16 Jan 2014 ... anak-anak kita untuk bisa bersaing di dunia internasional. ... Untuk
mengoptimalkan citra dan peran Indonesia di dunia internasional, menurut ...
1
INTERNASIONALISASI STUDI ISLAM INDONESIA: Peluang dan Tantangan di Uni Eropa Muhammad Sirozi Guru Besar Ilmu Pendidikan IAIN Raden Fatah Palembang Pengantar Pada hari Kamis, 16 Januari 2014, saya menghadiri Seminar Social Challenges of Muslim Communities in European Union yang diselenggarakan atas kerjasama pihak Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam (Diktis) Kementerian Agama dan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Uni Eropa. Saya sangat antusias mengikuti seminar tersebut karena tema yang tertulis pada surat undangan sangat menarik dan menantang, yaitu “Seminar bagi Akademisi Perguruan Tinggi Islam untuk Melakukan Riset di Uni Eropa”. Selain itu, tema seminar tersebut sangat relevan dengan tugas pokok dan fungsi saya sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang. Peserta seminar hanya sekitar 40 orang yang terdiri dari para rektor, wakil rektor, dan peneliti. Seminar diawali dengan informasi dan arahan dari Direktur Diktis, Professor Dede Rosyada, tentang beberapa program pengembangan mutu akademik di Direktorat Diktis yang berwawasan internasional. Pak Dede menginformasikan bahwa beberapa tahun terakhir Direktorat Diktis sudah memulai program-program berwawasan internasional (programs with international reach). Mulai tahun 2014, beliau menjanjikan, akan ada dua program sabatical leave ke luar negeri untuk dosen PTAI. Untuk membantu pengembangan studi keislaman di negara-negara Eropa, Pak Dede juga menjelaskan, Direktorat Diktis akan menugaskan satu orang guru besar untuk membantu pengembangan kurikulum studi keislaman di Lueveng University, Belgia. Dengan pihak Lueveng University, Pak Dede menjelaskan, pihak Direktorat Diktis sudah bersepakat untuk mengembangkan kurikulum studi keislaman untuk empat bidang kajian, yaitu Islamic Jurisprudence, Islamic Finance, Islamic History, dan Islamic Philosophy. Melalui program seperti ini, menurut Pak Dede, Direktorat Diktis ingin membuka kesempatan bagi dosen-dosen PTAI untuk go international. Pihak Direktorat Diktis, dia menambahkan, akan memfasilitasi lebih banyak kegiatan penelitian, sabatical leave, dan mengajar di negara-negara Eropa bagi dosen-dosen PTAI. Setelah arahan Direktur Diktis, acara dilanjutkan dengan presentasi oleh para pembicara. Isu-isu Strategis Presentasi pertama oleh His Exellency, Arif Havas Oegroeseno, Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa, Belgia dan Luxemburg. Dalam presentasinya Pak Arif membahas beberapa isu strategis terkait dengan peluang dan tantangan internasionalisasi studi Islam Idonesia di negara-negara Eropa, khususnya yang tergabung dalam Uni Eropa. Pak Arif melengkapi presentasinya dengan menginformasikan dua program inisiatif yang telah dilakukan oleh pihak KBRI di Brussels dan program-program lain yang akan dikembangkan bersama pihak-pihak di Indonesia, khususnya Kementerian Agama. Beberapa isu strategis yang dibahas oleh Pak Arif dalam presentasinya adalah sebagai berikut: 1. Kerjasama Berbasis Kesamaan dan Kesetaraan
2 Pak Arif mengawali presentasinya dengan menjelaskan bahwa Indonesia dan Uni Eropa samasama pro demokrasi, memiliki keragaman (diversity), dan menerapkan sistem negara kesatuan (unity). Tiga kesamaan tersebut, menurut Pak Arif, dapat menjadi basis pengembangan kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan tinggi. Dia melihat bahwa peluang kerjasama Indonesia dan Uni Eropa semakin terbuka lebar, karena pandangan masyarakat Uni Eropa tentang Indonesia semakin positif. Keberhasilan demokratisasi dan toleransi kehidupan beragama di Indonesia, menurut Pak Arif, menimbulkan citra positif tentang Indonesia, sehingga banyak tokoh-tokoh Uni Eropa yang menilai Indonesia sebagai “mitra seimbang” untuk kerjasama internasional. 2. Perubahan Mindset Pak Arif sangat yakin Indonesia memiliki peluang yang sangat terbuka untuk turut berperan di pentas internasional, karena Indonesia memiliki aset sosial dan politik yang sangat besar, sehingga memiiki nilai lebih dari para tetangganya. Di ASEAN, dia menjelaskan, hanya Indonesia yang diterima menjadi anggota G 20. Dengan potensi sosial dan ekonomi yang melimpah, menurut Pak Arif, “mindset kita [bangsa Indonesia] jangan lagi mindset menerima bantuan, tetapi sudah harus mengambil inisiatif.” Dalam bidang pendidikan, dia menambahkan, kita harus mempersiapkan anak-anak kita untuk bisa bersaing di dunia internasional. Dalam kalimatnya sendiri: “Kita harus siap menghadapi kompetisi dengan negara-negara ASEAN. Lawan [bersaing] anak-anak kita bukan sesama [bangsa] Indonesia, tetapi dengan anak-anak di negara-negara ASEAN.” 3. Diplomasi Jalur Akademik Untuk mengoptimalkan citra dan peran Indonesia di dunia internasional, menurut Pak Arif, kita juga dapat menempuh jalur akademik. Dia mencatat bahwa Indonesia memiliki para akademisi atau professor studi keislaman yang memiliki reputasi atau mendapat pengakuan di dunia internasional. Karena itu, dia yakin, “bangsa Indonesia dapat memperkenalkan studi Islam Indonesia kepada masyarakat Uni Eropa.” “Sudah saatnya kita, bangsa Indonesia,” kata Pak Arif, “punya pandangan kita sendiri [tentang Islam].” “Kita,” dia menambahkan, “tidak boleh lagi bermakmum pada studi-studi [keislaman] yang dilakukan oleh Eropa dan Amerika.” “Muslim Indonesia,” dia menambahkan, “harus dapat menjadi model pengembangan masyarakat Islam dunia.” Untuk itu Pak Arif menyatakan harapannya agar para akademisi dari kalangan PTAI dapat berperan aktif dalam mengembangkan disain pengembangan studi-studi keislaman di negaranegara yang tergabung dalam Uni Eropa, khususnya dalam pengembangan kurikulum. 4. Mengelola “Political Islam” Isu lain yang menurut Pak Arif dapat dijadikan bidang kerjasama antara pihak Diktis dan perguruan tinggi yang ada di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa adalah isu “political Islam.” Dia mengamati bahwa bangsa-bangsa Eropa sering mengalami kesulitan dalam mengelolah “political Islam”, karena terbatasnya informasi dan pemahaman mereka tentang Islam dan hubungannya dengan politik. Di Indonesia, menurut Pak Arif, para akademisi di Diktis dan tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan, seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, berperan aktif dalam mengembangankan pandanggan alternatif tentang “political Islam,” sehingga bangsa Indonesia pada umumnya memiliki cara pandang yang sangat luas dan terbuka tentang hubungan antara Islam, politik, dan demokrasi. 5. “Indonesian Islam” Alternatif “Middle Eastern Islam” Selama ini, menurut Pak Arif, pandangan masyarakat Eropa tentang Islam banyak dipengaruhi oleh liputan media tentang Islam Timur Tengah yang sarat dengan praktik kekerasan,
3 permusuhan, dan perpecahan. Saat ini, menurut pengamatan Pak Arif, sudah ada pandangan yang mulai meluas bahwa Islam Indonesia merefleksikan versi pemahaman dan pengalaman ajaran Islam yang sesungguhnya. Bersamaan dengan tu, dia menjelaskan, berkembang pula keraguan tentang otentisitas Islam yang ada di Timur Tengah. Dia menjelaskan dalam bahasa Inggris, “we need to do more, to show that those in the Middle East may not be as Islam as they think.” Dia yakin bahwa trend perubahan pandangan ini membuka peluang bagi para sarjana studi Islam Indonesia untuk berperan dan berkontribusi lebih besar dalam membangun citra Islam yang lebih damai di Eropa. 6. Kekerasan Berbasis Agama (Terorisme) Pak Arif menekankan bahwa kegiatan-kegiatan yang dapat memperlihatkan karakteristik Islam yang cinta daman, saling menghormati, toleran, dan tidak suka kekerasan sangat penting untuk memperkuat basis kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa, karena masalah kekerasan atau terorisme merupakan salah satu bentuk ekspresi keagamaan yang sangat dikhawatirkan di negara-negara yang bergabung dalam Uni Eropa. Pengamatan pak Arif cukup cermat, karena masalah terorisme selalu mendapat perhatian khusus di dalam organisasi-organisasi yang terkait langsung dengan Uni Eropa. Misalnya, setiap tahun Europol, salah satu mitra Uni Eropa untuk membangun Eropa yang lebih aman (Making Europe Safer) pada tahun 2013 menerbitkan publikasi dengan kode Europol TE-SAT 2013 berjudul EU Terrorism Situation and Trend Report. Laporan tersebut menyajikan enam isu utama yang ada kaitannya dengan terorisme di Eropa, yaitu: General Overview of the [terrorism] Situation in the EU in 2012; Religiously Inspired Terrorism; Ethno-Nationalist and Separatist Terrorism; Left-Wing and Anarchist Terrorism; RightWing Terrorism; dan Singgle-Issue terrorism. Program Inisiatif Dalam presentasinya Pak Arif juga menjelaskan dua program inisiatif yang telah dilaksanakan oleh KBRI di Brussels bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di Indonesia. Untuk merespons peluang kerjasama yang semakin terbuka. Bangsa Indonesia, menurut Pak Arif, harus berani mengambil inisitaif untuk memperkenalkan Islam Indonesia kepada bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk di Eropah. Dia menginformasikan dua program inisiatif yang telah dilakukan oleh pihak KBRI di Brussels, yaitu Indonesia Interfaith Scholarship dan Visiting Anti Islam Leaders and Activists. 1. Indonesia Interfaith Scholarship Melalui program Indonesia Interfaith Scholarship, Pak Arif menjelaskan, pemerintah Indonesia mengundang beberapa staf partai politik, staf sekretariat, dan think tanks yang ada di Parlemen Eropah untuk datang ke Indonesia selama dua minggu, melihat Indonesia dari dekat dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang ada di Kementerian Agama dan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB), serta berkunjung ke Masjid Istiqlal. Untuk merasakan dan melihat langsung kehidupan beragama di Indonesia, para peserta juga diajak berkunjung ke Yogyakarta, Demak, Kudus, dan Semarang, serta diberi kesempatan menginap di beberapa Pesantren bersama para santri. Setelah mengikuti rangkaian kegiatan yang cukup melelahkan tersebut, Pak Arif menjelaskan, para peserta mengaku mendapatkan pemahaman dan kesan yang berbeda tentang Islam Indonesia, dari kesan dan pemahaman yang selama ini mereka peroleh dari media massa, bahwa Islam Indonesia tidak toleran dan teroristik. Sambil berseloroh, kata Pak Arif, beberapa peserta menyatakan keinginannya untuk menjadi warga negara Indonesia. Dia mengutif kalimat salah satu
4 dari peserta, “I want to change my passport.” Lebih lengkap kesan, pesan, dan catatan para peserta kegiatan tersebut tersaji dalam sebuah booklet berjudul Reflective Notes: Indonesian Interfaith Scholarship 2012, diterbitkan oleh Center for Religious Harmony, Ministry of Religious Affairs, Indonesia and Embassy of the Republic of Indonesia, Brussels. Kesan positive para peserta program Indonesia Interfaith Scholarship tercermin pada judul-judul catatan yang mereka buat berikut ini: a. Indonesia: True Harmony in Diversity, oleh Marina Cruysmans Executive Drector of the Brussels-based think tank Egont Intitute. b. Eat, Pray, Talk Building Religious Tolerance in Indonesia, oleh Patricia Diaz, Project Manager at Friends of Europe, a leading independen think tank based in Brussels. c. Habemus (Interfaith) Dialogue: Religious Avenue in EU-Indonesia Cooperation, oleh Lin Goethals, Proggramme Director of the European Institute for Asian Studies (EIAS). d. An Indonesian, Who is He/She?, Oleh Egle Kropaite, Political Adviser at the Europe of Freedom and Democracy (EFD) Group in the European Parliament. e. The “Festine Lente” of Today’s Indonesia, oleh Guiseppe Luigi Mazza, Principal Administrator in Asia, Australia and New Zealand Unit, DG External Policy, in the EP. f. Indonesian Interfaith Scholarship: Whay an Eye Opener, oleh Tom Roberts, outh East Asia Unit of the European External Action Service (EEAS). g. Indonesian Interfaith Scholarship 2012, oleh Matilda Sanden, Second Secretary at the Embassy of Sweden in Beijing. h. Amazing Discoveries, oleh Gabor Imre Torok, Assistant in the Secretariat of the European People’s Party (EPP) Group in the European Parliament. 2. Visiting Program untuk Anti Islam Leaders and Avtivists Kegiatan kedua yang telah diinisiasi oleh pihak KBRI Indonesia di Brussels bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, yang dijelaskan oleh Pak Arif, adalah mengundang para aktivis dan pemimpin dari kalangan ekstrem kanan anti Islam di Itali. Di Indonesia, para aktivis dan pemimpin kelompok ekstrem kanan tersebut diajak melihat realitas kehidupan beragama yang berbeda dari apa yang selama ini mereka lihat di media massa. Di akhir kegiatan, kata Pak Arif, mereka terkagetkaget dan bingung melihat betapa lebar gap antara kehidupan beragama yang mereka pahami sebelumnya dengan kehidupan beragama yang mereka rasakan dan lihat secara langsung selama berada di Indonesia. Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, menurut Pak Arif, sudah mulai tumbuh kesadaran bangsa-bangsa Eropa, khususnya yang tergabung dalam Uni Eropa, untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang Islam. Dia menjelaskan bahwa sudah dua kali parlemen Eropa menyelenggarakan seminar tentang toleransi beragama dengan menempatkan Indonesia sebagai model. Pak Arif berharap program-program kerjasama yang sudah diinisiasi dapat didukung dan dilanjutkan oleh para penggiat agama di Indonesia. Secara khusus dia berharap agar Kemenagg dapat melanjutkan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan tersebut. “We want to farher than that,” ungkap Pak Arif di hadapan para peserta seminar. Dia menambahkan, “kita ingin mengembangkan trademark [kehidupan beragama] Indonesia di Eropah. Kita belajar teknologi dari mereka [bangsa-bangsa Eropah], tetapi kita bisa mengajarkan kehidupan beragama kepada mereka.” Pak Arif menambahan lebih lanjut, “kita harus dapat menghasilkan produk-produk yang dapat menyetarakan kita dengan Eropa.” Di ASEAN, kata Pak Arif, Indonesia sudah menjadi model pengembangan kehidupan sosial, politik, dan keagamaan. Myanmar, dia mencontohkan, sedang
5 belajar dari Indonesia tentang bagaimana memisahkan militer dari politik. Beberapa narasumber dari Indonesia telah diundang ke sana untuk melakukan sharing experiences bersama tokoh-tokoh politik dan pemerintahan di Myanmar. Pak Arif menghakhiri presentasinya dengan kalimat penuh harap, “semoga ada dakwah Islam yang efektif dan kontributif di Eropa.” Collaborative Research Sesi kedua dari presentasi adalah penyampaian Progress Report Collaborative Research yang didanai oleh Direktorat Diktis, dengan judul Social Challenges and Opportunities to Muslim Communities in European Union dan dilaksanakan oleh Fatimah Husein dan Muhammad Wildan, masing-masing dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam dan Fakultas Adab dan Sejarah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Duet peneliti tersebut menjelaskan bahwa Collaborative Research yang mereka lakukan difokuskan pada empat isu utama, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Populasi dan demography Muslim di Eropa. Kebijakan di negara-negara Eropa terkait dengan Islam dan Muslim. Dinamika internal Muslim di Eropa. Tantangan dan peluang yang dhadapi Muslim di Eropa.
Duet peneliti tersebut menjelaskan bahwa Collaborative Research tersebut dapa terlaksana karena tersedianya dana dari pihak Kemenag dan besarnya dukungan dari pihak KBRI di Brussels, serta didorong oleh trend internasionalisasi di lembaga-lembaga PTAI. Diskriminasi Berbasis Agama Sesi ketiga atau terakhir dari presentasi dalam seminar ini diisi oleh Julia Pascoet, seorang aktivis antirasisme di Eropa. Menurut Julia, praktik-praktik rasisme dan diskriminasi berbasis agama masih sering terjadi di negara-negara Eropa. Dia menjelaskan banyaknya Muslimah di negara-negara tersebut tidak diterima bekerja atau dilecehkan hanya karena alasan keagamaan, yaitu berhijab. Dia juga mengisahkan pengalaman pribadinya ketika memutuskan untuk memeluk agama Islam. Orang tua dan saudara-saudaranya sangat khawatir, karena pemeluk Islam dan wanita-wanita yang berhijab sering mendapat perlakuan diskriminatif, bahkan intimidatif di tengah masyarakat Eropa. Dalam pandangan Julia, sikap diskriminatif terhadap Islam dan para pemeluknya disebabkan oleh terbatasnya informasi dan pemahaman bangsa-bangsa Eropa tentang ajaran Islam dan minimnya inisiatif dari kaum Muslimin sendiri untuk memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang Islam. Setelah mempelajari dan mengamati perkembangan Islam di Indonesia, Julia yakin umat Muslim Indonesia sangat siap untuk memperkenalkan Islam yang lebih ramah di negara-negara Eropa, agar pemahaman masyarakat di negara-negara tersebut tentang Islam menjadi lebih baik.
What Next ? Acara seminar diakhiri dengan sesi diskusi dan tanya jawab. Peserta seminar diberi kesempatan untuk bertanya dan memberikan masukan-masukan untuk pengembangan program-program yang terkait dengan internasionalisasi studi Islam Indonesia di Uni Eropa. Meskipun dibatasi oleh waktu, diskusi dan tanya jawab berhasil memunculkan beberapa pemikiran untuk peningkatan kuantitas dan kualitas program kerjasama antara pihak Direktorat Diktis dan pihak perguruan tinggi yang ada di negaranegara Uni Eropa.
6 Diskusi dan tanya jawab merefleksikan adanya dukungan yang kuat dari para peserta seminar terhadap beberapa iisiatif yang telah dilakukan oleh pihak Direktorat Diktis dan KBRI di Brussels untuk meningkatkan peran dan kontribusi Indonesia dalam pegembangan Islam di negara-negara Uni Eropa. Para peserta seminar juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada pihak KBRI di Brussels dan pihak Direktorat Diktis yang telah mengambil inisiatif untuk memulai era baru internasionalisasi atau Eropanisasi studi-studi Islam Indonesia. Apresiasi juga diberikan para peserta kepada duet peneliti, Fatimah dan Wildan, yang telah menginisiasi penelitian tentang Islam di Eropa. Terkait dengan agenda besar dan harapan tersebut, diskusi dan tanya jawab melahirkan beberapa pemikiran, usul, dan saran sebagai berikut: 1. Efektifitas dan Keberkelanjutan Semua peserta, terutama para Rektor yang hadir dalam seminar tersebut, sangat berharap agar beberapa inisiatif yang telah diambil oleh pihak KBRI di Brussels dan pihak Direktorat Diktis dapat ditindaklanjuti dengan kebijakan-kebijakan pengembangan, langkah-langkah strategis, dan program-program yang tepat dan berkualitas, agar proses internasionalisasi studi Islam Indonesia di negara-negara Uni Eropa dapat berjalan efektif dan berkelanjutan (sustainable). Dengan fasilitasi dan dukungan dana dari pihak Direktorat Diktis dan KBRI di Brussels, para peserta yakin di tahun-tahun mendatang semakin banyak dosen PTAI yang dapat melakukan penelitian sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fatimah dan Muhammad Wildan, dan melakukan kegiatan-kegiatan akademik lainnya di negera-negara Uni Eropa. 2. Prakondisi Semua agenda besar untuk perubahan, termasuk kerjasama pengembangan studi keislaman di negara-negara Uni Eropa tentu memerlukan prakondisi, agar strategi dan program yang direncanakan dapat berjalan efektif. Untuk itu, menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu disiapkan terlebih dahulu agar program-program kerjasama dapat berjalan lebih efektif dan efisien; a. Kebijakan Internasionalisasi Program-program berskala internasional (crossing national border) tidak dapat berjalan tanpa adanya kebijakan internasionalisasi yang jelas dan fleksibel. Salah satu indikator utama berjalannya internasionalisasi adalah meningkatkan mobilitas kegiatan berskala internasional, baik mobilitas ke dalam (incoming mobility) maupun mobilitas ke luar (outgoing mobility). Karena itu perlu ada kebijakan pengembangan yang fleksibel dan berwawasan internasional untuk mendorong atau memudahkan terjadinya incoming mobility (mobilitas kedalam) dan outgoig mobility (mobilitas keluar). b. Kompetensi Bahasa Asing Kebijakan dan program internasionalisasi tidak mungkin berjalan tanpa bahasa internasional. Berbagai survey internasional mengungkapkan bahwa sebagian besar publikasi ilmiah terbaru dalam bentuk buku dan artikel ditulis dalam bahasa Inggris, sebagian kecil dalam Bahasa Arab, dan sangat sedikit dalam bahasa lainnya. Bahasa Inggris dan Bahasa Arab telah menjelma menjadi bahasa internasional dan bahasa ilmu pengetahuan. Dua bahasa asing tersebut hendaknya benar-benar mendapat perhatian dari para pimpinan PTAI, agar para dosen dan mahasiswa dapat mengembangkan jaringan komunikasi dan kerjasama akademik ke tingkat internasional. Upaya-upaya pembenahan pengajaran bahasa asing sangat diperlukan, baik pada aspek metode maupun sarana pengajaran, agar pengajaran bahasa asing untuk dosen dan mahasiswa PTAI berjalan lebih efektif.
7
c. Penguatan International Office Selain memerlukan lembaga pengajaran bahasa asing yang kuat, program-program internasionalisasi juga memerlukan pelayanan komunikasi dan administrasi berstandar internasional. Karena itu masing-masing PTAI perlu mengembangkan lembaga pelayanan internasional (International Office) yang didukung oleh para staf yang memiliki kemampuan berkomunikasi dan memberikan pelayanan administrasi dan akademik sesuai nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional. Tanpa International Office yang kuat, program-program kerjasama berskala internasional di PTAI akan sulit berjalan dan bahkan bisa “layu sebelum berkembang.” d. Standarisasi Sarana Akademik Untuk memfasilitasi proses incoming dan outgoing mobility di kalangan dosen dan mahasiswa, lembaga-lembaga PTAI perlu memiliki sarana akademik berstandar internasional, khususnya sarana yang terkait dengan perpustakaan, perkuliahan, Informasi, dan komunikasi. Pola pelayanan perpustakaan di lembaga-lembaga PTAI sudah saatnya tidak lagi hanya terkoneksi dengan jaringan Local Area Network (LAN), tetapi sudah harus terkoneksi dengan jaringan internet atau berbasis internet (Internet Based Services). Untuk mendukung pengembangan pola pelayanan tersebut maka standar atau kapasitas jaringan (bandwidth) internet di lembaga-lembaga PTAI perlu ditingkatkan dan disetarakan, agar semua PTAI dapat memfasilitasi berbagai kegiatan alademik berbasis internet, seperti digital library, online library services, mobile library, interlibrary loan, dan interlibrary catalogue system. Jaringan internet berkapasitas tinggi juga sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan akademik lainnya, seperti program electronic books (e-books), electronic learning (e-learning), electronic mail (e-mail), electronic journal (e-journals), virtual lecture, dan teleconferece. Program electronic book dan electronic journal di lingkungan Kemdikbud, misalnya, tidak berjalan efektif, karena tidak didukung oleh standar sarana ICT yang memadai di sekolah-sekolah. Guru-guru dan siswa sulit mendownload atau mengupload buku-buku dan jurnal yang tersedia secara online, karena terkendala oleh jaringan internet yang memiliki bandwidth alakadarnya, sehingga terlalu lemot. e. Penambahan Dana Riset Semua memaklumi bahwa berbagai kegiatan akademik, terutama kegiatan-kegiatan penelitian berskala internasional memerlukan dana dalam jumlah sangat besar. Untuk fase awal, tentu saja Kemenag melalui Direktorat Diktis dapat menyiapkan dana perangsang (stimulan) bagi para dosen PTAI. Tetapi untuk jangka panjang dan untuk menjamin keberlanjutan program-program internasionalisasi, semua pihak perlu mengupayakan diversifikasi sumber dana (revenue diversification), misalnya, dengan mengupayakan dukungan dana dari para donatur, program CSR, pemerintah daerah, dan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional. 3. Dual Strategi Fokus utama kerjasama dengan pihak Uni Eropa adalah pengembangan studi-sudi Islam untuk mendiseminasi pemahaman dan pengamalan Islam yang inklusif dan pluralistik, sehingga memberikan rasa aman, damai, dan penuh rahmat. Untuk itu, menurut hemat penulis, perlu strategi ganda atau dual strategy, yaitu strategi akademik dan strategi kemasyarakatan. Strategi akademik ditempuh melalui pengembangan paradigma kajian keislaman yang dapat merespons
8 kondisi objektif kehidupan beragama di negara-negara Eropa. Secara simultan, strategi kemasyarakata ditempuh melalui pengembangan organisasi-organisasi keagamaan yang sebagian besar berkembang dengan basis komunitas mejadi organisasi-organisasi lintas komunitas. Untuk mendukung dua strategi tersebut, program-proram kerjasama sebaiknya tidak hanya melibatkan institusi pendidikan tinggi, tetapi juga melibatkan organisasi-organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Para guru besar studi-studi keislaman dari Indonesia tidak hanya ditempatkan atau ditugaskan untuk menata paradigma program studi keislaman di lembaga-lembaga pendidikan tinggi, tetapi juga untuk menata paradigma pengelolaan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Tugas utama para guru besar di lembaga-lembaga pendidikan tinggi tentu saja membantu mendisain kurikulum, menata kegiatan pembelajaran, meningkatkan mutu kegiatan penelitian, dan memperbaiki strategi pengajaran. Di organisasi-organisasi keagamaan, tugas utama para guru besar adalah menghambat berkembangnya ekslusifisme dan mendorong berkembangnya inklusivisme dalam pola pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama, dengan satu tujuan, mewujudkan kehidupan beragama yang egaliter, pluralis, dan toleran, berbasis pada nlai-nilai persaudaraan (ukhuwah), kebersamaan (jam’iyyah), dan kerjasama (ta’awwun). Dengan demikian maka jelaslah bahwa upaya meningkatkan peran dan kontribusi Indonesia dalam pengembangan kehidupan beragama di negara-egara Eropa tidak hanya memerlukan kekuatan akademik (academic power), tetapi juga memerlukan kekuatan kepemimpinan (leadership power). 4. Pengembangan Program Kerja Para peserta seminar sangat mendukung beberapa program kerja yang telah diinisiasi oleh pihak KBRI di Brussels, seperti program Indonesia Interfaith Scholarship, Visiting Program for Anti Isla Activists and Leaders, dan beberapa program yang telah diinisiasi oleh pihak Direktorat Diktis, seperti sabatical leave dan collaborative researches. Untuk masa-masa mendatang, para peserta seminar mengharapkan kiranya pihak Direktorat Diktis dan KBRI di Brussels mengembangkan program-program lainnya, seperti membuka Chair of Indonesian Islamic Studies, memperbanyak student exchanges, dan menambah program visiting scholars. 5. Distingsi dan Kualitas Para peserta seminar juga membahas distingsi dan kualtas program-program kerjasama yang telah dan akan dilaksanakan di negara-negara Uni Eropa. Professor Mujiburrahman dari IAIN Antasari Banjarmasin, misalnya, menekankan pentingnya distingsi kegiatan-kegatan penelitian yang dilaksanakan oleh dosen-dosen PTAI, karena menurut observasi Pak Mujib, penelitian tentang Islam di Eropa sudah cukup berkembang dan telah menghasilkan beberapa publikasi penting, baik oleh para peneliti dari negara-negara Eropa sendiri maupun oleh para peneliti dari negara-negara lain. Tanpa distingsi, Pak Mujib menekankan, hasil penelitian yang dilaksanakan akan kurang menarik dan memiliki daya pengaruh yang sangat terbatas terhadap pola pemahaman dan pengamalan Islam di Eropa. Adapun Professor Azhar Arsyad, Guru Besar dan mantan Rektor UIN Makassar, mengingatkan pentingnya disain dan kualitas isi (content) dari berbagai program kerjasama yang akan dilaksanakan dengan negara-negara Uni Eropa. Menurut Pak Azhar, kualitas isi dari program-program yang dilaksanakan akan menentukan tingkat penerimaan dan dukungan masyarakat Uni Eropa terhadap program-program tersebut. 6. Constructive Involvement Program kerjasama pengembangan studi-studi Islam dengan negara-negara Eropa diharapkan menjadi kerjasama saling menguntungkan: berdampak positif terhadap peningkatan kualitas studi-studi keislaman di Eropa dan berdampak positif pula terhadap peningkatan kualitas studi
9 Islam Indonesia. Untuk itu maka pelibatan lembaga-lembaga PTAI dalam berbagai program kerjasama harus bersifat konstruktif, tidak hanya partisipatif. Para pimpinan dan dosen PTAI perlu dilibatkan dalam setiap tahapan proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi program dan diberi ruang yang cukup untuk berimprovisasi sesuai kondisi objektif dan kebutuhan masingmasing PTAI. Pelibatan unsur-unsur PTAI secara konstruktif dalam perencanaan, implementasi, dan pengembangan program kerjasama akan membuat program-program tersebut terus berkembang (sustainable), fleksibel, dan bervariasi. Catatan Penutup Demikianlah beberapa catatan reflektif saya tentang kegiatan “Seminar bagi Akademisi Perguruan Tinggi Islam untuk Melakukan Riset di Uni Eropa” yang diselenggarakan atas kerjasama pihak Direktorat Diktis dan KBRI di Brussels. Semoga catatan ini dapat lebih mengefektifkan dan mengintensifkan kerjasama antara pihak Direktorat Diktis dan pihak KBRI di Brussels, serta meningkatkan semangat dan komitmen para anggota sivitas akademika di lembaga-lembaga PTAI untuk terus mendorong internasionalisasi berbagai aspek kegiatan akademik. Semoga berbagai bentuk kerjasama yang dilakukan dapat mewujudkan keinginan kita semua untuk membuat Indonesia lebih berperan dan berkontribusi dalam mengembangkan studi-studi keislaman dan membangun pemahaman serta pengamalan agama yang lebih baik di negara-negara Uni Eropa, terutama dalam berbagai komunitas Muslim yang ada di sana, agar mereka dapat menjadi model yang baik dalam pengamalan agama.