JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA - Ow.ly

32 downloads 6537 Views 2MB Size Report
18 Apr 2013 ... Pakar feminisme, Dr Ratna .... yakni (bisa) dengan haji dan um rah.” ... Dalam soal ibadah, Islam tidak ... (Syekh al-Sya'rawi, Fiqh al-Mar'ah,.
Halaman ini terselenggara atas kerja sama Republika dengan INSISTS

Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Handrianto, Tiar Anwar Bachtiar.

JURNAL PEMIKIRA N IS LAM REPUB LIKA

KAMIS, 18 APRIL 2013

23

MARTABAT DAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

K Dr Dinar Dewi Kania Peneliti INSISTS

onon, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik telah memberi angin segar bagi kaum perempuan untuk menyalurkan aspirasinya melalui jalur politik. Kedua undangundang tersebut telah memberi mandat kepada partai politik untuk melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dari daftar caleg yang diusulkan partai politik peserta pemilu. Namun, agenda feminisme liberal diduga berada di balik kelahiran undang-undang ini dan juga pemberlakuan sanksi terhadap parpol yang tidak mampu memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Pasal 27 ayat 2 huruf b PKPU Nomor 7 Tahun 2013 menyatakan bahwa apabila parpol tidak berhasil memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan maka akan ditolak dan dihapus dari dapil terkait. Adanya sanksi dalam Peraturan KPU tersebut tidak lepas dari peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam rangka Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di bidang politik dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama KPU pada Juli 2012. Nota kesepahaman tersebut dianggap telah sejalan dengan upaya KPP-PA ketika menghadiri sesi persidangan Committee on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) di Markas Besar PBB, New York, pada 11 Juli 2012, yang mengangkat “partisipasi perempuan dalam politik” sebagai topik utama dalam dialog tersebut. Tujuan utama peningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dapat ditelusuri dari sejarah keterlibatan kaum perempuan di Kongres Amerika Serikat. Dalam sebuah buku yang ditulis berdasarkan penelitian tentang pengaruh keterlibatan perempuan dalam Kongres disebutkan, “They suggest that women’s presence not only reshapes the agenda, but also can slowly begin to regender institutions.” (Debra L Dodson, The Impact of Women in Congress, 2006: 249). Artinya, keterlibatan perempuan di Kongres Amerika bukan hanya untuk membentuk atau meloloskan agenda-agenda perempuan, namun lebih dari itu, secara perlahan mereka berharap dapat melakukan regender terhadap institusi politik—yang memang dalam pandangan kaum feminis—didominasi oleh budaya partiarki dan sarat dengan kepentingan kaum laki-laki.

Seksis dan Antagonis Walaupun Indonesia telah meratifikasi CEDAW ke dalam UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan

CEDAW, tidak berarti Indonesia harus tunduk pada semua aturan internasional tersebut, terutama apabila bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat serta norma-norma agama yang berlaku. UUD 1945 Pasal 28 (J) memberikan pembatasan bahwa pemenuhan hak-hak seseorang harus menghormati hak kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Umat Islam seharusnya dapat lebih jeli menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik anak-anak di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran sebagai ibu rumah tangga dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia ketimbang aktif di parlemen. Apakah mereka berpikir bahwa dengan “memaksa” perempuan aktif di ruang publik dan meninggalkan keluarga maka laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dapat lebih leluasa bergaul sampai larut malam demi “kemajuan bangsa”? Sementara, suami harus menjaga anak-anak bersama pembantu di rumah, menunggui istrinya pulang dari raker berhari-hari di luar kota? Pakar feminisme, Dr Ratna Megawangi, menulis bahwa agenda feminis mainstream sejak awal abad ke20 adalah mewujudkan kesetaraan nominal antara laki-laki dan perempuan di ruang publik. Agenda ini bahkan terinspirasi pemikiran Marxis yang memandang peran ibu rumah tangga sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan. Para feminis masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature. Karena itulah, para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, ataupun praktik-praktik pengasuhan anak. (Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?, 1999). Jadi, pokok masalahnya, adalah pemaksaan kuota tertentu bagi perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kancah politik akhirnya lebih mencerminkan sebuah bentuk “keterpaksaan” daripada “kesadaran” yang akhirnya menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap eksploitasi dari partai politik yang ingin “memanfaatkan” perempuan dalam rangka memenuhi kuota yang dipersyaratkan. Aturan tersebut juga dapat memicu tindakan diskriminasi terhadap kaum laki-laki yang memiliki kapabilitas, namun harus tergusur oleh caleg perempuan yang mungkin kualitasnya jauh lebih rendah guna memenuhi tuntutan kuota. Padahal, dalam ajaran Islam,

seorang perempuan yang lemah iman dan berakhlak buruk tidak layak mewakili kepentingan kaumnya. Juga, sebuah penghinaan martabat perempuan bahwa seorang perempuan menduduki jabatan publik atas dasar kuota. Seharusnya kualifikasi utama dalam memilih wakil rakyat dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini adalah faktor iman, keluhuran akhlak, kapabilitas, serta keikhlasan mengemban misi perjuangan dan bukan dilihat dari jenis kelaminnya. Seorang pria beriman yang meneladani akhlak Rasulullah SAW akan selalu berada di garda terdepan dalam memperjuangkan harkat dan martabat laki-laki, perempuan, anakanak, dan kaum dhuafa. Tidak ada dalil atau fakta empiris yang menunjukkan bahwa keterwakilan seseorang akan lebih baik jika diwakili sesama jenis kelamin. Bahkan, cara berpikir seksis seperti ini sangat berbahaya sebab sejak awal sudah menciptakan suasana antagonis dan kecurigaan antara laki-laki dan perempuan. Islam mengajarkan pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa memandang harta, kedudukan, atau jenis kelamin. Allah SWT telah berfirman di surah alHujurât ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa nilai kemuliaan seorang manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak, dan perbuatan-perbuatan baiknya. Islam tidak mengekang kebebasan perempuan dalam menyalurkan pendapatnya terhadap permasalahan politik dan pemerintahan. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah dan para sahabat Nabi dapat ditemukan besarnya kontribusi Muslimah dalam membangun peradaban Islam. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, di Barat, kedudukan perempuan tidak lebih tinggi dari binatang. Dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa dahulu ada seorang Muslimah yang berani mengkritik keputusan Khalifah Umar bin Khatab ra, yang melarang perempuan berlebih-lebihan dalam mengambil mahar pernikahan dan membatasinya dengan jumlah tertentu. Muslimah tersebut secara terbuka mengajukan keberatannya terhadap keputusan Umar dan melafazkan surah an-Nisa ayat 20 sebagai dalil dalam argumentasinya. Umar pun menyimak dengan saksama pandangan perempuan tersebut dan kemudian berkata, “Perempuan ini benar dan Umar telah memutuskan yang salah.” Menurut Muhamad ‘Ali Hasyimi, kejadian tersebut telah menorehkan

tinta emas dalam sejarah di mana seorang perempuan Muslim telah berani mengkritisi seorang pemimpin mulia yang saat itu telah menundukkan Persia dan Romawi di bawah kekuasannya (Syakhshiyatul Mar’ah Al-Muslimah, 2012: 56-57). Sikap berani Muslimah ini bukan lahir dari kebenciannya terhadap kaum laki-laki sebagaimana kaum feminis menjadikan “kemarahan” dan “kebencian” terhadap laki-laki sebagai sumber keberanian ekspresi dirinya. Keberanian Muslimah itu muncul semata-mata karena pemahaman dan kesadarannya terhadap ajaran Islam yang telah memberinya hak dan kebebasan berpendapat, menyeru kepada kebenaran, dan mencegah kemungkaran. Kaum feminis dikenal piawai dalam mempromosikan gagasan kesetaraan gender melalui eksploitasi kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh sebagian perempuan. Dalam hal ini, peran media massa sangatlah besar. Hanya dengan mengangkat sejumlah kasus, lalu diambil kesimpulan bahwa kaum perempuan tertindas oleh kaum laki-laki sehingga memerlukan solusi “kesetaraan nominal” dalam lapangan publik. Karena itulah, dalam suatu draf RUU KKG (Pasal 4 ayat 2) yang sempat beredar dikatakan, “Perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 persen (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga politik, lembaga nonpemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional.” Cara berpikir “kesetaraan nominal” semacam ini yang perlu dikritisi. Khayalan mereka adalah bahwa jika keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik sudah sama dengan laki-laki maka akan hilanglah diskriminasi terhadap perempuan. Meskipun, negara itu pun bisa dikatakan sudah maju. Tentu saja itu sebuah khayalan. Saat ini, angka keterwakilan perempuan di DPR RI sudah mencapai 18 persen. Memang, angka itu masih di bawah yang seharusnya, yakni 30 persen. Tapi, angka 18 persen itu sudah lebih tinggi dari angka di AS (16,8 persen), Jepang (11,3 persen), Korsel (15,6 persen), dan Malaysia (9,9 persen). Bisa dibandingkan dengan keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda (56,3 persen), Nepal (33,2 persen), Tanzania (36 persen), dan Uganda(34,9 persen). (Sumber: Women in Parliament, November 2011). Jadi, dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen, negara mana yang mau dicontoh? Wallahu a’lam bish shawab. ■

24

REPUBLIKA

KAMIS, 18 APRIL 2013

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

Teologi Perempuan dalam Islam

S Fahmi Salim Wasekjen MIUMI, Dosen Uhamka Jakarta

uatu hari, saat sedang berkumpul bersama para sahabatnya, Rasulullah SAW didatangi Asma’ binti Yazid al-Anshariyah. Setelah dipersilakan, Asma menyampaikan aspirasinya kepada Rasulullah SAW, “Demi Allah yang jadikan ayah dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh Muslimah. Tiada satu pun di antara mereka saat ini kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum lakilaki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggui rumah kalian para suami, dan yang mengandungi anak-anak kalian. Sementara, kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat berjemaah, shalat Jumat, menengok orang sakit, mengantar jenazah, bisa haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah. Pada saat kalian haji, umrah, atau berjihad, kami yang jaga harta kalian, menjahit baju kalian, dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?” Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya lebih baik dari Asma’?” “Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat. Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya, dan menyertainya ke manapun ia pergi, pahalanya setara dengan apa yang kalian tuntut.” Asma’ lalu pergi keluar seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan. Kisah di atas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol 22/420). Kisah Asma’ itu menunjukkan bahwa sebenarnya tuntutan kesetaraan perempuan dan laki-laki pernah disuarakan kaum wanita pada zaman Rasulullah SAW. Itu bukan khas pada masa modern ini saja. Bedanya, dahulu posisi teologis Islam sudah tuntas, jelas, dan gamblang, diterima dengan ikhlas dan taat. Tapi, sekarang justru digugat, dikaburkan, dan mau dirombak total. Asma’ yang mewakili kaum hawa saat itu merasa puas dan bangga dengan arahan Rasulullah SAW. Kini, sebagian perempuan modern tampak minder dengan ajaran Islam dan mengalami gejala

gangguan jiwa inferiority complex saat berhadapan dengan pemikiran Barat yang memuja konsep kesetaraan nominal antara laki-laki dan perempuan. Posisi teologis Islam yang digariskan oleh Rasulullah SAW itu sebenarnya berangkat dari worldview Alquran yang bercirikan kedinamisan yang kokoh. Disebut “dinamis” karena sesuai dengan fitrah dan perkembangan pola pikir manusia yang hanif di setiap waktu dan tempat. Dikatakan “teguh” karena tetap mengakui ada banyak hal yang sifatnya permanen dan tak berubah. Laki-laki dan perempuan memanglah memiliki perbedaan dan persamaan. Alquran menetapkan prinsip alMusawah (persamaan) laki-laki dan perempuan dalam hal-hal berikut. (1) Persamaan dalam hal asal-usul penciptaan manusia (an-Nisa: 1) dan ketundukan pada fitrah tauhid yang berasal dari Allah (ar-Rum: 30). (2) Persamaan dalam hal kemuliaan manusia yang Allah ciptakan dengan segala kelengkapan rezeki-Nya serta potensi ketakwaan kepada Allah (al-Isra: 70 dan al-Hujurat: 13). (3) Persamaan dalam hal kewajiban beramal saleh dan beribadah (menerima taklif) serta hak pahala yang sama di sisi Allah SWT (Ali Imran: 195, an-Nisa: 124, an-Nahl: 97, dan alAhzab: 35). (4) Persamaan dalam menerima sanksi jika melanggar hukum Allah dan susila di dunia (al-Maidah: 38 dan an-Nur: 2). (5) Persamaan dan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam menjaga etika dan norma kesusi-

Alquran sangat memuliakan kaum perempuan

Aktualisasi Diri Muslimah P Kholili Hasib Peneliti Institut Peradaban Islam Surabaya/In-Pas

akar gender, Dr Ratna Megawangi, dalam bukunya, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, menyimpulkan hasil risetnya bahwa perempuan modern di Barat walaupun ingin mandiri, mendapatkan hak otonomi yang sejajar dengan pria, ternyata tetap mengidolakan seorang pria yang mau memberi komitmen dan perlindungan (Ratna Megawangi, 2001, hal 215). Saat ini, sering terdengar suara kaum feminis menggugat minimnya peran perempuan di sektor publik. Perempuan, khususnya di Indonesia, jumlahnya sangat besar. Tapi, secara nominal, tingkat partisipasi di sektor publik (ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain) lebih rendah dibanding jumlah pria. Akhirnya, sesuai tuntutan konsep pembangunan ala United Nasional Development Program (UNDP), keluarlah konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan fifty-fifty. Sebagai langkah awal, dimulai dengan tuntutan 30 persen terlebih dulu. Muslimah pasti paham benar bahwa antara laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam banyak hal. Karena itulah, dalam kehidupan seharihari pun sudah berlaku prinsip pembedaan ini. Di berbagai cabang olahraga, dipisahkan antara kelompok laki-laki dan perempuan. Di bidang transportasi, ada bus dan gerbong KA khusus perempuan. Bahkan, sejumlah tempat perbelanjaan harus menyediakan lokasi parkir khusus perempuan. Dalam Islam, perempuan diberi hak dan ruang yang sesuai dengan kodrat atau nature-nya. Suatu kali, Ummu Salamah—istri Nabi SAW—menanyakan hak para sahabat perempuan seraya berkata, “Wahai Rasulullah SAW, sungguh kaum pria bisa berperang,

sementara kita kaum hawa (perempuan) ini tidak. Mereka juga mendapatkan dua kali lipat harta warisan dari yang kita dapatkan. Sekiranya kita ini laki-laki, niscaya kita juga akan berperang seperti yang mereka lakukan.” Pernyataan Ummu Salamah tersebut dijawab dengan turunnya surah anNisa: 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih dari yang lainnya. Karena bagi pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, seorang perempuan yang menunaikan kewajibannya, seperti memelihara rumah dan kehormatan mereka, taat pada suami, dan melaksanakan tugastugas rumah tangga lainnya, mendapatkan pahala sepantasnya yang tidak kalah dengan suami mereka yang berperang (Syekh Nawawi al-Bantani, Tafsir Marah Labid I, 2006: hal 194). Sebagian sahabat perempuan juga menginginkan berjihad di medan seperti para suami. Tetapi, mereka mengajukan tuntutan jihad karena ingin meraih pahala jihad, bukan karena tuntutan kesetaraan nominal. Tapi, Nabi SAW memiliki pertimbangan matang bahwa bagaimanapun, tenaga perempuan umumnya tidak sama dengan lelaki. Maka, hukum jihad tidaklah wajib bagi perempuan. Aisyah ra pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah SAW, apakah wanita juga berjihad?” Rasulullah SAW menjawab, “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yakni (bisa) dengan haji dan umrah.” (HR Bukhari dalam kitab al-Jihad). Dalam kisah-kisah peperangan, kaum perempuan biasanya memberi minum kepada para pejuang serta

laan (an-Nur: 30-31). (6) Persamaan dalam hak amar makruf nahi mungkar kepada penguasa dalam kehidupan sosial politik keumatan (Ali Imran:104 dan 110 serta at-Taubah: 71). Alquran tak hanya mengakui hak keagamaan dan sosial kaum wanita, namun juga mengakui hak-hak perempuan dalam bidang ekonomi, seperti kepemilikan pribadi (mahar dan warisan), sewa-menyewa, jual beli, dan semua jenis akad muamalah perempuan diakui secara penuh. Demikian pula dijamin hak-hak mereka untuk belajar dan mengajarkan ilmunya, berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Istri-istri Rasulullah SAW aktif memobilisasi kaum hawa dalam jihad fi sabilillah. Khadijah RA dikenal sebagai pebisnis tangguh yang mendermakan hartanya untuk dakwah. Aisyah RA dikenal keluasan ilmunya sehingga ratusan sahabat berguru kepada beliau dan meriwayatkan hadis Rasul di majelis ilmunya. Demikian pula istriistri sahabat Nabi. Asma’, putri Abu Bakr RA, berperan penting dalam hijrah Rasul dan ayahnya ke Madinah. Juga putri-putri Rasul, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah RA, aktif berjihad mendampingi suami-suami mereka, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA. Ruqayah bahkan harus dua kali hijrah bersama Utsman ke Habsyah dan Madinah. Khalifah ‘Umar RA mengangkat al-Syifa’, seorang perempuan sebagai pengawas pasar Kota Madinah. Karena visi Alquran yang memuliakan martabat perempuan itulah maka dalam peradaban Islam lahir tokohtokoh wanita hebat, seperti Asma’ binti Abu Bakar, Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Waraqah (imam kaum wanita pada zamannya), Hafsah binti Sirin, Sukainah binti al-Husain, Sayidah Nafisah binti Zaid bin al-Hasan (guru Imam Syafi’i), Zubaidah binti Ja’far (istri khalifah Harun al-Rasyid), Rabi’ah al-‘Adawiyah (tokoh sufi), dan lain-lain. Selain menekankan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaan, kemuliaan, dan hakhak umum yang terkait langsung dengan posisinya sebagai hamba Allah SWT. Islam telah membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan dalam sebagian hak dan kewajiban. Itu dilakukan sesuai dengan adanya perbedaan kodrati dan alami (nature) di antara keduanya dalam fungsi, peran, dan tanggung jawab. Syariat Islam dalam pembedaan antara laki-laki dan perempuan ditetapkan bukan karena alasan untuk menindas atau menzalimi perempuan, tetapi berdasarkan hikmah dan alasan yang kuat. Di antaranya, hak yang diterima masing-masing itu harus sesuai dengan beban dan tanggung jawab sosial ekonominya di tengah keluarga dan masyarakat, perbedaan fisiologis dan psikologis dalam kendali emosi, dan agar terhindar dari percampuran nasab anak. Di antara bentuk pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah: ● Laki-laki wajib bekerja mencari nafkah bagi keluarganya, perempuan boleh bekerja, tapi tidak wajib. ● Hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dengan porsi 2:1. ● Hak talak di tangan suami (laki-laki) tidak dimiliki oleh istri (perempuan). ● Perempuan tidak bisa menjadi wali

pernikahan. Laki-laki boleh berpoligami, tapi perempuan tidak boleh poliandri. ● Istri wajib menunggu masa ‘iddah ketika cerai hidup/mati dari suaminya, sementara suami tidak ada masa ‘iddah karena cerai hidup/mati dari istrinya. ● Perempuan tidak boleh menjadi imam shalat dan khatib Jumat. ● Jika negara diserang, kewajiban jihad diutamakan terlebih dulu kepada laki-laki dan kemudian baru perempuan, dan lain-lain. Jelasnya, antara laki-laki dan perempuan, baik persamaan maupun pembedaan yang diatur Islam, itu semua berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan bukan hasil konstruksi budaya manusia. Karena itu, konsep Islam bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Definisi tentang “gender” berikut ini adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” Pada masa Rasulullah SAW hidup, saat wahyu Alquran turun sempurna dan dikukuhkan dalam praktik contoh hidup Rasul sebagai idealitas sosial Islam paripurna, kaum perempuan berlomba dalam kebajikan dengan kaum laki-laki untuk meraih kesempurnaan hidup. Namun, sehebat apa pun posisi dan prestasi kaum perempuan pada era tiga kurun terbaik umat Islam (sahabat, tabiin, dan tabi’ tabiin), mereka tidak pernah berpikir untuk memprotes berbagai syariat Islam yang membedakan kewajiban dan hak mereka mereka dari kaum laki-laki. Apalagi, sampai dengan lantang bersuara bahwa syariat Islam itu bias laki-laki, patriarkis, dan merugikan perempuan, sebagaimana nyaring disuarakan sebagian kalangan perempuan modern saat ini. Tidak ada tokoh perempuan, seperti Aisyah Ummul Mu’minin, Ummu Salamah, Al-Syifa’, dan sederet nama Muslimah terkemuka lainnya, yang memberanikan diri, misalnya, untuk memimpin ibadah Jumat sebagai khatib dan imam—sebagaimana dilakukan oleh Prof Aminah Wadud dan pendukungnya. Atau, mereka menuntut jatah warisan sebagai seorang anak perempuan yang sama rata dengan saudara kandung lakilakinya. Bahkan, saat Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia, selama ratusan tahun, tak terdengar pula ada yang menggugat syariat Islam dengan alasan perkembangan zaman dan kemajuan. Prof Dr Yusuf al-Qarhawi menulis, “Kaum sekuler-liberal inginkan umat Islam memandang sesuatu dengan kacamata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berpikir dengan framework Barat sehingga apa saja yang bagus menurut Barat maka baik menurut Allah, dan apa saja yang dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk menurut Allah. Mereka hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat dalam soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep Barat tentang sekularisme, dan berbagai teori Barat di bidang hukum, sosial, politik, bahasa, dan kebudayaan!” (Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari’ah: 2007, hlm 96). Wallahu a’lam bish shawab. ■

merawat luka mereka. Hal ini bukan berarti mempersempit ruang gerak publik perempuan, tetapi Islam telah memberi ruang sendiri—yang pahalanya tidak dibeda-bedakan (QS alNahl: 97). Jadi, peran bisa berbeda, tetapi pahalanya disamakan. Karena itu, Rasulullah SAW pernah berpesan agar laki-laki dan perempuan membangun sikap harmonis dan keserasian dalam melaksanakan tugas. Masing-masing memiliki kuasa atas ruang tanggung jawabnya. Rasulullah SAW bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan dimintakan pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Dan, seorang istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari-Muslim). Konsep Islam ini sangat indah. Peran dan tanggung jawab berbeda sesuai fitrahnya. Tapi, hasilnya dinilai sama. Kedua jenis makhluk Allah ini perlu bekerja sama secara harmonis dan simultan, bukan bersaing dan saling membenci. Disebutkan dalam surah Ali Imran: 195, “Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orangorang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah dari sebagian lainnya.” Dalam soal ibadah, Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki tidak boleh membanggakan diri, merasa lebih

kuat, dan lebih dekat kepada Allah. Dalam bidang pekerjaan, Syekh al-Sya’rawi mengatakan pada hakikatnya tidak dilarang wanita bekerja. Syaratnya, tidak sampai menjatuhkan kodratnya dan mengabaikan kewajiban sebagai istri. Bahkan, Islam membebaskan perempaun janda yang ditinggal suami untuk bekerja jika memiliki tanggungan nafkah keluarga di mana ia tidak memiliki suami atau saudara lelaki untuk memberinya nafkah. Ia dianjurkan mencari jenis pekerjaan yang sesuai dan memberi manfaat untuk masyarakat (Syekh al-Sya’rawi, Fiqh al-Mar’ah, tanpa tahun: hal 257). Pada zaman Nabi SAW, ada juga wanita yang pergi berperang atau berdagang. Asma’ binti Abu Bakar kerap membantu suaminya, Zubair bin Awwam, pergi ke kebunnya. Namun, ada ketentuan bagi Muslimah yang berkarier di ruang publik. Di antaranya, aman dari fitnah, yakni dari hal-hal yang membahayakan diri dan tidak bermaksiat, mendapat izin wali, atau suami. Menjadi ibu rumah tangga adalah paran utama Muslimah. Tapi, jangan lupa, menjalani profesi yang mulia ini (ibu rumah tangga) juga memerlukan ilmu dan keterampilan yang tinggi. Karena itu, di mana saja, kapan saja, dalam kondisi apa saja, laki-laki dan perempuan wajib mencari ilmu (thalabul ilmi) untuk keselamatan dunia akhirat. Suami-istri wajib bekerja sama agar rumah tangganya terwujud menjadi keluarga sakinah, penuh mawaddah wa rahmah. Tidak patut rumah tangga dibangun di atas konsep persaingan dan perseteruan gender, yang akhirnya menumbuhkan jiwa yang resah dan tali ikatan keluarga yang lemah dan mudah ‘bubrah’. Wallahu a’lam bish shawab. ■

Perbedaan



REPUBLIKA

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

KAMIS, 18 APRIL 2013

25

FEMEN: Feminis Ekstrem

F Akmal Sjafril Alumnus Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor

EMEN adalah sebuah nama yang mengundang banyak perhatian belakangan ini. Banyak orang terkejut karena aksi-aksinya yang provokatif meskipun sebenarnya gerakan ini telah berdiri sejak 10 April 2008 di Ukraina dan telah menyebar ke beberapa negara. Dalam laman situs resminya, FEMEN menjelaskan jati dirinya sebagai “...the scandal famous organization of topless women activists, who defend with their breast sexual and social equality in the world. (... organisasi yang terkenal karena skandal aktivis-aktivis perempuan yang bertelanjang dada yang dengan payudaranya mempertahankan kesetaraan seksual dan sosial di dunia).” Penjelasan ini bisa jadi membingungkan bagi sebagian orang sebab para aktivis FEMEN secara gamblang telah menyatakan bahwa aksi bertelanjang dada itu adalah identitasnya. Dengan demikian, para aktivis FEMEN haruslah bertelanjang dada dan tanpa bertelanjang dada, tidaklah bisa menyebut diri sebagai representasi FEMEN. Dalam laman situs yang sama, FEMEN menyebut para aktivisnya sebagai “...morally and physically fit soldiers, who every day make civil actions of the high degree of difficulty and provocativity. (... para prajurit yang kuat secara moral dan fisik yang setiap harinya melakukan aksi-aksi sipil dengan tingkat kesulitan dan provokativitas yang tinggi).” Berbicara soal provokasi, FEMEN sendiri memang secara terangterangan menyebut ideologinya sebagai sextremism. Dalam aksi-aksinya, para aktivis FEMEN selalu bertelanjang dada—kadang bertelanjang bulat—dengan menuliskan slogan-slogan di tubuhnya. Aksiaksinya ditujukan kepada tiga kelompok, yaitu diktator, gereja (institusi agama), dan industri seks. Selain menebar gambar-gambar bertelanjang dada di internet, mereka pun menggelar aksi di depan gereja, masjid, kedutaan besar, kantorkantor pemerintah, dan lain sebagainya. Tidak hanya menggelar demonstrasi, para aktivis FEMEN berkali-kali diciduk oleh keamanan setempat karena secara agresif mendekati, bahkan melakukan kekerasan kepada para tokoh. Baru-baru ini, FEMEN mencanangkan tanggal 4 April 2013 sebagai Topless Jihad Day sebagai bentuk protes mereka terhadap ancaman rajam yang diberikan kepada Amina Tyler, aktivis FEMEN asal Tunisia. Sebelumnya, Amina telah menyebarluaskan fotonya yang tengah bertelanjang dada dengan tulisan “Persetan dengan Moralmu” di tubuhnya. Ancaman rajam—yang konon telah diserukan oleh salah seorang pemuka Islam Tunisia—telah mendorong Amina untuk bersembunyi demi keselamatannya. Pada 3 April 2013, mereka membakar bendera bertuliskan “Laa ilaaha illallaah, Muhammadan Rasuulullaah” di depan sebuah Masjid di Prancis sebagai bentuk protes. Pada 4 April 2013, aksi digelar di depan Masjid di Kiev dan Berlin. Aksi serupa juga digelar pada hari yang sama di Brussels dan Kedubes Tunisia di Paris. Paling tidak, ada dua hal ‘unik’ yang ditawarkan oleh FEMEN ke dalam ranah pergerakan feminisme dunia. Pertama, FEMEN memperkenalkan jenis radikalisme baru dalam tren feminisme. Bukan hanya radikal dalam berpikir, FEMEN juga radikal dalam tindakan, yaitu dengan menyerang secara fisik

FEMEN adalah gambaran bagaimana kaum perempuan telah terjebak dalam arus liberalisme. tokoh-tokoh yang dimusuhinya. Kedua, tidak seperti beberapa gerakan feminisme yang lain, FEMEN secara tegas menentang prostitusi. FEMEN adalah gambaran bagaimana kaum perempuan telah terjebak dalam arus liberalisme. Dalam pandangan kaum sekuler-liberal, penetapan batas aurat adalah penindasan. Karena aurat perempuan dalam agama Islam lebih banyak, mereka pun berkesimpulan bahwa Islam adalah agama yang paling tidak ramah perempuan. Para pemikir liberalis dari kalangan Islam kemudian berupaya sebisanya mengkritisi standar aurat tersebut. Salah satunya adalah M Syahrur, seorang liberalis kelahiran Suriah yang berpendapat bahwa batasan aurat itu berangkat dari rasa malu (Daden Robi Rohman, majalah ISLAMIA, 2012). Dengan kata lain, aurat yang harus ditutupi hanyalah bagian tubuh yang membuat seseorang merasa malu jika ia terlihat. Bagaimana dengan mereka yang rasa malunya ‘minim’? Padahal, Nabi SAW sendiri menegaskan bahwa “Jika sudah tidak lagi merasa malu, perbuatlah semaumu.” (HR Bukhari). Artinya, rasa malu justru merupakan salah satu parameter keimanan. Kaum feminis menganggap bahwa Islam telah mengkriminalisasi perem-

puan hanya karena anggota tubuhnya. Dalam pandangan mereka, setiap perempuan memiliki hak sepenuhnya atas tubuh mereka sendiri. Feminisme sebagai anak kandung dari sekularisme dan liberalisme melupakan sepenuhnya bahwa tubuh mereka bukanlah milik mereka, melainkan milik Allah SWT. Kaum feminis di kalangan umat Muslim pun sudah banyak melupakan hal ini. Dengan alasan ini, mereka memperjuangkan hak aborsi (sebab janin yang menempati rahim mereka pun dianggap sebagai hak milik pribadi) dan juga hak untuk membuka aurat, seperti yang kerap dilakukan oleh para pendukung FEMEN kini. Kaum perempuan yang pemikirannya dipengaruhi oleh kaum feminis-liberalis kemudian menjadi kian terobsesi dengan tubuhnya sendiri. Bagi mereka, liberalisasi itu menjadi identik dengan membuka aurat. Mereka memaksakan pendapatnya sendiri bahwa perempuan yang berhijab itu telah tertindas meski mereka yang melakukannya justru tidak pernah merasa ditindas. Di media-media massa, tindakan para artis yang tampil seronok kerap disebut sebagai tindakan ‘berani’, seolah-olah apa yang dilakukannya itu telah mendobrak dominasi lelaki dan menyelesaikan permasalahan kaum perempuan. Berbagai kontes kecantikan yang

mempertontonkan aurat pun digelar. Kaum perempuan diajak untuk berlomba-lomba mendapatkan sebanyak-banyaknya dukungan dari juri dan soraksorai para penonton yang semuanya menyaksikan aurat mereka. Mereka yang menjuarai kontes-kontes semacam ini pun dinyatakan sebagai ‘wanita berprestasi’. Padahal, manfaat dari keikutsertaan dalam kontes-kontes tersebut—apalagi manfaat bagi masyarakat banyak—tidaklah jelas. Sementara, kaum perempuan terobsesi untuk mempertunjukkan auratnya sendiri, industri yang berhubungan dengan seks pun merajalela. Di dunia perfilman, banyak artis perempuan yang meniti karier dengan menjadi ikon seks dan hal itu dianggap normalnormal saja. Tentu saja, praktik pelecehan terhadap kaum perempuan tidak berkurang sebab mereka hanya dianggap sebagai alat pemuas kebutuhan seksual. Perempuan dianggap sebagai komoditas, bahkan perempuan sendiri sudah memandang tubuhnya sebagai aset semata sehingga pelacuran merebak di mana-mana. Uniknya, FEMEN mendukung pembukaan aurat, namun mengecam prostitusi, padahal keduanya sesungguhnya sangat berhubungan. Pada akhirnya, FEMEN pun terjebak dengan pemikirannya sendiri yang sangat dualis. Dengan bertelanjang dada, meneriakkan beberapa slogan, dan menyerang tokoh-tokoh masyarakat, mereka menyangka telah berbuat banyak untuk membela hak-hak kaum perempuan. Padahal, perbuatan tersebut tidak menyelesaikan permasalahan apa pun, mengganggu kenyamanan publik, tidak mengangkat martabat kaumnya, dan juga tidak mencerdaskan kaum perempuan. Akibatnya, FEMEN lalai mencarikan solusi dari problematika yang sesungguhnya dan lingkaran setan feminisme pun terus bergulir. ■

Gerakan ‘Kemarahan’ Perempuan

S Henri Shalahuddin Peneliti Insists

ejarah feminisme dalam melawan sistem patriarkisme sebenarnya bukan untuk menetralkan keberpihakan tatanan sosial kepada kaum Adam. Namun, perjuangan kaum feminis akhirnya justru ingin merebut peran publik laki-laki. Ambisi ini ditempuh elite feminis melalui jalur konstitusi. Joan Wallach Scott, seorang sejarawan Amerika berkewarganegaraan Prancis yang dikenal melalui kontribusinya di bidang sejarah feminis dan teori gender, menguraikan bahwa gender adalah unsur konstitutif dari hubungan sosial yang berdasarkan perbedaan-perbedaan antarkedua jenis kelamin. Gender juga berarti cara utama yang menandakan hubungan kekuasaan. (Joanne Meyerowitz, ‘A History of “Gender”, dalam The American Historical Review, vol 113, no 5, Desember 2008, hal 1355). Para filsuf, psikoanalis, dan kritikus sastra menyimpulkan bahwa bahasa perbedaan jenis kelamin telah menguatkan struktur sosial dan politik di Barat. Oleh karena itu, untuk merombak struktur sosial dan politik yang berprespektif jenis kelamin (sexist), Scott membangun konsep gender melalui konstitusi. (Joanne Meyerowitz, hal 1355-1356). Dalam konteks keindonesiaan, perjuangan membangun struktur sosial berbasis gender tidak langsung diwujudkan melalui konstitusi. Sejak 1990, feminis Indonesia telah aktif mendirikan kelompok studi wanita di beberapa universitas ternama yang kemudian berkembang menjadi Pusat Studi Wanita (PSW). Melalui kerja sama dengan beberapa pihak asing, di antaranya, McGill CIDA (Kanada), The Ford Foundation, The Asia Foundation, AusAID,

DANIDA The Royal Danish Embassy, dan didukung beberapa kementerian, khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, proses feminisasi pendidikan berkembang pesat di tingkat perguruan tinggi, terutama di PTAIN. Setelah meraup kesuksesan di bidang pendidikan, perjuangan kaum feminis kemudian berlanjut di dunia politik. Perjuangan mereka kembali menuai sukses dengan disahkannya undang-undang yang mempersyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam hal-hal berikut: a. kepengurusan partai politik di tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota b. pengajuan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD c. komposisi keanggotaan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota d. penetapan nomor urut bakal calon perempuan harus diletakkan pada nomor urut 1, 2, atau 3. Untuk mengawal terlaksananya angka 30 persen tersebut, UU mengharuskan KPU Pusat, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional. Tidak puas dengan pencapaian di atas, kini kaum feminis kembali berjuang untuk mewujudkan ambisinya berperan di ranah publik dan merombak struktur sosial melalui pengesahan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Dalam draf RUU-KKG yang sempat beredar, terungkap kemarahan terhadap struktur sosial yang didominasi lakilaki diekspresikan melalui hal-hal

berikut: 1. Memarginalkan nilai-nilai dan filosofi agama sebagai dasar yang menjiwai undang-undang. Sebab, ajaran agama sering dipandang menghambat konsep persamaan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan. 2. Menghapus otoritas agama dalam kehidupan pribadi dan sosial, khususnya dalam masalah perkawinan, perwalian, waris (sebagaimana diatur dalam RUU ini Pasal 12), kewajiban setiap warga negara untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender kepada anak sejak usia dini dalam keluarga (Pasal 15, huruf d), larangan melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu (Bab VIII, Pasal 67). 3. Lebih mengedepankan ideologi seksisme sebagai pijakan dasar pembuatan RUU. Hal ini tecermin, baik secara eksplisit maupun implisit, dengan banyaknya pasal yang memihak perempuan. 4. Menghapus keberagaman definisi “gender” yang masih menjadi isu kontroversial di kalangan akademisi dan menjadikannya sebagai definisi tunggal dan mengikat. Pada akhirnya, istilah “gender” tidak lagi bersifat netral, namun ia lebih digunakan untuk kepentingan kaum perempuan tertentu. 5. Memaksakan pemahaman empirismarxist dalam merumuskan makna istilah “kesetaraan” dan “keadilan” dengan “kesamaan” dan “persamaan”. Sehingga, segala bentuk “ketidaksamaan” bisa disebut sebagai “diskriminasi”, utamanya ter-

hadap perempuan. Hal ini diperkuat lagi dengan penjelasan “asas dan tujuan” dalam bab II, Pasal 2 dan 3. 6. Merombak landasan dan filosofi pembangunan sehingga lebih berorientasi pada ideologi jenis kelamin melalui konsep pengarusutamaan gender (PUG) dan anggaran responsif gender (ARG), serta mengawalnya dengan konsep analisis gender. 7. Memaksa pemerintah dan instansi terkait untuk melakukan intervensi dalam kehidupan keluarga dan hakhak sipil melalui pembentukan Focal Point PUG dan Pokja PUG. 8. Menyeragamkan atau paling tidak mengajak perempuan untuk memprioritaskan pilihan hidup dan keinginannya seperti apa yang dimaksud dalam RUU KKG ini. Sehingga, RUU ini hanya memfasilitasi ambisi kaum elite feminis. 9. Mengabaikan beberapa hal pokok yang menjadi hajat hidup setiap perempuan, misalnya, di bidang ketenagakerjaan, tidak ada pembahasan tentang waktu kerja yang lebih fleksibel bagi wanita yang berkeluarga atau memiliki anak balita, pemberlakuan masa cuti bergaji minimal setahun bagi wanita hamil/bersalin, dan lain-lain. Maka, berdasarkan uraian tersebut, tidak mustahil jika kaum feminis ke depannya ingin menerapkan asas tunggal berdasarkan seksisme—bukan kualitas dan proporsionalitas—sebagai landasan kegiatan-kegiatan pembangunan. Caranya, dipaksa tunduk pada konsep pengarusutamaan gender (PUG). Tentu saja, konsep antagonis berdasar “kemarahan” semacam ini tidak akan membawa pada kebahagiaan. Wallahu a’lam. ■

26

REPUBLIKA

KAMIS, 18 APRIL 2013

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

PROF DR ENG ZAKI SU’UD, GURU BESAR ITB

Umat Islam Perlu Menciptakan Success Story

B

agi mereka yang belum mengenalnya, Prof Dr Eng Zaki Su’ud mungkin terkesan seperti sosok pendiam dan agak tertutup. Namun, bila berdialog langsung dengannya, khususnya tentang ilmu fisika, kesan itu akan segera sirna. Ia adalah sosok yang sangat bersemangat bila bicara ilmu pengetahuan, apalagi soal fisika nuklir yang menjadi kepakaran pria kelahiran Wonosobo, 51 tahun silam, itu. Prof Zaki merupakan salah satu dari sedikit pakar teknologi nuklir di Indonesia. Ketika ditanya mengapa menekuni bidang nuklir, suami Astining Wahjoeniarty ini menjawab bahwa nuklir merupakan teknologi yang mempunyai impact yang besar. Hal itu karena besarnya kandungan energi yang tersimpan di dalam bahan nuklir. “Satu kilogram plutonium itu energinya setara dengan dua juta kilogram batu bara, alias dua juta kali lipat,” ungkap peraih gelar doktor dari Tokyo Institute of Technology itu. Selain itu, teknologi nuklir relatif bersih dan terbilang murah dibandingkan sumber energi lainnya. Adapun mengenai persepsi banyak orang yang menyebut teknologi ini berbahaya, justru menurutnya teknologi nuklir ini sangat aman karena kini sudah dikembangkan generator nuklir level ketiga dan keempat yang standar keamanannya sudah sangat maju. Standar keamanan industri nuklir saat ini malah, menurutnya, paling tinggi dibandingkan dengan industri lainnya. Jadi, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan. Lagi pula, aplikasi teknologi nuklir tidak hanya terbatas pada reaktor nuklir, tapi juga banyak bermanfaat dalam dunia kedokteran dan berbagai bidang industri. Sebagai seorang ilmuwan Muslim, guru besar yang sudah menjadi dosen Fisika FMIPA ITB sejak 1987 ini sangat menyadari perintah Alquran agar manusia senantiasa memperhatikan dan mempelajari alam. Menurutnya, alam diciptakan Allah penuh dengan berbagai potensi manfaat. Namun, banyak di antara manfaat itu baru bisa diwujudkan setelah dilakukan penelitian sains. Hal ini tentu merupakan tantangan bagi umat Islam walaupun harus diakui saat ini umat Islam agak tertinggal dalam hal ini. “Jadi, kalau kita memang ingin mewujudkan perintah Allah agar manusia menjadi khalifah fil ardh, umat Islam perlu mempelajari ayat kauniyah agar dapat diperoleh manfaatnya.” Itulah yang dilakukan ilmuwan Islam terdahulu, misalnya, ketika melakukan revolusi dunia kedokteran yang menjadi inspirasi bagi dunia kedokteran Barat. Untuk mewujudkan hal di atas, anggota senat FMIPA ITB ini menilai ada beberapa hal yang perlu dilakukan umat Islam. Pertama, umat Islam perlu membangun kultur akademik yang sehat. Hal ini diperlukan agar ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan baik. Ia sangat menyayangkan susahnya memberan-

MISYKAT

Direktur INSISTS

di luar negeri. Bagi ayah dari empat anak ini, keberhasilan metode Iqra merupakan sebuah revolusi sebab mengubah konsep pendidikan Alquran yang sebelumnya bersifat sporadis—misalnya, hanya pada bulan Ramadhan—menjadi lebih sistematis dengan kalender pendidikan yang lebih jelas. Tidak dapat dimungkiri bahwa metode Iqra telah berhasil mengangkat pamor pengajaran Alquran secara luas. Kisah sukses seperti metode Iqra ini hendaknya juga diupayakan bidang-bidang lain yang strategis, salah satunya sains dan teknologi. Misalnya, para ilmuwan Muslim bisa membentuk pusat penelitian pertanian tempat berhimpun para peneliti Muslim terbaik sehingga bisa menopang ketahanan pangan umat Islam sehingga tidak perlu menggantungkan kebutuhan pangannya kepada negara lain. Ketika disinggung soal sains Islam atau Islamisasi sains, Prof Zaki mengakui bahwa way of life (pandangan hidup) sangat menentukan ke mana arah sains akan dikembangkan. Di dalam Islam, pengembangan sains lebih ditekankan kepada aspek kemaslahatan bagi masyarakat, bukan sains untuk sains. “Dalam Islam tidak ada sains untuk mengembangkan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya atau sesuatu yang bersifat negatif,

misalnya, sains untuk mengembangkan minuman keras.” Sains untuk kemaslahatan ini mestinya merupakan fardhu kifayah bagi para ilmuwan. Dengan kaidah fardhu kifayah inilah, para ilmuwan bersama komponen masyarakat lainnya (pemerintah, pengusaha, dan lainnya) akan berupaya keras mewujudkannya meskipun hal itu sangat sulit diwujudkan. Tanpa kaidah fardhu kifayah maka usaha ini akan dilakukan ala kadarnya saja, apalagi bila tidak didukung oleh dana yang memadai. Meskipun wacana sains Islam ini sudah lama bergulir, namun gagasan ini harus dapat dibuktikan dengan success story. Jika tidak, Prof Zaki memperkirakan gagasan ini akan berhenti sebagai wacana saja. Oleh karena itu, dibutuhkan visi yang besar, keseriusan, ketekunan, dan kerja sama antara komponen umat untuk mewujudkan hal ini. Peran ini sebenarnya bisa dimainkan oleh perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia dengan cara membuat berbagai pusat riset (research centre) mengenai berbagai bidang keilmuan. Jika wacana ini berhasil menjadi success story, pengaruh sosialnya akan sangat besar dan orang-orang akan berduyunduyun mengikutinya. ■ wendi zarman, fanni suyuti

Martabat Wanita

P

Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Dokpri

tas kultur menyontek di Indonesia yang semakin menjadi-jadi, apalagi setelah berlakunya kebijakan ujian nasional (UN). “Sangat ironis sebenarnya, kita sebagai bagian dari umat Islam, namun penghargaan kita terhadap kejujuran sangat rendah,” ujar peneliti yang telah menelurkan lebih dari 200 karya ilmiah yang dimuat di berbagai jurnal nasional maupun internasional tersebut. Kedua, umat Islam perlu mengembangkan etos kerja yang senantiasa berusaha menghasilkan karya terbaik. Umat harus dididik agar menghilangkan kebiasaan menerobos jalan pintas untuk mendapat kemudahan atau kekayaan secara salah. Sebab, cara-cara tersebut pastilah berujung pada keburukan. Misalnya, jalan pintas di dunia politik atau birokrasi ujungujungnya adalah korupsi. Padahal, ulama-ulama kita dahulu terkenal sebagai orang-orang yang ulet dan pekerja keras serta memiliki sifat ingin tahu terhadap sesuatu dan mengubahnya menjadi sesuatu bermanfaat. Ketiga, untuk mengubah masyarakat menjadi umat terbaik, kita perlu membuat success story (kisah sukses) yang kemudian menjadi contoh bagi yang komunitas Islam lainnya. Salah satu contohnya adalah metode pembelajaran Alquran Iqra yang kini bukan saja dipraktikkan di seluruh pelosok Tanah Air, tapi juga

ada tahun 1997 ketika Lady Diana meninggal dalam sebuah kecelakaan di Paris. Sebuah media di Indonesia membuat laporan utama lengkap. Yang menarik pada laporan itu penulisnya mengakhiri dengan kalimat pendek “memang di dunia ini ada dua hal yang selalu menarik dibahas yaitu kuda dan wanita”. Nampaknya kata-kata itu menyitir pernyataan Rudyard Kipling (1865 –1936) peraih hadiah Nobel bidang sastra dari Inggeris. Kipling menulis “empat hal yang terpenting dari yang terpenting adalah wanita, kuda, kekuasaan dan peperangan”. Rudyard Kipling tidak salah karena itulah kondisi masyarakat Barat. Sama dengan Kipling, Alquran menjelaskan bahwa manusia dihiasi dengan kesukaan terhadap wanita dan kuda pilihan. Tapi lebih dari itu juga diberi kesukaan terhadap anak-anak, harta banyak dari jenis emas dan perak, binatang ternak dan sawah ladang atau katakanlah bisnis. Alquranlalu menggaris bawahi bahwa itu semua adalah kesenangan hidup di dunia belaka. (QS. 3:14). Tentu, apa yang dikatakan Rudyard Kipling itu berbeda maksudnya dari alquran. Kipling seperti memberi tahu ada empat obyek penyaluran nafsu-nafsu dan itu semua “great thing”. Tapi Alquran justru mewanti-wanti bahwa ada enam kesenangan hidup di dunia dan Muslim perlu mengarahkan tujuannya ke akhirat. Maka

wajar jika nasib wanita di Barat berbeda dari derajat wanita (nisa’) dalam Islam. Di Barat wanitanya menuntut kehormatan dengan kesejajaran dan kesetaraan dalam segala hal. Sistim sosial yang berfaham kesetaraan ternyata tidak membuahkan kehormatan bagi wanita. Ternyata perlakuan masyarakat Barat terhadap wanita lebih buruk daripada masyarakat Islam. Buktinya, tingkat perkosaan tertinggi di dunia ternyata bukan negara-negara Islam, tapi negara-negara Barat. Menurut satu sumber tingkat perkosaan tertinggi adalah Amerika Serikat. Sumber yang lain menyebutkan Swedia adalah negara dengan tingkat perkosaan tertinggi di dunia. Peringkat sesudahnya adalah Inggris dan disusul oleh Jepang. Di Amerika perkosaan terjadi setiap 90 detik, sehingga data umum menyebutkan bahwa 22 juta wanitanya telah mengalami perkosaan dalam hidup mereka. (US Department of Justice, 2000 & National Intimate Partner and Sexual Violence Survey 2010). Di Perancis 25 ribu wanitanya diperkosa setiap tahun (European Women's Lobby, 2001). Dalam masa perang di Bosnia dan Herzegovina antara 1992-1995 diperkirakan 20-50 ribu wanitanya diperkosa. Dan kebanyakan wanita Bosnia adalah Muslimah. Tingkat perkosaan di negara-negara Arab adalah nomer ke 100 lebih. Kebebasan wanita yang menuntut kesetaraan di Barat berdampak diantara-

nya pada perilaku seks bebas atau lesbianisme. Tak pelak lagi, di kota-kota besar Eropah, Afrika dan Amerika Utara penyakit AIDS menjadi penyebab kematian wanita berusia antara 20-40% (UNAIDS, 2003). Bahkan di sana penyakit HIV diderita oleh remaja berusia 15-24 tahun dan kebanyakannya (lebih 60%) adalah wanita. Mungkin apa yang oleh Rudyard Kipling disebut “great” karena memang wanita di Barat menjadi tumpuan nafsu birahi lelaki dan harus dibela dan dilindungi. Tapi bagaimana caranya? Bermasalah. Syariat Islam jelas-jelas melindungi wanita dengan caranya sendiri. Tapi anehnya Muslim sekuler liberal yang Western minded menuduh syariat Islam itu menindas wanita. Tapi fakta-fakta di atas jelas siapa yang menindas dan melecehkan wanita. Syariat Islam menjaga kehormatan wanita dari kejahatan seks. Syariat Islam memarbatkan wanita tanpa perlu mensejajarkan wanita dengan pria dalam segala hal. Islam memiliki konsepkonsep aurat, muhrim, qawwamah, mithaq, dan sebagainya. Laki-laki Muslim diperankan sebagai pelindung dan pemimpin wanita, bukan sebaliknya. Cara Islam memartabatkan wanita tidak melulu dalam konteks sosial. Dari kehormatan individual wanita sudah dilindungi dengan batas-batas aurat. Dari kehormatan institusional (keluarga) wanita adalah standard surga dan neraka anak-anaknya (al-hadith). Wanita adalah

penjaga benteng institusi rumah tangga. Dalam konteks sosial wanita bersama laki-laki adalah warga masyarakat. Ia dilindungi, dihormati, dan bahkan dipimpin oleh laki-laki secara hati-hati dan terhormat tanpa pelecehan. Muslim boleh sesumbar “jika ingin terhormat jadilah wanita muslimah”. Sebab jika anda menjadi wanita bergaya Barat anda harus siap dilecehkan. Mungkin celotehan pemimpin redaksi Koran Jyllands-Posten ada benarnya. Ketika korannya memuat kartun Nabi Muhammad dan diprotes oleh dunia Islam ia menjawab begini:”Jika para wanita tidak ingin diperkosa jangan memakai rok mini di dalam bar”. Qiyasnya begini kalau agama anda tidak mau dilecehkan jangan hidup di negara Barat yang sangat bebas ini. Baik, jika pernyataan pimred JyllandsPosten benar-benar difahami secara verbatim dan di paraphrase bunyinya sungguh menarik. “Jika para wanita Muslimah tidak ingin diperkosa dan menjadi obyek pelecehan, janganlah meniru gaya wanita Barat dan jangan menuntut hak seperti para wanita Barat, jangan ingin kesetaraan penuh di semua bidang”. Itulah maksud al-Qur’an, meski manusia diberi sifat dan nafsu pada enam hal yang disebut di atas termasuk wanita, tapi ia harus tetap memperlakukannya sesuai dengan tatanan syariat. Sebab wanita akan menjadi bermartabat apabila ia mengikuti syariat. ■