWU Law School Public Law Research Paper No. 129, http://ssrn.com/abstract=667622, diakses 18 Maret 2013. Stone, Richard. 1997. Textbook on Civil Liberties, 2nd Edition, Blackstone Press Limited, Great Britan. Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890 http://groups.csail.mit.edu/mac/classes/6.805/articles/privacy/Privacy_brand_warr2 .html, diakses 31 Januari 2011. Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

94

PERSPEKTIF YURIDIS PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH Oleh : Dayanto, S.H., M.H. 1

Abstrak Penulis dalam tulisan ini menguraikan berbagai bentuk pengawasan yang diatur secara yuridis dalam berbagai ketentuan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah. Di tengah pengelolaan keuangan daerah yang rentan dengan praktik korupsi dan berbagai perilaku penyalahgunaan kewenangan (on misbruik van recht), maka pengawasan sebagai bagian yang vital dalam proses pengelolaan keuangan daerah perlu dioptimalkan melalui peningkatan profesionalisme pengawasan baik secara internal maupun secara eksternal oleh lembaga-lembaga pengawas, pemantapan sinergitas dan koordinasi yang erat antar berbagai lembaga pengawas, serta membuka ruang partisipasi masyarakat secara demokratis dalam proses pengawasan. Kata Kunci: Pengawasan, Keuangan Daerah

A. PENDAHULUAN

Akibat kegagalan pengelolaan keuangan tersebut maka keberadaan pemerintahan negara dalam

Akhir-akhir ini masalah pengelolaan keuangan daerah

bahaya, terjadi kegonjangan ekonomi, politik, dan

banyak mendapatkan sorotan tajam dari publik.

sosial yang bukan saja akan mengakibatkan

Media massa hampir tiap hari menampilkan kasus-

pembangunan kehidupan bangsa mengalami stagnasi

kasus yang menyangkut pengelolaan keuangan

tetapi lebih jauh dari itu akan terjadi kemunduran

daerah secara tidak bertanggung jawab pada berbagai

dan bahkan kegentingan.

instansi pemerintah daerah dari tingkat Propinsi sampai tingkat Kabupaten/Kota. Pengelolaan secara

Pemeriksaan terhadap 480 laporan keuangan

tidak bertanggung jawab ini hadir dalam bentuk

pemerintah daerah tahun 2006 oleh BPK hasilnya

berbagai praktek korupsi keuangan daerah. Padahal

sangat menyedihkan. Dari sejumlah itu hanya ada

dalam melaksanakan tugas menciptakan keadilan

tiga daerah yang menyandang opini paling tinggi

sosial bagi rakyat di saerah, maka pengelolaan

atau wajar tanpa pengecualian terhadap laporan

keuangan daerah merupakan aspek vital dalam

keuanganya. Selain itu sejumlah pelanggaran juga

pengelolaan negara secara keseluruhan.

mencuat dalam pemeriksaan diatas. Bahkan dibeberapa daerah telah terindikasi adanya praktik korupsi dengan berbagai modus.

1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon, dilahirkan di Lesane, Maluku Tengah, 6 April 1983. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2005) dan S2 pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (2011) dengan konsentrasi Hukum Kenegaraan. Saat ini dipercayakan menjadi Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon 2013-2017. email: [email protected]

Dari hasil pemeriksaan BPK diatas bisa disimpulkan bahwa masih banyak daerah yang performansinya buruk karena tidak mematuhi aturan dan standar pelaporan keuangan. Masih banyak kasus pengeluaran

95

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

uang yang belum ada anggarannya dalam APBD dan

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan

proses pengadaan barang atau tender. Hingga saat

menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;

ini betapa sulitnya pemerintah daerah menyusun performansi anggaran dengan baik, padahal

Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang

perkembangan teknologi telematika telah menyajikan

Keuangan Negara (UUKN) ditegaskan bahwa:

solusi yang berhubungan dengan hal itu. Hasil

Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada

pemeriksaan BPK terasa kontradiktif ketika kita

peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,

membuka LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggung-

efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan

jawaban) Kepala

Daerah2.

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Relevansi pengelolaan keuangan daerah ditemukan

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) tersebut mewajibkan

dengan diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003

kepada setiap penyelenggara negara untuk

tentang Keuangan Negara yang diatribusi dari Pasal

mengartikulasikan nilai-nilai ketertiban, ketaatan pada

23C UUD NRI 1945. Dalam Pasal (1) UU No. 17 tahun

aturan, efisiensi, ekonomis, efektifitas, transparansi,

2003 mendefenisikan Keuangan Negara sebagai

dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan

semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

negara, dimana yang dimaksud dengan pengelolaan

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang

adalah mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan,

maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik

penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan

negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

pertanggungjawaban.3

kewajiban tersebut. Sedangkan Pasal (2) UU No. 17 Tahun 2003 menegasakan bahwa keuangan negara

Khusus mengenai pengawasan sebagai bagian dari

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal (1 ) ayat 1,

elemen pengelolaan, dibentuk lembaga pengawasan

meliputi:

dengan berbagai klasifikasi sifatnya baik pengawasan

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan

intern maupun pengawasan ekstern untuk menjalankan

dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

fungsi dan kewenangan pengawasan itu dapat

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas

ditemukan pada level konstitusional (UUD) maupun

layanan umum pemerintah negara dan membayar

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan negara;

B. KEUANGAN DAERAH SEBAGAI BAGIAN DARI

d. Pengeluaran negara;

KEUANGAN NEGARA

e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah;

Sejak awal kedudukan keuangan negara yang sangat

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola

vital dalam aktivitas kehidupan bernegara itu telah

sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat

disadari oleh para pendiri bangsa (the founding father

berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain

and mother) dengan mengatur perihal keuangan

yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

negara ini kedalam Bab VIII UUD 1945 tentang “Hal

kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

Keuangan” yang terdiri satu pasal yakni Pasal 23.

negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum;

2

Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 23 Mei 2013.

96

3

Nilai-nilai tersebut sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan yang bertumpu pada good governance yakni pengelolaan keuangan Negara yang bernuansa solid, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, serta partisipatif. Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2, hlm. 47

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Terjadinya reformasi pada tahun 1998 yang salah satu

(local governance) yang diatur dalam UU Nomor 32

agendanya adalah perubahan konstitusi, maka materi

Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, karena

pengaturan dalam Bab VIII UUD 1945 yang sebelumnya

bagaimanapun, urusan keuangan daerah akan

hanya terdiri dari satu pasal, kini mengalami diversifikasi

menjadi local policy (kebijakan lokal/daerah).

menjadi lima pasal dan bahkan pada Bab VIII UUD 1945 (lama) yang sebelumnya mengatur tentang

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUKN, keuangan

suatu Badan Pemeriksaan keuangan didalam Pasal

negara didefinisikan sebagai:

23 ayat (5), maka pada perubahan UUD 1945 ini

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban

ditambahkan dengan Bab VIIIA tentang Badan

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala

Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari tiga buah pasal.

sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

Transformasi dari negara hukum formil yang juga

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

disebut sebagai nachtwachterstaat atau negara jaga malam menjadi negara hukum materil yang juga

Kemudian dalam Pasal 2 UUKN menegasakan bahwa

disebut welfare state atau negara kesejateraan di

keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam

penghujung abad ke-20, maka menyejahterakan

Pasal 1 ayat (1), meliputi :

rakyatnya merupakan tugas utama negara yang

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan

harus dilakukan secara aktif dan

dinamis.4

Hukum

dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

keuangan negara di Indonesia juga berada pada alur

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas

perkembangan ini.

layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

Mengenai keuangan daerah, Peraturan Pemerintah

c. Penerimaan negara;

No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

d. Pengeluaran negara;

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, memberi

e. Penerimaan daerah;

definisi:

f. Pengeluaran daerah;

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola

Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah

sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat

Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di

berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang

dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan

dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan

kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

daerah;

(Pasal 1 angka 1).

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah

Konsepsi yang demikian tidaklah terpaut jauh dengan

dan/atau kepentingan umum;

kerangka definisi keuangan negara yang diatur tiga

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan

tahun kemudian, sebagaimana disebutkan dalam

menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang

4

Keuangan Negara. Selain itu, memperbincangkan

Menurut Jimly Asshiddiqie5, ruang lingkup keuangan

diskursus keuangan daerah tidaklah bisa dipisahkan

negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal (2)

dengan konstruksi hukum Pemerintahan Daerah

UUKN tersebut terjadi perluasan pengertian keuangan

Lihat Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, hlm. 28-30 . Lihat juga E. Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, hlm.21

5

Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 196197

97

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

negara. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 23E

yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.

ayat (2) UUD 1945 pada Perubahan Ketiga yang

Berbagai pendapat ahli tentang pengawasan yang

menentukan bahwa “Hasil pemeriksaan keuangan

di identifikasi oleh Syafiie8, antara lain Lyndal F.

negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai

Urwick yang mengartikan pengawasan adalah

dengan kewenangannya”. Padahal, pada ketentuan

upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan

sebelumnya hasil pemeriksaan keuangan itu cukup

peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi

hanya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

yang telah dikeluarkan.

(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri merupakan partner DPR

Bagi Sondang Siagian, pengawasan adalah proses

dibidang pengawasan keuangan.

pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan

Di dalam perubahan ketentuan ini sudah terkandung

yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang

maksud untuk memperluas pengertian keuangan

telah ditentukan sebelumnya. Sementara itu

negara yang harus diperiksa oleh BPK, sehingga tidak

menurut George R Terry, pengawasan dapat

terbatas hanya dalam hubungannya dengan Anggaran

dirumuskan sebagai proses penentuan apa yang

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga

harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang

dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila

(APBD) di daerah-daerah.

perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana, yaitu selaras

Dengan demikian, keuangan daerah merupakan

dengan standar.

bagian yang inheren dalam keuangan negara. Artinya ketika membicarakan keuangan negara berarti secara

Jika dikaitkan dengan pengawasan terhadap

otomatis juga menyagkut didalamnya keuangan

keuangan negara maka berbagai pengertian di

daerah. Karena itu ruang lingkup dan asas-asas

atas mempertegas bahwa bahwa pengawasan

pengelolaan keuangan daerah mengacu pada ruang

merupakan ruang lingkup yang tidak bisa

lingkup dan asas-asas pengelolaan keuangan negara.

dipisahkan dari pengelolaan keuangan negara

Ruang lingkup pengelolaan keuangan negara,

secara keseluruhan. Artinya pengawasan

meliputi: Perencanaan keuangan negara; Pelaksanaan

merupakan unsur yang integral dalam proses

keuangan negara; Pengawasan keuangan negara;

pengelolaan keuangan negara, sehingga

dan Pertanggung jawaban keuangan

negara6.

pengelolaan keuangan negara itu dapat sesuai dengan yang direncanakan.

C. PENGAWASAN TERHADAP KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan jenis-jenis pengawasan, Fachruddin9, mengklasifikasikan pengawasan

1. Pengertian dan Klasifikasi Pengawasan

sebagai berikut: Menurut W. Riawan

Tjandra7

pengawasan

merupakan sarana untuk menghubungkan target

1. Pengawasan dipandang dari “kelembagaan”

dengan realisasi setiap program/kegiatan/proyek

yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol, dapat diklasifikasikan atas:

6

Lihat Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 15

7

W. Riawan Tjandra, 2006. Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, hlm. 130

98

8

Syafiie, dalam Ibid, hlm. 131

9

Dalam Ibid, hlm. 133-135

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a. Kontrol intern (internal control),

b. Pengawasan dari segi “kemanfaatan”

pengawasan yang dilakukan oleh suatu

(opportunitas), pengawasan dimaksudkan

badan/organ yang secara struktural masih

untuk menilai segi kemanfaatan

termasuk organisasi dalam lingkungan

(doelmatigheid). Kontrol internal secara

pemerintah. Bentuk kontrol semacam ini

hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian

dapat digolongkan sebagai jenis kontrol

segi hukum (rechtmatigheid) sekaligus segi

tekhnis-administratif atau built-in control;

kemanfaatan (opportunitas).

b. Kontrol ekstern (external control), pengawasan yang dilakukan oleh badan/

4. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan

organ yang secara struktur organisasi berada

dapat dibedakan atas:

di luar pemerintah dalam arti eksekutif.

a. Pengawasan “negatif repressif”, pengawasan yang dilakukan setelah suatu

2. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan, meliputi hal-hal berikut: a. Kontrol a-priori, pengawasan dilakukan

tindakan dilakukan; b. Pengawasan “negatif preventif” atau positif, pengawasan yang dilakukan dengan

sebelum dilakukan tindakan atau

cara badan pemerintah yang lebih tinggi

dikeluarkannya suatu keputusan atau

menghalangi terjadinya kelalaian pemerintah

ketetapan pemerintah atau peraturan

yang lebih rendah.

lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol a-priori mengandung

5. Disamping itu, masih dipandang dari cara

unsur pengawasan preventif yaitu untuk

pengawasan dengan mengutip pendapat

mencegah atau menghindarkan terjadinya

Hertogh, pengawasan dapat dibedakan pula

kekeliruan;

atas:

b. Kontrol a-pasteriori, pengawasan dilakukan

a. Pengawasan unilateral (unilateral control),

sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau

pengawasan yang penyelesaiannya secara

ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah.

sepihak dilakukan oleh pengawas; b. Pengawasan refleksif (reflexive control),

Pengawasan ini mengandung bentuk

pengawasan yang penyelesaiannya

pengawasan represif yang bertujuan

dilakukan melalui proses timbal balik melalui

mengoreksi tindakan yang keliru.

dialog dan negosiasi antara pengawas dan yang diawasi.

3. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi, dapat diklasifikasi atas:

2. Pengawasan Internal

a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas), pengawasan dimaksudkan untuk menilai

Dalam ayat (1) dan (2) Pasal 58 UU No. 1 tahun

segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid).

2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN)

Kontrol peradilan atau judicial control

ditentukan bahwa:

secara umum masih dipandang sebagai

(1) Dalam rangka meningkatkan kinerja,

pengawasan segi hukum (legalitas)

transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan

walaupun terlihat adanya perkembangan

keuangan negara, Presiden selaku Kepala

baru yang mempersoalkan pembatasan

Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan

itu;

sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh.

99

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana

(2) Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem

peraturan pemerintah.

Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah

Ketentuan pasal ini memiliki setidak-tidaknya dua makna penting dalam pengelolaan keuangan

pusat dan pemerintah daerah. (3) Pengawasan Intern adalah seluruh proses

negara. Pertama, pengaturan tentang perlunya

kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan,

keberadaan sistem pengendalian intern untuk

dan kegiatan pengawasan lain terhadap

meningkatkan kinerja, transparansi, dan

penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi

akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

dalam rangka memberikan keyakinan yang

Kedua, memberikan kewenangan atribusi bagi

memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan

Presiden sebagai kepala pemerintah untuk

sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan

mengatur dan menyelenggarakan sistem

secara efektif dan efisien untuk kepentingan

pengendalian intern di lingkungan pemerintah

pimpinan dalam mewujudkan tata

melalui peraturan pemerintah.

kepemerintahan yang baik.

Sementara itu, berdasarkan penjelasan Pasal 58

Selanjutnya untuk menopang sistem pengendalian

Ayat (1) UUPN bahwa Menteri Keuangan selaku

intern ini maka Peraturan Pemerintah No. 60

Bendahara Umum Negara menyelenggarakan

Tahun 2008 tentang SPIP mengisyaratkan adanya

sistem pengendalian intern di bidang

berbagai aparat pengawas intern pemerintah

perbendaharaan, Menteri/pimpinan lembaga

(APIP)10, yakni, Badan Pengawasan Keuangan dan

selaku pengguna anggaran/pengguna barang

Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP,

menyelenggarakan sistem pengendalian internal

Inspektorat Jenderal atau nama lain Inspektorat

bidang pemerintahan masing-masing, dan

Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.

Gubernur/Bupati/Walikota mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.

a. Inspektorat Propinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60

Terkait dengan itulah maka diterbitkan Peraturan

Tahun 2008 tentang SPIP juga mengisyaratkan

Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem

adanya Inspektorat Provinsi dan Inspektorat

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagai

Kabupaten/Kota sebagai aparat pengawas intern

amanat Pasal 58 Ayat (2) UUPN. Dimana dalam

di daerah (Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Dalam

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3)

Pasal 1 ayat (6) dan (7) Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah tentang SPIP itu disebutkan

tentang SPIP ini, ditegaskan bahwa, Inspektorat

bahwa :

Provinsi adalah aparat pengawasan intern

(1) Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang

pemerintah yang bertanggung jawab langsung

integral pada tindakan dan kegiatan yang

kepada Gubernur sedangkan Inspektorat

dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan

Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern

dan seluruh pegawai untuk memberikan

pemerintah yang bertanggung jawab langsung

keyakinan memadai atas tercapainya tujuan

kepada bupati/walikota.

organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

100

10 Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan

Dalam Pasal 25 PP No. 75 Tahun 2005 tersebut

terhadap seluruh kegiatan dalam rangka

menentukan bahwa Inspektur Provinsi dalam

penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja

pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab

perangkat daerah provinsi yang didanai dengan

kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab

provinsi. Sedangkan Inspektorat Kabupaten/Kota

kepada Bupati/ Walikota. Inspektur Provinsi dalam

melakukan pengawasan terhadap seluruh

pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,

kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas

mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah

dan fungsi satuan kerja perangkat daerah

Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota dalam

kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran

pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,

Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota11.

mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota.

Sementara itu dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2005 tentang

3. Pengawasan Eksternal

Pedoman pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ditegaskan

a. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

bahwa:

Secara historis, cikal bakal gagasan

1. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan

pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan

di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas

berasal dari Raad Van Rekenkamer pada

Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan

zaman Hindia Belanda yang berfungsi sebagai

kewenangannya.

external auditor terhadap kinerja keuangan

2. Aparat Pengawas Intern Pemerintah

pemerintah.

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit

Dalam Pasal 23E UUD NRI 1945, ditegaskan

Pengawasan Lembaga Pemerintah Non

bahwa BPK adalah lembaga yang bebas dan

Departemen, Inspektorat Provinsi, dan

mandiri yang berwenang untuk memeriksa

Inspektorat Kabupaten/Kota.

pengelolaan dan tanggung jawab tentang

3. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana

keuangan negara12. Dimana hasil pemeriksaan

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat

keuangan negara itu diserahkan kepada Dewan

pengawas pemerintah.

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

4. Pejabat pengawas pemerintah sebagaimana

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah13.

dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga

Kedudukan BPK yang bebas dan mandiri ini

Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat,

selaras dengan salah satu asas pengelolaan

oleh Gubernur ditingkat provinsi, dan oleh

keuangan negara yakni asas pemeriksaan

Bupati/Walikota ditingkat kabupaten/kota

keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

dan mandiri sebagai asas yang memberikan

5. Tata cara dan persyaratan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian dan peningkatan kapasitas pejabat pengawas pemerintah daerah diatur dengan peraturan Menteri.

11 Lihat Pasal 49 Ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP

12 Lihat Pasal 23E Ayat (1) UUD NRI 1945: “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” 13 Lihat Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI 1945: “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai kewenangannya”.

101

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

kebebasasn bagi badan pemeriksa keuangan

dan kekayaan negara dalam arti luas. Kedua,

untuk melakukan pemeriksaan keuangan

perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang

negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh

dilakukan tidak saja dilaporkan PRD di tingkat

siapapun.

pusat tetapi juga kepada DPD dan DPRD Propinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.

Selain itu, kedudukan kelembagaan BPK ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan

Ketiga, perluasan juga terjadi terhadap lembaga

legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan

atau badan/badan hukum yang menjadi objek

dengan fungsi pengawasan yang dijalankan

pemeriksaan oleh BPK, yaitu dari sebelum

oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk

hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan

pemerintahan yang merupakan subjek hukum

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan

tata negara dan/atau subjek hukum administrasi

demikian, laporan hasil pemeriksaan yang

negara meluas sehingga mencakup pula organ-

dilakukan oleh BPK ini harus dilaporkan atau

organ yang merupakan subjek hukum perdata

disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.

seperti perusahaan daerah, BUMN, ataupun perusahaan swasta dimana di dalamnya

Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI yang disahkan

terdapat kekayaan negara.

pada perubahan ketiga ini secara drastis memperluas pengertian keuangan negara.

Dalam BAB III Undang-Undang No. 15 Tahun

Padahal, pada ketentuan sebelumnya hasil

2006 tentang Badan Pemeriksa diatur ketentuan

pemeriksaan keuangan itu cukup hanya

mengenai tugas dan wewenang BPK. Pada

diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Pasal 6 Ayat (3) ditegaskan bahwa Pemeriksaan

(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan

BPK mencakup pemeriksaan keuangan,

Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri

pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan

merupakan partner DPR dibidang pengawasan

tujuan tertentu. Penjelasan umum Undang-

keuangan. Di dalam perubahan ketentuan ini

Undang No. 15 Tahun 2004 tentang

sudah terkandung maksud untuk memperluas

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

pengertian keuangan negara yang harus

Keuangan Negara menguraikan tentang

diperiksa oleh BPK, sehingga tidak terbatas

lingkup kewenangan BPK untuk melakukan 3

hanya dalam hubungannya dengan Anggaran

(tiga) jenis pemeriksaan, yakni:

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi

1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan

juga dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di

daerah-daerah.14

atas laporan keuangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam

Dari jangkauan fungsi pemeriksaannya, tugas

rangka memberikan pernyataan opini

BPK sekarang menjadi makin luas. Ada tiga

tentang tingkat kewajaran informasi yang

perluasan yang dapat dicatat disini15. Pertama,

disajikan dalam laporan keuangan

perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan

pemerintah.

APBN menjadi pemeriksaan atas pelaksanaan

2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan

APBN dan APBD serta pengelolaan keuangan

atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektifitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan

14 Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi ….op.cit. hlm. 196-197

manajemen oleh aparat pengawas intern

15 Ibid

pemerintah. Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945

102

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

mengamanatkan BPK untuk melaksanakan

Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan

pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan

investigatif guna mengungkap adanya indikasi

negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk

kerugian negara/daerah/ atau unsur pidana.

mengidentifikasikan hal-hal yang perlu

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur

menjadi perhatian lembaga perwakilan.

pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut

Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan

kepada instansi yang berwenang sesuai dengan

kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang

ketentuan perundang-undangan. Hasil

dibiayai dengan keuangan negara/daerah

pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun

diselenggarakan secara ekonomis dan efisien

dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan

serta memenuhi sasarannya secara efektif.

segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai.

3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu,

Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat

adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan

menyusun laporan interim pemeriksa. Laporan

tujuan khusus, di luar pemeriksaan

interim pemeriksa diterbitkan sebelum suatu

keuangan dan pemeriksaan kinerja.

pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan

Termasuk dalam pemeriksaan atas hal-hal

tujuan untuk segera dilakukan tindakan

yang berkaitan dengan keuangan dana

pengamanan dan/atau pencegahan

pemeriksaan investigasi.

bertambahnya kerugian. Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja

Pemeriksaan BPK memiliki kebebasan dan

akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan

kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan,

rekomendasi sedangkan pemeriksaan dengan

yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan

tujuan tertentu akan menghasilkan rekomendasi.

pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan

Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat

dalam menentukan objek yang akan diperiksa,

diberikan oleh pemeriksa dalam pemeriksaan

kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur

keuangan, yakni :

tersendiri dalam undang-undang atau

a. opini wajar tanpa pengecualian

pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.

(unqualified opinion) b. opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion)

Dalam merencanakan tugas pemeriksaan BPK

c. opini tidak wajar (adversed opinion)

dapat mempertimbangkan informasi dari

d. pernyataan menolak memberikan opini

pemerintah, bank sentral, dan masyarakat.

(disclaimer of opinion)

Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang dibentuk dalam

Laporan hasil pemeriksaan atas laporan

upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan

keuangan pemerintah oleh BPK kepada DPRD

nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan

selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah

Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

menerima laporan keuangan dari Pemerintah

dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Daerah. Selain disampaikan kepada DPRD,

Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk

laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan

hasil penelitian dan pengembangan kajian,

oleh BPK kepada pemerintah.

pendapat dan keterangan organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari masyarakat.

103

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

2. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan

Propinsi/Kabupaten/Kota

untuk melakukan Pengawasan Internal terhadap

Pasal 292 dan 343 Undang-Undang No. 27

keuangan daerah adalah: Inspektorat Propinsi

Tahun 2009 tentangMajelis Permusayawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

dan Inspektorat Kabupaten/Kota. 3. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

untuk melakukan pengawasan Eksternal terhadap

Rakyat Daerah (UU MD3), menegaskan bahwa

keuangan daerah adalah: Badan Pemeriksa

DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota mempunyai

Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat

fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan;

Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

Ketiga fungsi dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi/Kabupaten/kota.

Saran Dari uraian diatas maka beberapa hal yang dapat

Dalam Pasal 293 dan Pasal 344 UU MD3, DPRD

disarankan adalah:

provinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas dan

1. Perlunya peningkatan profesionalisme dalam

wewenang untuk melaksanakan pengawasan

melakukan proses pengawasan baik secara

terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan

internal maupun secara eksternal oleh lembaga-

anggaran pendapatan dan belanja daerah

lembaga yang diberikan kewenangan.

provinsi/kabupaten/kota. Hal ini merupakan

2. Perlunya sinergitas dan koordinasi yang erat antar

suatu penegasan bahwa tugas dan wewenang

berbagai lembaga pengawas sehingga proses

DPRD adalah melaksanakan pengawasan

pengawasan dapat berlangsung secara

terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan

berkesinambungan dan tidak tumpang-tindih

dan belanja daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

(overlapping). 3. Perlunya membuka ruang partisipasi masyarakat

Fungsi pengawasan terhadap pengelolaan

secara demokratis dalam proses pengawasan atas

keuangan daerah yang dilakukan oleh memiliki

pengelolaan keuangan negara.

relasi yang erat dengan BPK, hal ini berkaitan dengan perluasan lingkup keuangan negara yang meliputi keuangan daerah dimana BPK diberikan tanggung jawab utama untuk melakukan audit (pemeriksaan) terhadap pengelolaan keuangan negara, termasuk di dalamnya keuangan daerah. D. PENUTUP Kesimpulan Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Di pandang dari sudut kelembagaan maka secara yuridis dalam pengawasan keuangan daerah di Indonesia dikenal dua macam bentuk pengawasan yakni: Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal.

104

DAFTAR PUSTAKA

Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 20 Februari 2010. Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2. Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, 1960.

105

Halaman ini sengaja dikosongkan

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013 No. Peraturan

Tanggal

Satker

15/1/PBI/2013

18 Februari 2013

DPIP

Perihal Lembaga Pengelolaan Informasi Perkreditan

107

Halaman ini sengaja dikosongkan

DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013 Peraturan

Tanggal

Satker

Perihal

15/1/DPNP

15 Januari 2013

DPNP

Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

15/2/DPNP

04 Februari 2013

DPNP

Kepemilikan Tunggal pada

15/3/DPM

28 Februari 2013

DPM

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.

15/4/DPNP

06 Maret 2013

DPNP

Kepemilikan Saham Bank Umum

15/5/DSM

06 Maret 2013

DSM

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri

15/6/DPNP

08 Maret 2013

DPNP

Kegiatan Usaha Bank Umum

15/7/DPNP

08 Maret 2013

DPNP

Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti

15/8/DPbS

27 Maret 2013

DPbS

Pembukaan Jaringan Kantor BUS dan UUS Berdasarkan Modal Inti

15/9/DSM

27 Maret 2013

DSM

Penerimaan Devisa Hasil Eksport

15/10/DPNP

28 Maret 2013

DPNP

Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada BI.

15/11/DPNP

08 April 2013

DPNP

Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum

15/12/DASP

08 April 2013

DASP

Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

15/13/DASP

12 April 2013

DASP

Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik oleh BPR dan Lembaga

15/14/DPNP

24 April 2013

DPNP

Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 PerihalLaporan Berkala Bank Umum

15/15/DPNP

29 April 2013

DPNP

Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum

109

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan

Tanggal

Satker

Perihal

15/16/DInt

29 April 2013

DInt

Perlaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri

15/17/DInt

29 April 2013

DInt

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan

15/18/DASP

30 April 2013

DASP

Perubahan Atas SEBI No. 11/13/DASP tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nilai Nominal Nota Debit dan Transfer Kredit dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

110

RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013

Peraturan :

Peraturan Bank Indonesia 15/1/PBI/2013 Tanggal 18 Februari 2013 Tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan

Berlaku

:

Sejak tanggal 18 Februari 2013

Latar Belakang Sejak tahun 1975, Bank Indonesia telah mengelola informasi perkreditan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas sebagai otoritas moneter dan perbankan, serta melayani kebutuhan industri keuangan, khususnya dalam mendukung kelancaran penyaluran penyediaan dana dan manajemen risiko. Penyediaan informasi perkreditan oleh Bank Indonesia masih terbatas pada produk informasi yang bersifat standar, dengan cakupan data mayoritas dari perbankan dan beberapa lembaga keuangan non bank. Dalam perkembangannya, industri keuangan membutuhkan informasi perkreditan yang lebih komprehensif dengan cakupan data yang lebih luas mencakup juga data dari luar industri keuangan. Sebagaimana international best practices, pada umumnya produk informasi perkreditan yang lebih komprehensif disediakan oleh pengelola informasi perkreditan yang dikelola swasta (private credit bureau). Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu dibukanya pengelolaan informasi perkreditan oleh swasta yang selanjutnya akan dikenal dengan nama Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Melalui LPIP, nantinya diharapkan kebutuhan industri keuangan akan informasi perkreditan yang lebih komprehensif akan terpenuhi, sehingga akan meningkatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan yang akan mendorong terjadinya stabilitas sistem keuangan. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013 a. Persyaratan bagi pihak yang akan mendirikan LPIP, antara lain: 1) Badan hukum LPIP wajib berbentuk Perseroan Terbatas; 2) Modal disetor LPIP minimal Rp50 Milyar; 3) Kepemilikan saham maksimal oleh satu pihak adalah ≤ 51%; dan 4) Pihak yang dapat menjadi pemegang saham LPIP adalah badan hukum Indonesia. b. Tahapan perizinan LPIP yaitu dibagi menjadi 2 (dua): persetujuan prinsip dan izin usaha. c. Jenis kegiatan usaha LPIP yaitu menghimpun dan mengolah data perkreditan dan/atau data lainnya untuk menghasilkan informasi perkreditan. d. Persyaratan pengurus LPIP antara lain minimal 1 Direktur LPIP memiliki pengalaman dan/atau pengetahuan mengenai informasi perkreditan.

111

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

e. Sumber data LPIP yaitu data perkreditan dan/atau data lainnya, baik yang bersumber dari lembaga keuangan maupun non lembaga keuangan. f. Pengelolaan data yang dilakukan LPIP, dimana LPIP wajib melakukan langkah-langkah pengamanan untuk menjaga akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data. Selain itu LPIP wajib menempatkan server dan database di dalam wilayah Republik Indonesia. g. Kewajiban LPIP untuk menyediakan informasi perkreditan yang mempunyai nilai tambah. h. Pihak-pihak yang dapat diberikan informasi perkreditan adalah Lembaga Keuangan, non Lembaga Keuangan, LPIP lain, Debitur atau Nasabah, dan/atau pihak lain dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan. i. Penanganan dan penyelesaian pengaduan khususnya kewajiban bagi LPIP untuk memiliki kebijakan dan prosedur tertulis. j. Pengawasan oleh BI terhadap LPIP mencakup on-site dan off-site. Pengawasan on-site dilakukan melalui pemeriksaan langsung, sedangkan off-site dilakukan dengan analisa terhadap laporan-laporan yang disampaikan oleh LPIP kepada BI. k. Jenis-jenis laporan yang disampaikan LPIP meliputi: laporan bulanan, laporan semesteran, laporantahunan, rencana bisnis tahunan, dan laporan insidentil lainnya. l. Sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan LPIP berdasarkan PBI ini, yaitu tegurantertulis, kewajiban pembayaran, dan pencabutan izin usaha.

112

RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

Berlaku

:

Tanggal 15 Januari 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan pengaturan kembali dari SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Latar belakang dan tujuan penerbitan SE BI ini adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi informasi, meningkatkan good governance, dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan antara lain melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik. 2. Pokok-pokok pengaturan kembali dalam SE BI ini meliputi antara lain: a. Penambahan segmen kredit baru di dalam pelaporan dan publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yakni SBDK kredit mikro. Kredit mikro adalah kredit yang disalurkan kepada usaha mikro. Adapun definisi usaha mikro berdasarkan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. b. Terdapat penegasan bahwa SBDK merupakan suku bunga terendah yang dipergunakan sebagai indikator besaran suku bunga kredit yang akan dikenakan oleh Bank kepada nasabah. c. Semua Bank umum konvensional wajib mempublikasikan SBDK ke masyarakat serta melaporkan tabel komponen perhitungan SBDK kepada Bank Indonesia. d. Sebagai salah satu bentuk edukasi dan transparansi kepada nasabah, Bank wajib memberikan informasi mengenai SBDK dan suku bunga kredit dalam surat pemberitahuan persetujuan kredit (offering letter) atau dokumen lainnya kepada calon debitur sebelum penandatanganan perjanjian kredit. e. Publikasi SBDK melalui surat kabar dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember untuk posisi SBDK akhir bulan yang bersangkutan. f. Kewajiban pelaporan dan publikasi SBDK memiliki masa transisi sebagai berikut: 1. Bagi Bank yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih pada posisi akhir bulan Desember 2012 dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), kewajiban pelaporan dan kewajiban publikasi untuk segmen kredit mikro dilakukan sejak posisi akhir bulan Februari 2013. 2. Bagi Bank yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) pada posisi akhir bulan Desember 2012 dalam LBU, kewajiban pelaporan untuk segmen kredit mikro dan kewajiban publikasi untuk segmen kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR) dilakukan sejak posisi akhir bulan Juni 2013. g. Dengan berlakunya SE BI ini maka SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

113

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/2/DPNP tanggal 4 Februari 2013 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia

Berlaku

:

Sejak tanggal 4 Februari 2013

Latar Belakang Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, maka perlu diatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan penerapannya. Surat Edaran ini mengatur mengenai pelaksanaan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia dengan cara merger atau konsolidasi, membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan, dan membentuk Fungsi Holding. Pokok-Pokok Pengaturan meliputi antara lain: 1. Terdapat 3 (tiga) opsi dalam melakukan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, yaitu: a. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya. b. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company/BHC). c. Membentuk Fungsi Holding. 2. Bank Indonesia memberikan insentif dalam rangka merger atau konsolidasi untuk memenuhi kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. Selain itu, juga diatur mengenai tata cara dan batas waktu pelaksanaan merger atau konsolidasi, serta kewenangan Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan/atau calon pengurus Bank hasil merger atau konsolidasi. 3. Pengaturan mengenai BHC, antara lain: a. Tata cara dan batas waktu pelaksanaan pembentukan BHC dan pengalihan saham dari PSP kepada BHC. b. Tugas BHC. c. Permodalan BHC. d. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding Company) yang bertindak sebagai BHC. e. Kewenangan Bank Indonesia untuk menyetujui atau menolak permohonan pembentukan BHC dan calon PSP dan/atau pengurus BHC. 4. Pengaturan mengenai Fungsi Holding, antara lain: a. Jenis PSP yang dapat membentuk Fungsi Holding, yaitu hanya PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia dan instansi Pemerintah Republik Indonesia. b. Tata cara dan batas waktu pembentukan Fungsi Holding. c. Kewenangan Bank Indonesia memberikan persetujuan atas pembentukan Fungsi Holding.

114

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

5. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank, termasuk melakukan pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan. 6. BHC dan Fungsi Holding menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia seperti: a. program kerja strategis BHC atau Fungsi Holding. b. Laporan pengawasan BHC atau Fungsi Holding terhadap Bank. c. Laporan prudential lainnya. 7. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia No.9/32/DPNP tanggal 12 Desember 2007 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan :

Surat Edaran No. 15/3/DPM tanggal 28 Februari 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank

Berlaku

:

18 Maret 2013

I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank, khususnya pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh pedagang valuta asing (PVA). Hal ini diharapkan dapat mendukung upaya Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah. II. Penyempurnaan pengaturan meliputi: 1. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh PVA hanya dalam bentuk uang kertas asing secara fisik. Penyerahan dana rupiah dalam penyelesaian transaksi tersebut dapat dilakukan melalui pemindahbukuan antar rekening. 2. Permintaan valuta asing oleh perusahaan penyelenggara transfer dana kepada bank dengan nilai nominal di atas USD 100 ribu per bulan hanya dapat dipenuhi oleh bank apabila perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan underlying nasabah yang bukan merupakan PVA. 3. Penyempurnaan pengaturan mengenai dokumen underlying yang wajib diserahkan oleh PVA apabila melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank. 4. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 18 Maret 2013, namun khusus ketentuan yang mengatur Pedagang Valuta Asing diberlakukan pada tanggal 1 Mei 2013.

115

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tanggal 6 Maret 2013 perihal Kepemilikan Saham Bank Umum

Berlaku

:

Sejak tanggal 6 Maret 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. 2. Pokok-pokok pengaturan SE BI ini meliputi antara lain: a. Penerapan batas maksimum kepemilikan saham bank bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan perusahaan induk diatur berikut ini. 1. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Pemda yang akan mendirikan atau mengakuisisi bank dipersamakan dengan batas kepemilikan bagi badan hukum bukan lembaga keuangan yaitu 30% untuk masing-masing Pemda. 2. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Perusahaan Induk di bidang Perbankan yang dibentuk untuk memenuhi PBI Kepemilikan Tunggal dikecualikan dari batas maksimum kepemilikan saham. Namun apabila kemudian perusahaan induk tersebut akan melakukan akuisisi bank lainnya, maka batas maksimum kepemilikan saham adalah sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dari Perusahaan Indukdi bidang Perbankan tersebut. b. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, pemegang saham Bank dapat meningkatkan kepemilikan saham dengan kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan sesuai dengan ketentuan dalam PBI Kepemilikan Saham Bank Umum. c. Setelah tanggal 31 Desember 2013, Pemegang saham yang memiliki saham Bank kurang dari batas maksimum kepemilikan saham dapat meningkatkan kepemilikan saham sampai dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank. Sedangkan bagi Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan saham Bank dapat melakukan penambahan kepemilikan saham sepanjang tidak menambah persentase kepemilikan sahamnya. d. Pemegang saham langsung Bank wajib menyesuaikan kepemilikan saham sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham, apabila perubahan pengendalian dimaksud berupa: 1. Perubahan pemegang saham Bank langsung atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT); dan/atau 2. Perubahan persentase kepemilikan saham Bank oleh pemegang saham langsung atau perubahan persentase kepemilikan PSPT pada Bank yang secara tidak langsung mempengaruhi jumlah pengendalian pada Bank. e. Persyaratan khusus bagi calon PSP berupa WNA/badan hukum asing dan calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham lebih dari 40% berupa penilaian Tingkat Kesehatan (TKS), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko, dan modal inti (tier 1) menggunakan posisi penilaian 1 (satu) tahun terakhir. Sedangkan pemenuhan persyaratan peringkat investasi yang digunakan adalah posisi peringkat investasi paling lama 1 (satu) tahun sebelum yang bersangkutan menjadi PSP bank.

116

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

f. Pemberian persetujuan Bank Indonesia kepada calon pemegang saham untuk memiliki saham bank lebih dari 40% dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Persetujuan untuk memiliki saham bank sebesar 40% terlebih dahulu; 2. Persetujuan untuk dapat meningkatkan jumlah kepemilikan dengan kewajiban mengajukan kembali permohonan untuk meningkatkan kepemilikan saham apabila bank yang dimiliki memiliki TKS dan GCG 1 atau 2 selama 3 periode berturut-turut dalam periode 5 tahun. g. Komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia bagi PSP asing, dikaitkan dengan prioritas pembangunan Indonesia mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dikeluarkan Bapenas. h. Calon pemegang saham berupa lembaga keuangan asing atau lembaga keuangan asing yang akan memiliki saham bank lebih dari 40% wajib mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan dari negara asal termasuk rekomendasi bahwa otoritas home country PSP Bank akan mendukung kebijakan otoritas pengawas di tempat kedudukan Bank (host country) di bidang pengawasan yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kinerja Bank dan/atau memelihara stabilitas sistem keuangan di tempat kedudukan Bank (host country). i. Calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% wajib pula memiliki komitmen untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang dimiliki jika Bank yang dimiliki diperkirakan mengalami kesulitan memenuhi rasio KPMM sesuai profil risiko di masa yang akan datang. j. Kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off) unit usaha syariah paling lama akhir Desember 2028.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/5/DSM Tanggal 7 Maret 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri

Berlaku

:

7 Maret 2013

1. Surat Edaran Nomor 15/5/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 Tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.14/24/DSM tanggal 7 September 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank. 2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan aturan sebelumnya mencakup: a. Penyesuaian Batas Waktu Penyampaian Laporan (BWPL) dan Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan (BWPKL) apabila hari terakhir jatuh pada hari Sabtu, Minggu, libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menjadi hari kerja selanjutnya. b. Perubahan sanksi denda maksimum untuk laporan tidak benar dan/atau tidak lengkap dari semula Rp20.000.000,(dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah).

117

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Perubahan sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan dari semula Rp1.000.000,- (satu juta Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah) menjadi Rp500.000,- (lima ratus ribu Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah). d. Perhitungan hari keterlambatan yang semula berdasarkan hari kalender menjadi hari kerja. e. Perubahan sanksi denda tidak menyampaikan laporan dari semula Rp20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah). f. Subjek sanksi denda dikenakan kepada pelapor yang sudah melewati 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian laporan pertama. g. Perubahan rekening pembayaran sanksi denda pelaporan dari rekening kas negara menjadi rekening Bank Indonesia. h. Perubahan batas waktu penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda dari semula akhir bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima pelapor menjadi akhir bulan berikutnya setelah tanggal penerbitan surat penetapan sanksi. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 2013 dan berlaku surut sejak pelaporan data PL bulan Desember 2012 yang disampaikan pada bulan Januari 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/6/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Kegiatan Usaha Bank Umum berdasarkan Modal Inti

Berlaku

:

Tanggal 8 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. SE ini mewajibkan Bank melakukan identifikasi dan menyampaikan action plan atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan kelompok kegiatan usaha Bank berdasarkan modal inti (BUKU) serta mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan sebelum menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang bukan merupakan produk dan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi. Substansi Pengaturan: 1. Bank dapat melakukan kegiatan usaha berupa penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai cakupan produk dan aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU. BUKU dibedakan menjadi 4 kelompok, BUKU 1 sampai dengan BUKU 4. Semakin tinggi modal inti Bank, semakin tinggi BUKU dan semakin luas cakupan produk yang dapat diterbitkan atau aktivitas yang dapat dilaksanaakan oleh Bank. 2. Penerbitan produk dan aktivitas baru Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. merupakan produk atau aktivitas yang diperkenankan pada masing-masing BUKU; b. rencana penerbitan produk yang belum pernah diterbitkan atau aktivitas yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tersebut;

118

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang merupakan produk atau aktivitas dasar tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia; d. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang bukan merupakan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas tinggi, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia; dan e. menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. 3. Produk atau aktivitas baru yang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia adalah produk atau aktivitas yang bukan merupakan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi antara lain meliputi: a. Penghimpunan dana berupa penerbitan surat utang dan atau pinjaman yang memiliki fitur ekuitas, serta sekuritisasi aset; b. Aktivitas treasury berupa structured product dan credit derivative; c. Keagenan dan kerjasama berupa aktivitas bancassurance, kustodian, wali amanat, dan trust; dan d. Kegiatan sistem pembayaran antara lain berupa penyelengaraan kliring, penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan penyelenggara Uang Elektronik (e-money), phone banking, SMS banking, mobile banking, dan internet banking. 4. Produk atau aktivitas baru yang tidak wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia antara lain meliputi: a. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dasar antara lain penghimpunan dana dalam bentuk giro, tabungan, sertifikat deposito dan pinjaman yang diterima serta penyaluran dana dalam bentuk kredit, pembelian surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada bank lain; b. aktivitas penjualan produk-produk yang diterbitkan oleh Pemerintah, misalnya aktivitas agen penjual Surat Utang Negara (SUN) dan aktivitas agen penjual Obligasi Ritel Indonesia (ORI); c. penanaman dana dalam rangka investasi, misalnya pembelian Reksa Dana pendapatan tetap, penempatan pada SBI, dan pembelian surat berharga korporasi; d. penyaluran dan penghimpunan dana dalam rangka pengelolaan likuiditas, antara lain Penempatan antar Bank, penerimaan pinjaman antar Bank; e. penerimaan pinjaman dari pihak lain, misalnya pinjaman antar Bank dan pinjaman dari non Bank seperti lembaga multilateral; dan f. pengembangan dari produk atau aktivitas konvensional yang pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank. 5. Tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. Pencantuman rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan oleh Bank dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan penerbitan atau pelaksanaan aktivitas baru; b. Pengajuan permohonan Persetujuan Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan c. Pengajuan laporan Realisasi Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas Baru kepada Bank Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah produk diterbitkan atau aktivitas baru dilaksanakan.

119

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

6. Bank wajib melakukan identifikasi terhadap produk atau aktivitas Bank yang telah diterbitkan atau dilaksanakan tetapi tidak menjadi cakupan produk atau aktivitas BUKU Bank. Selanjutnya, Bank harus menyampaikan rencana tindak (action plan) atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan BUKU Bank yang dapat berupa: a. Rencana penambahan Modal inti; atau b. Rencana penyesuaian Kegiatan Usaha. 7. Rencana tindak wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Maret 2013, dan Bank Indonesia melakukan penilaian atas rencana tindak Bank. Berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia, Bank wajib melakukan revisi atas Rencana Bisnis Bank dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Juni 2013. 8. Bank wajib melakukan penambahan Modal dan/atau menyesuaikan Kegiatan Usaha yang mencakup produk dan aktivitas, kegiatan valuta asing, dan kegiatan Penyertaan Modal paling lama: a. 3 (tiga) tahun sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui oleh Bank Indonesia; atau b. 5 (tahun) sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui Bank Indonesia, bagi Bank yang dimiliki Pemerintah Daerah. 9. Bab Peralihan dalam SE ini diatur antara lain mengenai: a. Penentuan BUKU Bank berdasarkan Modal Inti, untuk pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti Bank pada akhir bulan Desember 2012. b. Bagi Bank yang sebelum berlakunya SE Bank Indonesia ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan BUKU, wajib menyampaikan rencana tindak pemenuhan Modal Inti atau rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha kepada Bank Indonesia. c. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, wajib disampaikan oleh Bank yang tidak mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU sampai dengan akhir bulan Maret 2013. d. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang sampai dengan akhir bulan Maret 2013 telah mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum berdasarkan BUKU. Namun Bank wajib menyampaikan laporan dan bukti pendukung pemenuhan Modal Inti minimum kepada pengawas Bank yang bersangkutan sebagai dasar penyesuaian BUKU Bank. e. Informasi yang harus disampaikan dalam Rencana tindak pemenuhan Modal Inti dan Rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha adalah sebagaimana diatur dalam SE BI ini. f. Bagi Bank yang telah menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas yang berdasarkan SE Bank Indonesia ini wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia, tetap dapat memelihara produk atau aktivitas tersebut tanpa harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia, sepanjang merupakan cakupan produk atau aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU Bank. g. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang pada posisi akhir Desember 2012 tidak memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU, namun mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk tetap dapat melakukan Kegiatan Usaha tertentu berdasarkan pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional, termasuk Bank yang dalam penanganan atau penyelamatan LPS. 10.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dengan berlakunya SE Bank Indonesia ini, maka SE Bank Indonesia No.11/35/DPNP tanggal 31 Desember 2009 perihal Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

120

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/7/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti

Berlaku

:

Tanggal 8 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: •

Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.



SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank (Theoretical Capital). Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional.

Substansi Pengaturan: 1. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank Umum dan pemerataan pembangunan dalam masingmasing zona. 2. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh. 3. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing-masing Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1 dan 2. 4. Bank Umum memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. 5. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September. 6. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 7. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti.

121

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

8. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 6 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio kredit. 9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan kredit kepada UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio kredit, dan melakukan pemupukan modal. 10. Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM) untuk menetapkan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. 11. Perhitungan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September. 12. Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 13. Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur sebagai berikut: a.

pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau

b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6. 14. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4. 15. Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. 16. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. 17. Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku, dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut. 18. Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013.

122

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

19. Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan Desember 2012. 20. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti

Berlaku

:

Tanggal 27 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: •

Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.



SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank (Theoretical Capital), dengan tetap mempertimbangkan pengembangan perbankan syariah ke depan. Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional.

Substansi Pengaturan: 1. SE ini berlaku untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). 2. Delivery channel dan layanan syariah tidak diperhitungkan sebagai Pembukaan Jaringan Kantor Bank. 3. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing zona. 4. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh. 5. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing-masing Bank berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1 dan 2. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. 6. Bank memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. Yang dimaksud dengan kantor Bank yang sudah ada (existing) adalah kantor yang telah berdiri kurang atau sama dengan 2 (dua) tahun. Perhitungan alokasi Modal Inti untuk UUS menggunakan Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya.

123

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

7. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September. 8. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia. 9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti. 10. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan. Penilaian pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM atau UMK untuk UUS dihitung dengan menggunakan jumlah penyaluran pembiayaan dan kredit kepada UMKM atau UMK yang dilakukan UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi. 11. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan pembiayaan kepada UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan, dan melakukan pemupukan modal. 12. Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Operating Margin (NOM) untuk menetapkan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. Khusus untuk UUS, penilaian pencapaian tingkat efisiensi (rasio BOPO dan Net Interest Margin) dihitung menggunakan pencapaian rasio efisiensi UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi. 13. Perhitungan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September. 14. Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia 15. Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur sebagai berikut: a.

pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau

b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6. 16. Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud dalam angka 15 untuk Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan ketentuan:

124

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

a.

Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor konvensional maka kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP berupa KC atau KCP konvensional atau syariah.

b. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor syariah maka kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP syariah. 17. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4. 18. Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. 19. Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku, dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut. 20. Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013. 21. Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan Desember 2012.

Peraturan :

Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor

Berlaku

27 Maret 2013

:

Ringkasan : 1. Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/25/PBI/2012 Tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. 2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini mencakup: a. Istilah/terminologi yang umum dalam perdagangan internasional didefinisikan secara eksplisit dalam ketentuan umum, seperti operational leasing, financial leasing, dan usance L/C. b. Aturan tentang kewajiban penerimaan DHE termasuk pemberian contoh-contohnya, seperti penerimaan DHE tidak wajib dikonversi ke rupiah dan penerimaan DHE dapat dilakukan dalam valuta yang berbeda dari yang tercantum di PEB.

125

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Ketentuan mengenai penyampaian data, keterangan, dan informasi berikut contohnya, antara lain nilai DHE yang disampaikan dalam laporan rincian transaksi ekspor adalah nilai setelah memperhitungkan biaya-biaya, cara penghitungan selisih kurang antara nilai DHE dan nilai PEB, serta jenis dokumen pendukung yang harus disampaikan eksportir. d. Penghitungan dan mekanisme pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE kepada eksportir, seperti penyampaian surat pemantauan penerimaan DHE kepada eksportir/pemilik barang terkait belum terpenuhinya ketentuan penerimaan DHE sebelum dikeluarkannya surat pengenaan sanksi serta penyampaian tembusan surat pengenaan sanksi kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta instansi terkait. e. Tatacara pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor, yaitu antara lain berupa bukti-bukti yang harus disampaikan eksportir serta kegiatan verifikasi oleh Bank Indonesia atas bukti-bukti tersebut. 3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomer 15/10/DPNP tanggal 28 Maret 2013 perihal Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank Indonesia

Berlaku

:

Sejak tanggal 28 Maret 2013

Latar Belakang Pengaturan: • Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/17/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust). • SE ini mengatur bahwa Bank wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha penitipan dengan pengelolaan secara berkala untuk setiap kantor unit kerja Trustee kepada Bank Indonesia. • SE ini memberikan pedoman penyusunan laporan kegiatan Trust kepada seluruh Bank Umum. Substansi Pengaturan: 1. Pokok-pokok pengaturan SE ini adalah mengenai mekanisme, format dan bentuk laporan yang disertai petunjuk teknis penyusunan laporan kegiatan Trust. 2. Laporan yang disampaikan paling kurang mencakup informasi mengenai: a. Sumber Daya Manusia unit kerja Trustee b. Perjanjian Trust dan Settlor. c. Kegiatan Trust. d. Posisi Aset dan Kewajiban Trust. 3. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

126

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

Berlaku

:

Tanggal 8 April 2013

Latar Belakang Pengaturan: • Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/16/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. • SE BI ini mengatur FPJP terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan, persetujuan, tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan penggunaan FPJP. • Pada saat SE BI ini mulai berlaku, SE BI No.10/39/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Substansi Pengaturan: I. Persyaratan FPJP 1. Umum a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP adalah Bank yang: 1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek 2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi 3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. b. FPJP diberikan sebesar plafon FPJP yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan oleh Bank. c. Pencairan FPJP sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan jangka waktu FPJP. d. Jangka waktu FPJP: 1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 hari kalender. 2) Jangka waktu FPJP dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan paling lama 90 hari kalender. e. Biaya bunga FPJP sebesar tingkat suku bunga Lending Facility ditambah 100 basis poin. 2. Agunan FPJP a. Bank menjamin FPJP dengan agunan milik Bank berupa SBI, SBIS, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Aset Kredit. b. Obligasi Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1) Bank memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau 2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN.

127

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

c. Aset Kredit hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal: 1) Bank memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau 2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi. II. Pengajuan FPJP 1. Permohonan FPJP. Bank dapat mengajukan permohonan FPJP paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana kebutuhan FPJP pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB. 2. Permohonan perpanjangan FPJP. Apabila pada saat FPJP jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJP, Bank dapat memperpanjang FPJP dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJP sesuai kebutuhan. 3. Permohonan Penambahan Plafon FPJP. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJP Bank dapat mengajukan penambahan plafon FPJP sesuai kebutuhan, dengan ketentuan: a. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJP; b. Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan c. Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko. III. Perhitungan Nilai Agunan FPJP 1. Agunan berupa SBI dan/atau SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJP. 2. Agunan berupa SBN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJP, 3. Agunan berupa Obligasi Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar: a. 120% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas. b. 135% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat teratas. c. 140% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat kedua teratas. d. 145% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas. 4. Agunan berupa Aset Kredit a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai baki debet Aset Kredit 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan FPJP. b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJP yang dijamin dengan Aset Kredit. IV. Persetujuan FPJP Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJP dalam hal: 1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau perpanjangan FPJP. 2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank.

128

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

V. Pelaksanaan Pemberian FPJP 1. Pencairan FPJP. Dalam hal permohonan FPJP disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJP sebesar kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang tidak melebihi plafon FPJP yang disetujui. 2. Pemantauan FPJP a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJP dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja. b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJP. c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJP secara harian. d. Penghentian pencairan FPJP. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJP dalam hal: 1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil resiko Bank 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP. b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan. e. Pengakhiran FPJP, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJP dalam hal: 1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJP sehingga nilai sisa plafon lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan. 2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut: a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP setelah jangka waktu berakhir; dan b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJP. VI. Pelunasan FPJP 1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJP saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJP. 2. Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan mendahulukan pembayaran biaya bunga FPJP kemudian pelunasan pokok FPJP. VII. Eksekusi Agunan FPJP Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP dalam hal: 1. FPJP jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJP, atau perjanjian FPJP diakhiri; dan 2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi biaya bunga dan/atau nilai pokok FPJP.

129

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

VIII. Biaya FPJP Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJP menjadi beban Bank penerima FPJP, antara lain berupa: 1. biaya bunga FPJP sampai dengan FPJP dilunasi; 2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJP dan pengikatan agunan FPJP; 3. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Obligasi Korporasi di otoritas penatausahaan surat berharga dimaksud; 4. biaya proses eksekusi agunan; 5. biaya lainnya terkait pemberian FPJP.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/12/DASP tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

Berlaku

:

8 April 2013

Ringkasan : 1. Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing Di Pasar Perdana Domestik, maka untuk Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 tentang Lelang Surat Utang Negara Di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara (SUN) perlu dilakukan perubahan. Perubahan ini disebabkan karena ketentuan lama belum mengatur pelaksanaan lelang tambahan untuk SUN (Green shoe option). 2. Pengertian dari Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) adalah penjualan SUN di Pasar Perdana dalam mata uang rupiah dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang. 3. Salah satu perubahan di dalam SE BI ini yaitu terhitung mulai tanggal 8 April 2013, kenaikan incremental bid yield lelang SUN di pasar perdana akan berubah dari 1/32 akan menggunakan kelipatan 1/100. 4. Mekanisme setelmen atas hasil Lelang SUN dan/atau Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) sesuai dengan sistem akan menggunakan opsi batal seluruhnya (gross to net). 5. Bank Indonesia mengadakan Lelang SUN Tambahan berdasarkan rencana Lelang SUN Tambahan yang ditetapkan oleh Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. Lelang SUN Tambahan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB dan/atau pada hari kerja dan waktu lain yang ditetapkan Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. 6. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur mengenai: a. Tata cara lelang 1) Ketentuan dan persyaratan 2) Pelaksanaan lelang 3) Penentuan pemenang lelang 4) Pengumuman hasil lelang

130

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. Tata cara penatausahaan SUN 1) Setelmen hasil lelang 2) Setelmen hasil lelang buyback 3) Setelmen Obligasi Ritel Negara (ORI) 4) Setelmen hasil transaksi SUN secara langsung 5) Prosedur pembayaran kupon dan/atau pelunasan pokok 6) Setelemen transaksi SUN di pasar sekunder 7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 April 2013. 8. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah dengan SE BI No12/30/DASP tanggal 10 November 2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank

Berlaku

:

Sejak diterbitkan yaitu 12 April 2013 dan berlaku surut sejak tanggal 1 November 2012

Ringkasan : 1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan karena adanya perubahan formulir dan penambahan jenis informasi yang dilaporkan untuk kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank melalui sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU). 2. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup: a. ruang lingkup laporan; b. format dan jenis laporan; c. tata cara penyampaian laporan secara on-line dan off-line; d. tata cara penyampaian laporan dalam hal terjadi gangguan teknis; dan e. hak akses. 3. Perubahan formulir yang wajib disampaikan oleh pelapor yaitu: a. Form 301 Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit; b. Form 302 Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit; c. Form 303 Laporan Bulanan Acquirer; d. Form 304 Laporan Bulanan Infrastruktur; e. Form 305 Laporan Triwulanan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelesaian Akhir (Settlement); f. Form 306 Laporan Bulanan Fraud APMK dan Uang Elektronik (Electronic Money); g. Form 307 Laporan Bulanan Penerbit Kolektibilitas Kartu Kredit; h. Form 309 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan Permasalahan Yang Diadukan);

131

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

i. Form 310 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan Yang Diselesaikan Dalam Masa Laporan); j. Form 311 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan); k. Form 312 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif); dan l. Form 313 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa). 4. Penambahan jenis informasi yang wajib disampaikan oleh pelapor adalah informasi yang terkait dengan Uang Elektronik (Electronic Money) bagi pelapor yang berupa Lembaga Selain Bank (LSB) yang menyelenggarakan kegiatan Uang Elektronik (Electronic Money) yang dilaporkan melalui form: a. Form 302, Form 306, Form 309, Form 310, Form 311, Form 312, Form 313 dalam hal LSB bertindak sebagai Penerbit Uang Elektronik (Electronic Money). b. Form 303, Form 304, dan Form 306 dalam hal LSB bertindak sebagai Acquirer Uang Elektronik (Electronic Money). c. Form 305 dalam hal LSB bertindak sebagai Perusahaan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk Uang Elektronik (Electronic Money). 5. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.10/4/UKMI tanggal 8 Februari 2008 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/14/DPNP tanggal 24 April 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum

Berlaku

:

24 April 2013

Ringkasan : 1. Penyempurnaan SE BI mengenai LBBU dilakukan dalam rangka: a. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; dan b. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. 2. Penyempurnaan dilakukan untuk formulir: a. laporan risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book) (Formulir 9.a), sesuai dengan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar. Penyempurnaan tersebut meliputi penyelarasan dengan kategori portofolio dan bobot risiko terkait kategori portofolio sesuai SE BI mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit.

132

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

b. laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) (Formulir 14), sesuai dengan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Penyempurnaan tersebut meliputi penambahan kolom informasi kredit mikro dan penghapusan baris informasi terkait cadangan kerugian penurunan nilai. 3. Laporan terkait SBDK mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan April 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Mei 2013, sedangkan Laporan terkait risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book) mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan Juni 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Juli 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum

Berlaku

:

Tanggal 29 April 2013

Latar Belakang Pengaturan: Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Surat Edaran tersebut adalah terbitnya ketentuan mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan Risiko (Risk Based Bank Rating/RBBR) yang menetapkan Good Corporate Governance (GCG) sebagai salah satu faktor dalam penilaian tingkat kesehatan Bank Umum, sehingga perlu dilakukan harmonisasi dengan ketentuan mengenai GCG yang telah ada sebelumnya. Pokok-Pokok Pengaturan: 1. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, yaitu paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember. 2. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan secara komprehensif dan terstruktur dengan mengintegrasikan faktor-faktor penilaian ke dalam 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure, governance process, dan governance outcome. 3. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar GCG, penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan terhadap 11 (sebelas) Faktor Penilaian Pelaksanaan GCG, yaitu: 1) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris; 2) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi; 3) kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite; 4) penanganan benturan kepentingan; 5) penerapan fungsi kepatuhan; 6) penerapan fungsi audit intern; 7) penerapan fungsi audit ekstern; 8) penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern; 9) penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposures);

133

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

10) transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank, laporan pelaksanaan GCG, dan pelaporan internal; dan 11) rencana strategis Bank. Selain kesebelas faktor tersebut, perlu diperhatikan pula informasi lainnya terkait penerapan GCG Bank. 4. Penilaian pelaksanaan GCG Bank dilakukan secara individual maupun secara konsolidasi. 5. Peringkat Faktor GCG ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat Faktor GCG yang lebih kecil mencerminkan penerapan GCG yang lebih baik. 6. Laporan Penilaian Sendiri (Self Assessment) Pelaksanaan GCG dalam Laporan Pelaksanaan GCG yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan stakeholders Bank lainnya disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank dalam 1 (satu) tahun terakhir. 7. Bagi Bank yang memperoleh Peringkat GCG 3,4, atau 5 wajib menyampaikan action plan. Action plan disampaikan sesuai dengan tata cara penyampaian sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Namun, Bank dapat menyampaikan action plan lebih awal, bersamaan dengan penyampaian Laporan Penilaian (self assessment) Pelaksanaan GCG secara individual. 8. Laporan pelaksanaan action plan GCG berikut waktu penyelesaian dan kendala/hambatan penyelesaiannya (apabila ada) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada tata cara penyampaian laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. 9. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia No.15/15/DPNP, maka beberapa aturan di bawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku: a. Surat Edaran BI No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum; b. Lampiran III.4 Penilaian Faktor Good Corporate Governance (GCG) dalam Surat Edaran BI No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 perihal Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013 Tanggal 29 April 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri

Berlaku

:

sejak 29 April 2013

Ringkasan : 1. Surat Edaran BI No.15/16/DInt tanggal 29 April 2013 ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.13/1/DInt tanggal 20 Januari 2012 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri yang hanya berlaku sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.

134

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

2. Pokok-pokok perubahan dalam Surat Edaran:

No.

Semula

Menjadi

A.

Batas akhir Laporan Data Pokoko ULN dan/atau perubahannya serta laporan Data Rekapitulasi ULN.

Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

B.

Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan.

Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan untuk setiap pelapor dengan jumlah keseluruhan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).

Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah)

C.

Pengenaan sanksi denda atas ketidaklengkapan dan/atau ketidak- benaran Laporan data rekapitulasi ULN berupa Realisasi dan Posisi ULN

Tidak diatur

Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).

D.

Subjek sanksi denda

Pelaporan baru

Pelapor yang sudah melewati 3 periode penyampaian laporan terhitung sejak pertama kali melapor

E.

Pembayaran sanksi administratif berupa denda.

Ke rekening Kas Negara

Ke rekening Bank Indonesia.

F.

Kondisi force majeure

Tidak diatur

Disesuaikan dengan PBI 14/21/PBI/2012

3. Sanksi administratif berupa denda mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang disampaikan pada bulan Februari 2014. 4. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka surat Edaran Bank Indonesia No. 13/1/DInt tanggal 20 Januari 2011 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri masih tetap berlaku untuk penyampaian Laporan ULN sampai dengan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.

135

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/17/DInt tanggal 29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan

Berlaku

:

Sejak tanggal 29 April 2013

Ringkasan : 1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari penerbitan PBI No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) yang mengintegrasikan ketentuan Lalu Lintas Devisa (LLD) dan Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL). 2. Surat Edaran Bank Indonesia ini bertujuan untuk pengaturan teknis pelaporan kegiatan LLD, khususnya laporan rencana utang luar negeri, perubahan rencana utang luar negeri, dan informasi keuangan, yang akan dilakukan secara on-line mulai tanggal 1 Agustus 2013. 3. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini terdiri dari: a. Jenis perusahaan yang menjadi pelapor b. Cakupan laporan c. Format laporan dan tata cara pelaporan d. Penyampaian laporan e. Tata cara pengenaan sanksi f. Analisis manajemen resiko 4. Pokok-pokok pengaturan dalam SE BI ini mencakup:

Ruang lingkup

136

Pengaturan

Cakupan laporan

1. Laporan rencana ULN jangka panjang untuk 1 thn berjalan terdiri dari: a. Laporan rencana ULN baru dan perpanjangan (roll over) ULN lama b. Analisis manajemen risiko c. Penilaian peringkat 2. Laporan Perubahan Rencana ULN, mencakup perubahan recana ULN dan analisis manajemen risiko 3. Informasi Keuangan mencakup: a. Laporan keuangan tahunan b. Laporan keuangan interim

Tata cara penyampaian laporan

Dilakukan secara Online, melalui website pelaporan seluruh kegiatan LLD: https://www.bi.go.id/lkpbuv2 (media offline hanya digunakan apabila terdapat gangguan teknis pada website pelaporan, yaitu dengan media email attachment, CD/flashdisk, atau media lainnya).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013

Ruang lingkup

Pengaturan

Batas waktu penyampaian laporan

1. Laporan Rencana ULN jangka panjang disampaikan paling lambat tgl.15 Maret tahun berjalan. 2. Laporan Perubahan Rencana ULN disampaikan paling lambat tgl.1 Juli tahun berjalan. 3. Laporan Informasi Keuangan: a. Laporan keuangan tahunan disampaikan paling lambat tgl.15 Juni tahun berjalan (untuk laporan tahunan periode Januari s.d. Desember tahun sebelumnya). b. Laporan keuangan interim disampaikan paling lambat tgl.15 Desember (untuk laporan interim periode Januari s.d. Juni tahun berjalan)

Toleransi keterlambatan

Sejak batas waktu penyampaian laporan yang telah ditetapkan s.d. akhir bulan berjalan.

Sanksi

Pelapor yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan akan dikenakan sanksi administratif berupa Surat Peringatan.

4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2013. 5. Pengenaan sanksi mulai berlaku sejak pelaporan Rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat tanggal 15 Maret 2014. 6. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.12/37/DInt tanggal 23 Desember 2010 perihal Tata Cara Pelaporan Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank serta Format Indikator Keuangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2013.

Peraturan :

Surat Edaran Bank Indonesia No.15/18/DASP tanggal 30 April 2013 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/13/DASP Tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nominal Nota Debet Dan Transfer Kredit Dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.

Berlaku

:

Sejak 31 Mei 2013

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran dan memberikan alternatif layanan yang lebih luas kepada masyarakat untuk melakukan transfer kredit melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). 2. Perubahan pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yaitu merubah batas nominal transfer kredit yang dapat dikliringkan melalui Kliring Kredit dalam penyelenggaraan SKNBI yang sebelumnya paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi menjadi paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per transaksi.

137

Halaman ini sengaja dikosongkan

138