Ilmu yang kita bicarakan ini adalah ilmu yang bahan bangunannya buah ... ilmu
adalah bangunan buah pikiran yang kita perlukan sebagai alat pendukung.
ILMU PEMERINTAHAN INI UNTUK SEMUA ORANG Taliziduhu Ndraha, Kybernolog 1 UNTUK HIDUP, KITA PERLU ILMU Mengapa Kita Ini Ada? Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir, Maka Aku Ada-----Rene Descartes (1596-1650) Salah satu hal teragung dan terbesar yang diwariskan oleh Para Bapa Bangsa dan Pendiri Negara Indonesia kepada kita adalah Pasal 28 UUD 1945 naskah asli dan pertama, berbunyi: Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul, Mengeluarkan Pikiran Dengan Lisan Dan Tulisan Dan Sebagainya Ditetapkan Dengan Undang-Undang Pasal sakti tersebut dikutip dari Koesnodiprodjo, Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945 (SK Seno Jakarta, Juli 1951), dengan Kata Pengantar dari Prof. Dr Soepomo. Tidak seperti yang sering diucapkan dan ditulis orang, Pasal itu mengatur perihal kemerdekaan berpikir, bukan kebebasan berpendapat. Orang mudah berpendapat tanpa berpikir, tetapi melalui proses berpikir, pikiran bisa berbuah pendapat, buah yang matang, stabil dan berguna. “Pikir Itu Pelita Hati,” oleh “berpikir” lubuk hati segelap apapun menjadi terang, “Pikir Dahulu Pendapatan, Sesal Kemudian Tidak Berguna.” Benderangnya lubuk hari memungkinkan kita tidak “berpikir pendek” melainkan “berpikir panjang,” sehingga walau hati panas, kepala tetap dingin. Kita mengenal bermacam-macam bangunan. Bangunan dikenal dengan bahan atau zat bangunannya, konstruksi, dan fungsinya. Ilmu yang tercantum dalam judul di atas adalah semacam bangunan. Dilihat dari bahan bangunannya, ilmu bermacam-macam adanya. Ada yang bahan bangunannya dari perasaan, ada yang bahan bangunannya dari kepercayaan, ada pula yang bahan bangunannya terdiri dari adonan pendapat dan retorika. Ilmu yang kita bicarakan ini adalah ilmu yang bahan bangunannya buah pikiran. Disebut “buah” karena pikiran itu dipersepsi sebagai pohon di tengah belukar, dari benih, tertanam di lahan, dengan akar dan daunnya, yang berbuah dan berdaurulang, di bawah terpaan badai, terik dan hujan. Ilmu yang bahan bangunannya 1
buah pikiran itu, lazim juga disebut ilmupengetahuan. Sama seperti pohon bercabang, ilmu pun bercabang dan beranting pula. Seperti bangunan fisik yang disebut menurut fungsinya, katakanlah tumahtinggal, kantor, pabrik, dan gudang, ilmu juga disebut menurut fungsinya. Ada Matematika, Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora. Jadi ilmu adalah bangunan buah pikiran yang kita perlukan sebagai alat pendukung kehidupan. Sudah barang tentu, sama seperti bangunan lainnya, sejauh mana ilmu mengantar dan mendukung kehidupan di dalam lingkungannya dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lain, bergantung pada kualitas bahan (zat) bangunan, konstruksi bangunan, dan keberfungsiannya. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah, ilmu apa atau ilmu seperti apa yang kita butuhkan, terlebih pada zaman sekarang ke depan? Namun untuk bisa menjawab pertanyaan sepenting itu, perlu dijawab dulu pertanyaan berikut. 2 SIAPAKAH KITA INI? Bagian Pertama: Manusia Gnothi Seauton Kenalilah Dirimu Sendiri!------Socrates (469-399) Mengenal Kualitas Manusia Kualitas adalah karakteristik yang membedakan satu dengan yang lainnya. Jika kualitas ditimbang, ia diberi nilai, dan nilai yang disepakati atau dipaksakan disebut norma. Kualitas dasar manusia itu terdapat di ruang pengakuan (keimanan, kepercayaan) setiap orang. Orang Indonesia yang mengaku berTuhan YME menyatakan bahwa manusia ------- yaitu dirinya ------- adalah ciptaan ALLAH yang paling mulia. Pengakuan itulah yang menjadi sumber sistem nilai sentral bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945 seperti yang dimaksud oleh para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara Indonesia. Gambar 1 menunjukkan arkeologi konsep Manusia dan Kualitas Manusia. Di sana terlihat 6 generasi sekaligus tujuh kelompok kualitas manusia, yaitu. 1. Manusia sebagai ciptaan ALLAH, makhluk paling terhormat 2. Manusia sebagai penduduk 3. Manusia sebagai masyarakat 4. Manusia sebagai wargabangsa
2
5. Manusia sebagai warganegara a. Sebagai pembayar (wajib-bayar) pajak b. Sebagai pembela (wajib-bela) Negara c. Sebagai konstituen (berhak-pilih-dipilih) 6. Manusia sebagai pemerintah (dengan kualitas derivatnya) 7. Manusia sebagai yang-diperintah (dengan 8 kualitas derivatnya) Dalam perjalanan sejarah, manusia mengalami degradasi kualitatif seperti terlihat pada kelompok 7 Gambar 1. ALLAH mencipta CIPTAAN MAKHLUK MANUSIA-->MEMBUMI 1 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK-->BERMASYARAKAT | 2 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK | WARGAMA| SYARAKAT-->BERBANGSA | 3 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK KUALITAS MASYARAKAT MANUSIA WARGABANGSA-->BERNEGARA | 4 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK | MASYARAKAT | BANGSA | WARGANE| GARA----->BERPEMERINTAHAN 7 5 CIPTAAN YANG DIMANUSIA PERINTAH PENDUDUK konstituen MASYARAKAT representatif BANGSA terjanji NEGARA pelangganPEMERINTAH penagih penjanji konsumer tertagih korban provider mangsa penanggungjawab 6
Gambar 1 Kualitas Manusia
3
Kualitas manusia pada generasi dan kelompok lima (Negara) adalah yang terpenting. Kondisi itulah yang menyebabkan perubahan kualitas manusia di kelompok 7. Generasi ini paling kontroversial dan dilemmatik. Di sinilah terletak takdir setiap orang. Pada generasi itu, kekuasaan adalah kebutuhan mutlak setiap warga untuk bisa hidup maju-berlanjut, tetapi begitu kebutuhan itu terpenuhi, begitu kekuasaan itu terbentuk, warga kehilangan daya untuk mengontrol (memonev) kinerja kekuasaan itu, kekuasaan itu berliar-liar dan leluasa membuai warga hingga terlena sambil tertawa saat dihirup darahnya, dicabik dan dilahap tubuhnya. Bukankah kaum elit itu tidak lagi bertanya “apa yang kita jerang,” melainkan “siapa yang kita mangsa?” Kita “dipaksa” atau terpaksa menerima kenyataan itu. Perilaku “berliar-liar” kaum elit itu semakin menjadi-jadi manakala jabatan publik dan kebijakan mereka disakralisasi (kings and queens can do no wrong, sabdo pandito ratu), ketaatan dan kepatuhan warga disalahgunakan (mikul duwur mendhem jero), dan vox populi saat pemilu dijadikan legitimasi perilaku “berliar-liar.” Pengetahuan tentang bagaimana manusia beroleh kualitas-kualitas derivat, merupakan kebutuhan lainnya. Dilihat dari perspektif itu, kita adalah manusia yang kualitasnya dalam kondisi terpuruk, dan oleh sebab itu dibutuhkan perjuangan untuk memulihkan (mengangkat, membaharui, menyelamatkan) kondisi kita selaku manusia kembali pada kualitas semula. Landasan utama perjuangan yang dimaksud adalah Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia. Ajaran HAM dan KAM Pengakuan di atas melahirkan pengakuan berikutnya bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hatinurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan,” demikian Pasal 1 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. HAM adalah hak eksistensial, bawaan sebagai manusia, bukan pemberian Negara atau fihak manapun. Harus diakui, dilindungi, dan dipenuhi oleh Negara sebagai sistem kekuasaan tertinggi dalam wilayahnya. Kontroversi atau dilemma pemenuhan HAM oleh Negara ialah kenyataan bahwa Negara yang mengatur lebih lanjut implementasi HAM dan berkewajiban mengakui, melindungi dan memenuhinya, cenderung melanggar HAM! Biasanya, Negara menolak bertanggungjawab atas pelanggarannya dengan membatasi pelaku pelanggaran
4
pada “oknum” yang dijadikan kambing hitam. Apa yang terjadi antara Negara dengan warga, terjadi juga antara atasan dengan bawahan dalam suatu unitkerja. Fakta itu terjadi sepanjang tahun 2011, sehingga sejumlah media menyebut tahun itu Tahun Dusta, Tahun Kebohongan, sementara media lain menjulukinya Tahun Kekerasan. Padahal semua orang tau, dalam sistem kekuasaan, “oknum” (bawahan) itu hanya alat, penanggungjawab adalah pengguna (atasan)-nya. Sindiran pojok Kompas 040112 berbunyi “Target e-KTP DKI tidak terpenuhi, yang mundur bukan Mendagri melainkan Wagub-nya!” tidak mengadaada. Dengan dimasukkannya HAM ke dalam lingkungan Kementerian HukHAM, Negara semakin leluasa melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM di segala bidang. Selanjutnya, konsep Hak, Wewenang, Kewajiban, dan Tanggungjawab. Dan hubungan antar empat konsep itu terdapat dalam Bagian Dua Bab II Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise (2006). Hubungan antara HAM dengan KAM (Kewajiban Azasi Manusia) pada umumnya timbal-balik. Artinya di mana ada hak, di sana ada kewajiban. Dalam perjanjian atau kesepakatan, hak fihak yang satu adalah kewajiban fihak yang lain. Perbedaaannya terletak pada subjek. Subjek HAM adalah setiap orang sejak terbentuk dalam kandungan ibunya. Perlu dikemukakan bahwa manusia (setiap orang) memiliki HAM begitu ia terbentuk dalam rahim ibunya, tetapi tidak dapat dan tidak mungkin ia dibebani KAM (kewajiban asasi) pada saat yang sama. Dia dapat terbebani KAM seiring dengan kemampuannya untuk bertanggungjawab. Orang berKAM (hanya) sepanjang ia mampu bertanggungjawab. Bayi misalnya tidak atau “belum” berKAM. Yang terbebani KAM adalah orangtuanya. Sesungguhnya demikian juga halnya hubungan antara Negara (orangtua) dengan masyarakat yang baru diserahi otonomi daerah! Kita perlu mengetahui kaitan dengan HAM baik di hulu, di tengah, maupun di hilir kehidupan kita. Pembelajaran HAM tak terpisahkan dari Negara dan politik. Persentuhan antara keduanya terjadi pada dua titik. Pertama, seperti dikemukakan di atas, negaralah yang berkewajiban mengakui, melindungi, menegakkan, dan memenuhi HAM, dan kedua, dalam kenyataannya, negaralah yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Pelajaran HAM terkait dengan masyarakat. Keterkaitan antara keduanya terjadi pada tiga titik. Pertama, masyarakat adalah pelanggan pelayanan HAM oleh Negara, sehingga masyarakat berfungsi mengontrol kebijakan Negara tentang HAM di hulu, kedua, masyarakat juga potensial melanggar HAM, dan ketiga, masyarakat sebagai pelanggan berfungsi memonev pelayanan HAM di hilir. Yang pertama jelas. Kita berusaha mengontrol kekuasaan di hulu melalui pemilu dan pembuatan kebijakan. Yang kedua dan ketiga memerlukan penjelasan. Suatu hari pada tahun 70-an ketika saya buru-buru pergi mengajar, tanpa 5
sengaja saya melanggar rambu lalulintas. Pelanggaran itu mau tidak mau harus saaya pertanggungjawabkan, dengan menanggung sanksinya. Sanksi pelanggaran seperti biasa, STNK dan KTP disita polantas, ditilang, dan diwajibkan melapor ke kantor keesokan harinya. Bisa-bisa disidang di pengadilan. Dengan alasan macam-macam, demi mengelak pertanggungjawaban itu, saya berusaha menyuap petugas dengan sejumlah uang. Mujur buat saja, saya kena batunya. Sang petugas mengajari saya dua hal: 1. Jika guru melanggar peraturan, apa lagi muridnya. Bukankah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari?” 2. Pengelakan warga untuk bertanggungjawab atas pelanggaran atau perbuatannya, menumbuhkan budaya suap-menyuap khususnya dan korupsi umumnya antara warga dengan pejabat kekuasaan Perihal ketiga jauh lebih dalam. Ternyata dalam hubungan pemerintahan, warga selalu dalam posisi nirdaya, sehingga kita tidak mampu memonev dan mengontrol kekuasaan di hulu (pemilu dan pembuatan kebijakan sumber-sumber secara cerdas ), di tengah (sehari-hari mengawal dan merawat), dan di hilir (bertanya, dan jika jawaban Negara tidak kita percaya, melawan). Aksi unjukrasa saja dianggap anarki dan ditindas. Yang bertepuk tangan adalah fihak ketiga. Sejarah membuktikan betapa lemahnya kita sehingga diperlukan waktu 30 sampai 90 tahun akumulasi kekecewaan, kehinaan, dan kemarahan yang tidak tertahankan lagi untuk nekad menumbangkan sebuah rezim pemangsa. Di atas telah dikemukakan satu dilemma, yaitu kekuasaan adalah kebutuhan mutlak setiap warga untuk bisa hidup maju-berlanjut, tetapi begitu kekuasaan itu terbentuk, begitu kebutuhan itu secara formal terpenuhi, warga kehilangan daya untuk mengontrol (memonev) kinerja kekuasaan itu, kekuasaan itu berliar-liar dan leluasa membuai warga hingga terlena sambil tertawa saat dihirup darahnya, dicabik dan dilahap tubuhnya. Kita “dipaksa” atau terpaksa menerima kenyataan itu. Apakah ini adil? Barangkali untuk menjawab pertanyaan tersebut “terpaksa” pula dimunculkan dilemma kedua, yaitu: Negara berfungsi mutlak mencerdaskan dan memberdayakan bangsa, demikian Pembukaan UUD 1945 naskah asli, tetapi begitu bangsa cerdas, konon pula bilamana lebih cerdas darinya, Negara harus siap di hulu, tengah, dan di hilir untuk dimonev, dikontrol, dikawal, dan pada saat tertentu dilawan dengan korban yang sangat tinggi oleh warga yang dicerdaskan dan diberdayakannya sendiri, sampai jumpa takdir “the higher you are, the harder you fall.” Apakah Negara siap juga menerima hal itu?
6
Dilihat dari perspektif itu, kita adalah warga yang kualitasnya dibanding dengan kualitas pemangku kekuasaan Negara berada dalam kondisi sangat timpang, dan oleh karena itu mutlak dibutuhkan pendidikan kewargaan (civic education) yang mampu membentuk warga masyarakat yang cerdas (berpikir) dan bertanggungjawab, sehingga dayarusak dan korban dua dilemma di atas dapat tertekan seminimal mungkin, dan kesempatan untuk membangun hubungan yang selaras, seimbang, serasi, dinamis, dan berkelanjutan antara Negara dengan warga, terbuka. Pelayanan pendidikan kewargaan itu adalah kewajiban asasi Negara. Nilai, Kebutuhan, dan Naluri Warga HAM sebuah sistem nilai. Semua alat dan cara pemenuh kebutuhan dan naluri manusia disebut bernilai. Di bawah sistem otokratik atau sistem politik berkepemimpinan lemah, nilai tertentu bisa dipaksakan berlakunya sebagai norma atau kaidah melalui berbagai cara dan alat. Norma ditegakkan dengan berbagai cara pula, misalnya pengaturan dan pembudayaan, tetapi di sini dikemukakan dua cara lainnya. Pertama, sakralisasi nilai, artinya nilai yang disepakati disakralkan, dalam arti fihak yang bersepakat memonopoli nilai (kebenaran), dan selanjutnya fihak yang lain dianggap berkesalahan. Kedua, pengakuan nilai, artinya nilai yang disepakati diakui secara sadar sebagai pola perilaku fihak yang berpengakuan itu saja, tanpa menganggap fihak lain berkesalahan. Negara berkewajiban menyelesaikan konflik antar pengakuan atau kepercayaan sesegera mungkin, dan tidak membiarkannya dengan harapan akan padam sendiri atau dilupakan orang. Jabaran sistem nilai HAM itu selanjutnya dapat dibaca dalam UU 39/99 tentang HAM, lihat Bab I Kybernologi Hak Asasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010). sakral--------4-->DOGMA | isasi PENGETAHU- karakditimdisepa| AN TENTANG--------->KUALITAS------->NILAI-------->NORMA--| SESUATU teristik | bang | kati* | | CREDO, | | | | | pengaSELF---------1--------2 3 --------5-->COMMITkuan MENT, KODE ETIK Gambar 2 Teori Nilai
Walter Lippmann dalam The Public Philosophy (1956) menyatakan betapa pentingnya “human needs and instincts” itu. “The ius gentium was meant to contain
7
what was common and universal, separated from what was peculiar and local, in the laws of all states. And beyond this practical common law for commercial intercourse, the Roman jurists recognized that in theory there was also natural law, ius naturale, which is the law imposed on mankind by common human nature, that is by reason, is response to human needs and instincts.” Lebih satu setengah abad sebelumnya, dalam bukunya setebal 32 halaman berjudul Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen (Sketsa Ilmu Pemerintahan, maksud dan ikhtiar-ikhtiarnya), L. P. van de Spiegel menjelaskan halhal yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir-batin dunia-akhirat (LBDA) itu. Ia menyatakan bahwa manusia memperoleh kebahagiaan rohaniah manakala manusia menjalankan agamanya (Godsdienst), melakukan kebajikan utama kewargaan (Burgerlijke Deugden), dan mengerjakan kepandaian-kepandaian yang berguna (Nuttige Kundigheden), sedangkan kebahagiaan jasmani bergantung pada kebebasan (Vrijheid), keamanan (Veiligheid), kesehatan (Gezondheid), dan kemakmuran (Overvloed).
| | |
-----> KEBUTUHAN --------> KETEGANGAN --------> DORONGAN -------| | | -------KEKURANGAN DORONGAN -------| | | ------- KERESAHAN BB maka sumber berfungsi sumberdaya (SD: SDA, SDM, SDBU), tetapi jika BB > DD, sumber berfungsi sumberbencana (SB: SBA, SBM, SBBU). Dipandang dari perspektifr itu, NKRI terdiri dari lima bangsa (Gambar 7). Dalam hubungan itu, kondisi DD = BB merupakan satu titik keseimbangan hipotetik, ambang batas (AB) antara keduanya. Dapat juga dikatakan, ABDD = ----------------------------------------------| SUMBERDAYA ALAM | | |-----------------------------| SUMBERBENCANA | | KAYA | MISKIN | | -------------------------|-------------|---------------|-----------------| | | | 1| 2| 5| | WARGA | KAYA | BANGSA SATU | BANGSA DUA | | | MASYA|-----------|-------------|---------------| BANGSA LIMA | | RAKAT | | 3| 4| | | | MISKIN | BANGSA TIGA | BANGSA EMPAT | | -------------------------------------------------------------------------
Gambar 7 Negara Kesatuan RI terdiri dari Lima Bangsa Berdasarkan Sumber-Sumber Daerah (Menggunakan Kacamata Moerdiono) Sumberdaya Buatan Tidak Terlihat
ABBB. Jadi supaya sumber menjadi sumberdaya, dayadukung sumber terkait harus ditingkatkan atau beratbebannya harus dikurangi. Perlu juga diketahui, bahwa dayadukung dan dayabencana suatu sumber berpengaruh terhadap 12
sumber lainnya (Gambar 8). Saat DD SA mendekati nol itu disebut titik kritik (critical point). Gambar 8 menunjukkan beberapa anggapan dan hipotesis: 1. Tingkat kemerosotan DD SA di Indonesia dan kecepatan kemerosotannya jauh lebih tinggi ketimbang Negara maju, sehingga SA cenderung berfungsi SBA 2. Peningkatan DD SM di Indonesia lebih rendah dan lambat ketimbang Negara maju, sehingga SM cenderung berfungsi SBM INDONESIA
NEGARA MAJU
SA---------------->SM---------------->SBU------dayadukung menbergantung bergantung | dekati nol pada SA pada budaya | beratbeban me| ningkat pesat | transformasi budaya | | SDA