13 Mei 2012 ... Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 – 0899XX. Herni Ramayanti, 70 – 74.
70. Implementasi Pelayanan Publik dalam Era Otonomi ...
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009
ISSN: 1979 – 0899XX
Implementasi Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah Oleh: Herni Ramayanti Abstract The region autonomy, demanded local government character to give welfare for society with supply public service very wanted. Paradigm reshuffle from good government aim good governance (local governance), will involve connection between local government with society in government activity/affair. The good governance must there balance between public, private and social or society. There by region autonomy not only in central government authority capitulation limitation to region, but more than that is region autonomy is authority capitulation to society. Related to this matter, questio furthermore how does character with government in supply public service that involve participation private and society. Key words: Public service, autonomy region, government
Pendahuluan Di Indonesia istilah lokal gorvenance berarti pemerintah daerah yang memiliki otonomi daerah. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh kepala daerah selaku penyelenggara pemerintah daerah tertinggi bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan fungsi policy making dan police execuring dengan menggunakan perangkat birokrasi lokal. Dalam hal yang menyangkut public service dilaksanakan oleh dinas dan BUMD. Public service memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan Holtham: (a) Secara umum tidak dapat memilih pelanggan; (b) Peranannya dibatasi Undang-Undang; (c) Konflik/permasalahan politik kelembagaan; (d) Kompleksitas pertanggung jawaban; (e) Sangat terbuka pada sistem keamanan; (f) Setiap kuatifitas harus beralasan, dan; (g) Tujuan sulit untuk diukur. Dengan karakteristik demikian, pelayanan publik membutuhkan organisasi yang berbeda dengan organisasi yang dapat memilih konsumennya secara selektif. Setiap kenaikan harga atas suatu public service harus dibicarakan dahulu dan mendapat persetujuan dari legeslatif. Terdapat public service yang seperti penyediaan air bersih, listrik infrastruktur dan sebagainya tidak sepenuhnya barang. Seperti penyediaan air bersih, listrik, infrastrukur dan sebagainya tidak sepenuhnya dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar. Akan terdapat kelompok masyarakat yang tidak dapat mengakses public services bila diserahkan kepada provat/swasta. Gejala ini disebut denggan kegagalan pasar (market vailure). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan upaya memberikan pemerataan terhadap akses public services pemerintah melakukan intervensi dengan menyediakan public goods dengan dua karakteristik, yaitu (1) ”nonexludability” dan (2) non-rivalry comsuption. Dengan demikan pihak swasta tidak bersedia menghasilkan barang publik (murni), maka pemerintahlah yang harus menyediakan agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan. Intervensi pemerintah akan lebih menonjol diwilayah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan yang tuntutan akan public services sangat tinggi kenyataan yang tak terhindarkan adalah pergeseran barang jasa menjadi barang privat. Sebagai contoh permasalahan kebakaran diperkotaan menjadi sangat penting dan menjelma menjadi salah satu public services. Fenomena tersebut menunjukkan adanya government growt. Pertumbuhan beban pemerintah bukan saja
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA
70
Herni Ramayanti, 70 – 74
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009
ISSN: 1979 – 0899XX
dikarenakan berubahnya barang privat menjadi barang publik, terutama juga ketika pemerintah tidak secara selektif membatasi pekerjaannya. Dalam penyediaan public services oleh pemerintah adakalanya terjadi government vailure, dalam hal ini terjadi intervensi sektor privat, beberapa hal yang menyebabkannya antara lain : 1. Meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan sedangkan keuangan pemerintah terbatas; 2. Pelayanan yang diberikan sektor privat dianggap lebih efisien; 3. Banyak bidang pelayanan (antara lain penyehatan lingkungan, pengelolaan sampah) tidak ditangani oleh pemerintah sehingga diambil alih oleh privat; 4. Akan terjadi persaingan dan mendorong pendekatan yang bersifat kewiraswastaan dalam pembangunan nasional. Desentralisasi public services prinsip-prinsip yang tertuang dalam reinventing government, terutama prinsip catalic government : steering rather than rowing (Osborn dan Gaebler ; 1992), mengisyaratkan perlunya dikembangkan privatisasi (debirokratisasi) atau public-privat partnership. Istilah privatisasi melambangkan suatu cara baru dalam memperhatikan kebutuhan masyarkat dan pemikiran kembali mengenai peran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini berarti memberikan kewenangan yang lebih besar kepada institusi masyarkat dan mengurangi kewenangan pemerintah dalam merumuskan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian privatisasi merupakan tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran sektor privat dalam aktivitas atau kepemilikan aset publik. Selanjutnya berkembang beberapa model pelayanan barang dan jasa. Pada perkembangan pemikiran tentang public services selanjutanya,. Terjadi perubahan peran pemerintah dalam penyediaan public services, pemerintah daerah tidak lagi menyediakan public services sendiri tetapi melibatkan kewenangan sektor privat/swasta dan masyarakat dengan voluntary organisation pada beberapa dimensi bentuk demokrasi. Berdasarkan 3 dimensi terssebut berkembang menjadi empat model kewenangan dalam public services, antara lain : (1) The Traditional Bureaucratic authory; (2) The Rsidual enambling authory; (3) The market-oriented authory, dan; (4) The Comunity-oriented authory. Dengan berbagai model dan bentuk pelayanan publikl yang memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat, maka akan menumbuhkan kreativitas, inovasi-inovasi dalam masyarakat. Posisi pemerintah hanyalah pranata, fasilitator dan kasalitator. Tanggungjawab pemerintah adalah mengarahkan, mengemudikan masyarkat. Dalam hal ini pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai pedoman berperilaku dalam masyarakat. Konsep Pelayanan Publik Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarkat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (walfare state). Pelayanan umum oleh LAN (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat atau Daerah, dan lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang maupun jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lovellock (1992) mengemukakan lima prinsip yang harus diperhatikan bagi pelayanan publik, agar kualitas layanan dapat dicapai, antara lain :
71
Herni Ramayanti, 70 – 74
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009
ISSN: 1979 – 0899XX
1. Tangible (terjamah), seperti kemampuan fisik, peralatan, personil dan komunikasi material; 2. Reliable (handal), kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan memiliki keajegan; 3. Responsiveness (pertanggungjawaban), yakni rasa tanggung jawab terhadap mutu pelayanan; 4. Assurance (jaminan), pengetahuan, perilaku dan kemampuan pegawai, dan; 5. Emphaty (empati), perhatian perorangan pada pelanggan. Di samping itu, pihak pelayanan publik dalam memberikan layanan publik setidaknya harus; mengetahui kebutuhan yang dilayani, menerapkan persyaratan manajemen untuk mendukung penampilan (kinerja), dan; memantau dan mengukur kinerja. Sebagai perwujudan dari apa yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh pelayanan publik agar kualitas pelayanan menjadi baik, maka dalam memberikan layanan publik seharusnya (a) mudah dalam pengurusan bagi yang berkepentingan (prosedurnya sederhana), (b) mendapat pelayanan netral; (c) mendapat pelayanan yang sama tanpa pilih kasih, dan; (d) mendapat perlakuan yang jujur dan terus terang (transparasi). Penyelenggaraan pelayanan umum, menurut LAN (1998) dapat dilakukan dengan berbagai macam pola, antara lain; pertama, pola pelayanan fungsional, yaitu pelayanan umum yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Kedua, pola pelayanan satu pintu, yaitu pola pelayanan umum yang diberikan secara tunggal oleh suatu instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari instansi terkait lainnya yang bersangkutan. Ketiga, pola pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat beberapa instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dan keempat, pola pelayanan secara terpusat, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayan instansi pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan umum yang bersangkutan. Swastanisasi : Alternatif Pelayanan Publik Swastanisasi merupakan salah satu bentuk kebijakan publik. Kebijakan swastanisasi ini merupakan suatu kebijakan yang memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk berperan serta memberikan pelayanan publik yang seharusnya menjadi tugas dan fungsi dari birokrasi publik. Beberapa alasan pelibatan swasta dalam pelayanan publik, anata lain : (1) terbatasnya dana yang dimiliki oleh sektor publik, (2) ingin menciptakan iklim kompetisi agar kualitas pelayanan publik dapat dijamin. Kebijakan swastanisasi menjadi pilihan tatkala dua persoalan datang mengusik: kelambanan dan biaya siluman, sejumlah hal masih ditambahkan seperti perampingan birokrasi, penurunan beban administrasi dan over head cost pemerintah serta mendorong kehidupan berusaha (Jawa Pos, 3 September 1996). Swstanisasi disini adalah sebagai penyerahan peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan kepada sektor swasta, profit atau non profit (dwiyanto, 1993). Gerald Caiden dalam Darwin (1995) mengidentifikasi sejumlah alternatif pelayanan publik, antara lain : 1. Kerja kontrak (contract work), dimana pemerintah memlilih salah satu kontraktor swasta, baik yang mencara laba ataupun nirlaba untuk menyediakan layanan dan pemerintah membayar pada kontaktor;
72
Herni Ramayanti, 70 – 74
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009
ISSN: 1979 – 0899XX
2. Hak (frachises), yang diberikan pemerintah pada organisasdi swasta untuk memproduksi barang/jasa dan menarik tarif barang/layanan langsung pada langganan; 3. Sistem kupon (voucer system), dimana pemerintah mengeluarkan kupon (dalam bentuk uang kertas darurat atau uang tunai) kepada penerima yang memenuhi syarat, yang kemudian menggunakannya untuk memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan pasar; 4. Subsidi (producer subsidy), diberikan langsung kepada produsen untuk memproduksi barang atau menyediakan layanan pada harga yang lebih murah kepada konsumen; 5. Pasar (market), dimana wiraswastawan melihat kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa lalu memproduksi dengan harga pasar; 6. Sumbangan sukarela (voluntary), dimana organisasi mengenali kebutuhan masyarakat lalu memenuhinya dengan menarik sumbangan secara sukarela atau mempekerjakan sekarelawan, dan; 7. Melayani sendiri (self service), di mana keluarga atau individu memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhannya. Kebijakan swastanisasi menjadi pilihan pemerintah disamping apa yang telah dikemukakan terdahulu, dianggap yang telah efektif dan efisien. Karena pemerintah semakin tidak berdaya menyediakan pelayanan yang memadai. Konsekuensinya pemerintah harus merelakan sebagian fungsinya diserahkan kepada pihak swasta untuk dilaksanakan atau pihak swasta diberi kesempatan untuk ikut serta melaksanakan sebagian apa yang menjadi tugas dan fungsi pemerintah. Penutup Berdasarkan uraian mengenai public services terdapat beberapa catatan komentar yang memiliki hubungan terkait antara pemberian otonomi dan pelaksanaan public services yang menjadi tuntutan dari pelaksanaan otonomi itu sendiri. Pertama, secara prinsip terkait dengan pemenuhan public services desentralisasi harus dilaksanakan seutuhnya, karena desentralisasi dapat memberikan dampak positif diberbagai aspek, baik ekonomi terkait fungsi pelayanan pemerintah terhadap masyarakat sedangkan aspek politiknya dapat menguatkan integrasi nasional dan mendekatkan pemerintah dengan masyarakat. Kedua, harus disadari bahwa pemberian otonomi daerah merupakan salah satu solusi bagi pemerintah untuk mengurangi beban dan tanggung jawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selain itu keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah menjadi pemicu keterbatasan dalam memberikan pelayanan publik. Ketiga, permasalahan birokratisasi dan monopoli pemerintah menyebabkan pemberian public services tidak kompetitif, sehingga orientasi untuk meningkatkan mutu public services tidak terbangun. Dampak yang terjadi kualitas public services yang diteriam masyarakat semakin tidak berkualitas. Keempat, besarnya ruang lingkup fungsi pelayanan yang menjadi tugas pemerintah maka, sebagi konsekuensi bergesernya kebutuhan privat menjadi kebutuhan publik, maka pemerintah akan memikul beban yang sangat berat, oleh karenanya pemerintah harus memprioritaskan fungsi dan perannya serta memberikan ruang bagi privat/swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi. Kelima, keterlibatan privat/swasta atau masyarakat dalam penyediaan public services yang kemudian dimaknai sebagai privatisasi atau swastanisasi harus dimaknai secara positif, karena provatisasi merupakan suatu alternatif untuk menumbuh kembangkan potensi masyarakat untuk turut serta dalam proses penyediaan kebutuhan publik. Hanya privatisasi harus memiliki batasan-batasanyang jelas sehingga tujuan untuk meningkatkan mutu layanan publik serta mengurangi beban pemerintah tidak kemudian menegosiasikan konsepsi pemerataan. Dalam hal ini privatisasi harus diatur secara tegas oleh pemerintah dalam bentuk pedoman-pedoman berperilaku sehingga kemudian tidak menghilangkan kesempatan bagi masyarakat yang lemah.
73
Herni Ramayanti, 70 – 74
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009
ISSN: 1979 – 0899XX
Keenam, di sisi lain konsep pemberian public services di era disentralisasi yang pada akhirnya berkembang kepada konsep privatisasi juga haruis diwaspadai. Dengan kata lain penguasaan modal nasional harus dibatasi kepemilikannya oleh pihak asing.
DAFTAR PUSTAKA Sulisih, Sri. 200... Desentralisasi Public Services dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta: Universitas Indonesia. Bahan Ajar. Teori Administrasi Publik. Bandar Lampung: Jurusan Administrasi Negara. FISIP Universitas Lampung. Talizihudu, Ndraha. 2005. Kybernologi, Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta. Talizihudu, Ndraha. 2008. Materi Kuliah Umum Magister Ilmu Pemerintahan. Bandar Lampung: Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung.
74
Herni Ramayanti, 70 – 74