oleh nama-nama baru yang lebih fenomenal, seperti Ayu Utami, Gus tf Sakai,
Joni. Ariadinata, atau Dewi Lestari. Padahal, sejumlah karya Sindhunata, seperti
...
Kearifan Lokal dalam Menanggapi Zaman pada Karya-karya Sindhunata M. Yoesoef
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Abstrak
Kearifan Lokal dalam Menanggapi Zaman pada Karya-karya Sindhunata M. Yoesoef Tidak banyak pemerhati sastra di Indonesia yang menelaah karya-karya Sindhunata. Sejak novelnya yang berdasarkan epos Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin, yang terbit hampir dua puluh tahun lalu, nama Sindhunata seolah tenggelam begitu saja disapu oleh nama-nama baru yang lebih fenomenal, seperti Ayu Utami, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, atau Dewi Lestari. Padahal, sejumlah karya Sindhunata, seperti Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram Duka (sebuah novel yang diilhami oleh lukisan celeng karya pelukis Djoko Pekik), Semar Mencari Raga, dan Air Kata-kata (sebuah kumpulan puisi), menunjukkan kepada kita proses kreatifnya tidak pernah luntur. Hal yang menarik dari karya-karya Sindhunata itu adalah kekuatan warna lokal (budaya Jawa) yang secara ekspresif mampu mendedahkan berbagai permasalah nasional yang dialami bangsa Indonesia. Kearifan lokal, yang bersumber pada budaya Jawa, digunakan Sindhunata sebagai kerangka acuan dalam membahas fenomena sosial dan budaya yang berkembang, khususnya pada masa orde baru.
Kearifan Lokal dalam Menanggapi Zaman pada Karya-karya Sindhunata M. Yoesoef Pembuka Tidak banyak pemerhati sastra di Indonesia yang menelaah karya-karya Sindhunata. Sejak novelnya yang berdasarkan epos Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin, yang terbit hampir dua puluh tahun lalu, nama Sindhunata seolah tenggelam begitu saja disapu oleh nama-nama baru yang lebih fenomenal, seperti Ayu Utami, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, atau Dewi Lestari. Padahal, sejumlah karya Sindhunata, seperti Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram Duka (sebuah novel yang diilhami oleh lukisan celeng karya pelukis Djoko Pekik), Semar Mencari Raga (novel), dan Air Kata Kata (kumpulan puisi), menunjukkan kepada kita proses kreatifnya tidak pernah luntur. Hal yang menarik dari karya-karya Sindhunata itu adalah kekuatan warna lokal (budaya Jawa) yang secara ekspresif mampu mendedahkan berbagai permasalah nasional yang dialami bangsa Indonesia. Kearifan lokal, yang bersumber pada budaya Jawa, digunakan Sindhunata sebagai kerangka acuan dalam membahas fenomena sosial dan budaya yang berkembang, khususnya pada masa orde baru.
Dalam tulisan ini dibahas karya-karya Sindhunata, berupa tiga novel yang berjudul Anak Bajang Menggiring Angin (1984), Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000), Semar Mencari Raga (1996), dan sebuah kumpulan puisi Air Kata Kata (2003). Keempat karya ini hanya sebagian dari karya sastranya. Karya yang lainnya adalah Air Penghidupan dan Mata Air Bulan belum saya dapatkan. Oleh karena itu, pemilihan keempat karya di atas semata-mata atas ketersediaan bahan itu pada saya.
Ada yang beda pada karya-karya Sindhunata, yaitu karya-karyanya banyak terinspirasi karya orang lain. Novelnya berjudul Semar Mencari Raga (Kanisius, Yogyakarta, 1996), misalnya, banyak diilhami oleh lukisan tentang Semar karya Agung Leak Kurniawan, Djoko Pekik, Hanura Hosea, Hari Budiono, Ong Harry Wahyu, Hendro Suseno, Murtianto Antik, dan Suatmaji, serta lakon “Geger Semar” yang dibeberkan Ki Bambang Suwarno Sindutanaya kepada Sindhunata. Sementara itu, pada novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram Duka (Gramedia, Jakarta, 2000), Sindhunata banyak menangguk ilham dari lukisan-lukisan Djoko Pekik seperti "Susu Raja Celeng", "Indonesia 1998 Berburu Celeng", dan "Tanpa Bunga dan Telegram Duka Tahun 2000". Sementara itu, Air Kata Kata mengalirkan inspirasi bagi 23 perupa untuk ambil bagian dalam penggarapan buku ini. Meski demikian, Sindhunata menggarisbawahi bahwa karya para perupa tersebut tidak boleh ditangkap sebagai tafsiran, ilustrasi, ataupun pelengkap atas kata-katanya. Karena, pada faktanya, karya mereka pun bisa dinikmati lepas dari Air Kata Kata, yakni sebagai karya rupa yang berkata-kata.
Anak Bajang Menggiring Angin “Anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini telah kehilangan ayah-ayah mereka yang mati dalam peperangan. Tapi tiada kesediahan pada mereka. Tiada dendam dan permusuhan di antara mereka. Dan tiada peduli mereka akan api yang menjilat-jilat kejam Dewi Sinta. Hanya bersukacita ada dalam diri mereka. Mereka terus bersenda gurau.Lari berkejar-kejaran. Main gajah-gajahan. Berguling-guling di tanah sambil bersorak riang. Rukun dan damailah hati anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini. Dan mereka tiada berpikir apa-apa, kecuali bergembira. Kegembiraan mereka seakan mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka.”
Itulah cuplikan bagian akhir dari Anak Bajang Menggiring Angin. Suasana riang layaknya dunia anak-anak yang waktunya hanya diisi dengan main dan bermain. Situasi ekuilibrium yang damai dan gembira itu bertolak belakang dengan bagian awal kisah ini. Mendung bagaikan bidadari menangis di Negeri Lokapala. Air matanya jatuh berupa batu-batu hitam menutupi kehijauan rerumputan. Kesunyian tanpa bintang. Kesedihan tanpa bulan. Malamnya berhias dengan ratapan awan-awan tebal. “Nak, kenapa kautatap langit dalam kedinginan?” tanya Begawan Wisrawa. “Ayah, lihatlah Dewi Sukesi di ufuk timur. Kedua matanya bagaikan matahari kembar. Tapi sinarnya tak sampai di hatiku yang kedinginan. Ia menaburkan bunga dari angkasa, runtuh seperti emas-emas jatuh. Tapi emas-emas berubah menjadi karang-karang tajam yang menghempaskan Negeri Lokalpala kecintaanku,” jawab Prabu Danareja, anak Begawan Wisrawa, yang menjadi raja Negeri Lokapala.
Keberangkatan kisah Ramayana bermula dari petaka yang ditimbulkan oleh keinginan yang kuat Dewi Sukesi memahami Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sebuah ajaran ilmu kesempurnaan; sebuah ajaran tentang penguasaan pancaindera. Kisah ini adalah cerita tentang bagaimana manusia mengendalikan hawa nafsu yang dianalogikan lewat pancaindera, dan upaya mengendalikan hawa nafsu itu tidak mudah dan menimbulkan berbagai persoalan lainnya. Perwujudan hawa nafsu itu sendiri tergambar melalui empat anak Wisrawa dan Sukesi yang kemudian menjadi simbol sifat dasar manusia, yakni angkara (Rahwana), penyesalan (Kumbakarna), nafsu seks (Sarpakenaka), dan kebijaksanaan serta cinta (Gunawan Wibisana). Dan Sukesi pun melahirkan kandungannya, beriringan dengan gempa bumi tujuh kali. Ia seperti mau mati ketika melihat bahwa bukan bayi yang dilahirkannya, tapi darah, telinga, dan kuku manusia. Tak lama kemudian darah itu menjadi anak dengan sepuluh muka raksasa. Telinga menjadi anak raksasa sebesar Gunung Anakan. Dan kuku manudia menjadi raksasa wanita yang tidak sedap baunya. “Sukesi, itulah wujud dosa-dosa kita,” kata Wisrawa... Ketika kembali ke Alengka, Wisrawa dan Sukesi melahirkan seorang putra lagi, yang diberi nama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berupa manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena ia lahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu Sukesi dan Wisrawa. (30—31)
Di bagian lain novel ini, sebuah kearifan budaya yang bertumpu pada kepercayaan tentang mimpi sebagai petanda digambarkan melalui kisah Anoman yang berusaha menemui pamannya, Sugriwa di Gunung Maliawan. “Hamba mengetahuinya lewat mimpi, Baginda.”... “Anoman, mimpi apa gerangan yang membimbingmu kemari,” tanya Rama lagi. “Dalam malam yang menjadi aneka bunga, hamba melihat kartika yang membentuk ansara wa. Di hadapan hamba, seekor kera tua naik kereta awan. Kereta itu terhenti, terhalang oleh lautan darah, sedangkan hamba tiada merasa terhalang sama sekali olehnya, malah bagi mata hamba serasa ada jembatan emas yang mudah hamba lalui. Kera tua itu terkejut, dan ketika sampai di hadapannya, hamba dipeluknya dengan mesra. Betapa bahagia hamba, ketika kera tua itu memperkenalkan dirinya sebagai paman hamba, Subali. Lalu, ia memerintahkan hamba untuk pergi ke bukit Maliawan, dan di sanalah hamba akan bertemu dengan paman hamba, Sugriwa, yang kini sedang mengabdikan diri pada Ramawijaya,” tutur Anoman. (158—159)
Melalui kisah epos Ramayana, Sindhunata menghadirkan sisi-sisi manusia dan kemanusiaan dari para tokoh epos tersebut. Pergulatan batin yang dikontraskan dengan nasib dan kewajiban mereka dalam mengusung kisah klasik tentang kebenaran dan
kejahatan tampil secara puitis dan menyentuh kita sebagai pembacanya. Novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah puncak penggarapan epos Ramayana yang tiada duanya. Kedalaman sisi kemanusiaan tampil dengan sangat mengesankan. Novel ini menunjukkan sebuah keberhasilan mendefinisikan kembali posisi tokoh-tokoh Ramayana dalam konteks pembaca masa kini.
Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram Duka Keretaku Tak Berhenti Lama. Itulah judul sebuah lagu anak-anak, yang dulu suka dinyanyikan di sekolah-sekolah rakyat. Sebuah lagu gembira, yang mengajak anak-anak naik kereta, ke Bandung – Surabaya. Siapa saja boleh ikut, tak usah takut. Bolehlah kamu naik dengan percuma. Ayo kawanku, cepat naik, keretaku tak berhenti lama.
Itulah kutipan pada awal novel ini. Sebuah lagu anak-anak yang menggambar-kan kegembiraan menaiki kereta api. Tergambar pula dari nyanyian itu gerakan dan perilaku anak-anak yang berbaris memanjang sambil berdendang. Namun, permainan anak-anak itu lambat laun menjadi sebuah suasana muram penuh penderitaan dari untaian manusia. “Keretaku Tak Berhenti Lama”, Itulah judul yang dipilih si pelukis bagi salah satu lukisannya. Sebuah lukisan muram yang mengajak orang bermenung tentang penderitaan dan beban kehidupan. Warna lukisan itu merah kecoklat-coklatan, warna kegelapan tanah yang memaksa orang memasuki dunia yang suram. Sebuah kereta tua, panjang tapi reyot, melewati rel dengan terseok-seok. Kereta itu sangat panjang, hanya kepalanya yang jelas tampak, ekornya hampir tak kelihatan. Sepertinya, bukan kereta api yang sedang lewat, tapi massa manusia, yang mengular panjang. Ular-ularan panjang manusia inilah yang membentuk dan menciptakan gambaran gerbonggerbong kereta.
Pemandangan yang tergambar dari lukisan itu kemudian dipertajam dengan deskripsi yang mengingatkan pada sebuah penderitaan akibat salah urus, sebagaimana dilihat pada kutipan berikut. Kereta itu penuh sesak dengan manusia. Manusia-manusia mengerumun di atas atap kereta. Tak terbayangkan, bahwa di dalam kereta itu masih ada lagi tempat tersisa yang dapat dijejali dengan tambahan manusia. Memang kereta itu sudah bukan lagi kereta, tapi kereta ular-ularan kerumunan manusia.
Gambaran tersebut mengawali novel ini, yang intinya sebuah penggambaran si pelukis tentang penderitaan rakyat. Melalui lukisan itu, dan juga lukisan-lukisan lainnya, si pelukis (dan Sindhunata) berangkat bersama-sama membahas apa yang menyebabkan terjadinya untaian ular-ularan manusia yang menderita itu. Hanya ada satu tujuan dari pelukisan penderitaan itu, baik bagi si pelukis maupun Sindhunata, yaitu bahwa di balik
semua itu tersimpan harapan yang mungkin dicuri dari KENYATAAN yang sama sekali jauh dari cerminan harapan.
Novel ini terdiri dari 13 bagian yang setiap bagiannya diberi judul sebagai berikut, “Melepas Celeng”, “Jauh Sebelum Celeng”, “Susu Raja Celeng”, “Berburu Celeng”, “Kutukan Zaman Celeng”, Sayup-sayup Wajah Celeng”, “Kampanye Menangkap Celeng”, Kupu-kupu Celeng”, “Geger Celeng”, “Tipu Gendam Celeng”, “Oseng-oseng Celeng”, “Air Mata Celeng”, “Kesepian Celeng”, dan “Tak Enteni Keplokmu”. Tiap bagian itu menunjukkan episode perjalanan Sang Celeng dari awal hingga akhir perjalanannya. Metafora celeng dalam novel ini dengan jelas dapat dirunut pada orang nomor satu di Republik Indonesia, seperti pada kutipan berikut.
“Susu Raja Celeng”, itulah judul lukisan pertamanya tentang celeng. Dalam lukisannya itu ia menggambarkan seekor celeng raksasa tengah ngodong, walaupun perutnya sudah menggendut dan menggelembung dan keenam susunya sudah mentes-mentes. Toh kepala celeng itu masih menyeruduk seakan belum kenyang-kenyang. Tanah di bawahnya penuh dengan darah. Di seberang sana, kelihatan ribuan manusia. Mereka seakan hendak menangkap celeng, tapi antara mereka dan si celeng masih terbentang jurang yang lebar, sehingga si celeng masih nggleleng. “Susu Raja Celeng” ini lahir waktu seniman-seniman di daerahnya memamerkan lukisanlukisannya dalam rangka memperingati sewindu jumenengan penguasa tradisional setempat. Tema yang dipilih untuk pameran itu adalah “Bercermin di Kalbu Rakyat”... “Saya ingin melukis ssuatu bukan hanya untuk cerminan penguasa setempat tapi bagi siapa saja yang mempunyai kekuasaan,” kata si pelukis ... “Saya mau memberi contoh, tapi caranya dengan memberi contoh yang jelek. Kalau mau jadi raja, jadilah raja celeng, nanti kamu tahu sendiri akibatnya,” jawabnya. Tampak ia memakai jalan pikiran ex negativo. Ia tidak mencari kebenaran, tapi menampilkan kebohonan agar orang tahu mana kebenaran. Ia tidak mengetengahkan yang baik, tapi menampilkan yang jelek, agar orang sampai pada yang baik. Maka kalau mau menjadi raja yang baik, jangan menjadi celeng, karena itu ia perlu tahu apakah celeng. “Jangan main-main dengan tahta untuk rakyat. Menjadi raja itu tidak mudah. Ia harus bertanggung jawab karena memimpin rakyat di seluruh negara. Kalau tidak bertanggung jawab, ia hanya akan menjadi raja celeng,” katanya (hlm. 36).
Air Kata Kata Puisi yang terdapat pada buku ini berjumlah 71 buah. Hal yang mencolok dari kumpulan puisi ini adalah sebagian besar puisi Sindhunata itu diberi aksentuasi gambar grafis yang dikerjakan oleh para perupa. Sebagian kecil saja puisi yang tidak dibuatkan gambar grafisnya (sembilan puisi), tetapi terdapat pola penyusunan larik yang kreatif, seperti pada salah satu contoh berikut.
[gambar] Menurut Sindhunata, karya-karya grafis mereka itu hendaknya dinikmati lepas dari Air Kata Kata, yakni sebagai karya rupa yang berkata-kata. Kolaborasi antara susunan kata/larik dengan ilustrasi (gambar) demikian menyatu, sehingga keberadaan gambargambar itu melengkapi efek visual pada pembaca, yaitu selain membaca larik saja sekaligus juga menikmati karya seni rupa yang dibuat oleh 23 perupa untuk ambil bagian dalam penggarapan buku ini.
Buku Air Kata Kata ini sesungguhnya hanyalah kata-kata tentang apa saja yang dijumpai, dialami, dan dirasakan penulisnya. Banyak hal yang dijumpai, mulai dari yang suci hingga yang kotor, dari yang atas sampai yang bawah, dari yang rasional hingga yang irasional, dari doa hingga sumpah serapah, dari Tuhan hingga manusia. Semuanya dikemas dalam bentuk puisi yang mengalir tanpa beban. Dari segi bahasa yang dipakai dalam puisi-puisinya sangat beragam. Hal itu sangat disadari Sindhunata karena untuk menuliskan realitas empiris yang dijumpai, dialami, dan dirasakan seseorang memang terlalu sempit untuk diwadahi dalam satu bahasa. Katakata bahasa Indonesia, kata Sindhunata, ternyata tak cukup untuk menjadi wadah dan ungkapan bagi semua perjumpaan, pengalaman dan perasaan. Keterbatasan bahasa itulah yang kemudian justru menunjukkan kekuatan karya-karya Sindhunata dala hal menuliskan pengalamannya dengan menggunakan bahasa ibu, yakni bahasa Jawa. Tak hanya bahasa Jawa, Sindhunata juga menggunakan bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Inggris, Jerman, Latin, dan tentu saja bahasa Indonesia. Seluruhnya campur baur, lepas tak beraturan. Puisi dalam buku ini menggambarkan beraneka ragam tema yang diangkat, mulai dari Tulkiyem, potret gadis Jawa yang njawani hingga keinginan Tulkiyem pergi ke bulan naik dokar. Tulkiyem memang potret perempuan Jawa yang demikian memesona Sindhunata. Bukan soal rupa, tetapi kepasrahannya pada takdir tanpa kehilangan semangat hidupnya. Lagu bernada humor yang populer di masyarakat Jawa, seperti "Oh Tulkiyem Ayu/ Areke lemu asale Batu/ Rupane sumeh ngguya-ngguyu," menjadi puisi
pembuka. Puisi ini melukiskan tentang kesabaran dalam meraih cita. "Uripe nrimo ngga nyasar-nyasar" (hidupnya menerima apa adanya, tak tersesat). Berikut petikan dari sajak itu. Oh Tulkiyem ayu Areke lemu asale Batu Oh Tulkiyem ayu Rupane sumeh ngguya-ngguyu. Oh Tulkiyem lemu Numpak dhokar jarane telu Oh Tulkiyem lemu Doyanne lonthong tahu. [....] Oh Tulkiyem eblas Kepanasen kipas-kipas Oh Tulkiyem eblas Gak sugih bandha atine bebas Oh Tulkiyem medhut Nek mijeti dhadhane mendat-mendut Oh Tulkiyem medhut Nak awak rasane sadhut senut. [....] Oh Tulkiyem sabar Munggah bulan numpake dhokar Oh Tulkiyem sabar Uripe nrima gak nyasar-nyasar. Tuku jemblem nang Yu Tulkiyem Atur kawula cekap semanten.
Begitu Sindhunata menggambarkan kesabaran seorang Tulkiyem yang njawani itu. Bisa jadi ini adalah sindiran bagi kehidupan modern yang penuh dengan ambisi dan keserakahan sehingga mendorong orang menghalalkan segala cara. Di bagian lain, Sindhunata mengungkapkan zaman edan yang telah dikemukakan pujangga Ranggawarsita. Sajak berjudul “Jula-juli Zaman Edan” yang terdiri dari 15 bait itu mengungkapkan tentang kebobrokan politik Indonesia dan akibatnya pada rakyat Berikut beberapa bait di antaranya. Zamane zaman edan munggah mbulan numapke dhokar politik saiki dadi dhangdhutan rakyate kere entek digoyang. Sing penting ora kurang mangan. Mangan tempe iwake tahu Uteke memble morale kleru.
Zamane zaman edan tuku manuk oleh kurungan politike kentekan program bokonge Inul didol gram-graman. Inul-Inul bokong-bokongan. Politike mungkret dadi sakbokong elite nggedobos omong kosong. Zamane zaman edan Wedhang kopi gulane tebu rakyat gak eruh sapa sing digugu elite kabeh gak kenek ditiru Kabeh nurut udele dhewe. Nguyuh mbengi nyirami latar elite muntah rakyate lapar.
Sindhunata dari satu puisi ke puisi lain bergerak membahas kebobrokan bangsa. Sebagai ekspresi pengalaman dan perasaan puisi-puisi Sindhunata tampaknya tak lepas dari refleksi mendalam dirinya atas persoalan-persoalan kemanusiaan. Sindhunata melalui puisi-puisinya telah "memulung" sekaligus memelihara kekayaan budaya seperti pada sajak “Lir-ilir” yang merupakan sebuah tembang Jawa. Lir ilir, lir ilir Telah tumbuh tanamanmu, Hijau-hijau semilir, Sudah datang pengantin baru, Anak-anak gembala, Memanjat pohon belimbing, Licin berlinggir-linggir, Berlengkai ramping di gunungnya, Berceruk lerung di jurangnya, Turun naik anak-anak gembala, Di pohon belimbing, Lima berlingir, Panjat-panjatlah belimbing itu, Jangan kau takuti licin pinggirnya Belimbing muda lima lingirnya, Mencuci putih noda sarungnya. Lir ilir, lir ilir, Sarungmu sobek semilir, Jahitkan pada bulan berjarum lima, Lima lingir buah belimbing, Airnya mencuci lima inderamu, Dadamu tertusuk jarum bulan, Busanamu berlubang senja Lir ilir, lir ilir Lihatlah, sedang bundar bulannya, Sedang luas kalngannya,
Jangan kau lupa, anak-anak gembala Bersorak bersama bulan purnama Bersorak bersama bulan purnama
Puisi-puisi Sindhunata dalam kumpulan Air Kata-kata di sana-sini terdapat renungan introspektif yang sesungguhnya jadi tamparan keras pada demoralisasi manusia abad ini. Sindhunata bicara tentang betapa bejatnya manusia, kebejatan faktual, bukan sekadar kebejatan normatif. Sajak “Menguak Selendang Maya” mengungkapkan seperti "... pada mulanya, kita adalah celeng...", ilustrasinya menggunakan lukisan “Celeng” Joko Pekik, yang menggambarkan celeng rakus yang moncongnya panjang, taringnya seram, sorot matanya bernafsu. Atau pada sajak lainnya, yaitu “Kutukan Asu” Sindhunata mengungkapkan apa, siapa, dan bagaimana anjing itu. Aku ini bukan binatang jalang Aku ini hanya kewan omahan. Aku ini asu. Asu, Su! Tak ada peluru menembus kulitku Tapi cerca dan nista setiap hari mengiris hatiku: Asu kowe! Tak ada hari berlalu Tanpa makian itu. Aku ini bukan binatang jalang Aku ini hanya binatang sembelihan Tak mungkin aku hidup seribu tahun lagi Hari ini pun mungkin saja aku mati: di-Erwe! Aku ini asu. Asu, Su! Pada manusia, Su itu baik Sukarno, artinya Karno yang baik Suharto, asrtinya Harto yang baik, Sutanto, artinya Tanto yang baik. Mengapa padaku yang asu ini Su artinya jelek? Apakah hanya karena kata Su itu Bukan terletak di depan tapi di belakang namaku Maka padaku Su itu lalu berarti: Bajingan, maling, gentho, bangsat, kecu, Biadab, durhaka, terkutuk, jahat, dan penipu? Cobalah kalau begitu Baliklah Sutanto jadi Tanto Su, Tidakkaha artinya lalu bukan lagi Sutanti itu Tapi Tanto, provokator seni dari Mendhut itu? Boleh saja kaubalik Sutanto jadi Tanto Su Tapi jangan coba lakukan itu untuk Sukarno atau Suharto Berani kaulakukan itu Kau akan di-kolo seperti asu.
Dalam karya-karya itu terasa adalah komitmen Sindhunata pada kaum marjinal, kelompok tertindas dan teraniaya. Dalam karya-karya itu, dengan gaya ungkap yang tak menggebu-gebu, Sindhunata bicara tentang korupsi, bobroknya penegakan hukum, kemunafikan yang dibungkus dengan simbol-simbol agama. Pendek kata, kekuasaan yang ternyata menindas terus-menerus, penindasan yang acapkali dibungkus dengan kultur, yang berulang dari rezim ke rezim.
Semar Mencari Raga Novelnya berjudul Semar Mencari Raga (Kanisius, Yogyakarta, 1996) banyak diilhami oleh lukisan tentang Semar karya Agung Leak Kurniawan, Djokopekik, Hanura Hosea, Hari Budiono, Ong Harry Wahyu, Hendro Suseno, Murtianto Antik dan Suatmaji, serta lakon Geger Semar yang dipentaskan Ki Bambang Suwarno Sindutanaya. Sindhunata melihat bahwa popularitas Semar di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, telah menumbuhkan sikap masif masyarakat terhadap Semar. Dalam hal itu, Semar menjadi sangat biasa dan cenderung kehilangan jati dirinya. Tokoh Semar telah mengalami disintegrasi kediriannya. Kehilangan Semar bagi Ksatria (Pandawa) sama halnya tanggalnya pemomong bagi penguasa. Dalam novel ini Sindhunata diungkapkan “...apa jadinya penguasa tanpa kawula yang memomongnya.” Atau sebuah wacana tentang posisi Semar seperti “...Bolehkah Semar menghamba pada para Kurawa?” tanya Semar.
Kehilangan Semar sekaligus munculnya banyak Semar menunjukkan sebuah gejala sosial yang tidak dapat ditawar lagi selain dihadapi untuk dicarikan solusinya. Novel ini mengembangkan dirinya ke arah hal yang hakiki dalam pencarian jati diri, seperti pada kutipan berikut. Semar berhasil bertahan bersama tanah. Semar makin menemukan raganya, karena itu warnanya menjadi makin coklat kehitam-hitaman. Pada waktu itu Semar tahu, mencari raga berarti mempertahankan tanah, tempat ia berpijak. Dan Semar juga tahu, hidup adalah hidup dengan tanah, mempertahankan tanah. Mempertahankan tanah berarti berani mencitai kerasnya pergulatan dalam hidup, melawan lamunan roh yang bermimpi untuk kembali ke dalam alam yang penuh kemesraan dan keindahan.
Kearifan Lokal Ikon budaya yang lekat dalam karya Sindhunata adalah wayang (Ramayana, Semar, Petruk), celeng, anjing, dan telegram. Ikon-ikon tersebut hidup di masyarakat lengkap dengan perangkatnya. Bahkan secara ideologis, ikon-ikon itu merepresentasikan sejumlah pemikiran yang berakar dalam budaya lokal, khususnya budaya Jawa.
Ikon-ikon ini adalah pengait (hook) yang sejak lama telah bersarang di benak masyarakat secara turun-temurun. Dengan demikian, Sindhunata tinggal lagi memanfaatkan pengait itu untuk menyampaikan gagasannya. Fungsi artistik dan logis dari setiap ikon itu dengan lugasnya bermain di imajinasi pembaca karya-karyanya. Bahkan, tidak jarang ikon-ikon itu tampil secara ironis untuk mempermainkan horison harapan pembaca. Secara lugas, Semar adalah sosok dewa yang sangat arif bijaksana dan merakyat. Namun, Sindhunata mempermainkan sosok itu dengan sangat kejam dan bersikap tidak peduli. Situasi ekstrem dari tokoh Semar itu menjadi bermakna untuk memberi kesadaran adanya pemberontakan dari seseorang yang tertindas.
Pemanfaatan ikon budaya itu--sebagai bagian kecil dari kearifan lokal--dalam karyakarya Sindhunata menunjukkan tanggapannya mengenai fenomena zaman yang dipandang telah mengganggu kehidupan masyarakat dan telah menjadi sesuatu yang masif, sehingga dipandang sebagai hama penggangu. Celeng, di satu sisi, jika tidak terkontrol populasinya dapat menjadi hama yang merugikan. Di sisi lain, celeng adalah binatang liar yang tak terkendali jika sedang kalap, ditambah dengan nafsu makan yang tak terkendali alias rakus; Semar sebagai seorang dewa yang adiluhung harus kehilangan jati dirinya ketika di sekitar kita muncul sosok-sosok semar dalam berbagai wujudnya, sehingga wujud-wujud itu mampu menenggelamkan karakteristik Semar sebagaimana dipahami dalam dunia pewayangan.