Dikemukakan oleh Robbins, S.P (2001) bahwa organisasi pembelajar ... Perilaku
yang ditampilkan individu merupakan gambaran kinerjanya dan akan ...
MANAJEMEN KONFLIK DALAM ORGANISASI Penulis : Wahyudi, Dr. Editor
: H. Akdon, Prof, Dr.
Penerbit : Alfabeta, cv ISBN
: 978-979-8433-32-9
Judul: Konflik dalam perilaku organisasi Sebagai suatu system, organisaisi cenderung lebih bersifat terbuka, karena komponen-komponen system organisasi berinteraksi pada lingkungan. System terbuka pada hakekatnya merupakan proses transformasi Dari masukan yang menghasilkan keluaran, transformasi merupakan proses pendayagunaan input yang berupa sumber daya fisik, informasi, kebutuhan, pelenggan, tekhnologi dan manajemen. Sedangkan keluaran Dari organisasi merupakan masukan Dari lingkungannya. Organisasi sebagai sitem terbuka dapat digambarkan sebagai berikut; LINGKUNGAN SISTEM MASUKAN
TRANSFORMASI
KELUARAN
SDM,
Kegiatan
produk
tekhnologi,
manajemen,
jasa,
informasi,
struktur
keuangan,
kebut,
organisasi,
informasi,
pelanggan
desain
kepuasan,
modal
pekerjaan,
hasil
kinerja individu
manusiawi
dan hasil
Pengguna KELUARAN
Balikan internal
Balikan internal
Gambar
: Organisasi sebagai system (open system) diadaptasi oleh Koontz, H. dan Weihrich, H. (1990); Robbins, S.P & coulter M. (1999).
Sebagai suatu system yang terbuka, maka setiap organisasi mempunyai karakteristik, yaitu ; masukan, proses transformasi, keluaran batas wilayah (boundary), umpan balik, keterbukaan, dan
adaptasi. Dikemukakan oleh Robbins, S.P (2001) bahwa organisasi pembelajar (learning organization) mempunyai karakteristik dasar sebagai berikut ; (1). Anggota organisasi mengenyampingkan cara berfikir lama, (2). Belajar untuk saling terbuka, (3). Memahami cara kerja organisasi, (4). Menyusun perencanaan, visi yang dapat disepakati dan dipahami secara bersama, (5). Bersinergi untuk menyampaikan aksi dalam rangka pencapaian visi organisasi. Suatu hal yang perlu ditambah pada karakteristik dasar organisasi pembelajar adalah bekerja secara sistemik karena keputusan dan tindakantindakan yang diambil dalam satu bagian organisasi akan mempengaruhi bagian lainnya. Perilaku yang ditujukan oleh individu sebagai anggota organisasi pada mulanya berorientasi pada diri sendiri, karena itu orientasi yang dimaksud tidak dibiarkan tanpa kendali dan harus diarahkan pada orientasi kelompok. Perilaku yang ditampilkan individu merupakan gambaran kinerjanya dan akan mempengaruhi gambaran kinerja organisasi secara keseluruhan. Sebagaimana yang diucapkan oleh Gibson, J. L, Donnelly, J. H, dan Ivancevich, J.M. (1996), kinerja adalah perilaku yang ditunjukkan suatu individu dalam mengerjakan suatu tugas yang dibebankan. Sementara Smith (1982) bahwa kinerja berhubungan dalam tiga aspek pokok perilaku, hasil, dan efektifitas organisasi. Aspek perilaku menunjukkan pada usahausaha yang dilakukan dalam upaya mencapai tujuan tertentu, dan perilaku individu merupakan hasil terhadap kinerja. Sedangkan aspek hasil menunjukkan pada hasil kerja organisasi yang menekankan pada proses. Dari aspek psikologis, kinerja dapat dikatakan sebagai tingkah laku kerja seseorang yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan Dari pekerjaan. Penelitian Elton Mayo tentang perilaku manusia dalam bermacam-macam situasi kerja menemukan bahwa, hubungan antar manusia diantara anggota kelompok terpilih maupun dengan peneliti (supervisor) lebih penting dalam menentukan produktifitasnya Dari pada perubahan-perubahan kondisi kerjanya. Perhatian simpatik Dari peneliti (pengawas) terhadap kelompok kerja telah mendorong peningkatan motivasi kerja. Dalam penelitian Elton Mayo yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan produktifitas organisasi yaitu moral kerja karyawan, dinamika kelompok, supervisi yang demokratis, dan hubungan antar karyawan. Penekanan kebutuhan-kebutuhan social dalam perilaku manusia menlengkapi pendekatan klasik sebagai usaha meningkatkan produktifitasnya. Aliran hubungan manusia (neo klasik) bahwa perhatian pada karyawan akan manfaat bagi kelompok dan organisasi. Perkembangan aliran perilaku manusia ditandai dengan pandangan dan pendapat baru perilaku manusia dan sistem social sebagai berikut; (1) unsure manusia adalah faktor kunci penentu sukses atau kegagalan pencapaian tujuan organisasi, (2) organisasi harus menciptakan iklim yang kondusif untuk memungkinkan karyawan dapat memenuhi kebutuhan, (3) komitmen dapat dikembangkan melalui partisipasi dan keterlibatan para karyawan, (4) pekerjaan setiap karyawan harus disusun secara memungkinkan dapat mencapai kepuasan diri Dari pekerjaan yang dilakukan, (5) pelaksanaan organisasi didasarkan pada merit system sehingga dapat memenuhi rasa keadilan dan memuaskan semua pihak. Aliran ilmu perilaku memberikan
sumbangan bagi pemahaman motivasi perorangan, perliaku kelompok, hubungan antara orang pribadi dengan hubungan kerja, dan arti pentingnya pekerjaan bagi manusia. Ilmuan perilaku memberikan pandangan-pandangan dalam bidang kepemimpinan, perubahan organisasi, dan komunikasi. Perilaku orga isasi adalah study yang mempelajari persepsi individu, nilai kapasitas, dan tindakan-tindakan saat bekerja dalam kelompok dan berorganisasi secara keseluruhan dan menganalisis akibat lingkungan eksternal terhadap organisasi dan sumberdaya, misi, tujuan, dan strategi. Aldag, R. J. dan Streans, T.M, (1987); Robbins, S. P, (1990) membagi transisi pemikiran terhadap konflik kedalam tiga fase, yaitu; pandangan tradisional, pandangan hubungan manusia, pandangan interaksionis/pluralis. Pandangan tradisi pada dasawarsa 1930 sampai tahun 1940an. Pada masa itu, konflik dipersepsikan sebagai peristiwa yang negative dan identik dengan kekacauan, destruksif, dan dapat merugikan kelangsungan organisasi, karena itu harus dicegah dan bila perlu ditiadakan. Pandangan tradisional cenderung konsisten pada sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok sehingga konflik mempunyai konotasi negative (disfungsional) sebagai dampak dari komunitas yang buruk, kurangnya kepercayaan diantara anggota, dan pimpinan tidak tanggap terhadap aspirasi dan kebutuhan para karyawan. Pendekatan hubungan manusia berkeyakinan bahwa manusia merupakan factor penentu dalam pencapaian tujuan organisasi, karena itu penghargaan dan perlakuan secara manusiawi serta penciptaan iklim kondusif yang dapat memenuhi kebutuhan karyawan. Fase pendekatan hubungan pendekatan manusia berpendapat bahwa konflik merupakan suatu peristiwa yang normal dalam interaksi antar individu atau kelompok didalam organisasi. Konflik sebagai kejadian yang tidak dapat dihindari dan keberadaan konflik dapat memacu dinamika organisasi. Pandangan interaksionis atau pluralis berusaha menstimuli dan menciptakan konflik apabila kelompok bersifat statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap perubahan dan inovasi. Kontribusi Dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin untuk mempertahankan suatu tingkat konflik optimal yang dapat menciptakan inovasi, tanggap terhadap perubahan, kreatif dan cepat beradaptasi, dan kritis terhadap kegiatan intern organisasi.
Judul
: konflik dan organisasi performansi kerja dan produktifitas
organisasi Gambar diatas terlihat bahwa, episode konflik digerakkan oleh perasaan digerakkan oleh perasaan frustasi (kekecewaan) Dari suatu kelompok karena aksi pihak lain, misalnya; penolakan permintaan, pertentangan ataupun atau penghinaan, sehingga masing-masing kelompok menyadari adanya konflik dan memasuki tahap konseptional dan prosesnya terjadi secara subjektif.
Sebagian besar pakar mengklasifikasikan pandangan tentang konflik terdiri Dari pandangan lama dan pandangan baru (kontemporer). Pandangan tradisional menganggap konflik sebagai peristiwa yang negative dan berusaha menandakan dan berusaha meniadakan konflik, sedangkan pandangan baru menganggap konflik tidak dapat dihindarkan karena kinerja organisasi yang optimal memerlukan konflim yang sedang (Gibson, J. L, 1996). Demikian pula Robbins, S.P (1990) menjelaskan bahwa, pandangan tradisional mengasumsikan setiap manajer mencegah timbulnya konflik dan seandainya muncul segera meniadakan konflik. Lebih lanjut dikemukakan Robbins bahwa, pandangan interacsionis meyakini suatu organisasi yang bebas konflik merupakan organisasi yang statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan untuk perubahan. Pimpinan manajer yang mempunyai pandangan konvensional dan ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara menekan bawahan menganggap perbedaan pendapat, pertentangan akan menggangu keutuhan organisasi dan menghambat pencapaian tujuan. Perselisihan dianggap sebagai indikasi adanya kesalahan dalam program-program yang digariskan organisasi. Sedangkan pimpinan manajer yang berpandangan modern menyikapi konflik lebih realistis. Timbulnya persaingan dan perbedaan pendapat antar individu ataupun anggota kelompok sebagai bentuk dinamika organisasi. Tanpa konflik berarti organisasi tidak mengalami perubahan, anggota organisasi saling bertoleransi terhadap kesalahan sehingga masalah-masalah yang penting luput dari perhatian. Aldag, R. J. dan Stearns, T. M. (1987) menampilkan perbedaan pendekatan tradisional dan pendekatan kontemporertentang konflik dalam organisasi pada table sebagai berikut.
Tabel 3.1 Perbedaan pandangan tradisional dan kontemporer tentang konflik organisasi Tradisional view of conflict 1.
Conflict by and large, is bad and should be eliminated or reduced
2.
Conflict need not occur
3.
Conflict result from breakdowns in communication and lack of understanding, trust, and openess between groups
4.
People are essentially good, trust, cooperation, and goodness are givens in human nature
Contempotery view of conflict 1.
Conflict is good and should be en-couraged, conflict must be regulated, however, so that it does not get out of hand
2.
Conflict inevitable
3.
Conflict results from a struggle for limited rewards, competition, and potensial frustrations of goals conditions that are nature in organizations
4.
People are not essently bad, but are never the less driven by achievement, self seeking, and competitive interest
Pandangan traditional menganggap konflik tidak menguntungkan dan harus ditiadakan. Peristiwa konflik oleh pandangan lama dianggap sebagai adanya kesalahan dalam komunikasi, dan manusia pada dasarnya baik, benar, koperatif, serta mnyenangi kebaikan. Sedangkan pandangan kontemporer berpendapat bahwa, konflik itu baik dan harus didorong agar tetap muncul. Pandangan masa kini menganggap konflik merupakan kompetisi untuk mendapatkan penghargaan. Dan konflik sebagai peristiwa alami yang terjadi didalam organisasi. Diungkapkan oleh Bolton R (2000) keberadaan konflik dapat berakibat destruktif dan atau menguntungkan bagi kelangsungan organisasi. Konflik danpat menambah atau mengurangi kinerja organisasi pada tingkat yang berbeda-beda, meningkatkan kinerja organisasi (Gibson, 1996). Sedangkan Dubrin, A. J. (1984) menganggap konflik terlalu rendah dapat disfungsional karena menimbulkan kelesuan dan menghalangi kreatifitas dan produktifitas, sebagaimana dikemukakan sebgai berikut; “ conflict of lesser is dysfunctional because it msy lead to a felling of letharge that inhibits creativity and productifity. Conflict in exxess of this optimum level is also dysfungsional because itt may lead to negative outcome such a disabling strees reaction”. Konflik dapat berperan fungsional ataupun disfungsional, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa, konflik mempunyai potensi pengembangan atau penganggu pelaksana kegiatan organisasi tergantung pada pengelolaan konflik (Handoko, 1992). Pencapaian tujuan dalam preferensi kerja organisasi dapat digunakan sebagai criteria untuk menentukan apakah konflik yang terjadi bersifat fungsional atau disfungsional. Konflik fungsional adalah konfrontasi diantara individu atau kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi, sedangkan konflik disfungsional adalah setiap perbedaan atau interaksi diantara individu atau kelompok yang menghalangi pencapai tujuan organisasi. Robbins, S. P, konflik paradoxs terjadi pada organisasi yang sedang berkembang terhadap penyesuaian terhadap kebutuhan masyarakat semakin maju. Konflik menurut Dublin, A. J (1984) yaitu; dapat menimbulkan perubahan secara kontruktif, motivasi tertuju, merangsang motivasi, mereplace tujuan yang tidak relevan, menguntungkan, hubungan antar pribadi dan kelompok, dan dapat mengurangi ketegangan dalam bekerja. Bolton, R. (1986) melihat konflik tidak dapat dihindarkan, konflik dapat merusak tatanan organisasi, namun jika pimpinan mempunyai kemampuan mengendalikan konflik dapat menguntungksn organisasi. Polak, M. (1982) membedakan konflik menjadi empat jenis, yaitu; konflik pribadi, konflik intern dan kelompok, konflik antar individu untuk mempertahankan hak dan kekayaan, konflik intern individu untuk mencapai cita-cita. Menurut Soekanto konflik memiliki jenis, diantaranya; konflik pribadi, konflik antar kelas social, konflik rasial, konflik politik antar golongan masyarakat, konflik berskala internasional. Konflik rasial merupakan konflik yang lebih luas atas Ras mayoritas yang ingin diberlakukan adil.
Performans kerja dalam pemahaman akhir-akhir ini lebih diarahkan kepada hasil kerja yang nyata dan jelas Dari suatu organisasi (landy dan farr, 1983). Gibson el al. (1996) menyatakan performans kerja diformulasikan dengan rumus; P= F(M. A). performans atau prestasi (P) adalah fungsi Dari perkalian antara motivasi (M) atau kekuatan dengan ability (A) atau kemampuan, hal ini berarti bahwa prestasi setiap anggota organisasi dtentukan oleh motivasi dan kemampuannya. Antara motivasi dan kemampuan terdapat hubungan fungsional dengan performans kerja. Motivasi dengan kemampuan ability sebagaimana dikemukakan Dubrin, S. J. (1984) sebagai berikut; “performance is the multiplication of effort (or motivasion) and ability, as expressed in the equation P= (ExA). Ability reflect one’s capability to performs; motivasion reflect how vigorously one will apply that capability”. Penilaian performans (performance appraisal) merupakan evaluasi resmi dan periodic tentang hasil pekerjaan yang telah ditentukan, (Terry, Gibson et al, 1996) sebagai penilaian sistematis formal atas prestasi kerja karyawan dan potensi pengembangan masa depan. Selanjutnya Mocler (stoner dan freeman, 1992) membagi performace kerja menjadi empat langkah yang diilustrasikan pada gambar berikut;
Penetapan standar dan
Pengukuran dan
metode
pekerjaan
kerja
pengukuran
Jika tidak Apakah kinerja sesuai Pengambilan tindakan dengan standar
perbaikan
jika ya Tidak melakukan tindakan
Gambar; 3.7 Langkah-langkah Utama dalam Proses Pengukuran Performansi kerja Stoner dan Freeman (1992) mengemukakan manfaat performansi kerja sebagai berikut;1. Menanggulangi perubahan, 2. Meningkatkan produktifitas, 3. Dapat menambahkan nilai, 4. Memudahkan delegasi dan bekerja bersama-sama sebagai tim. Agar penilaian memberikan gambar akurat perihal yang diukur, maka yang perlu diperhatikan; a. penilaian harus ada hubungan dengan
pekerjaan, b. adanya standar pelaksanaan kerja, c. menggunakan ukuran-ukuran yang dapat diandalkan (Handoko, 1992; Siagian, 1992). Sutermeister, R. A. (1976) mengartikan produktifitas sebagai ukuran kuantitas dan kualitas kerja dengan mempertimbangkan kemanfaatan sumber daya. Rumusan Total Produktifitas
=
Hasil total/output Masukan Total/input
Rumusan Tenaga Kerja
=
Hasil dalam jam-jam yang standar Masukan dalam jam-jam waktu
Paul Mali (Fatah, 1996) menyatakan bahwa, ukuran produktifitas merupakan kombinasi secara efektifitas dan efesiensi. Efektifitas berkaitan dengan performansi kerja, dan efesiensi berkaitan dengan penggunaan sumber daya organisasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Gibson, Ivenrich, dan Donelly (1996), bahwa efesiensi bahwa efesiensi diartikan dalam rasio keluaran dibanding masukan. Ukuran efesiensi harus dalam bentuk rasio, yaitu; perbandingan manfaat dengan biaya. Rumusan indeks produktifitas berdasarkan perbandingan atau atau rasio antara pencapaian performasi kerja dengan sumber-sumber yang digunakan. Indeks produktifitas
=
output input
=
performansi
=
Penggunaan sdm
efektifitas efesiensi
Vroom, V. (Stoner&freeman, 1992) mengkaji produktifits berdasarkan psikologi, dimana produktifitas diartikan sebagai prestasi kerja. Formula yang digunakan sebagai berikut;
P=F(M x K) P
= Prestasi kerja
M
= Motivasi
K
= Kemampuan
Judul : Dampak konflik terhadap performansi kerja dan produktifitas organisasi Sebelum pimpinan melaksanakan manajemen konflik perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut; (1). Menyimak proses terjadinya konflik, (2). Mengetahui sebab-sebab konflik, (3). Membedakan jenis-jenis konflik, (4). memilh pendekatan yang tepat, dan (5). mengantisipasi kemungkinan dampak yang merugikan organisasi.
HIGH
permormansi
Level Optimal Konflik A
B
C
LOW
LOW
MIDLE
HIGH
Intensitas konflik Gambar
:
4.2 Hubungan konflik dengan performansi
Hubungan hubungan antara konflik dengan peristiwa kerja (performance) organisasi pada gambar diatas menunjukkan bahwa, apabila tingkat konflik optimal yaiitu tingkat konflik sangat fungsional berdampak pada performansi organisasi menjadi maksimal. Bila konflik terlalu rendah, performansi organisasi menjadi lambat dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan lingkungan. Disatu sisi, jika tingkat konflik terlalu tinggi, maka akan timbul kekacauan, tidak kooperatif, dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi. Sementara Robbins, S.P (1996) menjabarkan hubungan konflik dengan keefektifan organisasi kedalam tabel sebagai berikut; Tabel Konflik dengan Efektifitas Organisasi.
Situasi A
Tingkat konflik Rendah
Dampak konflik Disfungsional
Karakteristik
Efektifitas
internal organisasi
organisasi
-apatis
Rendah
-stagnasi -lambat beradaptasi -kurang ide/gagasasan -sedikit perubahan B
Optimal
Fungsional
-inovatif
Tinggi
-krisis
terhadap
intern -tanggap terhadap perubahan kreatif dan cepat beradaptasi C
Tinggi
Disfungsional
-saling
Rendah
menghambat pekerjaan -tidak kooperatif -ego
kelompok
tinggi -sikap otoritarian -agresifitas individu
Gambar:
4.3 pengaruh manajemen konflik terhadap performansi kerja dan produktifitas organisasi
HIGH Level Optimal Konflik
performansi
LOW rendah
Stimulasi
intensitas
tinggi
Penurunan Resolusi Manajemen konflik
Judul : Model konseptual manajemen konflik organisasi Penyebab konflik yang bersumber dari dalam organisai adalah; (1). keerbatasan sumber daya organisasi, (2). kegagalan komunikasi, (3). perbedaan sifat, nilai-nilai dan persepsi , (4). saling ketergantungan tugas, (5) sistem penggajian. Sedangkan penyebab konflik yang bersumber dari luar organisasi (faktor eksternal) adalah;
(1).
perkembangan iptek, (2). peningkatan kebutuhan masyarakat, (3). regulasi dan kebijakan pemerintah, (4). munculnya kompetitor baru, (5). keadaan politik dan keamanan, (6). keadaan ekonomi masyarakat. Manajemen konflik merupakan kegiatan menstimulasi konflik, mengurangi atau menurunkan konflik, dan mengendalikan konflik. Menstimulasi konflik dapat dilakukan dengan memberikan penghargaan prestasi, mengadakan evaluasi kerja secara terpadu, memotivasi karyawan, mengubah sistem penggajian, menetapkan musyawarah, campur tangan pihak ketiga, konfrontasi, tawar menawar, kompromi. Untuk mengurangi konflik dapat dilakukan dngan cara mengadakan kegiatan bersama, menetapkan peraturan, mutasi/jabatan, menggabungkan unit yang konflik dan membuka forum,
dialog/mail address. Dengan demikian, tujuan manajemen konflik untuk mencapai kerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan.
Akibat-akibat disfungsiona 1. agresif individu 2. muncul sikap otoratarian
Sumber-sumber konflik FAKTOR INTERNAL 1. keterbatasan sumber daya organisasi
1. menggabungkan unit
4. tindakan destruktif
Yang konflik
5. Timbul rasa benci
2. mengadakan kegiatan
7. tujuan kelompok dianggap lebih penting
nilai, dan persepsi
Bersama 3. mendorong negoisasi 4. mutasi/rotasi jabatan 5. membuka forum \dialog
3. saling ketergantungan tugas 4. saling berfungsinya
KONFLIK
3. pertentangan yang berlarut-larut
6. ego sektoral
2. perbedaan sifat,
METODE PENGURANGAN
Media penyalur konflik Konflik organisasi
sistem kontrol
6. Memfungsikan peran integrator 7. menghadapi pada tantangan baru
1. individu-individu
5. perubahan sistem penggajian
pada kedua belah pihak
2. individu-kelompok
6. human relation
kurang harmonis
3. kelompok-kelompok
FAKTOR EKSTERNAL
Akibat-akibat fungsional
1. perkembangan iptek
1. mencari pemecahan masalah
2. peningkatan kebutuhan
Perilaku positif sesuai
2. sadar adanya masalah
Masyarakat
3. perubahan dan penyesuaian
tujuan organisasi
3. regulasi dan kebijakan pemerintah 4. Munculnya kompetitor baru
4. evaluasi kinerja
Keadaan politik dan keamanan
5. kinerja meningkat
Keadaan ekonomi masyarakat
6. motivasi kerja
Peningkatan kinerja Dan produktifitas
Gambar
: 5.3 model pengurangan (reduce) konflik organisasi
Umpan balik
Faktor internal
Kreatifitas
O N F L I
kerja
*
K PP *
*
* * PT
**
K
Motivasi PI
*
* PK *
Kompetisi Dinamika
Resolusi
kelompok
Konflik
Inovasi kerja
Pemecahan *
*
masalah
Organisasi kompetitif
Produktifitas organisasi
Faktor eksternal
keterangan
: interaksi antara PP dan PI = kreatifitas kerja PP dan PT = motivasi kerja PT dan PK = Kompetisi PK dan PP = Dinamika kelompok PT dan PI = Pemecahan masalah Gambar
: 5.4 Model Manajemen Konflik yang Inovatif
Konflik yang muncul meliputi perbedaan kepentingan (PK), Perbedaan tujuan (PT), perbedaan pendapat (PT) dengan perbedaan inisiatif (PI) perpaduan antara perbedaan tujuan (PT) dan perbedaan kepentingan (PK) dengan perbedaan pendapat (PP) akan menimbulkan dinamika kelompok. Perpaduan
antara perbedaan tujuan (PT) dengan perbedaan inisiatif (PI) memotivasikan kelompok untuk mencari pemecahan masalah, sedangkan perpaduan antara perbedaan pendapat (PP) dengan perbedaan tujuan (PT) akan menimbulkan motivasi kerja. Model hipotek manajemen konflik merupakan model konseptual yang dirumuskan dengan dideskripsikan berdasarkan kondisi nyata institusi pendidikan dan pelatihan yang tidak terlepas dari persoalan konflik dan tidak mempengaruhi kinerja anggota dan produktifitas organisasi. Keberhasilan ketepatan model hipotek manajemen konflik bergantung pada ketepatan dalam mengidentifikasi sumber-sumber konflik dan pemilihan pendekatan manajemen konflik. Karena itu perlu dirumuskan prosedur implementasi model hipotek manajemen konflik organisasi agar dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Adapun asumsi model, proses manajemen konflik, dan kriteria keberhasilan dapa diperiksa pada gambar berikut ini;
Asumsi Modal Model hipotek manajemen konflik Dirancang untuk mengoptimalkan
Kriteria keberhasilan -anggota kritis terhadap masalah organisasi -orientasi pada tugas dan tujuan organisasi
Konflik agar tetap fungsional sehingga dapat
-ketepatan dalam pelaksanaan Meningkatkan kinerja dan produk orang Melalui kegiatan. Identifikasi masalah, Klasifikasi masalah, penentuan metode, Pelaksanaan manajemen konflik
Manajemen konflik -mencari pemecahan masalah bersama -organisasi dapat berperan sebagai “learning organization”
perencanaan ? i denti fi kas i mas a l ah a. s umber s umber konfl i k b. jeni s -jeni s konfl i k Kl s i fi kas i mas a l ah Anal i s i s mas a l ah
Gambar
pelaksanaaan
Evaluasi
?penentuan metode ? manajemen konflik -stimulasi konflik
? analisis dampak
- kinerja individu
- pengurangan konflik -resolusi konflik
- produktifitas organisasi
: 5.5 prosedur implementasi model hipotek manajemen konflik organisasi
Judul
: kepemimpinan yang efektif secara umum terdapat tiga pendekatan atau gaya kepemimpinan yaitu; (1) pendekatan
kepemimpinan menurut sifat (traits model), (2) pendekatan kepemimpinan berdasarkan teori perilaku (behavioral model), pendekatan berdasarkan teori kontingensi ( contingensy teori), pendekatan berdasarkan sifat mengkaji tentang perangai dan kemampuan yang menandai karakteristik pimpinan yang berhasil dan yang tidak berhasil. Pendekatan berdasarkan perilaku memusatkan perhatian pada tindakan yang dilakukan pemimpin didalam melaksanakan pekerjaan manajerial. Untuk mendapatkan pemimpin yang efektif (kotter,1998). Situasi yang mendesak perlunya kehadiran pemimpin apabila; (1) keadaan kacau (chaos)tidak menetukan dan kelompok tidak mampu mengatasi organisasi, (2) anggota kelompok secara perorangan atau kelompok belum mampu mengambil keputusan penting untuk pencapaian tujuan organisasi, (3) perubahan lingkungan organisasi yang cepat sehingga kelompok tidak mampu mengendalikan keadaan terutama dalam menangkap pesan dari perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, (4) munculnya kompetitor baru yang dapat menggeser peran kelompok. Dubrin ( 1984) mengemukakan bahwa pemimpin yang efektif mempunya kelebihan dalam hal; (1). intelegency level, (2) situation sensitivity, (3) effective work, (4) self confidence, (5) initiative, (6) enthusiasm, (7) technical and proffesional competence, (8) individuality, (9) hight ethical standar , honesty, candor; and related caracteristic, (9) flexsibelity, (10) vision. Pendekatan kontingensi (contingency) menggambarkan bahwa gaya kepemimpinan yang digunakan tergantung pada faktor-faktor situasi, bawahan, tugas, organisasi, dan variabel lingkungan lainnya (Handoko, 1992). pendekatan kontingensi mencoba mengidentifikasi faktor-faktor dalam setiap situasi yang mempengaruhi efektifitas gaya kepemimpinan. (Stonner dan freeman, 1992). teori-teori kepemimpinan situasional yang utama antara lain, model kontingensi fiedler, dan teori cklus kehidupan (lice cycle teory of leadership) dari harshey dan blanchard.
Gambar:
6.2 Teori kepemimpinan situasional diadaptasi dari harsey & blanchard (1986)
Tinggi
Perilaku kepemimpinan
P H EU R B I U
Hubungan tinggi dan tugas rendah Tugas tinggi dan tugas rendah
LN
3
2
AG K A UN
rendah
Tugas rendah dan hubungan rendah Tugas tinggi dan hubungan rendah 4
Perilaku tugas rendah
1
tinggi
Masing-masing gaya kepemimpinan yang ditunjukkan dengan pertimbangan tingkat kematangan para karyawan. Kontinum kematangan bawahan menurut harsey dan blanchard (1986) dibagi atas empat kategory dan masing-masing tingkatan dilambangkan dengan huruf M (maturity) yaitu; M1, M2, M3, dan M4. Untuk mengetahui arti tingkat kematangan masing-masing, maka dibuat gambar sebagai berikut;
Mampu dan Mau
Mampu tetapi tidak
Tidak mampu tetapi
Tidak mampu dan
(yakin)
mau (tidak yakin)
mau (yakin)
tidak mau (tidak yakin)
M4 Gambar
M3 M2 6.3 tingkat kematangan karyawan sebuah organisasi.
M1
Hubungan tinggi G3
G2
Dan tugas tinggi
Hubungan tinggi Dan tugas rendah
tinggi
Konsultatif Delegative
instruktif
partisipatif
Perilaku Hubungan Hubungan
Hubungan
rendah
rendah da tugas
dan tugas rendah
rendah
Tinggi M1
tinggi
Sedang/ cukup M3
M2
Kematangan karyawan
Rendah M1
Gambar
: 6.4 variasi gaya kepemimpinan berdasarkan peringkat kematangan bawahan (diadaptasi dari Hersey dan blanchard).
Judul : Kepemimpinan visioner ( visionery leadership) Dikemukakan oleh Robbins (2001), ketrampilan-ketrampilan yang perlu ditampilkan oleh pemimpin visioner setelah visi organisasi teridentifikasi adalah; (1) kemampuan menjelaskan visi kepada orang lain, (2) mampu mengungkapkan visi, (3) mampu memperluas visi kepada konteks kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpian visioner adalah kemampuan pemimpin untuk menciptakan dan mengartikulasi sesuatu visi yang realistik, dapat dipercaya, atraktif tentang masa depan bagi suatu organisasi atau unit operasional yang terus tumbuh dan meningkat. Sampai saat ini, (Robbins, 2001) visi menyalurkan enegi dan emosi orang bisa diartikulasi secara tepat, dan sebuah visi
menciptakan kegairahan dan
menimbulkan energi serta komitmen ditempat kerja. Kriteria visi yang benar menurut Nanus (1992) adalah sebagai berikut; (1) visi dapat menumbuhkan komitmen dan memberi motivasi kepada anggota organisasi, (2) visi dapat memberi arti kehidupan bagi karyawan, (3) visi dapat menumbuhkan standarstandar keberhasilan, (4)dapat menjembatani masa sekarang dan masa depan. Dari semua itu komitmen untuk mewujudkan visi melaui strategi yang tepat merupakan kunci bagi keberhasilan organisasi.