KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK ...

78 downloads 203 Views 286KB Size Report
BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, ...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1 Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama. Persoalan mengenai narkotika semakin lama semakin meningkat. Narkotika menjadi persoalan nasional bahkan internasional karena akibat dan dampak yang ditimbulkan telah meluas ke seluruh negara. Secara nasional perdagangan narkotika telah meluas kedalam setiap lapisan masyarakat, mulai lapisan masyarakat atas sampai masyarakat bawah. 2 Dari segi usia, narkotika tidak dinikmati golongan remaja saja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua. Penyebaran narkotika sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kotakota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa-desa. 3

1

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba, Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus 2004, hal.188. 3 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 2. 2

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan narkotika bagi orang awam atau orang kurang mengerti, tentu saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkotika yang sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita. Menurut Graham Blaine seorang psikiater, sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut: 4 a. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan mempunyai resiko; b. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orangtua, guru, hukum atau instansi berwenang; c. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual; d. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalamanpengalaman emosional; e. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup; f. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang kesibukan; g. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis; h. Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan; i. Karena didorong rasa ingin tahu (curiosty) dan karena iseng (just for kicks). Penyebab penggunaan narkotika secara tidak legal yang dilakukan oleh para remaja dapatlah dikelompokkan tiga keinginan yaitu: 5 1. Mereka yang ingin mengalami (the experience seekers) yaitu ingin memperoleh pengalaman baru dan sensasi dari akibat pemakaian narkotika; 2. Mereka yang bermaksud menjauhi atau mengelakkan realita hidup (the oblivion seekers) yaitu mereka yang menganggap keadaan terbius sebagai tempat pelarian terindah dan ternyaman; 3. Mereka yang ingin merubah kepribadiannya (personality change) yaitu mereka yang beranggapan menggunakan narkotika dapat merubah kepribadian, seperti menjadi tidak kaku dalam pergaulan.

4

Ibid., hal. 6. Soedjono Dirdjosisworo, Pathologi Sosial, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70-71.

5

Universitas Sumatera Utara

Di kalangan orang-orang dewasa dan yang telah lanjut usia menggunakan narkotika dengan sebab-sebab sebagai berikut: 6 1. Menghilangkan rasa sakit dari penyakit kronis; 2. Menjadi kebiasaan (akibat penyembuhan dan menghilangkan rasa sakit); 3. Pelarian dari frustasi; 4. Meningkatkan kesanggupan untuk berprestasi (biasanya sebagai zat perangsang). Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien. 7 Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan, pengaturan narkotika bertujuan untuk: a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 6

Hari Sasangka., Op. Cit., hal. 7. Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 100. 7

Universitas Sumatera Utara

b. mencegah,

melindungi,

dan

menyelamatkan

bangsa

Indonesia

dari

penyalahgunaan Narkotika; c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika. Peredaran narkotika di dalam negeri hampir meliputi kota besar dan sejumlah desa, dan sebagai tempat transaksi biasanya tempat hiburan (diskotik, karaoke), lingkungan kampus, hotel, apartemen, dan tempat kumpul remaja seperti mall, pusat belanja, dan lain-lain. 8 Pentingnya peredaran narkotika perlu diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal negatif. Disamping itu, melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk dilepaskan ketergantungannya. 9 Peredaran narkotika secara ilegal harus segera ditanggulangi mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya, tetapi juga bagi keluarga, komunitas, hingga bangsa dan negara. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu: pertama, bagi para pengedar 8

Togar M. Sianipar, Perkembangan Kejahatan Narkoba, Makalah dalam seminar Narkoba di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli 2003, hal. 9. 9 Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Op. Cit, hal. 101.

Universitas Sumatera Utara

menjanjikan keuntungan yang lebih besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. 10 Tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang cukup berat, namun demikian dalam kenyataannya para pelaku kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk mengulanginya lagi. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya faktor penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya. Dampak negatif dari narkotika tidak hanya menjangkau pengguna secara individu saja, tetapi juga generasi muda penerus bangsa dan bernegara. Dalam rangka pelaksanaan politik kriminal, pemerintah berupaya menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai langkah antisipasi terhadap kejahatan penyalahgunaan narkotika yaitu dengan menggunakan dan menerapkan sarana penal. Kebijakan penetapan pidana dalam perundang-undangan menurut Barda Nawawi Arief merupakan: 11 Tahap yang paling strategis dilihat dari keseluruhan proses kebijaksanaan untuk mengoperasionalkan sanksi pidana. Pada tahap inilah dirumuskan garisgaris kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana 10

Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 6. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV.Ananta, 1994), hal. 3. 11

Universitas Sumatera Utara

oleh badan pengadilan dan tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana. Penyalahgunaan narkotika sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu setiap masyarakat diharapkan partisipasinya dalam menanggulangi bahaya narkotika. Di Sumatera Utara tindak pidana narkotika mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 seperti dalam tabel di bawah ini. Tabel 1 Jumlah Kasus dan Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai dengan Mei 2011

Kasus Tersangka NO TAHUN JUMLAH 1 2007 2.958 4.160 7.118 2 2008 2.666 3.896 6.562 3 2009 2.802 3.531 6.333 4 2010 2.718 3.736 6.454 5 Mei 2011 1.129 1.524 2.653 JUMLAH 12.273 16.847 29.120 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011 Tabel di atas menunjukkan tindak pidana narkotika dari tahun 2007 sampai dengan Mei 2011 mengalami penurunan dan peningkatan. Tahun 2007 tercatat kasus tindak pidana narkotika sebanyak 2.958 dengan jumlah tersangka 4.160 orang. Tahun 2008 mengalami penurunan tercatat ada sebanyak 2.666 kasus dengan tersangka 3.896 orang. Tahun 2009 terjadinya kenaikan tindak pidana narkotika sebanyak 2.802 kasus dengan jumlah tersangka 3.531 orang. Tahun 2010 juga terjadi kenaikan dengan kasus sebanyak 2.718 kasus dengan jumlah tersangka 3.736 orang. Sedangkan Mei 2011 ada sebanyak 1.129 kasus tindak pidana narkotika dengan jumlah tersangka 1.524 orang.

Universitas Sumatera Utara

Tindak pidana narkotika di Sumatera Utara sangat marak sekali, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa seperti dalam tabel dibawah ini. Tabel 2 Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika Menurut Umur Pelaku Di Sumatera Utara Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011

NO 1 2 3 4

TAHUN 2007 2008 2009 2010 Mei 2011

UMUR PELAKU 30 THN 1.514 1.567 1.419 1.934

5 16 85 248 370 805 JUMLAH 170 2.128 6.240 6.312 9.671 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

JUMLAH 4.160 3.896 3.531 3.736 1.524 24.531

Tabel diatas menunjukkan bahwa yang menyalahgunakan narkotika di bawah usia 15 tahun pada tahun 2007 ada sebanyak 26 orang, sementara di tahun 2008 mengalami sedikit peningkatan sebanyak 32 orang, di tahun 2009 sampai tahun 2010 adanya penurunan menjadi 29 orang dan 18 orang, sementara sampai bulan Mei 2011 ada sebanyak 16 orang. Berusia 16-19 tahun di tahun 2007 ada sebanyak 380 orang, di tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan, sementara sampai dengan bulan Mei 2011 yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 85 orang. Tahun 2007 untuk usia 20-24 tahun yang menyalahgunakan narkotika sebanyak 1.149 orang, antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan yang sangat drastis, dan untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 248 orang. Sedangkan yang berusia 25-29 tahun ada sebanyak 1.091 orang yang melakukan penyalahgunaan narkotika di tahun 2007,

Universitas Sumatera Utara

antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 penyalahgunaan narkotika juga mengalami penurunan, untuk bulan Mei 2011 ada sebanyak 370 orang. Tahun 2007 untuk yang berusia diatas 30 tahun ada sebanyak 1.514 orang, tahun 2008 ada sedikit peningkatan menjadi 1.567 orang, di tahun 2009 terjadi penurunan menjadi 1.419 orang, sedangkan di tahun 2010 terjadi kenaikan sebanyak 1.934 orang, sementara untuk bulan Mei 2011 ada 805 orang. Data diatas yang paling memprihatinkan adalah korban penyalahgunaan narkotika yang pada umumnya masih remaja dan dewasa muda yang sedang dalam masa produktif dan merupakan sumber daya manusia atau aset bangsa dikemudian hari. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekali apabila tidak bisa diatasi jelas akan merusak generasi muda Indonesia dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, bangsa dan negara. Namun di Sumatera Utara yang lebih banyak menyalahgunakan narkotika justru pelaku yang berusia diatas 30 tahun. Menurut status pelakunya penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3 Data Tersangka Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara Menurut Status Pelaku Tahun 2007 sampai Bulan Mei 2011 TAHUN NO 1 2 3 4 5 6

STATUS PELAKU TNI POLRI PNS PEG. SWASTA PELAJAR MAHASISWA

2007 9 11 21 1.101 91 48

2008 13 30 29 588 214 111

2009 14 30 29 322 90 71

2010 8 15 21 253 70 46

Mei 2011 4 14 15 142 30 26

JUMLAH 48 100 115 2.406 495 302

Universitas Sumatera Utara

7 PENGANGGURAN 1.998 2.502 2.472 2.472 8 BURUH 881 409 503 851 JUMLAH 4.160 3.896 3.531 3.736 Sumber: Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut Tahun 2011

1.118 175 1.524

10.562 2.819 16.847

Tabel diatas menunjukkan bahwa TNI yang melakukan tindak pidana narkotika dalam kurun waktu 2007 sampai Mei 2011 ada sebanyak 48 orang. Sementara untuk POLRI ada sebanyak 100 orang, sedangkan untuk PNS ada sebanyak 115 orang, untuk pegawai swasta sebanyak 2.406 orang, pelajar sebanyak 495 orang, mahasiswa sebanyak 302 orang, untuk kalangan pengangguran ada sebanyak 10.562 orang, dan untuk kalangan buruh ada sebanyak 2.819 orang. Berdasarkan data yang diungkapkan diatas bahwa tindak pidana narkotika diantara masing-masing kalangan dari tahun 2007 sampai Mei 2011 menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Permasalahan penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan massal dan lain sebagainya). Seringkali terjadi dimasyarakat, dampak dari penyalahgunaan ketergantungan narkotika antara lain: merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku antisosial, gangguan kesehatan, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan, dan kriminalitas lainnya. 12 Berdasarkan alasan diatas, maka penulis

12

Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

tertarik untuk menuliskannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini yang berjudul “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di POLDA SUMUT)”.

B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika di Sumatera Utara? 2. Bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya tindak pidana narkotika. 2. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika.

Universitas Sumatera Utara

2. Secara Praktis Penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum agar dapat mengetahui kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika. Khusus bagi masyarakat umum agar dapat mengetahui akibat dari penyalahgunaan narkotika dan kebijakan penegakan hukum pidana apa yang dapat digunakan terhadap tindak pidana narkotika. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian menyangkut masalah “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika di Sumatera Utara”. Akan tetapi ada beberapa tesis membahas tentang narkotika namun di dalam tesis ini yang dibicarakan adalah mengenai kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika permasalahan yang diteliti tidaklah sama. Dengan demikian penelitian ini betul asli dari

segi

substansi

maupun

dari

segi

permasalahan

sehingga

dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori Kejahatan yang merupakan suatu bentuk gejala sosial yang tidak berdiri sendiri, melainkan nampak adanya korelasi dengan berbagai perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, hukum maupun teknologi serta berbagai perkembangan

Universitas Sumatera Utara

lain adalah sebagai akibat sampingan yang negatif

dari setiap kemajuan atau

perubahan sosial di dalam masyarakat. Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori kebijakan hukum pidana (penal policy). Kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 13 Politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 14 Mahfud MD juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun dalam penegakannya. 15

13

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 19. 14 Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana,(Bandung: Alumni,1989), hal. 159. 15 Mahfud M.D,Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES,1998), hal. 1-2.

Universitas Sumatera Utara

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). 16 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undangundang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan berarti upaya mewujudkan suatu hukum pidana yang dapat diterapkan dalam masyarakat dalam jangka waktu yang lama dan menjadi kebijakan perundang-undangan yang baik, maka ia harus memenuhi syarat yuridis, sosiologis dan filosofis. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: 17 Suatu peraturan hukum berlaku secara yuridis apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan. Peraturan hukum harus berlaku secara filosofis, apabila

16

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008),

hal. 24. 17

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Alumni, 1978), hal. 113.

Universitas Sumatera Utara

peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi. Barda Nawawi mengutarakan masih pentingnya menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan yaitu: 18 a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana; b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya; c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal oleh beberapa pakar kriminologi disebut juga dengan cara represif. Tindakan represif menitikberatkan

pada

upaya

pemberantasan/penindasan/penumpasan

sesudah

kejahatan terjadi yaitu dengan dijatuhkannya sanksi pidana. 19 Kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang 18

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: CV. Ananta, 1994), hal. 31. 19 Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: Remaja Karya, 1987), hal. 28.

Universitas Sumatera Utara

berorientasi pada nilai. Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manusia seutuhnya. Apabila pidana yang digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu, pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau yang paling berharga bagi kehidupan manusia. 20 Dengan demikian diperlukan adanya keterpaduan dan kerjasama yang baik aparat penegak hukum untuk menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan. Keterpaduan tersebut pada akhirnya akan menuju tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan hidup dalam masyarakat. 2. Kerangka Konsep Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini di defenisikan beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: kebijakan hukum pidana, penegakan hukum, kepolisian, penyelidikan, penyidikan, tindak pidana, narkotika.

20

Ibid., hal.34.

Universitas Sumatera Utara

Kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 21 Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). 22 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undangundang (hukum ) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu

21 22

Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 18. Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.23 Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketentraman, dan kepastian hukum, sesuai dengan UUD 1945. 24 Istilah polisi pada mulanya berasal dari Yunani yaitu politeia yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Di abad sebelum masehi negara Junani terdiri dari kota-kota yang dinamakan polis. Arti polisi demikian luasnya bahkan selain meliputi seluruh pemerintahan negara kota, termasuk juga di dalamnya urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Setelah munculnya agama Nasrani maka urusan keagamaan menjadi terpisah dari pemerintahan, sehingga arti polisi menjadi seluruh pemerintahan negara dikurangi urusan agama. 25 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah polisi berarti: 26 a. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum; b. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan.

23

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 15., Lihat juga Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 111. Penegakan hukum sebagai perhatian dan penggarapanperbuatan melawan hukum yangsungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie). 24 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 8. 25 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal. 14. 26 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 763.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. 27 Penyelidikan merupakan tindakan tahap permulaan penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. 28 Istilah tindak pidana sering dipakai untuk menggantikan strafbaar feit. “Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat di hukum itu 27

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 101. 28 Ibid, hal. 109.

Universitas Sumatera Utara

sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan ataupun tindakan”. 29 Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya menurut wujud atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana. 30 Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: 31 Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

29

P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181. 30 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 16. 31 Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. G. Metode Penelitian Penelitian

merupakan

sarana

pokok

dalam

pengembangan

ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah dikumpulkan. 32 Oleh

karena

penelitian

merupakan

suatu

sarana

ilmiah

bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 33 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif. 34 Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut 32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 1986), hal. 3. Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64. 34 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 295. 33

Universitas Sumatera Utara

dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the jungle through judicial process). 35 Penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian yang bertitik tolak dari permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan kemudian menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan

yang

diurut

berdasarkan

hierarki 36

seperti

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini

35

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2. 36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 141.

Universitas Sumatera Utara

yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan terhadap tindak pidana narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas bukubuku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil

simposium

mutakhir

yang

berkaitan

dengan

topik

penelitian. 37 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 38 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet. Penelitian ini juga didukung oleh data primer 39 yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri dari Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumut, 10 (sepuluh) orang narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Tanjung Gusta Medan. 37

Jhony Ibrahim, Op.Cit, hal. 296. Ibid. 39 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 23. 38

Universitas Sumatera Utara

3. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Penelitian Kepustakaan (Library Reseaarch) Penelitian kepustakaan ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, teori-teori, pendapat para sarjana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kebijakan penal. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interviewguide). Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. 4. Analisis Data Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. 40 Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif 41 sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

40

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 121. 41 Zainuddin Ali, Op. Cit., hal. 107.

Universitas Sumatera Utara