Tiba-tiba Ibu Apsanti Djokosuyatno memberi buku puisi karya Joko Pinurbo. ...
kumpulan puisi Pacar Senja, seratus puisi pilihan yang baru terbit pada tahun ini.
Gelar Sastra Dunia, Seminar Hasil Penelitian. Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Selasa &Rabu, 19-20 Juli 2005.
JOKO PINURBO: PENYAIR MUDA YANG PENUH POTENSI
Okke Kusuma Sumantri Zaimar
DEPARTEMEN SUSASTRA FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
Gelar Sastra Dunia, Seminar Hasil Penelitian. Selasa &Rabu, 19-20 Juli 2005.
JOKO PINURBO: PENYAIR MUDA YANG PENUH POTENSI
Ketika diminta untuk menulis makalah untuk seminar ini, sebenarnya saya tidak mempunyai gagasan apa pun tentang apa yang akan saya bawakan. Mengingat judul seminar yang menyangkut sastra dunia kontemporer, saya ingin memilih karya sastra Perancis, sesuai dengan Program Studi saya. Namun, puisi yang jatuh ke tangan saya adalah puisi-puisi Perancis tahun limapuluhan (antara 1950 – 2000), sehingga saya ragu. Tiba-tiba Ibu Apsanti Djokosuyatno memberi buku puisi karya Joko Pinurbo. Sebelumnya memang saya pernah mendengar nama itu, namun saya belum pernah membaca puisi-puisinya. Penyair ini memenuhi syarat yang ditentukan, yaitu penulis kontemporer (tahun 2000an), bahkan kemudian saya mendapat hadiah dari penulisnya sendiri, yaitu kumpulan puisi Pacar Senja, seratus puisi pilihan yang baru terbit pada tahun ini. Terimakasih saudara Joko, hal ini mendorong saya untuk membaca keseluruhan buku. Apabila saya bandingkan dengan puisi karya penulis modern
Indonesia
lainnya, seperti Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri, puisi Joko Pinurbo ini memang mempunyai gaya tersendiri. Puisi-puisi ini tidak bergaya “wah”, melainkan penuh kesederhanaan. Memang beberapa kritikus (a.l. Ayu Utami) menganggap puisi-puisi Joko lebih dekat dengan gaya Gunawan Muhammad dan Sapardi Djoko Damono. Melihat bentuknya, puisi Joko banyak sekali yang bersifat naratif, bahkan dalam sajaknya yang deskriptif pun ia tetap berceritera. 90% dari karya Joko Pinurbo bersifat naratif. Berbeda dengan puisi pada umumnya yang sangat mementingkan bentuk sajak atau pembagian per bait, sajak Joko banyak yang menampilkan bait seperti paragraf saja, bahkan sering kali sajak tampil tanpa bait, jadi merupakan satu kesatuan. Seperti sajak modern lainnya, sajak Joko sering tampil dalam bait-bait yang tidak sama jumlah lariknya. Ada pula pembaca yang mempermasalahkan rima pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Meskipun tidak banyak mengandung rima, puisi Joko tetap mengalun. Sering
kali rima digunakan sepenuhnya, baik rima selarik mau pun rima akhir larik. Berikut ini contoh rima selarik: Mata air Di musim kemarau semua sumber air di desa itu mengering. Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong menuju sebuah desa di bawah pohon beringin di celah bebukitan. Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing, pecah di padang-padang gersang.(…) (Pacar Senja, hal 128)
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa meskipun tak ada rima akhir, larik ke 3, ke 6 dan 7 mengandung rima selarik bunyi / /, / / dan / / yang menimbulkan kesan pantulan gema, namun bagi penyair kita ini tampaknya apabila tidak diperlukan, rima tak perlu ada. Maka rima, terutama rima akhir, sering ditinggalkan. Susunan bahasa Indonesia yang digunakan Joko cukup rapih, lisensia puitika yang banyak digunakan hanyalah enjambemen, yaitu pemotongan kalimat sebelum selesai, kemudian dilanjutkan di larik berikutnya. Hal ini memberi kesan lompatan-lompatan, dan bila dihubungkan dengan makna dalam sajak di atas memberikan gambaran jalan yang sama sekali tidak rata, sehingga orang yang menggendong gentong itu perlu ekstra hati-hati, agar air yang dibawanya tidak tumpah. Berikut ini sebuah sajak lagi yang menampilkan rima khas sajak Joko Pinurbo.
Bercukur sebelum tidur Bercukur sebelum tidur, membilang hari-hari yang hancur, membuang mimpi-mimpi yang gugur, memangkas semua yang ranggas dan uzur, semoga segala rambut, segala jembut, bisa lebih rimbun dan subur. Lalu datang musim, dalam curah angin,
menumpahkan air ke seluruh dataran, ke gunung-gunung murung dan lembah-lembah lelah di seantero badan. Jantungku meluap, penuh. Sungai menggelontor, hujan menggerejai di sektor-sektor irigasi di agrodarahku. Malam penuh traktor, petani mencangkul di hektar-hektar dagingku . Tubuhku hutan yang dikemas menjadi kawasan megaindustri di mana segala cemas, segala resah diolah di sentra-sentra produksi Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor dari berbagai penjuru. Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali, daerah baru yang terberkati. Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi. Tubuhku negeri yang belum diberi nama. Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu saat bercukur sebelum tidur. (Pacar Senja, hal. 30) Pada sajak di atas ini, kita lihat bahwa pada awalnya Joko menggunakan rima akhir sepenuhnya, kemudian makin lama, makin berkurang, meskipun ia masih menggunakan rima selarik (“ke gunung-gunung murung”, dan “ke lembah-lembah lelah”), dan akhirnya rima ditinggalkan, seakan tidak dipedulikan sama sekali. Keselarasan bunyi itu ditinggalkan begitu saja, seakan suatu ejekan pada bentuk puisi lama, bahkan mungkin suatu ejekan pada “keharmonisan”.Bentuk bait pun tidak ditampilkan, padahal dengan adanya tanda-tanda kesatuan kalimat, sangat mudah untuk menentukan batas-batas bait. Namun memang Joko tidak menghendaki hal ini. Dari segi isi, kita lihat bahwa tindakan yang sangat bersifat pribadi ini (Bercukur sebelum tidur) melalui gaya bahasa simile, telah bergeser menjadi suatu gambaran tentang hutan-hutan yang telah menjadi megaindustri “di mana segala cemas, segala resah diolah di sentra-sentra
produksi” Dengan halus, Joko mengemukakan keadaan yang mengkhawatirkan itu dan memberinya nama “sebuah ngilu”. Kata yang sederhana ini digunakan untuk menggambarkan seluruh perasaan khawatir dan cemas melihat negrinya diburu para investor. Satu lagi sajak yang menggunakan rima penuh, karena mengandung repetisi: Naik bus di Jakarta Sopirnya sepuluh. Kernetnya sepuluh. Kondekturnya sepuluh. Pengawalnya sepuluh. Perampoknya sepuluh. Penumpangnya satu, kurus, dari tadi tidur melulu; kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali. Sampai di terminal, kondektur minta ongkos: “Sialan, belum bayar sudah mati!” (Pacar Senja, hal. 118) Lima larik awal menampilkan repetisi kata “sepuluh” di akhir larik, sehingga tentu menimbulkan rima penuh, namun kemudian pada larik ke 6, 7 dan 8 rima mulai berkurang untuk pada akhirnya hilang sama sekali. Inilah cara khas Joko mengatur rima. Dari segi makna, sepintas lalu sajak ini terasa lucu, terutama melihat oposisi antara angka sepuluh bagi sopir, kernet, kondektur, pengawal (yang biasanya hanya terdiri dari satu orang di setiap bus) dan perampok, dengan penumpang yang biasanya banyak, hanya disebut satu. Namun, kelucuan di awal sajak berubah menjadi tragedi di akhir sajak. Rupanya penumpang yang banyak itu cukup disebut satu, untuk mengemukakan kesamaan nasib mereka. Kesengsaraan hidup di kota besar hanya dinyatakan dengan “kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali”. Kemudian, sesampai di terminal, ternyata penumpang itu telah mati, dan kata-kata yang diucapkan kondektur sangat menusuk “Sialan, belum bayar sudah mati!” Bagi kondektur, uang sebanyak dua atau tiga ribu rupiah lebih penting dari nyawa manusia. Joko Pinurbo tidak
hanya fasih dalam menampilkan pribadi manusia dan segala persoalannya, namun dalam kesederhanaannya, dia juga sering menampilkan kehidupan masyarakat yang menyentuh. Sajak berikutnya mengemukakan peristiwa kekacauan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Peristiwa yang mengerikan itu ditampilkan dalam kesederhanaan Joko Pinurbo, seperti berikut ini: Mei Tubuhmu yang cantik, Mei telah kau persembahkan kepada api Kau pamit mandi sore itu. Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei . Api mengucup tubuhmu sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi. Api sangat mencintai tubuhmu sampai dilumatnya yang cuma warna yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei Kau sudah selesai mandi, Mei. Kau sudah mandi api. Api telah mengungkapkan rahasia cintanya ketika tubuhmu hancur dan lebur dengan tubuh bumi; ketika tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei. (Pacar Senja, hal. 120)
Sajak ini terdiri dari empat bait yang masing-masing tidak mementingkan rima. Sebagaimana juga dalam sajak-sajak Joko Pinurbo yang lain, kalimat-kalimatnya tersusun rapih, kadang-kadang menempati dua atau tiga larik, sehingga memungkinkan adanya lompatan sintaksis, enjambemen. Dalam sajak ini, kerusuhan bulan Mei digambarkan bagai tubuh gadis yang cantik. Lagi pula, Mei bisa jadi nama seorang perempuan Cina, misalnya: Mei-Mei, MeiLan, Mei-Ling, dan seterusnya. Salah satu keahlian Joko Pinurbo adalah mengemukakan pisau bermata dua. Apabila pembaca menganggap Mei itu nama seorang perempuan, maka ia berhadapan dengan tragedy satu anak manusia, namun bila ia menganggap Mei sebagai personifikasi dari waktu (bulan Mei), maka ia berhadapan dengan tragedi bangsa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Tak ada gambaran yang hebat mengenai peristiwa kerusuhan itu, namun justru api digambarkan bagai seseorang yang mencintai dan melumat kekasihnya. Namun, yang dilumatnya “cuma warna, cuma kulit, dan cuma ilusi”. Jadi yang dibakar para perusuh itu bukanlah esensi manusia, melainkan hanya kulit luar dan bayangan saja. Gagasan ini dipertegas lagi dalam larik-larik berikutnya: “Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei” Memang, kerusuhan bulan Mei itu muncul karena adanya kebohongan, dusta yang bisa membangun gagasan-gagasan yang maya, ilusi semata. Itulah sebabnya Joko menghubungkan api dengan mandi “Kau sudah mandi api”. Sebagaimana dalam sajak-sajaknya yang lain, mandi bagi Joko adalah pembersihan diri. Itulah beberapa sajak Joko yang mengemukakan kegalauan masyarakat: berhektar-hektar hutan yang berubah menjadi megaindustri, kesengsaraan rakyat ibukota yang naik bus dan kerusuhan bulan Mei. Hal ini saya soroti untuk menepis anggapan bahwa dalam sajak-sajaknya, Joko Pinurbo hanya sibuk dengan diri manusia. Selanjutnya, marilah kita cermati tema yang hadir pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Dalam waktu yang terbatas ini, tentu tidak mungkin saya membahas semua sajak yang jumlahnya seratus itu, jadi saya hanya akan membahasnya secara keseluruhan karya dengan mengambil beberapa bagian sajak sebagai cuplikan. Untuk menemukan tema utama, maka akan saya cari motif dan sub-motif yang mendukung tema dengan melihat kosakata yang digunakan oleh penyair.
Motif pertama yang tampak menonjol adalah motif kematian yang didukung oleh kata-kata: kuburan yang hadir hampir di semua sajak, kemudian kata makam, keranda, mayat, jenazah, bangkai, korban yang terbantai, kain kafan, batu-batu nisan, dan yang lainnya. Apa makna kematian bagi penyair? Kalau kita perhatikan, kematian bagi Joko Pinurbo tidaklah terlalu menakutkan, hampir di setiap sajaknya dia menggunakan kata kuburan. Misalnya dalam sajak “Celana 1”: (…) “Kalian tidak tahu ya, aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.” (…) (Pacar Senja, hal.3) Atau dalam sajak “Celana 3”: (…) Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih Yang menunggunya di pojok kuburan.(…) (Pacar Senja hal 5) “Kisah Senja”: (…) Istrinya masih asyik di depan cermin, menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu.” (…) (Pacar Senja, hal. 18) Dalam “Boneka 2” (…) “Mungkin ia sudah bosan dengan kita,” gajah berkata. “Mungkin sudah hijrah ke lain kota” anjing berkata. “Mungkin pulang ke kampung asalnya” celeng berkata. “Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,”
monyet berkata. “Siapa tahu ia tersesat di tanah leluhur kita,” yang lain berkata. (…) (Pacar Senja, hal. 26) “Pulang Malam” (…) Di atas puing-puing mimpi dan reruntuhan waktu tubuh kami hangus dan membangkai dan api siap melumat jadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang. (Pacar Senja, hal 69) “Kain Kafan” Kugelar tubuhku di atas ranjang seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan (…) Kulipat tubuhku di atas ranjang seperti kulipat kain kafan yang kaujadikan selimut tadi malam. (Pacar Senja, hal.79) “Perias Jenazah” (…) Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya jenazah perempuan yang malang itu. “Biar kurias parasmu dengan air mataku sampai sempurna ajalmu.”
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal dan tak ada yang meriasnya. Jenazahnya tampak lembut dan cantik, dan arwah-arwah yang pernah didandaninya pasti akan sangat menyayanginya. (…) (Pacar Senja, hal. 37) Sajak “Mudik” (…) Nenek sedang meninggal dunia Tubuhnya terbaring damai di ruang do’a, Ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya. (…) (Pacar Senja, hal. 95-96)
Demikianlah gambaran kematian. Kuburan bagi Joko adalah tempat nampang, tempat menunggu kekasih, tempat piknik, tempat nonton dangdut. Dalam “Pulang Malam” memang ada gambaran yang agak keras “tubuh kami hangus dan membangkai”, tetapi gambaran yang keras itu dihaluskan kembali pada bait selanjutnya “Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.”, sedangkan gambaran kain kafan disamakan saja dengan kain putih dan selimut. Gambaran kematian yang mengharukan tampak pada sajak “Perias Jenazah”. Jenazah itu dirias dengan air mata. Dan ketika pada gilirannya si perias jenazah itu meninggal, jenazahnya kelihatan lembut dan cantik, meski pun tak ada yang meriasnya, karena ia disayangi oleh arwaharwah yang pernah diriasnya. Dalam sajak “Mudik” kematian juga tidak menampilkan wajah yang menakutkan, melainkan wajah ketenangan dan kedamaian. Marilah kita lihat motif yang ke dua, yaitu motif berlarinya waktu. Tema ini sangat menonjol. Bahkan lebih dari 25% dari judul sajak menggunakan kosakata yang mengandung komponen makna waktu, yaitu: Terkenang Celana Pak guru, Perjamuan Petang, Selepas Usia 60, Kisah Senja, Gadis Malam di Tembok Kota, Bercukur sebelum Tidur, Perem-puan Senja, Gadis Enam Puluh Tahun, Kecantikan Belum Selesai, Pacar Senja, Kisah Semalam, Doa sebelum Mandi, Pulang Malam, Penumpang Terakhir, Telpon Tengah Malam, Tuhan Datang Malam Ini, Minggu Pagi di Sebuah Puisi, Mei, Ronda, Baju Bulan, Bayi di Dalam Kulkas, Surat Malam untuk Paska, Selamat Tidur, Penjual Kalender, Februari yang Ungu. Ini baru judul saja, tentu perhitungan ini tidak
akurat. Seharusnya semua sajak diteliti satu per satu. Meskipun demikian, melihat jumlah judul sajak, kita sudah dapat melihat bahwa tema waktu sangat dominan. Kini marilah kita lihat bagaimana “wajah” waktu ditampilkan oleh penyair. Sajak “ Di Salon Kecantikan” (…) Senja semakin senja Jarinya meraba kerut di pelupuk mata Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap yang ingin diulur-ulur terus namun toh luput juga Karena itu ia ingin mengatakan, Mata, kau bukan lagi bulan banal yang menyimpan birahi dan misteri
Ia pejamkan matanya sedetik dan cukuplah ia mengerti bahwa gairah dan gelora harus ia serahkan pada usia. Toh ia ingin tegar bertahan dari ancaman memori dan melankoli. Ia seorang pemberani di tengah kecamuk sepi. (…) Mengapa harus menyesal? Mengapa takut tak kekal? Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal? Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar yang pura-pura tak saling mengenal. “Aku cantik. Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin merasa tua dan sia-sia.” Yang di dalam kaca tersenyum simpul dan menunduk malu melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna Alisnya ia tebalkan dengan impian Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan. Dan ia ingin mengatakan, Rambut, kau bukan lagi padang rumput yang dikagumi para pemburu. (…) “Aku minta sedikit waktu lagi buat tamasya ke dalam cemas. Malam sudah hendak menjemputku di depan pintu.” (…) Senja semakin senja.. Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara. Tangannya meremas kenyal yang mrucut dari sintal dada. Dan ia ingin mengatakan, Dada, kau bukan lagi pegunungan yang indah Yang dijelajahi para pendaki. (…) (Pacar Senja, hal. 19-22) Berbeda dengan “kematian”, wajah “waktu” menampilkan kecemasan yang sangat kuat. Si narator tahu bahwa ia harus menyerahkan segalanya pada usia, namun ia tetap “tegar melawan ancaman memori dan melankoli” Jeritan hatinya sangat menyentuh. Ia mempertanyakan mengapa harus menyesal dan mengapa takut tak kekal. “menyesal” dan “tak kekal” adalah dua hal yang tak dapat dirubah lagi dengan berlarinya waktu tanpa memperdulikan usahanya untuk menentang waktu dengan menggunakan salon kecan-
tikan. Ia tahu bahwa usahanya akan sia-sia, namun di akhir sajak, dia menjadi tabah. Motif berlarinya waktu ini, tampak pula dalam sajak “Pacar Senja”: (…) “Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas.” (…) (Pacar Senja, hal. 45)
Sementara itu, ada pula gambaran waktu yang tidak begitu menakutkan, contoh: sajak “Mudik”. (…) Wktu kadang begitu simple dan sederhana: Ibu sedang memasang senja di jendela Kakek sedang menggelar hujan di beranda. Ayah sedang menjemputku entah di setatsiun mana. (…) Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu butiran waktu sedang meleleh dari mataku. Dalam sajak di atas, waktu tidak tampil sebagai sosok yang menakutkan, melainkan sebagai hal yang mengharukan, karena butiran waktu yang meleleh adalah air mata kenangan yang dimiliki si aku narrator.Hal yang sama tampak pula dalam sajak “Penjual Kalender” (…) Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan, barang dagangannya sedikit sekali terbeli. “Makin lama waktu makin tidak laku,” ia berkeluh sendiri. Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender yang sudah mereka jajakan berhari-hari. Lelaki tua membangunkan anaknya. “Tahun baru sudah tiba, Plato. Ayo pulang. Besok kembalikan saja kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu.”
(…) Tuan kecil segera ingin menyambung tidurnya Ibunya menepuk pantatnya: “Kau telah dinakali waktu, Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?”
Ia ibu yang pandai merawat waktu. Terberkatilah waktu. Dengan sabar dibongkarnya tumpukan kalender itu. Ha! Berkas-berkas kalender itu sudah kosong, ribuan angka dan hurufnya lenyap semua. Dalam sekejap ribuan kunang-kunang berhamburan memenuhi ruangan.
Gambaran waktu pada sajak di atas tidak bersifat gamblang seperti yang lainnya. Memang waktu telah berlalu, sehingga kalender itu tidak laku lagi. Di satu pihak, waktu seakan dianggap sebagai benda, ada pengrajin waktu yang mengaturnya. Di lain pihak, waktu juga dipersonifikasikan, sehingga si ibu menanyakan apakah anaknya telah dinakali waktu. Memang tanpa terasa, waktu sering menipu atau menakali manusia. Namun pada akhir sajak, dikatakan bahwa berkat kepandaian ibunya merawat waktu, atau menggunakan waktu, maka angka-angka dan huruf pada kalender dapat berubah menjadi kunang-kunang. Binatang-binatang kecil yang hidup di waktu malam berkelapkelip, bercahaya dan nampak indah. Mungkin saja hal itu merupakan metafora dari harapan-harapan manis si ibu. Selanjutnya, sebagai motif yang ke tiga kita lihat motif manusia yang terdiri dari beberapa sub-motif, yaitu Ibu, Perempuan, Kekasih, Bayi, Tubuh dan bagianbagiannya, dan lain-lain. Ibu mempunyai peran yang sangat kuat. Dia memberikan bekal pada putra-putrinya, bahkan Jesus pun sebelum pergi ke surga mendapat bekal dari ibunya, Motif berikutnya yang sering muncul adalah ruang tertentu dalam rumah, yaitu kamar mandi atau toilet, tempat tidur atau ranjang. Juga pakaian merupakan motif penting. Meskipun demikian, sebagaimana juga ruang, tak banyak jenis pakaian yang muncul. Yang sering kita lihat adalah celana yang digunakan sebagai judul tiga buah puisi berturut-turut (Celana 1, Celana 2 dan Celana 3). Selain itu, sarung atau kain sarung
juga sering muncul dalam sajak Joko. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu penutup tubuh bagian bawah (penutup aurat yang utama). Tak ada lagi pakaian lain yang sering disebut, kecuali celana dan kain sarung. Misalnya, dalam sajak perjamuan petang, celana memegang peran penting.. Perjamuan Petang